Implementasi Pancasila Pada Masa Era Reformasi-Paper KLMPK 6
Implementasi Pancasila Pada Masa Era Reformasi-Paper KLMPK 6
Implementasi Pancasila Pada Masa Era Reformasi-Paper KLMPK 6
ERA REFORMASI
KELOMPOK 2 :
EKONOMI PEMBANGUNAN
2018
Rumusan Masalah
1. jelaskan latar belakang munculnya era reformasi secara ringkas?
2. Jelaskan program presiden pada masa reformasi secara ringkas?
3. Jelaskan tentang amandemen UUD 1945?
4. Jelaskan lembaga pada masa reformasi?
5. Jelaskan tentang pemilu pada masa reformasi?
6. Apakah pada masa ini terjadi penguatan atau pelemahan nilai pancasila?
1. jelaskan latar belakang munculnya era reformasi secara ringkas?
a. Kebijakan pemerintah yang memberi ruang gerak yang lebih luas terhadap hak-hak
untuk mengeluarkan pendapat dan pikiran baik lisan atau tulisan sesuai pasal 28 UUD
1945 dapat terwujud dengan dikeluarkannya UU No 2 / 1999 tentang partai politik yang
memungkinkan multipartai
b. Upaya untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa serta tanggung
jawab dibuktikan dengan dikeluarkan ketetapan MPR No IX/MPR/1998 yang ditindak
lanjuti dengan UU no 30/2002 tentang KOMISI pemberantasan tindak pidana korupsi
d. Dengan Amandemen UUD 1945 masa jabatan presiden paling banyak dua kali masa
jabatan, presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat mulai dari pemilu 2000
dan yang terpilih sebagai presiden dan wakil presiden pertama pilihan langsung rakyat
adalah Susilo Bambang Yodoyono dan yoesuf kalla, MPR tidak lagi lembaga tertinggi
negara melainkan lembaga yang kedudukannya sama dengan presiden, MA, BPK,
kedaulatan rakyat tidak lagi ditangan MPR melainkan menurut UUD. Di dalam
amandemen UUD 1945 ada penegasan tentang sistem pemerintahan presidensial tetap
dipertahankan dan bahkan diperkuat. Dengan mekanisme pemilihan presiden dan wakil
presiden secara langsung.
Beberapa kebijakan yang dikeluarkan B.J. Habibie untuk mewujudkan Tujuan dari
Reformasi
a. Kebijakan dalam bidang politik Reformasi dalam bidang politik berhasil mengganti
lima paket undang-undang masa orde baru dengan tiga undang-undang politik yang
lebih demokratis. Berikut ini tiga undang-undang tersebut yaitu:
· UU No. 2 tahun 1999 tentang partai politik
· UU No. 3 tahun 1999 tentang pemilihan umum
· UU No. 4 tahun 1999 tentang susunan dan kedudukan DPR/MPR
b. Kebijakan dalam bidang ekonomi Untuk memperbaiki perekonomian yang
terpuruk, terutama dalam sektor perbankan, pemerintah membentuk Badan
Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Selanjutnya pemerintah mengeluarkan UU
no 5 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen
c. Kebebasan dalam menyampaikan pendapat dan pers Kebebasan menyampaikan
pendapat dalam masyarakat mulai terangkat kembali. Hal ini terlihat dari munculnya
partai-partai politik dari berbagai golongan dan ideologi. Masyarakat dapat
menyampaikan kritik secara terbuka kepada pemerintah. Disamping kebebasan
dalam menyampaikan pendapat, kebebasan juga diberikan kepada pers. Reformasi
dalam Pers dilakukan dengan cara menyederhanakan Permohonan Surat Ijin Usaha
Penerbitan (SIUP)
d. Pelaksanaan Pemilu Pada masa pemerintahan B.J Habibie berhasil
diselenggarakan pemilu multipartai yang damai dan pemilihan presiden yang
demokratis. Pemilu tersebut diikuti oleh 48 partai politik. Dalam pemerintahan B.J
Habibie juga berhasil menyelesaikan masalah Timor Timur. B.J Habibie mengambil
kebijakan untuk melakukan jajak pendapat di Timor Timur. Masa Reformasi
berusaha membangun kembali kehidupan yang demokratis antara lain:
a) Keluarnya ketetapan MPR RI No X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi
b) Ketetapan No VII/MPR/1998 tentang pencabutan Tap MPR tentang Referendum
c) Tap MPR RI No XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan negara yang bebas dari
