Proposal Alf Utk Laporan

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian


Pemetaan Geologi adalah salah satu mata kuliah wajib dan menjadi salah satu
syarat kelulusan bagi mahasiswa semester VII (tujuh) Program Studi Teknik Geologi,
Fakultas Teknik, Universitas Sriwijaya. Mata kuliah ini memiliki kompetensi sebagai
aspek dasar dari setiap kegiatan eksplorasi dan kegiatan kegeologian lainnya, sehingga
wajib dikuasai. Adapun dalam pelaksanaan kegiatan Pemetaan Geologi dilakukan secara
mandiri oleh setiap mahasiswa semester VII (tujuh) dengan luasan 9 km x 9 km dan
dibimbing oleh satu dosen pembimbing. Kegiatan Pemetaan Geologi dilakukan dengan
menerapkan berbagai ilmu konseptual yang telah didapatkan mahasiswa dari semester I
(satu) sampai semester VI (enam).

Pemetaan Geologi dilakukan untuk dapat menganalisa dan menyimpulkan


kondisi geologi suatu daerah penelitian. Daerah telitian berlokasi di Desa Cigudeg,
Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat dan terdapat pada peta
geologi lembar Bogor (Effendi dan Hermanto, 1998). Lokasi ini dipilih dikarenakan
terdapat dua jenis batuan yaitu, batuan sedimen dan batuan vulkanik sehingga dapat
memenuhi ketentuan mata kuliah Pemetaan Geologi. Selain itu dapat memenuhi
beberapa aspek kegeologian seperti stratigrafi, petrologi, struktur geologi dan
geomorfologi.

1.2 Maksud dan Tujuan Penelitian


Pemetaan geologi di Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor,
Provinsi Jawa Barat dilakukan sebagai rangka memenuhi tugas mata kuliah Pemetaan
Geologi yang akan digunakan sebagai pembekalan dalam tugas akhir. Tujuan dasar dari
kegiatan pemetaan ini adalah memetakan daerah telitian berdasarkan rekonstruksi dari
adanya kondisi geologi; data hasil observasi lapangan dan uji laboratorium analisa
petrografi dan analisa paleontologi. Hasil dari Pemetaan Geologi berupa model-model
geologi seperti peta topografi, peta lintasan pengamatan, peta geomorfologi, peta
kemiringan lereng, peta pola pengaliran, peta geologi, penampang stratigrafi, profil
singkapan batuan. Tujuan dari penilitian ini adalah :

1
1. Menentukan litologi penyusun dan persebaran batuan daerah Cigudeg dan
sekitarnya
2. Menentukan perkembangan struktur geologi dan tektonik daerah Cigudeg dan
sekitarnya
3. Merekonstruksi fenomena-fenomena geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi
yang berkembang didaerah penelitian kedalam bentuk model-model geologi.
1.3 Rumusan Masalah
1. Apa saja litologi penyusun yang terdapat pada daerah Cigudeg dan sekitarnya?
2. Bagaimana keadaan struktur geologi dan tektonik pada daerah Cigudeg dan
sekitarnya?
3. Bagaimana sejarah geologi berdasarkan kondisi geomorfologi, stratigrafi, struktur
geologi, serta tektonik yang berkembang pada daerah Cigudeg dan sekitarnya?

1.4 Batasan Masalah


Batasan masalah pada kegiatan pemetaan geologi ini mencakup litologi penyusun
daerah telitian, dan kondisi geologi daerah telitian berupa struktur geologi; geomorfologi;
stratigrafi; serta tektonik yang berkembang. Kondisi geologi; data hasil observasi
lapangan, dan uji laboratorium analisa petrografi serta analisa paleontologi akan
direkonstruksikan kedalam bentuk model geologi sehingga diketahui sejarah geologi
daerah telitian.
1.5 Lokasi dan Ketersampaian Daerah Telitian
Secara administratif daerah penelitian berada di Kecamatan Cigudeg Kabupaten
Bogor, Provinsi Jawa Barat (Gambar 1.1). Daerah penelitian memiliki luas 15 km2,
terletak sekitar 30 km ke arah barat dari Kota Bogor dan berada pada ketinggian 150-450
mdpl. Dengan menggunakan transportasi darat, daerah penelitian dapat dicapai dalam
waktu 1 jam perjalanan dari kota Bogor. Letak geografis daerah penelitian yaitu 106 o 34’
00” – 106o 36’ 30” LS dan 6o 32’ 30” – 6o 35’ 00” BT.
Ketersampaian menuju lokasi penelitian dari Kota Palembang bisa ditempuh melalui
dua jalur yaitu: jalur darat dan jalur udara. Jalur darat ditempuh dengan menggunakan bus
dari Kota Palembang terminal alang-alang lebar sejauh 657 Km ke arah tenggara, dengan
waktu tempuh ±1 hari. Sedangkan, jalur udara dapat ditempuh menggunakan pesawat
terbang dari bandara Sultan Mahmud Badarudin II Palembang menuju bandara Halim
Perdana Kusuma Jakarta selama ±1 jam perjalanan, kemudian dari pusat kota Jakarta
perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan Damri sejauh 54 Km ke arah baratdaya
menuju Bogor dengan jarak tempuh ±55 menit perjalanan.

2
Ga mbar 1.1. Peta Lokasi Daerah Telitian (Badan Informasi Geospasial, 2019)
Sebagian besar daerah penelitian merupakan kawasan hutan tropis, persawahan,
perladangan, dan pemukiman penduduk. Kondisi tanah umumnya cukup subur dengan
curah hujan yang tinggi setiap tahun. Untuk sampai ke daerah penelitian sebagian besar
melewati jalan berbatu dan jalan tanah, dan sebagian kecil berupa jalan aspal yang dapat
dilalui oleh kendaraan roda dua dan roda empat. Sedangkan untuk mencapai daerahdaerah
pelosok masih harus melalui jalan setapak. Sarana transportasi satu-satunya di daerah
penelitian adalah sepeda motor. Kondisi singkapan umumnya cukup baik dan segar,
terutama yang ditemukan di sungai-sungai. Sedangkan di jalan raya, singkapan umumnya
telah mengalami pelapukan.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan pustaka membahas mengenai geologi regional daerah penelitian dan teori
tentang studi khusus penelitian. Geologi regional membahas mengenai tatanan tektonik,
urutan stratigrafi dan struktur geologi yang terdapat pada Cekungan Bogor. Tatanan
tektonik menjelaskan proses pembentukan batuan yang terdapat pada Cekungan Bogor
yang dikontrol oleh pembentukan Pulau Jawa. Stratigrafi regional membahas mengenai
urutan-urutan formasi batuan sedangkan struktur geologi membahas mengenai
perkembangan struktur pada Cekungan Bogor. Studi khusus membahas perubahan fasies
dan diagenesis serta kaitannya terhadap regime lingkungan pengendapan.

2.1. Tatanan Tektonik Regional


Daerah penelitian berada di Cigudeg, Kabupaten Bogor, Jawa Barat secara
tektonik terletak di Pulau Jawa yang merupakan zona subduksi pertemuan dua lempeng
besar, yaitu Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia. Pulau Jawa berada di posisi
tepi aktif interaksi Lempeng Indo Australia dan Lempeng Eurasia yang terjadi sejak
Kapur Akhir. Pulau Jawa disusun oleh gabungan antara kerak benua Eurasia (sebagian
besar Jawa Barat dan Jawa Tengah bagian utara), kerak hasil akresi antara dua lempeng
(bagian selatan Jawa Barat dan Jawa Tengah, dan hampir seluruh bagian Jawa Timur),
batuan beku magmatik dan volkanik Jalur Gunungapi Jawa dan batuan sedimen yang
terbentuk. Menurut Satyana &Armandita, 2004, Pulau Jawa terbagi menjadi beberapa
tatanan tektonik yaitu Cekungan Sunda-Asri, Cekungan Jawa Barat Utara, Cekungan
Jawa Barat Selatan, Cekungan Jawa Timur Utara, Cekungan Bogor-Kendeng, Lereng
Bagian Selatan, dan Cekungan Jawa Tengah Selatan. Daerah penelitian berada di Zona
Transisi Paparan-Cekungan Bogor yang merupakan cekungan busur belakang.
Secara tektonik, cekungan Bogor merupakan Cekungan Busur-Belakang (Back-
Arc Basin) terhadap busur vulkanik Oligo-Miosen yang berada di selatannya. Aktivitas
tektonik yang terjadi di Jawa telah menyebabkan terbentuknya unsur-unsur tektonik
berupa zona akresi, cekungan, dan busur magmatik. Evolusi tektonik Jawa Barat
menyebabkan posisi cekungan yang telah terbentuk dapat berubah kedudukannya
terhadap busur magmatik. Cekungan Bogor pada kala Eosen-Oligosen merupakan fore
arc basin, namun pada kala Oligosen-Miosen posisi cekungan berubah menjadi back arc
basin. Kegiatan tektonik Plio-Pleistosen Cekungan Bogor ditempati oleh jalur magmatik
hingga kini (Satyana & Armandita, 2004). Daerah paparan (Nortwest Java Basin) yang
berada di utara Cekungan BogorKendeng pada awalnya (Eosen-Oligosen) juga
merupakan daerah cekungan busur muka dalam bentuk terban yang diisi oleh endapan
Paleogen nonmarin vulkanoklastika dan endapan lakustrin Formasi Jatibarang serta
endapan fluviatil, kipas aluvial, fluvio deltaik, dan material lakustrin Formasi Talang
Akar (Sudarmono drr.1997. Ryacudu dr.1999).

