Makalah Pai New PDF

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 48

MAKALAH

ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI DALAM ISLAM

Disusun Oleh : Kelompok 6


Aji Siti Milah Chodijah 1913016167
Arifah Aidah Salman 1913016077
Aulia Widyawati 1913016001
Ayu Lestari Dikma 1913016038
Dzaky Erray Diashoka 1913016042
Latifah Safitri 1913016063
M Noor Azhari Saihu A 1913016152
Muhammad Rizvan Septian Nur 1913016107
Nicky Assifa Juwanto 1913016104
Rizka Dhilla Dwi Pangesti 1913016023
Siti Nour Azizah 1913016090

PROGRAM STUDI FARMASI UMUM


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MULAWARMAN
2019
Kata Pengantar

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang. Kami panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam
Islam”.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk
itu kami mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang telah berkontribusi
dalam pembuatan makalah ini. Terimakasih juga kami ucapkan kepada Bapak
Muhammad Hasyim Mustaimin, S.Ag., M.Ed. Sebagai dosen pengajar mata
kuliah Pendidikan Agama Islam.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.

Akhir kata kami berharap makalah ini dapat menjadi manfaat bagi penyusun
makalah dan pembaca.

Samarinda, 28 Oktober 2019

Kelompok 6

i
Daftar Isi

Kata Pengantar ............................................................................................................ i


Daftar Isi ...................................................................................................................... ii
BAB I Pendahuluan .................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................... 2
C. Tujuan .............................................................................................................. 2
Bab II Kajian Pustaka ................................................................................................ 3
A. Pengertian Ilmu dan Teknologi dalam Islam ............................................... 3
B. Epistemologi dan Sumber Ilmu dalam Islam ............................................... 5
C. Klasifikasi Ilmu Fardhu ‘Ain dan Kifayah ................................................. 21
D. Pentingnya Integrasi Ilmu, Sains dan Teknologi ....................................... 27
E. Sains dan Teknologi dalam Islam ................................................................ 32
F. Kontribusi Umat Islam terhadap Ilmu Pengetahuan ................................ 37
Bab III Penutup ......................................................................................................... 40
A. Simpulan ........................................................................................................ 40
B. Saran ............................................................................................................... 41
Daftar Pustaka ........................................................................................................... 42

ii
BAB I
Pendahuluan

A. Latar Belakang
Islam mengajarkan umatnya untuk menyeimbangkan kehidupan dunia
dan akhirat. Dalam Al – Qur’an manusia memiliki potensi untuk
mengembangkan dan mendapatkan ilmu atas izin Allah SWT, karena begitu
banyak ayat dalam Al – Qur’an yang memerintahkan manusia untuk
meaktualisasikan potensinya. Seperti firman Allah SWT dalam Q.S. Ar –
Rahman ayat 33 : “Hai Jama’ah jin dan manusia, jika kamu sanggup
menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak
dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan”. Prof. Dr. M. Quraish Shihab,
MA. dalam karya ilmiahnya yang berjudul "Iptek Berwawasan Moral"
menerangkan bahwa ayat diatas mensyariatkan pentingnya iptek untuk
kemajuan umat manusia. Objek ilmu pengetahuan menurut ilmuwan muslim
adalah mencakup alam materi dan non – materi, karena keyakinan religius akan
adanya alam spiritual membimbing mereka untuk meyakini dan
memahaminya.
Allah SWT telah memberikan isyarat tentang ilmu, baik dalam bentuk
uraian, maupun dalam bentuk kejadian. Contohnya seperti mukjizat yang
diberikan kepada rasul. Manusia yang berusaha meningkatkan daya
keilmuannya mampu menangkap dan mengembangkan potensi itu, sehingga
teknologi yang diluar batas kemampuan manusia dapat ditransformasikan
menjadi teknologi yang dapat diterima manusia. Dari sini, dapat diketahui
bahwa dalam islam ilmu pengetahuan dan teknologi digunakan sebagai sarana
untuk mengenal Allah dan melaksanakan perintah Allah sebagai khalifah di
muka bumi.
Dalam pedoman umat muslim yaitu Al – Qur’an juga ditegaskan tentang
kemaha kuasaan Allah SWT, dan merujuk pada keberagaman gejala alam.
Aspek terpenting dari pemikiran ini adalah bahwa Al – Qur’an berisi informasi
tentang fatwa – fatwa ilmiah yang amat sesuai dengan penemuan manusia di
muka bumi ini.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Ilmu dan Teknologi dalam Islam ?
2. Apa yang dimaksud dengan Epistemologi dan Sumber Ilmu dalam Islam ?
3. Apa saja yang termasuk dalam klasifikasi Ilmu Fardhu ‘Ain dan Kifayah ?
4. Apa saja pentingnya Integrasi Ilmu, Sains dan Teknologi ?
5. Apa saja perkembangan Sains dan Teknologi dalam Islam ?
6. Apa saja kontribusi Umat Islam terhadap Ilmu Pengetahuan ?

C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian Ilmu dan Teknolgi dalam Islam.
2. Mengetahui pengertian Epistemologi dan Sumber Ilmu dalam Islam.
3. Mengetahui klasifikasi Ilmu Fardhu ‘Ain dan Kifayah.
4. Mengetahui pentingnya Integrasi Ilmu, Sains dan Teknologi.
5. Mengetahui perkembangan Sains dan Teknologi dalam Islam.
6. Mengetahui kontribusi Umat Islam terhadap Ilmu Pengetahuan.

2
BAB II
Kajian Pustaka

A. Pengertian Ilmu dan Teknologi dalam Islam


Ilmu pengetahuan dan teknologi mengalami perubahan yang sangat
cepat. Agama sebagai tonggak pengetahuan terkadang sedikit berjalan
melambat karena sifatnya yang statis. Ilmu pengetahuan dan teknologi berjalan
secara terus menerus secara dinamis dan menuju teknologi terbaru hasil
pengetahuan yang ada.
Sebagian besar perkembangan iptek saat ini, jauh dari sisi agama, moral,
dan etika lingkungan. Oleh karena itu, agama berperan sangat penting untuk
menjaga iptek tetap dalam jalur dan koridor yang seharusnya tidak
bertentangan dengan nilai-nilai Al-Quran. Sebagai insan manusia yang
beragama muslim, kita ditugaskan untuk selalu update ilmu pengetahuan agar
tidak tertinggal dengan bangsa lain yang ada di dunia.
Secara etimologi, Ilmu merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab
‫علم‬, masdar dari ‫عـل َِم – يَـ ْعـلَم‬
َ yang berarti tahu atau mengetahui. Dalam bahasa
Inggris Ilmu biasanya dipadankan dengan kata science yang merupakan proses
mental ata proses psikologis yang diketahui, sedangkan pengetahuan disebut
dengan knowledge.
Dalam bahasa Indonesia kata science umumnya diartikan Ilmu tapi sering
juga diartikan dengan Ilmu Pengetahuan, meskipun secara konseptual mengacu
pada makna yang sama. Ilmu adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang
disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk
menerangkan gejala tertentu di bidang pengetahuan (KBBI).
Dalam bahasa inggris ilmu pengetahuan dapat dijelaskan:
• Science is knowledge arranged in a system, especially obtained by
observation and testing of fact (And English reader’s dictionary)
• Science is a systematized knowledge obtained by study, observation,
experiment” (Webster’s super New School and Office Dictionary)
Pengertian di atas nampak bahwa ilmu memang mengandung arti
pengetahuan, tapi pengetahuan dengan ciri-ciri khusus yaitu yang tersusun

3
secara sistematis atau menurut Moh Hatta (1954 : 5) “Pengetahuan yang
didapat dengan jalan keterangan disebut Ilmu”.
Secara terminologi, ilmu pengetahuan adalah usaha-usaha sadar untuk
menyelidiki, menemukan dan meningkatkan pemahaman manusia dari
berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Segi-segi ini dibatasi agar
dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan
membatasi lingkup pandangannya dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari
keterbatasannya.
Berdasarkan sudut pandang filsafat, ilmu dan pengetahuan memiliki arti
yang berbeda. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang dimiliki manusia
melalui panca indra dengan berpikir manusia menemukan pengetahuan.
Terdapat empat jenis pengetahuan manusia yaitu:
• Pikiran manusia, hal ini melahirkan paham rasionalisme yang berpendapat
bahwa satu-satumya sumber pengetahuan adalah rationya (akalnya)
• Pengalaman manusia, hal ini melahirkan paham empiris, yang dikenal
dengan teorinya “tabula rasa” yang maksudnya manusia seperti kertas putih
maka pengalaman lah yang akan memberikan warna kepadanya
• Intuisi manusia, pengetahuan yang diperoleh tanpa melalui proses penalaran
• Wahyu Allah, pengetahuan yang disampaikan oleh Allah melalui para nabi
utusan-Nya. Sedangkan ilmu merupakan buah pikiran manusia. Sebuah
pengetahuan yang telah disusun sehingga menghasilkan kebenaran yang
subjektif dan dapat diuji kebenarannya. Dalam Alquran ilmu digunakan
sebagai proses pencapaian pengetahuan sehingga memperoleh suatu
kejelasan.
Kata Teknologi berasal dari bahasa latin “texere” atau bahasa Inggris
technology yang berarti menyusun atau membangun. Teknologi adalah
keseluruhan sarana untuk menyediakan barang-barang yang diperlukan bagi
kelangsungan dan kenyamanan hidup manusia (KBBI).
Pengertian teknologi secara terminologi adalah cara melakukan sesuatu
untuk memenuhi kebutuhan manusia dengan bantuan alat, sehingga seakan-
akan memperpanjang, memperkuat dan membuat lebih ampuh anggota tubuh,
panca indera dan otak manusia.

4
Teknologi merupakan produk atau hasil dari ilmu pengetahuan.
Perbedaan antara teknologi dan pengetahuan terletak pada sudut pandang
budayanya, karena teknologi merupakan salah satu unsur budaya dan hasil dari
penerapan praktis dalam ilmu pengetahuan. Sebuah teknologi dapat berdampak
negatif pada kehidupan manusia dan lingkungan jika yang menggunakannya
kurang kondisional. Sedangkan, dampak positifnya berupa kemajuan dan
kesejahteraan bagi manusia.
Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah pasangan yang tidak terpisahkan
dalam kehidupan modern. Pasangan ini dihasilkan untuk mengetahui
mempermudah manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup dan melaksanakan
tanggung jawab manusia sebagai khalifah. Tuntutan untuk hidup modern
menjadi kebutuhan masyarakat untuk mensejahterakan hidupnya. Karena itu,
pemanfaatan iptek merupakan syarat untuk memenuhi kebutuhan hidup
modern yang sudah memasuki kehidupan manusia ini. Akan tetapi,
perkembangan iptek yang sudah menyebar dimasyarakat ini banyak melanggar
norma-norma sehingga merubah kebudayaan, norma-norma yang ada di
masyarakat, seperti norma agama, etika, dan lain-lain.
Dalam pandangan islam, ilmu pengtahuan dan teknologi sudah dijelaskan
dalam Al-Qur’an. Namun, al-Qur’an tidak dapat memberikan hasilnya, hanya
saja menjelaskan beberapa kuncinya dan selanjutnya manusialah yang bertugas
untuk mengolah pengetahuan tersebut agar dapat membuahkan hasil yang
dapat bermanfaat bagi kelangsungan dan kesejahteraan hidup manusia.

B. Epistemologi dan Sumber Ilmu dalam Islam


1. Pengertian Epistemologi
Epistemologi dari bahasa yunani episteme (pengetahuan) dan Logos
(ilmu) adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, karakter dan
jenis pengetahuan. Epistemologi atau teori pengetahuan yang berhubungan
dengan hakikat dari ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-
dasarnya serta pertanggungjawaban atas pertanyaan mengenai pengetahuan
yang dimiliki oleh setiap manusia. Pengetahuan tersebut diperoleh manusia
melalui akal dan panca indra dengan berbagai metode, diantaranya yaitu

5
metode induktif, metode deduktif, metode positivisme, metode kontemplatis
dan metode dialektis.
a. Menurut Para Ahli.
Pengertian Epistemologi atau teori pengetahuan ialah cabang
filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan,
pengandaian-pengandaian, dan dasar-dasarnya serta pertanggungjawaban
atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.
Secara linguistik kata “Epistemologi” berasal dari bahasa Yunani
yaitu kata “Episteme” dengan arti pengetahuan dan kata “Logos” berarti
teori, uraian, atau alasan. Epistemologi dapat diartikan sebagai teori
tentang pengetahuan yang dalam bahasa Inggris dipergunakan istilah
theory of know ledge. Istilah epistemologi secara etimologis diartikan
sebagai teori pengetahuan yang benar dan dalam bahasa Indonesia
disebut filsafat pengetahuan.
Secara terminologi, epistemologi adalah teori mengenai hakikat
ilmu pengetahuan atau ilmu filsafat tentang pengetahuan. Masalah utama
dari epistemologi adalah bagaimana cara memperoleh pengetahuan.
Sebenarnya seseorang baru dapat dikatakan berpengetahuan apabila telah
sanggup menjawab pertanyaan-pertanyaan epistemologi, artinya
pertanyaan epistemologi dapat menggambarkan manusia mencintai
pengetahuan. Hal ini menyebabkan eksistensi epistemologi sangat urgent
untuk menggambar manusia berpengetahuan yaitu dengan jalan
menjawab dan menyelesaikan masalah-masalah yang dipertanyakan
dalam epistemologi.
Makna pengetahuan dalam epistemologi adalah nilai tahu manusia
tentang sesuatu sehingga ia dapat membedakan antara satu ilmu dengan
ilmu yang lainnya.
Epistemologi menurut para ahli yaitu :
1) Abdul Munir Mulkan
Segala macam bentuk aktivitas dan pemikiran manusia yang
selalu mempertanyakan dari mana asal muasal ilmu pengetahuan itu
diperoleh.

