Tendinitis Bicipitalis
Tendinitis Bicipitalis
Tendinitis Bicipitalis
DISUSUN OLEH:
PUTU YANA KUSUMA YULINDA
NIM: 17121001007
Puji syukur saya ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat
dan anugerah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah MFt Kebugaran dan
Olahraga yang berjudul “Rencana Tindakan Fisioterapi Pada Keluhan Tendinitis
Bicipitalis Dekstra pada Pemain Bulutangkis” dengan baik dan sesuai waktu yang
telah diberikan.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah MFt Kebugaran dan
Olahraga dimana dalam makalah ini dibahas mengenai kajian teori dan rencana
tindakan fisioterapi pada kasus tendinitis bicipitalis. Saya menyadari bahwa makalah
ini masih jauh dari kesempurnaan, karena tak ada gading yang tak retak, begitu pula
dengan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saya
mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan
makalah ini, dan mudah-mudahan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR ................................................................................. i
DAFTAR ISI ................................................................................................ ii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ....................................................................................... v
ii
2.8.4 Passive Exercise ..................................................... 3
2.8.5 Free Active Exercise .............................................. 3
2.8.6 Stretching ............................................................... 3
2.8.7 Strengthening ......................................................... 3
2.8.8 Hold Relax ............................................................. 3
2.8.9 Endurance (Bicep Curl) ......................................... 3
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
DAFTAR TABEL
v
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2 Maksud dan Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
1. Mengetahui pengertian Tendinitis Bisipitalis
2. Untuk mengetahui anatomi, fisiologi, dan kajian teori kasus Tendinitis
Bicipital .
3. Mengetahui teori modalitas dan latihan yang diberikan pada kasus
tendinitis bicipitalis.
1.2.2 Tujuan Khusus
Untuk mengetahui manajemen fisioterapi pada kasus tendinitis bicipitalis
dari assessment sampai rencana evaluasi.
2
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Definisi
Tendonitis atau tendinitis adalah peradangan atau iritasi tendon. Regangan
terus-menerus, penggunaan berlebihan atau penyalahgunaan tendon yang
menyebabkan cedera stres berulang, atau cedera akut yang serius dapat
menyebabkan tendonitis. Gejala tendonitis adalah nyeri, kekakuan, dan rasa
terbakar di tendon dan daerah sekitarnya. Nyeri dapat memburuk selama dan
setelah aktivitas yang melibatkan tendon. Tendonitis biasanya terjadi pada ibu
jari, siku, bahu, pinggul, lutut, dan pergelangan tangan, tetapi dapat terjadi di
mana saja terdapat tendon (Santana,2007).
Tendinitis Bicipitalis adalah peradangan yang tetap terlokalisir pada
sarung tendon caput longum biceps brachii (Hudaya,2007). Tendinitis
bisipital adalah tensinovitis (radang pada sarung tendon) dan degenerasi
tendon pada caput longum otot biseps pada alur bisipitalis dari humerus
(Rasjad, 1998).
Tendinitis bciipitalis merupakan suatu proses radang yang biasanya terjadi
pada mereka yang perkerjaannya memerlukan fleksi berulang melawan
tahanan atau aktivitas olahraga seperti melempar bola, ombak dan cakram
(Sjamsuhidrajat, 1997).
3
Gambar 2.1: Tendinitis Bicipitalis
Sumber: www.rehabmypatien.com
4
menambah stabilitas glenohumeral joint. Bagian atas kapsul
diperkuat oleh ligament coracohumeral dan bagian anterior kapsula
yang diperkuat oleh tiga serabut ligament glenuhomeral yang
lemah (Ligamen glenohumeral superior, middle dan inferior). Ada
empat tendon otot yang memperkuat kapsula sendi yaitu
subscapularis, supaspinatus, infrapinatus dan teres minor, yang
dikenal dengan “rotator cuff”(Santoso, 1989).
a. Sendi Glenohumerale
Sendi glenohumeral dibentuk oleh caput humeri
yang bulat dan cavitas glenoidalis scapula yang dangkal dan
berbentuk buah peer. Permukaan sendi dilingkupi oleh rawan
hyaline, dan cavitas glenoidalis dan diperdalam oleh adanya
labrum glenoidale .Dibentuk oleh caput humerus dengan
cavitas glenoidalis scapulae, yang diperluas dengan adanya
cartilago pada tepi cavitas glenoidalis, sehingga rongga sendi
menjadi lebih dalam. Kapsul sendi longgar sehingga
memungkinkan gerakan dengan jarak gerak yang lebih luas.
Proteksi terhadap sendi tersebut diselenggarakan oleh
acromion, procecus coracoideus, dan ligamen-ligamen.
Tegangan otot diperlukan untuk mempertahankan agar caput
humerus selalu dipelihara pada cavitas glenoidalisnya
(Santoso, 1989).
Ligamen-ligamen yang memperkuat sendi
glenohumeral antara lain ligamen glenoidalis, ligamen humeral
tranversum, ligamen coracohumeral dan ligamen
coracoacromiale, serta kapsul sendi melekat pada cavitas
glenoidalis dan collum anatomicum humeri (Santoso, 1989).
Bursa-bursa yang ada pada shoulder joint
adalahBursa otot latisimus dorsi, Bursa infra spinatus, Bursa
otot pectoralis mayor, Bursa subdeltoideus, Bursa ligament
5
coraco clavikularis, Bursa otot subscapularis Bursa
subcutánea acromialis (Santoso,1989).
Gerakan arthrokinematika pada sendi glenohumeral
yaitu : (1) gerakan fleksi terjadi rolling caput humeri ke
anterior, sliding ke posterior (2) gerakan abduksi terjadi rolling
caput humeri ke cranio posterior, sliding ke caudo ventral (3)
gerakan eksternal rotasi terjadi rolling caput humeri ke dorso
lateral, sliding ke ventro medial (4) gerakan internal rotasi
terjadi rolling caput humeri ke ventro medial dan sliding ke
dorso lateral (Santoso, 1989).