4
Gambar 2.1. Tatanan Tektonik Cekungan Bogor (Satyana & Armandita, 2004)
2.1.2. Stratigrafi
Menurut Martodjojo (1984), wilayah Jawa Barat dapat dibagi menjadi tiga mandala
sedimentasi, yaitu:
1. Mandala Paparan Kontinen Utara terletak pada lokasi yang sama dengan Zona
Dataran Pantai Jakarta pada pembagian zona fisiografi Jawa Bagian Barat oleh van
Bemmelen (1949). Mandala ini dicirikan oleh endapan paparan yang umumnya terdiri
dari batugamping, batulempung, dan batupasir kuarsa, serta lingkungan pengendapan
umumnya laut dangkal dengan ketebalan sedimen dapat mencapai 1500 m.
2. Mandala Sedimentasi Banten hanya diketaui dari sedikit data. Pada Tersier Awal,
mandala ini cenderung menyerupai Mandala Paparan Kontinen, sedangkan pada saat
Tersier Akhir, ciri dari mandala ini sangat mendekati Mandala Cekungan Bogor.
3. Mandala Cekungan Bogor terletak di selatan Mandala Paparan Kontinen Utara. Pada
pembagian zona fisiografi Jawa Barat van Bemmelen (1949), mandala ini meliputi
Zona Bogor, Zona Bandung, dan Zona Pegunungan Selatan. Mandala ini merupakan
mandala sedimentasi yang dicirikan oleh endapan aliran gravitasi, yang kebanyakan
berupa fragmen batuan beku dan batuan sedimen, seperti andesit, basalt, tuf, dan
batugamping. Ketebalan sedimen diperkirakan lebih dari 1700 m.
Berdasarkan pembagian mandala sedimentasi di atas, daerah penelitian terletak pada
Mandala Cekungan Bogor. Mandala Cekungan Bogor menurut Martodjojo (1984)
mengalami perubahan dari waktu ke waktu sepanjang zaman Tersier–Kuarter. Mandala
ini terdiri dari tiga siklus pengendapan. Pertama-tama diendapkan sedimen laut dalam,
kemudian sedimen darat yang berangsur berubah menjadi sedimen laut dangkal, dan yang
terakhir diendapkan sedimen dengan mekanisme aliran gravitasi. Siklus pertama dan
kedua sedimen berasal dari utara, sedangkan siklus ketiga berasal dari selatan. Lebih
lanjut, Martodjojo (1984) telah membuat penampang stratigrafi terpulihkan utara-selatan
di Jawa Barat (Gambar 2.2).
Menurut Martodjojo (1984), Mandala Cekungan Bogor didasari oleh kompleks
batuan yang terdiri dari batuan beku dan metamorf yang berumur Kapur sampai Eosen
5
Awal yang merupakan batuan tertua pada mandala ini. Kompleks batuan tersebut adalah
melange yang merupakan suatu prisma akresi sejak Kapur sampai Eosen. Di sebelah
selatan cekungan, Mandala Cekungan Bogor didasari oleh kompleks melange yang
berumur Kapur sampai Eosen. Di atas kompleks melange tersebut diendapkan Formasi
Ciletuh yang diperkirakan berumur Eosen Awal dan merupakan endapan laut dalam (pond
deposit) dengan litologi berupa lempung dan pasir kuarsa dengan sisipan breksi, kaya
fragmen batuan metamorf dan beku ultrabasa. Di atas Formasi Ciletuh diendapkan
Formasi Bayah secara selaras yang tersusun dari batupasir kuarsa dan batulempung
dengan sisipan batubara. Formasi yang terendapkan pada lingkungan darat sampai laut
dangkal ini diperkirakan berumur Eosen Tengah-Eosen Akhir dan Formasi Batuasih
diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Bayah. Formasi ini diperkirakan berumur
Oligosen Awal. Ciri litologi formasi ini adalah lempung napalan dengan sisipan pasir
kuarsa. Pada beberapa horizon terdapat napal yang kaya foraminifera plankton,
foraminifera bentos, dan juga moluska. Bagian teratas dari Formasi Batuasih lebih bersifat
gampingan dan mengandung lensa-lensa gamping kalkarenit. Dari ciri batuannya dapat
disimpulkan bahwa lingkungan pengendapannya adalah transisi sampai laut dangkal.
Pada Miosen Awal, di daerah selatan diendapkan Formasi Jampang yang terdiri
dari breksi dan tuf, sedangkan di utaranya diendapkan Formasi Citarum yang terdiri dari
tuf dan greywacke. Kedua satuan ini merupakan satu sistem kipas laut dalam, dengan
Formasi Jampang yang merupakan bagian dalam dan Formasi Citarum merupakan bagian
luar. Pada Miosen Tengah diendapkan Formasi Saguling berupa breksi yang ditutupi
secara selaras oleh Formasi Bantargadung berupa lempung dan greywacke berumur akhir
Miosen Tengah. Endapan termuda di Cekungan Bogor berupa breksi, berumur Miosen
Akhir, termasuk Formasi Cigadung di bagian Lembah Cimandiri dan Formasi Cantayan
di bagian utara cekungan. Di atas Formasi Cantayan diendapkan secara tidak selaras
Endapan Vulkanik Plio-Pleistosen hingga Resen (Martodjojo, 1984).
Di sebelah utara cekungan, batuan tertua yang dapat diteliti adalah batuan andesit
dan tufa berumur Kapur hingga Eosen yang merupakan Formasi Jatibarang (Arpandi dan
padmosoekismo, 1975. Martodjojo, 1984). Di atas formasi ini diendapkan secara tidak
selaras Formasi Cibulakan yang berumur Miosen Tengah. Ciri litologi formasi ini adalah
berupa serpih karbonan berwarna coklat keabu-abuan dengan sisipan lapisan batubara di
bagian bawah, batugamping berwarna putih kotor dengan sisipan serpih dan pasir tipis di
bagian tengah, dan pasir gampingan berselang-seling dengan napal dan lempung di bagian
atas. Lingkungan pengendapan dari formasi ini berupa laut dangkal.
Di daerah Leuwiliang yang terletak di sebelah barat dari sebaran formasi ini,
formasi Cibulakan berubah fasies menjadi Formasi Bojongmanik dengan lingkungan
pengendapan berupa daerah transisi antara pantai sampai lagoon. Formasi Bojongmanik
ini memiliki kisaran umur yang hampir sama dengan Formasi Cibulakan, yakni Miosen
Tengah ( N9 – N13 ) (Martodjojo, 1984). Di atas Formasi Cibulakan diendapkan secara
selaras Formasi Parigi yang berupa satuan batugamping di Jawa Barat. Formasi Subang
diendapkan secara selaras di atas Formasi Parigi. Ciri litologi Formasi Subang berupa
lempung berlapis yang semakin keatas berubah menjadi masif dan tak berlapis dan
6
lempung berwarna coklat. Formasi Subang ditutupi secara selaras oleh Formasi
Kaliwangu yang umumnya terdiri dari batupasir dan batulempung (Martojojo, 1984).
Berdasarkan Peta Geologi Lembar Bogor (Effendi, 1998) daerah penelitian
terletak pada Formasi Qvb (Breksi Gunung Api Tak Terpisahkan), Formasi Qvl (Lava
Gunung Api), Formasi Tmtb (Tuf - Breksi), Formasi Tmb (Formasi Bojongmanik).

