Analisa Perencanaan Struktur Jembatan Dengan Bentang 200 M Menggunakan Metode Cable Stayed Semi Fan System

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 144

TUGAS AKHIR

ANALISA PERENCANAAN STRUKTUR JEMBATAN


DENGAN BENTANG 200M MENGGUNAKAN
METODE CABLE STAYED SEMI FAN SYTEM
(Studi Literatur)

Diajukan Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Memperoleh


Gelar Sarjana Teknik Sipil Pada Fakultas Teknik
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

Disusun Oleh:

PUJI RAMAZANA
1407210221

PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA
MEDAN
2018
ABSTRAK

ANALISA PERENCANAAN STRUKTUR JEMBATAN DENGAN

BENTANG 200M MENGGUNAKAN

METODE CABLE STAYED SEMI FAN SYSTEM

Puji Ramazana
1407210221
Tondi Amirysah Putera P, ST, MT
Rhini Wulan Dary, ST, MT

Jembatan kabel merupakan salah satu jenis jembatan dimana struktur utama
berupa gelagar yang ditahan oleh satu atau lebih kabel yang dipasang miring serta
berfungsi untuk meneruskan beban dari gelagar ke menara atau pilon. Jembatan
kabel sangat efektif digunakan untuk bentang menengah dan panjang. Selain itu
jembatan ini memiliki keunggulan yaitu mencegah penggunaan banyak pilar yang
dapat mengganggu mobilitas dibawahnya. Jembatan kabel memiliki nilai estetika
yang tinggi. Dalam tugas akhir ini bertujuan untuk mengetahui keamanan kabel
bentang yang di rencanakan, dengan panjang bentang kiri 100 m dan kanan 100 m
total panjang bentang 200 m dan lebar 17 m yang di lakukan dengan perangkat
lunak Csi Bridge ver,17 dan mengunakan standar acuan SNI 1726-2013 serta .
Analisis perencanaan yang di lakukan menghasilkan nilai prioda 1,4 pada model 1
dan nilai prioda 0,885 pada model 2, dan dari hasil perbandingan didapat nilai
layan I -0,041 sedangkan nilai layan II -0,042 sehingga struktur jembatan kabel
berdasarkan hasil analisis perencanaan memenuhi syarat izin.

Kata kunci: Jembatan, prioda, deformasi.


ABSTRACT

ANALYSIS OF PLANNING STRUCTURE OF BRIDGE WITH LONG-TERM


USING
CABLE STAYED SEMI FAN SYSTEM METHOD

Puji Ramazana
1407210221
Tondi Amirysah Putera P, ST, MT
Rhini Wulan Dary, ST, MT

Cable bridges are one type of bridge where the main structure is a girder that is
held by one or more cables that are tilted and serves to forward the load from the
girder to the tower or pilon. Cable bridges are very effective for medium and long
spans. In addition this bridge has the advantage of preventing the use of many
pillars which can interfere with mobility below. Cable bridges have a high
aesthetic value. In this final project aims to determine the security of the planned
span cable, with a left span length of 100 m and right 100 m in total span length
of 200 m and width of 17 m which is done with Csi Bridge ver software, 17 and
using SNI 1726 reference standards 2013 and also. The planning analysis that
was carried out produced 1.4 primers value on model 1 and 0.885 in model 2, and
from the comparison results obtained service values I -0.041 while service value
II -0.042 so that the structure of the cable bridge was based on the results of
planning analysis fulfill permit requirements.

Keywords: Bridge, prioda, deformation.


KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabil‟alamin, segala puji atas kehadirat Allah SWT yang telah


memberikan rahmat, taufik serta hidayah-Nya kepada saya, sehingga atas barokah
dan ridho-Nya, saya dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini sebagaimana yang
diharapkan.
Adapun judul dari Tugas Akhir ini adalah “Analisa Perencanaan Struktur
Jembatan Dengan Bentang 200 m Menggunakan Metode Cable Stayed Semi Fan
System” yang diselesaikan selama kurang lebih 10 bulan. Tugas Akhir ini disusun
untuk melengkapi syarat menyelesaikan jenjang kesarjanaan Strata S1 pada
Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah
Sumatera Utara.
Selama menyelesaikan Tugas Akhir ini, saya telah banyak mendapat
bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan ini saya
menyampaikan terima kasih kepada:
1. Bapak Tondi Amirsyah Putra P, S.T, M.T. selaku Dosen Pembimbing I dan
Penguji yang telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis dalam
menyelesaikan Tugas Akhir ini..
2. Ibu Rhini Wulan Dary S.T, M.T. selaku Dosen Pembimbing II dan penguji
yang telah banyak memberikan koreksi dan masukan kepada penulis dalam
menyelesaikan Tugas Akhir ini.
3. Bapak Dr. Ade Faisal selaku Dosen Pembanding I dan penguji yang telah
banyak memberikan koreksi dan masukan kepada penulis dalam
menyelesaika Tugas Akhir ini, sekaligus sebagai Wakil Dekan Teknik Sipil
Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.
4. Bapak Dr. Fahrizal Zulkarnain, S.T, M.Sc selaku Dosen Pembanding II
dalam penulisan Tugas Akhir ini dan Ketua Prodi Teknik Sipil Fakultas
Teknik Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.
5. Bapak Munawar Alfansury Siregar,S.T, M.T, selaku Dekan Fakultas Teknik
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
6. Bapak dan Ibu staf pengajar Program Studi Teknik Sipil Universitas
Muhammadiyah Sumatera Utara.
7. Terimakasih kepada yang sangat teristimewa kepada Ayahanda tercinta
Alm.Ridwan Ismail dan Ibunda tercinta Nur Fuadi M.Jafar yang telah
bersusah payah mendidik dan membiayai saya serta menjadi penyemaangat
saya serta senantiasa mendoakan saya sehingga penulis dapat menyelesaikan
studinya.
8. Terimakasih kepada kakak saya Haja Tina S.E,M.M, abang saya M.Rifki S.T,
Nuzul Qudri S.T, adik saa Mulia Risnanda, Jannatun Naim, Jannatun Makwa
dan Zainab Bill Auva yang telah manjadi motivasi saya hingga selesainya
Tugas Akhir ini.
9. Kepada sahabat-sahabat saya Teuku Muhammad Suhaimi, Siti Dasopang,
Rizki, Retno Friana Dewi, Juni Indriani, Yuwidha Arthika, Nizar Fuadi,
Rahmad Amin Pasaribu, Hanifa Zahra, Adisti, Jefrry Rahmad Fadhil
terimakasih atas dukungan dan kerjasamanya selama ini.
10. Serta teman-teman teknik sipil khususnya kelas A stambuk 2014 dan seluruh
teman-teman yang amat saya cintai yang memberikan semangat serta
masukan yang sangat berarti bagi saya pribadi.
Saya menyadari bahwa Tugas Akhir ini masih jauh dari kesempurnaan
dikarenakan keterbatasan waktu serta kemampuan yang dimiliki oleh penulis.
Oleh karena itu, saya mengharapkan saran dan kritik yang sifat nya membangun
demi kesempurnaan Tugas Akhir ini.
Akhir kata saya mengucapkan terima kasih dan rasa hormat yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tugas
akhir ini. Semoga Tugas Akhir bisa memberikan manfaat bagi kita semua
terutama bagi penulis dan juga bagi teman-teman mahasiswa Teknik Sipil
khususnya. Amin.

Medan, September 2018

Penulis
Puji Ramazana
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ii
LEMBAR PENYATAAN KEASLIAN SKRIPSI iii
ABSTRAK iv
ABSTRACT v
KATA PENGANTAR vi
DAFTAR ISI viii
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xii
DAFTAR NOTASI xiii
DAFTAR SINGKATAN xv
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Ruang Lingkup Penelitian 2
1.4 Tujuan Penelitian 3
1.5 Manfaat Penelitian 3
1.6 Sistematika Penulisan 4
Bab 2 Tinjauan Pustaka
2.1 Jembatan Cable Stayed 5
2.2 Pengertian Umum 6
2.2.1 Struktur Atas 7
2.2.2 Struktur Bawah 8
2.2.3 Bangunan Pelengkap Dan Pengaman Jembatan 8
2.3 Komponen-Komponen Utama 10
2.3.1 Deck Jembatan 13
2.3.2 Kabel Pengantung 15
2.3.3 Elemen Kabel Baja Pratengang 18
2.3.4.1 Kehilangan Akibat Perpendekan Elastis Beton (Es) 24
2.3.4.2 Kehilangan Akibat Susut Pada Beton (Sh) 24
2.3.4.3 Kehilangan Tegangan Akibat Friksi/Gesekan (F) 24
2.3.4.4 Kehilangan Prategang Akibat Slip Pengangkuran 24
2.3.4.5 Kehilangan Akibat Rangkak Pada Beton (Cr) 25
2.3.4.6 Kehilangan Tegangan Akibat Relaksasi Baja (R) 25
2.3.5. Perencanaa Kabel 27
2.3.5.2 Jarak Antara Kabel Pengantung 28
2.3.6 Menara Pengantung 30
2.3.6.1 Analisa Pylon 32
2.3.6.2 Penentuan Dimensi Pylon 32
2.4 Hubungan Pylon Dengan Jembatan 33
2.5 Filosofi Perencanaan 34
2.5.1 Keadaan Layan 35
2.5.2 Keadaan Batas Fatik Dan Fraktur 35
2.5.3 Karakteristik Batas Kekuatan 35
2.5.4 Keadaan Batas Ekstrem 35
2.5.5 Daktalitas 36
2.5.6 Redundasi 37
2.5.7 Kepentingan Oprasional 37
2.5.8 Kelompok Pembebanan Dan Simbol Untuk Beban 32
2.6 Faktor Beban Dan Kombinasi Pembebanan 38
2.6.1 Faktor Beban Dan Kombinasi Pembebanan 38
2.6.2 Faktor Beban Pada Masa Kontruksi 43
2.6.2.1 Evaluasi Pada Keadaan Batas Kekuatan 44
2.6.2.2 Evaluasi Lendutan Pada Keadaan Batas Layan 44
2.7 Faktor Beban Untuk Pendongkrakan Dan Gaya Paska Tarik 44
2.7.1 Gaya Dongkrak 44
2.8 Beban Permanen 44
2.8.1 Umum 44
2.8.2 Berat Sendiri (Ms) 46
2.8.3 Beban Mati Tambahan/Utilitas (Ma) 47
2.8.3.1 Ketebalan Yang Diizinkan 47
2.8.3.2 Sarana Lain Di Jembatan 47
2.8.4 Pengaruh Tetap Pelaksanaan 47
2.9 Beban Lalu Lintas 48
2.9.1 Umum 48
2.9.2 Lanjur Lalu Lintas Rencana 48
2.9.3 Beban Lajur D 49
2.9.3.1 Intensitas Beban D 50
2.9.3.2 Distribusi Beban D 52
2.9.3.3 Respon Terhadap Beban Lajur D 52
2.9.4 Beban Truck T 52
2.9.4.1 Besarnya Pembebanan Truck 53
2.9.4.2 Posisi Dan Pembebanan T 53
2.9.4.3 Kondisi Faktor Kepadatan Jalur 54
2.9.4.4 Bidang Kontak Roda Kendaraan 55
2.9.4.5 Penerapan Beban Hidup Kendaraan 50
2.1.9.6 Beban Hidup Untuk Evaluasi Lendutan 56
2.9.4.7 Beban Rencana Untuk Pelat Lantai 56
2.9.5 Klasifikasi Pembebanan Lalu Lintas 57
2.9.5.1 Pembebanan Lalu Lintas Yang Dikurangi 57
2.9.5.2 Pembebanan Lalu Lintas Yang Berlebih 57
2.9.6 Faktor Beban Dinamis 57
2.10 Gaya Rem (Tr) 59
2.11 Pembebanan Untuk Pejalan Kaki 59
2.12 Beban Angin 59
2.12.1 Tekanan Angin Horizontal 59
2.12.1.1 Beban Angin Pada Struktur (Ews) 60
2.12.1.2 Beban Dari Struktur Atas 60
2.12.1.3 Gaya Angin Yang Langsung Bekerja 61
2.12.1.4 Gaya Angin Pada Kendaraan (Ewl) 61
2.12.1.5 Tekanan Angin Vertical 62
2.13 Peraturan Gempa Yang Dimodifikasi 62
2.13.1 Cara Analisis Tahan Gempa 72
2.13.2 Filosofi Perencanaan (Pembebanan) 73
2.13.3 Keadaan Batas Layan 73
2.13.4 Keadaan Batas Fatik Dan Fraktur 73
2.13.5 Keadaan Batas Kekuatan 73
2.13.6 Keadaan Batas Ekstrem 74
2.13.7 Daktilitas 74
2.13.8 Redundansi (Prediksi) 74
2.13.9 Kepentingan Operasional 74
2.14 Data Lalu Lintas Kapal 75
2.18.1 Klasifikasi Kapal Desain 75
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Bagan Alir Penelitian 76
3.2 Metode Analisis 77
3.3 Standar yang Digunakan Dalam Perencanaan 78
3.4 Krateria Perencanaan Jembatan 78
3.5 Spesifikasi Material Struktur Jembatan Cable Stayed 79
3.6 Perencanaan Struktur Jembatan Cable Satayed 79
3.7 Permodelan Struktur Jembatan Cable Stayed 80
3.8 Preliminary Design 81
3.9 Gaya Prestress, Eksentrisitas dan Jumlah Tendon 86
2.9.1 Gaya Prestress 86
3.10 Analisis Beban Pada Jembatan 91
3.10.1 Analisis Beban Pada Jembatan 91
3.10.2 Beban Mati Tambahan (Ma) 91
3.10.3 Beban Lajur “D” (Td) 93
3.10.4 Gaya Rem (Tb) 93
3.10.5 Beban Pejalan Kaki (Tp) 94
3.10.6 Beban Angin (Ew) 94
3.11 Gaya Akibat Temperatur Seragam (Eu) 94
3.11.1 Temperatur Gradien (Tg) 95
3.11.2 Beban Gempa 95
3.11.3 Kombinasi Pembebanan 97
3.11.4 Beban Menara 98
3.11.5 Kabel Utama 98
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Tinjauan Umum 99
4.2 Analisa Data 99
4.2.1 Hasil Analisa Prioda Getar 99
4.2.2 Kontrol Lendutan 101
4.3 Kabel Utama 105
4.4 Hasil Analisis Prategang Awal dan Jumlah Strand 107
4.5 Hasil Analisis Nilai Gaya Geser Arah X (V2) 107
4.6 Hasil Analisis Nilai Gaya Geser Arah Y (V3) 107
4.7 Hasil Analisis Nilai Gaya Aksial (P) 108
4.8 Kehilangan Prestressed pada Box Girder 109
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan 115
5.2 Saran 116
DAFTAR PUSTAKA 117
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Nilai tipikal untuk . 19

Tabel 2.2 Kawat-Kawat Untuk Beton Prategang 20


Tabel 2.3 Strand standar 7 kawat untuk beton prategang 20
Tabel 2.4 Spesifikasi strand 7 kawat 21
Tabel 2.5 Jenis Kabel dan Angkur 22
Tabel 2.6 Jenis Kabel dan Angkur 37
Tabel 2.7 Berat isi untuk beban mati 40
Tabel 2.8 Faktor beban untuk berat sendiri 41
Tabel 2.9 Faktor beban untuk beban mati tambahan 41
Tabel 2.10 Faktor beban akibat pengaruh pelaksanaan 42
Tabel 2.11 Jumlah lajur lalu lintas rencana 43
Tabel 2.13 Faktor beban untuk beban lajur “D” 44
Tabel 2.14 Faktor beban untuk “T” 47
Tabel 2.15 Faktor kepadatan lajur (m). 49
Tabel 2.16 Tekanan angin dasar 55
Tabel 2.17 Tekanan angin dasar (PB) untuk berbagai sudut serang 56
Tabel 2.18 Komponen beban angin yang bekerja pada kendaraan 57
Tabel 2.19 Kategori kinerja seismik 58
Tabel 2.20 Prosedur analisis berdasarkan kategori kinerja seismik 59
Tabel 2.21 Faktor modifikasi respon (Rd) 59
Tabel 2.22 Kriteria panjang perletakan minimum (N) 60
Tabel 2.23 Koefisien tanah (S). 62
Tabel 3.1 Dimensi profil melintang box girder 75
Tabel 3.2 Perhitungan section properties 76
Tabel 3.3 Pemakaian jumlah strands Tendon 84
Tabel 3.4 Pemakaian jumlah strands 84
Tabel 3.5 Nilai-nilai faktor kapasitas daya dukung 89
Tabel 3.6 Spesifikasi elastomeric bearing pad 90
Tabel 3.7 Berat jenis bahan 92
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Jembatan Cable stayed 4


Gambar 2.2 Suspension Bridge 5
Gambar 2.3 Cable stayed Bridge 6
Gambar 2.4 Tekanan yang diberikan olehngaya kabel 10
Gambar 2.5 Deck stiffening truss 11
Gambar 2.6 Gelagar Solid Web 13
Gambar 2.7 Gelagar Jembatan 15
Gambar 2.8 Ilustrasi Sistem kabel 15
Gambar 2.9 Sistem Kabel 16
Gambar 2.10 Tatanan longitudinal tipe memancar 17
Gambar 2.11 Tatanan longitudinal tipe sejajar 17
Gambar 2.12 Tatanan longitudinal tipe kipas 17
Gambar 2.13 Tatanan longitudinal tipe bintang 17
Gambar 2.14 Untaian Kawat Strand dan Strand 7 Kawat 21
Gambar 2.15 Tipe-tipe Ruji Kabel 22
Gambar 2.16 perhitungan pada kabel jembatan 24
Gambar 2.17 Tipe pylon jembatan cable-stayed 25
Gambar 2.18 Perilaku kolom pada Pylon 27
Gambar 2.19 Beban lajur “D”. 45
Gambar 2.20 Momen lentur positif – bentang 1,3,5 46
Gambar 2.21 Momen lentur positif – bentang 2,4 46
Gambar 2.22 Momen lentur negatif pada pilar 47
Gambar 2.23 Pembebanan truk “T” 48
Gambar 2.24 Penempatan beban truk untuk momen negatif maksimum 50
Gambar 2.25 beban dinamis beban T untuk pembebanan lajur D 53
Gambar 2.26 Prosedur analisis tahan gempa 58
Gambar 2.27 Dimensi panjang dudukan perletakan minimum 61
Gambar 3.1 Diagram alir perencanaan 73
Gambar 3.2 Potongan melintang box girder 74
Gambar 3.3 Dimensi box girder prestress 75
Gambar 3.4 Section properties gelagar jembatan 76
Gambar 3.5 Jarak terhadap alas y 76
Gambar 3.6 Detail gambar tendon dari csi brigde 85
Gambar 3.7 Sepesifikasi Beban yang akan di hitung 86
Gambar 3.8 Tampak 3D r Jembatan cable stayed 91
Gambar 3.9 Tampak 3D Jembatan model 2 software CSI Bridge 91
Gambar 3.10 Input temperatur gradien pada csi bridge 93
Gambar 3.11 Peta percepatan puncak di batuan dasar (PGA) untuk
kota medan 94
Gambar 3.12 Peta respon spektra percepatan 0,2 detik di batuan
dasar untuk kota Medan 94
Gambar 3.13 Peta respon spektra percepatan 1 detik di batuan dasar
untuk kota Medan 95
Gambar 3.14 Grafik respon spectrum 96
Gambar 3.15 Pemodelan respon spectrum pada CSI Bridge 96
Gambar 4.1 Grafik perbandingan nilai perioda getar (T) 97
Gambar 4.2 Grafik perbandingan nilai lendutan. 100
Gambar 4.3 Grafik perbandingan gaya aksial 105
Gambar 4.4 Output nilai Fcsd pada Csi bridge 108
DAFTAR NOTASI

E = Modus elastisitas (MPa)


G = Modulus geser (MPa)
tp = Ketebalan pelat lantai, dinyatakan dalam millimeter (mm)
H = Tinggi total girder (mm)
bp = Lebar pelat lantai efektif (mm)
Mp = Kekuatan lentur nominal (N-m)
Ms = Mp
My = Momen kapasitas pada saat terjadi leleh(N-m)
Mr = Momen batas tekuk (N-m)
λ = Parameter kelangsingan
λr = Batas maksimum parameter kelangsingan penampang tidak kompak
λp = Batas maksimum parameter kelangsingan penampang kompak
V = Gaya geser rencana untuk keadaan batas sesuai akibat lentur(N)
At = Luas transformasi dari lantai beton (mm2)
Yc = Jarak garis netral penampang komposit terhadap titik berat luas At(mm2)
It = Momen kedua dari luas penampang komposit transformasi
Ø = Faktor reduksi
n = Jumlah penghubung geser persatuan panjang
Vsu = Kekuatan geser statik (N)
Ats = Luas penampangdari tulangan melintang (mm2/m)
bsh = Lebar bidang geser yang ditinjau (mm)
fry = Kekuatan leleh karakteristik tulangan(MPa)
fc’ = Kekuatan karakteristik beton (MPa)
fy = Kekuatan karakteristik baja (MPa)
Nt* = Gaya tarik minimum tulangan melintang pada tepi atas lanti (N/m)
ds = Tinggi lantai beton yang membentuk flens gelagar komposit (mm)
Celastis = Koefisien geser dasar tanpa faktor daktilitas dan risiko (Z)
Cplastis = Koefisien geser dasar termasuk daktilitas dan risiko (Z)
A = Percepatan/akselerasi puncak PGA di batuan dasar (g)
R = Respon batuan dasar
S = Amplikasi dipermukaan sesuai tipe tanah
Z = Faktor reduksi sehubungan daktilitas dan risiko
T = Perioda alami struktur(detik)
cd = Faktor modifikasi nilai redaman terhadap standar 5%
So = Akselerasi wilaya gempa dari respon (g)
hi = Konstanta redaman moda
W = Berat bangunan bawah jembatan dan bagian bangunan atas (tf)
K = Konstanta kekakuan (tf/m)
g = Gaya gravitasi (9,8 m/s2)
δ = Simpangan pada kedudukan gaya inersia(m)
ʃ = Integrasi dari seluruh unit getar rencana
γi = Faktor beban ke-i
ηI = Faktor pengubah respon berkaitan dengan klasifikasi operasional
ηD = Faktor pengubah respon berkaitan dengan daktilitas
ηR = Faktor pengubah respon berkaitan dengan redundansi
Qi = Pengaruh gaya
Rn = Tahanan nominal
Rr = Tahanan terfaktor
MS = Beban mati komponen struktural dan non struktural jembatan
MA = Beban mati perkerasan dan utilitas
TA = Gaya horizontal akibat tekanan tanah
PL = Gaya akibat proses pelaksanaan
SH = Gaya akibat susut/rangkak
TB = Gaya akibat rem
TR = Gaya sentrifugal
TC = Gaya akibat tumbukan kendaraan
TV = Gaya akibat tumpukan kapal
EQ = Gaya gempa
BF = Gaya friksi
TD = Beban lajur “D”
TT = Beban truk “T”
TP = Beban pejala kaki
SE = Beban akibat penurunan
ET = Gaya akibat temperatur gradien
EUz = Gaya akibat temperatur seragam
EF = Gaya apung
EWS = Beban angin struktural
EWL = Beban angin pada kendaraan
EU = Beban arus dan hanyutan
q = intensitas beban terbagi rata(BTR) dalam arah memanjang (Kpa)
L = Panjang total jembatan yang dibebani (m)
Lav = Panjang bentang rata-rata dari bentang yang disambungkan(m)
Lmax = Panjang bentang maksimum (m)
PB = Tekanan angin dasar
EQ = Gaya gempa hrizontal (kN)
Csm = Koefisien respon gempa elastis
Rd = Faktor modifikasi respon
Wt = Berat total struktur terdiri dari beban mati dan beban hidup (kN)
μ = Angka poisson
ɑ = Koefisien pemuaian
= Ketebalan pelat lantai
= Momen batas tekuk, , jika λ= , dinyatakan dalam newton millimeter
(N-mm)
= Parameter kelangsingan
= Batas maksimum parameter kelangsingan penampang tidak kompak
= Batas maksimum parameter kelangsingan untuk penampang kompak
= Gaya geser longitudinal rencana persatuan panjang pada salah satu
keadaan batas ultimit atau keadaan batas kelayanan, dinyatakan dalam
newton (N)
= Gaya geser rencana untuk keadaan batas sesuai akibat lentur pada
potongan yang ditinjau, dinyatakan dalam newton (N)
= Gaya geser longitudinal rencana persatuan panjang pada rencana beban
tegangan kerja, dinyatakan dalam newton (N)
= Gaya geser rencana pada beban tegangan kerja, akibat lentur pada
potongan yang ditinjau, dinyatakan dalam newton (N)
= Momen kedua dari luas penampang komposit transformasi, menganggap
beton tanpa retak dan memperhitungakan lebar efektif lantai
Ø = Faktor reduksi sesuai sub-pasal 4.5.2 (RSNI T-03-2005)
n = Jumlah penghubung geser persatuan panjang
= Kekuatan geser statik dari penghubung, dinyatakan dalam newton (N).
Ukuran dan jarak antara penghubung dapat dipertahankan konstan pada
setiap panjang dimana gaya geser rencana maksimum per satuan
panjang tidak melebihi kapasitas geser dengan lebih dari 10 %. Ukuran
dan jarak antara penghubung geser pada ujung tiap bentang harus
dipertahankan untuk paling sedikit 10% panjang tiap bentang
= Tarik aksial rencana per satuan panjang pada keadaan batas ultimit,
dinyatakan dalam Newton/m (N/m)
= Luas penampang dari tulangan melintang per satuan panjang gelagar,
dinyatakan dalam millimeter persegi per meter
= Lebar bidang geser yang ditinjau, dinyatakan dalam millimeter (mm)
= Kekuatan leleh karakteristik tulangan melintang, dinyatakan dalam
Mega Pascal, (MPa)
= Kekuatan karakteristik beton, dinyatakan dalam Mega Pascal (MPa)
= Luas penampang dari tulangan melintang per satuan panjang gelagar
yang ditempatkan pada tepi bawah lantai atau peninggian, dinyatakan
dalam millimeter persegi per meter
= Gaya gerik minimum per satuan panjang gelagar dalam tulangan
melintang pada tepi atas lantai, akibat lentur melintang dalam lantai,
dinyatakan dalam Newton/m (N/m)
= Tinggi lantai beton yang membentuk flens gelagar komposit,
dinyatakan dalam millimeter (mm)
= Panjang bidang keruntuhan geser yang mungkin sekeliling penghubung
(lihat bidang geser jenis 3-3 atau 4-4 pada Gambar 2.7)
= Koefisien geser dasar tanpa faktor daktilitas dan risiko (Z) (lihat
= Koefisien geser dasar termasuk faktor daktilitas dan risiko (Z) (lihat
= Percepatan/akselerasi puncak PGA di batuan dasar (g)
= Respon batuan dasar
= Amplifikasi dipermukaan sesuai tipe tanah
= Faktor reduksi sehubungan daktilitas dan risiko
= Akselerasi puncak dibatuan dasar (g)
= Prioda alami struktur (detik)
= Koefisien tanah
= Akselerasi gempa masukan (g)
= Faktor modifikasi nilai redaman terhadap standar 5% sesuai konstanta
redaman moda
= Akselerasi wilayah gempa dari respon spectra (g)

