Analisa Perencanaan Struktur Jembatan Dengan Bentang 200 M Menggunakan Metode Cable Stayed Semi Fan System
Analisa Perencanaan Struktur Jembatan Dengan Bentang 200 M Menggunakan Metode Cable Stayed Semi Fan System
Analisa Perencanaan Struktur Jembatan Dengan Bentang 200 M Menggunakan Metode Cable Stayed Semi Fan System
Disusun Oleh:
PUJI RAMAZANA
1407210221
Puji Ramazana
1407210221
Tondi Amirysah Putera P, ST, MT
Rhini Wulan Dary, ST, MT
Jembatan kabel merupakan salah satu jenis jembatan dimana struktur utama
berupa gelagar yang ditahan oleh satu atau lebih kabel yang dipasang miring serta
berfungsi untuk meneruskan beban dari gelagar ke menara atau pilon. Jembatan
kabel sangat efektif digunakan untuk bentang menengah dan panjang. Selain itu
jembatan ini memiliki keunggulan yaitu mencegah penggunaan banyak pilar yang
dapat mengganggu mobilitas dibawahnya. Jembatan kabel memiliki nilai estetika
yang tinggi. Dalam tugas akhir ini bertujuan untuk mengetahui keamanan kabel
bentang yang di rencanakan, dengan panjang bentang kiri 100 m dan kanan 100 m
total panjang bentang 200 m dan lebar 17 m yang di lakukan dengan perangkat
lunak Csi Bridge ver,17 dan mengunakan standar acuan SNI 1726-2013 serta .
Analisis perencanaan yang di lakukan menghasilkan nilai prioda 1,4 pada model 1
dan nilai prioda 0,885 pada model 2, dan dari hasil perbandingan didapat nilai
layan I -0,041 sedangkan nilai layan II -0,042 sehingga struktur jembatan kabel
berdasarkan hasil analisis perencanaan memenuhi syarat izin.
Puji Ramazana
1407210221
Tondi Amirysah Putera P, ST, MT
Rhini Wulan Dary, ST, MT
Cable bridges are one type of bridge where the main structure is a girder that is
held by one or more cables that are tilted and serves to forward the load from the
girder to the tower or pilon. Cable bridges are very effective for medium and long
spans. In addition this bridge has the advantage of preventing the use of many
pillars which can interfere with mobility below. Cable bridges have a high
aesthetic value. In this final project aims to determine the security of the planned
span cable, with a left span length of 100 m and right 100 m in total span length
of 200 m and width of 17 m which is done with Csi Bridge ver software, 17 and
using SNI 1726 reference standards 2013 and also. The planning analysis that
was carried out produced 1.4 primers value on model 1 and 0.885 in model 2, and
from the comparison results obtained service values I -0.041 while service value
II -0.042 so that the structure of the cable bridge was based on the results of
planning analysis fulfill permit requirements.
Penulis
Puji Ramazana
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ii
LEMBAR PENYATAAN KEASLIAN SKRIPSI iii
ABSTRAK iv
ABSTRACT v
KATA PENGANTAR vi
DAFTAR ISI viii
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xii
DAFTAR NOTASI xiii
DAFTAR SINGKATAN xv
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Ruang Lingkup Penelitian 2
1.4 Tujuan Penelitian 3
1.5 Manfaat Penelitian 3
1.6 Sistematika Penulisan 4
Bab 2 Tinjauan Pustaka
2.1 Jembatan Cable Stayed 5
2.2 Pengertian Umum 6
2.2.1 Struktur Atas 7
2.2.2 Struktur Bawah 8
2.2.3 Bangunan Pelengkap Dan Pengaman Jembatan 8
2.3 Komponen-Komponen Utama 10
2.3.1 Deck Jembatan 13
2.3.2 Kabel Pengantung 15
2.3.3 Elemen Kabel Baja Pratengang 18
2.3.4.1 Kehilangan Akibat Perpendekan Elastis Beton (Es) 24
2.3.4.2 Kehilangan Akibat Susut Pada Beton (Sh) 24
2.3.4.3 Kehilangan Tegangan Akibat Friksi/Gesekan (F) 24
2.3.4.4 Kehilangan Prategang Akibat Slip Pengangkuran 24
2.3.4.5 Kehilangan Akibat Rangkak Pada Beton (Cr) 25
2.3.4.6 Kehilangan Tegangan Akibat Relaksasi Baja (R) 25
2.3.5. Perencanaa Kabel 27
2.3.5.2 Jarak Antara Kabel Pengantung 28
2.3.6 Menara Pengantung 30
2.3.6.1 Analisa Pylon 32
2.3.6.2 Penentuan Dimensi Pylon 32
2.4 Hubungan Pylon Dengan Jembatan 33
2.5 Filosofi Perencanaan 34
2.5.1 Keadaan Layan 35
2.5.2 Keadaan Batas Fatik Dan Fraktur 35
2.5.3 Karakteristik Batas Kekuatan 35
2.5.4 Keadaan Batas Ekstrem 35
2.5.5 Daktalitas 36
2.5.6 Redundasi 37
2.5.7 Kepentingan Oprasional 37
2.5.8 Kelompok Pembebanan Dan Simbol Untuk Beban 32
2.6 Faktor Beban Dan Kombinasi Pembebanan 38
2.6.1 Faktor Beban Dan Kombinasi Pembebanan 38
2.6.2 Faktor Beban Pada Masa Kontruksi 43
2.6.2.1 Evaluasi Pada Keadaan Batas Kekuatan 44
2.6.2.2 Evaluasi Lendutan Pada Keadaan Batas Layan 44
2.7 Faktor Beban Untuk Pendongkrakan Dan Gaya Paska Tarik 44
2.7.1 Gaya Dongkrak 44
2.8 Beban Permanen 44
2.8.1 Umum 44
2.8.2 Berat Sendiri (Ms) 46
2.8.3 Beban Mati Tambahan/Utilitas (Ma) 47
2.8.3.1 Ketebalan Yang Diizinkan 47
2.8.3.2 Sarana Lain Di Jembatan 47
2.8.4 Pengaruh Tetap Pelaksanaan 47
2.9 Beban Lalu Lintas 48
2.9.1 Umum 48
2.9.2 Lanjur Lalu Lintas Rencana 48
2.9.3 Beban Lajur D 49
2.9.3.1 Intensitas Beban D 50
2.9.3.2 Distribusi Beban D 52
2.9.3.3 Respon Terhadap Beban Lajur D 52
2.9.4 Beban Truck T 52
2.9.4.1 Besarnya Pembebanan Truck 53
2.9.4.2 Posisi Dan Pembebanan T 53
2.9.4.3 Kondisi Faktor Kepadatan Jalur 54
2.9.4.4 Bidang Kontak Roda Kendaraan 55
2.9.4.5 Penerapan Beban Hidup Kendaraan 50
2.1.9.6 Beban Hidup Untuk Evaluasi Lendutan 56
2.9.4.7 Beban Rencana Untuk Pelat Lantai 56
2.9.5 Klasifikasi Pembebanan Lalu Lintas 57
2.9.5.1 Pembebanan Lalu Lintas Yang Dikurangi 57
2.9.5.2 Pembebanan Lalu Lintas Yang Berlebih 57
2.9.6 Faktor Beban Dinamis 57
2.10 Gaya Rem (Tr) 59
2.11 Pembebanan Untuk Pejalan Kaki 59
2.12 Beban Angin 59
2.12.1 Tekanan Angin Horizontal 59
2.12.1.1 Beban Angin Pada Struktur (Ews) 60
2.12.1.2 Beban Dari Struktur Atas 60
2.12.1.3 Gaya Angin Yang Langsung Bekerja 61
2.12.1.4 Gaya Angin Pada Kendaraan (Ewl) 61
2.12.1.5 Tekanan Angin Vertical 62
2.13 Peraturan Gempa Yang Dimodifikasi 62
2.13.1 Cara Analisis Tahan Gempa 72
2.13.2 Filosofi Perencanaan (Pembebanan) 73
2.13.3 Keadaan Batas Layan 73
2.13.4 Keadaan Batas Fatik Dan Fraktur 73
2.13.5 Keadaan Batas Kekuatan 73
2.13.6 Keadaan Batas Ekstrem 74
2.13.7 Daktilitas 74
2.13.8 Redundansi (Prediksi) 74
2.13.9 Kepentingan Operasional 74
2.14 Data Lalu Lintas Kapal 75
2.18.1 Klasifikasi Kapal Desain 75
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Bagan Alir Penelitian 76
3.2 Metode Analisis 77
3.3 Standar yang Digunakan Dalam Perencanaan 78
3.4 Krateria Perencanaan Jembatan 78
3.5 Spesifikasi Material Struktur Jembatan Cable Stayed 79
3.6 Perencanaan Struktur Jembatan Cable Satayed 79
3.7 Permodelan Struktur Jembatan Cable Stayed 80
3.8 Preliminary Design 81
3.9 Gaya Prestress, Eksentrisitas dan Jumlah Tendon 86
2.9.1 Gaya Prestress 86
3.10 Analisis Beban Pada Jembatan 91
3.10.1 Analisis Beban Pada Jembatan 91
3.10.2 Beban Mati Tambahan (Ma) 91
3.10.3 Beban Lajur “D” (Td) 93
3.10.4 Gaya Rem (Tb) 93
3.10.5 Beban Pejalan Kaki (Tp) 94
3.10.6 Beban Angin (Ew) 94
3.11 Gaya Akibat Temperatur Seragam (Eu) 94
3.11.1 Temperatur Gradien (Tg) 95
3.11.2 Beban Gempa 95
3.11.3 Kombinasi Pembebanan 97
3.11.4 Beban Menara 98
3.11.5 Kabel Utama 98
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Tinjauan Umum 99
4.2 Analisa Data 99
4.2.1 Hasil Analisa Prioda Getar 99
4.2.2 Kontrol Lendutan 101
4.3 Kabel Utama 105
4.4 Hasil Analisis Prategang Awal dan Jumlah Strand 107
4.5 Hasil Analisis Nilai Gaya Geser Arah X (V2) 107
4.6 Hasil Analisis Nilai Gaya Geser Arah Y (V3) 107
4.7 Hasil Analisis Nilai Gaya Aksial (P) 108
4.8 Kehilangan Prestressed pada Box Girder 109
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan 115
5.2 Saran 116
DAFTAR PUSTAKA 117
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
DAFTAR TABEL
PENDAHULUAN
Jembatan kabel (cable stayed bridge) merupakan salah satu jenis jembatan
dimana struktur utama berupa gelagar yang ditahan oleh satu atau lebih kabel
yang dipasang miring serta berfungsi untuk meneruskan beban dari gelagar ke
menara atau pylon. Jembatan cable stayed sangat efektif digunakan untuk bentang
menengah dan panjang. Selain itu jembatan ini memiliki keunggulan yaitu
mencegah penggunaan banyak pilar yang dapat mengganggu mobilitas di
bawahnya.
