Bab I

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 42

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdirinatas berbagai

pulau yang tersebar di seluruh nusantara. Setiap pulau didiami oleh suku bangsa

yang memiliki budaya, adat-istiadat yang khas, yang berbeda dengan suku bangsa

yang lain yang mendiami pulau yang lain. Indonesia juga dijkenal sebagai negara

yang kaya akan adat-istiadat dan budaya. Adat-istiadat merupakan tatakelakuan

yang kekal dan turun temurun dari generasi kegenerasi lain sebagai warisan

sihingga kuat integrasinya dengan pola-pola perilaku masyarakat ( kamus besar

Bahasa Indonesia, 1998:5,6 ). Kebudayaan nasional adalah kebudayaan yang

timbul sebagai usaha budaya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan

asli terdapat yang terhitung sebagai budaya bangsa. Konsep tentang kebudayaan

yang diperoleh studi perbandingan, maka dapat memberi gambaran kepada kita

bahwa kebudayaan merupakan sifat yang esensial bagi manusia. Hanya manusialah

yang mampu berbudaya, hawan tidak memeliki kemampuan tersebut, sebab dasar

mengapa manusia dapat memelikoi kebudayaan ialah karena manusia berbahasa

dan belajar ( Harsojo, 1977:7 ).

Usaha kebudayaan harus menuju kearah kemajuan abad, budaya dan

persatuan dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang

dapat memperkaya kebudayaan sendiri, serta mempertingi derajat kemanusiaan

bangsa Indonesia. Adat-istuiadat adalah kumpulan tatakelakuan yang paling tiggi


2

kedudukan-Nya karena bersifat kekal dan terintegrasi sangat kuat terhadap

masyarakat yang memelikinya. Sebagai puncak-puncak kebudayaan didaerah-

daerah seluruh Indonesia melalui adat-istiadat dan budaya nagara ini makin dikenal

oleh dunia. Salah satu daerah yang kaya dengan budaya, adat-istiadat adalah

maluku. Setiap daerah dimaluku memeliki ciri khas tersendiri baik itu budaya dan

adat-istiadatnya. Ciri khas ini berbeda antara daerah yang satu dan daerah yang lain.

Kebudayaan merupakan bagian integral dari hidup manusia berupa adat-istiadat,

kesenian, cara hidup dan cara berpikir, ini menunjukan bahwa manusia dan

kebudayaan adalah salah satu kesatuan yanmg tidak dapat dilepas pisahkan satu

sama lain. Karena tidak ada manusia tanpa kebudayaaan dan sebaliknya tidak ada

kebudayaan tanpa manusia.

Sebelum manusia mengenal Tuhan mereka menyembah kepada roh-roh

atau arwah para leluhur, dan juga benda-benda yang dianggap memeliki kekuatan,

yang disebut juga kepercayaan kepada animism dan dinamisme. Mereka menyakini

bahwa roh-roh atau arwah para leluluhur ini tinggal di pohon-pohon besar, batu-

batu, memeliki hukum-hukum komonial yang memeliki pengaruh dalam mengatur

ketertiban suatu masyarakat. Hal ini membuat masyarakat maluku tidak terlepas

dari adat dan budaya. Bagi masyarakat maluku adat memeliki hubungan yang erat

dengan agama dan suku. Dapat dikatakan juga adat merupakan agama yang asli

yang masi kuat di pegang, dipraktekan dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu

kepercayaan kepada roh-roh serta kekuatan-kekuatan adikrodati lainya yang ada

disekitar masyarakat atau negeri-negeri lain-Nya.


3

Oleh sebab itu tiap-tiap masyarakat memeliki kebudayaan sendiri-sendiri

dengan corak dan sifatnya sendiri, biarpun dalam kebudayaan beberapa rakyat

tertentu ada banyak kesamaan pula, namun cara berpikr sendiri, makahukum di

dalam tiap masyarakat yang mempunyak corak, dan sifatnya sendiri, sehingga

hukum masing-masing itu berlaianan ( Muhamat.B, 1995: 49 ).

Hal ini juga dialami di Negeri Honitetu, dimana kepercayaan akan dampak

akan hukum dari masalah yang dilakukan pada masa lalu, yang dapat

mengakibatakan kutukan atau hukum yang tidak pernah terlepas dari orang yang

membuat masalah dan melangar denda. Yang biasa dinamakan masyarakat Negeri

Honitetu adalah masalah pembayaran manupu siwa-siwa ( denda 9-9 ) yang

biasanya dilakukan sesuai dengan budaya dan adat-istiadat yang dilakukan oleh

leluhur pada zaman dulu sebelum agama itu tiba.

Manupu siwa-siwa ( denda 9-9 ) adalah aturan atau hukum yang berlaku di Negeri

Honitetu, aturan-aturan atau huku ini telah disepakati sejak leluhur ( tete-nenek

moyang ) dalam rangka menata kehidupan masyarakatnya. Hal ini berarti, manupu

siwa-siwa ( denda 9-9 ) merupaka warisan leluhur yang masi di pelihara dan di jaga

kelestarian hingga kini. Aturan atau hukum dalam bentuk manupu siwa-siwa (

denda 9-9 ) di sebut juga manupu pata siwa. Sebab denda ini berlaku hanya dalam

lingkungan masyarakat Negeri Honitetu. Manupu siwa-siwa ( denda 9-9 ) adalah

hukum agama kakehang, yang diberlakukan di Negeri Honitetu, pelangaran yang

dilakukan seperti pencuri, parlente, membunuh, selingkuh, akan di kenakan

manupu siwa-siwa ( denda 9-9 ). Ketidak taatan terhadap manupu siwa-siwa ( 9-9

) diyakini akan menjadi malapetaka bagi orang lain.


4

Oleh karena itu berdasarkan latar belakang di atas maka penulis

sangat tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : “Adat Manupu

Siwa-Siwa Dalam Kehidupan Masyarakat Negeri Honitetu Kecamatan

Inamosol Kabupaten Seram Bagian Barat”.

B. Rumusan Masalah

Permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana proses pelaksanaan adat manupu siwa-siwa dalam

kehidupan masyarakat Negeri Honitetu?

2. Bagaimana pandangan masayarakat Negeri Honitetu terhadap

pelaksanaan adat manupu siwa-siwa atau (denda 9-9)

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan menjelaskan proses pelaksanaan adat

manupu siwa-siwa dalam kehidupan masyarakat Negeri Honitetu.

2. Untuk mengetahui dan menjelaskan pandangan masayarakat

Negeri Honitetu terhadap pelaksanaan adat manupu siwa-siwa.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dalam kaitannnya dengan masalah diatas adalah:

1. Manfaat Teoritis

Dengan meneliti dan mengkaji masalah ini untuk memperdalam dan

memperluas wawasan pengetahuan penulis tentang budaya sebagai

identitas masyarakat negeri Honitetu.

2. Manfaat Praktis
5

Menjadi suatu pandangan budaya yang perlu dicatat dan memberikan

masukan untuk masyarakat negeri Honitetu agar dapat membedakan budaya

lokal sesuai perkembangan zaman.

E. Penjelasan Istilah

Agar tidak menimbulkan penafsiran yang keliru terhadap istilah yang terdapat

dalam penelitian ini, maka perlu dijelaskan sebagai berikut:

1. Negeri atau Desa adalah kesatuan masyarakat berdasar pada adat dan

hukumnya menetap dalam suatu wilayah tertentu, mempunyai ikatan

lahir batin yang sangat kuat, baik karena keturunan, maupun karena

kesamaan politik, ekonomi, sosial, dan keamanan, mempunyai susunan

pengurus yang dipilih berdasar pada kesepakatan bersama, mempunyai

kekayaan dan mempunyai hak untuk mengatur urusan rumah tangga

sendiri-sendiri

2. Manupu siwa-siwa adalah aturan atau hukum dalam bentuk Manupu

siwa-siwa ini juga disebut dengan Manupa siwa-siwa atau Denda Pata

Siwa. Denda ini hanya belaku pada masyarakat tergolong dalam

kelompok Suku Pata Siwa.

