Referat Herpes Zoster

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 21

REFERAT

HERPES ZOSTER

Disusun oleh:
M. Hasbi Ash Shiddiqie (03014115)

Pembimbing:
dr. Dewi Anggreni, Sp.KK
dr. Iwan Trihapsoro, Sp.KK, Sp.KP, FINASDV, FAADV
dr. A.A Sri Budhyani

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


RUMAH SAKIT ANGKATAN UDARA DR. ESNAWAN ANTARIKSA
FAKULTAS KEDOKTERAN TRISAKTI
JAKARTA
PERIODE 2 DESEMBER 2019 – 4 JANUARI 2020
HERPES ZOSTER

I. PENDAHULUAN
Herpes zoster atau shingles adalah penyakit neurokutan dengan manifestasi
erupsi, vesikular, berkelompok dengan dasar eritematosa disertai nyeri radikular
unilateral yang umumnya terbatas di satu dermatom.1,2 Herpes zoster merupakan
manifestasi reaktivasi infeksi laten endogen virus varisela zoster di dalam neuron
ganglion sensoris radiks dorsalis, ganglion saraf kranialis atau ganglion saraf
autonomik yang menyebar ke jaringan saraf dan kulit dengan segmen yang sama. 1
Herpes Zoster sangat umum di kawasan Asia - Pasifik. Seperti populasi pada
negara bagian barat, perkiraan risiko seumur hidup adalah sekitar sepertiga, dan
insidensi 3-10 / 1000 orang per tahun meningkat tajam di atas usia 40 dan
memuncak pada usia 70 – 80 tahun.3 Insiden herpes zoster meningkat dengan
bertambahnya usia ; pada orang dewasa yang lebih tua, berkisar antara 8 hingga
12 per 1.000 orang per tahun dalam studi berbasis catatan populasi dan perawatan
kesehatan di 4 benua.4
Herpes zoster yang menyebarluas dapat disalah artikan sebagai varisela,
terutama ketika ada penyebaran luas VZV dari area herpes zoster yang kecil dan
tidak nyeri atau dari ganglion sensoris yang terkena dampak tanpa adanya erupsi
dermatomal yang jelas. Pada tahap pra eruptif, nyeri prodromal dari herpes zoster
sering rancu dengan penyebab nyeri lokal lainnya. Setelah erupsi muncul, karakter
dan lokasi dermatomal dari ruam, ditambah dengan nyeri dermatomal dan
abnormalitas sensorik lokal, biasanya membuat diagnosis menjadi jelas. 4
Sekuel dari herpes zoster terdiri dari komplikasi kulit, okular, neurologis, dan
viseral. Komplikasi yang paling umum adalah nyeri neuropatik kronis yang
bertahan lama setelah ruam sembuh, yang dikenal sebagai postherpetic neuralgia
(PHN).4 Postherpetic neuralgia didefinisikan sebagai nyeri pada daerah
dermatomal yang bertahan setidaknya 90 hari setelah ruam. Terjadi pada sekitar
20% pasien dengan herpes zoster, dan 80% kasus terjadi pada pasien usia 50
tahun atau lebih tua. Nyeri digambarkan sebagai rasa terbakar atau sengatan listrik
dan mungkin terkait dengan allodynia atau hyperalgesia.5

1
II. EPIDEMIOLOGI
Herpes Zoster terjadi secara sporadik menyebar sepanjang tahun tanpa
prevalensi musiman dan tidak bergantung pada prevalensi varisela. Tidak ada bukti
yang meyakinkan bahwa herpes zoster dapat diperoleh melalui kontak dengan
orang-orang dengan varisela atau herpes zoster. Herpes zoster lebih tepatnya
ditentukan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan virus host dan adanya
respon imun yang dibutuhkan untuk mencegah reaktivasi dari VZV laten. 4
Herpes Zoster sangat umum di kawasan Asia - Pasifik. Seperti populasi pada
negara bagian barat, perkiraan risiko seumur hidup adalah sekitar sepertiga, dan
insidensi 3-10 / 1000 orang per tahun meningkat tajam di atas usia 40 dan
memuncak pada usia 70 – 80 tahun.3 Faktor risiko utama untuk herpes zoster
adalah usia. Insiden herpes zoster meningkat dengan bertambahnya usia ; pada
orang dewasa yang lebih tua, berkisar antara 8 hingga 12 per 1.000 orang per tahun
dalam studi berbasis catatan populasi dan perawatan kesehatan di 4 benua.4

Gambar 1. Insiden Herpes Zoster (kasus per 1000 orang per tahun) versus usia. Sumber :
Levin MJ, Schmader KE, Oxman MN. Chapter 165 : Varicella and Herpes Zoster. In: Kang S,
Amagai M, Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ, McMichael AJ, et al. Fitzpatrick’s
Dermatology. 9th edition. New York : McGraw Hill Education ; 2019. P.3035 – 58.