Pembangunan dibidang transportasi merupakan sebagian prioritas penting
bagi pemerintah untuk mempercepat perkembangan daerah tertinggal.
Transportasi darat merupakan transportasi yang paling efisien dibandingkan jalur
transportasi lainnya. Jalan raya merupakan bagian dari jalur transportasi darat.
Jalan raya ketika harus melewati suatu jalur sungai atau penghalang lainnya
diperlukan struktur jembatan untuk menghubungkan wilayah satu dengan wilayah
lainnya.
Struktur jembatan merupakan bagian penting dan paling mahal dari suatu
sistem transportasi. Sehingga dalam mendesain suatu perencanaan struktur
jembatan diperlukan data-data pembebanan yang lengkap dan lokasi yang tepat
dimana jembatan tersebut akan dibangun, serta memilih struktur yang tepat untuk
digunakan untuk desain jembatan tersebut. Perkembangan ilmu Teknik Sipil pada
saat ini sangat pesat dengan berbagai penemuan yang dilakukan oleh para ahli.
Perkembangan itu juga ditunjukan oleh berbagai material yang dipakai para
desainer dalam mendesain strukturnya sehingga memperoleh material yang
efisien dan optimal untuk menerima beban yang direncanakan.
Sesuai kajian ekonomis dari biaya kontruksi termasuk bahan yang digunakan,
jembatan kabel dibagi dalam 2 macam, yaitu; Suspension bridge dan Cable stayed
bridge. Dalam Tugas Akhir ini akan diuraikan perencanaan struktur atas dari
Cable stayed bridge dengan menggunkan fan system.
1.2 Rumusan Masalah
BAB 1 PENDAHULUAN
Menguraikan hal-hal umum mengenai Tugas Akhir, seperti latar belakang,
rumusan masalah, ruang lingkup, tujuan penulisan, manfaat penelitian dan
sistematika penulisan.
TINJAUAN PUSTAKA
Dapat di lihat pada Gambar 2.2 pada umumnya jembatan di desain dengan
bentang yang cukup panjang, jembatan cable stayed merupakan adopsi atau
kombinasi dari jembatan Suspension dikarenakan jembatan Suspension
menggunakan material kabel sebagai kabel ekstrenal dalam struktur komponen
umum namum memiliki prinsip kerja yang berbeda. Pada jembatan gantung
(Suspension) kabel berkerja sebagai pemikul beban vertikal dari lantai kendaraan.
Kabel yang bekerja tidak memiliki tekan pada lantai kendaraan kabel-kabel
vertikal tersebut tergantung pada kabel utama, dan kabel utama tersebut di angkur
pada kedua titik ujung-ujung jembatan.
Pada jembatan Cable stayed, kabel tidak saja berfungsi sebagai pemikul
beban namun dapat juga memberikan tekanan pada lantai kendaraan seperti pada
Gambar 2.3. Tekanan yang di berikan dapat membantu meningkatkan kekakuan
pada lantai kendaraan.Tujan dari pemberian gaya pada prategang ialah untuk
mengimbangi berat sendiri pada deck jembatan.
Gambar 2.3:Cable Stayed Bridge.
Deck adalah bagian dari jembatan yang berfungsi sebagai lantai kendaraan.
Material yang di gunakan pada deck beragam seperti beton, baja dan komposit.
Bentuk deck juga beragam sesuai dengan material yang di gunakan, dalam fungsi
kerjanya deck merupakan elemen external yang dominan dalam menerima beban.
Beban yang di pikul oleh dek berupa beban mati yaitu berat sendiri struktur,
beban mati tambahan serta beban lalu lintas Gambar 2.4.
Karena fungsinya sebagai tempat lalu lalang transportasi maka struktur deck
harus mempunyai kekakuan yang besar, kuat dan stabil. Besarnya kekakuan pada
dek juga ikut di sumbang oleh gaya kabel, jarang antara kabel serta besar sudut
kabel terhadap benda horizontal.
Gambar 2.4: Tekanan yang di berikan oleh gaya kabel.
Semakin besar gaya aksial yang di hasilkan maka semakin besar kekakuan
yang di sumbangkan oleh kabel. Pada Gambar 2.4 menunjukan momen yang
terjadi pada jembatan dapat dilihat bahwa kabel akan menggurangi momen yang
terjadi pada deck jembatan. Diagram momen juga dapat membantu untuk tahap
awal penentuan jumlah kabel di mana pada gambar tersebut dapat di lihat adanya
zero deflection. Pada awal perkembangan jembatan Cable Stayed modern,
stiffening truss banyak digunakan tetapi sekarang sudah mulai ditinggalkan dan
jarang digunakan dalam desain, karena mempunyai banyak kekurangan.
Kekurangannya adalah membutuhkan pabrikasi yang besar, perawatan yang relatif
sulit, dan kurang menarik dari segi estetika. Meskipun demikian dapat digunakan
sebagai gelagar dengan alasan yang memiliki sifat aero dinamik yang baik,
Berikut adalah contoh gambar stiffening truss:
Gelagar yang tersusun dari solid web yang terbuat dari baja atau beton dapat
berupa:
a) Gelagar pelat (plate girder), terdiri atas dua atau banyak gelagar;
b) Gelagar box (box girder), terdiri atas satu atau susunan box yang dapat
berbentuk persegi panjang atau trapesium;
Gambar 2.7 Gelagar jembatan dengan solid web baja.
Material struktur atas dapat terbuat dari beton, baja, dan komposit. Struktur
atas terbuat dari beton biasanya digunakan untuk bentang sampai dengan 350
meter dengan pertimbangan biaya pelaksanaan yang lebih murah. Untuk bentang
yang lebih panjang, pemakaian beton pada gelagar jembatan akan menyebabkan
pertambahan berat sendiri yang pada akhirnya akan mempengaruhi dimensi
elemen jembatan yang lain seperti kabel, menara, dan fondasi. Dengan
pertimbangan tersebut, pada bentang yang lebih dari 500 meter umumnya
digunakan gelagar jembatan baja. Di antaranya dapat digunakan material
komposit baja dan beton. Kelebihan dari struktur komposit tersebut adalah
kemudahan dalam hal pelaksanaan pekerjaan.
2.3.2 kabel pengantung (Stayed cable)
Kabel adalah struktur yang bersifat fleksibel, hal ini dikarenakan kekakuan
kabel yang rendah, sehingga kabel dapat berubah bentuk saat di bebani. Fleksibel
pada kabel menyebabkan kabel sebgai struktur kabel yang mengalami deformasi
besar ketika di bebani. Besarnya deformasi tergantung pada pembebanan yang
terjadi saat kabel di beri pembebanan. Selain memiliki sifat fleksibel sifat lain dari
kabel ialah hanya mampu memikul tegangan tarik, menyebabkan kabel elastis
tidak terjadi tekuk. Kabel digunakan untuk menopang sistem lantai (gelagar)
diantara dua tumpuan dan memindahkan beban tersebut ke menara (Supriyadi dan
Muntohar, 2014). Sistem kabel seperti ditunjukan Gambar 2.8 terdiri dari kabel
struktural, segmen-segmen dari gelagar, dan pylon.
Sistem kabel ini bisa di sederhanakan dengan meninjau kabel sebagai sebuah
tatanan transversal dan tatanan longitudinal. Tatanan transversal atau tatanan
melintang dapat menggunakan tiga alternative yaitu satu bidang (single plane),
dua bidang (two lateral plane), dan tiga atau lebih bidang. Kabel satu bidang
digunakan untuk jembatan dengan lebar yang relatif kecil serta jumlah lajur lalu
lintas yang genap, sedangkan untuk dua bidang digunakan pada jembatan dengan
lebar lajur lalu lintas cukup besar, contohnya jembatan suramadu, jembatan merah
putih (jembatan Galalapoka), dan lain sebagainya. Jembatan cable stayed dengan
jumlah bidang kabel tiga atau lebih, biasanya digunakan untuk jembatan dengan
yang sangat lebar. Penggunaaan kabel penggantung tiga bidang sampai saat ini
masih berupa inovasi dan baru sampai pada tahap desain (Podolny et. all, 1998)
Sistem kabel merupakan salah satu hal yang sangat mendasar dalam
perencanaan jembatan cable stayed dapat dilihat pada Gambar 2.9. Kabel
digunakan untuk menopang lantai kedaraan atau deck di atara dua tumpuan dan
memindahkan beban tersebut pada menara/pylon. Sistem kabel terbagi menjadi
empat bentuk dasar, yaitu: a) sistem radiating; b) sistem harp; c) sistem fan; d)
sistem star.
Dari Gambar di atas, dapat dilihat perbedaan dari setiap sistem kabel. Pada
sistem kabel radiating, kabel dipusatkan pada ujung atas menara dan disebar
sepanjang bentang pada gelagar. Pada sistem harp, kabel-kabel penggantung
dipasang sejajar dan disambungkan ke menara dengan ketinggian yang berbeda
pada satu kabel dengan kabel lainnya. Sistem kabel fan merupakan kombinasi
antara sistem radiating dan sistem harp, dimana kabel disebar pada bagian atas
menara dan pada sepanjang bentang, sehingga kabel tidak sejajar. Sedangkan pada
sistem kabel star, bentuknya berlawanan dengan sistem radiating dimana kabel
terpusat pada gelagar.
a. Tipe memancar (radiating)
Gambar 2.10 Merupakan sebuah susunan dimana kabel dipusatkan pada ujung
atas menara dan disebar sepanjang bentang dan gelagar. Kelebihan tipe ini
adalah kemiringan rata-rata kabel cukup besar 15 sehingga komponen gaya
horizontal tidak terlalu besar kabel yang terkumpul di atas kepala (top) menara
menyulitkan dalam perencanaan dan pendetailan sambungan.
Baja yang dipakai untuk prategangan biasanya merupakan baja mutu tinggi
dan disebut tendon prategang. Tendon prategang umumnya berupa strand (untaian
kawat), kawat (wire) dan batang baja (bar). Jenis-jenis tendon yang adamisalnya
7-wire monostrand tendon, multi strand tendon, single bar tendon danmulti wire
tendon. Jenis tendon yang sering digunakan adalah jenis seven wire strand.
Jenisini dapat digunakan baik pada sistem pretension maupun post tension. Nilai
kuattarik ultimitnya (fpu) berkisar antara 1720 MPa hingga 1860 MPa. Jenis
tendon seven wire strand dapat berupa strand tegang lepas (stress relieved strand)
atau strand relaksasi rendah (low relaxation strand). Berikut ini disajikan jenis-
jenis tendon prategang beserta nilai tipikal untuk ASTM A-416 seperti pada
Tabel 2.1.
Pada Tabel 2.2 baja prategang dapat berbentuk kawat - kawat tunggal, strand
yang terdiri dari atas beberapa kawat yang dipuntir membentuk elemen tunggal
dan batang - batang bermutu tinggi.
