Proposal Bab 1 - 4 Gout Arthritis Shinta

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 52

EFEKTIVITAS KOMPRES HANGAT DAN KOMPRES JAHE MERAH

TERHADAP SKALA NYERI GOUT ARTHRITIS PADA LANSIA DI


WILAYAH KERJA PUSKESMAS SUKAMERINDU KOTA BENGKULU
TAHUN 2019

DISUSUN OLEH :
SINTA
NIM: P05120316035

KEMENTERIAN KESEHATAN REBUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BENGKULU

JURUSAN KERERAWATAN BENGKULU

PRODI DIV KEPERAWATAN

TAHUN 2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Lanjut usia (lansia) merupakan dimana seseorang telah mencapai usia 65
tahun ke atas. Lansia bukan penyakit namun merupakan tahap lanjut dari suatu
proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk
beradaptasi dengan stress lingkungan. Lanjut usia akan mengalami berbagai
perubahan akibat terjadinya penurunan dari semua aspek diantaranya fungsi
biologi, psikologis, sosial dan ekonomi. Perubahan ini akan memberikan
pengaruh pada seluruh aspek kehidupan, termasuk status kesehatannya (Abdul &
Sandu, 2016).
Secara umum, populasi penduduk lansia 60 tahun keatas pada saat ini
dinegara-negara dunia diprediksikan akan mengalami peningkatan. Dinegara
maju misalnya diperkirakan akan mengalami peningkatan jumlah lansia sebesar
32% pada tahun 2050. Sementara dinegara berkembang, jumlah penduduk usia
60 tahun keatas diperkirakan akan meningkat 20% antara tahun 2017-2050 dan
termasuk negara Indonesia,s yang saat ini menempati urutan keempat setelah
China, India dan Jepang yang memiliki jumlah lansia terbanyak (Ari & Liana,
2016).
World Health Organisation (2014) dalam Silvia Nora Anggreini dkk,
menyatakan bahwa usia harapan hidup Indonesia meningkat 72 tahun. Jumlah
penduduk lansia di Indonesia tahun 2012 mencapai 28 juta jiwa atau sekitar 8%
dari jumlah penduduk indonesia. Pada tahun 2025 diperkirakan jumlah lansia
membengkak menjadi 40 jutaan dan pada tahun 2050 diperkirakan akan
melonjak hingga mencapai 71,6 juta jiwa (Badan Pusat Statistik, 2012).
Penyakit sendi adalah gangguan nyeri pada persendian yang disertai
kekakuan, merah, dan pembengkakan yang bukan disebabkan karena
benturan/kecelakaan. Penyakit sendi yang dimaksud termasuk osteoarthritis,
nyeri akibat asam urat yang tinggi/hiperurisemia akut maupun kronis, dan
rhematoid arthritis (Riskesdas, 2018).
Jumlah penduduk lansia berdasarkan data proyeksi penduduk, diperkirakan
tahun 2017 terdapat 23,66 juta jiwa penduduk lansia di Indonesia (9,03%).
Diprediksi jumlah penduduk lansia tahun 2020 (27,08 juta), tahun 2025 (33,69
juta), tahun 2030 (40,95 juta), dan tahun 2035 (48,19 juta) (Kementerian
Kesehatan RI, 2017). Hasil sensus penduduk tahun 2017, secara umum jumlah
lansia di Provinsi Bengkulu yaitu 6,94% (Pusat Data dan Informasi, 2017).
Sebanyak 26.703 jiwa terdiri dari laki-laki 11.840 orang dan perempuan 14.863
orang, yang mendapatkan pelayanan kesehatan sebanyak 12.589 dengan rincian
laki-laki sebanyak 6.098 orang (51,50%), perempuan sebanyak 6.491 (43,67%)
(Dinkes Kota Bengkulu, 2017).
Gout yang berasal dari kata ‘Gutta’ yang berarti tetasan. Gout merupakan
salah satu penyakit arthritis (radang sendi). Gout adalah penyakit kelainan
metabolisme purin dimana terjadi produksi asam urat berlebihan (Hiperurisemia)
atau penumpukan asam urat dalam darah tubuh secara berlebihan. Peningkatan
produksi asam urat menyebabkan peradangan sendi dengan pembengkakan sendi
(biasanya sendi lutut dan sendi kaki) (IP. Suiraoka, 2012). Serangan gout
tampaknya berhubungan dengan peningkatan atau penurunan mendadak kadar
asam urat serum. Dengan serangan yang berulang-ulang, penumpukkan kristal,
natrium urat yang dinamakan tofus akan mengendap dibagian perifer tubuh
seperti ibu jari kaki, tangan dan telinga (Smeltzer, Suzanne C, 2002).
Rasa nyeri merupakan gejala penyakit gout yang paling sering menyebabkan
seseorang mencari pertolongan medis. Nyeri adalah pengalaman sensori dan
emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual
dan potensial. Nyeri saat mengganggu dan menyulitkan banyak orang disbanding
suatu penyakit manapun (Smeltzer, 2008).
Dampak dari rasa nyeri yang berulang yaitu terjadinya respon stress yang
antara lain berupa meningkatnya rasa cemas, denyut jantung, tekanan darah, dan
frekuensi nafas. Nyeri yang berlanjut atau tidak ditangani secara adekuat.
Memicu respon stress yang berkepanjangan, yang akan menurunkan daya tahan
tubuh dengan menurunkan fungsi imun, memepercepat kerusakn jaringan, laju
metabolisme, pembekuan darah dan retensi cairan, sehingga akhirnya akan
memperburuk kualitas kesehatan (Hartwig & Wilson, 2006).
Prevalensi penyakit sendi berdasarkan Diagnosis Dokter pada penduduk umur
≥ 15 tahun di provinsi Bengkulu pada tahun 2018 meningkat menjadi 12,11%
(Riskesdas, 2018). Lokasi persendian yang terkena terutama sendi-sendi kecil
yaitu sendi jari tangan dan dan jari kaki. Bila Kristal urat tertimbun pada jaringan
diluar sendi maka akan membentuk atau topus yaitu benjolan bening dibawh
kulit yang berisi Kristal urat, Kristal urat ini juga dapat menyebabkan timbulnya
batu asam urat (Handryani, 2011).
Prevalensi asam urat di Indonesia menduduki urutan kedua setelah
osteoarthritis. Prevalensi asam urat pada populasi di USA diperkirakan
13,6/100.000 penduduk, sedangkan diindonesia sendiri diperkirakan 1,6-
13,6/100.000 orang, prevalensi ini meningkat seiring dengan peningkatan umur
(Ari & Liana, 2016).
Prevalensi Gout Artritis berdasarkan diagnosis Dinas Kesehatan Provinsi
Bengkulu tahun 2014, angka kesakitan karena Gout Artritis adalah 27.104 dari
total penduduk provinsi Bengkulu dan menurut dinas tenaga kesehatan kota
Bengkulu merupakan sepuluh penyakit terbesar dan jumlah penderita Gout
Artritis cenderung meningkat di kota Bengkulu. Pada tahun 2016 adalah 2.706
orang tahun 2017 menjadi 3.406 orang tahun 2018 adalah 3.915 orang (Dinkes
Bengkulu, 2018).
Data lansia dengan gout arthritis dari seluruh Puskesmas Kota Bengkulu tahun
2018 didapatkan data jumlah sebanyak 788 jiwa (Dinkes Kota Bengkulu, 2018).
Jumlah penderita gout arthritis di Puskesmas Sukamerindu tahun ke tahun
mengalami peningkatan secara signifikan, didapatkan data tahun 2019 berjumlah
176 jiwa.
Pengobatan farmakologis yaitu tindakan pemberian obat sebagai penurunan
nyeri. Biasanya dengan pemberian obat-obat analgesik seperti pemberian obat
antiinflamsi nonsterois (OAINS), contoh Aspirin dan Ibuprofen. Penggunaan
obat-obat analgesik memiliki dampak buruk seperti rasa tidak nyaman pada
saluran pencernaan, mual, diare, perdarahan tukak, dapat juga mengakibatkan
kerusakan pada ginjal, dan gangguan kardio vaskuler. Selain analgesik oral
biasanya juga dalam nyeri sendi sering kali dengan analgesik topical seperti
balsam. Dalam penggunaan analgesic topical juga memiliki efek samping seperti
rasa terbakar atau sengatan untuk sementara pada area yang dioleskan
(Syafrifatul, 2014).
Adapun pengobatan non farmakologis seperti mengompres bagian sendi jahe
adalah obat yang menjadi pilihan utama untuk menurunkan nyeri sendi pada
lansia dengan (Arthritis Gout) karena selain tidak memiliki efek samping bagi
kesehatan, obat ini juga mudah dikonsumsi, mudah terjangkau dalam hal segi
ekonomi, dan juga tidak berat untuk dikonsumsi (Syafrifatul, 2014). Pengobatan
non farmakologis bagi pasien asam urat pada dasar nya adalah dengan menjaga
makanan, mengontrol berat badan, perubahan gaya hidup, olahraga yang cukup,
minum air putih secukupnya. Masyarakat menggunakan pengobatan alternatif
untuk mengatasi berbagai penyakit (Ari & Liana, 2016).
Pemberian kompres air hangat dianjurkan untuk menurunkan, nyeri karena
dapat meredakan nyeri, meningkatkan sirkulasi, meningkatkan relaksasi
psikologis, dan memberi rasa nyaman, bekerja sebagai counteriritan (Koizier &
Erb, 2009) dan kompres jahe merah merupakan tindakan yang sering kali
digunakan sebagai obat nyeri persendian karena kandungan gingerol dan rasa
hangat yang ditimbulkannya membuat pembuluh darah terbuka damn
memperlancar sirkulasi darah, sehingga suplai makanan dan oksigen lebih baik
dan nyeri sendi berkurang (Utami & Puspaningtyas, 2013).
Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
tentang : Efektifitas kompres hangat dan kompres jahe merah terhadap skala
nyeri gout arthritis pada lansia.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang diatas, maka dapat
dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut “Apakah kompres jahe merah
lebih efektif dari kompres hangat terhadap skala nyeri gout arthritis pada
lansia”?.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Efektifitas kompres hangat (Zingiber offcinale rocs. Var. rubrum) dan
kompres jahe merah terhadap skala nyeri gout arthritis pada lansia.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi tingkat nyeri responden sebelum dilakukan kompres
jahe merah.
b. Mengidentifikasi tingkat nyeri responden sebelum dilakukan kompres
hangat.
c. Mengidentifikasi tingkat nyeri responden sesudah dilakukan kompres
jahe merah.
d. Mengidentifikasi tingkat nyeri responden sesudah dilakukan kompres
hangat.
e. Mengidentifikasi efektifitas skala nyeri gout arthritis pada responden
sesudah dilakukan kompres hangat dan kompres jahe merah.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi tambahan pengetahuan
serta wawasan dalam bidang Keperawatan Gerontik terkait pentingnya
melakukan aktivitas fisik terutama efektivitas kompres hangat dan
kompres jahe merah terhadap skala nyeri gout arthritis pada lansia .
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Lansia
Mengajarkan kompres hangat dan kompres jahe merah dalam skala
nyeri.
b. Akademik
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah
dan sebagai literatur yang berhubungan dengan efektivitas kompres
hangat dan kompres jahe merah terhadap penurunan nyeri gout
arthritis pada lansia.
c. Tempat Penelitian
Hasil penelitian ini kiranya dapat digunakan sebagai masukan dalam
penerapan keefektifan kompres hangat dan kompres jahe merah dan
sebagai solusi mengatasi masalah yang berhubungan dengan lansia
gout arthritis.
d. Peneliti Lain
Sebagai bahan masukan bagi peneliti selanjutnya khususnya di bidang
keperawatan gerontik untuk menambah pengetahuan dan pengalaman
sehingga dapat mengembangkan terapi dengan teknik yang lain dalam
menurunkan nyeri sendi pada lansia.
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Konsep Lansia
1. Pengertian lansia
Menurut World Health Organitation (WHO) lanjut usia (lansia) adalah
kelompok penduduk yang berumur 60 tahun atau lebih. Secara global pada
tahun 2013 proporsi dari populasi penduduk berusia lebih dari 60 tahun
adalah 11,7% dari total populasi dunia dan diperkirakan jumlah tersebut akan
terus meningkat seiring dengan peningkatan usia harapan hidup. Data WHO
menunjukan pada tahun 2000 usia harapan hidup orang didunia adalah 66
tahun, pada tahun 2012 naik menjadi 70 tahun dan pada tahun 2013 menjadi
71 tahun. Jumlah proporsi lansia di Indonesia juga bertambah setiap tahunya.
Data WHO pada tahun 2009 menunjukan lansia berjumlah 7,49% dari total
populasi, tahun 2011 menjadi 7,69% dan pada tahun 2013 didapatkan proporsi
lansia sebesar 8.1% dari total populasi (WHO, 2015 dalam Ermi Ambarsari,
2018).
Lanjut usia merupakan istilah tahap akhir dari proses penuaan. Dalam
mendefinisikan batasan penduduk lanjut usia menurut badan koordinasi
keluarga berencana nasional (BKKBN) ada tiga aspek yang perlu
dipertimbangkan yaitu aspek biologi, aspek ekonomi, dan aspek sosial. Secara
biologis penduduk lanjut usia adalah penduduk yang mengalami proses
penuaan secara terus-menerus, yang ditandai dengan menurunnya daya tahan
fisik yaitu semakin rentannya terhadap serangan penyakit yang dapat
menyebabkan kamatian. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan dalam
struktur dan fungsi sel, jaringan, serta sistem organ. Secara ekonomi,
penduduk lanjut usia dipandang sebagai beban dari pada sebagai sumber daya.
Banyak orang beranggapan bahwa kehidupan masa tua tidak lagi memberikan
banyak manfaat, bahkan ada yang sampai beranggapan kehidupan masa tua
sering kali dipersepsikan secara negatif sebagai beban keluarga dan
masyarakat.
Memasuki usia tua berarti mengalami kemunduran, misalnya kemunduran
fisik yang ditandai dengan kulit yang mengendur, rambut memutih, gigi mulai
ompong, pendengaran kurang jelas, penglihatan semakin memburuk, gerakan
lambat dan figure tubuh yang tidak proporsional (Nugroho, 2006).