KKN
d) Tap MPR RI No XII/MPR/1998 tentang pembatasan masa jabatan presiden dan
wakil presiden RI e) Amandemen UUD 1945 sudah sampai Amandemen I,II,III,IV
3. Jelaskan tentang amandemen UUD 1945?
Amandemen UUD 1945
Undang-undang dasar mempunyai peranan penting bagi suatu negara karena sebagai landasan
struktural dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Undang-undang dasar negara kita adalah
UUD 1945. Menurut Tap. MPR No. III/2000, Undang-Undang Dasar 1945 adalah hukum dasar
Republik Indonesia memuat dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan negara. Oleh
karena itu, para pejabat/pemerintah harus berjanji setia terhadap UUD 1945 sebelum
melaksanakan tugasnya.
Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan (amandemen) terhadap
UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945, antara lain karena pada masa Orde
Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat),
kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu “luwes” (sehingga
dapat menimbulkan multitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat
penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.
Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan
negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara
hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa.
Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan di antaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945,
tetap mempertahankan susunan kenegaraan (staat structuur) kesatuan atau selanjutnya lebih
dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta mempertegas sistem
pemerintahan presidensial
Hasil-Hasil Amandemen UUD 1945
Hasil-hasil amandemen UUD 1945 adalah sebagai berikut.
a . Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 Setelah mempelajari, menelaah, dan mempertimbangkan dengan
saksama dan sungguh-sungguh hal-hal yang bersifat mendasar yang dihadapi oleh rakyat,
bangsa, dan negara, serta dengan menggunakan kewenangannya berdasarkan Pasal 37 Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia mengubah Pasal 5 Ayat (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13 Ayat (2), Pasal 14,
Pasal 15, Pasal 17 Ayat (2) dan (3), Pasal 20, dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
Naskah perubahan ini merupakan bagian tak terpisahkan dari naskah Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia ke-12 tanggal 19 Oktober 1999 Sidang Umum Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, dan mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Perubahan pertama UUD 1945 berkaitan dengan halhal berikut.
1. Pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden, hanya untuk dua kali masa
jabatan dan memperjelas dan membatasi hak prerogatif Presiden
2. Penegasan kekuasaan legislasi (pembentukan UU) berada di DPR dan dalam
mengangkat duta besar dan menerima penempatan duta besar negeri lain, serta dalam
memberikan amnesti dan abolisi, Presiden harus memerhatikan pertimbangan DPR,
sebagai upaya untuk menciptakan mekanisme checks andnd balances
b. Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 Setelah mempelajari, menelaah, dan mempertimbangkan dengan
saksama dan sungguh-sungguh hal-hal yang bersifat mendasar yang dihadapi oleh rakyat,
bangsa, dan negara, serta dengan menggunakan kewenangannya berdasarkan Pasal 37 Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia mengubah dan/atau menambah Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 19,
Pasal 20 Ayat (5), Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal 22B, Bab IXA, Pasal 25E, Bab X, Pasal 26 Ayat
(2) dan Ayat (3), Pasal 27 Ayat (3), Bab XA, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal
28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, Bab XII, Pasal 30, Bab XV, Pasal
36A, Pasal 36B, dan Pasal 36C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Perubahan tersebut ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000. Perubahan kedua berkaitan dengan
hal-hal sebagai berikut.
