Laporan Kasus Cidera Kepala

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 32

Laporan Kasus: Cedera Kepala Berat

Diposkan pada 29 April 2017


Nama Mahasiswa : Succi Islami Putri

NIM : 1610221094

Dokter Pembimbing : dr. Nurtakdir Setiawan, Sp.S, Msc

KEPANITERAAN KLINIK

STATUS ILMU PENYAKIT SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN UPN JAKARTA

SMF ILMU PENYAKIT SARAF

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH AMBARAWA

STATUS PASIEN

1. IDENTITAS PASIEN

Nama Pasien : Tn. S

Usia : 73 tahun

Jenis kelamin : Laki laki

Agama : Katolik

Alamat : Kenteng, Bandungan

Pekerjaan : Pensiunan

Masuk RS : 31 Maret 2017


No RM : 008xxx -2011

1. ANAMNESA

Anamnesa dilakukan dengan pasien dan alloanamnesa pada keluarga


pasien pada tanggal 4 April 2017 pukul 15.00 WIB di bangsal Dahlia RSUD
Ambarawa.

Keluhan Utama

Cedera kepala post trauma kecelakaan lalu lintas.

Riwayat Penyakit Sekarang

30 menit SMRS :

Menurut keterangan keluarga pasien, pasien diserempet motor saat


sedang menyebrang, lalu pasien jatuh terpental ke aspal, dan ditemukan
keluarga saat sudah dipindahkan warga ke tepi jalan, kemudian pasien
langsung dibawa ke IGD RSUD Ambarawa. Sesaat setelah kecelakaan
sampai perjalanan ke RSUD Ambarawa, pasien sadar dan terus mengeluh
kesakitan, pasien tidak pingsan, tidak muntah, tidak ada kejang, namun
ada darah yang keluar dari hidung.

IGD RSUD Ambarawa :

Setibanya pasien di IGD, pasien masih sadar namun terlihat gelisah dan
agak sulit menjawab pertanyaan, sehingga pemeriksa harus mengulang
pertanyaan sampai dijawab. Pasien juga terus memejamkan mata dan
mengeluh kesakitan. Pasien mengeluhkan leher dan kepala belakang sakit,
nyeri pada perut, mual, dan mimisan. Saat ditanya kronologi kejadian
kecelakaan, pasien menjawab tidak tahu. Tampak bekas darah pada
lubang hidung, lecet pada tangan kiri, dan bengkak pada bagian kepala
belakang. Pasien masih dapat menggerakkan anggota geraknya, dan
merasakan sentuhan pada kulitnya.

Bangsal Dahlia RSUD Ambarawa :

Pasien kemudian mendapatkan perawatan lebih lanjut di bangsal Dahlia


RSUD Ambarawa. Pasien mengaku baru ingat saat pasien tiba di bangsal,
namun pasien agak bingung dan belum tau sedang berada dimana. Pasien
juga mengaku lupa kronologi kecelakaan, apa yang dilakukan sebelum
kecelakaan, dan bagaimana pasien sampai di rumah sakit. Pasien
mengeluhkan nyeri pada bagian belakang kepala, leher kaku hingga sulit
menengok, bahu kiri terasa sakit, mual, dan pusing saat duduk (hal yang
dilihat pasien seperti naik dan turun). BAK normal, namun belum BAB dari
awal masuk rumah sakit, sedangkan biasanya pasien rutin BAB 2xsehari.
Pasien menyangkal adanya pandangan berbayang, rasa baal dan
kesemutan pada anggota tubuh, bengkak pada mata maupun telinga.

Riwayat Penyakit Dahulu

 Riwayat trauma sebelumnya : disangkal


 Riwayat kejang : disangkal
 Riwayat hipertensi : disangkal
 Riwayat diabetes mellitus : disangkal
 Riwayat cefalgia kronis : disangkal
 Riwayat penyakit jantung : disangkal
 Riwayat konsumsi minuman beralkohol : disangkal
 Riwayat konsumsi obat-obatan terlarang : disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga

 Riwayat hipertensi : disangkal


 RIwayat diabetes mellitus : disangkal

Riwayat Pribadi Sosial Ekonomi

Pasien merupakan seorang pensiunan dengan pendidikan terakhir


SMP. Pasien merupakan perokok aktif sejak usia 20 tahun, namun sejak
masuk rumah sakit pasien mengaku tidak ada keinginan untuk
merokok. Anamnesa Sistem

Sistem serebrospinal : nyeri kepala (+), dizziness (+), kejang (-),

pingsan (-), riwayat vertigo (-)

Sistem kardiovaskular : riwayat hipertensi (-), riwayat penyakit jantung (-)

Sistem respirasi : sesak (-), batuk (-)

Sistem gastrointestinal : mual (+), muntah (-), BAB (-) dari awal masuk RS

Sistem muskuloskeletal : keterbatasan gerak (-/-), parese (-/-)


Sistem integument : tidak ada keluhan

Sistem urogenital : BAK (+) warna kuning jernih

 RESUME ANAMNESA

Pasien laki-laki berusia 73 tahun diantar keluarga ke IGD RSUD


Ambarawa dengan keluhan nyeri kepala belakang dan mimisan setelah
kecelakaan lalu lintas. ± 30 menit SMRS pasien mengalami kecelakaan.
Pasien tidak mengalami penurunan kesadaran, tidak pingsan, tidak
muntah, dan tidak kejang. Pasien tidak dapat mengingat kejadian
kecelakaan. Pasien mengeluh nyeri pada kepala bagian belakang, leher
kaku, dan mimisan. Terdapat bekas darah pada hidung pasien, luka lecet
pada tangan kiri pasien, dan bengkak pada bagian kepala pasien.