2. M. Biceps
Otot bisep (M biceps brachii) memiliki dua tendon, diikat
pada tulang belikat. Satu tendon (caput longum) melewati sendi
bahu. Dua tendon bergabung dengan otot bisep pada lengan atas
dan berlabuh tepat di bawah siku pada lengan bawah. Fungsi otot
bisep adalah untuk menekuk siku dan supinasi (rotasi) lengan
bawah. Tendon biseps caput longum memiliki selubung tendon
yang berkomunikasi dengan sendi bahu. Biceps brachii adalah otot
yang fasikulusnya berbentuk fusiform dengan 2 kepala. Kedua
kepala tersebut berasal dari prosesus scapulae dan akan bersatu
6
pada bagian distal dan dihubungkan oleh tendon ke tulang radius.
Dari Supraglenoid tuberculum, tendon dari kepala yang lebih besar
akan melewati kepala humerus dari cavum glomerohumeral.
Ketika menuruni intertubular sulcus dari humerus, tendon ini akan
diselubungi oleh membran synovial. Struktur ligamentum
tranversus humeral berfungsi untuk menahan agar tendon tersebut
tetap berada pada posisinya. Otot biceps brachii tergabung pada
kelompok fleksor lengan atas yang dibatasi oleh medial dan lateral
intermuscular septum yang dibentuk oleh bagian dalam brachial
fascial yang menyelubungi lengan atas dan berbatasan langsung
dengan fascia deltoid, pectoralis, axilary dan infraspinosus (Moore,
2010).
3. Ligamen
Ligamentum superior glenohumeral (SGHL) dan
ligamentum coracohumeral (CHL) berperan penting dalam
menstabilkan tendon. Superior glenohumeral menempel pada
tendon yang paling unggul dari subskapularis membentuk lipatan
jaringan ikat longgar. Ligamentum coracohumeral yang dianggap
memberikan ketegangan dengan Superior glenohumeral. Kedua
ligamen bersama dengan tendon subskapularis membentuk katrol
bisep atau sling yang menstabilkan tendon bicep caput longum dari
7
dislokasi anteromedial. Bagian dari penyisipan CHL melewati
serat belakang tendon bicep caput longum dituberositas lebih besar
dan menyatu dengan serat tendon supraspinatus untuk membentuk
katrol posterior tendon bicep caput longum.
8
menghubungkan otot bisep ke atas bahu soket, glenoid. Hal ini juga
menyatu dengan cartilage rim sekitar glenoid, labrum. Labrum adalah
jaringan lunak yang mengubah permukaan datar dari glenoid ke socket
yang lebih dalam. pengaturan ini meningkatkan fit dari bola yang
cocok disocket, kepala humerus (Santana,2007).
Mulai di bagian atas glenoid, tendon kepala panjang biseps
berjalan di depan kepala humerus. Tendon lolos dalam alur bicipital
humerus dan diadakan di tempat oleh humeri ligamentum transversal.
Sehingga membuat kepala humerus tergelincir terlalu jauh ke atas atau
ke depan dalam glenoid. Caput Brevis menghubungkan otot bisep pada
Proccessus Coracoidscapula (shoulder blade). Proccessus Coracoid
adalah tulang kecil kenop hanya di bagian depan bahu. Bisep yang
lebih rendah tendon disebut bisep distal tendon. Kata distal berarti
tendon lebih bawah lengan. Bagian bawah dari otot bisep terhubung ke
siku dengan initendon. Membentuk otot pendek dan kepala panjang
biseps tinggal terpisah sampai tepat di atas siku, di mana mereka
bersatu dan terhubung ke distal tendon biseps (Rochman, 1989).
Tendon terdiri dari helai bahan disebut kolagen. Untaian
kolagen dilapisi dalam ikatan samping satu sama lain. Karena untaian
kolagen pada tendon yang berbaris, tendon memiliki kekuatan tarik
tinggi. ini berarti mereka dapat menahan kekuatan tinggi yang menarik
pada kedua ujungnya tendon. Ketika otot bekerja, mereka menarik
salah satu ujung tendon. yang lain akhir tendon menarik pada tulang,
menyebabkan tulang untuk bergerak. Otot biseps dapat menekuk siku
ke atas. Bisep juga dapat membantu melenturkan bahu, mengangkat
lengan ke atas, sebuah gerakan disebut fleksi. Dan otot dapat
memutaratautwist, lengan bawah dengan cara yang menunjuk telapak
tangan dari tangan ke atas. Gerakan ini disebut supinasi, yang posisi
tangan seolah-olah memegang nampan (Santoso, 1989).
9
2.3 Klasifikasi
Gangguan yang melibatkan tendon biceps caput longum dapat
diklasifikasikan dalam 3 subkelompok yang luas : inflamasi, ketidakstabilan,
atau traumatis. Sejumlah penulis mengklasifikasikan biceps lesi tendon
menurut lokasi anatomi, proses patologis, dan status bisep tendon. Burkhead
et al. dan Walch et al. lesi diklasifikasikan dari biceps caput longum oleh
lokasi anatomi patologi. Lesi pada titik asal mempengaruhi jangkar bisep di
lampiran tuberkulum supraglenoid dan labrum unggul. Rotator lesi Interval
terdiri dari bisep tendinitis, tendon robek terisolasi, dan subluxation. Bisep
juga diklasifikasikan patologi dengan status sling bisep, yang memberikan
informasi tentang di mana tendon biceps caput longumakan sublux. Lesi
terisolasi dari SGHL (tendon biceps caput longum dapat sublux ataudislokasi
medial atau lateral) adalah kelompok 1, lesi dari SGHL (tendon biceps caput
longum dapat sublux atau dislokas medial atau lateral) dan parsial artikular
sisi air mata tendon supraspinatus (PASTA) adalah kelompok 2 (hasil
lateralis biceps caput longum(tendon subluksasi)), air mata permukaan dalam
dari subskapularis dan SGHL (tendon biceps caput longum dapat sublux atau
dislokas medial atau lateral) adalah kelompok 3 (hasil di medial LHB tendon
subluksasi), dan kelompok 4 adalah ketika ada merobek permukaan dalam dari
subskapularis tendon, PASTA(parsial artikular sisi air mata tendon
supraspinatus), dan SGHL ( tendon biceps caput longum dapat sublux atau
dislokas medial atau lateral),( Dunn et al., 2008).