Gambar 2.2. Penampang Stratigrafi Jawa Barat (Martodjojo, 1984)

Secara singkat stratigrafi regional daerah penelitian yaitu:


1. Formasi Bojongmanik (Tmb)
Formasi ini terdiri dari batupasir, tuf batuapung, napal dengan moluska,
batugamping, batulempung dengan lempung bitumen dan sisipan lignit dan sisa
damar. Tebal satuan ini diperkirakan mencapai 550 m. Fosil dalam batulempung
adalah plankton yang menunjukkan kisaran umur Miosen Tengah. Menurut
Martodjojo (1984), formasi ini memiliki lingkungan pengendapan transisi dari pantai
hingga lagoon.

2. Tuf dan Breksi (Tmtb)


Satuan batuan ini berumur Miosen Akhir dan diendapkan secara tidak selaras di
atas satuan batuan Formasi Bojongmanik (Tmb). Satuan batuan ini terdiri dari litologi

7
berupa tuf batuapung, breksi tufaan fragmen andesit, batupasir tuf, lempung tufaan
dengan kayu terkersikkan dan sisa tumbuhan, serta batupasir berlapis silang.

2.1.3. Tatanan Tektonik dan Struktur Geologi


Tatanan tektonik dan struktur geologi di daerah Jawa bagian barat dipengaruhi oleh
tektonik kepulauan Indonesia bagian barat yang merupakan produk konvergensi
Lempeng Indo-Australia yang relatif bergerak ke arah utara dan Lempeng Eurasia yang
relatif diam (Hamilton, 1979). Berdasarkan rekonstruksi geodinamika (Katili, 1975.
Hamilton, 1979), subduksi lempeng Australia kebawah lempeng Eurasia yang aktif pada
Eosen telah menghasilkan sistem busur kepulauan yang dapat diikuti kemenerusannya
mulai dari Burma di baratlaut, Andaman, Sumatra, Jawa, sampai ke Lengkong Banda di
Indonesia bagian timur (Koesoemadinata, 2001). Aktivitas lempeng yang bekerja sangat
berperan dalam membentuk tatanan tektonik suatu daerah, baik dalam membentuk
blokblok ketinggian atau blok-blok depresi yang dapat berubah fungsi menjadi
cekungancekungan pengendapan. Aktivitas lempeng tersebut menjadi faktor yang sangat
penting dalam pembentukkan tatanan struktur dan stratigrafi suatu daerah.

Gambar 2.3 Peta Pola Struktur Jawa Barat (Martodjojo, 2003)

Gambar 2.3 Peta Pola Struktur Jawa Barat (Martodjojo, 2003)


Terdapat 3 pola struktur dominan yang berkembang di Pulau Jawa berdasarkan
Martodjojo (2003), yaitu:
1. Pola Meratus berarah timurlaut-baratdaya yang merupakan pola tertua dan
terbentuk pada 80-53 juta tahun yang lalu (Kapur Akhir-Eosen Awal). Pola ini
diwakili oleh Sesar Cimandiri, Sesar Naik Rajamandala serta sesar-sesar lainnya.
Pola Meratus yang dihasilkan oleh tektonik kompresi diduga merupakan arah
awal penunjaman lempeng Samudra Indo-Australia ke bawah Paparan Sunda.

8
2. Pola Sunda, berarah utara-selatan yang terbentuk pada 53-32 juta tahun yang lalu
(Eosen Awal – Oligosen Awal). Pola ini berupa kelur usan Ciletuh – Kepulauan
Seribu. Pola Sunda dihasilkan oleh tektonik regangan. Fasa regangan ini
membentuk horst dan graben yang ditafsirkan terbentuk pada akhir Eosen. Pola
ini umumnya terdapat di bagian barat wilayah Jawa Barat dan lepas pantai utara
Jawa Barat.
3. Pola Jawa berarah barat-timur merupakan pola struktur termuda yang terbentuk
pada
Kala Neogen yang mengaktifkan pola sebelumnya dan mengakibatkan Pulau
Jawa mengalami pola kompresi dengan tegasan berarah utara-selatan. Pola ini diwakili
oleh Sesar Baribis, sesar-sesar di lembah Cimandiri dan G. Walat. Pada Kala Miosen
AwalPliosen, Cekungan Bogor yang Kala Eosen Tengah-Oligosen merupakan cekungan
depan busur magmatik, berubah menjadi cekungan belakang busur magmatik sehingga
terbentuk sesar-sesar anjakan dan lipatan.
Jawa Barat memiliki tatanan tektonik yang lebih rumit dan tidak memiliki arah
umum tektonik seperti halnya Sumatra. Pola struktur pada bagian timur Jawa Barat
memiliki arah baratlaut – tenggara, pada daerah Banten berarah baratdaya-timurlaut,
sedangkan pada dataran rendah Jakarta pola strukturnya berarah utara-selatan. Pada
bagian tengah Jawa Barat, sebelah barat dari Bandung, pola stukturnya memiliki arah
baratdayatimurlaut. Hal ini dapat dilihat pada punggungan Rajamandala yang
kemenerusannya dapat ditarik dari Sukabumi hingga Lembah Cimandiri di daerah
Pelabuhan Ratu. Tatanan tektonik yang rumit dan tidak memiliki pola umum ini
menunjukan struktur batuan dasar yang diperkirakan tersusun atas blok-blok batuan yang
saling bergerak satu sama lain dan tersesarkan (Koesoemadinata, 1985)
Berdasarkan struktur regional, daerah penelitian memiliki arah kelurusan
utaraselatan yang merupakan Pola Sunda. Arah kelurusan utara-selatan ini mengacu pada
Sesar Mendatar Cidurian dan juga Sesar Mendatar Cikaniki. Menurut Martodjojo (1984),
Sesar Mendatar Cidurian mempengaruhi terbentuknya Antiklin Jasinga yang terletak di
sebelah barat daerah penelitian dan Antiklin Leuwiliang yang berada di daerah
penelitian.

9
2.2. Fasies dan Diagenesis Batuan Karbonat
2.2.1 Karakteristik Batuan Karbonat
Batuan karbonat adalah batuan dengan kandungan material karbonat lebih dari 50%
terdiri dari partikel karbonat klastik yang tersemenkan atau partikel karbonat kristalin
(Reijer, 1986). Sedangkan batugamping adalah batuan dengan kandungan karbonat 95 %,
maka tidak semua batuan karbonat termasuk kedalam batugamping (Reijer dan Hsu,
1986). Adapun menurut Pettijohn (1975), batuan karbonat adalah batuan dengan material
karbonat lebih besar dari material non karbonat.
Analisis yang lebih rinci dari komposisi kimia kristal karbonat menurut Reeder
(1983) dan Tucker & Wright (1990). Berikut merupakan mineral-mineral penyusun
batuan karbonat (Tabel 2.1)

Tabel 2.1. Mineral-mineral penyusun batuan karbonat beserta sistem kristal, rumus
kimia, dan keterdapatannya ((Reeder, 1983 dan Tucker &Wright, 1990;
dalam Boggs, Jr., 2006).

10
Menurut Tucker (1991) komponen penyusun batugamping dapat dibedakan
berdasarkan non skeletal grain, skeletal grain, matriks karbonat, dan semen. Berikut
penjelasannya.

1. Non-skeletal grains, merupakan butiran penyusun batuan karbonat yang bukan berasal dari
cangkang atau tubuh dari organisme yang telah mati, butiran ini dibagi menjadi beberapa
bagian, yaitu:
a. Ooid, merupakan butiran yang berbentuk bulat sampai lonjong, diameter berukuran
0.25-2.00 mm, memiliki ciri khusus inti yang tertutupi oleh satu atau lebih lapisan
konsentris dan mengelilingi inti. Sebuah batuan yang didominasi ooid disebut
dengan oolite.