Faktor risiko utama lainnya untuk herpes zoster adalah penurunan imunitas
yang dimediasi sel khusus VZV. Pasien imukompromais memiliki risiko herpes
zoster yang secara signifikan lebih besar (tergantung pada kondisi yang mendasari
mereka) dibandingkan individu yang imunokompeten pada usia yang sama. Herpes
2
zoster adalah "infeksi oportunistik" yang menonjol dan awal pada orang yang
terinfeksi HIV, di antaranya sering merupakan tanda pertama defisiensi imun.
Kondisi imunokompromais yang terkait dengan peningkatan risiko herpes zoster
termasuk sumsum tulang dan transplantasi organ, hematologi, keganasan tumor,
dan penyakit yang dimediasi sistem imun (misalnya, lupus eritematosa sistemik,
reumatoid artritis).4
Tingginya infeksi varisela di Indonesia terbukti pada studi yang dilakukan Jufri,
et al tahun 1995-1996, dimana 2/3 dari populasi berusia 15 tahun seropositive
terhadap antibodi varicella. Dari total 2232 pasien herpes zoster pada 13 rumah
sakit pendidikan di Indonesia (2011-2013) didapatkan hasil 6 :
A. Puncak kasus Herpes Zoster terjadi pada usia 45-64 : 851 (37.95 % dari
total kasus Herpes Zoster)
B. Gender : Wanita cenderung mempunyai insiden lebih tinggi
C. Total kasus Postherpetic Neuralgia adalah 593 kasus (26.5% dari total
kasus Herpes Zoster)
D. Puncak kasus Postherpetic Neuralgia pada usia 45-64 yaitu 250 kasus
Postherpetic Neuralgia (42% dari total kasus Postherpetic Neuralgia) 


III. ETIOPATOGENESIS
VZV adalah virus DNA, α-herpesvirus dengan besar genom 125.000 bp,
berselubung / berenvelop, dan berdiameter 80-120 nm. VZV mengkode kurang
lebih 70-80 protein, salah satunya ensim thymidine kinase yang rentan terhadap
obat antivirus karena memfosforilasi acyclovir sehingga dapat menghambat
replikasi DNA virus. VZV menginfeksi sel Human diploid, sel limfosit T teraktivasi,
sel epitel dan sel epidermal in vivo untuk replikasi produktif, serta sel neuron. VZV
dapat membentuk sel sinsitia dan menyebar secara langsung dari sel ke sel.
Semua virus herpes secara morfologis tidak dapat dibedakan dan memiliki
sejumlah sifat, termasuk kapasitas untuk membuat infeksi laten yang bertahan
seumur hidup. VZV dan virus herpes simpleks (Tipe I dan II) lebih lanjut
dikelompokkan sebagai α-herpesvirus karena mereka menjadi laten dalam neuron
sensorik setelah infeksi primer.4,6,7
Menurut teori Hope-Simpson, sesudah infeksi primer VZV, selain VZV akan
menetap laten di ganglion saraf dorsalis, infeksi ini akan menimbulkan kekebalan
seluler bertahap sejalan usia namun secara berkala juga di-booster oleh infeksi
subklinis akibat paparan VZV (misalnya ketika merawat anak yang menderita cacar
3
air). Beberapa episode reaktivasi terjadi namun dengan cepat dihambat oleh
respon imun sehingga tidak ada ruam yang timbul. Hope-Simpson menyebutkan
kasus abortif ini “contained reversions” yang kadang menimbulkan nyeri di
dermatom terkait tanpa timbul ruam, disebut ‘zoster sine herpete’. bisa turun
dibawah batas ambang, yang menyebabkan reaktivasi virus, dan menyebabkan
herpes zoster. Besarnya jumlah VZV yang diproduksi selama episode herpes
zoster meningkatkan lagi kekebalan terhadap VZV, sehingga hal ini Menjelaskan
mengapa jarang terjadi rekurensi pada individu yang imunokompeten.4,6,7

Gambar 2. Reaktivasi dari VZV laten dan pertemuan baru dengan virus yang memantain
kekebalan tubuh . Sumber : Freer G, Pistello M. Varicella - zoster virus infection : natural
history, clinical manifestations, immunity & current and future vaccination strategies.
New Microbiologica [Internet]. 2018 Jan 29 [cited 2019 Dec 14] ; 41 (2) : 95 – 105.
Available from : http://www.newmicrobiologica.org/PUB/allegati_pdf/2018/2/95.pdf

