Rangkuman Pemberontakan Petani Banten Christine

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 13

RESUME SEJARAH PEDESAAN DARI BUKU PEMBERONTAKAN

PETANI BANTEN 1888

Penyusun

Nama : Christine Amellia Putri


NPM : 1813033025
Kelas : A (Ganjil)
Mata Kuliah : Sejarah Pedesaan
Dosen Pengampu : Yustina Sri Ekwandari, S.Pd., M.Hum/Yusuf
Perdana, S.Pd., M.Pd.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH


JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2019
1. Rangkuman BAB I
Bab ini menjelaskan gambaran mengenai hal-hal yang mungkin menjadi
latar belakang, pengaruh, faktor-faktor terjadinya pemberontakan petani
ini. Seperti alasan terjadinya pemberontakan yaitu perwujudan pergolakan
agraris yang menjadi pengaruh utama dari alur perkembangan politik
selama periode "Pax Neerlandica". Selain itu dalam konteks hubungan
budaya Barat dan Indonesia, pemberontakan petani dapat dipandang
sebagai pergerakan protes terhadap gangguan kendali ekonomi dan sosial
Barat yang merusak tatanan masyarakat tradisional. Pemberontakan ini
merupakan suatu gejala khas dari perubahan sosial, yang begitu menonjol
di Jawa pada abad ke-19. Pemimpin dari pemberontakan jenis ini biasanya
berasal dari kelompok penduduk yang lebih berada. Misalnya saja pemuka
agama, atau keturunan ningrat.
Selain itu, bab ini juga mengungkapkan kritik dari penulis mengenai
pendekatan yang biasa digunakan dalam penulisan sejarah Indonesia abad
ke-19 yang lebih cenderung menganggap rakyat atau petani hanya
berperan pasif. Sehingga sebagian besar sejarah Indonesia abad ke-19
menjadi sejarah rezim kolonial Belanda.
Sumber lain seperti surat kabar biasanya didominasi oleh keberpihakan.
Namun bukan berarti sumber ini dapat disepelekan. Surat kabar ini berisi
tentang penolakan terhadap pemerintah dan fakta sikap politik dalam
masyarakat kolonial saat pemberontakan terjadi. Meskipun demikian,
laporan resmi lebih dapat diandalkan dan dipercaya karena terkait dengan
kepentingan para pejabat dan opsi-opsir tentara untuk memberikan laporan
yang akurat.
Pada catatan metodologisnya, dikemukakan bahwa pemberontakan sebagai
hasil dari suatu pergerakan sosial yang sudah berlangsung lama dapat
dipandang dari segi akulturasi pada umumnya, dan milenaris pada
khususnya.