Gambar 2.4. Variasi Bentuk Umum pada ooid


(Tucker, 1981; dalam Scholle dan Ulmer Scholle, 2003).

b. Pisoid, adalah partikel berbentuk bulat dengan ukuran lebih besar dari 2 mm dan
kurang dari 10 mm, terdapat ciri khusus berupa struktur interval laminasi
konsentris. Adapun batuan dengan pisoid berlimpah disebut dengan pisolite.
c. Oncoid, adalah butiran berukuran lebih dari 2 mm, dicirikan dengan adanya lapisan
alga atau mikroba. Memiliki bentuk bulat stromatolite yang terdapat serangkaian
laminasi konsentris yang tidak teratur.
d. Intraclast, merupakan butiran sedimen karbonat yang telah terkikis dan
terendapkan kembali, umumnya di dekat sumbernya, dalam urutan pengendapan
sama (Folk, 1959) e. Extraclast, merupakan butiran dari batuan yang sudah pernah
ada sebelumnya terlitfikasi bersama sedimen karbonat (lithoclast) yang berasal dari
luar arah sedimentasi daerah pengendapan (Folk, 1959).
f. Pellet, merupakan butiran berbentuk bola sampai bulat telur terdiri dari mikrit hasil
kotoran organisme invertebrata berukuran 0,03-0,3mm. Kebanyakan pellet
memiliki sedikit struktur internal dan ukuran sempit.

11
g. Pelloid, adalah allochem berbentuk bulat, lonjong, atau runcing. Terbentuk dari
mikit dan tidak terdapat struktur dalam. Bisa berasal dari pellet, intraklas yang tidak
jelas, ooid yang termikritkan atau fragmen fosil.
2. Skeletal grains/bioclast, merupakan butiran cangkang penyusun batuan karbonat yang
terdiri dari seluruh pecahan fosil makro ataupun fosil mikro.
3. Matriks Karbonat, merupakan lumpur karbonat yang berukuran lempung apabila
dibandingkan dengan batuan klastika asal darat (terrigenous), sangat halus, dan
berwarna gelap. Mikrokristalin kalsit atau sering disebut mikrit terbentuk sebagai
endapan anorganik atau pecahan butiran karbonat kasar, memiliki ukuran diameter 1-4
nano meter
4. Semen Karbonat, memiliki kenampakan yang jelas atau putih dalam pengamatan PPL.
Disebut sparit memiliki ukuran yang lebih besar dari mikrit yaitu 0,02-0,1 mm serta
dibedakan dari kejelasan bentuk kristal dan kurangnya tekstur internal. Semen sparit
memiliki kenampakan sebagai berikut (Gambar 2.5)

Gambar 2.5. Bentukan morfologi semen karbonat (Flugel, 2004)

a. Acicular, merupakan kristal berbentuk jarum, menunjukkan pemadatan lurus, memiliki


ukuran lebar <10 µm, dan panjang sekitar 100 µm. Pada umumnya berupa aragonit dan
mengindikasikan zona marine phreatic.
b. Fibrous, merupakan kristal berbentuk serabut, memiliki rasio panjang dan lebar > 6:1
serta lebar >10 µm. Sering dijumpai pada pori inter-partikel dan intra-
partikel.Umumnya terbentuk pada zona marine phreatic, terkadang dijumpai pada zona
meteoric vadose.
c. Botryoidal, merupakan kristal berbentuk kipas yang saling menyatu dan umumnya
adalah aragonit. Terbentuk di laut (umum dijumpai di gua pada terumbu dan slope
terjal), namun kadang dijumpai pada zona burial.

12
d. Dog tooth, merupakan kristal yang menajam pada satu titik dengan bentukscalenohedral
atau rhombohedral. Sering dijumpai pada zona meteorik dan shallow burial namun juga
dijumpai pada zona marine phreatic.
e. Bladed, merupakan kristal yang non-equidimensional dan non-fibrous. Memiliki rasio
panjang dan lebar 1,5:1 hingga 6:1, menunjukkan terminasi seperti pyramid. Ukuran
lebar 10 µm dan panjang < 20 µm hingga 100 µm. Kristal bertambah lebar seiring
dengan bertambahnya panjang. Berupa high Mg-kalsit namun juga aragonite. Terbentuk
pada zona marine phreatic.
f. Meniscus, merupakan semen yang permukaannya seperti kurva di bawah butir dan
menghasilkan pori intergranular yang tampak membundar akibat efek meniscus.
Terbentuk pada zona meteoric vadose dan meteoric phreatic.
g. Drusy, semen pengisi pori intergranular dan interkristal, mold dan kekar, bentuk
anhedral hingga subhedral dengan ukuran >10 µm. Ukuran bertambah ke arah pusat
pori. Terbentuk di zona meteoric vadose, meteoric phreatic, dan burial.
h. Granular, merupakan semen kalsit yang terdiri dari kristal-kristal kecil equidimensional
yang mengisi pori, umumnya pada pori interpartikel. Terbentuk pada zona meteoric
vadose, meteoric phreatic, dan burial. Dapat juga terbentuk sebagai hasil rekristalisasi
dari semen yang ada sebelumnya.
i. Blocky, merupakan semen kalsit yang terdiri dari kristal berukuran sedang hingga kasar
antara puluhan mikron hingga beberapa milimeter, sering menunjukkan perbedaan
bentuk batas kristal. Berupa high-Mg kalsit dan low-Mg kalsit. Terbentuk pada zona
meteoric vadose, meteoric phreatic, dan burial. Hasil rekristalisasi dari semen yang ada
sebelumnya.
Beberapa ahli geologi memberikan klasifikasi mengenai tipe-tipe porositas batuan
karbonat, salah satunya Chorquette dan Pray (1970) menghubungkan ukuran pori dan
bentuk kemas batuan karbonat (Gambar 2.6) .
1. Porositas pada batuan karbonat sepenuhnya dikontrol oleh kemas batuan yang disebut
sebagai fabric selective dibagi menjadi:
a. Interparticle,merupakan porositas primer yang terdapat diantara partikel-partikel,
biasanya tidak mengalami sementasi dan dipengaruhi oleh sortasi, kemas, dan ukuran
butir.
b.Intraparticle, pori-pori pada butiran sebagai porositas primer atau apabila terbentuk pada
awal diagenesis sebagai porositas sekunder.
c. Intercrystalline, merupakan pori-pori yang terdapat diantara kristal-kristal dengan
ukuran relatif sama dan tumbuh akibat proses rekristalsasi atau dolomitisasi
d. Mouldic, merupakan suatu rongga yang terbentuk karena proses pelarutan fragmen
dalam batuan. Porositas ini dibentuk oleh perbedaan tingkat kelarutan antara butiran dan
struktur yang ada.

13
e. Fenestral, merupakan variasi dari porositas interparticle, terbentuk pada lingkungan
khusus seperti supratidal leeve akibat hilangnya beberapa butira batuan yang besar
sehingga terbentuk rongga yang besar.
f. Shelter, merupakan variasi dari porositas interparticle, dimana adanya butiran yang
berbentuk lempeng, menjadi pelindung area bawahnya yang terendap sedimen.
g. Growth framework, merupakan porositas hasil pertumbuhan kerangka contohnya koral,
mengakibatkan rongga yang diisi koral menjadi terbuka.

Gambar 2.6. Diagram klasifikasi utama dari tipe porositas (Chorquette dan
Pray,1970; dalam Scholle dan Ulmer-Scholle, 2003).

2. Porositas batuan tidak dikontrol oleh kemas/fabrik


a. Fracture, rongga berbentuk rekahan akibat tekanan luar terjadi setelah pengendapan.
Berasosiasi dengan proses perlipatan, pensesaran, dan kubah garam. Terjadi pada batuan
karbonat yang relatif britlle
b. Vug, porositas akibat lubang hasil pelarutan, sepert gerowong
c. Channel, saluran antar rongga akibat pelarutan, pengggabungan beberapa porositas pada
gerowong
d. Cavern¸merupakan porositas yang terbentuk sebagai hasil dari pelarutan yang bisa
membesar, (goa).
3. Porositas batuan karbonat yang bersfat kedua-duanya, disebut sebagai fabric selectve or
not. Tpe porositas ini antara lain: breccia, borrrng, burrow, dan shrinkage.

2.3.Klasifikasi Batuan Karbonat


Embry dan Klovan (1971) menyempurnakan klasfikasi Dunham (1962) dengan
mempertimbangkan pengaruh energi dan sedimen-sedimen yang terbawa dan
terakumulasi pada batuan karbonat tersebut. Embry dan Klovan (1971) melihat pentingnya
ukuran fragmen (butiran) yang terakumulasi pada batuan karbonat yang didominasi oleh
matriks. Kemudian membagi batuan karbonat menjadi dua kelompok besar, yaitu
autochtonous limestone dan allochtonous limestone¸ keduanya memliki perbedaan waktu
komponen organik terikat (Gambar 2.7).
14
Embry dan Klovan (1971) membagi-bagi boundstone menjadi tiga kelompok yaitu
framestone, bindstone, dan bafflestone; berdasarkan atas komponen penyusun utamanya
berupa terumbu yang berfungsi sebagai perangkap sedimen. Selain itu juga Embry dan
Klovan (1971) menambahkan nama kelompok batuan yang mengandung komponen
berukuran lebih besar dari 2 mm (>10%). Nama yang mereka berikan adalah rudstone
untuk batuan karbonat grain supported dan floatstone untuk batuan karbonat matrix
supported.