2. Batasan-batasan Lansia
Batasan umur pada usia lanjut dari waktu ke waktu berbeda (WHO, 2015
dalam Ermi Ambarsari, 2018 ) lansia meliputi :
a. Usia pertengahan (middle age) 45-59 tahun
b. Lanjut usia (elderly) antara usia 60-74 tahun
c. Lansia usia tua (old) antara usia 75-90 tahun
d. Usia sangat tua (very old) diatas usia 90 tahun
Berbeda dengan WHO, menurut Departemen Kesehatan RI (2006).
Pengelompokan lansia menjadi :
a. Virilitas (prasenium) yaitu masa persiapan usia lanjut yang
menampakan kematangan jiwa (usia 55-59 tahun)
b. Usia lanjut dini (senescen) yaitu kelompok yang mulai memasuki
masa usia lanjut dini (usia 60-64 tahun)
c. Lansia berisiko tinggi untuk menderita berbagai penyakit
degeneratif (usia > 65 tahun).

3. Tipe-tipe Lanjut Usia


a. Tipe Arif Bijaksana
Melimpah dengan hikmah pengalaman menyesuaikan diri dengan
perubahan zaman, mempunyai kesibukan, bersikap rama, sederhana,
dan menjadi panutan.
b. Tipe mandiri
Mengganti kegiatan dan aktivitas yang hilang dengan kegiatan dan
aktivitas yang baru, selektif dalam mencari pekerjaan, temen
pergaulan.
c. Tipe tidak puas
Konflik lahir batin, menentang proses penuaan yang menyebabkan
kehilangan kecantikan, kehilangan daya tarik jasmani, kehilangan
kekusaan, teman yang disayangi, tidak sabar, mudah tersinggung,
menuntut, dan pengeritik.
d. Tipe pasrah
Menerima dan menunggu nasib baik, mempunyai konsep habis gelap
terbitlah terang mengikuti kegiatan ibadah, ringan kaki, pekerjaan
apapun dilakukan.
e. Tipe bingung
Kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, merasa minder, menyesal,
pasif, mental, sosial, dan ekonominya. Tipe ini antara lain tipe optimis
dan tipe konstruktif.

4. Klasifikasi lansia
Menurut Depkes RI, 2013 klasifikasi lansia terdiri dari :
a. Pra lansia yaitu seseorang yang berusia antara 45-59 tahun
b. Lansia ialah seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih
c. Lansia resiko tinggi ialah seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih
dengan masalah kesehatan
d. Lansia potensial ialah lansia yang masih mampu melakukan
pekekrjaan dan kegiatan yang dapat menghasilkan barang atau jasa
e. Lansia tidak potensial ialah laansia yang tidak berdaya mencari nafkah,
sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.

5. Proses Menua
Proses menua (aging = menjadi tua) adalah suatu proses
menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk
memperbaiki diri/mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya
sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki
kerusakan yang diderita (Nugroho, 2009). Dengan begitu manusia secara
progresif akan kehilangan daya tahan terhadap infeksi dan akan
menumpuk makin banyak distorsi metabolic dan structural yang disebut
sebagai “penyakit degenerative” (seperti hipertensi, aterosklerosis,
diabetes mellitus dan kanker). Menua atau menjadi tua adalah suatu
keadaaan yang terjadi di dalam kehidupan manusia. Proses menua
merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya dimulai dari suatu waktu
tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan. Menjadi tua
merupakan proses alamiah yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap
kehidupan, yaitu anak, dewasa dan tua (Nugroho, 2009).

6. Karakteristik Lansia
Lansia memiliki karakteristik yaitu berusia lebih dari 60 tahun,
kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit,
kebutuhan biologik sosial dan spiritual, kondisi adaptif hingga kondisi
maladaptif (Maryam, 2008).