2. Rangkuman BAB II
Permulaan dari bab ini menjelaskan Banten yang terletak di paling barat
pulau Jawa. Banten sendiri terbagi menjadi dua bagian; Banten selatan
merupakan daerah pegunungan dan jarang penduduknya. Sedangkan
Banten utara merupakan wilayah yang telah digarap lahannya dan
penduduknya lebih padat.
Ekonomi di Banten adalah agraris (bercocok tanam dan menanam padi)
pendudukmya berkedudukan sebagai pemilik ataupun penggarap bagi
hasil. Sistem hak tanah di Banten pada abad ke-19 berasal dari zaman
kesultanan. Pada tahun 1808 Daendels menghapuskan tanah-tanah milik
sultan serta wajib kerja yang melekat pada tanah tanah itu, lalu memungut
sepetlima bagian daei hasil panen sebagai pajak tanah uneuk seluruh
daerah dataran rendah di Banten. Beberapa tahun kemudian Raffles
menjadikan sewa tanah sebagai satu-satunya pajak tanah. Karena hal
tersebut kerabat sultan dan pejabat kesultanan yang palig diuntungkan di
sistem lama menginginkan kembalinya kebiasaan tradisional. Hal inilah
yang kemudian menjadi sumber kerusuhan Banten sampai 1830.
Setelah itu konflik mengenai hak tanah banyak terjadi. Salah satu
kasusnya adalah hak milik atas sawah negara atau sawah yasa yang
dituntut oleh para kerabat sultan. Beberapa aspek perubahan dalam
ekonomi agraris disebabkan oleh beberapa hal: buruknya hubungan petani
dengan pihak elite, banyaknya perpecahan sosial, serta timbulnya efek dari
adanya campur tangan ekonomi uang. Kemudian kewajiban untuk
menyumbangkan tenaga untuk keperluan perang sudah lama dihapuskan.
Akan tetapi, perkembangan ini tidak meniadakan kebutuhan akan tenaga
petani yang sering kali diminta dengan paksa oleh aristokrasi.
Pembaruan-pembaruan yang diadakan oleh pemerintah antara lain
dihapuskannya tanah-tanah kesultanan oleh Daendels pada tahun 1808.
Pada tahun 1856, wajib kerja bakti dikurangi menjadi 5 tahun. Pada
akhirnya kebijakan tersebut dapat diganti dengan pajak kepala sebesar satu
gulden.
Sistem stratifikasi penduduk Banten dinyatakan dengan istilah undakan.
Mayoritas rakyat (pedagang, petani dll.) disebut Jalma Leutik. Kelas atas
yang memiliki sedikit anggota dan terdiri dari elite birokrasi dan
bangsawan disebut priyayi. Sedangkan puncak hierarki nya adalah sultan.
Untuk elite pedesaan terpusat pada dua bagian penting kaum tani, yaitu
pengurus desa dan pemuka agama (haji).
Karena banyak nya campur tangan, akhirnya muncul rasa tidak puas.
Misalnya saja di afdeling Anyer karena sebagian penduduk masih harus
membayar pajak kepala. Peraturan lainnya yang menimbukan rasa tidak
puas adalah penetapan pajak perdagangan. Selain itu terdapat kasus
pemungutn satu jenis pajak perdagangan khusus di Cilegon, yaitu pajak
pasar.
Selain itu dipaparkan kesulitan-kesulitan ekonomi yang disebabkan oleh
adanya bencana fisik. Misalnya saja pada tahun 1879 terjadi wabah
penyakit ternak yang menurunkan angka keseluruhan jumlah ternak.
Tahun berikutnya muncul wabah demam yang menyebabkan lebih dari
10% penduduk meninggal dunia. Akibatnya banyak sawah yang tidak
dapat digarap dan akhirnya menimbulkan kelaparan. Hal ini diperparah
dengan adanya letusan Gunung Krakatau pada tahun 1883 yang
menyebabkan merosotnya populasi ternak, manusia serta sepertiga tanah
pertanian yang tidak dapat ditanami semakin besar.

