Perjuangan Mempertahankan Integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 30

Makalah Sejarah

N
Oleh:

Nama: Inayah Salsabilah Gultom

Kelas: XII MIPA 7


SEJARAH PERKEMBANGAN POLITIK DAN
EKONOMI INDONESIA (1948-1965)
PERJUANGAN MEMPERTAHANKAN INTEGRITAS NEGARA KESATUAN REPUBLIK
INDONESIA

1. Kedatangan Tentara Sekutu Diboncengi oleh NICA

Semenjak Jepang menyerah kepada Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945 secara hukum tidak
lagi berkuasa di Indonesia. Pada tanggal 10 September 1945 Panglima Bala Tentara Kerajaan Jepang
di Jawa mengumumkan bahwa pemerintahan akan diserahkan kepada Sekutu dan tidak kepada pihak
Indonesia. Pada tanggal 14 September 1945 Mayor Greenhalgh datang di Jakarta. la merupakan
perwira Sekutu yang pertama kali datang ke Indonesia. Tugas Greenhalgh adalah mempelajari dan
melaporkan keadaan di Indonesia menjelang pendaratan rombongan Sekutu. Pada tanggal 29
September 1945 pasukan Sekutu mendarat di Indonesia antara lain bertugas melucuti tentara Jepang.
Tugas ini dilaksanakan Komando Pertahanan Sekutu di Asia Tenggara yang bernama South East Asia
Command (SEAC) di bawah pimpinan Lord Louis Mountbatten yang berpusat di Singapura. Untuk
melaksanakan tugas itu, Mountbatten membentuk suatu komando khusus yang diberi nama Allied
Forces Netherland East Indies (AFNEI) di bawah Letnan Jenderal Sir Philip Christison.

Adapun tugas AFNEI di Indonesia adalah :

a. menerima penyerahan kekuasaan dari tangan Jepang;

b. membebaskan para tawanan perang dan interniran Sekutu;

c. melucuti dan mengumpulkan orang Jepang untuk kemudian dipulangkan;

d. menegakkan dan mempertahankan keadaan damai untuk kemudian diserahkan kepad


pemerintah sipil; dan

e. menghimpun keterangan dan menuntut penjahat perang.

Pasukan AFNEI mulai mendarat di Jakarta pada tanggal 29 September 1945 yang terdiri dari tiga
divisi yaitu :

1. Divisi India ke-23, di bawah pimpinan Mayor Jendral D.C. Hawthorn yang bertugas untuk
daerah Jawa Barat;
2. Divisi India ke-5, di bawah pimpinan Mayor Jenderal E.C. Marsergh yang bertugas untuk
daerah Jawa Timur;

3. Divisi India ke-26, di bawah pimpinan Mayor Jenderal H.M. Chambers yang bertugas untuk
daerah Sumatra.

Pasukan-pasukan AFNEI hanya bertugas di Sumatera dan Jawa, sedangkan untuk daerah
Indonesia lainnya diserahkan tugasnya kepada angkatan perang Australia .Semula rakyat Indonesia
menyambut dengan senang hati kedatangan Sekutu, karena mereka mengumandangkan perdamaian.
Akan tetapi, setelah diketahui bahwa Netherlands Indies Civil Administration (NICA) di bawah
pimpinan Van der Plass dan Van Mook ikut di dalamnya,sikap rakyat Indonesia menjadi curiga dan
bermusuhan. NICA adalah organisasi yang didirkanorang-orang Belanda yang melarikan diri ke
Australiasetelah Belanda menyerah pada Jepang. Organisasi ini semula didirikan dan berpusat di
Australia. Keadaan bertambah buruk karena NICA mempersenjatai kembali KNIL setelah dilepas
Oleh Sekutu dari tawanan Jepang. Adanya keinginan Belanda berkuasa di Indonesia menimbulkan
pertentangan, bahkan diman-mana terjadi pertempuran melawan NICA dan Sekutu.

2. Kedatangan Belanda (NICA) Berupaya untuk Menegakkan Kembali Kekuasaannya di


Indonesia

NICA berusaha mempersenjatai kembali KNIL (Koninklijk Nerderlands Indisch Leger, yaitu
Tentara Kerajaan Belanda yang ditempatkan di Indonesia). Orang-orang NICA dan KNIL di Jakarta,
Surabaya dan Bandung mengadakan provokasi sehingga memancing kerusuhan. Sebagai pimpinan
AFNEI, Christison menyadari bahwa untuk kelancaran tugasnya diperlukan bantuan dari Pemerintah
Republik Indonesia. Oleh karena itu diadakanlah perundingan dengan pemerintah RI. Christison
mengakui pemerintahan de facto Republik Indonesia pada tanggal 1 Oktober 1945. la tidak akan
mencampuri persoalan yang menyangkut statuskenegaraaan Indonesia. Dalam kenyataannya pasukan
Sekutu sering membuat hura-hara dan tidak menghormati kedaulatan bangsa Indonesia. Gerombolan
NICA sering melakukan teror terhadap pemimpin-pemimpin kita. Dengan demikian bangsa Indonesia
mengetahui bahwa kedatangan Belanda yang membonceng AFNEI adalah untuk menegakkan
kembali kekuasaannya di Indonesia. Oleh karena itu bangsa kita berjuang dengan cara-cara diplomasi
maupun kekuatan senjata untuk melawan Belanda yang akan menjajah kembali. Konflik antara
Indonesia dengan Belanda ini akhirnya melibatkan peran dunia intemasional untuk menyelesaikannya

B. Peran Dunia Internasional dalam penyelesaian konflik Indonesia

1. Peran PBB
Masuknya kembali Belanda ke Indonesia dengan membonceng Sekutu ternyata berakibat
konflik yang berkepanjangan antara Indonesia dengan Belanda. Untuk itu bangsa Indonesia berjuang
dengan cara diplomasi maupun kekuatan senjata. Pada tanggal 25 Maret 1947 Indonesia dan Belanda
menandatangani Persetujuan Linggajati. Meskipun persetujuan Linggajati ditandatangani, namun
hubungan antara Indonesia dengan Belanda semakin memburuk. Belanda melakukan pelanggaran
terhadap persetujuan Linggajati maupun perjanjian gencatan yang diadakan sebelumnya dengan
melancarkan agresi militer terhadap pemerintahan Indonesia pada tanggal 21 Juli 1947. Kota-kota di
Sumatera maupun Jawa digempur dengan pasukan bersenjata lengkap dan modern. Pada tanggal 29
Juli 1947 Pesawat Dakota VT-CLA yang membawa obat-obatan dari Singapura sumbangan Palang
Merah Malaya (Malaysia) kepada Indonesia ditembak oleh pesawat Belanda diYogyakarta. Gugur
dalam peristiwa ini di antaranya Komodor Muda Udara A. Adisutjipto dan Komodor Muda Udara Dr.
Abdurrahman Saleh.

Bagaimana reaksi dunia luar terhadap tindakan Belanda yang melakukan tindakan kekerasan
terhadap Indonesia tersebut? Pada tanggal 31 Juli 1947 India dan Australia mengajukan masalah
Indonesia- Belanda ini kepada Dewan Keamanan PBB. Dalam Sidang Dewan Keamanan pada tanggal
1 Agustus 1947 dikeluarkan resolusi yang mengajak kedua belah pihak untuk menghentikan tembak
menembak, menyelesaikan pertikaian melalui perwasitan (arbitrase) atau dengan cara damai yang
lain. Menindaklanjuti ajakan PBB untuk penyelesaian dengan cara damai, maka Republik Indonesia
menugaskan Sutan Syahrir dan H. Agus Salim sebagai duta yang berbicara dalam sidang Dewan
Keamanan PBB. Sutan Syahrir menyatakan bahwa untuk mengakhiri konflik antara Indonesia dengan
Belanda jalan satu-satunya adalah pembentukan Komisi Pengawas dalam pelaksanaan resolusi Dewan
Keamanan. Ditambahkan pula agar Dewan Keamanan menerima usul Australia secara keseluruhan
dan penarikan pasukan Belanda ke tempat kedudukan sebelum agresi militer. Usul ini didukung oleh
Rusia dan Polandia. Di samping itu Rusia juga mengusulkan pembentukan Komisi Pengawas
gencatan senjata.Usul di atas didukung oleh Amerika Serikat, Australia, Brazilia, Columbia, Polandia,
dan Suriah tetapi diveto Perancis, sebab dianggap terlalu menguntungkan Indonesia.Pada tanggal 25
Agustus 1947 Dewan Keamanan PBB menerima usul Amerika Serikat tentang pembentukan Komisi
Jasa-Jasa Baik (Committee ofGood Offices) untuk membantu menyelesaikan pertikaian Indonesia-
Belanda. Komisi inilah yang kemudian dikenal dengan Komisi Tiga Negara (KTN), yang terdiri atas

a. Australia (diwakili oleh Richard C. Kirby), atas pilihan Indonesia,

b. Belgia (diwakili oleh Paul Van Zeeland), atas pilihan Belanda,

c. Amerika Serikat (diwakili oleh Dr. Frank PorterGraham), atas pilihan Australia dan
Belgia.