Baja prategang dapat berbentuk kawat-kawat tunggal, strand yang terdiri dari
atas beberapa kawat yang bermutu tinggi dapat di lihat pada tabel 2.3.
Tabel 2.3: Strand standar 7 kawat untuk beton prategang (Nawy, 2001).
Beban
Diameter Kuat patah Luas baja Berat nominal
minimum
nominal strand nominal strand
pada ekstensi
(in) (min. lb) strand (in 2) (lb 1000 ft)*
1% (lb)
Mutu 250
¼(0.250) 9.000 0.036 122 7.650
5/16(0.313) 14.500 0.058 197 12.300
3/8(0.375) 20.000 0.08 272 17.000
7/16(0.438) 27.000 0.108 367 23.000
½(0.500) 36.000 0.144 490 30.600
3/5(0.600) 54.000 0.216 737 45.900
Mutu 270
3/8(0.375) 23.000 0.058 290 19.550
7/16(0.438) 31.000 0.115 390 26.350
½(0.500) 41.300 0.153 520 35.100
3/5(0.600) 58.600 0.217 740 49.800
Note: *100,000 psi = 689.5 Mpa
1000 lb = 4,448 N
Baja tendon yang dipakai untuk beton prategang dalam prakteknya ada tiga
macam, yaitu:
1. Kawat tunggal (wire), biasanya digunakan untuk baja prategang pada beton
prategang dengan sistem pratarik (pretension).
2. Kawat untaian (strand), biasanya digunakan untuk baja prategang pada beton
pratengang dengan sistem pascatarik (post tension).
3. Kawat batangan (bar), biasanya digunakan untuk baja prategang pada beton
prategang dengan sistem pratarik (pretension).
Kawat tunggal yang dipakai untuk beton prategang adalah yang sesuai
dengan spesifikasi seperti ASTM A 421. Untaian kawat (strand) banyak
digunakan untuk beton prategang dengan sistem pasca tarik. Untaian kawat yang
dipakai harus memenuhi syarat seperti yang terdapat ASTM A 416. Untaian
kawat yang banyak digunakan adalah untaian tujuh kawat. Gambar penampang
strand 7 kawat dapat dilihat pada Gambar 2.14.
Gambar 2.15: Perpendekan elastis. (a) Balok tak bertegangan. (b) balok yang
memendek secara longitudinal bertegangan.
Atau secara praktis, untuk struktur pasca tarik dapat digunakan Pers 2.2:
s
ES = 0,5 fc (2.2)
c
2.3.4.2 Kehilangan Akibat Susut Pada Beton (SH)
Susut pada beton dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti rangkak dan
perhitungan-perhitungan kehilangan gaya prategang dari sumber ini akan
menggambarkan yang mana hal-hal yang paling penting: perbandingan antara
volume dan permukaan, kelembaban relatif, dan waktu dari akhir curing sampai
dengan bekerjanya gaya prategang. Karena susut tergantung dari waktu (lihat
Gambar 2.16 untuk kurva perbandingan susut terhadap waktu).
Dimana nilai KSH untuk komponen struktur pascatarik dapat dilihat pada
Tabel 2.5:
Untuk kebanyakan sistem pasca-tarik, pada saat tendon ditarik sampai nilai
yang penuh dongkrak dilepas dan gaya prategang dialihkan ke angkur.
Perlengkapan di dalam angkur yang mengalami tegangan pada saat peralihan
cenderung untuk berdeformasi, jadi tendon dapat tergelincir sedikit. Baja gesekan
yang dipakai untuk menahan kabel akan sedikit tergelincir sebelum kabel dijepit
dengan kokoh. Besarnya gelincir ini tergantung dari jenis baja dan tegangan pada
kawat, nilai rata-rata sekitar 2,5 mm. Untuk perletakan pengangkuran langsung,
kepala dan mur mengalami sedikit deformasi pada waktu pelepasan dongkrak.
Nilai rata-rata untuk deformasi semacam itu hanya sekitar 0,8 mm. Jika
pengganjal panjang dibutuhkan untuk menahan kawat yang diperpanjang di
tempatnya, akan ada deformasi pada pengganjal pada saat peralihan gaya
prategang. Sebagai contoh, sebuah pengganjal sepanjang 0,3 m boleh
berdeformasi sebesar 0,3 mm. Rumus umum untuk menghitung kehilangan gaya
prategang akibat deformasi pengangkuran a pada Pers 2.5:
a s
ANC = fs = (2.5)
L
Dalam perencanaan jembatan Cable Stayed, terdapat 2 jenis ruji kabel yang
umum dan sering digunakan, antara lain :
a) Parallel Wire Cables
Parallel wire Cable terdiri dari kawat bulat digalvanis berdiameter 5mm
sampai 7 mm berbentuk hexagonal, dengan suatu helix panjang.Kawat
tersebut kemudian biasanya dibungkus oleh High Densitypolyethylene
(HDPE) tube.
b) Parallel Strand Cables
Kabel ini terdiri dari beberapa strand. Strand - strand tersebutselanjutnya
dipasang secara paralel. Setiap kabel dapat terdiri daribeberapa strand antara
lain sebesar 7, 19, 37, 61, 91, atau 127 buah. Dapat di lihat pada Gambar 2.17.
Dalam perencanaan ini kabel tipe 1 yaitu ASTM 416-74, seperti yang
disyaratkan dalam SNI T-03-2005 yaitu mutu kabel yang digunakan memiliki
tegangan putus minimal 1800 MPa dan dengan tegangan ijin sebesar 0,7 fu.
Dimensi awal kabel didekati dengan Pers2.9 (Gimsing 2012 halaman 205).
(2.9)
〖 〗
Dimana:
Asc = Luas penampang kabel
P = Beban yang bekerja
𝜃 = Sudut kabel terhadap horizontal
𝛾 = Berat jenis kabel = 77 kN/m3
𝑎 = Jarak mendatar dari pylon ke kabel pada gelagar
= Tegangan putus kabel = 1860 MPa
Efek non-linier pada kabel terjadi ketika beban yang didukung bertambah
pada kabel berkurang sehingga panjang chord kabel akan bertambah (Supriyadi
dan Muntohar, 2014). Untuk menyederhanakan hal tersebut maka pada kabel
dapat dilakukan penempatan komponen yang linier. Untuk menempatkan kabel
sebagai komponen yang linier maka modulus kabel harus diidealisasikan
(Supriyadi dan Muntohar, 2014). Pada struktur kabel (wire rope), kabel tidak
hanya mengalami efek non-linier akibat adanya Sag namun juga karena gaya
aksial (tarik) yang cukup besar. Hal ini menunjukan bahwa perubahan geometri
kabel disebabkan karena adanya perubahahan tegangan kabel. Menurut Ernest
(dalam Troitsky, 1988).
Jarak antar kabel (panel) adalah fungsi dari tinggi dari menara yang
diformulasikan pada Pers. 2.10 (Troitsky, 1988):
h = na tan 25o= 0,465na (2.10)
untuk tiga kabel yang berada pada bentang samping Pers. 2.11.
h = 0,465×3a = 1,4a (2.11)
sedangkan untuk empat kabel Pers 2.12.
h = 0,465×4a = 1,86 a (2.12)
Dimana:
h : Tinggi menara
na : Proyeksi panjang horizontal kabel
a : Panjang panel
Panel yang berada pada bentang tengah (middle panel) selalunya lebih
panjang dibandingkan dengan panel sisanya (remaining panels) yangnilainya
dapat diambil sebesar 1,3 a. Sebagai bahan acuan, jarak kabel optimum dapat
diambil sebagai berikut (Troitsky, 1988):
a) Untuk bentang utama yang berada antara 137-150 m, direkomendasikan
menggunakan jarak antara panel sebesar 19,8 m.
b) Untuk bentang utama yang lebih kecil dari poin a, direkomendasikan
menggunakan jarak antara panel sebesar 15,2-16,8 m.
c) Untuk bentang utama lebih besar dari 168 m, sebaiknya menggunakan jarak
antara kabel sebesar 30,5 m.
Panel pada bentang tengah memiliki performa yang berbeda dari pada panel
lainnya, karena panel pada bentang tengah tidak meneriman tegangan aksial tekan
komponen horizontal dari gaya kabel, dan oleh karena itu lebih baiknya sedikit
lebih panjang. Jarak antar kabel penggantung pada jembatan cable stayed
mempunyai pengaruh besar pada gaya aksial yang dipikul oleh kabel. Namun
walaupun metode perhitungannya berbeda tapi output dari perhitungan tersebut
tidak jauh berbeda Gambar 2.18.
Menara pengantung atau yang biasa di sebut dengan pylon adalah struktur
yang merupakan menara tinggi yang merupakan tumpuan dari elemen kabel.
Secara geometris pylon adalah menara yang berdiri sendiri namun merupakan satu
kesatuan dari jembatan cable stayed dan terkait dalam memikul beban lainnya saat
bekerja pylon yang berdiri sendiri dalam memikul beban aksial harus memiliki
kekakuan yang besar. Dalam perencanaan ini tinggi dari pylon harus memiliki
batasan tertentu batas ini di lakukan agar pylon dapat bekerja efektif dalam
memikul beban. Menara jembatan cable stayed menahan tekanan tinggi kerena
memikul hampir semua berat sendiri atau tetap dan beban hidup yang berada
pada struktur. Beban yang bekerja tersebut kemudian disalurkan ke bangunan
bawah hingga pondasi. Umumnya dimensi menara langsing, karena itu stabilitas
menjadi penting. Pemilihan bentuk menara sangat dipengaruhi oleh konfigurasi
kabel, estetika, dan kebutuhan perencanaan serta pertimbangan biaya (Supriyadi
dan Muntohar, 2014).Beberapa bentuk menara disajikan pada Gambar 2.19.
Menurut Svensson (2012) bentuk menara H, Berlian (diamond), Semi A, dan
bentuk Y terbalik digunakan untuk tatanan kabel ganda (two cable plane).
Sedangkan bentuk kolom tunggal dan bentuk A digunakan untuk tatanan kabel
tunggal (one cable plane).
Gambar 2.19: Tipe pylon jembatan cable-stayed (Troitsky, 1988).
Pylon atau menara dalam analisis struktur berperilaku seperti layaknya kolom
lihat Gambar 2.20. Sebab itu terdapat beberapa hal yang harus dipertimbangkan
dalam perencanaan pylon.
Pertama, karena pylon merupakan elemen yang menerima gaya aksial tekan
dan momen akibat pengaruh gaya kabel penggantung maka akan cenderung
mengalami tekuk (buckling). Kasus seperti ini dapat diatasi dengan pemilihan
dimensi pylon dan geometrik penampang pylon yang optimal dengan
mempertimbangkan kemampuannya dalam kondisi layan (service) dan kondisi
batas (ultimate).