7. Perubahan–perubahan Yang Terjadi Pada Lansia


Menurut (Nugroho, 2012) perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia
diantaranya adalah :
a. Perubahan Pada Sistem Gastrointestinal
Proses penuaan memberikan pengaruh pada setiap bagian dalam
saluran gastrointestinal (GI) yaitu perubahan pada rongga mulut,
esofagus, lambung, usus halus, usus besar dan rektum, pankreas, dan
hati.
b. Perubahan Pada Sistem Muskuloskletal
1. Jaringan penghubung (kolagen dan elastin)
Kolagen sebagai protein pendukung utama pada kulit, tendon,
kartilago, dan jaringan pengikat mengalami perubahan menjadi
tidak teratur dan penurunan pada jaringan kolagen, merupakan
salah satu alasan penurunan mobilitas pada jaringan tubuh. Sel
kolagen mencapai puncak mekaniknya karena penuaan, kekakuan
dari kolagen mulai menurun. Kolagen dan elastin yang merupakan
jaringan ikat pada jaringan penghubung mengalami perubahan
kualitas dn kuantitasnya. Perubahan pada kolagen ini merupakan
penyebab turunya fleksibilitas pada lansia sehingga menimbulkan
dampak berupa nyeri, penurunan kemampuan untuk meningkatkan
kekuatan otot, kesulitan bergerak dari duduk ke berdiri, jongkok
dan berjalan dan hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
Upaya fisioterapi untuk mengurangi dampak tersebut adalah
memberikan latihan untuk menjaga mobilitas.
2. Katilago
Jaringan kartilago pada persendian menjadi lunak dan
mengalami granulasi akhirnya permukaan sendi menjadi rata.
Selanjunya kemampuan kartilago untuk regenerasi berkurang dan
degenerasi yang terjadi cenderung kearah progresif. Proteoglikan
yang merupakan komponen dasar matrik kartilago, berkurang atau
hilang secara bertahap sehingga jaringan fibril pada kolagen
kehilangan kekuatannya dan akhirnya kartilago cenderung
mengalami fibrilasi. Kartilago mengalami klasifikasi di beberapa
tempat seperti pada tulang rusuk dan teroid. Fungsi kartilago
menjadi tidak efektif tidak hanya sebagai peredam kejut, tetapi
sebagai permukaan sendi yang berpelumas. Konsekuensinya
kortilago pada persendian menjadi rentan terhadap gesekan.
Perubahan tersebut sering terjadi pada sendi besar penumpu
berat badan. Akibat perubahan itu sendi mudah mengalami
peradangan, kekakuan, nyeri, keterbatasan gerak dan terganggunya
aktivitas sehari-hari.
3. Sistem Skeletal
Manusia mengalami penuaan dan jumlah masa otot tubuh
mengalami penurunan, berikut ini merupakan perubahan yang
terjadi pada sistem skeletal akibat proses menua :
a. Penurunan tinggi badan secara progresif
b. Penurunan produksi tulang kortikal dan trabekular yang
berfungsi sebagai perlindungan terhadap beban gerakan rotasi
dan lengkungan. Implikasi dari hal ini adalah peningkatan
terjadinya risiko fraktur (Stanley, 2007).
4. Sistem Muskular
Perubahan yang terjadi pada sistem muscular akibat proses
menua yaitu waktu untuk kontraksi dan relaksasi muskular
memanjang. Implikasi dari hal ini adalah perlambatan waktu untuk
bereaksi, pergerakan yang kurang aktif. Perubahan kolumna
vertebralis, akilosis atau kekakuan ligamen dan sendi, penyusutan
dan sklerosis tendon dan otot, dan perubahan. (Stanley, 2007).
5. Sendi
Perubahan yang terjadi pada sendi akibat proses menua yaitu
pecahnya komponen kapsul sendi dan kolagen. Implikasi dari hal
ini adalah nyeri, impflamasi, penurunan mobilitas sendi,
deformitas, kekakuan ligamen dan sendi. Implikasi dari hal ini
adalah peningkatan resiko cedera (Stanley, 2007).
6. Perubahan Pada Sistem Persarafan
Sistem neurologis, terutama otak adalah suatu faktor utama
dalam penuaan. Neuron menjadi semakin kompleks dan tumbuh,
tetapi neuron tersebut tidak dapat mengalami regenerasi.
Perubahan struktural yang paling terlihat terjadi pada otak itu
sendiri. Perubahan ukuran otak yang dipengaruhi oleh atrofi girus
dan dilatasi sulkus dan ventrikel otak. Korteks serebral adalah
daerah otak yang paling besar dipengaruhi oleh kehilangan neuron.
Penurunan aliran darah serebral dan penggunaan oksigen dapat
pula terjadi dengan penuaan.
7. Perubahan Pada Sistem Endokrin
Perubahan pada sistem endokrin akibat penuaan antara lain
produksi dari semua hormon menurun, fungsi parateroid dan
sekresinya tidak berubah, terjadinya pituitary yaitu pertumbuhan
hormon ada tetapi lebih rendah dan hanya didalam pembuluh
darah. Menurunya aktivitas tiroid, menurunya BMR (Basal
Metabolik Rate) dan menurunya daya pertukaran zat. Menurunya
produksi aldosteron dan menurunya sekresi hormon kelamin
misalnya progesteron, estrogen, dan testosteron (Darmojo dan
Martono, 2006).

B. Konsep Gout Arthritis


1. Pengertian
Gout (pirai) merupakan kelompok keadaan heterogenous yang
berhubungan dengan defek genetik pada metabolisme purin (hiperurisemia).
Pada keadaan ini bisa terjadi oversekresi asam urat atau defek renal yang
mengakibatkan penurunan ekskresi asam urat, atau kombinasi keduanya
(Brunner & Suddarth, 2002). Gout Arthritis atau asam urat adalah penyakit
yang sering ditemukan dan tersebar di seluruh dunia. Gangguan metabolisme
yang mendasarkan gout adalah hiperurisemia yang didefinisikan sebagai
peninggian kadar asam urat dari 7,0 mg/dl untuk laki-laki dan 6,0 mg/dl untuk
perempuan (Sudoyo, 2009).
2. Jenis-jenis gout
a. Hiperurisemia primer
Kenaikan kadar urat serum atau manifestasi penumpukan urat
tampaknya merupakan konsekuensi dari kesalahan metabolisme asam urat.
Hiperurisemia primer disebabkan oleh diet yang ketat atau starvasi, asupan
makanan kaya purin (kerang-kerangan, jeroan) yang berlebihan atau
kelainan herediter (Brunner & Suddarth, 2002).
b. Hiperurisemia sekunder
Penyakit gout merupakan gambaran klinik ringan yang terjadi
sekunder akibat sejumlah proses genitik atau yang didapat, termasuk
keadaan terjadinya peningkatan pergantian sel (leukemia, multiple
myeloma, beberapa tipe anemia, psoriasis) dan peningkatan pemecahan sel
(Brunner & Suddarth, 2002).

3. Etiologi
Berdasarkan fotofisiologisnya, hiperurisemia atau peningkatan asam
urat terjadi akibat produksi asam urat yang berlebihan, pembuangan asam
urat yang kurang atau kombinasi keduanya. (IP. Suiraoka, 2012).
a. Produksi asam urat berlebih
Peningkatan produksi asam urat terjadi akibat peningkatan kecepatan
biosintesa purin dari asam amino untuk membentuk inti sel DNA dan
RNA. Hal ini disebabkan kelainan produksi enzim. Yaitu kekurangan
enzim Hipoxantin guanine fosforibosil transferase (HGPRT) dan
kelebihan aktivitas enzim fosforibosil piro fosfatase (PRPP) sehingga
terjadi kelainan metabolisme purin (inborn errors of purin metabolisme).
Produksi asam urat dibantu oleh enzim Xantin oksidase dengan efek
samping menghasilkan radikal bebas superoksida. Kekurangan enzim
HGPRT dapat menyebabkan akumulasi PRPP dan penggunaan enzim
PRPP untuk inhibisi umpan balik menurun sehingga semua hipoxantin
akan digunakan untuk memproduksi asam urat. Selain itu aktivitas
berlebih enzim PRPP akan menyebabkan pembentukan nukleotida asam
guanilat (GMP) dan Adenilat deaminase (AMP) menurun sehingga
menstimulasi proses inhibisi umpan balik yang akibatnya meningkatkan
proses pembentukan asam urat. Keadaan ini ditemukan pada mereka yang
memiliki kelainan haerediter (genetik).
Peningkatan produksi asam urat juga bisa disebabkan makanan kaya
protein dan purin atau asam nukleat berlebihan seperti pada jeroan,
makanan laut, kaldu kental dan lain-lain serta hasil pemecahan sel yang
rusak akibat obat tertentu. Penguraian purin yang terlalu cepat pada
olahraga berlebihan dan kelainan darah (hemolisis) juga menyebabkan
tingginya kadar asam.
b. Pembuangan asam urat berkurang
Asam urat akan meningkat dalam darah jika ekskresi ataus
pembuangannya terganggu. Sekitar 90% penderita hiperurisemia
mengalami gangguan ginjal dalam pembuangan asam urat ini. Biasanya
penderita gout mengeluarkan asam urat sekitar 40% lebih sedikit dari
orang normal.
Dalam kondisi normal, tubuh mampu mengeluarkan 2/3 asam urat
melalui urin (sekitar 300 sampai dengan 600 mg per hari). Sedangan
sisanya diekresikan melalui saluran gastrointestinal. Asam urat larut dalam
plasma darah sebagai monosodium urat yang pada suhu 37oC kelarutannya
dalam plasma sebanyak 7 mg /dl.
Secara normal, pengeluaran asam urat secara otomatis akan lebih
banyak jika kadarnya meningkat dalam darah akibat asupan purin dari luar
atau pembentukan purin. Tapi pada penderita gout kadar asam urat tetap
lebih tinggi 1-2 mg/dl dibandingkan orang normal.
Pembuangan asam urat terganggu akibat penurunan proses filtrasi
ginjal di glomerulus ginjal, penurunan ekskresi dalam tubulus ginjal dan
peningkatan absorpsi kembali. Penurunan filtrasi tidak langsung
menyebabkan hiperurisemia, namun berperanan dalam peninggian asam
urat pada penderita gangguan ginjal. Penurunan ekskresi pada tubulus
ginjal disebabkan karena akumulasi asam-asam organik lain yang
berkompetisi dengan asam urat untuk disekresikan.
c. Kombinasi produksi asam urat berlebih dan pembuangan yang berkurang.
Mekanisme kombinasi keduanya yerjadi pada kelainan intoleransi
fruktosa, defisiensi enzim tertentu yaitu Glukosa 6-fosfat. Pada kelainan
tersebut akan diproduksi asam laktat berlebihan, pembuangan asam urat
menjadi menurun karena berkompetisi dengan asam laktat dan
hiperurisemia menjadi lebih parah. Kekurangan enzim glukosa 6-fosfat
biasanya menyebabkan hiperurisemia sejak bayi dan menderita gout usia
muda.
Konsumsi alkohol berlebih menyebabkan hiperurisemia kombinasi di
atas. Alkohol yang berlebihan memang mengandung purin tinggi, akan
mempercepat pemecahan ATP (Adenosin Tripospat) di hati, sehingga
meningkatkan produksi aam urat. Selain itu alkohol memicu produksi
asam laktat berlebih yang menghambat pembuangan asam urat.
Faktor yang berperanan terhadap terjadinya gout adalah faktor
penyebab hiperurisemia (IP. Suiraoka, 2012) yaitu :
a. Faktor keturunan
Faktor keturunan dengan adanya riwayat gout dalam sisilah keluarga.
b. Faktor pola makan dengan tinggi protein denga kaya senyawa purin
lainnya.
Purin merupakan satu senyawa yang dimetabolisme di dalam tubuh dan
menghasilkan produk akhir yaitu asam urat. Sejak dahulu masyarakat
percaya bahwa konsumsi makanan tertentu dapat menimbulkan
penyakit asam urat seperti jeroan, emping dan bayam. Jenis makanan
yang kaya akan purin biasanya makanan bersumber protein hewani
(seperti daging sapi, kambing, seafood), kacang-kacangan, bayam,
jamur dan kembang kol. Tidak semua bahan makanan yang
mengandung purin meningkatkan kadar asam urat. Contohnya kopi,
teh, coklat mengandung komponen purin berupa kafein, theophilin dan
theobromin yang kemudian di metabolisme menjadi metal urat yang
tidak membentuk tofi dan tidak meningkatkan kadar asam urat darah.
c. Konsumsi alkohol yang berlebihan
Alkohol merupakan salah satu sumber purin yang juga dapat
menghambat pembungan purin melalui ginjal.
d. Hambatan pembuangan asam urat karena penyakit tertentu
Terutama penyakit yang berhubungan dengan gangguan ginjal. Pasien
diharapkan minum cairan banyak (2 liter atau lebih) untuk membantu
pembuangan asam urat dan meminimalkan pengendapan dalam saluran
kemih.
e. Penggunaan obat-obatan yang meningkatkan kadar asam urat yaitu
diuretik (furosemid dan hidroklorotiazida).
f. Penggunaan antibiotika secara berlebihan yang menyebabkan
berkembangnya jamur, bakteri dan virus menjadi lebih ganas.
g. Penyakit tertentu pada darah (anemia krobis) yang menyebabkan
terjadinya gangguan metabolisme tubuh, misalnya gejala polisitomia
dan leukemia.
h. Berat badan berlebih (obesitas)
i. Faktor lainnya seperti stress, cedera sendi, hipertensi dan olahraga
berlebihan.