Ketika kekebalan tubuh yang diperantarai sel T spesifik VZV turun di bawah
ambang, reaktivasi virus tidak lagi dapat diatasi. Virus melipatgandakan diri dan
menyebar di dalam ganglion, menyebabkan nekrosis neuron dan peradangan
hebat, proses yang sering disertai dengan nyeri neuropatik berat. VZV kemudian
menyebar secara antidromik ke saraf sensorik, dan dilepaskan dari ujung saraf
sensorik di kulit, di mana ia menghasilkan kluster karakteristik vesikel zoster. 4,8
Sel T yang terinfeksi memasuki sirkulasi dan membawa virus ke kulit segera
setelah itu, keluar melalui endotel kapiler dengan mekanisme biasa untuk
perdagangan sel T yang bermigrasi. Sel T yang terinfeksi kemudian melepaskan
4
VZV infeksi pada situs replikasi kulit. Sisa dari masa inkubasi 10 hingga 21 hari
adalah interval yang diperlukan untuk VZV untuk mengatasi respon IFN bawaan
dalam sel epidermal yang cukup untuk membuat lesi vesikuler khas yang
mengandung VZV pada permukaan kulit. Pemberian sinyal peningkatan produksi
IFN dalam sel kulit yang berdekatan mencegah penyebaran sel VZV yang cepat
dan tidak terkontrol. Proses ini berlanjut sampai respon imun inang memicu
pengaturan molekul adhesi dan memediasi pembersihan virus oleh sel T antivirus
khusus VZV.4,8,9

Gambar 3. Patogenesis Herpes Zoster. Sumber : Gupta R, Gupta P, Gupta S. Pathogenesis


of herpes zoster : A Review. ThePharma Innovation Journal [Internet]. 2015 Jun 18 [2019 Dec
14] ; 4 (5) : 11 – 13. Available from :
http://www.thepharmajournal.com/archives/2015/vol4issue5/PartA/4-5-9.pdf

IV. GEJALA KLINIS


A. Prodromal
Herpes zoster biasanya dimulai dengan gejala prodromal berupa sensasi
abnormal atau nyeri otot lokal, nyeri tulang, pegal, parestesia sepanjang dermatom,
gatal, rasa terbakar dari ringan sampai berat. Gejala prodromal dapat berlangsung

5
beberapa hari (sekitar satu hingga sepuluh hari, rata – rata 2 hari).1 Rasa sakitnya
bisa konstan atau intermiten, dan seringkali disertai dengan nyeri tekan dan
hiperestesia kulit pada dermatom yang terlibat. Nyeri prodromal jarang terjadi pada
orang imunokompeten yang lebih muda dari 30 tahun, tetapi terjadi pada sebagian
besar orang dengan herpes zoster di atas usia 60 tahun.4

B. Nyeri
Meskipun ruam itu penting, nyeri adalah gejala utama dari herpes zoster,
terutama pada orang tua. Beberapa pasien dengan herpes zoster tidak mengalami
rasa sakit, tetapi sebagian besar (> 85% di atas usia 50) memiliki nyeri dermatomal
atau ketidaknyamanan selama fase akut (30 hari pertama setelah onset ruam) yang
intensitasnya ringan hingga berat. Pasien menggambarkan rasa sakit atau
ketidaknyamanan nya seperti "terbakar, "sangat terasa nyeri", "kesemutan," atau
"tertusuk - tusuk." Pada beberapa pasien, gatal-gatal mungkin menjadi gejala
predominan. Bagi beberapa pasien, intensitas rasa sakit yang sangat hebat
sehingga kata-kata seperti "mengerikan" atau "menyiksa" digunakan untuk
menggambarkan pengalaman tersebut. Nyeri herpes zoster akut dikaitkan dengan
penurunan fungsi fisik, tekananan emosional, dan penurunan fungsi sosial. 4
C. Ruam
Bentuk yang paling khas dari herpes zoster adalah lokalisasi dan distribusi
ruam, yang merupakan unilateral dan umumnya terbatas pada area kulit yang
dipersarafi oleh ganglion sensoris tunggal.4 Kulit dipersarafi oleh saraf trigeminal,
terutama regio oftalmikus (10% -15%), dan badan dari T3 ke L2 (> 50%), paling
sering terkena; lesi herpes zoster jarang distal ke siku atau lutut. 4,11 Lesi herpes
zoster dimulai sebagai makula eritematosa dan papula dalam distribusi
dermatomal. Vesikel terbentuk dalam waktu 12 hingga 24 jam dan berevolusi
menjadi pustula pada hari ke 3. Lalu akan kering dan krusta dalam 7 hingga 10 hari.
Krusta umumnya bertahan selama 2 hingga 3 minggu. Pada orang normal, lesi baru
terus muncul selama 1 hingga 4 hari (kadang-kadang selama 7 hari). Ruam paling
parah dan berlangsung paling lama pada orang yang lebih tua, dan paling parah
dan durasi terpendek pada anak-anak.4

6
Gambar 4. B. T10 bagian dextra tampak Herpes Zoster dengan beberapa lesi berbentuk
pustule. D. Lesi berkelompok berbentuk vesikel dari Herpes Zoster. E. T8 bagian sinistra
tampak Herpes Zoster dengan beberapa lesi pustule dan krusta. Sumber : Levin MJ,
Schmader KE, Oxman MN. Chapter 165 : Varicella and Herpes Zoster. In: Kang S, Amagai
M, Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ, McMichael AJ, et al. Fitzpatrick’s Dermatology. 9 th
edition. New York : McGraw Hill Education ; 2019. P.3035 – 58.