1. DISKUSI I

Dari anamnesa dan alloanamnesa, didapatkan seorang pasien laki-laki


usia 73 tahun mengeluhkan adanya nyeri pada bagian belakang kepala,
hal ini dapat terjadi akibat benturan yang kuat pada saat trauma sehingga
terjadi mekanisme trauma dan reaksi inflamasi pada bagian kepala yang
terbentur yang mengakibatkan adanya hematom pada kepala bagian
belakang.

Keluhan pusing serta mual pasien merupakan tanda-tanda peningkatan


tekanan intrakranial. Beberapa hal dapat membuat tekanan intrakranial
menjadi meningkat, diantaranya tumor serebri, infark yang luas, trauma,
perdarahan ataupun abses. Pada pasien ini keluhan ini dapat disebabkan
akibat terjadi benturan pada kepala pasien yang terjadi setelah kecelakaan
yang menyebabkan abses pada bagian kepala belakang.

Luka lecet pada lengan kiri dan nyeri pada bahu kiri dapat disebabkan
karena mungkin pasien terjatuh lebih awal pada bagian tubuh yang kiri
sehingga terjadi mekanisme trauma dan terjadi reaksi inflamasi sehingga
mengakibatkan luka lecet dan pasien membuat bahu menjadi tahanan
pada saat terjatuh dan pasien mengeluhkan adanya nyeri bahu sesaat
setelah kejadian.
Pasien tidak dapat mengingat kronologi kejadian kecelakaan, hal ini
menandakan pada pasien ditemukan adanya tanda-tanda amnesia yaitu
amnesia retrogard, sehingga pada pasien dapat digolongkan ke cedera
kepala sedang.

CEDERA KEPALA

Definisi

Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu


kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif,
tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat
mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan
kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.

Epidemiologi

Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan


mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum
tiba di rumah sakit. Sedangkan yang sampai di rumah sakit, 80%
dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera
kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat (CKB).
Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara
15-44 tahun. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48%-53% dari
insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh dan 3%-9% lainnya
disebabkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga dan rekreasi.

Data epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari salah satu
rumah sakit di Jakarta, RS Cipto Mangunkusumo, untuk penderita rawat
inap, terdapat 60%-70% dengan CKR, 15%-20% CKS, dan sekitar 10%
dengan CKB. Angka kematian tertinggi sekitar 35%-50% akibat CKB, 5%-
10% CKS, sedangkan untuk CKR tidak ada yang meninggal.

Klasifikasi

Mekanisme Cedera Kepala

Cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan cedera kepala
tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan
mobil-motor, jatuh atau pukulan benda tumpul. Cedera kepala tembus
disebabkan oleh peluru atau tusukan. Adanya penetrasi selaput durameter
menentukan apakah suatu cedera termasuk cedera tembus atau cedera
tumpul.

Beratnya Cedera

Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan untuk menilai secara kuantitatif


kelainan neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya
penderita cedera kepala. Cedera kepala adalah trauma mekanik terhadap
kepala secara langsung. Klasifikasi cedera kepala berdasarkan GCS,
sebagai berikut :

 Cedera Kepala Ringan (GCS: 14-15)


 Cedera Kepala Sedang (GCS: 9-13)
 Cedera Kepala Berat (GCS ≤ 8) (Greenberg, 2001)

Catatan : Pada pasien cedera kranioserebral dengan GCS 13-15, pingsan


>10 menit, tanpa defisit neurologik, tetapi pada hasil skrining otaknya
terlihat perdarahan, diagnosisnya bukan cedera kranioserebral ringan
(CKR)/komosio, tetapi menjadi cedera kranioserebral berat (CKB).

Menurut Perdossi (2006) cedera kepala diklasifikasikan menjadi :

· Tidak ada penurunan kesadaran

· Tidak ada amnesia post trauma


Ringan (Simple head
injury)
· Tidak ada defisit neurologi

· GCS = 15

· Kehilangan kesadaran <10 menit


· Tidak terdapat fraktur tengkorak, kontusio atau hematom

Sedang (Mild head · Amnesia post trauma < 1 jam.


injury)
· GCS = 13-15

· Kehilangan kesadaran antara >10 menit sampai 6 jam


Berat (Moderate · Terdapat lesi operatif intrakranial atau abnormal CT Scan
head injury)
· Dapat disertai fraktur tengkorak

· Amnesia post trauma 1 – 24 jam.

· GCS = 9-12

Morfologi Cedera

Secara morfologi, kejadian cedera kepala dibagi menjadi:

 Fraktur Kranium

Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat
terbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fraktur
dasar tengkorak membutuhkan pemeriksaan CT scan untuk memperjelas
garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak
menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci.
Tanda-tanda tersebut antara lain :

1. Ekimosis periorbital ( Raccoon eye sign)


2. Ekimosis retro aurikuler (Battle`s sign)
3. Kebocoran CSS ( rhonorrea, ottorhea)
4. Parese nervus facialis ( N VII )

 Fraktur Basis Kranii

Fraktur basis kranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada dasar
tulang tengkorak. Fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada
duramater yang merekat erat pada dasar tengkorak. Hal ini memerlukan
gaya yang lebih kuat dari fraktur linear pada kranium. Insidensi kasus ini
sangat sedikit dan hanya pada 4% pasien yang mengalami trauma kepala
berat. Terdapat tanda-tanda yang menunjukkan fraktur basis kranii yaitu
rhinorrhea (cairan serobrospinal keluar dari rongga hidung) dan gejala
raccoon’s eye (penumpukan darah pada orbital mata) (Fraktur basis kranii
fossa anterior), atau ottorhea dan battle’s sign (fraktur kranii fossa media).
Tulang pada foramen magnum bisa retak sehingga menyebabkan
kerusakan saraf dan pembuluh darah. Fraktur basis kranii bisa terjadi pada
fossa anterior, media dan posterior.

