Jurnal 4

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 17

JURNAL PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI IV

SIROSIS HEPATIK

OLEH :

KELOMPOK I

Pranadika Ardiyanto 161200092


Putri Dalem Nuning Stiti 161200093
Putu Agus Andi Dharma 161200094
Putu Ita Yuliana Wijayanti 161200095
Putu Ryan Mahardika 161200096
S.A.N.Wahyu Astika Dewi 161200097

FARMASI KLINIS A1-D

Hari/Tanggal Praktikum : Jum’at, 29 November 2019

Dosen Pengampu: Made Krisna Adi Jaya, S.Farm., M.Farm., Apt

JURUSAN FARMASI

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS

UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL

2019
A. Tujuan Praktikum
1. Mengetahui definisi Sirosis Hepatik
2. Mengetahui patofisiologi Sirosis Hepatik
3. Mengetahui tatalaksana Sirosis Hepatik (Farmakologi & Non Farmakologi)
4. Dapat menyelesaikan kasus terkait Sirosis Hepatik secara mandiri dengan
menggunakan metode SOAP.

B. Dasar Teori
1. Definisi Sirosis Hepatik
Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan adanya
pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan adanya proses
peradangan nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi
nodul. Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro
menjadi tidak teratur akibat penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut.
Telah diketahui bahwa penyakit ini merupakan stadium terakhir dari penyakit
hati kronis dan terjadinya pengerasan dari hati yang akan menyebabkan penurunan fungsi
hati dan bentuk hati yang normal akan berubah disertai terjadinya penekanan pada
pembuluh darah dan terganggunya aliran darah vena porta yang akhirnya menyebabkan
hipertensi portal. Pada sirosis dini biasanya hati membesar, teraba kenyal, tepi tumpul,
dan terasa nyeri bila ditekan
Menurut Lindseth; Sirosis hati adalah penyakit hati kronis yang dicirikan dengan
distorsi arsitektur hati yang normal oleh lembar-lembar jaringan ikat dan nodul-nodul
regenerasi sel hati. Sirosis hati dapat mengganggu sirkulasi sel darah intra hepatik, dan
pada kasus yang sangat lanjut, menyebabkan kegagalan fungsi hati.

2. Etiologi Sirosis Hepatik


Sirosis hepatis dapat disebabkan oleh banyak keadaan, antara lain; konsumsi alkohol,
virus hepatitis B dan C, gangguan imunologis, zat hepatotoksik, dan lain-lain.
1. Konsumsi alkohol kronik
2. Infeksi kronik virus hepatitis tipe B, C, dan D
3. Penyakit metabolik hati
 Hemochromatosis

2
 Wilson’s disease
 α1-Antitrypsin deficiency
 Nonalcoholic steatohepatitis (fatty liver)
4. Cholestatic liver diseases
 Primary biliary cirrhosis
 Secondary biliary cirrhosis (Gallstone, infeksi parasitis)
 Primary sclerosing cholangitis
 Budd-Chiari’s syndrome
 Severe congestive heart failure and constrictive pericarditis
5. Obat-obatan dan herbal
Isoniazid, methyldopa, amiodarone, methotrexate, phenothiazine, estrogen,
anabolic steroids, black cohosh, Jamaican bush tea.

3. Epidemiologi Sirosis Hepatik


Di Indonesia belum ada data resmi nasional tentang sirosis hepatik. Namun dari
beberapa laporan rumah sakit umu pemerintah, prevalensi sirosis hepatik yang dirawat di
bangsal penyakit dalam umumnya berkisar antara 3,6-4,8% di Jawa dan Sumatera,
sedangkan di Sulawesi dan Kalimantan dibawah 1%. Secara keseluruhan rata rata
prevalensi sirosis adalah 3,5% dari seluruh pasien yang dirawat di bangsal penyakit dalam
atau rata rata 47,4% dari dari seluruh pasien penyakit hepar yang dirawat dengan
perbandingan pria dan wanita adalah 2:1 dan usia rata rata 44 tahun (Kusumobroto, 2012)

4. Klasifikasi Sirosis Hepatik


Ada 3 jenis klasifikasi sirosis hati, yaitu (Destiana Agustin, 2013) :
 Sirosis Laennec
Sirosis Laennec disebabkan oleh alkoholisme kronis. Perubahan pertama
pada hati yang ditimbulkan alkohol adalah akumulasi lemak secara bertahap di
dalam sel-sel hati (infiltrasi lemak) dan alcohol menimbulkan efek toksik
langsung terhadap hati. Akumulasi lemak mencerminkan adanya sejumlah
gangguan metabolik yang mencakup pembentukan trigliserida secara berlebihan,
menurunnya pengeluaran trigliserida dari hati dan menurunnya oksidasi asam
lemak.

