Tesis Soteriologi Kristiani

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 10

Florian Indra Kusuma Irawan

176114026

PAPER UTS

TESIS :
Allah, dengan Firman dan Roh, menciptakan dunia, dan menyelenggarakan dan
menyelamatkannya melalui sejarah yang berpuncak dalam diri Yesus Kristus, Anak
Allah, yang wafat di salib dan dibangkitkan dalam kemuliaan, bagi semua sampai
kepenuhannya.

Subjek : Allah, dengan Firman dan Roh


Predikat : menciptakan, menyelenggarakan, menyelamatkan
Objek : dunia
Ket Cara : melalui sejarah, yang berpuncak dalam diri Yesus Kristus, Anak Allah, yang
wafat di salib dan dibangkitkan dalam kemuliaan, bagi semua sampai
kepenuhannya.

1. Pembahasan tesis secara umum


Secara umum, tesis ini mau berbicara tentang bagaimana hubungan antara tiga hal
pokok dalam teologi Gereja Katolik, yaitu konsep tentang Allah Tritunggal, Kristologi, dan
paham keselamatan. Di sana ditampilkan bahwa Kristologi mengambil peran sentral baik
ketika berbicara mengenai Allah Tritunggal maupun keselamatan. Kristologi adalah kunci
untuk memahami Allah dan sejarah kesalamatan Allah. Dalam hal ini Kristologi
ditempatkan sebagai “prisma teologis”, di mana melauinya orang dapat sampai pada
pemahaman dan refleksi atas misteri Allah yang telah diwahyukan melaui Kristus. Realitas
tentang Allah Tritunggal yang menciptakan, menyelenggarakan, dan menyelamatkan
dunia hanya bisa dipahami melalui sejarah keselamatan yang berpuncak dalam diri
Yesus Kristus. Oleh sebab itu, pemahaman tentang Kristologi harus lengkap dan
menyeluruh yaitu Yesus Kristus sebagai Anak Allah yang wafat di salib dan
dibangkitkan dalam kemuliaan bagi semua sampai pada kepenuhannya.
Ketiga tema pokok ini tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Para teolog moderen
seperti Karl Rahner dan La Cugna telah menyajikan refleksi sistematis yang menunjukkan
bahwa pembahasan tentang Kristologi, Allah Tritunggal dan Keselamatan tidak dapat
dipisahkan satu sama lain. Karl Rahner (1904-1984) mencetuskan aksioma yang sangat
terkenal, yaitu: “Trinitas ekonomis adalah Trinitas imanen; Trinitas imanen adalah Trinitas

1
ekonomis”.1 Selanjutnya, Catherine Mowry LaCugna (1952-1997) menekankan
“kesatuan antara Trinitas teologia dan Trinitas ekonomis”.2 Kedua cara pandang tersebut
sebenarnya mau berbicara tentang ketidakterpisahan antara teologi dan soteriologi. Tidak
ada cara lain untuk memahami Allah Tritunggal selain melalui karya keselamatan yang
telah diwahyukan dalam sejarah yang memuncak dalam diri Yesus Kristus.

2. Pertanyaan-pertanyaan teologis tentang tesis


2.1 Dengan siapa Allah menciptakan, menyelenggarakan, dan menyelamatkan dunia?
Jawaban: Dengan Firman dan Roh
Ketika menciptakan, menyelenggarakan, dan menyelamatkan dunia Allah tidak
bertindak sendiri, melainkan bersama dengan Firman dan Roh-Nya. Hal yang perlu
diperhatikan dari subjek tesis ini ialah sebutan ketiga pribadi Tritunggal yang tidak lazim
digunakan. Biasanya kita menemukan rumusan seperti “Bapa, Putera, dan Roh Kudus”
atau “Allah Bapa, Allah Putera dan Allah Roh Kudus”. Oleh karena itu, berikut ini akan
disajikan refleksi teologis dari Kitab Suci, Bapa-bapa Gereja, serta konsili-konsili awal
yang menerangkan makna pemilihan kata tersebut.