3. Inamosol,yang artinya daerah yang terletak di pegunugan/daerah yang

bergunung-gunung, berada dibukit.


6

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Konsep Kebudayaan

“Kebudayaan” berasal dari bahasa Sanskerta budhaya, yaitu bentuk jamak

dari budhi yang berarti “budi” atau “akal” dengan demikian budaya dapat

diartikan “hal-hal yang bersangkutan dengan akal”. Sedangkan kata

“budaya” merupakan perkembangan majemuk dari “budi daya” yang

berarti “daya dari budi” sehingga dibedakan antara “budaya” yang berarti

“daya dari budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa, dengan “kebudayaan”

yang berarti hasil dari cipta’ karsa dan rasa (Syarial Syarbaini, 2009:99).

Kebudayaan selalu bertolak dari pikiran ideal tentang apa yang seharusnya

dilakukan manusia untuk menyempurnakan hidup dan kehidupan. Sejalan

dengan kebudayaan tersebut, maka kebudayaan merupakan seluruh usaha

manusia dengan akal budinya melalui proses belajar yang bertujuan

memperbaiki situasi, mempertinggi kualitas hidupnya (Wibowo Fred, 2007

:28). Menurut Sutan Takdir Alisyabana dalam Warsito (2012 :49)

berpendapat bahwa kebudayaan adalah manifestasi dari cara berpikir,

sehingga menurutnya pola kebudayaan ini sangat luas karena semua laku

dan perbuatan tercakup didalamnya dan dapat diungkapkan pada basis

dan cara berpikir, termasuk didalamnya perasaan, karena perasaan

merupakan maksut dan pikiran. Maka disimpulkan bahwa konsep kebudayaan

adalah total dari pikiran, karya dan hasil karya manusia yang tidak berakar pada
7

nalurinya, dan karena itu hanya bias dicetuskan oleh manusia sesudah suatu proses

belajar.

Unsur kebudayaan menurut Koentjaraningrat dalam buku Syahrial Syarbaini

(2009 : 102) yang bersifat universal yang dapat disebut sebagai isi pokok

tiap kebudayaan didunia ini adalah :

1. Peralatan dan perlengkapan hidup manusia sehari-hari misalnya :

pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata dan sebagainya.

2. Sistem mata pencahrian hidup dan sistem ekonomi, misalnya : pertanian,

perternakan, dan sistem produksi

3. Sistem kemasyarakatan misalnya: kekerabatan, sistem hukum, sistem

perkawinan dan sistem warisan.

4. Bahasa sebagai media komunikasi, baik lisan maupun tertulis.

5. Sistem pengetahuan

6. Kesenian misalnya : seni rupa, seni suara, seni gerak.

7. Religi.

Kebudayaan itu ada tiga wujudnya, yaitu :

1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-

nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya.

2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan

berpola dari manusia dalam masyarakat.

3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.


8

Wujud pertama adalah wujud ideal dari kebudayaan. Sifat-sifatnya abstrak, tak

dapat diraba atau difoto. Lokasinya ada di dalam kepala-kepala, atau

dengan perkataan lain, dalam alam pikiran warga masyarakat dimana

kebudayaan bersangkutan itu hidup. Wujud kedua dari kebudayaan yang

disebut sistem sosial atau social sistem, mengenai tindakan berpola dari

manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktifitas-aktifitas manusia-

manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan lain

dari detik ke detik, dari hari ke hari, dan dari tahun ke tahun, selalu

menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Wujud ketiga

dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik, dan tidak memerlukan banyak

penjelasan. Karena berupa seluruh total dari hasil fisik dari aktifitas,

perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat, maka sifatnya

paling konkret, dan berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba,

dilihat, dan difoto.

Ketiga wujud dari kebudayaan terurai diatas, dalam kenyataan kehidupan

masyarakat tentu tidak terpisah satu dengan lain. Kebudayaan ideal dan

adat-istiadat mengatur dan memberi arah kepada tindakan dan karya

manusia. Baik pikiran-pikiran dan ide-ide, maupun tindakan dan karya

manusia (Koentjaraningrat 2002 : 186-188).

Sehubungan dengan pandangan di atas maka dapat disimpulkan bahwa

kebudayaan adalah salah satu hasil karya manusia yang berlangsung secara

turun-temurun sebagai warisan leluhur dan diwariskan dari generasi ke

generasi.
9

B. Konsep Adat

Kata adat sebenarnya berasal dari bahasa Arab yang berarti kebiasaan.

Pendapat lain menyatakan bahwa adat sebenarnya berasal dari bahasa

Sansekerta a (berarti “bukan”) dan dato (yang artinya sifat kebendaan) dengan

demikian maka adat sebenarnya berarti sifat immateril : artinya adat

menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan sistem kepercayaan (R. M. Dt.

Rajo Panghulu dalam Soerjono Soekanto, 2005: 70).

Adat disebut pula uruf, berarti s esuatu yang dikenal, diketahui, dan diulang-

ulang, serta menjadi kebiasaan dalam masyarakat, berupa kata-kata macam-

macam bentuk perbuatan. Pengertian adat adalah sesuatu yang telah menjadi

kebiasaan yang terus menerus berlaku dalam masyarakat dan menjadi

kebiasaan masyarakat pada umumnya (Siti Waridah Q dkk, 2001: 183).

Adat secara umum dapat diartikan sebagai aturan kebiasaan dan hukum yang

menuntut dan menguasai sikap seseorang serta hubungan-hubungan dalam

masyarakat. Masyarakat Maluku mengartikan adat dalam dua terminology yakni

secara umum adat adalah sisa-sisa agama asli yang terdapat secara luas, khususnya

dalam sikap dan kebiasaan-kebiasaan yang berkaitan dengan kepercayaan pada

aturan-aturan dan kekuatan gaib dan berhubungan dengan tempat keramat dan

objek-objek tertentu. Pengertian yang lebih khusus mengenai adat adalah kebiasaan

tata kehidupan yang telah ditirunkan dari para leluhur. Selain itu, dapat diartikan

juga sebagai kebiasaan-kebiasaan dalam kehidupan berkenan dengan dilakukan

hal-hal tertentu dianggap wajib bagi semua anggota masyarakat dan harus

dilakukan tepat menurut cara yang ditetapkan (F. Cooley 1987:108).


10

Menurut B. TerHaar Bzn (2001: 246) adat berarti apa yang diberikan sebagai

keputusan hukum yang berlaku (kaidah hukum) dengan sebagai bahan ialah

faktor-faktor tadi (sistem hukum, kenyataan sosial dan syarat-syarat peri

kemanusiaan), kesemuaanya dengan yang dapat dipertanggung jawabkan pada

waktu sekarang; bila dikatakan secara subjektif: memberi bentuk kepada apa

yang dibutuhkan menurut keinsyafan keadilan rakyat pribumi sebagai

keputusan hukum (kaidah hukum) yang berlaku, keinsyafan hukum mana

dengan keinsyafan hukum hakim sendiri pengaruh-mempengaruhi satu sama

lain.