Gangguan biceps caput longum diklasifikasikan oleh arthroscopic
temuan yang berkaitan dengan ketidakstabilan biceps caput longum (baik arah
dan tingkat), lesi makroskopik dari biceps caput longum, dan status tendon
rotator cuff yang berdekatan .Arah ketidakstabilan tendon dipandang sebagai
anterior, posterior, atau anteroposterior. Tingkat ketidakstabilan itu dinilai
sebagai tidak ada, subluksasi (kurang dari sepertiga dari biceps caput longum
tanpa melewati situs penyisipan katrol dari tuberositas major dan tuberositas
minor), dan dislokasi. Biceps caput longum lesi tendon yang dinilai sebagai
kelas 0 (tendon normal), kelas I (lesi kecil dengan berjumbai atau erosi yang
10
melibatkan < 50 % dari diameter tendon, kelas II (berjumbai lesi besar atau
erosi yang melibatkan > 50 % dari diameter tendon. Status manset rotator
dievaluasi dan dinilai sebagai A (utuh), B (parsial - ketebalan air mata), atau C
(air mata full-thickness) ini adalah sistem klasifikasi pertama yang mengakui
pentingnya ketidakstabilan biceps caput longum posterior dan hubungannya
dengan air mata yang melibatkan tendon supraspinatus.
2.4 Etiologi
Penyebab Tendinitis Bisipitalis dapat terjadi karena trauma baik langsung
ringan (minor) maupun trauma langsun akibat jatuh atau dipukul terutama saat
lengan sedang adduksi dan tangan supinasi atau bisa juga disebabkan karena
strain yang berulang misalnya melempar dengan tangan terletak lebih tinggi
atau lebih rendah dari bahu, menarik, mengangkat, mencapai, melempar, atau
menggali tanah yang merupakan faktor pencetus. Komplikasi lebih sering
terjadi pada pasien yang lebih tua, terutama kerusakan dan pecahnya tendon
(Hudaya, 2007).
Dalam kasus berulang (lebih) pembebanan (berenang, melempar) otot
bisep caput longum (otot bisep caput longum bracii) menjadi meradang.
Dalam beberapa kasus cairan terbentuk dalam selubung tendon di bagian
depan lengan atas (tenosinovitis). Radang tendon biseps sangat sering terlihat
bersama dengan kerusakan lain di bahu, seperti: sindrom pelampiasan, radang
otot belikat atas, pecahnya otot belikat atas, radang bursa (subacromialis
bursitis), meniskus lesi di bahu (laesio labrum glenoidale). Dengan beban usia
dan diulang otot bisep menjadi ditandai oleh keausan, yang meningkatkan
kemungkinan pecah. Pecah paling sering terjadi ketika otot berkontraksi
ketika sedang diregangkan (eksentrik kontraksi). Peradangan jangka panjang
dari selubung tendon (tenosinovitis) meningkatkan kemungkinan pecahnya
tendon. Sangat jarang untuk tendon yang sehat pecah (Parjoto, 2001).
11
2.5 Patofisiologi
Tendon mendapatkan suplay darah dari pembuluh darah yang mengalir
melalui tendon. Pembuluh darah tendon rentan terhadap penguluran tekanan
dan trauma yang berulang-ulang. Adanya cidera atau trauma menyebabkan
terjadinya kerobekan serabut-serabut tendon, sehingga akan terjadi perubahan
pada tendon. Cairan yang keluar dari sistem sirkulasi akan mengambil tempat
kearah celah tendon yang robek dan dapat menjalar ke sekitarnya kemudian
cairannya tersebut mengendap dan membentuk hematom. Hematom ini akan
menekan ujung-ujung saraf sensoris di sekitarnya sehingga akan menambah
rasa nyeri. Apabila penekanan yang mengakibatkan peradangan ini terjadi
berulang-ulang maka akan mengalami degenerasi dimana tendon semakin
menebal. Hal ini mengakibatkan gerakan tendon terbatas atau terhambat,
sehingga suplay darah terganggu dan akan mengakibatkan tendinitis.
12
sering merah gelap dalam warna karena peradangan. Kadang-kadang
kerusakan tendon dapat menghasilkan air mata tendon, dan kemudian
deformitas lengan (a"Popeye" tonjolan di lengan atas). Dalam kebanyakan
kasus, kerusakan pada tendon biseps adalah karena seumur hidup melakukan
kegiatan overhead. Degenerasi ini dapat diperburuk oleh mengulangi gerakan
bahu yang berlebihan yang sama lagi dan lagi. Berenang, tenis, dan bisbol
adalah beberapa contoh olahraga kegiatan overhead yang berulang. Banyak
pekerjaan dan tugas-tugas rutin dapat menyebabkan kerusakan berlebihan
juga. Gerak overhead yang berulang memainkan bagian dalam masalahbahu
lain yang terjadi dengan biseps tendonitis. Rotator cuff air mata, osteoarthritis,
dan ketidakstabilan bahu kronis sering disebabkan oleh aktivitas yang
berlebihan (Hudaya, 2007).
2.7 Komplikasi
Pada kondisi ini apabila tidak ditangani secara tepat dan cepat dalam
jangka waktu yang lama akan menimbulkan komplikasi seperti : 1)
keterbatasan lingkup gerak sendi karena adanya kekakuan pada sendi, 2)
menurunnya kekuatan otot penggerak sendi bahu, 3) atrofi otot-otot penggerak
sendi bahu, 4) adanya kerusakan struktur sendi bahu.