6
2) Mujamil Qomar
Bagian ilmu filsafat yang secara khusus mempelajari dan
menentukan arah dan kodrat pengetahuan.
3) Anton Bakker
Cabang filsafat yang berurusan mengenai ruang lingkup serta
hakikat pengetahuan.
4) Achmad Charris Zubair
Suatu ilmu yang secara khusus mempelajari dan mempersoalkan
secara dalam mengenai apa itu pengetahuan, dari mana pengetahuan
itu diperoleh serta bagaimana cara memperolehnya.
5) Jujun S. Suria Sumantri
Arah berfikir manusia dalam menemukan dan memperoleh suatu
ilmu pengetahuan dengan menggunakan kemampuan rasio.
b. Objek dan Tujuan Epistemologi.
Kehidupan masyarakat sehari-hari, tidak jarang pemahaman objek
disamakan dengan tujuan, sehingga pengertiannya menjadi rancu bahkan
kabur. Jika diamati secara cermat, sebenarnya objek tidak sama dengan
tujuan. Objek sama dengan sasaran sedangkan tujuan hampir sama
dengan harapan. Meskipun berbeda, tetapi antara objek dan tujuan
memiliki hubungan yang berkesinambungan, sebab objeklah yang
mengantarkan tercapainya tujuan. Sebagai sub sistem filsafat,
epistemologi atau teori pengetahuan yang untuk pertama kali digagas
oleh Plato ini memiliki objek tertentu. Objek epistemologi ini menurut
Jujun S. Suria suamantri berupa “segenap proses yang terlibat dalam
usaha kita untuk memperoleh pengetahuan.” Proses untuk memperoleh
pengetahuan inilah yang mejadi sasaran teori pengetahuan dan sekaligus
berfungsi mengantarkan tercapainya tujuan, sebab sasaran itu merupakan
suatu tahap perantara yang harus dilalui dalam mewujudkan tujuan.
Tanpa suatu sasaran, mustahil tujuan bisa terealisir, sebaliknya tanpa
suatu tujuan, maka sasaran menjadi tidak terarah sama sekali.
Jacques Martain mengatakan, “tujuan epistemologi bukanlah hal
yang utama untuk menjawab pertanyaan, apakah saya dapat tahu, tetapi

7
untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan saya dapat tahu.”,
hal ini menunjukkan, bahwa tujuan epistemologi bukan untuk
memperoleh pengetahuan kendati pun keadaan ini tak bisa dihindari akan
tetapi yang menjadi pusat perhatian dari tujuan epistemologi adalah hal
lebih penting dari itu, yaitu ingin memiliki potensi untuk memperoleh
pengetahuan. Rumusan tujuan epistemologi tersebut memiliki makna
strategis dalam dinamika pengetuhuan. Rumusan tersebut menumbuhkan
kesadaran seseorang bahwa jangan sampai kita puas dengan sekedar
memperoleh pengetahuan, tanpa disertai dengan cara atau bekal untuk
memperoleh pengetahuan, sebab keadaan memperoleh pengetahuan
melambangkan sikap pasif, sedangkan cara memperoleh pengetahuan
melambangkan sikap dinamis.
c. Landasan Epistemologi.
Landasan epistemologi ilmu disebut metode ilmiah, yaitu cara yang
dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar. Metode ilmiah
merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu.
Jadi, ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat
metode ilmiah. Tidak semua pengetahuan disebut ilmiah, sebab ilmu
merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi
syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu
pengetahuan bisa disebut ilmu yakni tercantum dalam metode ilmiah.
2. Sumber-Sumber Ilmu Pengetahuan Menurut Islam
Islam mengajarkan bahwa Allah SWT merupakan sumber dan segala
sesuatu. Ilmu dan Kekuasaan-Nya meliputi bumi dan langit yang nyata
maupun gaib, dan tidak ada segala sesuatu pun yang luput dari
pengawasaan-Nya.

ْ ْ َ َّ ُ َ َ َ ُ َّ َ َ َ ‫َّ َ َ ُ ُ ُ ه ُ ه‬
‫ش ٍء ِعل ًما‬
‫ي‬ ‫ل‬ ‫ك‬ ‫ع‬ ‫س‬ِ ‫و‬ ۚ ‫و‬‫ه‬ ‫َل‬‫إ‬ ‫َٰه‬
ِ ِ َٰ ‫ل‬ ‫إ‬ ‫َل‬ ‫ي‬ ‫ذ‬
ِ ‫ال‬ ‫ِإنما ِإل ََٰٰهكم اَّلل‬
“Sesungguhnya Tuhanmu hanyalah Allah, yang tidak ada Tuhan selain Dia.
Pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu” (QS Thaha : 98)
َ َ ْ َ َ َّۗ َ ْ َ ْ َ َّ َ ‫َّلل هالذ ْي َخ َل َق َس ْب َع‬
ُ ٰ ‫َا‬
‫ض ِمثل ُه َّن َيت ز زَّن ُل اَل ْم ُر َب ْين ُه َّن‬
ِ ‫ر‬ْ ‫اَل‬ ‫ن‬‫م‬ ‫و‬
ِ ٍ‫ت‬ ‫و‬‫م‬ ‫س‬ ِ
ْ ْ َ ِّ ُ َ َ َ ْ َ َ ٰ َّ َ َّ ۙ ٌ ْ َ ْ َ ِّ ُ ‫َ ْ َ ُ ْْٓ َ َّ ٰ َ َ ى‬
‫ش ٍء ِعل ًما‬ ‫ش ٍء ق ِدير ە وان اَّلل قد احاط ِبكل ي‬ ‫ِلتعلموا ان اَّلل عٰل كل ي‬

8
“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi.
Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-
benar meliputi segala sesuatu” (QS At-Thalaq : 12)
Sumber ilmu primer dalam epistimologi Islam adalah wahyu yang
diterima oleh nabi yang berasal dari Allah SWT, sebagai sumber dari segala
sesuatu. Al-Wahyu atau wahyu merupakan masdar (infinitive) yang
memberikan dua pengertian dasar, yaitu tersembunyi dan cepat.
Pengertian Wahyu secara Etimologi meliputi:
• Ilham sebagai bawaan dasar manusia
• Ilham berupa naluri pada binatang
• Isyarat yang cepat menurut rumus dan kode
• Bisikan dan tipu daya setan untuk menjadikan yang buruk kelihatan
indah dalam diri manusia, serta
• Apa yang disampaikan Allah kepada para malaikatnya berupa suatu
perintah untuk dikerjakan.
Namun, makna wahyu sebagai istilah adalah “Kalam Allah yang
diturunkan kepada seorang nabi”. Definisi ini menggunakan pengetian
Maf’ul, yaitu al-muha yang berarti diwahyukan. Oleh karena itu, penjelasan
mengenai sumber ilmu dalam epistimologi Islam ditekankan kepada.
Pertama, Kalam Allah, berupa kitab suci Al-Qur’an. Kedua, Nabi atau
Rasulullah sebagai penerima wahyu, dalam hal ini merujuk kepada hadits,
yaitu segala sesuatu yang bersumber dari Rasulullah SAW, baik ucapan,
perbuatan, maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum atau
ketentuan-ketentuan Allah SWT. Yang disyariatkan kepada manusia.
Namun demikan, epistimologi Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan
Sunnah juga mengambil sumber ilmu lainnya, yaitu Akal (‘aql) dan hati
(qalb) serta indra-indra yang terdapat dalam diri manusia.
a. Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada
Rasulullah Muhammad SAW. Oleh karena itu Al-Qur’an menempati
urutan utama dalam hirarki sumber ilmu dalam epistimologi Islam. Al-

9
Qur’an sebagai sumber ilmu di jelaskan melalui ayat-ayat yang
menyatakan bahwa Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi manusia dan
alam semesta yaitu dalam surat At-Takwir Ayat 27, Al Furqon ayat 1,
dan Al Baqorah ayat 185. Al-Qur’an juga merupakan Dustur Universal
yang menjelaskan segala sesuatu karena dia di sifati dzat yang
menurunkannya, yaitu Rabb Semesta Alam.
ۙ َ‫ْ ُ َ َّ ْ ٌ ِّ ْ َ ْ ز‬
‫ي‬ ‫ِان هو ِاَل ِذكر للعل ِم‬
“Al Quran itu tiada lain hanyalah peringatan bagi semesta alam” (QS
At-Takwir : 27 )
ۙ َ َ‫َ ُ ْ َ ْ َ ْ ز‬ ‫ُْ َ َ ى‬ َ ‫َ َ ه‬
‫ي ن ِذ ْي ًرا‬‫ت ٰ َنك ال ِذ ْي ن َّز َل الف ْرقان َعٰل َع ْب ِد ٖە ِليكون ِللعل ِم‬
“Maha suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran)
kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada
seluruh alam” (QS Al-Furqon : 1)
Al-Qur’an Menurut definisi mayoritas ulama’ adalah Kalam atau
Firman Allah SWT yang di turunkan kepada nabi Muhammad SAW
yang pembacaannya merupakan suatu Ibadah. Al-Qur’an memiliki
berbagai keistimewaan yang tidak dimiliki kitab-kitab yang terdahulu,
karena kitab-kitab terdahulu hanya diperuntukkan bagi satu zaman
tertentu. Dengan keistimewaan tersebut, Al-Qur’an mampu memecahkan
problem kemanusiaan dalam berbagai segi kehidupan, yaitu rohani dan
jasmani, masalah sosial serta ekonomi. Seluruh ilmu didunia ini berasal
dari Allah SWT, yang kekuasaannya meliputi bumi dan langit. Allah
SWT mengajarkan kepada manusia apa-apa yang tidak diketahuinya
sebagaimana disebutkan dalam surah Ar-Rahman ayat 1-4 bahwa Allah
SWT telah mengajarkan kepada manusia Al-Qur’an. Ia juga mengajarkan
kepada manusia apa-apa yang belum diketahuinya. Jika disebut nama Al-
Qur’an, ia mengandung beberapa hakikat, seperti kalamullah, mu’jizat,
diturunkan kepada hati Nabi, disampaikan secara Muttawatir, dan
membacanya adalah ibadah. Yusuf Qaradhawi menyatakan, lafadz dan
makna Al-Qur’an bersumber dari Ilahi yang diwahyukan kepada
Rasulullah, Muhammad SAW, melalui wahyu yang jelas dan dibawa

10
turun oleh seorang utusan dari jenis malaikat, yaitu Jibril, kepada seorang
utusan dari jenis manusia. Al-Qur’an merupakan Ruh rabbani yang
dengannya akal dan hati menjadi hidup, sebagaimana ia merupakan
dustur Ilahi yang mengatur kehidupan individu dan masyarakat. Selain
sebagai sumber ilmu yang utama dalam epistimologi Islam, Al-Qur’an
juga menunjukkan kepada sumber Ilmu lainnya berupa kajian dan
orientasi penting yang dapat melengkapi kebenaran ilmu wahyu. Sumber-
sumber ilmu itu menurut Muhammad Iqbal adalah fenomena alam,
psikologi manusia, dan sejarah yang pada dasarnya diambil dari sumber
yang sama, yaitu Allah SWT. Namun karena ilmu yang tidak
diwahyukan tidak diberikan langsung kepada manusia serta mudah
dibantah karena keterbatasan metodologis maupun aksiologisnya, maka
sumber ilmu tersebut kedudukannya lebih rendah dibandingkan dengan
ilmu wahyu.
Menurut Muhammad Al-ghazali, pada dasarnya Al-Qur’an
memberikan kepada umat Islam wawasan yang luas dan metode
pemikiran yang jelas yang dapat digunakan oleh setiap generasi serta
ilmu yang dibarengi dengan iman, yang sama sekali tidak ada
pertentangan diantara keduanya. Al-Qur’an seharusnya tidak hanya
difokuskan sebagai sumber ilmu fiqih saja, namun ayat yang
memerintahkan untuk mengkaji, melihat, dan menganalisis, harus
dijadikan basis untuk berkembangnya ilmu-ilmu kemanusiaan yang
sebenarnya banyak disinggung oleh Al-Qur’an. Seperti yang
dikemukakan diatas bahwa salah satu pembuktian tentang kebenaran Al-
Qur’an adalah ilmu pengetahuan dari berbagai disiplin yang
diiisyaratkan. Memang terbukti, bahwa sekian banyak ayat Al-Qur’an
yang berbicara tentang hakikat-hakikat ilmiah yang tidak dikenal pada
masa turunnya, namun terbukti kebenarannya ditengah-tengah
perkembangan ilmu, seperti:
• Teori tentang expanding universe (kosmos yang mengembang) (QS
51 : 47)