3. Rangkuman BAB III


Perkembangan politik yang terjadi pada abad ke-19 di Banten
menunjukkan dengan jelas sekali timbulnya kesetiaan dan
pengelompokkan baru, sedangkan persekutuan lama dibubarkan.
Golongan tradisional berusaha mempertahankan kekuasaan mereka,
sedangkan golongan baru menentang golongan tradisional.
Dalam perjalanan sejarah Kesultanan Banten, terjadi sejumlah
pemberontakan yang dipimpin oleh pangeran-pangeran yang
membangkang. Ketika mengambil alih kesultanan, Belanda menjumpai
suatu masyarakat yang sudah mempunyai sejarah pemerintahan birokratis
yang panjang.
Sejak awal, kaum bangsawan mempunyai kedudukan yang jauh lebih
menguntungkan dalam arena politik di Banten sesudah aneksasi. Hal ini
dikarenakan pemerintahan kolonial yang baru tidak bjsa berjalan tanpa
dukungan kaum bangsawan Banten yang sangat berpengaruh.
Pada abad ke-19, terdapat tokoh terkenal yaitu Ratu Siti Aminah yang
merupakan istri dari Bupati Serang, Condronegoro. Ia sempat memberikan
tuntutan atas apa yang sebelumnya merupakan tanah-tanah sultan, ditolak
pada tahun 1868. Salah satu peristiwa terkenal yang melibatkannya adalah
peristiwa Sabidin (1882). Sabidin sendiri adalah seorang anak wanita
Indonesia bersama Piet, ia dilahirkan di Yogyakarta. Para penggerak utama
peristiwa Sabidin adalah pensiunan Patih Lebak, Jayakusuma, dan patih
pada waktu itu, Tugas Jayapraja.
Kebijakan terkait penerimaan pegawai pemerintah adalah masalah
penggantian, yang oleh pemerintah kolonial dianggap sebagai salah satu
faktor utama yang menentukan stabilitas rezim mereka. Kaum elite agama
menempati kedudukan yang strategis, baik pada tingkat lokal maupun
tingkat pusat. Para pamong praja pribumi sangat merasakan kedudukan
mereka sebagai bawahan Belanda, meskipun orang-orang Eropa yang
menjadi atasan mereka sering menggunakan strategi "diplomatis" ketika
memberi perintah.
Situasi politik pada tahun tahun 1870-an dinyatakan bahwa rakyat Banten
hidup tentram dan bahwa pengaruh para pemuka agama hampir tak ada
artinya. Pengamatan terakhir merujuk pada beberapa aspek situasi politik
di Banten selama dua dasawarsa terakhir sebelum pecahnya
pemberontakan tahun 1888. Bukti-bukti yang meragukan lagi tentang
adanya ketidakstabilan politik yang terus menerus di Banten adalah
banyaknya benteng yang tersebar di seluruh daerah Banten.
4. Rangkuman BAB IV
Keresahan yang terjadi di Banten digunakan untuk mengilustrasikan
pemberontakan, dan simbol fenomena sosial yang mencerminkan
distribusi kekuasaan tak resmi dalam suatu masyarakat yang tertindas.
Selain itu disintegrasi tatanan tradisional menjadi faktor penyebab
terhadinya keresahan dan pergolakan.
Berbagai elemen sosial bercampur dan kemudian melahirkan elite
revolusioner, sehingga dapat dijelaskan bahwa pergerakan yang muncul
pada abad ke-19 merupakan tindakan berbagai kelas sosial. Pimpinan dari
kaum ini adalah kaum elite agama, bangsawan dan kelas atas pedesaan.
Aspek lain unsur keresahan sosial antara lain perampok, bandit atau
penyamun yang biasanya merupakan anggota pemilik tanah yang terkenal
atau kaum aristokrat yang kehilangan harta bendanya lalu menempuh jalan
ini untuk membela diri dan mempertahankan hak-haknya. Ditengah
kekacauan yang melanda Banten, sultan dinobatkan kembali pada 1810
untuk memerintah Banten Selatan. Namun ternyata hal ini tidak
menimbulkan perbaikan situasi. Pada 1815, terjadi serangan tiada henti
terhadap keraton sultab di Pandeglang. Kemudian tahun 1818 dan awal
1819 terjadi pemberontakan yang menyebabkan seorang pamong praja
menjadi korban. Setelah itu masih banyak terjadi pemberontakan-
pemberontakan baik kecil maupun besar.
Kecenderungan untuk memberontak di Banten disebabkan oleh faktor-
faktor yang rumit dan beraneka ragam. Kemelaratan yang umum,
administrasi yang buruk, ketimpangan dibidang ekonomi, ambisi pribadi.
Semua faktor itu berperan penting dalam pemberontakan yang silih
berganti pada abad ke-19.