D. Pruritus
Gatal sering merupakan gejala yang menonjol dan mengganggu sepanjang fase
akut herpes zoster. Seringkali berlangsung sampai semua krusta terlepas. 4
Menurut variasi klinis nya, herpes zoster dibagi menjadi :
1. Zoster Sine Herpete
Nyeri segmental yang tidak diikuti dengan erupsi kulit.1,4,6
2. Herpes Zoster Abortif
Bila perjalanan penyakit berlangsung singkat dan kelainan kulit hanya
berupa vesikel dan eritema.1,6
3. Herpes Zoster Oftalmikus
HZ yang menyerang cabang pertama nervus trigeminus. Erupsi kulit
sebatas mata sampai ke verteks, tetapi tidak melalui garis tengah dahi. Bila
mengenai anak cabang nasosilaris (adanya vesikel pada puncak hidung

7
yang dikenal sebagai tanda Hutchinson, sampai dengan kantus medialis)
harus diwaspadai kemungkinan terjadinya komplikasi pada mata.1,4,6,1

Gambar 5. B. Herpes Zoster Oftalmikus dengan keterlibatan Nervus Trigeminal


cabang 1 (N.V1). C. Herpes Zoster Oftalmikus dengan keterlibatan Nervus Trigeminal
cabang 2 (N.V2). Sumber : Levin MJ, Schmader KE, Oxman MN. Chapter 165 :
Varicella and Herpes Zoster. In: Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH, Margolis
DJ, McMichael AJ, et al. Fitzpatrick’s Dermatology. 9th edition. New York : McGraw
Hill Education ; 2019. P.3035 – 58.

4. Sindrom Ramsay – Hunt


HZ di liang telinga luar atau membran timpani, disertai paresis fasialis yang
nyeri, gangguan lakrimasi, gangguan pengecap 2/3 bagian depan lidah,
tinitus, vertigo, dan tuli. Kelainan tersebut sebagai akibat virus menyerang
nervus fasialis dan nervus auditorius.1,6,10

8
Gambar 6. G-H. Sindrom Ramsay – Hunt dengan aurikula sinistra kehilangan
pendengaran dan kelemahan wajah bagian sinistra. Sumber : Levin MJ,
Schmader KE, Oxman MN. Chapter 165 : Varicella and Herpes Zoster. In: Kang
S, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ, McMichael AJ, et al.
Fitzpatrick’s Dermatology. 9th edition. New York : McGraw Hill Education ; 2019.
P.3035 – 58.

5. Herpes Zoster Aberans


HZ disertai vesikel minimal 10 buah yang melewati garis tengah.1,6

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Konfirmasi laboratorium biasanya tidak perlu. Pemeriksaan laboratorium
diperlukan bila terdapat gambaran klinis yang meragukan.
Lesi varisela dan
herpes zoster tidak dapat dibedakan dengan histopatologi. Berikut merupakan
pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada Herpes zoster :
A. Tzanck smear
Tzanck smear dapat melihat sel – sel yang disiapkan dari bahan yang
diambil dari dasar lesi vesikular dan diwarnai dengan hematoxylin dan eosin,
Giemsa, atau pewarnaan serupa. Ketika cairan vesikel yang mengandung virus
diinokulasi ke dalam kultur jaringan fibroblast manusia, giant cells multinukleasi
serupa yang mengandung badan inklusi intranuklear asidofilik terbentuk oleh
fusi sel yang terinfeksi dengan sel yang terinfeksi dan yang tidak terinfeksi yang
berdekatan.4,6

9
B. Polymerase Chain Reaction (PCR)
Tes diagnostik terbaik untuk mendeteksi VZV adalah Polymerase Chain
Reaction (PCR) karena sensitivitas dan spesifisitasnya yang sangat tinggi,
ketersediaan, dan waktu penyelesaian yang relatif cepat (1 hari atau kurang).
Cairan dari vesikel adalah spesimen terbaik untuk analisis PCR, tetapi kerokan
lesi, krusta, biopsi jaringan, atau cairan serebrospinal sama-sama bermanfaat.
PCR dapat membedakan VZV dari HSV, dan wildtype VZV dari strain vaksin
Oka dari VZV. Isolasi virus kurang sensitif dan mungkin memakan waktu
seminggu atau lebih, tetapi itu adalah satu-satunya teknik yang menghasilkan
VZV yang infeksius untuk analisis lebih lanjut, seperti penentuan sensitivitas
terhadap obat antivirus. VZV sangat labil, dan hanya 30% hingga 60% dari
kultur dari kasus yang terbukti umumnya positif. Untuk memaksimalkan
pemulihan virus, spesimen harus segera diinokulasi ke dalam kultur sel.
Penting untuk memilih vesikel baru yang mengandung cairan bening untuk
aspirasi, karena kemungkinan mengisolasi VZV berkurang dengan cepat ketika
lesi menjadi pustular. VZV hampir tidak pernah diisolasi dari krusta. 4,6,12
C. Immunoassays enzim
Pewarnaan imunofluoresen atau imunoperoksidase dari bahan seluler
dari vesikel segar atau lesi prevesikular dapat mendeteksi VZV secara
signifikan lebih sering dan lebih cepat daripada kultur virus. Immunoassays
enzim menyediakan metode cepat dan sensitif lainnya untuk deteksi antigen.
Teknik-teknik ini memiliki waktu penyelesaian yang agak lebih cepat daripada
PCR, tetapi tidak memiliki sensitivitas dan spesifisitas PCR yang sangat baik,
yang tetap menjadi metode diagnostik pilihan. 4
D. Tes serologis
Tes serologis memungkinkan diagnosis retrospektif varisela dan herpes
zoster ketika serum akut dan konvalesen tersedia untuk perbandingan, tetapi
ini jarang dilakukan. Tes serologis lebih penting untuk mengidentifikasi
individu yang rentan yang mungkin kandidat untuk isolasi atau profilaksis.
Teknik yang paling umum digunakan adalah uji solid-phase enzyme-linked
immunosorbent assay (ELISA). Namun, tes ini (ada banyak sumber) kurang
sensitivitas, gagal mendeteksi antibodi pada sejumlah besar orang yang
kebal, terutama mereka yang menerima vaksin varisela. Hasil positif palsu
pada individu yang rentan lebih jarang terjadi, tetapi bermasalah, terutama