Sedangkan, Kusandi Pudjesewojo dalam Bushar Muhammad (1978: 25)

memberi pengertian tentang arti adat dan hukum sebagai berikut: adat adalah

tingkah laku yang ada dalam suatu masayarakat (sudah, sedang, akan)

diadakan, adat juga merupakan salah satu aspek kebudayaan yang sangat

dihargai serta dihormati baik itu kebiasaan-kebiasaan rakyat, adat-istiadat dan

hukum adat.

Selanjutnya, Van Dyk (1962: 20) menjelaskan pengertian adat sebagai semua

kesulitan dalam kemanusiaan termasuk semua peraturan tentang tingkah laku

macam apapun juga menuntun tingkah laku dan kebiasaan orang Indonesia.

Kemudian Koentjaraningrat mendefenisikan adat seperti undang-undang

disebabkan keadaan masyarakat yang mengalami perkembangan. Pada umumnya

suatu adat itu mempunyai dasar bertata tingkat, yaitu: 1) tingkat nilai; 2)

tingkat budaya; 3) tingkat hukum; 4) tingkat aturan khsusus. Adat istiadat

mempunyai ikatan dan pengaruh yang kuat dalam masayarakat. Kekuatan


11

mengikatnya tergantung pada masyarakat (atau bagian masyarakat) yang

mendukung adat-istiadat tersebut yang terutama bertolak pangkal pada perasaan

keadilannya (Soerjono Soekanto, 1979: 14-15).

C. Konsep Negeri

Menurut Z. Effendi (1987: 31), istilah Negeri bukan berasal dari bahasa asli daerah

ini atau “bahasa tanah”. Suatu negeri adalah suatu persekutuan territorial yang

terdiri dari beberapa soa yang pada umumnya berjumlah paling sedikit tiga buah.

Sebuah Negeri yang disebut pamarentah dan sehari-hari dipanggil “raja”.

Sementara itu pengertian Negeri menurut Undang-Undang No. 24 Tahun 2004,

tentang otonomi daerah, pasal 1 ayat 2 adalah desa atau yang disebut dengan nama

lain. Selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hokum yang memiliki

batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat

setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Republik

Indonesia. Sedangkan untuk penjelasan kata “desa” terdapat pada bab penjelasan,

pasal 202, dikatakan bahwa “Desa” yang dimaksud antara lain : “Negeri” untuk

Sumatera, “Gampong” untuk Aceh, “Lembang” untuk Sulawesi Selatan,

“Kampong” untuk Kalimantan Selatan, dan “Negeri” untuk Papua. dan Maluku.

Kemudian R. H. Unang Sunardjo (dalam Lilian Sandra Elly, 2014: 16) mengatakan

bahwa, Negeri atau Desa adalah kesatuan masyarakat berdasar pada adat dan

hukumnya menetap dalam suatu wilayah tertentu, mempunyai ikatan lahir batin

yang sangat kuat, baik karena keturunan, maupun karena kesamaan politik,

ekonomi, sosial, dan keamanan, mempunyai susunan pengurus yang dipilih


12

berdasar pada kesepakatan bersama, mempunyai kekayaan dan mempunyai hak

untuk mengatur urusan rumah tangga sendiri-sendiri.


13

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah serta tujuan yang hendak dicapai, maka

penelitian ini penulis menggunakan metode kualitatif. Lexy J. Moleong, (2014:

4) mendefenisikan metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang

menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-

orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini diarahkan pada individu

secara utuh (holistik). Sehingga laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan

data untuk memberi gambaran penyajian laporan. Data tersebut berasal dari

naskah wawancara, catatan lapangan, foto, dokumen pribadi dan dokumen

resmi lainnya. Pendekatan ini diharapkan dapat memberikan pencerahan

bagi masyarakat negeri Honitetu agar dapat mengetahui nilai-nilai yang

terkandung didalamnya manupu siwa-siwa.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini direncanakkan akan dilaksanakan di Negeri Honitetu, Kecamatan

Inamosol, Kabupaten Seram Bagian Barat.

C. Sumber Data

1. Informan atau narasumber yang terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat, tua

adat, tokoh pemuda yang memiliki pengetahuan, pemahaman dan

pengertian tentang permasalahan yang diteliti.

2. Keluarga yang pernah mengalami pelaksanaan manupu siwa-siwa.


14

3. Arsip, Dokumen yang terkait dengan permasalahan yang hendak diteliti yakni

arsip desa dan dokumen sejarah desa.

D. Teknik Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dalam penelitian ini ialah purposive sampling, dimana

peneliti cenderung memilih informan yang dianggap tahu dan dapat dipercaya

untuk mengetahui masalahnya secara dalam (H. B. Sutopo, 1988:21-22). Para

narasumber atau informan akan dipilih dan ditetapkan secara selektif yang

artinya peneliti akan memilih informasi yang dianggap tahu dan

berpengalaman serta dapat dipercaya dan serta mengerti terhadap maksud

yang sedang diteliti untuk mencari sumber data. Oleh karena itu informan

yang dipilih adalah tokoh-tokoh adat, tokoh pemuda, dan keluarga yang

pernah melaksanakan tradisi tersebut.

E. Teknik pengambilan data

Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Observasi

Observasi secara singkat menurut Hadari Nawawi dan Martini Hadari (1995:74)

dapat diartikan sebagai ”pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap

unsur-unsur yang tampak pada suatu gejala pada objek penelitian” unsur-unsur

yang tampak itu disebut data atau informasi yang harus diamati dan dicatat secara

lengkap.

2. Wawancara.

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu oleh dua pihak yaitu

pewawancara sebagai pengaju/pemberi pertanyaan dan yang diwawancarai sebagai


15

pemberi jawaban atas pertanyaan itu. selanjutnya ditegaskan oleh Lincoln dan Guba

(1985:266) dalam Basrowi dan Suwandi (2008:127) menyatakan bahwa maksud

diadakan wawancara antara lain yaitu: mengonstruksi perihal orang, kejadian,

kegiatan, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, dan kepedulian, merekonstruksi

kebulatan-kebulatan, harapan pada masa yang akan datang.

F. Validitas Data

Adapun validitas data yang di ambil adalah sesuai dengan penglaman individu yang

di gunakan guna untuk menambah sumber keterangan tentang permasalahan yang

di teliti. Pengalaman itu dapat membawa perubahan baik bagi peneliti maupun para

pembaca. Maka perlu peneliti menggunkan teori Trianggulasi menurut (Moleong,

1990: 178) bahwa Trianggulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan Data sesuatu

yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding dari

data itu. Teknik trianggulasi yang paling banyak di gunakan adalah pemeriksaan

melalui sumber data.

Hal ini untuk membandingkan kebenaran data yang di peroleh dari berbagai macam

sumber di lapangan untuk memperoleh keandalan dan kesahihan data dengan

teknik trianggulasi data yang meliputi :

1) Trianggulasi sumber data. Di gunakan untuk menguji kredibilitas data di

lakukan dengan cara mengecek data yang di peroleh melalui beberapa

sumber, seperti membandingkan keterangan sumber informan dengan

kenyataan di lapangan.
16

2) Trianggulasi teori, untuk menguji kredibilitas data di lakukan dengan cara

mengecek data pada sumber teori-teori yang berbeda. Guna memperdalam

pemahaman dan wawasan/cara pandang penulis.

3) Trianggulasi peneliti. Di mana penulis membaca dan menelusuri karya-karya

tulis dari beberapa peneliti, yang di anggap mirip dengan tema yang penulis

teliti guna melengkapi dan memperkuat data penelitian dengan wawancara

observasi atau teknik lain dalam waktu atau situasi yang berbeda, maka

dilakukan berulang-ulang sehingga di lakukan kepastian datanya.