4. Patofisiologi
Hiperurisemia (konsentrasi asam urat dalam serum yang lebih besar
dari 7,0 mg/dl [SI : 0,4 μmol/L) dapat (tetapi tidak selalu) menyebabkan
penumpukan kristal monosodium urat. Serangan gout tampaknya berhubungan
dengan peningkatan atau penurunan mendadak kadar asam urat serum. Kalau
kristal urat mengendap dalam sebuah sendi, responden inflamasi akan terjadi
dan serangan gout dimulai. Dengan serangan yang berulang-ulang,
penumpukan kristal natrium urat yang dinamakan tofus akan mengendap
dibangian perifer tubuh sepert ibu jari kaki, tangan, dan telinga (Brunner &
Suddarth, 2002).

5. Manifestasi Klinis
Gejala asam urat menurut (IP. Suiraoka, 2012) yaitu sebagai berikut :
a. Kesemutan dan linu
b. Nyeri terutama malam hari atau pagi hari saat bangun tidur.
c. Sendi yang terkena asam urat terlihat bengkak, kemerahan, panas, dan
nyeri luar biasa pada malam dan pagi.
Arthritis pirai akut terjadinya secara mendadak. Timbulnya serangan bisa
dipicu oleh :
a. Luka ringan
b. Pembedahan
c. Pemakaian sejumlah besar alkohol atau makanan yang kaya protein
d. Kelelahan
e. Stress emosional dan penyakit
Kadar asam urat normal pada laki-laki dan perempuan berbeda
Pada laki-laki kadar asam urat normal berkisar 3,5-7 mg/dl,
sedangkan pada perempuan berkisar 2,6-6 mg/dl. Kadar asam urat
diatas normal disebut hiperurisemia.
Kadar asam urat yang terlalu tinggi akibat sistem pembuangan
lewat ginjal yang tidak berjalan dengan baik dapat mengganggu
fungsi ginjal. Gangguan ini dapat berdampak terbentuknya batu
ginjal, bahkan sampai pada gagal ginjal.
Kristal asam urat juga dapat merusak struktur bagian dalam
pembuluh darah koroner sehingga beresiko penyakit jantung koroner.
Selain itu gout juga memicu diabetes mellitus.

6. Pemeriksaan diagnostik
Menurut (kholid Rosyidi, 2013)
a. Kadar asam urat serum meningkat. Temuan ini sendiri bukan diagnostik
karena berbagai obat dapat menyebabkan hiperurisemia.
b. Laju sedimentasi eritrosit (LSE) meningkat yang menunjukan inflamasi.
c. SOP meningkat (Leukosit)
d. Kadar asam urat urine dapat normal atau meningkatkan, ditentukan oleh 24
jam penampungan urine.
e. Analisis cairan synovial dari sendi terinflamasi atau tofi menunjukkan
kristal urat monosodium yang membuat diagnosis.
f. Sinar-X sendi menunjukkan massa tofaseus dan destruksi tulang dan
perubahan sendi.

7. Penatalaksanaan
Secara umum penanganan arthritis gout adalah memberikan edukasi,
pengaturan diet istirahat sendi dan pengobatan. Pengobatan dilakukan secara
dini agar tidak terjadi kerusakan sendi ataupun komplikasi lain, misalnya pada
ginjal. Pengobatan arthritis gout akut bertujuan menghilangkan keluhan nyeri
sendi dan peradangan dengan obat-obat antara lain, koikisin, obat anti
inflamasi non steroid (OIANS), kortikosteroid, atau horrmon ACTH. Obat
penurun asam urat seperti l;alopurinol atau obat urikosurik tidak boleh
diberikan pada stadium akut. Namun pada pasien yang telah rutin mendapat
obat penurun asam urat, sebaiknya tetap diberikan. Pemberian kolkisin dosis
standar untuk arthritis gout akut secara oral 3-4 kali, 0,5-0,6 mg per hari
dengan dosis maksimal 6 mg. pemberian OAINS dapat pula diberikan. Dosis
tegantung dari jenis OAINS yang dipakai. Di samping efek anti inflamasi obat
ini juga mempunyai efek analgetik. Jenis OAINS yang banyak dipakai pada
arthritis gout akut adalah indometasin. Dosis obat ini adalah 150-200 mg/hari
selama 2-3 hari dan dilanjutkan 75-100 mg/hari sampai minggu berikutnya
atau sampai nyeri atau peradangan berkurang. Kortikosteroid dan ACTH
diberikan apabila kolkisin dan OAINS tidak efektif atau merupakan kontra
indikasi. Pemakaian kortikosteroid pada gout dapat diberikan oral atau
parenteral. Indikasi pemberian adalah pada arthritis gout akut yang mengenai
banyakl sendi (Poliartikular) (AW. Sudoyo, 2007).

8. Pencegahan
Penyakit gout ini merupakan salah satu penyakit yang sulit untuk
dicegah, tetapi beberapa faktor pencetusnya dapat dihindari (misalnya cedera,
alkohol, makanan kaya protein). Usaha pencegahan yang terbaik adalah
dengan makan tidak berlebihan. Jika sudah terlanjur menderita gangguan
asam urat maka sebaiknya membatasi diri terhadap hal-hal yang dapat
memperburuk keadaan, misalnya dengan membatasi makanan tinggi purin dan
memilih makanan yang rendah purin. (IP. Suiraoka, 2012).

C. Konsep kompres jahe merah


1. Definisi
Kompres adalah metode pemeliharaan suhu tubuh dengan menggunakan
cairan atau alat yang dapat menimbulkan hangat atau dingin pada bagian
tubuh yang memerlukan (Ely, 2011). Kompres jahe merah adalah metode
pemeliharaan suhu tubuh dengan menggunakan jahe merah sehingga dapat
menimbulkan hangat pada bagian tubuh yang memerlukan.

2. Jenis jahe
Terdapat tiga jenis jahe yang popular (Azwar Agoes, 2011), yaitu
a. Jahe gajah
Bentuknya besar, gemuk, dan tidak terlalu pedas. Daging rimpang
berwarna kuning hingga putih.
b. Jahe kuning
Banyak dipakai sebagai bumbu masakan, rasa dan aromanya cukup tajam.
Ukuran rimpang sedang dengan warna kuning.
c. Jahe merah
Memiliki kandungan atsiri tinggi dan memiliki rasa paling pedas, dipakai
untuk bahan dasar farmasi dan jamu. Ukurannya paling kecil dengan warna
merah dengan serat lebih besar disbanding jahe biasa.