13
meningkatkan peredaran darah untuk mengangkut produk-produk
tersebut melalui pemberian MWD. Dari penggunaan aplikasi Micro
Wave Diathermy (MWD) pada kondisi tendinitis bicipitalis
diharapkan akan mempengaruhi pengurangan nyeri dengan cara
meningkatkan elestisitas pembungkus jaringan saraf dan
meningkatkan aktivitas neurotansmiter serta ambang rangsang saraf
(Frintice & Quillen, 2005). Pemberian MWD dapat menghasilkan
reaksi lokal pada jaringan dimana akan meningkatkan vasomotion
sphincter sehingga timbul homeostatic lokal dan akhirnya terjadi
vasodilatasi lokal pada tendon dan perbaikan metabolisme. MWD
sangat baik untuk diaplikasikan pada area tubuh yang memiliki
kandungan lemak subkutan yang rendah. Tendon pada kaki, tangan,
pergelangan tangan, AC joint, sternoklavikular joint, tendon patella,
tendon distal pada hamstring, tendon Achilles, dan sendi sacroiliac
merupakan daerah yang baik untuk diberikan terapi MWD. Waktu
terapi berlangsung selama 15 menit untuk menimbulkan efek panas
pada area seperti triceps surae. Pada pengaplikasian area tubuh
lainnya, efek fisiologis dihasilkan setelah pengaplikasian 20-30
menit durasi terapi dengan MWD (Prentice et al, 2002).
14
2.8.2 Ultrasound
Ultrasound merupakan generator yang menghasilkan arus bolak–
balik berfrekuensi tinggi yang berjalan pada kabel koaksial pada
transduser yang kemudian dikonversikan menjadi getaran suara oleh
karena adanya efek piezoelectric.
Efek–efek ultrasound yang telah banyak ditulis dan dikenal adalah
efek secara langsung dan sifatnya lokal, seperti:
1. Efek Mekanik. Jika gelombang ultrasound masuk ke dalam tubuh,
maka efek pertama yang terjadi didalam tubuh adalah efek mekanik.
Gelombang ultrasound menimbulkan adanya peregangan dan
pemampatan didalam jaringan dengan frekwensi yang sama dari
ultrasound. Oleh karena itu terjadilah adanya variasi tekanan didalam
jaringan. Dengan adanya variasi tekanan inilah kemudian timbul
efek mekanik yang lebih dikenal dengan efek microtassage.
2. Efek Thermal. Micromassage yang ditimbulkan oleh ultrasound
akan menimbulkan efek panas didalam jaringan. Efek panas ini
terutama terjadi pada daerah dimana gelombang ultrasound
direfleksikan, yaitu pada daerah perbatasan antara jaringan yang satu
dengan yang lain. Adanya refleksi ini dapat pula menimbulkan
interverensi yang akan menghasilkan adanya kenaikan intensitas.
Efek panas yang disebabkan oleh kenaikan intensitas ini dapat
mencapai ukuran yang sangat tinggi, sehingga akan menyebabkan
adanya nyeri di dalam periosteum.
3. Efek piezoelektrik. Efek piezoelektrik adalah suatu efek yang
dihasilkan apabila bahan-bahan piezoelektrik seperti kristal kwarts,
bahan keramik polycrystalline seperti leadzirconatetitanate dan
barium titanate mendapatkan pukulan atau tekaan sehingga
menyebabkan terjadinya aliran muatan listrik pada sisi luar dari
bahan piezoelektrik tadi. Pada manusia seperti pada jaringan tulang,
kolagen dan protein tubuh juga merupakan bahan-bahan
15
piezoelektrik. Oleh karena itu apabila jaringan-jaringan tadi
mendapatkan suatu tekanan atau perubahan ketegangan akibat
mendapatkan aliran listrik dari ultrasonik akan menyebabkan
perubahan muatan elektrostatik pada membran sel yang dapat
mengikat ion-ion. Efek piezoelektrik antar lain dapat meningkatkan
metabolisme dan dapat dimanfaatkan untuk penyambungan tulang.
4. Efek Penurunan Nyeri . Ultrasound dapat meningkatkan ambang
rangsang selama aktivasi ujung-ujung saraf sensorik ber-myelin tebal
melalui efek thermal. Panas yang dihasilkan oleh ultrasound dapat
merangsang serabut saraf bermyelin dengan diameter besar sehingga
mengurangi nyeri melalui mekanisme gate control theory.
Ultrasound juga dapat meningkatkan kecepatan konduksi saraf
bermyelin tebal sehingga menciptakan efek counter iritan melalui
mekanisme thermal.
Penentrasi terdalam dlm setiap media:
• Tulang : penentrasi 7 mm pada frekuensi 1 MHz
• kulit : penentrasi 36 mm pada frekuensi 1 MHz, pd 3 MHz 12 mm •
tendon : penentrasi 21 mm pada frekuensi 1 MHz, pd 3 MHz 7 mm
• Otot : penentrasi 30 mm pada frekuensi 1 MHz, pd 3 MHz 7 mm
• Lemak : penentrasi 165 mm pada frekuensi 1 MHz, pd 3 MHz 55
mm • 3 MHz penentrasi : 1/3 dari frek 1 MHz
• Intensitas terapi : kontinu. intensitas rendah <0,3 W/cm², intensitas
sedang 0,3-1,2 W/cm², intensitas kuat 1,2-3W/cm². untuk efek
terapeutik 0,7-3 MHZ.
16
Gambar 2.8.2: Ultrasound
Sumber: Dokumentasi Pribadi
2.8.3 Massage
Massage yang digunakan yaitu effleurage dan friction.
a. Effleurage (menggosok) Adalah gerakan dengan cara
mengurut mengusap secara ritmis atau berirama dan berurutan dari
arah bawah ke atas. Effleurage dilakukan dengan telapak tangan dan
jari merapat. Pada saat tangan melakukan gerakan di atas permukaan
tubuh diharuskan gerakan mengikuti kontur tubuh dan seirama tanpa
gerakan terputus. Pada saat melakukan gerakan effleurage ini
dilakukan dengan gerakan ringan, tetapi tekanan akan semakin kuat
ketika mengarah ke jantung. Dan saat tangan kembali keposisi awal
dilakukan dengan ringan dengan tujuan sebagai rasa penenang.