2.1.1 Pribadi pertama sebagai “Allah”


Bagi agama-agama Abrahamik, Allah dipahami sebagai yang Esa, yang
menciptakan manusia, alam semesta, dan semua makhluk yang ada di dalamnya. Akan
tetapi, bagi agama-agama kosmik yang lebih mengaitkan realitas keilahian dengan
kosmos, sebutan ini rasanya kurang bisa diterima. Adalah lebih tepat bagi mereka untuk
menyebut realitas yang melampaui batas-batas kemanusiaan itu sebagai “Yang Ilahi”
atau “Yang Transenden”. Dengan demikian, menjadi jelaslah bahwa yang dimaksud
dengan Allah di dalam tesis ini adalah Allah dalam pengertian agama-agama Abrahamik,
yaitu Allah yang Esa, yang menciptakan segala sesuatu.
Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, Allah seringkali digambarkan dalam berbagai
atribut. Mislanya, Allah Yang Mahatinggi (Kej 14:18), Allah Pencipta langit dan bumi
(Kej 14:19), Allah Yang Mahakuasa (Kej 17:1), Allah yang ada di langit di atas dan di
bumi di bawah (Ul 4:39), Gunung Batu (Ul 32:4), Allah yang kudus (1Sam 6:20),
Penjaga Israel (Mzm 121:4), dan sebagainya. Semua atribut-atribut itu mau menunjukkan

1
Vincent Battaglia, “An Examination of Karl Rahner’s Trinitarian Theology”, dalam Australian eJournal of
Theology, Vol. 9 (March 2007), 4.
2
Elizabeth T. Groppe, “Catherine Mowry laCugna’s Contribution to Trinitarian Theology”, dalam Theological
Studies, Vol. 63 (2002), 731.

2
kemahakuasaan Allah. Yang menarik adalah Allah bagi umat Israel adalah Allah milik
pusaka mereka. Allah adalah Allah nenek moyang mereka: Abraham, Ishak, dan Yakub
(bdk Kel 3:16; 1 Taw 29:18).
Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, Yesus Kristus memperkenalkan Allah sebagai
“Bapa”. Sebenarnya, sebelum kedatangan Yesus, orang-orang Israel sudah menyebut
Allah sebagai “Bapa” (bdk. Mzm 89:27; Yes 63:16; Keb 11:10; Ydt 9:12). Akan tetapi,
sebutan itu masih bermakna simbolis dan tidak terlalu jelas maknanya. Berbeda dengan
Yesus yang ketika menyebut Allah sebagai Bapa, Yesus benar-benar menunjuk pada
relasi antara anak dan bapa. “Bapa-Kulah yang memuliakan Aku, tentang siapa kamu
berkata: Dia adalah Allah kami, padahal kamu tidak mengenal Dia, tetapi Aku mengenal
Dia” (Yoh 8:54b-55a). Dari teks ini, Yesus dengan tegas menyatakan bahwa Allah yang
disebut orang-orang Israel sebagai ‘Allah kami’ atau ‘Allah nenek moyang kami’ adalah
Bapa-Nya. Yesus benar-benar mengenal Bapa dan Ia ingin agar semua orang menjadi
anak-anak Allah.
Melanjutkan apa yang dikatakan dalam Kitab Suci dan apa yang diwartakan
Yesus dalam Injil, Konsili Nicea (thn 325) dan Konsili Konstantinopel (thn 381)
menetapkan syahadat yang sampai saat ini masih diakui oleh Gereja. Dalam syahadat itu,
Allah disebut sebagai “Bapa yang Mahakuasa, Pencipta langit dan Bumi”. Dengan
demikian, secara universal Gereja mengakui bahwa Allah adalah Bapa bagi semua orang.