= Konstanta redaman moda


= Berat bangunan bawah jembatan dan bagian bangunan atas yang dipikul
(tf)
= Konstanta kekakuan (tf/m)
= Gravitasi (9,8 m/ )
= Prioda alami dari unit getar rencana (detik)
= Simpangan pada kedudukan gaya inersia bangunan atas, bila gaya sesuai
80% berat bangunan bawah diatas permukaan tanah untuk perencanaan
tahan gempa dan berat bagian bangunan atas yang dipikul olehnya
dianggap bekerja dalam arah gaya inersia (m)
= Berat bangunan
= Simpangan pada kedudukan s dalam arah kerja gaya inersia bila gaya
lateral sesuai berat bangunan atas dan bangunan bawah diatas
permukaan tanah untuk perencanaan tanah gempa dianggap bekerja
dalam arah gaya inersia (m)
= Berarti integrasi dari seluruh unit getar rencana
= Faktor beban ke- i
= Faktor pengubah respons berkaitan dengan daktilitas, redundansi, dan
klasifikasi operasional
= Faktor pengubah respons berkaitan dengan daktilitas
= Faktor pengubah respons berkaitan dengan redundansi
= Pengaruh gaya
= Tahanan nominal
= Tahanan terfaktor
= 1,05 untuk komponen tidak daktail dan sambungan
= 1,00 untuk perencanaan konvensional serta pendetailan yang mengikuti
peraturan ini
= 0,95 untuk komponen-komponen dan sambungan yang telah dilakukan
tindakan tambahan untuk meningkatkan daktilitas lebih dari yang
disyaratkan oleh peraturan ini
= 1,05 untuk komponen non redundan
= 1,00 untuk komponen redundansi konvensional
= 0,95 untuk komponen dengan redundansi melampaui kontinuitas girder
dan penampang torsi tertutup
= 1,05 untuk jembatan penting atau sangat penting
= 1,00 untuk jembatan tipikal
= 0,95 untuk jembatan kurang penting
= Faktor pengubah respon
= Faktor beban
= Gaya atau beban yang bekerja pada jembatan
= 0,5 (jembatan sangat penting)
= 0,3 (jembatan penting)
= 0 (untuk standar)
= Intensitas beban terbagi rata ( BTR) dalam arah memanjang jembatan
(kPa)
= Panjang total jembatan yang dibebani (meter)
= Panjang bentang rata-rata dari kelompok bentang yang disambungkan
secara menerus
= Panjang bentang maksimum
= Tekanan angin dasar
= Gaya gempa horizontal statis
= koefisien respons gempa elastic
= Faktor modifiksi respons
= Berat total struktur terdiri dari beban mati dan beban hidup yang
sesuai
h = tinggi menara
na = proyeksi panjang horizontal kabel
a = panjang panel
A perlu = luasan penampang pylon yang diperlukan
T = Gaya aksial total kabel pada pylon
b = lebar penampang
Asc = Luas penampang kabel
P = beban yang bekerja
𝜃 = sudut kabel terhadap horizontal
𝛾 = berat jenis kabel = 77 kN/m3
𝑎 = jarak mendatar dari pylon ke kabel pada gelagar
= tegangan putus kabel = 1860 MPa
PB = Tekanan angin dasar
Qi = Pengaruh gaya
Rn = Tahanan nominal
Rr = Tahanan terfaktor
DAFTAR SINGKATAN

SNI = Standar Nasional Indonesia


RSNI = Revisi Standar Nasional Indonesia
BSN = Badan Standarisai Nasional
PBKT = Prencanaan Beban dan Kekuatan Terfaktor
PBL = Perencanaan berdasarkan Batas Layan
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Jembatan kabel (cable stayed bridge) merupakan salah satu jenis jembatan
dimana struktur utama berupa gelagar yang ditahan oleh satu atau lebih kabel
yang dipasang miring serta berfungsi untuk meneruskan beban dari gelagar ke
menara atau pylon. Jembatan cable stayed sangat efektif digunakan untuk bentang
menengah dan panjang. Selain itu jembatan ini memiliki keunggulan yaitu
mencegah penggunaan banyak pilar yang dapat mengganggu mobilitas di
bawahnya.
Pembangunan dibidang transportasi merupakan sebagian prioritas penting
bagi pemerintah untuk mempercepat perkembangan daerah tertinggal.
Transportasi darat merupakan transportasi yang paling efisien dibandingkan jalur
transportasi lainnya. Jalan raya merupakan bagian dari jalur transportasi darat.
Jalan raya ketika harus melewati suatu jalur sungai atau penghalang lainnya
diperlukan struktur jembatan untuk menghubungkan wilayah satu dengan wilayah
lainnya.
Struktur jembatan merupakan bagian penting dan paling mahal dari suatu
sistem transportasi. Sehingga dalam mendesain suatu perencanaan struktur
jembatan diperlukan data-data pembebanan yang lengkap dan lokasi yang tepat
dimana jembatan tersebut akan dibangun, serta memilih struktur yang tepat untuk
digunakan untuk desain jembatan tersebut. Perkembangan ilmu Teknik Sipil pada
saat ini sangat pesat dengan berbagai penemuan yang dilakukan oleh para ahli.
Perkembangan itu juga ditunjukan oleh berbagai material yang dipakai para
desainer dalam mendesain strukturnya sehingga memperoleh material yang
efisien dan optimal untuk menerima beban yang direncanakan.
Sesuai kajian ekonomis dari biaya kontruksi termasuk bahan yang digunakan,
jembatan kabel dibagi dalam 2 macam, yaitu; Suspension bridge dan Cable stayed
bridge. Dalam Tugas Akhir ini akan diuraikan perencanaan struktur atas dari
Cable stayed bridge dengan menggunkan fan system.
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah disebutkan di atas, maka pokok permasalahan


yang terjadi adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana merancang struktur atas jembatan dengan sistem Cable Stayed
Semi Fan Sytem?
2. Bagaimana pengaruh bentang pada perilaku struktur jembatan dengan
bentang yang direncanakan terhadap gaya gempa dan nilai prioda pada
struktur ?
3. Bagaimana penggaruh deformasi pada struktur jembatan setelah analisis
perencanaan di lakukan?

1.3 Ruang Lingkup Penelitian

Untuk menghindari timbulnya penyimpangan permasalahan yang semakin


meluas pada Tugas Akhir ini, maka di perlukan ruang lingkup/pembatasan
masalah yang diantaranya sebagai berikut:
1. Struktur jembatan yang direncanakan menggunakan metode cable stayed
2. Jembatan direncanakan berada di Sumatra Utara dengan kondisi tanah sedang
berdasarkan Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Jembatan SNI
1726-2013. Struktur dianalisa secara linier menggunakan program Csi Bridge
ver,17.0.0.
3. Tinjauan hanya mencakup struktur atas (Super-structure).
4. Panjang perencanaan jembatan adalah 200 m dengan tanah sedang dan 160 m
dengan tanah lunak dimana lebarnya 17 m dan dengan tinggi pylon 50m.
5. Analisa dan perhitungan untuk perencanaan struktur bawah (abutment dan
pondasi) tidak dihitung dalam laporan tugas akhir ini.
6. Tidak meninjau metode pelaksanaan proyek secara keseluruhan (realisasi
jembatan).
7. Standar pembebanan mengacu pada SNI 1725–2016 pembebanan untuk
jembatan.
8. SNI 2833–2013 tentang perancangan jembatan terhadap gempa.
9. SNI 0076–2008 tentang tali kawat baja.
1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penulisan Tugas Akhir ini adalah:


1. Untuk mengetahui keamanan cable dengan bentang yang di rencanakan.
2. Untuk menganalisis pengaruh penggunaan metode cable stayed semi fan
system yang digunakan dan untuk meghitung pengaruh gempa terhadap
jembatan serta mengetahui deformasi.
3. Untuk mengetahui nilai prioda struktur jembatan cable stayed semi fan system
yang mengalami gaya lateral.

1.5.1 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah mengaplikasikan ilmu pengetahuan di


bidang Teknik Sipil dan Lingkungan. Selain itu, hasil dari penelitian ini
diharapkan dapat menjadi masukan atau alternatif pemilihan panjang bentang
dalam teknik perencanaan jembatan dengan sistem cable stayed semi fan system.

1.6 Sistematika Penulisan

BAB 1 PENDAHULUAN
Menguraikan hal-hal umum mengenai Tugas Akhir, seperti latar belakang,
rumusan masalah, ruang lingkup, tujuan penulisan, manfaat penelitian dan
sistematika penulisan.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA


Bab ini berisi teori-teori atau prosedur yang dilakukan penulis untuk
memperoleh jawaban yang sesuai dengan kasus permasalahan.

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN


Bab ini menjelaskan rencana atau prosedur yang dilakukan penulis
memperoleh jawaban yang sesuai dengan kasus permasalahan.

BAB 4 ANALISA DATA


Bab ini menguraikan hasil pembahasan analisis desain dan kinerja struktur
jembatan.
BAB 5 KESIMPULAN
Bab ini merupakan bahasan terakhir yang memberikan ringkasan dan
kesimpulan serta saran dari tugas akhir.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Jembatan Cable Stayed

Jembatan secara umum didefinisikan sebagai struktur bangunan yang


menghubungkan rute/lintasan transportasi yang melintasi sungai, rawa, danau,
selat, saluran, jalan raya, kereta api, atau perlintasan lainnya. Secara garis besar
konstruksi, jembatan terdiri dari 2 komponen utama yaitu bangunan atas
(upperstructure) dan bangunan bawah (sub structure). Bangunan atas merupakan
bagian jembatan yang menerima langsung beban dari orang dan kendaraan yang
melewatinya, meliputi: lantai jembatan, gelagar/rangka jembatan, gelagar
melintang, diafragma. Sedangkan bangunan bawah merupakan bagian yang
menerima beban dari bangunan atas, meliputi: abutment/pangkal jembatan, pilar
jembatan dan pondasi.
Jembatan Cable Stayed sudah dikenal sejak lebih dari tahun 200 tahun yang
lalu (Walter,1988) yang pada awal era tersebut umumnya dibangun dengan
menggunakan kabel vertical miring seperti pada Gambar 2.1. Jembatan seperti ini
merupakan kombinasi dari jembatan Cable Stayed Modren. Sejak saat itu
pembangunan jembatan Cable Stayed mengalami banyak perubahan dan
perkembangan yang mempunyai bentuk bervariasi dari segi material yang di
gunakan (Supriyadi dan Muntohar, 2007:197).

Gambar 2.1: Jembatan Cable Stayed


Pada umumnya jembatan Cable stayed menggunakan gelagar baja, rangka beton
atau beton pratekan sebagai glagar utama jenis jembatan dan material di gunakan
sesuai dengan fungsi dan kebutuhan pada lapangan. Misalnya untuk bentang yang
sangat panjang dapat digunakan jembatan suspension dan untuk jembatan yang
panjang cocok di gunakan jembatan Cable stayed.

2.2 Pengertian Umum

Dapat di lihat pada Gambar 2.2 pada umumnya jembatan di desain dengan
bentang yang cukup panjang, jembatan cable stayed merupakan adopsi atau
kombinasi dari jembatan Suspension dikarenakan jembatan Suspension
menggunakan material kabel sebagai kabel ekstrenal dalam struktur komponen
umum namum memiliki prinsip kerja yang berbeda. Pada jembatan gantung
(Suspension) kabel berkerja sebagai pemikul beban vertikal dari lantai kendaraan.
Kabel yang bekerja tidak memiliki tekan pada lantai kendaraan kabel-kabel
vertikal tersebut tergantung pada kabel utama, dan kabel utama tersebut di angkur
pada kedua titik ujung-ujung jembatan.

Gambar 2.2: Suspension Bridge.

Pada jembatan Cable stayed, kabel tidak saja berfungsi sebagai pemikul
beban namun dapat juga memberikan tekanan pada lantai kendaraan seperti pada
Gambar 2.3. Tekanan yang di berikan dapat membantu meningkatkan kekakuan
pada lantai kendaraan.Tujan dari pemberian gaya pada prategang ialah untuk
mengimbangi berat sendiri pada deck jembatan.
Gambar 2.3:Cable Stayed Bridge.

2.2.1. Struktur Atas (Superstructures)

Struktur atas jembatan adalah bagian-bagian jembatan yang memindahkan


beban beban lantai jembatan ke perletakan arah horizontal. Lantai jembatan
adalah bagian dari suatu jembatan yang langsung menerima beban lalu lintas
kendaraan, pejalan kaki dan beban yang membebaninya secara langsung. Secara
umum bangunan atas pada jembatan terdiri dari yaitu:
a. Gelagar Induk
Komponen ini terletak pada jembatan yang letaknya memanjang atau tegak
lurus arah aliran sungai. Komponen ini merupakansuatu bagian struktur yang
menahan beban langsung dari pelat lantai kendaraan.
b. Gelagar Melintang Atau Diafragma
Komponen ini terletak pada jembatan yang letaknya melintang arah yang
mengikat balok-balok gelagar induk. Komponen ini juga mengikat beberapa
balok gelagar induk agar menjadi suatu kesatuan supaya tidak terjadi
pergeseran antar gelagar induk.
c. Lantai Jembatan
Berfungsi sebagai penahan lapisan perkerasan yang menahan langsung beban
lalu lintas yang melewati jembatan. Komponen ini menahan suatu beban yang
langsung dan ditransferkan secara merata keseluruh lantai kendaraan.
d. Perletakan Atau Andas
Terletak menumpu pada abutment dan pilar yang berfungsi menyalurkan
semua beban langsung jembatan ke abutment dan diteruskan ke bagian fondasi.
e. Plat Injak
Plat injak berfungsi menghubungkan jalan dan jembatan sehingga tidak terjadi
perbedaan tinggi keduanya, juga menutup bagian sambungan agar tidak terjadi
keausan antara jalan dan jembatan pada pelat lantai jembatan.

2.2.2. Struktur Bawah

Struktur bawah suatu jembatan adalah merupakan suatu pengelompokan


bagian-bagian jembatan yang menyangga jenis-jenis beban yang sama dan
memberikan jenis reaksi yang sama, atau juga dapat disebut struktur yang
langsung berdiri di atas dasar tanah.
a. Fondasi
Fondasi merupakan perantara dalam penerimaan beban yang bekerja pada
bangunan ke tanah dasar dibawahnya. Maka bentuk bangunan fondasi sangat
tergantung dari tanahdasar dibawahnya atau tergantung dari jenis tanah bawah
dasar fondasi, yang menentukan besarnya kuat dukung tanah dan penurunan yang
terjadi.
Berikut beberapa jenis fondasi yang sering digunakan yaitu:
1. Fondasi Dangkal
Fondasi dangkal digunakan bila lapisan tanah dibawah fondasi yang telah
diperhitungkan dan diperkirakan mampu memikul beban bangunan diatasnya.
Fondasi dangkal mempunyai kedalaman berkisar 0-12 m, tetapi dalam
pemilihan jenis fondasi pun berbeda-beda, tergantung dari struktur tanah yang
cocok untuk fondasi yang telah direncanakan, dan biasanya menggunakan jenis
fondasi telapak atau sumuran (caisson) serta
2. Fondasi Dalam
Fondasi yang mempunyai kedalaman berkisar >12 m dan biasanya berupa
tiang pracetak, tiang kayu, tiang beton yang dicor ditempat dengan pipa
cassing baja yang ditekan dan dipuntir kedalam tanah atau dengan pengeboran
tanah. Pada umumnya digunakan jenis fondasi tiang pancang.
b. Abutment
Abutment terletak pada ujung jembatan. Maka abutment ini juga berfungsi
sebagai penahan tanah dan menahan bagian ujung dari balok gelagar induk.
Umumnya abutment dilengkapi dengan konstruksi sayap yang berfungsi untuk
menahan tanah dalam arah tegak lurus as jembatan dari tekanan lateral
(menahan tanah ke samping).
c. Pilar
Berbeda dengan abutment yang jumlahnya ada 2 (dua) dalam satu Jembatan.
Bentuk pilar suatu jembatan harus mempertimbangkan pola pergerakan aliran
sungai, sehingga dalam perencanaanya selain pertimbangan dari segi kekuatan
juga memperhitungkan masalah keamanannya. Dalam segi jumlah pun
bermacam-macam tergantung dari jarak bentangan yang tersedia, keadaan
sungai dan keadaan tanah.

2.2.3. Bangunan Pelengkap Dan Pengaman Jembatan

Bangunan pelengkap pada jembatan adalah bangunan yang merupakan


pelengkap dari konstruksi jembatan yang fungsinya untuk pengamanan terhadap
struktur jembatan secara keseluruhan dan keamanan terhadap pemakai jalan.
Macam-macam bangunan pelengkap:
a. Saluran Drainase
Terletak dikanan-kiri abutment dan di sisi kanan-kiri perkerasan jembatan.
Saluran drainase berfungsi untuk saluran pembuangan air hujan pada jembatan.
b. Jalan Pendekat
Jalan pendekat/oprit jembatan adalah jalan yang berfungsi sebagai jalan
masuk bagi kendaraan yang akan lewat jembatan agar terasa nyaman. terletak di
kedua ujung jembatan.
c. Talud
Talud mempunyai fungsi utama sebagai pelindung abutment dari aliran air
sehingga sering disebut talud pelindung terletak sejajar dengan arah arus sungai.
d. Guide Post/Patok Penuntun
Berfungsi sebagai penunjuk jalan bagi kendaraan yang akan melewati
jembatan, biasanya diletakkan sepanjang jembatan.
e. Lampu penerangan
Selain berfungsi untuk penerangan di daerah jembatan pada malam hari juga
berfungsi untuk estetika.
Perencanaan harus memperhatikan faktor komponen struktur maupun keseluruhan
jembatan dengan mempertimbangkan faktor-faktor berikut (Masnul, 2009):
1. Kontinuitas dan redundasi.
2. Semua komponen struktur jembatan harus mempunyai ketahanan yang
terjamin terhadap kerusakan dan instabilitas sesuai umur yang direncanakan.
3. Aspek perlindungan eksternal terhadap kemungkinan adanya beban yang tidak
direncanakan atau beban berlebihan.

2.3 Komponen-Komponen Utama

Jembatan kabel merupakan jembatan yang terdiri dari beberapa komponen-


komponen penting untuk melengkapi kekuatan dalam struktur jembatan. Dimana
komponen tersebut terdiri dari lantai kendaraan (deck) yang berfungsi sebagai
lantai kendaraan yang memiliki setruktur yang kuat serta kekakuan yang besar,
kabel pengantung (Stayed cable) yang berfungsi sebagai struktur yang bersifat
mudah lentur dan hanya dapat memikul tegangan tarik, dan menara pengantung
(Pylon) yang berfungsi sebagai struktur berukuran tinggi yang merupakan
tumpuan dari elemen kabel. Komponen dari jembatan ini mempunyai sistem kerja
yang berbeda Namun secara umum komponen ini mempunyai komponen yang
bekerja sama dalam fungsinya.

2.3.1 Deck jembatan

Deck adalah bagian dari jembatan yang berfungsi sebagai lantai kendaraan.
Material yang di gunakan pada deck beragam seperti beton, baja dan komposit.
Bentuk deck juga beragam sesuai dengan material yang di gunakan, dalam fungsi
kerjanya deck merupakan elemen external yang dominan dalam menerima beban.
Beban yang di pikul oleh dek berupa beban mati yaitu berat sendiri struktur,
beban mati tambahan serta beban lalu lintas Gambar 2.4.
Karena fungsinya sebagai tempat lalu lalang transportasi maka struktur deck
harus mempunyai kekakuan yang besar, kuat dan stabil. Besarnya kekakuan pada
dek juga ikut di sumbang oleh gaya kabel, jarang antara kabel serta besar sudut
kabel terhadap benda horizontal.
Gambar 2.4: Tekanan yang di berikan oleh gaya kabel.

Semakin besar gaya aksial yang di hasilkan maka semakin besar kekakuan
yang di sumbangkan oleh kabel. Pada Gambar 2.4 menunjukan momen yang
terjadi pada jembatan dapat dilihat bahwa kabel akan menggurangi momen yang
terjadi pada deck jembatan. Diagram momen juga dapat membantu untuk tahap
awal penentuan jumlah kabel di mana pada gambar tersebut dapat di lihat adanya
zero deflection. Pada awal perkembangan jembatan Cable Stayed modern,
stiffening truss banyak digunakan tetapi sekarang sudah mulai ditinggalkan dan
jarang digunakan dalam desain, karena mempunyai banyak kekurangan.
Kekurangannya adalah membutuhkan pabrikasi yang besar, perawatan yang relatif
sulit, dan kurang menarik dari segi estetika. Meskipun demikian dapat digunakan
sebagai gelagar dengan alasan yang memiliki sifat aero dinamik yang baik,
Berikut adalah contoh gambar stiffening truss:

Gambar 2.5: Deck stiffening truss(Troitsky, 1977).


Deck atau gelagar yang tersusun dari solid web terbagi atas dua tipe yang
terbuat dari baja atau beton dapat di klasifikasikan sebagai berikut:
a) Gelagar pelat (plate girder), dapat berdiri dari dua atau banyak gelagar.
b) Gelagar box (box girder), dapat terdiri dari satu atau dua susunan box yang
dapat berbentuk persegi panjang atau trapesium.
Susunan deck yang tersusun dari gelagar tidak memiliki kekakukan torsi yang
besar sehingga tidak dapat di gunakan untuk jembatan yang berbentang panjang
dan lebar atau untuk jembatan yang di rencanakan hanya menggunkan satu bidang
pengantung. Deck jembatan satu atau susunan box akan memiliki kekuatan torsi
yang sanggat besar sehingga sangat cocok untuk jembatan yang mengalami torsi
besar. Jembatan yang menggunakan satu bidang kabel pengantung biasanya
menggunakan gelagar box tunggal.
Gelagar pelat atau box mempunyai masalah seperti pada truss berupa
perawatan terhadap korosi yang relatif mahal meskipun biaya konstruksinya lebih
murah. Perkembangan teknologi beton yang sangat cepat membuat baja mulai
ditinggalkan dan beralih ke gelagar beton yang dapat berupa beton precast atau
cetak setempat. Gelagar beton umumnya berupa gelagar box tunggal yang diberi
pengaku lateral pada jarak tertentu (Supriyadi dan Muntohar, 2007:206).
Gelagar atau deck biasanya berupa beton dengan berat yang relatif lebih
ringan, deckorthotropic, atau baja berongga yang sebagian diisi dengan beton
(komposit baja-beton). Pada sistem lantai atau deck ini, pengaruh kembang-susut
material baja atau beton perlu diperhatikan dengan seksama. Kembang-susut yang
tidak terkontrol dapat menyebabkan penambahan tegangan pada struktur deck,
aspek penting lainnya dari gelagar atau deck jembatan adalah kekakuan torsional.
Kekakuan torsional yang baik akan menyebabkan kestabilan yang lebih baik dari
jembatan terhadap beban dinamik angin (Hidayat, 2011). Susunan deck yang
tersusun dari gelagar pelat (plate girder) tidak memiliki kekakuan torsionalyang
besar sehingga tidak dapat digunakan untuk jembatan yang bentangnya panjang
dan lebar jembatan yang direncanakan hanya menggunakan satu bidang kabel
penggantung. Deck jembatan yang menggunakan satu atau susunan box akan
memiliki kekakuan torsi yang sangat besar sehingga cocok untuk jembatan yang
mengalami torsi yang sangat besar (Supriyadi dan Muntohar, 2014). Berikut
adalah gambar gelagar plat solid web:

Gambar 2.6: Gelagar solid web.

Gelagar yang tersusun dari solid web yang terbuat dari baja atau beton dapat
berupa:
a) Gelagar pelat (plate girder), terdiri atas dua atau banyak gelagar;
b) Gelagar box (box girder), terdiri atas satu atau susunan box yang dapat
berbentuk persegi panjang atau trapesium;
Gambar 2.7 Gelagar jembatan dengan solid web baja.