Gerakan effleurage ini biasanya dilakukan untuk mengawali dan
mengakhiri manipulasi massage, serta digunakan ketika adanya
transisi antara gerakan satu dengan yang lainnya. Selain itu
manipulasi ini bertujuan untuk meratakan minyak keseluruh bagian
tubuh dan juga membantu memperlancar aliran darah serta
meningkatkan suhu tubuh (Purnomo, 2015).
17
Gambar 2.8.3.1 : Teknik Massage Effleurage
Sumber: www.time-to-run.com
18
menjadi maksimal yang berakibat meningkatnya kualitas hidup yang
lebih baik dari setiap individu.
19
Gambar 2.8.4: Passive Exercise
Sumber: www.shutterstock.com
20
Gambar 2.8.5: Free Active Exercise
Sumber: www.medical-dictionary.thefreedictionary.com
2.8.6 Stretching
Active stretching adalah suatu metode penguluran atau stretching
yang biasa dilakukan pada otot-otot postural sebagai suatu latihan
fleksibilitas yang dilakukan secara active oleh klien atau pasien
(Evan,2010). Dalam penerapan prosedur active stretching pasien
menunjukkan suatu kontraksi isotonik dari otot yang mengalami
pemendekan, secara akif otot memanjang. Kontraksi isotonik yang
dilakukan saat active stretching dari otot yang mengalani
pemendekan akan menghasilkan otot memanjang secara maksimal
tanpa perlawanan. Adanya kontraksi isotonik akan membantu
menggerakan stretch reseptor dari spindel otot untuk segera
mengulur panjang otot yang maksimal. Golgi tendon organ akan
terlibat dan menghambat ketegangan otot, bila otot sudah mengulur
maksimal sehinga otot dapat dengan mudah dipanjangkan dan
meningkatkan fleksibilitas otot.
21
Gambar 2.8.6: Stretching Exercise
Sumber: www.yumpu.com
2.8.7 Strengthening
Kekuatan kontraksi otot dipengaruhi oleh ukuran otot dan susunan
otot. Ukuran unit motorik dan perekrutan otot motorik, dan panjang
otot saat awal kontraksi. Latihan beban atau hambatan/tahanan
(angkat beban), akan merangsang pembesaran sel akibat sintesis
miofilamen yang banyak. Latihan daya tahan menghasilkan
peningkatan mitokondria, glikogen dan densitas kapiler. Otot yang
tidak digunakan akan mengalami atrofi. Hal ini akibat serabut otot
secara progresif memendek (Saryono, 2011). Strengthening exercise
merupakan bentuk latihan yang sistematis pada satu atau grup otot
dengan memberikan beban manual atau mekanik sehingga
menimbulkan efek untuk meningkatkan kekuatan otot.
22
Gambar 2.8.7: Strengthening Exercise
Sumber: www.semanticscholar.org
23
pada otot tersebut. Pada hold relax stretching, ketika otot
berkontraksi mencapai initial stretch, maka kebalikannya stretch
reflex membuat otot tersebut menjadi relaksasi(reverse innervation),
dimana relaksasi ini membantu menurunkan berbagai tekanan dan
siap untuk melakukan peregangan selanjutnya (Schrader et al.,
1997).
24
e. Pengaturan pernapasan harus teratur, sebaiknya menghirup nafas
waktu melakukan bagian yang terberat dari latihan dan membuang
napas pada waktu bagian relaksasi dari latihan dan jangan menahan
nafas.
f. Repetisi sedikit dengan beban maksimum akan membentuk
kekuatan (strength), sedang repetisi banyak (kira-kira 15 – 20
repetisi) dengan beban ringan atau sedang akan menghasilkan
perkembangan daya tahan (endurance). Kemudian repetisi sedang
dengan beban sedang atau berat dalam jumlah yang sedang atau
rendah diikuti dengan percepatan ketika melakukannya, maka akan
menghasilkan power
25
BAB III
RENCANA TINDAKAN FISIOTERAPI
26
9 Sakit pada pantat (Buttom) A
10 Sakit pada siku kiri A
11 Sakit pada siku kanan A
12 Sakit pada lengan bawah kiri A
13 Sakit pada lengan bawah kanan A
14 Sakit pada pergelangan tangan kiri A
15 Sakit pada pergelangan tangan kanan A
16 Sakit pada tangan kiri A
17 Sakit pada tangan kanan A
18 Sakit pada paha kiri A
19 Sakit pada paha kanan A
20 Sakit pada lutut kiri A
21 Sakit pada lutut kanan A
22 Sakit pada betis kiri A
23 Sakit pada betis kanan A
24 Sakit pada pergelangan kaki kiri A
25 Sakit pada pergelanagn kaki kanan A
26 Sakit pada kaki kiri A
27 Sakit pada kaki kanan A
27
Keterangan:
Tidak Terasa Sakit
Sedikit Sakit
Sakit
Sangat Sakit
2. Keluhan utama:
Nyeri pada daerah lengan atas depan sampai bagian proximal lengan
bawah dextra.
3. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pada 2 Desember 2018 klien sedang berlatih dengan keras untuk
kejuaraan bulutangkis. Klien sudah berlatih 6 bulan dan akhir akhir ini
selalu latihan full. Saat klien sedang berlatih dan menangkis bola klien
merasa sakit pada tangan kanannya. Klien dalam seminggu sudah
merasakan tangan kanan depannya nyeri, namun klien hanya
28
menganggap nyeri biasa dan dipaksakan untuk bermain kembali tetapi
dalam indeks yang ringan karena sudah tidak bisa lagi menahan sakit.