Dengan menggunkan metode kualitatif bahwa hal yang akan di capai

dengan jalan.

1. Membandingkan data dengan hasil wawancara.

2. Membandingkan apa yang di katakan orang di depan umum dengan

apa yang di katakannya secara pribadi.

3. Membandingkan apa yang di katakan orang tentang situasi

penelitian dengan apa yang di katakan sepanjang waktu.

4. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai

pendapat.

5. Membandingkan hasil wawancara dengan isi dokumen yang

berkaitan.

G. Teknik Analisa Data

Analisis Data yang digunakan dalam penelitian kualitatif untuk mengolah data

penelitian adalah sejalan dengan apa yang dikemukankan oleh Milles dan

Huberman (1992: 20). Yaitu analisis data kualitataif menggunakan model interaktif
17

merupakan upaya yang berlanjut, berulang dan terus-menerus. Masalah reduksi

data, saji data, penarikan kesimpulan atau verivfikasi menjadi gambaran

keberhasilan secara berurutan sebagai rangkaian kegiatan analisis yang saling susul

menyusul.

Mekanisme tersebut dapat digambarkan sebagai berikut

Pengumpulan data

Sajian
data

Penarikan
Reduksi data
Kesimpulan/
Verifikasi

a. Pengumpulan Data

Data harus segera dianalisis setelah dikumpul dan dituangkan dalam bentuk laporan

lapangan. Analisa data ini dapat mengungkapkan data antara lain:

1. Data yang masih perlu dicari.

2. Hipotesis yang harus dites

3. Pertanyaan apa yang harus dijawab

4. Metode apa yang harus diandalkan untuk mencari informasi yang

masih baru

5. Kesalahan apa yang harus diperbaiki


18

Selanjutnya analisis mendorong penelitian untuk menulis laporan berkala. oleh

karena itu analisis sangatlah berkaitan dengan pengumpulan data.

b. Reduksi Data

Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan,pemusatan,perhatian pada

penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari

catatan-catatan tertulis dilapangan (Miles dan Huberman 1992:16).

c. Sajian data

Alur penting yang kedua dari kegiatan analisis adalah penyajian data.penyajian

yang paling sering digunakan pada data kualitatif adalah bentuk teks naratif. Ini

dimaksudkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya

berdasarkan apa yang dipahami (Miles dan Huberman 1992:17).

d. Penarikan kesimpulan/verifikasi

Kegiatan analisis ketiga yang penting adalah menarik kesimpulan dan verifikasi.

Penarikan kesimpulan hanyalah sebagian dari konfigurasi yang utuh. Kesimpulan-

kesimpulan juga diferivikasi selama penelitian berlangsung. Kesimpulan dalam

penelitian mungkin dapat menjawab rumusan masalah yang dirumuskan sejak awal

namun juga tidak, karena masalah dan rumusan masalah dalam penelitian kualitatif

masih bersifat sementara dan berkembang setelah peneliti ada dilapangan.

Kesimpulan penelitian kualitatif merupakan temuan baru yang sebelumnya belum

ada yang berupa deskripsi atau gambaran yang sebelumnya belum jelas menjadi

jelas dapat berupa hubungan kausal/interaktif dan hipotesis/teori (Miles dan

Huberman 1992:18-19).
19

BAB IV

HASIL TEMUAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

1. Letak Georafis

Negeri Honitetu adalah salah satu negeri adat di Pulau Seram yang terletak didaerah

pegenungan dengan ketinggian ±500m dari permukaan lauta dan mempunyai luas

wilayah administrasi adalah 268 KM2. Secara geografis negeri Honitetu terletak

pada 20 55’LS-3025’LS dan 1280 15’BT-128045’BT denagn batas-batas wilayahnya

sebagai berikut:

a) Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Hukuanakota dan Desa Rambatu

b) Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Watui dan Huku Kecil

c) Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Huku Kecil

d) Sebelah Barat berbatasan dengan Rumberu

Negeri Honitetu terletak di pegunungan yang mempunyai jarak dari tepi laut 26

Km2. Relief negeri Honitetu hamper sebagian besar berbukit, daerah pemukiman

penduduk negeri Honitetu kebanyakan di daerah perbukitan dan yang lainnya di

daerah dataran, pada daerah yang berlereng oleh masyarakat dijadikan sebagai

lahan pertanian.
20

2. Keadaan Penduduk

Negeri Honitetu merupakan negeri dengan jumlah jiwa 303 jiwa, penduduk yang

mendiami Negeri Honitetu merupakan bagian dari penduduk asli suku wemale ada

juga pendatang yang berasal dari luar karena adanya perkawinan campuran, untuk

lebih jelas dapat dilihat pada tabel 4.1

Tabel 1

Data Negeri Honitetu berdasarkan kelompok umur

No Kelompok Umur Jumlah

(Tahun)

1 0-3 28

2 4-6 43

3 7-9 38

4 10-12 35

5 13-15 24

6 16-45 159

7 46-59 29

8 60-85 27

9 >86 -

Jumlah = 383

Sumber Data : Kantor Negeri Honitetu Tahun 2018

a. Berdasarkan Tingkat Pendidikan


21

Pendidikan merupakan modal utama bagi pembangunan bangsa, untuk itu

pendidikan semakin penting bagi setiap orang baik tua maupun muda, baik di desa

maupun di kota.

Keadaan pendidikan di Negeri Honitetu sudah dikategorikan cukup baik karena

terdapat sarana pendidikan berupa satu buah gedung Sekolah Dasar (SD) dan

PAUD. Apabila anak-anak yang lulus dari SD mereka akan melanjutkan pendidikan

ke SLTP dan SMA. Untuk melanjutkan ke SLTP dan SMA mereka harus ke

Kairatu, Uraur ada juga yang melanjutkan studi di Ambon. Selain dari pendidikan

menengah masyarakat Honitetu melanjutkan ke perguruaan tinggi. Hal ini

dikarenakan masyarakat honitetu sudah memahami betapa pentingnya pendidikan.

Pada tabel 4.2 dapat dilihat tingkat pendidikan masyarakat Honitetu pada Tahun

2019.

Tabel 2

Tingkat Pendidikan Masyarakat Negeri Honitetu Tahun 2019

No Tingkat Pendidikan Jumlah

1 TK 90

2 SD 78

3 SMP 59

4 SMA 47

5 PT 24

6 Belum sekolah 48
22

7 Putus Sekolah 37

Total 383

Sumber Data : Data statistik Negeri Honitetu Tahun 2019

b. Berdasarkan Mata Pencaharian

Pada umumnya penduduk Negeri Honitetu memiliki potensi sumber daya alam

yang sangat baik, yang terdapat pada daratan kecamatan Inamosol. Potensi sumber

daya alam ini merupakan sumber daya yang memberikan penghidupan bagi

kebanyakan penduduknya. Sebagian besar anggota masyarakat terutama sebagai

kepala keluarga mempunyai mata pencaharian sebagai petani, pengumpul hasil

hutan berupa damar, cengkih, coklat dan lain sebagainya disamping itu juga ada

yang sebagai PNS, Wiraswasta.

Tabel 3.

Mata Pencaharian Masyarakat Negeri Honitetu

No Mata Pencaharian Jumlah

1 PNS 18

2 Pedagang 25

3 TNI/POLRI 5

4 Petani 120

5 Pensiunan 5

6 Ojek 13

7 Tukang 18

8 Belum Bekerja 144


23

9 Tidak Bekerja 35

Jumlah 383

Sumber Data: Pemerintah Negeri Honitetu Tahun 2018

Mata Pencaharian penduduk Negeri Honitetu berdasarkan tabel 2 terdiri dari

petani sebanyak 120 orang, PNS sebanyak 11 orang, TNI/POLRI sebanyak 5

orang, Tukang sebanyak 18 orang, Pedagang sebanyak 25 orang, Pensiunan

sebanyak 5 orang, Ojek sebanyak 11 orang.