Kedua pertimbangan geometris dan layout yang kemungkinan asimetris perlu
memperhitungankan kapasitas torsi. Ketiga yaitu pylon sebaiknya di desain
sebagai kolom yang menerima gaya vertikal kabel dan sebagai kantilever akibat
ketidakseimbangan gaya horizontal kabel.
Perhitungan dimensi pylon berdasarkan pada besarnya gaya aksial tekan total
kabel untuk satu sisi kolom vertikal pylon. Gaya aksial tekan total kabel ini
dibandingkan dengan mutu beton pylon yang digunakan, sehingga didapatkan
rumus Pers 2.14 berikut.
Aperlu =
(2.14)
Dari Aperlu yang didapatkan, dapat ditentukan dimensi pylon dengan Pers 2.15
berikut ini :
Aperlu = b×h dengan h = 1,5×b (2.15)
Dimana:
Aperlu = luasan penampang pylon yang diperlukan
T = Gaya aksial total kabel pada pylon
fc‟ = mutu beton
b = lebar penampang
h = tinggi penampang
Dalam perencanaan suatu kabel, hubungan atara pylon dan deck jembatan
memiliki peranan yang cukup penting. Hubungan ini sangat berpengaruh pada
momen deflection yang terjadi pada deck dan pylon. Hubungan ada deck dan
pylon terbagi menjadi 3 jenis yaitu:
a. Hubungan Rigid.
Pylon dan deck memiliki hubungan di mana rigid memiliki ke untungan yaitu
menambah kekakian pada deck. Pada hubungan ini pylon menjadi tumpuan
untuk deck, akan tetapi hubungan ini sulit di terapkan pada jembatan
berbentang panjang karna akan mempengaruhi pada pylon. Dimana pylon akan
ikut mengalami deformasi yang besar akibat efek aerodemasi, selain itu
dimensi pylon akan semakin besar karna menerima gaya yang di transper oleh
deck.
b. Hubungan Semi-Rigid.
Hubungan semi rigid ini deck tidak secara langsung bertumpu pada pylon
melainkan ada sesuatu yang menghubungkan keduanya bersifat seperti engsel.
Hubungan ini tidak membantu terbentuknya kekakuan antara deck, namun gaya
yang di pikul oleh deck sebagian di transper pada pylon hubungan semi rigid
biasa di gunakan pada jembatan cable stayed dengan bentang panjang. Efek
aerodemasi (angin dan gempa) yang terjadi memberikan sedikit pengaruh pada
pylon dikarenakan adanya connector.
c. Hubungan Free.
Pylon dan deck yang tidak mempunyai hubungan atau free mempunyai
keuntungan di mana saat terjadi efek aerodinamis (angin dan gempa) yang
mengalami deformsi hanya deck saja yang akan berayun ayun saat sedang
terjadi getaran. Untuk kondisi jembatan yang sangat panjang maka tipe ini
sangat cocok untuk di gunakan. Namun tipe ini sangat membutuhkan kekakuan
pada deck jembatan tujuannya adalah pada saat terjadi efek aerodinamis maka
tidak akan timbul masalah instabilitas pada struktur.
Keterangan:
γi = Faktor beban ke-i
ηI =Faktor pengubah respons berkaitan dengan daktilitas, redundansi, dan
klasifikasi operasional
ηD = Faktor pengubah respons berkaitan dengan daktilitas
ηR = Faktor pengubah respons berkaitan dengan redundansi
ηI = Faktor pengubah respons berkaitan dengan klasifikasi operasional
Qi = Pengaruh gaya
Rn = Tahanan nominal
Rr = Tahanan terfaktor
2.5.5 Daktilitas
Alur gaya mejemuk dan struktur menerus harus digunakan kecuali terdapat
alasan kuat yang mengharuskan untuk tidak menggunakan struktur tersebut.
Untuk keadaan batas ultimit maka:
ηR = 1,05 untuk komponen non redundansi
ηR = 1,00 untuk komponen redundansi konvensional
ηR = 0,95 untuk komponen dengan redundansi melampaui kontinuitas girder
dan penampang torsi tertutup
Untuk keadaan batas lain termasuk keadaan batas ekstrem (gempa) maka: ηR = 1
Pemilik pekerjaan dapat menetapkan suatu jembatan atau elemen struktur dan
sambungannya sebagai prioritas operasional. Pengklasifikasian harus dilakukan
oleh otoritas yang berwenang terhadap jaringan transportasi dan mengetahui
kebutuhan operasional.
Untuk keadaan batas ultimit maka:
ηI = 1,05 untuk jembatan penting atau sangat penting
ηI = 1,00 untuk jembatan tipikal
ηI = 0,95 untuk jembatan kurang penting
Untuk keadaan batas lain termasuk keadaan batas ekstrem (gempa) maka: ηI = 1
Daya layan III 1,00 0,80 1,00 - - 1,00 1,00/1,20 γTG γES - - -
Catatan: γp dapat berupa γMS, γMA, γTA, γPR, γPL, γSH, tergantung beban yang ditinjau, γEQ adalah faktor beban hidup kondisi gempa.
Jika komponen pracetak dan prategang digunakan dan dikombinasikan
dengan balok baja, pengaruh dari hal-hal berikut harus diperhitungkan sebagai
beban konstruksi (PL):
- Friksi antara deck pracetak dan balok baja jika penarikan strand
longitudinal pada pelat disatukan dengan balok menjadi penampang
komposit.
- Gaya induksi pada balok baja dan shear connector jika penarikan
tendon/strand longitudinal pada pelat pracetak dilakukan setelah deck
disatukan dengan balok menjadi penampang komposit.
- Pengaruh adanya rangkak dan susut yang berbeda pada balok baja dan
pelat beton.
- Pengaruh efek poisson yang berbeda pada balok baja dan pelat beton.
Faktor beban γEQ untuk beban hidup pada keadaan batas ekstrem I harus
ditentukan berdasarkan kondisi spesifik jembatan. Sebagai pedoman dapat
digunakan faktor γEQ sebagai berikut:
γEQ = 0,5 ( jembatan sangat penting)
γEQ= 0,3 ( jembatan penting)
γEQ= 0 (untuk standar)
2.6.2. Faktor beban pada masa konstruksi
2.6.2.1 Evaluasi pada keadaan batas kekuatan
Perencana harus menyelidiki semua kombinasi pembebanan pada keadaan
batas kekuatan yang dimodifikasi pada pasal ini. Faktor beban untuk berat sendiri
struktur dan kelengkapannya MS dan MA, tidak boleh diambil kurang dari 1,25
pada waktu melakukan pemeriksaan keadaan batas kekuatan kombinasi I, III dan
V selama masa konstruksi. Kecuali ditentukan lain oleh pemilik pekerjaan, faktor
beban untuk beban pelaksanaan dan setiap efek dinamis yang terkait harus diambil
tidak kurang dari 1,5 untuk keadaan batas kekuatan kombinasi I. Faktor beban
untuk beban angin pada Keadaan Batas Kekuatan Kombinasi III tidak boleh
kurang dari 1,25.
2.6.2.2 Evaluasi lendutan pada keadaan batas layan
Jika dalam kontrak disebutkan bahwa harus dilakukan evaluasi lendutan selm
masa pembangunan, maka harus digunakan keadaan batas daya layan kombinasi I
untuk menghitung besarnya lenduutan yang terjadi, kecuali ada ditentukan khusus
yang merubah ketentuan ini. Beban mati akibat peralatan konstruksi harus
dianggap sebagai bagian dari beban permanen dan beban hidup yang terjadi
selama pelaksanaan harus dianggap sebagai bagian dari beban hidup.
2.8.1 Umum
Pengambilan kerapatan massa yang besar, aman untuk suatu keadaan batas
akan tetapi tidak untuk keadaan yang lainnya. Untuk mengatasi hal tersebut dapat
digunakan faktor beban terkurangi. Akan tetapi, apabila kerapatan massa diambil
dari suatu jajaran nilai, dan nilai yang sebenarnya tidak bisa ditentukan dengan
tepat, perencana harus memilih diantara nilai tersebut yang memberikan keadaan
yang paling kritis.
Beban mati jembatan merupakan kumpulan berat setiap komponen struktural
dan non-struktural. Setiap komponen ini harus dianggap suatu kesatuan aksi yang
tidak terpisahkan pada waktu menerapkan faktor-faktor beban normal dan faktor
beban terkurangi.
2.8.2 Berat Sendiri (MS)
Berat sendiri adalah berat bagian tersebut dan elemen-elemen struktural lain
yang dipikulnya, termasuk dalam hal ini adalah berat bahan dan bagian jembatan
yang merupakan elemen struktural, ditambah dengan elemen non-struktural yang
dianggap tetap. Adapun faktor beban yang digunakan untuk berat sendiri dapat
dilihat pada Tabel 2.12.
Beban mati tambahan adalah berat seluruh bahan yang membentuk suatu
beban pada jembatan yang merupakan elemen non-struktural, dan besarnya dapat
berubah selama umur jembatan. Dalam hal tertentu, nilai faktor beban mati
tambahan yang berbeda dengan ketentuan pada Tabel 2.13 boleh digunakan
dengan persetujuan instansi yang berwenang. Hal ini bisa dila kukan apabila
instansi tersebut melakukan pengawasan terhadap beban mati tambahan pada
jembatan, sehingga tidak dilampaui selama umur jembatan.
Semua jembatan harus direncakan untuk bisa memikul beban tambahan yang
berupa aspal beton setebal 50 mm untuk pelapisan kembali di kemudian hari
kecuali ditentukan lain oleh instansi yang berwenang. Lapisan ini harus
ditambahkan pada lapisan permukaan yang tercantum dalam Gambar rencana.
Pengaruh dari alat pelengkap dan sarana umum yang ditempatkan pada
jembatan harus dihitung seakurat mungkin. Berat pipa untuk saluran air bersih,
saluran air kotor dan lain-lainnya harus ditinjau pada keadaan kosong dan penuh
sehingga keadaan yang paling membahayakan dapat diperhitungkan.
Pengaruh tetap pelaksanaa adalah beban yang disebabkan oleh metode dan
urutan pelaksanaan pekerjaan jembatan. Beban ini biasanya mempunyai kaitan
dengan aksi-aksi lainnya, seperti pra-penengangan dan berat sendiri. Dalam hal
ini,pengaruh faktor ini tetap harus dikombinasikan dengan aksi-aksi tersebut
dengan faktor beban yang sesuai. Bila pengaruh tetap yang terjadi tidak begitu
terkait dengan aksi rencana lainnya, maka pengaruh tersebut harus dimaksudkan
dalam batas daya layan dan batas ultimit menggunakan faktor beban sesuai
dengan Tabel 2.14.