2.1.2 Pribadi kedua sebagai “Firman”


Penggunaan kata Firman untuk menyebut pribadi kedua pertamakali digunakan
oleh penginjil Yohanes. “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama
dengan Allah dan Firman itu adalah Allah” (Yoh 1:1). Firman itu adalah Allah tetapi
terbedakan dari Allah sendiri. Kata “Firman” diterjemahkan dari bahasa Yunani yaitu
Logos. Logos adalah budi alam semesta dan prinsip kosmis. Dalam filsafat Stoa, logos
dibedakan menjadi logos yang mendiami alam rohani dan logos yang
mengkomunikasikan diri.3 Pada mulanya, logos itu berdiam dalam diri Allah. Ketika
penciptaan, logos itu ber-emanasi dari Allah dan membentuk dunia dan kosmos.
Kemudian, Yustinus Martir (100-165) menyebut Anak Allah sebagai Firman
yang menjadi daging. Ia menekankan pra-eksistensi Firman, 4 namun Firman tidak sama

3
Dr. Nico Syukur Dister, OFM, Teologi Sistematika 1, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), 190.
4
M. Purwatma, Pr, Firman Menjadi Manusia, (Yogyakarta: Kanisius, 2015) 30.

3
dengan Yesus Kristus. Yesus Kristus adalah Firman yang telah mengambil bentuk
menjadi manusia. Sebelum berinkarnasi, Firman selalu bersama-sama dengan Allah,
juga dalam karya penciptaan. Berikutnya, untuk mempertahankan monoteisme,
Irenaeus (140-202) menyatakan bahwa “Sang Firman bukan Allah kedua; melainkan
Allah sendiri yang menyatakan diri”.5 Demi keselamatan kita, Firman itu menjelma
dalam diri Yesus Kristus, Anak Allah. Tanpa Sang Firman, manusia tidak dapat
mengenal Allah.
Melawan bahaya monarkhisme yang mengajarkan bahwa Bapa dan Anak tidak
hanya satu tapi sama, Tertullianus (160-220) menjelaskan bahwa ada dua tahap dalam
kehidupan Logos: (1) Logos sebagai ratio yang selalu bersama dengan Allah; (2) Logos
sebagai sermo di mana Allah bertindak ke luar sebagai Anak. 6 Dengan demikian, Bapa
dan Anak tetap terbedakan. Bapa dan Anak bukan dua Allah tapi dua wujud dari satu
substansi yang tidak terbagi. Meskipun menjadi daging, Sang Firman tidak mengalami
perubahan hakikat, melainkan tetap sebagai Firman Allah dan tetap Allah.
Dari penjelasan Kitab Suci dan Bapa-Bapa Gereja tersebut, menjadi jelaslah
mengapa subjek tesis ini menyebut pribadi kedua sebagai “Firman”. Penggunaan kata
Firman mau menunjukkan bahwa Firman dibedakan dengan Yesus Kristus.
Ketika Allah menciptakan dunia, Firman ada bersama-sama dengan Allah tetapi belum
menjelma dalam diri Yesus Kristus.

2.1.3 Pribadi ketiga sebagai “Roh”


Kata Roh diterjemahkan dari bahasa Yunani, yaitu pneuma. Kitab Suci tidak
pernah menyebut Roh sebagai Allah. Roh ditampilkan sebagai daya kekuatan Allah.
Misalnya, dalam kisah penciptaan Roh disebut “Roh Allah” (Kej 1:2). Dalam iman
Perjanjian Lama, Roh Allah dicurahkan kepada tokoh-tokoh karismatis yang muncul
dalam sejarah, seperti Otniel (Hak 3:10), Saul (1Sam 11:6), dan Daud ( 1Sam 18:12).
Dalam Perjanjian Baru, peran Roh menjadi sangat sentral dalam hidup Yesus.
Kehadiran Roh dalam hidup Yesus merupakan simbol kekuatan dan kuasa Allah yang
diberikan kepada Yesus. Sejak awal, kekuatan dan kuasa Allah itu dicurahkan oleh
Allah kepada Yesus melalui peristiwa pembaptisan (Yoh 1:32-33).

5
Agus Widodo, Pr., Lic.Th., Kristologi Bapa - Bapa Gereja, (Yogyakarta: Fakultas Teologi Wedabhakti
Universitas Sanata Dharma, 2017), 5.
6
Agus Widodo, Pr., Lic.Th., Kristologi Bapa - Bapa Gereja, 5.