Pemilu juga masih diadakan setiap lima tahun sekali, seperti dimasa orde baru. Namun sistemnya
sudah berbeda dengan sistem pemilu pada masa orde baru. Pada masa sekarang, pemilihan
umum diadakan secara langsung. Dimana semua anggota legislatif (DPR, DPRD Provinsi,
DPRD Kabupaten/Kota, DPD) dipilih langsung oleh masyarakat, bukan lagi oleh panitia yang
ditetapkan oleh pemerintah. Selain itu, presiden dan wakil presiden juga sudah dipilih secara
langsung oleh masyarakat, bukan lagi oleh anggota DPR dan MPR.
Bukan hanya sistem pemilunya yang berbeda, tapi masa jabatannya jga sudah berubah. Jika pada
masa orde baru, presiden bisa menjabat sampai 32 tahun, maka pada masa sekarang hanya dua
periode (10 tahun). Jadi tidak akan ada lagi pemimpin seumur hidup di negeri ini.
Demikianlah perbedaan antara sistem pemilu pada masa orde baru dengan masa reformasi
(sekarang). Perbedaan tersebut akan dikaitkan dengan teori Herbert Spiro tadi. Kita akan
membandingkan kedua sistem tersebut dengan melihat keempat hal yang disebutkan tadi, yatiu
Stabilitas, Fleksibilitas, Efisiensi, dan Efektivitasnya.
Stabilitas
Jika ditinjau dari segi stabilitas, maka penulis melihat bahwa pemilu pada masa orde baru lebih
stabil dari masa sekarang. Pemilu sekarang kerap kali menimbulkan konflik antara pihak yang
kalah dengan pihak yang menang. Sebab pihak yang kalah sering kali tidak mau menerima
kelalahan dengan lapang dada. Selain itu hasil dari pemilihan juga tidak seperti dulu, khususnya
legislatif. Jika dulu anggota legislatif mewakili semua golongan, maka sekarang belum tentu.
Kebanyakan anggota legislatif adalah orang kaya dan pengusaha, karena orang miskin sulit
untuk mencalonkan diri sebagai caleg. Sebab untuk masuk sebagai caleg, harus membayar mahal
kepada partai.
Fleksibilitas
Pemilu pada masa orde baru lebih fleksibel daripada pemilu masa sekarang. Hal tersebut terjadi
karena sistem pada amsa orde baru cenderung stagnan. Selain itu partainya juga hany itu saja.
Jadi masyarakat tidak mengalami kesulitan dalam mengenali partai. Berbeda dengan sekarang,
pemilu diikuti oleh puluhan partai (tentunya kebanyakan adalah partai baru). Banyak masyarakat
yang tidak mengenali partai baru tersebut, khususnya masyarakat pedesaan dan masyarakat yang
berpendidikan rendah.
Efisiensi
Pemilu pada masa orde baru tidak memakan waktu yang banyak karena hanya satu kali saja.
Sedangkan pada masa sekarang pemilu diadakan dalam dua tahap, bahkan sampai tiga tahap
seperti yang terjadi pada pemilu tahun 2004 lalu. Tahapan pemilu tersebut juga membutuhkan
tenggang waktu yang tidak pendek, tapi mencapai dua sampai tiga bulan. Pada pemilu tahun
2004 lalu misalnya. Pemilihan anggota legislatif dilaksanakan pada bulan april, sedangkan
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden baru dilaksanakan pada bulan Juli. Kemudian pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden tahap kedua dilaksanakan pada bulan september. Jadi jika
dikalkulasikan, maka negeri ini butuh waktu hampir satu tahun untuk melaksanakan pemilu.
Berbeda dengan sistem orde baru, yang hanya butuh waktu dalam jumlah bulan dan itupun tidak
sampai lebih dari dua bulan. Jadi pemilu pada masa orde baru memang lebih efisien
dibandingkan dengan pemilu pada masa sekarang.