5. Rangkuman BAB V
Tahap perkembangan yang dicapai pada 1880-an mengisyaratkan bahwa
gerakan keagamaan itu berusaha mewujudkan aspirasi politik. Dalam
revivalisme agama, badan-badan keagamaan berperan sangat menonjol
dan menjadi pusat protes politik. Dalam Islam, tidak ada perbedaan antara
komunitas agama dengan komunitas politik, setiap pergerakan protes
keagamaan dengan mudah berubah menjadi gerakan politik. Pada 1880-an
di Banten, tarekat berkembang menjadi golongan revivalis paling
dominan.
Tanda pertama dari sentimen revivalis adalah terus berkembangnya orang
yang menunaikan ibadah haji pada abad ke-19. Bukti lainnya adalah
banyaknya masjid baru yang penuh sesak setiap salat Jumat. Selain itu bab
ini menjelaskan tentang pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tidak
hanya mengajarkan pengetahuan dasar tentang Islam, tetapu juga
memberikan latihan dalam cara hidup dan cara berpikir orang Islam.
Selanjutnya aspek-aspek eskatologis mulai muncul pada masa ini.
Kepercayaan akan tibanya Mahdi terus hidup dalam sejarah Islam. Mahdi
(tokoh penyelamat yang akan muncul pada hari kiamat dan
menghancurkan nabi palsu). Pada periode kesulitan sosial itu, ketika
rakyat dilanda frustasi dan perlawanan yang ditekan, kepercayaan tentang
Mahdi menjadi alat yang cocok untuk membangkitkan semangat melawan
pihak asing. Selain itu gerakan kebangkitan seperti tarekat, jihad atau
perang sabil anggotanya menganggap bahwa gerakan yang mereka anut
adalah suatu pengorbanan luhur, puncak dari segala kegiatan
keagamaannya.
Disebutkan pula terdapat agen-agen keagamaan yang melakukan kegiatan
khotbah seperti khatib keliling yang ternyata adalah ulama atau ahli mistik
yang tidak mengganggu ketertiban dan tidak mempunyai kepentingan
politik.