11
• Matahari adalah planet yang bercahaya, sedangkan bulan adalah
pantulan dari cahaya matahari (QS 10 : 5)
• Pergerakan bumi mengelilingi matahari, gerakan lapisan-lapisan yang
berasal dari perut bumi, serta bergeraknya gunung sama dengan
pergerakan awan (QS 27 : 88)
• Zat hijau daun (klorofil) yang berperanan dalam mengubah tenaga
radiasi matahari menjadi tenaga kimia melalui fotosintesis sehingga
menghasilkan energi (QS 36 : 80)
• Bahkan istilah Al-Qur’an, al-syajar al-akhdar (pohon yang hijau)
justru lebih tepat dari istilah klorofil (hijau daun), karena zat-zat
tersebut bukan hanya terdapat dalam daun saja, tapi disemua bagian
pohon, dahan, dan ranting yang warnanya hijau.
• Bahwa manusia diciptakan dari sebagian kecil sperma pria dan setelah
fertilisasi (pembuahan) berdempet di dinding rahim (QS 86 : 6 & 7 ;
96 : 2)
Bukti lain dari kebenaran Al-Qur’an sebagai sumber ilmu
pengetahuan yaitu pada zaman dahulu orang memandang bintang-bintang
itu hanyalah sebagai sesuatu yang sangat kecil dan bercahaya yang
bertaburan diangkasa. Namun setelah ditemukannya teleskop dan ilmu
pengetahuan juga semakin berkembang, orang akhirnya mengetahui
bahwa bintang-bintang merupakan bagian dari suatu gugusan yang
dinamakan galaksi yang dialam ini jumlahnya lebih dari 100 milyar.
Sedangkan masing-masing bintang ini terdiri dari planet-planet yang
masing-masing peredarannya diatur sedemikian rupa sehingga tidak
saling bertabrakan satu sama lain. Sehingga orang berdasar ilmu
pengetahuan yang dimilikinya mengakui bahwa alam semesta ini maha
luas. Sebenarnya Allah telah menegaskan hal ini dalam Al-Qur’an yang
diturunkan jauh sebelum ditemukannya teleskop. Oleh karena itu Allah
menyuruh umatnya untuk selalu memperhatikan dan meyakini Al-Qur’an
secara ilmiah. Sebagai contoh, didalam ilmu fisika kita mengenal adanya
hukum kesetaraan masa dan energi, sedangkan massa adalah merupakan
besaran pokok dalam arti besaran yang ada dengan sendirinya, sedangkan

12
massa tidak dapat menciptakan dirinya sendiri, lalu siapakah
penciptanya? Maka kalau kita kembalikan kepada ajaran tauhid tentu kita
akan menjawab bahwa Allah-lah penciptanya. Allah menciptakan langit
dan bumi dalam enam massa, dalam surah Qaf ayat 38) Allah telah
berfirman:
َ ٍۖ َ َّ ْ ‫َ ْ َ ْ َ َ َ َ ْ َ ُ َ ز‬ َّ َ ْ َ َ ْ َ َ َ
‫ف ِست ِة ا َّي ٍام َّو َما َم َّسنا‬ِ‫ولقد خلقنا السمو ِت واَلرض وما بينهما ي‬
ُ ُّ
‫ِم ْن لغ ْو ٍب‬
Dan Sesungguhnya telah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang
ada antara keduanya dalam enam masa, dan Kami sedikitpun tidak
ditimpa keletihan (QS Qaf : 38)
Karena ilmu pengetahuan itu bersumber pada Allah SWT dan pada
ayat diatas telah disebutkan bahwa Allah menciptakan langit dan bumi
berikut segala isinya dalam enam massa. Demikianlah seterusnya,
sehingga amat tepatlah kesimpulan yang dikemukakan oleh Dr. Maurice
Bucaille dalam bukunya Al-Qur’an, Bible, dan Sains Modern, bahwa
tidak satu ayatpun dalm al-Qur’an yang bertentangan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan. Dari sini ungkapan “agama dimulai
dari sikap percaya dan iman”, oleh al-Quran, tidak diterima secara penuh.
Bukan saja karena ia selalu menganjurkan untuk berfikir, bukan pula
hanya disebabkan ada dari ajaran-ajaran agama yang tidak dapat diyakini
kecuali dengan pembuktian logika atau bukan pula disebabkan oleh
keyakinan seseorang yang berdasarkan “taqlid” tidak luput dari
kekurangan, tapi juga karena Al-Qur’an memberi kesempatan kepada
siapa saja secara sendirian atau bersama-sama dan kapan saja, untuk
membuktikan kekeliruan Al-Qur’an dengan menandinginya walaupun
hanya semisal satu surah sekalipun (QS 2:23).
b. Hadits
Allah SWT menyatakan bahwa Rasulullah SAW merupakan
sumber ilmu yang akan mengajarkan kitab serta hikmah. Al-Qur’an dan
hadits adalah pedoman hidup, sumber hukum, ilmu, dan ajaran Islam,
serta merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama

13
lain. Al-Qur’an merupakan sumber primer yang banyak memuat pokok-
pokok ajaran Islam sedangkan hadits merupakan penjelas (bayan) bagi
keumuman isi Al-Qur’an. Seorang muslim tidak mungkin memahami
syariat Islam secara mendalam dan lengkap tanpa kehadiran Al-Qur’an
dan hadits, bahkan seorang mujtahid atau orang berilmu sekalipun tidak
diperbolehkan hanya mencukupkan diri menggunakan salah satu diantara
keduanya. Umat Islam diwajibkan mengikuti hadits sebagaimana
diwajibkan atas mereka untuk mengikuti Al-Qur’an. Jika tidak, mereka
akan di kategorikan sebagai golongan “ingkar hadits” dan diancam
dengan neraka. Sunnah merupakan sumber bagi da’wah dan bimbingan
bagi seorang muslim, sunnah juga merupakan sumber ilmu pengetahuan
keagamaan, kemanusiaan, dan sosial yang dibutuhkan umat manusia
untuk meluruskan jalan mereka, membetulkan kesalahan mereka ataupun
melengkapi pengetahuan eksperimental mereka. Seperti al-Quran, sunnah
juga mengandung informasi tentang beberapa hakikat yang berkaitan
dengan masalah-masalah ghaib. Sunnah juga memuat informasi tentang
kejadian-kejadian masa lalu, tentang awal penciptaan tentang rasul-rasul
dan nabi-nabi yang tidak mampu diliput oleh historiografi konvensional
dan perangkatnya. Informasi-informasi masa lalu tersebut tidak diketahui
kecuali dengan melalui wahyu. Sunnah juga mengandung informasi-
informasi tentang berbagai peristiwa yang berkaitan dengan masa depan.
Demikian juga mengenai hal-hal yang akan terjadi setelah hari kiamat.
Sebagai sumber ilmu pengetahuan kedua, hadis atau sunnah telah
menjadi faktor pendukung utama kemajuan ilmu pendidikan. Banyak
hadis yang berbicara tentang ilmu terutama ilmu pengetahuan. Landasan
hadis sebagai sumber ilmu adalah QS An-Najm ayat 3-4 yang artinya
“tiadalah yang diiucapkannya itu menurut kemauan dan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”
Cara mempelajari atau mengetahui sumber suatu ilmu pengetahuan
diantaranya:

14
1) Semangat Membaca Alam Sebagai Ayatullah Pertama
Satu hal yang menarik ialah bahwa Al-Qur’an sangat
menggalakkan manusia memperhatikan bahkan meneliti alam dan
menemukan ayat-ayat Allah yang mengatur fenomena itu. Ibnu Rusy,
sarjana muslim yang terkenal pernah mengatakan, bahwa alam raya
ini adalah kitab Allah yang pertama, sebelum kitab-kitab Allah yang
lain yang berbentuk wahyu Nya. Gejala alam telah berbicara kepada
mereka yang mau mengerti akan ayat-ayat Allah yang telah dipatuhi
alam itu. Didalam praktek, sunnatullah yang diketemukan para Saintis
itu selalu melalui beberapa percobaan atau eksperimen.
2) Pendekatan Hadist
• Hilir ke Hulu
Pendekatan hulu berangkat dari penemuan IPTEK menuju
Sunnah yang bertujuan untuk menemukan hadist yang mungkin
menjadi sumber temuan tersebut. Contohnya yaitu teori tentang
Geosentris dan Heliosentris, setelah dicocokkan dengan al-Hadist
ternyata terbukti bahwa pusat tatasurya adalah matahari bukan
bumi.
• Hulu ke Hilir
Hadis ke iptek contohnya tentang melihat bulan pada saat
akan mulai puasa ramadlan, sebagaimana hadist nabi “mulailah
berpuasa setelah merukyat hilal dan beridul fitrilah setelah
merukyatnya, jika langit tertutup awan lakukanlah pengkadaran”
(H.R Bukhori Muslim). Diilhami oleh hadis tersebut dan
dimotivasi oleh perbedaan dan kontroversi penentual awal dan
akhir ramadlan, maka ICMI Orsat Kawasan Puspitek dan
sekitarnya bekerja sama dengan Orsat Pasar Jumat dan sekitarnya
menemukan teleskop rukyat. Sistem ini menggunakan teknologi
mutakhir dari teleskop, filter substraksi, pengolahan citra,
perekaman video, computer dan telekomunikasi. Dengan
menggunakan penemuan ini, maka pelaksanaan rukyatul hilal dapat
dipermudah dan citranya dapat direkam, konferensi jarak jauh serta

15
dipancar luaskan dalam siaran langsung televisi melalui satelit
komunikasi.
Contoh-contoh bukti Sunnah sebagai sumber pengetahuan
1) Gerhana Matahari dan Bulan
Nabi SAW bersabda:
َ َ َ َ ْ َ ‫ْ َ َ ه‬ َ َ َ َ ْ َ َ ْ َّ َ َّ
‫َّلل َل َينك ِسف ِان ِل َم ْو ِت أ َح ٍد َوَل‬ِ ‫ات ا‬ ِ ‫س والقم َر آيت ِان ِمن آي‬ ‫ِإن الشم‬
ُ ُ ََُْ َ َ
َ ‫ َف ْاد ُعوا َا ه‬,‫وه َما‬
َ ‫ َح ََّّت َت ْن َكش‬,‫َّلل َو َص ُّلوا‬
‫ف‬ ِ ‫ ف ِإذا رأيتم‬,‫ِل َح َي ِات ِه‬
“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara
tanda-tanda kebesaran Allah. Keduanya tidak mengalami gerhana
karena kematian seseorang dan tidak pula karena hidupnya
seseorang. Maka jika kalian melihatnya bersegeralah berdoa kepada
Allah dan shalat sehingga kembali terang.”(Muttafaq 'alaih).
Hadist ini diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhori dalam Shahihnya
(Kitab Al-Kusuf) dari Abu Mas’ud. Hadist ini menunjukkan bahwa
gerhana matahari dan bulan adalah dua fenomena alam yang akan
terjadi tanpa memandang momentum kematian maupun kelahiran
orang sebagaimana yang dipercayai sementara kalangan di Jazirah
Arab dan negara-negara lain didunia yang suka menghubung-
hubungkan fenomena alam ini dengan kelahiran atau kematian
seorang tokoh. Dalam hadist Nabi SAW ini datang untuk menghapus
khurafat-khurafat tersebut secara total dan menegakan siklus
terjadinya fenomena alam tersebut. Pada saaat terjadi gerhana
matahari jumlah energi matahari yang sampai kepada kita berkurang,
sehingga suhu panas bumi pun menurun. Sebaliknya, ketika terjadi
gerhana bulan jumlah energi matahari yang sampai kepada kita
meningkat dan secara bersamaan naiklah suhu panas bumi dalam
beberapa menit. Dalam kedua situasi, bumi jelas menghadapi bahaya
yang hanya diketahui oleh Allah SWT. Dari sinilah, Nabi SAW
menyuruh kita untuk memperbanyak dzikir, tahmid, takbir,
mengagungkan Allah, berlindung dengan shalat, dan bersegera
mengeluarkan sedekah, dengan harapan semoga Allah menghilangkan