Efektivitas
Pemilu pada masa ferormasi membutuhkan biaya yang cukup besar, mencapai triliunan rupiah.
Itu belum termasuk biaya untuk melakukan pilkada di tingkat provinsi dan kabupaten kota.
Untuk pemilihan umum harus diadakan dua kali, yaitu pemilihan anggota legislatif dan
pemilihan presiden serta wakil presiden. Sementara pada masa orde baru pemilu hanya
berlangsung satu kali. Jadi tidak membutuhkan biaya yang sebanyak pemilu sekarang. Belum
lagi pemilihan kepala daerah. Jika pada masa orde baru, kepala daerah ditentukan oleh
pemerintah pusat, jadi tidak membutuhkan biaya untuk melakukan proses pilkada seperti yang
terjadi sekarang. Jadi jika kita telaah, memang pemilu di msa orde baru lebih irit penggunaan
biayanya. Namun masyarakat tidak bebas memilih, karena yang terpilih pasti itu-itu saja.
Sehingga hasil pemilihan kerap kali tidak sesuai dengan harapan masyarakat.
6. Apakah pada masa ini terjadi penguatan atau pelemahan nilai pancasila?
Di era reformasi ini, Pancasila seakan tidak memiliki kekuatan mempengaruhi dan menuntun
masyarakat. Pancasila tidak lagi populer seperti pada masa lalu. Elit politik dan masyarakat
terkesan masa bodoh dalam melakukan implementasi nilai-nilai pancasila dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Pancasila memang sedang kehilangan legitimasi, rujukan dan elan
vitalnya. Sebab utamannya sudah umum kita ketahui, karena rejim Orde Lama dan Orde Baru
menempatkan Pancasila sebagai alat kekuasaan yang otoriter.
Terlepas dari kelemahan masa lalu, sebagai konsensus dasar dari kedirian bangsa ini, Pancasila
harus tetap sebagai ideologi kebangsaan. Pancasila harus tetap menjadi dasar dari penuntasan
persoalan kebangsaan yang kompleks seperti globalisasi yang selalu mendikte, krisis ekonomi
yang belum terlihat penyelesaiannya, dinamika politik lokal yang berpotensi disintegrasi, dan
segregasi sosial dan konflik komunalisme yang masih rawan. Kelihatannya, yang diperlukan
dalam konteks era reformasi adalah pendekatan-pendekatan yang lebih konseptual,
komprehensif, konsisten, integratif, sederhana dan relevan dengan perubahan-perubahan yang
terjadi dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.
Di era reformasi ini ada gejala Pancasila ikut “terdeskreditkan” sebagai bagian dari pengalaman
masa lalu yang buruk. Sebagai suatu konsepsi politik Pancasila pernah dipakai sebagai legitimasi
ideologis dalam membenarkan negara Orde Baru dengan segala sepak terjangnya. Sungguh suatu
ironi sampai muncul kesan di masa lalu bahwa mengkritik pemerintahan Orde Baru dianggap
“anti Pancasila“.
Jadi sulit untuk dielakkan jika ekarang ini muncul pendeskreditan atas Pancasila. Pancasila ikut
disalahkan dan menjadi sebab kehancuran. Orang gamang untuk berbicara Pancasila dan merasa
tidak perlu untuk membicarakannya. Bahkan bisa jadi orang yang berbicara Pancasila dianggap
ingin kembali ke masa lalu. Anak muda menampakkan kealpaan bahkan phobia-nya apabila
berhubungan dengan Pancasila. Salah satunya ditunjukkan dari pernyataan Ketua Umum
Gerakan Mahasiswa dan Pemuda Indonesia M Danial Nafis pada penutupan Kongres I GMPI di
Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, Senin, 3 Maret 2008 bahwa kaum muda yang diharapkan
menjadi penerus kepemimpinan bangsa ternyata abai dengan Pancasila. Pernyataan ini
didasarkan pada hasil survey yang dilakukan oleh aktivis gerakan nasionalis tersebut pada 2006
bahwa sebanyak 80 persen
mahasiswa memilih syariah sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara. Sebanyak 15,5
persen responden memilih aliran sosialisme dengan berbagai varian sebagai acuan hidup dan
hanya 4,5 persen responden yang masih memandang Pancasila tetap layak sebagai pandangan
hidup berbangsa dan bernegara.
