Modul Corporate Governance - Edit

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 101

BAB I

PENGERTIAN, TUJUAN DAN MANFAAT

GOOD CORPORATE GOVERNANCE

TUJUAN PEMBELAJARAN :

Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan dapat :

1. Menjelaskan dan memahami pengertian Good Corporate Governance.

2. Menjelaskan dan memahami Tujuan Good Corporate Governance.

3. Menjelaskan dan memahami manfaat Good Corporate Governance.

4. Alasan Perusahaan Harus Menerapkan Good Corporate Governance

5. Peran Akuntansi Dalam Penerapan Good Corporate Governance

1.1. Pengertian Good Corporate Governance

Ada berbagai pengertian Good Corporate Governance yang dapat dijelaskan sebagai

berikut:

a. Corporate governance merupakan seperangkat tata hubungan diantara manajemen

perseroan, direksi, komisaris, pemegang saham dan para pemangku kepentingan lainnya.

(OECD dalam Leo J. Susilo dan Karlen Simarmata, 2007:17)

b. Corporate governance sebagai proses dan struktur yang diterapkan dalam menjalankan

perusahaan, dengan tujuan utama meningkatkan nilai pemegang saham dalam jangka

panjang, dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholders yang lain. (IICG dalam G.

Suprayitno, et all, 2004:18)

1
c. Corporate governance adalah suatu konsep yang menyangkut struktur perseroan,

pembagian tugas, pembagian kewenangan dan pembagian beban tanggung jawab dari

masing-masing unsur yang membentuk struktur perseroan, dan mekanisme yang harus

ditempuh oleh masing-masing unsur dari perseroan tersebut, serta hubungan-hubungan

antara unsur-unsur dari struktur perseroan itu mulai dari RUPS, direksi, komisaris, juga

mengatur hubungan-hubungan antara unsur-unsur dari struktur perseroan dengan unsur-

unsur di luar perseroan yang pada hakekatnya merupakan stakeholders dari perseroan,

yaitu negara yang sangat berkepentingan akan perolehan pajak dari perseroan yang

bersangkutan, dan masyarakat luas yang meliputi para investor publik dari perseroan itu

(dalam hal perseroan merupakan perusahaan publik), calon investor, kreditor dan calon

kreditor perseroan. Corporate governance adalah suatu konsep yang luas. (Sutan Remy

Sjahdeini, 1999:1)

d. Good Corporate Governance adalah suatu tata kelola bank yang menerapkan prinsip-

prinsip keterbukaan (transparency), akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban

(responsibility), independensi (independency), dan kewajaran (fairness). (Peraturan Bank

Indonesia No. 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank

Umum).

Berdasarkan uraian mengenai corporate governance tersebut, maka dapat disimpulkan

bahwa Good Corporate Governance adalah suatu sistem pengelolaan perusahaan yang dirancang

untuk meningkatkan kinerja perusahaan, melindungi kepentingan stakeholders dan meningkatkan

kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan serta nilai-nilai etika yang berlaku secara

umum.

2
1.2. Tujuan Good Corporate Governance

Penerapan prinsip-prinsip GCG akan meningkatkan citra dan kinerja Perusahaan serta

meningkatkan nilai Perusahaan bagi Pemegang Saham. Tujuan penerapan GCG adalah:

1. Memaksimalkan nilai perusahaan dengan cara meningkatkan penerapan prinsip-prinsip

transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban, dan kewajaran dalam

pelaksanaan kegiatan perusahaan;

2. Terlaksananya pengelolaan Perusahaan secara profesional dan mandiri;

3. Terciptanya pengambilan keputusan oleh seluruh Organ Perusahaan yang didasarkan pada

nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku.

1.3. Manfaat Good Corporate Governance

Penerapan konsep Good Corporate Governance merpakan salah satu upaya untuk

memulihkan kepercayaan terhadap investor dan institusi terkait di pasar modal. Menurut Tjager

dkk (2003) mengatakan paling tidak ada lima alasan mengapa penerapan Good Corporate

Governance itu bermanfaat, yaitu :

1. Berdasarkan survey yang telah dilakukan oleh McKinsey dan Company menunjukkan

bahwa para investor institusional lebih menaruh kepercayaan terhadap perusahaan-

perusahaan di Asia yang telah menerapkan Good Corporate Governance.

2. Berdasarkan berbagai analisis ternyata ada indikasi keterkaitan antara terjadinya krisis

financial dan krisis berkepanjangan di Asia dengan lemahnya tata kelola perusahaan.

3. Internasionalisasi pasar-termasuk liberalisasi pasar financial dan pasar modal menuntut

perusahaan untuk menerapkan Good Corporate Governance.

3
4. Kalau Good Corporate Governance bukan obat mujarab untuk keluar dari krisis system ini

dapat menjadi dasar bagi pengembangannya system nialai baru yang lebih sesuai dengan

laskap bisnis yang kini telah banyak berubah.

5. Secara teoris, praktik Good Corporate Governance dapat meningkatkan nilai perusahaan.

Menurut Mas Ahmad Daniri (2005:14) jika perusahaan menerapkan mekanisme penerapan

Good Corporate Governance (GCG) secara konsisten dan efektif maka akan dapat memberikan

manfaat lainnya:

1. Meminimalkan Agency cost

Selama ini pemegang saham harus menanggung biaya yang timbul sebagai akibat dari

pendelegasian kewenangan kepada manajemen. Biaya ini bisa berupa kerugian karena

manajemen menggunakan sumber daya perusahaan untuk kepentingan pribadi maupun berupa

biaya pengawasan yang dikeluarkan perusahaan untuk mencegah terjadinya hal tersebut.

Bisya biaya inilah yang disebut dengan agency cost. Dengan penyusunan struktur dan

pembagian fungsi yang baik biaya ini dapat ditekan serendah mungkin.

2. Meminimalkan cost of capital

Perusahaan yang dikelola dengan baik dan sehat akan menciptakan suatu referensi positif bagi

kreditor. Kondisi ini sangat berperan dalam meminimalkan biaya modal yang harus

ditanggung bila perusahaan mengajukan pinjaman. Hal tersebut selain dapat memperkuat

kinerja keuangan juga akan membuat produk perusahaan yang dilepas ke pasaran menjadi

lebih kompetitif.

3. Meningkatkan nilai saham perusahaan

Sebuah perusahaan yang dikelola dengan baik akan menarik minat investor untuk

menanamkan modalnya. Sebuah survey yang dilakukan oelh Russell Reynolds Associaties

4
(1997) mengungkapkan bahwa kualitas komisaris adalah salah satu faktor utama yang dinilai

oleh investor institusional sebelum mereka memutuskan untuk membeli saham. Hal ini akan

terlihat terutama ketika seorang investor bermaksud melakukan investasi untuk jangka waktu

yang lama.

1.4. Alasan Perusahaan Harus Menerapkan Good Corporate Governance

Kenapa sebuah perusahaan perlu menerapkan tata pemerintah yang baik ?

1. Untuk menambah dan memaksimalkan nilai perusahaan guna memenangkan kompetisi

global

2. Untuk menghindari fraud dan KKN

3. Untuk mendorong terciptanya pasar yang efesien, transparan dan konsisten dengan

perataturan perundang-undangan yang berlandaskan pada beberapa prinsip dasar Good

corporate governance yaitu:

a. Transparency (keterbukaan informasi)

Yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dab

keterbukaan dalam mengemukakan informasi materil dan relevan mengenai

perusahaan.

b. Accountability (akuntabilitas)

Yaitu kejelasan fungsi, struktur, sistem, dan pertanggungjawaban organ perusahaan

sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif

c. Responsibility (pertanggungjawaban)

Yaitu kesesuaian (kepatuhan) didalam pengelolaan perusahaan terhadap prinsip

korporasi yang sehat serta peraturan perundangan yang berlaku

5
d. Fairness (kesetaraan dan kewajaran)

Yaitu perlakuan yang adil dan setara didalam memenuhi hak stakeholders yang timbul

berdasarkan perjanjian serta peraturan perundangan yang berlaku. Esensi dari corporate

governance adalah peningkatan kinerja perusahaan melalui sepervisi atau pemantauan

kinerja manajemen dan adanya akuntabilitas manajemen terhadap pemaku kepentingan

lainnya, berdasarkan kerangka aturan dan peraturan yang berlaku.

1.5. Peran Akuntansi Dalam Penerapan Good Corporate Governance

Sistim akuntansi keuangan menyediakan informasi yang penting untuk Governance

Mechanisms , yang membantu memecahkan masalah keagenen. Penggunaan informasi akuntansi

dalam Governance Mechanisms bisa dalam bentuk implisit atau eksplisit. Penggunaan perjanjian

yang berbasiskan dasar akuntansi dalam kontrak obligasi adalah salah contoh dari penggunaan

informasi akuntansi secara eksplicit.

Penggunaan informasi ekuntansi untuk menyeleksi perusahaan yang akan dijadikan target

takeover adalah contoh dari penggunaan informasi akuntansi secara implisit. Informasi akuntansi

keuangan merupakan produk dari proses Governance. informasi akuntansi keuangan dihasilkan

oleh manajemen dan manajemen mengetahui informasi ini akan digunakan sebagai input dalam

proses Governance.

6
BAB 2

Prinsip-Prinsip GCG (Good Corporate Governance)

TUJUAN PEMBELAJARAN :

Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan dapat :

1. Menjelaskan dan memahami Prinsip Transparency

2. Menjelaskan dan memahami Prinsip Accountability

3. Menjelaskan dan memahami Prinsip Responsibility

4. Alasan Perusahaan Harus Menerapkan Good Corporate Governance

5. Peran Akuntansi Dalam Penerapan Good Corporate Governance

2.1. Prinsip Transparancy (Keterbukaan Informasi)


Secara sederhana bisa diartikan sebagai keterbukaan informasi. Dalam mewujudkan prinsip
ini, perusahaan dituntut untuk menyediakan informasi yang cukup, akurat, tepat waktu kepada
segenap stakeholders-nya.

Transparansi diartikan sebagai keterbukaan informasi, baik dalam proses pengambilan


keputusan maupun dalam mengungkapkan informasi material dan relevan mengenai
perusahaan.

Dalam mewujudkan transparansi itu sendiri, perusahaan harus menyediakan informasi yang
lengkap, akurat dan tepat waktu kepada para pemangku kepentingan (Stakeholder). Bank wajib
menyampaikan kepada Bank Indonesia selaku otoritas pengawas perbankan di Indonesia dan
mempublikasikan informasi keuangan serta informasi lainnya yang material dan berdampak
signifikan pada kinerja perusahaan secara akurat dan tepat waktu. Disamping itu, para investor
harus dapat mengakses informasi penting perusahaan secara mudah pada saat diperlukan.

7
Dengan keterbukaan informasi tersebut maka para stakeholder dapat menilai kinerja berikut
mengetahui risiko yang mungkin terjadi dalam melakukan transaksi dengan perusahaan. Adanya
informasi kinerja perusahaan yang diungkap secara akurat, tepat waktu, jelas, konsisten, dan
dapat diperbandingkan, dapat menghasilkan terjadinya efisiensi atau disiplin pasar. Selanjutnya,
jika prinsip transparansi dilaksanakan dengan baik dan tepat, akan dapat mencegah terjadinya
benturan kepentingan (conflict of interest) berbagai pihak dalam perusahaan.

2.2. Prinsip Accountability (Akuntabilitas)


Yang dimaksud dengan akuntabilitas adalah kejelasan fungsi, struktur, system dan
pertanggungjawaban elemen perusahaan. Apabila prinsip ini diterapkan secara efektif, maka
akan ada kejelasan akan fungsi, hak, kewajiban dan wewenang serta tanggung jawab antara
pemegang saham, dewan komisaris dan dewan direksi.

Masalah yang sering ditemukan di perusahaan-perusahaan Indonesia adalah kurang


efektifnya fungsi pengawasan Dewan Komisaris. Atau bahkan sebaliknya, Komisaris mengambil
alih peran berikut wewenang yang seharusnya dijalankan Direksi. Oleh karena itu diperlukan
kejelasan mengenai tugas serta fungsi organ perusahaan agar tercipta suatu mekanisme checks
and balances kewenangan dan peran dalam mengelola perusahaan.

Beberapa bentuk implementasi lain dari prinsip akuntabilitas ini antara lain:

Praktek Audit Internal yang efektif, serta kejelasan fungsi, hak, kewajiban, wewenang dan
tanggung jawab dalam anggaran dasar perusahaan, kebijakan, dan prosedur di bank.

2.3. Prinsip Responsibility (Pertanggungjawaban)


Bentuk pertanggung jawaban perusahaan adalah kepatuhan perusahaan terhadap peraturan
yang berlaku, diantaranya; masalah pajak, hubungan industrial, kesehatan dan keselamatan
kerja, perlindungan lingkungan hidup, memelihara lingkungan bisnis yang kondusif bersama
masyarakat dan sebagainya. Dengan menerapkan prinsip ini, diharapkan akan menyadarkan
perusahaan bahwa dalam kegiatan operasionalnya, perusahaan juga mempunyai peran untuk
bertanggung jawab kepada shareholder juga kepada stakeholders-lainnya.
8
Pertanggungjawaban perusahaan merupakan kesesuaian (kepatuhan) di dalam pengelolaan
perusahaan terhadap prinsip korporasi yang sehat serta peraturan perundangan yang berlaku.

Penerapan prinsip ini diharapkan membuat perusahaan menyadari bahwa dalam kegiatan
operasionalnya seringkali ia menghasilkan eksternalitas (dampak luar kegiatan perusahaan)
negatif yang harus ditanggung oleh masyarakat. Di luar hal itu, lewat prinsip responsibilitas ini
juga diharapkan membantu peran pemerintah dalam mengurangi kesenjangan pendapatan dan
kesempatan kerja pada segmen masyarakat yang belum mendapatkan manfaat dari mekanisme
pasar.

2.4. Prinsip Independency (Kemandirian)


Intinya, prinsip ini mensyaratkan agar perusahaan dikelola secara profesional tanpa ada
benturan kepentingan dan tanpa tekanan atau intervensi dari pihak manapun yang tidak sesuai
dengan peraturan-peraturan yang berlaku.

Independensi merupakan prinsip penting dalam penerapan GCG di Indonesia. Independensi


atau kemandirian adalah suatu keadaan dimana perusahaan dikelola secara profesional tanpa
benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.

Independensi sangat penting dalam proses pengambilan keputusan. Hilangnya independensi


dalam proses pengambilan keputusan akan menghilangkan objektivitas dalam pengambilan
keputusan tersebut. Kejadian ini akan sangat fatal bila ternyata harus mengorbankan
kepentingan perusahaan yang seharusnya mendapat prioritas utama.

Untuk meningkatkan independensi dalam pengambilan keputusan bisnis, perusahaan


hendaknya mengembangkan beberapa aturan, pedoman, dan praktek di tingkat pengurus bank,
terutama di tingkat Dewan Komisaris dan Direksi yang oleh Undang-undang diberi amanat untuk
mengurus perusahaan dengan sebaik-baiknya.

9
2.5. Prinsip Fairness (Kesetaraan dan Kewajaran)
Prinsip ini menuntut adanya perlakuan yang adil dalam memenuhi hak stakeholder sesuai
dengan peraturan perundangan yang berlaku. Diharapkan fairness dapat menjadi faktor
pendorong yang dapat memonitor dan memberikan jaminan perlakuan yang adil di antara
beragam kepentingan dalam perusahaan.

Secara sederhana kesetaraan dan kewajaran (fairness) bisa didefinisikan sebagai perlakuan
yang adil dan setara di dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian
serta peraturan perundangan yang berlaku.

Fairness juga mencakup adanya kejelasan hak-hak stakeholder berdasarkan sistem hukum
dan penegakan peraturan untuk melindungi hak-hak investor khususnya pemegang saham
minoritas dari berbagai bentuk kecurangan. Bentuk kecurangan ini bisa berupa insider trading
(transaksi yang melibatkan informasi orang dalam), fraud (penipuan), dilusi saham (nilai
perusahaan berkurang), korupsi-kolusi-nepotisme (KKN), atau keputusan-keputusan yang dapat
merugikan seperti pembelian kembali saham yang telah dikeluarkan, penerbitan saham baru,
merger, akuisisi, atau pengambil-alihan perusahaan lain.

BAB 3

STRUKTUR KEPEMILIKAN

3.1. Kepemilikan Manajerial

10
Kepemilikan manajerial merupakan persentase saham yang dimiliki oleh pihak
manajemen. Pihak manajemen adalah pengelola perusahaan, seperti direktur, manajer,
dan karyawan (Boediono, 2005). Manajemen laba sangat ditentukan oleh motivasi
manajer perusahaan. Motivasi yang berbeda akan menghasilkan besaran manajemen
laba yang berbeda, seperti antara manajer yang juga sekaligus sebagai pemegang saham
dan manajer yang tidak sebagai pemegang saham. Hal ini sesuai dengan sistem
pengelolaan perusahaan dalam dua kriteria, yaitu: 1) Perusahaan yang dipimpin oleh
seorang manajer dan pemilik (owner manager); 2) Perusahaan yang dipimpin oleh
manajer dan non pemilik (non owners manager). Dua kriteria ini akan mempengaruhi
manajemen laba, sebab kepemilikan seorang manajer akan ikut menentukan kebijakan
dan pengambilan keputusan terhadap metode akuntansi yang diterapkan pada
perusahaan yang mereka kelola. Secara umum dapat dikatakan bahwa persentase
tertentu kepemilikan saham oleh pihak manajemen cenderung mempengaruhi tindakan
manajemen laba. Beberapa penelitian mendukung bahwa manipulasi terhadap earning
juga sering dilakukan oleh manajemen. Penyusunan earnings dilakukan oleh
manajemen yang lebih mengetahui kondisi di dalam perusahaan, kondisi tersebut
diprediksi oleh Dechow (1995) dalam Ujianto dan Pramuka (2007) dapat menimbulkan
masalah karena manajemen sebagai pihak yang memberikan informasi tentang kinerja
perusahaan dievaluasi dan dihargai berdasarkan laporan yang dibuatnya sendiri. Laba
yang kurang berkualitas bisa terjadi karena dalam menjalankan bisnis perusahaan,
manajemen bukan merupakan pemilik perusahaan. Pemisahan kepemilikan ini akan
dapat menimbulkan konflik dalam pengendalian dan pelaksanaan pengelolaan
perusahaan yang menyebabkan para manajer bertindak tidak sesuai dengan keinginan
para pemilik. Konflik yang terjadi akibat pemisahan kepemilikan ini disebut dengan
konflik keagenan. Beberapa mekanisme yang dapat digunakan untuk mengatasi
masalah keagenan tersebut adalah dengan meningkatkan kepemilikan manajerial

(Jensen dan Meckling, 1976). Dengan meningkatkan kepemilikan saham oleh


manajer, diharapkan manajer akan bertindak sesuai dengan keinginan para principal
karena manajer akan termotivasi untuk meningkatkan kinerja. Jensen dan Meckling

11
(1976) menyatakan bahwa untuk meminimalkan konflik keagenan adalah dengan
meningkatkan kepemilikan manajerial di dalam perusahaan. Rosset al (1999)
menyatakan bahwa semakin besar kepemilikan manajemen dalam perusahaan maka
manajemen akan cenderung untuk berusaha meningkatkan kinerjanya untuk
kepentingan pemegang saham dan untuk kepentingan sendiri. Shleifer dan Vishny
(1986) dalam Ujiantho dan Pramuka (2007) menyatakan bahwa kepemilikan saham
yang besar dari segi nilai ekonomisnya memiliki insentif untuk memonitor. Sehingga
permasalahan keagenan diasumsikan akan hilang apabila seorang manajer adalah juga
sekaligus sebagai seorang pemilik. Semakin besar proporsi kepemilikan manajemen
pada perusahaan maka manajemen cenderung berusaha lebih giat untuk kepentingan
pemegang saham yang juga termasuk dirinya. Hal ini mengindikasikan pentingnya
kepemilikan manajerial dalam struktur kepemilikan perusahaan (Suprayuga, 2006).

3.2. Kepemilikan Institusional


Kepemilikan Institusional merupakan persentase saham yang dimiliki oleh
investor institusional. Semakin besar kepemilikan intitusional pada perusahaan, maka
semakin rendah kecenderungan manajer melakukan aktivitas manajemen laba karena
adanya fungsi pengawasan yang lebih baik dari investor yang shopiscated (Wedari,
2004). Balsam dkk (2002) menemukan adanya hubungan negatif antara akrual
diskresioner yang tidak diekspektasi dengan imbal hasil saham di sekitar tanggal
pengumuman, di mana hubungan negatif tersebut bervariasi tergantung tingkat
kecanggihan investor, di mana reaksi pasar dari investor yang lebih canggih
memendahului investor yang tidak canggih. Mitra (2002), Koh (2003), dan Midiastuty
& Machfoedz (2003) juga menemukan bahwa kehadiran kepemilikan institusional
yang tinggi membatasi manajer untuk melakukan pengelolaan laba. Jika pengelolaan
laba yang dilakukan perusahaan bersifat oportunis maka kepemilikan institusional yang
tinggi akan mengurangi pengelolaan laba.
Kepemilikan institusional memiliki kemampuan untuk mengendalikan pihak
manajemen melalui proses monitoring secara efektif sehingga dapat mengurangi
manajemen laba. Persentase saham tertentu yang dimiliki oleh institusi dapat
mempengaruhi proses penyusunan laporan keuangan yang tidak menutup

12
kemungkinan terdapat akrualisasi sesuai kepentingan pihak manajemen (Boediono,
2005). Menurut Bushee (1998) kepemilikan institusional memiliki kemampuan untuk
mengurangi insentif para manajer yang mementingkan diri sendiri melalui tingkat
pengawasan yang intens. Kepemilikan institusional dapat menekan kecenderungan
manajemen untuk memanfaatkan discretionary dalam laporan keuangan sehingga
memberikan kualitas laba yang dilaporkan. Pemikiran ini didukung oleh penelitian
Rajgepal dan Venkatchlam (1998) dan Pratama dkk (2003) dalam Boediono (2005).
Hasil penelitian mereka menyimpulkan bahwa kepemilikan institusional di perusahaan
dapat mempengaruhi kualitas laba yang dilaporkan. Dengan tingginya kepemilikan
manajerial, para investor institusional akan mendapatkan kesempatan control
perusahaan yang lebih sedikit. Ini berarti bahwa hubungan antara kepemilikan
manajerial dan kepemilikan institusional adalah negatif, hubungan ini sesuai dengan
penelitian Fitri dan Mahduh , 2003). Risiko mempunyai hubungan negatif dan
signifikan terhadap kepemilikan institusional. Tingginya risiko yang dihadapi
perusahaan meningkatkan risiko kebangkrutan dan volatilitas dari pendapatan, hal ini
akan mengurangi minat institusi untuk melakukan investasi pada saham perusahaan itu
karena institusi lebih mementingkan pada stabilitas pendapatan. Menurut Crutchley
et.al (1999) dalam Nasir (2006) pengaruh kebijakan hutang terhadap kepemilikan
institusional adalah positif. Kebijakan yang tinggi menyebabkan perusahaan dimonitor
oleh pihak debtholders. Karena monitoring dalam perusahaan yang ketat tadi
menyebabkan manajer akan bertindak sesuai dengan kepentingan debtholders dan
shareholders, sehingga kondisi ini akan menarik masuknya kepemilikan institusional.

BAB 4

PERLINDUNGAN TERHADAP HAK PEMEGANG SAHAM

4.1. Perbedaan Kepentingan Para Pemegang Saham

Tata kelola perusahaan (corporate governance) mulai gencar diperbincangkan semenjak


krisis keuangan Asia 1997. Beberapa isu yang dibahas diantaranya adalah perbedaan kepentingan
antara pemilik/pemegang saham dengan manajer pada perusahaan dengan struktur kepemilikan

13
tersebar, pencideraan hak-hak pemegang saham minoritas oleh pemegang saham mayoritas pada
perusahaan dengan struktur kepemilikan terpusat, perbedaan kepentingan antara pemegang saham
dengan pemberi pinjaman (debtholder), dan masih banyak masalah lainnya. Intinya, permasalahan
yang muncul adalah principal-agent problem namun dengan pemeran yang berbeda-beda.

