Pesan Cerpen Kisah Hidup
Pesan Cerpen Kisah Hidup
Pesan Cerpen Kisah Hidup
Atap yang begitu putih, membuat ku teringat dengan dia, bagaimana aku bisa bertemu
dengan dia yang sudah tiada. Rasanya aku tidak bisa bernafas, setiap ku mengingat
kebersamaan dengannya.
“nanda, nanda kamu sudah sadar.” ucap ibu tiri ku dengan wajah panik dan bergegas mencari
dokter di rumah sakit nanda di rawat.
“nanda, kalo kamu dengar ucapan saya coba anggukan kepala kamu.” sambil melepaskan alat
penafasan.
Akupun menganggukan kepala, melihat kaki yang dibalut oleh perban, tak sengaja aku
mencuri pembicaraan antara dokter dan ibu tiriku, yang ku dengar kaki kananku patah akan
sembuh total selama enam bulan lagi dan menyuruh ku di bawa ke psikolog.
“nah, nanda kamu jangan banyak bergerak dan tidur saja.”
Tanpa mendengar perintah dokterpun aku akan tidur dan melupakan semuanya, ketika aku
dan dia bertemu. Saat itu sore yang sedikit cerah memungkinkan ku untuk kabur dari rumah,
dengan menggunakan tas ransel besar dan jaket tebal lalu kupluk untuk menutupi kepaku.
Ayah ku menikah lagi dengan wanita yang sama-sama di tinggal oleh pasangannya. Ibuku
meninggal saat melahirkanku, melihat sosok ibu aku tidak tau, aku kabur dari rumah karna
aku tidak butuh ibu, mungkin aku cemburu. Apalagi wanita itu mempunyai anak laki-laki
berumur 7 tahun. Membuat ayahku semakin senang. Sepucuk surat ku letakan di kamar yang
berisi “aku pergi dan jangan menghawatirkan ku lagi, semoga kalian bahagia, NANDA.”
Saat itu aku ingin semua itu berhasil dan sesuai rencana ku , mereka akan khawatir dan
mencariku, entah mengapa pikiran ku saat itu kekanak-kanakan. Aku hanya ingin mereka
melihatku. Semua berubah saat aku berhenti di sebuah rel kereta api. Di situ aku berfikir, aku
akan kabur kemana? Dan bila tersesat bagaimana?. Jujur aku tidak mempunyai teman di
sekolah, ini karna sifat pendiamku. Aku tidak pintar beriteraksi dengan orang lain. Yang ku
bisa saat itu hanya duduk dan duduk di kursi tunggu kereta api. Entah mengapa aku mulai
merasa curiga saat ada seorang anak laki-laki duduk di sebelahku dengan memakai topi dan
tas ransel dia duduk dan melihati ku. Sedikit melirik, aku melihat dia, anak laki-laki yang ku
rasa seumur dengan ku. Ku rasa dia bukan orang jahat, itu terlihat dari style dan jam tangan
yang dia kenakan , bermerek mahal. Di kursi itu dia mulai mengeluarkan suaranya.
“kamu kabur dari rumah juga ??” Tanya dia sambil tersenyum
“bukan urusan kamu.” Ku jawab dengan nada datar dan dingin.
“oh !”
Tiba-tiba saja dia berdiri dan menarik tanganku, aku yang saat itu duduk terkejut dan berdiri,
wajahnya tepat di depan wajahku. Mata yang coklat, wajah yang putih, bibir yang merah dan
dari tubuhnya tercium bau yang hangat. Membuatku tidak dapat bergerak, namun aku
mengelak. Dengan ransel yang ku pegang aku pergi meninggalkan dia. Di stasiun dia terus
mengikuti ku, walau sudah ku peringatkan di tetap tersenyum dan mengikuti ku , akhirnya
aku menyerah dan berhenti.
“kenapa sih kamu ngikutin mulu? mau kamu apa sih?” Tanya ku
“kabur bareng.” jawabnya sambil tersenyum ringan.
Dengan suara kereta yang sangat bising, suaranya sedikit tersamar namun masih terdengar
oleh telingaku, aku hanya terdiam dan berfikir, aku dan dia sama-sama kabur, dan apakah aku
mempunyai tujuan untuk kabur, mungkin diapun sama, tidak punya tujuan. Aku menyerah
dan kita kabur bersama. Dan aku bertanya siapa namanya.
“nama kamu siapa.”
“aku andre.”
“aku nanda.”