16
bahaya itu dari bumi dan orang-orang yang menghuninya. Sebab
kedua peristiwa ini mengandung bahaya dan rahasia yang hanya
diketahui oleh Allah SWT. Kita tentu terheran-heran dengan
pengetahuan profetik Nabi SAW yang sangat mendalam dan beliau
lontarkan pada seribu empat ratus tahun silam. Dimana umat manusia
kala itu masih tenggelam dalam beragam khurafat dan mitos, dan
tidak ada seorang pun yang mengetahui fakta alam yang baru
diketahui secara persis oleh ilmu manusia pada dekade belakangan.
Jadi, satu hadist ini saja sebenarnya sudah cukup menjadi bukti yang
menegaskan kebenaran kenabian Nabi SAW dan rasul terakhir ini
yang senantiasa tersambung dengan wahyu dan diajari oleh Sang
Maha Pencipta langit dan bumi.
2) 360 Sendi dalam Tubuh
Nabi SAW bersabda:
“Sesungguhnya setiap manusia dari kalangan anak Adam diciptakan
dengan 360 sendi. Barangsiapa yang bertakbir memahabesarkan
Allah, bertahmid memuji Allah, bertasbih menyucikan Allah, dan
beristighfar memohon ampunan kepada Allah, menyingkirkan batu
dari jalanan, atau (menyingkirkan) duri atau tulang dari tengah
jalanan, memerintahkan kebaikan, dan mencegah kemungkaran,
sejumlah 360 sendi tersebut, maka hari itu ia telah berjalan sambil
menjauhkan dirinya dari neraka.” (Shahih Muslim : 1007,2/698).
Tampak jelas dalam hadist Nabi SAW diatas, bahwa yang
dimaksud dengan kata As-sulama adalah persendian memungkinkan
tulang-tulang untuk bergerak bebas. Hadist diatas menyiratkan bahwa
setiap muslim wajib memanjatkan syukur kepada Allah atas karunia-
Nya yang telah diberikan kepadanya berupa kerangka (skeleton) yang
tegak lurus. Hal yang mencengangkan (magnifience) dalam hadist ini
adalah kemampuan Nabi SAW untuk menyebutkan jumlah sendi
tubuh manusia dengan tepat (360 sendi) pada masa ketika tidak
mungkin seseorang pun menguasai ilmu yang paling mudah untuk
menerangkan tubuh manusia atau pengetahuan yang paling gampang

17
(terendah/dasar) tentang jumlah tulang dalam kerangka manusia, juga
jumlah sendi-sendi didalamnya. Hadist ini diucapkan 1.400 tahun
yang lalu dalam lingkungan yang tidak memahami ilmu pengetahuan,
penelitian, dan kodifikasi.
Hadist ini dilontarkan pada awal abad ke 7, sementara kita
sekarang ini berada di awal abad 21, dan masih banyak bahkan
sebagian besar manusia modern tidak mengetahui jumlah sendi
didalam tubuh manusia. Sejumlah besar profesor ahli kedokteran dan
bedah tulang pada awal abad ke 21 pun tidak mengetahui secara pasti
jumlah tulang maupun sendi didalam tubuh manusia. Kami telah
mencoba mengkonfirmasikan hal ini kepada sebagian besar profesor
ahli ini, namun jawaban mereka berkisar antara 200-300 tulang dan
antara 100-300 sendi. Namun, Dr. Hamid Ahmad Hamid
menyebutkan dalam bukunya yang berjudul Rihlah Al-Iman fi Jism
Al-Insan bahwa jumlah sendi dalam tubuh manusia sekitar 360 sendi
sebagaimana yang diterapkan Rasulullah SAW 1.400 tahun yang lalu.
Kerangka manusia terdiri dari kumpulan tulang yang menyangga
tubuhnya, dan memberikan bentuk, sekaligus melindungi alat-alat dan
bagian-bagiannya yang lunak dan sensitif, juga menyediakan
permukaan yang kokoh yang menjadi landasan urat. Tanpa persendian
yang disiapkan Allah agar sebagian besar tulang rangka manusia yang
keras dapat bergerak, tentu manusia akan menderita banyak kesakitan,
dan menghadapi berbagai macam persoalan dan beragam kesulitan.
Dari sinilah Rasulullah SAW berwasiat kepada manusia untuk
bersyukur kepada Allah setiap hari sesuai dengan (bersedekah)
minimal sejumlah sendi ditubuhnya jika memang tidak dapat
melakukan yang lebih banyak lagi. Ketika manusia melakukan dzikir,
syukur dan sedekah maka sesungguhnya dia tidak akan mampu
memenuhi syukur kepada Allah walau untuk satu sendi dari 360 sendi
yang telah diciptakan Allah didalam tubuhnya. Pertanyaannya
siapakah selain Allah yang mungkin mengajarkan kepada Nabi
Muhammad SAW bahwa setiap manusia diciptakan dengan 360

18
sendi? Siapakah yang mendorong Nabi SAW untuk menyelami hal-
hal ghaib seperti ini? Jikalau Allah tidak menguatkan ilmu ini dengan
ilmu dari sisi-Nya yang telah mendahului semua ilmu manusia, maka
akan berhentilah ilmu yang diturunkan dan di ilhamkan-Nya didalam
kitab-Nya kepada Nabi Muhammad SAW. Penyebutan masalah ini
didalam Hadist shahih yang di nisbatkan kepada Nabi SAW
sebagaimana hadist yang kaji sekarang ini merupakan bukti tersendiri
atas kenabian dan kerasulan hingga hari kiamat.
c. Akal dan Kalbu
Sumber Ilmu selain wahyu dalam epistimologi Islam adalah Akal
(‘aql) dan Kalbu (Qalb). ‘aql sebagai mashdar tidak disebutkan dalam Al
Qur’an. Tetapi sebagai kata kerja ‘aqala dengan segala akar katanya
terdapat dalam Al Qur’an sebanyak 49 kali. Semuanya menunjukan
unsur pemikiran pada manusia. Sedangkan kata qalb atau kalbu dalam Al
Qur’an digunakan sebanyak 144 kali, Penggunaan Qalb selalu merujuk
pada hal-hal yang berkaitan dengan emosi dan akal pada manusia. Ia
memiliki arti lebih khusus dari nafs sebagai penggerak naluri atau
biologis, yaitu hanya terbatas pada bagian yang disadari. Secara
etimologi, kata ‘aql dalam bahasa Arab berasal dari kata kerja
aqalaya’qilu-aqlan, Kamus-kamus Arab memberikan arti ’aql (secara
harfiah) dengan pengertian al-imsak menahan, al-ribath ‘ikatan’, al-hijr
‘menahan’, al-nahy ‘melarang’ dan man’u’ mencegah. Orang yang
berakal (al-‘aqli) adalah orang yang mengekang dirinya dan menolak
keinginan hawa nafsunya. Merujuk pada kamus Besar Bahasa Indonesia,
akal mempunyai beberapa pengertian yang berbeda, yaitu:
• Daya Pikir (Untuk Mengerti dan Sebagainya)
• Daya, Upaya, Cara Melakukan sesuatu
• Tipu Daya, Muslihat, dan Kemampuan melihat cara-cara memahami
lingkungan
Sedangkan Kalbu dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi
hati. Namun demikian, hati selain memiliki arti biologis (liver), juga
memiliki pengertian sebagai sesuatu yang ada di dalam tubuh manusia

19
yang dianggap sebagai sesuatu yang ada di dalam tubuh manusia yang
dianggap sebagai tempat segala perasaan batin dan tempat menyimpan
pengertian-pengertian (perasaan-perasaan). Dari pengertian etimologi
tersebut maka ‘aql dan qalb disimpulkan memiliki fungsi kognisi dan
afeksi karena keduanya mampu melakukan aktivitas berpikir sekaligus
merasa. Secara khusus, bahasa Arab mengaitkan akal dengan
kemampuan seseorang untuk mengekang hawa nafsunya, sedangkan
dalam bahasa Indonesia, kita menjumpai pengertian akal secara negatif,
yaitu ketika dipergunakan untuk memperdaya orang. Qalb menurut Al-
Ghazali yang akan menyerap ilmu tentang Allah SWT, yang akan diberi
ganjaran atau pahala diakhirat serta tempat terdapatnya ilmu
mukassyafah atau ilmu spritual. Menurut Al-Ghazali, ‘aql dan qalb
merupakan entitas yang sama dan berkedudukan di hati. Qalb diibaratkan
sebagai istananya, sedangkan ‘aql adalah rajanya.
d. Indra
Al Qur’an mengajak manusia untuk menggunakan indra dan akal
sekaligus dalam pengalaman manusia, baik yang bersifat fisik maupun
metafisik karena indra dan akal saling menyempurnakan. Ali Abdul
Azhim berpendapat bahwa kedua sumber ilmu tersebut tidak terpisah dan
berdiri sendiri-sendiri sebagaimana pemahaman mazhab empirisme dan
rasionalisme. Allah SWT selalu menyeru manusia untuk menggunakan
nikmat indra dan akal secara simultan. Orang orang yang mengabaikan
indra dan kalbu, maka tersesat dan jauh dari kebenaran. Indra yang
dianugerahkan Allah SWT kepada manusia akan dimintai
pertanggungjawabannya kelak di akhirat. Oleh karena itu manusia harus
berupaya memelihara indra mereka dan menggunakannya hanya untuk
hal hal yang bermanfaat bagi diri dan agama.
َ ٰۤ‫ْ ٌ َّ َّ ْ َ َ ْ َ َ َ ْ ُ َ َ ُ ُ ى‬ َ َ َ َْ َ ُ َْ ََ
‫َص َوالفؤاد ك ُّل اول ِٕىك‬ ‫س لك ِب ٖه ِعلم َِّۗان السمع والب‬ ‫وَل تقف ما لي‬
ً ُْ َ َ
‫كان َعنه َم ْس ُٔـ ْوَل‬
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan

20
hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya” (QS Al-Isra :
36 )
Dari ayat-ayat tersebut, tampak jelas bahwa Al-Qur’an telah
menempatkan tanggung jawab atas indra dalam kaitannya sebagai
sumber ilmu. Begitu juga dengan hati (fuad) yang sama-sama dimintai
pertanggungjawabannya karena keduanya tidak dapat dipisahkan satu
dengan lainnya dan merupakan satu kesatuan dalam menerima ilmu.
Pancaindra lebih menguasai manusia menurut Al-Ghazali merupakan hal
bersifat fitrah. Menurut Al-Ghazali, Panca indra merupakan sarana
penangkap pertama yang muncul dari dalam diri manusia, disusul dengan
daya khayal yang menyusun aneka bentuk susunan, dari patrikular-
patrikular yang ditangkap indra, kemudian tamyiz (daya pembeda) yang
menangkap sesuatu diatas alam empiric sensual disekitar usia tujuh
tahun, kemudian disusul oleh akal yang menangkap hukum-hukum akal
yang tidak terdapat pada fase sebelumnya. Pancaindra diibaratkan
sebagai tentara kalbu yang disebarkan ke dunia fisis-sensual, dan
berpotensi di wilayahnya masing-masing dan laporannya berguna bagi
akal. Yang paling dominan diantara pancaindra menurut Al-Ghazali
adalah Indra penglihatan.

C. Klasifikasi Ilmu Fardhu ‘Ain dan Kifayah


Al-Ghazali membagi ilmu ke dalam dua kelompok, yakni ilmu fardhu
‘ain dan ilmu fardhu kifayah. Ilmu fardu ‘ain adalah ilmu yang diwajibkan atas
tiap-tiap individu sedangkan ilmu fardhu kifayah adalah ilmu yang diwajibkan
kepada umat Islam secara kolektif. Jadi fardhu ‘ain adalah kewajiban individu
per individu sedangkan fardhu kifayah adalah kewajiban umat Islam secara
keseluruhan. Implikasi dosa jika ilmu fardhu ‘ain tidak dilaksanakan adalah
ditanggung individu, sementara implikasi dosa jika ilmu fardhu kifayah tidak
dilaksanakan ditanggung bersama-sama anggota mayarakat.