10
pada petugas kesehatan di mana kerentanan terhadap VZV adalah risiko
untuk varisela nosokomial. 4

Gambar 7. Histopatologi Varisela Zoster. A dan B, lesi papular varisela berevolusi menjadi
vesikula intraepitel dalam waktu 12 hingga 24 jam. C, Sel raksasa berinti banyak dengan
mudah diidentifikasi dalam apusan Tzanck yang dibuat dari bahan yang diambil dari dasar
lesi vesikuler dan diwarnai dengan hematoxylin dan eosin, Giemsa, atau pewarnaan
serupa. D, kultur jaringan fibroblast yang terinfeksi menunjukkan giant cells multinukleasi
serupa yang mengandung badan inklusi intranuklear eosinofilik yang dibentuk oleh fusi
sel yang terinfeksi dengan sel yang berdekatan yang terinfeksi dan yang tidak terinfeksi.
Sumber : Levin MJ, Schmader KE, Oxman MN. Chapter 165 : Varicella and Herpes Zoster.
In: Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ, McMichael AJ, et al. Fitzpatrick’s
Dermatology. 9th edition. New York : McGraw Hill Education ; 2019. P.3035 – 58.

VI. DIAGNOSIS
Diagnosis herpes zoster biasanya ditegakkan berdasarkan gejala klinis.
Meskipun herpes zoster sulit diidentifikasi selama prodromal, kehadiran dari alat
bantu eksantem khas pada diagnosis. Pengujian lab biasanya tidak diperlukan,
tetapi dapat dipertimbangkan pada pasien dengan lesi berulang yang
mencurigakan untuk herpes simpleks, atau pada mereka yang diduga zoster sine
herpete, di mana virus menyebabkan rasa sakit tanpa lesi. Pengujian juga dapat
dipertimbangkan dalam presentasi atipikal, seperti lesi yang tersebar luas yang
dapat terjadi pada pasien dengan immunocompromised. Pengujian lab juga
membantu dalam membedakan herpes zoster dari dermatosis vesikular lainnya,
seperti dermatitis kontak dan dermatitis herpeti- formis. Pengujian polymerase
chain reaction dari vesikel atau cairan tubuh lain lebih disukai karena sensitivitas

11
dan spesifisitasnya yang tinggi (masing-masing 95% dan 100%) dan perputaran
singkat (biasanya satu hari).4,5

VII. DIAGNOSIS BANDING


A. Dermatitis Kontak
Dermatitis Kontak merupakan ruam lokal atau iritasi kulit yang disebabkan oleh
kontak dengan zat asing. Rasa sakit dan ruam biasanya terjadi secara
bersamaan. Hal yang membedakan dengan Herpes Zoster dengan cara
menghilangkan pajanan terhadap zat yang mengiritasi biasanya menghasilkan
resolusi gejala. 1,4,13,14

Gambar 8. Vesikula khas dan krusta pada pasien dengan penyakit diseminata.
Sumber : Levin MJ, Schmader KE, Oxman MN. Chapter 165 : Varicella and Herpes
Zoster. In: Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ, McMichael AJ, et
al. Fitzpatrick’s Dermatology. 9th edition. New York : McGraw Hill Education ; 2019.
P.3035 – 58.

B. Herpes Simpleks
Gejala berupa vesikel yang dikelompokkan pada basis eritematosa dalam pola
nondermatomal, sering didahului oleh pruritis dan nyeri. Lesi oral dan genital
paling umum. Untuk membedakan dengan Herpes zoster biasanya dilakukan
pemeriksaan PCR dengan sampel berasal dari lesi. 1,4,13,14

12
Gambar 9. Herpes simpleks wajah dengan vesikel berkelompok dan krusta. Sumber :
Levin MJ, Schmader KE, Oxman MN. Chapter 165 : Varicella and Herpes Zoster. In: Kang
S, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ, McMichael AJ, et al. Fitzpatrick’s
Dermatology. 9th edition. New York : McGraw Hill Education ; 2019. P.3035 – 58.