4
Di kalangan para rahib di Mesir, Roh Kudus dianggap sebagai makhluk ciptaan
saja. Beberapa kali Roh Kudus juga dianggap sama dengan Firman. Refleksi tentang
Roh Kudus sebagai Allah baru muncul sejak tahun 360-an. Refleksi itu terus
berkembang hingga dirumuskan oleh Konsili Konstantinopel (thn 381) dalam
kaitannya dengan filioque. Rumusannya ialah: Roh Kudus adalah “Tuhan, yang keluar
dari Bapa, yang bersama dengan Bapa dan Putera disembah dan dimuliakan”.7

2.2 Siapa saja yang diciptakan, diselenggarakan, dan diselamatkan oleh Allah?
Jawaban : Dunia
Kata dunia sebagai objek tesis ini bisa bermakna dua hal. Pertama, keselamatan
itu bersifat universal. Keselamatan tidak hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang
percaya kepada Kistus saja, melainkan kepada semua orang. Yustinus Martir
mengatakan bahwa setiap manusia, dalam akal budinya memiliki benih Logos. Oleh
karena itu, setiap orang yang hidup menurut akal budinya, dapat disebut sebagai orang
Kristen, meskipun mereka ateis, seperti misalnya Sokrates dan Herakleitos.8 Meskipun
awalnya ada doktrin tentang “extra Ecclesiam nulla salus” (di luar Gereja tidak ada
keselamatan), setelah pembaruan konsili Vatikan II, Gereja mengakui adanya
keselamatan di luar Gereja. Hal ini ditegaskan misalnya dalam LG 16: “Rencana
keselamatan juga merangkum mereka, yang mengakui Sang Pencipta,… yang mencari
Allah yang tak mereka kenal dalam bayangan dan gambaran, … (Kristus) sebagai
Penyelamat menghendaki keselamatan semua orang”.
Kedua, Gereja menyadari bahwa karya keselamatan Allah itu tidak hanya
diperuntukkan bagi umat manusia, melainkan juga bagi semua makhluk yang diciptakan
bersama-sama dengan manusia. Teolog mistik seperti Fransiskus Asisi (1182-1226) dan
Bonaventura (1221-1274) memandang alam dan ciptaan lain sebagai saudara.9 Mereka
adalah saudara-saudari yang perlu dihormati dan dilindungi. Persaudaraan itu berasal dari
kenyataan bahwa mereka juga diciptakan oleh Allah pada awal penciptaan (bdk Kej 1:1-
31). Manusia dan alam semesta berasal dari “rahim” yang sama yaitu Allah. Oleh karena
itu, alam semesta dan makhluk ciptaan lain juga perlu diselamatkan.

7
Hubert Jedin, Sejarah Konsili, (Yogyakarta: Kanisius, 1973), 21.
8
William P. Anderson, A Journey through Christian Theology, (Minneapolis: Fortress Press, 2010), 17.
9
Leonardo Boff, Ecology and Liberation. A New Paradigm, (New York: Orbis Books, 1995), 46.

5
2.3 Bagaimana cara Allah menciptakan, menyelenggarakan, dan menyelamatkan
dunia?
Jawaban : Melalui sejarah, yang berpuncak dalam diri Yesus Kristus, Anak
Allah, yang wafat di salib dan dibangkitkan dalam kemuliaan, bagi
semua sampai kepenuhannya.

Setelah menciptakan dunia, Allah yang transenden itu menyatakan kehendak dan
rencana keselamatan-Nya melalui sejarah yang berpuncak dalam diri Kristus sampai
pada kepenuhannya. Bagian akhir dari tesis ini mau berbicara tentang tiga hal pokok,
yaitu: pengertian ‘sejarah’, Yesus Kristus sebagai puncak keselamatan, serta kepenuhan
eskatologis.