Struktur kepemilikan perusahaan terbuka di Indonesia sebagian besar adalah terpusat pada
seseorang atau kelompok tertentu. Terpusat yang dimaksud adalah terpusat pengendaliannya
maupun hak atas arus kas. Negara lain di Asia pun mempunyai struktur yang mirip. Claessens, et
al., 1999, menyatakan bahwa dengan sruktur terpusat, peluang terjadinya ekspropriasi pemegang
saham minoritas mudah terjadi karena pengendali utama tidak/sedikit mempunyai cashflow rights.
Ditambah lagi dengan undang-undang perlindungan investor yang lemah, kesempatan untuk
melakukan ekspropriasi semakin besar. La Porta et al., 2010, menyatakan bahwa perlindungan
terhadap investor di negara yang menerapkan code law, salah satunya Indonesia, lebih rendah
dibandingkan negara yang menerapkan common law.

Para individu/kelompok pengendali tersebut mempunyai berbagai cara untuk


mengendalikan perusahaan yang tidak dimilikinya secara langsung, yakni melalui struktur
piramida dimana perusahaan yang dikendalikannya mempunyai control atas perusahaan lainnya.
Di Indonesia banyak terdapat perusahaan dengan struktur tersebut. Bahkan karena rumitnya, kita
mungkin tidak akan pernah tahu siapa pemilik sesungguhnya (ultimate owner). Hal yang
dikhawatirkan adalah terjadinya ekspropriasi oleh ultimate owner tersebut yang dapat
menguntungkan dirinya sendiri sementara mengabaikan kepentingan para pemegang saham
lainnya, terutama pemegang saham minoritas.

Hal yang akan disoroti di sini adalah bagaimana kerangka regulasi di Indonesia dalam
mencegah/mengatasi ekspropriasi. Namun sebelumnya, perlu dibedakan tujuan investor dalam
membeli saham. Pada dasarnya ada dua tujuan investasi yakni tujuan jangka pendek dan tujuan
jangka panjang. Tujuan investasi jangka pendek lebih berfokus pada pergerakan harga saham
sehingga investor mendapat keuntungan yang berasal dari capital gain, hal ini disebut juga dengan
trading. Tujuan investasi jangka panjang berupa pengendalian atas perusahaan untuk
meningkatkan performa. Imbal hasil yang diperoleh adalah dividen. Sebagian besar investor publik
yang mempunyai kepemilikan yang tidak signifikan mempunyai tujuan jangka pendek, hanya

14
untuk trading. Beberapa investor lainnya, dengan kepemilikan sekitar 5% atau lebih dianggap
mempunyai tujuan jangka panjang. Investor inilah yang dianggap sebagai pemegang saham
minoritas karena dia akan berusaha memperjuangkan haknya bila dicederai, sementara investor
lain akan mengalami kesulitan menempuh jalur hukum sehingga lebih memilih untuk menjual
sahamnya.

Pemilik utama (ultimate owner) mempunyai insentif untuk melakukan ekspropriasi karena
dia tidak memilki cash flow rights atas perusahaan yang dikendalikannya. Selain itu, banyak pula
perusahaan induk yang mempunyai berbagai usaha (diversifikasi) baik berkaitan maupun tidak
berkaitan sehingga risiko pemilik utama menjadi lebih kecil akibat diversifikasi tersebut.
Ekspropriasi dapat terjadi seperti berupa tunneling. Johnson et al., 2000, mendefinisikannya
sebagai transfer kekayaan antarperusahaan dalam suatu struktur piramida agar menguntungkan
pihak pengendali, dalam hal ini pemilik utama. Permasalahannya adalah pemegang saham
minoritas tidak mempunyai cukup bargaining power untuk mencegah hal tersebut. Prinsip one
man one vote yang melekat pada saham yang dimiliki membuatnya selalu kalah dalam hal
pengambilan suara untuk menentukan keputusan.

La Porta et al., 1999, menunjukkan bahwa perlunya cash flow rights yang tinggi bagi
pemilik utama sebagai komitmen untuk mencegah ekspropriasi di negara dengan perlindungan
pemegang saham yang lemah. Dengan adanya kepemilikan cash flow rights, maka tindakan
ekspropriasi akan merugikan dirinya sendiri juga secara langsung sehingga pemilik utama akan
mengurangi/tidak melakukan ekspropriasi.

4.2. Hal-Hal Yang Harus Diperhatikan Untuk Perlindungan Pemegang Saham Minoritas
Agar pemegang saham minoritas mendapat perlindungan, maka yang harus di perhatikan
adalah beberapa hal sebagai berikut:

a) Personal Right

Pemegang saham sebagai subjek hukum mempunyai hak perseorangan atau personal right
yang dapat di pertahankan serta dapat menuntut pelaksanaan haknya. Dalam Undang-Undang
PT menyatakan bahwa setiap pemegang saham berhak mengajukan gugatan terhadap
perseroan melalui pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan dari

15
perseroan yang bersangkutan. Di sini jelas tampak bahwa undang-undang PT dimaksudkan
agar dapat memberikan perlindungan yang baik terhadap pemegang saham. Namun demikian
yang lebih memperoleh peluang dalam memanfaatkan ketentuan tersebut adalah pemegang
saham minoritas, karena pemegang saham minoritas bisa menolak suatu tindakan yang
hendak dilakukan oleh perseroan meskipun hal tersebut telah diputuskan oleh RUPS.

b) Hak Mewakili Perseroan

Lebih lanjut undang-undang memberikan hak suara khusus kepada pemegang saham
minoritas untuk dapat melakukan tindakan-tindakan atau bertindak selaku wakil perseroan
dalam memperjuangkan kepentingan perseroan terhadap tindakan perseroan yang merugikan,
sebagai akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan baik oleh anggota Direksi dan ataupun
oleh Komisaris (Pasal 85 ayat (3) jo. Pasal 98 ayat (2)).

Undang-undang menjelaskan bahwa dalam hal tindakan Direksi merugikan perseroan, maka
pemegang saham yang memenuhi persyaratan tersebut dapat mewakili perseroan untuk
melakukan tuntutan atau gugatan terhadap Direksi dan Komisaris melalui pengadilan.

c) Persyaratan

Dalam hal ini hak untuk melakukan gugatan atas nama perseroan dapat dilakukan oleh
pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (sepersepuluh) bagian dari jumlah seluruh
saham dengan hak suara yang sah. Selain itu pemegang saham yang mewakili paling sedikit
1/10 (sepersepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah, atau suatu
jumlah yang lebih kecil sebagaimana ditentukan dalam Anggaran Dasar perseroan yang
bersangkutan, dapat meminta untuk diselenggarakan RUPS (Pasal 66 ayat (2)).

d) Izin Pengadilan Negeri

Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan perseroan dapat
memberikan izin kepada pemohon untuk:

1) Melakukan sendiri pemanggilan RUPS tahunan atas permohonan pemegang saham


apabila Direksi atau Komisaris tidak menyelenggarakan RUPS tahunan pada waktu yang
telah ditentukan; atau

16
2) Melakukan sendiri pemanggilan RUPS lainnya atas permohonan pemegang saham
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2), apabila Direksi atau Komisaris setelah
lewat waktu tiga puluh hari terhitung sejak permintaan, tidak melakukan pemanggilan
RUPS lainnya (Pasal67 ayat ( 1) UUPT). Penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang
memberikan izin kepada pemohon untuk melakukan sendiri Pemanggilan RUPS (Pasal
67 ayat ( 1)) merupakan penetapan instansi pertama dan terakhir (Pasal ayat ( 4), yang
karena itu tidak dapat dimintakan bandingan sebagaimana biasa dimungkinkan terhadap
suatu putusan Pengadilan Negeri. Hal ini juga merupakan suatu kekhususan yang
diberikan oleh undang-undang dalam rangka penegakan kepentingan pemegang saham
minoritas agar pelaksanaan RUPS tidak tertunda. Dalam hak Ketua Pengadilan Negeri
memberikan izin kepada pemohon untuk melakukan sendiri pemanggilan RUPS
sebagaimana disebutkan di atas, Ketua Pengadilan Negeri dapat menetapkan bentuk, isi,
dan jangka waktu pemanggilan RUPS serta menunjuk ketua rapat tanpa terikat pada
ketentuan undang-undang (UUPT) dan Anggaran Dasar perseroan. Dalam hal ini pula
Ketua Pengadilan Negeri dapat memerintahkan agar Direksi dan atau Komisaris untuk
hadir dalam rapat tersebut.

e) Pemeriksaan Perseroan

Masalah lain yang juga merupakan suatu perbaikan dari peraturan yang berlaku sebelumnya
adalah kesempatan yang diberikan oleh undang-undang untuk melakukan pemeriksaan
terhadap perseroan, apabila permintaan langsung kepada perseroan untuk memperoleh data-
data atau keterangan yang diperlukan ditolak atau tidak diperhatikan oleh perseroan.
Permintaan data atau keterangan tersebut diajukan apabila terdapat dugaan bahwa:

1) Perseroan melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan pemegang saham atau
pihak ketiga; atau

2) Anggota Direksi atau Komisaris melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan
perseroan atau pemegang saham atau pihak ketiga (Pasal 110 UUPT). Pemeriksaan
seperti tersebut di atas dilakukan oleh pemegang saham atas nama diri sendiri atau atas
nama perseroan apabila mewakili paling sedikit 1/10 (sepersepuluh) bagian dari jumlah
seluruh saham dengan hak suara yang sah, dengan rnengajukan permohonan secara

17
tertutis beserta alasannya ke Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya rneliputi tempat
kedudukan perseroan. Proses selanjutnya tentang pemeriksaan perseroan dapat diikuti
melalui "Perneriksaan terhadap Perseroan".

f) Pembubaran Perseroan

Jalan keluar lainnya adalah Pengadilan Negeri dapat membubarkan perseroan atas
permohonan satu orang pemegang saham atau lebih yang mewakili jumlah tertentu
sebagaimana disebutkan di atas yaitu paling sedikit 1/10 (sepersepuluh) bagian dari jumlah
seluruh saham dengan hak suara yang sah (Pasal 117 ayat (1) b UUPT). Perlindungan terhadap
pemegang saham rninoritas juga tertuang dalam Pasal 104 UUPT yang rnenyebutkan bahwa
perbuatan hukum penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan perseroan harus
rnemperhatikan:

Kepentingan perseroan, pemegang saham rninontas dan karyawan perseroan; dan


Kepentingan masyarakat dan persaingan sehat dalam rnelakukan usaha.

g) Hak Atas Harga Wajar

Penggabungan, peleburan, dan pengarnbilalihan perseroan tidak mengurangi hak pemegang


saham rninoritas untuk rnenjual sahamnya dengan harga yang wajar sebagaimana telah diatur
dalarn Pasal 55 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1995 atau UUPT yaitu:
Setiap pemegang saham berhak rneminta kepada perseroan agar sahamnya dibeli dengan
harga yang wajar apabila yang bersangkutan tidak rnenyetujui tindakan perseroan yang
rnerugikan pemegang saham atau perseroan, berupa:

1) Perubahan anggaran dasar ;


2) Penjualan, penjaminan, pertukaran sebagian besar atau seluruh kekayaan perseroan ; atau
3) Penggabungan, peleburan atau pengambilan perseroan.

Di Indonesia, perusahaan publik yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia harus mentaati Undang-
Undang Perseroan Terbatas (UU PT) tahun 2007 dan Peraturan Bapepam-LK.

4.3. Perlindungan Hukum Terhadap Para Pemegang Saham Minoritas

18
Beberapa perlindungan hukum bagi para pemegang saham minoritas khususnya adalah
sebagai berikut:

1. Perlindungan hukum melalui hak perorangan

Pada dasarnya, undang-undang ini memberikan hak bagi pemegang saham untuk mengajukan
gugatan terhadap perseroan jika dirinya merasa dirugikan. Lebih jelas di pasal 138, pemegang
saham dapat mengajukan pemeriksaan terhadap perusahaan atas dugaan adanya perbuatan
yang merugikan pemegang saham dengan syarat permohonan diajukan oleh setidaknya 1/10
dari hak suara.

2. Perlindungan hukum melalui hak appraisal

Pasal 62 memfasilitasi para pemegang saham untuk dapat mengajukan pembelian saham oleh
perseroan pada harga wajar jika terdapat tindakan perseroan yang merugikan pemegang
saham. Tindakan perseroan yang dimaksud dapat berupa mengubah anggaran dasar,
pengalihan atau penjaminan kekayaan, atau penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan
pemisahan.

3. Perlindungan hukum melalui pre-emptive right

Hal ini tercermin pada pasal 43 dimana pemegang saham mempunyai hak penawaran terlebih
dahulu atas penambahan modal baru. Hal ini bertujuan untuk mencegah dilusi bagi para
pemegang saham yang sudah ada.

4. Perlindungan hukum melalui hak derivatif

Hak derivatif merupakan hak yang diberikan kepada pemegang saham untuk bertindak untuk,
atau atas nama perseroan melakukan tindakan hukum dalam bentuk pengajuan suatu gugatan
terhadap anggota direksi yang melakukan pelanggaran. Hal ini tercantum pada pasal 97 ayat
6 dan pasal 114 pasal 6.

5. Perlindungan hukum melalui hak angket

Perlindungan ini berupa hak untuk mengajukan permohonan pemeriksaan terhadap perseroan
yang diduga telah melakukan penyimpangan yang merugian para pemegang saham, diatur

19
pada pasal 138. Selain itu, jika beberapa pemegang saham ingin mengadakan RUPS, maka
permintaan pengajuan RUPS harus dilakukan oleh minimal 1/10 dari hak suara. Selanjutnya,
RUPS dapat dilangsungkan jika dihadiri oleh minimal 50% dari hak suara.

Perlindungan hak pemegang saham minoritas juga terdapat pada Undang-Undang Pasar
Modal (UU PM) terkait dengan kewajiban keterbukaan informasi sebagaimana tertuang pada pasal
85 dan pasal 86. Selain itu, pasal 87 mengatur pelaporan kepemilikan direktur dan komisaris serta
pengungkapan pihak-pihak yang memiliki minimal 5% kepemilikan. Selain itu, dalam peraturan
Bapepam-LK nomor X.K.6 tahun 2012 mengatur megenai kewajiban pengungkapan identitas
pemegang saham utama atau pengendali hingga lapis indvidu tertentu dalam laporan keuangan
tahunan. Pengungkapan tersebut disajikan dalam bentuk skema atau diagram. Meskipun peraturan
ini tidak mewajibkan pengungkapan hingga beneficial utimate owner, namun setidaknya dengan
ketentuan ini para pengguna laporan keuangan dapat mengetahui transaksi afiliasi dan melakukan
penelusuran ultimate owner secara mandiri. Regulasi ini sangat vital untuk kondisi perusahaan
seperti di Indonesia dimana struktur kepemilikan berbentuk piramida dan terdapat cross-
shareholding.

Peraturan Bapepam-LK lainnya adalah terkait keterbukaan informasi yang harus segera
diumumkan seperti diatur pada peraturan Bapepam-LK nomor X.K.1. Informasi yang dimaksud
berupa fakta material yang dapat mempengaruhi harga saham dan keputusan investor seperti:
penggabungan usaha, pembelian saham, peleburan usaha, pemecahan saham, pembagian dividen,
dan lain-lain.

20
BAB 5

TANGGUNG JAWAB DEWAN KOMISARIS DAN DEWAN DIREKSI

5.1. Tanggung Jawab Dewan Komisaris

1. Pengertian

Komisaris merupakan organ perseroan yang memegang fungsi pengawasan.

Dalam praktik ini terdiri dari beberapa orang, sehingga lebih dikenal dengan dewan

komisaris. Dewan komisaris adalah organ perseroan yang bertugas melakukan

21
pengawasan secara umum dan / atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi

nasehat kepada dewan direksi.

Bank Syari’ah sebagai lembaga yang berbadan hukum PT memiliki organ

bernama Dewan komisaris. Hal ini dipertegas dengan ketentuan pasal 28 UU perbankan

Syariah yang menyatakan bahwa:

Ketentuan yang mengenai syarat, jumlah, tugas, kewenangan, tanggung

jawab, serta hal lain yang menyangkut dewan komisaris dan direksi bank syari’ah diatur

dalam anggaran dasar bank syariah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang

undangan.

Dewan komisaris melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan jalannya

pengurusan pada umumnya, baik mengenai perseroan maupun usaha perseroan dan

memberi nasehat kepada direksi. Kesemuanya itu dilakukan untuk kepentingan

perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan. Yang dimaksud dengan

“untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan” adalah bahwa

pengawasan dan pemberian nasehat yang dilakukan oleh dewan komisaris tidak untuk

kepentingan pihak atau golongan tertentu tetapi untuk kepentingan perseroan secara

menyeluruh sesuai dengan maksud serta tujuan perseroan. Dan perseroan harus

mempunyai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan

ketentuan peraturan perundang- undangan, ketertiban umum, dan/atau kesusilaan.

Maksud dan tujuan perseroan ini menjadi dasar kewenangan dan batasan bagi

dewan komisaris dalam menjalankan tugasnya dibidang pengawasan. Artinya apabila ia

melanggar maksud dan tujuan perseroan maka ia dapat dimintai pertanggung jawaban

yang tidak terbatas oleh pihak – pihak yang merasa dirugikan, hal ini misalnya komisaris

membiarkan direksi melakukan tindakan yang merugikan perseroan. Padahal sudah

22
sepantasnya dewan komisaris perlu memberikan pertimbangan terhadap kegiatan

dimaksud.

2. Pertanggung jawaban secara pribadi.

Setiap anggota dewan komisaris ikut bertanggung jawab secara pribadi atas

kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya

sebagaimana dimaksud diatas. Dalam hal dewan komisaris terdiri atas dua anggota

dewan komisaris atau lebih, tanggung jawab tersebut berlaku secara tanggung renteng

bagi setiap anggota dewan komisaris. Ketentuan ini menegaskan bahwa apabila dewan

komisaris bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sehingga mengakibatkan kerugian

pada perseroan karena pengurusan yang dilakukan oleh direksi, anggota dewan

komisaris tersebut ikut bertanggungjawab sebatas dengan kesalahan atau kelalaiannya.

Anggota dewan komisaris tidak dapat dibertanggungjawabkan kerugian

sebagaimana dimaksud apabila dapat dibuktikan:

a. Telah melakukan pengawasan dengan itikad baik dan kehati hatian untuk

kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan.

b. Tidak mempunyai kepentingan pribadi, baik langsung maupun tidak langsung atas

tindakan pengurusan direksi yang mengakibatkan kerugian;dan

c. Telah memberikan nasehat kepada direksi untuk mencegah timbul atau berlanjutnya

kerugian tersebut.

3. Pertanggung jawaban dalam kepailitan Perseroan.

Dalam hal terjadi kepailitan disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian dewan

komisaris dalam melakukan pengawasan terhadap pengurusan yang dilaksanakan oleh

direksi dan kekayaan perseroan tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban

perseroan akibat kepailitan tersebut, setiap anggota dewan komisaris secara tanggung

renteng ikut bertanggung jawab dengan anggota Direksi atas kewajiban yang belum

23
dilunasi. Tanggung jawab tersebut berlaku juga bagi anggota dewan komisaris yang

sudah tidak menjabat lima tahun sebelum putusan pernyatan pailit di ucapkan.

Anggota Dewan komisaris tidak dapat dimintai pertanggungjawabanatas

kepailitan perseroan apabila dapat membuktikan:

a. Kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya.

b. Tidak melakukan tugas pengawasan dengan itikad baik dan kehatihatian untuk

kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan.

c. Tidak mempunyai kepentingan pribadi, baik langsung maupun tidak langsung atas

tindakan pengurusan oleh direksi yang mengakibatkan kepailitan;dan

d. Telah memberikan nasehat kepada direksi untuk mencegah terjadinya kepailitan.

Dewan komisaris mempunyai kewajiban untuk :

a. membuat risalah rapat dewan komisaris dan menyimpan salinannya.

b. Melaporkan kepada perseroan mengenai kepemilikan sahamnya dan/atau

keluarganya pada perseroan tersebut dan perseroan lain

c. Memberikan laporan tentang tugas pengawasan yang telah dilakukan selama tahun

buku yang baru lampau kepada RUPS.

Risalah rapat Dewan komisaris memuat segala sesuatu yang dibicarakan dan putuskan

dalam rapat tersebut. Yang dimaksud dengan salinannya adalah salinan risalah rapat dewan

komisaris karena asli risalah tersebut dipelihara direksi sebagaimana dimaksud pasal 100

UUPT bahwa setiap perubahan dalam kepemilikan saham tersebut wajib juga dilaporkan.

5.2. Tanggug Jawab Dewan Direksi

1. Pengertian

24
Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh

atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan

tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan

sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.

2. Pertanggungjawaban secara pribadi

Setiap anggota direksi bertanggungjawab penuh secara pribadi atas kerugian

perseroan jika yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya dengan tidak

bertanggungjawab dan beritikad baik.

Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan

sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. Direksi berwenang menjalankan pengurusan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat,

dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang ini dan/ atau anggaran dasar.

Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan:

a. kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;

b. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan

dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;

c. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas

tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan

d. telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian

tersebut.

Atas nama Perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu

persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat mengajukan

gugatan melalui pengadilan negeri terhadap anggota Direksi yang karena kesalahan atau

kelalaiannya menimbulkan kerugian pada Perseroan. Ketentuan sebagaimana dimaksud

25
pada ayat (5) pasal 97 tidak mengurangi hak anggota Direksi lain dan / atau anggota

Dewan Komisaris untuk mengajukan gugatan atas nama Perseroan.

3. Pertanggungjawaban dalam hal kepailitan Perseroan.

Direksi tidak berwenang mengajukan permohonan pailit atas Perseroan sendiri

kepada Pengadilan Niaga sebelum memperoleh persetujuan RUPS, dengan tidak

mengurangi ketentuan sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Dalam hal kepailitan sebagaimana dimaksud,

terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan harta pailit tidak cukup untuk

membayar seluruh kewajiban Perseroan dalam kepailitan tersebut, setiap anggota Direksi

secara tanggung renteng bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi

dari harta pailit tersebut. Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat 2 berlaku

juga bagi anggota Direksi yang salah atau lalai yang pernah menjabat sebagai anggota

Direksi dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan.

Anggota Direksi tidak bertanggungjawab atas kepailitan Perseroan sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) apabila dapat membuktikan:

a. kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;

b. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik, kehati-hatian, dan penuh tanggung

jawab untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;

c. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas

tindakan pengurusan yang dilakukan; dan

d. telah mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kepailitan.

4. Anggota dewan direksi dan dewan komisaris wajib memenuhi persyaratan

a. Tidak termasuk kedalam daftar orang orang yang dilarang menjadi pemegang saham

dan atau pengurus bank sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh bank indonesia.

26
b. Menurut penilaian bank Indonesia yang bersangkutan memiliki kompetensi dan

integritas yang baik, yaitu pihak pihak yang:

 Memiliki akhlak dan moral yang baik.

 Mematuhi peraturan perundang undangan yang berlaku.

 Memiliki komitmen yang tinggi dalm mengikuti fatwa dewan syariah nasional.

 Memiliki kemampuan dalam menjalankan tugas dan atau reputasi mengawasi

kegiatan usaha bank agar sesuai dengan prinsip syariah.