C. Keratitis ulseratif
Gejalanya tergantung pada penyebabnya. Datang dengan rasa sakit dan
kemerahan di mata yang terkena, dengan perubahan visual tergantung pada
lokasi ulkus. Beberapa juga dapat hadir dengan cairan purulen. Ciri khas yang
membedakan herpes zoster (HZ) dari penyebab lain adalah timbulnya ruam
pada dermatom yang terkena. Pewarnaan fluorescein akan menunjukkan
adanya ulkus dendritik jika penyebabnya adalah virus herpes simpleks dan
tidak terkait dengan HZ. Pemeriksaan slit-lamp akan mengindikasikan
penyebab lain dari keratitis ulseratif, seperti benda asing. 1,4,13,14

Gambar 10. Peripheral keratitis ulseratif pada mata kanan dengan rheumatoid arthritis
Sumber :https://www.medscape.com/answers/1195980-163208/what-are-the-possible-
complications-of-peripheral-ulcerative-keratitis-puk

13
VIII. PENATALAKSANAAN
A. Sistemik
1. Terapi Antivirus
Tujuan utama terapi antivirus pada pasien dengan herpes zoster adalah
untuk membatasi tingkat, durasi, dan tingkat keparahan nyeri dan ruam
pada dermatom primer dan untuk mencegah penyakit di tempat lain.
Kecuali untuk PHN, sebagian besar komplikasi herpes zoster, termasuk
vaskulopati, hasil dari replikasi yang berkelanjutan dan penyebaran VZV
dari ganglion yang terkena, dan dengan demikian dapat dicegah dengan
inisiasi dini terapi antivirus yang efektif.3,4,12,15
A) Famcyclovir
Untuk pemberan Famcylovir dosis pemberian Famcyclovir adalah
500 mg peroral 3 kali sehari selama 7 hari, mempunyai efek samping
Confusion, headache, nausea, Stevens- Johnson syndrome, Disetujui
untuk digunakan pada anak-anak (10 mg per kg intravena setiap
delapan jam), Famciclovir atau valacyclovir lebih direkomendasikan
karena bioavailabilitas oral yang lebih besar dan lebih dapat
diandalkan menghasilkan tingkat aktivitas antivirus dalam darah yang
lebih tinggi, kerentanan VZV yang lebih rendah (dibandingkan dengan
HSV) terhadap asiklovir dan peniklovir, dan adanya hambatan untuk
masuknya agen antivirus ke dalam jaringan yang merupakan situs
replikasi VZV. Pada pasien immunocompromaised diberikan
Famciclovir 500 mg per oral setiap 8 jam untuk 7-10 hari. 4, 5,15

B) Valacyclovir
Dosis pemberian Valacyclovir 1,000 mg peroral 3 kali sehari selama
7 hari, efek samping yang didapatkan mirip dengan Acyclovir,
Diperlukan penyesuaian dosis untuk pasien dengan kreatinin
clearence ≤ 60 mL per menit per 1,73 m2 (1,00 mL per detik per
m2).4,5,15

C) Acyclovir
Dosis pemberian Acyclovir 800 mg peroral 5 kali sehari selama 7 hari,
memiliki efek samping yaitu Diarrhea, encephalopathy, erythema
multiforme, headache, malaise, nausea, Stevens- Johnson
syndrome, vomiting, Diperlukan penyesuaian dosis untuk pasien
14
dengan gangguan imun (10 mg per kg intravena setiap delapan jam)
dan untuk pasien dengan kreatinin clearence ≤ 50 mL per menit per
1,73 m2 (0,83 mL per detik per m2). 4,5,15

2. Terapi Anti Inflamasi


Kemungkinan bahwa peradangan dalam ganglion sensorik dan struktur
saraf yang berdekatan berkontribusi terhadap PHN memberikan alasan
untuk penggunaan glukokortikoid selama fase akut herpes zoster.
Namun, uji coba terkontrol secara acak menunjukkan bahwa
penambahan glukokortikoid ke asiklovir tidak mengubah timbulnya nyeri
kronis. Kortikosteroid berupa prednisone, prednisolone dengan dosis
Prednisolon: 40 mg per oral per hari (hari 1 sampai 6), 30 mg per hari (hari
7 hingga 10), 20 mg per hari (hari 11 hingga 14), 10 mg per hari (hari 15
hingga 18), 5 mg per hari hari (hari ke 19 hingga 21) Prednison: 60 mg
oral per hari (hari 1 sampai 7), 30 mg per hari (hari 8 hingga 14), 15 mg
per hari (hari 15 hingga 21). berhubungan dengan mempercepat
pengerasan dan penyembuhan lesi dan resolusi rasa sakit; tidak ada
benefit pada pencegahan postherpetic neuralgia 3,4,15