6. Rangkuman BAB VI
Usaha-usaha yang dilakukan menuju pemberontakan antara lain seperti
anggota pergerakan mengadakan pertemuan diberbagai tempat; untuk
keperluan itu mereka menggunakan tarekat sebagai tempat untuk bersama-
sama melakukan sembahyang dan berzikir. Dalam pertemuan-pertemuan
itulah gerakan tersebut mempersatukan para kiai sebagai pemimpin
komplotan di daerah masing-masing. Dengan menggunakan agama
sebagai kedok mereka bertukae pengalaman dan membicarakan strategi
kampanye.
Beberapa tokoh yang terkenal dan memiliki pengaruh antara lain Haji
Abdul Karim. Dalam waktu singkat setelah kunjungannya dari satu tempat
ke tempat lain untuk berkhotbah, kebangkitan kembali agama sudh
berlangsung dengan sangat cepat di Banten. Lalu ada Kiai Haji Tubagus
Ismail yang telah beberapa kali naik haji dan permusuhannya dengan para
pihak asing membuatnya memiliki keinginan untuk menghasut rakyat agar
memberontaki mereka.
Menjelang pemberontakan, mereka mulai gencar melakukan serangkaian
latihan pencak, pengumpulan senjata, dan propaganda. Selain itu, sering
juga diadakannya pertemuan untuk mendiskusikan dan mematangkan
segala hal yang diperlukan pada pemberontakan.
7. Rangkuman BAB VII
Secara garis besar bab ini membahas pokok-pokok pemberontakan.
Pemberontakan ini diawali dengan adanya tragedi berdarah tahun 1888 di
desa Saneja yang dipimpin oleh Haji Tubagus Ismail. Selanjutnya,
serangan umum dipimpin oleh Haji Wasid. Atas perintahnya, sebagian
pemberontak akan menyerbu penjara (untuk membebaskan tahanan) dan
sebagian lagi menuju rumah asisten residen. Setelah terjadi pemberontakan
tersebut, dilanjutkan dengan pengejaran terhadap orang-orang pelarian
seperti Grondhout. Ia sendiri melarikan diri dan bersembunyi di kepatihan
untuk sementara waktu sementara waktu bersama istrinya.
Peristiwa utama pemberontakan sendiri berlangsung sengit, satuan-satuan
pemberontakan dari segala penjuru, terutama dari utara, terus berdatangan
untuk bergabung dengan pasukan induk. Pemimpin pemberontakan utama
ini adalah Haji Wasid yang bermarkas di Jombang Wetan.
Selain Grondhout, dilakukan juga pengejaran terhadap Gubbels yang
merupakan asisten residen. Pada akhirnya ia mati terbunuh dalam di
rumah Dumas. Disisi lain istri Dumas (yang rumahnya menjadi tempat
persembunyian Gubbels) menyulut emosi dan membuat kaum
pemberontak mengancamnya karena tak mau membukakan pintu. Pada
akhirnya ia selamat karena meminta ampun dan mengatakan bersedia
masuk Islam.
Setelah adanya pemberontakan umum, terjadi pemberontakan-
pemberontakan didaerah lain seperti Bojonegoro, Balagendung, Krapyak
dll. Menarik untuk dikatakan bahwa sikap kaum pemberontak sangat
dipengaruhi oleh permusuhan mereka terhadap orang-orang yang
berhubungan dengan pemerintah, pajak, dan hukum. Selain itu dijelaskan
bahwa dikemudian hari mereka kalah karena tidak adanya rencana
pertahanan yang kuat. Hal ini disebabkan karena kurangnya pernencanaan
organisasi dan strategi yang matang mengenai pemberontakan tsb.
8. Rangkuman BAB VIII
Setelah pecahnya pemberontakan, pemerintah mengadakan penumpasan
terhadap segala sesuatunya yang berhubungan dengan pemberontakan
tersebut. Pada dasarnya keadaan mereka juga telak diperburuk oleh fakta
bahwa kekebalan mereka tidak berlaku untuk peluru musuha. Disamping
itu mereka telah kecewa dan hilang semangat karena terpecah belahnya
pasukan induk mereka.
Setelah kejadian tersebut datanglah pasukan pertolongan untuk korban
pemberontakan tersebut. Hal ini kemudian disusul oleh adanya tindakan
ekspedisi militer untuk menumpas pemberontakan dengan cara
mengirimkan pasukan-pasukan ekspedisi ke berbagai penjuru. Selain
ditugaskan untuk menangkap pemberontak, mereka juga ditugaskan untuk
memulihkan ketentraman wilayah tersebut. Setelah pasukan pemerintah
menyerang daerah yang paling vital bagi kaum pemberontak, mereka
tanpa henti mengejar pemimpin-pemimpin pemberontak yang masih lolos.
Pemberontak yang belum tertangkap banyak melakukan perlawanan.
Namun pada akhirnya seperti yang sudah diperkirakan, berhasilnya
pengejaran diiringi oleh tewasnya pemimpin pemberontak dan para
pengikutnya di dekat Sumur. Meskipun pihak berwajib telah
melaksanakan operasi pembersihan pemberontak, hal ini tidak membuat
pemberontak yang masih bebas menghentikan kegiatannya. Hal ini
diketahui karena terdapat kelompok yang merencanakan pemberontakan
pada akhir Bulan Puasa (hal ini diusulkan oleh Haji Akhmad). Hal ini
dilakukan sebagai tindakan pembalasan terhadap pembuangan Kiai
Mohamad Asik dll.
Terkait dengan pemberontakan di Banten, terdapat catatan lain yang
menunjukkan adanya gerakan-gerakan milenari di Jawa Timut dan Jawa
Tengah. Sepert catatan ditangkapnya seseorang yang bernama Jasmani
karena ia dan pengikutnya memiliki senjata, jimat, dan dokumen-dokumen
yang berbau pemberontakan.