3. Ciri-ciri fisik jahe merah


Menurut Herlina et al (2002) dalam Wina Eka Wahyu Lestari (2006)
menyatakan bahwa jahe merah merupakan salah satu jenis jahe yang ada di
Indonesia. Jahe merah ini mempunyai ciri fisik yaitu batang jahe berbentuk
bulat, berwarna hijau kemerahan dan agak keras karena diselubungi oleh
pelepah daun. Tinggi tanaman mencapai 34,18-62,28 sentimeter. Daun
tersusun berselang-seling secara teratur dan memiliki warna yang lebih hijau
(gelap) dibandingkan dengan kedua jenis jahe lainnya. Permukaan daun
bagian atas berwarna hijau muda dibandingkan dengan bagian bawahnya.
Luas daun 2,79-31,18 sentimeter dan lebar36,93-52,87 sentimeter. Rimpang
jahe berwarna merah hingga jingga muda. Ukuran rimpang pada jahe merah
lebih kecil dibandingkan dengan dua jenis jahe lainnya, yaitu panjang
rimpang 12,33-12,60 sentimeter, tinggi 5,86-7,03 sentimete, dan berat rata-
rata 0,29-11,7 kilogram. Akar berserat agak kasar dengan panjang 17,03-
24,06 sentimeter dan diameter akar 5,36-5,46 melimeter.
Menurut Koeswara (1995) dalam Wina Eka Wahyu Lestari (2006)
menyatakan bahwa jahe merah merupakan salah satu varietas dari tanaman
jahe. Berdasarkan taksonomi tanaman, jahe termasuk divisi pteridophyta,
subdivisi Angiospermae, klas Monocotyledone, ordo scitaminae, family
Zingiberaceae dan genus Zingiber.
Guzman dan Siemonsma (1999) dalam Wina Eka Lestari, menyatakan
bahwa jahe merah sama seperti varietas jahe yang lain yaitu merupkan
tanaman berbatang semu yang tumbuh tegak tidak bercabang dengan tinggi
tanaman dapat mencapai 1,25 meter. Pusat studi Biofarmaka (2004),
menambahkan bahwa tanaman ini tersusun atas pelepah daun berbentuk bulat
berwarna hijau pucat dengan warna pangkal batang kemerahan dab bentuk
daun memanjang.
Setiap jenis jahe memiliki perbedaan penggunaan yang disesuaikan
dengan karakteristik masing-masing varietas. Jahe besar lebih banyak
digunakan untuk masakan, minuman, permen dan asinan. Jahe kecil banyak
digunakan sebagai penyedap rasa pada makanan dan minuman. Jahe merah
mempunyai keunggulan dari segi kandungan senyawa kimia lebih banyak
digunakan sebagai bahan baku obat (Herlina et al, 2002).

4. Kandungan Jahe
pedas pada jahe disebabkan senyawa keton bernama zingeron yang
dapat memberikan rasa hangat yang dapat bertahan lama. Jahe termasuk suku
zingiberaceae (temu-temuan ). Nama ilmiah jahe diberikan oleh William
roxburgh dari kata Yunani zingiberi, dari Bahasa Sanskerta, singaberi.
(Wikipedia, 2013). Minyak atsiri merupakan senyawa volatile atau mudah
menguap. Minyak ini juga menyebabkan rasa jahe yang khas. Minyak atsiri
dalam jahe merupakan gabungan dari senyawa terpenoid yang terdiri dari
senyawa-senyawa seskuiterpena, zingiberena, bisabolena, sineol, sitral,
zingiberal Minyak atsiri yang terkandung dalam jahe antara 1 samai 3%.
Dibawah ini adalah beberapa khasiat yang memiliki jahe sebagai tanaman
obat :
a. Sebagai obat batuk
b. Menurunkan panas dan analgetik
c. Dapat meredakan radang sendi
d. Mengendurkan otot yang tegang
e. Mengatasi kram pada perut saat haid
f. Membantu merangsang keluarnya gas dari perut. Dengan n
darahkemampuannya ini, jahe sering digunakan sebagai obat masuk
angin.
g. Enzim lipase dan protease dapat membantu pencernaan tubuh dalam
mencerna tubuh dalam mencerna protein dan lemak.
h. Menjaga kesehatan lambung dengan menurunkan keasam lambung.
i. Mengobati nyeri pada lambung
j. Dapat merangsang pelepasan hormone adrenalin yang dapat membantu
memperlebar pembuluh darah sehingga aliran darah lebih lancer dan
tekanan darah menurun.

5. Tujuan kompres jahe merah


Menurut (Prayogo, 2005)
a. Membebaskan nyeri, spasme otot, peradangan atau kongesti
b. Memberikan rasa hangat
c. Melancarkan peredaran darah
6. Efek biologis
Menurut Arifin (2007) dalam Aan Tri Ervina (2010) menyatakan
bahwa tanaman jahe merah (Zingiber officinale Rosc) digunakan untuk
mencegah gangguan nausea dan muntah. Selain itu, dapat digunakan untuk
menghambat peradangan usus. Menurut Puspaningtyas & Utami (2013) dalam
Syarifatul Izza, jahe sering sekali digunakan sebagai obat nyeri sendi karena
kandungan gingerol dan rasa hangat yang ditimbulkannya membuat pembuluh
darah terbuka dan memperlancar sirkulasi darah. Alhasil, suplai makanan dan
oksigen menjadi lebih baik sehingga nyeri sendi akan berkurang. Ekstrak jahe
diserap oleh jaringan epitel dan menghambat Cyclooxygenase (COX-2).
(Mingetti et al, 2007), selain itu jahe juga memiliki efek farmakologis yaitu
rasa panas dan pedas dimana rasa panas ini dapat meredakan rasa nyeri, kaku
dan spasme otot serta terjadinya vasodilatasi pembuluh darah.

7. Cara pemberian
Digunakan sebanyak 20 gram, lalu dikupas lalu ditumbuk sampai halus
setelah itu direbus hingga mendidih, lalu balut jahe dengan handuk, setelah itu
lakukan kompres hangat jahe merah disetiap sendi yang sakit pada lansia,
kemudian diamkan selama 15 menit (Enny, 2015).
Pemberian ekstrak jahe selama 4 minggu lebih efektif dibandingkan dengan
placebo dan sama efektifnya ibuprofen dalam meredakan nyeri (Bachtiar,
2010).

D. Konsep kompres hangat


1. Definisi
Menurut ely (2011) dalam jurnal UMS, kompres hangat adalah
tindakan memberikan rasa hangat pada klien dengan menggunakan cairan atau
alat yang menimbulkan rasa hangat pada bagian tubuh tertentu yang memerlukan.
Terapi kompres hangat merupakan tindakan dengan memberikan kompres hangat
yang bertujuan memenuhi kebutuhan rasa nyaman, mengurangi atau
membebaskan nyeri, mengurangi atau mencegah terjadinya spasme otot, dan
memberikan rasa hangat (Uliyah, 2006).
Menurut Simkin & Ancheta (2005) dalam jurnal UMS, kompres
hangat meningkatkan suhu kulit lokal, sirkulasi dan metabolisme jaringan,
kompres hangat lokal atau selimut hangat akan menenangkan wanita terhadap
jenis massase yang dihentakkan yang tidak dapat ditoleransi wanita saat
kulitnya sensitive atau sakit berkaitan dengan respons melawan atau
menghindar.
Menurut Rohani (2011) dalam jurnal UMS, cara pemberian kompres
hangat adalah sebagai berikut :
a. Bungkus sumber panas dengan satu atau dua lapis handuk untuk
memastikan sumber tersebut tidak terlalu panas.
b. Letakkan handuk atau waslap basah hangat di bagian yang mengalami
nyeri.
c. Tunggu selama 10-20 menit
d. Jika belum sampai waktu yang ditentukan sudah tidak terasa hangat, maka
masukkan kain di air hangat lagi.

2. Mekanisme kerja
Kompres air hangat mempengaruhi tubuh panas (diatermi)
memperlebar pembuluh darah (vasodilatasi), memberi tambahan nutrisi dan
oksigen untuk sel dan membuang sampah-sampah tubuh, meningkatkan suplai
darah ke area-area tubuh, mempercepat penyembuhan, dapat menyejukkan.
Pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke
hypothalamus melalui sumsum tulang belakang. Ketika reseptor yang peka
terhadap panas di hipotalamus dirangsang, system effektor mengeluarkan
sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi perifer (Barbara, 2003).
3. Efek biologis
Koizier & Erb dalam syarifatul izza, pemberian kompres air hangat
adalah intervensi keperawatan yang sudah lama di aplikasikan oleh perawat,
kompres air hangat dianjurkan untuk menurunkan nyeri karena dapat
meredakan nyeri, meningkatkan relaksasi otot, meningkatkan sirkulasi,
meningkatkan relaksasi psikologis, dan memberi rasa nyaman, bekerja
sebagai counteriritan.

E. Konsep nyeri
1. Definisi
Menurut The international Association for the study of pain (IASP),
nyeri didefinisikan sebagai pengalaman sensoris dan emosional yang tidak
menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan. Persepsi yang
disebabkan oleh rangsangan yang potensial dapat menimbulkan kerusakan
jaringan disebut nosisepsion. Nosisepsion merupakan langkah awal proses
nyeri dengan rangsang lain disebut nosiseptor. Nyeri dapat mengakibatkan
impairment dan disabilitas. Impairment adalah abnormalitas atau hilangnya
struktur atau fungsi anatomik, fisiologik. Sedangkan disabilitas adalah hasil
dari impairment, yaitu keterbatasan atau gangguan kemampuan untuk
melakukan aktivitas yang normal (AW. Sudoyo dkk, 2006)
Persepsi yang diakibatkan oleh rangsangan yang potensial dapat
menyebabkan kerusakan jaringan disebut nosisepsi, yang merupakan tahap
awal proses timbulnya nyeri. Reseptor yang dapat membedakan rangsang
noksius dan noksius disebut nosiseptor. Pada manusia, nosiseptor merupakan
terminal yang tidak tediferensiasi serabut a-delta dan serabut c. serabut a-delta
merupakan serabut saraf yang dilapisi oleh mielin yang tipis dan berperan
menerima rangsang mekanik dengan intensitas menyakitkan, dan disebut juga
high-threshold mechanoreceptors. Sedangkan serabut c merupakan serabut
yang tidak dilapisi mielin (AW. Sudoyo dkk, 2006).