3
Sirosis Laennec ditandai dengan lembaran-lembaran jaringan ikat yang tebal
terbentuk pada tepian lobulus, membagi parenkim menjadi nodulnodul halus.
Nodul ini dapat membesar akibat aktivitas regenerasi sebagai upaya hati
mengganti sel yang rusak. Pada stadium akhir sirosis, hati akan menciut, keras dan
hampir tidak memiliki parenkim normal yang menyebabkan terjadinya hipertensi
portal dan gagal hati. Penderita sirosis Laennec lebih beresiko menderita
karsinoma sel hati primer (hepatoselular).
 Sirosis Pascanekrotik
Sirosis pascanekrotik terjadi setelah nekrosis berbercak pada jaringan hati,
sebagai akibat lanjut dari hepatitis virus akut yang terjadi sebelumnya. Hepatosit
dikelilingi dan dipisahkan oleh jaringan parut dengan kehilangan banyak sel hati
dan di selingi dengan parenkim hati normal, biasanya mengkerut dan berbentuk
tidak teratur dan banyak nodul.
 Sirosis biliaris
Penyebab tersering sirosis biliaris adalah obstruksi biliaris pascahepatik.
Statis empedu menyebabkan penumpukan empedu di dalam massa hati dan
kerusakan sel-sel hati. Terbentuk lembar-lembar fibrosa di tepi lobulus, hati
membesar, keras, bergranula halus dan berwarna kehijauan. Ikterus selalu menjadi
bagian awal dan utama dari sindrom ini. Terdapat dua jenis sirosis biliaris: primer
(statis cairan empedu pada duktus intrahepatikum dan gangguan autoimun) dan
sekunder (obstruksi duktus empedu di ulu hati).

5. Gambaran Klinis
Stadium awal sirosis sering tanpa gejala (sirosis kompensata) meliputi perasaan
mudah lelah dan lemas, selera makan berkurang, perasaan perut kembung, mual, berat
badan menurun, pada laki-laki timbul impotensi, testis mengecil, buah dada membesar,
hilangnya dorongan seksualitas. Jika sudah lanjut (sirosis dekompensata), gejala yang
timbul meliputi hilangnya rambut badan, gangguan tidur, demam tak begitu tinggi,
adanya gangguan pembekuan darah, perdarahan gusi, epitaksis, gangguan siklus haid,
ikterus dengan air kemih berwarna seperti teh pekat, hematemesis, melena, sulit
konsentrasi, agitasi sampai koma. Dan menurut Dipiro 2015 Beberapa karakteristik yang
hadir dengan sirosis adalah anoreksia, penurunan berat badan, kelemahan, kelelahan,

4
ikterus, gatal-gatal, perdarahan gastrointestinal (GI), koagulopati, meningkat lingkar
perut dengan kerenggangan sisi pinggul, perubahan status mental.
Manifestasi utama dan lanjut dari sirosis terjadi akibat dua tipe gangguan fisiologis,
yaitu : gagal sel hati dan hipertensi portal (Destiana Agustin, 2013).
a. Manifestasi kegagalan hepatoseluler
Menurunnya ekskresi bilirubin menyebabkan hiperbilirubin dalam tubuh,
sehingga menyebabkan ikterus dan jaundice. Ikterus intermiten merupakan
gambaran khas sirosis biliaris dan terjadi jika timbul peradangan aktif hati
dan saluran empedu (kolangitis).
Asites merupakan penimbunan cairan encer intraperitoneal yang
mengandung sedikit protein. Hal ini dapat dikaji melalui shifting dullness atau
gelombang cairan. Faktor utama terjadinya asites ialah peningkatan tekanan
hidrostatik pada kapiler usus (hipertensi portal) dan penurunan tekanan
osmotik koloid akibat. Edema terjadi ketika konsentrasi albumin plasma
menurun. Produksi aldosteron yang berlebihan akan menyebabkan retensi
natrium serta air dan ekskresi kalium.
b. Manifestasi hipertensi portal
Akibat dari hati yang sirotik, darah dari organ-organ digestif dalam vena
porta yang dibawa ke hati tidak dapat melintas sehingga aliran darah tersebut
akan kembali ke sistem portal yaitu dalam limpa dan traktus gastrointestinal.
Adanya peningkatan resistensi terhadap aliran darah melalui hati akan
menyebabkan hipertensi portal.
Pembebanan berlebihan pada sistem portal ini merangsang timbulnya
aliran kolateral guna menghindari obstruksi hepatik (varises).