Material struktur atas dapat terbuat dari beton, baja, dan komposit. Struktur
atas terbuat dari beton biasanya digunakan untuk bentang sampai dengan 350
meter dengan pertimbangan biaya pelaksanaan yang lebih murah. Untuk bentang
yang lebih panjang, pemakaian beton pada gelagar jembatan akan menyebabkan
pertambahan berat sendiri yang pada akhirnya akan mempengaruhi dimensi
elemen jembatan yang lain seperti kabel, menara, dan fondasi. Dengan
pertimbangan tersebut, pada bentang yang lebih dari 500 meter umumnya
digunakan gelagar jembatan baja. Di antaranya dapat digunakan material
komposit baja dan beton. Kelebihan dari struktur komposit tersebut adalah
kemudahan dalam hal pelaksanaan pekerjaan.
2.3.2 kabel pengantung (Stayed cable)

Kabel adalah struktur yang bersifat fleksibel, hal ini dikarenakan kekakuan
kabel yang rendah, sehingga kabel dapat berubah bentuk saat di bebani. Fleksibel
pada kabel menyebabkan kabel sebgai struktur kabel yang mengalami deformasi
besar ketika di bebani. Besarnya deformasi tergantung pada pembebanan yang
terjadi saat kabel di beri pembebanan. Selain memiliki sifat fleksibel sifat lain dari
kabel ialah hanya mampu memikul tegangan tarik, menyebabkan kabel elastis
tidak terjadi tekuk. Kabel digunakan untuk menopang sistem lantai (gelagar)
diantara dua tumpuan dan memindahkan beban tersebut ke menara (Supriyadi dan
Muntohar, 2014). Sistem kabel seperti ditunjukan Gambar 2.8 terdiri dari kabel
struktural, segmen-segmen dari gelagar, dan pylon.

Gambar 2.8: Ilustrasi system kabel jembatan cable stayed.

Sistem kabel ini bisa di sederhanakan dengan meninjau kabel sebagai sebuah
tatanan transversal dan tatanan longitudinal. Tatanan transversal atau tatanan
melintang dapat menggunakan tiga alternative yaitu satu bidang (single plane),
dua bidang (two lateral plane), dan tiga atau lebih bidang. Kabel satu bidang
digunakan untuk jembatan dengan lebar yang relatif kecil serta jumlah lajur lalu
lintas yang genap, sedangkan untuk dua bidang digunakan pada jembatan dengan
lebar lajur lalu lintas cukup besar, contohnya jembatan suramadu, jembatan merah
putih (jembatan Galalapoka), dan lain sebagainya. Jembatan cable stayed dengan
jumlah bidang kabel tiga atau lebih, biasanya digunakan untuk jembatan dengan
yang sangat lebar. Penggunaaan kabel penggantung tiga bidang sampai saat ini
masih berupa inovasi dan baru sampai pada tahap desain (Podolny et. all, 1998)
Sistem kabel merupakan salah satu hal yang sangat mendasar dalam
perencanaan jembatan cable stayed dapat dilihat pada Gambar 2.9. Kabel
digunakan untuk menopang lantai kedaraan atau deck di atara dua tumpuan dan
memindahkan beban tersebut pada menara/pylon. Sistem kabel terbagi menjadi
empat bentuk dasar, yaitu: a) sistem radiating; b) sistem harp; c) sistem fan; d)
sistem star.

Gambar 2.9: Sistem Kabel (Troitsky, 1977).

Dari Gambar di atas, dapat dilihat perbedaan dari setiap sistem kabel. Pada
sistem kabel radiating, kabel dipusatkan pada ujung atas menara dan disebar
sepanjang bentang pada gelagar. Pada sistem harp, kabel-kabel penggantung
dipasang sejajar dan disambungkan ke menara dengan ketinggian yang berbeda
pada satu kabel dengan kabel lainnya. Sistem kabel fan merupakan kombinasi
antara sistem radiating dan sistem harp, dimana kabel disebar pada bagian atas
menara dan pada sepanjang bentang, sehingga kabel tidak sejajar. Sedangkan pada
sistem kabel star, bentuknya berlawanan dengan sistem radiating dimana kabel
terpusat pada gelagar.
a. Tipe memancar (radiating)
Gambar 2.10 Merupakan sebuah susunan dimana kabel dipusatkan pada ujung
atas menara dan disebar sepanjang bentang dan gelagar. Kelebihan tipe ini
adalah kemiringan rata-rata kabel cukup besar 15 sehingga komponen gaya
horizontal tidak terlalu besar kabel yang terkumpul di atas kepala (top) menara
menyulitkan dalam perencanaan dan pendetailan sambungan.

Gambar 2.10: Tatanan longitudinal tipe memancar.

b. Tipe sejajar (harp)


Terdiri atas kabel-kabel penggantung yang di pasang sejajar disambungkan ke
menara dengan ketinggian yang berbeda-beda satu terhadap yang lainnya
Gambar 2.11. Susunan kabel yang sejajar memberikan efek estetika yang
sangat indah namun terjadi lentur yang besar pada menara
.

Gambar 2.11: Tatanan longitudinal tipe sejajar.

c. Tipe kipas (fan)


Merupakan solusi tengah dari tipe radiating dengan tipe harp. Kabel disebar
pada bagian atas menara dan pada deck sepanjang bentang, menghasilkan kabel
tidak sejajar Gambar 2.12. Penyebaran kabel pada menara akan memudahkan
pendetailan tulangan.
Gambar 2.12: Tatanan longitudinal tipe kipas.

d. Tipe bintang (star)


Memiliki bentuk yang berlawanan dengan tipe radiating dimana kabel terpusat
pada gelagar. Bentuk ini memberikan efek estetika yang baik namun
menyulitkan pendetailan sambungan pada gelagar Gambar 2.13. Dukungan
antara dua tumpuan tetap, jembatan hanya ada pada pertemuan kabel sehingga
momen lentur yang akan terjadi menjadi lebih besar.

Gambar 2.13: Tatanan longitudinal tipe bintang.

2.3.3 Elemen kabel baja prategang

Baja yang dipakai untuk prategangan biasanya merupakan baja mutu tinggi
dan disebut tendon prategang. Tendon prategang umumnya berupa strand (untaian
kawat), kawat (wire) dan batang baja (bar). Jenis-jenis tendon yang adamisalnya
7-wire monostrand tendon, multi strand tendon, single bar tendon danmulti wire
tendon. Jenis tendon yang sering digunakan adalah jenis seven wire strand.
Jenisini dapat digunakan baik pada sistem pretension maupun post tension. Nilai
kuattarik ultimitnya (fpu) berkisar antara 1720 MPa hingga 1860 MPa. Jenis
tendon seven wire strand dapat berupa strand tegang lepas (stress relieved strand)
atau strand relaksasi rendah (low relaxation strand). Berikut ini disajikan jenis-
jenis tendon prategang beserta nilai tipikal untuk ASTM A-416 seperti pada

Tabel 2.1.

Tabel 2.1: Nilai tipikal untuk .

Derajat Dimensi nominal


Tipe Ukuran Berat
fpu Diameter Luas
Tendon Batang (kg/m)
(Mpa) (mm) (
Seven wire 1860 9 9,53 54,84 0,432
Strand 1860 11 11,13 74,19 0,582
1860 13 12,70 98,71 0,775
1860 15 15,24 140 1,109
1760 16 15,47 148 1,173
Prestressing 1720 5 5,00 19,6 0,154
wire 1620 7 7,00 38,5 0,302
1760 7 7,00 38,5 0,302
Deformed 1080 15 15,0 177 1,44
Prestressing 1030 26 26,5 551 4,48
bars 1030 32 32,0 804 6,53
1030 36 36,0 1014 8,27

Pada Tabel 2.2 baja prategang dapat berbentuk kawat - kawat tunggal, strand
yang terdiri dari atas beberapa kawat yang dipuntir membentuk elemen tunggal
dan batang - batang bermutu tinggi.

Tabel 2.2: Kawat-Kawat Untuk Beton Prategang (Nawy, 2001).


Tegangan minimum pada
Diam
Kuat tarik minimum (psi) ekstensi 1 %
nominal (m)
(psi)
Tipe BA Tipe WA Tipe BA Tipe WA
0.192 250.000 212.500
Tabel 2.2: Lanjutan.
0.196 240.000 250.000 204.000 212.500
0.25 240.000 240.000 204.000 204.000
0.276 235.000 235.000 199.750 199.750

Baja prategang dapat berbentuk kawat-kawat tunggal, strand yang terdiri dari
atas beberapa kawat yang bermutu tinggi dapat di lihat pada tabel 2.3.

Tabel 2.3: Strand standar 7 kawat untuk beton prategang (Nawy, 2001).
Beban
Diameter Kuat patah Luas baja Berat nominal
minimum
nominal strand nominal strand
pada ekstensi
(in) (min. lb) strand (in 2) (lb 1000 ft)*
1% (lb)
Mutu 250
¼(0.250) 9.000 0.036 122 7.650
5/16(0.313) 14.500 0.058 197 12.300
3/8(0.375) 20.000 0.08 272 17.000
7/16(0.438) 27.000 0.108 367 23.000
½(0.500) 36.000 0.144 490 30.600
3/5(0.600) 54.000 0.216 737 45.900
Mutu 270
3/8(0.375) 23.000 0.058 290 19.550
7/16(0.438) 31.000 0.115 390 26.350
½(0.500) 41.300 0.153 520 35.100
3/5(0.600) 58.600 0.217 740 49.800
Note: *100,000 psi = 689.5 Mpa
1000 lb = 4,448 N

Baja tendon yang dipakai untuk beton prategang dalam prakteknya ada tiga
macam, yaitu:
1. Kawat tunggal (wire), biasanya digunakan untuk baja prategang pada beton
prategang dengan sistem pratarik (pretension).
2. Kawat untaian (strand), biasanya digunakan untuk baja prategang pada beton
pratengang dengan sistem pascatarik (post tension).
3. Kawat batangan (bar), biasanya digunakan untuk baja prategang pada beton
prategang dengan sistem pratarik (pretension).
Kawat tunggal yang dipakai untuk beton prategang adalah yang sesuai
dengan spesifikasi seperti ASTM A 421. Untaian kawat (strand) banyak
digunakan untuk beton prategang dengan sistem pasca tarik. Untaian kawat yang
dipakai harus memenuhi syarat seperti yang terdapat ASTM A 416. Untaian
kawat yang banyak digunakan adalah untaian tujuh kawat. Gambar penampang
strand 7 kawat dapat dilihat pada Gambar 2.14.

Gambar 2.14: Untaian Kawat Strand dan Strand 7 Kawat.

Tabel 2.4: Spesifikasi strand 7 kawat.


Ø Nominal (mm) Luas Nominal Kuat Putus (kN)
6,35 23,22 40
7,94 37,42 64,5
9,53 51,61 89
11,11 69,68 120,1
12,70 92,9 160,1
15,24 139,35 240,2
2.3.4 Kehilangan Gaya Prategang

Dalam menganalisis kehilangan, harus mempertimbangkan bahan-bahan yang


sebenarnya dan kondisi lingkungan masing masing bahan (waktu, kondisi
pemaparan, dimensi dan ukuran komponen struktur, dan sebagainya) yang
mempengaruhi jumlah dari kehilangan prategang. Dalam perencanaan beton
pratekan, analisis gaya-gaya efektif dari tendon penting sekali untuk diketahui.
Dalam buku karangan T.Y Lin dan Ned H Burns tahun 1988 disebutkan
bahwa kehilangan gaya prategang akan terjadi dalam dua tahap dan keduanya
akan sangat mempengaruhi hasil akhir gaya-gaya efektif tendon yang akan terjadi.
Tahap pertama, pada saat setelah peralihan gaya prategang ke penampang beton,
tegangan dievaluasi sebagai tolak ukur perilaku elemen struktur. Pada tahap ini
kehilangan gaya prategang meliputi:

2.3.4.1 Kehilangan Akibat Perpendekan Elastis Beton (ES)

Pada saat gaya pratekan dialihkan ke beton, komponen struktur akan


memendek dan baja akan ikut memendek bersamanya. Jadi ada kehilangan gaya
pratekan pada baja, konsep perpendekan elastik dapat dilihat pada Gambar 2.15.

Gambar 2.15: Perpendekan elastis. (a) Balok tak bertegangan. (b) balok yang
memendek secara longitudinal bertegangan.

Rekomendasi SK SNI 03-2847-2002 untuk memperhitungkan kehilangan


tegangan pada struktur pasca-tarik dapat ditentukan dengan Pres 2.1 berikut:
nPi
ES = c (2.1)
Ac

Atau secara praktis, untuk struktur pasca tarik dapat digunakan Pers 2.2:
s
ES = 0,5 fc (2.2)
c
2.3.4.2 Kehilangan Akibat Susut Pada Beton (SH)

Susut pada beton dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti rangkak dan
perhitungan-perhitungan kehilangan gaya prategang dari sumber ini akan
menggambarkan yang mana hal-hal yang paling penting: perbandingan antara
volume dan permukaan, kelembaban relatif, dan waktu dari akhir curing sampai
dengan bekerjanya gaya prategang. Karena susut tergantung dari waktu (lihat
Gambar 2.16 untuk kurva perbandingan susut terhadap waktu).

Gambar 2.16: Kurva perbandingan susut terhadap waktu.

Kita tidak mengalami 100% kehilangan tegangan batas dalam beberapa


tahun, tetapi 80% terjadi pada tahun pertama. Faktor-faktor modifikasi untuk
perbandingan volume terhadap permukaan (V/S) dan kelembaban relative (RH)
diberikan pada Pers 2.3 di bawah ini:
V
fpSH = 8,2 10-6 SH s (1- 0,06 S ) (100 - RH) (2.3)

Dimana nilai KSH untuk komponen struktur pascatarik dapat dilihat pada
Tabel 2.5:

Tabel 2.5: Nilai KSH untuk komponen struktur pascatarik.


Waktu dari
perawatan basah
1 3 5 7 10 20 30 60
hingga pemberian
prategang
KSH 0,92 0,85 0,8 0,77 0,73 0,64 0,58 0,45
2.3.4.3 Kehilangan Tegangan Akibat Friksi/Gesekan (F)

Kehilangan prategang terjadi pada komponen struktur pascatarik akibat


adanya gesekan antara beton dengan tendon disekitarnya. Besarnya kehilangan ini
merupakan fungsi dari elinyemen tendon, yang disebut efek kelengkungan. Selain
itu juga terdapat deviasi lokal dalam elinyemen tendon yang tak dapat dihindari
atau tidak disengaja, disebut sebagai efek wobble. Koefisien efek kelengkungan
dan efek wobble dapat diperoleh pada Tabel 2.6.

Tabel 2.6: Koefisien gesek kelengkungan dan wobble.


Jenis tendon Koefisien Koefisien
wobble (K) kelengkungan (µ)
Tendon diselubungi metal fleksibel
Tendon kawat 0,0033-0,0049 0,15-0,25
Strand 7 kawat 0,0016-0,0066 0,15-0,25
batang mutu tinggi 0,0003-0,0020 0,08-0,30
Tendon di saluran metal yang rigid 0,0002 0,15-0,25
Strand 7 kawat
Tendon yang dilapisi mastic 0,0033-0,0066 0,05-0,15
Tendon kawat dan strand 7 kawat 0.0033-0,0066
Tendon yang dilumasi pre-greassed 0,0010-0,0066 0,05-0,15
Tendon kawat dan strand 7 kawat 0,0010-0,0066

Sedangkan kehilangan tegangan akibat friksi pada tendon dapat ditentukan


dengan Pers 2.4:
F2-F1
= - KL – (2.4)
F1

2.3.4.4 Kehilangan Prategang Akibat Slip Pengangkuran (ANC)

Untuk kebanyakan sistem pasca-tarik, pada saat tendon ditarik sampai nilai
yang penuh dongkrak dilepas dan gaya prategang dialihkan ke angkur.
Perlengkapan di dalam angkur yang mengalami tegangan pada saat peralihan
cenderung untuk berdeformasi, jadi tendon dapat tergelincir sedikit. Baja gesekan
yang dipakai untuk menahan kabel akan sedikit tergelincir sebelum kabel dijepit
dengan kokoh. Besarnya gelincir ini tergantung dari jenis baja dan tegangan pada
kawat, nilai rata-rata sekitar 2,5 mm. Untuk perletakan pengangkuran langsung,
kepala dan mur mengalami sedikit deformasi pada waktu pelepasan dongkrak.
Nilai rata-rata untuk deformasi semacam itu hanya sekitar 0,8 mm. Jika
pengganjal panjang dibutuhkan untuk menahan kawat yang diperpanjang di
tempatnya, akan ada deformasi pada pengganjal pada saat peralihan gaya
prategang. Sebagai contoh, sebuah pengganjal sepanjang 0,3 m boleh
berdeformasi sebesar 0,3 mm. Rumus umum untuk menghitung kehilangan gaya
prategang akibat deformasi pengangkuran a pada Pers 2.5:
a s
ANC = fs = (2.5)
L

2.3.4.5 Kehilangan Akibat Rangkak Pada Beton (CR)

Rangkak dianggap terjadi dengan beban mati permanen yang ditambahkan


pada komponen struktur setelah beton diberi gaya prategang. Kehilangan gaya
pratekan akibat rangkak untuk komponen struktur dengan tendon terekat dihitung
dari Pers 2.6. Sedangkan kehilangan gaya prategang akibat rangkak untuk
komponen struktur dengan tendon tidak terekat dihitung dari persamaan berikut:
s
CR = Kcr fcir - fcsd (2.6)
c

Sedangkan kehilangan gaya prategang akibat rangkak untuk komponen


struktur dengan tendon tidak terekat dihitung dari Pers 2.7:
s
CR = Kcr fcpa (2.7)
c

Dimana, fcpa adalah tegangan tekan rata-rata pada beton sepanjang


komponen struktur pada titik berat tendon (c.g.s)

2.3.4.6 Kehilangan Tegangan akibat Relaksasi Baja (R)

Balok pratekan mengalami perubahan regangan baja yang konstan di dalam


tendon bila terjadi rangkak yang tergantung pada waktu. Akibat perpendekan
elastis (ES), serta kehilangan gaya pratekan yang tergantung pada waktu yaitu CR
dan SH, maka akan mengakibatkan terjadi pengurangan yang kontinu pada
tegangan tendon. Oleh karena itu untuk memperkirakan kehilangan gaya pratekan
akibat pengaruh tersebut digunakan Persamaan 2.8:
RE = ( Kre – J (SH + CR + ES )) × C (2.8)

Tabel 2.7: Nilai KRE dan J.


Jenis tendon KRE J
Strand atau kawat stress-relieved derajat 1860 MPa 138 0,15
Strand atau kawat stress-relieved derajat 1720 MPa 128 0,14
Kawat stress-relieved derajat 1655 MPa atau 1620 MPa 121 0,13
Strand relaksasi-rendah derajat 1860 MPa 35 0,040
Kawat relaksasi-rendah derajat 1720 MPa 32 0,037
Kawat relaksasi-rendah derajat 1655 MPa atau 1620 MPa 30 0,035
Batang stress-relieved derajat 1000 MPa atau 1100 MPa 41 0,05

Tabel 2.8: Nilai C.


Kawat atau strand stress Kawat atau strand relaksasi
fpi/fpu
relieve rendah atau batang stress-relieved
0,80 1,28
0,79 1,22
0,78 1,16
0,77 1,11
0,76 1,05
0,75 1,45 1,00
0,74 1,36 0,95
0,73 1,27 0,90
0,72 1,18 0,85
0,71 1,09 0,80
0,70 1,00 0,75
0,69 0,94 0,70
Tabel 2.8: Lanjutan.
0,68 0,89 0,66
0,67 0,83 0,61
0,66 0,78 0,57
0,65 0,73 0,53
0,64 0,68 0,49
0,63 0,63 0,45
0,62 0,58 0,41
0,61 0,53 0,37

2.3.5. Perencanaa Kabel

Dalam perencanaan jembatan Cable Stayed, terdapat 2 jenis ruji kabel yang
umum dan sering digunakan, antara lain :
a) Parallel Wire Cables
Parallel wire Cable terdiri dari kawat bulat digalvanis berdiameter 5mm
sampai 7 mm berbentuk hexagonal, dengan suatu helix panjang.Kawat
tersebut kemudian biasanya dibungkus oleh High Densitypolyethylene
(HDPE) tube.
b) Parallel Strand Cables
Kabel ini terdiri dari beberapa strand. Strand - strand tersebutselanjutnya
dipasang secara paralel. Setiap kabel dapat terdiri daribeberapa strand antara
lain sebesar 7, 19, 37, 61, 91, atau 127 buah. Dapat di lihat pada Gambar 2.17.

Gambar 2.17: Tipe-tipe ruji kabel.


Untuk perencanaan dimensi kabel, ada dua jenis kabel parallel VSL 7-wire
strand yang biasa digunakan untuk jembatan cable stayed yaitu :

Tabel 2.9: Jenis Kabel dan Angkur.


Standard ASTM A 41674 Euronorme 138-79
Grade 270
𝜙(mm) 15,2 15,7

As (mm2) 140 150


fu (f ijin = 0,7 fu) 1860 (1302) 1770 (1239)
(MPa)
Ukuran Angkur 7, 12, 19, 31, 37, 61, dan 91 strand

Dalam perencanaan ini kabel tipe 1 yaitu ASTM 416-74, seperti yang
disyaratkan dalam SNI T-03-2005 yaitu mutu kabel yang digunakan memiliki
tegangan putus minimal 1800 MPa dan dengan tegangan ijin sebesar 0,7 fu.
Dimensi awal kabel didekati dengan Pers2.9 (Gimsing 2012 halaman 205).

(2.9)
〖 〗

Dimana:
Asc = Luas penampang kabel
P = Beban yang bekerja
𝜃 = Sudut kabel terhadap horizontal
𝛾 = Berat jenis kabel = 77 kN/m3
𝑎 = Jarak mendatar dari pylon ke kabel pada gelagar
= Tegangan putus kabel = 1860 MPa

2.3.5.1 Efek Non-Linier pada kabel

Efek non-linier pada kabel terjadi ketika beban yang didukung bertambah
pada kabel berkurang sehingga panjang chord kabel akan bertambah (Supriyadi
dan Muntohar, 2014). Untuk menyederhanakan hal tersebut maka pada kabel
dapat dilakukan penempatan komponen yang linier. Untuk menempatkan kabel
sebagai komponen yang linier maka modulus kabel harus diidealisasikan
(Supriyadi dan Muntohar, 2014). Pada struktur kabel (wire rope), kabel tidak
hanya mengalami efek non-linier akibat adanya Sag namun juga karena gaya
aksial (tarik) yang cukup besar. Hal ini menunjukan bahwa perubahan geometri
kabel disebabkan karena adanya perubahahan tegangan kabel. Menurut Ernest
(dalam Troitsky, 1988).

2.3.5.2 Jarak Antar Kabel Penggantung

Jarak antar kabel (panel) adalah fungsi dari tinggi dari menara yang
diformulasikan pada Pers. 2.10 (Troitsky, 1988):
h = na tan 25o= 0,465na (2.10)
untuk tiga kabel yang berada pada bentang samping Pers. 2.11.
h = 0,465×3a = 1,4a (2.11)
sedangkan untuk empat kabel Pers 2.12.
h = 0,465×4a = 1,86 a (2.12)
Dimana:
h : Tinggi menara
na : Proyeksi panjang horizontal kabel
a : Panjang panel
Panel yang berada pada bentang tengah (middle panel) selalunya lebih
panjang dibandingkan dengan panel sisanya (remaining panels) yangnilainya
dapat diambil sebesar 1,3 a. Sebagai bahan acuan, jarak kabel optimum dapat
diambil sebagai berikut (Troitsky, 1988):
a) Untuk bentang utama yang berada antara 137-150 m, direkomendasikan
menggunakan jarak antara panel sebesar 19,8 m.
b) Untuk bentang utama yang lebih kecil dari poin a, direkomendasikan
menggunakan jarak antara panel sebesar 15,2-16,8 m.
c) Untuk bentang utama lebih besar dari 168 m, sebaiknya menggunakan jarak
antara kabel sebesar 30,5 m.
Panel pada bentang tengah memiliki performa yang berbeda dari pada panel
lainnya, karena panel pada bentang tengah tidak meneriman tegangan aksial tekan
komponen horizontal dari gaya kabel, dan oleh karena itu lebih baiknya sedikit
lebih panjang. Jarak antar kabel penggantung pada jembatan cable stayed
mempunyai pengaruh besar pada gaya aksial yang dipikul oleh kabel. Namun
walaupun metode perhitungannya berbeda tapi output dari perhitungan tersebut
tidak jauh berbeda Gambar 2.18.

Gambar 2.18: Perhitungan pada kabel jembatan.

2.3.6 Menara Pengantung (Pylon)

Menara pengantung atau yang biasa di sebut dengan pylon adalah struktur
yang merupakan menara tinggi yang merupakan tumpuan dari elemen kabel.
Secara geometris pylon adalah menara yang berdiri sendiri namun merupakan satu
kesatuan dari jembatan cable stayed dan terkait dalam memikul beban lainnya saat
bekerja pylon yang berdiri sendiri dalam memikul beban aksial harus memiliki
kekakuan yang besar. Dalam perencanaan ini tinggi dari pylon harus memiliki
batasan tertentu batas ini di lakukan agar pylon dapat bekerja efektif dalam
memikul beban. Menara jembatan cable stayed menahan tekanan tinggi kerena
memikul hampir semua berat sendiri atau tetap dan beban hidup yang berada
pada struktur. Beban yang bekerja tersebut kemudian disalurkan ke bangunan
bawah hingga pondasi. Umumnya dimensi menara langsing, karena itu stabilitas
menjadi penting. Pemilihan bentuk menara sangat dipengaruhi oleh konfigurasi
kabel, estetika, dan kebutuhan perencanaan serta pertimbangan biaya (Supriyadi
dan Muntohar, 2014).Beberapa bentuk menara disajikan pada Gambar 2.19.
Menurut Svensson (2012) bentuk menara H, Berlian (diamond), Semi A, dan
bentuk Y terbalik digunakan untuk tatanan kabel ganda (two cable plane).
Sedangkan bentuk kolom tunggal dan bentuk A digunakan untuk tatanan kabel
tunggal (one cable plane).
Gambar 2.19: Tipe pylon jembatan cable-stayed (Troitsky, 1988).