***
Selama perjalanan dia tidak berhenti mengoceh, namun tak kudengar, hanya sedikit ku
dengar, seperti dia takut dengan monyet, dia mengaku dia pernah di culik oleh monyet karna
dia merebut pisang dari monyet tersebut, aku tidak percaya saat itu, karna yang kupikirkan
dia pasti inggin melihat ku tertawa, namun aku tidak bisa karna ku tak terbiasa.
“kita bakalan nginep dimana?”
“aku tau tempat bagus untuk nginep.” jawab dia sambil memegang tanganku.
Sempat ku berfikir dia akan membawaku kesebuah tempat penginapan, namun dia
membawaku kesebuah taman dan berkata “disana ada kursi kamu tidur di situ aja, aku di atas
rumput di selimuti oleh bintang.”
“…….” Aku hanya bisa terdiam, dan mengikuti keinginannya.
Pagi harinya dia bangun dengan bugar. Betapa beratnya bila kita kabur namun tak ada tujuan.
Akupun terbangun dari kursi dan tak sengaja menginjak kakinya yang sedang santai sambil
menghembuskan nafas.
Di perjalanan dia menceritakan tempat tujuannya untuk kabur, yaitu sebuah rumah yang
sudah lama tidak di tempati, itu adalah rumahnya namun sudah kosong. Dan akhirnya sampai
di tempat tujuan. Rumah yang lumayan besar. Ada sebuah jendela besar di balik rumah
tersebut dan kitapun masuk. Entah mengapa saat masuk aku melihat rumah itu seperti bukan
rumah yang di tinggalkan oleh penghuninya, sangat bersih. Dia mulai duduk dan
melemparkan tasnya lalu membuka topinya. Karna sinar matahari dari kaca, wajahnya
terlihat sangat jelas saat itu. Di rumah itu dia melakukan aktifitas sesuai keinginannya,
minum, membuat makanan, anehnya dari kulkas ada banyak perlengkapan makanan yang
belum basi. Di sebuah meja makan aku bertanya kepadanya.
***
Hari-hari ku lewati dengannya, aku lupa bahwa aku punya keluarga dan aku merasa nyaman
saat dengannya, sedikit demi sedikit aku bisa terseyum karna banyolannya. Hingga di suatu
malam aku memberanikan untuk menanyakan identitasnya. Ternyata dia masih sekolah. Dan
satu yang membuatku penasaran. Kenapa dia kabur.
“trus kenapa kamu kabur,kalo aku sih karna ibu tiri ku.” tanyaku sambil melihat bintang.
“karna ingin melihat bintang, matahari, dan semua yang kadang-kadang ku lihat.”
Saat aku mendengarnya entah mengapa dia seperti burung dalam sangkar. Dari matanya aku
melihat sebuah penantian.
“jawabanya gak etis.”sambil tersenyum dan menatap wajahnya
“kenapa, apa keluargamu kacau, apa kau tak suka dengan ibu tirimu, apa karma kamu di
perlakukan kaya upik abu?”
“gak , hanya aku merasa tak bisa dekat dengan orang yang baru ku kenal.”
“lalu, kenapa dengan ku kamu langsung dekat, cobalah tersenyum untuk seseorang yang
sebenarnya kamu saying.”
Dan malam itu mulai membuatku ingin menutupkan mata namun saat mulai sedikit
menutupkan mata dia mengucapkan sesuatu.
“aku akan pergi jauh.”
Namun aku sudah tertidur dan tidak ku hiraukan. Hingga suatu hari saat itu hujan sangat
deras, ku melihat dia memandangi jendela, sambil meminum secangkir teh hangat dengan
sweeter yang tebal tercium bau yang hangat di campur bau hujan. Dia pun melihatku yang
turun dari tangga dan memberikan sebuah senyuman kepadaku dan aku bisa membalas
senyumannya. Namun saat langkahku hampir berada dekat dengannya tiba-tiba saja dia
memegang dadanya, dan menjatuhkan cangkir teh, aku pikir dia melakukan sebuah lelucon
lagi, namun tidak. Dia mengeluarkan mata dan mengaung kesakitan. Aku yang panik tidak
tau harus berbuat apa, saat itu aku mencari telepon genggamnya dan di daftar telepon tertulis
jelas HOME. Akupun mulai menelepon dan di angkat oleh ibunya. Suaranya semakin keras,
dia mengeluh kesakitan. Karna panik aku menelepon ayahku. Saat itu aku sangat ketakutan,
ambulan mulai datang dan membawa andre ke rumah sakit, di dalam ambulan aku melihat
ibunya menangis sambil memegang tanganya. Ayahnya terus menerus menenangkan sang
ibu, telepon dari ayah berdering, dan aku mengirimkan sebuah pesan singkat bahwa aku akan
pergi kerumah sakit. Aku hanya bisa melihatnya dan tidak ingin menangis seolah-olah dia
akan pergi selamanya. Sesampainya di rumah sakit, dokter dan suster mulai sibuk membawa
andre ke ruang UGD, dengan jaket tipis dan basah aku hanya diam di luar rumah sakit hingga
dari kejauhan aku melihat ibu tiriku mengahampiri dan memelukku. Dengan badan yang
lemas aku berfikir kenapa bukan ayah yang datang.