Gambar 1. Gambaran Klinis Sirosis Hepatik

5
6. Patofisiologi Sirosis Hepatik
a. Sirosis Laennec
Sirosis Laennec disebabkan oleh konsumsi alkohol kronis, alkohol
menyebabkan akumulasi lemak dalam sel hati dan efek toksik langsung
terhadap hati yang akan menekan aktivasi dehidrogenase dan menghasilkan
asetaldehid yang akan merangsang fibrosis hepatis dan terbentuknya jaringan
ikat yang tebal dan nodul yang beregenerasi.
b. Sirosis Pascanekrotik
Sirosis pascanekrotik disebabkan oleh virus hepatitis B, C, infeksi dan
intoksitifikasi zat kimia, pada sirosis ini hati mengkerut, berbentuk tidak
teratur, terdiri dari nodulus sel hati yang dipisahkan oleh jaringan parut dan
diselingi oleh jaringan hati.
c. Sirosis Biliaris
Sirosis biliaris disebabkan oleh statis cairan empedu pada duktus
intrahepatikum, autoimun dan obstruksi duktus empedu di ulu hati.

Dari ketiga macam sirosis tersebut mengakibatkan distorsi arsitektur sel hati. Distorsi
arsitektur hati mengakibatkan obstruksi aliran darah portal ke dalam hepar karena darah
sukar masuk ke dalam sel hati. Sehingga meningkatkan aliran darah balik vena portal dan
tahanan pada aliran darah portal yang akan menimbulkan hipertensi portal dan terbentuk
pembuluh darah kolateral portal (esofagus, lambung, rektum, umbilikus). Hipertensi
portal meningkatkan tekanan hidrostatik di sirkulasi portal yang akan mengakibatkan
cairan berpindah dari sirkulasi portal ke ruang peritoneum (asites) (Destiana Agustin,
2013).

7. Komplikasi Sirosis Hepatik


Komplikasi yang dapat terjadi akibat dari sirosis hepatik antara lain (Destiana
Agustin, 2013) :
a. Peritonitis bacterial spontan
Cairan yang mengandung air dan garam yang tertahan di dalam rongga
abdomen yang disebut dengan asites yang merupakan tempat sempurna untuk

6
pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri. Secara normal, rongga
abdomen juga mengandung sejumlah cairan kecil yang berfungsi untuk
melawan bakteri dan infeksi dengan baik. Namun pada penyakit sirosis
hepatis, rongga abdomen tidak mampu lagi untuk melawan infeksi secara
normal. Maka timbullah infeksi dari cairan asites oleh satu jenis bakteri tanpa
ada bukti infeksi sekunder intraabdominal. Biasanya pasien tanpa gejala,
namun dapat timbul emam dan nyeri abdomen.
b. Sindrom Hepatorenal
Kerusakan hati lanjut menyebabkan penurunan perfusi ginjal yang
mengakibatkan penurunan filtrasi glomerulus. Pada sindrom hepatorenal
terjadi gangguan fungsi ginjal akut berupa oliguria, peningkatan ureum,
kreatinin tanpa adanya kelainan organik ginjal.
c. Karsinoma Hepatoseluler
Tumor hati primer yang berasal dari jaringan hati itu sendiri. Sirosis hati
merupakan salah satu faktor resiko terjadinya karsinoma hepatoselular.
Gejala yang ditemui adalah rasa lemah, tidak nafsu makan, berat badan
menurun drastis, demam, perut terasa penuh, ada massa dan nyeri di kuadran
kanan atas abdomen, asites, edema ekstremitas, jaundice, urin berwarna
seperti teh dan melena.