 Lesi Intrakranial
1. Perdarahan Epidural

Hematoma epidural terletak diantara dura dan calvaria. Umumnya terjadi


pada regio temporal atau temporopariental akibat robeknya salah satu
cabang arteria meningea media, robeknya sinus venosus durameter atau
robeknya arteria diploica. Robekan ini sering terjadi akibat adanya fraktur
tulang tengkorak. Gejala yang dapat dijumpai adalah adanya suatu lucid
interval (fase sadar diantara dua fase tidak sadar karena bertambahnya
volume darah). Keadaan ini disusul oleh gangguan kesadaran progresif
disertai kelainan neurologis unilateral yang diikuti oleh timbulnya gejala
neurologi yang secara progresif berupa pupil anisokor, hemiparese, papil
edema dan gejala herniasi transcentorial.

Perdarahan epidural difossa posterior dengan perdarahan berasal dari


sinus lateral, jika terjadi di oksiput akan menimbulkan gangguan
kesadaran, nyeri kepala, muntah, ataksia serebral dan paresis nervus
kranialis. Berdasarkan foto rontgen didapatkan garis fraktur yang jalannya
melintang dengan jalan arteri meningea media atau salah satu cabangnya.

2. Perdarahan Subdural

Terjadi akibat robeknya vena-vena jembatan,sinus venosus duramater atau


robeknya arachnoidea. Perdarahan terletak di antara du-ramater dan
arachnoidea. Subdural Hemorrage (SDH) ada yang akut dan kronik. Gejala
klinis berupa nyeri kepala yang makin berat dan muntah proyektil. Jika
SDH makin besar, bisa menekan jaringan otak, mengganggu ARAS, dan
terjadi penurunan kesadaran. Gambaran CT scan kepala berupa lesi
hiperdens berbentuk bulan sabit. Bila darah lisis menjadi cairan, disebut
higroma (hidroma) subdural.

Perdarahan subdural terbagi atas 3 bagian yaitu:

 Perdarahan subdural akut

Gejala klinis berupa sakit kepala, perasaan mengantuk, dan kebingungan,


respon yang lambat, serta gelisah. Keadaan kritis terlihat dengan adanya
perlambatan reaksi ipsilateral pupil. Perdarahan subdural akut sering
dihubungkan dengan cedera otak besar dan cedera batang otak.
Perdarahan subdural akut memberi gejala dalam 24 jam.

 Perdarahan subdural subakut


Perdarahan subdural subakut, biasanya terjadi 25 – 65 jami setelah cedera
dan dihubungkan dengan kontusio serebri yang agak berat. Tekanan
serebral yang terus-menerus menyebabkan penurunan tingkat kesadaran.

 Perdarahan subdural kronis

Terjadi karena luka ringan. Mulanya perdarahan kecil memasuki ruang


subdural. Beberapa minggu kemudian menumpuk di sekitar membran
vaskuler dan secara pelan-pelan ia meluas. Gejala mungkin tidak terjadi
dalam beberapa minggu atau beberapa bulan. Pada proses yang lama
akan terjadi penurunan reaksi pupil dan motorik.

3. Perdarahan Subarachnoid

Terjadi pada ruang subarachnoid (piameter dan arachnoid). Etiologi yang


paling sering menyebabkan perdarahan subarakhnoid adalah ruptur
aneurisma salah satu arteri di dasar otak dan adanya malformasi
arteriovenosa (MAV). Kondisi ini juga dapat disebabkan oleh trauma yang
merusak pembuluh darah. Perdarahan subarachnoid juga sering terjadi
pada kondisi nontrauma seperti aneurisma dan malformasi arteri-vena.
Gejala yang ditimbulkan antara lain nyeri kepala yang hebat dan
mendadak, hilangnya kesadaran, fotofobia, meningismus, mual, dan
muntah. Pemeriksaan CT scan untuk kondisi ini memiliki spesifitas yang
rendah. Oleh karena itu seringkali dilakukan CT angiografi untuk mengecek
perdarahan subarachnoid.

Komplikasi yang paling sering pada perdarahan subarachnoid adalah


vasospasme dan perdarahan ulang. Tanda dan gejala vasospasme dapat
berupa status mental, deficit neurologis fokal. Vasospasme akan
menyebabkan iskemia serebral tertunda dengan dua pola utama, yaitu
infark kortikal tunggal dan lesi multiple luas.

Perdarahan ulang mempunyai mortalitas 70%. Untuk mengurangi risiko


perdarahan ulang sebelum dilakukan perbaikan aneurisma, tekanan darah
harus dikelola hati-hati dengan diberikan obat fenilefrin, norepinefrin, dan
dopamine (hipotensi), labetalol, esmolol, dan nikardipi (hipertensi).
Tekanan darah sistolik harus dipertahankan >100 mmHg untuk semua
pasien selama ±21 hari. Sebelum ada perbaikan, tekanan darah sistolik
harus dipertahankan dibawah 160 mmHg dan selama ada gejala
vasospasme, tekanan darah sistolik akan meningkat sampai 1200-220
mmHg.