Setelah itu klien perlu konsultasikan rasa nyeri di tangannya karena klien
sudah merasa kesulitan mengangkat tangannya. Keesokan harinya klien
pergi ke rumah sakit dan dirujuk ke poli fisioterapi, saat itu klien
mengeluh nyeri pada lengan atas depan bagian kanan dan susah
mengangkat benda dan menekuk siku/tangannya.
4. Riwayat Keluarga dan Status Sosial
(Lingkungan kerja, lingkungan tempat tinggal, aktivitas rekreasi dan
diwaktu senggang, aktivitas sosial)
Pertanyaan:
a) Apa pekerjaan dan bagaimana situasi kerja di tempat bapak/ibu
bekerja ?
b) Bagaimana kondisi di lingkungan tempat tinggal bapak/ibu ?
c) Apakah bapak/ibu rutin melakukan aktifitas di waktu senggang
seperti olahraga dan rekreasi ?
d) Apakah bapak/ibu aktif di lingkungan sosial seperti kerja bakti ?
e) Apakah ada keluarga yang mengalami sakit seperti yang bapak/ibu
keluhkan ?
Jawaban :
Pasien merupakan atlet badminton/ bulutangkis.
Kondisi di lingkungan tempat tinggal seperti layak biasanya
Diwaktu senggang pasien suka travelling
Pasien aktif di kegiatan sosial seperti kegiatan sekaa teruna.
Tidak ada keluarga yang memiliki riwayat sakit yang sama
5. Riwayat Penyakit Dahulu dan Penyerta
Tidak ada riwayat penyakit dahulu dan penyerta.
29
3.3.2 Pemeriksaan Objektif
1. Pemeriksaan Tanda Vital
(Tekanan darah, denyut nadi, pernapasan, temperatur, tinggi badan, berat
badan)
BP: 120/70 mmHg
HR: 84X/min
RR: 20X/min
Temperatur: 36,70
Berat badan: 65 kg
Tinggi badan: 175 cm
2. Inspeksi / Observasi
Statis:
Terdapat asimetris pada bahu (bahu kanan lebih turun), sedikit
kemerahan pada lengan atas depan dextra.
Dinamis:
Pasien mengalami keterbatasan dan nyeri saat lengan kanan digerakkan
ke arah fleksi shoulder dan elbow, dan adduksi shoulder.
3. Palpasi
- Nyeri tekan pada tendon bicipitalis
- Terdapat spasme pada otot bisep.
- Suhu pada lengan atas depan dekstra lebih hangat dari pada kiri.
4. Joint Test
a. Pemeriksaan Gerak Dasar (Gerak aktif/pasif/isometrik fisiologis)
- Pemeriksaan Gerak Aktif
Merupakan gerakan yang dilakukan oleh pasien tanpa bantuan dari orang
lain atau terapis.
Tabel 3.3.2.1: Hasil Tes Gerak Aktif
Gerakan Mampu Nyeri ROM
Fleksi Mampu Nyeri Terbatas
30
Shoulder
Ekstensi Mampu Tidak Nyeri Full
Shoulder
Adduksi Mampu Nyeri Terbatas
Shoulder
Abduksi Mampu Tidak Nyeri Full
Shoulder
Fleksi Elbow Mampu Nyeri Terbatas
Ekstensi Mampu Tidak Nyeri Full
Elbow
31
5. Muscle Test
(Kekuatan otot, kontrol otot, panjang otot, isometric melawan
tahanan/provokasi nyeri, lingkar otot)
32
Shoulder
Abduksi Mampu Tidak Maksimal
Shoulder Nyeri
Fleksi Elbow Mampu Nyeri Minimal
Ekstensi Elbow Mampu Tidak Maksimal
Nyeri
b. Kemampuan Fungsional
Keterbatasan saat menggerakkan ke Fleksi shoulder dan elbow dan
adduksi shoulder. Kelemahan dan kesulitan saat mengangkat barang dan
menekuk lengan.
c. Pemeriksaan Spesifik
a. Nyeri
Menggunakan VAS (Visual Analogue Scale)
VAS adalah suatu instrumen yang digunakan untuk menilai intensitas
nyeri dengan menggunakan sebuah tabel garis 10 cm. Cara penilaiannya
adalah penderita menandai sendiri dengan pensil pada nilai skala yang
sesuai dengan intensitas nyeri yang dirasakannya setelah diberi penjelasan
dari peneliti tentang makna dari setiap skala tersebut. Penentuan skor VAS
dilakukan dengan mengukur jarak antara ujung garis yang menunjukkan
tidak nyeri hingga ke titik yang ditunjukkan pasien.
0 10
Tidak Nyeri Nyeri Tak Tertahankan
Tabel 3.3.2.5: Hasil Pemeriksaan Nyeri dengan VAS
Diam 2
Gerak 5
Tekan 6
Nyeri tekan pada tendon bicipitalis.
33
b. LGS (Lingkup Gerak Sendi)/ ROM (Range Of Motion)
ROM adalah besarnya suatu gerakan yang terjadi pada suatu sendi. Posisi
awal untuk mengukur semua ROM kecuali rotasi adalah posisi anatomis.
Dalam menentukan ROM adatiga sistem pencatatan yang bisa digunakan
yaitu yang pertama dengan sistem 0 – 180 derajat,yang kedua dengan sistem
180 - 0 derajat, dan yang ketiga dengan sistem 360 derajat. Dengan sistem
pencatatan 0 - 180 derajat, sendi ekstremitas atas dan bawah ada pada posisi
0 derajat untuk gerakan fleksi, ekstensi, abduksi, dan adduksi ketika tubuh
dalam posisi anatomis.
34
tenderness di dalam sulcus bicipitalis dan ini merupakan indikasi tendinitis
bicipitalis.
35
3.3.4 Diagnosa Fisioterapi
1) Impairment
- Nyeri pada tendon bicipitalis
- Kelemahan muskulus biceps akibat nyeri
- Potensial kaku sendi dan kontraktur otot.