8. Pemeriksaan Laboratorium Sirosis Hepatik


Tidak ada diagnose atau tes laboratorium atau radiografi fungsi hati yang dapat
secara akurat mendiagnosa cirrhosis. Ada beberapa tes penilaian hati rutin yang dapat
memberikan bukti bahwa pasien mengidap sirosis hati, yaitu dengan (Dipiro, 2015;
Ayuning Dimas Putri, 2016) :
a. Pemeriksaan AST dan ALT
AST dan ALT adalah enzim yang memiliki peningkatan konsentrasi dalam
plasma setelah cedera hepatoseluler. Konsentrasi tertinggi terlihat pada
infeksi virus akut dan cedera hati iskemik atau toksik.
b. Pemeriksaan γ-glutamyl transpeptidase (GGT)
Tingkat alkalin fosfatase dan GGT meningkat dalam plasma dengan
gangguan obstruktif yang mengganggu aliran empedu dari hepatosit ke

7
saluran empedu atau dari biliaris ke usus dalam kondisi seperti sirosis bilier
primer, sklerosis kolangitis, cholestasis yang diinduksi obat, obstruksi saluran
empedu, penyakit hati kolestasis autoimun, dan kanker hati metastatik.
c. Faktor albumin
Faktor albumin dan koagulasi adalah penanda aktivitas sintetik hepatik dan
digunakan untuk memperkirakan fungsi hepatosit pada sirosis.
d. Bilirubin
Pada pasien sirosis terkompensasi kadar bilirubin normal. Namun kadar akan
meningkat sesuai progresivitas penyakit.
e. Phrotrombin Time
Sebagian protein terlibat dalam proses koagulasi diproduksi di hepar. Waktu
phrotrombin menunjukkan tingkat disfungsi sintesis di hepar. Phrotrombin
time yang memanjang berarti kemampuan hepar untuk mensintesis faktor
pembekuan berkurang akibat sirosis.

Gambar 1. Intepretasi Hasil Tes Fungsi Hati

9. Diagnosis Sirosis Hepatik


Pada pasien yang diduga menderita sirosis, gambaran abdominal (biasanya USG)
diperlukan untuk mengevaluasi parenkim hepar dan untuk mendeteksi manifestasi
ekstrahepatik dari sirosis. Biopsi hepar diperlukan untuk mengkonfirmasi diagnosa.

8
Namun umumnya tidal diperlukan jika data klinis, laboratorium, dan radiologis
memberikan gambaran tentang adanya sirosis. Serologi non invansif dan metode
radiografi juga untuk mendiagnosa sirosis yang saat ini telah banyak dikembangkan
(Ayuning Dimas Putri, 2016).

10. Penilaian Derajat Keparahan Sirosis Hepatik


Sistem penilaian derajat keparahan sirosis dapat dapat menggunakan metode Child-
Turcote-Pugh score ataupun metode Model for End Stage Liver Disease (MELD) score.
Penilaian MELD score yang menggabungkan criteria bilirubin serum, kadar kreatinin,
serta INR juga dapat memberikan ukuran resiko mortalitas pasien pada kerusakan hepar
stadium akhir dan berguna untuk mepredikisi kelangsungan hidup jangka pendek dan
jangka menengah pada pasien sirosis dengan komplikasi (misalnya SBP). Penilaian
derajat keparahan sirosis dengan menggunakan metode Child-Turcote-Pugh score yaitu
(Ayuning Dimas Putri, 2016) :
Parameter Penilaian numeric
1 2 3
Ascites Tidak ada Sedang Sedang hingga
parah
Hepatik enselopati Tidak ada Grade 1-2 Grade 3-4
Bilirubin (mg/dl) <2,0 2-3 >3,0
(<34,2) (34,2-51,3) (>51,3)
Albumin (g/dl) >3,5 2,8-3,5 <2,8
(35) (28-35) (28)
Phromtobin time 1-3 4-6 >6
(detik)