Pada tanggal 27 Oktober 1947 KTN tiba di Jakarta untuk melaksanakan tugasnya. Dalam
melaksanakan tugasnya, KTN mengalami kesulitan karena Indonesia maupun Belanda tidak mau
bertemu di wilayah yang dikuasai pihak lainnya. Akhirnya KTN berhasil mempertemukan Indonesia-
Belanda dalam suatu perundingan yang berlangsung pada tanggal 8 Desember 1947 di atas kapal
perang Amerika Serikat “Renville” yang berlabuh di teluk Jakarta. Perundingan ini dikenal dengan
perundingan Renville. Akibat dari perundingan Renville wilayah Rl semakin sempit dan kehilangan
daerah-daerah yang kaya karena diduduki Belanda.

2. Peran Konferensi Asia dan Resolusi Dewan Keamanan PBB

Aksi militer Belanda tanggal 21 Juli 1947 terhadap Republik Indonesia menimbulkan reaksi
dunia luar. Inggris dan Amerika Serikat tidak setuju dengan tindakan Belanda itu, tetapi ragu-ragu
turun tangan. Di antara negara yang tampil mendukung Indonesia adalah Autralia dan India. Australia
mendukung Indonesia karena ingin menegakkan perdamaian dan keamanan dunia sesuai dengan
piagam PBB. Di samping itu Partai Buruh Australia yang sedang berkuasa sangat simpatik terhadap
perjuangan kemerdekaan. Sedangkan India mendukung Indonesia karena solidaritas sama-sama
bangsa Asia juga senasib karena sebagai bangsa yang menentang penjajahan. Hubungan Indonesia
dengan India terjalin baik terbukti pada tahun 1946 Indonesia menawarkan bantuan padi sebanyak
500.000 ton untuk disumbangkan kepada India yang sedang dilanda bahaya kelaparan. Sebaliknya
India juga menawarkan benang tenun, alat-alat pertanian, dan mobil.

Pada waktu Belanda melakukan aksi militernya yang kedua yakni pada tanggal 19 Desember
1948, Perdana Menteri India Pandit Jawaharlal Nehru dan Perdana Menteri Birma (Myanmar) U
Aung San memprakarsai Konferensi Asia. Konferensi ini diselanggarakan di New Delhi dari tanggal
20 - 23 Januari 1949 yang dihadiri oleh utusan dari negara-negara Afganistan, Australia, Burma
(Myanmar), Sri Langka, Ethiopia, India, Iran, Iraq, Libanon, Pakistan, Philipina, Saudi Arabia, Suriah
dan Yaman. Hadir sebagai peninjau adalah wakil dari negara-negara Cina, Nepal, Selandia Baru, dan
Muangthai. Wakil-wakil dari Indonesia yang hadir antara lain Mr. A.A. Maramis, Mr. Utojo, Dr.
Surdarsono, H. Rasjidi, dan Dr. Soemitro Djojohadikusumo.

Konferensi Asia tersebut menghasilkan resolusi yang kemudian disampaikan kepada Dewan
Keamanan PBB. Isi resolusinya antara lain sebagai berikut.

a. Pengembalian Pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta.

b. Pembentukan perintah ad interim yang mempunyai kemerdekaan dalam politik luar negeri,
sebelum tanggal 15 Maret 1949;

c. Penarikan tentara Belanda dari seluruh Indonesia Penyerahan kedaulatan kepada


pemerintah Indonesia Serikat paling lambat pada tanggal 1 Januari 1950.
Dengan adanya dukungan dari negara-negara di Asia, Afrika, Arab, dan Australia terhadap
Indonesia, maka pada tanggal 28 Januari 1949 Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi yang
disampaikan kepada Indonesia dan Belanda sebagai berikut.

a. Mendesak Belanda untuk segera dan sungguh-sungguh menghentikan seluruh operasi militernya
dan mendesak pemerintah RI untuk memerintahkan kesatuan-kesatuan gerilya supaya segera
menghentikan aksi gerilya mereka.

b. Mendesak Belanda untuk membebaskan dengan segera tanpa syarat Presiden dan Wakil
Presiden beserta tawanan politik yang ditahan sejak 17 Desember 1948 di wilayah RI;
pengembalian pemerintahan RI ke Yogyakarta dan membantu pengembalian pegawai-pegawai
RI ke Yogyakarta agar mereka dapat menjalankan tugasnya dalam suasana yang benar-benar
bebas.

c. Menganjurkan agar RI dan Belanda membuka kembali perundingan atas dasar persetujuan
Linggar jati dan Renville, dan terutama berdasarkan pembentukan suatu pemerintah ad interim
federal paling lambat tanggal 15 Maret 1949, Pemilihan untuk Dewan Pembuatan Undang-
Undang Dasar Negara Indonesia Serikat selambat-Iambatnya pada tanggal l Juli 1949.

d. Sebagai tambahan dari putusan Dewan Keamanan, Komisi Tiga Negara diubah menjadi UNCI
(United Nations Commission for Indonesia = Komisi PBB untuk Indonesia dengan kekuasaan
yang lebih besar dan dengan hak mengambil keputusan yang mengikat atas dasar mayoritas.
Tugas UNCI adalah membantu melancarkan perundingan-perundingan untuk mengurus
pengembalian kekuasaan pemerintah Republik; untuk mengamati pemilihan dan berhak
memajukan usul-usul mengenai berbagai hal yang dapat membantu tercapainya penyelesaian.

Resolusi itu dirasa oleh bangsa Indonesia masih ada kekurangan yakni bahwa Dewan Keamanan
PBB tidak mendesak Belanda untuk mengosongkan daerah-daerah RI selain Yogyakarta. Di samping
itu Dewan Keamanan tidak memberikan sanksi atas pelanggaran terhadap resolusinya. Akan tetapi,
bangsa Indonesia sebagai bangsa yang cinta damai maka selalu menaati semua isi resolusi sepanjang
sesuai dengan prinsip Indonesia Merdeka dan sikap berperang untuk mempertahankan diri.

C. Pengaruh Konflik Indonesia terhadap Keberadaan NKRI

1. Terbentuknya negara-negara bagian

Di dalam perjanjian Linggajati yang disetujui pada tanggal 15 November 1946 terdapat butir
tentang rencana pembentukan negara Serikat. Hal ini berarti RI terdiri atas negara-negara bagian.
Oleh karena itu, Belanda menghendaki sebanyak mungkin negara bagian dalam RIS sebagai negara
bonekanya. Negara-negara boneka itu adalah negara-negara bagian yang dibentuk Belanda. Negara-
negara tersebut tergabung dalam BFO (Bijenkomst Federaal Overleg). Yang menjadi ketua BFO
adalah Sultan Hamid II dari Kalimantan Barat. Dengan demikian akan sangat menguntungkan posisi
Belanda dalam RIS.

Belanda menyadari bahwa dilihat dari kondisi yang dimiliki oleh Indonesia yang serba
pluralis itu tentu negara Serikat akan mampu untuk terus menerapkan politik pecah-belahnya. Negara-
negara yang dibentuk Belanda itu adalah sebagai berikut,

a. Negara Indonesia Timur : Negara ini dibentuk berdasarkan Konferensi Denpasar yang
berlangsung tanggal 18 sampai 24 Desember 1946. NIT ini meliputi Sulawesi, Nusa Tenggara,
dan Maluku. Presidennya adalah Tjokorde Gede Raka Sukawati.

b. Negara Sumatera Timur : Negara ini terbentuk tanggal 25 Desember 1947. Yang menjadi wali
negaranya adalah Dr. Mansjur.

c. Negara Madura : Negara ini berdiri pada tanggal 20 Februari 1948. Kepala negaranya adalah
Tjakraningrat.

d. Negara Pasundan : Negara ini berdiri pada tanggal 24 April 1948. Wali negaranya adalah
Wiranatakusumah.

e. Negara Sumatera Selatan : Negara ini terbentuk tanggal 30 Agustus1948. Kepala negaranya
adalah Abdul Malik.

f. Negara Jawa Timur : Negara ini berdiri pada tanggal 26 November 1948. Kepala negaranya
adalah Kusumonegoro (Bupati Banyuwangi).