Menara direncanakan dengan ketinggian tertentu. Hal yang menjadi aspek


penting dalam perencanaan tinggi menara adalah tipe sistem kabel, jumlah kabel,
dan perbandingan estetika dalam tinggi menara dan panjang bentang, untuk itu
direkomendasikan perbandingan antara bentang terpanjang dan tinggimenara
antara 0,19-0,25 (Podolny, 1976 dalam Supriyadi dan Muntohar, 2014).
Penambahan tinggi sebuah menara secara prinsip akan mengurangi momen lentur
dan aksial tekan pada gelagar dan menambah kekakuan struktur jembatan, namun
efeknya akan menambah jumlah (kuantitas) ruji kabel. Troitsky (1988)
memberikan usulan formula dalam menentukan tinggi menara Pers 2.13 dalam
perencanaan struktur jembatan cable stayed.
H ≥ L/6
H = n . a . tan 25° (2.13)
Dimana:
L = bentang jembatan
n = jumlah kabel
a = jarak kabel antar gelagar
H = tinggi pylon
Sedangkan menurut Gimsing (2012) adalah :
H = 0,291 L
2.3.6.1 Analisis Pylon

Pylon atau menara dalam analisis struktur berperilaku seperti layaknya kolom
lihat Gambar 2.20. Sebab itu terdapat beberapa hal yang harus dipertimbangkan
dalam perencanaan pylon.
Pertama, karena pylon merupakan elemen yang menerima gaya aksial tekan
dan momen akibat pengaruh gaya kabel penggantung maka akan cenderung
mengalami tekuk (buckling). Kasus seperti ini dapat diatasi dengan pemilihan
dimensi pylon dan geometrik penampang pylon yang optimal dengan
mempertimbangkan kemampuannya dalam kondisi layan (service) dan kondisi
batas (ultimate).
Kedua pertimbangan geometris dan layout yang kemungkinan asimetris perlu
memperhitungankan kapasitas torsi. Ketiga yaitu pylon sebaiknya di desain
sebagai kolom yang menerima gaya vertikal kabel dan sebagai kantilever akibat
ketidakseimbangan gaya horizontal kabel.

Gambar 2.20: Perilaku kolom pada Pylon.

2.2.6.2. Penentuan Dimensi Pylon

Perhitungan dimensi pylon berdasarkan pada besarnya gaya aksial tekan total
kabel untuk satu sisi kolom vertikal pylon. Gaya aksial tekan total kabel ini
dibandingkan dengan mutu beton pylon yang digunakan, sehingga didapatkan
rumus Pers 2.14 berikut.
Aperlu =

(2.14)
Dari Aperlu yang didapatkan, dapat ditentukan dimensi pylon dengan Pers 2.15
berikut ini :
Aperlu = b×h dengan h = 1,5×b (2.15)
Dimana:
Aperlu = luasan penampang pylon yang diperlukan
T = Gaya aksial total kabel pada pylon
fc‟ = mutu beton
b = lebar penampang
h = tinggi penampang

2.4 Hubungan pylon dengan deck jembatan

Dalam perencanaan suatu kabel, hubungan atara pylon dan deck jembatan
memiliki peranan yang cukup penting. Hubungan ini sangat berpengaruh pada
momen deflection yang terjadi pada deck dan pylon. Hubungan ada deck dan
pylon terbagi menjadi 3 jenis yaitu:
a. Hubungan Rigid.
Pylon dan deck memiliki hubungan di mana rigid memiliki ke untungan yaitu
menambah kekakian pada deck. Pada hubungan ini pylon menjadi tumpuan
untuk deck, akan tetapi hubungan ini sulit di terapkan pada jembatan
berbentang panjang karna akan mempengaruhi pada pylon. Dimana pylon akan
ikut mengalami deformasi yang besar akibat efek aerodemasi, selain itu
dimensi pylon akan semakin besar karna menerima gaya yang di transper oleh
deck.
b. Hubungan Semi-Rigid.
Hubungan semi rigid ini deck tidak secara langsung bertumpu pada pylon
melainkan ada sesuatu yang menghubungkan keduanya bersifat seperti engsel.
Hubungan ini tidak membantu terbentuknya kekakuan antara deck, namun gaya
yang di pikul oleh deck sebagian di transper pada pylon hubungan semi rigid
biasa di gunakan pada jembatan cable stayed dengan bentang panjang. Efek
aerodemasi (angin dan gempa) yang terjadi memberikan sedikit pengaruh pada
pylon dikarenakan adanya connector.
c. Hubungan Free.
Pylon dan deck yang tidak mempunyai hubungan atau free mempunyai
keuntungan di mana saat terjadi efek aerodinamis (angin dan gempa) yang
mengalami deformsi hanya deck saja yang akan berayun ayun saat sedang
terjadi getaran. Untuk kondisi jembatan yang sangat panjang maka tipe ini
sangat cocok untuk di gunakan. Namun tipe ini sangat membutuhkan kekakuan
pada deck jembatan tujuannya adalah pada saat terjadi efek aerodinamis maka
tidak akan timbul masalah instabilitas pada struktur.

2.5 Filosofi Perencanaan (Pembebanan)

Berdasarkan SNI 1725-2016, jembatan harus direncanakan sesuai dengan


keadaan batas yang disyaratkan untuk mencapai target pembangunan keamanan,
dan aspek layan, dengan memperhatikan kemudahan inspeksi, faktor ekonomi,
dan estetika. Dalam perencanaan, persamaan dibawah harus dipenuhi untuk semua
pengaruh gaya yang bekerja beserta kombinasinya, tidak tergantung dari jenis
analisis yang digunakan. Setiap komponen dan sambungan harus memenuhi
persamaan untuk setiap keadaan batas. Untuk keadaan batas layan dan ekstrem,
faktor tahanan harus diambil sebesar 1, kecuali untuk baut yang ditentukan dalam
perencanaan jembatan baja, serta kolom-kolom beton pada zona gempa 2, 3, dan 4
yang ditentukan dalam perencanaan jembatan beton. Seluruh keadaan batas harus
dianggap memiliki tingkat kepentingan yang sama besar dapat dilihat pada Pers
2.16.
ΣηiγiQi< ØRn = Rr (2.16)
Dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
Untuk beban-beban dengan nilai maksimum γl lebih sesuai Pers 2.17:
ηi = ηDηRηI > 0,95 (2.17)
Untuk beban-beban dengan nilai minimum γl lebih sesuai Pers 2.18:
ηi= <1 (2.18)

Keterangan:
γi = Faktor beban ke-i
ηI =Faktor pengubah respons berkaitan dengan daktilitas, redundansi, dan
klasifikasi operasional
ηD = Faktor pengubah respons berkaitan dengan daktilitas
ηR = Faktor pengubah respons berkaitan dengan redundansi
ηI = Faktor pengubah respons berkaitan dengan klasifikasi operasional
Qi = Pengaruh gaya
Rn = Tahanan nominal
Rr = Tahanan terfaktor

2.5.1 Keadaan Batas Layan

Keadaan batas daya layan disyaratkan dalam perencanaan dengan melakukan


pembatasan pada tegangan, deformasi, dan lebar retak pada kondisi pembebanan
layan agar jembatan mempunyai kinerja yang baik selama umur rencana.

2.5.2 Keadaan Batas Fatik Dan Fraktur

Keadaan batas fatik disyraratkan agar jembatan tidak mengalami kegagalan


akibat fatik selama umur rencana. Untuk tujuan ini, perencana harus membatasi
rentang tegangan akibat satu beban truk rencana pada jumlah siklus pembebanan
yang dianggap dapat terjadi selama umur rencana jembatan. Keadaan batas fraktur
disyaratkan dalam perencanaan dengan menggunakan persyaratan kekuatan
material sesuai spesifikasi. Berdasarkan SNI 1725-2016, keadaan batas fatik dan
fraktur dimaksudkan untuk membatasi penjalaran retak akibat beban siklik yang
pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya kegagalan fraktur selama umur
desain jembatan.

2.5.3 Keadaan Batas Kekuatan

Keadaan batas kekuatan disyaratkan dalam perencanaan untuk memastikan


adanya kekuatan dan kestabilan jembatan yang memadai, baik yg sifatnya lokal
maupun global, untuk memikul kombinasi pembebanan yang secara statistik
mempunyai kemungkinan cukup besar untuk terjadi selama masa layan jembatan.
Pada keadaan batas ini, dapat terjadi kelebihan tegangan ataupun kerusakan
struktural, tetapi integritas struktur secara keseluruhan masih terjaga.

2.5.4 Keadaan Batas Ekstrem

Keadaan batas ekstrem diperhitungkan untuk memastikan struktur jembatan


dapat bertahan akibat gempa besar. Keadaan batas ekstrem merupakan kejadian
dengan frekuensi kemunculan yang unik dengan priode ulang yang lebih besar
secara signifikan dibandingkan dengan umur rencana jembatan.

2.5.5 Daktilitas

Sistem struktur jembatan harus diproporsi dan didetailkan agar diperoleh


perilaku deformasi inelastik pada keadaan batas ultimit dan ekstrem sebelum
mengalami kegagalan. Perangkat disipasi (energi yang hilang dari suatu sistem,
berubah menjadi energi lain yang tidak menjadi tujuan suatu sistem) energi gempa
dapat digunakan untuk menggantikan sistem pemikul beban gempa konvensional
beserta metodologi perencanaan tahan gempa yang dimuat dalam Peraturan
Perencanaan Gempa untuk Jembatan.
Untuk keadaan batas ultimit maka:
ηD = 1,05 untuk komponen tidak daktail dan sambungan
ηD = 1,00 untuk perencanaan konvensional serta pendetailan yang mengikuti
peraturan ini.
ηD = 0,95 untuk komponen-komponen dan sambungan yang telah dilakukan
tindakan tambahan untuk meningkatkan daktilitas lebih dari yang disyaratkan
oleh peraturan ini.
Untuk keadaan batas lain termasuk keadaan batas ekstrem (gempa) maka: ηD = 1

2.5.6 Redundansi (Prediksi)

Alur gaya mejemuk dan struktur menerus harus digunakan kecuali terdapat
alasan kuat yang mengharuskan untuk tidak menggunakan struktur tersebut.
Untuk keadaan batas ultimit maka:
ηR = 1,05 untuk komponen non redundansi
ηR = 1,00 untuk komponen redundansi konvensional
ηR = 0,95 untuk komponen dengan redundansi melampaui kontinuitas girder
dan penampang torsi tertutup
Untuk keadaan batas lain termasuk keadaan batas ekstrem (gempa) maka: ηR = 1

2.5.7 Kepentingan Operasional

Pemilik pekerjaan dapat menetapkan suatu jembatan atau elemen struktur dan
sambungannya sebagai prioritas operasional. Pengklasifikasian harus dilakukan
oleh otoritas yang berwenang terhadap jaringan transportasi dan mengetahui
kebutuhan operasional.
Untuk keadaan batas ultimit maka:
ηI = 1,05 untuk jembatan penting atau sangat penting
ηI = 1,00 untuk jembatan tipikal
ηI = 0,95 untuk jembatan kurang penting
Untuk keadaan batas lain termasuk keadaan batas ekstrem (gempa) maka: ηI = 1

2.5.8 Kelompok Pembebanan Dan Simbol Untuk Beban

Berdasarkan SNI 1725-2016, beban permanen dan transien sebagai berikut


harus diperhitungkan dalam perencanaan jembatan:
-Beban permanen
MS = Beban mati komponen struktural dan non struktural jembatan
MA = Beban mati perkerasan dan utilitas
TA = Gaya horizontal akibat tekanan tanah
PL = Gaya-gaya yang terjadi pada struktur jembatan yang disebabkan oleh proses
pelaksanaan, termasuk semua gaya yang terjadi akibat perubahan statika
yang terjadi pada konstruksi segmental
- Beban transien
SH = Gaya akibat susut/rangkak
TB = Gaya akibat rem
TR = Gaya sentrifugal
TC = Gaya akibat tumbukan kendaraan
TV = Gaya akibat tumbukan kapal
EQ = Gaya gempa
BF = Gaya friksi
TD = Beban lajur “D”
TT = Beban truk “T”
TP = Beban pejalan kaki
SE = Beban akibat penurunan
ET = Gaya akibat temperatur gradien

2.6. Faktor Beban Dan Kombinasi Pembebanan

2.6.1. Faktor Beban Dan Kombinasi Pembebanan

Gaya total terfaktor yang digunakan dalam perencanaan harus dihitung


dengan menggunakan Pers 2.19 berikut:
Q = ΣηiγiQi (2.19)
Keterangan:
ηi = Faktor pengubah respon
γi = Faktor beban
Qi = Gaya atau beban yang bekerja pada jembatan
Komponen dan sambungan pada jembatan harus memenuhi untuk kombinasi
beban-beban ekstrem seperti yang ditentukan pada setiap kedaaan batas sebagai
berikut:
Kuat I : Kombinasi pembebanan yang memperhitungkan gaya-gaya yang timbul
pada jembatan dalam keadaan normal tanpa memperhitungkan beban
angin. Pada keadaan batas ini, semua gaya nominal yang terjadi
dikalikan dengan faktor beban yang sesuai.
Kuat II : Kombinasi pembebanan yang berkaitan dengan penggunaan jembatan
untuk memikul beban kendaraan khusus yang ditentukan pemilik tanpa
memperhitungkan beban angin.
Kuat III : Kombinasi pembebanan dengan jembatan dikenai beban angin
berkecepatan 90 km/jam hingga 126 km/jam.
Kuat IV : Kombinasi pembebanan untuk memperhitungkan kemungkinan adanya
rasio beban mati dengan beban hidup yang besar.
Kuat V : Kombinasi pembebanan berkaitan dengan operasional normal jembatan
dengan memperhitungkan beban angin berkecepatan 90 km/jam hingga
126 km/jam.
Ekstrem : ombinasi pembebanan gempa. Faktor beban hidup γEQ yang
mempertimbangkan bekerjanya beban hidup pada saat gempa
berlangsung harus ditentukan berdasarkan kepentingan jembatan.
Ekstrem II: Kombinasi pembebanan yang meninjau kombinasi antara beban hidup
terkurangi dengan beban yang timbul akibat tumbukan kapal,
tumbukan kendaraan, banjir atau beban hidrolika lainnya, kecuali
untuk kasus pembebanan akibat tumbukan kendaraan (TC). Kasus
pembebanan akibat banjir tidak boleh dikombinasikan dengan beban
akibat tumbukan kendaraan dan tumbukan kapal.
Layan I : Kombinasi pembebanan yang berkaitan dengan operasional jembatan
dengan semua beban mempunyai nilai nominal serta
memperhitungkan adanya beban angin berkecepatan 90 km/jam
hingga 126 km/jam. Kombinasi ini juga digunakan untuk mengontrol
lendutan pada gorong-gorong baja, pelat pelapis terowongan, pipa
termoplastik serta untuk mengontrol lebar retak struktur beton
bertulang dan juga untuk analisis tegangan tarik pada penampang
melintang jembatan beton segmental. Kombinasi pembebanan ini juga
harus digunakan untuk investigasi stabilitas lereng.
Layan II : Kombinasi pembebanan yang ditujukan untuk mencegah terjadinya
pelelehan pada struktur baja dan selip pada sambungan akibat bebean
kendaraan.
Layan III : Kombinasi pembebanan untuk menghitung tegangn tarik pada arah
memanjang jembatan beton pratekan dengan tujuan untuk mengontrol
besarnya retak dan tegangan utama tarik pada bagian badan dari
jembatan beton segmental.
Layan IV :Kombinasi pembebanan untuk menghitung tegangan tarik pada kolom
beton pratekan dengan tujuan untuk mengontrol besarnya retak.
Fatik :Kombinasi beban fatik dan fraktur sehubungan dengan umur fatik
akibat induksi beban yang waktunya tak terbatas.
Faktor beban untuk setiap kombinasi pembebanan harus diambil seperti yang
ditentukan. Perencana harus menyelidiki bagian parsial dari kombinasi
pembebanan yang dapat terjadi harus diinvestigasi dimana setiap beban yang
diindikasikan untuk diperhitungkan dalam kombinasi pembebanan harus dikalikan
dengan faktor beban yang sesuai. Hasil perkalian harus dijumlahkan sebagaimana
ditentukan dalam persamaan diatas dan dikalikan dengan faktor pengubah seperti
yang ditentukan.
Faktor beban harus dipilih sedemikian rupa untuk menghasilkan kondisi
ekstrem akibat beban yang bekerja. Untuk setiap kombinasi pembebanan harus
diselidiki kondisi ekstrem maksimum dan minimum. Dalam kombinasi
pembebanan dimana efek salah satu gaya menguragi efek gaya yang lain, maka
harus digunakan faktor beban terkurangi untuk gaya yang mengurangi tersebut.
Untuk beban permanen, harus dipilih faktor beban yang menghasilkan kombinasi
pembebanan kritis. Jika pengaruh beban permanen adalah meningkatkan stabilitas
atau kekuatan komponen jembatan, maka perencana harus memperhitungkan
pengaruh faktor beban terkurangi (minimum).
Untuk beban akibat temperatur seragam (EUn), terdapat dua faktor beban.
Dalam hal ini nilai terbesar digunakan untuk menghitung deformasi sedangkan
nilai terkecil digunakan untuk menghitung semua efek lainnya. Perencana dapat
menggunakan γEUn = 0,50 untuk keadaan batas kekuatan asalkan perhitungan
dilakukan dengan memakai momen inersia bruto untuk menghitung kekakuan
kolom atau pilar.
Jika perencana melakukan jenis analisi yang lebih rinci dimana perhitungan
dilakuka dengan memakai momen inersia penampang retak yang diperoleh dari
hasil analisis untuk menghitung kekakuan kolom atau pilar, maka perencana harus
menggunakan γEUn = 1,00 untuk keadaan batas kekuatan. Sama halnya seperti
sebelumnya, untuk keadaan batas kekuatan perencana dapat menggunakan faktor
beban = 0,50 untuk γPRdan γSH saat menghitung pengaruh masing-masing gaya
pada jembatan non-segmental jika perencana menggunakan momen inersi bruto
pada waktu menghitung kekakuan kolom atau pilar yang menggunakan struktur
beton. Jika kolom atau pilar menggunakan struktur baja, maka harus digunakan
faktor beban= 1,00 untuk γEUn, γPr dan γSH. Evaluasi global timbunan, serta lereng
dengan atau tanpa pondasi dangkal atau pondasi dalam harus diselidiki pada
Kondisi Layan I dengan menggunakan faktor tahanan yang berlaku.
Untuk jembatan box girder baja yang memenuhi ketentuan pada Peraturan
Perencanaan Jembatan Baja, faktor beban untuk beban kendaraan TT dan TD
harus diambil sebesar 2,0.
Untuk jembatan box girder baja yang memenuhi ketentuan pada Peraturan
Perencanaan Jembatan Baja, faktor beban untuk beban kendaraan TT dan TD
harus diambil sebesar 2,0.
Faktor beban gradien temperatur (γTG) ditentukan berdasarkan kondisi
pekerjaan. Jika tidak ada hal yang bisa menyebabkan perubahan nilai, maka
γTGdapat diambil sebagai berikut:
0,00 : untuk keadaan batas kekuatan dan keadaan batas ekstrem.
1,00 : untuk keadaan batas daya layan dimana beban hidup tidak ada.
0,50 : pada keadaan batas daya layan dimana beban hidup bekerja.
Faktor beban untuk beban akibat penurunan (γSE) ditentukan berdasarkan
kondisi proyek. Jika tidak ada hal yang bisa menyebabkan perubahan nilai, maka
γSE dapat diambil sebesar 1,0. Kombinasi pembebanan yang memperhitungkan
penurunan pondasi juga harus memperhitungkan kondisi bila penurunan tidak
terjadi. Untuk jembatan yang dibangun secara segmental, maka kombinasi
pembebanan sebagai berikut harus diselidiki pada keadaan batas daya layan yaitu
kombinasi antara beban mati (MS), beban mati tambahan (MA), tekanan tanah
(TA), beban arus dan hanyutan (EU), susut (SH), gaya akibat pelaksanaan (PL),
dan prategang (PR) dapat di dihat pada Tabel 2.10.
Tabel 2.10: Kombinasi beban dan faktor beban.
MS TT Gunakan salah satu
MA TD
TA TB
Keadaan Batas EU EWS EWL BF EUN TG ES
PR TR EQ TC TV
PL TP
SH
Kuat I γp 1,80 1,00 - - 1,00 0,50/1,20 γTG γES - - -
Kuat II γp 1,40 1,00 - - 1,00 0,50/1,20 γTG γES - - -
Kuat III γp - 1,00 1,40 - 1,00 0,50/1,20 γTG γES - - -
Kuat IV γp - 1,00 - - 1,00 0,50/1,20 - - - - -
Kuat V γp - 1,00 0,40 1,00 1,00 0,50/1,20 γTG γES - - -
Ekstrem I γp γEQ 1,00 - - 1,00 - - - 1,00 - -
Ekstrem II γp 0,50 1,00 - - 1,00 - - - - 1,00 1,00
Daya layan I 1,00 1,00 1,00 0,30 1,00 1,00 1,00/1,20 γTG γES - - -

Daya layan II 1,00 1,30 1,00 - - 1,00 1,00/1,20 - - - - -

Daya layan III 1,00 0,80 1,00 - - 1,00 1,00/1,20 γTG γES - - -

Daya layan IV 1,00 - 1,00 0,70 - 1,00 1,00/1,20 - 1,00 - - -

Fatik (TD dan TR) - 0,75 - - - - - - - - - -

Catatan: γp dapat berupa γMS, γMA, γTA, γPR, γPL, γSH, tergantung beban yang ditinjau, γEQ adalah faktor beban hidup kondisi gempa.
Jika komponen pracetak dan prategang digunakan dan dikombinasikan
dengan balok baja, pengaruh dari hal-hal berikut harus diperhitungkan sebagai
beban konstruksi (PL):
- Friksi antara deck pracetak dan balok baja jika penarikan strand
longitudinal pada pelat disatukan dengan balok menjadi penampang
komposit.
- Gaya induksi pada balok baja dan shear connector jika penarikan
tendon/strand longitudinal pada pelat pracetak dilakukan setelah deck
disatukan dengan balok menjadi penampang komposit.
- Pengaruh adanya rangkak dan susut yang berbeda pada balok baja dan
pelat beton.
- Pengaruh efek poisson yang berbeda pada balok baja dan pelat beton.
Faktor beban γEQ untuk beban hidup pada keadaan batas ekstrem I harus
ditentukan berdasarkan kondisi spesifik jembatan. Sebagai pedoman dapat
digunakan faktor γEQ sebagai berikut:
 γEQ = 0,5 ( jembatan sangat penting)
 γEQ= 0,3 ( jembatan penting)
 γEQ= 0 (untuk standar)

2.6.2. Faktor beban pada masa konstruksi
2.6.2.1 Evaluasi pada keadaan batas kekuatan
Perencana harus menyelidiki semua kombinasi pembebanan pada keadaan
batas kekuatan yang dimodifikasi pada pasal ini. Faktor beban untuk berat sendiri
struktur dan kelengkapannya MS dan MA, tidak boleh diambil kurang dari 1,25
pada waktu melakukan pemeriksaan keadaan batas kekuatan kombinasi I, III dan
V selama masa konstruksi. Kecuali ditentukan lain oleh pemilik pekerjaan, faktor
beban untuk beban pelaksanaan dan setiap efek dinamis yang terkait harus diambil
tidak kurang dari 1,5 untuk keadaan batas kekuatan kombinasi I. Faktor beban
untuk beban angin pada Keadaan Batas Kekuatan Kombinasi III tidak boleh
kurang dari 1,25.
2.6.2.2 Evaluasi lendutan pada keadaan batas layan
Jika dalam kontrak disebutkan bahwa harus dilakukan evaluasi lendutan selm
masa pembangunan, maka harus digunakan keadaan batas daya layan kombinasi I
untuk menghitung besarnya lenduutan yang terjadi, kecuali ada ditentukan khusus
yang merubah ketentuan ini. Beban mati akibat peralatan konstruksi harus
dianggap sebagai bagian dari beban permanen dan beban hidup yang terjadi
selama pelaksanaan harus dianggap sebagai bagian dari beban hidup.

2.7. Faktor Beban Untuk Pendongkrakan Dan Gaya Paska Tarik

2.7.1 Gaya Dongkrak

Kecuali ditentukan oleh pemilik pekerjaan, besarnya gaya rencana minimum


untuk pendongkrakan adalah 1,3 kali besarnya reaksi akibat beban permanen pada
perletakan, diberlakukan pada posisi dengan dongkrak dipasang. Jembatan tidak
ditutup untuk lalu lintas selama proses pengangkatan, maka gaya pendongkrakan
harus memperhitungkan reaksi yang timbul akibat beban hidup tersebut, konsisten
dengan pengaturan lalu lintas selama masa pengangkatan, dikalikan dengan faktor
beban untuk beban hidup.

2.7.2 Gaya Untuk Perencanaan Zona Angkur Tendon Paska Tarik

Gaya rencana minimum yang digunakan dalam perencanaan zona angkur


tendon paska tarik adalah 1,2 kali gaya pendongkrakan maksimum.