Selain vasopasme dan perdarahan ulang, komplikasi lain yang dapat


terjadi adalah hidrosefalus, hiponatremia, hiperglikemia dan epilepsi.
4. Perdarahan Intraserebral dan Kontusio

Perdarahan intraserebral disebabkan oleh jejas terhadap arteri atau vena


yang ada di bagian parenkim otak. Region frontal dan temporal merupakan
daerah yang paling sering terkena namun selain itu dapat pula terjadi di
lobus parietalis maupun pada serebelum. Kontusio intraserebral yangdapat
terjadi karena trauma melalui jejas coup atau countercoup. Jika kepala
bergerak saat terjadi jejas, kemungkinan kontusio terjadi disisi yang jauh
dari tempat terjadinya jejas (countercoup). Apabila dua pertiga lesi adalah
darah, jejas terseebut disebut perdarahan. Gejala klinis pada perdarahan
intraserebral, yaitu adanya penurunan kesadaran, defisit neurologis, tanda-
tanda peningkatan tekanan intrakranial, hemiplegi (gangguan fungsi
motorik/sensorik pada satu sisi tubuh), papill edema (pembengkakan
mata). Pada hasil CT scan didapatkan hasil CT scan yang abnormal dan
pada pemeriksaan penunjang cariran serebrospinal didapatkan cairan yang
berdarah. Penatalaksanaan sedikit kompleks karena mempertimbangkan
region serta luas dari perdarahan yang sering terjadi :

 Perdarahan <15cm ditatalaksana secara konservatif bila tidak ada


herniasi.
 Perdarahan >15cm pada region frontal posterior/inferior dan
temporal memerlukan pembedahan.
 Perdarahan pada batang otak, ganglia basal atau thalamus
ditatalaksana secara konservatif.

Patofisiologi

Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu
cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera
pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat
disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun
oleh proses akselarasi-deselarasi gerakan kepala. Dalam mekanisme
cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan countrecoup.

Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang


tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang
berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut
countrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan
berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan
densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi
semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan
intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak
membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan
dari benturan (countrecoup).
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses
patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer,
berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia,
peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.

1. DIAGNOSIS SEMENTARA

Diagnosis Klinis : Nyeri kepala, amnesia

Diagnosis Topis : Intrakranial

Diagnosis Etiologi : Cedera kepala sedang

1. PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 23 Agustus 2016, setelah pasien


mendapatkan perawatan selama 4 hari.

Status Generalis

Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : GCS E4V5M6

Tanda Vital

Tekanan darah : 130/90 mmHg

Nadi : 82x/menit, irama regular, isi dan tegangan cukup

Pernapasan : 20x/ menit

Suhu : 36,4oC

Kepala : Mesocephal. Terdapat hematom pada oksipital


sinistra, nyeri tekan (+).

Kulit : Sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis


Mata : Konjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-. Raccoon
eyes sign (-), pupil isokor 3mm, RCL +/+, RCTL +/+, Refleks Kornea +/+

Telinga : Sekret -/-, darah -/-, nyeri tekan tragus -/-, Battle’s
sign (-), otorrhea (-)

Hidung : Epistaksis (+), secret (-), perdarahan (+), memar (-)

Mulut : Bibir pucat (-), memar pada bagian bibir (-)

Leher : Simetris, tidak tampak tanda tanda trauma

Thoraks :

Paru :

Inspeksi : dada tampak datar, simetris, warna sesuai


sekitar

Palpasi : nyeri tekan (-), massa (-)

Perkusi : sonor diseluruh lapang paru

Auskultasi : vesikuler diseluruh lapang paru, suara tambahan (-


).

Jantung :

Inspeksi : gerakan simetris, ictus cordis tak tampak

Palapasi : teraba ictus cordis kuat angkat, nyeri (-)

Perkusi : konfigurasi kesan dalam batas normal,

Auskultasi : SI-II teratur egular, suara tambahan (-)

Abdomen:

Inspeksi : cembung, warna sesuai kulit sekitar

Auskultasi : bising usus (+) normal


Perkusi : timpani seluruh lapang abdomen

Palpasi : supel, nyeri tekan (+)

Ekstremitas : lecet di bagian superior sinistra (-/+), sianosis (-)

Status Neurologis:

Sikap Tubuh : Simetris

Gerakan Abnormal : (-)

N. Cranialis Kanan Kiri

N. I (Olfaktorius)
N N
Daya penghidu

N. II ( Optikus )
Daya Penglihatan N N

Pengenalan warna N N

Medan Penglihatan N N

N. III ( Okulomotorius )
Ptosis (-) (-)

Gerak bola mata ke superior N N

Gerak bola mata ke medial N N

Gerak bola mata ke inferior N N

Reflek cahaya direct N, 3mm N, 3mm

N. IV ( Troklearis )
Gerak bola mata ke lateral bawah N N

Diplopia (-) (-)

Strabismus konvergen N N

Menggigit dan membuka mulut N N

N. V ( Trigeminus )
Sensibilitas wajah atas N N

Sensibilitas wajah tengah N N

Sensibilitas wajah bawah N N

Trismus – –

Reflek kornea N N

N. VI ( Abdusens )
Gerak mata ke lateral N N

Strabismus konvergen – –

N. VII ( Facialis )
Kerutan kulit dahi N N

Kedipan mata N N

Lipatan nasolabial N N

Sudut mulut N N

Mengerutkan dahi N N

Mengangkat alis N N

Menutup mata N N

Meringis N N
Menggembungkan pipi N N

Daya kecap 2/3 anterior N N

N. VIII ( Akustikus )
Tes bisik N N

Dengan detik arloji N N

Tes Swabach Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Tes Rinne Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Tes Weber Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N. IX ( Glosofaringeus )
Arkus faring (+) (+)

Daya kecap lidah 1/3 belakang N N

Reflex muntah (+) (+)

Sengau (-) (-)

Tersedak (-) (-)

N. X ( Vagus )
Denyut Nadi 81x/menit 81x/menit

Bersuara N N

Menelan N N

N. XI ( Assesorius )
Memalingkan muka N N

Sikap Bahu N N

Mengangkat Bahu N (-)