2.3.1 Pengertian ‘Sejarah’


Sejarah di sini tidak terbatas hanya pada saat Firman berinkarnasi. Pemberian
diri Allah itu tidak terbatas hanya pada sejarah keselamatan saja, melainkan Allah telah
mewahyukan rencana keselamatannya sejak awal mula ia menciptakan dunia. Kitab
Ibrani 1:1-2 mencatat: “Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam
pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka
pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya”.
Hal ini menunjukkan bahwa inisiatif Allah untuk menyelamatkan itu sudah dimulai
sejak dahulu kala.
Melalui Konsili Vatikan II, Gereja menegaskan bahwa setelah menciptakan
dunia Allah tidak berdiam diri saja. Allah melanjutkan karya-Nya itu dengan
menyelenggarakan dan menyelamatkan dunia. Gagasan seperti itu tampak misalnya
dalam DV 3: “Allah, yang menciptakan segala sesuatu melalui Sabda-Nya, serta
melestarikannya, dalam makhluk-makhluk senantiasa memberikan kesaksian tentang
diri-Nya kepada manusia. Karena Ia bermaksud membuka jalan menuju keselamatan di
surga, Ia sejak awal mula telah menampakkan diri kepada manusia pertama”. Dengan
demikan, kata ‘sejarah’ dalam tesis ini harus dimaknai sebagai peristiwa yang sudah
dimulai sejak penciptaan, beruncak dalam diri Yesus Kristus, dan masih
berlangsung hingga kini dan sampai pada akhir zaman.

2.3.2 Yesus Kristus sebagai puncak keselamatan

6
Hal yang paling pokok untuk diperhatikan di sini adalah perbedaan antara
“Firman” yang menjadi subjek tesis dan “Yesus Kristus” yang muncul dalam frasa
penutup tesis ini. Dalam pembahasan sebelumnya tentang “Firman sebagai pribadi
kedua”, telah disinggung mengenai perbedaan mendasar antara “Firman” dan Yesus
Kristus”, yakni bahwa Firman telah ada bersama-sama dengan Allah sejak penciptaan
dan baru menjelma dalam pribadi Yesus Kristus ketika peristiwa inkarnasi.
Dalam rumusan Konsili Kalsedon, karya keselamatan Allah diletakkan dalam
pribadi Yesus Kristus, terlebih kusus dalam penjelmaan Sang Firman. 10 Allah yang
berinisiatif menyelamatkan manusia itu menampakkan diri-Nya dalam Yesus Kristus
melalui penjelmaan Sang Firman. Selain itu, Kristologi tentang bagaimana hubungan
antara keilahian dan kemanusiaan terjadi dalam Yesus Kristus juga dijelaskan.
Dikatakan bahwa dalam pribadi Yesus Kristus, kodrat keallahan dan kemanusiaan tidak
tercampur, tidak berubah, tidak terbagi, dan tidak terpisah. Dalam pribadi Yesus Kristus
tetap harus dibedakan antara identitas keallahan dan kemanusiaan. Akan tetapi,
keallahan dan kemanusiaan itu tidak terpisah. Keduanya dipersatukan dalam satu
pribadi (prosopon) dan satu subjek (hypostatis) yaitu Yesus Kristus. Yesus Kristus
adalah satu pribadi, bukan dua pribadi. Selain tidak terpisah, keallahan dan
kemanusiaan Yesus juga tidak tercampur. Dalam artian ini, Pribadi Yesus Kristus
bukanlah setengah Allah dan setengan manusia.
Refleksi Kristologis Gereja di Abad Pertengahan berlanjut kepada persoalan
bagaimana karya keselamatan Allah itu terwujud dalam diri Yesus Kristus. Agustinus
(354-430) memperkenalkan dua teori, yaitu korban/silih (satisfaction) dan penebusan
(ransom).11 Agustinus menegaskan bahwa sebagai akibat dari kejatuhan manusia
pertama ke dalam dosa, semua manusia menjadi berdosa. Hal itu disebut dosa asal.
Bukti bahwa dosa asal itu ada ialah manusia tidak dapat menyangkal bahwa dalam
dirinya ia memiliki concupiscencia (kecenderungan untuk berbuat dosa).12 Dosa
membuat manusia sama sekali tidak mampu untuk menyelamatkan diri-Nya sendiri.
Oleh karena itu, dibutuhkan figur eksternal yang mampu menjadi silih maupun tebusan
untuk menyelamatkan manusia. Karena kasih Allah yang begitu besar, Kristus hadir
untuk mengambil peran tersebut.