2.8 Beban Permanen

2.8.1 Umum

Massa setiap bagian bangunan harus dihitung berdasarkan dimensi yang


tertera dalam Gambar dan berat jenis bahan yang digunakan. Berat dari bagian-
bagian bangunan tersebut adalah massa dikalikan dengan percepatan gravitasi (g).
Percepatan gravitasi yang digunakan dalam standar ini adalah 9,81 m/detik m2.
Besarnya kerapatan massa dan berat ini untuk berbagai macam bahan diberikan
dalam Tabel 2.11.
Tabel 2.11: Berat isi untuk beban mati.
Berat isi Kerapatan massa
No Bahan
(kN/m3) (kg/m3)
Lapisan permukaan beraspal
1 22,00 2245
(bituminous wearing surfaces)
2 Besi tuang (cast iron) 71,00 7240
3 Timbunan tanah dipadatkan
17,20 1755
(compacted sand, silt or clay)
Kerikil dipadatkan (rolled gravel,
4 18,8 - 22,7 1920 - 2315
macadam or ballast)
5 Beton aspal (aspalt concrete) 22,00 2245
6 Beton ringan (low density) 12,5 - 19,6 1250 - 2000
Beton fc' < 35 Mpa 22,0 - 25,0 2320
7
35<fc'<105 Mpa 22+ 0,022 fc' 2240 + 2,29 fc'
8 Baja (steel) 78,50 7850
9 Kayu (ringan) 7,80 800
10 Kayu keras (hard wood) 11,00 1125

Pengambilan kerapatan massa yang besar, aman untuk suatu keadaan batas
akan tetapi tidak untuk keadaan yang lainnya. Untuk mengatasi hal tersebut dapat
digunakan faktor beban terkurangi. Akan tetapi, apabila kerapatan massa diambil
dari suatu jajaran nilai, dan nilai yang sebenarnya tidak bisa ditentukan dengan
tepat, perencana harus memilih diantara nilai tersebut yang memberikan keadaan
yang paling kritis.
Beban mati jembatan merupakan kumpulan berat setiap komponen struktural
dan non-struktural. Setiap komponen ini harus dianggap suatu kesatuan aksi yang
tidak terpisahkan pada waktu menerapkan faktor-faktor beban normal dan faktor
beban terkurangi.
2.8.2 Berat Sendiri (MS)

Berat sendiri adalah berat bagian tersebut dan elemen-elemen struktural lain
yang dipikulnya, termasuk dalam hal ini adalah berat bahan dan bagian jembatan
yang merupakan elemen struktural, ditambah dengan elemen non-struktural yang
dianggap tetap. Adapun faktor beban yang digunakan untuk berat sendiri dapat
dilihat pada Tabel 2.12.

Tabel 2.12: Faktor beban untuk berat sendiri.


Faktor beban (γMS)
Tipe beban Keadaan Batas Layan(γSMS) Keadaan Batas Ultimit(γUMS)
Bahan Biasa Terkurangi
Baja 1,00 1,10 0,90
Alumunium 1,00 1,10 0,90
Tetap Beton Pracetak 1,00 1,20 0,85
Beton Di Cor Di Tempat 1,00 1,30 0,75
Kayu 1,00 1,40 0,70

2.8.3 Beban mati tambahan/utilitas (MA)

Beban mati tambahan adalah berat seluruh bahan yang membentuk suatu
beban pada jembatan yang merupakan elemen non-struktural, dan besarnya dapat
berubah selama umur jembatan. Dalam hal tertentu, nilai faktor beban mati
tambahan yang berbeda dengan ketentuan pada Tabel 2.13 boleh digunakan
dengan persetujuan instansi yang berwenang. Hal ini bisa dila kukan apabila
instansi tersebut melakukan pengawasan terhadap beban mati tambahan pada
jembatan, sehingga tidak dilampaui selama umur jembatan.

Tabel 2.13: Faktor beban untuk beban mati tambahan.


Faktor beban(γMA)
Tipe beban Keadaan Batas Layan(γSMA) Keadaan Batas Ultimit(γUMA)
Keadaan Biasa Terkurangi
Umum 1,00 1,10 0,90
tetap
Khusus (terawasi) 1,00 1,10 0,90
Catatan: faktor beban layan sebesar 1,3 digunakan untuk berat utilitas.

2.8.3.1 Ketebalan Yang Diizinkan Untuk Pelapisan Kembali Permukaan

Semua jembatan harus direncakan untuk bisa memikul beban tambahan yang
berupa aspal beton setebal 50 mm untuk pelapisan kembali di kemudian hari
kecuali ditentukan lain oleh instansi yang berwenang. Lapisan ini harus
ditambahkan pada lapisan permukaan yang tercantum dalam Gambar rencana.

2.8.3.2 Sarana Lain Di Jembatan

Pengaruh dari alat pelengkap dan sarana umum yang ditempatkan pada
jembatan harus dihitung seakurat mungkin. Berat pipa untuk saluran air bersih,
saluran air kotor dan lain-lainnya harus ditinjau pada keadaan kosong dan penuh
sehingga keadaan yang paling membahayakan dapat diperhitungkan.

2.8.4 Pengaruh Tetap Pelaksanaan

Pengaruh tetap pelaksanaa adalah beban yang disebabkan oleh metode dan
urutan pelaksanaan pekerjaan jembatan. Beban ini biasanya mempunyai kaitan
dengan aksi-aksi lainnya, seperti pra-penengangan dan berat sendiri. Dalam hal
ini,pengaruh faktor ini tetap harus dikombinasikan dengan aksi-aksi tersebut
dengan faktor beban yang sesuai. Bila pengaruh tetap yang terjadi tidak begitu
terkait dengan aksi rencana lainnya, maka pengaruh tersebut harus dimaksudkan
dalam batas daya layan dan batas ultimit menggunakan faktor beban sesuai
dengan Tabel 2.14.

Tabel 2.14: Faktor beban akibat pengaruh pelaksanaan.


Faktor beban(γPL)
Tipe beban S
Keadaan Batas Ultimit(γUPL)
Keadaan Batas Layan(γ PL)
Biasa Terkurangi
Tetap 1 1 1

2.9. Beban Lalu Lintas


2.9.1 Umum

Beban lalu lintas untuk perencanaan jembatan terdiri atas beban lajur “D” dan
beban truk “T”. Beban lajur “D” bekerja pada seluruh lebar jalur kendaraan dan
menimbulkan pengaruh pada jembatan yag ekuivalen dengan suatu iring-iringan
kendaraan yang sebenarnya. Jumlah total beban lajur “D” yang bekerja tergantung
pada lebar jalur kendaraan itu sendiri. Beban truk “T” satu kendaraan berat
dengan 3 gandar yang ditempatkan pada beberapa posisi dalam lajur lalu lintas
rencana. Tiap gandar terdiri atas dua bidang kontak pembebanan yang dimaksud
sebagai simulasi pengaruh roda kendaraan berat. Hanya satu truk “T” diterapkan
per lajur lalu lintas rencana.
Secara umum, beban “D” akan menjadi beban penentu dalam perhitungan
jembatan yang mempunyai bentang sedang sampai panjang, sedangkan beban “T”
digunakan untuk beban pendek dan lantai kendaraan. Dalam keadaan tertentu
beban “D” yang nilai telah diturunkan atau dinaikkan dapat digunakan (lihat pasal
8.5, SNI 1725-2016).

2.9.2 Lajur Lalu Lintas Rencana

Secara umum, jumlah lajur lalu lintas rencana ditentukan dengan mengambil
bagian integer dari hasil pembagian lebar bersih jembatan (w) dalam mm dengan
lebar jalur rencana sebesar 2750 mm. Jumlah maksimum lajur lalu lintas yang
digunakan untuk berbagai lebar jembatan bisa dilihat dalam Tabel 2.15. Lajur lalu
lintas harus disusun sejajar dengan sumbu memanjang jembatan.

Tabel 2.15: Jumlah lajur lalu lintas rencana.


Jumlah Lajur
Tipe jembatan (1) Lebar bersih jembatan
lalu lintas rencana (n)
Satu jalur 3,000 < w < 5,250 1
Dua arah, tanpa median 5,250 < w < 7,500 2
Dua arah, tanpa media 7.500 < w < 10.000 3
10.000 < w < 12.500 4

Tabel 2.15: Lanjutan.


Lebar bersih Jumlah Lajur lalu lintas
Tipe jembatan (1)
jembatan rencana (n)
12.500 < w <
15.250 5
w > 15.250 6
Dua arah, dengan
median 5.500 < w < 8.000 2
8.250 < w <
10.000 3
11.000 < w <
13.500 4
13.750 < w <
16.250 5
w > 16.500 6

Catatan (1): Untuk jembatan tipe lain, jumlah lajur lalu lintas rencana harus
ditentukan oleh instansi yang berwenang
Catatan (2): Lebar jalur kendaraan adalah jarak minimum antara kerb atau
rintangan untuk satu arah atau jarak antara kerb/rintangan/median dan median
untuk banyak arah.

Berdasarkan Tabel 2.15, bila lebar bersih jembatan antara 3.000 mm sampai
5.000 mm, maka jumlah jalur rencana harus diambil satu lajur lalu lintas rencana
dan lebar jalur rencana harus diambil sebagai lebar jalur lalu lintas. Jika jembatan
mempunyai lebar bersih antara 5.250 mm dan 7.500 mm, maka jembatan harus
direncanakan memiliki dua lajur rencana, masing-masing selebar bersih jembatan
dibagi dua. Jika jembatan mempunyai lebar bersih antara 7.750 mm dan 10.000
mm, maka jembatan harus direncanakan memiliki tiga lajur rencana, masing-
masing selebar bersih jembatan dibagi tiga.

2.9.3 Beban Lajur “D”(TD)


Beban lajur “D” terdiri atas beban terbagi rata (BTR) yang digabung dengan
beban garis (BGT). Adapun faktor beban yang digunakan untuk beban lajur “D”
seperti pada Tabel 2.16.
Tabel 2.16: Faktor beban untuk beban lajur “D”.
Faktor beban (γTD)
Tipe beban Jembatan Keadaan batas Keadaan batas
layan γsTD ultimit γUTD
Beton 1 1,8
Transien
Boks girder baja 1 2

2.9.3.1 Intensitas Beban “D”

Beban terbagi rata (BTR) mempunyai intensitas q kPa dengan besaran q


tergantung pada panjang total yang dibebani L pada Pers 2.20 dan Pres 2.21
sebagai berikut:
Jika L< 30 m:q = 9,0 kPa (2.20)

Jika L> 30 m:q = 9,0 kPa

(2.21)
Keterangan:
q = Intensitas beban terbagi rata (BTR) dalam arah memanjang jembatan (kPa)
L = Panjang total jembatan yang dibebani (meter)

Gambar 2.21: Beban lajur “D”.


Beban garis terpusat (BGT) pada gambar 2.19 dengan intensitas p kN/m
harus ditempatkan tegak lurus terhadap arah lalu lintas pada jembatan. Besarnya
intensitas p 49,0 kN/m. Untuk mendapatkan momen lentur negatif maksimum
pada jembatan menerus, BGT kedua yang identik harus ditempatkan pada posisi
dalam arah melintang jembatan pada bentang lainnya.
2.9.3.2 Distribusi Beban “D”

Beban “D” harus disusun pada arah melintang sedemikian rupa sehingga
menimbulkan momen maksimum. Penyusunan komponen-komponen BTR dan
BGT dari beban “D” secara umum dapat dilihat pada Gambar 2.22.

Gambar 2.22:Momen lentur positif bentang 1,3,5.

Untuk momen maksimum di bentang 1: tempatkan BGT di bentang 1 (bentang


5 serupa) ambil L = pengaruh terburuk dari S1 ; S1+S3 ; atau S1+S3+S5. Untuk
momen lentur maksimum di bentang 3, tempatkan BGT di bentang 3, ambil L =
pengaruh terburuk dari S3 ; S1+S3 atau S3+S5 kemudian alternatif penempatan
dalam arah memanjang dapat dilihat pada Gambar 2.23.

Gambar 2.23: Momen lentur positif bentang 2,4.


Untuk momen lentur maksimum di bentang 2: tempatkan BGT di bentang 2,
ambil L = pengaruh terburuk dari S2; atau S2 + S4. Untuk momen lentur
maksimum di bentang 4: tempat BGT di bentang 4. Ambil L = pengaruh terburuk
dari S4 atau S2 + S4 pada Gambar 2.24.

Gambar 2.24: Momen lentur negatif pada pilar.

Untuk momen lentur maksimum di pilar 2: tempatkan BGT di bentang 2 dan


3; ambil L = pengaruh terburuk dari S2 + S3 atau S2+S3+S5.

2.9.3.3 Respon Terhadap Beban Lajur “D”

Distribusi beban hidup dalam arah melintang digunakan untuk memperoleh


momen dan geser dalam arah longitudinal pada gelagar jembatan. Hal itu
dilakukan dengan mempertimbangkan beban lajur “D” tersebar pada seluruh lebar
balok (tidak termasuk parapet, kerb dan trotoar) dengan intensitas 100% untuk
panjang terbebani yang sesuai.

2.9.4 Beban Truk “T”

Selain beban “D”, terdapat beban lalu lintas lainnya yaitu beban truk “T”.
Beban truk “T” tidak dapat digunakan bersamaan dengan beban “D”. Beban truk
dapat digunakan untuk perhitungan struktur lantai. Adapun faktor untuk beban
“T” seperti terlihat pada Tabel 2.17.

Tabel 2.17: Faktor beban untuk “T”.


Tipe Jembatan Faktor beban (γTT)
beban Keadaan batas Keadaan batas
layan γsT ultimit γUTT
Beton 1 1,8
Transien
Boks girder baja 1 2

2.9.4.1 Besarnya Pembebanan Truk”T”

Pembebanan truk “T” terdiri atas kendaraan truk semi-trailer yang mempunyai
susunan dan berat gandar seperti terlihat pada Gambar 2.18. Berat dari tiap-tiap
gandar disebarkan menjadi 2 beban merata sama besar yang merupakan bidang
kontak antara roda dengan permukaan lantai. Jarak antara 2 gandar tersebut
diubah-ubah dari 4,0 m sampai dengan 9,0 m untuk mendapatkan pengaruh
terbesar pada arah memanjang jembatan.

Gambar 2.25: Pembebanan truk “T” (500 kN).

2.9.4.2 Posisi Dan Penyebaran Pembebanan Truk “T”


Terlepas dari panjang jembatan atau susunan bentang, umumnya hanya ada
satu kendaraan truk „T” yang bisa ditempatkan pada satu jalur lalu lintas rencana.
Untuk jembatan sangat panjang dapat ditempatkan lebih dari satu truk pada satu
lajur lalu lintas rencana. endaraan truk “T” ini harus ditempatkan ditengah -
tengah lajur lalu lintas rencana. Jumlah maksimum lajur lalu lintas rencana dapat
dilihat dalam Tabel 2.14, tetapi jumlah lebih kecil bisa digunakan dalam
perencanaan apabila menghasilkan pengaruh yang lebih besar. Hanya jumlah lajur
lalu lintas rencana dalam nilai bulat harus digunakan. Lajur lalu lintas rencana
bisa ditempatkan dimana saja pada lajur jembatan.

2.9.4.3 Kondisi Faktor Kepadatan Jalur

Ketentuan pasal ini tidak boleh digunakan untuk perencanaan keadaan batas
fatik dan fraktur, dimana hanya satu jalur rencana yang diperhitungkan dan tidak
tergantung dari jumlah total lajur rencana. Jika perencana menggunakan faktor
distribusi beban kendaraan untuk satu jalur, maka pengaruh beban truk harus
direduksi dengan faktor 1,20. Tetapi jika perencana menggunakan lever rule atau
metode statika lainnya untuk mendapatkan faktor distribusi beban kendaraan,
maka pengaruh beban truk tidak perlu direduksi.
Kecuali ditentukan lain pada pasal ini, pengaruh beban hidup harus
ditentukan dengan mempertimbangkan setiap kemungkikan kombinasi jumlah
jalur yang terisi dikalikan dengan faktor kepadatan lajur yang sesuai untuk
memperhitungkan kemungkinan terisinya jalur rencana oleh beban hidup. Jika
perencana tidak mempunyai data yang diperlukan maka nilai-nilai Tabel 2.18.
 Dapat digunakan saat meneliti jika hanya satu jalur terisi,
 Boleh digunakan saat meneliti pengaruh beban hidup jika ada tiga atau lebih
jalur terisi.

Tabel 2.18: Faktor kepadatan lajur (m).


Jumlah lajur yang dibebani Faktor kepadatan lajur
1 1,2
2 1
Untuk tujuan menentukan jumlah lajur ketika kombinasi pembebanan
mencakup beban pejalan kaki seperti yang ditentukan pada SNI 1725-2016
dengan satu atau lebih lajur kendaraan, maka perencana harus menentukan bahwa
beban pejalan kaki akan mengisi salah satu lajur kendaraan.
Faktor-faktor yang ditentukan dalam Tabel 15 tidak boleh digunakan untuk
menentukan faktor distribusi beban kendaraan. Dalam hal ini perencana harus
menggunakan lever rule untuk menentukan beban yang bekerja pada balok
eksterior.

2.9.4.4 Bidang Kontak Roda Kendaraan

Bidang kontak roda kendaraan yang terdiri atas satu atau dua roda
diasumsikan mempunyai bentuk persegi panjang dengan panjang 750 mm dan
lebar 250 mm. Tekanan ban harus diasumsikan terdistribusi secara merata pada
permukaan bidang kontak.

2.9.4.5 Penerapan Beban Hidup Kendaraan

Kecuali ditentukan lain, pengaruh beban hidup pada waktu menentukan


momen positif harus diambil nilai yang terbesar dari:
 Pengaruh beban truk dikalikan dengan faktor beban dinamis (FBD), atau
 Pengaruh beban terdistribusi “D” dan beban L dikalikan FBD
Untuk momen negatif, beban truk dikerjakan pada dua bentang yang
berdampingan dengan jarak gandar tengah truk terhadap gandar depan truk
dibelakangnya adalah 15 m Gambar 2.26, dengan jarak antara gandar tengah dan
gandar belakang adalah 4 m.

Gambar 2.26: Penempatan beban truk untuk momen negatif maksimum.


Gandar yang tidak memberikan konstribusi pada gaya total harus diabaikan
dalam perencanaan. Beban kendaraan dimuat pada masing-masing jalur dan harus
diposisikan untuk mendapatkan pengaruh yang terbesar dalam perencanaan.
Beban truk harus diposisikan pada lebar jembatan sehingga sumbu roda
mempunyai jarak sebagai berikut:
 Untuk perencanaan pelat kantilever: 250 mm dari tepi parapet atau railing.
 Untuk perencanaan komponen lainnya: 1000 mm dari masing-masing sumbu
terluar roda truk. Kecuali ditentukan lain, panjang lajur rencana atau sebagian
dari panjang lajur rencana harus dibebani dengan beban terdistribus “D”.

2.1.9.6 Beban Hidup Untuk Evaluasi Lendutan

Jika pemilik pekerjaan menginginkan agar jembatan memenuhi kriteria


lendutan akibat beban hidup, maka beban hidup harus diambil sebagai nilai
terbesar dari:
 Lendutan akibat beban satu truk, atau
 Lendutan akibat BTR

2.9.4.7 Beban Rencana Untuk Pelat Lantai Kendaraan, Sistem Lantai


Kendaraan

Ketentuan pada pasal ini tidak berlaku jika pelat direncanakan berdasarkan
perencanaan empiris. Jika perencana menggunakan metode strip untuk
menganalisis pelat lantai kendaraan dan pelat atap gorong - gorong, maka gaya -
gaya rencana harus dihitung dengan ketentuan sebagai berikut:
 Jika pelat membentang dalam arah melintang tegak lurus terhadap arus lalu
lintas, maka hanya satu gandar dari beban truk yang digunakan untuk
menghitung gaya geser atau momen lentur rencana.
Beban roda harus diasumsikan sama besarnya pada setiap gandar, aplikasi
beban gandar akibat gaya sentrifugal dan pengereman tidak perlu
dipertimbangkan untuk perencanaan pelat lantai kendaraan.
2.9.5 Klasifikasi Pembebanan Lalu Lintas

2.9.5.1 Pembebanan Lalu Lintas Yang Dikurangi

Dalam keadaan khusus, dengan persetujuan instansi berwenang, pembebanan


“D” setelah dikurangi 70% bisa digunakan. Pembebanan lalu lintas yang
dikurangi hanya berlaku untuk jembatan darurat atau semipermanen.
Faktor sebesar 70% ini diterapkan untuk BTR dan BGT yang tercantum pada
pasal 3.7.3. Faktor pengurangan sebesar 70% tidak boleh digunakan untuk
pembebanan truk “T” atau gaya rem pada arah memanjang jembatan.

2.9.5.2 Pembebanan Lalu Lintas Yang Berlebih

Dengan persetujuan instansi ang berwenang, pembebanan “D” dapat


diperbesar di atas 100% untuk jaringan jalan yang dilewati kendaraan berat.
Faktor pembesaran 100% ini diterapkan untuk BTR dan BGT yang tercantum
pada pasal 3.7.3. Faktor pembesaran di atas 100% tidak boleh digunakan untuk
pembebanan truk “T” atau gaya rem pada arah memanjang jembatan.

2.9.6 Faktor Beban Dinamis

Kecuali diperbolehkan pada pasal 3.7.6.1, beba statik truk rencana harus
diperbesar sesuai dengan FBD berdasarkan Gambar 2.27. Gaya sentrifugal dan
gaya rem tidak perlu diperbesar. Faktor beban dinamis tidak perlu diterapkan pada
beban pejalan kaki atau beban terbagi rata BTR.
Faktor beban dinamis tidak perlu diterapkan untuk:
 Dinding penahan yang tidak memikul reaksi vertikal dari struktur atas
jembatan, dan
 Komponen fondasi yang seluruhnya berada dibawah permukaan tanah.
Faktor beban dinamis (FBD) merupakan hasil interaksi antara kendaraan yang
bergerak dan jembatan. Besarnya FBD tergantung pada frekuensi dasar dari
suspensi kendaraan, biasanya antara 2 Hz sampai 5 Hz untuk kendaraan berat dan
frekuensi getaran lentur jembatan. Untuk perencanaan, FBD dinyatakan sebagai
beban statis ekuivalen.
Besarnya BGT dari pembebanan “D” dan beban roda dari pembebanan truk
“T” harus cukup untuk memberikan terjadinya interaksi antara kendaraan yang
bergerak dengan jembatan dengan dikali FBD. Besarnya nilai tambah dinyatakan
dalam fraksi dari beban statis. FBD ini diterapkan pada keadaan batas daya layan
dan batas ultimit. BTR dari pembebanan lajur “D” tidak dikali dengan FBD.
Untuk pembebanan “D”, FBD merupakan fungsi panjang bentang ekuivalen
seperti tercantum dalam Gambar. Untuk bentang tunggal panjang bentang
ekuivalen diambil sama dengan panjang bentang sebenarnya. Untuk bentang
menerus panjang bentang ekuivalen LE diberikan dengan Pers 2.22:

L E= √ 𝑎 𝑎
(2.22)

Keterangan:
Lav = Panjang bentang rata-rata dari kelompok bentang yang disambungkan
secara menerus
Lmax = Panjang bentang maksimum
Untuk pembebanan truk “T”, FBD diambil 30%. Nilai FBD yang dihitung
digunakan pada seluruh bagian bangunan yang berada diatas permukaan tanah.
Untuk bagian bangunan bawah dan fondasi yang berada di bawah garis
permukaan, nilai FBD harus diambil sebagai peralihan linier dari nilai pada garis
pemukaan tanah sampai nol pada kedalaman 2 m.
Gambar 2.27: Faktor beban dinamis untuk beban T untuk pembebanan lajur “D”.

2.10 Gaya Rem (TR)

Gaya rem harus diambil terbesar dari:

 25% dari berat gandar truk desain, atau


 5% dari berat truk rencana ditambah beban lajur terbagi rata BTR
Gaya rem tersebut harus ditempatkan di semua lajur rencana yang dimuati
sesuai dengan sesuai dengan pasal 2.17 dan yang berisi lalu lintas dengan arah
yang sama. Gaya ini harus diasumsikan untuk bekerja secara horizontal pada jarak
1800 mm diatas permukaan jalan pada masing-masing arah longitudinal dan
dipilih yang paling menentukan. Untuk jembatan yang dimasa depan akan dirubah
menjadi satu arah, maka semua lajur rencana harus dibebani secara simultan pada
saat menghitung besarnya gaya rem. Faktor kepadatan lajur yang ditentukan pada
Pasal 2.17.4.3 berlaku untuk menghitung gaya rem.

2.11 Pembebanan Untuk Pejalan Kaki (TP)

Semua komponen trotoar yang lebih lebar dari 600 mm harus direncanakan
untuk memikul beban pejalan kaki dengan intensitas 5 kPa dan dianggap bekerja
secara bersamaan dengan beban kendaraan pada masing-masing lajur kendaraan.
Jika trotoar dapat dinaiki maka beban pejalan kaki tidak perlu dianggap bekerja
secara bersamaan dengan beban kendaraan. Jika ada kemungkinan trotoar berubah
fungsi di masa depan menjadi lajur kendaraan, maka beban hidup kendaraan harus
diterapkan pada jarak 250 mm dari tepi dalam parapet untuk perencanaan
komponen jembatan lainnya. Dalam hal ini, faktor beban dinamis tidak perlu
dipertimbangkan.

2.12 Beban Angin

2.12.1 Tekanan Angin Horizontal

Tekanan angin yang ditentukan pada pasal ini diasumsikan disebabkan oleh
angin rencana dengan kecepatan dasar (VB) sebesar 90 hingga 126 km/jam.
Berdasarkan SNI 1725-2016, beban angin harus diasumsikan terdistribusi secara
merata pada permukaan yang terekspos oleh angin. Luas area yang diperhitungkan
adalah luas area dari semua komponen, termasuk sistem lantai dan railling yang
diambil tegak lurus terhadap arah angin. Arah ini harus divariasikan untuk
mendapatkan pengaruh yang paling berbahaya terhadap struktur jembatan atau
komponen-komponennya. Luasan yang tidak memberikan konstribusi dapat
diabaikan dalam perencanaan.

2.12.1.1 Beban Angin Pada Struktur (Ews)

Jika dibenarkan oleh kondisi setempat, perencana dapat menggunakan


kecepatan angin rencana dasar yang berbeda untuk kombinasi pembebanan yang
tidak melibatkan kondisi beban angin yang bekerja pada kendaraan. Arah rencana
kendaraan harus diasumsikan horizontal, kecuali ditentukan lain pada pasal
2.20.3. Dengan tidak adanya data yang lebih tepat, tekanan angin rencana dalam
MPa dapat ditetapkan dengan menggunakan Pers 2.23 dan Tabel 2.19 berikut:

PD = PB( )

(2.23)
Keterangan:
PB = Tekanan angin dasar

Tabel 2.19: Tekanan angin dasar.


Komponen Angin tekan Angin hisap
bangunan atas (MPa) (MPa)
Rangka, kolom,dan
0,0024 0,0012
pelengkung
Balok 0,0024 N/A
Permukaan datar 0,0019 N/A

Gaya total beban angin tidak bole diambil kurang dari 4,4 kN/mm pada
bidang tekan dan 2,2 kN/mm pada bidang hisap pada struktur rangka dan
pelengkung, serta tidak kurang dari 4,4 Kn/mm pada balok atau gelagar.

2.12.1.2 Beban Dari Struktur Atas

Kecuali jika ditentukan lain pada pasal ini , jika angin yang bekerja tidak
tegak lurus struktur, maka tekanan angin dasar PB untuk berbagai sudut serang
dapat diambil seperti yang ditentukan dalam Tabel 2.20 dan harus dikerjakan pada
titik berat dari area yang terkena beban angin. Arah sudut serang ditentukan tegak
lurus terhadap arah longitudinal. Tekanan angin melintang dan memanjang harus
diterapkan secara bersamaan dalam perencanaan.

Tabel 2.20: Tekanan angin dasar (PB) untuk berbagai sudut serang.
Sudut Rangka, kolom, dan
Gelagar
serang pelengkung
Beban Beban Beban Beban
Derajat
lateral longitudinal lateral longitudinal
0 0,0036 0,0000 0,0024 0,0000
15 0,0034 0,0006 0,0021 0,0003
30 0,0031 0,0013 0,0020 0,0006
45 0,0023 0,0020 0,0016 0,0008
60 0,0011 0,0024 0,0008 0,0009

2.12.1.3 Gaya Angin Yang Langsung Bekerja Pada Struktur Bawah


Gaya melintang dan longitudinal yang harus dikerjakan secara langsung pada
bangunan bawah harus dihitung berdasarkan tekanan angin dasar sebesar 0,0019
MPa. Untuk angin dengan sudut serang tidak tegak lurus terhadap bidang tepi dan
bidang muka dari bangunan bawah. Komponen-komponen ini bekerja tegak lurus
terhadap pada masing-masing permukaan yang mengalami tekanan dan perencana
harus menerapkan gaya-gaya tersebut bersamaan dengan beban angin yang
bekerja pada struktur atas.

2.12.1.4 Gaya Angin Pada Kendaraan (Ewl)

Tekanan angin rencana harus dikerjakan baik pada struktur jembatan maupun
pada kendaraan yang melintasi jembatan. Jembatan harus direncanakan memikul
gaya akibat tekanan angin pada kendaraan, dimana tekanan tersebut harus
diasumsikan sebagai tekanan menerus sebesar 1,46 N/mm, tegak lurus dan bekerja
1800 mm diatas permukaan jalan. ditentukan pada pasal ini, jika angin yang
bekerja tidak tegak lurus struktur, maka komponen yang bekerja tegak lurus
maupun paralel terhadap kendaraan untuk berbagai sudut serang dapat diambil
seperti yang ditentukan dalam Tabel 2.21 dimana arah sudut serang ditentukan
tegak lurus terhadap arah permukaan kendaraan.

Tabel 2.21: Komponen beban angin yang bekerja pada kendaraan.


Sudut Komponen tegak lurus Komponen sejajar
Derajat N/mm N/mm
0 1,46 0,00
15 1,28 0,18
30 1,20 0,35
45 0,96 0,47
60 0,50 0,55

2.12.1.5 Tekanan Angin Vertikal


Jembatan harus mampu memikul beban garis memanjang jembatan yang
mempresentasikan gaya angin vertikal ke atas sebesar 9.6 x 10-4 MPa dikalikan
lebar jembatan, termasuk parapet dan trotoar. Gaya ini harus ditinjau hanya untuk
Keadaan Batas Kuat III dan Layan IV yang tidak melibatkan angin pada
kendaraan, dan hanya ditinjau untuk kasus pembebanan diamana arah angin
dianggap bekerja tegak lurus terhadap sumbu memanjang jembatan. Gaya
memanjang tersebut mempunyai titik tangkap pada seperempat lebar jembatan
dan bekerja secara bersamaan dengan beban angin horizontal yang ditentukan
dalam pasal 2.20.1.

2.13. Peraturan Gempa Yang Dimodifikasi

2.13.1. Cara Analisis Tahan Gempa

Jembatan harus direncanakan agar memiliki kemungkinan kecil untuk runtuh


namun dapat mengalami kerusakan yang signifikan dan gangguan terhadap
pelayanan akibat gempa. Penggantian secara parsial atau lengkap pada struktur
diperlukan untuk beberapa kasus. Kinerja yang lebih tinggi seperti kinerja
operasional dapat diterapkan oleh pihak yang berwenang. Beban gempa diambil
sebagai gaya horizontal yang ditentukan berdasarkan perkalian antara koefisien
respons elastik (Csm) dengan berat struktur akivalen yang kemudian dimodifikasi
dengan faktor modifikasi respons (Rd) dengan formulasi Pers 2.24 berikut:

EQ = x Wt

(2.24)
Keterangan:
EQ = Gaya gempa horizontal statis (kN).
Csm = Koefisien respons gempa elastik.
Rd = Faktor modifikasi respons.
Wt = Berat total struktur terdiri dari beban mati dan beban hidup yang sesuai
(kN).
Koefisien respons elastik Csm diperoleh dari peta percepatan batuan dasar
dan spektra percepatan sesuai dengan daerah gempa dan periode ulang gempa
rencana. Koefisien percepatan yang diperoleh berdasarkan pada peta gempa
dikalikan dengan suatu faktor amplifikasi sesuai dengan keadaan tanah sampai
kedalaman 30 m dibawah struktur jembatan.
1. Prosedur umum
Peta gempa dalam ketentuan ini meliputi peta percepatan puncak batuan dasar
(PGA) dan respon spectra percepatan 0,2 detik dan 1 detik dibatuan dasar yang
mewakili dua level hazard (potensi bahaya) gempa 500 dan 1000 dengan
kemungkinan terlampaui 10% dala 50 tahun dan 7% dalam 75 tahun penjelasan
untuk masing - masing peta dapat dilihat pada Tabel 2.22.

Tabel 2.22: Penjelasan peta gempa 2010 (SNI 2833:2013).


No No Gambar Level Gambar Keterangan
1 Gambar 27 Peta percepatan puncak di batuan
dasar (PGA)
2 Gambar 28 10% dalam 50 tahun Peta respons spektra percepatan
(500 tahun) 0,2 detik di batuan dasar
3 Gambar 29 Peta respons spektra percepatan
1,0 detik di batuan dasar (S1)
Tabel 2.22: Lanjutan.
No No Gambar Level Gambar Keterangan
4 Gambar 30 Peta percepatan puncak di batuan
dasar (PGA)
5 Gambar 31 7 % dalam 75 tahun Peta respon spektra percepatan 0,2
(1000 tahun) detik di batuan dasar (Ss)
6 Gambar 32 Peta respons spektra percepatan
0,1 detik di batuan dasar (S1)

2. Faktor situs
Untuk penentuan respons spektra di permukaan tanah, diperlukan suatu faktor
amplifikasi pada periode nol detik, periode pendek (T=0,2 detik) dan periode 1
detik. Faktor amplikasi meliputi faktor amplifikasi getaran terkait percepatan pada
getaran periode nol detik (FPGA), faktor amplifikasi periode pendek (Fa) dan
factor amplifikasi terkait percepatan yang mewakili getaran periode 1 detik (Fv).
Tabel 2.23 memberikan nilai FPGA, Fa dan Fv untuk berbagai klasifikasi jenis
tanah.

Tabel 2.23: Faktor amplifikasi untuk periode 0 detik dan 0,2 detik (FPGA/Fa)
(SNI 2833:2013).
PGA ≤ 0,1 PGA= 0,2 PGA = 0,3 PGA = 0,4 PGA > 0,1
Kelas situs
Ss ≤ 0,25 Ss = 0,5 Ss = 0,75 Ss = 1,0 Ss ≥ 0,25
Batuan
0,8 0,8 0,8 0,8 0,8
keras (SA)
Batuan
1,0 1,0 1,0 1,0 1,0
(SB)
Tanah
1,2 1,2 1,1 1,0 1,0
keras (SC)
Tanah
sedang 1,6 1,4 1,2 1,1 1,0
(SD)
Tanah
2,5 1,7 1,2 0,9 0,9
lunak (SE)

PGA = Percepatan puncak batuan dasar mengacu pada Peta Gempa Indonesia.
Ss = Parameter respons spektral percepatan gempa untuk periode pendek
(T=0.2 detik) mengacu pada Peta Gempa Indonesia 2010.
SS = Lokasi yang memerlukan investigasi geoteknik dan analisis respons
dinamik spesifik.

Tabel 2.24: Besarnya nilai faktor amplifikasi untuk periode 1 detik (Fv) (SNI
2833:2013).
Kelas situs S1 ≤ 0,1 S1 = 0,2 S1 = 0,3 S1 = 0,4 S1 ≥ 0,5
Batuan
0,8 0,8 0,8 0,8 0,8
keras (SA)
Batuan
1,0 1,0 1,0 1,0 1,0
(SB)
Tanah
1,7 1,6 1,5 1,4 1,3
keras (SC)
Tanah
2,4 2,0 1,8 1,6 1,5
sedang
(SD)
Tanah
3,5 3,2 2,8 2,4 2,4
lunak (SE)
Tanah
khusus SS SS SS SS SS
(SF)

Keterangan:
S1 = Parameter respons spektral percepatan gempa untuk periode 1 detik
mengacu pada Peta Gempa Indonesia 2010 (Gambar 2.20 atau Gambar
2.23).
SS = Lokasi yang memerlukan investigasi geoteknik dan analisis respons
dinamik spesifik.

3. Respons spektrum rencana


Respons spektra adalah nilai yang mengGambarkan respons maksimum dari
system berderajat kebebasan tunggal pada berbagai frekuensi alami (periode
alami) teredam akibat suatu goyangan tanah. Untuk kebutuhan praktis, maka
respons spektra dibuat dalam bentuk respons spektra yang sudah disederhanakan.

Gambar 2.28: Bentuk tipikal respons spektra di permukaan tanah (SNI


2833:2013).

Respons spektra di permukaan tanah ditentukan dari 3 (tiga) nilai


percepatan puncak yang mengacu pada peta gempa Indonesia 2010 (PGA, SS dan
S1), serta nilai faktor amplifikasi FPGA, Fa, dan Fv. Perumusan respons spektra
dapat dilihat pada Pers 2.25, 2.26 dan Pers 2.27 sebagai berikut :
AS = FPGA x PGA
(2.25)
SDS = Fa x Ss
(2.26)
SD1 = Fv x S1
(2.27)
4. Koefisien respons gempa elastik
a. Untuk periode lebih kecil dari T0, koefisien respons gempa elastik (Csm)
didapatkan dari persamaan berikut :

Csm = (SDS – As) + As

b. Untuk periode lebih besar atau sama dengan T0, dan lebih kecil atau sama
dengan TS, respons spektra percepatan, Csm adalah sama dengan SDS.
c. Untuk periode lebih besar dari TS, koefisien respons gempa elastik (Csm)
didapatkan dari persamaan berikut :

Csm =

(2.28)
Keterangan:
SDS = Nilai spektra permukaan tanah pada periode pendek (T=0.2 detik).
SD1 = Nilai spektra permukaan tanah pada periode 1.0 detik
T0 = 0.2 Ts

Ts =

Penggunaan masing-masing persamaan dapat membentuk respons spektra di


permukaan seperti diperlihatkan pada Gambar 2.28.
5. Kategori kinerja seismik
Setiap jembatan harus ditetapkan dalam salah satu empat zona gempa
berdasarkan spektra percepatan periode 1 detik (SD1) sesuai Tabel 2.25. Kategori
tersebut meng Gambarkan variasi risiko seismik dan digunakan untuk penentuan
metode analisis, panjang tumpuan minimum, detail perencanaan kolom, dan
prosedur desain pondasi dan kepala jembatan.
Tabel 2.25: Zona gempa (SNI 2833:2013).
Koefisien percepatan (SD1) Zona gempa
SD1 ≤ 0,15 1
0,15 < SD1 ≤ 0,30 2
0,30 < SD1 ≤ 0,50 3
SD1 > 0,50 4

Catatan : SD1 = Fv x S1
SD1 = Nilai spektra permukaan tanah pada periode 1.0 detik
Fv = Nilai faktor amplifikasi untuk periode 1 detik (Fv)
S1 = Parameter respons spektra percepatan gempa untuk periode 1.0 detik
mengacu pada Peta Gempa Indonesia 2010.
6. Faktor modifikasi respons
Untuk penggunaan faktor modifikasi respons pada pasal ini maka detailing
struktur harus sesuai dengan ketentuan pada Pasal 7 dan Pasal 7.5 SNI 2833:2013.
Gaya gempa rencana pada bangunan bawah dan hubungan antara elemen struktur
ditentukan dengan cara membagi gaya gempa elastis dengan faktor modifikasi
respons (R) sesuai dengan Tabel 2.24 dan Tabel 2.25. Sebagai alternatif
penggunaan faktor R pada Tabel 2.26 untuk hubungan struktur, sambungan
monolit antara elemen struktur atau struktur, seperti hubungan kolom ke fondasi
telapak dapat direncanakan untuk menerima gaya maksimum akibat plastifikasi
kolom atau kolom majemuk yang berhubungan. Apabila digunakan analisis
dinamik riwayat waktu, maka faktor modifikasi respons (R) diambil sebesar 1
untuk seluruh jenis bangunan bawah dan hubungan antar elemen struktur.

Tabel 2.26: Faktor modifikasi respons (R) untuk bangunan bawah (SNI
2833:2013).
Kategori Kepentingan
Bangunan bawah
Sangat Penting Penting Lainnya
Pilar tipe dinding 1,5 1,5 2,0

Tiang/kolom beton bertulang 3,0


1,5 2,0
Tiang vertical 2,0
1,5 1,5
Tiang miring

Kolom tunggal 1,5 2,0 3,0

Tiang baja dan komposit 5,0


1,5 3,5
Tiang vertical 3,0
1,5 2,0
Tiang miring

Kolom majemuk 1,5 3,5 5,0

Tabel 2.27. Faktor modifikasi respons (R) untuk hubungan antar elemen struktur
(SNI 2833:2013).
Hubungan elemen struktur Semua kategori kepentingan
Bangunan atas dengan kepala jembatan 0,8
Sambungan muai dilatasi pada bangunan atas 0,8
Kolom, pilar atau tiang dengan bangunan atas 1,0
Gambar 2.29: Peta percepatan puncak di batuan dasar (PGA) untuk probabilitas
terlampaui 10% dalam 50 tahun (SNI 2833:2013).

Gambar 2.30: Peta respons spektra percepatan 0.2 detik di batuan dasar untuk
probabilitas terlampaui 10% dalam 50 tahun (SNI 2833:2013).
Gambar 2.31: Peta respons spektra percepatan 1 detik di batuan dasar untuk
probabilitas terlampaui 10% dalam 50 tahun (SNI 2833:2013).

Gambar 2.32: Peta percepatan puncak di batuan dasar (PGA) untuk probabilitas
terlampaui 7% dalam 75 tahun (SNI 2833:2013).
Gambar 2.33: Peta respons spektra percepatan 0.2 detik di batuan dasar untuk
probabilitas terlampaui 7% dalam 75 tahun (SNI 2833:2013).

Gambar 2.34. Peta respons spektra percepatan 1 detik di batuan dasar untuk
probabilitas terlampaui 7% dalam 75 tahun (SNI 2833:2013).
2.13.1 Filosofi Perencanaan (Pembebanan)

Berdasarkan SNI 1725-2016, jembatan harus direncanakan sesuai dengan


keadaan batas yang disyaratkan untuk mencapai target pembangunan keamanan,
dan aspek layan, dengan memperhatikan kemudahan inspeksi, faktor ekonomi,
dan estetika.
Dalam perencanaan, persamaan dibawah harus dipenuhi untuk semua
pengaruh gaya yang bekerja beserta kombinasinya, tidak tergantung dari jenis
analisis yang digunakan. Setiap komponen dan sambungan harus memenuhi
persamaan untuk setiap keadaan batas. Untuk keadaan batas layan dan ekstrem,
faktor tahanan harus diambil sebesar 1, kecuali untuk baut yang ditentukan dalam
perencanaan jembatan baja, serta kolom - kolom beton pada zona gempa 2, 3, dan
4 yang ditentukan dalam perencanaan jembatan beton. Seluruh keadaan batas
harus dianggap memiliki tingkat kepentingan yang sama besar dapat di liahat pada
Pers 2.29.
ΣηiγiQi< ØRn = Rr
(2.29)
Dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
Untuk beban-beban dengan nilai maksimum γl lebih sesuai dengan Pers 2.30:
ηi = ηDηRηI > 0,95
(2.30)
Untuk beban-beban dengan nilai minimum γl lebih sesuai dengan Pers 2.31:
ηi= < 1

(2.31)
Keterangan:
γi = Faktor beban ke i
ηI = Faktor pengubah respons berkaitan dengan daktilitas, redundansi, dan
klasifikasi operasional
ηD = Faktor pengubah respons berkaitan dengan daktilitas
ηR = Faktor pengubah respons berkaitan dengan redundansi
ηI = Faktor pengubah respons berkaitan dengan klasifikasi operasional
Qi = Pengaruh gaya
Rn = Tahanan nominal
Rr = Tahanan terfaktor

2.13.2. Keadaan Batas Layan

Keadaan batas daya layan disyaratkan dalam perencanaan dengan melakukan


pembatasan pada tegangan, deformasi, dan lebar retak pada kondisi pembebanan
layan agar jembatan mempunyai kinerja yang baik selama umur rencana.

2.13.3. Keadaan Batas Fatik Dan Fraktur

Keadaan batas fatik disyraratkan agar jembatan tidak mengalami kegagalan


akibat fatik selama umur rencana. Untuk tujuan ini, perencana harus membatasi
rentang tegangan akibat satu beban truk rencana pada jumlah siklus pembebanan
yang dianggap dapat terjadi selama umur rencana jembatan. Keadaan batas fraktur
disyaratkan dalam perencanaan dengan menggunakan persyaratan kekuatan
material sesuai spesifikasi.
Berdasarkan SNI 1725-2016, keadaan batas fatik dan fraktur dimaksudkan
untuk membatasi penjalaran retak akibat beban siklik yang pada akhirnya akan
menyebabkan terjadinya kegagalan fraktur selama umur desain jembatan.

2.13.4. Keadaan Batas Kekuatan

Keadaan batas kekuatan disyaratkan dalam perencanaan untuk memastikan


adanya kekuatan dan kestabilan jembatan yang memadai, baik yg sifatnya lokal
maupun global, untuk memikul kombinasi pembebanan yang secara statistik
mempunyai kemungkinan cukup besar untuk terjadi selama masa layan jembatan.
Pada keadaan batas ini, dapat terjadi kelebihan tegangan ataupun kerusakan
struktural, tetapi integritas struktur secara keseluruhan masih terjaga.

2.13.5. Keadaan Batas Ekstrem

Keadaan batas ekstrem diperhitungkan untuk memastikan struktur jembatan


dapat bertahan akibat gempa besar. Keadaan batas ekstrem merupakan kejadian
dengan frekuensi kemunculan yang unik dengan priode ulang yang lebih besar
secara signifikan dibandingkan dengan umur rencana jembatan.

2.13.6. Daktilitas

Sistem struktur jembatan harus diproporsi dan didetailkan agar diperoleh


perilaku deformasi inelastik pada keadaan batas ultimit dan ekstrem sebelum
mengalami kegagalan. Perangkat disipasi (energi yang hilang dari suatu sistem,
berubah menjadi energi lain yang tidak menjadi tujuan suatu sistem) energi gempa
dapat digunakan untuk menggantikan sistem pemikul beban gempa konvensional
beserta metodologi perencanaan tahan gempa yang dimuat dalam Peraturan
Perencanaan Gempa untuk Jembatan.
Untuk keadaan batas ultimit maka:
ηD = 1,05 untuk komponen tidak daktail dan sambungan
ηD = 1,00 untuk perencanaan konvensional serta pendetailan yang mengikuti
peraturan ini.
ηD = 0,95 untuk komponen-komponen dan sambungan yang telah dilakukan
tindakan tambahan untuk meningkatkan daktilitas lebih dari yang
disyaratkan oleh peraturan ini.
Untuk keadaan batas lain termasuk keadaan batas ekstrem (gempa) maka:ηD = 1

2.13.7. Redundansi (Prediksi)

Alur gaya mejemuk dan struktur menerus harus digunakan kecuali terdapat
alasan kuat yang mengharuskan untuk tidak menggunakan struktur tersebut.
Untuk keadaan batas ultimit maka:
ηR= 1,05 untuk komponen non redundan
ηR= 1,00 untuk komponen redundansi konvensional
ηR= 0,95 untuk komponen dengan redundansi melampaui kontinuitas girder dan
penampang torsi tertutun

2.13.8. Kepentingan Operasional


Pemilik pekerjaan dapat menetapkan suatu jembatan atau elemen struktur dan
sambungannya sebagai prioritas operasional. Pengklasifikasi harus dilakukan oleh
otoritas yang berwenang terhadap jaringan transportasi dan mengetahui kebutuhan
operasional.
Untuk keadaan batas ultimit maka:
ηI = 1,05 untuk jembatan penting atau sangat penting
ηI = 1,00 untuk jembatan tipikal
ηI = 0,95 untuk jembatan kurang penting
Untuk keadaan batas lain termasuk keadaan batas ekstrem (gempa) maka: ηI = 1

2.14. Data Lalu Lintas Kapal

Berdasarkan SNI 1725-2016 jembatan harus direncanakan sesuai dengan data


yang di perlukan dalam perencanaan gaya tumbukan kapal yang mencakup:
a. Lalu lintas kapal:
Tipe, jumlah, konstruksi, tonase, panjang, lebar, frekuensi pelintasan, draft,
daya kuda, kebebasan vertikal, cara pengoprasian, tipe pelayanan, barang
bawaan utama, dan tempat pelayanan setempat.
b. Kecepatan kapal:
Transit, tumbukan.
c. Keadaan lingkungan:
Cuaca, angin, arus, geometri jalan air, kedalaman air, ketingian pasang surut,
keadaan pelayaran, kepadatan lalu lintas kapal.

2.18.1 Klasifikasi Kapal Desain

Sehubung dengan faktor resiko dalam penentuan kapal desain untuk


perencanaan beban tumbukan pada pilar jembatan, terdapa klasifikasi sebagai
berikut:
a. Jembatan kritis: berat kapal di desai agar terlampaui oleh 5% jumlah lintasan
kapal dalam sutu tahun atau maksimum 50 lintasan kapal pertahun ( pilih yang
terkecil ).
b. Jembatan biasa: berat kapal desain terlampaui oleh 10% jumlah lintasan kapal
dalam setahun atau maksimum 200 lintasan kapal per tahun ( pilih yang
terkecil ).
BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Bagan Alir Penelitian

Langkah-langkah dalam perencanaan dan analisis struktur jembatan cable


stayed pada tugas akhir ini dilakukan dengan beberapa tahapan seperti pada
Gambar 3.1.

MULAI

Preliminarry Design

Model 1 (Perencanaan model Model 2 ( Perencanaan


dengan panjang 200 m dan lebar model dengan bentang 160
bentang 17 m) m dn lebar 17 m)

Menentukan Besar Beban:


- Beban lajur D -
Beban hidup
- Beban angina -
Beban gempa
- Beban pejalan kaki - Beban rem
Start Design dan Analisa struktur terhadap
pembebanan menggunakan CSI Bridge

KONTROL TERHADAP
DEFORMASI DAN
KELENDUTAN STRUKTUR
- Lendutan
- Stabilitas Pier
- Displacement
Menganalisis dan
Boxmembandingkan
girder hasil
lendutan dari perencanan struktur
jembatan cable stayed
Selesai
Gambar 3.1: Diagram alir perencanaan.
3.2 Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data merupakan suatu cara atau proses yang sistematis


dalam pengumpulan, pencatatan, dan penyajian fakta untuk mencapai
tujuan tertentu. Tujuan pengumpulan data dalam penelitian ini adalah
untuk memperoleh faktor-faktor untuk melakukan perencanaan jembatan
layang.
Data yang diperlukan dalam penelitian ini berupa:
a. Data Primer
Data yang diperoleh dengan cara menentukan sendiri bagian-bagian
dari jembatan yang akan direncanakan. Data-data yang akan diambil
antara lain:
1. Panjang total jembatan
2. Lebar total jembatan
3. Lebar jalur
4. Jumlah kabel
5.Tinggi menara
6. Lebar trotoar

3.3 Standar yang Digunakan Dalam Perencanaan

Dalam perencanaan standar yang digunakan adalah sebagai berikut:


1. SNI-1725:2016 Standar Pembebanan Untuk Jembatan
Untuk acuan dalam perencanaan pembebanan jembatan
2. RSNI-T-12-2004 Perencanaan Struktur Beton Untuk Jembatan
Sebagai acuan standar untuk merencanakan jembatan
3. RSNI 2833:2008 Standar Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk
Jembatan
Sebagai acuan standar ketahanan gempa pada jembatan
4. 2052:2014 Baja Tulangan Beton
Sebagai acuan standar baja tulangan beton yang akan digunakan
5. SNI-0076:2008 Tali Kawat Baja untuk kabel ruji
6. VSL – Multistrand Systems
Sebagai acuan merencanakan tendon pada jembatan beton prategang.