Disamping enam negara tersebut juga dibentuk daerah-darah istimewa/ otonom yang terdiri atas:
Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Dayak Besar, Banjar, Kalimantan Tengah, Bangka, Kalimantan
Tenggara, Bangka Belitung, Riau, dan Jawa Tengah. Pembentukan negara-negara boneka ini
menunjukkan betapa besar keinginan Belanda untuk mendominasi di dalam RIS yang rencananya
akan dibentuk kemudian.

2. Keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pada Waktu Agresi Militer Belanda
Pertama

Persetujuan Linggajati yang ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947 antara Indonesia-
Belanda sebagai upaya mengatasi konflik melalui jalur diplomasi. Akan tetapi, Belanda mengingkari
perundingan ini dengan jalan melakukan agresi militer pertama pada tanggal 21 Juli 1947. Tujuan
Belanda tidak dapat melakukannya sekaligus, oleh karena itu untuk tahap pertama Belanda harus
mencapai sasaran sebagai berikut.
- Bidang Politik : Pengepungan ibu kota RI dan penghapusan RI dari peta (menghilangkan de
facto RI).

- Bidang Ekonomi: perebutan daerahdaerah penghasil bahan makanan (daerah beras di Jawa Barat
dan Jawa Timur) dan bahan ekspor (perkebunan di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sumatera serta
pertambangan dan perkebunan di Sumatera)

- Bidang Militer: Penghancuran TNI.Jika tahap pertama ini dapat berhasil maka tahap berikutnya
adalah meng-hancurkan RI secara total. Ibu kota RI pada waktu itu terkepung sehingga
hubungan ke luar sulit dan ekonomi RI mengalami kesulitan karena daerah-daerah penghasil
beras jatuh ke tangan Belanda. Akan tetapi untuk menghancurkan TNI mengalami kesulitan
sebab TNI menggunakan siasat perang rakyat semesta dengan bergerilya dan bertahan di desa-
desa. Dengan demikian Belanda hanya menguasai dan bergerak di kota- besar dan jalan-jalan
raya, sedangkan di luar itu masih dikuasai TNI

Dalam Agresi Militer pertama ini walaupun Belanda berhasil menduduki beberapa daerah
kekuasaan RI akan tetapi secara politis Republik Indonesia naik kedudukannya di mata dunia.
Negara-negara lain merasa simpati seperti Liga Arab yang sejak 18 November 1946 mengakui
kemerdekaan Indonesia. Pemerintah Arab Saudi yang semula ragu-ragu mengakui kemerdekaan
Indonesia kemudian mengakui pula. Agresi militer Belanda terhadap Indonesia mengakibatkan
permusuhan negara-negara Arab terhadap Belanda dan menjadi simpati terhadap Indonesia. Dengan
demikian dapat menguatkan kedudukan RI terutama di kawasan penting secara politik yaitu Timur
Tengah.

Dengan adanya agresi militer pertama maka Dewan Keamanan PBB ikut campur tangan dengan
membentuk Komisi Tiga Negara. Melalui serangkaian perundingan yakni Perundingan Renville dan
Perundingan Kaliurang merupakan upaya untuk mengatasi konflik. Sebagai negara yang cinta damai
Indonesia bersedia berunding, namun Belanda menjawab lagi dengan kekerasan yakni melakukan
agresinya yang kedua.

3. Keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pada Waktu Agresi Militer Belanda
kedua

Pada tanggal 18 Desember 1948, pukul 23.30, Dr. Beel mengumumkan sudah tidak terikat
lagi dengan Perundingan Renville. Pada tanggal 19 Desember 1948, pukul 06.00, Belanda
melancarkan agresinya yang kedua dengan menggempur ibu kota RI, Yogyakarta. Dalam peristiwa ini
pimpinan- pimpinan RI ditawan oleh Belanda. Mereka adalah Presiden Soekarno, Wakil Presiden
Moh. Hatta, Syahrir (Penasihat Presiden) dan sejumlah menteri termasuk Menteri Luar Negeri Agus
Salim. Presiden Soekarno diterbangkan ke Prapat di tepi Danau Toba dan Wakil Presiden Moh. Hatta
ke Bangka. Presiden Soekarno kemudian dipindahkan ke Bangka. Dengan ditawannya pimpinan-
pimpinan negara RI dan jatuhnya Yogyakarta, Dr. Beel menyatakan bahwa Republik Indonesia tidak
ada lagi. Belanda mengirabahwa dari segi militer aksi itu berhasil dengan gemilang. Belanda
menyatakan demikian karena akan membentuk Pemerintah Federal. Sementara tanpa keikutsertaan
Republik Indonesia. Padahal Republik Indonesia tetap ada dengan dibentuknya Pemerintah Darurat
Republik Indonesia. Sebab sebelum pasukan pasukan Belanda tiba, pemerintah RI mengirimkan
telegram kepada Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran yang sedang berkunjung ke
Sumatera untuk mendirikan Pemerintah Darurat RI (PDRI). Seandainya Syafruddin tidak dapat
menjalankan tugas, maka Presiden Soekarno menugaskan kepada Dr. Sudarsono,L.N. Palar, dan Mr.
A.A. Maramis yang sedang di New Delhi untuk membentuk Pemerintah Pelarian (Exile Government)
di India. Pada tanggal 19 Desember 1948 Syafruddin Prawiranegara berhasil mendirikan Pemerintah
Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi, Sumatera. Sementara itu sampai dengan Januari
1949, Belanda menambah pasukannya ke daerah RI untuk menunjukkan bahwa mereka berkuasa.
Akan tetapi kenyataannya Belanda hanya menguasai di kota-kota dan jalan raya dan Pemerintahan RI
masih berlangsung sampai di desa-desa. Rakyat dan TNI bersatu berjuang melawan Belanda dengan
siasat perang gerilya. TNI di bawah pimpinan Jenderal Sudirman menyusun kekuatan yang kemudian
melancarkan serangan terhadap Belanda. Alat-alat perhubungan seperti kawat-kawat telepon
diputuskan, jalan-jalan kereta api di rusak, jembatan: dihancurkan agar tidak dapat digunakan
Belanda. Jenderal Sudirman walaupun dalam keadaan sakit masih memimpin perjuangan dengan
bergerilya di Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan menjelajahi daerah-daerah pedesaan, naik gunung
turun gunung. Route perjalanan yang ditempuh dari Yogyakarta, Surakarta, Madiun, dan Kediri.
Perhatikan route gerilya Panglima Besar Jenderal Sudirman berikut ini!

Pada tanggal 23 Desember 1948 Pemerintah Darurat RI di Sumatera mengirimkan perintah


Kepada wakil RI di PBB lewat radio yang isinya bahwa pemerintah RI bersedia memerintahkan
penghentian tembak menembak dan memasuki meja perundingan. Ketika Belanda tidak
mengindahkan Resolusi Dewan Keamanan PBB tanggal 28 Januari 1949 tentang penghentian tembak
menembak dan mereka yakin bahwa R1 tinggal namanya, dilancarkanlah Serangan Umum 1 Maret
1949 sebagai bukti bahwa RI masih ada dan TNI masih kuat. Dalam serangan ini pihak RI berhasil
memukul mundur kedudukan Belanda di Yogyakarta selama 6 jam. Dengan kenyataan-kenyataan di
atas membuktikan bahwa pada waktu konflik Indonesia-Belanda maka Negara Kesatuan RI tetap ada
walaupun pihak Belanda menganggap RI sudah tidak ada.

D. Aktifitas Diplomasi di Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan

Salah satu bentuk perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan adalah
perjuangan diplomasi, yakni perjuangan melalui meja perundingan. Ketika Belanda ingin
menanamkan kembali kekuasaannya di Indonesia temyata selalu mendapat perlawanan dari bangsa
Indonesia. Oleh karena itu pemimpin Sekutu berusaha mempertemukan antara pemimpin Indonesia
dengan Belanda melalui perundingan-perundingan sebagai berikut :

1. Pertemuan Soekarno-Van Mook

Pertemuan antara wakil-wakil Belanda dengan para pemimpin Indonesia diprakarsai oleh
Panglima AFNEI Letnan Jenderal Sir Philip Christison pada tanggal 25 Oktober 1945. Dalam
pertemuan tersebut pihak Indonesia diwakili oleh Soekarno, Mohammad Hatta, Ahmad Sobardjo, dan
H. Agus Salim, sedangkan pihak Belanda diwakili Van Mook dan Van Der Plas. Pertemuan ini
merupakan pertemuan untuk menjajagi kesepakatan kedua belah pihak yang berselisih. Presiden
Soekamo mengemukakan kesediaan Pemerintah Republik Indonesia untuk berunding atas dasar
pengakuan hak rakyat Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri. Sedangkan Van Mook
mengemukakan pandangannya mengenai masalah Indonesia di masa depan bahwa Belanda ingin
menjalankan untuk Indonesia menjadi negara persemakmuran berbentuk federal yang memiliki
pemerintah sendiri di lingkungan kerajaan Belanda. Yang terpenting menurut Van Mook bahwa
pemerintah Belanda akan memasukkan Indonesia menjadi anggota Perserikatan Bangsa-
Bangsa.Tindakan Van Mook tersebut disalahkan oleh Pemerintah Belanda terutama oleh Parlemen,
bahkan Van Mook akan dipecat dari jabatan wakil Gubernur JenderalHindia Belanda (Indonesia).