Trofi otot bahu (-) (-)

N. XII ( Hipoglossus )
Artikulasio N N

Sikap Lidah N N

Tremor Lidah (-) (-)

Menjulurkan Lidah Simetris Simetris

Trofi otot lidah Eutrofi Eutrofi

Pemeriksaan Ekstremitas :

Anggota gerak

Pemeriksaan Esktremitas Superior (D/S) Ekstremitas Inferior (D/S)

Gerakan Bebas / Bebas Bebas / Bebas

Sensibilitas +N/ +N +N/ +N

Kekuatan 5/5 5/5

Tonus N/N N/N

Klonus N/N N/N

Trofi Eutrofi Eutrofi

Refleks Fisiologis :
Refleks Dextra/Sinistra

Biceps +N/+N

Triceps +N/+N

Patella +N/+N

Refleks Patologis

Refleks Dextra/Sinistra

Babinski -/-

Chaddock -/-

Oppenheim -/-

Gordon -/-

Schaeffer -/-

Gonda -/-

Pemeriksaan Sensibilitas : Dalam batas Normal

Pemeriksaan Fungsi Vegetatif : Dalam batas normal


Pemeriksaan Penunjang

Laboraturium Darah Tanggal 2 April 2017

PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN

Hematologi

Hemoglobin 13.2 11.7 – 15.5 g/dl

Leukosit 12.7 3.8 – 11.0 ribu

Eritrosit 4.42 3.8 – 5.4 juta

Hematokrit 39.8 35 – 47%

Trombosit 185 150 – 400 ribu

MCV 90.0 82 – 98 fL

MCH 29.9 27 – 52 pg

MCHC 33.2 32 – 37 g/dl

RDW 14.0 10 – 18 %

Limfosit 1.5 1.0 – 4.5

Monosit 0.1 0.2 – 1.0

Eosinofil 0.0 0.04 – 0.8


Basofil 0.1 0 – 0.2

Neutrofil 17.0 1.8-7.5

Limfosit % 5.4 25-40

Monosit % 0.0 2-8

Eosinofil % 1.1 2-4

Basofil % 0.3 0-1

Neutrofil % 93.2 50-70

PCT 0.165 0.2-0.5

PDW 11.6 10-16

KIMIA KLINIK

Glukosa Puasa 121 82-115

Glukosa 2 jam PP 128 < 120

SGOT 38 0-35

SGPT 18 0-35

Ureum 36.1 10-50


Kreatinin 1.08 0.45-0.75

HDL Direct 43 28-63

LDL-Cholesterol 156.2 <150

Asam Urat 5.35 2-7

Cholesterol 219 <200

Trigliserida 99 70-140

Pemeriksaan Radiologi

Rontgen Cranium AP/Lateral pada 1 April 2017

Kesan :

Tak tampak fraktur os calvaria yang terlihat


Tampak lusensi batas sebagian tak jelas pada os temporal kiri. Mastoid air
cell tak jelas à usul foto mastoid

Rontgen Cervical AP/Lateral/Oblique pada 2 April 2017

Kesan :

Alignment lurus

Spondilosis cervikalis

Tak tampak kompresi maupun listesis VC 3-4 yang tervisualisasi

Tak tampak penyempitan diskus intervertebralis

Foramen intervertebralis tak bisa dinilai karna kurang jelas

Pemeriksaan Head CT SCAN pada tanggal 3 April 2017

Kesan :
Gambaran contusional haemorraghe di lobus frontalis dan SAH di regio
parietalis sinistra dan perifalk posterior dengan gambaran brain edema
ringan

Tak tampak herniasi subfalcin

Tak tampak fraktur pada sistema tulang yang tervisualisasi

Tak tampak gambaran hematosinus

 DISKUSI II

Berdasarkan data-data diatas, maka pada pasien ini didapatkan keluhan


nyeri kepala, mual, serta nyeri dibagian bahu kiri. Tanda-tanda ini
merupakan akibat adanya cedera kepala yang disebabkan karena post
kecelakaan lalu lintas. Cedera kepala dalam kasus ini termasuk dalam
cedera kepala sedang sesuai dengan kriteria pembagian cedera kepala
sedang menurut Perdossi (2006) yaitu dengan terdapatnya abnormal CT
scan dan adanya amnesia post trauma 1-24 jam. Berdasarkan hasil
pemeriksaan Lab didapatkan hasil Hb, Ht pada pasien ini normal,
walaupun pasien mengalami post trauma serta adanya cedera kepala yang
dapat mengakibatkan adanya perdarahan di bagian kepala, namun tidak
sampai menyebabkan keadaan anemia pada pasien. Kemudian pada
pemeriksaan lab kimia klinik didapatkan hasil glukosa puasa pada pasien
mengalami sedikit peningkatan, hal ini dapat disebabkan karena adanya
pengeluaran stress oksidatif dan hormone yang berlebih pada keadaan
cedera kepala sehingga membuat peningkatan glukosa puasa sedikit
meningkat.

Pada pemeriksaan foto rontgen cranium pasien ditemukan adanya lusensi


batas sebagian tak jelas pada os temporal kiri, hal ini dapat disebabkan
karena cedera kepala yang terjadi pada pasien sehingga menyebabkan
pembengkakan pada kepala pasien yang bisa disebabkan karena adanya
perdarahan. Pada pemeriksaan foto rontgen cervical tidak ditemukan
adanya kelainan.