2. Jenis-jenis nyeri
a. Nyeri akut (sementara)
Nyeri akut bersifat melindungi, memiliki penyebab yang dapat
diidentifikasi, berdurasi pendek, dan memliki sedikit kerusakan jaringan
serta respons emosional. Pada akhirnya, nyeri akut akan ditangani dengan
atau tanpa pengobatan setelah jaringan yang rusak sembuh itu disebabkan
karena nyeri akut dapat diprediksi waktu penyembuhannya dan
penyebabnya dapat diidentifikasi. Hal ini akan membuat para anggota tim
medis merasa termotivasi untuk segera menangani nyeri tersebur. Penting
untuk menyadari bahwa nyeri akut yang tidak terobati dapat berkembang
menjadi nyeri (Potter & perry, 2006).
b. Nyeri kronis (menetap)
Nyeri kronis berlangsung lebih lama dari yang diharapkan, tidak selalu
memiliki penyebab yang dapat diidentifikasi, dan dapat memicu penderita
yang teramat sangat bagi seseorang. Nyeri kronik bisa merupakan hal yang
bersifat kanker atau bukan. Contoh dari nyeri yang bukan bersifat kanker
termasuk arthritis, nyeri punggung, nyeri miofasial, sakit kepala dan
neuropatik perifer. Nyeri kronis yang bersifat bukan kanker biasanya tidak
mengancam hidup. Terkadang area yang mengalami cedera telah sembuh
bertahun-tahun yang lalu, tetapi nnyeri yang dirasakan masih terus
berlanjut dan tidak menunjukkan adanya respons terhadap pengobatan
(Potter & perry, 2006).

3. Klasifiksi Nyeri
Menurut (AW. Sudoyo dkk, 2006) yaitu :
a. Nyeri nosiseptifi
1) Nyeri somatik adalah nyeri yang timbul pada organ non viseral, misal
nyeri pasca bedah, nyeri metastatic, nyeri tulang, nyeri artritik.
2) Nyeri viseral adalah nyeri yang berasal dari organ viseral, biasanya
akibat distensi organ yang berongga, misalnya usus, kandung empedu,
pankreas, jantung. Nyeri viseral sering kali diikuti referred pain dan
sensasi otonom, seperti mual dan muntah.

b. Nyeri non-nosiseptif
1) Nyeri neuropatik adalah timbul akibat iritasi atau trauma pada saraf.
Nyeri seringkali persisten, walaupun penyebabnya sudah tidak ada.
Biasanya pasien merasakan rasa seperti terbakar, seperti tersengat listrik
atau alodinia dan disestesia.
2) Nyeri psikogenik adalah nyeri yang tidak memenuhi kriteria nyeri
somatik dan nyeri neuropatik, dan memenuhi kriteria untuk depresi atau
kelainan psikosomatik.

4. Faktor yang mempengaruhi nyeri


a. Usia
Usia mempengaruhi seseorang bereaksi terhadap nyeri. Sebagai
contoh anak-anak kecil yang belum dapat mengucapkan kata-kata
mengalami kesulitan dalam mengungkapkan secara verbal dan
mengekspresikan rasa nyarinya, sementara lansia mungkin tidak akan
melaporkan nyerinya dengan alasan nyeri merupakan sesuatu yang harus
mereka terima (Potter & Perry, 2006).
b. Kebudayaan
Nilai-nilai dan kepercayaan terhadap budaya mempengaruhi
bagaimana seseorang individu mengatasi rasa sakitnya. Individu belajar
tentang apa yang diharapkan oleh dan diterima oleh budayanya, termasuk
bagaimana reaksi terhadap nyeri. Budaya mempengaruhi ekspresi nyeri.
Beberapa budaya bahwa menunjukkan rasa sakit adalah suatu hal yang
wajar (Potter & Perry, 2006).
c. Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat
mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat dihubungkan
dengan nyeri yang meningkat. Sedangkan upaya pengalihan (distraksi)
dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Konsep ini merupakan
salah satu konsep yang perawat terapkan di berbagai terapi untuk
menghilangkan nyeri, seperti relaksasi, teknik imajinasi terbimbing
(guided imaginary) dan mesase, dengan memfokuskan perhatian dan
konsentrasi klien pada stimulus yang lain, kesadaran mereka akan adanya
nyeri menjadi menurun (Potter & Perry, 2006).
d. Ansietas
Kecemasan tingkat dan kualitas nyeri yang diterima klien
berhubungan dengan arti dari nyeri tersebut. Hubungan antara nyeri
dengan kecemasan bersifat kompleks. Kecemasan terkadang
meningkatkan persepsi terhadap nyeri, tetapi nyeri juga menyebabkan
perasaan cemas. Sulit untuk memisahkan dua perasaan tersebut (Potter &
Perry, 2006).
e. Kelemahan
Kelemahan atau keletihan meningkatkan persepsi nyeri dan
menurunkan kemampuan untuk mengatasi masalah. Apabila kelemahan
terjadi disepanjang waktu istirahat, persepsi terhadap nyeri akan lebih
besar. Nyeri terkadang jarang dialami setelah tidur/istirahat cukup dari
pada diakhir hari yang panjang (Potter & Perry, 2006).
f. Pengalaman sebelumnya
Setiap orang belajar dari pengalaman nyeri sebelumnya. Adanya
pengalaman sebelumnya bukan berarti seseorang tersebut akan lebih
mudah menerima rasa nyeri dimasa yang akan mendatang. Frekuensi
terjadinya nyeri dimasa lampau yang cukup sering tanpa adanya
penanganan atau penderitaan akan adanya nyeri yang lebih berat dapat
menyebabkan kecemasan atau bahkan ketakutan yang timbul akan
berulang (Potter & Perry, 2006).
g. Teknik Koping
Teknik koping mempengaruhi kemampuan untuk mengatasi nyeri.
Seseorang yang memiliki kontrol terhadap situasi internal merasa bahwa
mereka dapat mengontrol kejadian-kejadian dan akibat yang terjadi dalam
hidup mereka seperti nyeri (Potter & Perry, 2006).
h. Keluarga dan Dukungan Sosial
Orang dengan nyeri terkadang bergantung kepada anggota keluarga
yang lain atau teman dekat untuk dukungan, bantuan, atau perlindungan.
Meski nyeri masih terasa, tetapi kehadiran keluarga ataupun teman
terkadang dapat membuat pengalaman nyeri yang menyebabkan stress
sedikit berkurang. Kehadiran orang tua sangat penting bagi anak-anak
yang mengalami nyeri (Potter & Perry, 2006).
i. Makna nyeri
Individu akan berbeda-beda dalam mempersepsikan nyeri apabilanyeri
tersebut memberi kesan ancaman, suatu kehilangan hukuman
dantantangan. Misalnya seorang wanita yang bersalin akan
mempersepsikannyeri yang berbeda dengan wanita yang mengalami nyeri
cidera kepalaakibat dipukul pasangannya. Derajat dan kualitas nyeri yang
dipersepsikanklien berhubungan dengan makna nyeri (Potter & Perry,
2006).

5. Instrument untuk mengukur nyeri


Pengukuran nyeri dapat merupakan pengukuran satu dimensional aja
(one-dimensional) atau pengukuran satu berdeimensi ganda (multi-
dimensional). Pada pengukuran satu dimensional umumnya hanya mengkur
pada satu aspek nyeri saja., misalnya seberapa berat rasa nyeri menggunakan
pain rating scale yang dapat berupa pengukuran kategorikal atau numerical
(misalnya visual analogue scale (VAS). Sedangkan pengukuran multi-
dimensional dimakudkan tidak hanya terbatas pada aspek sensorik belaka,
namun juga termasuk pengukuran dari segi afektif atau bahkan prosesd
evaluasi nyeri dimungkinkan oleh metoda ini (AW. Sudoyo dkk, 2006).

a. Verbal Descriptor Scale (VDS)


Skala pendeskripsi verbal merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga
sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di
sepanjang garis. Pendeskripsi ini diurutkan dari “tidak terasa nyeri”
sampai “nyeri yang tidak tertahan”. Perawat menunjukkan klien tentang
skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri terbaru
yang dirasakannya. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa
paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa tidak menyakitkan.
Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk
mendeskripsikan rasa nyeri (Potter & Perry, 2005).
b. Visual Analog Scale (VAS)
VAS merupakan suatu garis lurus yang mewakili intensitas nyeri yang
terus menerus. Skala ini memberikan kebebasan penuh pada klien untuk
mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS merupakan pengukur keparahan
nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik
pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata (Potter & Perry,
2005).

Penjelasan tentang intensitas digambarkan sebagai berikut :


Gambar Visual Analog Scale (Potter & Perry, 2006)
Intensitas nyeri pada skala 0 tidak terjadi nyeri, intensitas nyeri pada
skala 1 sampai 3, rasa nyeri seperti gatal atau tersetrum atau nyut-
nyutan atau melilit atau terpukul atau perih atau mules. Intensitas nyeri
pada skala 4 sampai 6, seperti kram atau kaku atau tertekan atau sulit
bergerak atau terbakar atau ditusuk-tusuk. Sangat nyeri pada skala 7
sampai 9 tetapi masih dapat dikontrol oleh klien. Intensitas nyeri
sangat berat pada skala 10 nyeri tidak terkontrol (Potter & Perry,
2005).
c. Skala Nyeri Oucher
Skala nyeri oucher merupakan salah satu alat untuk mengukur intensitas
nyeri pada anak, yang terdiri dari dua skala yang terpisah, yaitu sebuah
skala dengan nilai 0-100 pada sisi sebelah kiri untuk anak-anak yang
lebih besar dan skala fotografik dengan enam gambar pada sisi kanan
untuk anak-anak yang lebih kecil. Foto wajah seorang anak dengan
peningkatan rasa tidak nyaman dirancang sebagai petunjuk untuk
memberi anak-anak pengertian sehingga dapat memahami makna dan
tingkat keparahan nyeri (Potter & Perry, 2005).
d. Wong-Baker
FACES Pain Rating Scale Skala ini terdiri dari enam wajah dengan profil
kartun yang menggambarkan wajah dari wajah yang sedang tersenyum
hal ini menunjukkan tidak adanya nyeri kemudian secara bertahap
meningkat menjadi wajah kurang bahagia, wajah yang sangat sedih,
sampai wajah yang sangat ketakutan hal ini menunjukkan adanya nyeri
yang sangat (Potter & Perry, 2005).