Dari data di atas dapat dilihat bahwa pekerjaan utama masyarakat Negeri

Honitetu berkisar pada bidang pertanian, hal itu dapat dilihat dari komoditas

yang paling banyak diusahakan yaitu pertanian, perkebunan dan kehutanan

dengan hasil-hasil sebagai berikut: komoditas pertanian; seperti tanaman ubi

kayu, ubi jalar, dan tanaman holtikultura lainnya, komoditas perkebunan seperti

mangga, kelapa, kopi, coklat, durian, damar, cengkeh dan pala, sedangkan

komoditas kehutanan yaitu kayu, sagu dan kenari.

c. Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan data yang diperoleh, maka komposisi penduduk Masyrakat Desa

Watmasa berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel dibawa ini:

Tabel 2

Komposisi Penduduk Menurut Jenis Kelamin

No URAIAN KETERANGAN
24

1 Jumlah Laki-laki 249 orang

2 Jumlah Perempuan 134 orang

3 Jumlah Penduduk 383 orang

4 Jumlah Kepala Keluarga 120 KK

Sumber Data: Kantor Negeri Honitetu Tahun 2018

Berdasarkan data penduduk Desa Watmasa Tahun 2019, tercatat jumlah penduduk

383 jiwa, yang terdiri dari laki-laki sebanyak 249 orang dan perempuan sebanyak

134 orang, sedangkan jumlah kepala keluarga sebanyak 120 kepalah keluarga.

Dengan demikian jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dari jumlah penduduk

perempuan, karena angka kelahiran masyarakat Negeri Honitetu lebih didomisili

oleh kaum laki-laki.

d. Agama

Masyarakat Honitetu secara menyeluruh menganut agama Kristen Protestan. Bagi

masyarakat Honitetu kepercayaan dan agama menempati kedudukan yang sangat

penting dalam Negeri.

e. Sejarah Terbentuknya Negeri Honitetu

Masyarakat Honitetu adalah sebagian dari masyarakat Alifuru yang mendiami Nusa

Ina/Pulau Ibu sejak dahulu saat itu masyarakat di Nunusaku hidup rukun aman

damai, mereka hidup berkelompok yang mempunyai hubungan geneologis

berdasarkan garis keturunan ayah (patrinial). Pada saat itu kepentingan pribadi yang
25

diutamakan dan diataur oleh kepala soa, setiap orang sudah mempunyai tugas

masing-masing. Yang lelaki tugasnya berburu dan mengumpulkan makanan,

sedangkan yang perempuan tugasnya memasak dan megurus anak-anak. Namun

pada suatu ketika kehidupan mereka berubah yang tadinya rukun dan damai

menjadi konflik yang berkepanjangan.

Hal demikian ditemukan pada masyarakat Alifuru yang ada di Nusa Ina, berawal

dari terbunuhnya seorang putri cantik yang bernama Hanuwele yang tidak tentu

siapa pelaku pembunuhan tersebut. Dari beberapa kelompok saling tuduh-menuduh

antara satu dengan yang lain, dampak dari pertuduhan ini adalah terjadi perang

saudara yang meyebabkan korban berjatuhan. Sehinga terjadi perpecahan ke

berbagai daerah untuk mencari keselamatan. Masyarakat negeri Honitetu bersama

sultanya terpaksa harus memasang strategi untuk mencari tempat kediaman baru

dengan cara meyusun kekuatan dan berperang dengan semua masyarakat yang

sementara melakukan perlawanan terhadap masyarakat lain di Nunusaku.

Honitetu akhirnya melakukan perjalanan dan berdiam di Ulate wa pulane (batang

gunung), karena kehidupan pada zamzn dahulu itu masyarakat sangat bergantung

pada alam jadi ketika ketersediaan bahan makanan tela habis ditempat mereka

diami maka mereka harus mencari tempat pemukiman baru, hal demikian terjadi

pada masyarakat Negeri Honitetu juga. Perpindahan terjadi berulang-ulang kali dan

inilah daerah-daerah atau tempat-tempat yang pernah mereka diami setelah keluar

dari Ulate wa pulane,Wadama, Patu Yohini, Patetu, Sahulau Latale disini beberapa

wanita dari marga Silaka dan Makoto kawin di Tamilou tetapi tidak cocok dengan

pembayaran harta maka terjadi perang sehingga Honitetu harus keluar dan
26

melakukan perjalanan dan bertemu dengan basudara Abio-Ahiolo dan membuat

satu perkampungan yaitu Tawana Siwa.

Kemudian mereka mendiami daerah baru Nuetetu Putai disini terjadi konflik

dengan basudara Abio-Ahiolo sehingga Honitetu harus keluar berdasarkan hasil

musyawara kerena Honitetu yang berbuat salah. Perjalanan keluar tidak begitu saja

tetapi dengan strategi perang, daerah yang diserang adalah Saka Lewa Patai

Lokasinya di Nuka Latale, konflik dimennangkan oleh Honitetu dan langsung

mendiami tempat tersebut sementara itu Raja meyuruh Kapitan Mutua Lumamuli

dengan pasukan 60 orang untuk berjalan meyusuri gunung Temilale sampai di air

Limea mereka membuat Kampdan mencari tahu ke daerah riupa/gunung Wasinate.

Setelah diketahuai bahwa wasinate tidak yang dihuni maka kapitan megutus 10

orang untuk jemput raja dan seluruh masyarakat dating ke wasinate dan beberapa

kampong disekitar dijadikan Maliau.

Disinilah Honitetu dibagi menjadi 9 kampung, setelah pembagian beberapa

keluarga tinggal di Rumahtita untuk menjaga dan megawasi daerah Wasinate-Hote

Patai, sedangkan Honitetu berpindah tempat dari Wasinate dan membuka

pemukiman yang baru di negeri sekarang ( Wawancara dengan bapak P, Seriholo,

23 April 2019).

f. Sistem pemerintahan

Pada umumnya, awal pemerintahan negeri-negeri yang berada di Maluku masih

bersifat pemerintahan adat yang biasanya diperintah oleh kepala negeri, yang

biasanya dikenal dengan Raja, Patti, maupun Orang Kaya. Negeri Honitetu

sebagai negeri adat di pulau Seram menganut sistem pemerintahan tradisional,


27

dimana kepala pemerintahannya dikenal dengan istilah Raja. Di Negeri

Honitetu, matarumah perintah berasal dari matarumah Lattu. Untuk lebih

mengetahui sistem pemerintahan Honitetu, dapat dilihat melalui struktur

pemerintahan dibawah ini.

Bagan 1. Struktur Pemerintahan Negeri Honitetu

....................... RAJA ........................................

BADA SEK.N
N EGERI
SANIR
I

KAUR KAUR KAUR


PEMERIN PEMBANGU
UMUM
TAH NAN

KEPA
LA
DUSU
N

URAS SOKA RUMAHT IMAB


ANA WATI ITA ATAI

KEPAL
A SOA
Soa Soa Soa Soa Soa So So S S
Mo
Latu Ma Tita Laiu a a oa oa
ly
uwe H
luy teb Ta T
ne Masya iar ya an
ok
ej
rakat y ne i
at
w
e
el
Keterangan:

: Garis Komando
28

................... : Garis Kombinasi

Tabel 4.