21
1. Ilmu Fardhu ‘Ain
Ilmu fardu ‘ain sebagaimana disampaikan oleh Ulama Salaf, ilmu yang
bersifat fardhu untuk dipelajari oleh setiap muslim adalah ilmu yang mau
tidak mau harus dipelajari oleh umat Islam. Ilmu fardhu ‘ain wajib bagi
semua manusia, baik bagi masyarakat awam atau para ulama.
a. Dimensi Pertama Ilmu Fardhu ‘ain
Dimensi pertama llmu fardhu ‘ain adalah ilmu tetang aqidah yaitu,
ilmu yang membenarkan segala sesuatu yang benar, yang disampaikan
Allah kepada Rasulullah dengan i‘tiqad yang kuat tanpa keraguan.
Dimensi pertama ilmu fardhu ‘ain ini juga disebut dengan ilmu tauhid,
karena ruang lingkupnya adalah berupa m a’rifatullah.
Tingkat kedalaman ilmu yang wajib dipalajari oleh seoang muslim
yang satu dengan muslim yang lain berbeda-beda sesuai dengan keadaan
masing-masing. Ada orang-orang sampai membutuhkan argumen-
argumen rasonal-logis-filosofis untuk sampai kepada sebuah keyakinan
yang kuat. Namun ada pula orang-orang yang hanya cukup medapatkan
penjelasan dengan menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadist-hadist
Rasulullah untuk sampai kepada sebuah keyakinan yang kuat. Demikian
pula karena buah daripada iman adalah akhlakul karimah, maka ilmu
fardhu ‘ain ini mencakup hal-hal yang bersifat lahiriyah dan ruhaniah
sekaligus.
b. Dimensi kedua Ilmu Fardhu ‘ain
Dimensi kedua ilmu fardhu ‘ain adalah berhubungan dengan hal-
hal yang wajib dilaksanakan oleh seorang mukallaf. Terkait dengan hal
ini berlaku beberapa ketentuan berikut ini:
1) Ketentuan Pertama, bahwa kewajiban seorang mukallaf mengalami
perkembangann sesuai dengan bertambahnya usia, sehingga
kewajiban mempelajari ilmu fardhu ‘ain tentang ha-hal yang wajib
dilaksanakan bersifat dinamis. Ilmu-ilmu fardhu ‘ain amal apa saja
yang harus dipelajari seseorang berbeda-beda, karena perbedaan
keadaan, kedudukan, dan perbedaan kebutuhan hidup seeorang (Adi
Setia, 2007).

22
2) Ketentuan Kedua, untuk menentukan ilmu-ilmu fardhu ‘ain yang
behubungan dengan amal yang wajib dikerjakan adalah adanya
ketentuan “larangan bagi mukallaf untuk melakukan sesuatu sebelum
dia memahami ketentuan-ketentuan di dalam agama”. Misalnya,
seseeorang boleh melakukan praktik perdagangan jika yang
bersangkutan sudah memahami dengan benar hukum-hukum yang
berkaitan dengan mu’amalah dalam Islam. Seseorang boleh terjun ke
dunia perpolitikan jika sudah memahami hukum-hukum Islam yang
berhubungan dengan fiqih syiyasyah dan lain-lain. Jika ilmu fardhu
‘ain yang berhubungan dengan aqidah mutlak wajib untuk setiap
orang kapanpun dan dimanapun, maka ilmu fardhu ‘ain yang
berkenaan dengan amalan-amalan tertentu sebagaimana contoh di
atas, hanya diwajibkan kepada siapa-siapa yang hendak
melaksanakannya.
c. Dimensi ketiga Ilmu Fardhu ‘ain
Dimensi ketiga ilmu fardhu ‘ain adalah berhubungan dengan apa-
apa yang dilarang oleh Allah SWT untuk melaksanakannya. Dengan kata
lain adalah ilmu-ilmu tentang perkara-perkara yang diharamkan Allah
SWT. Dalam hal ini juga berlaku ketentuan dinamis sebagaimana ilmu
yang berkaitan dengan hal-hal yang wajib dilaksanakan. Artinya
kewajiban untuk mempelajari ilmu-ilmu tentang perkara yang wajib
ditinggalkan pun berkembang sesuai dengan keadaan seseorang.
Misalnya ada masalah yang wajib ditinggalkan oleh orang yang normal
berbeda dengan yang harus ditinggalkan oleh orang bisu dan tuli, dan
sebagainya.
Kewajiban untuk mempelajari hal-hal yang diharamkan juga
meliputi hal-hal yang bersifat jasmaniah dan ruhaniah sekaligus.
Takabur, kufur nikmat, tafakhur, riya, ghibah, tajassus, dan lain-lain
adalah beberapa contoh perbuatan yang wajib ditinggalkan yang harus
dipelajari secara mendalam sehingga umat Islam terjauh dari sifat-sifat
negatif tersebut.

23
2. Ilmu Fardhu Kifayah
Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa ilmu fardhu kifayah memiliki
dua kriteria. Kriteria pertama, yaitu ilmu-ilmu yang menjadi prasyarat bagi
tegaknya urusan agama, seperti ilmu tajwid, ilmu tafsir, ilmu hadist, ilmu
ushul fiqih, ilmu fiqih, dan sebagainya (Zaidi Ismal, 2007). Hal ini
merupakan pengejawantahan dari firman Allah di dalam Al-Qur’an, “Tidak
sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan juang). Mengapa
tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk
memperdalam ilmu agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga
dirinya.” (QS At-Taubah : 122).
Ilmu yang diwajibkan sebagai prasyarat khusus memiliki perbedaan
dengan wajib pada umumnya mukallaf. Misalnya adalah hal-hal yang terkait
dengan rukun iman dan hal-hal yang berkaitan dengan dasar dasar syari’at
Islam. Wajib untuk ilmu-ilmu prayarat berbeda antar orang yang satu
dengan yang lain bergantung pada konteks zaman, kebutuhan masing-
masing, tingkat kecerdasan dan lain-lain. Setiap muslim diwajibkan untuk
belajar ilmu-ilmu yang dibutuhkan oleh masyarakat. Mukallaf secara secara
umum diwajibkan untuk mengkaji ilmu syari’at berdasarkan pada tingkat
kebutuhan masyarakat guna memahami sumber ajaran Islam, tanpa harus
memasuki masalah masalah yang berat dan rumit (Zaidi Isma’il, 2007).
Masuk dalam kategori ilmu fardhu kifayah selanjutya adalah ilmu-
ilmu yang dewasa ini sering disebut sebagai ilmu-ilmu umum, seperti ilmu
kedokteran, ilmu keperawatan, ilmu teknik, ilmu ekonomi, ilmu peternakan,
ilmu pertanian, dan lain-lain. Ilmu-ilmu tersebut meskipun bukan ilmu
agama tetapi keberadaannnya sangat dibutuhkan guna memenuhi kebutuhan
duniawiah masyarakat muslim. Jika ilmu-ilmu tersebut tidak dikuasai oleh
umat Islam dipastikan umat Islam akan mengalami kesulitan dalam
mempertahankan eksistensi hidupnya. Terutama ketika harus berkompetisi
dengan umat lain yang sangat serius dalam mempelajari ilmu-ilmu tersebut.
“Cendekiawan Melayu kontemporer al-Attas dalam buku Islam and
Secularism memasukkan ilmu-ilmu kemanusiaan, sains alam, sains terapan,

24
sains teknologi, perbandingan agama, kebudayaan dan tamadun Barat, ilmu-
ilmu bahasa, dan sejarah Islam sebagai sejarah dunia yang merangkum
pemikiran, kebudayaan dan tamadunnya, serta perkembangan sistem dan
filsafat ilmunya, ke dalam bidang ilmu-ilmu fardhu kifayah. Semua ilmu
tersebut harus diserasikan dengan kerangka Pandangan Hidup Islam.”
Kewajiban atas ilmu fardhu kifayah ditanggung bersama-sama secara
kolektif oleh masyarakat. Jika beberapa mukallaf ada yang mempelajari
ilmu fardhu kifayah tersebut, maka kewajiban tersebut telah dipenuhi, dan
anggota masyarakat terbebas dari dosa. Sebaliknya, jka tidak ada
seorangpun yang menuntut ilmu fardhu kifayah tersebut, maka semua
mukallaf yang ada di komunitas tersebut menanggung dosa.
Ilmu-lmu tersebut wajib dipelajari oleh umat Islam, akan tetapi Allah
tidak memerintahkan kepada semua individu untuk menimbanya. Semua
anggota masyarakat boleh menimba ilmu-ilmu tersebut. Kebutuhan dan
kemaslahatan umat akan tercukupi dengan adanya sebagian individu yang
menguasai ilmu-ilmu tersebut, jadi tidak perlu semua orang untuk menekuni
ilmu-ilmu tersebut.
Individu yang mempunyai minat dan bakat serta kemampuan dana
yang memadahi untuk mendalami ilmu fardhu kifayah mejadi wajib baginya
untuk mendalaminya. Orang yang terjun untuk mendalami ilmu fardhu
kifayah tertentu, maka bagi yang bersangkutan menjadi fardhu ‘ain untuk
mendalaminya. Bahkan jika orang terebut kurang mampu secara finansial,
masyarakat secara bersama-sama berkewajiban untuk membantunya agar
orang tersebut dapat menyelesaikan studinya. Dalam hal ini pemerintah
wajib memenuhi kebutuhan dana untuk studinya.
Jika kewajiban menimba ilmu fardhu kifayah sampai dilupakan, yang
mengakibatkan kemaslahatan masyarakat menjadi terabaikan, orang-orang
yang berkemampuan menanggung dosanya, demikian juga orang-orang
yang tidak berkemampuan menjadi ikut menanggung dosa dikarenakan
tidak mensupport masyarakat untuk ikut mendukungnya (Zaidi Ismail,
2007).

25
Al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Zaidi Isma’il yang menyatakan
bahwa, “dosa tidak menuntut ilmu fardhu kifayah adalah masuk dalam
kategori perbuatan membinasakan diri-sendiri, yang hal tersebut sangat
dilarang oleh Allah SWT. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Allah dalam
Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 195 sebagai berikut, “dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah,
karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”.
Sebagai contoh misalnya, jika tidak ada umat Islam yang berupaya
mendalami dan mengembangkan ilmu-ilmu berdasarkan nilai-nilai Islam
(Islamisasi), maka sangat mungkin umat Islam ke depan akan mengalami
kerusakan akibat terinfiltrasi pandangan hidup yang liberal dan sekular.
Rusaknya pandangan hidup umat Islam bisa berimplikasi pada rusaknya
ilmu pengetahuan, dan rusaknya ilmu pengetahuan akan mengakibatkan
rusaknya amal perbuatan seorang muslim. Pada akhirnya akan peradaban
Islam tidak akan bisa tumbuh dan berkembang sebagaimana mestinya.
Pada era postmodernitas seperti yang terjadi dewasa ini dimana
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi begitu pesat,
bahkan belakangan telah melahirkan sebuah generasi baru, yakni generasi
millenial penguasaan ilmu dan teknologi informasi bagi umat Islam menjadi
sangat penting. Penguasaan ilmu ini bisa meningkatkan kewibawaan umat
Islam di mata umat lain. Untuk itu maka umat Islam harus memperkuat dari
sisi ini.
Wan Daun Wan Noor dalam The Educational Philosophy and Practice
of Syeed Mumahhad Naquib a-Attas: An Exposition of the Orignal Concept
of Islamization, menyatakan bahwa dalam konteks kehidupan pribadi,
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kerangka berfikir
Islamic worldview memiliki efek yang dapat membahagiakan rohani bagi
pelakunya, bukan sebaliknya menimbulkan kesengsaraan, anarkisme rohani
sekaligus akal. Sedangkan dalam konteks kehidupan masyarakat sudah
barang tentu akan melahirkan keteraturan, keharmonisan, dan keadilan,
bukan sebaliknya menimbulkan kekacauan dan anarkisme sosial.

26
Konferensi Dunia Pertama Tentang Pendidikan Islam pada tahun 1977
yang dihadiri oleh 307 pakar pendidikan dari seluruh penjuru dunia, telah
merekomendasikan agar umat Islam membangkitkan kembali spirit
keilmuan yang dahulu pernah digelorakan oleh para ilmuwan muslim pada
era keemasan. Mereka telah berhasil mengantarkan umat Islam mencapai
puncak peradaban ilmu. Apa yang menjadi sebab-sebab kemajuan dan apa
pula yang menyebabkan kemunduran peradaban ilmu pada saat itu harus
dikaji dengan seksama supaya dapat diambil sebagai pelajaran guna
membangkitkan kembali peradaban Islam.