Gambar Wong – Baker (Potter & Perry, 2006)


Keterangan dari gambar diatas adalah angka 0 menunjukkan sangat
bahagia sebab tidak ada rasa sakit, angka 1 menunjukkan sedikit
menyakitkan, angka 2 menunjukkan lebih menyakitkan, angka 3
menunjukkan lebih menyakitkan lagi, angka 4 menunjukkan jauh lebih
menyakitkan daan angka 5 menunjukkan benar-benar menyakitkan
(Wong, 2004).
e. Numerical Rating Scale (NRS)
NRS digunakan untuk menilai intensitas atau keparahan nyeri dan
memberi kebebasan penuh klien untuk mengidentifikasi keparahan nyeri.
NRS merupakan skala nyeri yang popular dan lebih banyak digunakan di
klinik, khususnya pada kondisi akut, mengukur intensitas nyeri sebelum
dan sesudah intervensi teraupetik, mudah digunakan dan
didokumentasikan (Datak, 2008).

Gambar Numerical Rating Scale (Potter & Perry, 2006)

Intensitas nyeri pada skala 0 tidak terjadi nyeri, intensitas nyeri


Intensitas nyeri pada skala 0 tidak terjadi nyeri, intensitas nyeri ringan
pada skala 1 sampai 3, intensitas nyeri sedang pada skala 4 sampai 6,
intensitas nyeri berat pada skala 7 sampai 10. Cara penggunaan skala
ini adalah : berilah tanda salah satu angka sesuai dengan intensitas
nyeri yang dirasakan pasien. NRS merupakan skala pengukuran nyeri
yang mudah dipahami oleh pasien, dalam penelitian ini skala nyeri
NRS diberi warna yang berbeda-beda. Oleh karena itu, skala NRS ini
yang akan digunakan sebagai instrumen penelitian (Potter & Perry,
2006).
Intensitas skala nyeri dikategorikan sebagai berikut :
1. 0 = tidak nyeri (hijau), tidak ada keluhan nyeri
2. 1-3 = nyeri ringan (kuning), ada rasa nyeri, mulai terasa dan masih
dapat ditahan
3. 4-6 = nyeri sedang (orange), ada rasa nyeri, terasa mengganggu
dengan usaha yang cukup untuk menahannya
4. 7-10 = nyeri berat (merah), ada nyeri, terasa sangat mengganggu /
tidak tertahankan sehingga harus meringis, menjerit bahkan
berteriak.
Nyeri dibedakan atas nyeri ringan, sedang, dan berat. Nyeri ringan
adalah nyeri yang timbul dengan intensitas yang ringan. Pada nyeri
ringan biasanya pasien secara objektif dapat berkomunikasi dengan
baik (Dharmayana, 2009). Nyeri sedang adalah nyeri yang timbul
dengan intensitas yang sedang. Pada nyeri sedang secara objektif pasien
mendesis menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat
mendeskripsikannya, dan dapat mengikuti perintah dengan baik
(Dharmayana, 2009).

6. Patofisiologi
Kompres jahe merah dapat mempengaruhi nyeri sendi, karena jahe
merah dapat meningkatkan kemampuan kontrol terhadap nyeri, jahe memiliki
rasa pedas dan bersifat hangat. Beberapa bahan dalam jahe diantaranya
gingerol, limonene, a-linolenic acid, aspartic, b-sitossterol, tepung kanji,
caprilyc acid, capsaicin, chlorogenic acid, dan parsenol. Efek farmakologis
yang dimiliki jahe, merangsang ereksi penghambat keluarnya enzim 5-
lifooksigenase dan siklooksigenase serta meningkatkan aktivitas kelenjar
endokrin. Jahe sering kali digunakan sebagai obat nyeri sendi yang
ditimbulkannya membuat pembuluh darah terbuka dan memperlancar
sirkulasi darah, dan suplai makanan dan oksigen menjadi lebih baik sehingga
nyeri sendi akan berkurang.

F. Kerangka teori
Bagan kerangka teori
Jenis nyeri : Faktor yang
1. Nyeri akut mempengaruhi nyeri :
Nyeri akut bersifat 1. Usia
melindungi, memiliki 2. Kebudayaan
penyebab yang dapat 3. Perhatian
Nyeri
diidentifikasi, berdurasi 4. Ansietas
pendek dan memiliki sedikit 5. Kelemahan
kerusakan jaringan serta 6. Pengalaman
respons emosional. sebelumnya
2. Nyeri kronis 7. Teknik koping
A
Nyeri kronik berlangsung 8. Keluarga dan
lebih lama dari yang dukungan sosial
diharapkan, tidak selalu 9. Makna nyeri
memiliki penyebab yang
diidentifikasi, dan dapat
memicu penderitaan yang
teramat sangat bagi
seseorang.

Penatalaksanaan nyeri dengan non farmakologis : kompres hangat dan kompres jahe
merah.

- Kompres jahe merah :


memiliki efek farmakologis
yaitu rasa panas dan pedas
dimana rasa panas ini dapat
meredakan nyeri, kaku dan
spasme otot serta terjadinya
vasodilatasi pembuluh darah.
s

Mekanisme kompres jahe merah


dan kompres hangat dapat
mempengaruhi tubuh panas
(diatermi) memperlebar
pembuluh darah (vasodilatasi),
memberi tambahan nutrisi dan
Manfaat :
oksigen untuk sel dan
mempersingk
membuang sampah-sampah
at episode
tubuh, meningkatkan suplai
nyeri yang
darah ke area-area tubuh,
berlansung
mempercepat penyembuhan,
beberapa
dapat menyejukkan.
menit atau
detik.

BAB III

KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI OPERASIONAL

A. Kerangka Konsep
Kerangka konsep adalah kerangka hubungan antara konsep yang ingin
diamati atau diukur melalui penelitian yang akan dilakukan (Prabowo, 2008).
Kerangka konsep penelitian adalah suatu hubungan atau kaitan antara konsep
satu terhadap konsep yang lainnya dari masalah yang ingin diteliti. Kerangka
konsep ini digunakan untuk menghubungkan atau menjelaskan secara luas
tentang suatu topik yang akan dibahas (Setiadi, 2007).
1. Variabel Independen adalah Kompres jahe merah dan kompres hangat
2. Variabel Dependen adalah penurunan nyeri

Bagan Kerangka Penelitian

Variabel Independen Variabel Devenden


Kompres hangat Penurunan nyeri
dan kompres jahe
merah
Variabel perancu
1. Jenis kelamin
2. Konsumsi purin
dan alkohol

keterangan :
: Variabel independen kompres jahe merah dan kompres hangat
: Variabel devenden penuranan nyeri asam urat
: Variabel confounding/tidak diteliti

B. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Ho: Tidak ada perbedaan kompres hangat dan kompres jahe merah terhadap
skala nyeri gout arthritis pada lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Kota
Bengkulu.
Ha : Ada perbedaan kompres hangat dan kompres jahe merah terhadap skala
nyeri gout arthritis pada lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Kota
Bengkulu.

C. Definisi operasional

Tabel definisi operasional


Variabel Definisi Cara ukur Alat Hasil ukur Skala
ukur
Independen Metode Observasi SOP - Ordinal
kompres jahe pemeliharaan dan
merah suhu tubuh perlakuan
dengan
menggunakan
jahe merah
yang
diletakkan di
sendi-sendi
yang nyeri
Selama 15
menit.
Independen Kompres Observasi SOP Ordinal
kompres hangat adalah dan
hangat tindakan perlakuan
memberikan
rasa hangat
pada klien
dengan
menggunakan
cairan atau alat
yang
menimbulkan
rasa hangat
pada bagian
tubuh tertentu
yang
memerlukan.
Selama 15
menit
Dependen Perbedaan Observasi VAS Skala dengan Interval
Skala nyeri skala nyeri dan kriteria :
pada kelompok perlakukan 1. Skala 0, tidak
tindakan nyeri
sebelum dan 2. Skala 1-3,
sesudah nyeri ringan
dilakukan 3. Skala 4-6,
kompres jahe nyeri sedang
merah dan 4. Skala 7-9,
kompres nyeri berat
hangat. 5. Skala 10,
nyeri tidak
terkontrol
BAB IV
METODE PENELITIAN

A. Jenis penelitian dan rancangan penelitian


Jenis penelitian yang digunakan yaitu Quasi Experimental Design. Menurut
Sugiyono ( 2009) penelitian eksperimen merupakan penelitian yang digunakan
untuk mencari pengaruh perlakuan tertentu terhadap yang lain dalam kondisi
yang terkendali. Desain penelitian yang digunakan yaitu dengan rancangan
pretest and posttest with control group design. Menurut Sugiyono (2009) desain
penelitian pretest and posttest with control group design adalah sebagai berikut.

Bagan Rancangan Penelitian


Subjek Pretest Perlakuan Posttest
R1 O1 X1 O1a

R2 O2 X2 O2a

Keterangan:
R1 dan R2 : Responden
O1 dan O2 : Pengukuran awal skala nyeri asam urat
O1a dan O2b : Pengukuran akhir skala nyeri asam urat
X1 : Kompres jahe merah pada kelompok intervensi
X2 : Kompres hangat pada kelompok control

B. Lokasi dan waktu penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Sukamerindu
Kecamatan Sungai Serut Kota Bengkulu

C. Populasi dan sampel


1. Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh lansia gout arthritis di wilayah
kerja Puskesmas Sukamerindu dengan jumlah lansia Gout Arthritis tahun
2018 sebanyak 176 orang lansia.
2. Sampel
Menurut Sugiyono (2009) sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik
yang dimiliki oleh populasi tersebut. Pengambilan sampel dilakukan bila
populasi besar, dan peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada
populasi, misalnya karena keterbatasan dana, tenaga dan waktu dari peneliti.
Sampel dalam penelitian ini dengan menggunakan teknik Non probability
sampling yaitu purposive sampling, dimana penetapan sampel dengan cara
memilih sampel diantara populasi sesuai dengan yang dikendaki peneliti
(tujuan atau masalah dalam penelitian) sehingga sampel tersebut dapat
mewakili karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya (Nursalam,
2016).