Menurut Irwan, (2009) terdapat beberapa indikasi lain dilakukannya


pemeriksaan CT-scan pada kasus trauma kepala adalah seperti berikut:

1. Bila secara klinis (penilaian GCS) didapatkan klasifikasi trauma


kepala sedang dan berat.
2. Trauma kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak.
3. Adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii
4. Adanya deficit neurologi seperti kejang dan penurunan gangguan
kesadaran
5. Sakit kepala hebat
6. Adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial

Kesulitan dalam mengeliminasi kemungkinan perdarahan intraserebral

Pada hasil CT Scan pasien didapatkan adanya perdarahan di


subarachnoid di regio parietalis sinistra. Gejala yang ditimbulkan oleh
perdarahan subarachnoid yang terdapat pada pasien ini adalah nyeri
kepala di daerah suboksipital, pusing, mual.

 DIAGNOSIS AKHIR

Diagnosis Klinis : Nyeri kepala, amnesia

Diagnosis Topik : Intrakranial

Diagnosis Etiologik : Cedera kepala berat

1. PENATALAKSANAAN

Non medikaamentosa

Bed rest

Posisi kepala ditinggikan 30 derajat

Medikamentosa

Injeksi Citicolin 2×500 mg

Injeksi Ranitidin 2×1

Injeksi Piracetam 2×3 g

Injeksi Mecobalamin 1×1


Injeksi Metilprednisolon 4×125

Injeksi Ketorolac 2×30

Injeksi Ondancentron 3×1

Injeksi Ciprofloxacyn 2×500

1. PROGNOSIS

Death : dubia ad malam

Disease : dubia ad malam

Disability : dubia ad malam

Discomfort : dubia ad malam

Dissatisfaction : dubia ad malam

Distitution : dubia ad malam

1. DISKUSI III

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pasien cedera kepala :

Pasien dalam Keadaan Sadar (GCS =15)

Simple Head Injury (SHI)

Pada pasien ini, biasanya tidak ada riwayat penurunan kesadaran sama
sekali dan tidak ada defisit neurologik dan tidak ada muntah. Tindakan
hanya perawatan luka.Pemeriksaan radiologik hanya atas indikasi.

Umumnya pasien SHI boleh pulang dengan nasihat dan keluarga diminta
mengobservasi kesadaran.Bila dicurigai kesadaran menurun saat
diobservasi, misalnya terlihat seperti mengantuk dan sulit dibangunkan,
pasien harus segera dibawa kembali ke rumah sakit.

Pasien dengan Kesadaran Menurun

1. Cedera kranioserebral ringan (GCS =13-15)

Umumnya didapatkan perubahan orientasi atau tidak mengacuhkan


perintah, tanpa disertai defi sit fokal serebral. Dilakukan pemeriksaan fisik,
perawatan luka, foto kepala, istirahat baring dengan mobilisasi bertahap
sesuai dengan kondisi pasien disertai terapi simptomatis. Observasi
minimal 24 jam di rumah sakit untuk menilai kemungkinan hematoma
intrakranial,misalnya riwayatlucid interval, nyeri kepala, muntah-muntah,
kesadaran menurun, dan gejala-gejala lateralisasi (pupil anisokor, refleksi
patologis positif ). Jika dicurigai ada hematoma, dilakukan CT scan.

Pasien cedera kranioserebral ringan (CKR) tidak perlu dirawat jika:

 Orientasi (waktu dan tempat) baik


 Tidak ada gejala fokal neurologic
 Tidak ada muntah atau sakit kepala
 Tidak ada fraktur tulang kepala
 Tempat tinggal dalam kota
 Ada yang bisa mengawasi dengan baik di rumah, dan bila dicurigai
ada perubahan kesadaran, dibawa kembali ke RS

2. Cedera kranioserebral sedang (GCS =9-12)

Pasien dalam kategori ini bisa mengalami gangguan kardiopulmoner.

Urutan tindakan:

 Periksa dan atasi gangguan jalan napas (Airway), pernapasan


(Breathing), dan sirkulasi(Circulation)
 Pemeriksaan singkat kesadaran, pupil,tanda fokal serebral, dan
cedera organ lain. Jika dicurigai fraktur tulang servikal dan atau
tulang ekstremitas, lakukan fiksasi leher dengan pemasangan kerah
leher dan atau fi ksasi tulang ekstremitas bersangkutan
 Foto kepala, dan bila perlu foto bagian tubuh lainnya, CT scan otak
bila dicurigai ada hematoma intrakranial
 Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil, dan defi sit fokal serebral
lainnya

3. Cedera kranioserebral berat (GCS = 3-8)


Pasien dalam kategori ini, biasanya disertai cedera multipel.Bila didapatkan
fraktur servikal, segera pasang kerah fiksasi leher, bila ada luka terbuka
dan ada perdarahan, dihentikan dengan balut tekan untuk pertolongan
pertama. Tindakan sama dengan cedera kranioserebral sedang dengan
pengawasan lebih ketat dan dirawat di ICU. Di samping kelainan serebral
juga bisa disertai kelainan sistemik. Pasien cedera kranioserebral berat
sering berada dalam keadaan hipoksi, hipotensi, dan hiperkapni akibat
gangguan kardiopulmoner.

Kelainan dan komplikasi trauma kapitis

Tekanan Intrakranial (TIK) Meninggi

Pada trauma kapitis tekanan intrakranial dapat meninggi pada perdarahan


selaput otak (hematoma epidural, hematoma subdural, dan hematoma
subaraknoidal), perdarahan di dalam jaringan otak (kontusio serebri berat,
laserasio serebri, hematoma serebri besar, dan perdarahan ventrikel), dan
kelainan pada parenkim otak (edema serebri berat). Tekanan pada vena
jugularis menaikkan TIK yang berlangsung sementara saja. Demikian pula
batuk, bersin, mengejan yang mengakibatkan tekanan di dalam sistem
vena meningkat. Pada hipoksia terjadi dilatasi arteriol yang meningkatkan
volume darah di otak dengan akibat TIK meningkat pula.