2) Fungtional Limitation
- Kesulitan untuk melakukan gerakan fleksi shoulder dan elbow,
kesulitan adduksi horizontal shoulder.
- Kesulitan dalam mengangkat barang, memakai baju, menyisir rambut,
dan kegiatan lain yang memerlukan pengangkatan tangan.
3) Disability
Keterbatasan latihan dengan maksimal.
36
a) Meningkatkan kekuatan otot bisep.
b) Meningkatkan kemampuan fungsional.
c) Meningkatan performa klien sebagai atlet
2. Tujuan Jangka Pendek
a) Mengurangi nyeri dan spasme pada otot bisep
b) Mencegah kaku sendi dan kontraktur.
3. Teknologi Intervensi Fisioterapi
a) MWD
b) Ultrasound
c) Massage
d) Terapi latihan
- Passive Exercise
- Free Active Exercise
- Stretching
- Strengthening
- Hold Relax
- Endurance (Daya Tahan) Exercise
37
Ultrasound (3 F: 3 kali seminggu
kali seminggu) I:1,2 w/cm²
T: Intermitten
T: 6 menit
- Manual Massage F: 3 kali seminggu
Therapy (efflurage, I: Ringan-sedang
friction) (3 kali T:Efflurage dan
seminggu) friction
T: 8 menit
38
friction (3 kali I:Ringan-sedang
seminggu) T: Efflurage dan
friction
T:10 menit
- Terapi Latihan - Stretching F: 3 kali seminggu
I: 10x3 set
T: Stretching
T:10 menit
- Hold Relax F: 3 kali seminggu
I: 8x4 set
T: Hold Relax
T:10 menit
- Strengthening F: 3 kali seminggu
I: 8x3 set
T: Strengthening
T:10 menit
3 Hari 7 (17 - Heating MWD F: 3 kali seminggu
Desember (Microwave I: 70 Hz
2018), Diathermy) (3 T:Deep heating
Hari 8 (19 kali seminggu) T:15 menit
Desember
2018),
Hari 9 (21
Desember
2018)
Ultrasound (3 F: 3 kali seminggu
kali seminggu) I:1,0 w/cm²
T: Continous
T: 6 menit
- Terapi Latihan - Stretching F: 3 kali seminggu
39
I: 10x5 set
T: Stretching
T:10 menit
- Strengthening F: 3 kali seminggu
I: 10x3 set
T: Strengthening
T:10 menit
4 Hari 10 (24 - Terapi Latihan - Stretching F: 3 kali seminggu
Desember I: 10x6 set
2018), T: Stretching
Hari 11 (26 T:10 menit
Desember
2018),
Hari 12 (28
Desember
2018)
- Strengthening F: 3 kali seminggu
I: 10x6 set
T: Strengthening
T:15menit
- Endurance F: 3 kali seminggu
I: 30x3 set hari 1,
40x3 set hari 2, 50x3
set hari ke 3.
T: bicep curl
T:10 menit
40
3.3.7 Rencana Evaluasi dan Tindak Lanjut
Tabel 3.3.7.1: Rencana Evaluasi dan Tindak Lanjut
Hari MMT VAS LGS
1 Grup Otot Sebelum: Sebelum:
- Fleksi Shoulder = Diam: 2 Shoulder: S: 45°-0°-80°
Sebelum: 3, Sesudah: 3 Gerak: 5 T: 45°-0°-
- Adduksi Shoulder= Tekan: 6 90°
Sebelum: 3, Sesudah:3 Sesudah: Elbow: S: 10°-0°-80°
- Fleksi Elbow = Diam: 1 Sesudah:
Sebelum: 2, Sesudah: 2 Gerak: 4 Shoulder: S: 45°-0°-90°
Tekan: 5 T: 45°-0°-
90°
Elbow: S: 10°-0°-90°
41
- Fleksi Elbow = Diam: 0 Sesudah:
Sebelum: 2, Sesudah: 3 Gerak: 3 Shoulder: S: 45°-0°-120°
Tekan: 4 T: 45°-0°-
120°
Elbow: S: 10°-0°-110°
42
- Adduksi Shoulder= Tekan: 3 130°
Sebelum: 4, Sesudah:5 Sesudah: Elbow: S: 10°-0°-120°
- Fleksi Elbow = Diam: 0 Sesudah:
Sebelum: 3, Sesudah: 4 Gerak: 2 Shoulder: S: 45°-0°-135°
Tekan: 2 T: 45°-0°-
130°
Elbow: S: 10°-0°-125°
7 Grup Otot Sebelum: Sebelum:
- Fleksi Shoulder = Diam: 0 Shoulder: S: 45°-0°-135°
Sebelum: 4, Sesudah: 4 Gerak: 2 T: 45°-0°-
- Adduksi Shoulder= Tekan: 2 130°
Sebelum: 5, Sesudah:5 Sesudah: Elbow: S: 10°-0°-125°
- Fleksi Elbow = Diam: 0 Sesudah:
Sebelum: 4, Sesudah: 4 Gerak: 1 Shoulder: S: 45°-0°-150°
Tekan: 2 T: 45°-0°-
135°
Elbow: S: 10°-0°-130°
8 Grup Otot Sebelum: Sebelum:
- Fleksi Shoulder = Diam: 0 Shoulder: S: 45°-0°-150°
Sebelum: 4, Sesudah: 4 Gerak: 1 T: 45°-0°-
- Fleksi Elbow = Tekan: 2 135°
Sebelum: 4, Sesudah: 4 Sesudah: Elbow: S: 10°-0°-130°
Diam: 0 Sesudah:
Gerak: 0 Shoulder: S: 45°-0°-160°
Tekan: 1 T: 45°-0°-
135°
Elbow: S: 10°-0°-140°
9 Grup Otot Sebelum: Sebelum:
- Fleksi Shoulder = Diam: 0 Shoulder: S: 45°-0°-160°
Sebelum: 5, Sesudah: 5 Gerak: 0 T: 45°-0°-
43
- Fleksi Elbow = Tekan: 1 135°
Sebelum: 4, Sesudah: 5 Sesudah: Elbow: S: 10°-0°-140°
Diam: 0 Sesudah:
Gerak: 0 Shoulder: S: 45°-0°-170°
Tekan: 1 T: 45°-0°-
135°
Elbow: S: 10°-0°-145°
44
3.3.8 Hasil Terapi Akhir
Dari pemberian modalitas, manual terapi, dan terapi latihan kepada
klien yang mengalami keterbatasan LGS pada saat gerakan fleksi shoulder;
fleksi elbow; dan adduksi horizontal shoulder; penurunan MMT pada grup
otot gerakan gerakan yang terbatas; dan peningkatan nyeri gerak dan nyeri
tekan pada tendon bicipitalis, didapati hasil bahwa adanya penurunan tingkat
nyeri gerak dan nyeri tekan, peningkatan LGS setiap gerakan yang terbatas,
dan peningkatan MMT (kekuatan otot) dari minggu 1 sampai minggu 3. Pada
minggu ke 4 klien sudah dapat berlatih dengan menggunakan dumbbell untuk
peningkatan daya tahan otot dan sudah dapat berlatih bermain bulutangkis
dengan baik walaupun dalam intensitas ringan-sedang.