Beban lalu lintas untuk perencanaan jembatan terdiri atas beban lajur “D” dan
beban truk “T”. Beban lajur “D” bekerja pada seluruh lebar jalur kendaraan dan
menimbulkan pengaruh pada jembatan yag ekuivalen dengan suatu iring-iringan
kendaraan yang sebenarnya. Jumlah total beban lajur “D” yang bekerja tergantung
pada lebar jalur kendaraan itu sendiri. Beban truk “T” satu kendaraan berat
dengan 3 gandar yang ditempatkan pada beberapa posisi dalam lajur lalu lintas
rencana. Tiap gandar terdiri atas dua bidang kontak pembebanan yang dimaksud
sebagai simulasi pengaruh roda kendaraan berat. Hanya satu truk “T” diterapkan
per lajur lalu lintas rencana.
Secara umum, beban “D” akan menjadi beban penentu dalam perhitungan
jembatan yang mempunyai bentang sedang sampai panjang, sedangkan beban “T”
digunakan untuk beban pendek dan lantai kendaraan. Dalam keadaan tertentu
beban “D” yang nilai telah diturunkan atau dinaikkan dapat digunakan (lihat pasal
8.5, SNI 1725-2016).
Secara umum, jumlah lajur lalu lintas rencana ditentukan dengan mengambil
bagian integer dari hasil pembagian lebar bersih jembatan (w) dalam mm dengan
lebar jalur rencana sebesar 2750 mm. Jumlah maksimum lajur lalu lintas yang
digunakan untuk berbagai lebar jembatan bisa dilihat dalam Tabel 2.15. Lajur lalu
lintas harus disusun sejajar dengan sumbu memanjang jembatan.
Catatan (1): Untuk jembatan tipe lain, jumlah lajur lalu lintas rencana harus
ditentukan oleh instansi yang berwenang
Catatan (2): Lebar jalur kendaraan adalah jarak minimum antara kerb atau
rintangan untuk satu arah atau jarak antara kerb/rintangan/median dan median
untuk banyak arah.
Berdasarkan Tabel 2.15, bila lebar bersih jembatan antara 3.000 mm sampai
5.000 mm, maka jumlah jalur rencana harus diambil satu lajur lalu lintas rencana
dan lebar jalur rencana harus diambil sebagai lebar jalur lalu lintas. Jika jembatan
mempunyai lebar bersih antara 5.250 mm dan 7.500 mm, maka jembatan harus
direncanakan memiliki dua lajur rencana, masing-masing selebar bersih jembatan
dibagi dua. Jika jembatan mempunyai lebar bersih antara 7.750 mm dan 10.000
mm, maka jembatan harus direncanakan memiliki tiga lajur rencana, masing-
masing selebar bersih jembatan dibagi tiga.
(2.21)
Keterangan:
q = Intensitas beban terbagi rata (BTR) dalam arah memanjang jembatan (kPa)
L = Panjang total jembatan yang dibebani (meter)
Beban “D” harus disusun pada arah melintang sedemikian rupa sehingga
menimbulkan momen maksimum. Penyusunan komponen-komponen BTR dan
BGT dari beban “D” secara umum dapat dilihat pada Gambar 2.22.
Selain beban “D”, terdapat beban lalu lintas lainnya yaitu beban truk “T”.
Beban truk “T” tidak dapat digunakan bersamaan dengan beban “D”. Beban truk
dapat digunakan untuk perhitungan struktur lantai. Adapun faktor untuk beban
“T” seperti terlihat pada Tabel 2.17.
Pembebanan truk “T” terdiri atas kendaraan truk semi-trailer yang mempunyai
susunan dan berat gandar seperti terlihat pada Gambar 2.18. Berat dari tiap-tiap
gandar disebarkan menjadi 2 beban merata sama besar yang merupakan bidang
kontak antara roda dengan permukaan lantai. Jarak antara 2 gandar tersebut
diubah-ubah dari 4,0 m sampai dengan 9,0 m untuk mendapatkan pengaruh
terbesar pada arah memanjang jembatan.
Ketentuan pasal ini tidak boleh digunakan untuk perencanaan keadaan batas
fatik dan fraktur, dimana hanya satu jalur rencana yang diperhitungkan dan tidak
tergantung dari jumlah total lajur rencana. Jika perencana menggunakan faktor
distribusi beban kendaraan untuk satu jalur, maka pengaruh beban truk harus
direduksi dengan faktor 1,20. Tetapi jika perencana menggunakan lever rule atau
metode statika lainnya untuk mendapatkan faktor distribusi beban kendaraan,
maka pengaruh beban truk tidak perlu direduksi.
Kecuali ditentukan lain pada pasal ini, pengaruh beban hidup harus
ditentukan dengan mempertimbangkan setiap kemungkikan kombinasi jumlah
jalur yang terisi dikalikan dengan faktor kepadatan lajur yang sesuai untuk
memperhitungkan kemungkinan terisinya jalur rencana oleh beban hidup. Jika
perencana tidak mempunyai data yang diperlukan maka nilai-nilai Tabel 2.18.
Dapat digunakan saat meneliti jika hanya satu jalur terisi,
Boleh digunakan saat meneliti pengaruh beban hidup jika ada tiga atau lebih
jalur terisi.
Bidang kontak roda kendaraan yang terdiri atas satu atau dua roda
diasumsikan mempunyai bentuk persegi panjang dengan panjang 750 mm dan
lebar 250 mm. Tekanan ban harus diasumsikan terdistribusi secara merata pada
permukaan bidang kontak.
Ketentuan pada pasal ini tidak berlaku jika pelat direncanakan berdasarkan
perencanaan empiris. Jika perencana menggunakan metode strip untuk
menganalisis pelat lantai kendaraan dan pelat atap gorong - gorong, maka gaya -
gaya rencana harus dihitung dengan ketentuan sebagai berikut:
Jika pelat membentang dalam arah melintang tegak lurus terhadap arus lalu
lintas, maka hanya satu gandar dari beban truk yang digunakan untuk
menghitung gaya geser atau momen lentur rencana.
Beban roda harus diasumsikan sama besarnya pada setiap gandar, aplikasi
beban gandar akibat gaya sentrifugal dan pengereman tidak perlu
dipertimbangkan untuk perencanaan pelat lantai kendaraan.
2.9.5 Klasifikasi Pembebanan Lalu Lintas
Kecuali diperbolehkan pada pasal 3.7.6.1, beba statik truk rencana harus
diperbesar sesuai dengan FBD berdasarkan Gambar 2.27. Gaya sentrifugal dan
gaya rem tidak perlu diperbesar. Faktor beban dinamis tidak perlu diterapkan pada
beban pejalan kaki atau beban terbagi rata BTR.
Faktor beban dinamis tidak perlu diterapkan untuk:
Dinding penahan yang tidak memikul reaksi vertikal dari struktur atas
jembatan, dan
Komponen fondasi yang seluruhnya berada dibawah permukaan tanah.
Faktor beban dinamis (FBD) merupakan hasil interaksi antara kendaraan yang
bergerak dan jembatan. Besarnya FBD tergantung pada frekuensi dasar dari
suspensi kendaraan, biasanya antara 2 Hz sampai 5 Hz untuk kendaraan berat dan
frekuensi getaran lentur jembatan. Untuk perencanaan, FBD dinyatakan sebagai
beban statis ekuivalen.
Besarnya BGT dari pembebanan “D” dan beban roda dari pembebanan truk
“T” harus cukup untuk memberikan terjadinya interaksi antara kendaraan yang
bergerak dengan jembatan dengan dikali FBD. Besarnya nilai tambah dinyatakan
dalam fraksi dari beban statis. FBD ini diterapkan pada keadaan batas daya layan
dan batas ultimit. BTR dari pembebanan lajur “D” tidak dikali dengan FBD.
Untuk pembebanan “D”, FBD merupakan fungsi panjang bentang ekuivalen
seperti tercantum dalam Gambar. Untuk bentang tunggal panjang bentang
ekuivalen diambil sama dengan panjang bentang sebenarnya. Untuk bentang
menerus panjang bentang ekuivalen LE diberikan dengan Pers 2.22:
L E= √ 𝑎 𝑎
(2.22)
Keterangan:
Lav = Panjang bentang rata-rata dari kelompok bentang yang disambungkan
secara menerus
Lmax = Panjang bentang maksimum
Untuk pembebanan truk “T”, FBD diambil 30%. Nilai FBD yang dihitung
digunakan pada seluruh bagian bangunan yang berada diatas permukaan tanah.
Untuk bagian bangunan bawah dan fondasi yang berada di bawah garis
permukaan, nilai FBD harus diambil sebagai peralihan linier dari nilai pada garis
pemukaan tanah sampai nol pada kedalaman 2 m.
Gambar 2.27: Faktor beban dinamis untuk beban T untuk pembebanan lajur “D”.
Semua komponen trotoar yang lebih lebar dari 600 mm harus direncanakan
untuk memikul beban pejalan kaki dengan intensitas 5 kPa dan dianggap bekerja
secara bersamaan dengan beban kendaraan pada masing-masing lajur kendaraan.
Jika trotoar dapat dinaiki maka beban pejalan kaki tidak perlu dianggap bekerja
secara bersamaan dengan beban kendaraan. Jika ada kemungkinan trotoar berubah
fungsi di masa depan menjadi lajur kendaraan, maka beban hidup kendaraan harus
diterapkan pada jarak 250 mm dari tepi dalam parapet untuk perencanaan
komponen jembatan lainnya. Dalam hal ini, faktor beban dinamis tidak perlu
dipertimbangkan.
Tekanan angin yang ditentukan pada pasal ini diasumsikan disebabkan oleh
angin rencana dengan kecepatan dasar (VB) sebesar 90 hingga 126 km/jam.
Berdasarkan SNI 1725-2016, beban angin harus diasumsikan terdistribusi secara
merata pada permukaan yang terekspos oleh angin. Luas area yang diperhitungkan
adalah luas area dari semua komponen, termasuk sistem lantai dan railling yang
diambil tegak lurus terhadap arah angin. Arah ini harus divariasikan untuk
mendapatkan pengaruh yang paling berbahaya terhadap struktur jembatan atau
komponen-komponennya. Luasan yang tidak memberikan konstribusi dapat
diabaikan dalam perencanaan.
PD = PB( )
(2.23)
Keterangan:
PB = Tekanan angin dasar
Gaya total beban angin tidak bole diambil kurang dari 4,4 kN/mm pada
bidang tekan dan 2,2 kN/mm pada bidang hisap pada struktur rangka dan
pelengkung, serta tidak kurang dari 4,4 Kn/mm pada balok atau gelagar.
Kecuali jika ditentukan lain pada pasal ini , jika angin yang bekerja tidak
tegak lurus struktur, maka tekanan angin dasar PB untuk berbagai sudut serang
dapat diambil seperti yang ditentukan dalam Tabel 2.20 dan harus dikerjakan pada
titik berat dari area yang terkena beban angin. Arah sudut serang ditentukan tegak
lurus terhadap arah longitudinal. Tekanan angin melintang dan memanjang harus
diterapkan secara bersamaan dalam perencanaan.
Tabel 2.20: Tekanan angin dasar (PB) untuk berbagai sudut serang.