Di sisi lain, rezim reformasi sekarang ini juga menampakkan diri untuk “malu-malu” terhadap
Pancasila. Jika kita simak kebijakan yang dikeluarkan ataupun berbagai pernyataan dari pejabat
negara, mereka tidak pernah lagi mengikutkan kata-kata Pancasila. Hal ini jauh berbeda dengan
masa Orde Baru yang hampir setiap pernyataan pejabatnya menyertakan kata – kata Pancasila
Menarik sekali pertanyaan yang dikemukakan Peter Lewuk yaitu apakah Rezim Reformasi ini
masih memiliki konsistensi dan komitmen terhadap Pancasila? Dinyatakan bahwa Rezim
Reformasi tampaknya ogah
dan alergi bicara tentang Pancasila. Mungkin Rezim Reformasi mempunyai cara sendiri
mempraktikkan Pancasila. Rezim ini tidak ingin dinilai melakukan indoktrinasi Pancasila dan
tidak ingin menjadi seperti dua rezim sebelumnya yang menjadikan Pancasila sebagai ideologi
kekuasaan. untuk melegitimasikan kelanggengan otoritarianisme Orde Lama dan otoritarianisme
Orde Baru Saat ini orang mulai sedikit- demi sedikit membicarakan kembali Pancasila dan
menjadikannya sebagai wacana publik. Beberapa istilah baru diperkenalkan untuk melihat
kembali Pancasila. Kuntowijoyo memberikan
Sesungguhnya jika dikatakan bahwa rezim sekarang alergi terhadap Pancasila tidak sepenuhnya
benar. Pernyataan tegas dari negara mengenai Pancasila menurut penulis dewasa ini adalah
dikeluarkannya ketetapan MPR No XVIII/ MPR /1998 tentang Pencabutan Ketetapan MPR RI
No II / MPR / 1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Eka Prasetya
Pancakarsa) dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai dasar Negara. Pada pasal 1
Ketetapan tersebut dinyatakan bahwa Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan
Undang Undang Dasar 1945 adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara. Dokumen kenegaraan lainnya
adalah Peraturan Presiden No 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2004-2009. Salah satu kutipan dari dokumen tersebut menyatakan bahwa
dalam rangka Strategi Penataan Kembali Indonesia, bangsa Indonesia ke depan perlu secara
bersama-sama memastikan Pancasila dan Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945 tidak lagi
diperdebatkan. Untuk memperkuat pernyataan ini, Presiden Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono pada salah satu bagian pidatonya yang bertajuk "Menata Kembali Kerangka
Kehidupan Bernegara Berdasarkan Pancasila" dalam rangka 61 tahun hari lahir Pancasila
meminta semua pihak untuk menghentikan perdebatan tentang Pancasila sebagai dasar negara,
karena berdasarkan Tap MPR No XVIII /MPR/1998,
Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa di era reformasi ini elemen masyarakat bangsa
tetap menginginkan Pancasila meskipun dalam pemaknaan yang berbeda dari orde sebelumnya.
Demikian pula negara atau rezim yang berkuasa tetap menempatkan Pancasila dalam bangunan
negara Indonesia. Selanjutnya juga keinginan menjalankan Pancasila ini dalam praktek
kehidupan bernegara atau lazim dinyatakan dengan istilah melaksanakan Pancasila. Justru
dengan demikian memunculkan masalah yang menarik yaitu bagaimana melaksanakan Pancasila
itu dalam kehidupan bernegara ini.