Sebagaimana dalam pasal 22 PBI No 6/24/PBI/2004, menjelaskan bahwa bank yang

sebagian sahamnya dimiliki oleh pihak asing dapat menempatkan warga negara asing sebagai

anggota direksi dan dewan komisaris. diantara anggota direksi dan dewan komisaris bank,

sekurang kurangnya terdapat 1 (satu) orang anggota direksi dan 1 (satu) orang anggota dewan

komisaris berkewarganegaraan indonesia.

Sedangkan Dalam jajaran direksi Bank Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28

wajib terdapat 1 (satu) orang direktur yang bertugas untuk memastikan kepatuhan Bank Syariah

terhadap pelaksanaan ketentuan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Pasal 24 PBI No 6/24/PBI/2004, menguraikan mengenai larangan yang harus di patuhi oleh

dewan direksi Bank, yaitu:

1. Sesama anggota dewan direksi saling memiliki hubungan keluarga sampai derajat kedua

termasuk besan.

2. Saling memiliki hubungan keluarga sampai derajat kedua termasuk besan dengan

anggota dewan komisaris.

3. Merangkap jabatan sebagai anggota direksi, dewan komisaris atau pejabat eksekutif pada

bank, perusahaan atau lembaga lain.

27
4. Memiliki saham melebihi 25% (dua puluh lima per seratus) dari modal disetor pada suatu

perusahaaan lain, baik secara sendiri – sendiri atau bersama – sama.

5. Memberikan kuasa umum pihak lain yang mengakibatkan pengalihan tugas dan

wewenang tanpa batas.

Dewan Komisaris terdiri atas 1 (satu) orang anggota atau lebih. Dewan Komisaris yang

terdiri atas lebih dari 1 (satu) orang anggota merupakan majelis dan setiap anggota Dewan

Komisaris tidak dapat bertindak sendiri-sendiri, melainkan berdasarkan keputusan Dewan

Komisaris.

Beberapa ketentuan yang harus dipenuhi oleh anggota dewan komisaris sebagai berikut :

a. Wajib memiliki pengetahuan dan atau pengalaman di bidang perbankan.

b. Hanya dapat merangkap jabatan sebagai berikut:

 Anggota dewan komisaris sebanyak – banyaknya pada satu bank lain.

 Anggota dewan komisaris, direksi, atau pejabat eksekutif yang memerlukan

tanggungjawab penuh sebanyak – banyaknya pada 2 (dua) lembaga / perusahaan lain

bukan bank.

 Dilarang saling memiliki hubungan keluarga sampai derajat kedua dengan sesama

anggota dewan komisaris.

Adapun ketentuan dan persyaratan terhadap direksi dan dewan komisaris untuk BPRS

pada umumnya adalah sama dengan bank syariah. Namun ada beberapa perbedaan seperti yang

dijelaskanpada PBI No 6/17/PBI/2004 berikut ini:

Anggota Direksi dan Dewan komisaris wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Integritas, yaitu memiliki akhlak dan moral yang baik, komitmen untuk mematuhi

peraturan perundang undangan yang berlaku, komitmen yang tinggi terhadap

28
pengembangan operasional bank yang sehat, dan tidk termasuk dalam daftar tidak lulus

sesuai dengan ketentuan yang di tetapkan oleh bank indonesia.

b. Kompetensi, yaitu :

bagi calon direksi:

 Memiliki pengetahuan dibidang perbankan yang memadai dan relevan dengan

jabatannya.

 Memiliki pengalaman dan keahlian dibidang perbankan dan atau bidang keuangan.

 Memiliki kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis dalam rangka

pengembangan BPRS yang sehat.

Yang dapat diangkat menjadi anggota Direksi adalah orang perseorangan yang

cakap melakukan perbuatan hukum, kecuali dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum

pengangkatannya pernah:

1. dinyatakan pailit;

2. menjadi anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris yang dinyatakan bersalah

menyebabkan suatu Perseroan dinyatakan pailit; atau

3. dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara dan/atau

yang berkaitan dengan sektor keuangan.

Ketentuan persyaratan sebagaimana dimaksud diatas tidak mengurangi

kemungkinan instansi teknis yang berwenang menetapkan persyaratan tambahan

berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pemenuhan persyaratan sebagaimana

dimaksud pada dibuktikan dengan surat yang disimpan oleh Perseroan.

Bagi calon Komisaris :

29
1. Memiliki pengetahuan dibidang perbankan yang memadai dan relevan dengan

jabatannya dan atau

2. Memiliki pengalaman dibidang perbankan.

Yang dapat diangkat menjadi anggota Dewan Komisaris adalah orang perseorangan yang

cakap melakukan perbuatan hukum, kecuali dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum

pengangkatannya pernah:

1. dinyatakan pailit;

2. menjadi anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris yang dinyatakan bersalah

menyebabkan suatu Perseroan dinyatakan pailit; atau

3. dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara dan/atau

yang berkaitan dengan sektor keuangan.

Ketentuan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi

kemungkinan instansi teknis yang berwenang menetapkan persyaratan tambahan

berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pemenuhan persyaratan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dibuktikan dengan surat yang disimpan oleh Perseroan.

Adapun jumlah anggota direksi BPRS sekurang kurangnya 2 (dua) Orang dan

sekurang kurangnya 50 % (Lima puluh persen) dari anggota direksi termasuk direktur

utama. Anggota direksi BPRS wajib berpengalaman operasional sekurang kurangnya;

1. 1(satu) tahun sebagai pejabaat dibidang pendanaan dan atau pembiayaan diperbankan

syariah atau

2. 4 ( empat) tahun sebagai pegawai dibidang pendanaan dan pembiayaaan diperbankan

syariah,atau

30
3. 2 (dua) tahun sebagai pejabat dibidang pendanaan dan atau perkreditan diperbankan

konvensional dan memiliki pengetahuan dibidang perbankan syariah.

Ketentuan lain yang harus dipenuhi oleh direksi adalah sebagai berikut:

a. Berpendidikan formal minimal setingkat diploma III atau sarjana muda;

b. Bagi anggota direksi lain yang belum berpengalaman perbankan syariah wajib

mengikuti pelatihan perbankan syariah;

c. Direktur utama BPRS wajib berasal dari pihak independen terhadap pemegang saham

pengendali;

d. Dilarang mempunyai hubungan keluarga sampai dengan derajat pertama, termasuk

dengan sesama anggota direksi atau anggota dewan komisaris;

e. Dilarang merangkap jabatan sebagai anggota direksi, komisaris atau pejabat eksekutif

pada lembaga perbankan, perusahaan, atau lembaga lain;

f. Dilarang memabrikan kuasa umum yang mengakibatkan pengalihan tugas dan

wewenang tanpa batas;

g. Seluruh anggota direksi BPRS harus berdomisili dekat dengan tempat kedudukan

kantor pusat BPRS.

Ketentuan lain yang harus dipenuhi oleh anggota dewan komisaris sebagai berikut:

1. Jumlah anggota dewan komisaris sekurang kurangnya 2 (dua) orang dan sebanyak

banyaknya 3 (tiga) orang

2. Sekurang kurangnya 1 (satu) orang anggota dewan komisaris wajib berdomisili dekat

dengan kedudukan BPRS.

3. Wajib memiliki pengetahuan dan atau berpengalaman dibidang perbankan atau

dibidang keuangan lainnya.

31
4. Merangkap jabatan hanya dapat dilakukan sebagai berikut:

a. Anggota dewan komisaris, sebanyak banyaknya pada 3 (tiga) bank lain,atau

b. Anggota dewan komisaris, direksi atau pejabat eksekutif yang memerlukan

tanggung jawab penuh sebanyak banyaknya pada 2 (dua) lembaga /perusahaan

lain bukan bank.

Calon anggota direksi atau dewan komisaris di bank islam dan BPRS wajib

memperoleh persetujuan ari bank Indonesia sebelum diangkat dan menduduki jabatannya

oleh rapat umum pemegang saham atau rapat anggota dengan berpedoman pada ketentuan

perundang undangan yang berlaku. Permohonan untuk memperoleh persetujuan tersebut

diajukan oleh bank kepada gubernur bank Indonesia dan wajib disertai dengan dokumen –

dokumen yang berkaitan dengan calon anggota direksi dan dewan komisaris.

Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan tersebut

Bank Indonesia melakukan :

1. Penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen;dan

2. Wawancara terhadap calon anggota dieksi atau dewan komisaris.

Adapun persetujuan atau penolakan atas pengajuan calon anggota direksi dan atau

dewan komisaris diberikan selambat lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak dokumen

permohonan diterima secara lengkap.

Dalam hal rapat umum pemegang saham atau rapat anggota telah mengangkat calon

anggota direksi dan atau calon anggota dewan komisaris sebelum persetujuan Bank

Indonesia dan apabila Bak Indonesia tidak mnyetujui pihak pihak yang dimaksud, maka

bank wajib mengajukan kembali calon anggota direksi dan atau calon anggota dewan

komisaris atau sesuai dengan ketentuan. Dalam hal rapat umum pemegang saham atau

rapat anggota membatalkan pngangkatan calon anggota direksi atau calon anggota dewan
32
komisaris yang telah disetujui oleh Bank Indonesia, maka bank wajib melaporkan

pembatalan tersebut kepada bank indonesia, selambat –lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah

tanggal pembataaln pengangkatan, disertai dengan fotocopy notulen rapat umum

pemegang saham atau fotocopy notulen rapat anggota. pengangkatan anggota direksi dan

atau dewan komisaris wajib dilaporkan oleh bank kepada Bank Indonesia selmbat

lambatnya 10 (sepuluh) hari sejak tanggal pengangkatan efektif, disertai dengan fotocopy

notulen rapat umum pemegang saham atau fotocopy notulen rapat anggota.

BAB 6

KOMISARIS INDEPENDEN

6.1. PENGERTIAN KOMISARIS INDEPENDEN

Dewan komisaris merupakan organ perseroan yang bertugas melakukan

pengawasan secara umum dan atau khusus serta memberikan nasihat kepada dewan direksi

dalam menjalankan perseroan. Institusi pengatur pihak yang berkepentingan (stakeholder)

khususnya pemegang saham adalah diwakili oleh dewan komisaris (Tunggal, 2002:33).

Dewan komisaris merupakan komponen yang penting sebagai pihak yang dapat

memecahkan masalah keagenan yang terjadi antara principal atau pemegang saham

dengan agen atau manajer.

33
Praktik good corporate governance mengharuskan adanya komisaris independen

dalam perusahaan yang diharapkan mampu mendorong dan menciptakan ilkim yang lebih

independen, objektif dan menempatkan kesetaraan sebagai prinsip utama dalam

memperhatikan kepentingan pemegang saham minoritas dan stakeholder lainnya. Dengan

two tiers system yang dianut oleh sistem korporasi di Indonesia, maka peranan para

pemegang saham akan dilaksanakan oleh dewan komisaris yang menjalankan fungsi

pengendalian. Komisaris independen merupakan posisi terbaik untuk melaksanakan fungsi

monitoring agar tercipta perusahaan yang good corporate governance (Ujiyantho,2007).

Keberadaan komisaris independen telah diatur Bursa Efek Jakarta melalui

peraturan BEJ tanggal 1 Juli 2000. Dikemukakan bahwa perusahaan yang listed di Bursa

harus mempunyai komisaris independen yang secara proposional sama dengan jumlah

saham yang dimiliki pemegang saham yang minoritas (bukan controlling shareholders).

Dalam peraturan ini, persyaratan jumlah minimal komisaris independen adalah 30% dari

seluruh anggota dewan komisaris. Karakteristik dewan komisaris secara umum dan

khususnya dapat menjadi suatu mekanisme yang menentukan tindakan manajemen laba

melalui peranan dewan komisaris dalam melakukan fungsi pengawasan terhadap

operasional perusahaan oleh pihak manajemen. Komposisi dewan komisaris dapat

memberikan kontribusi yang efektif terhadap hasil dari proses penyusunan laporan

keuangan yang berkualitas atau kemungkinan terhindar dari kecurangan laporan keuangan.

Sehingga dapat dikatakan bahwa komposisi dewan komisaris yang terdiri dari anggota luar

perusahaan mempunyai kecenderungan mempengaruhi manajemen laba (Boediono, 2005).

Penelitian yang dilakukan oleh Wedari (2004) menemukan proporsi dewan

komisaris independen mempunyai pengaruh negatif terhadap aktivitas manajemen laba.

34
Hasil penelitian ini juga didukung oleh hasil penelitian Chtourou (2001), yang memberikan

kesimpulan bahwa perusahaan yang memiliki proporsi anggota dewan komisaris yang

berasal dari luar perusahaan atau outside director dapat mempengaruhi tindakan

manajemen laba. Sehingga, jika anggota dewan komisaris dari luar meningkatkan tindakan

pengawasan, hal ini juga akan berhubungan dengan makin rendahnya aktivitas manajemen

laba (Cornett, 2006). Namun hasil penelitian tersebut tidak sama dengan hasil penelitian

yang didapatkan oleh Veronica (2005) yang meneliti pengaruh praktik corporate

governance terhadap manajemen laba. Praktik corporate governance yang diteliti yaitu

proporsi dewan komisaris independen. Hasil dari penelitian ini bahwa proporsi dewan

komisaris independen tidak terbukti berpengaruh terhadap manajemen laba yang dilakukan

oleh perusahaan. Hal tersebut dikarenakan pengangkatan komisaris independen hanya

dilakukan untuk pemenuhan regulasi saja tapi tidak dimaksudkan untuk menegakkan good

corporate governance. Selain itu ketentuan minimum dewan komisaris independen sebesar

30% mungkin belum cukup tinggi untuk para komisaris independen dapat mendominasi

kebijakan yang diambil oleh dewan komisaris. Suranta (2005) juga menemukan bahwa

proporsi komisaris independen tidak mempunyai pengaruh terhadap manajemen laba. Hal

tersebut mengindikasikan bahwa komisaris independen masih dipertanyakan tingkat

independensinya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa proporsi komisaris independen

mempunyai pengaruh terhadap praktek manajemen laba karena dengan adanya komisaris

independen maka tingkat pengawasan dapat semakin meningkat karena independen yang

dimiliki oleh dewan komisaris.

35
Secara langsung keberadaan Komisaris Independen menjadi penting, karena

didalam praktek sering ditemukan transaksi yang mengandung benturan kepentingan yang

mengabaikan kepentingan pemegang saham publik (pemegang saham minoritas) serta

stakeholder lainnya, terutama pada perusahaan di Indonesia yang menggunakan dana

masyarakat didalam pembiayaan usahanya.

Komisaris Independen adalah anggota dewan komisaris yang tidak terafiliasi

dengan Direksi, anggota dewan komisaris lainnya dan pemegang saham pengendali, serta

bebas dari hubungan bisnis atau hubungan lainnya yang dapat mempengaruhi

kemampuannya untuk bertindak independen atau bertindak semata-mata demi kepentingan

perusahaan.

Disadari bahwa menurut UUPT semua komisaris pada hakekatnya harus bersikap

independen dan diharapkan mampu melaksanakan tugasnya secara independen, semata-

mata untuk kepentingan perusahaan, terlepas dari pengaruh berbagai pihak yang memiliki

kepentingan yang dapat berbenturan dengan kepentingan pihak lain. Dengan demikian

tanpa harus mempertentangkan, pengertian Komisaris Independen di dalam UUPT sama

dengan anggota Dewan Komisaris.

Pertimbangan Independen adalah cara pandang atau penyelesaian masalah dengan

mengesampingkan kepentingan pribadi dan menghindari benturan kepentingan.

Profesional adalah penguasaan tugas atau pekerjaan yang didasarkan kepada keahlian dan

keterampilan yang teruji serta dukungan oleh dedikasi dan etika profesi. Stakeholders

adalah seluruh pihak yang memiliki kepentingan secara langsung atau tidak langsung

terhadap kesinambungan perusahaan, termasuk didalamnya pemegang saham, karyawan,

36
pemerintah, pelanggan, pemasok kreditor, dan masyarakat. Benturan Kepentingan adalah

perbedaan antara kepentingan ekonomis perusahaan dengan kepentingan ekonomis pribadi

direktur, komisaris, atau pemegang saham utama perusahaan.

Good Corporate Governance (GCG) adalah suatu proses dan struktur yang

digunakan oleh organ perusahaan guna memberikan nilai tambah pada perusahaan secara

berkesinambungan dalam jangka panjang bagi pemegang saham, dengan tetap

memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan perundangan dan

norma yang berlaku.

1. Afiliasi adalah :

a. Hubungan keluarga karena perkawinan dan keturunan sampai derajat kedua, baik

secara horizontal maupun vertical;

b. Hubungan antara Pihak dengan pegawai, direktur, atau komisaris dari pihak

tersebut;

c. Hubungan antara 2 (dua) perusahaan dimana terdapat satu atau lebih anggota

direksi atau dewan komisaris yang sama;

d. Hubungan antara perusahaan dan pihak, baik langsung maupun tidak langsung,

mengendalikan atau dikendalikan oleh perusahaan tersebut;

e. Hubungan antara 2 (dua) perusahaan yang dikendalikan, baik langsung maupun

tidak langsung, oleh Pihak yang sama; atau

f. Hubungan antara perusahaan dan pemegang saham utama.

2. Eksekutif adalah jabatan yang memiliki wewenang untuk mengambil keputusan untuk

kepentingan dan atas beban perusahaan.

37
3. Eksekutif adalah jabatan yang memiliki wewenang untuk mengambil keputusan untuk

kepentingan dan atas beban perusahaan.

4. Pemegang Saham Pengendali adalah pemegang saham yang memiliki 20% (dua puluh

perseratus) atau lebih saham perusahaan yang ditempatkan, atau pemegang saham yang

memiliki kemampuan untuk menentukan baik langsung maupun tidak langsung,

dengan cara apapun pengelolaan dan atau kebijaksanaan perusahaan meskipun jumlah

saham yang dimiliki kurang dari 20% (dua puluh perseratus).

5. Pertimbangan Independen adalah cara pandang atau penyelesaian masalah dengan

mengesampingkan kepentingan pribadi dan menghindari benturan kepentingan.

6. Profesional adalah penguasaan tugas atau pekerjaan yang didasarkan kepada keahlian

dan keterampilan yang teruji serta didukung oleh dedikasi dan etika profesi.

7. Stakeholders adalah seluruh pihak yang memiliki kepentingan secara langsung atau

tidak langsung terhadap kesinambungan perusahaan, termasuk didalamnya pemegang

saham, karyawan, pemerintah, pelanggan, pemasok, kreditor, dan masyarakat.

Misi Komisaris Independen adalah mendorong terciptanya iklim yang lebih

objektif dan menempatkan kesetaraan (fairness) di antara berbagai kepentingan termasuk

kepentingan perusahaan dan kepentingan stakeholder sebagai prinsip utama dalam

pengambilan keputusan oleh Dewan Komisaris.

Komisaris Independen harus mendorong diterapkannya prinsip dan praktek tata

kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) pada perusahaan di Indonesia.

6.2. TANGGUNG JAWAB KOMISARIS INDEPENDEN

38
Komisaris Independen memiliki tanggung jawab pokok untuk mendorong

diterapkannya prinsip tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) di

dalam perusahaan melalui pemberdayaan Dewan Komisaris agar dapat melakukan tugas

pengawasan dan pemberian nasihat kepada Direksi secara efektif dan lebih memberikan

nilai tambah bagi perusahaan.

Dalam upaya untuk melaksanakan tanggung jawabnya dengan baik maka

Komisaris Independen harus secara proaktif mengupayakan agar Dewan Komisaris

melakukan pengawasan dan memberikan nasehat kepada Direksi yang terkait dengan,

namun tidak terbatas pada hal-hal sebagai berikut:

a. Memastikan bahwa perusahaan memiliki strategi bisnis yang efektif, termasuk di

dalamnya memantau jadwal, anggaran dan efektifitas strategi tersebut.

b. Memastikan bahwa perusahaan mengangkat eksekutif dan manajer-manajer

profesional.

c. Memastikan bahwa perusahaan memiliki informasi, sistem pengendalian, dan sistem

audit yang bekerja dengan baik.

d. Memastikan bahwa perusahaan mematuhi hukum dan perundangan yang berlaku

maupun nilai-nilai yang ditetapkan perusahaan dalam menjalankan operasinya.

e. Memastikan resiko dan potensi krisis selalu diidentifikasikan dan dikelola dengan

baik.

39
f. Memastikan prinsip-prinsip dan praktek Good Corporate Governance dipatuhi dan

diterapkan dengan baik.

Tugas Komisaris independen antara lain berupa:

a. Menjamin transparansi dan keterbukaaan laporan keuangan perusahaan.

b. Perlakuan yang adil terhadap pemegang saham minoritas dan stakeholder yang lain.

c. Diungkapkannya transaksi yang mengandung benturan kepentingan secara wajar dan

adil.

d. Kepatuhan perusahaan pada perundangan dan peraturan yang berlaku.

e. Menjamin akuntabilitas organ perseroan.

7. KOMISARIS INDEPENDEN DI INDONESIA

Di Indonesia, istilah dewan direksi memiliki makna yang berbeda dari board of

directors tergantung dari istilah yang digunakan. Umumnya, di Indonesia dewan direksi

adalah dewan eksekutif, sedangkan di negara barat, board of directors adalah dewan

pengawas. Sebagai contoh, di Bank OCBC NISP, dewan pengawas dinamakan dewan

komisaris, sedangkan dewan eksekutif dinamakan dewan direksi. Namun, Pertamina

menggunakan istilah board of commissioners (sebagai pengawas) dan board of directors

(sebagai eksekutif). Untuk keperluan artikel ini, istilah yang akan digunakan adalah dewan

pengawas (biasanya disebut dewan komisaris) dan dewan eksekutif (biasanya disebut

40
dewan direksi) untuk menghindari kekeliruan karena penggunaan istilah dewan direksi di

Indonesia bisa mengacu ke salah satu fungsi dari kedua dewan tersebut.

Di beberapa perusahaan di Amerika Serikat yang memiliki satu dewan saja,

biasanya tugas dan tanggung jawab kedua dewan tersebut dijadikan satu dalam dewan

direksi, yang beranggotakan direksi dalam (di Indonesia dinamakan komisaris) dan direksi

luar (di Indonesia dinamakan komisaris independen).

Kegiatan dewan pengawas ditentukan oleh kekuasaan, tugas-tugas, dan tanggung

jawab yang diberikan kepadanya oleh suatu otoritas yang berada diluarnya. Biasanya, hal-

hal ini dijelaskan dalam anggaran dasar (AD) organisasi tersebut. Anggaran dasar biasanya

juga menyebutkan jumlah anggota dewan, bagaimana mereka dipilih, dan kapan mereka

mengadakan pertemuan.

Dalam organisasi yang anggotanya memiliki hak pilih (voting rights), dewan

pengawas bergerak atas nama, dan tunduk kepada, quorum. Quorumlah yang biasanya

memilih anggota dewan pengawas. Dalam perusahaan terbuka (dengan saham), dewan

dipilih oleh pemegang saham, dan dewan merupakan otoritas tertinggi dalam manajemen

perusahaan. Dalam sebuah perusahaan tanpa saham, tanpa anggota yang memiliki hak

pilih, misalnya universitas di Amerika Serikat, dewan biasanya merupakan kekuasaan

tertinggi institusi tersebut; yang mana anggotanya terkadang dipilih oleh oleh dewan itu

sendiri.

Saat ini pemerintah Indonesia mengharuskan penerapan Tata Kelola Perusahaan

yang baik (Good Corporate Governance) pada perusahaan-perusahaan, terutama

perusahaan yang telah go public yang terdaftar pada Bursa Efek Indonesia (BEI) dalam

rangka perbaikan dan peningkatan ekonomi. Dengan Good Corporate Governance (GCG)

41
diharapkan dapat meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna

mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan

kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan perundangan dan nilai-nilai etika

yang berlaku.

Menurut Susiana dan Arleen Herawaty (2007), elemen-elemen yang terkandung

dalam pengukuran mekanisme corporate governance adalah:

1. Persentase saham yang dimiliki oleh institusi

2. Persentase saham yang dimiliki oleh manajemen

3. Keberadaan komite audit dalam perusahaan

4. Keberadaan komisaris independen dalam perusahaan

Hal ini didukung dengan adanya Peraturan Bapepam No. I-A tentang Ketentuan

Umum Pencatatan Efek bersifat ekuitas di bursa huruf C-1, dimana dalam rangka

penyelenggaraan pengelolaan yang baik (good corporate governance). Perusahaan tercatat

wajib memiliki:

1. Komisaris independen yang jumlahnya secara proporsional sebanding dengan

jumlah saham yang dimiliki oleh bukan Pemegang Saham Pengendali dengan

ketentuan jumlah Komisaris Independen sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh

persen) dari jumlah seluruh komisaris.

2. Komite Audit.

3. Sekretaris perusahaan.

42
Oleh karena itu, dalam mengelola perusahaan menurut kaedah-kaedah umum GCG,

peran Komisaris Independen sangat diperlukan. Komisaris Independen dapat berfungsi

untuk mengawasi jalannya perusahaan dengan memastikan bahwa perusahaan tersebut

telah melakukan praktek-praktek transparansi, disclosure, kemandirian, akuntabilitas dan

praktek keadilan menurut ketentuan yang berlaku di suatu sitem perekonomian (negara)

(Adityawan Chandra, 2006).

Komisaris Independen yang capable dan efektif di perusahaan publik merupakan

salah satu pendorong implementasi Good Corporate Governance (GCG) (Effendi, 2008).

Sebelum diberlakukan ketentuan tentang komisaris independen, tidak ada pihak yang

bertanggungjawab yang mewakili pemegang saham minoritas dalam forum Rapat Umum

Pemegang Saham (RUPS) maupun rapat Direksi (Board of Directors) & komisaris (Board

of Commissioner) perusahaan publik (Effendi, 2008). Oleh karena itu, makalah ini

membahas tentang peranan komisaris independen dalam pelaksanaan Good Corporate

Governance (GCG).

8. KAEDAH-KAEDAH DASAR GOOD CORPORATE GOVERNANCE

Sistem tatakelola perusahaan yang baik merupakan jalinan keterkaitan antar

stakeholder perusahaan yang digunakan untuk menetapkan dan mengawasi arah stratejik

dan kinerja usaha suatu organisasi. Dalam prakteknya GCG merupakan acuan tertulis

(pedoman) mengenai kesepakatan antar para stakeholders dalam mengidentifikasi dan

merumuskan keputusan-keputusan statejik secara efektif dan terkoordinasi (Hitt dan

kawan2, 2000). Dengan bekal dari pedoman tersebut maka dapat dibangun saling

kepercayaan antara pemilik perusahaan dan para pimpinan perusahaan (Dewan Direksi dan

para Manajer tingkat puncak). Guna mengawasi lebih lanjut kinerja perusahaan dan

43
menjaga kepentingan para pemilik modal secara profesional, maka pemilik perusahaan

melalui RUPS, mengangkat anggota komisaris untuk duduk dalam Dewan Komisaris.

Menurut konsep GCG perusahaan akan memperoleh nilai perusahaan (value of the

firm) yang maksimal apabila fungsi dan tugas masing-masing pelaku organisasi bisnis yang

modern dapat dipisahkan dengan membentuk:

(1) Board of Directors, dengan syarat mereka bekerja full time dengan tidak boleh

merangkap pekerjaan. Mereka mengelola perusahaan melalui berbagai keputusan

managerial stratejik perusahaan.

(2) Board of Commisionners (BOC), meliputi komisaris biasa dan Komisaris

Independen serta berbagai komite yang dibentuknya. Fungsi utama BOC adalah

mengawasi arah kepengusahaan dan jalannya perusahaan menurut prinsip-prinsip GCG.

Menurut Bank Dunia, Corporate Governance “is a blend of law, regulation and

appropiate voluntary private sector practices which enable a corporation to attract financial

and human capital, perform effectively and thereby perpetuate itself by generating long

term economic value for its shareholders and society as a whole”.

Pentingnya corporate governance juga ditekankan oleh berbagai kalangan akademisi

dengan tujuan akhir bahwa aplikasi konsep ini di perusahaan dapat memberikan nilai

perusahaan secara berkelanjutan (sustainabled) dan sekaligus memberikan manfaat bagi

kepentingan para pemegang saham dan stakeholders yang terkait.

Dalam ketentuan yang ditetapkan oleh Kantor Meneg BUMN, corporate governance

dipandang sebagai proses pengambilan keputusan yang efektif yang bersumber dari budaya

perusahaaan, etika, nilai, sistem, proses bisnis, kebijakan dan struktur organisasi, yang

kesemuanya bertujuan untuk mendorong dan mendukung pengembangan perusahaan,

44
pengelolaan sumberdaya dan risiko secara lebih efisien dan efektif dengan pertanggung

jawaban perusahaan kepada pemegang saham dan stake holder terkait. Jadi semakin jelas

dari uraian ini konsep GCG akan membawa manfaat bagi penciptaan pertambahan nilai

untuk berbagai pihak pemegang kepentingan (stakeholders), yang meliputi pemegang

saham, pengurus, kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern

dan ekstern.

Manfaat ini dapat diperoleh karena adanya peraturan hubungan antar para

stakeholders dan pengawasan oleh Dewan Komisaris yang independen.

9. FUNGSI DAN TUGAS DEWAN KOMISARIS DAN KOMISARIS INDEPENDEN

Fungsi Dewan Komisaris (Dekom) termasuk anggota Komisaris Independen

adalah mencakup dua peran sebagai berikut:

(1) Mengawasi Direksi perusahaan dalam mencapai kinerja dalam business plan dan

memberikan nasehat kepada Direksi mengenai penyimpangan pengelolaan usaha yang

tidak sesuai dengan arah yang ingin dituju oleh perusahaan.

(2) Memantau penerapan dan efektivitas dari praktek GCG.

Agar supaya fungsi dan tugas Dekom ini dapat berjalan dengan baik, maka perlu

dipastikan bahwa setiap kebijakan dan keputusan Dekom yang dikeluarkan tidak memihak

kepentingan BOD sebagai “agent” atau bias kepada “kepentingan pemilik”. Dalam hal ini

Komisaris Independen dapat berperan dalam untuk mewakili kepentingan pemegang

saham minoritas.

45
Dalam kaitannya dengan upaya menjalankan GCG di perusahaan seluruh Anggota

Komisaris atau Komisaris Independen perlu mengerti dan menjalankan tugasnya dengan

mengacu pada prinsip-prinsip GCG berikut ini:

(a) Transparansi yang menunjukan kemampuan dari berbagai pihak pemegang

kepentingan terkait untuk melihat dan memahami proses dan acuan yang digunakan dalam

pengambilan keputusan dalam mengelola perusahaan. Disini perlu dibangun berbagai

sistem prosedur yang baku untuk ditaati dalam proses pengambilan keputusan. Berkaitan

dengan proses pengambilan keputusan penting yang berkaitan dengan azas ini mencakup

antara lain penunjukan komisaris dan direksi, remunerasi komisaris dan direksi, kinerja

komisaris dan direksi, hubungan dengan pihak eksternal, trasaksi dengan pihak ketiga, dan

penunjukan auditor.

(b) Disclosure yang merupakan penyajian informasi kepada berbagai pihak

pemegang kepentingan mengenai berbagai hal-hal yang berkenaan dengan kinerja

operasional, keuangan dan risiko usaha perusahaan.

Pada tahap awal menerima tugas pekerjaannya, BOC dan BOD perlu memastikan

bahwa eksternal auditor, internal auditor dan Komite Audit mempunyai akses terhadap

informasi yang dimiliki perusahaan, dengan syarat kerahasiaan informasi perusahaan ini

tetap dijaga. Kemudian, pada tahap berikutnya, BOD perlu menyampaikan laporan

keuangan audited dan kinerja usaha kepada publik secara rutin (RUPS, lembaga bursa,

public expose, berita surat kabar). BOC dan BOD perlu memberikan laporan corporate

governance kepada pihak pemerintah atau badan pengawas eksternal (Bank Indonesia,

Bapepam, Kantor Meneg BUMN).

46
Perusahaan perlu juga menyampaikan pada publik sejauh mana tingkat kepatuhan

telah mereka jalankan, yang meliputi ketaatan pada peraturan dan Undang-Undang yang

berlaku, arahan pemerintah, peraturan perpajakan, prosedur standar akuntasi serta standar

operasional lainnya.

(c) Akuntanbilitas yang berkaitan dengan pertanggungan jawab BOC dan BOD

atas keputusan manajerial dan hasil kinerja usaha yang dicapai, sesuai dengan wewenang

yang dilimpahkan dalam pelaksanaan tanggung jawab dalam mengelola perusahaan.

BOD dan BOC perlu menyampaikan laporan realisasi pencapaian kinerja usahanya

dikaitkan dengan pencapaian target-target usaha yang ditetapkan dalam business plan dan

menyampaikan laporan keuangan yang telah diaudit secara rutin dan tepat waktu kepada

publik. Bahkan untuk beberapa perusahaan laporan keuangan dan kegiatan operasional

disampaikan oleh BOD kepada BOC secara rutin dalam laporan semesteran, triwulanan,

atau bulanan.

(d) Kemandirian yang menuntut pemilik perusahaan, BOD dan BOC dalam

menjalankan kegiatan usaha melepaskan diri dari berbagai pengaruh atau tekanan yang

berasal dari pihak tertentu yang dapat menggangu, merugikan, atau mengurangi

obyektifitas pengambilan keputusan.

Praktek-praktek kemandirian dapat meliputi kriteria seleksi anggota komisaris dan

anggota direksi, akses terhadap pendapat konsultan independen, proses alokasi kredit,

proses lelang, dan proses audit.

(e) Keadilan, yang menjamin terselengaranya perlakuan adil pada para pihak

pemegang kepentingan, termasuk pemegang saham minoritas dan asing. Disamping

perlakuan adil ini diberikan kepada pihak tersebut diatas, maka perlu dijamin hal serupa

47
akan diberikan pada karyawan dan pegawai perusahaan serta kelompok masyarakat yang

bermukim di sekitar perusahaan. Beberapa perusahaan besar seperti halnya Citibank,

Kelompok Sampoerna dan perusahaan Coca-Cola dan Unilever bahkan telah menjalankan

berbagai bentuk social resposibility programs atau community development yang dirasakan

manfaatnya oleh kalangan eksternal di luar perusahaan.

Dalam menjalankan tugasnya Dewan Komisaris dapat membentuk berbagai komite

yang membantu fungsi Dewan Komisaris agar berjalan secara lebih efektif.

(1) Komite audit memastikan terselenggaranya efektifitas dari pengendalian

intern, pelaksanaan tugas external auditor dan internal auditor.

(2) Komite Nominasi yang menyusun kriteria seleksi dan prosedur nominasi

anggota Komisaris dan Direksi dan eksektutif lainnya, merancang sistem penilaian, dan

memberikan rekomendasi tentang jumlah direksi dan komisaris.

(3) Komite Remunerasi yang menetapkan arahan dalam pennyusunan sistem

penggajian dan pemberian tunjangan serta rekomendasi atas penilaian sistem remunerasi,

pemberian saham, sistem pensiun dan kompensasi dalam kasus pengurangan pegawai.

(4) Komite Asuransi dan Resiko Usaha yang melakukan penilaian berkala dan

pemberian rekomendasi resiko usaha dan jenis serta jumlah asuransi.

10. KEDEDUKAN KOMISARIS DALAM KAITANNYA DENGAN GCG

GCG atau Good Corporate Governance adalah tata kelola perusahaan dengan baik.

Sejak Indonesia masuk dalam krisis ekonomi, maka prinsip Good Corporate Governance

diharapkan dapat menjadi bagian untuk pembenahan pengelolaan corporasi. Setiap emiten,

direksi dan komisaris harus secara ikhlas bersedia mengubah dan menjadikan setiap gerak

dari usaha mereka, telah mencerminkan prinsip tersebut.

48
Secara formal, Good Corporate Governance hanya ditujukan bagi perusahaan yang

statusnya merupakan perusahaan publik, khususnya emiten yang telah menyerap dana dari

masyarakat dan memiliki saham publik yang sifatnya minoritas dan independen. Secara

sederhana dapat digambarkan sebagai bentuk dari pelaksanaan tanggung jawab antara

perusahaan sebagai badan hukum, direksi dan komisaris sebagai pengurus dengan para

pemegang saham. Caranya dengan menjalankan ketentuan Anggaran Dasar (AD) dalam

rangkaian kewajiban untuk transparansi, bertanggung jawan, adil dan akuntabilitas.

Sehubungan dengan hal tersebut, dalam rangka pelaksanaan prinsip Good

Corporate Governance, maka dunia usaha sekarang ini, memerlukan komisaris

independen yang duduk dalam jajaran pengurus perseroan. Perkembangan ini patut dapat

pujian karena memperlihatkan adanya kesadaran untuk menata ulang keberadaan dan

kegiatan usahanya secara baik. Diharapkan kehadiran komisaris independen tidak hanya

sekedar simbol, atau hiasan belaka. Mengapa? Karena pada prakteknya, tidak jarang

komisaris independen hanya diperlukan sebagai suatu schock terapy bagi orang orang yang

bermaksud tidak baik terhadap perseroan.

Sebagai contoh, dijaman sebelum orde reformasi, banyak pensiunan perwira tinggi

yang diangkat sebagai komisaris, meskipun mereka jarang ke kantor, bahkan mereka tidak

mengetahui seluk-beluk dan permasalahan bisnis perseroan.

11. POSISI KOMISARIS INDEPENDEN DIHADAPKAN DENGAN POSISI BOARD OF

DIRECTOR (BOD)

49
Secara teori dan praktek fungsi organ perseroan Board Of Director ( Direksi )

melakukan perbuatan kepengurusan, sedang fungsi Dewan Komisaris (Dekom) atau dalam

bahasa asingnya biasa disebut Board Of Commisaris melakukan fungsi pengawasan,

mereka melakukan segala kemampuan terbaiknya hanya untuk kepentingan perseroan.

Saat ini di dalam suatu perseroan, diwajibkan mempunyai sekurang kurangnya satu

orang komisaris independen, yang berasal dari luar perusahaan serta tidak mempunyai

hubungan bisnis dengan perusahaan atau afiliasinya.

Tujuan menghadirkan seorang komisaris independen adalah sebagai penyeimbang

pengambilan keputusan dewan komisaris. Oleh sebab itu, harus ada tolak ukur penilaian

kinerja board of director/dewan komisaris. Dalam konstruksi hukum Perseroan Terbatas,

kinerja perseroan adalah indikator performa Board of Director. Hal ini sebagai konsekuensi

bahwa BOD menjalankan fungsi kepengurusan.

Board of Directors adalah diangkat oleh pemegang saham untuk mewakili

kepentingan mereka. Dengan demikian badan ini bukanlah independen, tetapi dalam setiap

masalah berpihak kepada pemegang saham. Konsep ini berdasarkan pemikiran bahwa

perseroan didirikan oleh pemilik sebagai pemegang saham terutama untuk kepentingannya.

Kedudukan pemegang saham minoritas yang jumlahnya besar dan tersebar tidak

dapat dipersatukan dan sering tidak terwakili dalam pengambilan keputusan, sehingga

menyebabkan kedudukan dan kewenangannya juga kurang penting, dalam mengangkat

dan menentukan siapa yang akan menjadi board of directors. Akhirnya yang menentukan

keanggotan badan tersebut adalah pemegang saham mayoritas.

50
Dalam hal ini fungsi dan efektifitas dari komisaris independen berperan, namun

demikian efektifitasnya sangat tergantung dari desain, kualitas pengawasan yang patut

diterapkan secara terus menerus, serta perilaku dan tanggung jawab hukum terhadap

komisaris. Kedudukan komisaris independen didesain dan dituangkan dalam anggaran

dasar perseroan. Keterkaitan antara aspek pengawasan dan tanggung jawab secara yuridis

dalam setiap langkah usaha yang dilakukan oleh manajemen akan sangat mempengaruhi

kemandirian dan keputusan yang dibuat oleh komisaris independen.

Hendaknya setiap komisaris independen juga harus senantiasa memahami prinsip-

prinsip dalam melaksanakan GCG / Tata Kelola Perusahaan yang baik meliputi:

(1) keadilan; antara lain adanya perlindungan dan perlakuan sama kepada para pemegang

saham minoritas dan juga asing. Kemudian melarang untuk pembagian pihak sendiri dan

kecurangan insider trading, dan sistem remunerasi yang adil;

(2) transparansi; antara lain pengungkapan informasi yang benar dan tepat tentang kondisi

perusahaan secara terbuka ke semua pemangku kepentingan agar mereka tahu pasti apa

yang telah dan bisa terjadi. Diperlukan sistem audit yang terbuka, sistem informasi

manajemen, mengembangkan teknologi informasi, dan pelaporan tahunan perusahaan

bermutu yang memuat berbagai informasi yang diperlukan;

(3) akuntabilitas; antara lain ada pengawasan yang efektif terhadap manajemen

perusahaan yang merupakan pertanggungjawaban kepada perusahaan dan pemegang

saham. Diperlukan keseimbangan kekuasaan antara pemegang saham, komisaris, dan

51
direksi. Ada pelaporan keuangan dengan cara dan waktu yang tepat, pertanggung-jawaban

dari komisaris dan direksi, penangan konflik, dan audit efektif.;

(4) tanggung jawab yakni yang mencerminkan adanya kepatuhan perusahaan pada

peraturan dan undang-undang yang berlaku, penegakkan etika dan lingkungan bisnis,

kedisiplinan, kesadaran dan keterlibatan sosial. Dan;

(5) etika dan budaya kerja; sebagai landasan moral dan nilai-nilai integritas yang

mengatur komisaris dan direksi serta pihak karyawan (manajemen dan non-manajemen).

Prinsip-prinsip GCG diterjemahkan ke dalam perilaku kerja karyawan perusahaan.

Dalam prakteknya, keberhasilan penerapan GCG tidaklah semudah memahami

batasan atau konsepnya. Sebaik-baik prinsip-prinsip GCG dan peraturan bukanlah jaminan

tidak akan timbul penyimpangan kalau tanpa adanya integritas termasuk moralitas yang

baik dari individunya. Tidak jarang terjadi fenomena kesalahpahaman, kekurang-taatan

(ketidakpatuhan), dan konflik peran dan fungsi pengambilan keputusan diantara para

pengelola perusahaan. Kalau sudah seperti itu keberhasilan GCG sangatlah bergantung

pada integritas dari para pengelola perusahaan bersangkutan.

BAB 7
KOMITE AUDIT

2.1 Dasar Hukum Pembentukan Komite Audit


A. Peraturan Bapepam-LK Nomor IX.15 tentang Pembentukan dan Pedoman
Pelaksanaan Kerja Komite Audit
1. Definisi :

52
a. Komite audit adalah komite yang dibentuk oleh dewan komisaris dalam membantu
melaksanakan tugas dan fungsinya
b. Komisaris independen adalah anggota komisaris yang:
1) Berasal dari luar emiten atau perusahaan publik
2) Tidak memiliki saham baik langsung maupun tidak langsung pada emiten atau
perusahaan publik
3) Tidak mempunyai hubungan Afiliasih dengan Emiten atau perusahaan publik
Komisaris,Direksi , atau Pemegang Saham utama Emiten atau perusahaan.
4) Tidak memiliki hubungan usaha baik langsung maupun tidak langsung
berkaitan dengan kegiatan usaha emiten atau perusahaan publik.
2. Pembentukan Komite Audit
a. Eminten atau perusahaan publik wajib memiliki komite audit.
b. Emiten atau perusahaan publik wajib memiliki pedoman kerja komitre audit.
c. Komite audit bertanggung jawab kepada dewan komisaris.
d. Komite audit terdiri sekurang-kurangnya satu orang komisaris independen dan
sekurang-kurangnya 2 (dua) orang anggota lainnya berasal dari emiten atau
perusahaan publik.

3. Pedoman Pembentukan Komite Audit


a. Struktur Komite Audit
1) Anggota komite audit diangkat dan dilantik oleh dewan komisaris dan
dilaporkan kepada Rapat Umum Pemegang Saham
2) Anggota komisaris audit merupakan komisaris independen bertindaksebagai
ketua komite audit. Dalam hal komisaris independen yang menjadi anggota
komite audit lebih dari satu orang maka salah satunya bertindak sebagai ketua
komite audit.
b. Persyaratan Keanggotaan Komite Audit

53
1) Memiliki integritas yang tinggi, kemampuan, pengetahuan dan pengalaman
yang memadai sesuai latar belakang pendidikannya, serta maupun
berkomunikasi dengan baik.
2) Salah seorang dari anggota audit memiliki latar belakang pendidikan akuntansi
atau keuangan.
3) Memiliki pengetahuan yang cukup untuk membaca dan memahami laporan
keuangan.
4) Memiliki pengetahuan yang memadai tentang peraturan perundangan di bidang
pasar modal dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya.
5) Bukan merupakan orang dalam kantor. Akuntan publik, kantor konsultan
Hukum, atau pihak lain yang memberikan jasa audit, jasa non audit dan atau
jasa konsultasi lain kepada Emiten atau perusahaan publik yang bersangkutan
dalam waktu 6 (enam) bulan terakhir sebelum diangkat komisaris;
6) Bukan merupakan orang yang mempunyai wewenang dan tanggung jawab
untuk merencanakan, memimpin, atau mengandalkan kegiatan Emiten atau
perusahaan publik dalam waktu 6 (enam) bulan terakhir sebelum diangkat oleh
komisaris, kecuali komisaris independen.

7) Tidak mempunyai saham baik langsung maupun tidak langsung pada Emiten
atau perusahaan publik. Dalam hal anggota komite Audit memperoleh saham
akibat suatu peristiwa hukum maka dalam jangka waktu paling lama 6 (enam)
bulan setelah diperolehnya saham tersebut wajib mengalihkan kepada pihak
lain.
8) Tidak mempunyai:
a. Hubungan keluarga karena perkawinan dan keturunan sampai derajat
kedua, baik secara horizontal maupun vertical dengan komisaris , Direksi
atau pemegang saham utama Emiten atau perusahaan publik, dan atau
b. Hubungan usaha baik langsung maupun tidak langsung yang berkaitan
dengan kegiatan usaha Emiten atau perusahaan publik.
4. Tugas dan tanggung jawab komite audit

54
Komite audit bertugas memberikan pendapat Dewan komisaris terhadap laporan atau
hal-hal yang disampaikan oleh direksi kepada dewan komisaris, mengidentifikasi hal-
hal yang memerlukan perhatian komisaris, dan melaksanakan tugas-tugas lain yang
berkaitan dengan tugas dewan komisaris antara lain meliputi:
1) Melakukan penelaahan atas informasi keuangan yang akan di keluarkan perusahaan
seperti laporan keuangan , proyeksi, dan informasi keuangan lainnya:
2) Melakukan penelaahan atas kegiatan perusahaan terhadap peraturah perundang-
undanagn di bbidang pasar modal dan peraturan perundang-undangan lainnya yang
berhubungan dengan kegiatan perusahaan.
3) Melakukan penelaahan dan pelaksanaan oleh auditor internal.
4) Melaporkan kepada komisaris berbagai risiko yang dihadapi perusahaan dan
pelaksanaan manajemen risiko oleh direksi.
5) Melakukan penelaahan dan melaporkan kepada komisaris atas pengaduan yang
berkaitan dengan Emiten atau perusahaan publik
6) Menjaga kerahasian dokumen, data dan informasi perusahaan.
5. Wewenang Komite Audit
Komite audit berwewenag untuk mengakses atas informasi tentang karyawati , dana,
aset serta sumber daya perusahaan yang berkaitan tentang dengan perlakukan
perlaksanaan tugasnya.
Dalam melaksanaan wewenang Komite Audit wajib bekerja sama dengan pihak yang
melaksanakan fungsi internal audit.

B. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate


Governance Bagi Bank Umum
Pembentukan Komite Audit dalam peraturan ini diatur dalam Pasal 38 dan Pasal
43, sebagai berikut:
1. Struktur dan Keanggotaan Komite Audit
(1) Anggota Komite Audit paling kurang terdiri dari :
a. Seseorang Komisaris Independen;
b. Seorang dari Pihak Indenpenden yang memiliki keahlian di bidang keuangan
atau akuntansi; dan

55
c. Seorang dari Pihak Indenpenden yang memiliki keahlian di bidang hukum atau
perbankan.
(2) Komite Audit diketahui oleh Komisaris Independen.
(3) Anggota Direksi dilarang menjadi anggota Komite Audit Komisaris Indenpenden
dan Pihak Indenpenden yang menjadi anggota Komite Audit paling kurang 51%
(lima puluh satu perseratus) dari jumlah anggota Komite Audit.
(4) Anggota Komite Audit wajib memiliki integritas, akhlak, dan moral yang baik.
2. Tugas Komite Audit
(1) Komite Audit melakukan pemantauan dan evaluasi atas perencanaan dan
pelaksanaan audit serta pemantauan atas tidak lanjut hasil audit dalam rangka
menilai kecukupan pengendalian intern termasuk kecukupan proses pelaporan
keangan.
(2) Dalam rangka melaksanakan tugas, Komite Audit paling kurang melakukan
pemantauan dan evaluasi terhadap:
a. Pelaksanaan tugas Satuan Kerja Audit Intern;
b. Kesesuaian pelaksanaan audit Kontor Akuntan Publik dengan standar audit
yang berlaku;
c. Kesesuaian laporan keuangan dengan standar akuntansi yang berlaku;
d. Pelaksanaan tidak lanjut oleh Direksi atas hasil temuan Satuan Kerja Audit
Intern. Akuntan publik, dan hasil pengawasan Bank Indonesia, guna
memberikan kepada dewan Komisaris.
(3) Komite Audit wajib memberikan rekomendasi mengenai penunjukan Akuntan
Publik dan Kantor Akuntan Publik kepada dewan Komisaris untuk disampaikan
kepada Rapat Umum Pemegang Saham.
3. Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor : KEP-117/M-MBU/2002
Tentang Penerapan Praktek Good Corporate Governance pada Badan Usaha Milik
Negara (BUMN)
Pembentukan Komite Audit dalam peraturan ini memuat perihal komposisi Komite
Audit yang diatur dalam Pasal 18, sebagai berikut:
(1) Organ Pendukung Dewan Komisaris/Dewan Pengawas, terdiri dari;
a. Sekretariat Dewan Komisaris/Dewan Pengawas, jika diperlukan;

56
b. Komite Audit;
c. Komite Lainnya, jika diperlukan.
(2) Komite Lainnya, terdiri dari namun tidak terbatas pada Komite Pemantau Manajemen
Risiko, Komite Nominasi dan Remunerasi, dan Komite pengembangan Usaha.
(3) Seorang atau lebih anggota komite berasal dari anggota Dewan Komisaris/Dewan
Pengawas.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Sekretariat, Komite Audit dan Komite Lainnya, diatur
dalam Peraturan Menteri tersendiri.
4. Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor:
KEP-134/BL/2006
Laporan tahunan wajib memuat uraian singkat mengenai penerapan tata kelola
perusahaan yang telah dan akan dilaksanakan oleh perusahaan dalam periode laporan
keuangan tahunan terakhir.
Adapun Komite audit harus dicantunkan dalam laporan tersebut yang mencakup
antara lain:
a. nama, jabatan, dan riwayat hidup singkat anggota komite audit;
b. uraian tugas dan tanggung jawab;
c. frekuensi pertemuan dan tingkat kehadiran masing-masing anggota komite audit; dan
d. laporan singkat pelaksanaan kegiatan komite audit.

2.2 Piagam Komite Audit PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk tentang Pedoman dan
Tata Tertib Kerja Komite Audit
A. Tujuan Pembentukan Komite Audit
Komite membantu dewan komisaris untuk memperkuat fungsi pengawasan (over
sight) guna meningkatkan kepercayaan kepercayaan publik terhadap pengelolaan
perseroan. Komite harus memonitor proses perbaikan yang berkesinambungan atas
kebijakan, prosedur, dan praktek pada semua tingkat dalam perseroan guna memastikan
telah dilakukan pengelolaan perseroan dan pengendalian resiko yang baik.
B. Tugas Komite Audit
Komite bertugas untuk membantu Dewan Komisaris dalam melaksanakan tugas
pengawasan berkenaan dengan :

57
1. Melakukan pemantauan dan evaluasi atas perencanaan dan pelaksanaan audit baik
internal maupun eksternal serta pemantauan atas tindak lanjut hasil audit baik internal
maupun eksternal dalam rangka menilai kecukupan pengendalian intern termasuk
kecukupan proses pelaporan keuangan;
2. Mengaji kecukupan dari Pengendalian Interal Perseroan secara menyuluruh termasuk
kepatuhan terhadap kebijakan Good Corporate Governance, Kode Etik Bank, dan
Hukum, serta peraturan perundang-undangan dibidang pasar modal;
3. Melakukan penelaahan atas informasi keuangan yang akan dikeluarkan perseroan
seperti laporan keuangan, laporan tahunan, proyeksi dan informasi keuangan lainnya;
4. Mengaji kecukupan dari fungsi Audit Intenal, termasuk jumlah auditornya, tencana
kerja tahunan, dan pekerjaan yang telah dilaksanakan;
5. Melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan tugas Audit Intern,
kesesuaian pelaksaan audit oleh akuntan publik dengan standar audit yang berlaku, dan
pelaksanaantindak lanjut oleh direksi atas hasil temuan audit interen dan audit ekstern
guna memberikan rekomendasi kepada dewan komisaris.
6. Mengkaji kompetisi dan idenpendensi dari auditor ekternal dan juga
merekomendasikan auditor eksternal dalam rapat umum pemegang saham.
7. Melakukan penelaahan dan melaporkan kepada dewan komisaris atas pengaduan yang
berkaitan dengan perseroan dan
8. Menyampaikan laporan atas kegiatan dari komite audit kepada dewan komisaris berupa
laporan triwulan, laporan tahunan dan laporan insidentil (penugasan khusus dari dewan
komisaris) dan setiap tahunnya disajikan dalam laporan tahunan Bank.
C. Kewenangan Komite Audit
Dewan komisaris memberikan kewenangan kepada komite dalam lingkup tanggung
jawab komite untuk:
1. Mengakses secara penuh, bebas dan tidak terbatas terhadap catatan, karyawan, dana,asset
serta sumber daya lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan tugasnya;
2. Mendapatkan masukan atau saran dari para profesional diluar perseroan yang berkaitan
dengan tugasnya; dan
3. Memberikan pendapat dan rekomendasi kepada dewan komisaris dalam pemilihan kepala
auditor internal dan auditor eksternal. Jika diperlukan atas dasar penugasan dewan

58
komisaris, komite audit dapat melakukan pendalaman informasi dan/ atau dewan
komisaris meminta pelaksanaan audit/penelitian tersebut dilakukan oleh audit
internal,eksternal auditor, konsultan atau pihak lain yang ditunjuk.
D. Organisasi Komite Audit
1. Kedudukan Komite
1. Komite berada dibawak koordinasi dewan komisaris dan secara struktural
bertanggung jawab kepada dewan komisaris.
2. komite diketuai oleh komisaris independen
3. untuk melaksanakan tugas sehari-hari, komite dapat dibantu oleh staf dan/atau
sekertaris komite audit,yang dapat berasal dari kalangan intern maupun ekstern
Bank.
2. Keanggotaan Komite
1. anggota komite paling kurang terdiri dari 3 (tiga) orang. Salah satu diantaranya
adalah komisaris independen yang akan bertindak sebagai ketua komite;
2. anggota komite paling kurang terdiri dari:
a. seorang komisaris independen;
b. Seorang pihak independen yang memiliki keahlian dibidang akuntansi dan
keuangan; dan
c. Seorang pihak independen yang memiliki keahlian di bidang hukum atau
perbankan
3. Seorang anggota komite harus independen dengang pengertian :
a. Tidak menerima kompensasi dari perseroan dan anak persero, atau afiliasinya,
kecuali upah, gaji, dan fasilitas lainnya yang diterima berkaitan dengan tugas-
tugas yang dilaksanakan sebagai anggota komute audit.
b. Tidak mempunyai hubungan keluarga maupun bisnis dengan direksi dan dewan
komisaris.
c. Tidak mempunyai kedudukan rangkap pada perseroan dan perseroan lainnya
yang terafiliasi dengan Bank; dan.
d. Tidak memiliki tugas, tanggung jawab, dan kewenangan yang menimbulkan
bentuk kepentingan.

59
4. Anggota komite yang nin komisaris dapat berasal dari pekerjaan intern dan ekstern
perseroan.
5. Dalam hal terdapat anggota Komite yang berasal dari perkeja ekstern Perseroan,
maka berlaku ketentuan:
a. Dipilih oleh Dewan Komisaris melalui mekanisme perekrutan dan seleksi.
b. Masa kerja paling lamaa adalah 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang kembali
untuk masa kerja berikutnya dengan memperhatikan masa kerja Dewan
Komisaris dan peraturan pekerja kontrak yang berlaku di Perseroan, dengan
tidak menutup kemungkinan diberhentikan oleh Dewan Komisaris sebelum
jangka waktu kontrak berakhir.
6. Anggota Direksi dilarang menjadi anggota Komite; dan
7. Anggota Komite diangkat oleh Direksi berdasarkan keputusan rapat Dewan
Komisaris.

2.3 Peranan Komite Audit Dalam Meningkatkan Kinerja Perusahaan


Keberadaan komite audit sangat penting dalam rangka meningkatkan kinerja perusahaan,
terutama dari aspek pengendalian. Komite audit yang efektif merupakan salah satu aspek dalam
implementasi tata kelola perusahaan yang baik. Pembentukan komite audit pada saat ini telah
diterima sebagai suatu bagaian dari tata kelola organisasi perrusahaan yang baik. Selain itu,
kehadiran komite audit akhir-akhir ini telah mendapatkan respon yang positif dari berbagai pihak,
antara lain pemerintahan, Badan pengawas pasar modal (Bapepam), pasar modal, para investor,
profesi hukum, profesi akuntan serta penilai independen.
Pembentukan komite audit dapat dipandang sebagai wujud mekanisme pengendalain yang
diharapkan dapat mengoptimalkan fungsi pengawasan. Komite audit dapat pula berfungsi
membantu kelancaran tugas komisaris, antara lain komite audit melakukan penelaahan terhadap
kebenaran informasi yang disampaikan oleh direksi kepada komisaris. Selain itu, komite audit juga
dapat berfungsi menilai efektivitas pengendalian internal termaksu fungsi satuan pengawasan
intern (SPI), sehingga dapat memberikan rekomendasi tentang peningkatan efektivitas internal
auditor untuk meningkatkan sistem pengendalian internal perusahaan.
BAB 8

PERANAN AUDIT INTERN DAN MANAJEMEN RESIKO

60
2.1 Pengertian Manajemen Resiko
Menurut Wikipedia bahasa Indonesia menyebutkan bahwa manajemen resiko adalah suatu
pendekatan terstruktur/metodologi dalam mengelola ketidakpastian yang berkaitan dengan
ancaman, suatu rangkaian aktivitas manusia termasuk : penialaian resiko, pengembangan strategi
untuk mengelolanya dan mitigasi resiko dengan menggunakan pemberdayaan/pengelolaan sumber
daya. Stratergi yang dapat diambil antara lain adalah memimdahkan resiko kepada pihak lain,
menghindari resiko, mengurangi efek negative resiko, dan menampung sebagian atau semua
konsekuensi resiko tertentu. Manajemen resiko tradisional terfokus pada resiko-resiko yang timbul
oleh penyebab fisik atau legal (seperti bencana alam atau kebakaran, kematian, dan tuntutan
hukum) Menurut Vibiznews.com, manajemen resiko adalah suatu proses mengidentifikasi,
mengukur resiko, serta membentuk strategi untuk mengelolanya melalui sumber daya yang
tersedia. Strategi yang dapat digunakan antara lain mentransfer resiko pada pihak lain,
menghindari resiko, mengurangi efek buruk dari resiko dan menerima sebagian maupun seluruh
konsekuensi dari resiko tertentu. Manajemen resiko harus diintegrasikan dalam budaya organisasi
dengan kebijaksanaan yang efektif dan diprogram untuk dipimpin beberapa manajemen senior.
Manajemen resiko harus diterjemahkan sebagai suatu strategi dalam teknis dan sasaran
operasional, pemberian tugas dan tanggung jawab serta kemampuan merespon secara menyeluruh
pada suatu organisasi, di mana setiap manajer dan pekerja memandang manajemen resiko sebagai
bagian dari deskripsi kerja. Manajemen resiko mendukung akuntabilitas (keterbukaan), kinerja
pengukur dan reward, mempromosikan efisiensi operasional dari semua tingkatan.
Definisi manajemen resiko (risk management) di atas dapat dijabarkan lebih lanjut berdasarkan
kata kunci sebagai berikut :
1. On going process : manajemen resiko dilaksanakan secara terus menerus dan dimonitor secara
berkala. Manajemen resiko bukanlah suatu kegiatan yang dilakukan sesekali (on time event)
2. Effected by people : manajemen resiko ditentukan oleh pihak-pihak yang berada di lingkungan
organisasi. Untuk lingkungan instansi pemerintah, manajemen resiko dirumuskan oleh pimpinan
dan pegawai institusi/departemen yang bersangkutan.
3. Applied in strategy setting : manajemen resiko telah disusun dari perumusan strategi organisasi
oleh manajemen puncak organisasi. Dengan penggunaan manajemen resiko, strategi yang
disiapkan oleh manajemen puncak organisasi. Dengan penggunaan manajemen resiko, strategi

61
yang disiapkan disesuaikan dengan resiko yang dihadapi oleh masing-masing bagian/unit dari
organisasi.
4. Applied across the enterprised : strategi yang telah dipilih berdasarkan manajemen resiko
diaplikasikan dalam kegiatan operasional, dan mencakup seluruh bagian/unit pada organisasi.
Mengingat resiko masing-masing bagian berbeda, maka penerapan manajemen resiko berdasarkan
penentuan resiko oleh masing-masing bagian.
5. Designed to identify potential events : manajemen resiko dirancang untuk mengiden tifikasi
kejadian atau keadaan yang secara potensial menyebabkan tertanggunya pencapaian tujuan
organisasi.
6. Provide reasonable assurance : resiko yang dikelola dengan tepat dan wajar akan menyediakan
jaminan bahwa kegiatan dan pelayanan oleh organisasi dapat berlangsung secara optimal.
7. Geared to achieve objectives : manajemen resiko diharapkan dapat menjadi pedoman
bagi organisasi dalam pencapaian tujuan yang telah ditentukan. Sasaran dari pelaksanaan
manajemen resiko adalah untuk mengurangi resiko yang berbeda-beda yang berkaitan dengan
bidang yang telah dipilih pada tingkat yang dapat diterima oleh masyarakat. Hal ini dapat berupa
berbagai jenis ancaman yang disebabkan oleh lingkungan, teknologi, manusia, organisasi, dan
politk. Di sisi lain, pelaksanaan manajemen resiko melibatkan segala cara yang tersedia bagi
manusia, khususnya entitas manajemen resiko (manusia. Staff, organisasi).

Dalam perkembangannya resiko-resiko yang dibahas dalam manajemen resiko dapat diklasifikasi
menjadi :
a. Resiko OPerasional
b. Resiko Hazard
c. Resiko Finansial
d. Resiko Strategis

Hal ini menimbulkan ide untuk menerapkan pelaksanaan manajemen resiko erintegrasi korporasi
(enterprise risk management). Manajemen resiko dimulai dari proses identifikasi resiko, penilaia
resiko, mitigasi, monitoring, dan evaluasi.
a. Mengidentifikasi resiko

62
Proses ini meliputi resiko yang mungkin terjadi dalam suatu aktivitas usaha.Identifikasi resiko
secara akurat dan kompleks sangatlah vital dalam manajemen resiko. Salah satu aspek penting
dalam identifikasi resiko adalah mendaftar resiko yang mungkin terjadi sebanyak mungkin.
Teknik-teknik yang dapat digunakan dalam identifikasi resiko antara lain :
1. Brainstorming
2. Survey
3. Wawancara
4. Informasi historis
5. Kelompok kerja
b. Menganalisa resiko
Setelah melakukan identifikasi resiko, maka tahap berikutnya adalah pengukuran resiko dengan
cara melihat seberapa besar potensi terjadinya kerusakan (severity) dan probabilitas terjadinya
resiko tersebut. penentuan probabilitas terjadinya suatu event sangatlah subjektif dan lebih
berdasarkan nalar dan pengalaman. Beberapa resiko memang mudah untuk diukur, namun
sangatlah sulit untuk memastikan probabilitas suatu kejadian yang sangat jarang terjadi. Sehingga,
pada tahap ini sangatlah penting untuk menentukan dugaan yang terbaik supaya nantinya kita dapat
memprioritaskan dengan baik dalam implementasi perencanaan manajemen resiko. Kesulitan
dalam pengukuran resiko adalah menentukan kemungkinan terjadi suatu resiko karena informasi
statistic tidak selalu tersedia untuk beberapa resiko tertentu. Selain itu, mengevaluasi dampak
kerusakan (severity) sering kali cukup sulit untuk assets immaterial.
c. Monitoring resiko
Mengidentifikasi, menganalisa dan merencanakan suatu resiko merupakan bagian penting dalam
perencanaan suatu proyek. Namun, manajemen resiko tidaklah berhenti sampai disini saja.
Praktek, pengalaman, dan terjadinya kerugian akan membutuhkan suatu perubahan dalam rencana
dan keputusan mengenai penanganan suatu resiko. Sangatlah penting untuk selalu memonitor
proses dari awal mulai dari identifikasi resiko dan keefektifan respon yang telah dipilih dan untuk
mengidentifikasi adanya resiko yang baru maupun berubah. Sehingga, ketika suatu resiko terjadi
maka respon yang dipilih akan sesuai dan diimplementasikan secara efektif.
2.2 Konsep Resiko
Resiko berhubungan dengan ketidakpastian ini terjadi oleh karena kurang atau tidak tersedianya
cukup informasi tentang apa yang akan terjadi. Sesuatu yang tidak pasti (uncertain) dapat berakibat

63
menguntungkan atau merugikan. Istilah resiko memiliki beberapa definisi. Resiko dikaitkan
dengan kemungkinan kejadian, atau keadaan yang dapat mengancam pencapaian tujuan dan
sasaran organisasi. menurut Vaughan (1978) mengemukakan beberapa definisi resiko sebagai
berikut :
Risk is the chance of loss (resiko adalah kans kerugian)
Istilah Chance of loss berhubungan dengan suatu exposure (keterbukaan) terhadap kemungkinan
kerugian. Dalam ilmu statistic, chance dipergunakan untuk menunjukkan tingkat probabilitas akan
munculnya situasi tertentu. Dalam hal chance of loss 100%, berarti kerugian adalah pasti sehingga
resiko tidak ada.
Risk is the possibility of loss (resiko adalah kemungkinan kerugian)
Istilah possibility berarti bahwa probabilitas sesuatu peristiwa berada di antara nol dan satu.
Namun, definisi ini kurang cocok dipakai dalam analisis secara kuantitatif.
Risk is uncertainty (resiko adalah ketidakpastian)
Uncertainty dapat bersifat subjective dan objective. Subjective uncertainty merupakan penilaian
individu terhadap situasi resiko yang didasarkan pada pengetahuan dan sikap individu yang
bersangkutan. Objective uncertainty akan dijelaskan pada dua definisi resiko berikut.
Risk is the dispersion of actual from expected results (resiko merupakan penyebaran hasil actual
dari hasil yang diharapkan). Ahli statistik mendefinisikan resiko sebagai derajat penyimpangan
sesuatu nilai di sekitar suatu posisi sentral atau di sekitar titik rata-rata. Risk is the probability of
any outcome different from the one expected (resiko adalah probabilitas sesuatu outcome berbeda
dengan outcome yang diharapkan) Menurut definisi di atas, resiko bukan probabilitas dari suatu
kejadian tunggal, tetapi probabilitas dari beberapa outcome yang berbeda dari yang diharapkan.
Dari berbagai definisi diatas, resiko dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya akibat buruk
(kerugian) yang tidak diinginkan, atau tidak terduga. Dengan kata lain, kemungkinan itu sudah
menunjukkan adanya ketidakpastian. Konsep lain yang berkaitan dengan resiko adalah peril dan
hazard. Peril merupakan suatu peristiwa yang dapat menimbulkan terjadinya suatu kerugian.
Sedangkan hazard merupakan keadaan dan kondisi yang dapat memperbesar kemungkinan
terjadinya perilaku.
Hazard terdiri dari beberapa tipe, yaitu :
1. Physical hazard merupakan suatu kondisi yang bersumber pada karakteristik secara fisik dari
objek yang memperbesar terjadinya kerugian.

64
2. Moral hazard merupakan suatu kondisi yang bersumber dari orang yang berkaitan dengan sikap
mental, pandangan hidup dan kebiasaan yang dapat memeprbesar kemungkinan terjadinya
perilaku.
3. Moral hazard merupakan suatu kondisi dari orang yang merasa sudah memperoleh jaminan dan
menimbulkan kecerobohan sehingga memungkinkan timbulnya peril. Legal hazard merupakan
suatu kondisi pengabaian atas suatu peraturan atau perundangan dangan yang bertujuan
melindungi masyarakat sehingga memperbesar terjadinya perilaku.
2.3 Kategori Resiko
Resiko dapat dikategorikan ke dalam dua bentuk :
1. Resiko Spekulatif
Resiko spekulatif adalah suatu keadaan yang dihadapi perusahaan yang dapat memberikan
keuntungan dan juga dapat memberikan kerugian. Resiko spekulatif kadang-kadang dikenal
dengan istilah resiko bisnis (business risk). Seseorang yang menginvestasikan dananya di suatu
tempat menghadapi dua kemungkinan. Kemungkinan pertama investasinya menguntungkan atau
malah investasinya merugikan. Resiko yang dihadapi seperti ini adalah resiko spekulatif.
2. Resiko Murni
Resiko murni (pure risk) adalah sesuatu yang hanya dapat berakibat merugikan atau tidak terjadi
apa-apa dan tidak mungkin menguntungkan. Salah satu contoh adalah kebakaran, apabila
perusahaan menderita kebakaran, maka perusahaan tersebut akan menderita kerugian.
Kemungkinan yang lain adalah tidak terjadi kebakaran. Dengan demikian kebakaran hanya
menimbulkan kerugian, bukan menimbulkan keuntungan kecuali ada kesengajaan untuk
membakar dengan maksud-maksud tertentu. Resiko murni adalah sesuatu yang hanya dapat
berakibat merugikan atau tidak terjadi apa-apa dan tidak mungkin menguntungkan. Salah satu cara
menghindarkan resiko murni adalah dengan asuransi. Dengan demikian besarnya kerugian dapat
diminimalkan. Itu sebabnya resiko murni kadang dikenal dengan istilah resiko yang dapat
diasuransikan (insurable risk). Perbedaan utama antara resiko spekulatif dengan resiko murni
adalah kemungkinan untung ada atau tidak, untuk resiko spekulatif masih terdapat kemungkinan
untung sedangkan untuk resiko murni tidak dapat kemungkinan untung. Kejadian sesungguhnya
terkadang menyimpang dari perkiraan. Artinya ada kemungkinan penyimpangan yang
menguntungkan maupun merugikan. Jika kedua kemungkinan itu ada, maka dikatakan resiko itu
bersifat spekulatif. Sebaliknya, lawan dari resiko spekulatif adalah resiko murni, yaitu hanya ada

65
kemungkinan kerugian dan tidak mempunyai kemungkinan keuntungan. Manajer resiko tugas
utamanya menangani resiko murni dan tidak menangani resiko spekulatif, kecuali jika adanya
resiko spekulatif memaksanya untuk menghadapi resiko murni tersebut. menentukan sumber
resiko adalah penting karena mempengaruhi cara penanganannya. Sumber resiko dapat
diklasifikasikan sebagai resiko social, resiko fisik, dan resiko ekonomi. Biaya-biaya yang
ditimbulkan karena menanggung resiko atau ketidakpastian dapat dibagi sebagai berikut :
1. Biaya-biaya dari kerugian yang tidak diharapkan.
2. Biaya-biaya dari ketidakpastian itu sendiri.
2.4 Mengidentifikasi Resiko
Pengidentifikasian resiko merupakan proses analisa untuk menemukan secara sistematis dan
berkesinambungan atas resiko (kerugian yang potensial) yang dihadapi perusahaan. Oleh karena
itu, diperlukan checklist untuk pendekatan yang sistematis dalam menentukan kerugian potensial.
Salah satu alternative sistem pengklasifikasian kerugian dalam suatu checklist adalah : kerugian
hak milik (property losses), kewajiban mengganti kerugian orang lain (liability losses) dan
kerugian personalia (personnel losses). Checklist yang dibangun sebelumnya untuk menemukan
resiko dan menjelaskan jenis-jenis kerugian yang dihadapi oleh suatu perusahaan. Perusahaan
yang sifat operasinya kompleks, berdiversifikasi dan dinamis, maka diperlukan metode yang
dianjurkan adalah sebagai berikut :
1. Questioner analisis resiko (risk analysis questionnaire)
2. Metode laporan keuangan (financial statement method)
3. Metode peta airan (flow-chart)
4. Inspeksi langsung pada objek
5. Interaksi yang terencana dengan bagian-bagian perusahaan
6. Catatan statistic dari kerugian masa lalu
7. Analisis lingkungan
Dengan mengamati langsung jalannya operasi, bekerjanya mesin, peralatan, lingkungan kerja,
kebiasaan pegawai dan seterusnya, manajer resiko dapat mempelajari kemungkinan tentang
hazard. Oleh karena itu, keberhasilannya dalam mengidentifikasi resiko tergantung pada kerja
sama yang erat dengan bagian-bagian lain yang terkait dalam perusahaan. Manajer resiko dapat
menggunakan tenaga pihak luar untuk proses mengidentifikasikan resiko, yaitu agen asuransi,
broker, atau konsultan manajemen resiko. Hal ini tentunya memiliki kelemahan, dimana mereka

66
membatasi proses hanya pada resiko yang diasuransikan saja. Dalam hal ini diperlukan strategi
manajemen untuk menentukan metode atau kombinasi metode yang cocok dengan situasi yang
dihadapi.
2.5 Peranan Penting Audit Internal dalam Sebuah Organisasi
Pengertian audit internal secara umum adalah suatu penilaian atas keyakinan, independen, obyektif
dan aktivitas konsultasi yang dirancang untuk menambah nilai dan meningkatkan operasi
organinsasi. Ini membantu organisasai mencapai tujuannya dengan membawa pendekatan yang
sistematis dan disiplin untuk mengevaluasi dan meningkatkan efektivitas proses manajemen
risiko, pengendalian dan tata kelola. Audit internal juga merupakan katalis untuk meningkatkan
efektivitas organisasi dan efisiensi dengan memberikan wawasan dan rekomendasi berdasarkan
analisis dan penilaian data dan proses bisnis.
Berikut ini merupakan beberapa pengertian dari beberapa ahli mengenai internal audit : Menurut
Sukrisno Agoes (2004:221), internal audit (pemeriksaan intern) adalahpemeriksaan yang
dilakukan oleh bagian internal audit perusahaan, baik terhadap laporan keuangan dan catatan
akuntansi perusahaan, maupun ketaatan terhadap kebijakan manajemen puncak yang telah
ditentukan dan ketaatan terhadap peraturan pemerintah dan ketentuan-ketentuan dari ikatan profesi
yang berlaku. Peraturan pemerintah misalnya peraturan dibidang perpajakan, pasar modal,
lingkungan hidup, perbankan, perindustrian, investasi dan lain-lain. Ketentuan-ketentuan dan
ikatan profesi misalnya standar akuntansi keuangan.
Menurut Mulyadi (2002:29), audit intern adalah auditor yang bekerja dalam perusahaan
(perusahaan negara dan perusahaan swasta) yang tugas pokoknya adalah menentukan apakah
kebijakan dan prosedur yang ditetapkan oleh manajemen puncak telah dipatuhi, baik atau tidaknya
penjagaan terhadap kekayaan organisasi, menentukan efisiensi dan efektifitas prosedur kegiatan
organisasi, serta menentukan keandalan informasi yang dihasilkan oleh berbagai bagian
organisasi.
Audit internal menurut IIA (Institute of Internal Auditor) yag dikutip oleh Boynton (2001:980)
yakni : Internal auditing is an independent, objective, assurance and consulting activity designed
to add value and improve an organization’s operations. It helps an organization accomplish its
objectives by bringing a systematic, disciplined approach to evaluate and improve the effectiveness
of risk management, control, and governance processes”. (Audit internal adalah aktivitas
independen, keyakinan objektif, dan konsultasi yang dirancang untuk menambah nilai dan

67
meningkatkan operasi organisasi. Audit internal ini membantu organisasi mencapai tujuannya
dengan melakukan pendekatan sistematis dan disiplin untuk mengevaluasi dan meningkatkan
efektifitas manajemen resiko, pengendalian danproses tata kelola). Berbicara tentang peranan
penting auditor dalam sebuah organisasi kami rasa tugas dan tanggung jawab auditor internal juga
wajib kami paparkan disini.
Menurut Sukrisno Agoes ( 2004:222), tujuan pemeriksaan yang dilakukan oleh internal auditor
dalam membantu semua pimpinan perusahaan (manajemen0 dalam melaksanakan
tanggungjawabnya dengan memberikan analisa, penilaian, saran, dan komentar mengenai kegiatan
yang diperiksanya. Untuk mencapai tujuan tersebut, internal auditor harus melakukan kegiatan-
kegiatan berikut :
a. Menelaah dan menilai kebaikan, memadai tidaknya dan penerapan dari sistem pengendalian
manajemen, pengendalian intern dan pengendalian operasional lainnya serta mengembangkan
pengendalian yang efektif dengan biaya yang tidak terlalu mahal.
b. Memastikan ketaatan terhadap kebijakan, rencana dan prosedur-prosedur yang telah ditetapkan
oleh manajemen.
c. Memastikan seberapa jauh harta perusahaan dipertanggungjawabkan dan dilindungi dari
kemungkinan terjadinya segala bentuk pencurian, kecurangan dan penyalahgunaan.
d. Memastikan bahwa pengelolaan data yang dikembangkan dalam organisasi dapat dipercaya.
e. Menilai mutu pekerjaan setiap bagian dalam melaksanakan tugas yang diberikan oleh
manajemen.
f. Menyarankan perbaikan-perbaikan operasional dalam rangka meningkatkan efisiensi dan
efektifitas.
Auditor internal juga punya kualitas auditor internal yang diharapkan, diantaranya independen,
yaitu keadaan atau posisi dimana kita tidak terikat dengan pihak manapun artinya tidak memihak
auditee. Pendengar dan pengamat yang baik pencatat yang baik, komunikatif dan bijaksana, tidak
menyinggung perasaan auditee memiliki pemahaman tentang audit dan auditee yang cukup.
Berikut ini kami paparkan juga rangkuman tugas dan tanggung jawab auditor internal.
1. Mencari informasi awal terkait bagian yang akan diaudit (auditee). Salah satu hal penting yang
harus dikuasai auditor adalah pengetahuan yang cukup tentang auditee. Pengetahuan yang
dimaksud disini mencakup cara kerja, prosedural, hierarki jabatan, dan catatan mutu atau laporan

68
yang selama ini digunakan dalam kegiatan sehari-hari. Tanpa menguasai hal ini, maka tidak
banyak yang bisa dilakukan auditor saat mengaudit.
2. Melakukan tinjauan dokumen dan persyaratan lain yang berkaitan dengan auditee. Memeriksa
dokumen dan persyratan lain untuk kemudian dicatat hal-hal yang bersifat critical merupakan
faktor penting kesuksesan audit, denganmeninjau dokumen auditee, auditor akan mengetahui
proses-proses pentingyang perlu ditelusuri lebih jauh.
3. Mempersiapkan program audit tahunan dan jadwal tahunana dan jadwal pelaksanaan audit
secara terperinci. Dalam kamus ISO 9001, tidak dikenal audit mendadak. Semua kegiatan audit
internal harus direncanakan dari awal dan diinformasikan kepada seluruh auditee. Karena, tujuan
audit internal bukan untuk mencari-cari kesalahan, akan tetapi untuk melakukan perbaikan secara
berkesinambungan.
4. Membuat daftar pertanyaan audit (audit checklist). Audit checklist dibuat untuk mempermudah
auditor mengingat hal-hal penting yang perlu ditanyakan. Selain itu, audit checklist juga dapat
dijadikan pedoman oleh auditee untuk mempersiapkan diri sebelum diaudit
5. Melaksanakan pemeriksaan sistem secara menyeluruh. Dalam pelaksanaan audit, seorang
auditor harus jeli dan telaten dalam memeriksa area auditee.Auditor tidak boleh hanya berpaku
pada audit checklist dan standar, tapi lebih dari itu, auditor dapat memeriksa lingkungan kerja
auditee, komitmen dan kesungguhan mereka dalam memperbaiki sistem. Dengan mengabaikan
komitmen, kegiatan audit internal hanya akan terlihat seperti audit administratif belaka yang hanya
berkutat pada ini belum lengkap, itu kurang bagus, dan ini itu belum ditandatangani.

6. Mengumpulkan dan menganalisis bukti audit yang cukupdan relevan. Semua masalah atau
temuan yang ditemukan selama proses audit harus didukung dengan bukti yang cukup. Artinya,
auditor tidak boleh gegabah dalam melaporkan temuan. Harus ada bukti kuat bahwa auditee
melakukan kesalahan. Satu perlu dicatat, audit internal tidak hanya mengumpulkan temuan
melaikan juga mengumpulkan bukti-bukti prestasi yang sudah dicapai.
7. Melaporkan temuan audit atau masalah-masalah yang ditemukan selama audit internal. Auditor
harus menerbitkan laporan temuan audit internal untuk ditindaklanjuti oleh auditee. Auditee harus
diberi tenggak waktu tertentu agar proses perbaikan tidak dibarkan berlarut-larut.
8. Memantau tindak lanjut hasil audit internal sampai dinyatakan selesai. Untuk memastikan
seluruh temua telah diperbaiki, maka auditor internal harus memeriksa tindakan yang sudah

69
dilakukan setelah melewati tenggak waktu perbaikan yang diberikan. Beberapa peran yang dapat
dibawakan oleh auditor internal adalah :
a. Peran sebagai pemecah masalah. Temuan audit pada hakikatnya adalah masalah. Auditor intern
harus mampu menggunakan metode pemecahan masalah (problem solving) yang rasional.
b. Temuan yang ada dari pelaksanaan audit bisa menjurus pada timbulnya konflik bila seorang
auditor kurang mampu menyelesaikannya denganaudit

BAB 9

Peranan Stakeholders, Kreditor, Corporate Social


Responsibility

Stakeholders
70
Pengertian Stakeholders

Menyadari adanya realitas baru hubungan antara perusahaan korporasi dengan pemangku

kepentingan, (Freeman dan Reed dalam Solihin, 2009:50) mengajukan dua rumusan pemangku

kepentingan, yakni: pemangku kepentingan dalam pengertian luas dan pemangku kepentingan

dalam pengertian sempit.

Dalam hal ini pemangku kepentingan dalam arti luas yaitu kelompok maupun individu-

individu yang dapat mempengaruhi pencapaian tujuan mereka atau pencapaian perusahaan yang

dipengaruhi oleh kegiatan perusahaan pada saat perusahaan mengejar tujuannya. Yang termasuk

dalam pemangku kepentingan dalam pengertian ini mencakup : kelompok kepentingan publik,

kelompok yang melakukan aktivitas protes (protest group), pegawai pemerintah, asosiasi

perdagangan, pesaing, serikat pekerja dan juga karyawan, pelanggan pada segmen tertentu, serta

pemegang saham.

Pemangku kepentingan dalam arti sempit, dimana perusahaan memiliki ketergantungan

untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya kepada pemangku kepentingan ini yang terdiri

atas kelompok-kelompok maupun beberapa individu tertentu. Pemangku kepentingan ini terdiri

dari karyawan, pelanggan pada segmen tertentu, pemasok tertentu, pegawai kunci di pemerintahan,

kreditur tertentu, dan pemegang saham.

Kategori Stakeholders

(Kumar dan Subramanian serta Fotler et al dalam Solihin, 2009:59) mengklasifikasikan

Stakeholders menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu internal stakeholders,interface stakeholders dan eksternal

stakeholders.

a) Internal Stakeholders, terdiri dari orang-orang yang memiliki kepentingan dan tuntutan

terhadap sumber daya perusahaan serta berada di dalam organisasi perusahaan. Perusahaan

71
secara terus-menerus memberikan imbalan yang memadai kepada kelompok pemangku

kepentingan jenis ini untuk memperoleh kontribusi hasil kerja mereka. Yang termasuk ke

dalam inside stakeholders adalah para manajer (managers), para profesional, dan staf

nonoperasional.

b) Eksternal Stakeholders, terdiri atas orang-orang maupun pihak-pihak (constituencies) yang

bukan pemilik perusahaan, bukan pemimpin perusahaan dan bukan pula karyawan

perusahaan, namun memiliki kepentingan terhadap perusahaan dan dipengaruhi oleh

keputusan serta tindakan yang dilakukan oleh perusahaan. Yang termasuk ke dalam

kategori eksternal stakeholders adalah pelanggan (customers), pemasok (suppliers),

pemerintah (government), masyarakat lokal (local communities) dan masyarakat secara

umum (general public).

c) Interface Stakeholders, yaitu mereka yang melaksanakan fungsi organisasi secara internal

maupun eksternal, atau mereka yang menjadi penghubung antara organisasi dengan

lingkungannya. Kelompok pemangku kepentingan ini adalah staf karyawan, para

pemegang saham, pembayar pajak, serta kontributor lainnya.

Dari ketigajenis tersebut dapat diketahui mengenai peran pada masing-masing jenis

stakeholders terhadap program CSR perusahaan. Pada jenis internal Stakeholders, orang-orang

yang termasuk dalam jenis tersebut memiliki peran dalam rangka merumuskan program CSR. Pada

jenis Interface stakeholders hanya menjalankan rumusan program CSR perusahaan. Sedangkan

orang-orang yang termasuk pada jenis eksternal stakeholders memiliki peran sebagai pendukung

ataupun sebagai objek dari program CSR yang dilaksanakan oleh perusahaan.

Peranan stakeholders

72
Keran gk a corporat e governance h arus memberikan pengakuan terhadap hak-hak

stakeholders, seperti yang telah ditentukan dal am undang -undang, dan m endorong

kerjasama yang aktif antara perusahaan dengan para stakeholders tersebut dalam rangka

menciptakan lapangan kerja, kesejahteraan masyarakat dan kesinambungan usaha.

PERAN AKUNTANSI DALAM CORPORATE GOVERNANCE

Agency Problem lahir dari adanya pemisahan antara manajemen dan penyandang dana, dimana

manajer berusaha untuk meningkatkan incentive mereka dalam rangka memakmurkan dirinya dan

menagabaikan tugas utamanya yaitu memaksimumkan kemakmuran pemilik. Hal ini bisa

dilakukan dengan berbagai cara diantaranya adalah pengeluaran untuk dirinya manajemen. Sistim

akuntansi keuangan menyediakan informasi yang penting untuk Governance Mechanisms, yang

membantu memecahkan masalah keagenen. Penggunaan informasi akuntansi dalam Governance

Mechanisms bisa dalam bentuk implisit atau eksplisit. Penggunaan perjanjian yang berbasiskan

dasar akuntansi dalam kontrak obligasi adalah salah contoh dari penggunaan informasi akuntansi

secara eksplicit. Penggunaan informasi ekuntansi untuk menyeleksi perusahaan yang akan

dijadikan target takeover adalah contoh dari penggunaan informasi akuntansi secara implisit.

Informasi akuntansi keuangan merupakan produk dari proses Governance. informasi akuntansi

keuangan dihasilakan oleh manajemen dan manajemen mengetahui informasi ini akan digunakan

sebagai input dalam proses Governance.dibawah ini dijelaskan mengenai informasi akuntansi

keuangan sebagai produk dari proses Governance, penggunaan informasi akuntansi secara

eksplisit dan implisit.

• Informasi akuntansi keuangan sebagai produk dari proses governance.

73
Proses bagaimana informasi akuntansi lahir dan merupakan tanggung jawab dapat dilihat pada

bagan 1. Bagan 1 menfokuskan kepada kasus Amerika dan bisa aplikasikan ke negra laannya.

Proses pelaporan keuangan bagi perusahaan umumnya diatur oleh pemerintah atau sistim hukum

yang berlaku (kalau di Amerika SEC). selanjut harus mengaju pada prinsip Akuntansi Yang

Berterima Umum ( GAAP). Laporan keuangan juga akan diaudit oleh Kantor Akuntan Publik

(audit eksternal) untuk di periksa apakah dalam menyiapkan laporan keuangan sudah sesuai

dengan aturan dan prinsip yang berlaku. Perusahaan kemudian menunjuk Audit Committtee dari

keanggota Board of Director, yang mengawasi penyelesaian laporan keuangan dan

berkomunikasi dengan auditor eksternal sebagai wakil dari investor.

Banyak peneliti yang mengkaji bagaimana kualitas sistim pelaporan keuangan dihubungkan

dengan bentuk dan mekanisme Governance lainnya (diantaranya adalah La Porta, Lopez-De-

Silanes, Shleifer and Vishny, 1998; Bushman, Chen, Engel dan Smith, 2000). Penelitian lainnya

juga mengembangkan literature tentang isu lainya yang berhubungan dengan kualitas sistim

pelaporan keuangan. Literature ini di bagi atas tiga kelompok. Kelompok pertama mengkaji

tentang kualitas disclosure dengan biaya modal (contoh, Lang and Lundholm, 1996; Botosan,

1997; dan Botosan dan Plumlee, 2000). Corporate Governance dijadikan sebagai ukuran apakah

perusahan yang dijadikan sample trasfaran atau tidak, khususnya terhadap kreditor. Hasil

peneitiannya tidak bervariasi, ada yang menemukan tingka disclosure mempengaruhi biaya

hutang dan sebagaian lagi todak. Kedua adalah menguji tentang efektivitas mekanisme

pengawasan spesifik terhadap proses pelaporan keuangan. Area - 3 - ini termasuk kajian tentang

kualitas audit (contoh, Becker, DeFond, Jiambalvo dan Subramanyam, 1998; Francis,

Maydew dan Sparks, 1999) dan kualitas BOD dan Komite Audit ( contoh, Beasley, 1996;

Dechow, Sloan dan Sweeney, 1996; Carcello dan Neal, 2000; Peasnell, Pope dan Young, 2000 ).

74
Area terakhir mengkaji sebab dan akibat gagalnya proses pelaporan keuangan penelitian ini

memfokuskan pada factor-faktor yang mempengaruhi manajemen earning (contoh, Rangan,

1999; Teoh, Wong and Welch, 1999) dan manipulasi earning (contoh.,

Feroz, Park dan Pastena, 1991; Dechow, Sloan dan Sweeney 1996).

• Penggunaan Informasi Akuntansi secara eksplisit dalam Corporate Governance Penggunaan

informasi akuntansi secara eksplisit dalam kontrak antara manajemen dan individu atau lembaga

yang memberikan dana pada perusahaan merupakan contoh dari penggunaan informasi akuntansi

dalam mekanisme Governance. khususnya penggunaan informasi akuntansi sebagai alat ukur

kinerja manajemen pada kontrak mengenai sistim kompensasi untuk manajemen. Ini merupakan

gambaran peran informasi akuntansi dalam mekanisme Governance. kompensasi yang

berbasiskan laporan keuangan hanya merupakan bagian kecil dari insentif yang ada. Insentif yang

berdasarkan kenaikan harga saham cendrung sebagai dasar mereka investor untuk memberikan

insentif pada manajemem (penelitian tentang isu ini telah dilakukan peneliti diantaranya adalah ,

Murphy, 1985; Core, Guay and Verrecchia, 2000).

Berlawanan dengan literature tentang peran informasi akuntansi dalam kompensasi diatas,

penggunaan informasi akuntansi secara eksplisit pada perjanjian hutang masih berlanjut.

Penelitian pendahuluan yang dilakukan oleh Smith dan Warner (1979) dan Leftwich (1983)

mendokumentasikan keberadaan dan fungsi akuntansi dalam perjanjian kontrak hutang antara

kreditor dan perusahaan.. penelitian pada area ini memfokuskan pada pada implikasi pemilihan

metode akuntansi yang digunakan(contoh., Press dan Weintrop, 1990; Sweeney, 1994). Tapi,

peran informasi akuntansi pada kontrak keuangan telah terus berlangsung perkembangannya dan

mendapat sambutan yang mengembirakan, khususnya perjanjian peminjaman dan pelunasan

hutang. Contoh penggunaan informasi akuntansi adalah berapa bunga harus dikenakan pada

75
perusahaan didasarkan atas kekuatan keuangan perusahaan dan ini didasarkan atas data akuntansi.

Data akuntansi di analisa yang dijadikan rasio-rasio keuangan dan dikelompokan atas beberapa

aspek diantaranya likuiditas, solvabiltias, efektivitas dan profitabilitas.

• Pengunaan informasi akuntansi secara implisit dalam Corporate Governance

Penggunaan informasi akuntansi secara implisit dalam mekanisme Corporate Governance

merupakan peran informasi akuntansi yang paling penting. Dalam kontek ini, valuasi dan peran

akuntansi menjadi saling berhubungan. Dalam konteks bahwa investor bersedia berinvestasi pada

perusahaan merupakan fungsi information efficiency dan tingkat likuiditas pasar modal.

Sehingga, penelitian akuntansi yang berbasiskan pasar

modal dan memfokuskan penggunaan informasi akuntansi dalam penilaian surat-surat berharga

merupakan implikasi pada isu Corporate Governance. Tapi, daripada memfokuskan pada peran

governance akuntansi melalui peranya dalam menfasilitasi informational efficiency harga saham.

Bahkan informasi akuntansi kelihatannya secara langsung memfasilitasi jalanya mekanisme

Governance spesifik. Penelitian empiris mendukung bahwa informasi akuntansi secara implisit

digunakan dalam mekanisme Governance yang beragam. Ada dua area paling, kajian tentang

peran informasi akuntansi dalam mekanisme Corporate Governance yaitu Legal Protection dan

Large Investor. Dalam kategori legal protection, beberapa penelitian telah mendokumentasikan

peran informasi akuntansi dalam menjalankan hak legal investor dalam melawan menajem.

Investor tidak bisa membawa masalah tersebut ke pengadilan karena manajemen telah melakukan

kecurangan atau kegiatan yang tidak sesuai dengan apa yang digariskan oleh investor (pemilik).