Tabel 1. Penilaian Prognosis Sirosis Metode Child-Turcote-Pugh score


Skor Kelas
5-6 A
7-9 B
10-15 C

9
Tabel 2. Klasifikasi Penilaian Numerik Dan Kelas Child-Turcote-Pugh score

11. Tatalaksana Terapi Penyakit Sirosis Hepatik


Tujuan penatalaksanaan penyakit sirosis hepatik yaitu (Dipiro, 2015) : (a) Perbaikan
klinis atau resolusi akut komplikasi, (b) resolusi ketidakstabilan hemodinamik untuk
episode perdarahan varises akut. Sasaran lain adalah pencegahan komplikasi, penurunan
yang memadai dari tekanan portal. Tatalaksana sirosis hepatik dapat dibagi menjadi
nonfarmakologi dan farmakologi
1. Terapi Non Farmakologi
Terapi non farmakologi yang dapat digunakan untuk pasien dengan penyakit
sirosis hati antara lain (Made Adi Suryadarma, 2010):
a. Diet lunak dan tinggi protein
Pemberian diit lunak tinggi protein ditujukan untuk menjaga keadaan umum
pasien tetap baik, dimana kita ketahui bahwa terjadi gangguan pembentukan
protein pada penderita sirosis hati.
b. Diet rendah garam
Diit rendah garam sangat penting karena kadar Na pada tubuh penderita
sirosis hati cukup tinggi. Seperti yang diketahui bahwa pada penderita sirosis
hati terjadi aktivasi sistem aldosteron yang menyebabkan retensi garam dan
teijadi aktivasi angiotensin yang menyebabkan penurunan kecepatan filtrasi
glomerulus dan meningkatkan reabsorbsi garam pada tubulus proksimal,
yang pada akhirnya mengakibatkan retensi garam.
2. Terapi Farmakologi
a. Terapi Asites
Asites adalah komplikasi paling umum dari sirosis. Ini juga merupakan
komplikasi paling umum yang mengarah ke masuk rumah sakit. Sekitar 15%
dari pasien dengan ascites akan mati dalam satu tahun dan 44% akan mati
lima tahun. Terapi yang dapat dilakukan yaitu (Salman Nusrat, 2014):
Terapi Non Farmakologi
 Pembatasan konsumsi garam
Perawatan sering dimulai dengan pendidikan mengenai diet pembatasan
natrium . Membatasi konsumsi garam hingga 2000 mg / hari atau 88 mmol

10
/ hari sering direkomendasikan. Cairan dan penurunan berat badan terkait
dengan keseimbangan natrium dan banyak lagi pembatasan diet ketat
dapat mempercepat mobilisasi cairan. Namun, pembatasan <2000 mg /
hari tidak disarankan karena mereka kurang cocok dan dibuat potensi
untuk mengurangi asupan makanan dan memperburuk hidup
berdampingan malnutrisi.
 Pengobatanyang mendasari etiologi penyakit
Penyakit hati alkoholik adalah penyebab utama sirosis di negara-negara
barat dan, saat ini, penghentian alcohol penggunaan dapat menyebabkan
perbaikan drastis pada asites dan komponen reversibel lainnya dari
penyakit hati alkoholik.

Terapi Farmakologi
 Dua diuretik yang paling umum digunakan pada pasien dengan Sirosis
adalah spironolactone dan furosemide. Agen tunggal spironolakton telah
terbukti lebih manjur dari furosemid. Spironolaktone merupakan
antagonis aldosteron, bekerja terutama pada tubulus distal untuk
meningkatkan natriuresis dan mempertahankan kalium.
Furosemide menghambat penyerapan kembali ion natrium dan kalium di
lengkung Henle ginjal dan mengeluarkannya dari dalam tubuh melalui
peningkatan output urin.

