Sop 1-45

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 245

TUBERKULOSIS (TB) PARU

No ICPC II : A70 Tuberculosis


No ICD X : A15 Respiratory
tuberculosis,
bacteriologiccaly and
histologically confirmed
Tingkat Kemampuan: 4A
No.
SOP Dokumen
No. Revisi
Tanggal
Terbit
Halaman 1/8

UPT Puskesmas dr. Hj. Fetty SDK, MKM


Padasuka NIP.196407031990022001
1. Pengertian Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang
disebabkan oleh kuman TB yaitu Mycobacterium tuberculosis.
Sebagian besar kuman TB menyerang paru, namun dapat juga
mengenai organ tubuh lainnya. Indonesia merupakan negara
yang termasuk sebagai 5 besar dari 22 negara di dunia dengan
beban TB. Kontribusi TB di Indonesia sebesar 5,8%. Saat ini
timbul kedaruratan baru dalam penanggulangan TB, yaitu TB
Resisten Obat (Multi Drug Resistance/ MDR).
2. Tujuan Untuk dapat menegakkan diagnosis suatu penyakit sesuai
dengan standar prosedur pemeriksaan medis, meningkatkan
mutu pelayanan terhadap pasien dan membantu mengetahui
perjalanan, tanda serta gejala penyakit pasien agar tepat
diagnosis
3. Kebijakan Sebagai pedoman dalam melakukan kajian awal untuk
mendapatkan informasi yang lengkap mengenai masalah yang
dihadapi pasien.
Pelaksanaan kajian awal untuk mendapatkan informasi yang
lengkap mengenai masalah yang dihadapi pasien harus
mengikuti langkah-langkah yang tertuang dalam SPO kajian
awal yang memuat informasi yang harus diperoleh selama
proses pengkajian
4. Prosedur Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan Pasien datang dengan batuk berdahak ≥ 2 minggu.
Batuk disertai dahak, dapat bercampur darah atau batuk darah.
Keluhan dapat disertai sesak napas, nyeri dada atau pleuritic
chest pain (bila disertai peradangan pleura), badan lemah, nafsu
makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat
malam tanpa kegiatan fisik, dan demam meriang lebih dari 1
bulan.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang


Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Demam (pada umumnya subfebris, walaupun bisa juga tinggi
sekali), respirasi meningkat, berat badan menurun (BMI pada
umumnya <18,5).
Pada auskultasi terdengar suara napas
bronkhial/amforik/ronkhi
basah/suara napas melemah di apex paru, tergantung luas lesi
dan kondisi pasien.

Pemeriksaan Penunjang
a. Darah: limfositosis/ monositosis, LED meningkat, Hb turun.
b. Pemeriksaan mikroskopis kuman TB (Bakteri Tahan Asam/
BTA) ataukulturkuman dari specimen sputum/ dahak
sewaktu-pagi-sewaktu.
c. Untuk TB non paru, specimen dapat diambil dari bilas
lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi
jaringan.
d. Tes tuberkulin (Mantoux test). Pemeriksaan ini merupakan
penunjang utama untuk membantu menegakkan diagnosis TB
pada anak.
e. Pembacaan hasil uji tuberkulin yang dilakukan dengan cara
Mantoux (intrakutan) dilakukan 48-72 jam setelah
penyuntikan dengan mengukur diameter transversal. Uji
tuberkulin dinyatakan positif yaitu:
1. Pada kelompok anak dengan imunokompeten termasuk
anak dengan riwayat imunisasi BCG diameter indurasinya
> 10 mm.
2. Pada kelompok anak dengan imunokompromais (HIV, gizi
buruk, keganasan dan lainnya) diameter indurasinya >
5mm.
f. Radiologi dengan foto toraks PA-Lateral/ top lordotik. Pada TB,
umumnya di apeks paru terdapat gambaran bercak-bercak
awan dengan batas yang tidak jelas atau bila dengan batas
jelas membentuk tuberkuloma. Gambaran lain yang dapat
menyertai yaitu, kavitas (bayangan berupa cincin berdinding
tipis), pleuritis (penebalan pleura), efusi pleura (sudut
kostrofrenikus tumpul).

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis pasti TB

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik


dan pemeriksaan penunjang (sputum untuk dewasa, tes
tuberkulin
pada anak).

Kriteria Diagnosis
Berdasarkan International Standards for Tuberculosis Care
(ISTC)

Standar Diagnosis
a. Semua pasien dengan batuk produktif yang yang
berlangsung selama ≥ 2 minggu yang tidak jelas
penyebabnya, harus dievaluasi untuk TB.
b. Semua pasien (dewasa, dewasa muda, dan anak yang mampu
mengeluarkan dahak) yang diduga menderita TB, harus
diperiksa mikroskopis spesimen sputum/ dahak 3 kali salah
satu diantaranya adalah spesimen pagi.
c. Semua pasien dengan gambaran foto toraks tersangka TB,
harus diperiksa mikrobiologi dahak.
d. Diagnosis dapat ditegakkan walaupun apus dahak negatif
berdasarkan kriteria berikut:
1. Minimal 3 kali hasil pemeriksaan dahak negatif (termasuk
pemeriksaan sputum pagi hari), sementara gambaran foto
toraks sesuai TB.
2. Kurangnya respon terhadap terapi antibiotik spektrum luas
(periksa kultur sputum jika memungkinkan), atau pasien
diduga terinfeksi HIV (evaluasi Diagnosis tuberkulosis
harus dipercepat).
e. Diagnosis TB intratorasik (seperti TB paru, pleura, dan
kelenjar limfe mediastinal atau hilar) pada anak:
1. Keadaan klinis (+), walaupun apus sputum (-).
2. Foto toraks sesuai gambaran TB.
3. Riwayat paparan terhadap kasus infeksi TB.
4. Bukti adanya infeksi TB (tes tuberkulin positif > 10 mm
setelah 48-72 jam).

Diagnosis TB pada anak:

Pasien TB anak dapat ditemukan melalui dua pendekatan


utama, yaitu investigasi terhadap anak yang kontak erat dengan
pasien TB dewasa aktif dan menular, serta anak yang datang ke
pelayanan kesehatan dengan gejala dan anda klinis yang
mengarah ke TB. Gejala klinis TB pada anak tidak khas, karena
gejala serupa juga dapat disebabkan oleh berbagai penyakit
selain TB.

Gejala sistemik/umum TB pada anak:


a. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai
gagal tumbuh (failure to thrive).
b. Masalah Berat Badan (BB):
1. BB turun selama 2-3 bulan berturut-turut tanpa sebab
yang jelas; atau
2. BB tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya
perbaikan gizi yang baik; atau
3. BB tidak naik dengan adekuat.
c. Demam lama (≥2 minggu) dan atau berulang tanpa
sebab yang jelas (bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih,
malaria, dan lain lain). Demam yang umumnya tidak tinggi
(subfebris) dan dapat disertai keringat malam.
d. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
e. Batuk lama atau persisten ≥3 minggu, batuk bersifat
non-remitting (tidak pernah reda atau intensitas semakin
lama semakin parah) dan penyebab batuk lain telah
disingkirkan;
f. Keringat malam dapat terjadi, namun keringat malam saja
apabila tidak disertai dengan gejala-gejala sistemik/umum
lain bukan merupakan gejala spesifik TB pada anak.

Sistem skoring (scoring system) Diagnosis TB membantu tenaga


kesehatanagar tidak terlewat dalam mengumpulkan data klinis
maupun pemeriksaanpenunjang sederhana sehingga diharapkan
dapat mengurangi terjadinya under-diagnosis maupun over-
diagnosis.

Tabel 1. Sistem Skoring TB Anak


Anak dinyatakan probable TB jika skoring mencapai nilai 6 atau
lebih. Namun demikian, jika anak yang kontak dengan pasien
BTA positif dan uji tuberkulinnya positif namun tidak didapatkan
gejala, maka anak cukup diberikan profilaksis INH terutama
anak balita

Catatan:
a. Bila BB kurang, diberikan upaya perbaikan gizi
dandievaluasi selama 1 bulan.
b. Demam (> 2 minggu) dan batuk (> 3 minggu) yang tidak
membaik setelah diberikan pengobatan sesuai baku terapi
di Puskesmas
c. Gambaran foto toraks mengarah ke TB berupa:
pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa
infiltrat, atelektasis, konsolidasi segmental/lobar, milier,
kalsifikasi dengan infiltrat, tuberkuloma.
d. Semua bayi dengan reaksi cepat (< 2 minggu) saat
imunisasi\BCG harus dievaluasi dengan sistem skoring TB
anak
e. Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dengan gejala
klinis yang meragukan, maka pasien tersebut dirujuk
kerumah sakit untuk evaluasi lebih lanjut.

Komplikasi
a. Komplikasi paru: atelektasis, hemoptisis, fibrosis,
bronkiektasis, pneumotoraks, gagal napas.
b. TB ekstraparu: pleuritis, efusi pleura, perikarditis,
peritonitis, TB kelenjar limfe.
c. Kor Pulmonal

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan
a. Menyembuhkan, mempertahankan kualitas hidup dan
produktifitas pasien.
b. Mencegah kematian akibat TB aktif atau efek lanjutan.
c. Mencegah kekambuhan TB.
d. Mengurangi penularan TB kepada orang lain.
e. Mencegah kejadian dan penularan TB resisten obat.

Prinsip-prinsip terapi
a. Praktisi harus memastikan bahwa obat-obatan tersebut
digunakan sampai terapi selesai.
b. Semua pasien (termasuk pasien dengan infeksi HIV) yang
tidak pernah diterapi sebelumnya harus mendapat terapi
Obat Anti TB (OAT) lini pertama sesuai ISTC (Tabel 2).
1. Fase Awal selama 2 bulan, terdiri dari: Isoniazid,
Rifampisin, Pirazinamid, dan Etambutol.
2. Fase lanjutan selama 4 bulan, terdiri dari: Isoniazid dan
Rifampisin
3. Dosis OAT yang digunakan harus sesuai dengan Terapi
rekomendasi internasional, sangat dianjurkan untuk
penggunaan Kombinasi Dosis Tetap (KDT/fixed-dose
combination/ FDC) yang terdiri dari 2 tablet (INH dan RIF),
3 tablet (INH, RIF dan PZA) dan 4 tablet (INH, RIF, PZA,
EMB).

Tabel 2. Dosis Obat TB


Rekomendasi Dosis Dalam mg/kg BB
Obat Harian 3x Seminggu
INH* 5(4-6) max 300mg/hr 10(8-12) max 900 mg/dosis
RIF 10 (8-12) max 600 mg/hr 10 (8-12) max 600
mg/dosis
PZA 25 (20-30) max 1600 35 (30-40) max 2400
mg/hr mg/dosis
EMB 15 (15-20) max 1600 30 (25-35) max 2400
mg/hr mg/dosis

Note: Tahap lanjutan di beberapa literatur dianjurkan untuk


setiap hari.

c. Untuk membantu dan mengevaluasi kepatuhan, harus


dilakukan prinsip pengobatan dengan:
1. Sistem Patient-centred strategy, yaitu memilih bentuk
obat, cara pemberian cara mendapatkan obat serta kontrol
pasien sesuai dengan cara yang paling mampu laksana
bagi pasien.
2. Pengawasan Langsung menelan obat (DOT/direct observed
therapy)
d. Semua pasien dimonitor respon terapi, penilaian terbaik
adalah follow up mikroskopis dahak (2 spesimen) pada
saat:
1. Akhir fase awal (setelah 2 bulan terapi),
2. 1 bulan sebelum akhir terapi, dan pada akhir terapi.
3. Pasien dengan hasil pemeriksaan dahak positif pada 1
bulan sebelum akhir terapi dianggap gagal (failure) dan
harus meneruskan terapi modifikasi yang sesuai.
4. Evaluasi dengan foto toraks bukan merupakan
pemeriksaan prioritas dalam follow up TB paru.
e. Catatan tertulis harus ada mengenai:
1. Semua pengobatan yang telah diberikan,
2. Respon hasil mikrobiologi
3. Kondisi fisik pasien
4. Efek samping obat

e. Di daerah prevalensi infeksi HIV tinggi, infeksi


Tuberkulosis – HIV sering bersamaan, konsultasi dan tes
HIV diindikasikan sebagai bagian daritatalaksana rutin.
f. Semua pasien dengan infeksi Tuberkulosis-HIV harus
dievaluasi untuk:
1. Menentukan indikasi ARV pada tuberkulosis.
2. Inisasi terapi tuberkulosis tidak boleh ditunda.
3. Pasien infeksi tuberkulosis-HIV harus diterapi
Kotrimoksazol apabila CD 4 < 200.

Selama terapi : evaluasi foto setelah pengobatan 2 bulan dan 6


bulan.
Pengobatan TB Anak

Gambar1. Alur tatalaksana pasien TB Anak pada sarana


pelayanan kesehatan dasar

Tabel 3. OAT KDT pada anak (sesuai rekomendasi IDAI)

Berat 2 Bulan tiap Hari 3 KDT 4 Bulan tiap Hari 2


Badan Anak RHZ (75/50/150) KDT Anak RH
(kg) (75/50)
5-9 1 tablet 1 tablet
10-14 2 tablet 2 tablet
15-19 3 tablet 3 tablet
20-32 4 tablet 4 tablet

Keterangan:
a. Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg harus dirujuk ke
rumah sakit
b. Anak dengan BB >33 kg , harus dirujuk ke rumah sakit.
c. Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah.
d. OAT KDT dapat diberikan dengan cara : ditelan secara utuh
atau digerus sesaat sebelum diminum.
Sumber penularan dan Case Finding TB Anak
Apabila kita menemukan seorang anak dengan TB, maka harus
dicari sumber penularan yang menyebabkan anak tersebut
tertular TB. Sumber penularan adalah orang dewasa yang
menderita TB aktif dan kontak erat dengan anak tersebut.
Pelacakan sumber infeksi dilakukan dengan cara pemeriksaan
radiologis dan BTA sputum (pelacakan sentripetal).

Konseling dan Edukasi


a. Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga
mengenai seluk beluk penyakit dan pentingnya pengawasan
dari salah seorang keluarga untuk ketaatan konsumsi obat
pasien.
b. Kontrol secara teratur.
c. Pola hidup sehat.

Kriteria Rujukan
a. TB dengan komplikasi/keadaan khusus (TB dengan
komorbid) seperti TB pada orang dengan HIV, TB dengan
penyakit metabolik, TB anak, perlu dirujuk ke layanan
sekunder. Pasien TB yang telah mendapat advis dari layanan
spesialistik dapat melanjutkan pengobatan di fasilitas
pelayanan primer.
b. Suspek TB – MDR harus dirujuk ke layanan sekunder

Sarana Prasarana :
a. Laboratorium untuk pemeriksaan sputum, darah rutin.
b. Mantoux test.
c. Obat-obat anti tuberculosis.
d. Radiologi.

Prognosis
Prognosis pada umumnya baik apabila pasien melakukan terapi
sesuai dengan ketentuan pengobatan. Untuk TB dengan
komorbid, prognosis menjadi kurang baik.
Kriteria hasil pengobatan

Sembuh pasien telah menyelesaikan


pengobatannya secara lengkap dan
pemeriksaan apusan dahak ulang (follow
up), hasilnya negatif pada AP dan pada
satu pemeriksaan sebelumnya.
Pengobatan pasien yang telah menyelesaikan
Lengkap pengobatannya secara lengkap tetapi
tidak ada hasil pemeriksaan apusan
dahak ulang pada AP dan pada satu
pemeriksaan sebelumnya.
Meninggal pasien yang meninggal dalam masa
pengobatan karena sebab apapun.
Putus Berobat pasien yang tidak berobat 2 bulan
(default) berturut-turut atau lebih sebelum masa
pengobatannya selesai.

5. Kewenangan 1. Dokter Umum, dan


2. Dokter Spesialis Penyakit Dalam
6. Unit Terkait 1. Rawat Inap
2. Farmasi
3. Laboratorium
4. Ambulan
7. Referensi PERMENKES RI NOMOR 5 TAHUN 2014
MORBILI
No. ICPC II : A71 Measles.
No. ICD X : B05.9 Measles without
complication (Measles NOS).
Tingkat Kemampuan: 4A
No.
SOP Dokumen
No. Revisi
Tanggal
Terbit
Halaman 1/3

UPT Puskesmas dr. Hj. Fetty SDK, MKM


Padasuka NIP.196407031990022001
1. Pengertian Suatu penyakit infeksi virus, yang ditandai dengan gejala
prodromal berupa demam, batuk, pilek, konjungtivitis,
eksantem patognomonik, diikuti dengan lesi makulopapular
eritem pada hari ketiga hingga hari ketujuh
2. Tujuan Untuk dapat menegakkan diagnosis suatu penyakit sesuai
dengan standar prosedur pemeriksaan medis, meningkatkan
mutu pelayanan terhadap pasien dan membantu mengetahui
perjalanan,tanda serta gejala penyakit pasien agar tepat
diagnosis
3. Kebijakan Sebagai pedoman dalam melakukan kajian awal untuk
mendapatkan informasi yang lengkap mengenai masalah yang
dihadapi pasien
Pelaksanaan kajian awal untuk mendapatkan informasi yang
lengkap mengenai masalah yang dihadapi pasien harus
mengikuti langkah-langkah yang tertuang dalam SPO kajian
awal yang memuat informasi yang harus diperoleh selama
proses pengkajian
4. Prosedur Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Masa inkubasi 10-15 hari.
Gejala prodromal berupa demam, malaise, gejala respirasi atas
(pilek, batuk), dan konjungtivitis. Pada demam hari keempat,
muncul lesi makula dan papula eritem, yang dimulai pada
kepaladaerah perbatasan dahi rambut, di belakang telinga, dan
menyebar secara sentrifugal ke bawah hingga muka, badan,
ekstremitas, dan mencapai kaki pada hari ketiga.
Faktor Risiko
Anak yang belum mendapat imunisasi campak

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang


Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik Patognomonis
Demam, konjungtivitis, limfadenopati general.
Pada orofaring ditemukan koplik spot sebelum munculnya
eksantem.
Gejala eksantem berupa lesi makula dan papula eritem, dimulai
pada kepala pada daerah perbatasan dahi rambut, di belakang
telinga, dan menyebar secara sentrifugal dan ke bawah hingga
muka, badan, ekstremitas, dan mencapai kaki pada hari ketiga.
Lesi ini perlahan-lahan menghilang dengan urutan sesuai
urutan muncul, dengan warna sisa coklat kekuningan atau
deskuamasi ringan.
Eksantem hilang dalam 4-6 hari.

Gambar. Morbili
Sumber:
http://www.medicinabih.info/medicina/infektologija/morbilli/

Pemeriksaan Penunjang
Biasanya tidak diperlukan.
Pada pemeriksaan sitologi ditemukan sel datia berinti banyak
pada sekret. Pemeriksaan serologi dapat digunakan untuk
konfirmasi

Diagnosis.
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Terdapat varian untuk morbili
a. Morbili termodifikasi.
b. Morbili atipik.
c. Morbili pada individu dengan gangguan imun.

Diagnosis Banding
Erupsi obat, eksantem virus yang lain (rubella, eksantem
subitum), demam skarlatina, infectious mononucleosis, infeksi
M. pneumoniae.

Komplikasi
Komplikasi lebih umum terjadi pada anak dengan gizi buruk,
anak yang belum mendapat imunisasi, dan anak dengan
imunodefisiensi dan leukemia. Komplikasi berupa otitis media,
pneumonia, ensefalitis, trombositopenia. Pada anak HIV yang
tidak diimunisasi, pneumonia yang fatal dapat terjadi tanpa
munculnya lesi kulit.

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


Penatalaksanaan
a. Terapi suportif diberikan dengan menjaga cairan tubuh dan
mengganti cairan yang hilang dari diare dan emesis.
b. Obat diberikan untuk gejala simptomatis, demam dengan
antipiretik.
Jika terjadi infeksi bakteri sekunder, diberikan antibiotik.
Suplementasi vitamin A diberikanpada:
1. Bayi usia kurang dari 6 bulan 50.000 IU/hari PO diberi 2
dosis.
2. Umur 6-11 bulan 100.000 IU/hari PO 2 dosis.
3. Umur di atas 1 tahun 200.000 IU/hari PO 2 dosis.
4. Anak dengan tanda defisiensi vitamin A, 2 dosis pertama
sesuai umur, dilanjutkan dosis ketiga sesuai umur yang
diberikan 2-4 minggu kemudian.

Konseling dan Edukasi


Edukasi keluarga dan pasien bahwa morbili merupakan
penyakit yang menular. Namun demikian, pada sebagian besar
pasien infeksi dapat sembuh sendiri, sehingga pengobatan
bersifat suportif. Edukasi pentingnya memperhatikan cairan
yang hilang dari diare/emesis.Untuk anggota keluarga/kontak
yang rentan, dapat diberikan vaksin campak atau human
immunoglobulin untuk pencegahan. Vaksin efektif bila
diberikan dalam 3 hari terpapar dengan penderita.
Imunoglobulin dapat diberikan pada individu dengan gangguan
imun, bayi umur 6 bulan -1 tahun, bayi umur
kurang dari 6 bulan yang lahir dari ibu tanpa imunitas campak,
dan wanita hamil.

Kriteria rujukan
Perawatan di Rumah Sakit untuk campak dengan komplikasi
(superinfeksi bakteri, pneumonia, dehidrasi, croup, ensefalitis)

Sarana Prasarana
a. Lup.
b. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan sel datia.

Prognosis
Prognosis pada umumnya baik karena penyakit ini merupakan
penyakit selflimiting disease.
5. Kewenangan 1. Dokter umum, dan
2. Dokter Spesialis Penyakit Dalam
6. Unit Terkait 1. Rawat Inap
2. Farmasi
3. Laboratorium
4. Ambulan
7. Referensi PERMENKES RI NOMOR 5 TAHUN 2014

VARISELA
No. ICPC II : A72 Chickenpox
No. ICD X : B01.9Varicella
without complication
(Varicella NOS)
Tingkat Kemampuan: 4A

No.
S Dokumen
No. Revisi
O
Tanggal
P
Terbit
Halaman 1/3

UPT Puskesmas dr. Hj. Fetty SDK, MKM


Padasuka NIP.196407031990022001
1. Pengertian Suatu penyakit infeksi virus, yang ditandai dengan gejala
prodromal berupa demam, batuk, pilek, konjungtivitis,
eksantem patognomonik, diikuti dengan lesi makulopapular
eritem pada hari ketiga hingga hari ketujuh
2. Tujuan Untuk dapat menegakkan diagnosis suatu penyakit sesuai
dengan standar prosedur pemeriksaan medis,
meningkatkan mutu pelayanan terhadap pasien dan
membantu mengetahui perjalanan, tanda serta gejala
penyakit pasien agar tepat diagnosis
3. Kebijakan Sebagai pedoman dalam melakukan kajian awal untuk
mendapatkan informasi yang lengkap mengenai masalah
yang dihadapi pasien. Pelaksanaan kajian awal untuk
mendapatkan informasi yang lengkap mengenai masalah
yang dihadapi pasien harus mengikuti langkah-langkah
yang tertuang dalam SPO kajian awal yang memuat
informasi yang harus diperoleh selama proses pengkajian
4. Prosedur Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Demam, malaise, dan nyeri kepala. Kemudian disusul
timbulnya lesi kulit berupa papul eritem yang dalam waktu
beberapa jam berubah menjadi vesikel. Biasanya disertai
rasa gatal.

Faktor Risiko
a. Anak-anak.
b. Riwayat kontak dengan penderita varisela.
c. Keadaan imunodefisiensi.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang


Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Tanda Patognomonia
Erupsi kulit berupa papul eritematosa yang dalam waktu
beberapa jam berubah menjadi vesikel. Bentuk vesikel ini
khas berupa tetesan embun (tear drops). Vesikel akan
menjadi keruh dan kemudian menjadi krusta. Sementara
proses ini berlangsung, timbul lagi vesikel-vesikel baru yang
menimbulkan penyebaran terjadi secara sentrifugal, serta
dapat menyerang selaput lendir mata, mulut, dan saluran
napas atas.

Gambaran polimorfikkhas untuk varisela.


Gambar. Varisela
Sumber: http://www.hiv.va.gov/provider/image-
library/varicella-zoster.asp?post=1&slide=110

Pemeriksaan Penunjang
Bila diperlukan, pemeriksaan mikroskopis dengan
menemukan sel Tzanck yaitu sel datia berinti banyak.

Penegakan Diagnosis (Assessment)


Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
Pemeriksaan Fisik.

Diagnosis Banding
a. Variola.
b. Herpes simpleks disseminata.
c. Coxsackie virus.
d. Rickettsialpox.

Komplikasi
Pneumonia, ensefalitis, hepatitis, terutama terjadi pada
pasien dengan gangguan imun. Varisela pada kehamilan
berisiko untuk menyebabkan infeksi intrauterin pada janin,
menyebabkan sindrom varisela kongenital.

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


Penatalaksanaan
a. Gesekan kulit perlu dihindari agar tidak mengakibatkan
pecahnya vesikel. Selain itu, dilakukan pemberian
nutrisi TKTP, istirahat dan mencegah kontak dengan
orang lain.
b. Gejala prodromal diatasi sesuai dengan indikasi. Aspirin
dihindari karena dapat menyebabkan Reye’s syndrome.
c. Losio kelamin dapat diberikan untuk mengurangi gatal.
d. Pengobatan antivirus oral, antara lain:
1. Asiklovir: dewasa 5 x 800 mg/hari,anak-anak 4 x 20
mg/kgBB (dosis maksimal 800 mg), atau
2. Valasiklovir: dewasa 3 x 1000 mg/hari. Pemberian obat
tersebut selama 7-10 hari dan efektif diberikan pada
24 jam pertama setelah timbul lesi.

Konseling dan Edukasi


Edukasi bahwa varisella merupakan penyakit yang self-
limiting pada anak yang imunokompeten. Komplikasi yang
ringan dapat berupa infeksi bakteri sekunder. Oleh karena
itu, pasien sebaiknya menjaga kebersihan tubuh. Penderita
sebaiknya dikarantina untuk mencegah penularan.
Kriteria rujukan
a. Terdapat gangguan imunitas
b. Mengalami komplikasi yang berat seperti pneumonia,
ensefalitis, dan hepatitis.

Sarana Prasarana
a. Lup
b. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan sel
Tzanck
Prognosis
Prognosis pada pasien dengan imunokompeten adalah
bonam, sedangkan pada pasien dengan imunokompromais,
prognosis menjadi dubia ad bonam.
5. Kewenangan 1. Dokter Umum
2. Dokter Spesialis Penyakit Dalam
6. Unit 1. Rawat Inap
Terkait 2. Farmasi
3. Laboratorium
4. Ambulan
7. Referensi PERMENKES RI NOMOR 5 TAHUN 2014
MALARIA
No. ICPC II : A73 Malaria
No. ICD X : B54 Unspecifiedmalaria
Tingkat Kemampuan: 4A

No.
SOP Dokumen
No. Revisi
Tanggal
Terbit
Halaman 1/4

UPT Puskesmas dr. Hj. Fetty SDK, MKM


Padasuka NIP.196407031990022001
1. Pengertian Merupakan suatu penyakit infeksi akut maupun kronik yang
disebabkan oleh parasit Plasmodium yang menyerang eritrosit
dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual dalam darah,
dengan gejala demam, menggigil, anemia, dan pembesaran limpa.
2. Tujuan Untuk dapat menegakkan diagnosis suatu penyakit sesuai dengan
standar prosedur pemeriksaan medis, meningkatkan mutu
pelayanan terhadap pasien dan membantu mengetahui
perjalanan, tanda serta gejala penyakit pasien agar tepat diagnosis.
3. Kebijakan Sebagai pedoman dalam melakukan kajian awal untuk
mendapatkan informasi yang lengkap mengenai masalah yang
dihadapi pasien.
Pelaksanaan kajian awal untuk mendapatkan informasi yang
lengkap mengenai masalah yang dihadapi pasien harus mengikuti
langkah-langkah yang tertuang dalam SPO kajian awal yang
memuat informasi yang harus diperoleh selama proses pengkajian
4. Prosedur Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Demam hilang timbul, pada saat demam hilang disertai dengan
menggigil, berkeringat, dapat disertai dengan sakit kepala, nyeri
otot dan persendian, nafsu makan menurun, sakit perut, mual
muntah, dan diare.

Faktor Risiko
a. Riwayat menderita malaria sebelumnya.
b. Tinggal di daerah yang endemis malaria.
c. Pernah berkunjung 1-4 minggu di daerah endemic malaria.
d. Riwayat mendapat transfusi darah.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana


(Objective)
Pemeriksaan Fisik Patognomonis
a. Pada periode demam:
1. Kulit terlihat memerah, teraba panas, suhu tubuh meningkat
dapat sampai di atas 400C dan kulit kering.
2. Pasien dapat juga terlihat pucat.
3. Nadi teraba cepat
4. Pernapasan cepat (takipnue)

b. Pada periode dingin dan berkeringat:


1. Kulit teraba dingin dan berkeringat.
2. Nadi teraba cepat dan lemah.
3. Pada kondisi tertentu bisa ditemukan penurunan kesadaran.

Kepala : Konjungtiva anemis, sklera ikterik, bibir sianosis, dan


pada
malaria serebral dapat ditemukan kaku kuduk.
Toraks : Terlihat pernapasan cepat.
Abdomen : Teraba pembesaran hepar dan limpa, dapat juga
ditemukan asites.
Ginjal : Bisa ditemukan urin berwarna coklat kehitaman, oligouri
atau anuria.
Ekstermitas : Akral teraba dingin merupakan tanda-tanda
menuju syok.

Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan hapusan darah tebal dan tipis ditemukan parasit
Plasmodium; atau
b. Menggunakan Rapid Diagnostic Test untuk malaria (RDT).

Diagnosis.
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis (Trias Malaria: panas
–menggigil – berkeringat), pemeriksaan fisik, dan ditemukannya
parasit plasmodium pada pemeriksaan mikroskopis hapusan darah
tebal/tipis.

Klasifikasi
a. Malaria falsiparum, ditemukan Plasmodium falsiparum.
b. Malaria vivaks ditemukan Plasmodium vivax.
c. Malaria ovale, ditemukan Plasmodium ovale.
d. Malaria malariae, ditemukan Plasmodium malariae.
e. Malaria knowlesi, ditemukan Plasmodium knowlesi.

Diagnosis Banding
a. Demam Dengue
b. Demam Tifoid
c. Leptospirosis
d. Infeksi virus akut lainnya

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


Penatalaksanaan
a. Pengobatan malaria falsiparum
Lini pertama: dengan Fixed Dose Combination = FDC yang
terdiri dari Dihydroartemisinin (DHA) + Piperakuin (DHP) tiap
tablet mengandung 40 mg Dihydroartemisinin dan 320 mg
Piperakuin.
Untuk dewasa dengan Berat Badan (BB) sampai dengan 59 kg
diberikan DHP peroral 3 tablet satu kali per hari selama 3 hari
dan Primakuin 2 tablet sekali sehari satu kali pemberian,
sedang untuk BB >.60 kg diberikan 4 tablet DHP satu kali
sehari selama 3 hari dan Primaquin 3 tablet sekali sehari satu
kali pemberian.
Dosis DHA = 2-4 mg/kgBB (dosis tunggal), Piperakuin = 16-32
mg/kgBB (dosis tunggal), Primakuin = 0,75 mg/kgBB (dosis
tunggal).
Pengobatan malaria falsiparum yang tidak respon terhadap
pengobatan DHP.

Lini kedua: Kina + Doksisiklin/ Tetrasiklin + Primakuin. Dosis


kina = 10 mg/kgBB/kali (3x/ hari selama 7 hari), Doksisiklin =
3,5 mg/kgBB per hari ( dewasa, 2x/hr selama7 hari), 2,2
mg/kgBB/hari ( 8-14 tahun, 2x/hr selama7 hari), Tetrasiklin =
4-5 mg/kgBB/kali (4x/hr selama 7 hari).

b. Pengobatan malaria vivax dan ovale


Lini pertama: Dihydroartemisinin (DHA) + Piperakuin (DHP),
diberikan peroral satu kali per hari selama 3 hari,primakuin=
0,25mg/kgBB/hari (selama 14 hari).

Pengobatan malaria vivax yang tidak respon terhadap


pengobatan DHP.
Lini kedua: Kina + Primakuin. Dosis kina = 10 mg/kgBB/kali
(3x/hr selama 7 hari), Primakuin = 0,25 mg/kgBB (selama 14
hari).

Pengobatan malaria vivax yang relaps (kambuh):


1. Diberikan lagi regimen DHP yang sama tetapi dosis
primakuin ditingkatkan menjadi 0,5 mg/kgBB/hari.
2. Dugaan relaps pada malaria vivax adalah apabila pemberian
Primakiun dosis 0,25 mg/kgBB/hr sudah diminum selama 14
hari dan penderita sakit kembali dengan parasit positif dalam
kurun waktu 3 minggu sampai 3 bulan setelah pengobatan.

c. Pengobatan malaria malariae


Cukup diberikan DHP 1 kali perhari selama 3 hari dengan dosis
sama dengan pengobatan malaria lainnya dan dengan dosis
sama dengan pengobatan malaria lainnya dan tidak diberikan
Primakuin.

d. Pengobatan infeksi campuran antara malaria falsiparum dengan


malaria vivax/malaria ovale dengan DHP.
Pada penderita dengan infeksi campuran diberikan DHP 1 kali
per hari selama 3 hari, serta DHP 1 kali per hari selama 3 hari
serta Primakuin dosis 0,25 mg/kgBBselama 14 hari.
c. Pengobatan malaria pada ibu hamil
1. Trimester pertamadiberikan Kina tablet 3x 10mg/ kg BB +
Klindamycin 10mg/kgBB selama 7 hari.
2. Trimester kedua dan ketiga diberikan DHP tablet selama 3
hari.
3. Pencegahan/profilaksis digunakan Doksisiklin 1 kapsul 100
mg/hari diminum 2 hari sebelum pergi hingga 4 minggu
setelah keluar/pulang dari daerah endemis.
Pengobatan di atas diberikan berdasarkan berat badan penderita.

Komplikasi
a. Malaria serebral.
b. Anemia berat.
c. Gagal ginjal akut.
d. Edema paru atau ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome).
e. Hipoglikemia.
f. Gagal sirkulasi atau syok.
g. Perdarahan spontan dari hidung, gusi, alat pencernaan dan
atau disertai kelainan laboratorik adanya gangguan koagulasi
intravascular.
h. Kejang berulang > 2 kali per 24 jam pendidngan pada
hipertermia.
i. Asidemia (pH darah <7.25)atau asidosis (biknat plasma < 15
mmol/L).
j. Makroskopik hemoglobinuria karena infeksi malaria akut.

Konseling danEdukasi
a. Pada kasus malaria berat disampaikan kepada keluarga
mengenai prognosis penyakitnya.
b. Pencegahan malaria dapat dilakukan dengan :
1. Menghindari gigitan nyamuk dengan kelambu atau repellen.
2. Menghindari aktivitas di luar rumah pada malam hari.
3. Mengobati pasien hingga sembuh misalnya dengan
pengawasan minum obat.

Kriteria Rujukan
a. Malaria dengan komplikasi
b. Malaria berat, namun pasien harus terlebih dahulu diberi dosis
awal Artemisinin atau Artesunat per Intra Muskular atau Intra
Vena dengan dosis awal 3,2mg /kg BB
Sarana Prasarana
a. Lup.
b. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan sel datia.

Prognosis
Prognosis pada umumnya baik karena penyakit ini merupakan
penyakit selflimiting disease.
5. Kewenanga 1. Dokter umum, dan
n 2. Dokter Spesialis Penyakit Dalam
6. Unit Terkait 1. Rawat Inap
2. Farmasi
3. Laboratorium
4. Ambulan
7. Referensi PERMENKES RI NOMOR 5 TAHUN 2014
Demam Dengue dan
Demam Berdarah Dengue

No. ICPC II : A77 Viral disease


other/NOS
No. ICD X : A90 Dengue fever
A91 Dengue haemorrhagic fever
Tingkat Kemampuan: 4A

No.
SOP Dokumen
No. Revisi
Tanggal
Terbit
Halaman 1/4

UPT Puskesmas dr. Hj. Fetty SDK, MKM


Padasuka NIP.196407031990022001
1. Pengertian Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue adalah penyakit
infeksi yang disebabkan oleh virus Dengue. Virus Dengue memiliki
4 jenis serotype: DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4. Infeksi salah satu
serotype akan menimbulkan antibody terhadap serotype yang
bersangkutan, namun tidak untuk serotype lainnya, sehingga
seseorang dapat terinfeksi demam Dengue 4 kali selama hidupnya.
Indonesia merupakan Negara yang endemis untuk Demam Dengue
maupun Demam Berdarah Dengue.
2. Tujuan Untuk dapat menegakkan diagnosis suatu penyakit sesuai dengan
standar prosedur pemeriksaan medis, meningkatkan mutu
pelayanan terhadap pasien dan membantu mengetahui
perjalanan, tanda serta gejala penyakit pasien agar tepat diagnosis
3. Kebijakan Sebagai pedoman dalam melakukan kajian awal untuk
mendapatkan informasi yang lengkap mengenai masalah yang
dihadapi pasien.
Pelaksanaan kajian awal untuk mendapatkan informasi yang
lengkap mengenai masalah yang dihadapi pasien harus mengikuti
langkah-langkah yang tertuang dalam SPO kajian awal yang
memuat informasi yang harus diperoleh selama proses pengkajian
4. Prosedur Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Demam dengue (dengan atau tanpa perdarahan): demam bifasik
akut 2-7 hari, nyeri kepala, nyeri retroorbital, mialgia/atralgia,
ruam, gusi berdarah, mimisan, nyeri perut, mual/muntah,
hematemesis dan dapat juga melena.
Faktor Risiko
a. Tinggal di daerah endemis dan padat penduduknya.
b. Pada musim panas (28-320C) dan kelembaban tinggi.
c. Sekitar rumah banyak genangan air

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana


(Objective)
Pemeriksaan Fisik
Tanda patognomonik untuk demam dengue
a. Suhu Suhu > 37,5 derajat celcius
b. Ptekie, ekimosis, purpura
c. Perdarahan mukosa
d. Rumple Leed (+)

Tanda Patognomonisuntuk demam berdarah dengue


a. Suhu > 37,5 derajat celcius
b. Ptekie, ekimosis, purpura
c. Perdarahan mukosa
d. Rumple Leed (+)
e. Hepatomegali
f. Splenomegali
g. Untuk mengetahui terjadi kebocoran plasma, diperiksa tanda
tanda efusi pleura dan asites.
h. Hematemesis atau melena

Pemeriksaan Penunjang:
a. Leukosit: leukopenia cenderung pada demam dengue
b. Adanya bukti kebocoran plasma yang disebabkan oleh
peningkatan permeabilitas pembuluh darah pada Demam
Berdarah Dengue dengan manifestasi peningkatan hematokrit
diatas 20% dibandingkan standard sesuai usia dan jenis
kelamin dan atau menurun dibandingkan nilai hematokrit
sebelumnya > 20% setelah pemberian terapi cairan.
c. Trombositopenia (Trombosit <100.000/ml) ditemukan pada
Demam Berdarah Dengue

Diagnosis.
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis
Kriteria WHO, diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal dibawah
ini
terpenuhi:
a. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya
bifasik/ pola plana
b. Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut
1. Uji bendung positif
2. Petekie, ekimosis atau purpura
3. Perdarahan mukosa atau perdarahan dari tempat lain
4. Hematemesis atau melena
c. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ul)
d. Terdapat minimal satu tanda-tanda kebocoran plasma sebagai
berikut:
1. Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standard sesuai
dengan umur dan jenis kelamin
2. Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,
dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.
3. Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asistes atau
hipoproteinemia
Klasifikasi
Derajat DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat (pada setiap derajat
sudah ditemukan trombositopenia dan hemokonsentrasi)
berdasarkan klassifikasi WHO 1997:
a. Derajat I : Demam disertai gejala konstitusional yang tidak khas
dan satu-satunya manifestasi perdarahan ialah uji bending.
b. Derajat II : Seperti derajat I namun disertai perdarahan spontan
di kulit dan atau perdarahan lain.
c. Derajat III : Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat
dan lambat, tekanan nadi menurun (20mmHg atau kurang)
atauhipotensi, sianosis di sekitar mulut, kulit dingin dan
lembab.
d. Derajat IV : Syok berat, nadi tak teraba, tekanan darah tak
terukur.

Diagnosis Banding
a. Demam karena infeksi virus ( influenza , chikungunya, dan lain-
lain)
b. Demam Tifoid

Komplikasi
Dengue Shock Syndrome (DSS)

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


Penatalaksanaan
a. Terapi simptomatik dengan analgetik antipiretik (Parasetamol 3
x 500-1000 mg).
b . Pemeliharaan volume cairan sirkulasi
c. Alur penanganan pasien dengan demam dengue/demam
berdarah dengue, yaitu

Gambar 4. Alur penanganan pasien dengan demam


dengue/demam berdarah dengue

Pemeriksaan Penunjang Lanjutan


Pemeriksaan Kadar Trombosit dan Hematokrit secara serial

Konseling dan Edukasi


a. Prinsip konseling pada demam berdarah dengue adalah
memberikan pengertian kepada pasien dan keluarganya tentang
perjalanan penyakit dan tatalaksananya, sehingga pasien dapat
mengerti bahwa tidak ada obat/medikamentosa untuk
penanganan DBD, terapi hanya bersifat suportif dan mencegah
perburukan penyakit. Penyakit akan sembuh sesuai dengan
perjalanan alamiah penyakit.
b. Modifikasi gaya hidup
1. Melakukan kegiatan 3M menguras, mengubur, menutup.
2. Meningkatkan daya tahan tubuh dengan mengkonsumsi
makanan bergizi dan melakukan olahraga secara rutin.

Kriteria rujukan
a. Terjadi perdarahan masif (hematemesis, melena).
b. Dengan pemberian cairan kristaloid sampai dosis 15 ml/kg/ jam
kondisi belum membaik.
c. Terjadi komplikasi atau keadaan klinis yang tidak lazim, seperti
kejang, penurunan kesadaran, dan lainnya.

Sarana Prasarana
Laboratorium untuk pemeriksaan darah rutin

Prognosis
Prognosis jika tanpa komplikasi umumnya dubia ad bonam, karena
hal ini tergantung dari derajat beratnya penyakit.
5. Kewenangan 1. Dokter umum, dan
2. Dokter Spesialis Penyakit Dalam
6. Unit Terkait 1. Rawat Inap
2. Farmasi
3. Laboratorium
4. Ambulan
7. Referensi PERMENKES RI NOMOR 5 TAHUN 2014
LEPTOSPIROSIS

No. ICPC II : A78Infection disease


other/ NOS
No. ICD X : A27.9
Tingkat Kemampuan: 4A

No.
SOP Dokumen
No. Revisi
Tanggal
Terbit
Halaman 1/3

UPT Puskesmas dr. Hj. Fetty SDK, MKM


Padasuka NIP.196407031990022001
1. Pengertian Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang menyerang manusia
disebabkan oleh mikroorganisme Leptospira interogans dan
memiliki manifestasi klinis yang luas. Spektrum klinis mulai dari
infeksi yang tidak jelas sampai fulminan dan fatal. Pada jenis yang
ringan, leptospirosis dapat muncul seperti influenza dengan sakit
kepala dan myalgia. Tikus, adalah reservoir yang utama dan
kejadian leptospirosis lebih banyak ditemukan pada musim hujan
2. Tujuan Untuk dapat menegakkan diagnosis suatu penyakit sesuai dengan
standar prosedur pemeriksaan medis, meningkatkan mutu
pelayanan terhadap pasien dan membantu mengetahui
perjalanan, tanda serta gejala penyakit pasien agar tepat diagnosis
3. Kebijakan Sebagai pedoman dalam melakukan kajian awal untuk
mendapatkan informasi yang lengkap mengenai masalah yang
dihadapi pasien
Pelaksanaan kajian awal untuk mendapatkan informasi yang
lengkap mengenai masalah yang dihadapi pasien harus mengikuti
langkah-langkah yang tertuang dalam SPO kajian awal yang
memuat informasi yang harus diperoleh selama proses pengkajian
4. Prosedur Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Demam disertai menggigil, sakit kepala, anoreksia, mialgia yang
hebat pada betis, paha dan pinggang disertai nyeri tekan. Mual,
muntah, diare dan nyeri abdomen, fotofobia, penurunan kesadaran

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana


(Objective)
Pemeriksaan Fisik
Febris, Ikterus, Nyeri tekan pada otot, Ruam kulit,
Limfadenopati,
Hepatomegali, Splenomegali, Edema, Bradikardi relatif,
Konjungtiva suffusion, Gangguan perdarahan berupa petekie,
purpura, epistaksis dan perdarahan gusi, kaku kuduk sebagai
tanda meningitis
Pemeriksaan Penunjang:
Pemeriksaan Laboratorium
a. Darah rutin: jumlah leukosit antara 3000-26000/μL, dengan
pergeseran ke kiri, trombositopenia yang ringan terjadi pada
50% pasien dan dihubungkan dengan gagal ginjal.
b. Urin rutin: sedimen urin (leukosit, eritrosit, dan hyalin atau
granular) dan proteinuria ringan, jumlah sedimen eritrosit
biasanya meningkat.

Penegakan Diagnosis
Diagnosis Klinis
Diagnosis dapat ditegakkan pada pasien dengan demam tiba-tiba,
menggigil terdapat tanda konjungtiva suffusion, sakit kepala,
myalgia ikterus dan nyeri tekan pada otot. Kemungkinan tersebut
meningkat jika ada riwayat bekerja atau terpapr dengan
lingkungan yang terkontaminasi dengan kencing tikus.
Diagnosis Banding
a. Demam dengue,
b. Malaria,
c. Hepatitis virus,
d. Penyakit rickettsia. iagnosis.

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


Penatalaksanaan
a. Pengobatan suportif dengan observasi ketat untuk mendeteksi
dan mengatasi keadaan dehidrasi, hipotensi, perdarahan dan
gagal ginjal sangat penting pada leptospirosis.
b. Pemberian antibiotik harus dimulai secepat mungkin. Pada
kasus-kasus ringan dapat diberikan antibiotika oral seperti
doksisiklin, ampisilin, amoksisilin atau erytromicin. Pada kasus
leptospirosis berat diberikan dosis tinggi penicillin injeksi.

Komplikasi
a. Meningitis
b. Distress respirasi
c. Gagal ginjal karena renal interstitial tubular necrosis
d. Gagal hati
e. Gagal jantung

Konseling dan Edukasi


a. Pencegahan leptospirosis khususnya didaerah tropis sangat
sulit,
karena banyaknya hospes perantara dan jenis serotype. Bagi
mereka yang mempunyai risiko tinggi untuk tertular
leptospirosis harus diberikan perlindungan berupa pakaian
khusus yang dapat melindunginya dari kontak dengan bahan-
bahan yang telah terkontaminasi dengan kemih binatang
reservoir.
b. Keluarga harus melakukan pencegahan leptospirosis dengan
menyimpan makanan dan minuman dengan baik agar terhindar
dari tikus, mencuci tangan, dengan sabun sebelum makan,
mencuci tangan, kaki serta bagian tubuh lainnya dengan sabun
setelah bekerja di sawah/ kebun/ sampah/ tanah/ selokan dan
tempat tempat yang tercemar lainnya.

Rencana Tindak Lanjut


Kasus harus dilaporkan ke dinas kesehatan setempat.

Kriteria Rujukan
Pasien segera dirujuk ke pelayanan sekunder (spesialis penyakit
dalam) yang memiliki fasilitas hemodialisa setelah penegakan
diagnosis dan terapi awal.

Sarana Prasarana
Pemeriksaan darah dan urin rutin

Prognosis
Prognosis jika pasien tidak mengalami komplikasi umumnya
adalah dubia ad bonam.
5. Kewenangan 1. Dokter umum, dan
2. Dokter Spesialis Penyakit Dalam

6. Unit Terkait 1. Rawat Inap


2. Farmasi
3. Laboratorium
4. Ambulan
7. Referensi PERMENKES RI NOMOR 5 TAHUN 2014

INFEKSI PADA UMBILICUS

No. ICPC II : A78 Infectious disease


other
Tingkat Kemampuan: 4A
No.
SOP Dokumen
No. Revisi
Tanggal
Terbit
Halaman 1/3

UPT Puskesmas dr. Hj. Fetty SDK, MKM


Padasuka NIP.196407031990022001
1. Pengertian Tali pusat biasanya lepas pada hari ke-7 setelah lahir dan luka
baru sembuh pada hari ke-15. Infeksi pada tali pusat atau
jaringan kulit di sekitar perlu dikenali secara dini dalam rangka
mencegah sepsis.
2. Tujuan Untuk dapat menegakkan diagnosis suatu penyakit sesuai dengan
standar prosedur pemeriksaan medis, meningkatkan mutu
pelayanan terhadap pasien dan membantu mengetahui
perjalanan, tanda serta gejala penyakit pasien agar tepat diagnosis
3. Kebijakan Sebagai pedoman dalam melakukan kajian awal untuk
mendapatkan informasi yang lengkap mengenai masalah yang
dihadapi pasien
Pelaksanaan kajian awal untuk mendapatkan informasi yang
lengkap mengenai masalah yang dihadapi pasien harus mengikuti
langkah-langkah yang tertuang dalam SPO kajian awal yang
memuat informasi yang harus diperoleh selama proses pengkajian
4. Prosedur Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Panas, Rewel, Tidak mau menyusu.

Faktor Risiko
a. Imunitas seluler danhumoral belum sempurna
b. Luka umbilikus
c. Kulit tipis sehinggamudah lecet

Faktor Predisposisi
Pemotongan dan perawatan tali pusat yang tidak steril

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana


(Objective)
Pemeriksaan Fisik
a. Ada tanda tanda infeksi di sekitar tali pusat seperti
kemerahan, panas, bengkak, nyeri dan mengeluarkan pus
yang berbau busuk.
b. Infeksi tali pusat lokal atau terbatas: bila kemerahan dan
bengkak terbatas pada daerah kurang dari 1cm di sekitar
pangkal tali pusat.
c. Infeksi tali pusat berat atau meluas: bila kemerahan atau
bengkak pada tali pusat meluas melebihi area 1 cm atau
kulit di sekitar tali pusat bayi mengeras dan memerah serta
bayi mengalami pembengkakan perut.
d. Tanda sistemik: demam, takikardia, hipotensi, letargi,
somnolen, ikterus
Pemeriksaan Penunjang: -

Penegakan Diagnosis
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik. Adanya tanda-tanda infeksi disekitar umblikus seperti
bengkak, kemerahan dan kekakuan. Pada keadaan tertentu ada
lesi berbentuk impetigo bullosa.
Diagnosis Banding
a. Tali pusat normal dengan akumulasi cairan berbau busuk tidak
ada tanda tanda infeksi (pengobatan cukup dibersihkan dengan
alkohol).
b. Granuloma-delayed epithelialization/ Granuloma keterlambatan
proses epitelisasi karena kauterisasi.

Komplikasi
a. Necrotizing fasciitis dengan tanda-tanda: edema, kulit tampak
seperti jeruk (peau d’orange appearance) disekitar tempat
infeksi, progresifitas cepat dan dapat menyebabkan kematian
maka kemungkinan menderita.
b. Peritonitis.
c. Trombosis vena porta.
d. Abses.

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


Penatalaksanaan
Perawatan lokal:
a. Pembersihan tali pusat dengan menggunakan larutan
antiseptik
(Klorheksidin atau iodium povidon 2,5%) dengan kain kasa yang
bersih delapan kali sehari sampai tidak ada nanah lagi pada tali
pusat.
b. Setelah dibersihkan, tali pusat dioleskan dengan salep
antibiotik 3-4 kali sehari.

Perawatan sistemik:
Bila tanpa gejala sistemik, pasien diberikan antibiotik seperti
kloksasilin oral selama lima hari. Bila anak tampak sakit, harus
dicek dahulu ada tidaknya tanda-tanda sepsis. Anak dapat
diberikan antibiotik kombinasi dengan aminoglikosida. Bila tidak
ada perbaikan, pertimbangkan kemungkinan Meticillin Resistance
Staphylococcus aureus (MRSA).

Kontrol kembali bila tidak ada perbaikan atau ada perluasan


tanda-tanda infeksi dan komplikasi seperti bayi panas, rewel dan
mulai tak mau makan.

Rencana Tindak Lanjut


Kasus harus dilaporkan ke dinas kesehatan setempat.

Kriteria Rujukan
Pasien segera dirujuk ke pelayanan sekunder (spesialis penyakit
dalam) yang memiliki fasilitas hemodialisa setelah penegakan
diagnosis dan terapi awal.

Sarana Prasarana
a. Klorheksidin atau iodium povidon 2,5%.
b. Kain kasa.
c. Larutan antiseptik (klorheksidin atau iodium povidon 2,5%).
d. Salep antibiotik.

Prognosis
Prognosis jika pasien tidak mengalami komplikasi umumnya dubia
ad bonam
5. Kewenangan 1. Dokter umum, dan
2. Dokter Spesialis Penyakit Dalam
6. Unit Terkait 1. Rawat Inap
2. Farmasi
3. Laboratorium
4. Ambulan
7. Referensi PERMENKES RI NOMOR 5 TAHUN 2014
LEPRA
No. ICPCII: A78Infectious disease
other/NOS
No. ICD X : A30 Leprosy[Hansen
disease
No.
SOP Dokumen
No. Revisi
Tanggal
Terbit
Halaman 1/8

UPT Puskesmas dr. Hj. Fetty SDK, MKM


Padasuka NIP.196407031990022001
1. Pengertia Lepra adalah penyakit menular, menahun dan disebabkan oleh
n Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Penularan
kemungkinan terjadi melalui saluran pernapasan atas dan kontak
kulit pasien lebih dari 1 bulan terus menerus. Masa inkubasi rata-
rata 2,5 tahun, namun dapat juga bertahun-tahun.
2. Tujuan Untuk dapat menegakkan diagnosis suatu penyakit sesuai dengan
standar prosedur pemeriksaan medis, meningkatkan mutu
pelayanan terhadap pasien dan membantu mengetahui
perjalanan,tanda serta gejala penyakit pasien agar tepat diagnosis
3. Kebijakan Sebagai pedoman dalam melakukan kajian awal untuk
mendapatkan informasi yang lengkap mengenai masalah yang
dihadapi pasien
Pelaksanaan kajian awal untuk mendapatkan informasi yang
lengkap mengenai masalah yang dihadapi pasien harus mengikuti
langkah-langkah yang tertuang dalam SPO kajian awal yang
memuat informasi yang harus diperoleh selama proses pengkajian
4. Prosedur Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Bercak kulit berwarna merah atau putih berbentuk plakat,
terutama di wajah dan telinga.Bercak kurang/mati rasa, tidak
gatal. Lepuh pada kulit tidak dirasakan nyeri. Kelainan kulit tidak
sembuh dengan pengobatan rutin, terutama bila terdapat
keterlibatan saraf tepi.

Faktor Risiko
a. Sosial ekonomi rendah
b. Kontak lama dengan pasien, seperti anggota keluarga yang
didiagnosis dengan lepra
c. Imunokompromais
d. Tinggal di daerah endemik lepra

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana


(Objective)
Pemeriksaan Fisik Patognomonis
a.Tanda-tanda pada kulit
Perhatikan setiap bercak, bintil (nodul), bercak berbentuk
plakat dengan kulit mengkilat atau kering bersisik. Kulit tidak
berkeringat dan berambut. Terdapat baal pada lesi kulit, hilang
sensasi nyeri dan suhu, vitiligo. Pada kulit dapat pula
ditemukan nodul.
b.Tanda-tanda pada saraf
Penebalan nervus perifer, nyeri tekan dan atau spontan pada
saraf, kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeripada anggota
gerak, kelemahan anggota gerak dan atau wajah, adanya
deformitas, ulkus yang sulit sembuh.
Kerusakan saraf tepi biasanya terjadi pada saraf yang ditunjukkan
pada gambar berikut:

Gambar 5. Saraf tepi yang perlu diperiksa

c. Ekstremitas dapat terjadi mutilasi


Untuk kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan fisik,
simbol-simbol berikut digunakan dalam penulisan di rekam
medik

Gambar 6. Penulisan kelainan pemeriksaan


fisik pada rekam medik

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan mikroskopis kuman BTA pada sediaan kerokan
jaringan kulit.

Diagnosis.
Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan apabila terdapat satu dari tanda-tanda
utama atau cardinal (cardinal signs), yaitu:
a.Kelainan (lesi) kulit yang mati rasa.
b.Penebalan saraf tepi yang disertai gangguan fungsi saraf.
c. Adanya basil tahan asam(BTA) dalam kerokan jaringan
kulit(slitskin smear).
Sebagian besar pasien lepra didiagnosis berdasarkan
pemeriksaan klinis.

Klasifikasi Lepra terdiri dari 2 tipe, yaitu Pausibasilar (PB) dan


Multibasilar (MB).
Tabel4. TandautamalepratipePBdanMB

TandaUtama PB MB
Bercak Kusta Jumlah 1-5 Jumla
Penebalan saraf tepi Hanya1saraf Lebih dar
disertaigangguan fungsi
(matirasa danatau
kelemahan otot,di
Kerokan
daerah jaringan kulit
yang BTA negatif BTA p

Tabel5. Tandalainklasifikasilepra

TandaLain PB MB
Distribusi Unilateral atau Bilateral simet
bilateral asimetris
Permukaan bercak Kering,kasar Halus,mengkil
Batas bercak Tegas Kurang tegas
Mati rasapadabercak Jelas Biasanyakuran
Deformitas Proses terjadilebih cepat Terjadi padata
Ciri-ciri khas - Mandarosis,hid
pelana,
(faciesleonina),

Gambar7. Alurdiagnosisdanklasifikasikusta

Diagnosis Banding
bercak eritema.
a. Psoriasis
b. Tinea circinata
c. Dematitis serboroik
Bercak putih
a. Vitiligo
b. Pitiriasis versikolor
c. Pitiriasis alba
Nodul
a. Neurofibromatosis
b. Sarkoma Kaposi
c. Veruka vulgaris

Komplikasi
Arthritis.

Tabel6. Faktor pencetus reaksi tipe1 dan tipe 2

Reaksi Tipe1 Reaksi Tipe2


Pasiendenganbercak multipledan Obat MDT,kecuali lampren
diseminata, mengenai area
tubuh yang luassertaketerlibatan
Bercak luaspada BI>4+
wajahdanlesidekat
mata,berisikoterjadinya lagoftalmos
Saatpuerpurium (karena Kehamilan awal (karena
peningkatan CMI).Palingtinggi6 mental), trisemester ke-3, d
bulanpertama setelah puerpurium (karena stres
melahirkan/masamenyusui setiap
Infeksi penyerta:Hepatitis Bdan C Infeksipenyerta:streptokoku
cacing,filarial,malaria
Neuritis atau riwayatnyeri saraf Stress fisikdan mental
Lain-lain seperti trauma,
imunisasi protektif, tes M
positif kuat, minum k

Tabel7. Perbedaanreaksitipe1dan2

No Gejala Tanda
1. Tipekusta Dapat Reaksi
terjadi tipe1 Reaksi t
pada kusta Hanyapadaku
tipePB maupunMB
2. Waktu timbulnya Biasanya segera Biasanya
setelah pengobatan setelahmendap
pengobatanya
3. Keadaanumum Umumnyabaik, demam Ringan samp
ringan (sub-febris) atau disertai

4. Peradangan tanpademam lamamenjadi Timbul


di Bercakkulit umum dan de n
kulit lebih meradang (merah), kemerahan, l
bengkak,berkilat, hangat. dannyeritekan.
Kadang-kadang pada lengand
5. Saraf Seringterjadi,
hanyapada umumnya Dapat
sebagianlesi. Nodus terjadi
dapat pec
berupa nyeri saraf
danatau
6. Udempada (+) (-)
ekstrimita

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


Penatalaksanaan
a. Pasien diberikan informasi mengenai kondisi pasien
saat ini, serta mengenai pengobatan serta pentingnya
kepatuhan untuk eliminasi penyakit.
b. Higiene diri dan pola makan yang baik perlu dilakukan.
c. Pasien dimotivasi untuk memulai terapi hingga selesai
terapi dilaksanakan.
d. Terapi menggunakan MultiDrug Therapy(MDT) pada:
1.Pasien yang baru didiagnosis kusta dan belum pernah
mendapat MDT.
2.Pasien ulangan, yaitu pasien yang mengalami hal-hal di
bawah ini:
a)Relaps
b)Masuk kembali setelah default(dapat PBmaupun MB)
c) Pindahan (pindah masuk)
d)Ganti klasifikasi/tipe e.
Terapi pada pasienPB:
1.Pengobatan bulanan: hari pertama setiap bulannya
(obatdiminum di depan petugas) terdiri dari: 2 kapsul
rifampisin @ 300mg (600mg) dan
1 tablet dapson/DDS 100 mg.
2.Pengobatan harian: hari ke 2-28 setiap bulannya:
1 tablet dapson/DDS 100 mg. 1 blister obat untuk 1
bulan.
3.Pasien minum obat selama 6-9 bulan (± 6 blister).
4.Pada anak 10-15 tahun, dosis rifampisin 450 mg,
dan DDS 50 mg. f. Terapi pada PasienMB:
1.Pengobatan bulanan: hari pertama setiap bulannya
(obatdiminum di depan petugas) terdiri dari: 2
kapsulrifampisin @ 300mg (600mg), 3 tablet lampren
(klofazimin) @ 100mg (300mg) dan 1 tablet
dapson/DDS 100 mg.
2.Pengobatan harian:harike2-
28setiapbulannya:1tabletlampren50 mg dan 1 tablet
dapson/DDS 100 mg. 1 blister obat untuk 1 bulan.
3.Pasien minum obat selama 12-18 bulan (± 12 blister).
4.Padaanak10-15tahun,dosisrifampisin450mg,lampren150mg
dan DDS50 mguntuk dosis bulanannya, sedangkan
dosisharian untuk lampren 50 mg diselang 1 hari.
g. Dosis MDT pada anak <10 tahun dapat disesuaikan
dengan berat badan:
1.Rifampisin: 10-15 mg/kgBB
2.Dapson: 1-2 mg/kgBB
3.Lampren: 1 mg/kgBB
h.Obatpenunjang(vitamin/roboransia)dapatdiberikanvitamin
B1,B6, dan B12.
i. Tablet MDT dapat diberikan pada pasien hamil dan
menyusui. Bila pasien juga mengalami tuberkulosis,
terapi rifampisin disesuaikan dengan tuberkulosis.
j.
Untukpasienyangalergidapson,dapatdigantidenganlampren,un
tuk
MB dengan alergi, terapinya hanya 2 macam obat (dikurangi
DDS)

Tabel8. Efeksampingobatdan penanganannya

Masalah NamaObat Penan


Ringan
Air seni berwarna Rifampisin Reassurance
(Menenangka
penderita de
Perubahan Clofazimin Konseling
warnakulit menjadi
Masalahgastrointestinal Semuaobat (3obat dalam Obatdiminum
MDT) bersamaan
denganmaka
Anemia Dapson Berikan t
dan
Serius
Ruamkulit yang gatal Dapson Hentikan Dap
Alergi urtikaria Dapson atau Rifampisin Hentikan
Ikterus (kuning) Rifampisin Hentikan
keduanya,Ru
Rifampisin, R
Shock, purpura, Rifampisin Hentikan
gagal ginjal Rifampisin, R

Terapiuntukreaksikustaringan,dilakukandenganpemberianpred
nison dengan cara pemberian:
a.2 Minggu pertama 40 mg/hari (1x8 tab) pagi hari
sesudah makan
b.2 Minggu kedua 30 mg/hari (1x6 tab) pagi hari sesudah
makan
c. 2 Minggu ketiga 20 mg/hari (1x4 tab) pagi hari sesudah
makan
d.2 Minggu keempat 15 mg/hari (1x3 tab) pagi hari sesudah
makan
e. 2 Minggu kelima 10 mg/hari (1x2 tab) pagi hari sesudah
makan
f. 2 Minggu Keenam 5 mg/hari (1x1 tab) pagi hari sesudah
makan
Bila terdapat ketergantungan terhadap Prednison, dapat
diberikanLampren lepas.

Konseling dan Edukasi


a.Individu dan keluarga diberikan penjelasan tentang lepra,
terutama cara penularan dan pengobatannya.
b.Dari keluarga diminta untuk membantu memonitor
pengobatan pasien sehingga dapat tuntas sesuai waktu
pengobatan.
c. Apabila terdapat tanda dan gejala serupapada anggota
keluarga lainnya, perlu dibawa dan diperiksakan ke
pelayanan kesehatan.

Rencana tindak lanjut :


a.Setiap petugas harus memonitor tanggal pengambilan obat.
b.Bila terlambat, paling lama dalam 1 bulan harus dilakukan
pelacakan.
c.
ReleaseFromTreatment(RFT)dapatdinyatakansetelahdosisdi
penuhi tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium.
d.PasienyangsudahRFTnamunmemilikifaktorrisiko:cacattingka
t1 atau 2, pernah mengalami reaksi, BTA pada awal
pengobatan >3 (ada nodul atau infiltrate), maka perlu
dilakukan pengamatan semi-aktif.
e. Pasien PB yang telah mendapat pengobatan 6 dosis (blister)
dalam waktu 6-9 bulan dinyatakan RFT, tanpa
harus pemeriksaan laboratorium.
f. Pasien MB yang telah mendapat pengobatan MDT 12 dosis
(blister) dalam waktu 12-18 bulan dinyatakan RFT, tanpa
haruspemeriksaan laboratorium.
g.Default
Jika pasien PB tidak mengambil/minum obatnya lebih dari
3 bulan dan pasienMBlebihdari6bulansecara
kumulatif(tidakmungkinbaginya untuk menyelesaikan
pengobatan sesuai waktu yang ditetapkan), maka
yangbersangkutandinyatakandefault.Pasiendefaulter
tidakdiobati kembali bila tidak terdapat tanda-tanda klinis
aktif. Namun jika memiliki tanda-tanda klinis aktif
(eritema dari lesi lama di kulit/ ada lesi baru/ ada
pembesaran saraf yang baru).
Bila setelah terapi kembali pada defaulterternyata berhentisetelah
lebih dari3bulan,makadinyatakandefaultkedua.Biladefault
lebihdari2 kali, perlu dilakukan tindakan dan penanganan khusus.

Kriteria rujukan
a.Terdapat efek sampingobat yang serius.
b.Reaksi kusta dengan kondisi:
1.ENL melepuh, pecah (ulserasi), suhu tubuh tinggi,
neuritis.
2.Reaksi tipe 1 disertai dengan bercak ulserasi atau neuritis.
3.Reaksiyangdisertaikomplikasipenyakitlainyangberat,misaln
ya hepatitis, DM, hipertensi, dan tukak lambung berat.

Sarana Prasarana
Laboratorium sederhana untukpemeriksaan BTA
Prognosis
Prognosisuntukvitamumumnyabonam,namundubiaad
malampadafungsi ekstremitas, karena dapat terjadi mutilasi,
demikian pula untuk kejadian berulangnya.
5. Kewenangan 1. Dokter umum, dan
2. Dokter Spesialis Penyakit Dalam
6. Unit Terkait 1. Rawat Inap
2. Farmasi
3. Laboratorium
4. Ambulan
7. Referensi PERMENKES RI NOMOR 5 TAHUN 2014
KERACUNAN MAKANAN
No. ICPCII: A86Toxic EffectNonMedical
Substance
No. ICD X : T.62.2 OtherIngested (parts
ofplant(s)
Tingkat Kemampuan: 4A
No.
SOP Dokumen
No. Revisi
Tanggal
Terbit
Halaman 1/

UPT Puskesmas dr. Hj. Fetty SDK, MKM


Padasuka NIP.196407031990022001
1. Pengertia Keracunan makanan merupakan suatu kondisi gangguan
n pencernaan yang disebabkan oleh konsumsi makanan atau air
yang terkontaminasi dengan zat patogendanatau bahan kimia,
misalnya Norovirus,Salmonella,Clostridium perfringens,
Campylobacter, dan Staphylococcusaureus.
2. Tujuan Untuk dapat menegakkan diagnosis suatu penyakit sesuai dengan
standar prosedur pemeriksaan medis, meningkatkan mutu
pelayanan terhadap pasien dan membantu mengetahui
perjalanan,tanda serta gejala penyakit pasien agar tepat diagnosis
3. Kebijaka Sebagai pedoman dalam melakukan kajian awal untuk
n mendapatkan informasi yang lengkap mengenai masalah yang
dihadapi pasien
Pelaksanaan kajian awal untuk mendapatkan informasi yang
lengkap mengenai masalah yang dihadapi pasien harus mengikuti
langkah-langkah yang tertuang dalam SPO kajian awal yang
memuat informasi yang harus diperoleh selama proses pengkajian
4. Prosedur Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
a.Diare akut. Pada keracunan makanan biasanya
berlangsungkurang dari 2 minggu
b.Darah atau lendirpada tinja; menunjukkan invasi
mukosa usus atau kolon.
c. Nyeri perut.
d.Nyeri kram otot perut; menunjukkan hilangnya
elektrolit yang mendasari, seperti pada kolera yang
berat.
e. Kembung
Faktor Risiko
a.Riwayat makan/minum di tempat yang tidak higienis
b.Konsumsi daging /unggas yang kurang matang dapat
dicurigai untuk
Salmonellaspp,Campylobacterspp,toksinShiga
Ecoli,danClostridium perfringens.
c. Konsumsimakananlautmentahdapatdicurigaiuntuk
Norwalk-like virus,Vibrio spp, atau hepatitis A

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana


(Objective)
Pemeriksaan Fisik Patognomonis
Pemeriksaan fisik harus difokuskan untuk menilai keparahan
dehidrasi.
a.Diare, dehidrasi, dengan tanda–tanda tekanan darah turun, nadi
cepat, mulut kering, penurunan keringat, dan penurunan
output urin.
b.Nyeri tekan perut, bising usus meningkat atau melemah

Pemeriksaan Penunjang
a.Lakukanpemeriksaanmikroskopisdarifesesuntuktelur cacingdan
parasit.
b.Pewarnaan Gram, KOH dan metilenbiru Loeffler untuk
membantu membedakan penyakit invasifdari penyakitnon-
invasif.

Diagnosis.
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis, pemeriksaan fisik dan
penunjang.

Diagnosis Banding
Intoleransi
b.Diare spesifik seperti disentri, kolera dan lain-lain.
Komplikasi: dehidrasi berat.

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


Penatalaksanaan
a.Karenasebagianbesarkasusgastroenteritisakutadalah self-
limiting, pengobatankhusustidakdiperlukan.
Daribeberapastudi didapatkan bahwa hanya 10% kasus
membutuhkan terapi antibiotik. Tujuan utamanya adalah
rehidrasi yang cukupdan suplemen elektrolit. Hal ini dapat
dicapai dengan pemberian cairan rehidrasi oral (oralit)
atau larutan intravena (misalnya, larutan natrium klorida
isotonik, larutan Ringer Laktat). Rehidrasi oral
dicapaidengan pemberiancairan yang mengandung
natrium dan glukosa. Obat absorben
(misalnya, kaopectate, aluminium hidroksida) membantu
memadatkan feses diberikan bila diaretidak segera
berhenti. Diphenoxylate dengan atropin
(Lomotil)tersediadalamtablet(2,5mg
diphenoxylate)dancair(2,5mg diphenoxylate / 5 mL). Dosis
awal untukorang dewasa adalah 2 tablet 4 kali sehari (20
mg / d). Digunakan hanya bila diare masif.
b. Jika gejalanya menetap setelah 3-4 hari, etiologi spesifik
harus ditentukan denganmelakukan kulturtinja. Untuk
ituharus segera dirujuk.
c. Modifikasi gaya hidup dan edukasi untuk menjaga
kebersihan diri.

Konseling danEdukasi
Edukasi kepada keluarga untuk turut menjaga higiene keluarga
dan pasien.

Kriteria rujukan
a.Gejala keracunan tidak berhenti setelah 3 hari ditangani
dengan adekuat.
b.Pasien mengalami perburukan
Dirujukkelayanansekunderdenganspesialispenyakitdalamatauspesi
alis anak.

Sarana Prasarana
a.Cairan rehidrasi (NaCl 0,9%, RL, oralit )
b.Infus set
c. Antibiotik bila diperlukan
Prognosis
Prognosis umumnya bila pasien tidak mengalami komplikasi
adalah bonam.
5. Kewenangan 1. Dokter umum, dan
2. Dokter Spesialis Penyakit Dalam
6. Unit Terkait 1. Rawat Inap
2. Farmasi
3. Laboratorium
4. Ambulan
7. Referensi PERMENKES RI NOMOR 5 TAHUN 2014
ALERGI MAKANAN
No. ICPCII: A92 Allergy/allergicreaction
NOS
No. ICD X :
Tingkat Kemampuan: 4A
No.
SOP Dokumen
No. Revisi
Tanggal
Terbit
Halaman 1/3

UPT Puskesmas dr. Hj. Fetty SDK, MKM


Padasuka NIP.196407031990022001
1. Pengertian Alergi makanan adalah suatu responsnormal terhadap makanan
yang dicetuskan oleh suatu reaksi yang spesifik didalam suatu
sistem imun dan diekspresikan dalam berbagai gejala yang
muncul dalam hitungan menitsetelahmakananmasuk; namun
gejaladapatmunculhingga beberapa jam kemudian.
Berbagai rekasi lainnya bukan termasuk alergi diantara
intoleransi makanan seperti laktosa atau susu, keracunan
makanan, reaksi toksik.
Kebanyakan reaksi hipersensitivitas disebabkan oleh susu,
kacang, telur, kedelai, ikan, kerang, gandum.
Padaalergisusudantelurakanberkurangdenganbertambahnyausia.
Alergi kacang dan makanan laut sering pada dewasa.
KebanyakanalergimakananadalahreaksihipersensitivitastipeI(IgE
mediated) atau tipelambat (late-phaseIgE-mediated,immune
complex- mediated,cell-mediated).
Rekasi anfilaksis merupakan manifestasi paling berat.
Alergi makanan tidak berhubungan dengan IBS ,namun harus
dipertimbangkan untuk pasien atopi.Tidak ada bukti kuatbahwa
alergi makanan dalam patogenesis IBD (Irritation Bowel Disease)
Kriteriapastiuntukdiagnosisalergimakanan adalahcetusanberulang
dari gejala pasien setelah makan makanan tertentu diikuti bukti
adanya suatu mekanisme imunologi.

2. Tujuan Untuk dapat menegakkan diagnosis suatu penyakit sesuai dengan


standar prosedur pemeriksaan medis, meningkatkan mutu
pelayanan terhadap pasien dan membantu mengetahui
perjalanan,tanda serta gejala penyakit pasien agar tepat diagnosis
3. Kebijakan Sebagai pedoman dalam melakukan kajian awal untuk
mendapatkan informasi yang lengkap mengenai masalah yang
dihadapi pasien
Pelaksanaan kajian awal untuk mendapatkan informasi yang
lengkap mengenai masalah yang dihadapi pasien harus mengikuti
langkah-langkah yang tertuang dalam SPO kajian awal yang
memuat informasi yang harus diperoleh selama proses pengkajian
4. Prosedur Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
a.Pada kulit: eksim, urtikaria. Pada saluran pernapasan :
rinitis, asma.
b.Keluhan pada saluran pencernaan: gejala
gastrointestinalnon spesifik dan berkisar dari edema,
pruritus bibir,mukosa pipi,mukosa faring, muntah, kram,
distensi, diare.
c. Sindromaalergimulutmelibatkanmukosapipiataulidahtidak
berhubungan dengan gejala gastrointestinal lainnya.
d.Diare kronis dan malabsorbsi terjadi akibat reaksi
hipersensitivitas lambatnonIg-E-
mediatedsepertipadaenteropatiproteinmakanan dan
penyakit seliak
e.
Hipersensitivitassususapipadabayimenyebabkanoccultbleedi
ngataufrank colitis

Faktor Risiko
terdapat riwayat alergi di keluarga

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana


(Objective)
Pemeriksaan Fisik Patognomonis

Pemeriksaan fisik pada kulit dan mukosa serta paru. Pemeriksaan

Pemeriksaan Penunjang
-

Diagnosis.
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Diagnosis Banding
Intoksikasi makanan.
Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
Riwayat reaksi alergi berat atau anafilaksis:
a.Hindari makanan penyebab
b.Jangan lakukan uji kulit atau uji provokasi makanan
c. Gunakan pemeriksaan in vitro (tes radioalergosorbent-RAST.

Konseling danEdukasi
-

Kriteria rujukan
a.Uji kulit langsung dengan teknik Prick dengan ekstrak
makanan dan cairan kontrol merupakan metode sederhana
dan sensitifmendeteksi antibodi sel mast spesifik yang
berikatan dengan IgE.Hasil positif (diameter lebih dari3 mm
dari kontrolmengindikasikan adanya antibodi
yangtersensitisasi,
yangjugamengindikasikanadanyaalergimakanan yang dapat
dikonfirmasi denganfood challenge).

Uji kulit positif:


1.Hindari makanan yang terlibat secara temporer
2.Lakukan uji terbuka
a)Jikaujiterbukapositif:hindarimakanyangterlibatdanlak
ukan uji plasebo tersamar ganda
b)Jikaujiterbukanegatif:tidakadaretriksimakanan,amatid
an ulangi test bila gejala muncul kembali

Uji kulit negatif:Hindari makanan yang terlibat temporer


diikuti uji terbuka.

b.Uji provokasi makanan: menunjukkan apakah gejala


yang ada hubungan dengan makanan
tertentu.Kontraindikasi untuk pasien dengan riwayat
anafilaksis yang berkaitan dengan makanan.
c.
Eliminasimakanan:eliminasisistemikmakananyangberbedad
engan pencatatanmembantu mengidentifikasi makananan
apa yang menyebabkan alergi.

Rencana Tindak Lanjut :


a.Edukasi pasien untuk kepatuhan diet pasien
b.Menghindari makanan yang bersifat alergen sengaja
mapun tidak sengaja (perlu konsultasi dengan ahli gizi)
c. Perhatikan label makanan
d.Menyusui bayi sampai usia 6 bulanmenimbulkan efek
protektif terhadap alergi makanan.

Kriteria Rujukan :
Pasien dirujuk apabila pemeriksaan uji kulit, uji provokasi dan
eliminasi makanan terjadi reaksi anafilaksis

Sarana Prasarana
Medikamentosa : Antihistamin dan Kortikosteroid

Prognosis
Umumnya prognosis adalah dubia ad bonam bila medikamentosa
disertai dengan perubahan gaya hidup.
5. Kewenangan 1. Dokter umum, dan
2. Dokter Spesialis Penyakit Dalam
6. Unit Terkait 1. Rawat Inap
2. Farmasi
3. Laboratorium
4. Ambulan
7. Referensi PERMENKES RI NOMOR 5 TAHUN 2014
EXANTHEMATOUS DRUG ERUPTION
No. ICPCII: S07 Rash generalized
No. ICD X : L27.0 Generalized skin
eruption dueto drugsandmedicaments
Tingkat Kemampuan: 4A
No.
SOP Dokumen
No. Revisi
Tanggal
Terbit
Halaman 1/3

UPT Puskesmas dr. Hj. Fetty SDK, MKM


Padasuka NIP.196407031990022001
1. Pengerti Exanthematous Drug
an Eruptionadalahsalahsatubentukreaksialergiringan
padakulityangterjadiakibatpemberianobatyangsifatnya
sistemik.Obat yang dimaksud adalah zat yangdipakai
untuk menegakkan diagnosis,
profilaksis,danterapi.Bentukreaksialergimerupakan
reaksihipersensitivitas tipeIV
(alergiselulartipelambat)menurutCoombandGell.Namal
ainnya adalah erupsi makulopapular atau
morbiliformis.
2. Tujuan Untuk dapat menegakkan diagnosis suatu penyakit sesuai dengan
standar prosedur pemeriksaan medis, meningkatkan mutu
pelayanan terhadap pasien dan membantu mengetahui
perjalanan,tanda serta gejala penyakit pasien agar tepat diagnosis
3. Kebijaka Sebagai pedoman dalam melakukan kajian awal untuk
n mendapatkan informasi yang lengkap mengenai masalah yang
dihadapi pasien
Pelaksanaan kajian awal untuk mendapatkan informasi yang
lengkap mengenai masalah yang dihadapi pasien harus mengikuti
langkah-langkah yang tertuang dalam SPO kajian awal yang
memuat informasi yang harus diperoleh selama proses pengkajian
4. Prosedur Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Gatal ringan sampai berat yang disertai kemerahan dan bintil
pada kulit. Kelainan muncul 10-14 hari setelah mulai
pengobatan. Biasanya disebabkan karena penggunaan
antibiotik (ampisilin, sulfonamid, dan tetrasiklin) atau
analgetik-antipiretik non steroid.

Kelainan umumnya timbul pada tungkai, lipat paha, dan


lipat ketiak, kemudianmeluasdalam1-
2hari.Gejaladiikutidemamsubfebril,malaise, dan nyeri sendi
yang muncul 1-2 minggu setelah mulai mengkonsumsi
obat, jamu, atau bahan-bahan yang dipakai untuk
diagnostik (contoh: bahan kontras radiologi)

Faktor Risiko
a.Riwayatkonsumsiobat(jumlah,jenis,dosis,carapemberian,
pengaruh pajanan sinar matahari, atau kontak obat
pada kulit terbuka).
b.Riwayat atopi diri dan keluarga. c.
Alergi terhadap alergen lain.
d.Riwayat alergi obat sebelumnya.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana


(Objective)
Pemeriksaan Fisik Patognomonis

a.Erupsi makulopapular atau morbiliformis.


b.Kelainan dapat simetris.
Tempat predileksi :Tungkai, lipat paha,dan lipat ketiak.
Gambar8. ExanthematousDrugEruption

Pemeriksaan Penunjang
Biasanya tidak diperlukan pemeriksaan penunjang.

Diagnosis.
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik.
Diagnosis Banding
Morbili
Komplikasi : Eritroderma

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


Penatalaksanaan
Prinsip tatalaksana adalah menghentikan obat terduga. Pada
dasarnya erupsi obat akan menyembuh bila obat penyebabnya
dapat diketahui dan segera disingkirkan.

Farmakoterapi yang diberikan, yaitu:


a.Kortikosteroidsistemik:Prednisontablet30mg/haridibagidala
m3kali pemberian per hari selama 1 minggu.
b.Antihistamin sistemik:
1.Setirizin 2x10 mg/hari selama 7 hari bila diperlukan; atau
2.Loratadin 10 mg/hari selama 7 hari bila diperlukan.
c.Topikal : Bedak salisilat 2% dan antipruritus (Menthol 0.5%
- 1%)

Konseling danEdukasi
a.Prinsipnya adalah eliminasi obat penyebab erupsi.
b.Pasien dan keluarga diberitahu untuk membuat catatan
kecil di dompetnya tentang alergi obat yang dideritanya.
c. Memberitahukan bahwa kemungkinan pasien bisa sembuh
dengan adanya hiperpigmentasi pada lokasi lesi.

Kriteria rujukan
a.Lesi luas, hampir di seluruh tubuh, termasuk
mukosa dan dikhawatirkan akan berkembang menjadi
Sindroma Steven Johnson.
b.Biladiperlukan untuk membuktikan
jenisobatyangdidugasebagai penyebab :
1.Uji tempel tertutup, bila negatif lanjutan dengan
2.Uji tusuk, bila negatif lanjutkan dengan
3.Uji provokasi
c.
Bilatidakadaperbaikansetelahmendapatkanpengobatans
tandardan menghindari obat selama 7 hari
d.Lesi meluas.

Sarana Prasarana
-

Prognosis
Prognosis umumnya bonam, jika pasien
tidakmengalamikomplikasiatau tidak memenuhi kriteri rujukan.

5. Kewenangan 1. Dokter umum, dan


2. Dokter Spesialis Penyakit Dalam
6. Unit Terkait 1. Rawat Inap
2. Farmasi
3. Laboratorium
4. Ambulan
7. Referensi PERMENKES RI NOMOR 5 TAHUN 2014
FIXED DRUG ERUPTION (FDE)
No. ICPCII: A85 Adverse effect
medicalagent
No. ICD X : L27.0 Generalized skin
eruption dueto drugsandmedicaments s
Tingkat Kemampuan: 4A
No.
SOP Dokumen
No. Revisi
Tanggal
Terbit
Halaman 1/3

UPT Puskesmas dr. Hj. Fetty SDK, MKM


Padasuka NIP.196407031990022001
1. Pengertia Fixed DrugEruption(FDE)adalahsalahsatujeniserupsiobatyangsering
n dijumpai. Darinamanya dapat disimpulkan bahwa kelainan akan
terjadi berkali-kalipada tempat yang sama.Mempunyai
tempatpredileksidan lesi yang khas berbedadengan Exanthematous
Drug Eruption. FDE merupakan reaksi alergi tipe 2 (sitotoksik).
2. Tujuan Untuk dapat menegakkan diagnosis suatu penyakit sesuai dengan
standar prosedur pemeriksaan medis, meningkatkan mutu
pelayanan terhadap pasien dan membantu mengetahui
perjalanan,tanda serta gejala penyakit pasien agar tepat diagnosis
3. Kebijaka Sebagai pedoman dalam melakukan kajian awal untuk
n mendapatkan informasi yang lengkap mengenai masalah yang
dihadapi pasien
Pelaksanaan kajian awal untuk mendapatkan informasi yang
lengkap mengenai masalah yang dihadapi pasien harus mengikuti
langkah-langkah yang tertuang dalam SPO kajian awal yang
memuat informasi yang harus diperoleh selama proses pengkajian
4. Prosedur Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Pasiendatangkeluhankemerahanatau
lukapadasekitarmulut,bibir,ataudi alat kelamin, yang terasa panas.
Keluhan timbul setelah mengkonsumsi obat- obat yang sering
menjadi penyebab seperti Sulfonamid, Barbiturat, Trimetoprim,
dan analgetik.
Anamnesis yang dilakukan harus mencakup riwayat penggunaan
obat-obatan ataujamu.Kelainantimbulsecaraakut
ataudapatjugabeberapaharisetelah mengkonsumsi obat. Keluhan
lain adalah rasa gatal yang dapat disertai dengan demam yang
subfebril.

Faktor Risiko
a.Riwayatkonsumsiobat(jumlah,jenis,dosis,carapemberian,pen
garuh pajanan sinar matahari, atau kontak obat pada kulit
terbuka)
b.Riwayat atopi diri dan keluarga c. Alergi terhadap alergen
lain
d.Riwayat alergi obat sebelumnya
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana
(Objective)
Pemeriksaan Fisik Tanda.
patognomonis Lesi khas:
a. Vesikel, bercak
b. Eritema
c. Lesi target berbentuk bulat lonjong atau numular
d.Kadang-kadang disertai erosi
e.
Bercakhiperpigmentasidengankemerahanditepinya,terutam
apada lesi berulang.
Tempat predileksi:
a.Sekitar mulut
b.Daerah bibir
c. Daerah penis atau vulva

Gambar9. FixedDrugEruption(FDE)
Sumber:http://www.nejm.org/doi/full/10.1
056/NEJMicm1013871

Pemeriksaan Penunjang
Biasanya tidak diperlukan pemeriksaan penunjang.

Diagnosis.
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan.
Diagnosis Banding
a.Pemfigoid bulosa,
b.Selulitis,
c. Herpes simpleks,
d.SJS (Steven Johnson Syndrome).
Komplikasi : Infeksisekunder

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


Penatalaksanaan
Prinsip tatalaksana adalah menghentikan obat terduga. Pada
dasarnya erupsi obat akan menyembuh bila obat penyebabnya
dapat diketahui dan segera disingkirkan.

Untuk mengatasi keluhan, farmakoterapi yang dapat


diberikan, yaitu:
a.
Kortikosteroidsistemik,misalnyaprednisontablet30mg/harid
ibagi dalam 3 kali pemberian per hari
b. Antihistamin sistemik untuk mengurangi rasa gatal;
misalnya hidroksisin tablet 10 mg/hari 2 kali sehari selama
7 hari atau loratadin tablet 1x10 mg/hari selama 7 hari
c. Pengobatan topikal
1.Pemberian topikal tergantung dari keadaan lesi, bila
terjadi erosi atau madidans dapat dilakukan
kompres NaCl 0,9% atau Larutan Permanganas
kalikus 1/10.000 dengan 3 lapis kasa selama 10-15
menit. Kompres dilakukan 3 kali sehari sampai lesi
kering.
2.Terapi dilanjutkandengan pemakaiantopikal
kortikosteroid potensi ringan-sedang, misalnya
hidrokortison krim 2.5% atau mometason furoat krim
0.1%.

Konseling danEdukasi
a.Prinsipnya adalah eliminasi obat terduga
b. Pasien dan keluarga diberitahu untuk membuat catatan
kecil di dompetnya tentang alergi obat yang dideritanya.
c.
Memberitahukanbahwakemungkinanpasienbisasembuhdenga
n adanyahiperpigmentasipadalokasilesi.
Danbilaalergiberulangterjadi kelainan yang sama, pada lokasi
yang sama
Kriteria rujukan
a.Lesi luas, hampir di seluruh tubuh, termasuk mukosa
dan dikhawatirkan akan berkembang menjadi
Sindroma Steven Johnson.
b.Bila diperlukan untuk membuktikan
jenisobatyangdidugasebagaipenyebab:
1.Uji tempel tertutup, bila negatif lanjutkan dengan
2.Uji tusuk, bila negatif lanjutkan dengan
3.Uji provokasi.
c.
Bilatidakadaperbaikansetelahmendapatkanpengobatanstan
dar selama 7 hari dan menghindari obat.
d.Lesi meluas..

Sarana Prasarana
-

Prognosis
Prognosis umumnya bonam, jika pasien
tidakmengalamikomplikasiatau tidak memenuhi kriteria rujukan.

5. Kewenangan 1. Dokter umum, dan


2. Dokter Spesialis Penyakit Dalam
6. Unit Terkait 1. Rawat Inap
2. Farmasi
3. Laboratorium
4. Ambulan
7. Referensi PERMENKES RI NOMOR 5 TAHUN 2014

Reaksi Anafilaktik
No. ICPCII : A92
Allergy/allergicreaction NOS
No. ICD X :
Tingkat Kemampuan: 4A
No.
SOP Dokumen
No. Revisi
Tanggal
Terbit
Halaman 1/6

UPT Puskesmas dr. Hj. Fetty SDK, MKM


Padasuka NIP.196407031990022001
1. Pengerti Reaksi anafilaksismerupakan sindrom klinis akibat
an reaksiimunologis (reaksi alergi) yang bersifat sistemik, cepat dan
hebat yang dapat menyebabkan gangguan respirasi, sirkulasi,
pencernaan dan kulit. Jika reaksi tersebut cukup
hebatdapatmenimbulkansyokyangdisebutsebagaisyokanafilaktik.
Syok anafilaktik membutuhkan pertolongan cepat dan tepat.

Test kulit yang merupakan salah satu upaya guna menghindari


kejadian ini tidakdapatdiandalkan,sebabternyatadengantestkulit
yangnegatiftidak menjamin 100 % untuk tidak timbulnya reaksi
anafilaktikdengan pemberian dosis penuh. Selain itu, test kulit
sendiri dapat menimbulkan syok anafilaktik
padapenderitayangamatsensitif.Untukitudiperlukanpengetahuan
serta keterampilan dalam pengelolaan syok anafilaktik.

Insidens syok anafilaktik 40 – 60 persen adalah akibat gigitan


serangga, 20-40 persen akibat zatkontras radiografi, dan10 –20
persenakibat pemberian obat penicillin. Sangat kurang data yang
akurat dalam insiden dan prevalensi terjadinya syok anafilaktik.
Anafilaksis yang fatal hanya kira-kira 4 kasus kematian dari 10
juta masyarakat pertahun. Sebagian besarkasus yang serius
anafilaktik adalah akibat pemberian antibiotik seperti penicillin
dan bahan zat radiologis.Penicillinmerupakan penyebab kematian
100 dari500 kematian akibat reaksi anafilaksis.

Beberapafaktoryangdidugadapatmeningkatkanrisikoanafilaksisadal
ah sifat alergen, jalur pemberian obat, riwayat atopi, dan
kesinambungan paparan alergen. Golongan alergen yang sering
menimbulkan reaksi anafilaksis adalah makanan, obat-obatan,
sengatan serangga, dan lateks. Udang, kepiting, kerang, ikan
kacang-kacangan, biji-bijian, buah beri, putih telur, dan susu
adalah makanan yang biasanya menyebabkan suatu
reaksianafilaksis. Obat- obatan yang bisamenyebabkan anafikasis
seperti antibiotik khususnya penisilin, obat anestesi intravena,
relaksan otot, aspirin, NSAID, opioid, vitamin B1, asam folat,
dan lain-lain. Media kontras intravena, transfusi darah, latihan
fisik, dan cuaca dingin juga bisa menyebabkan anafilaksis.
2. Tujuan Untuk dapat menegakkan diagnosis suatu penyakit sesuai dengan
standar prosedur pemeriksaan medis, meningkatkan mutu
pelayanan terhadap pasien dan membantu mengetahui
perjalanan,tanda serta gejala penyakit pasien agar tepat diagnosis
3. Kebijaka Sebagai pedoman dalam melakukan kajian awal untuk
n mendapatkan informasi yang lengkap mengenai masalah yang
dihadapi pasien
Pelaksanaan kajian awal untuk mendapatkan informasi yang
lengkap mengenai masalah yang dihadapi pasien harus mengikuti
langkah-langkah yang tertuang dalam SPO kajian awal yang
memuat informasi yang harus diperoleh selama proses pengkajian
4. Prosedur Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Gambaran atau gejala klinik suatu reaksi anafilakis berbeda-beda
gradasinya sesuai beratringannya reaksiantigen-antibodiatau
tingkatsensitivitas seseorang, namun pada tingkat yang berat
barupa syok anafilaktik gejala yang menonjoladalahgangguan
sirkulasidangangguan respirasi.Kedua gangguan tersebut dapat
timbul bersamaan atauberurutan yang kronologisnya sangat
bervariasidaribeberapadetiksampai beberapajam.Pada
dasarnyamakin cepat reaksi timbul makin berat keadaan
penderita.

Gejalarespirasidapatdimulaiberupabersin,hidungtersumbatataub
atuk saja yang kemudian segera diikuti dengan sesak napas.

Gejalapada kulit merupakan gejala klinik yang paling sering


ditemukan pada reaksi anafilaktik. Walaupun gejala ini tidak
mematikan namun gejala ini amat
pentinguntukdiperhatikansebabini
mungkinmerupakangejalaprodromal
untuktimbulnyagejalayanglebihberat
berupagangguannafasdangangguan sirkulasi.Olehkarena itusetiap
gejalakulitberupa gatal,kulitkemerahan harus diwaspadai untuk
kemungkinan timbulnya gejala yang lebih berat. Manifestasi dari
gangguan gastrointestinal berupa perut kram,mual,muntah sampai
diare yang juga dapat merupakan gejala prodromaluntuk
timbulnya gejala gangguan nafas dan sirkulasi.
Faktor Risiko
-

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana


(Objective)
Pemeriksaan Fisik .
Pasien tampak sesak, frekuensi napas meningkat,
sianosis karena edema laring dan bronkospasme.
Hipotensi merupakan gejala yang menonjol pada syok
anafilaktik. Adanya takikardia,edema periorbital, mata
berair, hiperemi konjungtiva. Tandaprodromal pada kulit
berupa urtikaria dan eritema

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium diperlukan karena sangat membantu
menentukan diagnosis, memantau keadaan awal, dan beberapa
pemeriksaan digunakan untukmemonitorhasilpengobatan
sertamendeteksikomplikasilanjut.Hitung eosinofil darah tepidapat
normal ataumeningkat, demikian halnya dengan IgE total sering
kali menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan ini berguna untuk
prediksikemungkinan
alergipadabayiatauanakkecildarisuatukeluarga dengan derajat
alergi yang tinggi.

Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit untuk mencari alergen


penyebab yaitu dengan uji cukit (pricktest), uji gores (scratchtest),
dan uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri
(skin end-point titration/SET). Uji cukit paling sesuai karena
mudah dilakukan dan dapat ditoleransi olehsebagian penderita
termasuk anak, meskipun uji intradermal (SET) akan lebih ideal.

Diagnosis.
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis
Untukmembantumenegakkan
diagnosismakaAmericanAcademyofAllergy, Asthma and
Immunology telah membuat suatu kriteria.

Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu penyakit


(beberapa menit hingga beberapa jam)dengan terlibatnya
kulit,jaringan mukosa atau kedua- duanya (misalnya bintik-
bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan,
pembengkakan bibir, lidah, uvula), dan salah satu dari
respiratory compromise(misalnya sesak nafas,bronkospasme,
stridor,wheezing, penurunan PEF, hipoksemia) dan penurunan
tekanan darah atau gejala yang berkaitandengan
disfungsiorgansasaran(misalnyahipotonia,sinkop, inkontinensia).

Kriteria kedua, duaatau lebih gejalaberikut yang terjadisecara


mendadak setelahterpaparalergenyangspesifik
padapasientersebut(beberapamenit hingga beberapa jam), yaitu
keterlibatan jaringan mukosa kulit; respiratory
compromise;penurunantekanandarah
ataugejalayangberkaitan;dangejala gastrointestinal yang
persisten.

Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah


terpapar pada alergen yang diketahui beberapa menit hingga
beberapa jam (syok anafilaktik). Pada bayi dan anak-anak,
tekanan darah sistolik yang rendah (spesifik umur) atau
penurunan darah sistolik lebih dari30%. Sementara pada orang
dewasa, tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau
penurunan darah sistolik lebih dari 30% dari tekanan darah awal.

Diagnosis Banding
Reaksi vasovagal, infarkmiokardakut, reaksihipoglikemik,
reaksihisteris, Carsinoid syndrome,Chineserestaurant syndrome,
asmabronkiale, dan rhinitis alergika.

Komplikasi : Kerusakan otak, koma,kematian.

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


Penatalaksanaan
a.Posisi trendeleburg atau berbaring dengan kedua tungkai
diangkat (diganjaldengan kursi)akan membantu menaikkan
venous return sehingga tekanan darah ikut meningkat.
b.Pemberian Oksigen3–5 ltr/menit harusdilakukan, pada
keadaan yang amat ekstrim tindakan trakeostomi atau
krikotiroidektomi perlu dipertimbangkan.
c. Pemasangan infus, Cairan plasma expander (Dextran)
merupakan pilihan utama guna dapat mengisi volume
intravaskuler secepatnya. Jika cairan tersebut tak tersedia,
Ringer Laktat atau NaCl fisiologis dapat dipakai sebagai
cairan pengganti. Pemberian cairan infus sebaiknya
dipertahankan sampai tekanan darah kembali optimal dan
stabil.
d.Adrenalin 0,3 – 0,5 ml dari larutan 1 : 1000 diberikan
secara intramuskuler yangdapat diulangi 5–10menit. Dosis
ulangan umumnya diperlukan, mengingat lama kerjaadrenalin
cukup singkat.Jika respon pemberian secara intramuskuler
kurang efektif, dapat diberi secara intravenoussetelah 0,1–
0,2ml adrenalindilarutkandalam spuit10ml dengan NaCl
fisiologis, diberikan perlahan-lahan. Pemberian subkutan,
sebaiknya dihindari pada syok anafilaktik karena efeknya
lambat bahkan mungkin tidak ada akibat vasokonstriksi pada
kulit, sehingga absorbsi obat tidak terjadi.
e. Aminofilin, dapat diberikan dengan sangat hati-hati apabila
bronkospasmebelumhilangdengan pemberianadrenalin.250mg
aminofilin diberikan perlahan-lahan selama 10 menit
intravena. Dapat dilanjutkan 250 mg lagi melalui drips infus
bila dianggap perlu.
f. Antihistamin dan kortikosteroid merupakan pilihan kedua
setelah adrenalin. Kedua obat tersebut kurangmanfaatnya
pada tingkat syok anafilaktik, dapat diberikan setelah gejala
klinik mulai membaik guna
mencegahkomplikasiselanjutnyaberupaserum
sicknessatauprolonged
effect.AntihistaminyangbiasadigunakanadalahdifenhidraminH
Cl5–20 mg IV dan untuk golongan kortikosteroid dapat
digunakandeksametason 5 – 10 mg IV atau hidrokortison 100
– 250 mg IV.
g. ResusitasiKardioPulmoner(RKP),seandainyaterjadihentijantung
(cardiacarrest) maka prosedur resusitasi kardiopulmoner
segera harus dilakukan sesuai dengan falsafah ABC dan
seterusnya. Mengingat kemungkinan terjadinya henti
jantung pada suatu syok anafilaktik selalu ada, maka
sewajarnya ditiap ruang praktek seorang dokter tersedia
selain obat-obat emergency, perangkat infus dancairannya
juga perangkatresusitasi (Resuscitation kit)
untukmemudahkantindakan secepatnya.
h.Algoritma Penatalaksanaan Reaksi Anafilaksis

Gambar10.Alogaritmapenatalaksanaa
nreaksianafilaktik

Rencana Tindak Lanjut:


Mencari penyebab reaksi anafilaktik dan mencatatnya di rekam
medis serta memberitahukan kepada pasien dan keluarga

Konseling danEdukasi
Keluarga perlu diberitahukan mengenai penyuntikan apapun
bentuknya terutama obat-obat yang telah dilaporkan bersifat
antigen (serum,penisillin, anestesi lokal, dll)harus selalu
waspada untuk timbulnyareaksi anafilaktik.
Penderitayangtergolongrisikotinggi(adariwayatasma,rinitis,eksi
m,ataupenyakit-penyakit alergi lainnya) harus lebih
diwaspadai lagi. Jangan mencoba
menyuntikkanobatyangsamabila sebelumnyapernah
adariwayatalergi betapapun kecilnya. Sebaiknya mengganti
dengan preparat lain yang lebih aman

Kriteria rujukan
Kegawatan pasien ditangani, apabila dengan penanganan yang
dilakukan tidak terdapat perbaikan, pasien dirujuk ke layanan
sekunder

Sarana Prasarana
a. Infus set
b. Oksigen
c. Adrenalinampul,aminofilinampul,difenhidraminvial,dexametha
sone ampul
d. NaCl 0,9%

Prognosis
Prognosissuatusyokanafilaktikamattergantungdarikecepatandiagno
sadan pengelolaannya karena itu umumnya adalah dubia ad
bonam.

5. Kewenangan 1. Dokter umum, dan


2. Dokter Spesialis Penyakit Dalam
6. Unit Terkait 1. Rawat Inap
2. Farmasi
3. Laboratorium
4. Ambulan
7. Referensi PERMENKES RI NOMOR 5 TAHUN 2014
SYOK
No. ICPCII: K99 Cardiovascular
diseaseother
No. ICD X: R57.9 Shock, unspecified
Tingkat Kemampuan: 3B
No.
SOP Dokume
n
No.
Revisi
Tanggal
Terbit
Halaman 1/6

UPT dr. Hj. Fetty SDK, MKM


Puskesmas NIP.196407031990022001

Padasuka
1. Pengerti Syok merupakansalah satu sindroma kegawatanyang
an memerlukan penanganan intensifdan agresif.Syokadalah
suatu sindroma multifaktorial yang menuju hipoperfusi
jaringan lokal atau sistemis dan mengakibatkan hipoksia sel
dan disfungsi multipel organ. Kegagalan perfusi jaringan dan
hantaran nutrisi dan oksigensistemik yang tidak adekuat tak
mampu memenuhi kebutuhan metabolisme sel.

Karakteristik kondisiini, yaitu:


a.Ketergantungan suplai oksigen.
b.Kekurangan oksigen.
c. Asidosis jaringan.
Sehinggaterjadimetabolismeanaerobdanberakhirde
ngankegagalanfungsi organ vital dan kematian.

Syokdiklasifikasikanberdasarkanetiologi,penyebabdankarakte
ristikpola hemodinamik yang ditimbulkan, yaitu:
a.Syok Hipovolemik yaitu kegagalan perfusi dan suplai
oksigen disebabkan
olehhilangnyasirkulasivolumeintravaskulersebesar>20-
25%sebagaiakibatdariperdarahanakut,dehidrasi,kehilan
gancairanpadaruang ketiga atau akibat sekunder
dilatasi arteri dan vena.
b.Syok Kardiogenik yaitu kegagalan perfusi dan suplai
oksigendisebabkan olehadanyakerusakanprimerfungsi
ataukapasitaspompajantung untuk mencukupi
volume jantung semenit, berkaitan dengan
terganggunya preload, afterload, kontraktilitas,
frekuensi ataupun ritme jantung. Penyebab terbanyak
adalah infark miokard akut, keracunan obat,
infeksi/inflamasi, gangguan mekanik.
c.
SyokDistributifyaitukegagalanperfusidansuplaioksigen
disebabkan olehmenurunnya
tonusvaskulermengakibatkanvasodilatasiarterial,
penumpukan venadan redistribusi aliran darah.
Penyebabdari kondisi tersebut terutama komponen
vasoaktif pada syok anafilaksis; bakteria dan
toksinnya padaseptik syok sebagai mediator dari SIRS;
hilangnya tonus vaskuler pada syok neurogenik.
d. Syok Obstruktif yaitu kegagalan perfusi dan suplai
oksigen berkaitan dengan terganggunya mekanisme
aliran balik darah oleh karena meningkatnya tekanan
intrathorakal atau terganggunya aliran keluar arterial
jantung (emboli pulmoner, emboli udara,
diseksi aorta, hipertensi pulmoner, tamponade
perikardial, perikarditis konstriktif) ataupun keduanya
oleh karena obstruksi mekanis.
e.
Syokendokrin,disebabkanolehhipotiroidisme,hipertiroidi
smedengan kolaps kardiak dan insufisiensi adrenal.
Pengobatan adalah tunjangan kardiovaskular
sambilmengobati penyebabnya. Insufisiensiadrenal
mungkin kontributor terjadinya syok pada pasien sakit
gawat. Pasien yang tidak respon pada pengobatan
harus tes untuk insufisiensi adrenal.
2. Tujuan Untuk dapat menegakkan diagnosis suatu penyakit sesuai
dengan standar prosedur pemeriksaan medis, meningkatkan
mutu pelayanan terhadap pasien dan membantu mengetahui
perjalanan,tanda serta gejala penyakit pasien agar tepat
diagnosis
3. Kebijaka Sebagai pedoman dalam melakukan kajian awal untuk
n mendapatkan informasi yang lengkap mengenai masalah yang
dihadapi pasien
Pelaksanaan kajian awal untuk mendapatkan informasi yang
lengkap mengenai masalah yang dihadapi pasien harus
mengikuti langkah-langkah yang tertuang dalam SPO kajian
awal yang memuat informasi yang harus diperoleh selama
proses pengkajian
4. Prosedur Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Pasien datang dengan lemas atau dapat tidak sadarkan diri.
Gejala klinis juga tergantung etiologi penyebabnya, yang
seringterjadi adalah tromboemboli paru, tamponade jantung,
obstruksiarterioventrikuler, tension pneumothorax.

Untuk identifikasipenyebab, perlu ditanyakan faktor


predisposisi seperti karena infark miokard antara lain: umur,
diabetes melitus, riwayat angina, gagal jantung kongestif,
infarkanterior. Tanda awal iskemi jantung akut yaitu nyeri
dada, sesak nafas, diaforesis, gelisah dan ketakutan,
nausea dan vomiting dan gangguan sirkulasilanjut
menimbulkan berbagai disfungsi end organ. Riwayat trauma
untuk syok karena perdarahan atau syok neurogenik pada
trauma servikal atau highthoracicspinal cordinjury. Demam
dan riwayat infeksiuntuk syokseptik.Gejalaklinisyang
timbulsetelah kontak dengan antigen pada syok Syok
obstruktif, tampak hampir sama dengan syok kardiogenik
dan hipovolemik.

Faktor Risiko
-

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang


Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik .
Keadaan umum:
a.Hipotensi dan penyempitan tekanan denyutan (adalah
tanda hilangnya cairan yang berat dan syok).
b.Hiperthermia,normothermia,atauhipothermiadapatterjad
ipadasyok.Hipothermia adalah tanda dari hipovolemia
berat dan syok septik.
c. Detak jantung naik, frekuensi nafas naik, kesadaran
turun.
d. Produksi urine turun. Produksi urine merupakan
penunjuk awal hipovolemia dan respon ginjal terhadap
syok.
e.
Gambaranklinissyokkardiogeniktampaksamadengangej
alaklinis syok hipovolemik, ditambah dengan adanya
disritmia, bising jantung, gallop.
f. Gejala klinis syok septik tak dapat dilepaskan dari
keadaan sepsis sendiri berupa sindroma reaksi
inflamasi sistemik (SIRS) dimana terdapat dua gejala
atau lebih:

1.Temperatur >380C atau <360C.

2.Heart rate >90x/mnt.


3.Frekuensi nafas >20x/mn atauPaCO2<4,3
kPa.

4.Leukosit>12.000sel/mmatau<4000sel/mmatau>10%
bentuk imatur.
g.
Efekklinissyokanafilaktikmengenaisistempernafasanda
nsistem
sirkulasi,yaituterjadiedemhipofaringdanlaring,konstrik
sibronkus dan bronkiolus, disertaihipersekresi mukus,
dimana semuakeadaan ini menyebabkan spasme dan
obstruksi jalan nafas akut.
h.Syok neurogenik ditandai dengan hipotensi disertai
bradikardi.Gangguanneurologis:paralisisflasid,
refleksextremitas hilangdan priapismus.
i. Syok obstruktif, tampak hampir sama dengansyok
kardiogenikdanhipovolemik. Gejala klinis juga
tergantung etiologi penyebabnya, yang sering terjadi
adalah tromboemboli paru, tamponade jantung,
obstruksi arterioventrikuler,tension
pneumothorax.Gejalainiakanberlanjut sebagai tanda-
tanda akut korpulmonal dan payahjantung kanan:
pulsasi vena jugularis, gallop, bising pulmonal, aritmia.
Karakteristik manifestasi klinis tamponade
jantung:suara jantung menjauh, pulsus altemans, JVP
selama inspirasi. Sedangkan emboli pulmonal:
disritmia jantung, gagal jantung kongesti.

Pemeriksaan Penunjang
a. Pulse oxymetri
b. EKG

Diagnosis.
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan penunjang.

Diagnosis Banding
-
Komplikasi : Kerusakan otak, koma,kematian.

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


Penatalaksanaan
a.Pengenalan dan restorasi yang cepat dari perfusi
adalah kunci pencegahan disfungsi organ-multipel
dan kematian.
b.Pada semua bentuksyok, manajemen jalan nafas dan
pernafasan untuk memastikan oksigenasi pasien baik,
kemudian restorasi cepat dengan infus cairan.
c.
Pilihanpertamaadalahkristaloid(Ringerlaktat/Ringerase
tat)disusul darah pada syok perdarahan. Keadaan
hipovolemi diatasi dengan cairan koloid atau kristaloid
sekaligus memperbaiki keadaan asidosis.
d.Pengobatan syok sebelumnya didahului dengan
penegakan diagnosis etiologi. Diagnosis awal etiologi
syok adalah esensial, kemudian terapi selanjutnya
tergantung etiologinya.
e.
Tindakaninvasifsepertiintubasiendotrakealdancricothyroido
tomyatau tracheostomydapatdilakukan hanya untuk life
savingolehdokter yang kompeten.

Syok Hipovolemik:
a.Infus cepat kristaloid untuk ekspansi volume
intravaskuler melalui kanula vena besar (dapat lebih
satu tempat) atau melalui vena sentral.
b.Pada perdarahan maka dapat diberikan 3-4 kali
dari jumlah perdarahan. Setelahpemberian
3literdisusul dengan transfusi darah. Secara
bersamaan sumber perdarahan harus dikontrol.
c.
Resusitasitidakkomplitsampaiserumlaktatkembalinorm
al.Pasien syok hipovolemik berat dengan
resusitasi cairan akan terjadi penumpukan cairan di
rongga ketiga.
d.Vasokonstriksi jarang diperlukan pada syok hipovolemik
murni.

Syok Obstruktif:
a.Penyebab syok obstruktif harus diidentifikasi dan
segera dihilangkan.
b.Pericardiocentesisatau pericardiotomi untuk tamponade
jantung.
c.
Dekompressijarumataupipathoracostomyataukeduany
apada pneumothorax tension
d.Dukungan ventilasi dan jantung, mungkin thrombolisis,
dan mungkin prosedur radiologi intervensional untuk
emboli paru.
e. Abdominal compartment syndrome diatasi dengan
laparotomy dekompresif.

Syok Kardiogenik:
a.Optimalkan pra-beban dengan infus cairan.
b. Optimalkankontraktilitasjantungdenganinotropiksesuai
keperluan, seimbangkan kebutuhan oksigen jantung.
Selain itu, dapat dipakai dobutamin atau obat
vasoaktif lain.
c. Sesuaikanpasca-
bebanuntukmemaksimalkanCO.Dapatdipakai
vasokonstriktor bilapasien hipotensi dengan SVR
rendah. Pasien syok
kardiogenikmungkinmembutuhkan
vasodilatasiuntukmenurunkan SVR, tahanan pada
aliran darah dari jantung yang lemah. Obat yang dapat
dipakai adalah nitroprussidedannitroglycerin.
d.Diberikan diuretik bila jantung dekompensasi.
e. PACdianjurkan dipasang untuk penunjuk terapi.
f. Penyakit jantung yang mendasari harus diidentifikasi
dan diobati.

Syok Distributif:
a.PadaSIRSdansepsis,bilaterjadisyok
inikarenatoksinataumediator penyebab vasodilatasi.
Pengobatan berupa resusitasi cairansegera dan setelah
kondisi cairan terkoreksi, dapat diberikan vasopressor
untuk mencapai MAP optimal. Sering terjadi
vasopressor dimulaisebelum pra- beban adekuat
tercapai. Perfusi jaringan dan oksigenasi sel tidak akan
optimal kecuali bila ada perbaikan pra-beban.
b.Obat yang dapat dipakai adalah dopamin, nor-
epinefrin dan vasopresin. c. Dianjurkan pemasangan
PAC.
d.Pengobatan kausal dari sepsis.

Syok Neurogenik:
a.Setelah mengamankan jalan nafas dan resusitasi
cairan, guna meningkatkantonus vaskuler dan
mencegah bradikardi diberikan epinefrin.
b.Epinefrin berguna meningkatkan tonus vaskuler
tetapi akan memperberat bradikardi, sehingga dapat
ditambahkan dopamin dan efedrin. Agen
antimuskarinikatropin dan glikopirolat jugadapat
untuk mengatasi bradikardi.
c. Terapi definitif adalah stabilisasi Medulla spinalis yang
terkena. Syok Anafilaksis (dibahas tersendiri)

Rencana Tindak Lanjut:


Mencaripenyebab syokdan mencatatnyadirekammedisserta
memberitahukankepadapasiendankeluargauntuktindakanlebi
hlanjut yang diperlukan.
Konseling danEdukasi
Keluargaperludiberitahukanmengenaikemungkinanterburukya
ngdapat terjadi pada pasien dan pencegahan terjadinya
kondisi serupa.

Kriteria rujukan
Setelah kegawatan pasien ditangani, pasien dirujuk ke
layanan sekunder .

Sarana Prasarana
a. Infus set
b. Oksigen
c. NaCl 0,9%
d. Senter
e. EKG

Prognosis
Prognosis suatu syok amat tergantung dari kecepatan
diagnosa dan pengelolaannya sehingga pada umumnya
adalah dubia ad bonam.

5. Kewenangan 1. Dokter umum, dan


2. Dokter Spesialis Penyakit Dalam
6. Unit Terkait 1. Rawat Inap
2. Farmasi
3. Laboratorium
4. Ambulan
7. Referensi PERMENKES RI NOMOR 5 TAHUN 2014
Anemia
No. ICPCII: B82
Anaemiaother/unspecified
No. ICD X :D64.9 Anaemia, unspecified

DaftarPenyakit No. Tingkat


SOP Dokumen
Kemampuan
No. Revisi
Anemiadefisiensi besi 4A
Tanggal
Anemia hemolitik 3A
Terbit
Anemiamakrositik Halaman3A 1/6
Anemiaaplastik 2
UPT Puskesmas dr. Hj. Fetty SDK, MKM
Anemiamegaloblastik 2 NIP.196407031990022001
Padasuka
1. Pengerti Penurunan kadarHemoglobinyangmenyebabkan penurunan
an kadaroksigen yang didistribusikan ke seluruh tubuh sehingga
menimbulkan berbagai keluhan (sindrom anemia).
2. Tujuan Untuk dapat menegakkan diagnosis suatu penyakit sesuai dengan
standar prosedur pemeriksaan medis, meningkatkan mutu
pelayanan terhadap pasien dan membantu mengetahui
perjalanan,tanda serta gejala penyakit pasien agar tepat diagnosis
3. Kebijaka Sebagai pedoman dalam melakukan kajian awal untuk
n mendapatkan informasi yang lengkap mengenai masalah yang
dihadapi pasien
Pelaksanaan kajian awal untuk mendapatkan informasi yang
lengkap mengenai masalah yang dihadapi pasien harus mengikuti
langkah-langkah yang tertuang dalam SPO kajian awal yang
memuat informasi yang harus diperoleh selama proses pengkajian
4. Prosedur Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Pasiendatangkedokterdengankeluhanlemah,lesu,letih,lelah,pen
glihatan berkunang-kunang, pusing, telinga berdenging dan
penurunan konsentrasi.

Faktor Risiko
a.Ibu hamil
b.Remaja putri
c. Pemakaian obat cephalosporin, chloramphenicol jangka
panjang d.Status gizi kurang
e. Faktor ekonomi kurang

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana


(Objective)
Pemeriksaan Fisik .
a.Mukokutaneus: pucat–indikator yang cukup baik,
sianotik,atrofipapil lidah (anemia defisiensi besi dan anemia
pernisiosa), alopesia (anemia defisiensi besi), ikterik
(anemia hemolitik), koilonikia (anemia defisiensi besi),
glositis(anemia pernisiosa), rambut kusam, vitiligo
(anemia pernisiosa).
b.Kardiovaskular : takikardi, bising jantung.
c. Respirasi : frekuensi napas (takipnea).
d.Mata: konjungtiva pucat.

Tandadangejalalaindapatdijumpaisesuaidenganpenyebabdariane
mia tersebut, yaitu:
a.Mata: dapat mencerminkan adanya manifestasi dari suatu
anemia tertentu (misal : perdarahan pada anemia aplastik)
b.Gastrointestinal:ulkusoraldapatmenandakansuatuimunodefis
iensi(anemia aplastik, leukemia), colok dubur
c. Urogenital (inspekulo) : massa pada organ genitalia wanita
d.Abdomen : hepatomegali, splenomegali, massa
e. Status gizi kurang

Faktor Presdisposisi
a. Infeksi kronik
b. Keganasan
c. Pola makan (Vegetarian)

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaandarah:Hemoglobin(Hb),
Hematokrit(Ht),leukosit,trombosit, jumlah eritrosit, morfologi darah
tepi (apusan darah tepi),MCV, MCH, MCHC, retikulosi

Diagnosis.
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosisditegakkanberdasarkananamnesis,pemeriksaanfisikdan
hasil pemeriksaan darah dengan kriteria Hb darah kurang dari
kadar Hb normal.

Nilai rujukan kadar hemoglobin normal menurut WHO:


Laki-laki: > 13 g/dl
Perempuan: > 12 g/dl
Perempuan hamil: > 11 g/dl.

Klasifikasi :

Gambar11. PenyebabAnemia

Catatan:
Memakai bagan alur berdasarkan morfologi (MCH,
MCV): hipokromik mikrositer, normokromik normositer
dan makrositer.

Diagnosis Banding
a.Anemia defesiensi besi
b.Anemia defisiensi vit
B12, asam folat
c. Anemia Aplastik
d.Anemia Hemolitik
e. Anemia pada penyakit kronik

Komplikasi
a.Gagal jantung
b.Syncope

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


Penatalaksanaan
Atasi penyebab yang mendasarinya. Jika didapatkan kegawatan
(misal:anemia gravis atau distres pernafasan), pasien segera
dirujuk. Pada anemia defisiensi besi:
a.Anemiadikoreksiperoral:3–4xseharidenganbesielemental50–
65 mg
1.Sulfasferrosus3x1tab(325mgmengandung65mgbesielemen
tal,195; 39).
2.Ferrous fumarat 3 x 1 tab (325; 107 dan 195; 64).
3.Ferrous glukonat 3 x 1 tab (325; 39).
b.Pasien diinformasikan mengenai efek samping obat: mual,
muntah,heartburn, konstipasi, diare, BAB kehitaman.
c.
Jikatidakdapatmentoleransikoreksiperoralataukondisiakut
maka dilakukan koreksi parenteral segera.

Pada anemia defisiensi asam folat dan defisiensi B12


a.Anemia dikoreksi peroral dengan:
1.Vitamin B12 80 mikrogram (dalam multivitamin).
2.Asam folat 500 – 1000 mikrogram (untuk ibu hamil 1 mg).
b.Koreksi cepat (parenteral atau i.m) oleh dokter spesialis

Pemeriksaan Penunjang Lanjutan


(bila diperlukan)
a.Anemia defisiensi besi: ferritin serum, SI, TIBC
b.Anemiahemolitik:bilirubin,LDH,tesfragilitasosmotik,AcidHam
’stest, tes Coombs’
c. Anemia megaloblastik: serum folat, serum cobalamin
d.Thalassemia: elektroforesis hemoglobin
e. Anemia aplastik atau keganasan: biopsi dan aspirasi
sumsum tulang.

Konseling danEdukasi
Prinsip konseling pada anemia adalahmemberikan pengertian
kepada pasien dan keluarganya tentang perjalanan penyakit dan
tatalaksananya, sehingga meningkatkan kesadaran dan kepatuhan
dalam berobat serta meningkatkan kualitas hidup pasien.

Kriteria rujukan
a.Anemia berat dengan indikasi transfusi (Hb < 6 mg%).
b.Untukanemiakarenapenyebabyangtidaktermasukkompetensidokt
er layanan primer, dirujuk ke dokter spesialis penyakit dalam.

Sarana Prasarana
Pemeriksaan Laboratorium Sederhana

Prognosis
Prognosis umumnya tidak sampai mengancam jiwa, namun
dubia ad bonam karena sangat tergantung pada penyakit
yang mendasarinya. Bila penyakit yang mendasarinya
teratasi, dengan nutrisi yang baik, anemia dapat teratasi.
.

5. Kewenangan 1. Dokter umum, dan


2. Dokter Spesialis Penyakit Dalam
6. Unit Terkait 1. Rawat Inap
2. Farmasi
3. Laboratorium
4. Ambulan
7. Referensi PERMENKES RI NOMOR 5 TAHUN 2014
HIV/AIDS Tanpa Komplikasi
No. ICPCII: B90 HIV-infection/AIDS
No. ICD X :
Z21Asymptomatichumanimmunodeficie
ncyvirus(HIV)infection statu
Tingkat Kemampuan: 4A

No.
SOP Dokumen
No. Revisi
Tanggal
Terbit
Halaman 1/6

UPT Puskesmas dr. Hj. Fetty SDK, MKM


Padasuka NIP.196407031990022001
1. Pengerti HIV adalah HumanImmunodeficiency Virus(HIV) yang menyerang
an sel-sel kekebalan tubuh.
AIDSatauAcquiredImmunodefficiency
Syndromeadalahkumpulangejala akibat penurunan kekebalan
tubuh yang disebabkan oleh infeksi HIV.
2. Tujuan Untuk dapat menegakkan diagnosis suatu penyakit sesuai dengan
standar prosedur pemeriksaan medis, meningkatkan mutu
pelayanan terhadap pasien dan membantu mengetahui
perjalanan,tanda serta gejala penyakit pasien agar tepat diagnosis
3. Kebijaka Sebagai pedoman dalam melakukan kajian awal untuk
n mendapatkan informasi yang lengkap mengenai masalah yang
dihadapi pasien
Pelaksanaan kajian awal untuk mendapatkan informasi yang
lengkap mengenai masalah yang dihadapi pasien harus mengikuti
langkah-langkah yang tertuang dalam SPO kajian awal yang
memuat informasi yang harus diperoleh selama proses pengkajian
4. Prosedur Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Pasien datang dapat dengan keluhan yang berbeda-beda antara
laindemam atau diare (terus menerus atau intermiten) yang
lebih dari satu bulan. Keluhan disertai kehilangan berat badan
(BB) >10% dari BB dasar. Keluhan lain bergantung dari penyakit
yang menyertainya, seperti:
a.Kulit: kulit kering yang luas, terdapat kutil di genital.
b.Infeksi:
1.Jamur,sepertikandidiasisoral,dermatitisseboroikataukandidia
sis vagina berulang.
2.Virus,sepertiherpeszosterberulangataulebihdarisatudermato
m, herpes genital berulang, moluskum kontagiosum,
kondiloma.
3.Gangguannapas,sepertituberculosis,batuk>1bulan,sesaknap
as, pneumonia berulang, sinusitis kronis
4.Gejalaneurologis,sepertinyerikepalayangsemakinparahdantid
ak jelas penyebabnya, kejang demam, menurunnya fungsi
kognitif.
Faktor Risiko
a.Hubungan seksual yang berisiko/tidak aman
b.Pengguna napza suntik
c. Transfusi
d.Pembuatan tato dan atau alat medis/alat tajam yang
tercemar HIV
e. Bayi dari ibu dengan HIV/AIDS
f. Pasangan serodiskordan – salah satu pasangan positif
HIV.
Keadaan tersebutdiatasmerupakan dugaan
kuatterhadapinfeksiHIV(WHO Searo 2007)
Penularan HIV melalui:
a.Transmisi seksual
b.Produk Darah
c. Dari Ibu ke Janin

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana


(Objective)
Pemeriksaan Fisik .
Pemeriksaanfisikmeliputitanda-tanda vital,BB,tanda-
tandayangmengarah kepada infeksioportunistik sesuai
dengan stadium klinisHIV sepertiyang terdapat pada tabel di
bawah ini :

Tabel9.StadiumklinisHIV
Stadium 1

• Tidak ada gejala


• Limfadenopati Generalisata Persisten

Stadium 2

• Penurunan berat badan bersifat sedang yang tidak


diketahui penyebabnya (<10%dari perkiraan berat
badan atau beratbadan sebelumnya)

Infeksisaluranpernafasanyangberulang(sinusitis,tonsil
itis,otitis media, faringitis)
• Herpes zoster
• Keilitis Angularis
• Ulkus mulut yang berulang
• Ruam kulit berupa papel yang gatal (Papular pruritic
eruption)
• Dermatitis seboroik
• Infeksi jamur pada kuku

Stadium 3

• Penurunan berat badan yang tak diketahui penyebabnya


(lebih dari
10% dari perkiraan berat badan atau berat badan
sebelumnya)

Diarekronisyangtakdiketahuipenyebabnyaselamalebih
dari1 bulan
• Demam menetap yang tak diketahui penyebab
• Kandidiasis pada mulut yang menetap
• Oral hairyleukoplakia
• Tuberkulosis paru
• Infeksi bakteri yang berat (contoh: pneumonia,
empiema, meningitis, piomiositis, infeksi tulangatau
sendi, bakteraemia, penyakit inflamasi panggul yang
berat)
• Stomatitis nekrotikans ulserative akut, gingivitis atau
periodontitis

Anemiyangtakdiketahuipenyebabnya(<8g/dl),netropeni(<0.5x
10 g/l) dan/atau trombositopenia kronis (<50 x 10 g/l)

Stadium 4

• Sindrom wasting HIV


• Pneumonia Pneumocystis jiroveci
• Pneumonia bakteri berat yang berulang
• Infeksi Herpes simplex kronis (orolabial, genital, atau
anorektal selama lebih dari 1 bulan atau viseral di bagian
manapun)
• Kandidiasis esofageal (atau kandidiasis trakea, bronkus
atau paru)
• Tuberkulosis ekstraparu
• Sarkoma Kaposi
• Penyakit cytomegalovirus (retinitis atau infeksi organ
lain, tidak termasuk hati, limpa dan kelenjar getah
bening)
• Toksoplasmosis di sistim saraf pusat
• Ensefalopati HIV
Pneumonia Kriptokokus ekstrapulmoner, termasuk
meningitis
• Infeksi mycobacterianon tuberkulosis yang menyebar
• Leukoencephalopathy multifocal progresif
• Cyrptosporidiosis kronis
• Isosporiasis kronis
• Mikosis diseminata (histoplasmosis,
coccidiomycosis)
• Septikemi yang berulang(termasuk Salmonella non-
tifoid)
• Limfoma (serebral atau Sel B
non-Hodgkin)
• Karsinoma serviks invasif
• Leishmaniasis diseminata atipikal
• Nefropati ataukardiomiopati terkait HIV yang simtomatis

Pemeriksaan Penunjang
ProsedurpemeriksaanlaboratoriumuntukHIVsesuai
denganpanduan nasional yang berlaku pada saat ini,yaitu dengan
menggunakan strategi3 (untuk penegakan
Diagnosis,menggunakan 3 macam tes dengan titiktangkap yang
berbeda) dan selalu didahului dengan konseling pra tes atau
informasi singkat.
Ketigatestersebutdapatmenggunakan
reagentescepatataudenganELISA. Untuk pemeriksaan pertama
(A1) harus digunakan tes dengan sensitifitas yang tinggi (>99%),
sedang untuk pemeriksaan selanjutnya (A2 danA3) menggunakan
tes dengan spesifisitas tinggi (>99%).
Antibodibiasanya barudapatterdeteksidalamwaktu2mingguhingga3
bulansetelahterinfeksiHIVyangdisebutmasajendela.BilatesHIV yang
dilakukan dalam masa jendela menunjukkan hasil”negatif”,maka
perlu dilakukan tes ulang, terutama bila masih terdapat perilaku
yang berisiko.

Terdapat dua macam pendekatan untuk tes HIV


a.Konselingdantes HIVsukarela(KTS-VCT=Voluntary
Counseling &Testing)
b.TesHIVdankonselingatasinisiatifpetugaskesehatan(TIPK–
PITC= Provider-Initiated Testingand Counseling).

TIPK merupakankebijakan pemerintah untuk dilaksanakan


dilayanan kesehatan yang berarti semua petugas kesehatan
harus menganjurkan tes HIV setidaknya pada ibu hamil, pasien
TB, pasien yang menunjukkan gejala dan tanda klinis diduga
terinfeksi HIV, pasien dari kelompok berisiko (penasun, PSK-
pekerja seks komersial, LSL – lelakiseks dengan lelaki), pasien
IMS dan seluruh pasangan seksualnya.

KegiatanmemberikananjurandanpemeriksaantesHIV
perludisesuaikan dengan prinsip bahwa pasien sudah
mendapatkan informasi yang cukup dan menyetujui untuk tes HIV
dan semua pihak menjaga kerahasiaan (prinsip 3C – counseling,
consent,confidentiality).

Diagnosis.
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosisditegakkanberdasarkananamnesis,pemeriksaanfisikdan
hasiltesHIV.

Setelah dinyatakan terinfeksi HIV maka pasien perlu dirujuk ke


Pelayanan Dukungan Pengobatan untuk menjalankan
serangkaian layanan yang meliputi penilaian stadium klinis,
penilaian imunologis dan penilaian virologi.
Hal tersebut dilakukan untuk:
a.Menentukan apakah pasien sudah memenuhi syarat untuk
terapi antiretroviral.
b.Menilai status supresi imun pasien.
c. Menentukan infeksi oportunistik yang pernah dan sedang
terjadi.
d.Menentukan paduan obat ARV yang sesuai.

Penilaian yang dilakukan pada pasien HIV/AIDS adalah


sebagai berikut:
a.Penilaian Stadium Klinis
Stadium klinisharus dinilaipada saatkunjungan awaldan
setiap kali kunjungan untuk penentuan terapi ARV dengan
lebih tepat waktu.
b.Penilaian Imunologi(pemeriksaan jumlah CD4)
Jumlah CD4 adalah cara untuk menilai status imunitas
ODHA. PemeriksaanCD4
melengkapipemeriksaanklinisuntuk menentukan pasien
yang memerlukan pengobatan profilaksis IO dan terapi
ARV. Rata-rata penurunan CD4 adalah sekitar 70-100

sel/mm3/tahun, dengan peningkatan setelah pemberian

ARV antara 50–100 sel/mm3/tahun. Jumlah limfosit total


(TLC) tidak dapat menggantikan pemeriksaan CD4.
c. Pemeriksaan laboratorium sebelum memulai terapi
Pada dasarnya pemantauan laboratorium bukan
merupakan persyaratan mutlak untuk
menginisiasiterapiARV. Pemeriksaan CD4
danviralloadjugabukankebutuhanmutlakdalampemantauan
pasienyangmendapatterapiARV,namun
pemantauanlaboratoriumatas indikasi gejala yang ada
sangat dianjurkan untuk memantau keamanan dan
toksisitas pada ODHA yang menerima terapi ARV. Hanya
apabila sumberdaya memungkinkan maka dianjurkan
melakukan pemeriksaan viral load pada pasien tertentu
untuk mengkonfirmasi adanya gagal terapi menurut
kriteria klinis dan imunologis.

Pemeriksaan Laboratorium yang ideal sebelum memulai ART


apabila sumber daya memungkinkan
• Darah lengkap*
• Jumlah CD4*
• SGOT/SGPT*
• Kreatinin serum
• Urinalisa*
• HbsAg*
• Anti-HCV(untukODHAIDUatau dengan riwayat IDU)
• Profil lipid serum
• Gula darah
• VDRL/TPHA/PRP
•Rontgen dada (utamanya bila curiga ada infeksi paru)
• Tes kehamilan (perempuan usia reproduktif dan perlu
anamnesis menstruasi terakhir)
• PAP smear/IFA-IMS untuk menyingkirkan adanya
CaCervix yangpadaODHA bisabersifat progresif)
•Jumlah virus/Viral Load RNA HIV**dalam plasma
(bilatersedia dan bila pasien mampu).
Catatan :
* adalah pemeriksaan yang minimal perlu dilakukan sebelum
terapi ARV karena berkaitan dengan pemilihan obat ARV.
Tentusaja hal ini perlu mengingat ketersediaan sarana dan
indikasi lainnya.
** pemeriksaan jumlah virus memang bukan merupakan anjuran
untuk dilakukan sebagai pemeriksaan awaltetapi akan sangat
berguna (bilapasien punya data) utamanya untuk memantau
perkembangan dan menentukan suatu keadaan gagal terapi.

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


Penatalaksanaan
Layanan terkait HIVmeliputi:
a.Upaya dalam menemukan pasien HIV secara dini dengan
melakukan tes dan konseling HIV pada pasien yang datang
ke layanan primer.
b.Perawatan kronis bagi ODHAdan dukungan lain dengan
sistem rujukan ke berbagai fasilitas layanan lain yang
dibutuhkan ODHA. Layanan perlu dilakukan secara
terintegrasi, paripurna, dan berkesinambungan.
InfeksiHIVmerupakaninfeksikronisdenganberbagaimacaminf
eksi. oportunistik yang memiliki dampak sosial terkait
stigma dan diskriminasi serta melibatkan berbagai unsur
dengan pendekatan tim.

Perludilakukanupayapencegahan.StrategipencegahanHIVmenurut
rute penularan, yaitu:
a.Untuk transmisi seksual:
1.Program perubahan perilaku berisiko, termasuk promosi
kondom.
2.Pendidikan kesehatan reproduksi di sekolah.
3.Konseling dan tes HIV.
4.Skrening IMS dan penanganannya.
5.Terapi antiretroviruspada pasien HIV.
b.Untuk transmisi darah:
1.Pengurangan dampak buruk penggunaan napza suntik.
2.Keamanan penanganan darah.
3.Kontrol infeksi di RS.
4.Postexposureprofilaksis.
c. Untuk transmisi ibu ke anak:
1.Menganjurkan tes HIV danIMS pada setiap ibu hamil.
2.Terapi ARV pada semua ibu hamil yang terinfeksi HIV.
3.Persalinan seksiosesaria dianjurkan.
4.DianjurkantidakmemberikanASIkebayi,namundigantiden
gan susu formula.
5.Layanan kesehatan reproduksi.

SetiapdaerahdiharapkanmenyediakansemuakomponenlayananHI
Vyang terdiri dari:
a.Informed consentuntuk tes HIV seperti tindakan medis
lainnya.
b.Mencatat semua kegiatan layanan dalam formulir yang
sudah ditentukan.
c. Anamnesis dan pemeriksaan fisik lengkap oleh dokter.
d.Skrining TB dan infeksi oportunistik.
e.
KonselingbagiODHAperempuanusiasuburtentangKBdankes
ehatan reproduksi termasuk rencana untuk mempunyai
anak.
f.

Pemberianobatkotrimoksasolsebagaipengobatanpencegahan
infeksi oportunistik.
g.Pemberian ARV untuk ODHA yang telah memenuhi syarat.
h.PemberianARVprofilaksispadabayisegerasetelahdilahirkanole
hibu hamil dengan HIV.
i.

Pemberianimunisasidanpengobatanpencegahankotrimoksas
olpada bayi yang lahir dari ibu dengan HIV positif.
j.

AnjuranrutintesHIV,malaria,sifilisdanIMSlainnyapadaperaw
atan antenatal (ANC).
k.Konseling untuk memulai terapi. l.

Konselingtentanggizi,pencegahanpenularan,narkotikadanko
nseling lainnya sesuai keperluan.
m.MenganjurkantesHIVpadapasienTB,infeksimenularseksual(I
MS), dan kelompok risikotinggi beserta pasangan
seksualnya, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
n.Pendampingan oleh lembaga non kesehatan sesuai dengan
kebutuhan pasien.

Tatalaksana Pemberian ARV Saat Memulai TerapiARV


Untukmemulaiterapiantiretroviralperludilakukanpemeriksaanjum
lahCD4

(bilatersedia)dan penentuanstadiumklinisinfeksiHIV-
nya.Haltersebut adalah untuk menentukan apakah penderita
sudah memenuhi syarat terapi antiretroviral atau belum.

Berikut ini adalah rekomendasi cara memulai terapi ARV


padaODHA dewasa.
a.Tidak tersedia pemeriksaan CD4
Dalam hal tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka
penentuan mulai terapi ARV adalah didasarkan pada
penilaian klinis.
b.Tersedia pemeriksaan CD4
Rekomendasi sesuai dengan hasil pemeriksaan yaitu:
1.Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan
jumlah CD4 <350 sel/mm3 tanpa memandang
stadium klinisnya.
2.Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB
aktif, ibu hamil dan koinfeksi Hepatitis B tanpa
memandang jumlah CD4.

Tabel 11 Terapi ARV


TargetP Stadi Jumla Rekomendasi
opulasi Stadium
ODHA um hsel
>350 Belum mulai terapi.
dewasa klinis 1dan sel/mm3 Monitor gejala klinis
2 danjumlah selCD4 setiap6-
<350

Stadium sel/mm
Berapap Mulai terapi
klinis 3dan un Mulai terapi
Pasiendenga Apapun
4 Berapap
nko-infeksi stadi un Mulai terapi
Pasiendenga Apapun
um Berapap
nko-infeksi stadi un Mulai terapi
Ibu Hamil Apap
um Berap
un apun
Mulai terapi
Anjuran Pemilihan
stadiObat ARV Lini Pertama
jumla
Paduan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk lini pertama
adalah:
2 NRTI+ 1 NNRTI

Mulailah terapi antiretroviral dengan salah satu dari paduan di


bawah ini:

Tabel12. Panduanterapiantiretroviral

(Zidovudine +
AZT+ 3TC Lamivudine A
(Zidovudine +
AZT+ 3TC Lamivudine ATAU
(Tenofovir +
Lamivudine (atau
TDF + 3TC Emtricitabine) + ATAU
(Tenofovir +
Lamivudine (atau
TDF + 3TC Emtricitabine) +

Tabel13.
PanduanLiniPertamayangdirekomendasikanpadaorang
dewasayangbelum
mendapatterapiARV(treatmentnaive)

Popula Pilihan
si yang Catatan
Dewasa AZTatauTDF+3TC(at Merupakan
dan anak au pilihanpaduan yang
FTC) + EVF atau NVP sesuai untuk
Perempu AZT+ 3TC + EFV sebagian
Tidak boleh besar
an hamil atau NVP menggunakan EFV
pada trimester
Ko-infeksi AZTatauTDF+3TC(FT Mulai terapi ARV
HIV/TB C) segera setelah
+ EFV terapi TB dapat
ditoleransi (antara
2 mingguhingga 8
Ko-infeksi TDF + 3TC (FTC) + Pertimbangkan
HIV/Hepati EFV pemeriksaan
tis B kronik atau NVP HbsAG terutama
aktif bila TDF

Tabel14.DosisantiretroviraluntukODHAdewasa

Golongan/NamaO dosisa
NucleosideRTI
bat
Abacavir(ABC) 300mgsetiap12jam
Lamivudine(3TC) 150mgsetiap12jamatau300mgsek
40mgsetiap12jam
alisehari
Stavudine(d4T)
(30mgsetiap12jambilaBB<60kg)
Zidovudine(ZDVatauA 300mgsetiap12jam
NucleotideRTI
ZT)
300mgsekalisehari,
Tenofovir(TDF) (Catatan:interaksiobatdenganddI
Non-nucleosideRTIs
Efavirenz(EFV) 600mgsekalisehari
200mgsekalisehariselama14hari,
Nevirapine(NVP) kemudian200mg setiap12jam
Proteaseinhibitors
400mg/100mgsetiap12jam,
Lopinavir/ritonavir(LP (533mg/133mgsetiap12 jambila
ARTkombinasi
AZT-3TC(Duviral®) Diberikan2xseharidenganinterval
12jam
Penggunaan d4T (Stavudine) dikurangi sebagai paduan lini
pertama karena pertimbangan toksisitasnya.
Terapi linikedua harus memakai Protease Inhibitor (PI)yang
diperkuat oleh Ritonavir(ritonavir-boosted)ditambahdengan2NRTI,
denganpemilihan
Zidovudine(AZT)atauTenofovir(TDF)tergantungdariapa
yangdigunakan pada lini pertama dan ditambah Lamivudine
(3TC) atau Emtricitabine (FTC).
PI yang ada di Indonesia dan dianjurkan digunakan
adalahLopinavir/Ritonavir (LPV/r).

Tatalaksana infeksioportunistik sesuai dengan gejala yang


muncul. Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK)
Beberapa infeksi oportunistik (IO) pada ODHA dapat dicegah
dengan

pemberian pengobatan profilaksis.Terdapat duamacam


pengobatan pencegahan, yaitu profilaksis primer dan profilaksis
sekunder.
a. Profilaksis primer adalah pemberian pengobatan pencegahan
untuk mencegah suatu infeksi yang belum pernah diderita.
b.Profilaksis sekunder adalah pemberian pengobatan
pencegahan yang ditujukanuntuk
mencegahberulangnyasuatuinfeksiyangpernah diderita
sebelumnya.
Pemberian kotrimoksasol untuk mencegah (secara primermaupun
sekunder) terjadinya PCP dan Toxoplasmosis disebut sebagai
Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK).
PPK dianjurkan bagi:
a.ODHA yang bergejala (stadium klinis 2, 3, atau 4) termasuk
perempuan hamil dan menyusui. Walaupun secara
teori kotrimoksasol dapat menimbulkan kelainan
kongenital, tetapikarena risiko yangmengancam
jiwapadaibuhamil
denganjumlahCD4yangrendah(<200)ataugejala
klinissupresiimun(stadiumklinis2,3
atau4),makaperempuanyang
memerlukankotrimoksasoldankemudianhamilharus
melanjutkan profilaksis kotrimoksasol.
b. ODHA dengan jumlah CD4 di bawah200sel/mm3
(apabilatersedia pemeriksaan dan hasil CD4).

Tabel15.
Pemberiankotrimoksasolsebagaiprofilaksisprimer

Indikasi Saat Dos Pemantau


Bilatidaktersedia penghentia is an
pemeriksaan
jumlah sel CD4,
semuapasien
diberikan 2ta
kotrimoksasol hu Efeksampin
Bila n g
tersedia berupatand
pemeriksaa a
n Bila sel hipersensiti
jumlah sel CD4dan CD4naik vitas
terjangkau, >200 960 seperti
Dihentika
sel/mm3 demam,
n rash,sindro
Semuabayi lahir padausia Trimetro
m Steven
dari ibu hamil 18 bulan pim
Johnson,
HIV dengan 8-10
tandapenek

KotrimoksasoluntukpencegahansekunderdiberikansetelahterapiPC
PatauToxoplasmosis selesai dan diberikan selama 1 tahun.

Pemeriksaan Penunjang Lanjutan (bila diperlukan)


Pemeriksaan darah lainnya.

Rencana Tindak Lanjut


a.Pasien yang belum memenuhi syarat terapi ARV
Perlu dimonitor perjalanan klinis penyakit dan jumlah CD4-
nya setiap 6 bulan sekali.Evaluasiklinismeliputiparameter
sepertipada evaluasi awal termasuk pemantauan berat
badan dan munculnya tanda dan
gejalaklinisperkembanganinfeksiHIV sehingga terkontrol
perkembanganstadiumklinispadasetiapkunjungandan
menentukan saat pasien mulai memenuhi syarat untuk
terapi profilaksis kotrimoksazol dan atau terapi ARV.
Berbagaifaktormempengaruhi perkembangan klinisdan
imunologis sejak terdiagnosis terinfeksiHIV. Penurunan
jumlah CD4setiap tahunnya adalah sekitar 50 sampai 100
sel/mm3.
Evaluasi klinis dan jumlah CD4 perlu dilakukan lebih ketat
ketika mulai mendekati ambang dan syarat untuk memulai
terapi ARV.

b.Pemantauan Pasien dalam Terapi Antiretroviral


1.Pemantauan klinis
Frekuensi pemantauan klinistergantung dari respon
terapi ARV. Sebagai batasan minimal, Pemantauan
klinis perlu dilakukan pada minggu 2, 4,8, 12dan
24minggu sejak memulai terapiARV dan
kemudiansetiap6bulanbilapasientelahmencapaikeadaan
stabil. Pada setiap kunjungan perlu dilakukan penilaian
klinis termasuk
tandadangejalaefeksampingobatataugagalterapidan
frekuensi infeksi (infeksi bakterial, kandidiasis dan atau
infeksi oportunirtik lainnya) ditambahkonseling untuk
membantu pasien memahami terapi ARV dan dukungan
kepatuhan.
2.Pemantauan laboratoris

• Direkomendasikan untuk melakukan pemantauan


CD4 secara rutin setiap 6 bulan, atau lebih sering
bila ada indikasi klinis.

UntukpasienyangakanmemulaiterapidenganAZTmaka
perlu dilakukan pengukuran kadar Hemoglobin (Hb)
sebelum memulai terapi dan pada minggu ke 4, 8 dan
12 sejak mulai terapi atau ada indikasi tanda dan
gejala anemia
•PengukuranALT(SGPT)dankimiadarahlainnyaperludilaku
kan bila ada tanda dangejala dan bukanberdasarkan
sesuatu yang rutin. Akan tetapi bila menggunakan NVP
untuk perempuan dengan CD4 antara 250–350
sel/mm3 maka perlu dilakuan
pemantauanenzimtransaminasepadaminggu2,4,8dan12s
ejak memulai terapi ARV (bila memungkinkan),
dilanjutkan dengan pemantauan berdasarkan gejala
klinis.
• Evaluasi fungsi ginjal perlu dilakukan untuk pasien
yang mendapatkan TDF.

Keadaanhiperlaktatemiadanasidosislaktatdapatterjadipa
da beberapa pasien yang mendapatkan NRTI, terutama
d4T atau ddI.
Tidakdirekomendasiuntukpemeriksaankadarasamlaktat
secara rutin,kecualibilapasienmenunjukkan
tandadangejalayang mengarah pada asidosis laktat.
• Penggunaan Protease Inhibitor (PI) dapat
mempengaruhi metabolisme glukosa dan lipid.
Beberapa ahli menganjurkan
pemeriksaanguladarahdanprofillipid
secararegulertetapilebih diutamakan untuk dilakukan
atas dasar tanda dan gejala.
• Pengukuran Viral Load (VL) sampai sekarang tidak
dianjurkan untuk memantau pasien dalam terapi ARV
dalam keadaan terbatas fasilitas dan kemampuan
pasien. Pemeriksaan VL digunakan untuk membantu
diagnosis gagal terapi. Hasil VL dapat
memprediksigagal terapi lebih awal dibandingkan
dengan hanya menggunakan pemantauan klinis dan
pemeriksaan jumlah CD4. Jika pengukuran VL
dapatdilakukan maka terapi ARV diharapkan
menurunkan VL menjadi tidak terdeteksi
(undetectable) setelah bulan ke 6.
3.Pemantauan pemulihan jumlah sel CD4
Pemberian terapi ARV akan meningkatkan jumlah CD4.
Halini akan berlanjut bertahun-tahun dengan terapi yang
efektif.Keadaan tersebut,kadang
tidakterjadi,terutamapadapasiendenganjumlah CD4yang
sangat rendah pada saat mulai terapi.Meskipundemikian,
pasien dengan jumlah CD4 yang sangat rendah tetap
dapatmencapai pemulihan imun yang baik tetapi
memerlukan waktu yang lebih lama.
PadapasienyangtidakpernahmencapaijumlahCD4yanglebihd

ari100sel/mm3
danataupasienyangpernahmencapaijumlahCD4 yang tinggi
tetapi kemudian turun secara progresif tanpa ada
penyakit/kondisi medislain,maka perlu dicurigaiadanya
keadaan gagal terapi secara imunologis.

Tabel16. Pemantauanklinisdanlaboratorisyang
dianjurkanselamapemberianpaduanARV LiniPertama.

Keterangan:
a.HasiltesHIV(+)yangtercatat(meskipunsudahlama)sudahcuku
p untuk dasar memulai terapi ARV. Bila tidak ada
dokumen tertulis, dianjurkan untuk dilakukan tes HIV
sebelum memulai terapi ARV
b.
BagipasienyangmendapatAZT:perludiperiksakadarhemoglob
in sebelum terapi AZT dan pada minggu ke 4, 8 dan
12, dan bila diperlukan (misal ada tanda dan gejala
anemia atau adanya obat lain yang bisa menyebabkan
anemia).
c. Lakukan tes kehamilan sebelum memberikan EFV pada
ODHA perempuan usia subur. Bila hasil tes positif dan
kehamilan pada trimester pertama maka jangan diberi EFV.
d.Bilahasilteskehamilanpositifpada
perempuanyangsudahterlanjur mendapatkan EFV maka
segera ganti dengan paduan yang tidak mengandung EFV
e.
PasienyangmendapatTDF,perlupemeriksaankreatininserum
pada awal,dansetiap3
bulanpadatahunpertamakemudianjika stabildapat
dilakukan setiap 6 bulan.
f. Pengukuran viral load (HIV RNA) tidak dianjurkan sebagai
dasar pengambilan keputusan untuk memulai terapi ARV
atau sebagai alat pemantau respon pengobatan pada
saat tersebut. Dapat dipertimbangkan sebagai
Diagnosisdiniadanya kegagalan terapiatau
menilaiadanyaketidaksesuaianantarahasilCD4dankeadaankli
nis dari pasien yang diduga mengalami kegagalan terapi ARV.

Konseling danEdukasi
Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga
tentang penyakit HIV/AIDS.Pasien
disarankanuntukbergabungdengankelompok
penanggulanganHIV/AIDSuntuk
menguatkandirinyadalammenghadapi pengobatan
penyakitnya.

Kriteria rujukan
a.RujukanhorizontalbilafasilitasuntukpemeriksaanHIVtidakdapat
dilakukan di layanan primer.
b.Rujukan vertikal bila terdapat pasien HIV/AIDS dengan
komplikasi.

Sarana Prasarana
a.Obat: ARV, obat-obat infeksi oportunistik, obat koinfeksi
b.Laboratorium:darahrutin,,urinrutin,CD4,VL,fungsihatida
nfungsi ginjal.
c. Radiologi

Prognosis
Prognosis sangat tergantung kondisi pasien saat datang dan
pengobatan. Terapihinggasaatiniadalahuntuk
memperpanjangmasahidup,belum merupakan terapi definitif,
sehingga prognosis pada umumnya dubia ad malam.
Kematian dalam Terapi Antriretroviral
Sejak dimulainya terapi ARV, angka kematian yang
berhubungan dengan HIV semakin turun. Secara umum,
penyebab kematian pasiendengan infeksi HIV disebabkan
karenapenanganan infeksioportunistik yang tidak adekuat,
efek samping ARV berat (Steven Johnson Syndrome), dan
keadaan gagal fungsi hati stadium akhir (ESLD - End Stage
Liver Disease) pada kasus ko-infeksiHIV/HVB.

5. Kewenangan 1. Dokter umum, dan


2. Dokter Spesialis Penyakit Dalam
6. Unit Terkait 1. Rawat Inap
2. Farmasi
3. Laboratorium
4. Ambulan
7. Referensi PERMENKES RI NOMOR 5 TAHUN 2014
Limfadenitis
No ICPCII : L04.9
No ICD X :B70
LymphadenitisAcute
Tingkat Kemampuan: 4A
No.
SO Dokumen
No. Revisi
P
Tanggal Terbit
Halaman
UPT Puskesmas dr. Hj. Fetty SDK, MKM
Padasuka NIP.196407031990022001

1. Pengertian Limfadenitisadalah peradangan padasatu atau beberapa


kelenjar getah
bening.Limfadenitisbisadisebabkanolehinfeksidariberbagaior
ganisme, yaitubakteri,virus,protozoa,riketsiaataujamur.
Secarakhusus,infeksi
menyebarkekelenjargetahbeningdariinfeksikulit,telinga,hidu
ngatau mata. Bakteri Streptokokus, staphilokokus,
danTuberkulosis adalah
penyebabpalingumumdarilimfadenitis,meskipunvirus,protoz
oa,rickettsiae,jamur juga dapat menginfeksi kelenjar getah
bening

2. Tujuan Untuk dapat menegakkan diagnosis suatu penyakit sesuai


dengan standar prosedur pemeriksaan medis, meningkatkan
mutu pelayanan terhadap pasien dan membantu
mengetahui perjalanan,tanda serta gejala penyakit pasien
agar tepat diagnosis
3. Kebijakan Sebagai pedoman dalam melakukan kajian awal untuk
mendapatkan informasi yang lengkap mengenai masalah
yang dihadapi pasien
Pelaksanaan kajian awal untuk mendapatkan informasi yang
lengkap mengenai masalah yang dihadapi pasien harus
mengikuti langkah-langkah yang tertuang dalam SPO kajian
awal yang memuat informasi yang harus diperoleh selama
proses pengkajian
4. Prosedur Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
a.Pembengkakan kelenjar getah bening
b.Demam
c. Kehilangan nafsu makan
d.Keringat berlebihan
e. Nadi cepat f.Kelemahan
g.
Nyeritenggorokdanbatukbiladisebabkanolehinfeksisal
uran pernapasan bagian atas
h.Nyerisendibiladisebabkanolehpenyakitkolagenataupeny
akitserum n (serum sickness)

Faktor Risiko
a.Riwayat penyakit seperti tonsilitis yang
disebabkan oleh bakteri streptokokus, infeksi gigi
dan gusi yang disebabkan oleh bakteri anaerob.
b.Riwayat perjalanandan pekerjaan ke daerah endemis
penyakit tertentu, misalnya perjalanan ke daerah-
daerah Afrika dapat menunjukkan penyebab
limfadenitis adalah penyakit
Tripanosomiasis. Sedangkan pada orang yang bekerja
di hutan Limfadenitis dapat terkena Tularemia.
c.
Paparanterhadapinfeksi/kontaksebelumnyakepadaorangdeng
an infeksi saluran nafas atas,
faringitis oleh Streptococcus, atau tuberculosis turut
membantu mengarahkan penyebab limfadenopati.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang


Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik .
a.Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) leher
bagian posterior (belakang)terdapat
padainfeksirubela danmononukleosis.Sedangkan
pada pembesaran KGB oleh infeksivirus, umumnya
bilateral (dua sisi- kiri/kiri dan kanan) dengan
ukuran normal bila diameter0,5cm, dan lipat paha
bila diameternya >1,5 cm dikatakan abnormal).
b.Nyeri tekan bila disebabkan oleh infeksi bakteri.
c.
Kemerahandanhangatpadaperabaanmengarahkepadai
nfeksibakteri sebagai penyebabnya.
d.Fluktuasi menandakan terjadinya abses.
e. Biladisebabkankeganasantidakditemukantanda-
tandaperadangan tetapi teraba keras dan tidak
dapat digerakkan dari jaringan sekitarnya.
f. Pada infeksi oleh mikobakterium pembesaran
kelenjar berjalan mingguan-bulanan, walaupun
dapat mendadak, KGB menjadi fluktuatif dan kulit
diatasnya menjadi tipis, dan dapat pecah.
g. Adanya tenggorokan yang merah, bercak-bercak
putih pada tonsil, bintik-bintik merah pada langit-
langit mengarahkan infeksi oleh bakteri streptokokus.
h.Adanya selaput pada dinding tenggorok, tonsil, langit-
langit yang sulit dilepas dan bila dilepas berdarah,
pembengkakan pada jaringan lunak leher (bull neck)
mengarahkan kepada infeksi oleh bakteri Difteri.
i. Faringitis, ruam-ruam dan pembesaran limpa
mengarahkan kepada infeksi Epstein Barr Virus.
j. Adanya radang pada selaput mata dan bercak koplik
mengarahkan kepada Campak.
k.Adanya bintik-bintik perdarahan (bintik merah yang
tidak hilang dengan penekanan), pucat, memar
yang tidak jelas penyebabnya, disertai
pembesaran hati dan limpa mengarahkan kepada
leukemia

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan skrining TB : BTA sputum,LED, mantoux
test. Laboratorium : Darah perifer lengkap

Diagnosis.
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis
Limfadenititis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik.
Diagnosis Banding:
a. Mumps
b.Kista Duktus Tiroglosus
c. Kista Dermoid
d.Hemangioma

Komplikasi:
a.Pembentukan abses
b.Selulitis (infeksi kulit)
c. Sepsis (septikemia atau keracunan darah)
d.Fistula (terlihat dalam limfadenitis yang disebabkan oleh
TBC)

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


Penatalaksanaan
a.Pencegahan dengan menjaga kesehatan dan kebersihan
badan bisa membantu mencegah terjadinya berbagai
infeksi.
b.
Untukmembantumengurangirasasakit,kelenjargetahbeni
ngyang terkena bisa dikompres hangat.
c. Tata laksana pembesaran KGB leher didasarkan kepada
penyebabnya.
1.Penyebab oleh virus dapat sembuh sendiridan tidak
membutuhkan pengobatan apa pun selain dari
observasi.
2.Pengobatan
padainfeksiKGBolehbakteri(limfadenitis)adalahanti
- bioticoral10hari denganpemantauandalam2hari
pertama flucloxacillin 25 mg/kgBB empat
kalisehari. Bila ada reaksi alergi terhadap
antibiotic golongan penicillin dapat diberikan
cephalexin 25 mg/kg (sampai dengan 500 mg) tiga
kalisehari atau erythromycin 15 mg/kg (sampai
500 mg) tiga kali sehari.
3.Bila penyebabnya adalah mycobacterium
tuberculosis maka diberikan obat anti
tuberculosis.
4.
Biasanyajikainfeksitelahdiobati,kelenjarakanmeng
ecilsecara perlahan dan rasasakit akan hilang.
Kadang-kadang kelenjar yang membesar tetap
keras dan tidak lagi terasa lunak pada perabaan.

Konseling danEdukasi
a.Keluarga turut menjaga kesehatan dan kebersihan
sehingga mencegah terjadinya berbagai infeksi dan
penularan.
b.Keluarga turut mendukung dengan memotivasi
pasien dalam pengobatan.

Rencanafollowup :
Pasien kontrol untuk mengevaluasi KGB dan terapi yang
diberikan.

Kriteria rujukan
a.Kegagalan untuk mengecil setelah 4-6minggu dirujuk
untuk mencari penyebabnya (indikasi untuk
dilaksanakan biopsi kelenjar getah bening).
b.Biopsi dilakukan bila terdapat tanda dan gejala
yang mengarahkan kepada keganasan,KGB yang
menetapatau bertambah besar dengan pengobatan
yang tepat, atau diagnosis belum dapat ditegakkan.

Sarana Prasarana
a.Alat ukur untuk mengukur beasarnya kelenjar getah
bening
b.Mikroskop
c. Reagen BTA dan Gram

Prognosis
Prognosis pada umumnya bonam.

5. Kewenangan 1. Dokter umum, dan


2. Dokter Spesialis Penyakit Dalam
6. Unit Terkait 1. Rawat Inap
2. Farmasi
3. Laboratorium
4. Ambulan
7. Referensi PERMENKES RI NOMOR 5 TAHUN 2014
Refluks Gastroesofageal

No ICPCII : D84 Oesphagus


disease
No ICD X : K21.9 Gastro-
oesophageal reflux
diseasewithoutoes
ophagitis
Tingkat Kemampuan: 4A
No.
SO Dokumen
No. Revisi
P
Tanggal Terbit
Halaman
UPT Puskesmas dr. Hj. Fetty SDK, MKM
Padasuka NIP.196407031990022001

1. Pengertian GastroesophagealReflux
Disease(GERD)adalahmekanismerefluksmelalui inkompeten
sfingter esofagus.

2. Tujuan Untuk dapat menegakkan diagnosis suatu penyakit sesuai


dengan standar prosedur pemeriksaan medis, meningkatkan
mutu pelayanan terhadap pasien dan membantu
mengetahui perjalanan,tanda serta gejala penyakit pasien
agar tepat diagnosis
3. Kebijakan Sebagai pedoman dalam melakukan kajian awal untuk
mendapatkan informasi yang lengkap mengenai masalah
yang dihadapi pasien
Pelaksanaan kajian awal untuk mendapatkan informasi yang
lengkap mengenai masalah yang dihadapi pasien harus
mengikuti langkah-langkah yang tertuang dalam SPO kajian
awal yang memuat informasi yang harus diperoleh selama
proses pengkajian
4. Prosedur Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Rasapanasdanterbakardiretrosternal atauepigastrikdan
dapatmenjalarke
leher.Haliniterjaditerutamasetelahmakandengan
volumebesardan berlemak. Keluhan ini diperberat dengan
posisi berbaring terlentang.Keluhan ini juga dapat timbul
oleh karena makanan berupa saos tomat, peppermint,
coklat, kopi, dan alkohol.Keluhan sering muncul pada
malam hari.
Keluhan lain akibat refluks adalah tibatiba ada rasa cairan
asam di mulut, cegukan, mual danmuntah. Refluks ini dapat
terjadi pada pria dan wanita. Sering dianggap gejala penyakit
jantung.

Faktor Risiko
Usia > 40 thn, obesitas, kehamilan, merokok, kopi, alkohol,
coklat, makan berlemak, beberapa obat di antaranya nitrat,
teophylin dan verapamil, pakaian yang ketat, atau pekerja
yang sering memgangkat beban berat.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang


Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik .
Tidakterdapattandaspesifikuntuk GERD.Tindakan
untukpemeriksaan adalah dengan pengisian kuesioner
GERD. Bila hasilnya positif, maka dilakukan tes dengan
pengobatan PPI(Proton PumpInhibitor).

Diagnosis.
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosisditegakkanberdasarkananamnesisyangcermat.Kem
udianuntuk dipelayananprimer, pasienditerapidenganPPI
test,bilamemberikanrespon positif terhadap terapi, maka
diagnosis definitive GERD dapat disimpulkan. Standar baku
untuk diagnosis definitif GERD adalah dengan endoskopi
saluran cerna bagian atas yaitu ditemukannyamucosal
breakdiesophagus namun tindakan ini hanya dapat
dilakukan oleh dokter spesialis yang memiliki kompetensi
tersebut

Diagnosis Banding:
a.Angina pektoris
b.Akhalasia
c. Dispepsia
d.Ulkus peptik
e. Ulkus duodenum
f. Pankreatitis

Komplikasi:
a.Esofagitis
b.Ulkus esophagus
c. Perdarahan esofagus
d.Striktur esophagus
e. Barret’s esophagus
f. Adenokarsinoma
g.Batuk dan asma
h.Inflamasi faring danlaring
i. Cairan pada sinus dan telinga tengah
j. Aspirasi paru

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


Penatalaksanaan

• Modifikasi gaya hidup:


Mengurangi berat badan, berhenti merokok, tidak
mengkonsumsi zat yang mengiritasilambung
sepertikafein,aspirin,dan alkohol.Posisitidur
sebaiknyadengankepalayanglebihtinggi.Tidurminimalsete
lah2sampai
4jamsetelahmakanan,makandenganporsikecildankurang
imakanan yang berlemak.
• Terapi dengan medikamentosa dengan cara memberikan
Proton Pump Inhibitor(PPI)dosis tinggiselama7-14
hari.Bilaterdapatperbaikangejala yang signifikan (50-
75%) maka diagnosis dapat ditegakkansebagai GERD.
PPIdosis tinggi berupa Omeprazole 2x20 mg/hari dan
lansoprazole 2x 30 mg/hari.
• Setelah ditegakkan diagnosis GERD, obat dapat
diteruskan sampai 4
minggudanbolehditambahdenganprokinetiksepertidompe
ridon3x10 mg.

PadakondisitidaktersedianyaPPI,makapenggunaanH2Blocker
2x/hari:
simetidin 400-800 mg atau Ranitidin 150 mgatau Famotidin
20 mg.

ALGORITMETATALAKSANAGERD PADA
PELAYANANKESEHATANLINIPERTAMA

Pemeriksaanpenunjang
dilakukanpadafasilitaslayanansekunder(rujukan)untuk
endoskopi.

Konseling danEdukasi
Edukasi pasien dan keluarga mengenai GERD dan
terutama dengan pemilihan
makananuntukmengurangimakananyangberlemakdan
dapatmengiritasi lambung (asam, pedas).

Kriteria rujukan
a.Pengobatan empirik tidak menunjukkan hasil
b.Pengobatan empirik menunjukkan hasil namun
kambuh kembali
c. Adanyaalarmsymptom:
1.Berat badan menurun
2.Hematemesis melena
3.Disfagia (sulit menelan)
4.Odinofagia (sakit menelan)
5.Anemia.

Sarana Prasarana
Kuesioner GERD

Prognosis
Prognosis sangattergantung darikondisi pasiensaat datang
dan pengobatannya. Pada umumnya, prognosis bonam,
namun untuk quoad sanationam GERD adalah dubia ad
bonam.

5. Kewenangan 1. Dokter umum, dan


2. Dokter Spesialis Penyakit Dalam
6. Unit Terkait 1. Rawat Inap
2. Farmasi
3. Laboratorium
4. Ambulan
7. Referensi PERMENKES RI NOMOR 5 TAHUN 2014

Gastritis
No ICPCII : D07
Dyspepsia/indigestion
No ICD X : K29.7 Gastritis,
unspecified
Tingkat Kemampuan: 4A
No.
SOP Dokumen
No. Revisi
Tanggal Terbit
Halaman
UPT Puskesmas dr. Hj. Fetty SDK, MKM
Padasuka NIP.196407031990022001

1. Pengertian Gastritis adalah proses inflamasi/peradangan pada lapisan


mukosa dan submukosa lambung sebagai mekanisme
proteksi mukosa apabila terdapat
akumulasibakteriataubahaniritanlain.Prosesinflamasi
dapatbersifatakut, kronis, difus, atau lokal.

2. Tujuan Untuk dapat menegakkan diagnosis suatu penyakit sesuai


dengan standar prosedur pemeriksaan medis, meningkatkan
mutu pelayanan terhadap pasien dan membantu
mengetahui perjalanan,tanda serta gejala penyakit pasien
agar tepat diagnosis
3. Kebijakan Sebagai pedoman dalam melakukan kajian awal untuk
mendapatkan informasi yang lengkap mengenai masalah
yang dihadapi pasien
Pelaksanaan kajian awal untuk mendapatkan informasi yang
lengkap mengenai masalah yang dihadapi pasien harus
mengikuti langkah-langkah yang tertuang dalam SPO kajian
awal yang memuat informasi yang harus diperoleh selama
proses pengkajian
4. Prosedur Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Pasien datang ke dokter karena rasa nyeri dan panas
seperti terbakar pada perut bagian atas. Keluhan
mereda atau memburuk bila diikuti dengan makan,
mual, muntah dan kembung.
Faktor Risiko
a.Polamakanyangtidakbaik:waktumakanterlambat,je
nismakanan pedas, porsi makan yang besar.
b.Sering minum kopi dan teh.
c. Infeksi bakteri atauparasit.
d.Pengunaan obat analgetik dan steroid.
e. Usia lanjut.
f. Alkoholisme.
g.Stress.
h.Penyakitlainnya,seperti:penyakitrefluksempedu,pe
nyakitautoimun, HIV/AIDS, Chron disease

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang


Sederhana (Objective)
Pemeriksaan FisikPatognomonis .
a.Nyeri tekan epigastrium dan bising usus meningkat.
b.Bilaterjadiprosesinflamasiberat,dapatditemukanpendaraha
nsaluran cerna berupa hematemesis dan melena.
c. Biasanya pada pasien dengan gastritis kronis, konjungtiva
tampak anemis.

Pemeriksaan Penunjang
Tidak diperlukan, kecuali pada gastritis kronis dengan
melakukan pemeriksaan:
a.Darah rutin.
b.UntukmengetahuiinfeksiHelicobacterpylori:pemeriks
aanbreathetest dan feses.
c. Rontgen dengan barium enema.
d.Endoskopi.

Diagnosis.
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Untuk Diagnosis definitif dilakukan
pemeriksaan penunjang.
Diagnosis Banding:
a. Kolelitiasis
b. Chron disease
d.Kanker lambung
e. Gastroenteritis
f. Limfoma
g.Ulkus peptikum
h.Sarkoidosis
i. GERD
Komplikasi:
a.Pendarahan saluran cerna bagian atas.
b.Ulkus peptikum.
c. Perforasi lambung.
d.Anemia.

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


Penatalaksanaan
a.Menginformasikan kepada pasien untuk menghindari
pemicu terjadinya keluhan, antara laindengan
makantepat waktu, makansering dengan porsi kecil
dan hindari dari makanan yang meningkatkan asam
lambung atau perut kembung seperti kopi, the, makanan
pedas dan kol.
b.Terapi diberikan per oraldengan obat, antara lain:H2
Bloker2x/hari (Ranitidin150 mg/kali,Famotidin20
mg/kali,Simetidin400-800 mg/kali), PPI 2x/hari
(Omeprazole 20 mg/kali, Lansoprazole 30 mg/kali),
serta Antasida dosis 3 x 500-1000 mg/hr.

Konseling danEdukasi
Menginformasikan pasien dan keluarga mengenai faktor
risiko terjadinya gastritis.

Kriteria rujukan
a.Bila 5 hari pengobatan
belum ada perbaikan.
b.Terjadi komplikasi.
c.
Terjadialarmsymptomssepertiperdarahan,beratbadanmen
urun10%
dalam 6 bulan, dan mual muntah berlebihan.

Sarana Prasarana
Laboratorium untuk pemeriksaan Gram.

Prognosis
Prognosis sangat tergantung pada kondisi pasien saat
datang, ada/tidaknya komplikasi, dan pengobatannya.
Umumnya prognosis gastritis adalah bonam, namun
dapat terjadi berulang bila pola hidup tidak berubah.

5. Kewenangan 1. Dokter umum, dan


2. Dokter Spesialis Penyakit Dalam
6. Unit Terkait 1. Rawat Inap
2. Farmasi
3. Laboratorium
4. Ambulan
7. Referensi PERMENKES RI NOMOR 5 TAHUN 2014
Intoleransi Makanan
No. ICPCII: D29 Digestive
syndrome/complaintother
No. ICD X :
Tingkat Kemampuan: 4A
No.
SO Dokumen
No. Revisi
P
Tanggal Terbit
Halaman
UPT Puskesmas dr. Hj. Fetty SDK, MKM
Padasuka NIP.196407031990022001

1. Pengertian Intoleransi makanan adalah gejala-gejala yang


terjadiakbibat reaksi tubuh
terhadapmakanantertentu.Intoleransibukanmerupakanaler
gimakanan. Hal ini terjadi akibat kekurangan enzim yang
diperlukanuntuk mencerna
makanantertentu.Intoleransiterhadaplaktosagulasusu,
atauyangumum digunakan, terhadap agen
penyedapmonosodium glutamat(MSG),atau terhadap
antihistamin ditemukan di keju lama, anggur, bir, dan
daging olahan. Gejala intoleransi makanan kadang-kadang
mirip dengan gejala yang ditemukan pada alergi makanan.

2. Tujuan Untuk dapat menegakkan diagnosis suatu penyakit sesuai


dengan standar prosedur pemeriksaan medis,
meningkatkan mutu pelayanan terhadap pasien dan
membantu mengetahui perjalanan,tanda serta gejala
penyakit pasien agar tepat diagnosis
3. Kebijakan Sebagai pedoman dalam melakukan kajian awal untuk
mendapatkan informasi yang lengkap mengenai masalah
yang dihadapi pasien
Pelaksanaan kajian awal untuk mendapatkan informasi
yang lengkap mengenai masalah yang dihadapi pasien
harus mengikuti langkah-langkah yang tertuang dalam SPO
kajian awal yang memuat informasi yang harus diperoleh
selama proses pengkajian
4. Prosedur Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Pasien datang ke dokter karena rasa nyeri dan panas
seperti terbakar pada perut bagian atas. Keluhan
mereda atau memburuk bila diikuti dengan makan,
mual, muntah dan kembung.
Gejala-gejala yang mungkin terjadi adalahtenggorokan
terasa gatal, nyeri perut, perut kembung, diare, mual
muntah, atau dapat disertai kram perut.
Faktor predisposisi
Makanan yang sering menyebabkan intoleransi, seperti:
a.terigu dan gandum lainnya yang mengandung gluten
b.protein susu sapi
c. hasil olahan jagung.
d.MSG, dst

Faktor Risiko
-

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang


Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Padapemeriksaanfisikdapatditemukannyeritekanabdo
men,bisingusus meningkat dan mungkin terdapat
tanda-tanda dehidrasi.

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium:fungsiprankeas,asamempedu,toleransila
ktosadanxylose, absorbsi pankreas, absorbsi B12.

Diagnosis.
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan penunjang.

Diagnosis Banding:
a. Pankreatitis
b.Penyakitt Chrons pada illeum terminalis
c. Sprue Celiac
d.Penyakit whipple
e. Amiloidosis
f. Defisiensi laktase
g.Sindrom Zollinger-Ellison
h.Gangguan paska gasterektomi, reseksi usus halus atau
kolon

Komplikasi:
dehidrasi

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


Penatalaksanaan
a.Pembatasan nutrisi tertentu
b.Suplemen vitamin dan mineral
c.Suplemen enzim pencernaan

Rencana Tindak Lanjut


Setelah gejala menghilang, makanan yang dicurigai
diberikan kembali untuk melihat reaksi yang terjadi. Hal ini
bertujuan untuk memperoleh penyebab intoleransi.

Konseling danEdukasi
a.Keluargaikutmembantudalamhalpembatasannutrisiterten
tupada pasien.
b.Keluarga juga mengamati keadaaan pasien selama
pengobatan.

Kriteria rujukan
Perlu dilakukan konsultasi ke spesialis penyakit bila
keluhan tidak menghilang walaupun tanpa terpapar.

Sarana Prasarana
a.Laboratorium Rutin
b.Suplemen vitamin dan mineral
c. Suplemen enzim pencernaan .

Prognosis
Pada umumnya, prognosis tidak mengancam jiwa, namun
fungsionam dan sanationamnya adalah dubia ad bonam
karena tergantung pada paparan terhadap makanan
penyebab.

5. Kewenangan 1. Dokter umum, dan


2. Dokter Spesialis Penyakit Dalam
6. Unit Terkait 1. Rawat Inap
2. Farmasi
3. Laboratorium
4. Ambulan
7. Referensi PERMENKES RI NOMOR 5 TAHUN 2014
Demam Tifoid
No ICPCII : D70
Gastrointestinalinfection
No ICD X :
A01.0Typhoidfever
Tingkat Kemampuan: 4A
No.
SOP Dokumen
No. Revisi
Tanggal Terbit
Halaman
UPT Puskesmas dr. Hj. Fetty SDK, MKM
Padasuka NIP.196407031990022001

1. Pengertian Demam tifoid banyak ditemukan di masyarakat perkotaan


maupun di pedesaan.Penyakitinieratkaitannya
dengankualitashigienepribadidan sanitasi lingkungan
yang kurang baik. DiIndonesiabersifatendemikdan
merupakan
masalahkesehatanmasyarakat.Daritelaahkasusdirumahsak
it besardi Indonesia, tersangkademam
tifoidmenunjukkankecenderungan meningkat dari tahun ke
tahun dengan rata-rata kesakitan 500/100.000 penduduk
dan angka kematian antara 0.6–5% (KMK, 2006).

2. Tujuan Untuk dapat menegakkan diagnosis suatu penyakit sesuai


dengan standar prosedur pemeriksaan medis,
meningkatkan mutu pelayanan terhadap pasien dan
membantu mengetahui perjalanan,tanda serta gejala
penyakit pasien agar tepat diagnosis
3. Kebijakan Sebagai pedoman dalam melakukan kajian awal untuk
mendapatkan informasi yang lengkap mengenai masalah
yang dihadapi pasien
Pelaksanaan kajian awal untuk mendapatkan informasi
yang lengkap mengenai masalah yang dihadapi pasien
harus mengikuti langkah-langkah yang tertuang dalam SPO
kajian awal yang memuat informasi yang harus diperoleh
selama proses pengkajian
4. Prosedur Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Pasien datang ke dokter karena demam.Demam turun
naikterutama sore dan malam hari (demam
intermiten). Keluhan disertai dengan sakit kepala
(pusing- pusing) yang seringdirasakan di area frontal,
nyeri otot, pegal-pegal, insomnia, anoreksia dan
mualmuntah. Selain itu,keluhan dapat
puladisertaigangguan gastrointestinal berupa
konstipasi dan meteorismus atau diare, nyeri abdomen
dan BAB berdarah. Pada anak dapat terjadi kejang
demam.
Demamtinggidapatterjaditerusmenerus(demamkontinu
)hinggaminggu kedua.

Faktor Risiko
Higiene pribadi dan sanitasi lingkungan yang
kurang.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang


Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
a. Suhu tinggi.
b.Bau mulut karena demam lama.
c. Bibir kering dan kadang pecah-pecah.
d.Lidah kotor dan ditutup selaput putih (coatedtongue),
jarang ditemukan pada anak.
e. Ujung dan tepi lidah kemerahan dan tremor.
f. Nyeri tekan regio epigastrik (nyeri ulu hati).
g.Hepatosplenomegali.
h.Bradikardia relatif (peningkatan suhu tubuh yang
tidak diikuti oleh peningkatan frekuensi nadi).

Pemeriksaan fisik pada keadaan lanjut


a.Penurunan kesadaran ringan sering terjadi berupa
apatis dengan kesadaran seperti berkabut. Bila
klinis berat, pasien dapat menjadi somnolen dan
koma atau dengan gejala-gejala psikosis (organic
brain syndrome).
b.Pada penderita dengan toksik, gejala delirium lebih
menonjol.
Pemeriksaan Penunjang
a.Darah perifer lengkap
Hitunglekosittotalmenunjukkanleukopeni(<5000
permm3), limfositosis relatif, monositosis,
aneosinofilia dan trombositopenia ringan. Pada
minggu ketiga dankeempat dapat terjadipenurunan
hemaglobin akibat perdarahan hebat dalam
abdomen.
b.Pemeriksaan serologi Widal
Dengan titer O 1/320 diduga kuat diagnosisnya
adalah demam tifoid. Reaksi widalnegatiftidak
menyingkirkan diagnosis tifoid. Diagnosis
demamtifoiddianggappastibiladidapatkankenaikantit
er 4kalilipat pada pemeriksaan ulang dengan
interval 5-7 hari.

Teslainyanglebihsensitifdanspesifikterutamauntukmendet
eksiinfeksi akut tifus khususnya Salmonella serogrup D
dibandingkanuji Widal dan saat
iniseringdigunakankarenasederhana
dancepatadalahtesTUBEX®.Tesini menggunakan teknik
aglutinasi denganmenggunakan uji hapusan (slidetest)
atau uji tabung (tubetest).

Diagnosis.
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis
Suspek demam tifoid (Suspectcase)
Darianamnesisdanpemeriksaanfisikdidapatkangejala
demam,gangguan saluran cerna dan petanda gangguan
kesadaran. Diagnosis suspek tifoid hanya dibuat pada
pelayanan kesehatan dasar.

Demam tifoid klinis (Probable case)


Suspek demam tifoid didukung dengan gambaran
laboratorium yang menunjukkan tifoid.

Diagnosis Banding:
a.Demam berdarah dengue.
b.Malaria.
c. Leptospirosis.

Komplikasi
Biasanyaterjadipadaminggukeduadanketigademam.Kompli
kasiantara lain perdarahan, perforasi, sepsis, ensefalopati,
dan infeksi organ lain:
a.Tifoid toksik (Tifoid ensefalopati)
Penderita dengan sindrom demam tifoid dengan
panas tinggi yang
disertaidengankekacauanmentalhebat,kesadaranme
nurun,mulai dari delirium sampai koma.
b.Syok septik
Penderita dengan demam tifoid,panas tinggiserta
gejala-gejala toksemia yang berat. Selain itu,
terdapat gejala gangguan hemodinamik seperti
tekanandarahturun,nadihalusdan
cepat,keringatdingindanakral dingin.
c. Perdarahan dan perforasi intestinal (peritonitis)
Komplikasi perdarahan ditandai dengan
hematoschezia.Dapat juga
diketahuidenganpemeriksaanfeses(occult
bloodtest).Komplikasiini ditandai dengan gejalaakut
abdomen dan peritonitis.Pada fotopolos abdomen 3
posisi dan pemeriksaan klinis bedah didapatkan gas
bebas dalam rongga perut.
d.Hepatitis tifosa
Kelainan berupa ikterus, hepatomegali, dan
kelainan tes fungsi hati.
e. Pankreatitis tifosa
Terdapat tanda pankreatitis akut dengan
peningkatan enzim lipase dan amylase. Tanda ini
dapat dibantu dengan USG atau CTScan.
f. Pneumonia.
Didapatkan tandapneumonia yang Diagnosisnya
dibantu dengan foto polos toraks

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


Penatalaksanaan
a.Terapi suportif dapat dilakukan dengan:
1.Istirahat tirah baring dan mengatur tahapan
mobilisasi.
2.Diet tinggi kalori dan tinggi protein.
3.Konsumsi obat-obatan secara rutin dan tuntas.
4.Kontrol dan monitor tanda vital (tekanan darah,
nadi, suhu, kesadaran), kemudian dicatat dengan
baik di rekam medik pasien.

Rencana Tindak Lanjut


b.Terapi simptomatik untuk menurunkan
demam (antipiretik) dan mengurangi keluhan
gastrointestinal.
c. Terapi definitif dengan pemberian antibiotik.
Antibiotik lini pertama untuk demam tifoid adalah
kloramfenikol, ampisilin atau amoksisilin (aman
untuk penderita yang sedang hamil),
atau trimetroprim- sulfametoxazole
(kotrimoksazol).
d.Bilapemberian salah satu antibiotiklini pertama
dinilaitidak efektif, dapat diganti dengan antibiotik
lain atau dipilih antibiotik lini kedua yaitu
Ceftriaxone,Cefotaxime (diberikan untuk
dewasadan anak), Kuinolon (tidak dianjurkan
untuk anak <18 tahun karena dinilai mengganggu
pertumbuhan tulang).

Tabel17. Antibiotikdan dosispenggunannya

ANTIBIOTIKA dosis keteran


Kloramfenikol Dewasa: 4x500mg gannn
Merupakanobat
selama10hari yangsering

Anak50- digunakan

100mg/kgBB/ha dantelahlamadik

Ceftriaxone Dewasa:
r, maks 22-gr enalefektif
Cepatmenurunk
4gr/hariselama3- ansuhu,
5hari lamapemberian
Ampicilli Dewasa: (1.5- Amanuntuk
n& 2)gr/hr selama penderitahamil
Amoksisi 7-10 hari Sering
lin Anak:50– dikombinasiden
Cotrimoxazole Dewasa: Tidak mahal
(TMP-SMX) 2x(160- Pemberian per
800)selama 7- oral
10 hari
Quinolone Ciprofloxacin Pefloxacin
2x500mgselam danFleroxaci
a1 minggu nlebihcepat

Ofloxacin menurunka

2x(200- nsuhu
Cefixime Anak:1.5- Amanuntukanak
2mg/kgbb/harid Efektif
ibagi2dilakukan
Indikasi demam tifoid dosis perawatan di rumah atau
rawat jalan:
a. Pasien dengan gejala klinis yang ringan, tidak ada
tanda-tanda komplikasi serta tidak ada komorbid
yang membahayakan.
b.Pasien dengan kesadaran baik dan dapat makan
minum dengan baik.
c.
Pasiendengankeluarganyacukupmengertitentangcar
a-caramerawat serta cukup paham tentang petanda
bahaya yang akan timbul dari tifoid.
d. Rumah tangga pasien memiliki atau dapat
melaksanakan sistem pembuangan ekskreta (feses,
urin, muntahan) yang mememenuhi syarat
kesehatan.
e.
Dokterbertanggungjawabpenuhterhadappengobatan
danperawatan pasien.
f. Dokter dapat memprediksi pasien tidak akan
menghadapi bahaya- bahaya yang serius.
g.
Dokterdapatmengunjungipasiensetiaphari.Bilatidakb
isaharus diwakili oleh seorang perawat yang mampu
merawat demam tifoid.
h.Dokter mempunyai hubungan komunikasi yang
lancar dengan keluarga pasien.

Konseling dan Edukasi


Edukasi pasien tentang tata cara:
a.Pengobatan dan perawatan serta aspek
laindaridemam tifoidyang harus diketahui pasien
dan keluarganya.
b.Diet, pentahapan mobilisasi, dan konsumsi obat
sebaiknyadiperhatikan atau dilihat langsung oleh
dokter, dan keluarga pasien telahmemahami serta
mampu melaksanakan.
c. Tanda-
tandakegawatanharusdiberitahukepadapasiendanke
luarga supaya bisa segera dibawa ke rumah sakit
terdekat untuk perawatan

Pendekatan Community Oriented


Melakukan konseling atau edukasi pada masyarakat
tentang aspek pencegahan dan pengendalian demam
tifoid, melalui:
a.Perbaikan sanitasi lingkungan
b.Peningkatan higiene makanan dan minuman
c. Peningkatan higiene perorangan
d.Pencegahan dengan imunisasi

Kriteria Rujukan
a.Telah mendapat terapi selama 5 hari namun belum
tampak perbaikan.
b.Demam tifoid dengan tanda-tanda kedaruratan.
c. Demamtifoiddengantanda-
tandakomplikasidanfasilitastidak mencukupi.

Prognosis
Prognosis adalah bonam, namun ad
sanationamdubiaadbonam,karena penyakit dapat
terjadi berulang.
Sarana Prasarana
Laboratorium untuk melakukan pemeriksaan darah
rutin dan serologi Widal.
5. Kewenangan 1. Dokter umum, dan
2. Dokter Spesialis Penyakit Dalam
6. Unit Terkait 1. Rawat Inap
2. Farmasi
3. Laboratorium
4. Ambulan
7. Referensi PERMENKES RI NOMOR 5 TAHUN 2014
Gastroenteritis (termasuk
disentri, kolera dan
giardiasis)
No. ICPCII: D73
Gastroenteritispresumed
infection
No. ICD X : A09 Diarrhoea
and gastroenteritis
ofpresumedinfection origin
Tingkat Kemampuan: 4A
No.
SOP Dokumen
No. Revisi
Tanggal Terbit
Halaman
UPT Puskesmas dr. Hj. Fetty SDK, MKM
Padasuka NIP.196407031990022001

1. Pengertian Gastroenteritis (GE)adalah peradanganmukosa lambung


dan usus halus yang ditandai dengan diare, yaitu buang
air besar lembek atau cair, dapat
bercampurdarahataulender,denganfrekuensi3kaliataulebih
dalamwaktu
24jam,dandisertaidenganmuntah,demam,rasatidakenakdip
erutdan menurunnya nafsu makan. Apabila diare > 30 hari
disebut kronis. Gastroenteritislebihseringterjadipadaanak-
anakkarenadayatahantubuh
yangbelumoptimal.Halinibiasanyaterjadiberhubungandenga
ntingkat pendidikan dan pendapatan yang rendah yang
terkait dengan perilaku kesehatan yang kurang.
Penyebab gastroenteritis antara lain infeksi,
malabsorbsi, keracunan atau alergi makanan dan
psikologis penderita.
InfeksiyangmenyebabkanGEakibat Entamoeba
histolyticadisebutdisentri, biladisebabkanolehGiardialamblia
disebutgiardiasis,sedangkanbila disebabkan oleh Vibrio
cholera disebut kolera.
2. Tujuan Untuk dapat menegakkan diagnosis suatu penyakit sesuai
dengan standar prosedur pemeriksaan medis,
meningkatkan mutu pelayanan terhadap pasien dan
membantu mengetahui perjalanan,tanda serta gejala
penyakit pasien agar tepat diagnosis
3. Kebijakan Sebagai pedoman dalam melakukan kajian awal untuk
mendapatkan informasi yang lengkap mengenai masalah
yang dihadapi pasien
Pelaksanaan kajian awal untuk mendapatkan informasi
yang lengkap mengenai masalah yang dihadapi pasien
harus mengikuti langkah-langkah yang tertuang dalam SPO
kajian awal yang memuat informasi yang harus diperoleh
selama proses pengkajian
4. Prosedur Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Pasiendatangkedokterkarenabuangairbesar(BAB)lembe
kataucair,dapat
bercampurdarahataulendir,denganfrekuensi3kaliataul
ebihdalamwaktu
24jam.Dapatdisertairasatidaknyamandiperut(nyeriatau
kembung),mual dan muntah serta tenesmus.
Setiap kali diare, BABdapat menghasilkan volume
yang besar (asal dari usus kecil) atau volume yang
kecil (asal dari usus besar). Bila diare disertai demam
maka diduga erat terjadi infeksi.
a.Bilaterjadinyadiaredidahuluiolehmakanatauminumd
arisumber yang kurang higienenya, GE dapat
disebabkanolehinfeksi.Riwayat
bepergiankedaerahdenganwabahdiare,riwayatintoler
ansilaktosa(terutamapadabayi),konsumsimakanan
iritatif,minumjamu,dietcola, atau makan obat-
obatan seperti laksatif, magnesiumhidrochlorida,
magnesium citrate, obat jantung quinidine, obat
gout(colchicides), diuretika (furosemid, tiazid), toksin
(arsenik, organofosfat), insektisida, kafein, metil
xantine, agen endokrin (preparat pengantian tiroid),
misoprostol, mesalamin, antikolinesterase dan obat-
obat diet perlu diketahui.
b.Selain itu, kondisi imunokompromais (HIV/AIDS) dan
demam tifoid perlu diidentifikasi.
Faktor Risiko
a.Higiene pribadi dan sanitasi lingkungan yang
kurang.
b.Riwayat intoleransi lactose, riwayat alergi obat.
c. Infeksi HIV atau infeksi menular seksual.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang


Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan terpenting adalah menentukan
tingkat/derajat dehidrasi akibat diare.Tanda-
tandadehidrasiyangperlu
diperhatikanadalahturgorkulitperut
menurun,akraldingin,penurunan
tekanandarah,peningkatandenyutnadi, tangan keriput,
mata cekung tidak, penurunan kesadaran (syok
hipovolemik), nyeri tekan abdomen, kualitas bising
usus hiperperistaltik. Pada anakkecil cekungubun-
ubun kepala.Padatanda
vitallaindapatditemukansuhutubuh yang tinggi
(hiperpireksi), nadi dan pernapasan cepat.

Tabel18. Pemeriksaanderajatdehidrasi

Gejala derajatDehidrasi
Minimal(<3 Ringa Berat(>9
% nsamp %dari

Baik,sadarp ai
Normal, beratbad
Apatis,letar
Statusmental enuh lemas,a gi,tidak
Minumnor Sangath Tidakdapatmi
mal, aus, num
Rasahaus mungkin
Normal Nor Takikar
mal di,pada
Denyutjantung sa kasusbe
Kualitasdeny Normal Nor Lemahata
ut nadi ma utidak
Pernapasan Normal Normalc Dalam
Mata Normal Sedikitc
epat Sangatcekung
Airmata Ada Menuru
ekung Tidakada
Mulutdanlidah Basah Kering
n Pecah-pecah
Turgorkulit Baik <2 > 2 detik
Isiankapiler Normal Memanj
detik Memanjang,
Ekstremitas Hangat Dingin
ang Dingin
minimal
Normal Menuru Minimal
Outputurin sampai n
Metode Pierce:
Dehidrasi ringan, kebutuhan cairan = 5% x
Berat badan (kg) Dehidrasi sedang,
kebutuhan cairan = 8% x Berat badan (kg)
Dehidrasi berat, Kebutuhan cairan = 10% x
Berat badan (kg)Metode Daldiyono
berdasarkan skor klinis

Tabel19.SkorPenilaianKlinisDehidras

Klinis Skor
Rasahasus/ muntah 1

TekananDarah sistolik60 -90 1


mmHg Tekanan darah sistolik<60 2
mmHg Frekuensi nadi
1
>120x/menit Kesadaran apati

Klinis Skor
Facies Cholerica 2
Vox Cholerica 2
Turgorkulit 1
menurun 1
Washerwoman’s 1
hand Ekstremitas
2

Pemeriksaan status lokalis


a.Pada anak-anak terlihat BAB dengan konsistensi cair
pada bagian dalam dari celana atau pampers.
b.Colok dubur dianjurkan dilakukan pada semua
kasusdiare dengan
fesesberdarah,terutamapadausia
>50tahun.Selainitu,perlu dilakukan identifikasi
penyakit komorbid.

Pemeriksaan Penunjang
Pada kondisi pasien yang telah stabil (dipastikan
hipovolemik telah teratasi), dapat dilakukan pemeriksaan:
a.Darah rutin (lekosit) untuk memastikan adanya
infeksi.
b. Feses lengkap (termasuk analisa mikrobiologi) untuk
menentukan penyebab.

Penegakan Diagnosis (Assessment)


Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis (BAB
cair lebih dari 3 kali sehari) dan pemeriksaan fisik
(ditemukan tanda-tanda hipovolemik dan pemeriksaan
konsistensi BAB).

Diagnosis Banding
a.Demam tifoid
b.Kriptosporidia (pada penderita HIV)
c. Kolitis pseudomembran

Komplikasi: Syok hipovolemik


Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
Pada umumnya diare akut bersifat ringan dan
sembuh cepat dengan sendirinya melalui
rehidrasi dan obat antidiare, sehingga jarang
diperlukan evaluasi lebih lanjut.Pemeriksaan fisik
pada keadaan lanjut
a.Penurunan kesadaran ringan sering terjadi berupa
apatis dengan kesadaran seperti berkabut. Bila
klinis berat, pasien dapat menjadi somnolen dan
koma atau dengan gejala-gejala psikosis (organic
brain syndrome).
b.Pada penderita dengan toksik, gejala delirium lebih
menonjol.

Terapi dapat diberikan dengan:


a.Memberikan cairan dan diet adekuat
1.Pasientidakdipuasakandandiberikancairanyangad
ekuatuntuk rehidrasi.
2.Hindari susu sapi karena terdapat defisiensi
laktase transien.
3.Hindarijugaminumanyangmengandungalkoholata
ukafein,karena dapat meningkatkan motilitas
dan sekresi usus.
4.Makananyangdikonsumsisebaiknyayangtidakmen
gandunggas, dan mudah dicerna.
b.Pasien diare yang belum dehidrasi dapat diberikan
obat antidiare untuk mengurangi gejala dan
antimikroba untuk terapi definitif.
Pemberian terapi antimikroba empirik diindikasikan pada
pasien yang diduga mengalami infeksi bakteri
invasif,traveller’sdiarrhea, dan imunosupresi. Antimikroba:
pada GE akibat infeksi diberikan antibiotik atau
antiparasit, atau anti jamur tergantung penyebabnya.

Obat antidiare, antara lain:


a.Turunan opioid: loperamide, difenoksilat atropine,
tinktur opium.
b.Obatinisebaiknyatidakdiberikanpadapasiendengan
disentriyang disertaidemam,danpenggunaannya
harusdihentikanapabiladiare semakin berat
walaupun diberikan terapi.
c.Bismutsubsalisilat,hati-
hatipadapasienimmunocompromised,seperti
HIV,karenadapatmeningkatkan
risikoterjadinyabismuth encephalopathy.
d.Obatyangmengeraskantinja:atapulgit4x2tablet/hariat
ausmectite3x1 sachet diberikan tiap BAB encer
sampai diare stop.
e. Obat anti sekretorik atau anti enkefalinase: Hidrasec
3x 1/ hari

Antimikroba, antara lain:


a.Golongan kuinolon yaitu ciprofloxacin 2 x 500
mg/hari selama 5-7 hari, atau
b.Trimetroprim/Sulfamethoxazole 160/800 2x 1
tablet/hari.
c.
ApabiladiaredidugadisebabkanolehGiardia,metronid
azoledapat digunakan dengan dosis 3x500 mg/ hari
selama 7 hari.
d.Bila diketahui etiologi dari diare akut, terapi
disesuaikan dengan etiologi. Terapi probiotik dapat
mempercepat penyembuhan diare akut.

Apabila terjadi dehidrasi, setelah ditentukan derajat


dehidrasinya, pasien ditangani dengan langkah sebagai
berikut:
a.Menentukan jenis cairan yang akan digunakan
Pada diare akut awal yang ringan, tersedia cairan
oralit yang hipotonik
dengankomposisi29gglukosa,3,5gNaCl,2.5gNatriumbi
karbonat
dan1.5KClsetiapliter.Cairaninidiberikansecaraoralata
ulewatselangnasogastrik.Cairanlainadalahcairanringe
rlaktatdanNaCl
0,9% yang diberikan secara intravena.
b.Menentukan jumlah cairan yang akan diberikan
Prinsip dalam menentukan jumlah cairan inisial
yang dibutuhkan adalah: BJ plasma dengan rumus:
Defisit cairan : Bj plasma – 1,025 X Berat badan X 4
ml
0,001
Kebutuhan cairan = Skor X 10% X kgBB X 1 liter
15

c. Menentukan jadwal pemberian cairan:


1.Dua jam pertama (tahap rehidrasi inisial): jumlah
total kebutuhan cairanmenurutBJ
plasmaatauskorDaldiyonodiberikanlangsung
dalam 2 jam ini agar tercapai rehidrasi optimal
secepat mungkin.
2. Satujamberikutnya/jamke-3(tahapke-
2)pemberiandiberikan berdasarkan kehilangan
selama 2 jampemberian cairanrehidrasi
inisialsebelumnya. Bilatidakadasyok
atauskordaldiyonokurang dari 3 dapat diganti
cairan per oral.
3.Jam berikutnya pemberian cairan diberikan
berdasarkan kehilangan cairan melalui tinja
daninsensiblewaterloss.

Kondisi yang memerlukan evaluasi lebih lanjut pada diare


akut apabila ditemukan:
a.Diarememburukataumenetapsetelah 7hari,fesesharus
dianalisalebh lanjut.
b.Pasiendengantanda-

tandatoksik(dehidrasi,disentri,demam≥38.5⁰C,
nyeri
abdomen yang berat pada pasien usia di atas 50
tahun

c. Pasien usia lanjut


d.Muntah yang persisten
e. Perubahan status mental seperti lethargi,
apatis,irritable.
f. Terjadinya outbreakpada komunitas
g.Pada pasien yangimmunocompromised.

Konseling dan Edukasi


Pada kondisi yang ringan, diberikan edukasi kepada
keluarga untuk membantu asupan cairan. Edukasi juga
diberikan untuk mencegah terjadinya GE dan mencegah
penularannya.

Kriteria Rujukan
a.Tanda dehidrasi berat
b.Terjadi penurunan kesadaran
c. Nyeri perut yang signifikan
d.Pasien tidak dapat minum oralit
e. Tidak ada infus set serta cairan infus di fasilitas
pelayanan
Sarana Prasarana
a.Laboratorium untuk pemeriksaan darah rutin,
feses dan WIDAL
b.Obat-obatan
c. Infus set

Prognosis
Prognosis sangat tergantung pada kondisi pasien saat
datang, ada/tidaknya
komplikasi,danpengobatannya,sehinggaumumnyaprognosis
adalahdubia ad bonam. Bila kondisi saat datang dengan
dehidrasi berat, prognosis dapat menjadi dubia ad malam.

5. Kewenangan 1. Dokter umum, dan


2. Dokter Spesialis Penyakit Dalam
6. Unit Terkait 1. Rawat Inap
2. Farmasi
3. Laboratorium
4. Ambulan
7. Referensi PERMENKES RI NOMOR 5 TAHUN 2014
Disentri Basiler dan
Disentri Amuba
No. ICPCII: D70
Gastrointestinalinfection
No. ICD X :
Tingkat Kemampuan: 4A
No.
SOP Dokumen
No. Revisi
Tanggal Terbit
Halaman
UPT Puskesmas dr. Hj. Fetty SDK, MKM
Padasuka NIP.196407031990022001

1. Pengertian Disentrimerupakantipediareyangberbahayadanseringkali
menyebabkan kematian dibandingkan dengan tipe diare
akut yang lain.
Penyakitinidapatdisebabkanolehbakteridisentribasileryangdi
sebabkan oleh shigellosis dan amoeba (disentri amoeba).

2. Tujuan Untuk dapat menegakkan diagnosis suatu penyakit sesuai


dengan standar prosedur pemeriksaan medis,
meningkatkan mutu pelayanan terhadap pasien dan
membantu mengetahui perjalanan,tanda serta gejala
penyakit pasien agar tepat diagnosis
3. Kebijakan Sebagai pedoman dalam melakukan kajian awal untuk
mendapatkan informasi yang lengkap mengenai masalah
yang dihadapi pasien
Pelaksanaan kajian awal untuk mendapatkan informasi
yang lengkap mengenai masalah yang dihadapi pasien
harus mengikuti langkah-langkah yang tertuang dalam SPO
kajian awal yang memuat informasi yang harus diperoleh
selama proses pengkajian
4. Prosedur Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
a.Sakit perut terutama sebelah kiri dan buang air besar
encer secara terus menerus bercampur lendir dan darah
b.Muntah-muntah
c. Sakit kepala
d.Bentuk yang berat (fulminating cases) biasanya
disebabkan oleh S. dysentriae dengan
gejalanyatimbulmendadakdanberat,dandapat meninggal
bila tidak cepat ditolong.

Faktor Risiko
-

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang


Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan:
a.Febris.
b.Nyeri perut pada penekanan di bagian sebelah
kiri.
c. Terdapat tanda-tanda dehidrasi.
d.Tenesmus.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan tinja secara langsung terhadap kuman
penyebab.

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

Diagnosis Banding
a.Infeksi Eschericiae coli
b.Infeksi EscherichiacoliEnteroinvasive(EIEC)
c. Infeksi EscherichiacoliEnterohemoragik(EHEC)

Komplikasi
a.Haemolytic uremic syndrome (HUS).
b.Hiponatremia berat.
c. Hipoglikemia berat.
d.Susunan saraf pusat sampai terjadi ensefalopati.
e. Komplikasi intestinal seperti toksik megakolon,
prolaps rektal, peritonitis dan perforasi dan hal ini
menimbulkan angka kematian yang tinggi.
f. Komplikasi lain yang dapat timbul adalah bisul dan
hemoroid.

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


Penatalaksanaan
a.Mencegah terjadinya dehidrasi
b.Tirah baring
c.
Dehidrasiringansampaisedangdapatdikoreksidengancaira
nrehidrasi oral
d.Bila rehidrasi oral tidak mencukupi dapat diberikan
cairan melalui infuse
e. Diet, diberikan makanan lunak sampai frekuensi BAB
kurang dari5kali/hari, kemudian diberikan makanan
ringan biasa bila ada kemajuan.
f. Farmakologis:
1.Menurut pedoman WHO, bila telah terdiagnosis
shigelosis pasien diobati dengan antibiotik.
Jika setelah 2 hari pengobatan menunjukkan
perbaikan, terapi diteruskan selama 5 hari.Bila
tidak ada perbaikan, antibiotik diganti dengan
jenis yang lain.
2. Pemakaian jangka pendek dengan dosis
tunggal fluorokuinolon seperti siprofloksasin
atau makrolide azithromisin ternyata berhasil
baikuntuk pengobatan disentri
basiler.Dosissiprofloksasinyang dipakai
adalah 2 x 500 mg/hari selama 3 hari
sedangkan azithromisin diberikan 1 gram dosis
tunggal dan sefiksim 400mg/hari selama 5
hari. Pemberian siprofloksasin merupakan
kontraindikasi terhadap anak-anak dan wanita
hamil.
3.Di negara-negara berkembang di manaterdapat
kuman S.dysentriae tipe 1 yang multiresisten
terhadap obat-obat, diberikan asam nalidiksik
dengan dosis 3 x 1 gram/hari selama 5 hari.
Tidak ada antibiotik yang dianjurkan dalam
pengobatan stadium kcarrier disentribasiler.
4.Untuk disentri amuba diberikan antibiotik
metronidazole 500mg 3x sehari selama 3-5 hari

Rencana Tindak Lanjut


Pasienperludilihatperkembanganpenyakitnyakarenamemer
lukanwaktu penyembuhan yang lama berdasarkan berat
ringannya penyakit.

Konseling dan Edukasi


a.Penularan disentri amuba dan basiler dapat
dicegah dan dikurangi dengan kondisi lingkungan
dan diri yang bersih seperti membersihkan
tangandengansabun,suplaiairyang
tidakterkontaminasi,penggunaan jamban yang
bersih.
b.Keluarga ikut berperan dalam mencegah
penularan dengan kondisi lingkungan dan diriyang
bersihsepertimembersihkan tangan dengan sabun,
suplai air yang tidak terkontaminasi, penggunaan
jamban yang bersih.
c.
Keluargaikutmenjagadietpasiendiberikanmakananlu
naksampai frekuensi berak kurang dari
5kali/hari,kemudian diberikan makanan ringan
biasa bila ada kemajuan.

Kriteria Rujukan
Padapasiendengankasusberatperludirawatintensifdankons
ultasike pelayanan sekunder (spesialis penyakit dalam).

Sarana Prasarana
a.Pemeriksaan tinja b.Infus set
c. Cairan infus/oralit
d.Antibiotik

Prognosis
Prognosissangattergantungpadakondisipasiensaatdatang,a
da/tidaknya komplikasi, dan pengobatannya. Pada
umumnya prognosis dubia ad bonam.
5. Kewenangan 1. Dokter umum, dan
2. Dokter Spesialis Penyakit Dalam
6. Unit Terkait 1. Rawat Inap
2. Farmasi
3. Laboratorium
4. Ambulan
8. Referensi PERMENKES RI NOMOR 5 TAHUN 2014

Apendisitis
Akut
No. ICPCII:
S87
(Appendicitis)
No. ICD X : K.35.9 (Acute
appendicitis)
Tingkat Kemampuan: 3B
No.
SOP Dokumen
No. Revisi
Tanggal Terbit
Halaman
UPT Puskesmas dr. Hj. Fetty SDK, MKM
Padasuka NIP.196407031990022001

1. Pengertian Apendisitis akut adalah radang yang timbul secara


mendadak pada apendik, merupakan salah satu kasus
akut abdomen yang paling sering ditemui, dan jika tidak
ditangani segera dapat menyebabkan perforasi
Penyebab :
a.Obstruksi lumen merupakan faktor penyebab dominan
apendisitis akut
b.Erosi
mukosaususkarenaparasitEntamoebahystoliticadanben
daasing lainnya
2. Tujuan Untuk dapat menegakkan diagnosis suatu penyakit sesuai
dengan standar prosedur pemeriksaan medis,
meningkatkan mutu pelayanan terhadap pasien dan
membantu mengetahui perjalanan,tanda serta gejala
penyakit pasien agar tepat diagnosis
3. Kebijakan Sebagai pedoman dalam melakukan kajian awal untuk
mendapatkan informasi yang lengkap mengenai masalah
yang dihadapi pasien
Pelaksanaan kajian awal untuk mendapatkan informasi
yang lengkap mengenai masalah yang dihadapi pasien
harus mengikuti langkah-langkah yang tertuang dalam SPO
kajian awal yang memuat informasi yang harus diperoleh
selama proses pengkajian
4. Prosedur Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Nyeri perut kanan bawah, mula-mula daerah
epigastrium kemudian menjalar
keMcBurney.Apabilatelahterjadi
inflamasi(>6jam)penderitadapat menunjukkan letak
nyeri, karena bersifat somatik.
Gejala Klinis:
a.Muntah (rangsangan viseral) akibat aktivasi
n.vagus.
b.Anoreksia, nausea dan vomitus yang timbul
beberapa jam sesudahnya, merupakan
kelanjutan dari rasa nyeri yang timbul saat
permulaan.
c.
Disuriajugatimbulapabilaperadanganapendiksde
katdenganvesika urinaria.
d. Obstipasi sebelum datangnya rasa nyeri dan
beberapa penderita mengalami diare, timbul
biasanya pada letak apendiks pelvikal yang
merangsang daerah rektum.
e.
Gejalalainadalahdemamyangtidakterlalutinggi,yait

usuhuantara37,50C - 38,50C tetapi bila suhu


lebih tinggi, diduga telah terjadi perforasi.
f. Variasi lokasi anatomi apendiks akan
menjelaskan keluhan nyeri somatik yang
beragam. Sebagai contoh apendiks yang panjang
dengan ujung yang mengalami inflamasi di
kuadran kiri bawah akan menyebabkan nyeri
di daerah tersebut, apendiks retrosekal akan
menyebabkan nyeri flank atau punggung,
apendiks pelvikal akan menyebabkan nyeri pada
supra pubik dan apendiks retroilealbisa
menyebabkan nyeri testikuler, mungkin karena
iritasi pada arteri spermatika dan ureter.

Faktor Risiko
-
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang
Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Inspeksi
Penderita berjalanmembungkuk sambil memegangi
perutnya yang sakit,
kembung(+)bilaterjadiperforasi,penonjolanperutkanan
bawahterlihatpada appendikuler abses.
Palpasi
a.Terdapat nyeri tekanMc.Burney
b.Adanya rebound tenderness (nyeri lepas tekan)
c.Adanya defens muscular.
d.Rovsing sign positif
e. Psoas sign positif
f. Obturator Sign positif

Perkusi
Nyeri ketok (+)
Auskultasi
Peristaltiknormal,peristaltik(-)padailleusparalitik
karenaperitonitis generalisata akibatappendisitis perforata.
Auskultasi tidakbanyak membantu dalam menegakkan
diagnosis apendisitis,tetapi kalau sudah terjadiperitonitis
maka tidak terdengar bunyi peristaltik usus.
Rectal Toucher / Colok dubur
Nyeri tekan pada jam 9-12
Tanda Peritonitis umum (perforasi) :
a.Nyeri seluruh abdomen
b.Pekak hati hilang
c. Bising usus hilang
Apendiksyangmengalamigangrenatauperforasilebihseringte
rjadidengan gejala-gejala sebagai berikut:
a.Gejala progresif dengan durasi lebih dari 36 jam
b.Demam tinggi lebih dari 38,50C
c. Lekositosis (AL lebih dari 14.000)
d.Dehidrasi dan asidosis e. Distensi
f. Menghilangnya bising usus
g.Nyeri tekan kuadran kanan bawah
h.Rebound tenderness sign
i. Rovsing sign
j. Nyeri tekan seluruh lapangan abdominal

Pemeriksaan Penunjang

a.Laboratorium darah perifer lengkap

1.Pada pasien denganapendisitis akut, 70-90% hasil


laboratorium nilai leukosit dan neutrofil akan
meningkat,walaupun bukanpenanda utama.

2. Pada anak dengan keluhan dan pemeriksaan


fisik untuk karakteristik apendisitis akut,
akan ditemukanpadapemeriksaan darah adanya

lekositosis 11.000-14.000/mm3, dengan


pemeriksaan hitung jenis menunjukkan
pergeseran kekiri hampir 75%.

3.Jikajumlahlekositlebihdari18.000/mm3 maka
umumnya sudah terjadi perforasi dan peritonitis.
4.Penanda respon inflamasi akut (acute phase
response) dengan menggunakan CRP? Adakah di
puskesms?.
5.Pemeriksaan urinalisa dapat digunakan sebagai
konfirmasi dan menyingkirkan kelainan urologi
yang menyebabkan nyeri abdomen.
6.Pertimbangkanadanyakehamilanektopikpadawanit
ausiasubur, dan lakukan pengukuran kadar
HCG yakin tidak ada di puskesmas.

b.Foto Polos abdomen


1.Pada apendisitis akut, pemeriksaan fotopolos
abdomentidak banyak membantu. Mungkin
terlihat adanya fekalit pada abdomen sebelah
kanan bawah yangsesuai denganlokasi apendiks,
gambaran ini ditemukan pada 20% kasus.
2.Kalauperadanganlebihluasdanmembentukinfiltrat
makausus pada bagian kanan bawah akan
kolaps.
3.Dinding usus edematosa, keadaan seperti ini
akan tampak pada daerah kanan bawah
abdomen kosong dari udara.
4.Gambaran udara seakan-akan terdorong ke pihak
lain.
5.Proses peradangan pada fossa iliaka kanan
akan menyebabkan kontraksi otot sehingga
timbul skoliosis ke kanan.
6.Gambaran ini tampak pada penderita apendisitis
akut. Bila sudah terjadiperforasi,maka pada foto
abdomen tegak akan tampak udara bebas di
bawah diafragma. Kadang-kadang udara begitu
sedikit sehingga perlu foto khusus untuk
melihatnya.
7.Foto polos abdomen supine pada abses
appendik kadang-kadang memberi pola bercak
udara dan airfluid level pada posisi berdiri/LLD
(decubitus), kalsifikasi bercak rim-like(melingkar)
sekitar perifer mukokel yang asalnya dari
appendik.
8.Pada appendisitis akut, kuadran kananbawah
perlu diperiksa untuk mencari appendikolit:
kalsifikasi bulat lonjong, sering
berlapisUltrasonografitelahbanyakdigunakanuntu
kdiagnosisapendisitisakut maupun apendisitis
dengan abses. Belum tentu ada di puskesmas

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Riwayatpenyakitdanpemeriksaanfisikmasihmerupakandas
ardiagnosis apendisitis akut.

Diagnosis Banding
a.Cholecystitis akut
b.Divertikel Mackelli
c. Enteritis regional
d.Pankreatitis
e. Batu ureter
f. Cystitis
g.Kehamilan Ektopik Terganggu (KET)
h.Salphingitis akut

Komplikasi
a.Perforasi appendix
b.Peritonitis umum
c. Sepsis

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


Pasien yang telahterdiagnosisAppendisitisakutharus
segeradirujuk ke layanan sekunder untuk dilakukan
operasi cito
a.Non-farmakologis
1.Bed rest total posisifowler (anti Trandelenburg)
2.Pasien dengan dugaan apendisitis sebaiknya
tidak diberikan apapun melalui mulut.
3.Penderita perlu cairan intravena untuk
mengoreksi jika ada dehidrasi.
4.Pipa nasogastrik dipasang untuk mengosongkan
lambung dan untuk mengurangi bahaya
muntah pada waktu induksi anestesi.
5.Anak memerlukan perawatan intensif
sekurang-kurangnya 4-6 jam sebelum
dilakukan pembedahan.
6.Pipa nasogastrik dipasang untuk
mengosongkan lambung agar mengurangi
distensi abdomen dan mencegah muntah.
b.Tata Laksana Farmakologi
1.Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan
paling tepat adalah apendiktomi dan
merupakan satu-satunya pilihan yang terbaik.
2.Penundaan apendektomi sambil memberikan
antibiotik dapat mengakibatkan abses atau
perforasi. Insidensi apendiks normal yang
dilakukan pembedahan sekitar 20%.
3.Antibiotik spektrum luas.

Komplikasi
a.Perforasi appendix
b.Peritonitis umum
c. Sepsis

Kriteria Rujukan
Pasien yang telah terdiagnosis harus dirujuk ke
layanan sekunder untuk dilakukan operasi cito.

Sarana Prasarana:
a.Cairan parenteral
b.Antibiotik

Prognosis
Prognosis pada umumnya bonam.
5. Kewenangan 1. Dokter umum, dan
2. Dokter Spesialis Penyakit Dalam
6. Unit Terkait 1. Rawat Inap
2. Farmasi
3. Laboratorium
4. Ambulan
7. Referensi PERMENKES RI NOMOR 5 TAHUN 2014
Perdarahan Saluran Makan
Bagian Atas
No. ICPCII: D14
Haematemesis/vomiting
bloodD15 Melaena
No. ICD X :
Tingkat
Kemampuan :
a . Ruptur
esofagus 1
b.
b. Varises
esofagus 2
c.
c. Ulkus gaster
3A
d. Lesi korosif esofagus 3B

No.
SOP Dokumen
No. Revisi
Tanggal Terbit
Halaman
UPT Puskesmas dr. Hj. Fetty SDK, MKM
Padasuka NIP.196407031990022001

1. Pengertian Perdarahan saluran cerna merupakan masalah yang


sering dihadapi.
Manifestasinyabervariasimulaidenganperdarahan
masifyang mengancam jiwahingga perdarahan samar
yang tidak dirasakan. Pendekatan pada pasien dengan
perdarahan dan lokasiperdarahan saluran cerna
adalah dengan menentukan beratnya perdarahan dan
lokasi perdarahan. Hematemesis (muntah darah segar
atau hitam) menunjukkan perdarahan dari saluran
cerna bagian atas, proksimal dari ligamentum Treitz.
Melena (tinja hitam, bau khas) biasanya akibat
perdarahan saluran cerna bagian atas,meskipun
demikian perdarahan dari usus halus atau kolon
bagian kanan, juga dapat menimbulkan melena.
Hematokezia (perdarahan merah segar) lazimnya
menandakan sumber perdarahan darikolon,
meskipunperdarahan dari
salurancernabagianatasyangbanyak
jugadapatmenimbulkanhematokezia atau feses warna
marun.
Perdarahan saluran cerna bagian bawah umumnya
didefinisikan sebagai perdarahan yang berasal dari
usus di sebelah bawah ligamentum Treitz.
Hematokezia diartikan darah segar yang keluar
melalui anus dan merupakan manifestasi tersering
dari perdarahan saluran cerna bagian bawah.

Melena diartikan sebagai tinjayang berwarna


hitamdengan bau yang khas. Melena timbul bilamana
hemoglobindikonversi menjadi hematin atau
hemokhrom lainnya oleh bakteri setelah 14 jam.
Umumnya melena menunjukkan perdarahan di
salurancerna bagian atasatau usus halus, namun
demikian melena dapat juga berasal dari perdarahan
kolon sebelah kanan
denganperlambatanmobilitas.Tidaksemuakotoranhita
minimelena karena bismuth, sarcol, lycorice, obat-
obatan yang mengandung besi (obat tambah darah)
dapat menyebabkan faeces menjadi hitam.Olehkarena
itu dibutuhkan tes guaiac untuk menentukan adanya
hemoglobin.
Darah samar timbulbilamana ada perdarahan ringan
namun tidak sampai mengubah warna tinja/feses.
Perdarahan jenis ini dapat diketahui dengan tes
guaiac.
Penyebab terseringdari Saluran
CernaBagianBawah:Perdarahan divertikel kolon,
angiodisplasia dan kolitis iskemik merupakan
penyebab tersering dari saluran cerna bagian bawah.
Perdarahan saluran cerna bagian bawah yang
kronikdanberulangbiasanyaberasaldarihemoroiddanne
oplasiakolon. Tidak seperti halnya perdarahan saluran
cerna bagian atas, kebanyakan perdarahan saluran
cerna bagian bawah bersifatlambat,intermiten,dan
tidak memerlukan perawatan rumah sakit.
2. Tujuan Untuk dapat menegakkan diagnosis suatu penyakit
sesuai dengan standar prosedur pemeriksaan medis,
meningkatkan mutu pelayanan terhadap pasien dan
membantu mengetahui perjalanan,tanda serta gejala
penyakit pasien agar tepat diagnosis

3. Kebijakan Sebagai pedoman dalam melakukan kajian awal untuk


mendapatkan informasi yang lengkap mengenai
masalah yang dihadapi pasien
Pelaksanaan kajian awal untuk mendapatkan
informasi yang lengkap mengenai masalah yang
dihadapi pasien harus mengikuti langkah-langkah
yang tertuang dalam SPO kajian awal yang memuat
informasi yang harus diperoleh selama proses
pengkajian

4. Prosedur Hasil Anamnesis (Subjective)


Keluhan
Pasien datang dengan keluhan darah segar yang
keluar melalui anus (hematokezia) atau dengan
keluhan tinja yang berwarna hitam dengan bau yang
khas (melena).Umumnya melena menunjukkan
perdarahan di saluran cerna bagian atas atau usus
halus, namun demikian melena dapat juga
berasaldariperdarahankolonsebelah
kanandenganperlambatanmobilitas.
Tidaksemuakotoranhitaminimelena
karenabismuth,sarcol,lycorice,obat-
obatanyangmengandungbesi(obattambahdarah)dapat
menyebabkanfaeces
menjadihitam.Olehkarenaituperluditanyakanpadaana
mnesisriwayat obat-obatan. Perlu ditanyakan
keluhan lain untuk mencari sumber perdarahan.

Perdarahan dari divertikulumbiasanyatidak


nyeri.Tinjabiasanya berwarna merah marun, kadang-
kadang bisa juga menjadi merah. Umumnya terhenti
secara spontan dantidak berulang, oleh karena itu
tidak ada pengobatan khusus yang dibutuhkan oleh
para pasien.
Angiodisplasia penyebab 10-40%
perdarahansalurancernabagianbawah.
Angiodisplasiamerupakan
salahsatupenyebabkehilangandarahyangkronik. Jejas
di kolon umumnya berhubungan dengan usia lanjut,
insufisiensi ginjal, dan riwayat radiasi.
Kolitis iskemia umumnya pasien berusia tua. Dan
kadang-kadang dipengaruhi juga oleh sepsis,
perdarahan akibat lain, dan dehidrasi.

Penyakit perianal contohnya: hemoroiddan fisura ani


biasanya menimbulkan perdarahan
denganwarnamerahsegartetapitidakbercampurdenganf
aeces. Berbeda dengan perdarahan dari varises
rectum pada pasien dengan hipertensi portal kadang-
kadang bisa mengancam nyawa. Polip dan karsinoma
kadang-
kadangmenimbulkanperdarahanyangmiripdengan
yangdisebabkan olehhemoroidoleh karenaitupada
perdarahanyangdidugadarihemoroid perlu dilakukan
pemeriksaan untuk menyingkirkan kemungkinan
polip dan karsinoma kolon.
Tumor kolon yang jinak maupun ganasyang biasanya
terdapat pada pasien usia lanjut dan biasanya
berhubungan dengan ditemukannya perdarahan
berulangataudarahsamar.Kelainan neoplasmadiusus
halusrelatifjarang namun meningkat pada pasien IBD
seperti Crohn’s Disease atauceliac sprue.

PenyebablaindariPerdarahanSaluranCernaBagianBawa
h:Kolitisyang
merupakanbagiandariIBD,infeksi(Campilobacterjejunis
pp,Salmonellaspp, Shigellaspp, E. Coli)dan terapi
radiasi, baik akut maupun kronik. Kolitis dapat
menimbulkan perdarahan namun biasanya
sedikit sampai sedang.
DivertikularMeckelmerupakankelainankongenitaldiileu
mdapatberdarah dalam jumlah yang banyak akibat
dari mukosa yang menghasilkan asam.
Pasienbiasanyaanak-
anakdenganperdarahansegarmaupunhitamyang
tidaknyeri.Intususepsimenyebabkankotoranberwarna
marundisertairasa nyeri di tempat polip atau tumor
ganas pada orang dewasa.

Pasien dengan perdarahan samar saluran cerna


kronik umumnya tidak ada gejala atau kadang hanya
rasa lelah akibat anemia. Palpitasi, rasa pusing pada
saat berubah posisi, atau sesak napas pada saat
olahraga merupakan petunjuk penting ke arah
anemia. Sebagian pasien menunjukkan gejala pica
ataukebiasaanmakanesatautanah
karenadefisiensibesi.Dispepsia,nyeri
abdomen,hurtburn,atauregurgitasi
merupakanpetunjukkemungkinan penyebab dari
lambung, sementara penurunan berat badan dan
anoreksia berkaitan dengan kemungkinan keganasan.
Perdarahan samar saluran cerna yang berulang pada
usia lanjut tanpa gejala yang lain sesuai dengan
angiodysplasia atau vascular ectasia lainnya.

Nilaidalamanamnesisapakah perdarahan/darah
tersebutbercampurdengan feses (seperti terjadi pada
kolitis atau lesi di proksimal rektum) atau
terpisah/menetes (terduga hemoroid), pemakaian
antikoagulan, atau terdapat gejala sistemik lainnya
seperti demam lama (tifoid, kolitis infeksi),
menurunnya berat badan (kanker), perubahan pola
defekasi (kanker), tanpa rasa sakit (hemoroid intema,
angiodisplasia), nyeri perut (kolitis infeksi, iskemia
mesenterial), tenesmus ani (fisura, disentri). Apakah
kejadian ini
bersifatakut,pertamakaliatauberulang,ataukronik,aka
nmembantuke arah dugaan penyebab atau sumber
perdarahan.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan


Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik yang ditemukan mengarah
kepada penyebab perdarahan. Dapat diemukan
adanya nyeri abdomen, terabanya massa diabdomen
(mengarah pada neoplasma), fissura ani, pada
rectal touche: adanyadarahpada
saatpemeriksaan,adanyamassaberupahemoroid,tumo
r rectum.

Segera nilai tanda vital, terutama ada tidaknya


renjatan atau hipotensi
postural(Tilttest).Pemeriksaanfisisabdomenuntukmeni
laiadatidaknya rasa nyeri tekan (iskemia mesenterial),
rangsang peritoneal (divertikulitis), massa
intraabdomen (tumor kolon, amuboma, penyakit
Crohn). Pemeriksaan sistemiklainnya:adanyaartritis
(inflammatory bowel disease),demam(kolitis infeksi),
gizi buruk (kanker), penyakit jantung koroner (kolitis
iskemia).

Pada perdarahan samar karena defisiensibesi yang


seriusbiasanya muncul berupa pucat, takikardia,
hipotensi postural, dan aktivitas jantung yang
hiperdinamik akibat tingginya curah jantung.
Temuan lain yang jarang di antaranya papil, edem,
tuli, parese, nervus kranial, perdarahan retina,
koilonetia, glositis,dan kilosis. Limfadenopati masa
hepatosplemegali atau ikterus merupakan petunjuk
ke arah keganasan sementara nyeri epigastrium
ditemukan pada penyakit asam lambung.
Splenomegali,ikterus atau spider nevi meningkatkan
kemungkinan kehilangan darah akibat
gastropati hipertensi portal. Beberapa kelainan kulit
seperti telangiektasia merupakan petunjuk
kemungkinan telangiektasia hemoragik yang
herediter.

Pemeriksaan Penunjang
a.PemeriksaanDarahPeriferLengkap,HemostasisLen
gkap,TesDarahSamar, Pemeriksaan Defisiensi Besi.
b.Kolonoskopi
c. Scintigraphy dan angiografi.
d.Pemeriksaan radiografi lainnnya: Enema barium.

Penegakan Diagnosis (Assessment)


Diagnosis Klinis
Anamnesis yang teliti dan pemeriksaan jasmani yang
akurat merupakan data penting untuk menegakkan
diagnosis yang tepat.
Diagnosis Banding
a. Haemorhoid
b.Infeksi usus
c. Penyakit usus inflamatorik
d.Divertikulosis
e. Angiodisplasia
f. Tumor kolon

Komplikasi
a.Syok hipovolemik
b.Gagal ginjal akut
c. Anemia karena perdarahan.

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


a.Identifikasi dan antisipasi terhadap adanya
gangguan hemodinamik harus
dilaksanakan secara prima di lini
terdepan karena keberhasilannya akan
mempengaruhi prognosis.
b.Puasa dan Perbaikan hemodinamik
c. Resusitasi pada perdarahan saluran cerna
bagian bawahyang akut mengikuti protokol
yang juga dianjurkanpada perdarahan saluran
cerna bagian atas. Dengan langkah awal
menstabilkan hemodinamik.
d.
Olehkarenaperdarahansalurancernabagianatas
yanghebatjuga menimbulkan darahsegar di
anus maka pemasangan NGT (nasogatric
tube)dilakukanpadakasus-
kasusyangperdarahannya kemungkinan dari
saluran cerna bagian atas.
e.
Pemeriksaanlaboratoriumsegeradiperlukanpada
kasus-kasusyg membutuhkan transfusi lebih 3
unit pack red cell.
f. Konsultasi ke dokter spesialis terkait dengan
penyebab perdarahan.
g.
Penatalaksanaansesuaipenyebabperdarahan(Ko
lonoskopijugadapat
digunakanuntukmelakukanablasidanreseksipol
ipyangberdarah atau mengendalikan
perdarahan yang timbul pada kanker kolon,
Sigmoidoskopi dapat mengatasi perdarahan
hemoroid internal dengan ligasi maupun teknik
termal, Angiografi Terapeutik, Embolisasi arteri
secara selektif dengan polyvinyl alcohol atau
mikrokoil. Terapi Bedah.
h.Pada beberapa diagnostik (seperti divertikel
Meckel atau keganasan) bedah
merupakanpendekatan utamasetelah keadaan
pasien stabil.
Bedahemergensimenyebabkanmorbiditasdanmor
talitasyangtinggi dan dapat memperburuk
keadaan klinis. Pada kasus-kasus dengan
perdarahan berulang tanpa diketahui sumber
perdarahannya maka hemikolektomikanan
atau hemikolektomi subtotal dapat
dipertimbangkan dan memberikan hasil yang
baik.
i.

Penatalaksanaanperdarahansamarsalurancern
asangatditentukan oleh hasil pemeriksaan
diagnostik.
j.
Penyakitpeptikditerapisesuaidenganpenyebabny
ameliputipemberian obat supresi asam jangka
pendek maupun jangka panjangdan terapi
eradikasi infeksi Helicobacter pylori bilamana
ditemukan.
k.Sejumlah lesi premaligna dan polip bertangkai
yang maligna dapat diangkat dengan
polipektomi. Angiodisplasia dapat diobati
dengan kauterisasi melaluiendoskopi atau
diobati dengan preparat estrogen- progesteron.
Gastropati hipertensi portal kadang mengalami
perbaikan dengan pemberian obat yang dapat
menurunkan hipertensi portal. Bila obat-
obatan dianggap sebagai penyebab kehilangan
darah tersamar tersebut maka menghentikan
penggunaan obat tersebut akan mengatasi
anemia.
l. Pengobatan infeksi sesuai penyebab
m.Beberapaperdarahansalurancernabagianbawah
dapatdiobatisecara medikamentosa. Hemoroid
fisura ani dan ulkus rektum soliter dapat
diobati dengan bulk-forming agent, sitz
baths, dan menghindari
mengedan.Salepyangmengandung
steroiddanobatsupositoriasering digunakan
namun manfaatnya masih dipertanyakan.
n.Kombinasi estrogen dan progesteron dapat
mengurangi perdarahan yang timbul pada
pasien yang menderita angiodisplasia. IBD
biasanya memberi respon terhadap obat-
obatan anti inflamasi. Pemberian formalin
intrarektal dapat memperbaiki perdarahan
yangtimbul pada proktitisradiasi.Respon
serupa juga terjadipada pemberian oksigen
hiperbarik.
o.Kehilangandarahsamarmemerlukan
suplementasibesiuntukjangka panjang.
Pemberian ferrosulfat 325 mg tiga kali
sehari merupakan pilihan yang tepat karena
murah, mudah, efektif dan dapatditolerir oleh
banyak pasien.

Konseling dan Edukasi


Keluargaikutmendukunguntukmenjagadietdan
pengobatan pasien.

Kriteria Rujukan
Konsultasi ke dokter spesialis terkait dengan
penyebab perdarahan.

Sarana Prasarana
a.Estrogen progesterone
b.Tablet sulfat ferosus
c. Obat antiinflamasi

Prognosis
Prognosissangattergantungpadakondisipasiensa
atdatang,ada/tidaknya
komplikasi,danpengobatannya.Prognosissecara
umumadalahdubia.Quo advitam dapat berupa
dubia ad malam,namunquoadfungsionamdan
sanationam adalah dubia ad malam

5. Kewenangan 1. Dokter umum, dan


2. Dokter Spesialis Penyakit Dalam
6. Unit Terkait 1. Rawat Inap
2. Farmasi
3. Laboratorium
4. Ambulan
7. Referensi PERMENKES RI NOMOR 5 TAHUN 2014
Hemoroid Grade 1-2
No. ICPCII: D95
Analfissure/perianalabscess
No. ICD X :
Tingkat Kemampuan: 4A
No.
SOP Dokumen
No. Revisi
Tanggal Terbit
Halaman
UPT Puskesmas dr. Hj. Fetty SDK, MKM
Padasuka NIP.196407031990022001

1. Pengertian Hemoroid adalah pelebaran vena-vena didalam pleksus


hemoroidalis.

2. Tujuan Untuk dapat menegakkan diagnosis suatu penyakit sesuai


dengan standar prosedur pemeriksaan medis,
meningkatkan mutu pelayanan terhadap pasien dan
membantu mengetahui perjalanan,tanda serta gejala
penyakit pasien agar tepat diagnosis
3. Kebijakan Sebagai pedoman dalam melakukan kajian awal untuk
mendapatkan informasi yang lengkap mengenai masalah
yang dihadapi pasien
Pelaksanaan kajian awal untuk mendapatkan informasi
yang lengkap mengenai masalah yang dihadapi pasien
harus mengikuti langkah-langkah yang tertuang dalam SPO
kajian awal yang memuat informasi yang harus diperoleh
selama proses pengkajian
4. Prosedur Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
a.Perdarahan
padawaktudefekasi,darahberwarnamerah
segar.Darah dapat menetes keluar dari anus
beberapa saat setelah defekasi.
b.Prolaps suatu massa pada waktu defekasi. Massa
ini mula-mula dapat kembalispontansesudah
defekasi,tetapikemudianharusdimasukkan
secara manual dan akhirnya tidak dapat
dimasukkan lagi.
c. Pengeluaran lendir.
d.Iritasi didaerah kulitperianal.
e. Gejala-gejela anemia (seperti : pusing, lemah,
pucat,dll).

Faktor Risiko
aPe.nuaan
b.Lemahnya dinding pembuluh darah
c. Wanita hamil
d.Konstipasi
e. Konsumsi makanan rendah serat
f. Peningkatan tekanan intraabdomen
g.Batuk kronik
h.Sering mengedan
i.Penggunaantoiletyangberlama-
lama(misal:dudukdalamwaktuyang lama di
toilet)

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang


Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik
a.Periksa tanda-tanda anemia.
b.Pemeriksaan status lokalis

1.Inspeksi:

Hemoroidderajat1,biasanyatidakmenunjukkan
adanyasuatu kelainan diregio anal yang dapat
dideteksi dengan inspeksi saja.

Hemoroidderajat2,tidakterdapatbenjolanmuko
sayangkeluar melalui anus, akantetapi
bagianhemoroid yang tertutupkulit dapat
terlihat sebagai pembengkakan.

Hemoroidderajat3dan4yangbesarakansegerada
patdikenali dengan adanya massa yang
menonjol dari lubang anus yang bagian
luarnya ditutupi kulit dan bagian dalamnya
oleh mukosa yang berwarna keunguan atau
merah.
2.Palpasi:

Hemoroidinternapadastadiumawalmerupakape
lebaranvena yang lunak dan mudah kolaps
sehingga tidak dapat dideteksi dengan palpasi.

Setelahhemoroidberlangsunglamadantelahpro
laps,jaringan ikatmukosa
mengalamifibrosissehingga hemoroid
dapatdiraba ketika jari tangan meraba sekitar
rektum bagian bawah.

Pemeriksaan Penunjang
a.Anoskopi
b.Untuk menilai hemoroid interna yang tidak menonjol
keluar.
c. Proktosigmoidoskopi.
d.Untuk memastikan bahwa keluhan bukan disebabkan
oleh proses radang atau proses keganasan di tingkat
tinggi
e.
Pemeriksaandarahrutin,bertujuanuntukmengetahuiadan
yaanemia dan infeksi.

Diagnosis Banding
a.Kondiloma Akuminata
b.Proktitis
c. Rektal prolaps

Komplikasi : -

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan Hemoroid Internal:


a.Hemoroid grade 1
Dilakukan terapi konservatif medis dan menghindari
obat-obat anti- inflamasi non-steroid, serta
makanan pedas atau berlemak.
b.Hemoroid grade 2 dan 3Pada awalnya diobati dengan
prosedur pembedahan.
c. Hemoroid grade 3 dan 4 dengan gejala sangat jelas
Penatalaksaan terbaik adalah tindakan pembedahan
hemorrhoidectomy.
d.Hemoroid grade 4
Hemoroid grade 4 atau dengan jaringan inkarserata
membutuhkan konsultasi dan penatalaksanaan
bedah yang cepat.
Penatalaksanaan grade 2-3-4 harus dirujuk ke dokter
spesialis bedah.

Penatalaksanaan hemorrhoid eksternal


Hemoroid eksternal umumnya merespon baik dengan
melakukkan eksisi. Tindakan ini hanyadapat dilakukan
oleh dokter spesialis bedah.
Hallainyangdapatdilakukanadalahmengurangirasanyerida
nkonstipasi pada pasien hemoroid.

Konseling dan Edukasi:


Melakukan edukasi kepada pasien sebagai upaya
pencegahan hemoroid. Pencegahan hemoroid dapat
dilakukan dengan cara:
a.Konsumsi serat 25-30 gram perhari. Hal ini bertujuan
untuk membuat fesesmenjadi lebihlembek dan
besar,sehingga mengurangi proses mengedan dan
tekanan pada vena anus.
b.Minum air sebanyak 6-8 gelas sehari.
c.
Mengubahkebiasaanbuangairbesar.Segerakankekam
armandisaat merasa akan buangair besar,
jangaditahan karena akanmemperkeras feses.
Hindari mengedan.

KriteriaRujukan:
Jikadalampemeriksaandiperkirakansudahmemasuki grade
2-3-4.

Sarana Prasarana
1.Pencahayaan yang cukup
2.Sarung tangan.

Prognosis
Prognosis pada umumnya bonam

5. Kewenangan 1. Dokter umum, dan


2. Dokter Spesialis Penyakit Dalam
6. Unit Terkait 1. Rawat Inap
2. Farmasi
3. Laboratorium
4. Ambulan
7. Referensi PERMENKES RI NOMOR 5 TAHUN 2014
Hepatitis A
No. ICPCII: D72 Viral
Hepatitis
No. ICD X :
Tingkat Kemampuan: 4A
No.
SOP Dokumen
No. Revisi
Tanggal Terbit
Halaman
UPT Puskesmas dr. Hj. Fetty SDK, MKM
Padasuka NIP.196407031990022001

1. Pengertian Hepatitis A adalahsebuahkondisipenyakitinfeksiakut di


liver yang disebabkan oleh hepatitis A virus (HAV), sebuah
virus RNA yang disebarkan melalui rute fecal oral. Periode
inkubasi rata-rata 28 hari (15 – 50 hari). Lebih dari 75%
orangdewasasimtomatik,sedangkanpadaanak<6tahun
70%asimtomatik. Kurangdari 1% penderita Hepatitis A
dewasa berkembangmenjadi Hepatitis A fulminan.

2. Tujuan Untuk dapat menegakkan diagnosis suatu penyakit sesuai


dengan standar prosedur pemeriksaan medis,
meningkatkan mutu pelayanan terhadap pasien dan
membantu mengetahui perjalanan,tanda serta gejala
penyakit pasien agar tepat diagnosis
3. Kebijakan Sebagai pedoman dalam melakukan kajian awal untuk
mendapatkan informasi yang lengkap mengenai masalah
yang dihadapi pasien
Pelaksanaan kajian awal untuk mendapatkan informasi
yang lengkap mengenai masalah yang dihadapi pasien
harus mengikuti langkah-langkah yang tertuang dalam SPO
kajian awal yang memuat informasi yang harus diperoleh
selama proses pengkajian
4. Prosedur Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
a.Demam
b.Mata dan kulit kuning
c. Penurunan nafsu makan
d.Nyeri otot dan sendi
e. Lemah, letih, lesu.
f. Mual, muntah
g.Warna urine seperti teh
h.Tinja seperti dempul

Faktor Risiko
Sering mengkonsumsi makanan atau minuman
yang kurang terjaga sanitasinya.
Menggunakan alat makan dan minum dari penderita
hepatitis.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang


Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik
a. Febris,
b.Sclera ikterik, jaundice,
c. Hepatomegali,
d.Warna urine seperti teh
e. Tinja seperti dempul.

Pemeriksaan Penunjang
a.Tes laboratorium urin (bilirubin di dalam urin)
b.Pemeriksaan darah : peningkatan kadar bilirubin
dalamdarah, kadar SGOT danSGPT
≥2xnilainormaltertinggi,dilakukanpadafasilitas primer
yang lebih lengkap.

Penegakan Diagnosis (Assessment)


Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

Diagnosis Banding
a.Kolesistitis
b.Abseshepar
c. Sirrosishepar
d.Hepatitis virus lainnya

Komplikasi
a.Hepatitis A Fulminan
b.Sirosis Hati
c. Ensefalopati Hepatik
d.Koagulopati

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
a.Asupan kalori dan cairan yang adekuat
b.Tirah baring
c. Tata laksana Farmakologi sesuai dengan gejala yang
dirasakan oleh pasien: Antipiretik bila demam;
ibuprofen 2x400mg/hari.
Apabila ada keluhan gastrointestinal, seperti:
1.Mual : Antiemetik seperti Metoklopropamid 3x10
mg/hari atau
Domperidon 3x10mg/hari.
2.Perutperihdankembung:H2Bloker (Simetidin3x200
mg/hariatau Ranitidin 2x 150mg/hari) atau Proton
PumpInhibitor(Omeprazol 1 x 20 mg/hari).

Rencana Tindak Lanjut


Kontrol secara berkala untuk menilai hasil pengobatan.

Konseling dan Edukasi


a.Sanitasi dan higiene mampu mencegah penularan
virus.
b.Vaksinasi HepatitisA diberikan kepadaorang-orang
yang berisiko tinggi terinfeksi.
c.
Keluargaikutmenjagaasupankaloridancairanyangade
kuat,dan membatasi aktivitasfisik pasien selama fase
akut

Kriteria Rujukan
a.Penderita Hepatitis A dengan keluhan ikterik yang
menetap tanpa disertai keluhan yang lain.
b.Penderita Hepatitis A dengan penurunan
kesadaran dengan kemungkinan ke arah
ensefalopati hepatik.

Sarana Prasarana
a.Laboratorium darah dan urin rutin untuk
pemeriksaan fungsi hati
b.Obat Antipiretik, Antiemetik, H2 Bloker atau
Proton Pump Inhibitor.
Prognosis
Prognosis umumnya adalah bonam.
5. Kewenangan 1. Dokter umum, dan
2. Dokter Spesialis Penyakit Dalam
6. Unit Terkait 1. Rawat Inap
2. Farmasi
3. Laboratorium
4. Ambulan
7. Referensi PERMENKES RI NOMOR 5 TAHUN 2014
Hepatitis B
No. ICPCII: D72 Viral Hepatitis
No. ICD X :
Tingkat Kemampuan: 3A
No.
SOP Dokumen
No. Revisi
Tanggal Terbit
Halaman
UPT Puskesmas dr. Hj. Fetty SDK, MKM
Padasuka NIP.196407031990022001

1. Pengertian Hepatitis B adalah virus yang menyerang hati, masuk


melalui darah ataupun cairan tubuh dari seseorang yang
terinfeksi seperti halnya virus HIV. Virus ini tersebar luas
di seluruh dunia dengan angka kejadian yang berbeda-
beda. Tingkat prevalensi hepatitis B di Indonesia sangat
bervariasi berkisar 2,5% di Banjarmasin sampai 25,61% di
Kupang, sehingga termasuk dalam kelompok negara
dengan endemisitas sedang smapai tinggi.

InfeksihepatitisB dapatberupakeadaanyangakut
dengangejalayang berlangsung kurang dari 6 bulan.
Apabila perjalanan penyakit berlangsung
lebihdari6bulanmakakitasebutsebagaihepatitiskronik(5%).
Hepatitis B
kronikdapatberkembangmenjadipenyakithatikronikyaitusir
osishepatis,10%dari penderita sirosis hepatis
akanberkembangmenjadikankerhati(hepatoma).

2. Tujuan Untuk dapat menegakkan diagnosis suatu penyakit sesuai


dengan standar prosedur pemeriksaan medis,
meningkatkan mutu pelayanan terhadap pasien dan
membantu mengetahui perjalanan,tanda serta gejala
penyakit pasien agar tepat diagnosis
3. Kebijakan Sebagai pedoman dalam melakukan kajian awal untuk
mendapatkan informasi yang lengkap mengenai masalah
yang dihadapi pasien
Pelaksanaan kajian awal untuk mendapatkan informasi
yang lengkap mengenai masalah yang dihadapi pasien
harus mengikuti langkah-langkah yang tertuang dalam SPO
kajian awal yang memuat informasi yang harus diperoleh
selama proses pengkajian

4. Prosedur Hasil Anamnesis (Subjective)


Keluhan
a.Umumnya tidak menimbulkan gejala terutama
pada anak-anak.
b.Gejalabarutimbulapabilaseseorangtelahterinfeksis
elama6minggu, antara lain:
1.gangguan gastrointestinal, seperti : malaise,
anoreksia, mual dan muntah;
2.gejala flu : batuk, fotofobia, sakit kepala,
mialgia.
c.
Gejalaprodromalsepertidiatasakanmenghilangpad
asaattimbul kuning, tetapi keluhan anoreksia,
malaise, dan kelemahan dapat menetap.
d.
Ikterusdidahuluidengankemunculanurinberwarnagel
ap.Pruritus (biasanya ringan dan sementara)
dapattimbulketika ikterus meningkat. Pada saat
badan kuning, biasanya diikutioleh pembesaran hati
yang diikuti oleh rasa sakit bila ditekan di bagian
perut kanan atas. Setelah gejala tersebut akan
timbul fase resolusi.
e.
PadasebagiankasushepatitisBkronikterdapatpembes
aranhatidan limpa.
Faktor Risiko
Setiaporangtidaktergantungkepadaumur,ras,kebangsaan,j
eniskelamin dapat terinfeksi hepatitis B, akan tetapi faktor
risiko terbesar adalah apabila:
a.
Mempunyaihubungankelaminyangtidakamandengan
orangyang sudah terinfeksi hepatitis B.
b.Memakai jarum suntik secara bergantian
terutama kepada penyalahgunaan obat suntik.
c. Menggunakanalat-alatyangbiasamelukaibersama-
samadengan penderita hepatitis B.
d. Orang yang bekerja pada tempat-tempat yang
terpapar dengan darah manusia.
e.
Orangyangpernahmendapattransfusidarahsebelumdi
lakukan pemilahan terhadap donor.
f. Penderita gagal ginjal yang menjalani hemodialisis.
g.Anak yang dilahirkan oleh ibu yang menderita
hepatitis B.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang


Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik
a.Konjungtiva ikterus
b.pembesaran dan sedikit nyeri tekan pada hati,
c. Splenomegali dan limfadenopati pada 15-20% pasien.

Pemeriksaan Penunjang
a.Tes laboratorium urin (bilirubin di dalam urin)
b.Pemeriksaan darah : peningkatan kadar bilirubin
dalamdarah, kadar SGOT danSGPT
≥2xnilainormaltertinggi,dilakukanpadafasilitas
primer yang lebih lengkap.

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

Diagnosis Banding
a.Perlemakan hati
b.Penyakit hati oleh karena obat atau toksin
c. Hepatitis autoimun
d.Hepatitis alkoholik
e. Obstruksi akut traktus biliaris

Komplikasi
a.Sirosis Hati
b.Ensefalopati Hepatik
c. Kanker Hati

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
a.Asupan kalori dan cairan yang adekuat
b.Tirah baring
c. Tata laksana Farmakologi sesuai dengangejalayang
dirasakanoleh pasien
d.Antipiretik bila demam; Paracetamol 500 mg (3-4x
sehari)
e. Apabila ada keluhan gastrointestinal seperti:
1.Mual : Antiemetik seperti Metoklopropamid 3x10
mg/hari atau
Domperidon 3x10mg/hari
2.Perutperihdankembung:H2Blocker(Simetidin3x200
mg/hariatauRanitidin2x150mg/hari)atauProtonPu
mpInhibitor(Omeprazol1x
20 mg/hari)

Rencana Tindak Lanjut


Kontrolsecaraberkalaterutamabilamunculkembaligejalakea
rahpenyakit hepatitis.

Konseling dan Edukasi


a.PadahepatitisBkroniskarenapengobatancukuplama,ke
luargaikut mendukung pasien agar teratur minum
obat.
b.Pada fase akut, keluarga ikut menjaga
asupankaloridancairan yang adekuat, dan
membatasi aktivitasfisik pasien.
c.
Pencegahanpenularanpadaanggotakeluargadenganm
odifikasipola hidup untuk pencegahan transmisi,
dan imunisasi.
Kriteria Rujukan
PasienyangtelahterdiagnosisHepatitisBdirujukkepelayanans
ekunder
(spesialis penyakit dalam)

Sarana Prasarana
a.Laboratorium darah dan urin rutin untuk
pemeriksaan fungsi hati
b.Obat Antipiretik, Antiemetik, H2 Bloker atau Proton
Pump Inhibitor
Prognosis
Prognosis sangat tergantung pada kondisi pasien saat
datang, ada/tidaknya komplikasi, dan pengobatannya.
Padaumumnya, prognosis pada hepatitis B adalah
dubia, untuk fungsionam dan sanationam dubia ad
malam.

5. Kewenangan 1. Dokter umum, dan


2. Dokter Spesialis Penyakit Dalam
6. Unit Terkait 1. Rawat Inap
2. Farmasi
3. Laboratorium
4. Ambulan
7. Referensi PERMENKES RI NOMOR 5 TAHUN 2014
PAROTITIS
No. ICPCII: D83
Mouth/tounge/lip disease
No. ICD X : K11.2
Sialoadenitis
Tingkat Kemampuan: 4A
No.
SOP Dokumen
No. Revisi
Tanggal Terbit
Halaman
UPT Puskesmas dr. Hj. Fetty SDK, MKM
Padasuka NIP.196407031990022001

1. Pengertian Parotitis adalah peradanganyang terjadi pada kelenjar


saliva atau yang lebih dikenal dengan kelenjar
parotis.Kematianakibat penyakit parotitissangat jarang
ditemukan.Parotitispaling seringmerupakan bentuk
komplikasidari penyakit yang mendasarinya.
Parotitis SindromSjögrenmemiliki rasiolaki-perempuan 1:9.
Parotitis dapat berulang saat
masakecillebihseringterjadipada laki-lakidibandingkan
pada perempuan.
Parotitisviral(gondongan) paling sering terjadipada anak-
anak.

2. Tujuan Untuk dapat menegakkan diagnosis suatu penyakit sesuai


dengan standar prosedur pemeriksaan medis,
meningkatkan mutu pelayanan terhadap pasien dan
membantu mengetahui perjalanan,tanda serta gejala
penyakit pasien agar tepat diagnosis
3. Kebijakan Sebagai pedoman dalam melakukan kajian awal untuk
mendapatkan informasi yang lengkap mengenai masalah
yang dihadapi pasien
Pelaksanaan kajian awal untuk mendapatkan informasi
yang lengkap mengenai masalah yang dihadapi pasien
harus mengikuti langkah-langkah yang tertuang dalam SPO
kajian awal yang memuat informasi yang harus diperoleh
selama proses pengkajian

4. Prosedur Hasil Anamnesis (Subjective)


Keluhan
a.Demam
b.Pembengkakanpadakelenarparotismulaidaridepan
telingahingga rahang bawah
c. Nyeri terutama saat mengunyah makanan dan
mulut terasa kering.

Tandadangejalapadapenyakitparotitisberdasarkanpenyebab
nya dibagi menjadi 2 bagian, yaitu:

a.Parotitis akut
1.Parotitis bakteri akut: bengkak, nyeri pada
kelenjar dan demam, mengunyah menambah
rasa sakit.
2.
Parotitisvirusakut(gondong):Nyeri,bengkakpa
dakelenjar5-9hari terakhir. Malaise moderat,
anoreksia, dan demam.
3.Parotitistuberkulosis: nyeri tekan, bengkak
pada salah satukelenjar parotid,
gejalatuberkulosisdapat ditemukan
dibeberapa kasus.
b.Parotitis kronik
1.Sjogren syndrome:
pembengkakansalahsatuataukeduakelenjar
parotis tanpa sebab yang jelas, sering
berulang, dan bersifat kronik, mata dan
mulut kering.
2.Sarkoidosis: nyeri tekan pada pembengkakan
kelenjar parotis.
Faktor Risiko
-

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang


Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada kelenjarparotis dapat ditemukan
tanda-tanda berupa:
a.Demam
b.Pembengkakan kelenjar parotis
c. Eritema pada kulit.
d.Nyeri tekan di kelenjar parotis.
e. Terdapat air liur purulen.

Pemeriksaan Penunjang
Dilakukan di layanan sekunder:
Pemeriksaan laboratorium : untuk menganalisa
cairan saliva, dengan dilakukan pemeriksaan anti-SS-A,
anti-SS-B, dan faktor rhematoid yang dapat mengetahui
adanya penyakit autoimun.
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis, pemeriksaan
fisik dan penunjang.

Diagnosis Banding
a.Neoplasma kelenjar saliva
b.Pembesaran kelenjar getah bening karena penyebab
lain
Komplikasi
a.Infeksi gigi dan karies
b.Infeksi ke kelenjar gonad

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


Penatalaksanaan
a.Memberikan informasi selengkapnya kepada
pasien /orangtua pasien, dan keluarga mengenai
penyakit parotitis. Menjaga kebersihan gigi dan
mulut sangat efektif untuk mencegah parotitis yang
disebakan oleh bakteri dan virus.
b.Farmakologis:
1.Tatalaksana simptomatis sesuai gejala yang
dirasakan.
2.Antibiotik: Antibiotik spektrum luas dapat
diberikan pada kasus parotitis bakteri akut yang
disebabkanoleh bakteri.
3.Bila kondisi tidak membaik, segera rujuk ke
layanan sekunder.
Konseling dan Edukasi
Pendekatan keluarga dapat dilakukan dengan membantu
pihak keluarga untuk memahami penyakit parotitis ini,
dengan menjelaskan kepada keluarga pentingnya
melakukkan vaksin parotitisyang dapat mencegah
terjadinya penularan penyakit ini.

Kriteria Rujukan
Bilakasustidakmembaikdenganpengobatanadekuatdi
layananprimer, segera rujuk ke layanan sekunder
dengan dokter spesialisanak atau dokter spesialis
penyakit dalam.

Sarana Prasarana
Obat antibiotic

Prognosis
Prognosisumumnyabonam,namunsanationamdapatdubia,
karenakeluhan dapat terjadi berulang.
5. Kewenangan 1. Dokter umum, dan
2. Dokter Spesialis Penyakit Dalam
6. Unit Terkait 1. Rawat Inap
2. Farmasi
3. Laboratorium
4. Ambulan
7. Referensi PERMENKES RI NOMOR 5 TAHUN 2014
ASKARIASIS
No. ICPCII: D96 Worms/ other
parasites
No. ICD X : B77.9 Ascariaris
unspecified s
Tingkat Kemampuan: 4A
No.
SOP Dokumen
No. Revisi
Tanggal Terbit
Halaman
UPT Puskesmas dr. Hj. Fetty SDK, MKM
Padasuka NIP.196407031990022001

1. Pengertian Askariasis adalah suatu penyakit yang disebabkan


oleh infestasi parasitAscaris lumbricoides.
Di Indonesia prevalensi ascariasis tinggi, terutama pada
anak. Frekuensinya antara 60-90%. Diperkirakan 807-
1,221 juta orang di dunia terinfeksi Ascaris lumbricoides.
2. Tujuan Untuk dapat menegakkan diagnosis suatu penyakit sesuai
dengan standar prosedur pemeriksaan medis,
meningkatkan mutu pelayanan terhadap pasien dan
membantu mengetahui perjalanan,tanda serta gejala
penyakit pasien agar tepat diagnosis
3. Kebijakan Sebagai pedoman dalam melakukan kajian awal untuk
mendapatkan informasi yang lengkap mengenai masalah
yang dihadapi pasien
Pelaksanaan kajian awal untuk mendapatkan informasi
yang lengkap mengenai masalah yang dihadapi pasien
harus mengikuti langkah-langkah yang tertuang dalam SPO
kajian awal yang memuat informasi yang harus diperoleh
selama proses pengkajian
4. Prosedur Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Nafsu makan menurun, perut membuncit, lemah,
pucat, berat badan menurun, mual, muntah.
Gejala Klinis
Gejalayangtimbulpadapenderitadapatdisebabkanolehc
acingdewasadan larva.
Gangguan karena larva: biasanya terjadipada saat
beradadiparu. Pada orang yang rentan terjadi
perdarahan kecil pada dinding alveolus dan timbul
gangguan
padaparuyangdisertaidenganbatuk,demam,daneosinofi
lia.Pada foto thoraks tampak infiltrat yang menghilang
dalam waktu 3 minggu. Keadaan ini disebut sindrom
Loeffler.

Gangguan yang disebabkan cacing dewasa biasanya


ringan, dan sangat tergantung dari banyaknya cacing
yangmenginfeksi di usus. Kadang-kadang
penderitamengalamigejalagangguanususringanseperti
mual,nafsumakan berkurang, diare, atau konstipasi.

Faktor Risiko
Pada infeksi berat, terutama pada anak dapat terjadi
malabsorpsi sehingga
memperberatkeadaanmalnutrisi.Efekyangseriusterjadibilac
acing-cacing ini menggumpal dalam usus sehingga terjadi
obstruksi usus (ileus).

Pada keadaan tertentu cacing dewasa mengembara ke


saluran empedu, apendiks, atau ke bronkus dan
menimbulkan keadaan gawat darurat sehingga kadang-
kadang perlu tindakan operatif.

Faktor Risiko
a.Kebiasaan tidak mencuci tangan.
b.Kurangnya penggunaan jamban.
c. Kebiasaan menggunakan tinja sebagai pupuk.
d.Kebiasaan tidak menutup makanan sehingga
dihinggapi lalat

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang


Sederhana(Objective)
Pemeriksaan Fisik
a.Pemeriksaan tanda vital
b.Pemeriksaangeneralistubuh:konjungtivaanemis,terda
pattanda-tanda malnutrisi, nyeri abdomen jika
terjadi obstruksi.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk penyakit ini adalah dengan
melakukan pemeriksaan tinja secara langsung. Adanya
telur dalam tinja memastikan diagnosis Ascarisis.

Penegakan Diagnosis (Assessment)


Diagnosis Klinis
Penegakan diagnosis dilakukan dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan ditemukannya larva atau cacing
dalam tinja.

Diagnosis Banding: jenis kecacingan lainnya

Komplikasi: anemia defisiensi besi

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif


(Plan)
Penatalaksanaan
a.Memberipengetahuankepadamasyarakatakanpenting
nyakebersihan diri dan lingkungan, antara lain:
1.Kebiasaan mencuci tangan dengan sabun.
2.Menutup makanan.
3.Masing-masing keluarga memiliki jamban
keluarga.
4.Tidak menggunakantinja sebagai pupuk.
5.Kondisirumahdanlingkungandijagaagartetapbersih
dantidak lembab.

b.Farmakologis
1.Pirantel pamoat 10 mg /kg BB, dosis tunggal, atau
2.Mebendazol, 500 mg, dosis tunggal, atau
3.Albendazol,400mg,dosistunggal.Tidakbolehdiberik
anpadaibu hamill.

Pengobatan dapat dilakukan secara perorangan atau


secara massal pada masyarakat. Syarat untuk pengobatan
massal antara lain :
a.Obat mudah diterima dimasyarakat
b.Aturan pemakaian sederhana
c. Mempunyai efek samping yang minim
d.
Bersifatpolivalen,sehinggadapatberkhasiatterhad
apbeberapajenis cacing
e. Harga mudah dijangkau.

Konseling dan Edukasi


Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga
mengenai pentingnya menjaga kebersihan diri dan
lingkungan, yaitu antara lain:
a.Masing-masing keluarga memilikijamban
keluarga. Sehingga kotoran manusia tidak
menimbulkan pencemaran pada tanah
disekitar lingkungan tempat tinggal kita.
b.Tidak menggunakantinja sebagai pupuk.
c. Menghindari kontak dengan tanah yang
tercemar oleh tinja manusia.
d.Menggunakan sarung tangan jika ingin
mengelola limbah/sampah.
e.
Mencucitangansebelumdansetelahmelakukkana
ktifitasdengan menggunakan sabun.
f. Kondisi rumah dan lingkungan dijaga agar tetap
bersih dan tidak lembab.
Kriteria Rujukan: -

Sarana Prasarana
Laboratorium mikroskopik sederhana untuk
pemeriksaan spesimen tinja.

Prognosis
Padaumumnyaprognosisadalahbonam,karenajarangmeni
mbulkankondisi yang berat secara klinis..

5. Kewenangan 1. Dokter umum, dan


2. Dokter Spesialis Penyakit Dalam
6. Unit Terkait 1. Rawat Inap
2. Farmasi
3. Laboratorium
4. Ambulan
7. Referensi PERMENKES RI NOMOR 5 TAHUN 2014

Cutaneus Larva Migrans


No. ICPCII: D96 Worms/other
parasites
No. ICD X : B76.9
Hookwormdisease,
unspecified
Tingkat Kemampuan: 4A
No.
SOP Dokumen
No. Revisi
Tanggal Terbit
Halaman
UPT Puskesmas dr. Hj. Fetty SDK, MKM
Padasuka NIP.196407031990022001

1. Pengertian CutaneusLarva
Migrans(CreepingEruption)merupakankelainankulitberupa
peradangan berbentuk linear atau berkelok-kelok,
menimbul dan progresif, yang disebabkan oleh invasi larva
cacingtambang yang berasal dari anjing dan kucing.
Penularan melalui kontak langsung dengan larva.

2. Tujuan Untuk dapat menegakkan diagnosis suatu penyakit sesuai


dengan standar prosedur pemeriksaan medis,
meningkatkan mutu pelayanan terhadap pasien dan
membantu mengetahui perjalanan,tanda serta gejala
penyakit pasien agar tepat diagnosis
3. Kebijakan Sebagai pedoman dalam melakukan kajian awal untuk
mendapatkan informasi yang lengkap mengenai masalah
yang dihadapi pasien
Pelaksanaan kajian awal untuk mendapatkan informasi
yang lengkap mengenai masalah yang dihadapi pasien
harus mengikuti langkah-langkah yang tertuang dalam SPO
kajian awal yang memuat informasi yang harus diperoleh
selama proses pengkajian

4. Prosedur Hasil Anamnesis (Subjective)


Keluhan
Pasien mengeluh gatal dan panas padatempat infeksi.
Padaawal infeksi, lesi berbentuk papul yang kemudian
diikuti dengan lesi berbentuk linear atau berkelok-kelok
yang terus menjalarmemanjang. Keluhan dirasakan
muncul sekitar empat hari setelah terpajan.
Faktor Risiko
Orangyangberjalantanpaalaskaki,
atauyangseringberkontakdengan tanah atau pasir.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang


Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik Patognomonis
Lesi awal berupa papul eritema yang menjalar dan
tersusun linear atau berkelok-kelok meyerupai benang
dengan kecepatan 2 cm per hari.

Predileksipenyakitiniterutamapadadaerahtelapakkaki,boko
ng,genitaldan tangan.
Gambar13.CutaneousLarvaMigrans

Sumber:http://health.allrefer.com/pictures-
images/cutaneous-larva-migrans.html

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang khusus tidak ada.

Penegakan Diagnosis (Assessment)


Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
Pemeriksaan Fisik.

Diagnosis Banding
a.Dermatofitosis
b.Dermatitis
c. Dermatosis

Komplikasi
Dapat terjadi infeksi sekunder.

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


Penatalaksanaan
a.Memodifikasi gayahidup dengan menggunakan
alas kakidan sarung tangan pada
saatmelakukan aktifitas yang berkontak dengan
tanah, seperti berkebun dan lain-lain.
b.Terapi farmakologi dengan: Tiabendazol
50mg/kgBB/hari, 2x sehari, selama 2 hari;
atau Albendazol 400 mg sekali sehari, selama 3
hari.
c.
Untukmengurangigejalapadapenderitadapatdilak
ukanpenyemprotanEtil Klorida pada lokasi lesi,
namun hal ini tidak membunuh larva.
d.Bilaterjadiinfeksi
sekunder,dapatditerapisesuaidengantatalaksana
pioderma.

Konseling dan Edukasi


Edukasipasiendankeluargauntukpencegahanpenyakitd
enganmenjaga kebersihan diri.

Kriteria rujukan
Pasien dirujuk apabila dalam waktu 8 minggu tidak
membaik dengan terapi.

Sarana Prasarana
Lup

Prognosis
Prognosisumumnyabonam.Penyakitinibersifatself-
limited,karenasebagian besar larva mati dan lesi
membaik dalam 2-8 minggu, jarang hingga 2 tahun
5. Kewenangan 1. Dokter umum, dan
2. Dokter Spesialis Penyakit Dalam
6. Unit Terkait 1. Rawat Inap
2. Farmasi
3. Laboratorium
4. Ambulan
7. Referensi PERMENKES RI NOMOR 5 TAHUN 2014
PenyakitCacing Tambang
No. ICPCII: D96 Worms/other
parasites
No. ICD X : B76.0
Ankylostomiasis
B76.1 Necatoriasis
Tingkat Kemampuan: 4A
No.
SOP Dokumen
No. Revisi
Tanggal Terbit
Halaman
UPT Puskesmas dr. Hj. Fetty SDK, MKM
Padasuka NIP.196407031990022001

1. Pengertian Penyakit cacing tambang adalah suatu penyakit yang


disebabkan oleh infestasi parasit Necator americanus dan
Ancylostoma duodenale. Hospesparasit ini adalah manusia,
cacing ini menyebabkan nekatoriasis dan ankilostomiasis.
Diperkirakansekitar576–740jutaorang diduniaterinfeksi
dengancacingtambang.DiIndonesia
insidentertinggiditemukanterutama
didaerahpedesaankhususnya
perkebunan.Seringkaligolonganpekerja perkebunan yang
langsung berhubungan dengan tanah, mendapat infeksi
lebih dari 70%.

2. Tujuan Untuk dapat menegakkan diagnosis suatu penyakit sesuai


dengan standar prosedur pemeriksaan medis,
meningkatkan mutu pelayanan terhadap pasien dan
membantu mengetahui perjalanan,tanda serta gejala
penyakit pasien agar tepat diagnosis
3. Kebijakan Sebagai pedoman dalam melakukan kajian awal untuk
mendapatkan informasi yang lengkap mengenai masalah
yang dihadapi pasien
Pelaksanaan kajian awal untuk mendapatkan informasi
yang lengkap mengenai masalah yang dihadapi pasien
harus mengikuti langkah-langkah yang tertuang dalam SPO
kajian awal yang memuat informasi yang harus diperoleh
selama proses pengkajian
4. Prosedur Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Pada infestasi ringan cacing tambang umumnya belum
menimbulkan gejala. Namun bila infestasi tersebut
sudahberlanjut sehingga menimbulkan banyak kehilangan
darah, maka akan menimbulkan gejala seperti pucat dan
lemas.
Faktor Risiko
a.Kurangnya penggunaan jamban keluarga.
b.Kebiasaan menggunakan tinja sebagai pupuk.
c. Tidak menggunakanalas kaki saat bersentuhan
dengan tanah.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang


Sederhana (Objective)
Gejala dan tanda klinis infestasi cacing tambang
bergantung pada jenis spesies cacing, jumlah cacing, dan
keadaan gizi penderita.

Pemeriksaan Fisik
a.Konjungtiva pucat
b.Perubahanpadakulit(telapakkaki)bilabanyaklarvayang
menembus kulit, disebut sebagai grounditch.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan mikroskopik pada tinja segar ditemukan
telur dan atau larva.

Penegakan Diagnosis (Assessment)


Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Klasifikasi :
a.Nekatoriasis
b.Ankilostomiasis

Diagnosis Banding : -
Komplikasi : anemia, jika menimbulkan perdarahan.

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


Penatalaksanaan
a.Memberi pengetahuan kepada masyarakat akan
pentingnya kebersihan diri dan lingkungan,
antara lain:
1.Masing-masing keluarga memiliki jamban
keluarga.
2.Tidak menggunakantinja sebagai pupuk
3.Menggunakan alas kaki, terutama saat
berkontak dengan tanah.
b.Farmakologis
1.Pemberian pirantel pamoat selama 3 hari, atau
2.Mebendazole500mgdosistunggalatau100mg,2x
sehari,selama3 hari, atau
3.Albendazole 400 mg, dosis tunggal, tidak
diberikan pada wanita hamil.
4.Sulfasferosus

Konseling dan Edukasi


Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga
mengenai pentingnya menjaga kebersihan diri dan
lingkungan, yaitu antara lain:
a.Sebaiknya masing-masing keluarga memiliki
jamban keluarga. Sehingga kotoran manusia
tidak menimbulkan pencemaran pada tanah di
sekitar lingkungan tempat tinggal kita.
b.Tidak menggunakantinja sebagai pupuk.
c. Menghindari kontak dengan tanah yang
tercemar oleh tinja manusia.
d.Menggunakan sarung tangan jika ingin
mengelola limbah/sampah.
e.
Mencucitangansebelumdansetelahmelakukkana
ktifitasdengan menggunakan sabun.
f. Menggunakan alas kaki saat berkontak dengan
tanah.
KriteriaRujukan : -
Sarana Prasarana
a.Laboratorium mikroskopis sederhana untuk
pemeriksaan specimen tinja.
b.Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan
darah rutin.

Prognosis
Penyakit ini umumnya memiliki prognosis bonam,
jarang menimbulkan kondisi klinis yang berat, kecuali
terjadi perdarahan dalam waktu yang lama sehingga
terjadi anemia.

5. Kewenangan 1. Dokter umum, dan


2. Dokter Spesialis Penyakit Dalam
6. Unit Terkait 1. Rawat Inap
2. Farmasi
3. Laboratorium
4. Ambulan
7. Referensi PERMENKES RI NOMOR 5 TAHUN 2014
Skistosomiasis
No. ICPCII: D96 Worm/outer
parasite
No. ICD X : B65.9
Skistosomiasisunspecified
B65.2 Schistomiasisdueto
S.japonicum
Tingkat Kemampuan: 4A
No.
SOP Dokumen
No. Revisi
Tanggal Terbit
Halaman
UPT Puskesmas dr. Hj. Fetty SDK, MKM
Padasuka NIP.196407031990022001

1. Pengertian Schistosoma adalah salah satu penyakit infeksi parasit


yang disebabkan oleh
cacingtrematodadarigenusschistosoma(blood
fluke).Terdapattigaspesies cacingtrematoda
utamayangmenjadipenyebabskistosomiasisyaitu
Schistosomajaponicum,schistosomahaematobium
danschistosomamansoni. Spesies yang kurang dikenal
yaitu Schistosomamekongi danSchistosoma intercalatum.Di
Indonesia spesies yang paling sering ditemukan adalah
Schistosoma japonicum khususnya di daerah lembah
Napudan sekitar danau LindudiSulawesi
Tengah.Untukmenginfeksimanusia,Schistosoma
memerlukan keong sebagaiintermediatehost. Penularan
Schistosoma terjadi melalui serkaria yang berkembang
dari host dan menembus kulit pasien dalam air.
Skistosomiasis terjadi karena reaksi imunologis terhadap
telur cacing yang terperangkap dalam jaringan.

2. Tujuan Untuk dapat menegakkan diagnosis suatu penyakit sesuai


dengan standar prosedur pemeriksaan medis,
meningkatkan mutu pelayanan terhadap pasien dan
membantu mengetahui perjalanan,tanda serta gejala
penyakit pasien agar tepat diagnosis
3. Kebijakan Sebagai pedoman dalam melakukan kajian awal untuk
mendapatkan informasi yang lengkap mengenai masalah
yang dihadapi pasien
Pelaksanaan kajian awal untuk mendapatkan informasi
yang lengkap mengenai masalah yang dihadapi pasien
harus mengikuti langkah-langkah yang tertuang dalam SPO
kajian awal yang memuat informasi yang harus diperoleh
selama proses pengkajian

4. Prosedur Hasil Anamnesis (Subjective)


Keluhan
a.Pada fase akut, pasien biasanya datangdengan
keluhan demam, nyeri kepala, nyeri
tungkai,urtikaria,bronchitis,nyeri
abdominal.Biasanya terdapat riwayatterpapar
dengan air misalnya danau atausungai 4-8 minggu
sebelumnya, yang kemudian
berkembang menjadi ruam kemerahan
(pruriticrash)
b.Pada fase kronis, keluhan pasien tergantung pada
letak lesi misalnya:
1.Buang air kecil darah (hematuria), rasa tak
nyaman hingga nyeri saat berkemih,
disebabkan oleh urinary
schistosomiasis biasanya disebabkan oleh S.
hematobium.
2.nyeri abdomen dan diare berdarah biasanya
disebabkan
olehintestinalskistosomiasisolehbiasanyadisebabk
anolehS.mansoni,S. JaponicumjugaS. Mekongi.
3.Pembesaran perut, kuning pada kulit dan mata
disebabkan oleh hepatosplenic skistosomiasis
yang biasanya disebabkan olehS. Japonicum.

Faktor Risiko :
Orang-orang yang tinggal atau datang berkunjung ke
daerah endemik di sekitar lembah Napu dan Lindu,
Sulawesi Tengah dan mempunyai kebiasaan terpajan
dengan air, baik di sawah maupun danau di wilayah
tersebut.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang


Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
a.Pada skistosomiasis akut dapat ditemukan:
1.Limfadenopati
2.Hepatosplenomegaly
3.Gatal pada
4.Demam
5.Urtikaria
6.Buang air besar berdarah (bloody stool)

b.Pada skistosomiasis kronik bisa ditemukan:


1.Hipertensi portal dengan distensi abdomen,
hepatosplenomegaly
2.Gagal ginjal dengan anemia dan hipertensi
3.Gagal jantung dengan gagal jantung kanan
4.Intestinal polyposis
5.Ikterus

Pemeriksaan Penunjang
Penemuan telur cacing pada spesimen tinja dan pada
sedimen urin.

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Diagnosisditegakkandarianamnesis,pemeriksaanfisisdanju
gapenemuan telur cacing pada pemeriksaan tinja dan juga
sedimen urine.

Diagnosis Banding : -

Komplikasi:
a.Gagal ginjal
b.Gagal jantung

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
a.Pengobatan diberikan dengan dua tujuan yakni untuk
menyembuhkan pasien atau meminimalkan morbiditas
dan mengurangipenyebaran penyakit
b.Prazikuantel adalah obat pilihan yang diberikan
karena dapat membunuh semua spesies Schistosoma.
Walaupun pemberian single
terapisudahbersifatkuratif,namun
pengulangansetelah2sampai4 minggu dapat
meningkatkan efektifitas pengobatan. Pemberian
prazikuantel dengan dosis sebagai berikut:

Tabel20.Dosisprazikuantel

Spesies Schistosoma Dosis Prazikuantel


S. mansoni, S. 40mg/kgbadanperhariora
haematobium, S. ldan dibagi dalam dua
S. japonicum, S. mekongi
intercalatum 60mg/kg berat
dosis perhari badan
per hari oral dan dibagi
dalam tiga dosis perhari

Rencana Tindak Lanjut


a.Setelah 4 minggu dapat dilakukan pengulangan
pengobatan.
b.Padapasiendengantelurcacingpositifdapatdilakuka
npemeriksaan ulang setelah satu bulan untuk
memantau keberhasilan pengobatan.
Konseling dan Edukasi
a.Hindari berenang atau menyelam di danau atau
sungai di daerah endemik skistosomiasis.
b.Minumairyangsudahdimasakuntukmenghindarip
enularanlewatair yang terkontaminasi.
Kriteria Rujukan
Pasien yang didiagnosis dengan skistosomiasis
(kronis) disertai komplikasi.
Sarana Prasarana
Laboratoriumsederhanauntukpemeriksaantinjadansed
imenurine(pada S.haematobium)

Prognosis
Padaskistosomiasisakut,prognosisadalahdubiaadbonam,sed
angkanyang kronis, prognosis menjadi dubia ad malam.

5. Kewenangan 1. Dokter umum, dan


2. Dokter Spesialis Penyakit Dalam
6. Unit Terkait 1. Rawat Inap
2. Farmasi
3. Laboratorium
4. Ambulan
7. Referensi PERMENKES RI NOMOR 5 TAHUN 2014
Strongiloidiasis
No. ICPCII: D96 Worms/other
parasites
No. ICD X : B78.9
Strongyloidiasis
Tingkat Kemampuan: 4A
No.
SOP Dokumen
No. Revisi
Tanggal Terbit
Halaman
UPT Puskesmas dr. Hj. Fetty SDK, MKM
Padasuka NIP.196407031990022001

1. Pengertian Strongyloidiasis adalah penyakitkecacingan yang


disebabkan oleh Strongyloides stercoralis,cacing yang
biasanya hidup di kawasan tropicdan subtropik. Sekitar
300 juta orang diperkirakan terkena penyakit ini di seluruh
dunia. Infeksi cacing ini bisa menjadi sangat berat dan
berbahaya pada mereka yang immunokompromais
2. Tujuan Untuk dapat menegakkan diagnosis suatu penyakit sesuai
dengan standar prosedur pemeriksaan medis,
meningkatkan mutu pelayanan terhadap pasien dan
membantu mengetahui perjalanan,tanda serta gejala
penyakit pasien agar tepat diagnosis
3. Kebijakan Sebagai pedoman dalam melakukan kajian awal untuk
mendapatkan informasi yang lengkap mengenai masalah
yang dihadapi pasien
Pelaksanaan kajian awal untuk mendapatkan informasi
yang lengkap mengenai masalah yang dihadapi pasien
harus mengikuti langkah-langkah yang tertuang dalam SPO
kajian awal yang memuat informasi yang harus diperoleh
selama proses pengkajian

4. Prosedur Hasil Anamnesis (Subjective)


Keluhan
PadainfestasiringanStrongyloidespadaumumnyatidakm
enimbulkangejala khas.
Gejala klinis
a.Rasa gatal pada kulit.
b.Padainfeksisedangdapatmenimbulkangejalaseperti
ditusuk-tusuk didaerah epigastrium dan tidak
menjalar
c. Mual
d.Muntah
e. Diare dan konstipasi saling bergantian

Faktor Risiko
a.Kurangnya penggunaan jamban.
b.Tanah yang terkontaminasi dengan tinja yang
mengandung larvaStrongyloides stercoralis.
c. Penggunaan tinja sebagai pupuk.
d.Tidak menggunakanalas kaki saat bersentuhan
dengan tanah.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang
Sederhana(Objective)

Pemeriksaan Fisik
a.Timbulkelainanpadakulit“creepingeruption”
berupapapuleritema yang menjalar dan tersusun
linear atau berkelok-kelok meyerupai benang
dengan kecepatan 2 cm per hari.Predileksi penyakit
ini terutama pada daerah telapak kaki, bokong,
genital dan tangan.
b.Pemeriksaan generalis: nyeri epigastrium

Pemeriksaan Penunjang
a.Pemeriksaan laboratorium mikroskopik: menemukan
larvarabditiform dalam tinja segar, atau menemukan
cacing dewasa Strongyloides stercoralis.
b.Pemeriksaan laboratorium darah: dapat ditemukan
eosinofilia atauhipereosinofilia, walaupun pada
banyak kasus jumlah sel eosinofilia normal.

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Penegakan diagnosis dilakukan dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan ditemukannya larva atau cacing
dalam tinja.

Diagnosis Banding : -
Komplikasi : -

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
a.Menjaga kebersihan diri dan lingkungan, antara lain:
1.Menggunakan jamban keluarga.
2.Mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan
aktifitas.
3.Menggunakan alas kaki.
4.Hindari penggunaan pupuk dengan tinja.
b.Farmakologi
1.Pemberianalbendazolmenjaditerapipilihansaatiniden
gandosis400 mg, 1-2 x sehari, selama 3 hari, atau
2.Mebendazol 100 mg, 3 x sehari, selama 2 atau 4
minggu.

Konseling dan Edukasi


Memberikaninformasikepadapasien
dankeluargamengenaipentingnya menjaga kebersihan diri
dan lingkungan, yaitu antara lain:
a.Sebaiknya setiap keluarga memiliki jamban
keluarga.
b.Menghindari kontak dengan tanah yang
tercemar oleh tinja manusia.
c. Menggunakan sarung tangan jika ingin
mengelola limbah/sampah.
d.Mencuci tangan sebelum dan setelah melakukan
aktifitas dengan menggunakan sabun.
e. Menggunakan alas kaki.

Kriteria Rujukan : -
Pasienstrongyloidiasisdengankeadaanimunokomproma
issepertipenderitaAIDS

Sarana Prasarana
Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan darah
dan feses.

Prognosis
Pada umumnya prognosis penyakitiniadalahbonam,karena
jarang menimbulkan kondisi klinis yang berat.

5. Kewenangan 1. Dokter umum, dan


2. Dokter Spesialis Penyakit Dalam
6. Unit Terkait 1. Rawat Inap
2. Farmasi
3. Laboratorium
4. Ambulan
7. Referensi PERMENKES RI NOMOR 5 TAHUN 2014
Taeniasis
No. ICPCII: D96 Worms/other
parasites
No. ICD X : B68.9Taeniasis
Tingkat Kemampuan: 4A
No.
SOP Dokumen
No. Revisi
Tanggal Terbit
Halaman
UPT Puskesmas dr. Hj. Fetty SDK, MKM
Padasuka NIP.196407031990022001

1. Pengertian Taeniasis adalah penyakit zoonosis parasiter yang


disebabkan oleh cacing pita yang tergolong dalam genus
Taenia (Taenia saginata, Taenia solium, dan Taenia
asiatica) pada manusia.

Taenia
saginataadalahcacingyangseringditemukandinegarayang
penduduknya banyak makan daging sapi/kerbau. Infeksi
lebih mudah terjadi bila cara memasak daging setengah
matang.

Taenia solium adalahcacingpitayang


ditemukandidagingbabi.Penyakitini ditemukanpadaorang
yangbiasamemakandagingbabikhususnyayang diolah tidak
matang. Ternak babi yangtidak dipelihara kebersihannya,
dapat berperan penting dalam penularan
cacingTaeniasolium.

2. Tujuan Untuk dapat menegakkan diagnosis suatu penyakit sesuai


dengan standar prosedur pemeriksaan medis,
meningkatkan mutu pelayanan terhadap pasien dan
membantu mengetahui perjalanan,tanda serta gejala
penyakit pasien agar tepat diagnosis
3. Kebijakan Sebagai pedoman dalam melakukan kajian awal untuk
mendapatkan informasi yang lengkap mengenai masalah
yang dihadapi pasien
Pelaksanaan kajian awal untuk mendapatkan informasi
yang lengkap mengenai masalah yang dihadapi pasien
harus mengikuti langkah-langkah yang tertuang dalam SPO
kajian awal yang memuat informasi yang harus diperoleh
selama proses pengkajian

4. Prosedur Hasil Anamnesis (Subjective)


Keluhan
Gejala klinis taeniasis sangat bervariasidan tidak khas.
Sebagian kasus tidak menunjukkan gejala
(asimptomatis).Gejalaklinisdapat timbulsebagai akibat
iritasimukosausus
atautoksinyangdihasilkancacing.Gejalatersebutantara lain:
a.Rasa tidak enak pada lambung
b.Mual
c. Badan lemah
d.Berat badan menurun
e. Nafsu makan menurun
f. Sakit kepala
g.Konstipasi
h.Pusing
i. Pruritus ani
j. Diare

Faktor Risiko
a.Mengkonsumsi daging yang dimasak setengah
matang/mentah, dan mengandung larva
sistiserkosis.
b.Higiene yang rendah dalam pengolahan makanan
bersumber daging. c. Ternak yang tidak dijaga
kebersihan kandang dan makanannya.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang


Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
a.Pemeriksaan tanda vital.
b.Pemeriksaan generalis: nyeri ulu hati, ileus juga
dapat terjadi jika strobila cacing membuat obstruksi
usus.
Pemeriksaan Penunjang
a.Pemeriksaanlaboratoriummikroskopikdenganmenemu
kantelurdalam spesimen tinja segar.
b.Secara makroskopik dengan menemukan proglotid
pada tinja
c. Pemeriksaan laboratorium darah tepi: dapat
ditemukan eosinofilia, leukositosis, LED meningkat.

Penegakan Diagnosis (Assessment)


Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

Diagnosis Banding :-

Komplikasi : Sistiserkosis

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


Penatalaksanaan
a.Menjaga kebersihan diri dan lingkungan, antara lain:
1.Mengolah daging sampai matang dan menjaga
kebersihan hewan ternak.
2.Menggunakan jamban keluarga.
b.Farmakologi:
1.Pemberianalbendazolmenjaditerapipilihansaati
nidengandosis400 mg, 1-2 x sehari, selama 3
hari, atau
2.Mebendazol 100 mg, 3 x sehari, selama 2 atau
4 minggu.

Konseling dan Edukasi


Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga
mengenai pentingnya menjaga kebersihan diri dan
lingkungan, yaitu antara lain:
a.Mengolah daging sampai matang dan menjaga
kebersihan hewan ternak
b.Sebaiknya setiap keluarga memiliki jamban
keluarga.

Kriteria Rujukan
Bila ditemukan tanda-tanda yang
mengarah pada sistiserkosis
Sarana Prasarana
Laboratorium sederhana untuk
pemeriksaan darah dan feses.

Prognosis
Prognosis pada umumnya bonam kecuali jika terdapat
komplikasi berupa sistiserkosis

5. Kewenangan 1. Dokter umum, dan


2. Dokter Spesialis Penyakit Dalam
6. Unit Terkait 1. Rawat Inap
2. Farmasi
3. Laboratorium
4. Ambulan
7. Referensi PERMENKES RI NOMOR 5 TAHUN 2014
Peritonitis
No. ICPCII: D99 Disease
digestive system, other
No. ICD X : K65.9 Peritonitis,
unspecified
Tingkat Kemampuan: 3B
No.
SOP Dokumen
No. Revisi
Tanggal Terbit
Halaman
UPT Puskesmas dr. Hj. Fetty SDK, MKM
Padasuka NIP.196407031990022001

1. Pengertian Peritonitis adalah inflamasi dari peritoneum (lapisan serosa


yang menutupi rongga abdomen dan organ-organ abdomen
di dalamnya).Peritonitisdapat disebabkan oleh kelainan di
dalam abdomen berupa inflamasi dan penyulitnya misalnya
perforasi apendisitis, perforasi tukak lambung, perforasi
tifus abdominalis. Ileus
obstruktifdanperdarahanolehkarenaperforasiorgan
berongga karena trauma abdomen.

2. Tujuan Untuk dapat menegakkan diagnosis suatu penyakit sesuai


dengan standar prosedur pemeriksaan medis,
meningkatkan mutu pelayanan terhadap pasien dan
membantu mengetahui perjalanan,tanda serta gejala
penyakit pasien agar tepat diagnosis
3. Kebijakan Sebagai pedoman dalam melakukan kajian awal untuk
mendapatkan informasi yang lengkap mengenai masalah
yang dihadapi pasien
Pelaksanaan kajian awal untuk mendapatkan informasi
yang lengkap mengenai masalah yang dihadapi pasien
harus mengikuti langkah-langkah yang tertuang dalam SPO
kajian awal yang memuat informasi yang harus diperoleh
selama proses pengkajian

4. Prosedur Hasil Anamnesis (Subjective)


Keluhan
a.Nyeri hebat pada abdomen yang dirasakan terus-
menerus selama beberapa jam, dapat hanya di
satutempat ataupun tersebar di seluruh abdomen.
Intensitas nyerisemakinkuat
saatpenderitabergerakseperti jalan, bernafas, batuk,
atau mengejan.
b.Bilatelah terjadiperitonitisbakterial,suhu badan
penderita akan naik dan terjadi takikardia,
hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok.
c.
Mualdanmuntahtimbulakibatadanyakelainanpatolog
isorganvisera atau akibat iritasi peritoneum.
d.Kesulitanbernafasdisebabkan
olehadanyacairandalamabdomen,yang dapat
mendorong diafragma.

Faktor Risiko :

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang


Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik
a.Pasien tampak letargik dan kesakitan
b.Dapat ditemukan adanya demam
c. Distensi abdomen disertai nyeri tekan dan nyeri lepas
abdomen
d.Adanya defans muskular
e. Hipertimpani pada perkusi abdomen
f. Pekak hati dapat menghilang akibat udara bebas
di bawah diafragma
g.Bising usus menurun atau menghilang
h.Rigiditas abdomen atau sering disebut ’perut
papan’, terjadi akibat kontraksi otot dinding
abdomen secara volunter sebagai
respon/antisipasi terhadap penekananpada dinding
abdomen ataupun involunter sebagai respon
terhadap iritasi peritoneum.
i. Pada rectal toucher akan terasa
nyeridisemuaarah,dengantonus muskulus sfingter
ani menurun dan ampula rekti berisi udara.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaanpenunjangtidakdilakukandilayananprimerunt
ukmenghindari keterlambatan dalam melakukan rujukan.

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Diagnosisditegakkanberdasaranamnesisdan
pemeriksaanfisikdaritanda- tanda khas yang ditemukan
pada pasien.

Diagnosis Banding : -

Komplikasi
a.Septikemia
b.Syok

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


Penatalaksanaan
Pasiensegeradirujuksetelahpenegakandiagnosisdanpen
atalaksanaanawal seperti berikut:
a.Memperbaiki keadaan umum pasien
b.Pasien puasa
c. Dekompresi saluran cerna dengan pipa nasogastrik
atau intestinal
d.Penggantiancairandanelektrolityanghilangyangdilaku
kansecara intravena
e. Pemberian antibiotik spektrum luas intravena.
f. Tindakan-tindakan menghilangkan nyeri
dihindari untuk tidak menyamarkan gejala

Pemeriksaan penunjang lanjutan


Pemeriksaan lainnya untuk persiapan operasi.

Kriteria Rujukan
Rujuk ke fasilitas kesehatan sekunder yang
memiliki dokter spesialis bedah.

Sarana Prasarana
Tidak ada sarana prasarana khusus
Prognosis
Prognosis untuk peritonitis adalah dubia ad malam

5. Kewenangan 1. Dokter umum, dan


2. Dokter Spesialis Penyakit Dalam
6. Unit Terkait 1. Rawat Inap
2. Farmasi
3. Laboratorium
4. Ambulan
7. Referensi PERMENKES RI NOMOR 5 TAHUN 2014
Kolesistitis
No. ICPCII: D98
Cholecystitis/cholelithiasis
No. ICD X : K81.9
Cholecystitis,unspecified
Tingkat Kemampuan: 3B
No.
SOP Dokumen
No. Revisi
Tanggal Terbit
Halaman
UPT Puskesmas dr. Hj. Fetty SDK, MKM
Padasuka NIP.196407031990022001

1. Pengertian Kolesistitisadalahreaksiinflamasiakut ataukronisdinding


kandungempedu. Faktor yang mempengaruhi timbulnya
serangan kolesistitis adalah stasis cairan empedu, infeksi
kuman dan iskemia dinding kandung empedu. Penyebab
utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%)
yang terletak di duktus sistikus yang menyebabkan stasis
cairan empedu.

Kolesistitisakuttanpabatumerupakanpenyakityangseriusda
ncenderung
timbulsetelahterjadinyacedera,pembedahan,lukabakar,seps
is,penyakit-
penyakityangparah(terutamapenderitayangmenerimamakan
anlewatinfus dalam jangka waktu yang lama).

Kolesistitis kronis adalah peradangan menahun dari


dinding kandung empedu, yang ditandai dengan serangan
berulang dari nyeri perut yang tajam dan hebat. Penyakit
ini lebih sering terjadi pada wanita dan angka kejadiannya
meningkat pada usia diatas 40 tahun.
2. Tujuan Untuk dapat menegakkan diagnosis suatu penyakit sesuai
dengan standar prosedur pemeriksaan medis,
meningkatkan mutu pelayanan terhadap pasien dan
membantu mengetahui perjalanan,tanda serta gejala
penyakit pasien agar tepat diagnosis
3. Kebijakan Sebagai pedoman dalam melakukan kajian awal untuk
mendapatkan informasi yang lengkap mengenai masalah
yang dihadapi pasien
Pelaksanaan kajian awal untuk mendapatkan informasi
yang lengkap mengenai masalah yang dihadapi pasien
harus mengikuti langkah-langkah yang tertuang dalam SPO
kajian awal yang memuat informasi yang harus diperoleh
selama proses pengkajian

4. Prosedur Hasil Anamnesis (Subjective)


Keluhan
Kolesistitis akut:
a.Demam
b.Kolik perut di sebelah kanan atas atau epigastrium
dan teralihkan ke bawah angulus scapula dexter,
bahu kanan atau yang ke sisi kiri, kadang meniru
nyeriangina pectoris,berlangsung 30-60menittanpa
peredaan, berbeda dengan spasme yangcuma
berlangsung singkat pada kolik bilier.
c.
Seranganmunculsetelahkonsumsimakananbesarata
umakanan berlemak di malam hari malam.
d.Flatulens dan mual

Kolesistitis kronik :
a.Gangguan pencernaan menahun
b.Serangan berulang namun tidak mencolok.
c. Mual, muntah dan tidak tahan makanan berlemak
d.Nyeri perut yang tidak jelas (samar-samar) disertai
dengan sendawa.

Faktor risiko
Adanya riwayat kolesistitis akut sebelumnya.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang


Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
a.Ikterik bila penyebab adanya batu di saluran
empedu ekstrahepatik
b.Teraba massa kandung empedu
c. Nyeri tekan disertai tanda-tanda peritonitis lokal,
tanda murphy positif

Pemeriksaan Penunjang
Leukositosis

Penegakan Diagnosis (Assessment)


Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium.

Diagnosis Banding
a.Angina pectoris
b.Appendisitis akut
c.Ulkus peptikum perforasi
d.Pankreatitis akut

Komplikasi
a.Gangren atau empiema kandung empedu
b.Perforasi kandung empedu
c. Peritonitis umum
d.Abses hati

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


Penatalaksanaan
Pasien yang telahterdiagnosis kolesistitis dirujuk ke
fasilitas kesehatan sekunderyang
memilikidokterspesialispenyakitdalam.Penanganan di
layanan primer, yaitu:
a.Tirah baring
b.Puasa
c. Pasang infus
d.Pemberian antibiotik:
1.Golongan penisilin: ampisilin injeksi 500mg/6jam dan
amoksilin500mg/8jam IV, atau
2.Sefalosporin:Cefriaxon1gram/12jam,cefotaxime1gram/
8jam, atau
3.Metronidazol 500mg/8jam
Konseling dan Edukasi
Keluargadimintauntukikutmendukungpasienuntukmenjal
anidietrendah lemak dan menurunkan berat badan.

Rencana Tindak Lanjut


a.Pada pasien yang pernah mengalami serangan
kolesistitis akut dan kandung empedunya belum
diangkat kemudian mengurangi asupan
lemakdanmenurunkan beratbadannya
harusdilihatapakahterjadi kolesistitis akut berulang.
b.Perlu dilihat ada tidak indikasi untuk dilakukan
pembedahan.

Kriteria rujukan
Pasien yang telah terdiagnosis kolesistitis dirujuk ke
spesialis penyakit dalam,
sedangkanbilaterdapatindikasiuntuk
pembedahanpasiendirujukpulake spesialis bedah.

Sarana Prasarana
Obat-obatan

Prognosis
Prognosisumumnyadubiaadbonam,tergantungkomplikasid
anberatnya penyakit

5. Kewenangan 1. Dokter umum, dan


2. Dokter Spesialis Penyakit Dalam
6. Unit Terkait 1. Rawat Inap
2. Farmasi
3. Laboratorium
4. Ambulan
7. Referensi PERMENKES RI NOMOR 5 TAHUN 2014
Mata Kering/Dry eye
No. ICPCII: F99
Eye/adnexadisease other
No. ICD X : H04.1Other
disorders oflacrimalgland
Tingkat Kemampuan: 4A
No.
SOP Dokumen
No. Revisi
Tanggal Terbit
Halaman
UPT Puskesmas dr. Hj. Fetty SDK, MKM
Padasuka NIP.196407031990022001

1. Pengertian Mata kering adalah suatu keadaankeringnya permukaan


kornea dan konjungtiva yang diakibatkan berkurangnya
produksi komponen airmata
(musin,akueous,danlipid).Matakeringmerupakansalahsatug
angguan yang sering padamata, persentase insiden sekitar
10-30% dari populasi, terutama pada orang yang usianya
lebih dari 40 tahun dan 90% terjadi pada wanita.

2. Tujuan Untuk dapat menegakkan diagnosis suatu penyakit sesuai


dengan standar prosedur pemeriksaan medis,
meningkatkan mutu pelayanan terhadap pasien dan
membantu mengetahui perjalanan,tanda serta gejala
penyakit pasien agar tepat diagnosis
3. Kebijakan Sebagai pedoman dalam melakukan kajian awal untuk
mendapatkan informasi yang lengkap mengenai masalah
yang dihadapi pasien
Pelaksanaan kajian awal untuk mendapatkan informasi
yang lengkap mengenai masalah yang dihadapi pasien
harus mengikuti langkah-langkah yang tertuang dalam SPO
kajian awal yang memuat informasi yang harus diperoleh
selama proses pengkajian

4. Prosedur Hasil Anamnesis (Subjective)


Keluhan
Pasiendatangdengankeluhanmataterasagatal,sepertibe
rpasir.Keluhan dapat disertai sensasi terbakar, merah,
dan perih.

Faktor Risiko
a.Usia, makin lanjut usia semakin tinggi angka
kejadiannya.
b.Penggunaan komputer dalam waktu lama.
c.
Penyakitsistemik,seperti:sindromSjogren,sklerosi
ssistemikprogresif, sarkoidosis, leukimia,
limfoma, amiloidosis, hemokromatosis.
d.Penggunaan lensa kontak.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang


Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Oftalmologis
a.Visus normal.
b.Terdapatfoamytearspada konjungtiva forniks.
c.
PenilaianproduksiairmatadengantesSchirmermenunjukkan
hasil<10 mm (N = >20 mm).

Penegakan Diagnosis (Assessment)


Diagnosis Klinis
Diagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
oftalmologi. Komplikasi
a.Keratitis
b.Penipisan kornea
c. Infeksi sekunder oleh bakteri
d.Neovaskularisasi kornea

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


Penatalaksanaan
Pemberian air mata buatan (karboksimetilselulosa tetes
mata)

Pemeriksaan Penunjang Lanjutan


Tidak diperlukan

Konseling dan Edukasi


Keluarga dan pasien harus mengertibahwa mata
kering adalah keadaan menahun
danpemulihantotalsukarterjadi,kecualipadakasusringa
n,saat perubahan epitel pada kornea dan konjungtiva
masih reversibel.

Kriteria rujukan
Dilakukan rujukan ke spesialis
mata jika timbul komplikasi.
SaranaPrasarana
a.Lup
b.Strip Schirmer(kertas saring Whatman No. 41)
Prognosis
Prognosispadaumumnyaadalahbonam,terkendalidengan
pengobatanair mata buatan.

5. Kewenangan 1. Dokter umum, dan


2. Dokter Spesialis Penyakit Dalam
6. Unit Terkait 1. Rawat Inap
2. Farmasi
3. Laboratorium
4. Ambulan
7. Referensi PERMENKES RI NOMOR 5 TAHUN 2014
Buta Senja
No. ICPCII: F99
Eye/adnexadisease other
No. ICD X :
H53.5 Colour
visiondeficienci
es
Tingkat Kemampuan: 4A
No.
SOP Dokumen
No. Revisi
Tanggal Terbit
Halaman
UPT Puskesmas dr. Hj. Fetty SDK, MKM
Padasuka NIP.196407031990022001

1. Pengertian Buta senja/ rabun senja disebut juga nyctalopia atau


hemarolopia adalah ketidakmampuan untuk melihat
dengan baik pada malam hari atau pada keadaan gelap.
Kondisi ini lebih merupakan gejala dari kelainan yang
mendasari. Hal ini terjadi karena kelainan sel batang
retinauntuk penglihatan gelap.

2. Tujuan Untuk dapat menegakkan diagnosis suatu penyakit sesuai


dengan standar prosedur pemeriksaan medis,
meningkatkan mutu pelayanan terhadap pasien dan
membantu mengetahui perjalanan,tanda serta gejala
penyakit pasien agar tepat diagnosis
3. Kebijakan Sebagai pedoman dalam melakukan kajian awal untuk
mendapatkan informasi yang lengkap mengenai masalah
yang dihadapi pasien
Pelaksanaan kajian awal untuk mendapatkan informasi
yang lengkap mengenai masalah yang dihadapi pasien
harus mengikuti langkah-langkah yang tertuang dalam SPO
kajian awal yang memuat informasi yang harus diperoleh
selama proses pengkajian

4. Prosedur Hasil Anamnesis (Subjective)


Keluhan
Penglihatan menurun pada malam hari atau pada
keadaan gelap, sulit beradaptasi pada cahaya yang redup.
Faktor Risiko
a.Defisiensi vitamin A
b.Retinitis pigmentosa

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang


Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Dapat ditemukan tanda-tanda
defisiensi vitamin A:
a.Terdapat bercak bitot pad konjungtiva.
b.Kornea mata kering/kornea serosis.
c. Kulit tampak kering dan bersisik.

Pemeriksaan Penunjang
Tidak diperlukan.

Penegakan Diagnosis (Assessment)


Diagnosis Klinis
Penegakan diagnosis berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik.

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif


(Plan)
Penatalaksanaan
Bila disebabkan oleh defisiensi vitamin A diberikan
vitamin A dosis tinggi.

Konseling dan Edukasi


Memberitahu keluarga adalah gejala dari suatu
penyakit, antara lain; defisiensivitaminA
sehinggaharusdilakukanpemberianvitaminAdancukup
kebutuhan gizi.

Sarana Prasarana
a.Lup
b.Oftalmoskop
Prognosis
Untukquoadvitamdansanationamumumnyabonam,namun
fungsionam dapat dubia ad bonam karena terganggunya
fungsi penglihatan.

5. Kewenangan 1. Dokter umum, dan


2. Dokter Spesialis Penyakit Dalam
6. Unit Terkait 1. Rawat Inap
2. Farmasi
3. Laboratorium
4. Ambulan
7. Referensi PERMENKES RI NOMOR 5 TAHUN 2014

Hordeolum
No. ICPCII: F72
Blepharitis/stye/chalazion
No. ICD X : H00.0
Hordeolum and other
deepinflammation ofeyelid
Tingkat Kemampuan: 4A
No.
SOP Dokumen
No. Revisi
Tanggal Terbit
Halaman
UPT Puskesmas dr. Hj. Fetty SDK, MKM
Padasuka NIP.196407031990022001

1. Pengertian Hordeolumadalahperadangansupuratifkelenjarkelopak
mata.Biasanya merupakan infeksi
Staphylococcuspadakelenjar sebasea kelopak. Dikenal dua
bentuk hordeolum internum dan eksternum. Hordolum
eksternum merupakan
infeksipadakelenjarZeissatauMoll.Hordeoluminternummeru
pakan infeksi kelenjar Meibom yang terletak di
dalamtarsus. Hordeolum mudah timbul pada individu yang
menderita blefaritis dan konjungtivitis menahun.

2. Tujuan Untuk dapat menegakkan diagnosis suatu penyakit sesuai


dengan standar prosedur pemeriksaan medis,
meningkatkan mutu pelayanan terhadap pasien dan
membantu mengetahui perjalanan,tanda serta gejala
penyakit pasien agar tepat diagnosis
3. Kebijakan Sebagai pedoman dalam melakukan kajian awal untuk
mendapatkan informasi yang lengkap mengenai masalah
yang dihadapi pasien
Pelaksanaan kajian awal untuk mendapatkan informasi
yang lengkap mengenai masalah yang dihadapi pasien
harus mengikuti langkah-langkah yang tertuang dalam SPO
kajian awal yang memuat informasi yang harus diperoleh
selama proses pengkajian

4. Prosedur Hasil Anamnesis (Subjective)


Keluhan
Pasien datang dengan keluhan kelopak yang
bengkak disertai rasa sakit.
Gejala utama hordeolum adalah kelopak yang
bengkak dengan rasa sakit dan mengganjal, merahdan
nyeri bila ditekan, serta perasaantidak nyaman dan
sensasi terbakar pada kelopak mata

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang


Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik Oftalmologis
Ditemukan kelopak mata bengkak, merah, dan nyeri
pada perabaan.Nanah dapat keluar daripangkal
rambut (hordeolum eksternum). Apabila sudah terjadi
abses dapat timbul undulasi.

Pemeriksaan Penunjang
Tidak diperlukan

Penegakan Diagnosis (Assessment)


Diagnosis Klinis

Penegakan diagnosis dengan anamnesis dan pemeriksaan


fisik.
Diagnosis Banding
a.Selulitis preseptal
b.Kalazion
c. Granuloma piogenik

Komplikasi
a.Selulitis palpebra.
b.Abses palpebra.

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


Penatalaksanaan
a.Matadikompreshangat4-6kalisehari selama15menit
setiapkalinya untuk membantu drainase. Tindakan
dilakukan dengan mata tertutup.
b.Kelopakmatadibersihkandenganairbersihataupunden
gansabun atau sampo yang tidak menimbulkan
iritasi, seperti sabunbayi. Hal ini dapat
mempercepat proses penyembuhan. Tindakan
dilakukan dengan mata tertutup.
c.
Janganmenekanataumenusukhordeolum,halinidapa
tmenimbulkan infeksi yang lebih serius.
d.Hindari pemakaianmake-uppada mata, karena
kemungkinan hal itu menjadi penyebab infeksi.
e.
Janganmemakailensakontakkarenadapatmenyebark
aninfeksike kornea.
f. Pemberian terapi topikal dengan Oxytetrasiklin
salep mata atau kloramfenikol salep mata
setiap 8 jam. Apabila menggunakan kloramfenikol
tetes mata sebanyak 1 tetes tiap 2 jam.
g.
Pemberianterapioralsistemikdenganeritromisin500m
gpadadewasa dan anak sesuai dengan berat
badanatau dikloksasilin 4kali sehari selama 3 hari.

Pemeriksaan Penunjang Lanjutan


Tidak diperlukan

Konseling dan Edukasi


Penyakithordeolumdapatberulangsehinggaperludiberitahu
pasiendan keluarga untuk menjaga higiene dan
kebersihan lingkungan

Rencana Tindak Lanjut


Biladengan pengobatan konservatif tidak berespon
dengan baik, maka prosedur pembedahan mungkin
diperlukan untuk membuat drainase pada hordeolum.

Kriteria rujukan
a.Bila tidak memberikan respon dengan
pengobatan konservatif.
b.Hordeolum berulang.
Sarana Prasarana
Peralatan bedah minor

Prognosis
Prognosis pada umumnya bonam

5. Kewenangan 1. Dokter umum, dan


2. Dokter Spesialis Penyakit Dalam
6. Unit Terkait 1. Rawat Inap
2. Farmasi
3. Laboratorium
4. Ambulan
7. Referensi PERMENKES RI NOMOR 5 TAHUN 2014
Konjungtivitis Infeksi
No. ICPCII: F70
Conjunctivitisinfectious
No. ICD X :
H10.9Conjunctivitis,unspecified
Konjungtivitis alergi
No. ICPCII: F71
Conjunctivitisallergic
No ICD X : H10.1 Acuteatopic
conjunctivitiTingkat
Kemampuan: 4A
No.
SOP Dokumen
No. Revisi
Tanggal Terbit
Halaman
UPT Puskesmas dr. Hj. Fetty SDK, MKM
Padasuka NIP.196407031990022001

1. Pengertian Konjungtivitisadalah radang konjungtiva yang dapat


disebabkan oleh mikroorganisme (virus, bakteri), iritasi
atau reaksi alergi. Konjungtivitis
ditularkanmelaluikontaklangsungdengansumberinfeksi.
Penyakitinidapat menyerang semua umur.

2. Tujuan Untuk dapat menegakkan diagnosis suatu penyakit sesuai


dengan standar prosedur pemeriksaan medis,
meningkatkan mutu pelayanan terhadap pasien dan
membantu mengetahui perjalanan,tanda serta gejala
penyakit pasien agar tepat diagnosis
3. Kebijakan Sebagai pedoman dalam melakukan kajian awal untuk
mendapatkan informasi yang lengkap mengenai masalah
yang dihadapi pasien
Pelaksanaan kajian awal untuk mendapatkan informasi
yang lengkap mengenai masalah yang dihadapi pasien
harus mengikuti langkah-langkah yang tertuang dalam SPO
kajian awal yang memuat informasi yang harus diperoleh
selama proses pengkajian

4. Prosedur Hasil Anamnesis (Subjective)


Keluhan
Pasien datang dengan keluhan mata merah, rasa
mengganjal, gatal dan berair, kadang disertai sekret.
Umumnya tanpa disertai penurunan tajam
penglihatan.
Faktor Risiko
a.Daya tahan tubuh yang menurun
b.Adanya riwayat atopi
c. Penggunaan kontak lens dengan perawatan yang tidak
baik
d.Higiene personal yang buruk.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang


Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik Oftalmologi
a.Tajam penglihatan normal
b.Injeksi konjungtiva
c. Dapat disertai edema kelopak, kemosis
d.Eksudasi;eksudatdapatserous,mukopurulenataupurulent
ergantung penyebab.
e. Pada konjungtiva tarsal dapat ditemukan folikel, papil
atau papil raksasa, flikten, membran dan
pseudomembran.

Pemeriksaan Penunjang (bila diperlukan)


a.Sediaan langsung swab konjungtiva dengan perwarnaan
Gram atauGiemsa
b.Pemeriksaan sekret dengan perwarnaan metilen blue
pada kasus konjungtivitis gonore

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Konjungtivitis berdasarkan etiologi.
Penegakan diagnosis berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan oftalmologi.

Klasifikasi Konjungtivitis
a.Konjungtivitis bakterial
Konjungtivahiperemis,secretpurulentataumukopurul
endapatdisertai membrane atau pseudomembran di
konjungtiva tarsal.

b.Konjungtivitis viral
Konjungtivahiperemis,secretumumnyamukoserous,d
anpembesaran kelenjar preaurikular

c. Konjungtivitis alergi
Konjungtiva hiperemis, riwayat atopi atau alergi, dan
keluhan gatal.

Komplikasi
Keratokonjuntivitis

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
a.Usahakanuntuktidakmenyentuhmatayangsehatsesud
ah menangani mata yang sakit
b.Sekret mata dibersihkan.
c. Pemberian obat mata topikal
1.Pada infeksi bakteri: Kloramfenikol tetes sebanyak
1 tetes 6 kali sehari atau salep mata 3 kali sehari
selama 3 hari.
2.Padaalergidiberikanflumetolontetesmataduakalise
hariselama2 minggu.
3.Padakonjungtivitisgonorediberikankloramfenikoltet
esmata0,5-1%sebanyak 1 tetes tiap jam dan
suntikan pada bayi
diberikan50.000U/kgBBtiapharisampaitidakditem
ukankumanGOpada sediaan apus selama 3 hari
berturut-turut.
4.Konjungtivitis viral diberikan salep Acyclovir 3%
lima kali sehari selama 10 hari.

Pemeriksaan Penunjang Lanjutan


Tidak diperlukan

Konseling dan Edukasi


Memberi informasi pada keluarga dan pasien mengenai:
a. Konjungtivitis mudah menular, karena itu sebelum
dan sesudah membersihkan atau mengoleskan
obat, penderita harus mencuci tangannya bersih-
bersih.
b.Janganmenggunakanhandukataulapbersama-
samadenganpenghuni rumah lainnya.
c. Menjaga kebersihan lingkungan rumah dan sekitar.

Kriteria rujukan
a.Pada bayi dengan konjungtivitis gonore jika terjadi
komplikasi pada kornea dilakukan rujukan ke spesialis
mata.
b.Konjungtivitisalergi danviraltidakada
perbaikandalam2minggurujuk ke spesialis mata
c.
Konjungtivitisbakteritidakadaperbaikandalam1mingguruj
ukke spesialis mata.

Sarana Prasarana
a.Lup
b.Laboratorium
sederhanauntuk pemeriksaan
Giemsa
c. Laboratorium sederhana
untuk pemeriksaan Gram
d.Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan
dengan metilen blue

Prognosis
Penyakit ini jarang menimbulkan
kondisiklinisyangberatsehinggapada umumnya
prognosisnya bonam.

5. Kewenangan 1. Dokter umum, dan


2. Dokter Spesialis Penyakit Dalam
6. Unit Terkait 1. Rawat Inap
2. Farmasi
3. Laboratorium
4. Ambulan
7. Referensi PERMENKES RI NOMOR 5 TAHUN 2014

Blefaritis
No. ICPCII: F72
Blepharitis/stye/chalazion
No. ICD X : H01.0 Blepharitis
Kemampuan: 4A
No.
SOP Dokumen
No. Revisi
Tanggal Terbit
Halaman
UPT Puskesmas dr. Hj. Fetty SDK, MKM
Padasuka NIP.196407031990022001

1. Pengertian Blefaritis adalah radang pada tepi kelopak mata (margo


palpebra) dapat disertai terbentuknya ulkus/ tukak pada
tepi kelopak mata, serta dapat melibatkan folikel rambut

2. Tujuan Untuk dapat menegakkan diagnosis suatu penyakit sesuai


dengan standar prosedur pemeriksaan medis,
meningkatkan mutu pelayanan terhadap pasien dan
membantu mengetahui perjalanan,tanda serta gejala
penyakit pasien agar tepat diagnosis
3. Kebijakan Sebagai pedoman dalam melakukan kajian awal untuk
mendapatkan informasi yang lengkap mengenai masalah
yang dihadapi pasien
Pelaksanaan kajian awal untuk mendapatkan informasi
yang lengkap mengenai masalah yang dihadapi pasien
harus mengikuti langkah-langkah yang tertuang dalam SPO
kajian awal yang memuat informasi yang harus diperoleh
selama proses pengkajian

4. Prosedur Hasil Anamnesis (Subjective)


Keluhan
Pasien datang dengan keluhan gatal pada tepi kelopak
mata. Dapat disertai keluhan lain berupa merasa ada
sesuatu di kelopak mata, panas pada tepi kelopak
mata dan kadang-kadang disertai rontok bulu mata.
Selama tidur, sekresi mata mengering sehingga ketika
bangun kelopak mata sukar dibuka.
Faktor Risiko
a.Kondisi kulit seperti dermatitis seboroik.
b.Higiene dan lingkungan yang tidak bersih.
c. Kesehatan atau daya tahan tubuh yang
menurun

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang


Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
a.Skuama atau krusta pada tepi kelopak.
b.Tampak bulu mata rontok.
c. Dapat ditemukan tukak yang dangkal pada tepi
kelopak mata.
d.Dapat terjadi pembengkakan dan merah pada kelopak
mata.
e.
Dapatterbentukkeropengyangmelekateratpadatepikelopa
kmata;jika keropeng dilepaskan, bisa terjadi
perdarahan. Tidak diperlukan pemeriksaan penunjang

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Penegakan diagnosis dari anamnesis dan pemeriksaan fisik

Komplikasi
a.Blefarokonjungtivitis
b.Madarosis
c. Trikiasis

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


Penatalaksanaan
a.Memperbaiki kebersihan dan membersihkan kelopak
dari kotoran dapat menggunakan sampo bayi.
b.Kelopak mata dibersihkan dengan kapas lidi
hangat dan kompres hangat selama 5-10 menit.
c.
Apabiladitemukantukakpadakelopakmata,salepatau
tetesmata seperti eritromisin, basitrasin atau
gentamisin 2 tetes setiap 2 jam hingga gejala
menghilang.

Konseling dan Edukasi


a.Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga
bahwa kulit kepala, alismata,dantepi
palpebraharusselaludibersihkanterutamapada
pasien dengan dermatitis seboroik.
b.Memberitahu pasien dan keluarga untuk menjaga
higiene personal dan lingkungan.

Kriteria Rujukan
Apabila tidak membaik dengan pengobatan optimal.

Sarana Prasarana
a.Senter
b.l u p

Prognosis
Prognosis pada umumnya bonam, namun hal ini
tergantung dari kondisi pasien, ada/tidaknya komplikasi,
serta pengobatannya.

5. Kewenangan 1. Dokter umum, dan


2. Dokter Spesialis Penyakit Dalam
6. Unit Terkait 1. Rawat Inap
2. Farmasi
3. Laboratorium
4. Ambulan
7. Referensi PERMENKES RI NOMOR 5 TAHUN 2014
Perdarahan
Subkonjungtiva
No. ICPCII: F75 Contusion/
haemorrhage eye
No. ICD X : H57.8 Other
specified disorders
ofeyeandadnexa
Kemampuan: 4A
No.
SOP Dokumen
No. Revisi
Tanggal Terbit
Halaman
UPT Puskesmas dr. Hj. Fetty SDK, MKM
Padasuka NIP.196407031990022001

1. Pengertian Perdarahan subkonjungtiva adalah perdarahan akibat


rupturnya pembuluh
darahdibawahlapisankonjungtivayaitupembuluhdarah
konjungtivalisatau episklera. Dapat terjadi secara spontan
atau akibat trauma.
Perdarahan subkonjungtiva dapat terjadi di semua
kelompok umur. Perdarahan subkonjungtiva sebagian
besar terjadi unilateral (90%).

2. Tujuan Untuk dapat menegakkan diagnosis suatu penyakit sesuai


dengan standar prosedur pemeriksaan medis,
meningkatkan mutu pelayanan terhadap pasien dan
membantu mengetahui perjalanan,tanda serta gejala
penyakit pasien agar tepat diagnosis
3. Kebijakan Sebagai pedoman dalam melakukan kajian awal untuk
mendapatkan informasi yang lengkap mengenai masalah
yang dihadapi pasien
Pelaksanaan kajian awal untuk mendapatkan informasi
yang lengkap mengenai masalah yang dihadapi pasien
harus mengikuti langkah-langkah yang tertuang dalam SPO
kajian awal yang memuat informasi yang harus diperoleh
selama proses pengkajian

4. Prosedur Hasil Anamnesis (Subjective)


Keluhan
Pasiendatangdengankeluhanadanyadarahpadaskleraat
aumataberwarna merah terang (tipis) atau merah tua
(tebal).
Sebagian besar tidak ada gejala simptomatis yang
berhubungan dengan perdarahan subkonjungtiva
selain terlihat darah pada bagian sklera.
Perdarahanakanterlihatmeluasdalam24jampertamaset
elahitukemudian akan berkurang perlahan ukurannya
karena diabsorpsi.

Faktor Risiko
a.Hipertensi
b.Trauma tumpul atau tajam
c. Penggunaan obat pengencer darah d.Benda asing
e. Konjungtivitis

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang


Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
a.Pemeriksaan status generalis
b.Pemeriksaan oftalmologi:
1.Tampakadanyaperdarahandiskleradenganwarnamer
ahterang(tipis) atau merah tua (tebal).
2.Melakukanpemeriksaantajampenglihatanumumnya
6/6,jikavisus<6/6 curiga terjadi kerusakan selain
di konjungtiva.
3.Pemeriksaanfunduskopiadalahperlupadasetiappend
eritadengan perdarahan subkonjungtiva akibat
trauma.

Pemeriksaan Penunjang
Tidak diperlukan

Penegakan Diagnosis (Assessment)


Diagnosis Klinis
Penegakan diagnosis berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik.

Penatalaksanaan Komprehensif(Plan)
Penatalaksanaan
a.Perdarahan subkonjungtiva akan hilang atau
diabsorpsi dalam 1- 2 minggu tanpa diobati.
b.Pengobatan penyakit yang mendasari bila ada.

Pemeriksaan penunjang lanjutan


Tidak diperlukan

Konseling dan Edukasi


Memberitahu keluarga bahwa:
a.Tidak perlu khawatir karena perdarahan akan
terlihat meluas dalam 24 jam pertama, namun
setelah itu ukuran akan berkurang perlahan
karena diabsorpsi.
b.Kondisi hipertensimemiliki hubunganyang cukup
tinggi dengan angka terjadinya perdarahan
subkonjungtiva sehingga
diperlukanpengontrolan tekanan darah pada
pasien dengan hipertensi.

Kriteria rujukan
Perdarahan subkonjungtiva harus segera dirujuk ke
spesialis mata jika ditemukan penurunan visus.

SaranaPrasarana
a.Snellen chart
b.Oftalmoskop

Prognosis
Prognosis pada umumnya bonam, namun hal ini tergantung
dari kondisi pasien, ada/tidaknya komplikasi, serta
pengobatannya.

5. Kewenangan 1. Dokter umum, dan


2. Dokter Spesialis Penyakit Dalam
6. Unit Terkait 1. Rawat Inap
2. Farmasi
3. Laboratorium
4. Ambulan
7. Referensi PERMENKES RI NOMOR 5 TAHUN 2014
Benda asing di konjungtiva
No. ICPCII: F76 Foreign body
ineye
No. ICD X : T15.9 Foreign
bodyon external eye, part
unspecified
Kemampuan: 4A
No.
SOP Dokumen
No. Revisi
Tanggal Terbit
Halaman
UPT Puskesmas dr. Hj. Fetty SDK, MKM
Padasuka NIP.196407031990022001

5. Pengertian Benda asing di konjungtiva: benda yangdalam keadaan


normal tidak dijumpai di konjungtiva. Pada umumnya
bersifat ringan, pada beberapa keadaan dapat berakibat
serius terutama pada benda asing yang bersifat asam atau
basa.

6. Tujuan Untuk dapat menegakkan diagnosis suatu penyakit sesuai


dengan standar prosedur pemeriksaan medis,
meningkatkan mutu pelayanan terhadap pasien dan
membantu mengetahui perjalanan,tanda serta gejala
penyakit pasien agar tepat diagnosis
7. Kebijakan Sebagai pedoman dalam melakukan kajian awal untuk
mendapatkan informasi yang lengkap mengenai masalah
yang dihadapi pasien
Pelaksanaan kajian awal untuk mendapatkan informasi
yang lengkap mengenai masalah yang dihadapi pasien
harus mengikuti langkah-langkah yang tertuang dalam SPO
kajian awal yang memuat informasi yang harus diperoleh
selama proses pengkajian

8. Prosedur Hasil Anamnesis (Subjective)


Keluhan
Pasien datang dengan keluhan adanya benda yang masuk
ke dalam konjungtiva atau mata nya.

Gejalayangditimbulkanberupanyeri,matamerahdanberair,s
ensasibenda asing, dan fotofobia.

Faktor Risiko
Pekerja di bidang industri yang tidakmemakai
kacamatapelindung, seperti: pekerja gerinda, pekerja las,
pemotongkeramik, pekerja yang terkait dengan bahan-
bahan kimia (asam-basa), dll.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang


Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Dalam pemeriksaan oftalmologi:
a.Biasanya visus normal;
b.Ditemukan injeksi konjungtiva tarsal dan/atau bulbi;
c. Pada konjungtiva tarsal superior dan/atau
inferior, dan/atau konjungtiva bulbi ditemukan
benda asing.

Tidak diperlukan pemeriksaan penunjang.

Penegakan Diagnosis (Assessment)


Diagnosis Klinis:
Benda asing/Corpusalienum konjungtivabulbi/tarsal.
PenegakanDiagnosisdari anamnesis dan pemeriksaan
fisik
Diagnosis banding: Konjungtivitis
Komplikasi:
Komplikasi tergantung pada jumlah, ukuran,
dan jenis benda asing.

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif


(Plan)
Penatalaksanaan
Penatalaksanaannyaadalahdenganmengeluarkanbendaasi
ngtersebutdari konjungtiva dengan cara:
a.Berikantetesmata pantokain2%sebanyak1-
2tetespadamatayang terkena benda asing.
b.Gunakan kaca pembesar (lup) dalam
pengangkatan benda asing.
c.
Angkatbendaasingdenganmenggunakanlidikapas
ataujarumsuntik ukuran 23G.
d.Arah pengambilan benda asing dilakukan dari
tengah ke tepi.
e.
Oleskanlidikapasyangdibubuhkanbetadinpadate
mpatbekasbenda asing.
f. Kemudian, berikan antibiotik topikal (salep atau
tetes mata) seperti kloramfenikol tetes mata, 1
gtt setiap 2 jam selama 2 hari.

Konseling dan Edukasi


a.Memberitahu pasien dan keluarga agartidak
menggosok matanya agar tidak memperberat
lesi.
b.Menggunakan alat/kacamata pelindung pada
saat bekerja atau berkendara.
c.
Apabilakeluhanbertambahberatsetelahdilakukan
tindakan,seperti mata bertambah merah,
bengkak atau disertai dgpenurunan visus segera
kontrol kembali

Kriteria Rujukan
Bila terjadi penurunan visus.
Sarana Prasarana
a.Lup
b.Lidi kapas
c. Jarum suntik 23G
d.Pantokain 2%

Prognosis
Prognosis pada umumnya bonam.

5. Kewenangan 1. Dokter umum, dan


2. Dokter Spesialis Penyakit Dalam
6. Unit Terkait 1. Rawat Inap
2. Farmasi
3. Laboratorium
4. Ambulan
7. Referensi PERMENKES RI NOMOR 5 TAHUN 2014
Astigmatism
No. ICPCII: F91 Refractive
error
No. ICD X : H52.2
Astigmatism
Kemampuan: 4A
No.
SOP Dokumen
No. Revisi
Tanggal Terbit
Halaman
UPT Puskesmas dr. Hj. Fetty SDK, MKM
Padasuka NIP.196407031990022001

1. Pengertian Astigmatismaadalahkeadaandimanasinarsejajartidakdibiask
ansecara seimbang pada seluruh meridian

2. Tujuan Untuk dapat menegakkan diagnosis suatu penyakit sesuai


dengan standar prosedur pemeriksaan medis,
meningkatkan mutu pelayanan terhadap pasien dan
membantu mengetahui perjalanan,tanda serta gejala
penyakit pasien agar tepat diagnosis
3. Kebijakan Sebagai pedoman dalam melakukan kajian awal untuk
mendapatkan informasi yang lengkap mengenai masalah
yang dihadapi pasien
Pelaksanaan kajian awal untuk mendapatkan informasi
yang lengkap mengenai masalah yang dihadapi pasien
harus mengikuti langkah-langkah yang tertuang dalam SPO
kajian awal yang memuat informasi yang harus diperoleh
selama proses pengkajian

4. Prosedur Hasil Anamnesis (Subjective)


Keluhan
Pasien datang dengan keluhan penglihatan kabur. Pasien
memicingkan mata untuk dapat melihat lebih jelas.
Keluhan disertai hanya dapat membaca dengan jarak
lebih dekat.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang


Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik Oftalmologis
a.Penderita duduk menghadap kartu snellen pada jarak
6 meter.
b. Pada mata dipasang bingkai percobaan. Satu
mataditutup, biasanya mata kiri ditutup terlebih
dahulu untuk memeriksa mata kanan.
c.
Penderitadimintamembacakartusnellenmulaihurufte
rbesar(teratas) dan diteruskan pada baris bawahnya
sampai pada huruf terkecil yang masih dapat
dibaca. Lensa positif 0,5D ditambah pada mata yang
diperiksa (teknikfogging).
d.Pasien diminta melihat gambar kipas pada
Snellen chart dan menyebutkan garis yang paling
jelas.
e. Pasangkanlensasilinder-
0,5Ddenganaksistegaklurusterhadapgaris yang
paling jelas.
f. Perlahan-lahan lensa silinder dinaikkan kekuatan
dioptrinya sampai semua garis terlihat sama jelas.
g.PasienkembalidimintamelihatSnellenchart,bilavisusbel
um6/6lensafoggingdicabut.
h.Mata yang lain dikerjakan dengan cara yang sama.

Penegakan Diagnosis (Assessment)


Diagnosis Klinis
Penegakandiagnosisdilakukanberdasarkananamnesisdanp
emeriksaanfisik oftalmologis.

Diagnosis Banding
Kelainan refraksi lainnya

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


Penatalaksanaan
Penggunaan kacamata lensa silindris dengan koreksi yang
sesuai

Pemeriksaan Penunjang Lanjutan


Tidak diperlukan
Konseling dan Edukasi
Memberitahukeluargabahwaastigmatismagangguanpenglih
atanyangdapat dikoreksi

Kriteria rujukan
Apabila visus tidak dapat mencapai 6/6.

Sarana Prasarana
a.Snellen chart
b.Satu set lensa coba (trialframe)

Prognosis
Prognosis pada umumnya bonam.

5. Kewenangan 1. Dokter umum, dan


2. Dokter Spesialis Penyakit Dalam
6. Unit Terkait 1. Rawat Inap
2. Farmasi
3. Laboratorium
4. Ambulan
7. Referensi PERMENKES RI NOMOR 5 TAHUN 2014

Anda mungkin juga menyukai