Rumus besar sampel


2𝜎 2 (𝑍𝛼+𝑍1−𝛽)2
n= (𝜇1−𝜇2)2

Keterangan :
n = Besar sampel
Zα = Standar normal deviasi untuk α (standar deviasi α = 0,05 = 1,96)

Zβ = Standar normal deviasi untuk β (standar deviasi β = 0,842)

µ1 = Nilai mean kelompok kontrol yang didapat dari literature

µ2 = Nilai mean kelompok intervensi yang didapat dari literature

σ2 =
Estimasi standar deviasi dari beda mean pretest dan post test
berdasarkan literatur (Dharma,2012)

Berdasarkan penelitian (2017) dengan judul “Perbedaan efektifitas


kompres jahe merah dan kompres hangat terhadap penurunan skala nyeri
sendi pada lanjut usia” didapatkan: dengan jumlah total sampel 32 orang
(n1=16 dan n2=16), nilai mean kelompok intervensi dan control (µ1=0.60
dan µ2=1,98), nilai SD kelompok intervensi dan control (S12= 1,265 dan S22
= 1,075). Sehingga (n):
(𝑛1−1)𝑥𝑆12 + (𝑛2−1)𝑥𝑆22
σ= (𝑛1−1) + (𝑛2−1)

2𝜎 2 (𝑍1𝛼+𝑍1−𝛽)2
n= (𝜇1−𝜇2)2

Maka:
(10−1)𝑥1,2652 +(10−1)𝑥1,075 9𝑥1,600+9𝑥1,155 14,4+10,395
σ= (10−1)+(10−1)
= =
18 18
24,795
= 1,3775
18

2 ×(1,3775)𝑥(1,96+0,84)2 (3,795)𝑥(7,84) 29,7528


n= (1,98−0,60)2
= = 15,65 = 16
190 190

Dari hasil perhitungan diatas, maka sampel pada penelitian ini


berjumlah 16 orang, yaitu ada 16 orang untuk kelompok Intervensi dan ada
16 orang untuk kelompok Kontrol.

Adapun sampel yang diambil harus memenuhi kriteria sabagai berikut :


a. Kriteria inklusi (kriteria yang layak diteliti) adalah karakteristik umum
subjek penelitian dari suatu populasi target dan terjangkau yang akan
diteliti. Pertimbangan ilmiah harus menjadi pedoman dalam menentukan
kriteria inklusi.
1. Usia > 65 tahun
2. Pasien laki-laki dan perempuan yang terdiagnosis gout arthritis
Pasien gout arthritis yang pernah berobat di Puskesmas Kota
Bengkulu
3. Pasien sadar, baik, dan kooperatif
4. Dapat membaca dan menulis
5. Bersedia menjadi responden
b. Kriteria eksklusi (kriteria yang tidak layak diteliti) adalah
menghilangkan/mengeluarkan subjek yang memenuhi kriteria inklusi
dan studi karena berbagai sebab antara lain :
1. Mengalami gangguan pendengaran
2. Mengalami kelumpuhan
3. Tidak bisa berkomunikasi dengan baik.
4. Alergi jahe
5. Luka pada area persendian
6. Menggunakan obat-obatan analgetik jika skala nyeri 7-10 (nyeri
berat).

D. Pengumpulan data dan analisa data


Adapun bahan dan alat yang digunakan oleh peneliti :
a. Kompres jahe merah
1. Kain/handuk sebagai pengompres
2. Thermometer air panas
3. Jahe merah
4. Pisau
5. Panci
b. Kompres hangat
1. Botol berisi air panas /hangat
2. Kain/handuk sebagai pengompres
3. Thermos
4. Thermometer air panas

E. Instrumen penelitian
Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepala subjek dan
proses pengumpulan karakteristik subjek yang diperlukan dalam suatu
penelitian (Nursalam, 2011). Alat pengumpul data dalam penelitian ini
menggunakan VAS untuk skala nyeri gout arthritis.

F. Pengolahan data
Data yang sudah diperoleh dari proses pengumpulan data kemudian
akan diubah ke dalam bentuk tabel-tabel, sehingga data dapat diolah
menggunakan program komputer dengan α ≤ 0,05. Kemudian proses
pengolahan data menggunakan program komputer ini terdiri beberapa
langkah:
1. Editing
Mengecek dan memeriksa kembali data yang sudah terkumpul untuk
memastikan kelengkapan, kesesuaian serta kejelasan data.
2. Coding
Memberikan kode numerik (angka) terhadap data yang terdiri dari
beberapa katagori sehingga dapat memudahkan melihat arti suatu kode
dari suatu variabel.

3. Entry Data
Tahap memasukkan data kedalam komputer harus sesuai dengan variabel
yang sudah ada. Selanjutnya data yang diperoleh akan dianalisis
berdasarkan jenis dan kegunaan data.
4. Proccessing
Data yang telah selesai dikelompokan kemudian di uji statistic dengan
menggunakan perangkat komputerisasi.
5. Cleaning
Mengecek kembali data yang sudah di entry ke perangkat komputerisasi
untuk melihat adakah data yang hilang (missing) dengan melakukan list,
dan data yang sudah di entry benar atau salah dengan melihat variasi data
atau kode yang digunakan.
6. Tabulating
Membuat tabel-tabel data, sesuai dengan tujuan penelitian atau yang
diinginkan oleh peneliti.
Kompres jahe merah Kompres hangat
NO Sebelum sesudah selisih sebelum Sesudah Selisih
1
2
22

7. Scoring
Scoring adalah mengisi kolo-kolom atau kotak-kotak lembar kode atau
kartu kode sesuai dengan jawaban masing-masing pertanyaan.
1. Skala 0, tidak nyeri
2. Skala 1-3, nyeri ringsan
3. Skala 4-6, nyeri sedang
4. Skala 7-9, nyeri berat
5. Skala 10, nyeri tidak terkontrol

G. Analisa data
a. Analisa univariat
Bentuk analisa univariat untuk data numerik berdistribusi normal
ukuran pemusatannya yaitu mean dan standar deviasi (SD) sebagai ukuran
penyebaran. Adapun variabel yang dianalisis adalah keefektifan skala
nyeri sendi pada kelompok perlakuan kompres hangat dan kelompok
perlakuan kompres jahe merah.
b. Analisa bivariat
Uji Man Whitney test dilakukan untuk menguji hipotesis komparatif
rata-rata dua sampel bila datanya berbentuk ordinal dan sampelnya atau
kelompok data yang diteliti berkorelasi atau berkaitan satu sama lain,
dalam hal ini adalah mengamati perubahan skala nyeri sendi sebelum dan
setelah dilakukan kompres hangat dan kompres jahe merah.
Penelitian ini menggunakan uji beda T. Untuk menganalisis efektifitas
skala nyeri gout arthritis setelah diberikan kompres hangat dan kompres
jahe merah.

H. Alur penelitian
Bagan Alur Penelitian
Seluruh lansia dengan Gout Arthritis di wilayah kerja Puskesmas
Sukamerindu

Responden sesuai dengan kriteria penelitian

Non probability Sampling yaitu Proposive sampling


inform concent, Pengumpulan data demografi

Kelompok intervensi Kelompok kontrol


dengan kompres jahe Desain Penelitian dengan kompres
merah sebanyak 16 Pra eksperimental design hangat sebanyak
16

Pengukuran nyeri Pengumpulan data Pengukuran


sebelum dan sesudah VAS nyeri sebelum
kompres jahe merah dan sesudah
kompres hangat
observasi
observasi

Pengolahan Data dan Analisa Data


Editing, Coding, Entry Data,
Proccessing,Creaning,Tabulating Tabulating, Scoring

I. Etika penelitian
Peneliti akan mempertimbangkan etik dan legal penelitian untuk melindungi
responden agar terhundar dari segala bahaya serta ketidaknyamanan fisik dan
psikologis.
Masalah etika penelitian yang perlu diperhatikan antara lain :
a. Informed consent
Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti
dengan responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan tujuan
informed consent adalah agar subjek mengerti maksud dan tujuan penelitian,
mengetahui dampaknya.
b. Anonymity (tanpa nama)
Memberikan jaminan dalam penggunaan subjek penelitian dengan cara
tidak memberikan/mencantumkan nama melainkan diberi nomor kode tertentu
pada lembar observasi.
c. Confidentiality (kerahasiaan)
Kerahasiaan ini diartikan sebagai semua informasi yang didapatkan
dari responden tidak akan disebarluaskan ke orang laian dan hanya peneliti
yang mengetahuinya. Informasi yang telah terkumpul dari subjek dijamin
rahasia. Peneliti menggunakan nama samaran (anonym) sebagai pengganti
identitas responden.
d. justice (Keadilan)
Prisip keadilan memenuhi prinsip kejujuran, keterbukaan dan kehati-
hatian. Responden harus diperlakuan secara adil awal sampai akhir tanpa ada
diskriminasi, sehingga jika ada yang tidak bersedia maka harus dikeluarkan.
e. Beneficiency (Asas kemanfaatan)
Asas kemanfaatan harus memiliki tiga prinsip yaitu bebas penderitaan,
bebas eksploitasi dan bebas risiko. Bebas penderitaan bila ada penderitaan
pada responden. Bebas eksploitasi bila didalam pemberian informasi dan
pengetahuan tidak berguna, sehingga merugikan respondeen. Risiko yang
dimaksudkan adalah peneliti menghindarkan responden dari bahaya dan
keuntungan kedepannya. Tujuan dari penelitian untuk mengetahui apakah ada
perbandingan kompres jahe merah dan kompres hangat terhadap penurunan
nyeri gout arthritis pada lansia.
f. Malbeneficience
Menjamin bahwa penelitian ini tidak menimbulkan ketidaknyamanan,
menyakiti, atau membahayakan responden baik secara fisik atau psikologis.

Anda mungkin juga menyukai