Raja-Raja Yang Pernah Memerintah Negeri Honitetu

No Nama Pemimpin Masa Jabatan

1 Sultan Latu Nusa 1262-1303

2 Sultan Sapu Nusa 1303-1380

3 Sultan Nuwele Mahuamay 1380-1480

4 Sultan Sapusala 1480-1581

5 Sultan Lumula 1581-1635

6 Raja Kamahati Latu 1715-1780

7 Raja Meute Latu 1780-1785

8 Raja Lasiomina Latu 1785-1845

9 Raja Patetu Latu 1845-1883

10 Raja Henake Welem Latu 1883-1931

11 Raja Asane Adolop Latu 1931-1985

12 K. desa Derek Urasana 1985-1991

13 K.Desa Timulua Yantje 1991-1994

Laiuluy

14 Raja Pieter Latu 1994-2002

15 Pejabat D.W. Mauwene 2002-2009


29

16 Raja Pieter Latu 2009-2017

17 Pejabat L. I. Silaka, S.Pd 2017-2018

18 Pejabat N. Badaruddin 2018-2019

Sumber Data: Kantor Negeri Honitetu Tahun 2019

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa sistem pemerintahan Negeri

Honitetu telah dipimpin oleh lima orang sultan, delapan orang raja dengan

periode masing-masing yang berbeda, terdapat dua periode pemerintahan yang

dipimpin oleh dua orang kepala desa dan juga terdapat periode kepemimpinan yang

dipimpin oleh dua orang penjabat. Walaupun demikian apa yang telah

diperintahkan oleh raja maupun penjabat dipatuhi dan dilaksanakan oleh

masyarakat Negeri Honitetu. Dengan menjalankan fungsi masyarakat yaitu

menjalankan perintah yang diturunkan oleh pemerintah, ketika amanat yang

diturunkan oleh kepala negeri atau raja.

B. Pembahasan

a. Sejarah Terjadinya Adat Manupu Siwa-Siwa ( denda 9-9 )

Terjadinya manupu siwa-siwa (denda 9-9), disebabkan oleh masyarakat Negeri

Honitetu pada zaman dulu mereka telah melakukan pelanggaran-pelanggaran

seperti pencuri, membunuh, pemerkosaan dll. Oleh karena itu Raja dan Tua-Tua

Adat Negeri Honitetu melakukan pertemuan untuk megambil keputusan untuk

menetapkan manupu siwa-siwa (denda 9-9) sebagai salah satu aturan yang

mengikat masyarakat Negeri Honitetu.


30

Manupu siwa-siwa (denda 9-9) dapat di sebut juga situpu siwa-siwa yang

artinya “denda sembilan-sembilan” atau “Manupu pata siwa”. Denda ini hanya

berlaku bagi kelompok atau persekuatan adat Sembilan atau yang dikenal dengan

sebutan pata siwa. Manupu adalah sebuah bentuk kenjaran bagi orang-orang yang

melangar peraturan adat. Dengan demikian manupu siwa-siwa ( denda 9-9 ) dapat

dipahami sebagai bentuk “shared value” ( nilai-nilai bersama ), yang merupakan

standar pengukuran tindakan bersama ( tindakan sosial ) guna menjaaga kolektifitas

kelompok dan masyarakat.

Menyangkut denda ini, bapak Edo Latu mengatakan bahwa : denda ini

berfungsi untuk mencega perbuata-perbuatan yang tidak terpuji yang tidak sesuai

dengan tatanan adat. Atau dalam ungkapan “ bajalang seng bole Sanai-sanai atau

bacabang-bacabang, ( makna-Nya: jangan melanggar aturan-aturan adat yang

sudah disepakati bersama )”.

Berdasarkan hasil wawancara dengan informan, ditemukan beberapa alasan

mengapa masyarakat menyebut denda ini sebagai manupu siwa-siwa. Alasan

tersebut, diantaranya:

1. Bahwa dikatakan manupu siwa-siwa karena dipulau seram terdapat 99

kapata ( nyanyian doa ), yakni 45 kapata milik persekutuan pata lima

dan 54 kapata milik persekutuan pata siwa. Sedangkan satu kapata lain-

Nya adalah kapata rahasia yang hanya diketahui oleh orang-orang

tertentu dan tidak bisa diberitahukan kepada orang lain sebelum

waktunya.
31

2. Bahwa orang honitetu adalah suku wemale yang tergabung dalam

kelompok pata siwa, yang berarti “kelompok sembilan”. Negeri-negeri

baik dipulau seram, lease, ambon, dan daerah maluku tenggara. Denda

ini sering di gunakan jika terjadi pelangaran-pelangaran terhadap

hukum adat yang berlaku di setiap negeri.

3. Bahwa negeri honitetu disebut juga Nuduasiwa yang artinya “bermulut

sembilan”. Maksutnya adalah Honitetu terdiri dari sembilan Negeri.

Antara lain: Honitetu ( Pusat Negeri ), ruma tita, imabatai, solibatai,

ursana, uraur, nui, nunaya dan lukubutui. Negeri-negeri itu sekarang

hanya tinggal 6 (enam) negeri yang kini terbagi dalam 5 (lima) dusun

dan 1 (satu) Negeri induk yaitu Negeri Honitetu. Dengan demikian

menurut para informan, hal ini menjadi salah satu alasan mendasar

denda yang berlaku di Honitetu adalah munupu siwa-siwa (denda 9-9).

4. Bahwa di negeri Honitetu juga terdapat sembilan Soa. Hal ini pun yang

menjadi alasan mendasar denda yang berlaku di negeri ini adalah

manupu siwa-siwa ( denda 9-9).

5. Selain itu, manupu siwa-siwa juga berkaitan dengan mitos putri Mulua

Hainiwele yang dikisahkan memiliki rambutan dengan panjang 9 depa

(sembilan kali rentangan tangan ). Karena itu, manupu siwa-siwa juga

merupakan bentuk penghargaan kepada perempuan, yakni menghamili

anak orang menganggu istri orang lain pasti di kenakan manupu

(denda).
32

Manupu siwa-siwa (denda 9-9) yang ada persekutuan masyarakat pata siwa

lebih khusus lagi dalam masyarakat wemale nudua siwa merupakan seperangkat

aturan tentang sanksi yang harus di tanggung oleh orang-orang yang melanggar

aturan adat. Praktek manupu siwa-siwa (denda 9-9) merupakan sala satu warisan

dari leluhur masyarakat wemale yang masi mereka gunakan sampai sekarang.

Dalam kaitan dengan tanggungan itu maka denda dapat juga dimaknai sebagai

bentuk tembusan atau bayaran dari orang orang yang melakukan kesalahan.

b. Pelaksanaan Adat Manupu Siwa-Siwa (denda 9-9)

Proses pelaksanaan adat manupu siwa-siwa (denda 9-9) terhadap pelangaran-

pelangaran seperti pelangaran pemerkosaan, perselingkuhan, pelangaran sasi dan

batas tanah. Pembayaran manupu (denda) diawali dengan semua keluarga

berkumpul dimata rumah atau keluarga “yang korban”. Setelah itu saudari

(perempuan tertua) mata rumah itu diberi kesempatan untuk mengajukan tuntutan

manupu (denda) yang harus mereka minta. Setelah mereka sepakati manupu

(denda) apa yang akan di minta ( semua yang di minta selalu berjumlah siwa (9)),

maka ada salah seorang (laki-laki) di tugaskan sebagai utusan keluarga untuk

memberitahukan kepada saniri negeri.