***
Perasaan takut kehilangan dirinya mulai datang dalam hati ku, ketika aku datang untuk
menjengungnya dan aku mulai memberanikan diri untuk bertanya kepada ibunya , ada apa
sebenarnya dengan andre. Dia pergi dari rumah dan meminta izin untuk mengahabiskan
waktunya, beda dari perkataanya, dia bilang dia juga kabur dari rumah. Dan hal yang sangat
membuatku syok, dia sakit parah yaitu kanker hati dan hidupnya memang tidak lama lagi. Itu
bohongkan. Aku tidak menginginkan kenyataan ini, namun itu memang nyata. Dan dia dalam
keadaan koma saat ini. Sehabis pulang sekolah aku berniat untuk kembali melihat kondisinya,
di lorong rumah sakit, dari kejauhan terlihat ibu andre menangis keras sekali. Ayahnya hanya
memeluk dan menahan tangisannya si balik kaca matanya. Dan mereka masuk ke tempat
andre di rawat. Perasaanku tidak enak, aku berlari menuju mereka, dan menerima kenyataan.
Andre sudah tiada. Apa artinya ini. Kenapa saatku merasakan kehadiran seorang yang berarti
dia pergi dengan cepat. Pikiranku melayang. Yang ku pikirkan, bagamana cara ku
menemuinya lagi. Dan aku melangkah sedikit demi sedikit sampai terhenti di depan tangga
menuju atap rumah sakit. Langkah ku menuju tangga tak terhenti hingga sampai menuju atap.
Langit saat itu cerah. Angin yang kencan mengibaskan pipiku. Seolah-olah mengusap air
mataku.
“dimana andre, apa andre ada di langit, di surga, aku ingin menemuinya.”ucapku saat
pikiranku melayang.
Aku pun berdiri di ujung atap. Betapa tingginya keberadaanku sekarang. Rasanya aku ingin
loncat dan berada di tempat yang lebih tinggi. Tempat andre berada. Dan akupun lompat.
Saat tersadar aku merasa mati rasa. Kaki dan tanganku di perban.
***
Pagi itu ayah dan ibu tiriku terus saja mengatakan bahwa aku akan sembuh. Lalu meminta
maaf. Aku hanya bisa diam. Karna sebenarnya aku pun merasa bersalah. Aku merasa sudah
melukai perasaan mereka. Pikiranku berkata maaf. Namun mulutku sulit mengucapkannya.
Sedikit keberanian dan suara yang belum ku keluarkan. Aku berkata “maaf” dan respon
mereka sangat luar biasa. Hari-hari ku sudah mulai membaik. Aku mencoba tersenyum untuk
mengobati perasaan kehilangan ku. Pintu terbuka dan ada seorang wanita masuk dari balik
pintu itu, dia ibu andre. Langkahnya mulai menghampiriku yang terbaring lemah. Dia
menannyakan keadaanku. Dan bagaimana pertemuanku dengan andre, anaknya? Semua ku
jawab. Dan dia menceritakan semua tentang andre. Andre yang tegar. Andre yang kuat. Dan
andre yang sangat menyayangi keluarganya. Andre adalah kebalikan denganku. Dan ibu
andre memberikan ku sebuah surat. Surat dari andre sebelum dia pergi untuk selamanya. Ibu
andre pergi saat menyerahkan surat ini.
“Dear nanda, mungkin bila kamu membaca surat ini aku sudah tiada. Tuhan sudah
memberikan ku banyak kebahagiaan dan kebahagiaan trakhir untuk hidupku adalah bertemu
dengan mu, ini adalah salam trakhirku. Jadilah nanda yang tegar, nanda yang selalu
tersenyum kepada semua orang. Karma nanda lebih cantik tersenyum dari pada menangis.
Saat kau membaca surat ini pasti kau menangis. Maaf sudah membuatmu menangis. Tapi
berjanjilah, ini adalah tangisan trakhir nanda. Pesan terakhir andre prawijaya muftian.”
Aku menangis saat membaca surat itu. Aku akan menjadi nanda yang tegar. Nanda yang
selalu tersenyum. Dan nanda yang tak akan mengangis lagi saat membaca surat ini. Ini
janjiku.