Sudut Rangka, kolom, dan
Gelagar
serang pelengkung
Beban Beban Beban Beban
Derajat
lateral longitudinal lateral longitudinal
0 0,0036 0,0000 0,0024 0,0000
15 0,0034 0,0006 0,0021 0,0003
30 0,0031 0,0013 0,0020 0,0006
45 0,0023 0,0020 0,0016 0,0008
60 0,0011 0,0024 0,0008 0,0009
Tekanan angin rencana harus dikerjakan baik pada struktur jembatan maupun
pada kendaraan yang melintasi jembatan. Jembatan harus direncanakan memikul
gaya akibat tekanan angin pada kendaraan, dimana tekanan tersebut harus
diasumsikan sebagai tekanan menerus sebesar 1,46 N/mm, tegak lurus dan bekerja
1800 mm diatas permukaan jalan. ditentukan pada pasal ini, jika angin yang
bekerja tidak tegak lurus struktur, maka komponen yang bekerja tegak lurus
maupun paralel terhadap kendaraan untuk berbagai sudut serang dapat diambil
seperti yang ditentukan dalam Tabel 2.21 dimana arah sudut serang ditentukan
tegak lurus terhadap arah permukaan kendaraan.
EQ = x Wt
(2.24)
Keterangan:
EQ = Gaya gempa horizontal statis (kN).
Csm = Koefisien respons gempa elastik.
Rd = Faktor modifikasi respons.
Wt = Berat total struktur terdiri dari beban mati dan beban hidup yang sesuai
(kN).
Koefisien respons elastik Csm diperoleh dari peta percepatan batuan dasar
dan spektra percepatan sesuai dengan daerah gempa dan periode ulang gempa
rencana. Koefisien percepatan yang diperoleh berdasarkan pada peta gempa
dikalikan dengan suatu faktor amplifikasi sesuai dengan keadaan tanah sampai
kedalaman 30 m dibawah struktur jembatan.
1. Prosedur umum
Peta gempa dalam ketentuan ini meliputi peta percepatan puncak batuan dasar
(PGA) dan respon spectra percepatan 0,2 detik dan 1 detik dibatuan dasar yang
mewakili dua level hazard (potensi bahaya) gempa 500 dan 1000 dengan
kemungkinan terlampaui 10% dala 50 tahun dan 7% dalam 75 tahun penjelasan
untuk masing - masing peta dapat dilihat pada Tabel 2.22.
2. Faktor situs
Untuk penentuan respons spektra di permukaan tanah, diperlukan suatu faktor
amplifikasi pada periode nol detik, periode pendek (T=0,2 detik) dan periode 1
detik. Faktor amplikasi meliputi faktor amplifikasi getaran terkait percepatan pada
getaran periode nol detik (FPGA), faktor amplifikasi periode pendek (Fa) dan
factor amplifikasi terkait percepatan yang mewakili getaran periode 1 detik (Fv).
Tabel 2.23 memberikan nilai FPGA, Fa dan Fv untuk berbagai klasifikasi jenis
tanah.
Tabel 2.23: Faktor amplifikasi untuk periode 0 detik dan 0,2 detik (FPGA/Fa)
(SNI 2833:2013).
PGA ≤ 0,1 PGA= 0,2 PGA = 0,3 PGA = 0,4 PGA > 0,1
Kelas situs
Ss ≤ 0,25 Ss = 0,5 Ss = 0,75 Ss = 1,0 Ss ≥ 0,25
Batuan
0,8 0,8 0,8 0,8 0,8
keras (SA)
Batuan
1,0 1,0 1,0 1,0 1,0
(SB)
Tanah
1,2 1,2 1,1 1,0 1,0
keras (SC)
Tanah
sedang 1,6 1,4 1,2 1,1 1,0
(SD)
Tanah
2,5 1,7 1,2 0,9 0,9
lunak (SE)
PGA = Percepatan puncak batuan dasar mengacu pada Peta Gempa Indonesia.
Ss = Parameter respons spektral percepatan gempa untuk periode pendek
(T=0.2 detik) mengacu pada Peta Gempa Indonesia 2010.
SS = Lokasi yang memerlukan investigasi geoteknik dan analisis respons
dinamik spesifik.
Tabel 2.24: Besarnya nilai faktor amplifikasi untuk periode 1 detik (Fv) (SNI
2833:2013).
Kelas situs S1 ≤ 0,1 S1 = 0,2 S1 = 0,3 S1 = 0,4 S1 ≥ 0,5
Batuan
0,8 0,8 0,8 0,8 0,8
keras (SA)
Batuan
1,0 1,0 1,0 1,0 1,0
(SB)
Tanah
1,7 1,6 1,5 1,4 1,3
keras (SC)
Tanah
2,4 2,0 1,8 1,6 1,5
sedang
(SD)
Tanah
3,5 3,2 2,8 2,4 2,4
lunak (SE)
Tanah
khusus SS SS SS SS SS
(SF)
Keterangan:
S1 = Parameter respons spektral percepatan gempa untuk periode 1 detik
mengacu pada Peta Gempa Indonesia 2010 (Gambar 2.20 atau Gambar
2.23).
SS = Lokasi yang memerlukan investigasi geoteknik dan analisis respons
dinamik spesifik.
b. Untuk periode lebih besar atau sama dengan T0, dan lebih kecil atau sama
dengan TS, respons spektra percepatan, Csm adalah sama dengan SDS.
c. Untuk periode lebih besar dari TS, koefisien respons gempa elastik (Csm)
didapatkan dari persamaan berikut :
Csm =
(2.28)
Keterangan:
SDS = Nilai spektra permukaan tanah pada periode pendek (T=0.2 detik).
SD1 = Nilai spektra permukaan tanah pada periode 1.0 detik
T0 = 0.2 Ts
Ts =
Catatan : SD1 = Fv x S1
SD1 = Nilai spektra permukaan tanah pada periode 1.0 detik
Fv = Nilai faktor amplifikasi untuk periode 1 detik (Fv)
S1 = Parameter respons spektra percepatan gempa untuk periode 1.0 detik
mengacu pada Peta Gempa Indonesia 2010.
6. Faktor modifikasi respons
Untuk penggunaan faktor modifikasi respons pada pasal ini maka detailing
struktur harus sesuai dengan ketentuan pada Pasal 7 dan Pasal 7.5 SNI 2833:2013.
Gaya gempa rencana pada bangunan bawah dan hubungan antara elemen struktur
ditentukan dengan cara membagi gaya gempa elastis dengan faktor modifikasi
respons (R) sesuai dengan Tabel 2.24 dan Tabel 2.25. Sebagai alternatif
penggunaan faktor R pada Tabel 2.26 untuk hubungan struktur, sambungan
monolit antara elemen struktur atau struktur, seperti hubungan kolom ke fondasi
telapak dapat direncanakan untuk menerima gaya maksimum akibat plastifikasi
kolom atau kolom majemuk yang berhubungan. Apabila digunakan analisis
dinamik riwayat waktu, maka faktor modifikasi respons (R) diambil sebesar 1
untuk seluruh jenis bangunan bawah dan hubungan antar elemen struktur.
Tabel 2.26: Faktor modifikasi respons (R) untuk bangunan bawah (SNI
2833:2013).
Kategori Kepentingan
Bangunan bawah
Sangat Penting Penting Lainnya
Pilar tipe dinding 1,5 1,5 2,0
Tabel 2.27. Faktor modifikasi respons (R) untuk hubungan antar elemen struktur
(SNI 2833:2013).
Hubungan elemen struktur Semua kategori kepentingan
Bangunan atas dengan kepala jembatan 0,8
Sambungan muai dilatasi pada bangunan atas 0,8
Kolom, pilar atau tiang dengan bangunan atas 1,0
Gambar 2.29: Peta percepatan puncak di batuan dasar (PGA) untuk probabilitas
terlampaui 10% dalam 50 tahun (SNI 2833:2013).
Gambar 2.30: Peta respons spektra percepatan 0.2 detik di batuan dasar untuk
probabilitas terlampaui 10% dalam 50 tahun (SNI 2833:2013).
Gambar 2.31: Peta respons spektra percepatan 1 detik di batuan dasar untuk
probabilitas terlampaui 10% dalam 50 tahun (SNI 2833:2013).
Gambar 2.32: Peta percepatan puncak di batuan dasar (PGA) untuk probabilitas
terlampaui 7% dalam 75 tahun (SNI 2833:2013).
Gambar 2.33: Peta respons spektra percepatan 0.2 detik di batuan dasar untuk
probabilitas terlampaui 7% dalam 75 tahun (SNI 2833:2013).
Gambar 2.34. Peta respons spektra percepatan 1 detik di batuan dasar untuk
probabilitas terlampaui 7% dalam 75 tahun (SNI 2833:2013).
2.13.1 Filosofi Perencanaan (Pembebanan)
(2.31)
Keterangan:
γi = Faktor beban ke i
ηI = Faktor pengubah respons berkaitan dengan daktilitas, redundansi, dan
klasifikasi operasional
ηD = Faktor pengubah respons berkaitan dengan daktilitas
ηR = Faktor pengubah respons berkaitan dengan redundansi
ηI = Faktor pengubah respons berkaitan dengan klasifikasi operasional
Qi = Pengaruh gaya
Rn = Tahanan nominal
Rr = Tahanan terfaktor
2.13.6. Daktilitas
Alur gaya mejemuk dan struktur menerus harus digunakan kecuali terdapat
alasan kuat yang mengharuskan untuk tidak menggunakan struktur tersebut.
Untuk keadaan batas ultimit maka:
ηR= 1,05 untuk komponen non redundan
ηR= 1,00 untuk komponen redundansi konvensional
ηR= 0,95 untuk komponen dengan redundansi melampaui kontinuitas girder dan
penampang torsi tertutun
METODOLOGI PENELITIAN
MULAI
Preliminarry Design
KONTROL TERHADAP
DEFORMASI DAN
KELENDUTAN STRUKTUR
- Lendutan
- Stabilitas Pier
- Displacement
Menganalisis dan
Boxmembandingkan
girder hasil
lendutan dari perencanan struktur
jembatan cable stayed
Selesai
Gambar 3.1: Diagram alir perencanaan.