3.4 Kriteria Desain Jembatan

Konstruksi jembatan yang direncanakan adalah konstruksi jembatan


dengan menggunakan profil single trapezoidal box girder prestressed
dengan data-data sebagai berikut:
a. Panjang total: 200 meter, terdiri dari dua bentang dengan panjang
100 meter dan panjang pilon 50 meter.
b. Lebar total: 2 x8,5 meter
c. Lebar perkerasan jalan: 2 x 7 meter
d. Lebar trotoar: 2 x 1 meter
e. Jumlah lajur: 4
f. Lebar lajur: 3,5 meter

3.5 Spesifikasi Material Struktur Jembatan Cable Stayed

Berikut adalah mutu beton dan baja yang akan digunakan dalam
perencanaan jembatan ini:
- Berat jenis beton : 2400 kg/m3
- Berat jenis aspal : 2240 kg/m3
- Berat jenis baja : 7850 kg/m3
- Tegangan leleh baja(fy) : BJ 55
1.Baja
- Mutu Baja : BJ-55
- Tengangan putus minimum (fu) : 550 Mpa
- Tengangan leleh minimum (fy) : 410 Mpa
- Rengangan minimum : 15%
- Modulus elastisitas : 200000 Mpa
- Modulus geser (G) : 80000 Mpa
- Poisson ratio : 0,3
- Koefesien Pemuaian : 12 x 10-6
- Berat jenis baja : 7850 kg/m3

3. Beton
- Mutu Baja : 50 Mpa
- Modulus elastisitas : 33234 Mpa
- Modulus geser (G) : 13847,5 Mpa
- Poisson ratio : 0,2
- Koefesien Pemuaian : 10 x 10-6
- Berat jenis baja : 2400 kg/m3

3.6 Perencanaan Struktur Jembatan Cable Satayed

Bangunan atas jembatan merupakan bagian jembatan cable stayed


yang menerima langsung beban dari kendaraan atau orang yang
melintasinya. Secara umum bangunan atas terdiri dari beberapa
komponen utama, antara lain: tiang sandaran, trotoar, pelat lantai,
menara/pylon, kabel, diafragma dan deck slab. Untuk menghitung
komponen - komponen tersebut maka sebelumnya perlu dihitung sistem
pembebanannya, kemudian komponen - komponen tersebut dapat
dihitung.
Data struktur jembatan kabel yang di gunakan dalam analisis ini
anatara lain
- Panjang jembatan
Model 1 : 200 meter
Model 2 : 160 meter
- Dimensi kabel utama : 6 x Fi(29) IWRC diameter 60
mm
- Dimensi pylon : Beton diameter 250 Pers 2.7
- Sistem lantai : Kaku
- Ketebalan plat lantai : 50 mm
- Letak geografis : zona 4, pedesaan

3.7 Permodelan Struktur Jembatan Cable Stayed

Gambar 3.2: Dimensi perencanaan jembatan kabel (cable stayed)

Gambar 3.3: Tampak samping jembatan kabel.


Gambar 3.4: Tampak Atas Jembatan kabel.

Gambar 3.5: Tampak depan jembatan kabel.

3.8 Preliminary Design

Dalam bidang rekayasa jembatan tindakan dasar dari kemampuan


kreatifitas adalah imajinasi. Untuk merencanakan sebuah jembatan, hal
penting pertama adalah mengimajinasikannya. Bagaimanapun, untuk
mengimajinasikan suatu jembatan, seorang perencana seharusnya
memiliki pengalaman dalam pekerjaannya dan mengaplikasikannya pada
lokasi setempat. Preliminary Design atau desain awal atau estimasi dari
perencanaan jembatan yang akan di buat. Pada tahap ini bukanlah
spesifikasi yang akan dikerjakan di lapangan, namun hanya spesifikasi
struktur yang akan dimodelkan.
a. Perencanaan Dimensi Box Girder
Struktur utama jembatan layang menggunakan profil box girder
prestress dengan tipe multi cell dengan lebar total 17 meter, bentang total
200 meter dan 160 meter yang terdiri dari 1 buah pilon tengahnya.
Adapun pedoman dalam pemilihan tampang tampang melintang
gelagar diberikan oleh Podolny dan Muller (1982), sebagai berikut:
1. Lebar jembatan dan jarak web
Untuk gelagar kotak tunggal, lebar jembatan tidak lebih dari 12 m
a. Jarak web: 4 – 7,5 m
b. Panjang bagian kantilever: sampai dengan ¼ lebar gelagar
2. Tebal sayap atas
Tebal minimum untuk sayap atas yang digunakan berdasarkan panjang
bentang antar web yaitu:

Tabel 3.10: Ketentuan sayap atas minimum profil box girder.


Bentang antar web Tebal minimum sayap atas
Kurang dari 3 m 175 mm
Antara 3 – 4,5 m 200 mm
Antara 4,5 – 7,5 m 250 mm
Lebih dari 7,5 m Digunakan sistem rib atau hollow slab

3. Tebal web
Tebal web minimum adalah sebagai berikut:
a. 200 mm, jika tidak terdapat tendon pada web
b. 250 mm, jika terdapat duct kecil baik vertikal maupun
longitudinal
c. 300 mm, jika digunakan tendon dengan strand 12,5 mm
d. 350 mm jika tendon diangkur pada web.
e. Tebal sayap bawah
f. 175 mm, jika duct tidak diletakkan pada sayap
g. 200 – 250 mm, jika duct diletakkan pada sayap
4. Tinggi komponen minimum
Berdasarkan RSNI T-12-2004 pada pasal 9.2 tinggi komponen beton
prategang untuk bentang sederhana pada box girder adalah h ≥ L/25 dan
untuk bentang menerus tinggi komponen dapat dikurangi 10 %. Maka,
berdasarkan pedoman diatas maka dipilih potongan melintang gelagar
jembatan seperti Gambar 3.22:
Gambar 3.22: Penampang profil.

Tabel 3.11: Dimensi profil melintang box girder.


B2 = 1 m
Slab bagian tepi
t4 = 0,35 m
Tinggi profil box girder H=3m

Tabel 3.11: Lanjutan.


B2 = 1 m
Slab bagian tepi
t4 = 0,35 m
Dinding bagian dalam t5 = 0,7 m
Dinding tepi t3 = 0,7 m
B3 = 13m
Slab bawah
t2 = 0,5 m

b. Perhitungan Section Properties Box Girder Prestress


Gambar 3.23: Section properties gelagar jembatan.

Gambar 3.24: Jarak terhadap alas y.

Tabel 3.12: Perhitungan section properties.


Jarak Statis Inersia
Jumlah Luas Inersia
Lebar Tebal Shape Terhada Mome Momen
NO Tampan Tampan Momen
(m) (m) Factor 2)
p Alas y n A*y A*y2
g g A (m 3 4
I0 (m4)
(m) (m ) (m )
20,62
1 15 0,5 1,0 1 7,5 2,75 56,718 0,15625
5
Tabel 3.12: Lanjutan.
Jarak Statis Inersia
Jumlah Luas Inersia
Lebar Tebal Shape Terhada Mome Momen
NO Tampan Tampan Momen
(m) (m) Factor 2)
p Alas y n A*y A*y2
g g A (m I0 (m4)
(m) (m3) (m4)
2 13 0,5 1,0 1 6,5 0,25 1,625 0,40625 0,13541
3 0,7 2 1,0 2 2,8 1,5 4,2 6,3 0,93333
0,3
4 1 1,0 2 0,7 2,83 1,981 5,60623 0,05716
5
5 0,7 2 1,0 2 2,8 1,5 4,2 6,3 0,93333
0,194 0,000088
6a 0,2 0,2 0,5 4 0,08 2,43 0,472
4 8
0,046 0,000088
6b 0,2 0,2 0,5 4 0,08 0,58 0,0269
4 8
7 0,2 0,5 0,5 2 0,1 0,33 0,033 0,0109 0,00694
8 1 0,1 0,5 2 0,15 2,6 0,39 1,014 0,000093
5 7
33,294
Jumlah 20,71 - 76,854 2,222
8

Penjabaran perhitungannya:
1. Diketahui:
- Lebar = 15 m
- Tebal = 0,5 m
- Shape factor = 1,0
- Jumlah tampang = 1
- Jarak terhadap alas y = 2,75 m

Luas tampang (A) = Lebar x Tebal x Shape factor x Jumlah tampang


= 15 m x 0,5 m x 1 x 1
= 7,5 m2
Statis momen = Luas tampang (A) x Jarak terhadap alas y
= 7,5 m2 x 2,75 m
= 20,625 m3
Inersia momen = x Lebar x Tebal3 x Shape factor x Jumlah Tampang

= x 15 x 0,53 x 1 x 1 = 0,15625 m4

Hasil yang diperoleh:


- Jumlah luas tampang (A) = 20,71 m2
- Jumlah statis momen (A*y) = 33,2948 m3
- Jumlah inersia momen A*y2 = 76,854 m4
- Jumlah inersia momen Io = 2,222 m4
a) Perhitungan Letak Titik Berat
Tinggi box girder prestress (H) = 3 m
Luas penampang box girder prestress (A) = 20,71 m2
Letak titik berat :

- Yb = = = 1,60 m
- Ya = H – Yb = 3 – 1,60 = 1,40 m

b) Perhitungan Momen Tahanan


- Momen inersia terhadap alas balok:
Ib = ƩA x Y2 + ƩIo
= 76,854 m4 + 2,222 m4
= 79,076 m4
- Momen inersia terhadap titik berat balok:
Ix = Ib – (A x Yb2)
= 79,076 m4 – (20,71 m2 x 1,62)
= 26,0584 m4

Tahanan momen sisi atas: Wa = = = 18,6131 m3

Tahanan momen sisi bawah: Wb = = = 16,2865 m3

3.9 Gaya Prestress, Eksentrisitas dan Jumlah Tendon

3.9.1 Gaya Prestress

a. Kondisi Awal Saat Transfer


- Mutu beton (f’c) yang digunakan adalah = 50 Mpa
- Kuat tekan beton pada saat transfer
fci= 80 % x fc’ = 80% x 50 = 40 MPa ≈ 40000 Pa ≈ 4000000 g/m2
- Untuk struktur tekan: ƒcc = 0,55 x ƒci = 0,55 x 40 = 22 MPa
- Untuk struktur tarik: ƒct = 0,25 x √ = 0,25 x √ = 1,581 Mpa
Letak titik berat terhadap sisi bawah profil box girder, Yb = 1,60 m
Direncanakan jarak titik berat tendon terhadap sisi bawah box girder adalah
Luas penampang box girder prestress = 20,71 m2
Eksentrisitas Tendon, es = Yb – Zo = 1,6 - 0,45 = 1,15 m
Tahanan momen sisi atas: Wa = 18,6131 m3
Tahanan momen sisi bawah: Wb = 16,2865 m3
Gambar 2.13: Momen maksimum.

MMS = momen maksimum pada seluruh bentang akibat beban sendiri hasil
analisis Csi Bridge = 156741,01 KNm = 156741010 Kgf-m
Tegangan pada serat atas:
- 0,25 x √ = - Pt / A + Pt x es / Wa – Mbs / Wa
Tegangan pada serat bawah:
- 0,55 x ƒci = - Pt / A + Pt x es / Wb – Mbs / Wb
Besarnya gaya prategang awal ditentukan sebagai berikut:
Pt = (0,25 x √ + MMS / Wa) / (es / Wa – 1 / A)
= (0,25 x √ + 156741,01 / 18,6131) / (1,15 / 18,6131 – 1 / 20,71)
= 395,6994074 N ≈ 39569940,74 gf
Pt = (0,55 x ƒci + MMS / Wb) / (es / Wb – 1 / A)
= (0,55 x 40000 + 156741,01 / 16,2865) / (1,15 / 16,2865 + 1 / 20,71)
= 1765,257266 N ≈ 17652572,66 gf
Dari persamaan 1 dan 2 diambil gaya prategang awal, Pt = 17652572,66 Kgf.
Direncanakan menggunakan kabel jenis strand seven wires stress relieved.
Dengan mengacu pada tabel ASTM A-416 berikut adalah jenis dan karakteristik
dari baja pratekan yang digunakan:
- Jenis strand : Uncoated 7 wire superstrand ASTM A-416 grade 270
- Diameter nominal strands = 0,6” = 15,24 mm
- Luas Nominal penampang strand (As) = 140 mm2
- Nominal massa = 1,102 kg/m
- Beban putus minimal satu strand (Pbs): 260,7 N ≈ 26070 gf (100 %
UTS atau 100% beban putus)
Jumlah strand minimal yang diperlukan: ns = Pt / Pbs = 17652572,66 / 26070
= 677 strand. Direncanakan jumlah kawat untaian (strand cable) = 12 kawat
untaian tiap tendon.

Tabel 3.13: Jumlah tendon setiap web.


nt1 10 Tendon 12 Strands / tendon Selubung tendon 138 mm
nt2 10 Tendon 12 Strands / tendon Selubung tendon 138 mm
nt3 10 Tendon 12 Strands / tendon Selubung tendon 138 mm
nt4 10 Tendon 12 Strands / tendon Selubung tendon 138 mm

Maka, jumlah tendon = 10 + 10 + 10 + 10 = 40 tendon.


Jumlah strands, ns = ( 12 x 10) + ( 12 x 10) + ( 12 x 10) + ( 12 x 10)
= 480 strands.
Beban satu strands = Pbs1 = Pt / ns = 17652572,66/1000 = 17652,572 N ≈ 17652
Kgf
Persentase tegangan leleh yang timbul pada baja (% Jacking force):
Po = Pt / (ns x Pbs) = 17652572,66 / (1000 x 26070) = 46,02 % < 85 % (OK) sesuai
pasal 4.4.3.2.2 RSNI-T-12-2004.
Gaya prestress yang terjadi akibat jacking:
Pj = Po x ns x Pbs1 = 0,4602 x 1000 x 17652= 8123,4504 N ≈ 8123450,4 gf
(71,77 % UTS)
b. Kondisi Akhir (saat service)
Diperkirakan kehilangan tegangan ( loss of prestress ) = 25%
Maka gaya prestress akhir adalah,
Peff = 75% x Pj = 0,75 x 8123450,4 = 6092,5878 KN ≈ 6092587,8 Kgf
Mutu beton yang digunakan adalah = 50 MPa ≈ 50000 Pa
Tegangan ijin beton pada saat final menurut SNI T-12-2004 pada pasal 4.4.1.2.1
adalah sebagai berikut:
Momen yang terjadi akibat pembebanan (berdasarkan hasil analisis program SAP
2000):
1. Momen maksimum akibat beban sendiri
MMS = 156741,01 KNm ≈ 15674101 gf-m
2. Momen maksimum akibat beban mati tambahan
MMA = 156741,01 KNm ≈ 15674101 gf-m
3. Momen maksimum akibat beban lajur
MTD = 15920,4395 KNm ≈ 1592043,95 gf-m
Mbs = MMS + MMA = 313494,02 Nm ≈ 3134940,2 gf-m
- Tegangan pada serat atas:
- 0,4 x fc’ = -Peff / A + Peff x es / Wa - Mbs / Wa – MTD / Wa
- Tegangan pada serat bawah:
- 0,50 x √ = -Peff / A - Peff x es / Wb + Mbs / Wb + MTD / Wb
Besarnya gaya prategang awal ditentukan sebagai berikut:
Peff = -0,4 x fc’ + (Mbs + MTD) / Wa] / (es / Wa – 1 / A)
= [-0,4 x 50000 + (3134940,2 + 1592043,95) / 18,61] / (1,15 / 18,61 – 1 /
20,71)
= 338475,4487 / 0,01350888177
= 246392,8023 N ≈ 246392802,3 gf
Peff = 0,50 x √ + (Mbs + MTD) / Wb] / (es / Wb + 1 / A)
= [0,50 x √ + (3134940,2 + 1592043,95) / 16,28] / (1,15 / 16,28 + 1/ 20,71)
= 290355,5089 / 0,1189246729
= 2441507,736 N ≈ 24415077,36 Kgf
Karena gaya prestress yang didapat saat final adalah gaya prestress minimum,
maka gaya prategang efektif yang menjadi batasan adalah gaya prategang yang
terjadi pada serat bawah: 2441507,736 N ≈ 24415077,36 kgf (30,53 % UTS)
Berdasarkan tabel OVM dengan untuk jenis kabel 0.6” maka digunakan Jenis
strand Uncoated 7 wire strands ASTM A-416 grade 270.
Diameter = 15,4 mm
Luas nominal (Aps) = 140 mm2
Minimum breaking load = 260,7 kN
Modulus elastisitas (Es) = 200.000 MPa.
Untuk jumlah kawat untaian 20 kawat untaian tendon:
Jumlah strands minimum yang diperlukan (ns) = pt/ 0,8 × pbs
= 17652572,66 / 0,8 × 260,7
= 575 strands.
Tabel 3.3: Pemakaian jumlah strands Tendon.
ns 4 Tendon 20 Strands/tendon= 88 Strand dg. 85 mm
1 Selubung tendon
ns 4 Tendon 20 Strands/tendon= 88 Strand dg. 85 mm
2 Selubung tendon
ns 4 Tendon 20 Strands/tendon= 88 Strand dg. 85 mm
3 Selubung tendon
ns 4 Tendon 20 Strands/tendon= 88 Strand dg. 85 mm
4 Selubung tendon

Nt = 20 tendon
Ns = 575 strands
Beban satu strands (Pbs) = Pt/ ns
= 17652572,66/575
= 30,700 kN
Persentase tegangan leleh yang timbul pada baja (po) = Pt/(ns×pbs)
= 1765/(389×260,7)
= 20,2% < 80 % (oke)
Gaya prestress yang terjadi akibat jacking (pj) = Po×ns×pbs
= 13547.1 kN
Untuk jumlah kawat untaian 12 kawat untaian tendon:
Diameter nominal strands = 0,0154 m
Luas tampang satu strands (Ast) = 0,00014 m2
Beban putus minimal satu strands (Pbs) = 260,7 Kn
Jumlah strands minimum yang diperlukan (ns) = pt/ 0,8 × pbs
= 35,03 strands.

Tabel 3.4: Pemakaian jumlah strands.


ns1 4 Tendon 12 Strands/tendon 48 Strand dg. 85 mm
= Selubung tendon
ns2 8 Tendon 12 Strands/tendon 96 Strand dg. 85 mm
= Selubung tendon

Nt = 20 tendon
Ns = 144 strands
Beban satu strands (Pbs) = Pt/ ns = 179,8 Kn
Persentase tegangan leleh yang timbul pada baja (po) = Pt/(ns×pbs)
= 19,5% < 80 % (oke)
Gaya prestress yang terjadi akibat jacking (pj) = Po×ns×pbs
= 5040 kN

Gambar 3.7: Detail gambar tendon model 1dari csi brigde.

3.10 Analisis Beban Pada Jembatan

Beban gravitasi yang bekerja pada struktur jembatan adalah beban mati dan
beban hidup. Beban mati adalah beban yang berhubungan dengan komponen
material jembatan yang diambil dari SNI 1725-2016. Adapupun nilai beban mati
komponen jembatan dapat dilihat pada Tabel 3.2 berikut :

Tabel 3.2 : Berat isi untuk beban mati.


Beban Mati Besarnya Beban
Beton Bertulang 2400 kg/m3

Baja 7850 kg/m3

3.10.1 Beban Sendiri (MS)

Berat sendiri profil box girder


Berat beton prestress (wc) = 2400 kg/m3= 24 kN/m3
Berat sendiri box girder prestress (PMS) = A x wc = 22,71 x 24 = 545,04
kN/m
= 54504 Kg/m = PMS =
54,504 T/m
3.10.2 Beban Mati Tambahan (MA)

Beban mati tambahan pada lantai jembatan terdiri dari berat aspal, berat
lapisan kembali aspal dan berat genangan air dikalikan dengan berat jenis aspal
yaitu sebesar 2240 Kg/m3 dan berat jenis air sebesar 1000 Kg/m3, berat trotoar,
berat median, dan berat tiang lampu penerangan.

Gambar 3.8: Sepesifikasi Beban yang akan di hitung.

a. Berat lapisan aspal (surface)


Lapisan aspal direncanakan setebal 5 cm dan untuk pelapisan kembali
hari (overlay) direncanakan setebal 5 cm.
Tebal aspal x Bj aspal
= 0,1 m x 2245 Kg/m3 = 224,5 Kg/m2
b. Berat air hujan (10 cm)
= 0,1 m x 1000 Kg/m3 = 100 Kg/m2
c. Berat median
Luas penampang median x Bj beton
= 0,25 x 2400 = 600/5 = 120 Kg/m
d. Berat trotoar dan dinding pagar tepi
Luas penampang trotoar dan dinding pagar tepi x Bj beton
= 0,40625 m2 x 2400 Kg/m3 = 975 Kg/m
e. Beban tiang lampu penerangan (asumsi): 300 kg/m.

3.10.3 Beban Lajur “D” (TD)

Untuk perhitungan kekuatan lantai kendaraan atau sistem lantai


kendaraan fly over harus digunakan beban “T”, yaitu beban yang
merupakan kendaraan truk yang mempunyai beban roda ganda (dual
wheel load) sebesar 50 ton
a. Beban Terbagi Rata (BTR)
Berdasarkan peraturan pembebanan SNI 1725:2016 pada pasal 8.3.1 jika L
lebih kecil atau kurang dari 30 m maka nilai q sebesar 9,0 kPa 900 Kg/m2,
sedangkan jika lebih besar dari 30 m maka nilai q dapat di hitung dengan rumus
dibawah ini:

L ≥ 30 m ; q = 9,0 kN/m2 ( 0,5 + )

f. q = 9,0 x (0,5+15/200)
= 5,175 kN/m2
g. BTR = [( 5,5 x q x1) + (15-5,5) x q x 0,5) / 15]
= [( 5,5 x 5,175 x 1) + (15 - 5,5) x 5,175 x 0,5) / 15]
= 3,536 kN/m ≈ 3536 Kgf/m
b. Beban Garis (BGT)
Beban garis terpusat (BGT) ditempatkan tegak lurus terhadap arah
lalu lintas jembatan dengan besarnya intensitas p adalah 49,0 kN/m
4900 Kg/m dan intensitas tersebut 100 % untuk jalur selebar 5,5 m, dan
selebihnya hanya 50 %.
Faktor beban dinamis (FBD) = 0,4
p = 49 KN/m
h. BGT = [( 5,5 x p x1) + (15-5,5) x p x 0,5) / 15]
= [( 5,5 x 49 x 1) + (15 - 5,5) x 49 x 0,5) / 15]
= 33,483 kN/m ≈ 3348,3 Kg/m

3.10.4 Gaya Rem (TB)

Berdasarkan peraturan pembebanan SNI 1725:2016 pada pasal 8.7 gaya rem
harus diambil yang terbesar dari:
- 25 % dari berat gandar truk desain, atau
- 5 % dari berat truk rencana + BTR
Berat gandar truk desain sebesar 45.000 g dan pembebanan truk „T‟ sebesar
500 kN 50000 Kg.
- 25 % dari berat gandar truk desain = 0,25 x 50000 = 1250 Kg
- 5 % dari berat truk rencana + BTR = 0,05 x 50000 + 642,8 = 3142,8 Kg
Maka gaya rem yang diambil adalah 3142,8 Kg

3.10.5 Beban Pejalan Kaki (TP)

Berdasarkan peraturan pembebanan SNI 1725:2016 pada pasal 8.9 semua


komponen trotoar yang lebih lebar dari 600 mm harus direncanakan untuk
memikul beban pejalan kaki dengan Intensitas beban pejalan kaki sebesar 5 kPa.
Maka, Beban pejalan kaki QTP = 500 Kg/m.
3.10.6 Beban Angin (EW)

a. Beban Angin Struktur (EWS)


Berdasarkan SNI 1725-2016 pada Pasal 9.6.1.1 Tabel.29 tekanan angin dasar
untuk komponen bangunan atas yang berupa balok, angin tekan diambil sebesar
0,0024 Mpa. Untuk perhitungan beban angin struktur, dimensi balok girder
sebesar 3 m 3000 mm dikalikan dengan nilai angin tekan pada balok.
Maka, beban angin struktur QEWs = = 7,2 N/mm 720 Kg/m
b. Angin Kendaraan (EWL)
Berdasarkan SNI 1725-2016 pada Pasal 9.6.1.2 gaya angin pada jembatan
harus direncanakan memikul gaya akibat tekanan angin pada kendaraan, dimana
tekanan tersebut diasumsikan sebagai tekanan menerus sebesar 1,46 N/mm, tegak
lurus dan bekerja 1900 mm di atas permukaan jalan.Maka, beban angin kendaraan
QEWL= ((0,5 x 1900)/1750) x 1,46 = 0,79257 N/mm 79,257 Kg/m

3.11 Gaya akibat Temperatur Seragam (EU)

Besaran rentang simpangan akibat beban temperatur (ΔT) harus berdasarkan


temperatur maksimum dan minimum yang didefinisikan dalam desain sebagai
berikut:
Temperatur maksimum : 40ᵒC
Temperatur minimum : 15ᵒC

= (0,0000011 × 100.000 (40 – 15)) = 27,5 °C

3.11.1 Temperatur Gradien (TG)

Berdasarkan Tabel 2.28 dengan lokasi jembatan berada > 500 m diatas
permukaan laut maka input temperature gradien dapat dilihat seperti pada Gambar
3.10 dibawah ini.
Gambar 3.10: Input temperatur gradien pada csi bridge.

3.11.2 Beban Gempa

Metode yang digunakan dalam perhitungan beban gempa ini yaitu metode
analisis respon spektrum. Beban gempa diperhitungkan berdasarkan RSNI 17-
2013 dengan probabilitas 10% dalam 50 tahun atau periode ulang 1000 tahun.
Berdasarkan peraturan SNI-2833-2013 Perancangan Gempa Terhadap Beban
Jembatan, perencanaan beban rencana akibat gempa minimum ditentukan
beberapa hal:
a. Lokasi desain : Medan
b. Penentuan kelas situs : Diasumsikan struktur berada diatas tanah lunak
c. Penentuan beban gempa
- Nilai PGA
Berdasarkan Gambar 2.27 peta percepatan puncak di batuan dasar (PGA)
untuk probabilitas terlampaui 10% dalam 50 tahun maka nilai PGA adalah 0,13g.
a. Nilai Ss (respons spektra 0.2 detik)
Berdasarkan 2.28 peta respon spectra percepatan 0,2 detik di batuan dasar
untuk probabilitas terlampaui 10% dalam 50 tahun maka nilai Ss adalah
0,27g.
b. Nilai S1 (respons spektra 1 detik)
Berdasarkan Gambar 2.29 peta respon spectra percepatan 1 detik di batuan
dasar untuk probabilitas terlampaui 10% dalam 50 tahun ditentukan nilai S1
adalah 0,17g.
c. Menentukan koefisien situs FPGA, Fa, dan Fv.
Berdasarkan nilai PGA, S1, dan Ss yang telah diperoleh dibaca pada Tabel
2.16 faktor amplifikasi periode 1 detik dan 0,2 detik (FPGA/FA) faktor
amplifikasi untuk periode 1 detik (Fv) untuk situs tanah sedang (SD) diperoleh
hasil sebagai berikut:
Nilai FPGA adalah 0,13
Nilai Fa adalah 1,54
Nilai Fv adalah 2,12
d. Menentukan Parameter Spektral As, SDs dan SD₁
As = FPGA PGA
= 0.13 1.54
= 0.2002
SDS = Fa SS
= 1,54 0.27
= 0.4158
SDI = Fv S1
= 2,12 0.24
= 0.3604
SD1
T0 = 0.2 SDS
0,3604
= 0.2 0,4158

= 0.126
SD1
TS = SDS
0,3604
= 0,4158

= 0.867
Dari hasil perhitungan parameter spektra dapat digambarkan dalam sebuah
grafik respon spectrum seperti dalam Gambar 3.14.
Gambar 3.14: Grafik respon spectrum.

Gambar 3.15: Pemodelan respon spectrum pada CSI Bridge.

3.11.3 Kombinasi Pembebanan

a. Kombinasi pembebanan
Kuat I = 1,20 MS + 2 MA + 1,0 ( PR+PL) + 0,5 SH + 1,8
(TT+TD+TB) + 1,0 BF + 0,5 EUn
Kuat II = 1,20 MS + 2 MA + 1,0 ( PR+PL) + 0,5 SH + 1,4
(TT+TD+TB) + 1,0 BF + 0,5 EUn
Kuat III = 1,20 MS + 2 MA + 1,0 ( PR+PL) + 0,5 SH + 1,4 EWS
+ 1 BF + 0,5EUn
Kuat IV = 1,20 MS + 2 MA + 1,0 ( PR+PL) + 0,5 SH + 1 BF
+ 0,5 EUn
Kuat V = 1,20 MS + 2 MA + 1,0 ( PR+PL) + 0,5 SH + 0,40 EWs +
1,0 EWL + 1,0 BF + 0,5 EUn
Ekstrem I = 1,20 MS + 2 MA + 1,0 ( PR+PL) + 0.5 SH + 0.3 EQ
(TT+TD+TB+) + 1BF + 1 EQ
Daya Layan I = 1,0 (MS+ PR+PL+SH) + 1,0 (TT+TD+TB) + 0,30 EWs +
1,0 EWL + 1,0 BF + 1 EUn
Daya Layan III = 1,0 (MS+ PR+PL+SH) + 0,8 (TT+TD+TB) + 1,0 BF
+ 1 EUn
Daya Layan IV = 1,0 (MS+ PR+PL+SH) + 0,70 EWs + 1BF + 1,0 EUN

3.11.4 Beban Menara

Dimensi Menara = Direncankan diameter 5 m


Luas Menara = 0.02881 m2
menara = 1 buah (berada di tengah)
Total panjang = 50 m

3.11.5 Kabel Utama

Julah kabel = 10 buah


Panjang total kabel = 647 x 2 = 1294 m
Berat Kabel = 0,158 Kg/m
Berat total kabel = 0.158 x 1294
= 204,452 kN
BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Tinjauan Umum

Pada bab ini akan penulis akan membahas tentang hasil studi analisis
dari program CSI Brigde 2017 berdasarkan perencanaan yang telah di
rencakan disini penulis juga akan menampilkan strand minimal yang
diperlukan sesuai dengan SNI 1725-2016 dengan menggunakan
perbandingan panjang terhadap bentang jembatan.

4.2 Hasil Analisa

Dari hasil analisa jembatan beton prategang menggunakan profil box


girder yang mengacu pada standar pembebanan SNI 1725-2016
pembatasan deformasi pada kondisi batas layan, juga didapat nilai perioda
getar yang berbeda yang nantinya digunakan dalam menghitung beban
gempa. Dan dari hasil perhitungan dengan perbandingan mutu beton di
dapat perbedaan yang cukup signifikan baik dari segi deformasi maupun
jumlah strand minimal yang diperlukan

4.2.1 Hasil Analisis Perioda Getar Model 1

Hasil analisis perioda getar menggunakan aplikasi Csi Brigde pada


struktur jembatan beton prategangdengan menggunakan profil box girder
dapat dilihat pada Tabel 4.1 dan 4.2:

Tabel 4.1: Nilai perioda getar (T) pada Model 1.


Case Mode Periode (T) Sec

Modal Mode 1 1,41851


Modal Mode 2 1,16661
Modal Mode 3 0,80241

Tabel 4.1: Lanjutan.


Case Mode Periode (T) Sec

Modal Mode 4 0,53599


Modal Mode 5 0,45604
Modal Mode 6 0,44331
Modal Mode 7 0,43213
Modal Mode 8 0,41664
Modal Mode 9 0,38382
Modal Mode 10 0,35452
Modal Mode 11 0,35452
Modal Mode 12 0,48972

Tabel 4.2: Nilai perioda getar (T) pada Model 2.

Case Mode Periode (T) Sec

Modal Mode 1 0,855


Modal Mode 2 0,6619
Modal Mode 3 0,3164
Modal Mode 4 0,28653
Modal Mode 5 0,22363
Modal Mode 6 0,21553
Modal Mode 7 0,17968
Modal Mode 8 0,17717
Modal Mode 9 0,12635
Modal Mode 10 0,11717
Modal Mode 11 0,09665
Modal Mode 12 0,09108

12
11
10
9
8
7
6 MODEL 2
5 MODEL 1
4
3
2
1

0,00 0,50 1,00 1,50

Gambar 4.1: Grafik perbandingan nilai perioda getar (T).

Dari grafik diatas diperoleh perbedaan nilai perioda getar (T) antara
model 1 dengan model 2 dimana nilai perioda getar pada perioda 1 lebih
besar dibandingkan dengan nilai perioda getar pada perioa 2, hal ini
disebabkan karena semakin panjang bentang (struktur) semakin rndah
pula kekakuan struktur tersebut yang pastinya mempengaruhi nilai
perioda getar alami struktur itu pula.

4.2.2 Kontrol Lendutan

Lendutan pada saat beban penuh adalah lendutan jangka


panjang akibat kombinasi beban ijin baik beban prategang, beban mati
maupun beban hidup. Lendutan tersebut tidak boleh melampaui lendutan
yang di ijinkan. Berdasarkan RSNI T-12-2004 Perencanaan struktur beton
untuk jembatan, pada pasal 9.2.1 dimana lendutan yang terjadi akibat
kombinasi daya layan tidak boleh melampaui
pada Tabel 4.1 dan dapat dibuktikan pada gambar 4.2, 4.3, dan 4.4
lendutan tidak boleh melampaui L/800.
ijin = L = 100 m = 0.125 m
8 8

Tabel 4.1: Nilai lendutan maksimum akibat kombinasi pada model 1.


Output Case Lendutan (U3)
(Kombinasi) (m)
Kombinasi daya layan 1 -0,041
Kombinasi daya layan 3 -0,0215
Kombinasi daya layan 4 -0,0215

Gambar 4.2: Nilai daya layan I pada model 1.

Gambar 4.3: Nilai daya layan III pada model 1.


Gambar 4.4: Nilai daya layan IV pada model 1.

Dari hasil analisa dengan program CSI Bridge untuk model 1 didapat
lendutan maximum saat service yaitu sebesar -0,04 m.
Δ terjadi < Δijin
-0,041 m < 0.125 m (memenuhi syarat)
dimana lendutan yang terjadi akibat kombinasi daya layan tidak boleh
melampaui
pada Tabel 4.2 dan dapat dibuktikan pada gambar 4.5, 4.6, dan 4.7
lendutan tidak boleh melampaui L/800.

ijin = L = 100 m = 0.125 m


8 8

Tabel 4.2: Nilai lendutan maksimum akibat kombinasi pada model 2.


Output Case Lendutan (U3)
(Kombinasi) (m)
Kombinasi daya layan 1 -0,0491
Kombinasi daya layan 3 -0.0245
Kombinasi daya layan 4 -0.0245

Dari hasil analisa dengan program CSI Bridge untuk model 2 didapat lendutan
maximum saat service yaitu sebesar -0,0491 m.
Δ terjadi < Δijin
-0,0491 m < 0.125 m (memenuhi syarat).
Gambar 4.5: Nilai daya layan I pada model 2.

Gambar 4.6: Nilai daya layan III pada model 2.

Gambar 4.7: Nilai daya layan IV pada model 2.


0,06

0,05

0,04

0,03 MODEL 1
MODEL 2
0,02

0,01

0
1 2 3

Gambar 4.2: Grafik perbandingan nilai lendutan .

Dari grafik diatas diketahui bahwa nilai lendutan pada model 2 lebih
besar dibandingkan dengan model 1 hal ini terjadi karena semakin besar
nilai inersia pada suatu bangunan (struktur) maka semakin besar nilai
kekakuan dan kemampuan struktur untuk menahan gaya yang terjadi.

4.3 Kabel Utama

Untuk kabel utama gaya aksial terbesar terletak pada kombinasi daya
layan II frames 23, 136, dan 136 yang terletak pada pucuk menara sapat
di lihat pada table 4.7.

Table 4.7: Gaya Aksial Pada Kabel Utama.


Gaya Aksial kN
Case type Model 1 Model 2
23 502.369 1570.674
24 620.432 1395.265
25 751.241 1238.78
26 888.022 1110.246
27 1027.946 983.827
28 1169.695 863.395
Table 4.7: Lanjutan.
Gaya Aksial kN
Case type Model 1 Model 2
29 1760.709 761.985
30 1600.43 649.4
31 1456.244 560.773
112 24.16609 94.33981
133 32.01562 82.22025
134 41.03657 70.83977
135 50.60632 62.02792
136 60.46487 53.41045
137 70.49113 45.34314
138 111.8034 39.02391
139 101.0742 31.67773
140 90.82401 26.53323
141 80.62258 22.19863
142 24.16609 22.19863

120

100

80
Axis Title

60 Cable model 1;
111,8034
40

20
cable model 2;
0
40,89146
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Axis Title

Gambar 4.3: Grafik perbandingan kabel.

Dimana:
Tengangan Leleh minimal kabel = 15 Mpa
Tengangan Pada kabel = tenganagn ultimit/factor izin
= 1500/3
= 500 Mpa
Faktor densitas untuk tengangan = 0,67
= kabel 6 x Fi (29) IWRC d 80
mm

4.4 Hasil Analisis Prategang Awal dan Jumlah Strand

Dari hasil perhitungan gaya prategang awal yang diperlukan pada box
girder dengan mutu beton 50 MPa adalah sebesar 35258,6 kN jumlah
strand minimal 496 strand.

4.5 Hasil Analisis Nilai Gaya Geser Arah X (V2)

Dari hasil analisis software didapat nilai gaya geser arah X (V2) pada
pemodelan 1 dan 2 untuk kombinasi eksitrem I seperti pada Tabel 4.8.

Tabel 4.8: Nilai gaya geser (V2) maksimum.

Gaya Geser Kombinasi Ekstrem 1 (kN)


Model 1 7135,6403
Model 2 3379,2924

4.6 Hasil Analisis Nilai Gaya Geser Arah Y (V3)

Dari hasil analisis software didapat nilai gaya geser arah Y (V3) pada
pemodelan 1 dan 2 untuk kombinasi eksitrem I seperti pada Tabel 4.9.

Table 4.9: Nilai gaya geser (V3) maksimum.


Gaya Geser Kombinasi Ekstrem 1 (kN)
Model 1 356,2046
Model 2 358,7453
8.000

7.000

6.000

5.000 GEMPA X 1

4.000 GEMPA X 2
GEMPA Y 1
3.000
GEMPA Y 2
2.000

1.000

0
1

Gambar 4.4: Grafik Perbandingan X dan Y.

4.7 Hasil Analisis Nilai Gaya Aksial (P) Pada Model 1 Dan Model

Hasil analisis gaya aksial (P) pada model 1 dan model 2 dapat dilihat
pada tabel dibawah ini:

Tabel 4.8: Nilai gaya aksial (P) maksimum.


Mutu beton (fc’) Kombinasi Ekstrem I
(MPa) (kN)
Model 1 413,73
Model 2 115,91

Berdasarkan hasil analisis struktur ternyata penampang jembatan yang lebih


panjang lebih kuat menahan gaya aksial dari pada penampang yang lebih kecil,
grafik perbandingan nilai gaya aksial yang diterima struktur seperti terlihat pada
Gambar 4.5.
AKSIAL (P)
4.500
4.000
3.500
3.000
2.500
AKSIAL P 1
2.000
AKSIAL P 2
1.500
1.000
500
0
1

Gambar 4.5: Grafik perbandingan gaya aksial.

4.8 Kehilangan Prestressed pada Box Girder

Pengaruh gaya prategang dibagi menjadi dua yaitu sebelum dan sesudah
kehilangan gaya prategang. Kehilangan gaya prategang (loss of prestressed) dapat
dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu:
1. Kehilangan gaya prategang langsung yaitu kehilangan gaya prategang yang
terjadi segera setelah peralihan gaya prategang (waktu jangka pendek) yang
meliputi:
a. Perpendekan Elastis
b. Gesekan kabel
c. Slip pada angkur
2. Kehilangan prategang berdasarkan fungsi waktu yaitu kehilangan gaya
prategang yang tergantung pada waktu ( jangka waktu tertentu) yang
meliputi:
a. Rangkak beton (creep)
b. Susut beton (shrinkage)
c. Relaksasi baja (relaxation)
1. Perhitungan kehilangan gaya prategang langsung (Pemodelan I)
a. ehilangan prategang akibat perpendekan elastis beton (Δ S)
Untuk sistem pasca tarik beton memendek saat tendon diangkurkan
terhadap beton, karena gaya pada kabel dihitung setelah perpendekan elastis
terhadap beton terjadi. Jika tendon yang dimiliki lebih dari satu, tendon -
tendon tersebut ditarik secara berurutan, maka gaya prategang secara secara
bertahap bekerja pada tendon dihitung menggunakan rumus 2.2.
s
ES = 0,5 c fcir
Dimana:
Es = 200.000 MPa
Ec = 4700 √f c
= 4700 √50
= 33234,0187 Mpa
Fcir = tegangan awal/ Luas penampang
= 33234,0187 / 5290200
= 6,282 Mpa
200.000
ES = 0,5 6,282
= 30,244 Mpa

b. Kehilangan Tegangan akibat Friksi/ Gesekan (F)


Pada saat dilakukan stressing (Penarikan Kabel Prategang) dengan
menggunakan Dongkrak Jack Hidrolic. Kabel Prategang mengalami
kehilangan sebagaian gaya Prategang yang diakibatkan oleh gesekan kabel
dan efek kelengkungan Tendon, sehingga tegangan yang ada pada tendon
atau kabel prategang menjadi lebih kecil dari pada bacaan pada alat pressure
gauge.
Sehingga perlu dihitung besar kehilangan Gaya prategangnya.
Kehilangan akibat gesekan ini dapat dipertimbangkan pada dua bagian yaitu
pengaruh panjang dan kelengkungan sehingga dapat dijelaskan:
= - KL –
Dengan mengambil nilai pada tabel 2.4 untuk strand dengan untaan 7
kawat, didapat data sebagai berikut:
K = 0,0041
L = 100 m
= 0.2
=0
= - KL –
= - 0,0041 (100) –(0,2*0)
= - 0,041
fs1 = × Fci
Fci = (179,821/140)*1000
= 1284,437 Mpa
fs1 = -0.041 × 1284,437 Mpa
= 52,661 Mpa
c. Kehilangan gaya prategang akibat slip pada angkur (ANC)
Kehilangan gaya prategang ini terjadi pada saat transfer gaya
pendongkrak ke angkur. Tarikan mesin pendongkrak akan mendorong baji
masuk ke dalam konus dan setelah jacking dilepas, kabel akan menarik baji
lebih rapat ke dalam konus. Panjang atau besar slip tergantung pada tipe baji
dan tegangan pada kawat tendon. Harga rata-rata panjang slip akibat
pengangkuran adalah 2,5 mm, dapat dihitung dengan rumus 2.5 sebagai
berikut:
a s
ANC = fs =
L

Dimana:
a = 2,5 mm
Es = 200.000 Mpa
L = 40000 mm
2,5 200.000
ANC = fs =
40000

= 12,5 Mpa
2. Kehilangan prategang berdasarkan fungsi waktu
a. Kehilangan gaya prategang akibat rangkak beton (CR)
Prategang yang terus menerus pada beton suatu batang prategang dapat
mengakibatkan rangkak pada beton yang secara efektif mengurangi tegangan
pada baja bermutu tinggi. Kehilangan tegangan pada baja prategang akibat
rangkak dapatditentukan dengan dua cara, yaitu cara regangan rangkak batas
dan cara koefisien rangkak. Dengan koefisien rangkak, besarnya kehilangan
tegangan pada baja prategang akibat rangkak dapat ditentukan dengan
mangacu pada rumus 2.6 seperti berikut:
CR = Kcr s fcir - fcsd
c

Gambar 4.6: Output nilai Fcsd pada Csi bridge.

Dimana:
Kcr = 1,6 untuk komponen struktur pasca tarik
Es = 200.000 Mpa
Ec = 33234,0187 Mpa
fcir = 6,282 Mpa
fcsd = 8,697 Mpa (Output csi bridge)
CR = Kcr s fcir - fcsd
c
200.0000
CR = 1,6 (6,282 - 8,697)
33234,0187
= 2 Mpa
b. Kehilangan gaya prategang akibat susut beton (SH)
Susut pada beton merupakan suatu proses kimia dalam beton yang terjadi
karena berkurangnya kadar air di dalam beton. Seperti halnya pada rangkak
beton, besarnya susut beton ini dipengaruhi oleh beberapa faktor meliputi
proposi campuran, tipe agregat, tipe semen, waktu perawatan, dan kondisi
lingkungan. Besarnya kehilangan prategang akiba susut pada beton dapat
dihitung seperti berikut:
V
fpSH = 8,2 10-6 KSHES (1- 0,06 S ) (100 - RH)
Dimana:
KSH = 0,77
ES = 200.000 Mpa
V = 211,61 m3 (Volume box girder)
S = 35,45 m2 (Keliling tampang basah box girder)
RH = 70 %
V
SH = 8,2 10-6 KSHES (1- 0,06 S ) (100 - RH)
= 8,2 10-6 0,77 200.000 (1- 0,06 0,00597 ) (100 - 70)
= 37,870 Mpa
c. Kehilangan gaya prategang akibat relaksasi baja (RE)
Kehilangan gaya prategang ini disebabkan oleh karena tendon yang
terus-menerus menahan tegangan. Dengan durasi tegangan yang terjadi pada
tendon akan mengurangi tegangan yang dapat dipikul oleh tendon itu sendiri.
Tidak hanya tergantung pada durasi gaya prategang, besarnya relaksasi baja
ini juga tergantung pada rasio antara prategang awal dan kuat leleh baja
prategang. Besarnya relaksasi tendon baja ini dapat dihitung seperti berikut:
RE = ( Kre – J (SH + CR + ES )) × C
Dimana:
Kre = 138
J = 0,15
1396,61
fpi/fpu = = 0,75
1860
C = 1,45
RE = ( 138 – 0,15 (37,870 + 3,3 + 19,322)) × 0,94
= 121,191 Mpa
3. Kehilangan Gaya Prategang Total
Berdasarkan T.Y Lin hal kehilangan prategang total pada beton
pretension maks 20 %
Kehilangan total = ES + CR + SH + RE
= 19,322 + 3,3 +37,870 + 121,191
= 181,683 Mpa
181,683
% Kehilangan total = 1284,437 × 100%
= 14,14495
BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan maka dapat diambil


kesimpulan sebagai berikut:
1. Suatu bangunan (struktur) dengan panjang bentang yang berbeda memiliki
perilaku struktur yang berbeda pula, baik dari segi nilai perioda getar alami,
maupun ketahanan struktur tersebut untuk menahan deformasi, hal ini dapat
dibuktikan dari hasil analisis yang didapat sebagai berikut:
- Nilai perioda getar
 Model 1 = 1,41851detik
 Model 2 = 0,855 detik
2. Berdasarkan hasil analisa dari aplikasi csi brigde di peroleh nilai lendutan pada
lantai (deck) jembatan cable yang di renacakan. Berdasarkan hasil tersebut
nilai lendutan yang terjadi memenuhi batas izin yang di perbolehkan dalam
peraturan RSNI T-12-2004, yaitu: Lendutan maksimal
< 100/800
 Model 1 = -0,041
 Model 2 = -0,0419
3. Berdasarkan hasil analisa dari aplikasi csi brigde di peroleh nilai gaya geser
jembatan cable yang di renacakan. Berdasarkan hasil tersebut nilai lendutan
yang terjadi memenuhi batas izin yang di perbolehkan dalam peraturan RSNI
T-12-2004, yaitu: Gaya geser V3
- Gaya geser maksimum yang terjadi arah Y (V3)
 Model 1 = 356,2046 Kgf
 Model 2 = 358,7453 Kgf
5.2 Saran

Berikut ini adalah beberapa saran yang dapat penulis sampaikan setelah
melakukan pengerjaan tugas akhir ini, yaitu:
1. Penulis menyarankan agar rekan-rekan menrencanakan jembatan dengan pylon
ganda agar memiliki nilai estetika yang indah dan menghindari tekuk pada
pylon.
2. Disarankan untuk perencaan berikutnya perhitungan sebaiknya dilakukan
secara keseluruhan, dikarnakan pada tugas akhir ini penulis hanya
merenacakan struktur atas jembatan cable stayed.
3. Penulis menyarakan dalam membuat tugas akhir jembatan kabel (cable stayed)
dapat dilakukan perbandingan, dengan adanya perbandingan maka dapat
dengan mudah mengetahui sktruktur jembatan yang lebih ekonomis dan aman
untuk di bangun.
DAFTAR PUSTAKA

Agung supriadi (2009) Analisis Struktur Jembatan Baja Komposit Beton. Laporan
tugas akhir. Program Studi Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Mercu
Buana.

Agus setiawan (2002) Perencanaan Struktur Baja Dengan Metode LRFD sesuai
SNI 03-1729-2002.

Badan Standarisasi Indonesia (2005) Perencanaan Struktur Baja Untuk Jembatan


RSNI T – 03 – 2005.

Badan Standarisasi Indonesia (2008) Standar Perencanaan Ketahanan Gempa


Untuk Jembatan SNI 2833:2008.

Badan Standarisasi Indonesia (2016) Pembebanan Untuk Jembatan SNI


1725:2016.

Faisal, A. (2014) Catatan Kuliah M.K. Vibrasi dan Teori Gempa. Medan: UMSU.

Badan Standarisasi Nasional (2004). Perencanaan Struktur Beton Untuk


Jembatan. RSNI T-12-2004. Jakarta: BSN.

Badan Standarisasi Nasional (2008). Standar Perencanaan Ketahanan Gempa


Untuk Jembatan. SNI 2833:2008. Jakarta: BSN.

Badan Standarisasi Nasional (2012). Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa


Untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung.

Direktorat Jendral Bina Marga. Gimsing, N.J. (2010). Cable Supported Bridges
Concept And Design. John Wiley & Sons Ltd.

Desain Jembatan Cable Stayed Malangsari-Banyuwangi Dengan Two Vertical


Planes System.

Ikeda, S. and Kasuga, A. (2000). Development of extradosed structures in the


bridges construction.

Saran,yayang (2018) study perencanaan flay over menggunakan profil box girder
dengan perbandingan kuat tekan box material. Medan: UMSU.
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

DATA DIRI MAHASISWA


DATA DIRI PESERTA
Nama Lengkap : Puji Ramazana
Panggilan : Puji
Tempat, Tanggal Lahir : Desa Lhee Meunasah/21 Jannuari 1996
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jl.Darussalam/Karya Bakti No.18 Medan
Agama : Islam
Nama Orang Tua
Ayah : Alm.Ridwan Ismail
Ibu : Nur Fuadi M.Jafar
No.HP : 081264266768
E-Mail : [email protected]
RIWAYAT PENDIDIKAN
Nomor Pokok Mahasiswa : 1407210221
Fakultas : Teknik
Program Studi : Teknik Sipil
Perguruan Tinggi : Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
Alamat Perguruan Tinggi : Jl. Kapten Muchtar Basri BA. No. 3 Medan 20238

No Tingkat Nama dan Tempat Tahun Kelulusan


Pendidikan
1 SD SDN 060883 Medan 2007
2 SMP MTS YPIM Medan 2010
3 SMK SMK NEGRI 8 Medan 2013
4 Melanjutkan kuliah di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
Tahun 2014 sampai selesai.

Anda mungkin juga menyukai