D. Pentingnya Integrasi Ilmu, Sains dan Teknologi


Kata integrasi sendiri memiliki pengertian penyatuan hingga menjadi
kesatuan yg utuh atau bulat. Integrasi ilmu adalah pergerakan seiring dan
sejajar dan perkembangan ke arah kemajuan sebuah pemikiran. Ia mewujudkan
satu garis lurus yang berevolusi (Jasmi, A. K., 2016).
Pengertian pendidikan Islam menurut Hasbullah (1999), merupakan
pewarisan dan perkembangan budaya manusia yang bersumber dan
berpedoman ajaran Islam sebagai yang termaktub dalam Al-Qur’an dan
Sunnah Rasul, yang dimaksudkan adalah dalam rangka terbentuknya
kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam. Sedangkan Haidar Putra
Daulay (2004), menyatakan bahwa hakikat pendidikan Islam adalah
pembentukan manusia yang dicita-citakan, sehingga dengan demikian
pendidikan Islam adalah proses pembentukan manusia ke arah yang dicita-
citakan Islam.
Dari beberapa definisi di atas, maka dapat diambil pengertian bahwa
yang dimaksud Pendidikan Agama Islam adalah suatu aktivitas atau usaha-
usaha tindakan dan bimbingan yang dilakukan secara sadar dan sengaja serta
terencana yang mengarah pada terbentuknya kepribadian anak didik yang
sesuai dengan norma-norma yang ditentukan oleh ajaran agama.
Tujuan Pendidikan Agama Islam identik dengan tujuan agama Islam,
karena tujuan agama adalah agar manusia memiliki keyakinan yang kuat dan
dapat dijadikan sebagai pedoman hidupnya yaitu untuk menumbuhkan pola

27
kepribadian yang bulat dan melalui berbagai proses usaha yang dilakukan.
Dalam kaitan ini Zakiah Daradjad (1982), menegaskan bahwa tujuan
pendidikan Islam yaitu membina manusia beragama berarti manusia yang
mampu melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam dengan baik dan sempurna,
sehingga tercermin pada sikap dan tindakan dalam seluruh kehidupannya,
dalam rangka mencapai kebahagiaan dan kejayaan dunia dan akhirat.
Ruang lingkup Pendidikan Agama Islam meliputi keserasian,
keselarasan, dan keseimbangan antara hubungan manusia dengan Allah SWT,
hubungan manusia dengan sesama manusia, dan ketiga hubungan manusia
dengan dirinya sendiri, serta hubungan manusia dengan makhluk lain dan
lingkungannya.
Pengertian Sains (science) menurut Agus S. (2011), diambil dari kata
latin scientia yang arti harfiahnya adalah pengetahuan. Sund dan Trowbribge
(1993), merumuskan bahwa Sains merupakan kumpulan pengetahuan dan
proses.
Sedangkan Kuslan Stone (1994), menyatakan bahwa Sains adalah
kumpulan pengetahuan dan cara-cara untuk mendapatkan dan mempergunakan
pengetahuan itu. Sains merupakan produk dan proses yang tidak dapat
dipisahkan.
Menurut kamus bahasa (Abdurrahman R Effendi dan Gina Puspita 2007),
sains adalah ilmu pengetahuan yang teratur (sistematik) yang boleh diuji atau
dibuktikan kebenarannya. Sedangkan teknologi adalah aktivitas atau kajian
yang menggunakan pengetahuan sains untuk tujuan praktis dalam industri,
pertanian, perobatan, perdagangan dan lain-lain.
Sains dan teknologi menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan karena
saling mendukung satu sama lain. Teknologi merupakan bagian dari sains yang
berkembang secara mandiri, menciptakan dunia tersendiri. Maka sains dan
teknologi menjadi satu kesatuan tak terpisahkan.
1. Integrasi Pendidikan Agama Islam Dengan Sains dan Teknologi
Berdasarkan tujuan dan ruang lingkup pendidikan agama Islam yang
telah dijelaskan di atas, diharapkan integrasi antara pendidikan agama Islam

28
dengan sains dan teknologi dapat meningkatkan pemahaman dan
pemantapan bagi peserta didik.
a. Islam Memandang Agama sebagai Dasar dan Pengatur Kehidupan
Aqidah Islam menjadi basis dari segala ilmu pengetahuan. Aqidah
Islam yang terwujud dalam apa-apa yang ada dalam Al-Qur`an dan Al-
Hadits menjadi qaidah fikriyah (landasan pemikiran), yaitu suatu asas
yang di atasnya dibangun seluruh bangunan pemikiran dan ilmu
pengetahuan manusia. Islam memerintahkan manusia untuk membangun
segala pemikirannya berdasarkan aqidah Islam, bukan lepas dari aqidah
itu. Ini bisa kita pahami dari ayat yang pertama kali turun,
َۚ َ َ ‫َ ه‬ ْ ‫ِا ْق َ ْرأ ب‬
‫اس ِم َ ِّربك ال ِذ ْي خلق‬ ِ
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan”
(QS Al-Alaq : 1)
Ayat ini menjelaskan bahwa manusia telah diperintahkan untuk
membaca guna memperoleh berbagai pemikiran dan pemahaman. Tetapi
segala pemikirannya itu tidak boleh lepas dari Aqidah Islam, karena iqra`
haruslah dengan bismi rabbika, yaitu tetap berdasarkan iman kepada
Allah, yang merupakan asas Aqidah Islam. Itulah ajaran yang dibawa
Rasulullah SAW yang meletakkan aqidah Islam yang berasas Laa ilaaha
illallah Muhammad Rasulullah sebagai asas ilmu pengetahuan. Beliau
mengajak memeluk aqidah Islam lebih dulu, lalu setelah itu menjadikan
aqidah tersebut sebagai pondasi dan standar bagi berbagai pengetahuan.
Ini dapat ditunjukkan misalnya dari suatu peristiwa ketika di masa
Rasulullah SAW terjadi gerhana matahari, yang bertepatan dengan
wafatnya putra beliau (Ibrahim).
Orang-orang berkata gerhana matahari ini terjadi karena
meninggalnya Ibrahim. Maka Rasulullah SAW segera menjelaskan,
“Sesungguhnya matahari dan bulan ini keduanya sebagai bukti kebesaran
Allah, tidaklah gerhana ini karena mati atau hidupnya seseorang, maka
bila kalian melihat gerhana segeralah berdoa dan bertakbir
mengagungkan Allah, shalat, dan shadaqah.” Dengan jelas kita tahu
bahwa Rasulullah SAW telah meletakkan aqidah Islam sebagai dasar

29
ilmu pengetahuan, sebab beliau menjelaskan, bahwa fenomena alam
adalah tanda keberadaan dan kekuasaan Allah, tidak ada hubungannya
dengan nasib seseorang, hal ini sesuai dengan aqidah muslim yang
sebenarnya.
b. Mengkaji dan Mengembangkan Sains dan Teknologi, sebagai Bagian
dari Ibadah
Menurut Abuya Syeikh Imam Ashaari Muhammad At Tamimi
(Abdurrahman R Effendi dan Gita Puspita, 2007), menegaskan bahwa
semua aktifitas keseharian kita termasuk mengkaji dan mengembangkan
sains dan teknologi dapat bernilai ibadah bahkan perjuangan di sisi Allah
bila memenuhi lima syarat ibadah yaitu:
1) Niat yang betul, yaitu karena untuk membesarkan Allah. Sabda
Rasulullah SAW, “Sesungguhnya amalan-amalan itu tergantung
dengan niatnya dan yang didapat setiap orang itu sesuai dengan apa
yang dia niatkan. Niat orang mukmin itu adalah lebih baik daripada
amalannya.”
2) Pelaksanaannya benar-benar di atas landasan syariat atau aturan Allah.
3) Perkara atau subyek yang menjadi tumpuan untuk dilaksanakan atau
dikaji itu mestilah mendapat keridhaan Allah. Subyek yang paling
utama mestilah suci agar benar-benar menjadi ibadah kepada Allah.
4) Natijah (hasil) mesti baik karena merupakan pemberian Allah kepada
hamba-Nya. Dan setelah itu, hamba-hamba yang dikaruniakan rahmat
itu wajib bersyukur kepada Allah dengan berzakat, melakukan kurban,
serta membuat berbagai amal. Jika aktifitas tersebut menghasilkan
ilmu yang dicari maka ilmu itu hendaklah digunakan sesuai dengan
yang diridhai Allah.
5) Tidak meninggalkan atau melalaikan ibadah-ibadah asas, seperti
belajar ilmu fardhu ‘ain, shalat 5 waktu, puasa, zakat dan sebagainya.
c. Integrasi yang Diharapkan antara Pendidikan agama Islam dengan Sains
dan Teknologi
Integrasi yang diharapkan antara pendidikan agama Islam dengan
Sains dan Teknologi bukan dipahami dengan memberikan materi

30
pendidikan agama Islam yang diselingi dengan dengan materi sains dan
teknologi. Akan tetapi yang dimaksudkan adalah adanya integrasi yang
sebenarnya, di mana ketika kita menjelaskan tentang suatu materi
pendidikan agama Islam dapat didukung oleh fakta sains dan teknologi.
Sebab, di dunia yang demikian modern ini, peserta didik tidak mau hanya
sekedar menerima secara dogmatis saja setiap materi pelajaran agama
yang mereka terima. Secara kritis mereka juga mempertanyakan tentang
materi pendidikan agama yang kita sampaikan sesuai dengan kenyataan
dalam kehidupan sehari-hari. Contoh yang dapat kita ambil adalah,
َ ْ َّ َ ْ ُ َ َّ َْ
‫اعة َوانشق الق َم ُر‬ ‫ِاق َنَب ِت الس‬
“Saat (hari Kiamat) semakin dekat, bulan pun terbelah” (QS Al-Qamar
: 1)
Ayat ini merupakan salah satu ayat yang dapat meningkatkan
keimanan dan ketakwaan seorang muslim jika dia benar-benar beriman
akan kebenaran Al-Qur’an.
Akan tetapi keimanan ini akan lebih sempurna jika ada penjelasan
secara sains terkait terbelahnya bulan tersebut. Beberapa pendapat
mengenai pemahaman terbelahnya bulan tersebut, antara lain:
1) Secara Geo-sains memang telah terbukti bahwa dahulu kala bulan
pernah terbelah akibat benturan asteroid. Data perbatuan bulan
menyajikan informasi adanya jalur batuan metamorf yang menembus
bulan. Jalur itu berawal dari permukaan hingga ke inti dan menembus
ke permukaan bulan di sisi yang berseberangan.
2) Dr. Khalifa dari NASA telah menjelaskan pengertian ayat tersebut,
yaitu bahwa tidak seorang pun dapat menyangkal kebenaran surah Al-
Qamar ayat 1 tersebut. Kita dapat merujuk suatu kenyataan bahwa
Neil Amstrong dan Aldrin meninggalkan bulan dengan membawa
batuan bulan sebanyak 21 kg untuk contoh penelitian. Itulah yang
dimaksud dengan pengertian terbelahnya bulan, dan inilah yang
membuat sang ilmuwan NASA itu memeluk agama Islam dan
mengganti namanya menjadi Khalifa.

31
3) Suatu saat bulan akan terbelah bila mendekati hari kiamat. Secara
sains, hal ini juga dimungkinkan apabila asteroid membentur bulan
sehingga bulan lenyap atau hancur.
Contoh di atas kiranya dapat dijadikan gambaran tentang integrasi
pendidikan agama Islam dengan sains dan teknologi. Bahwa sains dan
teknologi sebenarnya dapat dijadikan fakta empiris penguat kebenaran
ajaran agama Islam.
Pengajaran yang awalnya lebih banyak bersifat dogmatis semakin
terasa mudah untuk dipahami. Integrasi ini tentunya dengan harapan untuk
lebih meningkatkan pemahaman peserta didik akan materi pelajaran
pendidikan agama Islam dan sekaligus sebagai pengguat keyakinan akan
kebenaran Al-Qur’an.

E. Sains dan Teknologi dalam Islam


Kata sains dan teknologi ibarat dua sisi mata uang yang sulit dipisahkan
satu sama lain. Sains, menurut Baiquni, adalah himpunan pengetahuan manusia
tentang alam yang diperoleh sebagai konsensus para pakar, melalui
penyimpulan secara rasional mengenai hasil-hasil analisis yang kritis terhadap
data pengukuran yang diperoleh dari observasi pada gejala-gejala alam.
Sedangkan teknologi adalah himpunan pengetahuan manusia tentang proses-
proses pemanfaatan alam yang diperoleh dari penerapan sains, dalam kerangka
kegiatan yang produktif ekonomis (Baiquni, 1995: 58-60).
Al-Qur’an, sebagai kalam Allah, diturunkan bukan untuk tujuan-tujuan
yang bersifat praktis. Oleh sebab itu, secara obyektif, Al-Qur’an bukanlah
ensiklopedi sains dan teknologi apalagi Al-Qur’an tidak menyatakan hal itu
secara gamblang. Akan tetapi, dalam kapasitasnya sebagai huda li al-nas, Al-
Qur’an memberikan informasi stimulan mengenai fenomena alam dalam porsi
yang cukup banyak, sekitar tujuh ratus lima puluh ayat (Ghulsyani, 1993: 78).
Bahkan, pesan (wahyu) paling awal yang diterima Nabi SAW
mengandung indikasi pentingnya proses investigasi (penyelidikan). Informasi
Al-Qur’an tentang fenomena alam ini, menurut Ghulsyani, dimaksudkan untuk
menarik perhatian manusia kepada Pencipta alam Yang Maha Mulia dan Maha