2. Pertemuan Sjahrir-Van Mook

Pertemuan ini dilaksanakan pada tanggal 17 November 1945 bertempat di Markas Besar
Tentara Inggris di Jakarta ( Jalan Imam Bonjol No.1). Dalam pertemuan ini pihak Sekutu diwakili
olehLetnan Jenderal Christison, pihak Belanda oleh Dr. H.J. Van Mook, sedangkan delegasi Republik
Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Sebagai pemrakarsa pertemuan ini,Christison
bermaksud mempertemukan pihak Indonesia dan Belanda di samping menjelaskan maksud
kedatangan tentaraSekutu, akan tetapi pertemuan ini tidak membawa hasil. Pertemuan-pertemuan
yang diprakarsai oleh Letnan Jenderal Christison selalu mengalami kegagalan.

Akan tetapi pemerintah Inggris terus berupaya mempertemukan Indonesia dengan Belanda
bahkan ditingkatkan menjadi perundingan. Untuk mempertemukan kembali pihak Indonesia dengan
pihak Belanda, pemerintah Inggris mengirimkan seorang diplomat ke Indonesia yakni Sir Archibald
Clark Kerr sebagai penengah. Pada tanggal 10 Februari 1946 perundingan Indonesia-Belanda dimulai.
Pada waktu itu Van Mook menyampaikan pernyataan politik pemerintah Belanda antara lain sebagai
berikut.
(1) Indonesia akan dijadikan negara Commonwealth berbentuk federasi yang memiliki pemerintahan
sendiri di dalam lingkungan kerajaan Belanda.

(2) Urusan dalam negeri dijalankan Indonesia sedangkan urusan luar negeri oleh pemerintah Belanda.

Selanjutnya pada tanggal 12 Maret 1946 Sjahrir menyampaikan usul balasan yang berisi

antara lain sebagai berikut.

(1) Republik Indonesia harus diakui sebagai negara yang berdaulat penuh atas wilayah bekas Hindia
Belanda.

(2) Federasi Indonesia-Belanda akan dilaksanakan pada masa tertentu dan urusan luar negeri dan
pertahanan diserahkan kepada suatu badan federasi yang terdiri atas orang-orang Indonesia dan
Belanda. Usul dari pihak Indonesia di atas tidak diterima oleh pihak Belanda dan selanjutnya
Van Mook secara pribadi mengusulkan untuk mengakui Republik Indonesia sebagai wakil Jawa
untuk mengadakan kerja sama dalam rangka pembentukan negara federal dalam lingkungan
Kerajaan Belanda.

Pada tanggal 27 Maret 1946 Sutan Sjahrir mengajukan usul baru kepada Van Mook antara lain
sebagai berikut.

(1) Supaya pemerintah Belanda mengakui kedaulatan de facto Rl atas Jawa dan Sumatera.

(2) Supaya RI dan Belanda bekerja sama membentuk Republik Indonesia Serikat (RIS).

(3) RIS bersama-sama dengan Nederland, Suriname, Curacao, menjadi peserta dalam ikatan negara
Belanda.

3. Perundingan di Hooge Veluwe

Perundingan ini dilaksanakan pada tanggal 14 - 25 April 1946 di Hooge Veluwe (Negeri
Belanda), yang merupakan kelanjutan dari pembicaraan-pembicaraan yang telah disepakati Sjahrir
dan Van Mook. Para delegasi dalam perundingan ini adalah:/

(1) Mr. Suwandi, dr. Sudarsono, dan Mr. A.K. Pringgodigdo yang mewakili pihak pemerintah RI;

(2) Dr. Van Mook, Prof. Logemann, Dr. Idenburgh, Dr. Van Royen, Prof. Van Asbeck, Sultan Hamid
II, dan Surio Santosa yang mewakili Belanda, dan
(3) Sir Archibald Clark Kerr mewakili Sekutu sebagai penengah.

Perundingan yang berlangsung di Hooge Veluwe ini tidak membawa hasil sebab Belanda
menolak konsep hasil pertemuan Sjahrir-Van Mook-Clark Kerr di Jakarta. Pihak Belanda tidak
bersedia memberikan pengakuan de facto kedaulatan RI atas Jawa dan Sumatra tetapi hanya Jawa dan
Madura serta dikurangi daerah-daerah yang diduduki oleh Pasukan Sekutu. Dengan demikian untuk
sementara waktu hubungan Indonesia-Belanda terputus, akan tetapi Van Mook masih berupaya
mengajukan usul bagi pemerintahannya kepada pihak RI.

4. Perundingan Linggajati

Walaupun Perundingan Hooge Veluwe mengalami kegagalan akan tetapi prinsipnya bentuk-bentuk
kompromi antara Indonesia dan Belanda sudah diterima dan dunia memandang bahwa bentuk-bentuk
tersebut sudah pantas. Oleh karena itu pemerintah Inggris masih memiliki perhatian besar terhadap
penyelesaian pertikaian Indonesia-Belanda dengan mengirim Lord Killearn sebagai pengganti Prof
Schermerhorn. Pada tanggal 7 Oktober 1946 Lord Killearn berhasil mempertemukan
wakilwakilpemerintah Indonesia dan Belanda ke meja perundingan yang berlangsung di rumah
kediaman Konsul Jenderal Inggris di Jakarta. Dalam perundingan ini masalahgencatan senjata yang
tidak mencapai kesepakatan akhirnya dibahas lebih lanjut oleh panitia yang dipimpin oleh Lord
Killearn. Hasil kesepakatan di bidang militer sebagai berikut:

(1) Gencatan senjata diadakan atas dasar kedudukan militer pada waktu itu dan atas dasar kekuatan
militer Sekutu serta Indonesia.

(2) Dibentuk sebuah Komisi bersama Gencatan Senjata untuk masalah-masalah teknis pelaksanaan
gencatan senjata.

Dalam mencapai kesepakatan di bidang politik antara Indonesia dengan Belanda diadakanlah
Perundingan Linggajati. Perundingan ini diadakan sejak tanggal 10 November 1946 di Linggajati,
sebelah selatan Cirebon. Delegasi Belanda dipimpin oleh Prof. Scermerhorn, dengan anggotanya Max
Van Poll, F. de Baer dan H.J. Van Mook. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Sjahrir,
dengan anggotaanggotanya Mr. Moh. Roem, Mr. Amir Sjarifoeddin, Mr. Soesanto Tirtoprodjo, Dr.
A.K. Gani, dan Mr. Ali Boediardjo. Sedangkan sebagai penengahnya adalah Lord Killearn, komisaris
istimewa Inggris untuk Asia Tenggara. Hasil Perundingan Linggajati ditandatangani pada tanggal 25
Maret 1947 di Istana Rijswijk (sekarang Istana Merdeka) Jakarta, yang isinya adalah sebagai berikut.
(1) Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang
meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura. Belanda harus sudah meninggalkan daerah de facto
paling lambat tanggal 1 Januari 1949.

(2) Republik Indonesia dan Belanda akan bekerjasama dalam membentuk Negara Indonesia
Serikat, dengan nama Republik Indonesia Serikat, yang salah satu negara bagiannya adalah
Republik Indonesia. Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni
Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya. Meskipun isi perundingan
Linggajati masih terdapat perbedaan penafsiran antara Indonesia dengan Belanda, akan
tetapi kedudukan Republik Indonesia di mata Internasional kuat karena Inggris dan
Amerika memberikan pengakuan secara de facto.