Karena sistim pelaporan keuangan adalah mekanisme internal utama yang memberi fasilitas

komunikasi antara manajemen dan investor. Penelitian mendokumentasikan bahwa masalah

akuntansi dan pengungkapan sangat berhubungan dengan perkara hokum pemegang saham dan

76
bahwa manajemen melakukan seolah-olah mereka memenage strategi pelaporan keuangan untuk

mengurangi biaya yang berhubungan dengan perkara hukum investor (contoh ., Kellogg, 1984;

Francis, Philbrick dan Schipper, 1994; Skinner, 1994; Skinner 1996). Informasi akuntansi juga

memainkan peran penting dalam menjalankan hak kreditor dalam kasus tidak di lunasinya hutang

perusahaan atau dalam kondisi bankrut.

Dalam kategori kedua, informasi akuntansi secara implisit memfasilitasi jalanya mekanisme

Governance adalah large investor. Large investor bisa mempengaruhi tindakan manajemen

melalui Board of Diretor, yaitu atoritas untuk menggunakan manajemen atau memberhentikannya

penelitian akademik memyimpulkan bahwa BOD menggunaka kenerja laba akuntansi sebagai

input untuk keputusan memberhentikan manajemen (Weisbach,1988). Tapi, dalam banyak kasus,

investor yang memiliki saham besar tidak mempunyai hak suara mayoritas di dewan komisaris

dan mungkin harus mengambil tindakan yang lebih drastis seperti takeover atau proxy contest

untuk merebut control BOD dan mendisiplinkan manajemen. Penelitian juga menemukan bahwa

pengukuran kinerja akuntansi berhubungan keputusan takeover (Palepu,1986), proxy contests

(DeAngelo, 1988), dan institutional investor activism (Opler dan Sokobin, 1998). Selain

Penelitian yang dilakukan oleh peneliti diatas, banyak peneliti lain yang menguji pengaruh

institutional investor activism terhadap kinerja perusahaan telah banyak dilakukan dengan

menggunakan informasi akuntansi. Secara umum melaporkan tidak ada bukti yang meyakinkan

aktivisme investor mempengaruhi kinerja

perusahaan. Walaupun sebagian kecil melaporkan bahwa ada pengaruh perusahaan yang menjadi

target CalPERS terhadap tingkat pengembalian jangka panjang (Nesbitt, 1994). Tapi hasil Nesbitt

(1994) di kounter oleh Guercio dan Hawkins (1997) yang menyimpulkan bahwa masih ada

perusahaan yang menjadi target CalPERS (perusahaan yang mempunyai kinerja tidak bagus)

77
mempunyai pengaruh positif terhadap tingkat pengembalian.

Penelitian yang menemukan tidak adanya pengaruh aktivisme investor institusi terhadap kinerja

perusahaan dilakukan banyak peneliti yaitu Daily, John, Elstrand dan Dalton (1996), Bear dan

Sias (1997), Opler dan Sokobin`s (1997), Carleton, Nelson dan Weisbach (1997) dan lain-lain.

Dari penelitian-penelitian tersebut, tak seorang penelitipun berani menyimpulkan bahwa

aktivisme investor institusi memberikan dampak positif terhadap kinerja perusahaan.

Walaupun aktivisme investor institusi tidak berdampak positif terhadap kinerja perusahaan, tapi

aktivisme ini bisa merubah budaya perusahaan sehingga mempengaruhi kinerja perusahaan

secara keseluruhan. Seperti yang dikemukan oleh Gordon (1997b), Black dan Coffee (1994), dan

Coffee (1997). Perubahan budaya memang tidak dapat di uji secara langsung. Tapi melalui

perubahaan Governance yang didukung oleh institusi akan berdampak terhadap kinerja

perusahaan. Bukti empiris menyimpulkan bahwa sudah tiga perubahan yaitu (i) perubahan

komposisi dewan komisaris, (ii)komite nominasi dan kompensasi yang berasal dari dewan

komisaris independen dan (iii) pemisahan posisi pimpinan dewan komisaris dengan CEO.

Investor institusi sangat mendukung yang duduk di dewan komisaris adalah komisaris

independen. Tapi tidak ada jaminan dengan banyak komposisi komisaris independen dan

pemisahan posisi pimpinan dewan komisaris dengan CEO akan meningkatkan kinerja perusahaan

secara keseluruhan (Klein, 1997b), Brickley, Coles, dan Jarrell (1997).

Dari penjelasan diatas dapat di simpulkan bahwa informasi akuntansi mensuplai input yang paling

penting ke dalam mekanisme Corporate Governance. informasi akuntansi secara implisit

digunakan baik untuk menunjukan apakah aksi governance melawan manajemen dibutuhkan dan

untuk membantu menentukan pengeluaran untuk stakeholder lainnya jika terjadi masalah hukum

dan penurunan kinerja keuangan.

78
Corporate Social Responsibility (CSR)

Definisi Corporate Social Responsibility

(Kotler dan Lee dalam Solihin, 2009:5) menyebutkan bahwa definisi tanggung jawab sosial

perusahaan, yaitu “Corporate Social Responsibility is a commitment to improve community well

being through discretionary business practices and contribution of corporate resources”. “Dalam

definisi tersebut, Kotler dan Lee memberikan penekanan pada kata discretionaryyang berarti

kegiatan CSR semata-mata merupakan komitmen perusahaan secara sukarela untuk turut

meningkatkan kesejahteraan komunitas dan bukan merupakan aktivitas bisnis yang diwajibkan

oleh hukum dan perundang-undangan seperti kewajiban untuk membayar pajak atau kepatuhan

perusahaan terhadap undang-undang ketenagakerjaan”. “Kata discretionaryjuga memberikan

nuansa bahwa perusahaan yang melakukan aktivitas CSR haruslah perusahaan yang telah menaati

hukum dalam pelaksanaan bisnisnya”. Jadi kegiatan CSR yang dilakukan perusahaan tidak

diperkenankan hanya untuk menyembunyikan kinerja operasional perusahaan yang buruk dan

harus dilakukan sungguh-sungguh menciptakan lingkungan masyarakat yang sehat, aman, dan

sejahtera.

Menurut (Maignan & Ferrell dalam Susanto, 2009:10) mendefinisikan CSR sebagai “A

business acts in socially responsible manner when it’s decision and actions account for and

balance diverse stakeholder interests”. “Definisi ini menekankan perlunya memberikan perhatian

secara seimbang terhadap kepentingan berbagai stakeholder yang beragam dalam setiap keputusan

dan tindakan yang diambil oleh para pelaku bisnis melalui perilaku yang secara sosial bertanggung

jawab”.

79
(Elkington dalam Alfitri, 2011:92) mengemukakan bahwa, “sebuah perusahaan yang

menunjukkan tanggung jawab sosialnya akan memberikan perhatian kepada peningkatan kualitas

perusahaan (profit);masyarakat, khususnya komunitas sekitar (people); serta lingkungan hidup

(planet bumi). Pertama, profit menyangkut keuntungan perusahaan sebagai motivasi utama dari

setiap kegiatan usaha. Aktivitas yang dapat ditempuh untuk mendongkrak keuntungan antara lain

dengan meningkatkan produktivitas dan melakukan efisiensi biaya. Kedua, People menyangkut

masyarakat sekitar perusahaan yang berkomitmen memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada

masyarakat. Perusahaan perlu melakukan kegiatan yang menyentuh kebutuhan masyarakat sebagai

kompensasi atas dampak yang diterima masyarakat. Ketiga, Planet, diartikan sebagai kegiatan

perusahaan yang peduli terhadap lingkungan sekitar agar terjaga keseimbangan lingkungan fisik

dengan kehidupan manusia”.

Berdasarkan rencana implementasi (draft) (ISO 26000 dalam Solihin, 2009:31) yang akan

mengatur mengenai standar CSR Corporate Social Responsibilityadalah “tanggung jawab sebuah

perusahaan terhadap dampak-dampak dari keputusan-keputusan dan kegiatan-kegiatannya pada

masyarakat dan lingkungan yang diwujudkan dalam bentuk perilaku transparan dan etis yang

sejalan dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat; mempertimbangkan

harapan pemangku kepentingan, sejalan dengan hukum yang berlaku dan norma-norma perilaku

internasional; serta terintegrasi dengan organisasi secara menyeluruh”.

Penulis dapat menyimpulkan bahwa definisi CSR yaitu komitmen dan upaya perusahaan

yang beroperasi secara legal dan etis untuk berkontribusi terhadap pembangunan sosial, ekonomi,

dan lingkungan hidup serta pembangunan berkelanjutan guna meningkatkan kualitas hidup

beragam pemangku kepentingan.

80
Dasar Hukum Corporate Social Responsibility(CSR)

Dalam Pasal 74 ayat 1 UU Republik Indonesia No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan

Terbatas disebutkan Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan

dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan; Tanggung

jawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban perseroan

yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan

dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran; Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan (Susanto, 2009:3).

Sedangkan dalam Pasal 15 (b) UU Republik Indonesia No.25 tahun 2007 tentang Penanaman

Modal menyatakan bahwa “Setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab

sosial perusahaan.”

Kategori Aktivitas Corporate Social Responsibility (CSR)

Berdasarkan (Kotler dan Lee dalam Solihin, 2009:131) menyebutkan bahwa terdapat 6

(enam) kategori program CSR, yaitu:

No Kategori CSR Definisi Contoh

1 Cause Perusahaan menyediakan dana Kampanye yang dilakukan


Promotions atau sumber daya lainnya yang Bank Indonesia untuk
dimiliki perusahaan untuk meningkatkan kesadaraan
meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap
masyarakat terhadap suatu meningkatnya peredaran
kegiatan sosial atau untuk uang palsu di Indonesia yang
mendukung pengumpulan di kenal dengan kampanye
dana, partisipasi dari

81
masyarakat atau perekrutan 3D.
tenaga sukarela untuk suatu (dilihat,diraba,diterawang).
kegiatan tertentu. Komunikasi
persuasif untuk menciptakan
kesadaraan serta perhatian
terhadap suatu masalah sosial.
2 Cause-Related Perusahaan memiliki “Berbagi 1000 kebaiakan”
Marketing komitmen untuk dengan cara
menyumbangkan persentase menyumbangkan Rp 1000
tertentu dari penghasilannya untuk setiap penjualan es
untuk suatu kegiatan sosial krim vienetta walls ke
berdasarkan besarnya kegiatan sosial.
penjualan produk.
3 Corporate Perusahaan mengembangkan Pampers melalui program
Social dan melaksanakan kampanye “back to sleep” bertujuan
Marketing untuk mengubah perilaku mengedukasi masyarakat
masyarakat dengan tujuan amerika untuk menidurkan
meningkatkan kesehatan dan bayi dengan posisi telentang,
keselamatan publik, menjaga hal ini dilakukan karena
kelestarian lingkungan hidup sudden infant death
serta meningkatkan syndrome(SIDS) yang
kesejahteraan masyarakat. mengakibatkan kematian
bayi secara mendadak pada
saat menidurkan bayi dalam
keadaan tengkurap.
4 Corporate Perusahaan memberikan PT Telkom Divre III
Phylanthropy sumbangan langsung dalam melakukan pemberian paket
bentuk derma untuk kalangan sembako menjelang hari raya
masyarakat tertentu. Idul Fitri.

82
5 Community Perusahaan mendukung serta McDonald memberikan
Volunteering mendorong para karyawan, makanan dengan para
rekan pedagang eceran, atau profesional dan sukarelawan
para pemegang franchise agar pada musibah 9/11.
menyisihkan waktu mereka
secara sukarela guna
membantu organisasi
masyarakat lokal maupun
masyarakat.

6 Social Perusahaan melaksanakan Pemberian makanan


Responsible aktivitas bisnis melampaui tambahan kepada balita, ibu
Business yang diwajibkan oleh hukum hamil dan ibu menyusui dan
Practice serta melaksanakan investasi Pelatihan olahan pangan dari
yang mendukung kegiatan sagu.
sosial dengan tujuan
meningkatkan kesejahteraan
komunitas dan memelihara
lingkungan hidup.

Dari keenam kategori aktivitas CSR tersebut, dapat disimpulkan bahwa inti atau output

yang dihasilkan dari program CSR salah satunya adalah sebagai wadah atau sarana untuk

mengembangkan masyarakat.

Konsep Penerapan Corporate Social Responsibility (CSR)

Pelaksanaan program CSR melibatkan beberapa pihak, oleh sebab itu diperlukan beberapa

kondisi yang akan menjamin terlaksananya implementasi program CSR dengan baik. Kondisi

pertama, implementasi CSR memperoleh persetujuan dan dukungan dari para pihak yang terlibat

83
sehingga pelaksanaan program CSR didukung sepenuhnya oleh sumber daya yang dimiliki

perusahaan. Kondisi kedua yang harus diciptakan untuk menunjang keberhasilan implementasi

program CSR adalah ditetapkannya pola hubungan di antara pihak-pihak yang terlibat secara jelas.

Hal ini akan meningkatkan kualitas koordinasi pelaksanaan program CSR. Tanpa adanya pola

hubungan yang jelas di antara berbagai pihak yang terlibat dalam pelaksanaan CSR, maka

kemungkinan besar pelaksanaan program CSR tersebut tidak akan berjalan secara optimal. Selain

itu tanpa adanya pola hubungan yang jelas, maka kemungkinan program CSR tersebut untuk

berlanjut (sustainable) akan berkurang. Kondisi ketiga adalah adanya pengelolaan program yang

baik. Pengelolaan program yang baik hanya dapat terwujud bila terdapat kejelasan tujuan program,

terdapat kesepakatan mengenai strategi yang akan digunakan untuk mencapai tujuan program dari

para pihak yang terlibat dalam pelaksanaan CSR. Perwujudan program tersebut juga memerlukan

dukungan terhadap program yang tengah dijalankan dari pihak-pihak yang terlibat dan terdapat

kejelasan mengenai durasi waktu pelaksanaan program serta siapa yang bertanggung jawab untuk

memelihara kontinuitas pelaksanaan kegiatan bila program CSR sudah berakhir (Ismail Solihin,

2009 :

BAB 10

PENGUNGKAPAN DAN TRANSPARANSI

10.1. Pengertian Transparansi


Bushman & Smith (2003, P. 26) mendefenisikan transparansi perusahaan sebagai
ketersediaan perusahaan sebagai ketersediaan relavansi yang tersebar luas, informasi yang
dapat dipercaya mengenai kinerja perusahaan dalam suatu periode yang terkait, posisi
keuangan, kesempatan investasi, pemerintah, nilai danresiko perusahaan dagang yang

84
besifat umum. Dalam tingkatan negara, Bushman, piotroski, dan smith (2004)
mengidentifikasi 2 jenis transparansi perusahaan yaitu transparansi keuangan dan
transparansi pemerintah. Transparansi keuangan tingkat negara disusun berdasarkan
intensitas pelaporan perusahaan, waktu pelaporan, jumlah analisis, dan media
penyebarannya.
Transparansi adalah memberikan informasi keuangan yang terbuka dan jujur kepada
masyarakat berdasarkan pertimbangan bahwa masyarakat memiliki hak untuk mengetahui
secara terbuka dan menyeluruh atas pertanggungjawaban pemerintah dalam pengelolaan
sumber daya yang dipercaya dan ketaatannya pada peraturan perundang-undangan (KK,
SAP, 2005).
Sumber utama tekanan untuk meningkatkan pengungkapan laporan keuangan adalah
dari komunitas keuangan dan investasi. Perusahaan multinasional dan badan pengaturan
standar Negara dengan pasar modal yang berkempang pesat, seperti ; Ameraka Serikat,
Inggris, Prancis, Jerman, dan Jepang telah memberiu perhatian lebih terhadap dorongan dari
pihak-pihak tersebut.
Dorongan untuk pengungkapan informasi perusahaan multinasional sepanjang
menyangkut aturan yang tenyata meningkatkan persyaratan untuk pengungkapan informasi
dipputuskan dengan pengaturan badan dan standar perwakilan pada tingkat pemerintah dan
profesional. Banyak investor dan pemegang saham tidak membuat keputusan investasi
sendiri tetapi bergantung pada saran dari para ahli. Sebuah perusahaan analisis komprehensip
tidak hanya mengharuskan penggunaan informasi keuangan, tetapi data tambahan, serta
untuk menilai tren saat ini dan masa depan, pada pusat, perusahaan multinasional sangat
kompleks, dan begitu pula dengan laporan perusahaannya.Transparansi adalah bersifat
terbuka, mudah dan dapat diakses dengan semua pihak yang membutuhkan dan disediakan
secara memadai serta dapat dipahami.

10.2. Pengungkapan Dalam Laporan Perusahaan


Sumber utama tekanan untuk meningkatkan pengungkapan laporan keuangan
adalah dari komunitas keuangan dan investasi. Perusahaan Multinasional dan badan
pengaturan standar Negara dengan pasar modal yang berkembang pesat, sepeti Amerika

85
Serikat, Inggris, Prancis, Jerman, dan Jepang, telah memberi perhatian lebih terhadap
dorongan dari pihak – pihak tersebut.
10.3. Dorongan untuk Pengungkapan Informasi Perusahaan
Multinasional sepanjang menyangkut aturan yang ternyata meningkatkan
persyaratan untuk pengungkapan informasi diputuskan dengan pengaturan badan dan
standar perwakilan pada tingkat pemerintahan dan professional. Cepatnya permintaan
informasi untuk tujuan penanaman modal, perkembangan pasar saham dan pembagian
kepemilikan yang mendunia, dipadukan dengan berkembangnya kekhawatiran
terhadap perbedaan standar dan perlakuan akuntansi dinegara berbeda, telah
meningkatkan permintaan terhadap bertambahnya pengungkapan akuntansi untuk
peningkatan kualitas maupun perbandingan laporan Perusahaan Multinasioal.
10.4. Mengkomunikasikan kepada Pengguna
Pertumbuhan saat ini mengindikasikan banyak pengguna informasi keuangan
yang tidak bisa membaca atau mengerti isi laporan, terutama investor dari kalangan
awam akuntansi. Pengguna langsung yang jumlahnya relatif kecil, yang memiliki
kemampuan dan pengalaman untuk memahami laporan keuangan. Banyak investor
dan pemegang saham tidak membuat keputusan investasi sendiri tetapi bergantung
pada saran dari para ahli. Sebuah perusahaan analisis komprehensif tidak hanya
mengharuskan penggunaan informasi keuangan, tetapi data tambahan, serta untuk
menilai tren saat ini dan masa depan. Pada pusat, Perusahaan Multinasional sangat
kompleks, dan begitu pula dengan laporan perusahaannya.
10.5. Pentingnya Pengungkapan Informasi
Meskipun tidak ada keraguan tentang pentingnya pengukuran dari isu-isu
akuntansi, pentingnya informasi yang diungkapkan dalam laporan keuangan dan
laporan perusahaan dengan semakin diakui oleh perusahaan multinasional. Informasi
ini memberikan masukan penting bagi analisis keuangan proses evaluasi kualitas laba
dan posisi keuangan, baik saat ini dan masa yang akan datang. Pada saat yang sama,
kebutuhan ini harus ditimbang terhadap kepentingan analis, investor, dan masyarakat
dalam transparansi usaha multinasional. Dengan adanya pengungkapan informasi,
maka perusahaan dapat menyampaikan kebijaksanaan dan informasi mengenai
orientasi perusahaan dimasa yang akan datang. Diakui secara umum, bahwa biaya

86
dalam penyediaan informasi tidak boleh melebihi keuntungan yang diperoleh oleh
pengguna informasi. Perlunya perusahaan multinasional dalam memelihara
kepercayaan diri usahanya dalam area sensitif dan untuk menghindari bahaya dalam
persaingan, harus dicantumkan dalam akun-akun perusahaan. Dalam prakteknya,
muncul anggapan bahwa semakin spesifik, semakin berorientasi ke depan dan semakin
kuantitatif suatu informasi yang diusulkan untuk diungkapkan, maka semakin pekalah
Kinerja perusahaan ke arah pencegahan.
10.6. Insentif Manajerial Untuk Mengungkapkan Informasi.
Manajemen secara sukarela memberikan informasi dan respon terhadap
peraturan. Penelitian oleh Meek dan Gray (1989) dan lain-lain telah menunjukkan,
misalnya, bahwa pengungkapan sukarela yang akan datang adalah ketika perusahaan
berkompetisi untuk pembiayaan dari investor, khususnya dalam konteks lintas batas.
Dimana pemerintah dan Perusahaan yang berusaha mempengaruhi lingkungan di
mana MNE beroperasi, ada juga yang akan berpengaruh kuat pada MNE untuk
memberikan informasi. Faktor-faktor kompleks yang mempengaruhi pengungkapan
perusahaan, ditunjukkan dalam figure berikut ini:
1. Biaya Infomasi Produksi
Pengungkapan informasi memerlukan biaya keuangan langsung. Perusahaan
multinasional mengerti dan enggan untuk mendatangkan peningkatan biaya kecuali
mereka diminta untuk melakukannya atau potensi keuntungan melebihi perkiraan
biaya. Biaya langsung adalah nilai sumber daya yang digunakan dalam
pengumpulan dan pengolahan informasi serta dalam mengaudit dan
mengkomunikasikan. Biaya langsung seperti pengungkapan informasi akan
bergantung pada struktur internal MNE dan informasi yang dihasilkan dalam
rangka untuk mengelola struktur ini.
2. Kerugian Kompetitif dari Pengungkapan
Dalam beberapa keadaan pengungkapan informasi bisa merugikan Perusahaan
Multinasional. karena informasi akan dapat diakses oleh siapa saja sehingga
pesaing juga dapat mengetahui informasi tersebut. Informasi yang memungkinkan
perusahaan pesaing untuk meningkatkan kekayaan mereka dengan menggunakan
informasi ini.

87
3. Perilaku Manajerial untuk Pengungkapan Sukarela
Tambahan permintaan pengungkapan informasi datang dari organisasi
internasional (khususnya PBB, OECD, Uni Eropa, dan IASB), pemerintah dan
masyarakat dimana Perusahaan Multinasional beroperasi. Namun, pertumbuhan
globalisasi dari pasar modal menunjukkan adanya tekanan pasar yang signifikan
untuk tambahan informasi mengenai operasi Perusahaan Multinasional serta
adanya prospek dan kekhawatiran mengenai koordinasi internasional dari peraturan
pasar modal. Tekanan ini membuat manajemen harus menimbang biaya dan
manfaat dari pengungkapan informasi secara sukarela.
4. Praktek Pengungkapan Perusahaan
Praktek pengungkapan secara sukarela oleh Perusahaan Multinasional, sebuah
studi oleh Meek, Roberts, dan Gray (1995) menguji faktor-faktor yang
mempengaruhi pengungkapan sukarela pada 226 Perusahaan Multinasional dari
Amerika Serikat, Inggris, dan negara-negara benua Eropa. Pengungkapan telah
diteliti dan diklasifikasikan menjadi tiga jenis : strategi, nonfinansial, dan financial.
Melihat faktor yang mempengaruhi pengungkapan informasi secara sukarela,
dukungan statistik ditemukan untuk ukuran perusahaan, status daftar perusahaan
internasional, asal negara atau kawasan. MNE terbesar adalah perusahaan yang
menentukan kecendrungan dalam memberikan keterbukaan informasi non financial
dan financial.
5. Peraturan Pengungkapan Internasional
Pola pengungkapan manajemen ditentukan tidak hanya dengan keinginan
sendiri dan kecendrungan budaya akan tetapi juga ditentukan dengan regulasi
pengungkapan permintaan internasional. Pengungkapan informasi juga diharuskan
di AS, dimana SEC mengharuskan adanya pembahasan dan analisis manajemen
dalam laporan keuangan, dan hal tersebut harus disertakan dalam laporan tahunan.