b. Terapi Spontaneus bacterial peritonitis


Peritonitis Bakterial Spontan (PBS) adalah komplikasi serius pada pasien
sirosis dengan asites. PBS didefinisikan sebagai infeksi cairan asites tanpa
dapat ditemukan penyebab dari intra abdominal yang dapat diterapi secara
bedah. Disebut PBS bila didapatkan peningkatan sel polimorfonuklear PMN
melebihi 250/mm3 dengan atau tanpa bakteriemia yang di isolasi dari dalam
cairan asites. Mekanisme terjadinya SBP yaitu translokasi bakteri yang
merupakan perpindahan dari usus ke kelenjar getah bening mesentrika
kemudian melalui sirkulasi darah akan menginfeksi cairan asites (Ayuning
Dimas Putri, 2016)

11
Diagnosa SBP
 Hasil pemeriksaan klinis yang dapat dipercaya
 Diagnosis SBP didasarkan pada hasil analisis cairan asites yaitu
jumlah sel neutrofil asites > 250/mm3 (> 0,25 x 109 / L ) dan kultur
cairan asites positif

Terapi Farmakologi
 Setelah diagnosa SBP dibuat, mulai terapi dengan antibiotic
sefalosporin generasi ke 3 (sefotaksim) kecuali terdapat faktor resiko
multi resisten terapi. Terapi antibiotic diberikan selama 5 hari atau
sampai hilangnya tanda tanda infeksi.
 Pasien dengan asites sebelumnya mengalami SBP, diberikan
norfloksasin. Pasien dengan asites dan penyakit hepar lanjut yang
sebelumnya tanpa SBP, diberikan norfloksasin. Untuk infeksi
nosokimal pada SBP dapat diberikan tazobaktam-piperasilin dan
meropenem (Ayuning Dimas Putri, 2016)

Mekanisme Kerja
 Penisilin (Amoksisilin dan piperasilin) memiliki mekanisme kerja
mengahmbat pertumbuhan bakteri dengan mengganggu reaksi
tranpeptidas sintesis dinding bakteri
 Sefalosporin (sefotaksim) memiliki mekanisme kerja menghambat
sintesis dingding sel bakteri dengan mekanisme serupa dengan
penisilin dimana dapat menganggu reaksi transpeptidase sintesis
dinding bakteri.
 Inhibitor β laktamase (tazobaktam) bekerja dengan melindungi
antibiotic beta-laktam dengan cara menginaktivasi β laktamase
sehingga menceggah kerusakan antibiotik β laktamase
 Karbapenem (meropenem) memili mekanisme kerja dengan cara
membunuh bakteri dengan cara menginhibisi sintesis dinding sel.
(Ayuning Dimas Putri, 2016)

12
c. Terapi Perdarahan Varises Gastroesofagus Dan Hipertensi Porta
Pleksus vena esofagus di bagian distal esofagus dan fundus lambung
merupakan salah satu portosistemik kolateral pada sirosis hati yang
menyebabkan pembentukan varises esofagus. Pleksus vena esofagus
menerima darah dari vena gastrika kiri, vena gastrika posterior, dan vena
gastrika brevis (melalui vena splenika) yang akan mengalirkan darah ke vena
azygos dan hemiazygos. Sedangkan vena gastrika kiri menerima aliran darah
dari vena porta yang terhambat masuk ke hepar. Terapi farmakologi yang
dapat diberikan pada sirosis hati khususnya dalam mencegah perdarahan
akibat ruptur varises gastroesofagus yaitu dapat diberikan Penghambat β non-
selektif (PBNS). Penghambat β non-selektif menghambat pengikatan
katekolamin (norepinefrin dan epinefrin) pada adrenoreseptor β1 dan β2.
Penghambatan reseptor β1 menurunkan curah jantung, sedangkan
penghambatan reseptor β2 menyebabkan vasokonstriksi splanknik akibat
peningkatan tonus reseptor. Kedua efek farmakodinamik ini menurunkan
aliran darah ke sistem porta sehingga dapat menurunkan tekanan vena porta
dan dapat mencegah ruptur varises gastroesofagus (Sostro Mulyo, 2016).
C. Alat dan Bahan
1. Alat
a. Form SOAP.
b. Form Medication Record.
c. Catatan Minum Obat.
d. Kalkulator Scientific.
e. Laptop dan Koneksi Internet.
2. Bahan
a. Text book
b. Data nilai normal laboratorium
c. Evidence terkait (Journal, Systemic Riview, Meta Analysis).
D. Studi Kasus
Pasien INT, laki laki, usia 63 tahun, bali, pekerjaan petani. Pasien memiliki
keluhan utama perut membesar. Pasien datang dengan sadar dan diantar oleh
keluarga ke IRD sebuah rumah sakit umum pada tanggal 25 juli 2017 mengeluh