Pada Trauma kapitis yang dapat meningkatkan TIK adalah hematoma


yang besar (lebih dari 50cc), edema yang berat, kongesti yang berat dan
perdarahan subarakhnoidal yang mengganggu aliran cairan otak di dalam
ruangan subarakhnoidea. Bila TIK meninggi, mula-mula absorbsi cairan
otak meningkat kemudian bagianbagian sinus venosus di dalam dura
meter tertekan. Bila massa desak ruangan berkembang cepat dan melebihi
daya kompensasi maka TIK akan meningkat dengan tajam. Arteri-arteri
pia-arahnoidea melebar. Bila autoregulasi baik aliran darah akan
dipertahankan pada taraf normal, akibatnya volume darah otak bertambah.
Universitas Sumatera Utara Bila TIK meninggi terus dengan cepat, aliran
darah akan menurun dan TIK akan tetap rendah meskipun tekanan darah
naik. Bila kenaikannya sangat lambat seperti pada neoplasma jinak otak,
kemungkinan TIK tidak meninggi banyak karena selain penyerapan otak
yang meningkat, otak akan mengempes dan mengalami artrofi ditempat
yang tertekan yang dapat menetralisir volume massa desak ruang yang
bertambah.

Komplikasi Infeksi pada Trauma Kapitis

Kemungkinan terjadinya infeksi sekunder pada trauma kapitis meningkat


bila durameter robek terutama sekali bila terjadi di daerah basal yang
letaknya berdekatan dengan sinus-sinus tulang dan nasofaring. Keadaan
ini juga bisa terjadi bila ada fraktur basis kranii.

Lesi Akibat Trauma Kapitis pada Tingkat Sel

Lesi dapat mengenai semua jenis sel di dalam jaringan otak yaitu neuron
dengan dendrit dan aksonnya, astrosit, oligodendrosit, sel ependim
maupun sel-sel yang membentuk dinding pembuluh darah. Bila badan sel
neuron rusak, maka seluruh dendrit dan aksonnya juga akan rusak.
Kerusakan dapat mengenai percabangan dendrit dan sinapsis-sinapsinya,
dapat pula mengenai aksonnya saja. Dengan kerusakan ini hubungan
antar neuron pun akan terputus. Lesi sekunder juga dapat mengakibatkan
kerusakankerusakan demikian.

Epilepsi Pasca Trauma Kapitis

Pada sebagian penderita trauma kapitis dapat terjadi serangan kejang.


Serangan ini dapat timbul dini pada minggu-minggu pertama sesudah
trauma, mungkin pula timbul kasip berbulan-bulan sesudahnya. Epilepsi
kasip cenderung terjadi pada pasien yang mengalami serangan kejang
dini, fraktur impresi dan hematoma akut. Epilepsi juga lebih Universitas
Sumatera Utara sering terjadi pada trauma yang menembus durameter.
Lesi di daerah sekitar sulkus sentralis cenderung menimbulkan epilepsi
fokal.

FOLLOW UP

Tanggal S O A P
GCS E4M6V5
Inj. Piracetam 3×3 gram
Pasien Inj. Citicolin 2×500 mg
TD : 160/80mmHg
mengeluh
nyeri kepala Inj. Ranitidine 2×1 ampul
belakang, leher N : 95x/menit
kaku, pusing
01-04- Inj. Ondancentron 3×1 (bila
saat duduk, RR : 24x/menit
2017 CKS H+1 perlu)
mual, muntah
(-), pingsan (-), T : 36,2C
kejang (-), lupa
kejadian saat
ditabrak. M : 5/5
Cek Lab, dan Rontgen
cervical
5/5

Inj. Piracetam 3×3 gram


GCS E4M6V5 Inj. Citicolin 2×500 mg
TD : 136/82mmHg
Inj. Ranitidine 2×1 ampul
N : 92x/menit
Pasien
mengeluh Inj. Ondancentron 3×1
nyeri kepala RR : 20x/menit ampul
02-04-
belakang, leher CKS H+2
2017
kaku, pusing, T : 36,7C Inj. Mecobalamin 1×1 ampul
mual, muntah
(-), kejang (-). M : 5/5

5/5 Menunggu hasil Lab, dan


Rontgen cervical

GCS E4M6V5 Inj. Piracetam 3×3 gram


TD : 180/100mmHg Inj. Citicolin 2×500 mg

N : 92x/menit Inj. Ranitidine 2×1


Pasien
mengeluh
nyeri kepala RR : 20x/menit Inj. Ondancentron 3×1
03-04-
belakang, leher CKS H+3
2017
kaku, pusing, T : 36,7C Inj. Mecobalamin 1×1
mual, bahu
terasa sakit M : 5/5

5/5 Pemeriksaan CT Scan


Injeksi Citicolin 2×500 mg
Injeksi Ranitidin 2×1

Injeksi Piracetam 2×3 g


GCS E4M6V5
TD : 136/82mmHg Injeksi Mecobalamin 1×1

Pasien N : 92x/menit Injeksi Metilprednisolon


mengeluh 4×125
nyeri kepala RR : 20x/menit
04-04- belakang, leher Injeksi Ketorolac 2×30
CKB H+4
2017 kaku, pusing
T : 36,7C
saat duduk,
bahu terasa Injeksi Ondancentron 3×1
sakit M : 5/5
Injeksi Ciprofloxacyn 2×500
5/5

Pemeriksaan Rontgen
shoulder sinistra

DAFTAR PUSTAKA

American College of Surgeon Committee on Trauma, Cedera Kepala.


Dalam :Advanced Trauma Life Support fo Doctors. Ikatan Ahli Bedah
Indonesia. Komisitrauma IKABI, 2004.