5. Perundingan Renville

Perbedaan penafsiran mengenai isi Perundingan Linggajati semakin memuncak dan akhirnya
Belanda melakukan Agresi Militer pertama terhadap Indonesia pada tanggal 21 Juli 1947. Atas
prakasa Komisi Tiga Negara (KTN), maka berhasil dipertemukan antara pihak Indonesia dengan
Belanda dalam sebuah perundingan.Perundingan ini dilakukan di atas kapal pengangkut pasukan
Angkatan Laut Amerika Serikat “USS Renville” yang sedang berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok,
Jakarta.

Perundingan Renville ini dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 di mana pihak Indonesia
mengirimkan delegasi yang dipimpin oleh Mr. Amir Syarifuddin, sedangkan pihak Belanda dipimpin
oleh R. Abdulkadir Widjojoatmodjo, seorang Indonesia yang memihak Belanda. Hasil perundingan
Renville baru ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948 yang intinya sebagai berikut.

(1) Pemerintah RI harus mengakui kedaulatan Belanda atas Hindia Belanda sampai pada
waktu yang ditetapkan oleh Kerajaan Belanda untuk mengakui Negara Indonesia Serikat
(NIS).

(2) Akan diadakan pemungutan suara untuk menentukan apakah berbagai penduduk di
daerah-daerah Jawa, Madura, dan Sumatera menginginkan daerahnya bergabung dengan
RI atau negara bagian lain dari Negara Indonesia Serikat.

(3) Tiap negara (bagian) berhak tinggal di luar NIS atau menyelenggarakan hubungan
khusus dengan NIS atau dengan Nederland. Akibat dari perundingan Renville ini
wilayah Republik Indonesia yang meliputi Jawa, Madura, dan Sumatera menjadi lebih
sempit lagi.
Akan tetapi, RI bersedia menandatangani perjanjian ini karena beberapa alasan di antaranya
adalah karena persediaan amunisi perang semakin menipis sehingga kalau menolak berarti belanda
akan menyerang lebih hebat. Di samping itu juga tidak adanya jaminan bahwa Dewan Keamanan
PBB dapat menolong serta RI yakin bahwa pemungutan suara akan dimenangkan pihak Indonesia.

6. Persetujuan Roem-Royen

Ketika Dr. Beel menjabat sebagai Wakil Tinggi Mahkota Belanda di Indonesia, ia
mempunyai pandangan yang berbeda dengan Van Mook tentang Indonesia. Ia berpendirian bahwa di
Indonesia harus dilaksanakan pemulihan kekuasaan pemerintah kolonial dengan tindakan militer.
Oleh karena itu pada tanggal 18 Desember 1948 Dr. Beel mengumumkan tidak terikat dengan
Perundingan Renville dan dilanjutkan tindakan agresi militernya yang kedua pada tanggal 19
Desember 1948 pada pukul 06.00 pagi dengan menyerang ibu kota Rl yang berkedudukan di
Yogyakarta. Dengan peristiwa ini Komisi Tiga Negara (KTN) diubah namanya menjadi Komisi
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia (United Nations Commission for Indonesian atau
UNCI). Komisi ini bertugas membantu melancarkan perundinganperundingan antara Indonesia
dengan Belanda. Pada tanggal 7 Mei 1949 Mr. Moh. Roem selaku ketua delegasi Indonesia dan Dr.
Van Royen selaku ketua delegasi Belanda yang masing-masing membuat pernyataan sebagai berikut.

(1) Pernyataan Mr. Moh Roem.

a. Mengeluarkan perintah kepada “Pengikut Republik yang bersenjata”untuk menghentikan perang


gerilya

b. Bekerja sama dalam hal mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan.

c. Turut serta dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag dengan maksud untuk mempercepat
“penyerahan” kedaulatan yang sungguh-sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat,
dengan tidak bersyarat.

(2) Pernyataan Dr. Van Royen

a. Menyetujui kembalinya Pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta.

b. Menjamin penghentian gerakan-gerakan militer dan pembebasan semua tahanan politik.

c. Tidak akan mendirikan atau mengakui negara-negara yang berada di daerahdaerah yang
dikuasai RI sebelum tanggal 19 Desember 1948 dan tidak akan meluaskan negara atau daerah
dengan merugikan Republik
d. Menyetujui adanya Republik Indonesia sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat.e.
Berusaha dengan sungguh-sungguh agar Konferensi Meja Bundar segera diadakan setelah
Pemerintah RI kembali ke Yogyakarta.

7. Konferensi Meja Bundar (KMB)

Salah satu pernyataan Roem-Royen adalah segera diadakan Konferensi Meja Bundar (KMB).
Sebelum dilaksanakan KMB diadakanlah Konferensi Inter Indonesia antara wakil-wakil Republik
Indonesia dengan BFO (Bijjenkomst voor Federaal Overleg) atau Pertemuan Permusyawarahan
Federal. Konferensi ini berlangsung dua kali yakni tanggal 19 - 22 Juli 1949 di Yogyakarta dan pada
tanggal 31 Juli - 2 Agustus 1949 di Jakarta. Salah satu keputusan penting dalam konferensi ini ialah
bahwa BFO menyokong tuntutan Republik Indonesia atas penyerahan kedaulatan tanpa ikatan ikatan
politik ataupun ekonomi.

Pada tanggal 23 Agustus sampai 2 November 1949 diadakanlah Konferensi Meja Bundar di
Den Haag (Belanda). Sebagai ketua KMB adalah Perdana Menteri Belanda, Willem Drees. Delegasi
RI dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta, BFO di bawah pimpinan Sultan Hamid II dari Pontianak, dan
delegasi Be1anda dipimpin Van Maarseveen sedangkan dari UNCI sebagai mediator dipimpin oleh
Chritchley. Pada tanggal 2 November 1949 berhasil ditandatangani persetujuan KMB. Isi dari
persetujuan KMB adalah sebagai berikut.

1. Belanda mengakui kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat pada akhir bulan Desember
1949.

2. Mengenai Irian Barat penyelesaiannya ditunda satu tahun setelah pengakuan kedaulatan.

3. Antara RIS dan kerajaan Belanda akan diadakan hubungan Uni Indonesia Belanda yang akan
diketuai Ratu Belanda.

4. Segera akan dilakukan penarikan mundur seluruh tentara Belanda.

5. Pembentukan Angkatan Perang RIS (APRIS) dengan TNI sebagai intinya.

Dari hasil KMB itu dinyatakan bahwa pada akhir bulan Desember 1949 Indonesia diakui
kedaulatannya oleh Belanda. Oleh karena itu pada tanggal 27 Desember 1949 diadakanlah
penandatanganan pengakuan kedaulatan di negeri Belanda. Pihak Belanda ditandatangani oleh Ratu
Juliana, Perdana Menteri Dr. Willem Drees, Menteri Seberang Lautan Mr. AM . J.A Sassen.
Sedangkan delegasi Indonesia dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta. Pada waktu yang sama di Jakarta, Sri
Sultan Hamengkubuwono IX dan Wakil Tertinggi Mahkota AH.J. Lovink menandatangani naskah
pengakuan kedaulatan Dengan diakuinya kedaulatan RI oleh Belanda ini maka Indonesia berubah

bentuk negaranya berubah menjadi negara serikat yakni Republik Indonesia Serikat (RI)
Tokoh yang berjuangan mempertahankan keutuhan bangsa dan negara
pada masa 1948-1965 yaitu sebagai berikut.

1. Jenderal Gatot Soebroto

Jenderal Gatot Soebroto (lahir di Banyumas, Jawa Tengah, 10 Oktober 1907 - Meninggal di
Jakarta, 11 Juni 1962 pada umur 54 tahun) adalah tokoh perjuangan militer indonesia dalam merebut
kemerdakaan dan juga pahlawan nasional indonesia. Ia dimakamkan di Ungaran, kabupaten
Semarang. Pada tahun 1962, Soebroto dinobatkan sebagai pahlawan Kemerdekaan Nasional menurut
SSK Presiden RI No.222 tanggal 18 Juni 1962. Ia juga merupakan aah angkat daro Bob Hasan.
Seorang pengusaha ternama dan mantan menteri Indonesia pada era Soeharto.

Setamat pendidikan dasar di HIS, Gatot Subroto tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih
tinggi, namun memilih menjdai pegawai. Namun tak lama kemudian pada tahun 1923 memasuki
sekolah militer KNIL di Magelang. Setelah Jepang menduduki Indonesia, serta merta Gatot Subroto
pun mengikuti pendidikan PETA di Bogor. Setelah kemerdekaan, Gatot Subroto memilih masuk
Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan kariernya berlanjut hingga sebagai Panglima Divisi II,
Panglima Corps Polisi Militer, dan Gubernur Militer Daerah Surakarta dan Sekitarnya.