45
BAB IV
SIMPULAN
46
DAFTAR PUSTAKA
Brosseau lucie et all. 2009. Deep transverse friction massage for treating tendinitis
(review). The coccrane colaboration. http://www.thecochranelibrary.com. di
akses tanggal 2 Januari 2020
Daniel’s and Worthingham’s, 2007; Manual Muscle Testing; Eighth Edition, W. B
Sounder Company, Philadelphia.
Doley M., Warikoo D., Arunmohzi R. 2013. Effect of Positional Release Therapy and
Deep Transverse Friction Massage of Gluteus Medius Trigger Point-A
Comparative Study. Journal of Exercise Science and Physiotherapy. Vol.
9,No. 1, 40-45.
Dunn W, Spencer E, Wright R, Wolf B, Spindler K, McCarty E. 2008. Interobserver
agreement in the classification of rotator cuff tears using magnetic resonance
imaging.
Ellis, J., 1996, Modules of Basic Nursing Skill, JB. Lippincott, Philadelphia.
Evan, 2010. Metode Stretching Otot Hamstring; diakses tanggal 29 Desember
2019,darihttp://www.infofisioterapi.com/metode-streching-
otothamstring.html.
Frintice, Quillen. 2005. Therapeutic Modalities in Rehabilitation. Thrid Editon
Hudaya Prasetya .2007. Buku Pegangan Rematologi, Politeknik Kesehatan Surakarta
Jurusan Fisioterapi, Surakarta.
Kisner Carollyn, Colby Lynn Allen. 2002. Therapeutic Exercise : Foundation and
Techniques. Sixth Edition. P.A Philadelphia. USA
Moore,K.L. 2010. Clinically Oriented Anatomy. Philadelphia:Lippincott Williams &
Wilkins
Parjoto, Slamet. 2001. Makalah Pelatihan Pelaksanaan Fisisoterapi Komprehensif
pada Nyeri. Surakarta: Ikatan Fisisoterapi Indonesia.
Prentice W, Quillen WS, Underwood F. 2002. Therapeutic Modalities for Physical
Therapy. Second Edition. United States of America. The McGraw-Hill
Company : 272-303
Purnomo. 2015. Perubahan Kadar Laktat Darah Akibat Manipulasi Sport Massage
Pada Latihan Anaerob. Semarang. UNNES
Rasjad Chaerudin (1998), Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi, Bintang Lamumpatue,
Ujung Pandang.
Rochman, Fatchur. 1989. Sindroma Nyeri Bahu Intrinsik dalam Makalah TITAFI VII
tentang Nyeri Bahu, Surabaya.
Romadloni, A. Y. (2013). Penatalaksanaan terapi latihan pada post operasi fraktur
femur dextra 1/3 tengah dengan pemasangan plate and screws di RS
Orthopedi Prof Dr. Soeharso Surakarta. KTI. Surakarta: Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Santana Danil (2007), Kamus Lengkap Kedokteran, Media Aksara Jakarta.
Santoso, Bayu. 1989. Anatomi Fungsional Sendi Bahu dalam. Surabaya: Makalah
TITAFI VII tentang Nyeri Bahu
Saryono. (2011). Metodologi penelitian keperawatan. Purwokerto.
Schrader JW Surburg PR. 1997. Proprioceptive Neuromuscular Facili- 30. Spernoga
SG, Uhl TL, Arnold BL, Et Al. Duration Of Maintained Tation Techniques In
Sports Medicine: A Reassessment. J Athl Hamstring Flexibility After A One-
Time, Modified Hold-Relax Train 1997; 32 (1): 34-9
Schwellnus .1992 {published data only}. Deep Transverse Frictions in the Treatment
of Iliotibial Band Friction Syndrome in Atletes: A Clinical Trial.
Physiotherapy 1992; 78(6):564–568.
Sianturi, Goldfried 2003. Studi Komparatif injeksi dan Oral Triamcinolone Acetonide
pada Sindroma Frozen Shoulder. Tesis pada penatalaksanaan fisioterapi pada
kasus tendinitis bicipitalis sinistra di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta:
Semarang
Sjamsuhidajat, R dan Win de Jong. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran. EGC.
Wahyono, Y., & Budi, U. (2016). Efek pemberian latihan hold relax dan penguluran
pasif otot kuadrisep terhadap peningkatan lingkup gerak fleksi sendi lutut dan
penurunan nyeri pada pasien pasca orif karena fraktur femur 1/3 bawah dan
tibia 1/3 atas. Jurnal Terpadu Ilmu Kesehatan, 5(1), 01-109.
LAMPIRAN