13
perut membesar. Perutnya dikatan membesar secara perlahan pada seluruh bagian
perut sejak 3 bulan sebelum masuk rumah sakit, dan merasakan perut makin
membesar dan dirasakan semakin hari semakin membesar dan bertambah tegang,
namun keluhan perut membesar ini tidak sampai membuat pasien sesak dan
kesulitan bernapas. Pasien juga mengeluh nyeri ulu hati sejak 1 bulan namun
memberat sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri ulu hati dikatakan
seperti ditusuk tusuk dan terus menerus dirasakan oleh pasien sepanjang hari.
Keluhan nyeri juga disertai mual yang dirasakan hilang timbul namun dirasakan
sepanjang hari, dan muntah yang biasanya terjadi setelah makan. Pasien juga
mengeluh lemas sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Keluhan lemas
dikatakan dirasakan terus menerus dan tidak menghilang walaupun pasien telah
beristirahat. Keluhan ini dikatakan dirasakan di seluruh bagian tubuh dan semakin
memberat dari hari ke hari akhirnya 6 hari sebelum masuk rumah sakit pasien
tidak bisa melakukan aktivitas sehari hari. Selain itu, pasien juga mengeluh
adanya bengkak pada kedua kaki sejak 6 minggu sebelum masuk rumah sakit yang
membuat pasien susah untuk berjalan. Keluhan kaki bengkak ini disertai rasa
nyeri dan kemerahan. Riwayat trauma pada kaki disangkal pasien. Pasien
mengatakan buang air besarnya berwarna hitam seperti aspal dengan konsentrasi
sedikit lunak sejak seminggu sebelum masuk rumah sakitdengan frekuensi 2x per
hari dan volume kira kira ½ gelas tiap kali buang air besar. Buang air kecil
dikatakan seperti the sejak seminggu sebelum masuk rumah sakit, dengan
frekuensi 4-5 x per hari dan volumenya kurang lebih ½ gelas tiap kencing. Rasa
nyeri ketika buang air kecil disangkal oleh pasien. Pasien juga mengatakan bahwa
kedua matanya berwarna kuning sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit. Warna
kuning ini muncul perlahan lahan. RIwayat tubuh pasien menguning disangkal.
Selain itu dikatakan pula bahwa beberapa hari terakhir, pasien merasa gelisah dan
susah tidur di malam hari. Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum
pasien dalam sakit sedang, kesadaran kompos mentis, berat badan 69 kg, tekanan
darah 110/80 mmhg, nadi 92x/menit, laju respirasi 20x/menit, suhu axilla 37◦C.
Dan pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk menunjang diagnosis pasien
ini, didapatkan bilirubin total, bilirubin direk, bilirubin indriek, SGOT, SGPT,
BUN dan kreatinin meninkat sedangkan albumin rendah. Pemeriksaan HbsAg dan

14
anti HCV hasilnya non reaktif. Dari pemeriksaan USG abdomen didapatkan kesan
pengecilan hepar dengan splenomegali sesuai dengan gambaran sirosis hepatis,
ascites dan curiga nefritis bilateral. Dimana penatalaksanaan pada pasien ini
adalah masuk rumah sakit, diet cair (tanpa protein), rendah garam, batasi cairan
(1 liter/hari), infise DS 10%, NS, Aminoleban = 1:1:1 dengan dosis 20 tetes per
menit, propranolol 2x10mg, spironolacton 100mg (pagi), furosemide 40mg
(pagi), omeprazole 2x40mg, sucraflat syr 3 x CI, asam folat 2 x II, lactulosa 3 x
CI, paramomycin 4x500 mg, lavament tiap 12 jam, transfuse albumin 20%
1kolf/hari sampai dengan albumin sampai ≥ 3 gr/dl, dan nebul ventolin bila
mengalami sesak.