Proses selanjutnya saniri negeri menetapka hari dan tanggal pertemuan adat

untuk pembicaraan manupu (denda) dengan keluarga pelaku pada saat (hari dan

tanggal yang telah ditentukan), wakil dari keluarga korban (anggota mata rumah

dan soa) ikut menghadap pada hari dan tanggal yang sama. Setelah tibah di baileo

(kantor desa), semua duduk bersama dan mulai membicarakan manupu (denda).
33

Mengawali pembicaraan pembayaran manupu (denda), kepala adat Hamana/

pidato, kata-kata pembuka sebagai berikut:

Ingatang jangan ose nganga kiri atau kanan, harus ose bikin bae-bae, sebab katong

semua orang sodara. Ose harus inga hati, harus inga diri atau inga, kita harus jujur

terhadap ketetapan adat, mari atur baik-baik, karena kita bersaudara, jadi harus hati-

hati dalam adat. (He, mine matane matasili peditekai mopai, leite ina akuseni kanu

hohe. Akuse ahainela lemua hanele lemu, aha netaine.)

Setelah hamana dari kepala adat, kesempatan di berikan kepada pihak korban

(seorang perempuan tertua dari mata rumah itu) untuk mengemukakan besaran

pembayaran adat yang telah mereka tetapkan. Namun besaran manupu (denda) ini

bukan merupakan keputusan final, karena ketua adat masi memberikan kesempatan

kepada pihak pelaku (yang di wakili juga oleh salah seorang perempuan) untuk

berdialok atau menegosiasikan adanya kemungkinan penawaran harga (besaran)

manupu (denda) tersebut. Inilah makna kekeluargaa atau orang sodara yang

tersurat dalam hamana ketua adat diatas.

Dalam konteks seperti ini (proses tawar menawar manupu atau denda) tentu

dibutuhkan orang-orang yang memeliki kemampuan Bahasa adat untuk

bernegosiasi. Karena itulah perempuan mendapatkan penghargaan yang lebih. Jika

penawaran dari pihak pelaku diterima, maka prosesi penatapan ini selesai.

Demikian pula jika tidak diterima artinya keluarga korban telah mempertahankan

keputusan awal mereka, maka prosesi itipun diambil ahli oleh ketua adat dan

dianggap ketetapan keluarga korban itu sebagai keputusan final.


34

Proses berikutnya adalah penetapan pembayaran. Setelah kesempatan diambil

ahli oleh ketua adat, maka ketua adat kemudian mengingatkan kembali besaran

manupu (denda) yang harus ditanggung oleh sipelaku dan mata rumahnya.

Manupu (denda) merupakan cara penebusan perkara, tebusan yang biasa yang

digunakan dapat berupa Haulelia-Piring Tua 9 buah; Saipa Patola-Kain Batik 9

meter ; Sakalate-Kain Berang 9 meter; Tulia-Parang 9 buah; Tamane-Mencadu atau

Kapak 9 buah; Alake-Sopi 9 botol; Tuae-Sageru 9 batang bambu. Waktu

pembayaran manupu (denda) juga ditentukan dalam pertemuan adat, bisanya

rentang waktu pembayaran ditentukan 9 hari, 9 minggu, dan 9 bulan. Waktu 9 bulan

adalah batas terakhir pembayaran.

Setelah manupu (denda) tersebut ditetapkan,dan waktu pembayaran disepakati

(tetap dengan batas terakhir 9 bulan), maka ketua adat menutup rangkaian

pertemuan adat pembicaraan dan penetapan manupu (denda) tersebut dengan

berkat:

“Selamat. Hari ini dong samua sudengar nasehat, dong su mangaku mau bayar

masalah manupu (denda). Katong sampe disini dolo. Selamat. (sou salamate!

Teliwade winihane manauna nawei tena minute saune. Mina matuka wedei

nasepuei. Sau salamate).

Proses ini berakhir, semua saling berjabat tangan dan kembali ke rumah

masing-masing. Proses pembayaran manupu (denda) akan dikontrol oleh saniri

negeri. Jika waktu 9 bulan dilewati dan pelaku tidak juga melunasi pembayaran

mereka, maka kedua keluarga yang bertikai akan dipanggil kembali dalam rapat
35

adat untuk membicarakan kembali komitmen awal tentang batas pembayaran.

Kemudian saniri negeri langsung menetapkan waktu tambahan 9 hari, setelah

sembilan hari kedua keluarga akan dipanggil lagi untuk pegecekan pembayaran,

jika belum lunas maka saniri akan menambah waktu 9 hari lagi.

Penambahan waktu 9 hari oleh saniri negeri ini dilakukan sebanyak 3 kali, jika

waktu penambahan itu tidak juga dimanfaatkan dengan baik oleh sipelaku dan

matarumahnya, maka saniri akan langsung memutuskan untuk melakukan matakau.

Namun menurut para informan berdasarkan pengalaman mereka, pihak pelaku

(pelanggaran norma adat) selalu membayar manupu(denda) dan melunasinya pada

waktru yang sudah ditentukan.

C. Nilai dan Makna Adat Manupu Siwa-Siwa (denda 9-9)

a. Nilai Yang Terkandung Dalam Adat Manupu Siwa-Siwa (denda 9-9)

1. Nilai Religius

Secara keagamaan pelaksanaan adat manupu siwa-siwa (denda 9-9) tidak

hanya dilaksanakan secara keagamaan tetapi juga secara adat. Itu berarti adat

peranan Leluhur yang dipandang sebagai bagian dari masyarakat. Apa yang

dilakukan dalam adat ini merupakan sikap mengharai yang telah menjadi tradisi.

Nilai adat tradisi merupakan suatu adat yang diwariskan turun temurun kepada

generasi mendatang. Pelaksanaan adat manupu siwa-siwa (denda 9-9) di lakukakan

secara keagamaaan, karena selain masyarakat melakukan tradisi.

2. Nilai Edukasi

Pelaksanaan manupu siwa-siwa (denda 9-9) dapat dijadikan media

pendidikan, karena terlihat dari sikap-sikap penghargaan kepada Raja dan Tua-Tua
36

adat untuk mengantur setiap pelaksanaan manupu siwa-siwa (denda 9-9) dari awal

sampai selesai, Raja dan Tua-Tua adat sebagai penagung jawab dalam mengatur

semua hal-hal penting dalam pelaksanaan adat manupu siwa-siwa (denda 9-9)

Bagi masyarakat Negeri Honitetu hubungan persekutuan dan nilai kasih

tidak hanya terjadi dikalangan saudara berdasarkan pada garis keturunan ayah dan

ibu saja akan tetapi hubungan kekeluargaan, kekerabatan, kasih dan persaudaraan

itu tercipta dan menggikat seluruh masyarakat Negeri Honitetu.

3. Nilai Persaudaraan

Nilai persaudaraan yang dapat dijelaskan dalam pelaksanaan adat manupu

siwa-siwa (denda 9-9) adalah nilai saling menghargai, menghormati dan solidaritas.

hal ini terlihat dari bagaimana masyarakat mengikuti setiap aturan yang telah diatur

dalam pelaksanaan adat manupu siwa-siwa (denda 9-9).

b. Makna Yang Terkandung Dalam Pelaksanaan Adat Manupu Siwa-Siwa

(denda 9-9)

Dilihat dari latar kebudayaan Negeri Honitetu ketika ada pelaksanaan adat

manupu siwa-siwa (denda 9-9) maka makna manupu siwa-siwa (denda 9-9) dapat

diformalasikan sebagai:

a. Norma yang mendorong sekaligus membatasi tindakan individu

maupun tindakan sosial dalam hubungan-Nya dengan interaksi

antara individu, kelompok maupun antara individu, kelompok

dengan alamnya, demi terciptanya keteraturan.