3.2 Metode Pengumpulan Data
Berikut adalah mutu beton dan baja yang akan digunakan dalam
perencanaan jembatan ini:
- Berat jenis beton : 2400 kg/m3
- Berat jenis aspal : 2240 kg/m3
- Berat jenis baja : 7850 kg/m3
- Tegangan leleh baja(fy) : BJ 55
1.Baja
- Mutu Baja : BJ-55
- Tengangan putus minimum (fu) : 550 Mpa
- Tengangan leleh minimum (fy) : 410 Mpa
- Rengangan minimum : 15%
- Modulus elastisitas : 200000 Mpa
- Modulus geser (G) : 80000 Mpa
- Poisson ratio : 0,3
- Koefesien Pemuaian : 12 x 10-6
- Berat jenis baja : 7850 kg/m3
3. Beton
- Mutu Baja : 50 Mpa
- Modulus elastisitas : 33234 Mpa
- Modulus geser (G) : 13847,5 Mpa
- Poisson ratio : 0,2
- Koefesien Pemuaian : 10 x 10-6
- Berat jenis baja : 2400 kg/m3
3. Tebal web
Tebal web minimum adalah sebagai berikut:
a. 200 mm, jika tidak terdapat tendon pada web
b. 250 mm, jika terdapat duct kecil baik vertikal maupun
longitudinal
c. 300 mm, jika digunakan tendon dengan strand 12,5 mm
d. 350 mm jika tendon diangkur pada web.
e. Tebal sayap bawah
f. 175 mm, jika duct tidak diletakkan pada sayap
g. 200 – 250 mm, jika duct diletakkan pada sayap
4. Tinggi komponen minimum
Berdasarkan RSNI T-12-2004 pada pasal 9.2 tinggi komponen beton
prategang untuk bentang sederhana pada box girder adalah h ≥ L/25 dan
untuk bentang menerus tinggi komponen dapat dikurangi 10 %. Maka,
berdasarkan pedoman diatas maka dipilih potongan melintang gelagar
jembatan seperti Gambar 3.22:
Gambar 3.22: Penampang profil.
Penjabaran perhitungannya:
1. Diketahui:
- Lebar = 15 m
- Tebal = 0,5 m
- Shape factor = 1,0
- Jumlah tampang = 1
- Jarak terhadap alas y = 2,75 m
= x 15 x 0,53 x 1 x 1 = 0,15625 m4
- Yb = = = 1,60 m
- Ya = H – Yb = 3 – 1,60 = 1,40 m
MMS = momen maksimum pada seluruh bentang akibat beban sendiri hasil
analisis Csi Bridge = 156741,01 KNm = 156741010 Kgf-m
Tegangan pada serat atas:
- 0,25 x √ = - Pt / A + Pt x es / Wa – Mbs / Wa
Tegangan pada serat bawah:
- 0,55 x ƒci = - Pt / A + Pt x es / Wb – Mbs / Wb
Besarnya gaya prategang awal ditentukan sebagai berikut:
Pt = (0,25 x √ + MMS / Wa) / (es / Wa – 1 / A)
= (0,25 x √ + 156741,01 / 18,6131) / (1,15 / 18,6131 – 1 / 20,71)
= 395,6994074 N ≈ 39569940,74 gf
Pt = (0,55 x ƒci + MMS / Wb) / (es / Wb – 1 / A)
= (0,55 x 40000 + 156741,01 / 16,2865) / (1,15 / 16,2865 + 1 / 20,71)
= 1765,257266 N ≈ 17652572,66 gf
Dari persamaan 1 dan 2 diambil gaya prategang awal, Pt = 17652572,66 Kgf.
Direncanakan menggunakan kabel jenis strand seven wires stress relieved.
Dengan mengacu pada tabel ASTM A-416 berikut adalah jenis dan karakteristik
dari baja pratekan yang digunakan:
- Jenis strand : Uncoated 7 wire superstrand ASTM A-416 grade 270
- Diameter nominal strands = 0,6” = 15,24 mm
- Luas Nominal penampang strand (As) = 140 mm2
- Nominal massa = 1,102 kg/m
- Beban putus minimal satu strand (Pbs): 260,7 N ≈ 26070 gf (100 %
UTS atau 100% beban putus)
Jumlah strand minimal yang diperlukan: ns = Pt / Pbs = 17652572,66 / 26070
= 677 strand. Direncanakan jumlah kawat untaian (strand cable) = 12 kawat
untaian tiap tendon.
Nt = 20 tendon
Ns = 575 strands
Beban satu strands (Pbs) = Pt/ ns
= 17652572,66/575
= 30,700 kN
Persentase tegangan leleh yang timbul pada baja (po) = Pt/(ns×pbs)
= 1765/(389×260,7)
= 20,2% < 80 % (oke)
Gaya prestress yang terjadi akibat jacking (pj) = Po×ns×pbs
= 13547.1 kN
Untuk jumlah kawat untaian 12 kawat untaian tendon:
Diameter nominal strands = 0,0154 m
Luas tampang satu strands (Ast) = 0,00014 m2
Beban putus minimal satu strands (Pbs) = 260,7 Kn
Jumlah strands minimum yang diperlukan (ns) = pt/ 0,8 × pbs
= 35,03 strands.
Nt = 20 tendon
Ns = 144 strands
Beban satu strands (Pbs) = Pt/ ns = 179,8 Kn
Persentase tegangan leleh yang timbul pada baja (po) = Pt/(ns×pbs)
= 19,5% < 80 % (oke)
Gaya prestress yang terjadi akibat jacking (pj) = Po×ns×pbs
= 5040 kN
Beban gravitasi yang bekerja pada struktur jembatan adalah beban mati dan
beban hidup. Beban mati adalah beban yang berhubungan dengan komponen
material jembatan yang diambil dari SNI 1725-2016. Adapupun nilai beban mati
komponen jembatan dapat dilihat pada Tabel 3.2 berikut :
Beban mati tambahan pada lantai jembatan terdiri dari berat aspal, berat
lapisan kembali aspal dan berat genangan air dikalikan dengan berat jenis aspal
yaitu sebesar 2240 Kg/m3 dan berat jenis air sebesar 1000 Kg/m3, berat trotoar,
berat median, dan berat tiang lampu penerangan.
f. q = 9,0 x (0,5+15/200)
= 5,175 kN/m2
g. BTR = [( 5,5 x q x1) + (15-5,5) x q x 0,5) / 15]
= [( 5,5 x 5,175 x 1) + (15 - 5,5) x 5,175 x 0,5) / 15]
= 3,536 kN/m ≈ 3536 Kgf/m
b. Beban Garis (BGT)
Beban garis terpusat (BGT) ditempatkan tegak lurus terhadap arah
lalu lintas jembatan dengan besarnya intensitas p adalah 49,0 kN/m
4900 Kg/m dan intensitas tersebut 100 % untuk jalur selebar 5,5 m, dan
selebihnya hanya 50 %.
Faktor beban dinamis (FBD) = 0,4
p = 49 KN/m
h. BGT = [( 5,5 x p x1) + (15-5,5) x p x 0,5) / 15]
= [( 5,5 x 49 x 1) + (15 - 5,5) x 49 x 0,5) / 15]
= 33,483 kN/m ≈ 3348,3 Kg/m
Berdasarkan peraturan pembebanan SNI 1725:2016 pada pasal 8.7 gaya rem
harus diambil yang terbesar dari:
- 25 % dari berat gandar truk desain, atau
- 5 % dari berat truk rencana + BTR
Berat gandar truk desain sebesar 45.000 g dan pembebanan truk „T‟ sebesar
500 kN 50000 Kg.
- 25 % dari berat gandar truk desain = 0,25 x 50000 = 1250 Kg
- 5 % dari berat truk rencana + BTR = 0,05 x 50000 + 642,8 = 3142,8 Kg
Maka gaya rem yang diambil adalah 3142,8 Kg
Berdasarkan Tabel 2.28 dengan lokasi jembatan berada > 500 m diatas
permukaan laut maka input temperature gradien dapat dilihat seperti pada Gambar
3.10 dibawah ini.
Gambar 3.10: Input temperatur gradien pada csi bridge.
Metode yang digunakan dalam perhitungan beban gempa ini yaitu metode
analisis respon spektrum. Beban gempa diperhitungkan berdasarkan RSNI 17-
2013 dengan probabilitas 10% dalam 50 tahun atau periode ulang 1000 tahun.
Berdasarkan peraturan SNI-2833-2013 Perancangan Gempa Terhadap Beban
Jembatan, perencanaan beban rencana akibat gempa minimum ditentukan
beberapa hal:
a. Lokasi desain : Medan
b. Penentuan kelas situs : Diasumsikan struktur berada diatas tanah lunak
c. Penentuan beban gempa
- Nilai PGA
Berdasarkan Gambar 2.27 peta percepatan puncak di batuan dasar (PGA)
untuk probabilitas terlampaui 10% dalam 50 tahun maka nilai PGA adalah 0,13g.
a. Nilai Ss (respons spektra 0.2 detik)
Berdasarkan 2.28 peta respon spectra percepatan 0,2 detik di batuan dasar
untuk probabilitas terlampaui 10% dalam 50 tahun maka nilai Ss adalah
0,27g.
b. Nilai S1 (respons spektra 1 detik)
Berdasarkan Gambar 2.29 peta respon spectra percepatan 1 detik di batuan
dasar untuk probabilitas terlampaui 10% dalam 50 tahun ditentukan nilai S1
adalah 0,17g.
c. Menentukan koefisien situs FPGA, Fa, dan Fv.
Berdasarkan nilai PGA, S1, dan Ss yang telah diperoleh dibaca pada Tabel
2.16 faktor amplifikasi periode 1 detik dan 0,2 detik (FPGA/FA) faktor
amplifikasi untuk periode 1 detik (Fv) untuk situs tanah sedang (SD) diperoleh
hasil sebagai berikut:
Nilai FPGA adalah 0,13
Nilai Fa adalah 1,54
Nilai Fv adalah 2,12
d. Menentukan Parameter Spektral As, SDs dan SD₁
As = FPGA PGA
= 0.13 1.54
= 0.2002
SDS = Fa SS
= 1,54 0.27
= 0.4158
SDI = Fv S1
= 2,12 0.24
= 0.3604
SD1
T0 = 0.2 SDS
0,3604
= 0.2 0,4158
= 0.126
SD1
TS = SDS
0,3604
= 0,4158
= 0.867
Dari hasil perhitungan parameter spektra dapat digambarkan dalam sebuah
grafik respon spectrum seperti dalam Gambar 3.14.
Gambar 3.14: Grafik respon spectrum.
a. Kombinasi pembebanan
Kuat I = 1,20 MS + 2 MA + 1,0 ( PR+PL) + 0,5 SH + 1,8
(TT+TD+TB) + 1,0 BF + 0,5 EUn
Kuat II = 1,20 MS + 2 MA + 1,0 ( PR+PL) + 0,5 SH + 1,4
(TT+TD+TB) + 1,0 BF + 0,5 EUn
Kuat III = 1,20 MS + 2 MA + 1,0 ( PR+PL) + 0,5 SH + 1,4 EWS
+ 1 BF + 0,5EUn
Kuat IV = 1,20 MS + 2 MA + 1,0 ( PR+PL) + 0,5 SH + 1 BF
+ 0,5 EUn
Kuat V = 1,20 MS + 2 MA + 1,0 ( PR+PL) + 0,5 SH + 0,40 EWs +
1,0 EWL + 1,0 BF + 0,5 EUn
Ekstrem I = 1,20 MS + 2 MA + 1,0 ( PR+PL) + 0.5 SH + 0.3 EQ
(TT+TD+TB+) + 1BF + 1 EQ
Daya Layan I = 1,0 (MS+ PR+PL+SH) + 1,0 (TT+TD+TB) + 0,30 EWs +
1,0 EWL + 1,0 BF + 1 EUn
Daya Layan III = 1,0 (MS+ PR+PL+SH) + 0,8 (TT+TD+TB) + 1,0 BF
+ 1 EUn
Daya Layan IV = 1,0 (MS+ PR+PL+SH) + 0,70 EWs + 1BF + 1,0 EUN
Pada bab ini akan penulis akan membahas tentang hasil studi analisis
dari program CSI Brigde 2017 berdasarkan perencanaan yang telah di
rencakan disini penulis juga akan menampilkan strand minimal yang
diperlukan sesuai dengan SNI 1725-2016 dengan menggunakan
perbandingan panjang terhadap bentang jembatan.