3. Terapi Anti Nyeri


Keparahan nyeri herpes zoster akut harus ditentukan dengan
menggunakan pain scale yang standar seperti Visual Analog scale atau
Numeric Rating Scale. Dokter harus meresepkan analgesik dengan
tujuan membatasi keparahan nyeri hingga kurang dari 3 pada skala 0
hingga 10, dan pada tingkat nyeri yang tidak mengganggu tidur. Sebuah
uji coba terkontrol secara acak pemberian oxycodone, gabapentin, atau
plasebo pada orang dewasa yang lebih tua selama fase awal herpes
zoster bahwa oxycodone, tidak pada gabapentin, memberikan penghilang
rasa sakit yang jauh lebih besar daripada plasebo pada pasien dengan
nyeri sedang hingga berat.3,4,15

B. Topikal
Selama fase akut herpes zoster, pengaplikasian kompres dingin, lotion kalamin
atau Caladryl Clear, tepung jagung, atau soda kue dapat mengurangi gejala lokal
dan mempercepat pengeringan lesi vesikular. Salep dan krim atau lotion oklusif
yang mengandung glukokortikoid jangan digunakan. Pengobatan topikal dengan
15
agen antivirus tidak efektif. Superinfeksi bakteri pada lesi herpes zoster jarang
terjadi dan harus diobati dengan rendaman hangat; selulitis bakteri membutuhkan
terapi antibiotik sistemik.3,4

IX. KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling umum terlihat pada pasien Herpes zoster adalah neuralgia
herpetik pada 33,92% pasien, diikuti oleh paresthesia pada 30,35% pasien. Gatal
post herpektik terlihat pada 8,92% pasien, sindrom Ramsay Haunt terlihat pada
7,14% sementara infeksi sekunder terlihat pada 3,57 pasien. Hanya 9 pasien yaitu
16,07% yang tidak mengalami komplikasi dan sembuh secara tidak sengaja. 16

Gambar 11. Komplikasi herpes zoster sumber : Nazir N, Hussain A, Sharma P. A Study
Based on Clinical Presentation and Complications in Herpes Zoster Patients: An
Analytical Study. Global Journal of Medical Research : J Dentistry & Otolaryngology
[Internet]. 2018 [cited 2019 Dec 15] ;18 (2) : 29. Available from :
https://pdfs.semanticscholar.org/2676/dfe1ae2bc6c8c110ee6f4ee0c86d3a9fc167.pdf

16
X. PROGNOSIS
Lesi kulit biasanya menyembuh dalam 2 - 4 minggu tetapi penyembuhan
sempurna membutuhkan waktu >4 minggu. Pasien usia lanjut dan
imunokompromais membutuhkan waktu yang lebih lama untuk resolusi. Dalam
studi kohort retrospektif, pasien herpes zoster yang dirawat di rumah sakit memiliki
mortalitas 3% dengan berbagai penyebab. Tingkat rekurensi herpes zoster dalam
8 tahun sebesar 6,2%.13
Prognosis tergantung usia.
A. Usia < 50 tahun :
1. Ad vitam : bonam
2. Ad functionam : bonam
3. Ad sanactionam : bonam

B. Usia > 50 tahun dan imunokompromais :


1. Ad vitam : bonam
2. Ad functionam : dubia ad bonam
3. Ad sanactionam : dubia ad bonam

XI. KESIMPULAN
Herpes zoster adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus varicella
zoster yang menyerang kulit dan mukosa, infeksi ini merupakan reaktivasi virus
yang terjadi setelah infeksi primer.
Berdasarkan gejala klinis Herpes zoster mempunyai gejala yang ditandai
dengan nyeri dan ruam pada dermatom unilateral. Nyeri merupakan manifestasi
yang paling penting dari herpes zoster. Herpes zoster paling umum terjadi pada
orang dewasa dan orang dengan immunocompromised. Menurut variasi klinisnya
Herpes zoster dibagi menjadi : Zoster Sine Herpete, Herpes Zoster Abortif, Herpes
Zoster Oftalmikus, Sindrom Ramsay – Hunt, Herpes Zoster Aberans.1,4,6,10
Diagnosis herpes zoster dapat ditegakkan memalui anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Jika diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium
seperti tzanck smear, PCR.1,4 Pada umumnya penyakit herpes zoster dapat
sembuh sendiri (self limiting disease), tetapi pada beberapa kasus dapat timbul
komplikasi.3,4,12,15

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Pusponegoro EHD. Herpes Zoster. In : Menaldi SLSW, Bramono K, Indriatmi


W. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7th edition. Jakarta : Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2015. P. 121 – 124.
2. Vikash P, Raj PB, Richa T, Dev TR, Shreema S, Prabin D, et al. Clinical and
Epidemiological Profile of Herpes Zoster; A Cross-Sectional Study from Tertiary
Hospital. Med Phoenix : An Official Journal of NMC [Internet]. 2018 Jul [cited
Dec 14] ; 3 (1) : 60 - 65. Available from :
https://www.nepjol.info/index.php/medphoenix/article/view/20764
3. Chen LK, Arai H, Chen LY, Chou MY, Djauzi S, Dong B, et al. Looking back to
move forward: a twenty - year audit of herpes zoster in Asia – Pacific. BMC
Infectious Disease [Internet]. 2017 [cited Dec 14] ; 17 : 1 – 22. Available from :
https://bmcinfectdis.biomedcentral.com/articles/10.1186/s12879-017-2198-y.
DOI : 10.1186/s12879-017-2198-y
4. Levin MJ, Schmader KE, Oxman MN. Chapter 165 : Varicella and Herpes
Zoster. In: Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ, McMichael
AJ, et al. Fitzpatrick’s Dermatology. 9th edition. New York : McGraw Hill
Education ; 2019. P.3035 – 58.
5. Saigul A, Kane S, Mercado M. Herpes Zoster and Postherpetic Neuralgia :
Prevention and Management. American Academy of Family Physicians
[Internet]. 2017 Nov 15 [cited 2019 Dec] ; 96 (10) : 656 – 662. Available from :
https://www.aafp.org/afp/2017/1115/p656.html
6. Pusponegoro EH, Nilasari H, Lumintang H, Niode NJ, Daili SF, Djauzi S. Buku
Panduan Herpes Zoster di Indonesia 2014. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia ; 2014. P. 3 – 52.
7. Freer G, Pistello M. Varicella - zoster virus infection : natural history, clinical
manifestations, immunity & current and future vaccination strategies. New
Microbiologica [Internet]. 2018 Jan 29 [cited 2019 Dec 14] ; 41 (2) : 95 – 105.
Available from :
http://www.newmicrobiologica.org/PUB/allegati_pdf/2018/2/95.pdf
8. Zerboni L, Sen N, Oliver SL, Arvin AM. Molecular mechanisms of varicella
zoster virus pathogenesis. Nature Reviews Microbiology [Internet]. 2014 Feb
10 [cited 2019 Dec 14]. 21 : 197 – 210. Available from :
https://www.nature.com/articles/nrmicro3215
18
9. Gupta R, Gupta P, Gupta S. Pathogenesis of herpes zoster : A Review. The
Pharma Innovation Journal [Internet]. 2015 Jun 18 [2019 Dec 14] ; 4 (5) : 11 –
13. Available from :
http://www.thepharmajournal.com/archives/2015/vol4issue5/PartA/4-5-9.pdf
10. Wollina U. Variations in herpes zoster manifestation. Indian J Med Res 145
[Internet]. 2017 Oct 3 [cited 2019 Dec 14] ; 294 – 298. Available from :
http://www.ijmr.org.in/article.asp?issn=0971-
5916;year=2017;volume=145;issue=3;spage=294;epage=298;aulast=Wollina;
type=0 DOI : 10.4103/ijmr.IJMR_1622_16
11. Babamahmoodi F, Alikhani A, Ahangarkani F, Delavarian L, Barani H,
Babamahmoodi A. Clinical Manifestation of Herpes Zoster, Its Comorbidities,
and Its Complications in North of Iran from 2007 to 2013. Neurology Research
International [Internet]. 2015 Mar 18 [cited 2019 Dec 14]. Available from :
https://www.hindawi.com/journals/nri/2015/896098/ DOI :
http://dx.doi.org/10.1155/2015/896098
12. Evina B, Berawi KN, Ibrahim A. Manajemen Kasus Herpes Zoster yang Berisiko
Tinggi Neuralgia Paska Herpetik. J Medula Unila [Internet]. 2016 Dec [cited
2019 Dec 14] ; 6 (1) : 8 – 13. Available from :
https://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/medula/article/view/837
13. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI).
Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di Indonesia.
Jakarta : Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia
(PERDOSKI). 2017. P. 61 – 64.
14. Le P, Rothberg M. Herpes Zoster Infection [Internet]. Manchester : 2019
[updated 2019 Apr 4, cited 2019 Dec 15]. Available from :
https://online.epocrates.com/diseases/2335/Herpes-zoster-
infection/Differential-Diagnosis
15. Werner RN, Nikkels AF, Schafer M, Operacz MC, Agius AM, Csorgo ZB, et al.
European Consensensus – Based (S2k) Guideline on the Management of
Herpes Zoster – guided by the European Dermatology Forum (EDF) in
Cooperation with the European Academy of Dermatology and Venereology
(EADV), Part 2 : Treatment. Wiley Online Library [Internet]. 2016 Aug 31 [cited
2019 Dec 14] ; 31 (1) : 20 – 29. Available from :
https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/jdv.13957 DOI :
10.1111/jdv.13957
19
16. Nazir N, Hussain A, Sharma P. A Study Based on Clinical Presentation and
Complications in Herpes Zoster Patients: An Analytical Study. Global Journal
of Medical Research : J Dentistry & Otolaryngology [Internet]. 2018 [cited 2019
Dec 15] ;18 (2) : 29. Available from :
https://pdfs.semanticscholar.org/2676/dfe1ae2bc6c8c110ee6f4ee0c86d3a9fc
167.pdf

20

Anda mungkin juga menyukai