37

b. Upaya memulihkan solidaritas kelompok atau upaya

menggembalika moral kolektif yang dirusak karena

pelanggaran-pelanggaran.

Para informan menuturkan bahwa hasil manupu (denda) tersebut tidak

sepenuhnya diserahkan atau menjadi milik sikorban dari manupu siwa-siwa (denda

9-9) akan di bagi rata untuk sembilan soa yang ada di Negeri Honitetu. Manupu

siwa-siwa (denda 9-9) perikat sosial atau sebagai pendorong integrase sosial

masyarakat. Karena itu muncul-lah semacam “pembangkangan” kepada moral

kolektif yang ditetapkan Saniri Negeri. Namun : “ pembangkangan” itu masih

kurang berdampak pada level masyarakat sebab semua pranata sosial (soa)

menerima bagian dari manupu siwa-siwa (denda 9-9) itu tetap terwujud solidaritas

masyarakat Negeri Honitetu.

BAB V
38

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian dan pembahasan dalam bab IV maka penulis dapat menarik

kesimpulan sbb.

1. . Sejarah Terjadinya Adat Manupu Siwa-Siwa ( denda 9-9 )

Terjadinya manupu siwa-siwa (denda 9-9), disebabkan oleh masyarakat Negeri

Honitetu pada zaman dulu mereka telah melakukan pelanggaran-pelanggaran

seperti pencuri, membunuh, pemerkosaan dll. Oleh karena itu Raja dan Tua-Tua

Adat Negeri Honitetu melakukan pertemuan untuk megambil keputusan untuk

menetapkan manupu siwa-siwa (denda 9-9) sebagai salah satu aturan yang

mengikat masyarakat Negeri Honitetu.

2. Pelaksanaan Adat Manupu Siwa-Siwa (denda 9-9)

Proses pelaksanaan adat manupu siwa-siwa (denda 9-9) terhadap pelangaran-

pelangaran seperti pelangaran pemerkosaan, perselingkuhan, pelangaran sasi dan

batas tanah. Pembayaran manupu (denda) diawali dengan semua keluarga

berkumpul dimata rumah atau keluarga “yang korban”. Setelah itu saudari

(perempuan tertua) mata rumah itu diberi kesempatan untuk mengajukan tuntutan

manupu (denda) yang harus mereka minta. Setelah mereka sepakati manupu

(denda) apa yang akan di minta ( semua yang di minta selalu berjumlah siwa (9)),

maka ada salah seorang (laki-laki) di tugaskan sebagai utusan keluarga untuk

memberitahukan kepada saniri negeri.


39

3. Nilai Yang Terkandung Dalam Adat Manupu Siwa-Siwa (denda 9-9)

 Nilai Religius

Secara keagamaan pelaksanaan adat manupu siwa-siwa (denda 9-9) tidak

hanya dilaksanakan secara keagamaan tetapi juga secara adat. Itu berarti adat

peranan Leluhur yang dipandang sebagai bagian dari masyarakat.

 Nilai Edukasi

Pelaksanaan manupu siwa-siwa (denda 9-9) dapat dijadikan media

pendidikan, karena terlihat dari sikap-sikap penghargaan kepada Raja dan Tua-Tua

adat untuk mengantur setiap pelaksanaan manupu siwa-siwa (denda 9-9) dari awal

sampai selesai, Raja dan Tua-Tua adat sebagai penagung jawab dalam mengatur

semua hal-hal penting dalam pelaksanaan adat manupu siwa-siwa (denda 9-9)

 Nilai Persaudaraan

Nilai persaudaraan yang dapat dijelaskan dalam pelaksanaan adat manupu

siwa-siwa (denda 9-9) adalah nilai saling menghargai, menghormati dan solidaritas.

hal ini terlihat dari bagaimana masyarakat mengikuti setiap aturan yang telah diatur

dalam pelaksanaan adat manupu siwa-siwa (denda 9-9).

4. Makna Yang Terkandung Dalam Pelaksanaan Adat Manupu Siwa-Siwa

(denda 9-9)

Para informan menuturkan bahwa hasil manupu (denda) tersebut tidak

sepenuhnya diserahkan atau menjadi milik sikorban dari manupu siwa-siwa (denda

9-9) akan di bagi rata untuk sembilan soa yang ada di Negeri Honitetu.

B. Saran
40

Mangacu pada kesimpulan diatas maka beberapa saran yang perlu

dikemukakan adalah sebagai berikut.

1. Kepada Pemerintah Negeri Honitetu untuk lebih fokus dan lebih memperhatikan

pentingnya warisan budaya Negeri Honitetu dalam kehidupan masyarakat

2. Kepada para Tokoh-tokoh adat untuk lebih mengenalkan dan menjelaskan

warisan adat istiadat khususnya adat manupu siwa-siwa (denda 9-9). Sebagai

warisan yang sangat berharga dalam kehidupan masyarakat Negeri Honitetu.

3. Hendaknya masyarakat Negeri Honitetu selalu menjaga, melestarikan,

menghargai, manupu siwa-siwa (denda 9-9), dalam kehidupan mereka agar hal-

hal yang tidak di inginkan yang dapat merngakibatkan pelanggaran Hukum Adat

tidak terjadi dan tidak begitu saja dilupakan.

DAFTAR PUSTAKA

Bungin Burhan. 2001. Metodologi Penelitian Sosial. Surabaya: PT. Airlangga

University Press.

Cooley, F. L. 1987. Mimbar dan Tahta. Jakarta: Pustka Sinar Harapan

Effendi, Ziwar. 1987. Hukum Adat Ambon Lease : PT. Pradya Paramita
41

Koentjaraningrat. 1990. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya.

. 2002. Pengantar Antropologi I. Jakarta: PT. Rineka Cipta

. 2005. Pengantar Antropologi I. Jakarta: PT. Rineka Cipta

Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1995, Pembina dan Pengembangan Bahasa,

Jakarta.

Milles dan Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press.

Moleong, I. J. 2005. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada

. 2014. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT.

Remaja Rosdakarya

Muhammad, Bushar. 1978. Asas-Asas Hukum Adat (Suatu Pengantar). Jakarta:

Pradnya Paramita

Nawawi Hadari 2005. Metode Penelitian bidang Sosial. Yogyakarta: PT. Gadjah

Mada University Press.

Prasetya, Joko Tri, dkk. 2009. Ilmu Sosial Budaya Dasar, Jakarta: PT Rineka Cipta.

Sandra Elly, Liilian. Sejarah Terbentuknya Negeri Wakolo Dan Perkembangan

Masyarakatnya Di Kecamatan Taniwel Kabupaten Seram Bagian Barat. Program

Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan Dan

Ilmu Pendidikaan Universitas pattimura Ambon. 2016.


42

Soekanto, Soerjono. 1979. Antropologi Hukum, Materi Pengembangan Ilmu.

Jakarta: Erlangga

Sugiyono. 2011. Metodologi Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D.

Bandung: Alfabeta

Sutopo, Heribertus. 1988. Pengantar Penelitian Kualitatif. Surakata: PT. Pusat

Penelitian.

Syahrial, Syarbaini , 2009. Dasar-Dasar Sosiologi. Yogyakarta : Graha Ilmu,

Ter Haar Bzn. 2001. Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat. Jakarta: PT.

Pradnya Paramita

Waridah, Siti Q, dkk. 2001. Antropologi Untuk SMU Kelas 3. Jakarta: PT.

Bumi Aksara

Wibowo, Fred. 2007. Kebudayaan Menggugat. Yogyakarta : Pinus Book Pubisher.

Warsito, H. R. 2012. Antropologi Budayah. Jakarta : Ombak

Anda mungkin juga menyukai