6. Tinjauan Informasi Perusahaan

88
a. Pernyatan Ketua; pernyataan ini memberikan pedoman dasar dari seorang
ketua atau Chief Executive dalam kepemimpinannya mengenai kinerja
perusahaan secara keseluruhan dan prospek perusahaan
b. Kajian Strategi dan Hasil Perusahaan; Perusahaan multinasional memberikan
komentar naratif dan data yang sesuai dengan kajian strategi perusahaan dan
didalamnya juga termasuk pernyataan misi.
c. Komentar-komentar pada Peristiwa Eksternal dan Tidak Biasa; MNEs juga
cenderung menunjukkan beberapa komentar-komentar pada pengaruh
peristiwa eksternal seperti tingkat pertukaran, tingkat bunga, kebijakan
pemerintah, kondisi pasar, dan kompetisi asing.
d. Informasi Akuisisi dan Pembubaran; Diskusi dan analisis akuisisi dan
pembubaran tidak tersebar luas. Ketika tingkat pengungkapan relatif tinggi di
Amerika Serikat dan Inggris, informasi akuisisi dan pembubaran jarang
menyeluruh atau meliputi banyak hal.
e. Informasi Sumber Daya Manusia; Beberapa MNE menunjukkan informasi
yang relevan untuk penilaian Sumber Daya Manusia. Lingkup yang
diungkapkan termasuk informasi tentang manajemen dan struktur organisasi
seperti tenaga kerja dan pegawai.
f. Informasi Bernilai Tambah; Informasi bernilai tambah sering terbukti cukup
menarik dan bermanfaat. Pernyataan bernilai tambah menunjukkan istilah
keuangan, kontribusi untuk semua pemegang saham, dan khususnya pegawai,
untuk performen bisnis.
g. Informasi Pertanggungjawaban Sosial; Istilah pertanggungjawaban merujuk
pada akuntabilitas masyarakat sebagai suatu kesatuan dengan memperhatikan
kepentingan umum seperti kesejahteraan masyarakat, keamanan public, dan
lingkungan.
h. Informasi Riset dan Pengembangan; Secara umum Riset dan Pengembangan
merupakan hal utama dari keberhasilan sebuah perusahaan jangka panjang.
i. Informasi Program Investasi; Secara umum dapat diterima bahwa kualitas
pengeluaran modal perusahaan berlawanan dengan akuisisi bisnis yang sedang

89
berjalan daripada perusahaan lain, adalah hal yang utama dalam kesuksesan
perusahaan jangka panjang.
j. Informasi Prospek Masa Depan; Para pengguna tertarik untuk menambah
pengertian mereka tentang aktivitas MNE di masa sekarang dan di masa lalu,
karena tertarik pada prospek masa depan dari MNE.
7. Pemeriksaan operasi
Bagian pelaporan sekarang dikenal dengan pendirian praktek penyingkapan
informasi oleh MNEs, tetapi perhatian berfokus pada kuantitatif daripada kualitatif
informasi. Dalam praktek, mayoritas MNEs memberikan tambahan ulasan cerita,
dan terkadang data kuantitatif, pada segmen dasar dalam pemeriksaan operasi
mereka.
8. Pemeriksaan keuangan
Pemeriksaan keuangan menceritakan untuk diskusi dan analisi pada
keuangan akhir dan posisi perusahaan keseluruhan, topik diskusi mencakup
likuiditas akhir dan sumber modal dan penilaian asset dan inflasi. Bidang
pemeriksaan ini relevan untuk memperbaiki pengertian pada factor pengaruh
pelaksanaan perusahaan. Bidang ini mencakup hal yaitu : Analisis akhir U. S.
MNEs sesuai dengan keperluan SEC. Juga memasukkan korelasi tren masa lalu
dengan arus penjualan dan laba, Menganalisis likuiditas dan sumber modal. Tingkat
penyingkapan relative tinggi di Prancis, Jerman, Italia, Belanda, Inggris, dan
Amerika Serikat. Menganalisis nilai asset dan inflasi. Pihak dari Afrika Selatan,
dalam keperluan arena nilai asset dan inflasi yang terbatas meskipun beberapa
pengalaman inflasi akuntansi dalam nomor daerah.
9. Frekuensi dan garis waktu dari pelaporan

Di Amerika Serikat dan Kanada pelaporan dilakukan dua kali setahun. Di Eropa, EU mengurus

pada pelaporan interm mewajibkan daftar perusahaan untuk memberikan laporan per enam bulan.

IASB juga memiliki standar pada pelaporan keuangan internal. tetapi frekuensi ini pada pelaporan

hanya pemisah untuk isi minimum pada laporaninternal.

90
BAB I1

KUALITAS PELAPORAN KEUANGAN

11.1 Pentingnya Kualitas Pelaporan Keuangan

Sebuah perusahaan memberikan sinyal kepada pengguna laporan keuangan. Sinyal ini

berupa informasi mengenai apa yang sudah dilakukan oleh manajemen untuk menuruti keinginan

pemilik. Sinyal dapat berupa promosi atau informasi lain yang menyatakan bahwa perusahaan

tersebut lebih baik daripada perusahaan lain. Teori sinyal menjelaskan bahwa pemberian sinyal

dilakukan oleh manajer untuk mengurangi kesalahan informasi.

Manajer memberikan informasi melalui laporan keuangan bahwa mereka menerapkan

kebijakan akuntansi dengan sebenar-benarnya yang menghasilkan laba yang lebih berkualitas

karena prinsip ini mencegah perusahaan melakukan tindakan membesar-besarkan laba dan

membantu pengguna laporan keuangan dengan menyajikan laba dan aktiva yang tidak kelebihan

batas.

Kualitas pelaporan keuangan yang mencerminkan nilai perusahaan merupakan sinyal

positif yang dapat mempengaruhi opini investor dan kreditor atau pihak-pihak lain yang

berkepentingan. Laporan keuangan seharusnya memberikan informasi yang berguna bagi investor

dan kreditor untuk membuat keputusan investasi, kredit dan keputusan sejenis. Dalam signaling

theory, pengeluaran investasi memberikan sinyal positif tentang pertumbuhan perusahaan di masa

yang akan datang, sehingga meningkatkan harga saham sebagai indikator nilai perusahaan.

Peningkatan hutang diartikan oleh pihak luar tentang kemampuan perusahaan untuk membayar

kewajiban di masa yang akan datang atau adanya risiko bisnis yang rendah, hal tersebut akan

direspon secara positif oleh pasar (Brigham, 1999 dalam Jama'an, 2008).

91
Signaling theory menjelaskan mengapa perusahaan mempunyai dorongan untuk

memberikan informasi laporan keuangan pada pihak eksternal, karena terdapat asimetri informasi

antara perusahaan dan pihak luar. Perusahaan (agent) mengetahui lebih banyak mengenai

perusahaan dan prospek yang akan datang daripada pihak luar (investor, kreditor). Kurangnya

informasi pihak luar mengenai perusahaan menyebabkan mereka melindungi diri mereka dengan

memberikan harga yang rendah untuk perusahaan. Perusahaan dapat meningkatkan nilai

perusahaan, dengan mengurangi asimetri informasi. Salah satu cara untuk mengurangi informasi

asimetri adalah dengan memberikan sinyal pada pihak luar, salah satunya berupa informasi

keuangan yang dapat dipercaya dan akan mengurangi ketidakpastian mengenai prospek

perusahaan yang akan datang .

Teori signal juga dapat membantu pihak perusahaan (agent), pemilik (prinsipal), dan pihak

luar perusahaan mengurangi asimetri informasi dengan menghasilkan kualitas pelaporan

keuangan. Untuk memastikan pihak-pihak yang

berkepentingan menyakini keandalan informasi keuangan yang disampaikan pihak perusahaan

(agent), perlu mendapatkan opini dari pihak lain yang bebas memberikan pendapat tentang laporan

keuangan. Sinyal opini bebas yang diberikan oleh kantor akuntan publik (KAP) merupakan sinyal

yang mencerminkan keandalan informasi keuangan yang dihasilkan perusahaan yang telah di

audit. Kualitas kantor akuntan publik (KAP) juga dapat memberikan sinyal kepercayaan pihak

perusahaan (agent), pemilik (prinsipal), dan pihak-pihak lain yang berkepentingan atas legalitas

dan integritas opini bebas yang dikeluarkan akuntan. Oleh karena itu sebagai pengelola, manajer

berkewajiban memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada pemilik (prinsipal). Sinyal

yang diberikan dapat dilakukan melalui pengungkapan informasi akuntansi seperti laporan

keuangan.

92
Audit

Adapun ciri laporang kuangan yang baik adalah :

a. Dapat dipahami, artinya laporan keuangan mudah untuk dipahami oleh pemakai.

b. Relevan, artinya laporan keuangan harus sesuai dengan tujuan operasional perusahaan dan

memenuhi kebutuhan pemakai dalam proses pengambilan keputusan.

c. Materialitas, artinya suatu laporan atau fakta dipandang material apabila kelalaian dalam

mencantumkan atau kesalahan mencatat informasi dapat memengaruhi keputusan ekonomi

pemakai dengan analisis bahwa keadaan lain sebagai bahan pertimbangan lengkap.

d. Keandalan (reliable), artinya informasi laporan keuangan harus bebas dari pengertian yang

menyesatkan, kesalahan material, dan dapat diandalkan pemakainya sebagai penyajian

yang tulus dan jujur (faithful representation).

e. Penyajian jujur, artinya informasi akuntansi harus menggambarkan kejujuran transaksi

serta peristiwa lain yang seharusnya disajikan atau secara wajar dapat diharapkan untuk

disajikan.

f. Substansi mengungguli bentuk, artinya jika dimaksudkanuntuk menyajikan informasi

dengan jujur, maka transaksi perlu dicatat dan disajikan sesuai dengan substansi dan

realitas ekonomi, bukan hanya bentuk hukumnya.

g. Netralitas, artinya informasi akuntansi harus diarahkan pada kebutuhan umum pemakai,

tidak bergantung pada kebutuhan dan keinginan pihak tertentu.

h. Pertimbangan sehat, artinya informasi yang disajikan mengandung unsur kehati-hatian

pada saat melakukan perkiraan dalam kondisi ketidakpastian.

i. Kelengkapan, artinya informasi dalam laporan keuangan harus lengkap dalam batasan

materialitas dan biaya.

93
j. Dapat dibandingkan, artinya informasi akuntansi harus dapat dibandingkan dengan laporan

periode sebelumnya serta dapat dibandingkan dengan perusahaan lain yang sejenis.

11.2. Hubungan Komite Audit Dengan Kualitas Laporan Keuangan

Komite audit merupakan komite yang dibentuk oleh dewan komisaris yang bertugas melaksanakan

pengawasan independen atas proses laporan keuangan dan audit ekstern. Dalam hal pelaporan

keuangan, peran dan tanggung jawab komite audit adalah memonitor dan mengawasi audit laporan

keuangan dan memastikan agar standar dan kebijaksanaan keuangan yang berlaku terpenuhi,

memeriksa ulang laporan keuangan apakah sudah sesuai dengan standar dan kebijaksanaan

tersebut dan apakah sudah konsisten dengan informasi lain yang diketahui oleh anggota komite

audit, serta menilai mutu pelayanan dan kewajaran biaya yang diajukan auditor eksternal

(KNKCG, 2002), berbagai ketentuan dan peraturan mengenai komite audit telah dibuat

diantaranya:

a. Pedoman Good Corporate Governance (Maret 2001) yang menganjurkan semua perusahaan di

Indonesia memiliki Komite Audit.

b. Surat Edaran BAPEPAM No. SE-03/PM/2000 yang merekomendasikan perusahaan-perusahaan

publik memiliki Komite Audit.

c. KEP-339/BEJ/07-2001, yang mengharuskan semua perusahaan yang listed di Bursa Efek

Jakarta memiliki Komite Audit;

Komite audit berperan penting dalam proses pelaporan keuangan, sebagai sebuah financial

monitor dan berperan penting dalam proses laporan keuangan Abbott, Peters, & Raghunandan

(2003) dalam Azibi, Tondeur, & Rajhi (2008). Komite audit akan berhubungan dengan

pengawasan keuangan perusahaan, termasuk melakukan telaah (review) terhadap keandalan

94
pengendalian internal yang dimiliki perusahaan serta kepatuhan (compliance) terhadap berbagai

peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Cakupan tugas komite audit dengan melakukan

“hubungan” tidak saja dengan internal auditor perusahaan tetapi juga dengan auditor eksternal

dalam upaya menghasilkan laporan keuangan perusahaan yang dapat mencermin tingkat good

governance (Abbott, Peters, & Raghunandan, 2003; Asbaugh & Warfield, 2003 dalam Azibi,

Tondeur, & Rajhi, 2008).

Dalam rangka penyelenggaraan good corporate governance, BEI mewajibkan perusahaaan

tercatat memiliki komisaris independen dan komite audit. Keanggotaan komite audit sekurang-

kurangnya tiga anggota dan seorang di antaranya komisaris independen perusahaan tercatat

sekaligus menjadi ketua komite. Sebaliknya, pihak lain adalah pihak ekstern yang independen dan

sekurang-kurangnya salah seorang memiliki kemampuan di bidang akuntansi dan keuangan.

Komite audit bertugas membantu dewan komisaris untuk memonitor proses pelaporan keuangan

oleh manajemen untuk meningkatkan kredibilitas laporan keuangan (Bradbury et al., 2004 dalam

Suaryana, 2006). Tugas komite audit meliputi menelaah kebijakan akuntansi yang diterapkan oleh

perusahaan, menilai pengendalian internal, menelaah sistem pelaporan eksternal dan kepatuhan

terhadap peraturan. Di dalam pelaksanaan tugasnya komite menyediakan komunikasi formal

antara dewan, manajemen, auditor eksternal, dan auditor internal (Bradbury,et al. 2004 dalam

Suaryana, 2006).

Adanya komunikasi formal antara komite audit, auditor internal, dan auditor eksternal

akan menjamin proses audit internal dan eksternal dilakukan dengan baik. Proses audit internal

dan eksternal yang baik akan meningkatkan akurasi laporan keuangan dan kemudian

meningkatkan kepercayaan terhadap laporan keuangan (Anderson, et al. 2003 dalam Suaryana,

2006). Komite audit juga bertugas sebagai pihak penengah apabila terjadi selisih pendapat antara

95
manajemen dan auditor mengenai interpretasi dan penerapan prinsip akuntansi yang berlaku umum

(Dye, 1988; Antle dan Nalebuff, 1991 dalam Suaryana, 2006). untuk mencapai keseimbangan

akhir sehingga laporan lebih akurat (Klien, 2002 dalam Suaryana, 2006). Komite audit yang

beranggotakan pihak independen dan memiliki pengetahuan dalam bidang keuangan dan akuntansi

cenderung mendukung pendapat auditor (Carcello dan Neal, 2000 dalam Suaryana, 2006).

BAB I2

IMPLEMENTASI GCG DI PERUSAHAAN

12.1. Tahap-Tahap Penerapan GCG

Dalam pelaksanaan penerapan GCG di perusahaan adalah penting bagi perusahaan

untuk melakukan pentahapan yang cermat berdasarkan analisis atas situasi dan kondisi

perusahaan, dan tingkat kesiapannya, sehingga penerapan GCG dapat berjalan lancar dan

mendapatkan dukungan dari seluruh unsur di dalam perusahaan. Pada umumnya

perusahaan-perusahaan yang telah berhasil dalam menerapkan GCG menggunakan

pentahapan berikut (Chinn, 2000; Shaw,2003).

1. Tahap Persiapan

Tahap ini terdiri atas 3 langkah utama: 1) awareness building, 2) GCG

assessment, dan 3) GCG manual building. Awareness buildingmerupakan langkah

awal untuk membangun kesadaran mengenai arti penting GCG dan komitmen bersama

dalam penerapannya. Upaya ini dapat dilakukan dengan meminta bantuan tenaga ahli

independen dari luar perusahaan. Bentuk kegiatandapat dilakukan melalui seminar,

lokakarya, dan diskusi kelompok.

96
GCG Assessment merupakan upaya untuk mengukur atau lebih tepatnya

memetakan kondisi perusahaan dalam penetapan GCG saat ini. Langkah ini perlu guna

memastikan titik awal level penerapan GCG dan untuk mengidentifikasi langkah-

langkah yang tepat guna mempersiapkan infrastruktur dan struktur perusahaan yang

kondusif bagi penerapan GCG secara efektif. Dengan kata lain, GCG Assessment

dibutuhkan untuk mengidentifikasi aspekaspek apa yang perlu mendapatkan perhatian

terlebih dahulu, dan langkah-langkah apa yang dapat diambil untuk mewujudkannya.

dilakukan. Berdasarkan hasil pemetaan tingkat kesiapan perusahaan dan upaya

identifikasi prioritas penerapannya, penyusunan manual atau pedoman implementasi

GCG dapat disusun. Penyusunan manual dapat dilakukan dengan bantuan tenaga ahli

independen dari luar perusahaan. Manual ini dapat dibedakan antara manual untuk

organ-organ perusahaan dan manual untuk keseluruhan anggota perusahaan, mencakup

berbagai aspek seperti:

 Kebijakan GCG perusahaan

 Pedoman GCG bagi organ-organ perusahaan

 Pedoman perilaku

 Audit commitee charter

 Kebijakan disclosure dan transparansi

 Kebijakan dan kerangkamanajemen resiko

 Roadmap implementasi

2) Tahap Implementasi

Setelah perusahaan memiliki GCG manual, langkah selanjutnya adalah

memulai implementasi di perusahaan. Tahap ini terdiri atas 3 langkah utama yakni:
97
a) Sosialisasi, diperlukanuntuk memperkenalkan kepada seluruh perusahaan berbagai

aspek yang terkait dengan implementasi GCG khususnya mengenai pedoman

penerapan GCG. Upaya sosialisasi perlu dilakukan dengan suatu tim khusus yang

dibentuk untuk itu, langsung berada di bawah pengawasan direktur utama atau

salah satu direktur yang ditunjuk sebagai GCG champion di perusahaan.

b) Implementasi, yaitu kegiatan yang dilakukan sejalan dengan pedoman GCG yang

ada, berdasar roadmap yang telah disusun. Implementasi harus bersifat top down

approachyang melibatkan dewan komisaris dan direksi perusahaan. Implementasi

hendaknya mencakup pula upaya manajemen perubahan (change management)

guna mengawal proses perubahan yang ditimbulkan oleh implementasi GCG.

c) Internalisasi, yaitu tahap jangka panjang dalam implementasi. Internalisasi

mencakup upaya-upaya untuk memperkenalkan GCG di dalam seluruh proses

bisnis perusahaan kerja, dan berbagai peraturan perusahaan. Dengan upaya ini

dapat dipastikan bahwa penerapan GCG bukan sekedar dipermukaan atau sekedar

suatu kepatuhan yang bersifat superficial, tetapi benarbenar tercermin dalam

seluruh aktivitas perusahaan.

3) Tahap Evaluasi

Tahap evaluasi adalah tahap yang perlu dilakukan secara teratur dariwaktu ke

waktu untuk mengukur sejauh mana efektivitas penerapan GCG telah dilakukan

dengan meminta pihak independen melakukan audit implementasi dan scoring atas

praktik GCG yang ada. Terdapat banyak perusahaan konsultan yang dapat memberikan

jasa audit yang demikian, dan di Indonesia ada beberapa perusahaan yang melakukan

scoring. Evaluasi dalam bentuk assessment, audit atau scoring juga dapat dilakukan

98
secara mandatory misalnya seperti yang diterapkan di lingkungan BUMN. Evaluasi

dapat membantu perusahaan memetakan kembali kondisi dan situasi serta capaian

perusahaan dalam implementasi GCG sehingga dapat mengupayakan perbaikan-

perbaikan yang perlu berdasarkan rekomendasi yang diberikan.

12.2. Implementasi GCG pada BUMN

Pemerintah memberikan dorongan yang sangat kuat terhadap implementasi GCG

di Indonesia. Bukti dari kepedulian pemerintah dapat dilihat dari dibuatnya berbagai

regulasi yang mengatur tentang GCG. Berawal dari dibentuknya Komite Nasional tentang

Kebijakan Corporate Governance (KNKCG) melalui Keputusan Menko Ekuin Nomor:

KEP/31/M.EKUIN/08/1999 tentang pembentukan KNKCG . Menerbitkan

Pedoman GCG Indonesia. Kemudian dilanjutkan dengan dibentuknya Komite Nasional

Kebijakan Governance (KNKG) sebagai pengganti KNKCG melalui Surat Keputusan

Menko Bidang Perekonomian Nomor: KEP/49/M.EKON/11/2004. Terdiri dari Sub-

Komite Publik dan Sub-Komite Korporasi. Kemudian juga dikeluarkan SE Ketua

Bapepam Nomor Se-03/PM/2000 tentang Komite Audit yang berisi himbauan perlunya

Komite Audit dimiliki oleh setiap Emiten, dan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.

8/4/PBI/2006 tentang GCG yang dirubah dengan PBI No. 8/14/GCG/2006.

Implementasi GCG di BUMN dapat dilihat dengan adanya peraturan-peraturan yang

mendukungnya seperti :

1. Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan BUMN Nomor Kep-133/M-PBUMN/1999

tentang Pembentukan Komite Audit bagi BUMN.

99
2. Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-05/MBU/2008 Tentang Pedoman umum

pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa BUMN.

3. Keputusan Menteri BUMN No. 09A/MBU/2005 Tentang Proses Penilaian Fit & Proper

Test Calon Anggota Direksi BUMN.

4. SE Menteri BUMN No. 106 Tahun 2000 dan Keputusan Menteri BUMN No. 23 Tahun

2000 – mengatur dan merumuskan pengembangan praktik good corporate governance

dalam perusahaan perseroan.

5. Disempurnakan dengan KEP-117/M-MBU/2002 tentang Keputusan Menteri BUMN

Nomor Kep-117/M-MBU/2002 tentang Penerapan Praktek Good Corporate

Governance Pada BUMN.

12.3. Implementasi GCG pada Non BUMN

Komitmen GCG juga diberlakukan pada sector swasta non-BUMN. Pada tahun

2000, Bursa Efek Jakarta (sekarang Bursa Efek Indonesia) memberlakukan Keputusan

Direksi PT Bursa Efek Jakarta Nomor Kep-315/BEJ/062000 perihal Peraturan

Pencatatan Efek Nomor I-A yang antara lain mengatur tentang kewajiban mempunyai

Komisaris Independen, Komite Audit, memberikan peran aktif Sekretaris Perusahaan di

dalam memenuhi kewajiban keterbukaan informasi serta mewajibkan perusahaan

tercatat untuk menyampaikan informasi yang material dan relevan.

Untuk mendukung pelaksanaan dari GCG, dibentuk berbagai organisasi dan

perkumpulan yang mendukung seperti lahirnya Forum for Corporate Governance in

Indonesia(FCGI), Indonesian Institute for Corporate

Governance (IICG), Indonesian Institute for Corporate Directorship (IICD), Indonesia

Corporate Secretary Association (ICSA), Ikatan Komite Audit Indonesia (IKAI),

100
Asosiasi Auditor Internal (AAI), Klinik GCG Kadin, dan lahirnya Lembaga Komisaris

dan Direksi Indonesia (LKDI) yang kegiatannya antara lain mengadakan Forum LKDI

untuk membahas berbagai hal seperti tanggung jawab hukum bagi Komisaris dan

Direksi, undang-undang pencucian uang dsb.

Masih banyak yang harus dibenahi dan terus dikembangkan pelaksaanaan GCG

di Indonesia. Karena KKN yang merajalela mengartikan GCG masih belum dapat

terlaksana dengan baik. Pelaksanaan GCG di Indonesia tidak dapat dilakukan sendiri-

sendiri. Tapi memerlukan Integrasi dari seluruh komponen bisnis. Agar dapat dicapai

suatu perusahaan bersih yang dapat disebut Good Corporate Governance.

Empat komponen utama yang diperlukan dalam konsep GCG ini, yaitu

fairness, transparancy, accountability, dan responsibility. Keempat komponen tersebut

penting karena penerapan prinsip GCG secara konsisten terbukti dapat meningkatkan

kualitas laporan keuangan (Beasly et al., 1996 dalam Sulistyanto, 2003).

101

Anda mungkin juga menyukai