32
Bijaksana dengan mempertanyakan dan merenungkan wujud-wujud alam serta
mendorong manusia agar berjuang mendekat kepada-Nya (Ghulsyani, 1993).
Dalam visi al-Qur’an, fenomena alam adalah tanda-tanda kekuasaan Allah.
Oleh sebab itu, pemahaman terhadap alam itu akan membawa manusia lebih
dekat kepada Tuhannya.
Pandangan Al-Qur’an tentang sains dan teknologi dapat ditelusuri dari
pandangan Al-Qur’an tentang ilmu. Al-Qur’an telah meletakkan posisi ilmu
pada tingkatan yang hampir sama dengan iman seperti tercermin dalam surah
Al-Mujadalah ayat 11, “…niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan
beberapa derajat” Ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan manusia mencari
ilmu atau menjadi ilmuwan begitu banyak. Al-Qur’an menggunakan berbagai
istilah yang berkaitan dengan hal ini. Misalnya, mengajak melihat,
memperhatikan, dan mengamati kejadian-kejadian (Fathir : 27 ; al-Hajj : 5 ;
Luqman : 20 ; Al-Ghasyiyah : 17-20 ; Yunus : 101 ; Al-Anbiya : 30), membaca
(Al-Alaq : 1-5) supaya mengetahui suatu kejadian (Al-An’am : 97 ; Yunus : 5),
supaya mendapat jalan (An-Nahl : 15), menjadi yang berpikir atau yang
menalar berbagai fenomena (An-Nahl : 11 ; Yunus : 101 ; Ar-Ra’d : 4 ; Al-
Baqarah : 164 ; Ar-Rum : 24 ; Al-Jatsiyah : 5, 13), menjadi ulu al-albab (Ali
Imran : 7 ; 190-191 ; Az-Zumar : 18), dan mengambil pelajaran (Yunus : 3).
Sedangkan pandangan Al-Qur’an tentang sains dan teknologi, dapat diketahui
dari wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad SAW, “Bacalah dengan
(menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia menciptakan manusia dari
segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmu lah Yang Maha Pemurah. Yang
Mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam (tulis baca). Dia Mengajarkan
manusia apa yang tidak diketahuinya” (QS Al-Alaq : 1-5)
Kata iqra’, menurut Quraish Shihab, diambil dari akar kata yang berarti
menghimpun. Dari menghimpun lahir aneka makna seperti menyampaikan,
menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik
yang tertulis maupun tidak. Sedangkan dari segi obyeknya, perintah iqra’ itu
mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh manusia. (Shihab,
1996:433) Atas dasar itu, sebenarnya tidak ada alasan untuk membuat dikotomi

33
ilmu agama dan ilmu non agama. Sebab, sebagai agama yang memandang
dirinya paling lengkap tidak mungkin memisahkan diri dari persoalan-
persoalan yang bereperan penting dalam meningkatkan kesejahteraan umatnya.
Berkaitan dengan hal ini, Ghulsyani mengajukan beberapa alasan untuk
menolak dikotomi ilmu agama dan ilmu non agama sebagai berikut:
1. Dalam sebagian besar ayat Al-Qur’an, konsep ilmu secara mutlak muncul
dalam maknanya yang umum, seperti pada ayat 9 surah Az-Zumar,
“Katakanlah : adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-
orang yang tidak mengetahui” Beberapa ayat lain yang senada di antaranya
QS 2 : 31 ; QS 12 : 76 ; QS 16 : 70.
2. Beberapa ayat Al-Qur’an secara eksplisit menunjukkan bahwa ilmu itu tidak
hanya berupa prinsip-prinsip dan hukum-hukum agama saja. Misalnya,
firman Allah pada surah Fathir ayat 27-28, “Tidakkah kamu melihat
bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu Kami hasilkan
dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka ragam jenisnya. Dan di
antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka
ragam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat. Dan demikian (pula) di
antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak
ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang
takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ‘Ulama’.
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”, dengan jelas
kata ulama (pemilik pengetahuan) pada ayat di atas dihubungkan dengan
orang yang menyadari sunnatullah (dalam bahasa sains: “hukum-hukum
alam”) dan misteri-misteri penciptaan, serta merasa rendah diri di hadapan
Allah Yang Maha Mulia.
3. Di dalam Al-Qur’an terdapat rujukan pada kisah Qarun, “Qarun berkata:
Sesungguhnya aku diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku.” (QS al-
Qashash : 78) (Ghulsyani, 1993: 44-45).
Di samping itu, subyek yang dituntut oleh wahyu pertama (Al-Alaq : 1-5)
adalah manusia, karena potensi ke arah itu hanya diberikan oleh Allah SWT.
kepada jenis makhluk ini. Pemberian potensi ini tentunya tidak terlepas dari
fungsi dan tanggung jawab manusia sebagai khalifah Allah di atas muka bumi.

34
Sedangkan bumi dan langit beserta isinya telah ‘ditundukkan’ bagi kepentingan
manusia. Mari perhatikan firman Allah di dalam surat Al-Jatsiyah ayat 13,
“Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di
bumi semuanya (sebagai rahmat dari-Nya). Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum
yang berpikir.” Kata sakhkhara (menundukkan) pada ayat di atas atau kata
yang semakna dengan itu banyak ditemukan di dalam Al-Qur’an yang
menegaskan bahwa Allah SWT menundukkan semua ciptaan-Nya sesuai
dengan peraturan-peraturan (sunnatullah) Nya, sehingga manusia dapat
mengambil manfaat sepanjang manusia mau menggunakan akal dan pikirannya
serta mengikuti langkah dan prosedur yang sesuai dengan sunnatullah itu.
Misalnya, menurut Baiquni, (1997 : 15-16) tertiupnya sehelai daun yang kering
dan pipih oleh angin yang membawanya membumbung tinggi ke atas adalah
karena aliran udara di sekitarnya. Orang yang melakukan pengamatan dan
penelitian untuk menemukan jawaban atas pertanyaan: “bagaimana daun itu
diterbangkan?”, niscaya akan sampai kepada sunnatullah yang menyebabkan
daun itu bertingkah laku seperti yang tampak dalam pengamatannya. Pada
dasarnya, sebuah benda yang bentuknya seperti daun itu, yang panjang dan
bagian pinggir dan lebarnya melengkung ke bawah, akan mengganggu aliran
udara karena pada bagian yang melengkung itu aliran udara tidak selancar di
tempat lain. Akibatnya, tekanan udara di lengkungan itu lebih tinggi daripada
bagian lainnya sehingga benda itu terangkat. Orang yang melakukan
pengamatan dan penelitian itu menemukan sunnatullah yang dalam ilmu
pengetahuan disebut aerodinamika. Dengan pengetahuan yang lengkap dalam
bidang aerodinamika dan pengetahuan tentang sifat-sifat material tertentu
manusia mampu menerapkan ilmunya itu untuk membuat pesawat terbang
yang dapat melaju dengan kecepatan tertentu.
Untuk dapat memahami sunnatullah yang beraturan di alam semesta ini,
manusia telah dibekali oleh Allah SWT dua potensi penting, yaitu potensi
fitriyah (di dalam diri manusia) dan potensi sumber daya alam (di luar diri
manusia). Di samping itu, Al-Qur’an juga memberikan tuntunan praktis bagi
manusia berupa langkah-langkah penting bagaimana memahami alam agar

35
dicapai manfaat yang maksimal. Suatu cara penghampiran yang sederhana
dalam mempelajari ilmu pengetahuan ditunjukkan Al-Qur’an dalam surah al-
Mulk ayat 3-4 yang intinya mencakup proses kagum, mengamati, dan
memahami. Dalam konteks sains, Al-Qur’an mengembangkan beberapa
langkah/proses sebagai berikut. Pertama, Al-Qur’an memerintahkan kepada
manusia untuk mengenali secara seksama alam sekitarnya seraya mengetahui
sifat-sifat dan proses-proses alamiah yang terjadi di dalamnya. Perintah ini,
misalnya, ditegaskan di dalam surah Yunus ayat 101, “Katakanlah (wahai
Muhammad): Perhatikan (dengan nazhor) apa yang ada di langit dan di
bumi….”
Dalam kata unzhuru (perhatikan), Baiquni memahaminya tidak sekedar
memperhatikan dengan pikiran kosong, melainkan dengan perhatian yang
seksama terhadap kebesaran Allah SWT dan makna dari gejala alam yang
diamati (Baiquni, 1997 : 20). Perintah ini tampak lebih jelas lagi di dalam
firman Allah di surah Al-Ghasyiyah ayat 17-20, “Maka apakah mereka tidak
memperhatikan (dengan nazhor) unta bagaimana ia diciptakan. Dan langit
bagaimana ia diangkat. Dan gunung-gunung bagaimana mereka ditegakkan.
Dan bumi bagaimana ia dibentangkan.”
Kedua, Al-Qur’an mengajarkan kepada manusia untuk mengadakan
pengukuran terhadap gejala-gejala alam. Hal ini diisyaratkan di dalam surat Al-
Qamar ayat 149, “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan
ukuran.”
Ketiga, Al-Qur’an menekankan pentingnya analisis yang mendalam
terhadap fenomena alam melalui proses penalaran yang kritis dan sehat untuk
mencapai kesimpulan yang rasional. Persoalan ini dinyatakan dalam surah An-
Nahl ayat 11-12, “Dia menumbuhkan bagimu, dengan air hujan itu, tanaman
tanaman zaitun, kurma, anggur, dan segala macam buah buahan.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
kekuasaan Allah bagi mereka yang mau berpikir. Dan Dia menundukkan
malam dan siang, matahari dan bulan untukmu dan bintang-bintang itu
ditundukkan (bagimu) dengan perintah-Nya. Sebenarnya pada yang demikian
itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang menalar.”

36
Tiga langkah yang dikembangkan oleh Al-Qur’an itulah yang
sesungguhnya yang dijalankan oleh sains hingga saat ini, yaitu observasi
(pengamatan), pengukuran-pengukuran, lalu menarik kesimpulan (hukum-
hukum) berdasarkan observasi dan pengukuran itu. Meskipun demikian, dalam
perspektif Al-Qur’an, kesimpulan-kesimpulan ilmiah rasional bukanlah tujuan
akhir dan kebenaran mutlak dari proses penyelidikan terhadap gejala-gejala
alamiah di alam semesta. Sebab, seperti pada penghujung ayat yang
menjelaskan gejala-gejala alamiah, kesadaran adanya Allah dengan sifat-sifat-
Nya Yang Maha Sempurna menjadi tujuan hakiki di balik fakta-fakta alamiah
yang dinampakkan.
Memahami tanda-tanda kekuasaan Pencipta hanya mungkin dilakukan
oleh orang-orang yang terdidik dan bijak yang berusaha menggali rahasia-
rahasia alam serta memiliki ilmu (keahlian) dalam bidang tertentu. Ilmu-ilmu
kealaman seperti matematika, fisika, kimia, astronomi, biologi, geologi dan
lainnya merupakan perangkat yang dapat digunakan untuk memahami
fenomena alam semesta secara tepat. Dengan bantuan ilmu-ilmu serta didorong
oleh semangat dan sikap rasional, maka sunnatullah dalam wujud keteraturan
tatanan (order) di alam ini tersingkap.

F. Kontribusi Umat Islam terhadap Ilmu Pengetahuan


Untuk melihat sumbangan Islam dalam Iptek dapat dilihat dari tampilnya
ilmuwan Islam dalam khasanah literatur dunia dalam zamannya. Dalam
volume pertama karya monumental Sarton (1927) berjudul Introduction to the
History of Science, hampir sepertiga buku yang tebalnya 840 halaman
membahas kontribusi ilmuwan Islam. Beberapa nama besar yang disebut
diantaranya Jabir Abu Musa ibnu Haiyan (712-815, dikenal sebagai
pengembang llmu kimia sehingga disebut Bapak Kimia, penemu alat destilasi
pertama, kita sangat berhutang budi kepadanya karena tanpa alat destilasi tidak
mungkin mendapatkan kemudahan memperoleh bahan bakar minyak), Al
Khawarizmi (meninggal tahun 850, penemu aljabar danastronom), Al Razi
(865-925, pengembang kedokteran dan kimia), Ai Masu'di (meninggal tahun
912, disamping sebagai ahli kimia juga dikenal sebagai sejarawan), Al Bimni

37
(meninggal tahun 1048 dikenal sebagai astronom ulung, tapi juga ahli
matematika) dan Omar Khayyam (meninggal tahun 1123, dimasyarakat luas
dikenal sebagai penyair tapi sebenaranya juga ahli matematika dan astronomi).
Zaman keemasan tersebut terjadi pada tahun 750-1100, 350 tahun terus
menerus. Masa kejayaan itu mulai pudar sesudah tahun 1350. Walaupun
kadang kala masih tercatat beberapa nama besar sesekali muncul kepermukaan
seperti Ulugh Beg. Uraian yang relatif lengkap tentang sumbang sarjana Islam
dalam bidang-bidang iptek, filsafat, budaya dan sastra dikemukakan oleh
Poeradisastra (1981), “Beberapa istilah penting pengetahuan seperti kimia,
sabun, amalgam dan aljabar untuk menyebut beberapa contoh berasal dari
zaman keemasan Islam. Penyebutan contoh dimuka tentulah tidak sekedar
romatisme belaka, melainkan untuk menjadikannya pelajaran, dan tempat
berpijak untuk berkarya pada masa sekarang dan mendatang. Pertanyaan pokok
yang dapat dikedepankan adalah mengapa Islam dapat mengembangkan iptek
dan menjadi pusat peradaban pada periode yang cukup panjang tersebut? Ada
beberapa argumen yang dapat dikemukan untuk menjawabnya. Yang pertama
karena anjuran yang sangat jelas dalam kitab suci Al-Qur'an maupun Sunnah
Nabi untuk mengembangkan ilmu Iptek. Dalam Al-Qur'an tidak kurang dari
750 ayat atau hampir seperdelapan Al-Qur'an yang mengajak untuk
mempelajari alam, merefleksi, menggunakan akal/nalar dan banyak banyak
pula yang cukup rinci membahas tentang penciptaan manusia. Sementara ayat-
ayat hukum hanya ada 250 ayat.
Seperti contoh yang cukup rinci dan teliti dapat kita baca dalam buku
Baiquni (1994) tentang molekul kehidupan, diuraikan beberapa istilah kunci
seperti silsilah (sari tanah), sholsholun yang kering), turob (debu atau serbuk
tanah). Dalam pengertian modern, dengan demikian, terdapat pada Ar Rahman
14 dapat ditafsiikan sebagai kata lisator pada proses polimerisasi pembentukan
zat kehidupan. Suatu konsep yang sering dijumpai dalam kimia atau biokomia.
Inilah nampaknya yang dlkatakan sebagai perluasan cakrawala penafsiran Al-
Qur'an sesuai perkembangan iptek. Ayat-ayat dalam Al-Qur'an itulah yang
menjadi sumber penelitian Bucail (1994) untuk mencoba mengkaitkannya
dengan ilmu embriologi. Rasulullah sendiri juga menghimbau mencari ilmu

38
kemana pun sumbernya, bahkan ke negeri Cina yang kala itu tentu dikenal
sebagai negeri bukan Islam. Negeri yang secara sengaja disebut Rasulullah
adalah negeri penemu kertas pertama didunia telah berjasa secara tidak
langsung mengawetkan ide sajian-sajian Islam. Transfer teknologi kertas ke
negara Arab berhasil melahirkan 400 ribu buku diperpustakaan Cordoba,
Spanyol. Suatu jumlah buku yang pada masa itu lebih banyak dlbandingkan
dengan seluruh buku yang ada di Eropa minus Spanyol. Faktor kedua kenapa
iptek dikembangkan dalam Islam adalah karena kebutuhan. Untuk beribadah,
kaum muslimin memerlukan kepastian arah Ka'bah dan waktu. Maka
dibutuhkan perhitungan.

39
BAB III
Penutup

A. Simpulan
Secara etimologi, Ilmu merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab
‫علم‬, masdar dari ‫عـل َِم – يَـ ْعـلَم‬
َ yang berarti tahu atau mengetahui. Sedangkan Kata
Teknologi berasal dari bahasa latin “texere” atau bahasa Inggris technology
yang berarti menyusun atau membangun. Teknologi adalah keseluruhan sarana
untuk menyediakan barang-barang yang diperlukan bagi kelangsungan dan
kenyamanan hidup manusia (KBBI). Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah
pasangan yang tidak terpisahkan dalam kehidupan modern. Pasangan ini
dihasilkan untuk mengetahui mempermudah manusia dalam memenuhi
kebutuhan hidup dan melaksanakan tanggung jawab manusia sebagai khalifah.
Epistemologi dari bahasa yunani Episteme (pengetahuan) dan Logos
(ilmu) adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, karakter, dan
jenis pengetahuan. Landasan epistemologi ilmu disebut metode ilmiah, yaitu
cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar. Sumber –
sumber ilmu pengetahuan menurut islam yaitu berasal dari Al – Qur’an,
Hadits, Akal dan Kalbu, dan Indra pada manusia.
Al-Ghazali membagi ilmu ke dalam dua kelompok, yakni ilmu fardhu
‘ain dan ilmu fardhu kifayah. Ilmu Fardhu ‘Ain bersifat fardhu untuk dipelajari
oleh setiap muslim atau mau tidak mau harus dipelajari oleh umat Islam.
Sedangkan Ilmu Fardhu Kifayah terbagi menjadi dua kriteria yaitu kriteria
pertama adalah ilmu yang menjadi prasyarat tegaknya urusan agama seperti
ilmu tajwid, ilmu tafsir, ilmu fiqih, dan sebagainya. Dan kriteria kedua adalah
ilmu yang sering disebut sebagai ilmu umum, seperti ilm kedokteran, ilmu
keperawatan, ilmu teknik, ilmu ekonomi, ilmu peternakan, ilmu pertanian, dan
lain lain. Kewajiban ilmu fardhu kifayah ditanggung bersama, jika beberapa
mukallaf ada yang mempelajari ilmu tersebut, maka kewajiban tersebut telah
dipenuhi dan anggota masyarakat terbebas dari dosa.
Integrasi pendidikan agama islam dengan sains dan teknologi diharapkan
dapat meningkatkan pemahaman dan pemantapan bagi peserta didik.

40
Pentingnya integrasi pendidikan agama islam dengan sains dan teknologi
adalah islam memandang agama sebagai dasar dan pengatur kehidupan,
mengkaji dan mengembangkan sains dan teknologi sebagai bagian dari ibadah,
dan integrasi yang diharapkan antara pendidikan agama islam dengan sains dan
teknologi bukan dipahami dengan memberikan materi pendidikan akan tetapi
yang dimaksudkan adalah di mana ketika kita menjelaskan tentang suatu materi
pendidikan agama islam dapat didukung oleh fakta sains dan teknologi.
Al – Qur’an sebagai kalam Allah diturunkan untuk tujuan yang bersifat
praktis. Al – Qur’an tidak menyatakan hal itu secara gamblang. Akan tetapi,
dalam kapasitasnya sebagai huda li al-nas, Al – Qur’an memberikan informasi
stimulan mengenai fenomena alam dalam porsi yang cukup banyak. Pandangan
Al – Qur’an tentang sains dan teknologi dapat ditelusuri dari pandangan Al –
Qur’an tentang ilmu. Al – Qur’an telah meletakkan posisi ilmu pada tingkatan
yang hampir sama dengan iman.
Kontribusi Umat Islam terhadap Ilmu Pengetahuan dapat dilihat dari
tampilnya ilmuwan dalam khasanah literatur dunia dalam zamannya.

B. Saran
Kewajiban menguasai IPTEK dalam Islam, Alquran sangat
memperhatikan Ilmu Pengetahuan agar manusia berpikir dan mengkaji alam
semesta sehingga melahirkan suatu kesadaran akan kemahakuasaan Allah
SWT, pencipta alam semesta. Kesadaran tersebut akan semakin meningkatkan
keimanan dan ketaqwaan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan harus dibimbing oleh wahyu (Al-Qur'an) agar ilmu
pengetahuan membawa kepada keimanan dan memberi manfaat dalam
kehidupan manusia.
Di sini Al-quran tidak hanya menjadi sumber motivasi dan inspirasi bagi
ilmuan, tetapi juga sebagai penuntun agar ilmu pengetahuan tidak digunakan
(teknologi) untuk tujuan-tujuan yang negatif, membawa kemusyrikan, atau
menghancurkan alam semesta (manusia, hewan, tumbuhan, dan lingkungan).

41
Daftar Pustaka

Adian Husaini. Filsafat Ilmu perspektif Barat dan Islam. Jakarta: Gema
Insani. 93.

Ahmad As-Showy dkk, Mu’jizat Al-Quran dan As-Sunnah tentang IPTEK,


Jakarta: Gema Insani Press.1995. 188-119.

Al-Attas, S. M. Islam dan Filsafat Sains. Malaysia: Universiti Sains


Malaysia, 1989.

Al-Ghazali. Ihya’ Ulūm al-Dīn. Beirut: Dar al-Fikr, 1995.

Al-Qasimi, S. J. Buku Putih Ihya’ Ulūmuddīn Imam al-Ghazali. Bekasi:


Darul Falah, 2010.

Anshari, Endang Saifuddin, 1985, Ilmu, Filsafat dan Agama, Bandung:


Pustaka.

Anwar, S. Filsafat Ilmu al-Ghazali. Bandung: Pustaka Setia, 2007.

Arsyad, M. Nastir. 1983. Ilmuwan Muslim Sepanjang Sejarah. Bandung:


Pustaka. 12.

Auliatus, Dina. . Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam Perspektif Islam.


Malang: UIN Maulana Malik Ibrahim.

Baiquni, Achmad (a). 1995. Al-Qur’an, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi,


Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf.

Baiquni, Achmad (b). 1997. Al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan Kealaman,


Yogyakarta: Dana Bhakti Primayasa.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,


Cetakan ke-3, Jakarta ; Balai Pustaka, 1990, hal. 14.

Fakhri, Jamal. 2010. Sains dan Teknologi Dalam Al-Qu’an dan


Implikasinya Dalam Pembelajaran.

42
Ghulsyani, Mahdi. 1993. Filsafat Sains Menurut al-Qur’an, Bandung:
Mizan.

Hasan Langgunung, Manusia dan Pendidikan; Suatu Analisa Psikologis,


Filsafat dan Pendidikan, Jakarta;Pustaka al-Husna Baru, 2004, hal. 235.

http://academia.edu/iptek-dalam-pandangan-islam. Diakses22 Oktober 2019

http://referensiagama.blogspot.com. Diakses 22 Oktober 2019

http://stiemamuju.ac.id/2015/hakikat-iptek-dalam-pandangan-islam.pdf.
Diakses 22 Oktober 2019

Imam al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumuddin: Keajaiban hati, Akhlak yang Baik,


Nafsu Makan & Syahwat, Bahaya Lidah, buku ke-6, Bandung: Penerbit Marja’ ,
2005.11.

Iman Santosa, Fenomena Pemikiran Islam, (Sidoarjo: UruAnna Books,


2015), hal. 47.

Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Filsafat, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan,


1990)

Majid, Nurkholis. 1984. Khasanah Intelaktual Islam. Jakarta: Bulan


Bintang.

Manna ‘Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, hal. 4.

Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Cetakan ke-6, Jakarta;


Pustaka Litera Antar Nusa, 2001, hal. 37-38.

Muhammad al-Ghazali, Berdialog dengan AL-Quran, cetakan ke-4,


Bandung: Mizan. 1999. 40.

Munzier Suparta, Ilmu hadits, Cetakan ke-7, Jakarta : Rajawali Pres 2011,
hal. 49, 57-58.

Munzier Suparta, Ilmu Hadits, cetakan ke-7, Jakarta; Rajawali Pres, 2011,
hal 4.

43
Paul Suparno, Filsafat pendidikan, ( Yogyakarta : Penerbit Kanisius 2001),
hal 11.

Quraish Shihab, Membumikan AL-Quran. Bandung: PT Mizan Pustaka.


2007. 98-99.

Rizal Mustansyir, Ilmu Filsafat, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002), hal


50.

Rosli, Mohd Aiman Shazlishah; Abd Hamid, Mohd Hafiez; Basiron,


Bushrah (2018). Integrasi Pendidikan antara Islam serta Sains dan Teknologi in
Prosiding Seminar Tamadun Islam 2018 pada 17 Agustus 2018 di Ruang Kuliah
6, Blok N28, UTM.

Rusdiana. A.(2014). Integrasi Pendidikan Agama Islam dengan Sains dan


Teknologi. volume VIII No. 2 (Agustus 2014).

Saeful Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazali, Bandung; Pusaka Setia, 2007, hal.
182-183.

Sayyid Muhammad Az-Za’bawi, Pendidikan Remaja : antara Islam dan


Ilmu Jiwa , Jakarta ; Gema Insani, 2007, hal. 46.

Shihab, Quraish. 1996. Wawasan al-Qur’an, Bandung: Mizan.

Sidik, M. Ansorudin. 1995. Pengembangan wawasan iptek pondok


pesantren. Jakarta: Bumi Aksara.

Surajiyo, Ilmu Filsafat, (Jakarta : Bumi Aksara 2008), hal 53.

Syakirun Ni’am, Jakarta: Amzah. 2006. 19-52.

Wan Muhammad Wan Daud, Konsep Pengetahuan dalam Islam. 38-39.

Yusuf Al Qaradhowi, Bagaimana Berinteraksi dengan Al Quran, Cetakan


Ke-4, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2006 hal. 59-60.

Yusuf Al-Qaradhawi, Bagaimana Berinteraksi dengan Al-Quran. Cetakan


ke -4, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006. 3-4.

44
Yusuf al-Qardhawi, As-Sunnah Sebagai Sumber IPTEK dan Peradaban.
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 1998. 101-102.

Zaghlul An-Najjar, Al-I’jaz Al-‘Ilmi fi As-Sunnah An-Nabawiyah Al-Juz’u


Al-Awwal terj. Zainal Abidin dan Zaghlul An-Najjar, Al-I’jaz Al-‘Ilmi fi As-
Sunnah An-Nabawiyah Al-Juz’u Ats-Tsaniy, terj. M Lukman, Jakarta: Amzah.
2006. 1-10.

45

Anda mungkin juga menyukai