Setelah ikut berjuang dalam perang kemerdekaan, pada tahun 1949 Gatot Subroto diangkat
menjadi Panglima Tentara dan Teritorium IV I Diponegoro. Pada tahun 1953, ia sempat
mengundurkan diri dari dinas militer, namun tiga tahun kemudian diaktifkan kembali sekaligus
diangkat menjdai Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (Wakasad).Ia adalah penggagas akan perlunya
sebuah akademi militer gabungan (AD, AU dan AL) untuk membina para perwira muda. Gagasan
tersebut diwujudkan dengan pembentukan Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
(AKABRI) pada tahun 1965.

2. Abdul Haris Nasution

Jenderal Besar TNI Purn.Abdul Haris Nasution lahir di kotanopan, Sumatra Utara pada tanggal 3
Desember 1918. Setelah menamatkan pendidikan di Hollands Inlandse School (HIS) di Kotanopan,
Nasution diterima di Holland Inlandse Kweekschool (HIK) Bukittinggi, sekolah guru yang disebut
dengan "Sekolah Raja". Nasution adalah angkatan terakhir di HIK bukittinggi karena sesudahnya
sekolah ini ditutup akibat politik penghematan yang dijalankan oleh pemerintah Belanda.

Ketika belanda membuka sekolah perwira cadangan bagi pemuda Indonesia tahun 1940,
Nasution ikut mendaftar. Ia kemudian menjadi pembantu letnan di Surabaya. Pada tahun 1942, ia
mengalami pertempuran pertamanya saat melawan jepang di Surabaya. Setelah kekalahan Jepang
pada Perang Dunia II, Nasution bersama para pemuda eks-PETA mendirikan Badan Keamanan
Rakyat. Pada maret 1946. ia diangkat menjadi Panglima Divisi III/Priangan. Mei 1946, ia dilantik
Presiden Soekarno sebagai panglima Divisi Siliwangi. Pada Februari 1948, ia menjadi wakil panglima
besar TNI (Orang kedua setelh Jenderal Soedirman) dan diangkat menjadi Kepada Staf TNI Angkatan
Darat pada akhir tahun 1949.

Sebagai tokoh seorang panglima militer, Nasution sangat dikenal sebagai ahli perang Gerilya.
Pak Nas demkian sebutanya dikenal juga sebagai penggagas difungsi ABRI. Orde Baru yang ikut
didirikannya (walaupun ia hanya sesaat saja berperan didalamnya) telah menafsirkan konsep
dwifungsi tersebut kedalam peran ganda militer yang sangat represif dan eksesif. Selain konsep
dwifungsi ABRI, ia juga dikenal sebagai peletak dasar perang Gerilya. Gagasan perang gerilya
dituangkan dalam bukunya yang fenomenal, Fundamentas of Guerrilla Warfare.

Masa tugasnya sebagai panglima siliwangi bagi Nasution merupakan tonggak dalam
kehidupan pribadinya. Ia melamar sunarti, Putri Oondokusumo yang sudah dikenalnya sejak menjadi
taruna Akademi Militer di tahun 1940. Sunarti dinikahinya tanggal 30 Mei 1947 hingga lahirlah dua
orang putri. Putri pertama lahir pada tahun 1952 dan yang kedua lahir pada tahun 1960. Putri yang
kedua ini, Ade Irma Suryani Nasution, tewas pada usia lima tahun saat peristiwa G 30 S/PKI.

3. Letkol Slamet Riyadi

Menjelang proklamasi 1945 Slamet Riyadi melarikan sebuah kapal kayu milik jepang untuk
melakukan perlawanan terhadap Jepang. Setelah diangkat sebagai Komandan Batalyon Resimen I
Divisi X ia berhasil menggalang para pemuda, menghimpun kekuatan pejuang dari pemuda-pemuda
terlatih eks Peta/Heiho/Kaigun dan merekrutnya dalam kekuatan setingkat Batalyon, yang disiapkan
untuk mempelopori perebutan kekuasaan politik dan militer di kota Solo dari tangan Jepang.

Slamet Riyadi kemudian diangkat menjadi komandan Batalyon XIV dibawah divisi IV.
Panglima Divisi IV adalah Mayor Jenderal Soetarto dan divisi ini dikenal dengan nama Divisi
penembahan Senopati. Batalyon XIV merupakan kesatuan militer yang dibanggakan. Pasukannya
terkenal dengan sebutan anak buat "Pak Met". Selama agresi Belanda II, pasukannya sangat aktif
melakukan serangan gerilya terhadap kedudukan militer Belanda, pertempran demi pertempuran
membuat sulit pasukan Belanda dalam menghadapi taktik gerilya yang dijalankan Slamet Riyadi.
Namanya mulai disebut-sebut karena hampir di setiap perlawanan di kota Solo selalu berada dalam
komandonya. Sewaktu pecah pemberontakan PKI Madiun. Batalyon Slamet Riyadi sedang berada di
luar kota Solo, yang kemudian diperintahkan secara langsung oleh Gubernur Militer II - Kolonel
Gatot Soebroto untuk melakukan penumpasan ke arah Utara, berdampingan dengan pasukan lainnya,
operasi ini berjalan dengan gemilang.
Pada tanggal 10 juli 1950, Letnan Kolonel Slamet Riyadi, ditugaskan dalam operasi
penumpasan RMS di Maluku dan Andi Azis di Sulawesi Selatan bersama Panglima TT VII - Kolonel
Kawilarang. Dalam tugas inilah ia gugur muda dalam usia 23 tahun. Ia tertembak di depan benteng
Victoria setelah berusaha merebutnya.

SISTEM DAN STRUKTUR POLITIK DAN EKONOMI MASA DEMOKRASI LIBERAL


(1950-1959)

Setelah dibubarkannya RIS, sejak tahun 1950 RI Melaksanakan demokrasi parlementer-liberal


dengan mencontoh sistem parlementer barat dan masa ini disebut Masa Demokrasi Liberal. Indonesia
sendiri pada tahun 1950an terbagi menjadi 10 Provinsi yang mempunyai otonomi berdasarkan
Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950) yang juga bernafaskan liberal.

Secara umum, demokrasi liberal adalah salah satu bentuk sistem pemerintahan yang berkiblat
pada demokrasi. Demokrasi liberal berarti demokrasi yang liberal. Liberal disini dalam artian
perwakilan atau representatif.Dengan pelaksanaan konstitusi tersebut, pemerintahan Republik
Indonesia dijalankan oleh suatu dewan menteri (kabinet) yang dipimpin oleh seorang perdana menteri
dan bertanggung jawab kepada parlemen (DPR). Sistem multi partai pada masa demokrasi liberal
mendorong untuk lahirnya banyak partai-partai politik dengan ragam ideologi dan tujuan politik.

Demokrasi Liberal sendiri berlangsung selama hampir 9 tahun, dalam kenyataanya bahwa
UUDS 1950 dengan sisten Demokrasi Liberal tidak cocok dan tidak sesuai dengan kehidupan politik
bangsa Indonesia yang majemuk.

Pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengumumkan dekrit presiden mengenai
pembubaran Dewan Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 serta tidak berlakunya UUDS
1950 karena dianggap tidak cocok dengan keadaan ketatanegaraan Indonesia.

Pelaksanaan Pemerintahan

Tahun 1950-1959 merupakan masa memanasnya partai-partai politik pada pemerintahan


Indonesia. Pada masa ini terjadi pergantian kabinet, partai-partai politik terkuat mengambil alih
kekuasaan. PNI dan Masyumi merupakan partai yang terkuat dalam DPR (Parlemen). Dalam waktu
lima tahun (1950 -1955) PNI dan Masyumi secara bergantian memegang hegemoni poltik dalam
empat kabinet yang pernah berlaku. Adapun susunan kabinetnya sebagai berikut;

1. Kabinet Natsir (6 September 1950 - 21 Maret 1951)

Kabiet ini dilantik pada tanggal 7 September 1950 dengan Mohammad Natsir dari Partai Masyumi
sebagai perdana menteri. Kabinet Natsir merupakan koalisi yang dipimpin oleh partai Masyumi
bersama dengan PNI. Kabinet ini memiliki struktur yang terdiri dari tokoh – tokoh terkenal duduk di
dalamnya, seperti Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Mr.Asaat, Ir.Djuanda, dan Prof Dr. Soemitro
Djojohadikoesoemo.

Program pokok dari Kabinet Natsir adalah:

Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman.

Mencapai konsolidasi dan menyempurnakan susunan pemerintahan.

Menyempurnakan organisasi Angkatan Perang.

Mengembangkan dan memperkuat ekonomi rakyat.

Memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat.

Dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, kabinet Natsir mendapatkan tugas utama yaitu proses
integrasi Irian Barat. Akan tetapi, Kabinet Natsir kemudian mendapatkan kendala yaitu pada masa
kabinet ini terjadi banyak pemberontakan seperti: Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan
APRA, Gerakan Republik Maluku Selatan (RMS).

Kabinet Natsit memiliki keberhasilan dalam upaya perundingan antara Indonesia-Belanda


untuk pertama kalinya mengenai masalah Irian Barat.Dalam bidang ekonomi kabinet ini
memperkenalkan sistem ekonomi Gerakan Benteng yang direncanakan oleh Menteri Ekonomi,
Sumitro Djojohadikusumo. Program ini bertujuan untuk mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi
struktur ekonomi nasional (pembangunan ekonomi Indonesia). Programnya adalah: Menumbuhkan
kelas pengusaha dikalangan bangsa Indonesia.Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu
diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi nasional.Para pengusaha
Indonesia yang bermodal lemah perlu dibimbing dan diberikan bantuan kredit.Para pengusaha
pribumi diharapkan secara bertahap akan berkembang menjadi maju.Gagasan Sumitro ini dituangkan
dalam program Kabinet Natsir dan Program Gerakan Benteng dimulai pada April 1950. Hasilnya
selama 3 tahun (1950-1953) lebih kurang 700 perusahaan bangsa Indonesia menerima bantuan kredit
dari program ini.

Tujuan program ini sendiri tidak dapat tercapai dengan baik meskipun anggaran yang
digelontorkan pemerintah cukup besar. Kegagalan program ini disebabkan karena :

Para pengusaha pribumi tidak dapat bersaing dengan pengusaha non pribumi dalam kerangka
sistem ekonomi liberal.

Para pengusaha pribumi memiliki mentalitas yang cenderung konsumtif.

Para pengusaha pribumi sangat tergantung pada pemerintah.


Para pengusaha kurang mandiri untuk mengembangkan usahanya.

Para pengusaha ingin cepat mendapatkan keuntungan besar dan menikmati cara hidup mewah.

Para pengusaha menyalahgunakan kebijakan dengan mencari keuntungan secara cepat dari
kredit yang mereka peroleh.

Kabinet Natsir sendiri kemudian berakhir disebabkan oleh adanya mosi tidak percaya dari PNI
di Parlemen Indonesia menyangkut pencabutan Peraturan Pemerintah mengenai DPRD dan DPRDS.
PNI menganggap peraturan pemerintah No. 39 th 1950 mengenai DPRD terlalu menguntungkan
Masyumi. Mosi tersebut disampaikan kepada parlemen tanggal 22 Januari 1951 dan memperoleh
kemenangan, sehingga pada tanggal 21 Maret 1951 Natsir harus mengembalikan mandatnya kepada
Presiden.

2. Kabinet Sukiman (27 April 1951 – 3 April 1952)

Setelah Kabinet Natsir mengembalikan mandatnya pada presiden, presiden menunjuk Sartono
(Ketua PNI) menjadi formatur, namun gagal, sehingga ia mengembalikan mandatnya kepada presiden
setelah bertugas selama 28 hari (28 Maret-18 April 1951). Presiden Soekarno kemudian menunjukan
Sidik Djojosukatro dari PNI dan Soekiman Wijosandjojo dari Masyumi sebagai formatur dan berhasil
membentuk kabinet koalisi Masyumi-PNI. Kabinet ini terkenal dengan nama Kabinet Soekiman-
Soewirjo.

Program pokok dari Kabinet Soekiman adalah:

Menjamin keamanan dan ketentraman

Mengusahakan kemakmuran rakyat dan memperbaharui hukum agraria agar sesuai dengan
kepentingan petani.

Mempercepat persiapan pemilihan umum.

Menjalankan politik luar negeri secara bebas aktif serta memasukkan Irian Barat ke dalam
wilayah RI secepatnya.

Menyiapkan undang – undang tentang pengakuan serikat buruh, perjanjian kerja sama,
penetapan upah minimum, dan penyelesaian pertikaian buruh.

Kabinet ini mengutamakan skala prioritas terhadap peningkatan keamanan dan ketentraman
negara. RMS. dan lainnya. Akan tetapi kabinet ini kemudian mengalami sandungan setelah parlemen
mendengar bahwa kabinet ini menjalin kerja sama dengan blok barat, yaitu Amerika Serikat.
Kabinet Sukiman ditenggarai melakukan Pertukaran Nota Keuangan antara Mentri Luar
Negeri Indonesia Soebardjo dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle Cochran. Mengenai
pemberian bantuan ekonomi dan militer dari pemerintah Amerika kepada Indonesia berdasarkan
ikatan Mutual Security Act (MSA).

MSA sendiri kemudian dinilai mengkhianati politik luar negeri bebas dan aktif Indonesia
karena menerima MSA sama saja dengan ikut serta dalam kepentingan Amerika. Tindakan Kabinet
Sukiman tersebut dipandang telah melanggar politik luar negara Indonesia yang bebas aktif karena
lebih condong ke blok barat bahkan dinilai telah memasukkan Indonesia ke dalam blok barat.

Kabinet Sukiman sendiri memiliki hubungan yang kurang harmonis dengan militer dan
kurang prograsif menghadapi pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan.
Parlemen pada akhirnya menjatuhkan mosi tidak percaya kepada Kabinet Sukiman. Sukiman
kemudian harus mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno.

Kabinet Wilopo (3 April 1952 – 3 Juni 1953)

Pada tanggal 1 Maret 1952, Presiden Soekarno Wilopo dari PNI sebagai formatur. Setelah
bekerja selama dua minggu berhasil dibentuk kabinet baru di bawah pimpinan Perdana Mentari
Wilopo, sehingga bernama Kabinet Wilopo. Kabinet ini mendapat dukungan dari PNI, Masyumi, dan
PSI.

Program pokok dari Kabinet Wilopo adalah:

Program dalam negeri:

Menyelenggarakan pemilihan umum untuk memilih Dewan Konstituante, DPR, dan DPRD

Meningkatkan kemakmuran rakyat,

Meningkatkan pendidikan rakyat, dan

Pemulihan stabilitas keamanan negara

Program luar negeri:

Penyelesaian masalah hubungan Indonesia-Belanda,

Pengembalian Irian Barat ke pangkuan Indonesia, serta

Menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif.

Dalam menjalankan tugasnya Kabinet Wilopo menghadapi krisis ekonomi, defisit kas negara,
dan meningkatnya tensi gangguan keamanan yang disebabkan pergerakan gerakan sparatis yang
progresif. Ketimpangan Jawa dan luar Jawa membuat terjadi gelombang ketidakpuasan di daerah
yang memperparah kondisi politik nasional.

Kabinet Wilopo juga harus menghadapi konflik 17 Oktober 1952 yang menempatkan TNI
sebagai alat sipil dan munculnya masalah intern dalam TNI sendiri. Konflik semakin diperparah
dengan adanya surat yang menjelekkan kebijakan Kolonel Gatot Subroto dalam usahanya
memulihkan keamanan di Sulawesi Selatan

Munculnya Peristiwa Tanjung Morawa mengenai persoalan tanah perkebunan di Sumatera


Timur (Deli), Peristiwa Tanjung Morawa merupakan peristiwa bentrokan antara aparat kepolisian
dengan para petani liar yang di dukung PKI mengenai persoalan tanah perkebunan di Sumatera Timur
(Deli). Akibat peristiwa Tanjung Morawa muncullah mosi tidak percaya dari Serikat Tani Indonesia
terhadap kabinet Wilopo. Sehingga Wilopo harus mengembalikan mandatnya pada presiden pada
tanggal 2 Juni 1953.

Kabinet Ali Sastroamijoyo I (31 Juli 1953 – 12 Agustus 1955)

Kabinet Ali Sastroamidjojo yang terbentuk pada 31 Juli 1953 merupakan kabinet ke-empat
yang dibentuk selama Masa Demokrasi Liberal. Kabinet ini mendapatkan dukungan banyak partai di
Parlemen, termasuk Partai Nahdlatul Ulama (NU). Kabinet ini diketuai oleh PM. Ali Sastroamijoyo
dan Wakil PM. Mr. Wongsonegoro dari Partai Indonesia Raya (PIR).

Program pokok dari Kabinet Ali Sastroamijoyo I:

Meningkatkan keamanan dan kemakmuran

Menyelenggarakan Pemilu dengan segera

Pembebasan Irian Barat secepatnya

Pelaksanaan politik bebas-aktif

Peninjauan kembali persetujuan KMB.

Penyelesaian pertikaian politik.