9. Rangkuman BAB IX
Banyak sekali perdebatan mengenai penyebab utama dari pemberontakan.
Orang-orang Belanda di negara mereka sendiri ikut dalam usaha mencari
penyebab pemberontakan dan perdebatan seperti yang disebutkan
dikalangan pers Belanda. Dalam suatu surat kabar Belanda, De
Locomotief, dijelaskan bahwa terdapat banyak sekali perdebatan yang
memuat; fakta, penjelasan, serta pendapat tentang pemberontakan itu.
Sekitar 2 bulan kemudian, Direktur Departemen Dalam Negeri, Van
Vlueten mengemukakan pendapat melalui laporan yang ditulisnya. Secara
garis besar ia menyatakan bahwa fanatisme agama adalah penyebab utama
pemberontakan. Sedangkan akar timbulnya fanatisme agama ini karena
adanya campur tangan pemerintah baik dalam hal beban pajak,
ketidakseriusan pemerintah, campur tangan urusan agama dll.
Setelah adanya pernyataan ini, selanjutnya Vlueten mengambil lamgkah
umtuk pengangkatan asisten residen di afdeling Anyer dan pembebas
tugasan Raden Penna. Kekurangan dari laporan ini adalah tidak
dibahasnya Engelbrecht yang menjabat Residen Banten. Namun pada
akhirnya ia mengajukan permintaan berhenti karena catatan buruk
kinerjanya sebagai Residen Banten. Kemudian ia digantikan oleh Velders
yang setelah dilantik bertindak cepat untuk perbaikan situasi.
Terdapat banyak masalah terkait kepala desa, misalnya saja sering terjadi
kepala desa yang minta berhenti dan banyaknya kepala desa lain yang
segera ingin bebas dari jabatannya. Dikarenakan hal tersebut akhirnya
Ditektur Departemen Dalam Negeri menganjurkan agar kepala desa dan
anggota pamong desa diberi tanah jabatan.
Selain itu permasalahan pemungutan sewa tanah secara komunal sebagai
salah satu sumber ketidakpuasan di kalangan penduduk serta diusulkan
agar pemungutan dilakukan secara perorangan. Dikemudian hari
diputuskan bahwa pedagang kecil berpenghasilan sedikit kurang dari 25
gulden setahun dibebaskan dari pajak usaha. Terdapat juga masalah terkait
kesehatan, yaitu vaksinasi. Vaksinasi di Banten pada masa tersebut sangat
lambat perkembangannya karena kurangnya dukungan dari rakyat.
Permasalahan lainnya adalah terkait penyalahgunaan dan kejahatan
perjalanan naik haji yang menimbulkan desakan agar pemerintah
memperbaiki peraturan perundang-udangan yang berlaku. Permasalahan
administrasi terutama terkait dibiarkannya pejabat Eropa menjalankan
administrasi menurut idenya sendiri.

10. Rangkuman BAB X

Salah satu kekuatan utama gerakan pemberontakan terletak pada fakta


bahwa gerakan itu dapat menggunakan tarekat Sufi sebagai landasan
organisasinya. Konsekuensi modernisasi yang tampak dalam masyarakat
tradisioanl meliputi terganggunya lembaga tradisional, ketidaksetaraan
sosial, dan perasaan tidak aman juga frustasi di kalangan petani muslim.
Selain itu efek yang paling mencolok dari birokrasi baru itu adalah pusat
otoritas dan tanggung jawab bergeser dari para bupati ke administrator
Belanda.

Masalah lain dalam gerakan pemberontakan itu adalah tentang pemulihan


kesultanan di satu pihak, dan sebuah usaha dilakukan untuk menghidupkan
kembali aspek tertentu dari kebudayaan masa lampau yang digunakan
sebagai lambang kejayaam yang telah lalu dan untuk menandaskan nilai-
nilai bersama dan loyalitas dasar.

Di Banten masih terdapat pengaturan sosial yang memudahkan


penggalangan kekuasaan politik melalui lembaga keagamaan, dan
membuat elite agama menjadi 'golongan kepentingan' yang berpengaruh.
Mereka menderita bukan karena mengalami kesulitan yang besar,
melainkan karena perasaan dihalang-halangi. Komponen agama dalam
gagasan milenari dari pergerakan itu sanhat menonjol; rakyat dapat
dimobilisasi dengan menggunakan imbauan keagamaan. Ledakan
permusuhan yang terjadi selama pemberontakan harus dipandang sebagai
serangan religi-politis terhadap penguasa kolonial selaku orang-orang
kafir, bukannya selaku orang-orang Eropa. Ciri khas gerakan
pemberontakan di di Banten adalah penolakan dan perlawanan aktif
terhadap dominasi asing serta lembaga-lembaga yang menyertainya,
kepercayaan akan kekebalan dst.

Anda mungkin juga menyukai