Gambar 2.7. Klasifikasi Batuan Karbonat berdasarkan Embry dan Klovan (1971)

2.4 Diagenesis Batuan Karbonat


Pada batuan karbonat, diagenesis merupakan proses transformasi menuju batuan
karbonat yang lebih stabil. Faktor yang menentukan karakter akhir produk diagenesis
diantaranya adalah komposisi sedimen mula-mula, sifat alami fluida didalam pori dan
pergerakannya, serta proses kimia dan fisika yang bekerja selama diagenesis. Perubahan
sifat fisik biasanya meliputi perubahan tekstur, seperti proses pelarutan, kompaksi,
sementasi, bioturbasi. Perubahan sifat kimia batuan sedimen biasanya disebabkan oleh
terjadinya penambahan silika dan kalsium karena proses pelarutan mineral karbonat pada
komponen penyusun batuan itu sendiri, sedangkan perubahan komposisi mineral pada
diagenesis dihasilkan dari proses berupa sementasi, autogenik, replacement, inversion,
dan pelarutan.
Batuan karbonat kebanyakan diendapkan pada laut dangkal, tetapi ada juga yang
diendapkan pada laut dalam dan sangat jarang sekali terjadi karena adanya zona CCD
(Carbonate Compensation Depth) atau zona dimana tidak lagi ditemukannya karbonat
pada batas ambang kedalaman. Proses diagenesis dapat disebabkan oleh beberapa proses
baik fisika, kimia, biologi dan sebagainya. Berikut adalah macam-macam proses
diagenesis yang terjadi pada batuan karbonat, yaitu :

15
1. Bioturbasi (bioturbation)
Terjadi pada awal proses diagenesis setelah pengendapan. Disebabkan aktivitas
organisme berupa mikroba yang mempengaruhi dekomposisi material organik. Dari
proses in akan mempengaruhi pH dan eH air pori sehingga mempercepat terjadinya
reaksi kimia dengan mineral penyusun sedimen. Selain itu, bisa juga terjadi pada
burrowing ataupun borring. Pada borring terjadi prespitasi mikrit(mikritisasi) di
lingkungan berair hangat sehingga butiran karbonat berkurang dan berubah menjadi
mikrit. Pelarutan mikrit ini menyumbang semen dalam jumlah yang banyak sehingga
mempengaruhi diagenesi batuan karbonat.
2. Pelarutan (dissolution)
Merupakan proses diagenesis akibat terjadinya proses menigkatnya porositas
namun lapisan batuan sedimen mengalami penipisan terjadi pada batuan yang mudah
larut seperti batuan karbonat dan evaporit. Pelarutan berlawanan dengan sementasi ,
dimana sementasi menyebabkan terprepitasinya mineral semen, sementara pelarutan
merusak struktur mineral yang terbentuk. Pelarutan akan terdorong oleh mineral
karbonat yang tidak stabil seperti aragonit dan Mg-Kalsit, selanjutnya menghasilkan
pH rendah(lingkungan asam).
Selain itu, pencampuran air dibawah permukaan juga bisa menyebabkan
pelarutan, bisa karena air meteorik ataupun air tanah di permukaan yang tidak
terjenuhkan oleh karbonat bisa merembes ke zona laut dangkal. Lalu pencampuran
air dari atas dan bercampur air tanah yang terkonsentrasi karbonat akan mempercepat
proses pelarutan (Morse, Hanor, dan He, 1997). Pelarutan paling intensif terjadi saat
batuan karbonat mengalami pengangkatan, atau disebut tahap telogenesis, hal ini
dikarenakan batuan karbonat akan beradaptasi dengan lingkungan barunya yang kaya
oksigen, sementara batuan ini sendiri kaya akan CO2.
3. Neomorfisme (neomorphism)
Neomorfisme merupakan istilah untuk menjelaskan proses kombinasi inversi ,
yaitu perubahan aragonite menjadi kalsit dan rekristalisasi, dimana mineral berubah
menjadi mineral lain dengan rumus yang sama, namun struktur kristal yang berbeda.
Proses ini umumnya terjadi pada lingkungan diagenesis meteorik dan lingkungan
diagenesis bawah permukaan. Neomorfisme akan mempengaruhi perbesaran butiran
kecil mikrit menjadi butiran karbonat kasar (spar).
4. Sementasi (cementation)
Merupakan peristiwa prespitasi kimia yang membentuk mineral baru, sementara
rekristalisasi adalah mineral yang sama seperti sebelumnya. Ketika mineral-mineral baru
yang terprestisasi ini mengisi pori dan menjadi keras, maka terbentuklah suatu batuan.
Semen ini memiliki tekstur yang khas seperti comb texture, spherulitic, dan poikilotopic.

16
5. Penggantian (replacement)
Merupakan proses dimana suatu mineral baru mengganti mineral lama secara
insitu. Dapat bersifat poliformik dan allomorfik, poliformik terjadi ketika mineral
baru akan memiliki bentuk dan struktur Kristal yang berbeda dari mineral
sebelumnya, namun dengan rumus kimia yang sama contohnya proses aragonite
terganti menjadi kalsit. Sementara alloformik bersifat replacement fase baru dengan
berbagai bentuk, Kristal, dan juga rumus kimia yang berbeda, terjadi saat dolomit
menggantikan kalsit.
6. Kompaksi (Compaction)
Kompaksi merupakan proses berkurangnya volume ruang antar butiran akibat
pembebanan (overburden pressure) batuan diatasnya. Kompaksi menyebabkan
berkurangnya porositas batuan karena adanya penyusunan ulang dari butiran-butiran
yang tidak bersentuhan menjadi saling bersentuhan atau semakin rapat. Butiran yang
membundar dan terpilah dengan baik tidak akan lebih kompak dari butiran yang
terpilah buruk dan bentuknya menyudut, karena butiran yang menyudut akan
membentuk pola interlocking, ketika kompaksi terjadi dan fraksi yang lebih kecil
akan mengisi ruang antar butiran di fraksi yang kasar.
Menurut Nichols (2007), ketika dua tubuh akumulasi sedimen terkompaksi
dengan litologi yang berbeda, maka akan terjadi kompaksi diferensial, dimana ketika
pembebanan atau kompaksi terjadi oleh batuan diatasnya, maka terjadi perilaku
perubahan lateral yang tidak seragam. Contohnya pada kompaksi pasir dan lempung
atau gamping dengan lempung disekitarnya. Mengingat lumpur (lempung) itu
sifatnya lunak, artinya lebih porous dan ditambah lagi sifatnya yang sangat plastis
karena anatomi mineral penyusunnya yang berlembar, maka akan terlihat perubahan
lateral yang kontras antara dua tubuh batuan ini.
7. Autigenesasi
Istilah autigenesasi disebut juga sebagai neokristalisasi atau proses dimana fase
mineral baru terkristalisasi dalam sedimen atau batuan selama proses diagenesis
berlangsung atau setelah proses diagenesis. Mineral baru ini dapat dihasilkan melalui
reaksi yang meliputi fase mineral di dalam batuan sedimen yang sudah ada
sebelumnya. Bedanya dengan sementasi, semen itu serempak mengisi semua pori,
sedangkan mineral autigenik meskipun banyak, tetapi sifatnya tidak merekatkan
batuan atau bahkan dia bisa terlihat seperti butiran ketika mengisi ruang antar butir
yang besar.
Autigenesasi ini menurut Raymond (2002) memiliki sifat overlap dengan
pelapukan dan sementasi, biasanya juga meliputi proses rekristaliasi dan dapat hadir
sebagai replacement, sehingga bisa menjadi butiran sekunder, karena butiran ini
tidak terangkut selama proses transportasi. Fase mineral autigenik yang umum
diantaranya adalah silikat seperti kuarsa, k-feldspar, lempung, zeolit, kalsit, dolomit,
dan lain-lain.