12
11
10
9
8
7
6 MODEL 2
5 MODEL 1
4
3
2
1
Dari grafik diatas diperoleh perbedaan nilai perioda getar (T) antara
model 1 dengan model 2 dimana nilai perioda getar pada perioda 1 lebih
besar dibandingkan dengan nilai perioda getar pada perioa 2, hal ini
disebabkan karena semakin panjang bentang (struktur) semakin rndah
pula kekakuan struktur tersebut yang pastinya mempengaruhi nilai
perioda getar alami struktur itu pula.
Dari hasil analisa dengan program CSI Bridge untuk model 1 didapat
lendutan maximum saat service yaitu sebesar -0,04 m.
Δ terjadi < Δijin
-0,041 m < 0.125 m (memenuhi syarat)
dimana lendutan yang terjadi akibat kombinasi daya layan tidak boleh
melampaui
pada Tabel 4.2 dan dapat dibuktikan pada gambar 4.5, 4.6, dan 4.7
lendutan tidak boleh melampaui L/800.
Dari hasil analisa dengan program CSI Bridge untuk model 2 didapat lendutan
maximum saat service yaitu sebesar -0,0491 m.
Δ terjadi < Δijin
-0,0491 m < 0.125 m (memenuhi syarat).
Gambar 4.5: Nilai daya layan I pada model 2.
0,05
0,04
0,03 MODEL 1
MODEL 2
0,02
0,01
0
1 2 3
Dari grafik diatas diketahui bahwa nilai lendutan pada model 2 lebih
besar dibandingkan dengan model 1 hal ini terjadi karena semakin besar
nilai inersia pada suatu bangunan (struktur) maka semakin besar nilai
kekakuan dan kemampuan struktur untuk menahan gaya yang terjadi.
Untuk kabel utama gaya aksial terbesar terletak pada kombinasi daya
layan II frames 23, 136, dan 136 yang terletak pada pucuk menara sapat
di lihat pada table 4.7.
120
100
80
Axis Title
60 Cable model 1;
111,8034
40
20
cable model 2;
0
40,89146
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Axis Title
Dimana:
Tengangan Leleh minimal kabel = 15 Mpa
Tengangan Pada kabel = tenganagn ultimit/factor izin
= 1500/3
= 500 Mpa
Faktor densitas untuk tengangan = 0,67
= kabel 6 x Fi (29) IWRC d 80
mm
Dari hasil perhitungan gaya prategang awal yang diperlukan pada box
girder dengan mutu beton 50 MPa adalah sebesar 35258,6 kN jumlah
strand minimal 496 strand.
Dari hasil analisis software didapat nilai gaya geser arah X (V2) pada
pemodelan 1 dan 2 untuk kombinasi eksitrem I seperti pada Tabel 4.8.
Dari hasil analisis software didapat nilai gaya geser arah Y (V3) pada
pemodelan 1 dan 2 untuk kombinasi eksitrem I seperti pada Tabel 4.9.
7.000
6.000
5.000 GEMPA X 1
4.000 GEMPA X 2
GEMPA Y 1
3.000
GEMPA Y 2
2.000
1.000
0
1
4.7 Hasil Analisis Nilai Gaya Aksial (P) Pada Model 1 Dan Model
Hasil analisis gaya aksial (P) pada model 1 dan model 2 dapat dilihat
pada tabel dibawah ini:
Pengaruh gaya prategang dibagi menjadi dua yaitu sebelum dan sesudah
kehilangan gaya prategang. Kehilangan gaya prategang (loss of prestressed) dapat
dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu:
1. Kehilangan gaya prategang langsung yaitu kehilangan gaya prategang yang
terjadi segera setelah peralihan gaya prategang (waktu jangka pendek) yang
meliputi:
a. Perpendekan Elastis
b. Gesekan kabel
c. Slip pada angkur
2. Kehilangan prategang berdasarkan fungsi waktu yaitu kehilangan gaya
prategang yang tergantung pada waktu ( jangka waktu tertentu) yang
meliputi:
a. Rangkak beton (creep)
b. Susut beton (shrinkage)
c. Relaksasi baja (relaxation)
1. Perhitungan kehilangan gaya prategang langsung (Pemodelan I)
a. ehilangan prategang akibat perpendekan elastis beton (Δ S)
Untuk sistem pasca tarik beton memendek saat tendon diangkurkan
terhadap beton, karena gaya pada kabel dihitung setelah perpendekan elastis
terhadap beton terjadi. Jika tendon yang dimiliki lebih dari satu, tendon -
tendon tersebut ditarik secara berurutan, maka gaya prategang secara secara
bertahap bekerja pada tendon dihitung menggunakan rumus 2.2.
s
ES = 0,5 c fcir
Dimana:
Es = 200.000 MPa
Ec = 4700 √f c
= 4700 √50
= 33234,0187 Mpa
Fcir = tegangan awal/ Luas penampang
= 33234,0187 / 5290200
= 6,282 Mpa
200.000
ES = 0,5 6,282
= 30,244 Mpa
Dimana:
a = 2,5 mm
Es = 200.000 Mpa
L = 40000 mm
2,5 200.000
ANC = fs =
40000
= 12,5 Mpa
2. Kehilangan prategang berdasarkan fungsi waktu
a. Kehilangan gaya prategang akibat rangkak beton (CR)
Prategang yang terus menerus pada beton suatu batang prategang dapat
mengakibatkan rangkak pada beton yang secara efektif mengurangi tegangan
pada baja bermutu tinggi. Kehilangan tegangan pada baja prategang akibat
rangkak dapatditentukan dengan dua cara, yaitu cara regangan rangkak batas
dan cara koefisien rangkak. Dengan koefisien rangkak, besarnya kehilangan
tegangan pada baja prategang akibat rangkak dapat ditentukan dengan
mangacu pada rumus 2.6 seperti berikut:
CR = Kcr s fcir - fcsd
c
Dimana:
Kcr = 1,6 untuk komponen struktur pasca tarik
Es = 200.000 Mpa
Ec = 33234,0187 Mpa
fcir = 6,282 Mpa
fcsd = 8,697 Mpa (Output csi bridge)
CR = Kcr s fcir - fcsd
c
200.0000
CR = 1,6 (6,282 - 8,697)
33234,0187
= 2 Mpa
b. Kehilangan gaya prategang akibat susut beton (SH)
Susut pada beton merupakan suatu proses kimia dalam beton yang terjadi
karena berkurangnya kadar air di dalam beton. Seperti halnya pada rangkak
beton, besarnya susut beton ini dipengaruhi oleh beberapa faktor meliputi
proposi campuran, tipe agregat, tipe semen, waktu perawatan, dan kondisi
lingkungan. Besarnya kehilangan prategang akiba susut pada beton dapat
dihitung seperti berikut:
V
fpSH = 8,2 10-6 KSHES (1- 0,06 S ) (100 - RH)
Dimana:
KSH = 0,77
ES = 200.000 Mpa
V = 211,61 m3 (Volume box girder)
S = 35,45 m2 (Keliling tampang basah box girder)
RH = 70 %
V
SH = 8,2 10-6 KSHES (1- 0,06 S ) (100 - RH)
= 8,2 10-6 0,77 200.000 (1- 0,06 0,00597 ) (100 - 70)
= 37,870 Mpa
c. Kehilangan gaya prategang akibat relaksasi baja (RE)
Kehilangan gaya prategang ini disebabkan oleh karena tendon yang
terus-menerus menahan tegangan. Dengan durasi tegangan yang terjadi pada
tendon akan mengurangi tegangan yang dapat dipikul oleh tendon itu sendiri.
Tidak hanya tergantung pada durasi gaya prategang, besarnya relaksasi baja
ini juga tergantung pada rasio antara prategang awal dan kuat leleh baja
prategang. Besarnya relaksasi tendon baja ini dapat dihitung seperti berikut:
RE = ( Kre – J (SH + CR + ES )) × C
Dimana:
Kre = 138
J = 0,15
1396,61
fpi/fpu = = 0,75
1860
C = 1,45
RE = ( 138 – 0,15 (37,870 + 3,3 + 19,322)) × 0,94
= 121,191 Mpa
3. Kehilangan Gaya Prategang Total
Berdasarkan T.Y Lin hal kehilangan prategang total pada beton
pretension maks 20 %
Kehilangan total = ES + CR + SH + RE
= 19,322 + 3,3 +37,870 + 121,191
= 181,683 Mpa
181,683
% Kehilangan total = 1284,437 × 100%
= 14,14495
BAB 5
5.1 Kesimpulan
Berikut ini adalah beberapa saran yang dapat penulis sampaikan setelah
melakukan pengerjaan tugas akhir ini, yaitu:
1. Penulis menyarankan agar rekan-rekan menrencanakan jembatan dengan pylon
ganda agar memiliki nilai estetika yang indah dan menghindari tekuk pada
pylon.
2. Disarankan untuk perencaan berikutnya perhitungan sebaiknya dilakukan
secara keseluruhan, dikarnakan pada tugas akhir ini penulis hanya
merenacakan struktur atas jembatan cable stayed.
3. Penulis menyarakan dalam membuat tugas akhir jembatan kabel (cable stayed)
dapat dilakukan perbandingan, dengan adanya perbandingan maka dapat
dengan mudah mengetahui sktruktur jembatan yang lebih ekonomis dan aman
untuk di bangun.
DAFTAR PUSTAKA
Agung supriadi (2009) Analisis Struktur Jembatan Baja Komposit Beton. Laporan
tugas akhir. Program Studi Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Mercu
Buana.
Agus setiawan (2002) Perencanaan Struktur Baja Dengan Metode LRFD sesuai
SNI 03-1729-2002.
Faisal, A. (2014) Catatan Kuliah M.K. Vibrasi dan Teori Gempa. Medan: UMSU.
Direktorat Jendral Bina Marga. Gimsing, N.J. (2010). Cable Supported Bridges
Concept And Design. John Wiley & Sons Ltd.
Saran,yayang (2018) study perencanaan flay over menggunakan profil box girder
dengan perbandingan kuat tekan box material. Medan: UMSU.
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP