Kematian Mudigah

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Istilah abortus dipakai untuk menunjukkan pengeluaran hasil
konsepsi sebelum janin dapat hidup diluar kandungan. Abortus adalah
berakhirnya kehamilan sebelum viabel, disertai atau tanpa pengeluaran
hasil konsepsi. Menurut WHO, abortus didefinisikan sebagai
penghentian kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar kandungan,
pada usia kehamilan <20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram
(Cunningham, et al., 2010). Abortus menurut kejadiannya dapat dibagi
atas abortus spontan dan abortus provokatus (Abdul, et al., 2009), dan
dalam perjalanan klinisnya abortus spontan dapat diklasifikasikan
menjadi abortus imminens, abortus insipiens, abortus inkomplit, abortus
komplit, missed abortion, abortus habitualis dan abortus septik
(DeCherney, et al., 2007).
Abortus adalah komplikasi yang umum dari kehamilan dimana
sekitar 15% hingga 25% wanita beresiko mengalami abortus (Porter, et
al., 2008) (Graziosi, et al., 2004). Dengan mempergunakan pemeriksaan
human chorionic gonadotropin (hCG) untuk mendeteksi abortus
subklinis, persentasenya meningkat menjadi 31% (Griebel, et al., 2005).
Sekitar 80% abortus spontan terjadi pada trimester pertama, insidennya
menurun seiring dengan bertambahnya umur kehamilan. Pada wanita
yang pernah mengalami abortus sebelumnya sebanyak satu kali, angka
abortus spontan pada kehamilan berikutnya adalah sebesar 20%, pada
wanita yang mengalami abortus tiga kali berturut-turut, angkanya
menjadi 50%. Penyebab dari keadaan tersebut bervariasi dan sebagian
besar tidak diketahui (Stovall, 2007).
Sejak tahun 1930, abortus inkomplit ditatalaksana dengan evakuasi
secara surgikal (kuretase). Metode ini memiliki angka keberhasilan rata-
rata mencapai ≥95% (Saxena, et al., 2004). Namun metode ini

1
berhubungan dengan resiko yang dapat timbul akibat anestesi/sedasi
dan tindakan pembedahan seperti infeksi, trauma serviks, perforasi
uterus dan adhesi intrauterin (Ngai, et al., 2001) (Saxena, et al., 2004).
Sekitar 4-10% wanita mengalami infeksi dan hal ini menjadi predisposisi
untuk terjadinya infertilitas sekunder, nyeri pelvis, dan peningkatan resiko
kejadian kehamilan ektopik (Bagratee, et al., 2004). Selain itu, meskipun
terbukti efektif, metode ini memerlukan ahli bedah yang terlatih dan pusat
kesehatan yang memiliki ruang dan peralatan yang diperlukan serta
membutuhkan biaya perawatan di rumah sakit yang cukup besar yang
mana akan menjadi beban dari provider yang menjadi tempat rujukan
untuk menangani kasus ini (Ngoc, et al., 2013).
Terapi alternatif dari tindakan kuretase dalam tata laksana abortus
inkomplit adalah terapi secara medikamentosa (Demetroulis, et al.,
2001). Dalam beberapa dekade terakhir, tatalaksana dengan evakuasi
secara medikamentosa telah menjadi alternatif yang sangat beralasan
pada kejadian abortus inkomplit (Pang, et al., 2001). Berdasarkan
penatalaksanaan secara medikamentosa pada beberapa tempat di
dunia, pengobatan dengan misoprostol, sebagai alternatif untuk
kuretase, dapat menyebabkan ekspulsi sebesar 50-99 % pada wanita
dengan kegagalan kehamilan usia dini hingga minggu ke-14 (Graziosi,
et al., 2004).
Misoprostol merupakan analog prostaglandin E1 sintetik yang
dipasarkan dalam dua bentuk sediaan yaitu tablet 100 μg dan 200 μg.
Pada organ reproduksi wanita, prostaglandin E1 merangsang kontraksi
uterus. Sensitivitas uterus meningkat dengan bertambahnya usia
kehamilan. Pada serviks, misoprostol menyebabkan peningkatan
aktivitas kolagenase dan mengubah komposisi proteoglikan sehingga
menyebabkan pelembutan dan penipisan serviks (Madjid, et al., 2008).
Pemberian misoprostol dapat melalui berbagai rute seperti per oral,
sublingual, per vaginal dan per rektal, namun kadar misoprostol dalam
darah tertinggi ditemui dengan penggunaan secara sublingual (Tang, et
al., 2007). Penggunaan misoprostol telah disarankan untuk menjadi

2
terapi lini pertama dalam tata laksana abortus karena selain mengurangi
kemungkinan intervensi secara surgikal, jikalau tetap diperlukan,
misoprostol mengurangi morbiditas dari tindakan evakuasi secara
surgikal dengan cara melunakkan dan membuka serviks sebelumnya
(Pang, et al., 2001).

Belakangan ini, pemberian misoprostol melalui sublingual untuk


merangsang terjadinya abortus ataupun pematangan servik telah banyak
diteliti. Tablet misoprostol sangat mudah larut dan dapat hancur setelah
20 menit pemberian. Beberapa penelitian farmakokinetik
membandingkan pemberian secara oral, vagina ataupun sublingual.
Didapatkan bahwa pemberian secara sublingual memiliki durasi waktu
yang paling cepat untuk mencapai kadar puncak, serta memiliki kadar
puncak yang paling tinggi. Kadar puncak tercapai dalam 30 menit (sama
seperti pada pemberian oral). Pada pemberian 400µg misoprostol, kadar
puncak pada pemberian secara sublingual lebih tinggi daripada secara
oral ataupun vagina. Hal ini diakibatkan absorpsi yang cepat dan tidak
terjadinya first pass metabolism effect di hati (Tang, et al., 2002).

Pada banyak penelitian, penggunaan misoprostol dalam tata


laksana abortus inkomplit telah terbukti memiliki angka kesuksesan yang
tinggi terutama bila digunakan pada usia kehamilan <12 minggu dan
menurun tingkat keberhasilannya bila usia kehamilan >12 minggu,
namun tidak didapatkan kepastian bahwa pada usia kehamilan yang
lebih besar akan didapatkan sisa konsepsi yang lebih besar pula dan
sebaliknya.
Dari data yang penulis himpun, belum ada penelitian mengenai
keberhasilan penggunaan misoprostol dalam tata laksana abortus
inkomplit bila ditinjau dari ukuran sisa konsepsi pada temuan
ultrasonografi secara transvaginal, tanpa memandang usia kehamilan
(selama itu masih dibawah usia kehamilan 20 minggu sesuai definisi
abortus menurut Cunningham tahun 2014). Pada kasus abortus
inkomplit, usia kehamilan baru dapat diketahui dengan lebih pasti jika

3
pasien memiliki riwayat menstruasi yang teratur dan dapat pula
mengingat dengan tepat hari pertama haid terakhirnya. Sedangkan
wanita yang mengalami abortus inkomplit belum tentu memiliki riwayat
menstruasi yang teratur dan mengingat jelas HPHT-nya. Sehingga,
perlu diketahui lebih lanjut efektivitas dari penggunaan misoprostol pada
berbagai ketebalan sisa konsepsi agar dapat menjadi pertimbangan
dalam penggunaan misoprostol dalam tatalaksana abortus inkomplit
pada keadaan yang tepat untuk memberikan hasil yang maksimal.
Berdasarkan hal tersebut maka penulis berkeinginan untuk
melakukan penelitian di RSUP Dr. M. Djamil Padang dan RS jejaring
mengenai keberhasilan penggunaan misoprostol dalam tata laksana
abortus inkomplit bila ditinjau dari berbagai ukuran sisa konsepsi pada
temuan ultrasonografi secara transvaginal pada usia kehamilan <20
minggu.

B. Rumusan Masalah

Apakah terdapat perbedaan efikasi penggunaan misoprostol sublingual


terhadap luaran dalam tata laksana abortus inkomplit pada ketebalan
sisa konsepsi ≤ 20 dan >20 mm?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan Umum:

Mengetahui perbedaan efikasi penggunaan misoprostol sublingual


terhadap luaran dalam tata laksana abortus inkomplit pada ketebalan
sisa konsepsi ≤ 20 dan >20 mm.

Tujuan khusus:

1. Mengetahui efikasi penggunaan misoprostol sublingual terhadap


luaran dalam tata laksana abortus inkomplit pada ketebalan sisa
konsepsi ≤20 mm.

4
2. Mengetahui efikasi penggunaan misoprostol sublingual terhadap
luaran dalam tata laksana abortus inkomplit pada ketebalan sisa
konsepsi > 20 mm.
3. Mengetahui perbedaan efikasi penggunaan misoprostol sublingual
terhadap luaran dalam tata laksana abortus inkomplit pada ketebalan
sisa konsepsi ≤ 20 dan >20 mm.

D. Manfaat Penelitian
1. Untuk pelayanan.
Meningkatkan pelayanan di RSUP. Dr. M. Djamil Padang
sebagai rumah sakit pendidikan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
digunakan sebagai pertimbangan dalam memilih metode tata laksana
abortus inkomplit.

2. Untuk keilmuan.
Menambah khasanah pengetahuan tentang luaran dari
penggunaan misoprostol sublingual dalam tata laksana abortus
inkomplit pada berbagai ketebalan sisa konsepsi berdasarkan temuan
USG transvaginal.

3. Untuk penelitian.
Diharapkan penelitian ini dapat merangsang penelitian selanjutnya
berupa penelitian tentang luaran/keberhasilan penggunaan
misoprostol pada berbagai kondisi lainnya.

E. Kerangka Pemikiran

Pada abortus inkomplit, hasil konsepsi telah keluar sebagian dari


cavum uterus (DeCherney, et al., 2007). Perdarahan terjadi jika plasenta,
secara keseluruhan atau sebagian, terlepas dari uterus. Pada abortus
inkomplit, ostium internum serviks membuka dan menjadi tempat
lewatnya darah. Janin dan plasenta mungkin seluruhnya tetap berada in
utero atau mungkin sebagian keluar rnelalui ostium yang terbuka.
Sebelum 10 minggu, janin dan plasenta sering dikeIuarkan bersama-

5
sama, terapi jika setelah usia 10 minggu kehamilan biasanya dilahirkan
secara terpisah. Pada banyak kasus, jaringan plasenta yang tertahan
menggantung bebas di kanalis servikalis, memungkinkan ekstraksi
dengan mudah dari ostium eksternum yang terpajan dengan cunam
abortus. Kurerase hisap (vakum kuretase) juga efektif mengosongkan
uterus.
Sejak tahun 1930, abortus inkomplit ditatalaksana dengan evakuasi
secara surgikal (kuretase). Metode ini memiliki angka keberhasilan rata-
rata mencapai ≥95% (Saxena, et al., 2004). Terapi alternatif dari tindakan
kuretase dalam tata laksana abortus inkomplit adalah terapi secara
medikamentosa (Demetroulis, et al., 2001). Dalam beberapa dekade
terakhir, tatalaksana dengan evakuasi secara medikamentosa telah
menjadi alternatif yang sangat beralasan pada kejadian abortus
inkomplit (Pang, et al., 2001).
Saat ini terdapat beberapa penelitian yang mempelajari mengenai
penggunaan misoprostol dalam tata laksana abortus inkomplit. Menurut
penelitian Ngoc dkk pada tahun 2013, mereka menggunakan misoprostol
400 mcg secara sublingual sebagai terapi lini pertama abortus inkomplit
pada 3 rumah sakit di Vietnam. Abortus inkomplit didefinisikan sebagai
kehamilan dengan adanya perdarahan pervaginam dengan adanya
dilatasi serviks. Selain itu digunakan pemeriksaan USG dimana
didapatkan ketebalan endometrium yang melebihi 8 mm dengan disertai
adanya substransi debris di dalam uterus. Adapun syarat bagi pasien
untuk mendapat terapi adalah besar uterus tidak melebihi 12 minggu usia
kehamilan, tidak ada tanda-tanda infeksi, tidak ada gangguan
hemodinamik serta tidak terdapat kontraindikasi pemberian misoprostol.
Partisipan diberikan 400mcg misoprostol secara sublingual dan diminta
untuk kembali 1 minggu kemudian. Dari 302 partisipan, 96,3%
mengalami abortus komplit setelah diidentifikasi secara klinis dan
dengan pemeriksaan ultrasonografi. Sebanyak 84,3% pasien
menyatakan puas dengan metode pengobatan ini (Ngoc, et al., 2013).