17
8. Rekristalisasi
Merupakan suatu proses dimana kondisi fisika atau kimia mempengaruhi
reorientasi dari kisi kristal pada butiran mineral yang ada dalam batuan sedimen.
Sedimen dapat terlitifikasi melalui perubahan tekstural yang terjadi salah satunya
oleh proses pengkristalan ulang ini. Umumnya dipengaruhi oleh berbagai faktor
seperti tekanan, temperatur, dan perubahan fase fluida. Rekristalisasi dapat terjadi
bila terdapat larutan atau mineral yang terlarut dan represipitasi dari fase mineral
terlarut ini. Fluida
9. Dolomitisasi
Dolomitisasi merupakan proses penggantian mineral-mineral kalsit menjadi
dolomit. Menurut para ahli, batugamping yang terdolomitisasi mempunyai porositas
yang lebih besar daripada batugamping sendiri. Dolomitisasi bisa terjadi di laut
dangkal, tidal flat, danau, lagoon, dan lain-lain. Terlebih jika terdapat batuan yang
mengandung Mg dan kondisinya di lewati sungai-sungai dan membawanya ke
lingkungan dimana batugamping terbentuk. Pengontrol utama pada dolomit dan
kalsit dalam batugamping biasanya adalah faktor kedalaman. Kalau kedalamannya
kurang dari 3000m, maka akan banyak mengandung kalsit. Pembentukan dolomit
mempunyai kisaran yang lebar, yaitu mulai dari setelah sedimen terendapkan,
contohnya saat menggantikan kalsit dan presipitasi membentuk semen dolomit, bisa
juga selama proses pengendapan sampai pengendapannya benar-benar selesai dan
biasanya ditunjukkan dengan adanya sementasi sebagai akibat pembebanan (burial).
Dolomit merupakan salah satu bukti dari proses diagenesis pada batuan karbonat.
2.5. Lingkungan Diagenesis Batuan Karbonat
Regime merupakan lokasi, posisi, dan lingkungan atau realm dari proses-proses
diagenesis batuan karbonat. Dari model-model diatas dapat diketahui dari asosiasi batuan
karbonat yang hadir bersama dengan dolomit dan tatanan geologinya, maka batuan karbonat
tersebut dapat digolongkan regimenya (Gambar 2.8).
1. Marine Realm
Marine realm merupakan lingkungan laut dimana sebagian besar sedimen
karbonat ditandai dengan yang paling jenuh terhadap spesies mineral karbonat
(Bathurst, 1975). Lingkungan ini memiliki sedikit potensi untuk pembentukan
porositas sekunder lewat pelarutan, namun untuk lingkungan laut dalam hal ini bias
terjadi karena pengaruh kedalaman.Sementasi tidak terjadi di semua lingkungan laut,
tetapi pada sublingkungan tertentu yang baik, seperti dalam terumbu tepi paparan
dan zona intertidal. Perkembangan porositas sekunder melalui dolomitisasi berkaitan
dengan penguapan air laut ataupun akibat konveksi thermal sehingga air laut meresap
lewat batugamping.

18
2. Meteoric Realm
Meteoric realm adalah lingkungan diagenesis batuan yang dekat dengan
permukaaan sehingga dapat terjadi kontak dengan air meteorik secara langsung
maupun tidak langsung. Lingkungan ini umumnya tidak jenuh dikarenakan terdapat
material karbonat yang kurang stabil seperti aragoni dan kalsit magnesian (Bathurst,
1975; James dan Choquette, 1984). Pada lingkungan ini berpotensi tinggi untuk
perkembangan porositas sekunder dengan pelarutan, dan merusak porositas akibat
sementasi pasif. Peningkatan tingkat perubahan porositas pada lingkungan meteorik
seiring dengan rata-rata laju relative aliran fluida yang melaluo zona freatik dari
system (Hanshaw dkk., 1971; Back dkk., 1979).
3. Subsurface Realm
Subsurface realm merupakan lingkungan yang berada di bawah permukaan dan
ditandai dengan cairan pori yang dapat berupa campuran air meteorik dan laut (Folk,
1974). Interaksi batuan dan air ini luas, umumnya cairan ini dianggap jenuh
sehubungan dengan sebagian besar spesies karbonat yang stabil seperti kalsit dan
dolomit (Choquette dan James, 1987). Namun, di bawah tekanan dan suhu tinggi pada
lingkungan bawah permukaan, pressure solution merupakan proses yang penting dari
perusakan porositas yang sering dibantu oleh presipitasi semen di ruang pori yang
saling berdekatan karena saturasi umum dari cairan pori. Akhirnya, daerah di sekitar
jenuh terkait dengan penurunan panas hidrokarbon dapat mengakibatkan
pembentukan porositas sekunder dengan pelarutan.

Gambar 2.8. Diagram Skematik Lingkungan Diagenesis


(Chorquette dan Pray, 1970)

19
2.6. Fasies Batuan Karbonat
Istilah mikrofasies sendiri pertama kali didefinisikan oleh Brown (1943) dan
kemudian secara mandiri istilah mikrofasies ini dikemukakan kembali oleh Cuvillier
(1952) yang menerangkan bahwa istilah mikrofasies hanya diperuntukan untuk kriteria
pembelajaran pada sayatan tipis (thin-sections) pada petrografi. Studi mikrofasies pada
dasarnya digunakan untuk pemerian pada batuan sedimen berdasarkan pada pengamatan
petrografi (microphoto), tetapi istilah ini lebih banyak digunakan khususnya pada batuan
karbonat, yaitu batugamping dan dolomit untuk menentukan proses diagenesis serta
lingkungan pengendapan.
Studi mikrofasies dianggap sebagai titik berat dan bagian penting dalam analisis dan
interpretasi pada batuan karbonat serta merupakan bagian dari studi sedimentologi dengan
tujuan utamanya adalah untuk mengetahui karakteristik batuan karbonat berupa material
penyusunnya yang berhubungan dengan penamaan genetik dari fasies batuan karbonat
yang sesuai dengan standar jenis mikrofasies (SMF) dan asosiasinya dalam lingkungan
pengendapan (FZ) yang telah dikembangkan oleh Wilson (1975) serta proses diagenesis
yang mempengaruhi batuan karbonat itu sendiri.
Fasies model yang paling sering digunakan oleh para ahli adalah yang mengacu pada
model paparan tertutup (rimmed). Paparan karbonat adalah sistem dinamis yang berubah
melalui ruang dan waktu. Paparan dapat tumbuh ke luar untuk memperluas tepiannya dan
tumbuh ke atas sementara tepinya tetap tidak berubah, atau mundur ke tepi belakang
(Jansa, 1981 dan Blendinger, 1986). Pertumbuhan ini disebabkan oleh proses agradasi atau
progradasi. Kematian berhubungan dengan penurunan dan penghentian produksi karbonat
karena : (1) penenggelaman yang disebabkan oleh kenaikan permukaan laut eustatik yang
cepat atau penurunan tektonik (subsidence), (2) paparan subaerial disebabkan oleh
penurunan muka air laut atau pengangkatan tektonik (uplift), (3) tingginya pasokan
silisiklastik, atau (4) pengaruh dari paleooceanographic yang menyebabkan perubahan
sirkulasi air, suhu dan salinitas.
Variabel utama yang mempengaruhi evolusi paparan adalah tektonik setting dan
subsidence, fluktuasi muka air laut, produktivitas karbonat dan transportasi sedimen, sifat
sedimentasi di tepi paparan, evolusi organisme terumbu sepanjang waktu, dan variasi
dalam proses diagenesis. Pembagian jalur fasies pada paparan karbonat tertutup (rimmed)
pada daerah tropis digunakan oleh Wilson (1975) untuk mendirikan sebuah model standar
dari fasies karbonat yang digambarkan sebagai penampang melintang mulai dari cekungan
sampai pantai (FZ 1 – FZ 10) dan terdiri dari asosiasi fasies berdasarkan zona

20
standar fasies (Gambar 2.9).