Arif Mansjoer dkk Editor, Trauma Susunan Saraf dalam Kapita Selekta
Kedokteran edisi Ketiga jilid 2, Media Aesculapius, Jakarta, 2000.
Chusid JG., Neuroanatomi Korelatif & Neurologi Fungsional, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, 2000.

Faqih Ruhyanudin, Pemeriksaan Neurologis, Universitas Jendral


Soedirman, Purwokerto, 2011.

Harsono, Kapita Selekta Neurologi, Gadjah Mada Universiti Press,


Yogyakarta, 2011.

Hasan Sjahrir, Ilmu Penyakit Saraf Neurologi Khusus, Dian Rakyat,


Jakarta, 2004.

Japardi Iskandar,. Penatalaksanaan Cedera Kepala secara Operatif,


SumatraUtara, USU Press, 2004.

Mardjono M., Sidharta P., Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta,
2000.

PERDOSSI Cabang Pekanbaru, Simposium Trauma Kranioserebral,


Pekanbaru, 3 November 2007.

Setyopranoto, I., Penatalaksanaan Perdarahan Subarakhnoid, Continuing


Medical Education,. 2012;39.

Turner DA, Neurological Evaluation of a Patient with Head Trauma, dalam


Neurosurgery 2ndedition, New York: McGraw Hill, 1996.

Wahjoepramono, Eka., Cedera Kepala, Lippokarawaci, Universitas Pelita


Harapan, 2005.

PR

1. Bagaimana terjadinya post traumatic amnesia (PTA) pada


cedera kepala?
Post traumatic amnesia adalah suatu gangguan pada memori episodik
yang digambarkan sebagai ketidakmampuan pasien untuk menyimpan
informasi kejadian yang terjadi dalam konteks temporospatial yang
spesifik. Post traumatic amnesia juga didefinisikan sebagai suatu
gangguan mental yang dikarakteristikkan oleh disorientasi, gangguan
atensi, kegagalan memori kejadian dari hari ke hari, ilusi, dan salah dalam
mengenali keluarga, teman, dan staf medis.

Dasar patologi dari PTA masih tidak jelas, meskipun korelasinya terhadap
MRI terlihat mengindikasikan sesuatu yang berasal dari hemisfer dibanding
dengan diensefalik. Memori dan new learning dipercaya melibatkan korteks
serebral, proyeksi subkortikal, hippocampal formation, dan diensefalon.
Sebagai tambahan, lesi pada lobus frontalis juga dapat menyebabkan
perubahan pada behavior, termasuk iritabilitas, aggressiveness, dan
hilangnya inhibisi dan judgment.

PTA dibagi dalam 2 tipe. Tipe yang pertama adalah retrograde, yaitu
hilangnya kemampuan secara total atau parsial untuk mengingat kejadian
yang telah terjadi dalam jangka waktu sesaat sebelum trauma kapitis.
Lamanya amnesia retrograde biasanya akan menurun secara progresif.
Tipe yang kedua adalah aanterograde, yaitu sutau deficit dalam
membentuk memori baru setelah kecelakaan, yang menyebabkan
penurunan atensi dan persepsi yang tidak akurat. Memori anterograde
merupakan fungsi terakhir yang paling sering kembali setelah sembuh dari
hilangnya kesadaran.

2. Apa yang dimaksud dengan TOAG (Test Orientasi dan Amnesia


Galveston)?

Di antara beberapa penilaian PTA yang tersedia sekarang, TOAG adalah


yang paling banyak digunakan. Penilaian ini pendek dan mudah
digunakan. Penilaiannya terdiri dari sejumlah poin yang ditambahkan ketika
menjawab dengan benar atau jumlah kesalahan. Skor yang mendekati
angka 100, berarti fungsi masih terjaga. Tes ini dapat diberikan beberapa
kali dalam sehari, meskipun pada hari yang berturut-turut, sehingga dapat
dibuat grafik untuk menggambarkan perjalanan kapasitas dari mulai waktu
tertentu sampai orientasi total tercapai. Pengarang tes ini percaya bahwa
tes ini sesuai bagi seorang pasien untuk memulai pemeriksaan kognitif
ketika skor 75 atau lebih dicapai pada tes ini, yang mengindikasikan pasien
tidak confusion dan disorientasi lagi. Akan tetapi validitas dan reliabilitas
TOAG dan statusnya sebgai ‘gold standard’ dalam penilaian PTA masih
suatu subjek yang diperdebatkan.
Tabel 1. Test Orientasi dan Amnesia Galveston (TOAG)

3. Bagimana cara mengetahui darah yang keluar dari hidung atau


telinga pada pasien cedera kepala bercampur dengan cairan
serebrospinal?

Perdarahan dari hidung atau telinga pada kasus cedera kepala dapat
dicurigai terjadinya kebocoran cairan serebrospinal (CSS). Kebocoran
dapat dipastikan dengan suatu pemeriksaan dengan mengoleskan darah
tersebut pada kertas saring, maka akan menunjukkan gambaran seperti
cincin yang melingkar di darah yang disebut sebagai ‘halo sign’ atau
‘double-ring sign’. Pemeriksaan ini menggunakan prinsip kromatografi,
yaitu komponen yang berbeda dari campuran cairan akan terpisah saat
melalui suatu material. Meskipun tanda ini masih diperdebatkan, sebuah
penelitian menunjukkan bahwa tanda tersebut secara konsisten terlihat
ketika konsentrasi CSS 30%-90% pada darah. Namun sebenarnya tanda
tersebut tidak spesifik untuk CSS, campuran darah dengan garam, air
mata, dan cairan hidung juga menghasilkan lingkaran halo.

Anda mungkin juga menyukai