10
Tom Jacobs, SJ, Imanuel, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), 246.
11
Catatan untuk Matakuliah Kristologi 2015-2016 oleh A. Bagus Laksana, SJ, PhD.
12
Laurent Sentis, “Original Sin”, dalam Jean-Yves Lacoste (Ed.), Encyclopedia of Christian Theology, Vol. 1,
(New York: Routledge, 2005), 1479.

7
Masih sejalan dengan itu, Anselmus (1033-1109) berbicara tentang kehormatan
Allah (God’s honor).13 Dosa yang dilakukan manusia tidak hanya menjatuhkan
derajatnya sendiri, melainkan juga telah melukai kehormatan Allah. Dosa adalah tanda
ketidaktaantan manusia kepada Allah dan ketidaktaatan itu telah meninggalkan luka
yang amat besar bagi kehormatan Allah. Oleh karena itu, harus ada silih (satisfaction)
untuk memulihkan kembali kehormatan itu. Silih bukan hanya berarti melunasi hutang,
melainkan mengembalikan apa yang lebih dari hutang tersebut. Maka, hal ini tidak bisa
dilakukan oleh manusia yang berdosa. Hanya Krsituslah satu-satunya yang layak
mengadakan silih untuk mengembalikan kehormatan Allah.
Martin Luther (1483-1546) melanjutkan teori Agustinus tentang dosa asal.
Baginya, berkat penebusan Kristus manusia dibenarkan di hadapan Allah, tetapi dosa
tetap ada (simul iustus et peccator).14 Manusia tidak mungkin dibenarkan karena
perbuatannya karena dalam dirinya ada concupiscencia, tetapi karena imannya akan
Kristus, ia dibenarkan. Gagasan ini segera dijawab oleh Gereja melalui Konsili Trente
(1562-1563).15 Konsili menegaskan bahwa penebusan Kristus benar-benar mengubah
kodrat manusia yang berdosa itu ke dalam keadaan rahmat. Rahmat bukan sekedar
penerimaan orang berdosa oleh Allah, melainkan rahmat benar-benar berdayaguna untuk
menyucikan manusia dari dosa-dosanya.
Karl Barth (1886-1968) yang menggunakan metode Kristologi dari atas sangat
menekankan keilahian Yesus dan menolak segala historisitas Yesus. Baginya, karya
keselamatan Allah itu tidak terjadi dalam sejarah, melainkan dalam kekekalan. Yesus
Kristus dipahami sebagai bom yang membawa pemisahan (diastasis) antara Allah dan
dunia/manusia.16 Peristiwa inkarnasi membuat orang sadar bahwa jarak antara Allah
dan manusia itu begitu jauh. Allah yang begitu agung “turun” dari atas dan menyentuh
permukaan dunia, tetapi Ia sendiri tidak menyatu dengan dunia.
Berbeda dengan Barth, Walter Kasper (1933) memadukan Kristologi dari atas
dan Kristologi dari bawah. Yesus Kristus dipahami sebagai Yesus historis dan Kristus
iman.17 Allah yang begitu jauh dan begitu agung itu dapat dikenal dan dipahami dalam
diri Yesus Kristus yang hadir ke dalam dunia. Relasi antara Bapa, Putra, dan Roh Kudus
terwahyukan melalui peristiwa keselamatan. Trinitas ekonomis adalah identik dengan

13
Catatan untuk Matakuliah Kristologi 2015-2016 oleh A. Bagus Laksana, SJ, PhD.
14
William P. Anderson, A Journey through Christian Theology, 214.
15
Norman P. Tanner, Konsili-Konsili Gereja, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 101.
16
Catatan untuk Matakuliah Kristologi 2015-2016 oleh A. Bagus Laksana, SJ, PhD.
17
Kristologi Walter Kasper, Catatan kuliah oleh Yohanes Subali, Pr.