Gambar 2.9. Model Paparan Karbonat tertutup ( rimmed) dan Standar Zona Fasies(FZ)
yang telah dimodifikasi oleh Wilson (1975)

2.7. Standard Microfasies Types (SMF)


Fasies batuan karbonat dipelajari pada skala yang berbeda. Hubungan stratigrafi dari
tubuh batuan, struktur sedimen, lithofacies dan biofacies adalah target utama dari studi
singkapan. Di bawah permukaan, tubuh batuan dan satuan fasies dibedakan oleh seismik,
menggunakan karakteristik log dan penyelidikan core dan cutting. Mikrofasies
berdasarkan studi sayatan tipis membagi fasies ke satuan aspek komposisi serupa yang
mencerminkan kontrol lingkungan pengendapan tertentu. Hal ini dapat dilakukan apabila
memenuhi kriteria tekstur, komposisi dan fosil dari batugamping yang sering disebut
sebagai standard microfacies types (SMF).
Standar jenis mikrofasies merupakan kategori virtual yang meringkas mikrofasies
dengan kriteria yang identik. Kriteria ini sederhana, non atau semi-kuantitatif, dan mudah
untuk dikenali. Kebanyakan Jenis SMF didasarkan hanya pada beberapa karakteristik
yang dominan terdiri dari jenis butiran, biota atau tekstur pengendapan. Konsep SMF
muncul dari pengenalan pada kesamaan komposisi dan tekstur dari batugamping yang
memiliki usia berbeda dibentuk pada lingkungan yang sama. Awalnya dikembangkan
untuk mengkategorikan secara umum paparan Trias Akhir dan terumbu karbonat, dan
berdasarkan kombinasi tekstur dan kriteria paleontologi (Flugel, 1982).

21
BAB III
METODE PENELITIAN

Metode penelitian menggambarkan cara atau teknik yang dilakukan dalam


mengumpulkan, menganalisa dan menyelesaikan suatu penelitian. Metode penelitian yang
digunakan dalam pemetaan geologi ini adalah survei pendahuluan, survei lapangan,
analisis dan pengolahan data serta penyusunan laporan seperti yang terangkum dalam
diagram alur penelitian (Gambar 3.1)

Gambar 3.1. Diagram Alur Penelitian

3.1 Studi Pendahaluan


Studi pendahuluan dilakukan untuk mengetahui kondisi daerah penelitian.
Tahapan ini menggunakan pendekatan citra satelit berupa data demnas untuk
menentukkan lokasi yang ideal. Setelah mendapatkan lokasi studi khusus, dilakukan studi
literatur dengan mencari jurnal-jurnal ataupun hasil penelitian-penelitian terdahulu
mengenai pola transgresi dan regresi dengan menggunakan foraminifera bentonik dan
foraminifera besar. Studi literatur dilakukan untuk memberikan gambaran awal atau
hipotesis awal studi khusus daerah penelitian.
3.2 Observasi Lapangan
Observasi Lapangan merupakan tahap yang dilakukan untuk mengetahui kondisi
regional daerah penelitian. Observasi lapangan ini dilakukan untuk membuktikan bahwa
kondisi lapangan yang akan di amati sesuai dengan target lokasi penelitian yang telah
dikaji melalui studi pustaka. Kondisi lapangan yang dimaksud meliputi kondisi geologi,

22
akses jalan menuju lokasi penelitian, tingkat keamanan lingkungan, tersedianya akses
telekomunikasi, dan proses perizinan yang harus dipenuhi sebagai syarat melakukan
penelitian.

3.2.1 Pengumpulan Data Lapangan


Tahapan dari proses pemetaan dengan pengambilan data permukaan dengan
mengumpulkan data primer yang diperoleh pada pengamatan langsung dilapangan
menggunakan skala peta 1 : 10.000. Jalur pengambilan data geologi mengikuti lintasan
yang ada pada peta rencana lintasan dan pengamatan pendahuluan. Adapun data-data
geologi yang dikumpulkan pada tahap penelitian lapangan ini antara lain pengukuran
kedudukan batuan, data stratigrafi yang meliputi karakteristik litologi, struktur sedimen
yang berkembang dan hubungan antar lapisan baik secara vertikal maupun lateral, data
geomorfologi berupa data morfologi perbukitan, sungai dan data lain yang dapat
mendukung dalam pembuatan peta geomorfologi, serta data struktur geologi yang meliputi
data sesar dan kekar.
Data geomorfologi diambil melalui kenampakan-kenampakan jauh dilapangan.
Data seperti pelapukan, tanah longsor dilapangan direkam guna mendukung data
geomorfologi. Selanjutnya pendeskripsian petrologi mencakup warna lapuk, warna segar,
struktur, tekstur, komposisi mineral, reaksi terhadap HCl dan nama batuan. Pengukuran
struktur geologi pada singkapan batuan dengan keterdapatan kekar-kekar yang banyak dan
juga pada singkapan yang memiliki data gores – garis. Pada proses pengukuran data
struktur ini dibutuhkan kompas dan clipboard untuk memudahkan proses perhitungan.
Sedangkan pengambilan data stratigrafi dilakukan dengan pengambilan profil batuan
singkapan batuan sedimen yang memiliki perbedaan litologi dan ukuran butir.
Selanjutnya penyamplingan batuan, dalam hal ini perlu diperhatikan singkapan yang
baik untuk dilakukan sampling.
• Sampling bagian yang masih segar.
• Karena diperlukan untuk mengetahui pola kenaikkan muka air laut, maka sampling
batuan yang bereaksi terhadap HCl.
• Jika ditemukan fosil makro pendukung maka proses penyamplingan diusahakan tidak
merusak bagian dari fosil tersebut.

3.3 Analisis dan Pengolahan Data


Analisis dan pengolahan data merupakan proses pemasukan data primer dan diolah
melalui tahapan kerja studio, lapangan dan laboratorium. Analisis dan pengolahan data
menghasilkan output berupa model geologi (peta, penampang) dan interpretasi sejarah
geologi yang disajikan dalam bentuk laporan. Analisis dan pengolahan data dilakukan
dengan tiga cara, yaitu laboratorium dan kerja studio.

3.3.1 Laboratorium
Analisis laboratorium merupakan kegiatan yang dilakukan untuk menganalisis
conto sampel batuan yang telah diambil berdasarkan jenis analisis yang dibutuhkan.
23
Analisis bertujuan untuk mengetahui komposisi batuan secara lebih detail yang dapat
digunakan dalam interpretasi nama batuan bahkan lingkungan pengendapannya. Conto
batuan yang digunakan diambil langsung dari lokasi penelitian dan sudah disesuaikan
dengan kebutuhan analisis yang akan dilakukan. Beberapa analisis yang digunakan antara
lain analisis paleontologi dan petrografi. Analisis paleontologi dilakukan dengan
menganalisa satuan batuan yang telah dipreparasi guna mengetahui kumpulan
foraminifera penciri lingkungan pengendapan sedangkan analisis petrografi dilakukan
dengan mengamati sayatan tipis di bawah mikroskop.

Gambar 3.2 Proses Preparasi mikrofosil.

Analisis paleontologi ini dilakukan di Laboratorium Paleontologi Program Studi


Teknik Geologi Universitas Sriwijaya menggunakan mikroskop olympus. Selanjutnya
dilanjutkan dengan penganalisaan foraminifera berdasarkan identifikasi mikrofosil yang
telah dilakukan dengan mengacu pada buku acuan Barker (1960) untuk mengetahui
kedalaman lingkungan hidup mikrofosil tersebut.
Analisa petrografi dilakukan di Laboratorium Petrologi Program Studi Teknik
Geologi Universitas Sriwijaya menggunakan mikroskop polarisasi. Analisa petrografi
dilakukan untuk mengidentifikasi foraminifera besar. Foraminifera bentonik besar
memiliki bentuk cangkang yang relatif lebih besar, jumlah kamar yang relatif banyak, dan
juga sturktur dalam yang kompleks. Analisa secara megaskopis dan melalui sayatan adalah
metode paling baik untuk mengidentifikasi foraminifera besar mengacu pada klasifikasi
Van der Vlerk & Umbgrove (1927). Tahap terakhir hasil analisis yakni melihat kumpulan
dari genus ataupun spesies – spesies yang terdapat dari satu strata batuan (tua – muda)
maka dapat ditarik suatu kesimpulan dari keadaan lingkungan yang paling cocok dengan
kemampuan adaptasi dari organisme – organisme tersebut. Kumpulan foraminifera
bentonik ini dapat merepresentasikan ketinggian air laut/batimetrinya, baik menunjukkan
kestabilan, perubahan, maupun fluktuasi dari ketinggian permukaaan air laut saat
berlangsungnya proses sedimentasi.
3.3.2 Kerja Studio
Setelah analisa laboratorium maka selanjutnya adalah kerja studio. Tahapan kerja
studio menyangkut analisa struktur geologi, pembuatan-pembuata peta, penampang dan
24
model melalui beberapa software, seperti: ArcGis, CorelDraw, Global Mapper dan Map
Source. Struktur geologi dianalisa menggunakan aplikasi Dips, dan Visible Geology
Stereonet. Adapun analisa data yang dilakukan adalah :
1. Analisa Data Kekar
Analisa data kekar dilakukan untuk menentukan arah tegasan utama, release joint dan
ekstension joint menggunakan data shear fracture yang dianalisa menggunakan aplikasi
dips dan visible geology streonet.
2. Analisa Sesar menggunakan Data Kekar
Analisa sesar menggunakan menggunakan aplikasi dips dengan cara menginput
data shear fracture, gash dan breksiasi. Penamaan sesar dengan data lapangan berupa shear
fracture, bidang sesar, gores-garis serta zona rekahan. Sehingga didapatkan nilai gaya
utama pembentuk sesar tersebut dan dapat ditentukan jenis sesarnya berdasarkan
klasifikasi Fossen, 2010 (Gambar 3.4).