DAFTAR PUSTAKA

Adnan Ahmed Ather. Comparasion Of Intravenous Ciprofloxacin and Ceftriaxone In The


Management of Spontaneus Bacterial Peritonitis in Cirrhosis of Liver At Mayo
Hospital. 2014. South Medical Ward, Mayo Hospital, Lahore.

Ayuning Dimas Putri. Studi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Sirosis Hepatik Dengan
Hematemesis Melena Dan Atau Spontaneus Bacterial. 2016. Fakultas Farmasi
Universitas Airlangga. Departemen Farmasi Klinik. Surabaya.

Destiana Agustin. Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat


Perkotaan Pada Pasien Dengan Sirosis Hepatis Di Ruang PU 6 Rumah Sakit Pusat

15
Angkatan Darat Gatot Soebroto Jakarta Pusat. 2013. Fakultas Ilmu Keperawatan.
Profesi Ners. Universitas Indonesia.

DiPiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. and DiPiro C. V., 2015, Pharmacotherapy
Handbook, Ninth Edit., McGraw-Hill Education Companies, Inggris.

DiPiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. and DiPiro C. V., 2015, Pharmacotherapy
Handbook, Ninth Edit., McGraw-Hill Education Companies, Inggris.

Dipiro JT, Talbert RL, Yee GC, Matzke GR, Wells BG, Posey LM, 2009,
Pharmacotherapy: a pathophysiologic approach. 7th ed. New York: TheMcGraw-
Hill Companies, Inc.

Gisbret, et al. 2000. Proton pump inhibitor, clarithromycin and either amoxycillin or
nitroimidazole: a meta-analysis of eradication of Helicobacter pylori. Aliment
Pharmacol Ther. Vol. 14. Pp. 1319-1328.

Kusumobroto, H.O., 2012. Sirosis Hati. In: Sulaiman, A.H., Akbar, H.N., Lesmana, L.A.,
& Noer, H.M.S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati. Jakarta: Sagung Seto.

Made Adi Suryadarma. Manajemen Sirosis Hepatis Dengan Varises Esofagus: Sebuah
Laporan Kasus. 2010. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Bali.

Oka Dwicandra. Penuntun Praktikum Farmakoterapi IV. 2018. Program Studi Farmasi
Klinis. Institut Ilmu Kesehatan Medika Persada Bali. Denpasar.

Ramatillah Diana Laila, Syed Azhar Syed Sulaiman, Amer Hayat Khan, Ong Loke Meng,
Markum. 2017. Efficacy of Folic Acid in Anemia Treatment Among Hemodialysis
Patients in Jakarta, Indonesia. International Journal of Pharmaceutical Sciences
Review and Research. No. 26. Hal. 127-132.

Salman Nusrat, Muhammad S Khan, Javid Fazili, Mohammad F Madhoun. Cirrhosis and
its complications: Evidence based treatment. 2014. Department of Medicine,
Division of Digestive Diseases and Nutrition, University of Oklahoma Health
Sciences Center and Veterans Affair Medical Center, Oklahoma. United States.

16
Sostro Mulyo. Profilaksis Primer Perdarahan VarisesGastroesofagus pada Sirosis Hati:
Peranan Penghambat Beta. 2016. SMF Penyakit Dalam. RSUD Siwa. Kabupaten
Wajo. Sulawesi Selatan. Indonesia.

Suzanna Ndraha, 2015, Ensefalopaty Hepatikum, jurnal CDK-234, vol 11.

Tong Li, Wenbo Ke. Carvedilol for portal hypertension in cirrhosis: systematic review
with meta-analysis. 2015. Yuanjian Huang, Wenjing Xian.

Vergara, et al. 2003. Meta-analysis: Comparative efficacy of different proton pump


inhibitors in triple therapy for Helicobacter pylori eradication. Aliment Pharmacol
Ther. Vol. 18 Pp. 647–654.

Zamharira Muslim, Helmi Arifin, Nasrul Zubir. Comparative Effects Of Spironolactone


And Combination With Furosemid Of Ascites Fluid And Blood Electrolyte In
Cirrhosis. 2015. Faculty of Pharmacy, Andalas University, Division of
Gastroenterology, Department of Internal Medicine, Faculty of Medicine Andalas
University/DR. M. Djamil General National Hospital, Padang.

17

Anda mungkin juga menyukai