8
Trinitas imanen, namun keidentikan itu tidak begitu kaku. Melalui inkarnasi, Allah
masuk ke dunia ciptaan dan membentuk suatu perwujudan baru dari relasi Bapa, Putra
dan Roh Kudus.
Pada abad ke-20 di Amerika Latin lahirlah Teologi pembebasan sebagai reaksi
atas ketidakadilan dan penindasan yang dialami oleh orang-orang miskin. Para teolog
pembebasan menekankan Kristologi dari bawah untuk membela orang-orang miskin.
Yesus Kristus ditampilkan sebagai Sang Pembebas. Peristiwa historis hidup Yesus
yang berpuncak pada Kurban Kristus di kayu salib merupakan pendorong yang
menginspirasi bagi orang-orang miskin dan tertindas.18 Yesus datang ke dunia untuk
membebaskan orang-orang miskin dan tertindas dari penderitaan. Oleh karena itu,
keselamatan dipahami terjadi dalam kehidupan konkret yaitu bebas dari penderitaan
akibat penindasan dan kemiskinan.

2.3.3 Kepenuhan Eskatologis


Rencana keselamatan Allah memang sudah terlaksana dalam diri Yesus dan
mencapai puncaknya. Akan tetapi, keselamatan itu belum kita terima secara penuh
sebelum kedatangan Kristus yang kedua pada akhir zaman. “Tetapi kalau segala sesuatu
telah ditaklukkan di bawah Kristus, maka Ia sendiri sebagai Anak akan menaklukkan
diri-Nya di bawah Dia, yang telah menaklukkan segala sesuatu di bawah-Nya, supaya
Allah menjadi semua di dalam semua” (1Kor 15:28). Melalui peristiwa salib dan
kebangkitan, Kristus telah menebus seluruh ciptaan dan menaklukkan kuasa dosa dan
maut. Peristiwa itu menjadi jaminan akan keselamatan yang akan kita terima secara
penuh ketika semua makhluk ciptaan bersatu dengan Allah.

18
Carlos Bravo, “Jesus of Nazareth, Christ the Liberator,” dalam Jon Sobrino dan Ellacuria (eds.), Systematic
Theology: Perspectives from Liberation Theology (New York: Orbis Books, 1993), 106-123.

9
Daftar Pustaka
Buku :

Anderson, William P., (2010), A Journey through Christian Theology, Minneapolis: Fortress
Press.

Bravo, C., (1993), “Jesus of Nazareth, Christ the Liberator,” dalam Jon Sobrino dan Ellacuria
(eds.), Systematic Theology: Perspectives from Liberation Theology, New York: Orbis
Books.

Boff, L., (1995), Ecology and Liberation. A New Paradigm, New York: Orbis Books.

Dister, Nico S., (2004), Teologi Sistematika 1, Yogyakarta: Kanisius.

Jacobs, Tom, (2000), Imanuel, Yogyakarta: Kanisius.

Jedin, H. (1973) Sejarah Konsili, Yogyakarta: Kanisius.

Purwatma, M., (2015), Firman Menjadi Manusia, Yogyakarta: Kanisius.

Sentis, L. (2005), “Original Sin”, dalam Jean-Yves Lacoste (Ed.), Encyclopedia of Christian
Theology, Vol. 1, New York: Routledge.

Tanner, Norman P., (2003), Konsili-Konsili Gereja, Yogyakarta: Kanisius.

Widodo, A., (2017) Kristologi Bapa - Bapa Gereja, Yogyakarta: Fakultas Teologi
Wedabhakti Universitas Sanata Dharma.

Jurnal :
Battaglia, V., (2007), “An Examination of Karl Rahner’s Trinitarian Theology”, dalam AJT,
Vol. 9.

Groppe, Elizabeth T., (2002), “Catherine Mowry laCugna’s Contribution to Trinitarian


Theology”, dalam TS, Vol. 63.

Catatan Kuliah :

Catatan untuk Matakuliah Kristologi 2015-2016 oleh A. Bagus Laksana, SJ, PhD.

Kristologi Walter Kasper, Catatan kuliah oleh Yohanes Subali, Pr.

10

Anda mungkin juga menyukai