Gambar 3.4 Klasifikasi sesar berdasarkan dip sesar dan rakenya menurut Fossen (2010)

Setelah analisa struktur geologi maka kerja studio selanjutnya adalah pembuatan
peta-peta. Daerah penelitian memiliki luasan 25 km2 dengan ukuran ( 5 x 5 km) dengan
skala 1:10.000. Adapun peta yang dibuat adalah :
1. Peta Lintasan
Pembuatan peta lintasan dilakukan dengan menggabungkan lintasan pemetaan
geologi dan lintasan pengumpulan data studi khusus. Peta lintasan dibuat dengan
memploting lokasi pengamatan (LP) yang dihimpun selama dilapangan pada peta dasar.

2. Peta Geomorfologi
Peta Geomorfologi dianalisa melalui peta kemiringan lereng, elevasi morfologi
dan pola pengaliran. Peta kemiringan lereng dan elevasi morfologi diinterpretasikan
25
menggunakan klasifikasi Widyatmanti (2016) dengan pembagian kelas kelerengan pada
Tabel 3.1. Sedangkan peta pola pengaliran diinterpretasikan menggunakan klasifikasi
Twidale (2004). Pembuatan peta geomorfologi menggunakan Peta Dasar dengan aplikasi
ArcGis. Penarikan satuan bentuk lahan atau geomorfologi didasarkan pada klasifikasi
Hugget (2007) dan Widyaatmanti (2016).
Tabel 3.1. Klasifikasi Widyatmanti (2016) untuk kelerengan dan elevasi morfologi.

3. Peta Geologi
Pembuatan Peta Geologi menggunakan peta dasar berdasarkan satuan-satuan
batuan yang didapatkan dilapangan. Setelah dikelompokkan menjadi beberapa satuan
batuan, kemudian dilakukan penarikan batas formasi batuan berdasarkan persebaran
batuan melalui peta lintasan. Pembuatan peta ini dilakukan pada software CorelDraw.

4. Peta Penampang
Pembuatan penampang dilakukan untuk mengetahui proses-proses pembentukan atau
genesa satuan batuan yang terbentuk. Penampang ini dibuat berdasarkan persebaran
satuan batuan dan struktur geologi yang terdapat pada lokasi penelitian. Keduanya
merupakan poin penting dalam pembuatan penampang geologi guna memperlihatkan
kenampakan tebal dari masing-masing satuan batuan dan memperlihatkan struktur geologi
serta kedudukan satuan batuan yang diaplikasikan kedalam sayatan dengan penggambaran
menggunakan skala peta.

5. Model
Pembuatan model yang dilakukan terdiri dari model stratigrafi, model struktur geologi
dan model sejarah geologi daerah penelitian. Model Stratigrafi berupa pembuatan penampang
profil singkapan yang bertujuan untuk mempermudah pembaca dalam memahami kondisi
singkapan. Pembuatan model stratigrafi ini diawali dengan memasukkan data singkapan
kedalam aplikasi Sedlog, selanjutnya menggunakan aplikasi CorelDRAW untuk
meningkatkan aspek estetika dalam pembuatan penampang profil singkapan. Kemudian
pembuatan model struktur geologi berupa analisis kinematika untuk mengetahui pergerakan
sesar dan analisis dinamika untuk mengetahui gaya-gaya yang berpengaruh dalam
pembentukan sesar.

26
3.4 Penyusunan Laporan
Tahap terakhir dari rangkaian penelitian adalah penyusunan laporan. Laporan
merupakan output yang membahas secara keseluruhan dari hasil penelitian yang
selanjutnya dapat digunakan untuk mengintepretasikan sejarah yang terjadi pada daerah
penelitian. Pembahasan dari laporan meliputi aspek geomorfologi, stratigrafi, dan struktur
geologi. Tahapan terakhir dalam penyusunan laporan ini adalah penarikan kesimpulan.
Laporan berisi lampiran-lampiran analisis data yaitu berupa peta-peta dan penampang,
tabulasi data lapangan, analisis petrografi dan paleontologi. Pembahasan dan pengkajian
aspek-aspek geologi disajikan secara sistematik dan bersifat ilmiah sehingga dapat
dipahami dan diterima dengan baik.

27
BAB IV
RENCANA PEMBIAYAAN

Penelitian ini meliputi jangka waktu dan proses pengerjaan yang panjang. Proses
penelitian mencakup penelitian dilapangan yaitu untuk menghimpun data-data primer dan
pengolahan dan interpretasi data dilaboratorium. Dalam kedua proses ini diperlukan biaya
yang riil sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan lancar. Oleh sebab itu dilakukan
perencanaan dana yang dibutuhkan selama melangsungkan penelitian (Tabel 4.1).
Tabel 4.1. Rancangan Biaya Penelitian
Deskripsi Jumlah Satuan Harga Per-Satuan Total (Rp)
A. Transportasi
1 Pergi-Pulang 2 Tiket/Hari Rp 250.000,00 Rp 500.000,00
Sub-Total (A) Rp 500.000,00
B. Analisis
1 Petrografi 15 Sampel Rp 50.000,00 Rp 750.000,00
Sub-Total (B) Rp 750.000,00
C. Perlengkapan
1 Persiapan Peta 1 Print Rp 100.000,00 Rp 100.000,00
2 Obat-obatan 1 Pack Rp 100.000,00 Rp 100.000,00
3 Sewa Motor 1 Buah/hari Rp 50.000,00 Rp 1.000.000,00
Sub-Total (C) Rp 1.200.000,00
D. Akomodasi
1 Penginapan 25 Hari Rp 25.000,00 Rp 625.000,00
2 Konsumsi 3x25 hari OH Rp 50.000,00 Rp 3.750.000,00
Sub-Total (D) Rp 4.375.000,00
TOTAL Rp 6.825.000,00

28
DAFTAR PUSTAKA

Adiwijadjaja, P. and De Coster, G.L. (1973). Pre-Tertiary Paleontopography and Related


Sedimentation in South Sumatra. Proceedings of the 22nd Annual Convention,
(hal. Vol.2, p.89-104). Jakarta.
Barber, A. C. (2005). Sumatra: Geology, Resources and Tectonic Evolution. London:
Geological Society Memoir, 282 pp.
Barker, R. W. (1960). Taxonomic Notes. Society of Economic Paleontologist and
Mineralogist, Oklahoma, United States of America.
Bishop, M. G. (2001). South Sumatra Basin Province, Indonesia: the Lahat/Talang
AkarCenozoic Total Petroleum System. Denver, Colorado: U.S. Geological Survey.
De Coster, G. (1974). The Geology of Central and South Sumatra Basin. Proceeding
Indonesia Petroleum Association Vol.143, p.77-110
Gafoer, A. T. (1993). Peta Geologi Lembar Baturaja, Sumatra. Bandung: Pusat Penelitian
dan Pengembangan.
Ginger, D., & Fielding, K. (2005). Petroleum System and Future Potential of South
Sumatra Basin. Proccedings 30th Annual Convention Indonesian Petroleum
Association. Jakarta.
Hall, R. (2010). Sundaland and Wallacea: geology, plate tectonics and palaeogeography.
United Kingdom: Cambridge University Press.
Pulonggono and Cameron. (1984). Sumatran Microplate. Their Characteristic and Their
Rock in The Evolution of Central South Sumatra Basin. Proccedings 13tn Annual
Convention Indonesian Petroleum Assosiation: Jakarta.
Tucker, M., & Wright, P. (1990). Carbonate Sedimentology. Blackwell Science Ltd
Van Bemmelen, R. (1949). The Geology of Indonesia. Netherlands : Government Printing
Office, 732 pp.

29

Anda mungkin juga menyukai