6
Pada penelitian Adisso dkk pada tahun 2014, dilakukan penelitian
prospektif selama 5 tahun (Januari 2008 – Desember 2012) pada Rumah
Sakit Bersalin di Cotonou, Benin. Didapatkan sebanyak 3139 wanita
mengalami abortus inkomplit namun hanya 537 yang memenuhi kriteria
diberikan misoprostol. Pada penelitian ini tidak dibatasi abortus dengan
usia kehamilan <12 minggu, namun hingga usia kehamilan 18 minggu
(abortus trimester 2). Definisi abortus inkomplit yang digunakan adalah
berdasarkan temuan klinis dan USG. Kriteria pemeriksaan USG adalah
bila didapatkan ketebalan endometrium yang melebihi 20 mm dengan
disertai adanya substransi debris di dalam uterus. Pasien diberikan
misoprostol 800 μg sublingual lalu dievaluasi 3 hari kemudian secara
klinis dan 15 hari kemudian untuk menjalani validasi dengan USG. Bila
setelah 3 hari pasien masih mengalami gejala abortus inkomplit maka
dapat ditawarkan untuk mendapat pengulangan dosis misoprostol atau
mendapat MVA lalu dievaluasi pada hari ke 15. Jika setelah 15 hari
masih didapatkan sisa konsepsi maka dilakukan MVA. Dari penelitian ini
didapatkan tingkat keberhasilan abortus komplit dengan misoprostol
pada kelompok usia kehamilan <12 minggu adalah sebanyak 99,1%,
pada kelompok usia kehamilan 13-14 minggu adalah sebanyak 25,7%,
dan pada kelompok usia kehamilan 15-18 minggu adalah sebanyak
27,9% (Adisso, et al., 2014).

Sedangkan pada penelitian Zhang dkk pada tahun 2005, dilakukan


penelitian acak luas pada 652 wanita dengan kegagalan kehamilan
trimester pertama (kehamilan anembrionik atau kematian mudigah atau
abortus insipien atau inkomplit) yang secara acak mendapat 800μg
misoprostol vagina atau dilakukan aspirasi vakum dengan perbandingan
3:1. Pada kelompok misoprostol, terapi diberikan pada hari pertama, hari
ke-3 jika ekspulsi inkomplit dan jika ekspulsi masih inkomplit maka
dilakukan aspirasi vakum pada hari ke-8. Untuk kasus abortus inkomplit,
definisi yang digunakan adalah adanya perdarahan atau keluar jaringan
pervaginam dengan adanya dilatasi serviks pada wanita yang hamil <13
minggu. Pada pemeriksaan USG didapatkan ketebalan endometrium

7
yang melebihi 30 mm. Setelah pemberian terapi misoprostol, didapatkan
angka kesuksesan pada kelompok abortus inkomplit adalah sebesar
93% (Zhang, et al., 2005).
Pada banyak penelitian-penelitian mengenai keberhasilan
penggunaan misoprostol dalam tata laksana abortus inkomplit termasuk
penelitian yang disampaikan diatas masih didapatkan perbedaan angka
keberhasilan baik pada kelompok abortus inkomplit dengan usia
kehamilan <12 minggu dan kelompok abortus inkomplit dengan usia
kehamilan >12 minggu dengan berbagai ketebalan sisa konsepsi.

F. Hipotesis

Terdapat perbedaan efikasi penggunaan misoprostol sublingual


terhadap luaran dalam tata laksana abortus inkomplit pada ketebalan
sisa konsepsi ≤ 20 dan >20 mm.

Anda mungkin juga menyukai