Dalam menjalankan fungsinya, kabinet ini berhasil melakukan suatu prestasi yaitu:

Merampungkan persiapan pemilu yang akan diselenggarakan 29 September 1955

Menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika (KAA) pada tahun 1955

Konferensi Asia-Afrika pada tahun 1955 memiliki pengaruh dan arti penting bagi solidaritas
dan perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa Asia- Afrika dan juga membawa akibat yang lain,
seperti: Berkurangnya ketegangan dunia Australia dan Amerika mulai berusaha menghapuskan politik
diskriminasi ras di negaranya.Indonesia mendapatkan dukungan diplomasi dari negara Asia-Afrika
dalam usaha penyatuan Irian Barat di PBB

Pada masa pemerintahan kabinet Ali Sastroamidjojo I, Menteri Perekonomian Mr. Iskaq
Cokrohadisuryo memperkenalkan sistem ekonomi yang dikenal dengan sistem Ali-Baba. Sistem
ekonomi Ali-baba diperuntukan menggalang kerjasama ekonomi antara pengusaha pribumi yang
diidentikkan dengan Ali dan penguaha Tionghoa yang diidentikkan dengan Baba.

Sistem ekonomi ini merupakan penggambaran ekonomi pribumi – China. Sistem Ali Baba
digambarkan dalam dua tokoh, yaitu: Ali sebagai pengusaha pribumi dan Baba digambarkan sebagai
pengusaha non pribumi yang diarahkan pada pengusaha China.

Dengan pelaksanaan kebijakan Ali-Baba, pengusaha non-pribumi diwajibkan untuk


memberikan latihan-latihan kepada pengusaha Indonesia. Sistem ekonomi ini kemudian didukung
dengan :

Pemerintah yang menyediakan lisensi kredit dan lisensi bagi usaha swasta nasional

Pemerintah memberikan perlindungan agar pengusaha nasional mampu bersaing dengan pengusaha
asing

Pelaksanaan sistem ekonomi Ali-Baba tidak berjalan sebagaimana mestinya. Para pengusaha
pribumi akhirnya hanya dijadikan sebagai alat bagi para pengusaha Tionghoa untuk mendapatkan
kredit dari pemerintah.

Kabinet Ali ini juga sama seperti kabinet terdahulu mengalami permasalahan mengatasi
pemberontakan di daerah seperti DI/TII di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh.Terjadinya
Peristiwa 27 Juni 1955, yaitu peristiwa yang menunjukkan adanya kemelut dalam tubuh TNI-AD
memperburuk usaha peningkatan keamanan negara. Pada masa kabinet ini keadaan ekonomi masih
belum teratasi karena maraknya korupsi dan peningkatan inflasi.

Konflik PNI dan NU memperburuk koalisi partai pendukung Kabinet Ali yang
mengakibatkan NU menarik menteri-menterinya pada tanggal 20 Juli 1955 yang diikuti oleh partai
lainnya. Keretakan partai pendukung mendorong Kabinet Ali Sastro I harus mengembalikan
mandatnya pada presiden pada tanggal 24 Juli 1955.

Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956)

Kabinet Ali selanjutnya digantikan oleh Kabinet Burhanuddin Harahap. Burhanuddin


Harahap berasal dari Masyumi., sedangkan PNI membentuk oposisi.
Program pokok dari Kabinet Burhanuddin Harahap adalah:

Mengembalikan kewibawaan pemerintah, yaitu mengembalikan kepercayaan Angkatan Darat


dan masyarakat kepada pemerintah.

Melaksanakan pemilihan umum menurut rencana yang sudah ditetapkan dan mempercepat
terbentuknya parlemen baru

Masalah desentralisasi, inflasi, pemberantasan korupsi

Perjuangan pengembalian Irian Barat

Politik Kerjasama Asia-Afrika berdasarkan politik luar negeri bebas aktif.

Kabinet Burhanuddin Harap ini mencatatkan sejumlah keberhasilan dalam menjalankan


fungsinya, seperti:

Keberhasilan menyelenggarakan Pemilu pada 29 September 1955 untuk memilih anggota DPR
dan 15 Desember untuk memilih Dewan Konstituante.

Membubarkan Uni Indonesia-Belanda

Menjalin hubungan yang harmonis dengan Angkatan Darat

Bersama dengan Polisi Militer melakukan penangkapan para pejabat tinggi yang terlibat
korupsi

Pemilu yang dilakukan pada tahun 1955 menghasilkan 4 partai besar di Parlemen yaitu, PNI,
NU, Masyumi, dan PKI. Pemilu itu diikuti oleh 27 dari 70 partai yang lolos seleksi.

Kabinet ini mengalami ganggung ketika kebijakan yang diambil berdampak pada banyaknya
mutasi dalam lingkungan pemerintahan yang dianggap menimbulkan ketidaktenangan. Kabinet ini
sendiri mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno ketika anggota Parlemen yang baru
kurang memberikan dukungan kepada kabinet.

Kabinet Ali Sastramojoyo II (20 Maret 1956 – 4 Maret 1957)

Pada tanggal 20 Maret 1956, didukung oleh tiga partai besar di Parlemen: PNI, NU, dan
Masyumi. Ali Sastroamijoyo mendapatkan mandat untuk kedua kalinya membentuk kabinet. Program
pokok dari Kabinet Ali Sastroamijoyo II adalah Program kabinet ini disebut Rencana Pembangunan
Lima Tahun yang memuat program jangka panjang, sebagai berikut:

Perjuangan pengembalian Irian Barat


Pembentukan daerah-daerah otonomi dan mempercepat terbentuknya anggota-anggota DPRD.

Mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh dan pegawai.

Menyehatkan perimbangan keuangan negara.

Mewujudkan perubahan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional berdasarkan kepentingan


rakyat.

Pembatalan KMB

Pemulihan keamanan dan ketertiban, pembangunan lima tahun, menjalankan politik luar
negeri bebas aktif

Melaksanakan keputusan KAA.

Kabinet ini mendapatkan dukungan penuh dari Parlemen dan Presiden Soekarno, sehingga
dianggap sebagai titik tolak dari periode planning and investment. Kabinet ini berhasil melakukan
pembatalan seluruh perjanjian KMB.

Pada masa kabinet ini muncul gelombang anti Cina di masyarakat, meningkatnya pergolakan
dan kekacauan di daerah yang semakin menguat, serta mengarah pada gerakan sparatisme dengan
pembentukan dewan militer di Sumater dan Sulawesi.

Lambatnya pertumbuhan ekonomi dan pembangunan mengakibatkan krisis kepercayaan


daerah luar Jawa dan menganggap pemerintah pilih kasih dalam melakukan pembangunan.
Pembatalan KMB menimbulkan masalah baru khususnya mengenai nasib modal pengusaha Belanda
di Indonesia. Timbulnya perpecahan antara Masyumi dan PNI mengakibatkan mundurnya sejumlah
menteri dari Masyumi membuat kabinet hasil Pemilu ini jatuh dan menyerahkan mandatnya pada
presiden.

Kabinet Djuanda (9 April 1957- 5 Juli 1959)

Kabinet baru kemudian dipimpin oleh Ir. Djuanda yang kemudian membentuk kabinet yang
terdiri dari para menteri yang ahli dalam bidangnya. Kabinet ini dikenal dengan istilah Zaket Kabinet
karena harus berisi unsur ahli dan golongan intelektual dan tidak adanya unsur partai politik di
dalamnya.
Program pokok dari Kabinet Djuanda dikenal sebagai Panca Karya yaitu:

Membentuk Dewan Nasional

Normalisasi keadaan RI

Melancarkan pelaksanaan Pembatalan KMB

Perjuangan pengembalian Irian Jaya

Mempergiat/mempercepat proses Pembangunan

Presiden Soekarno juga pernah mengusulkan dibentuknya Dewan Nasional ini sebagai
langkah awal demokrasi terpimpin.

Pada masa kabinet Juanda, terjadi pergolakan-pergolakan di daerah-daerah yang menghambat


hubungan antara pusat dan daerah. Untuk mengatasinya diadakanlah Musyawarah Nasional atau
Munas di Gedung Proklamasi Jalan Pegangsaan Timur No. 56 tanggal 14 September 1957.

Munas tersebut membahas beberapa hal, yaitu masalah pembangunan nasional dan daerah,
pembangunan angkatan perang, dan pembagian wilayah Republik Indonesia. Munas selanjutnya
dilanjutkan dengan musyawarah nasional pembangunan (munap) pada bulan November 1957.

Tanggal 30 November 1957, terjadi percobaan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno di


Cikini. Keadaan negara memburuk pasca percobaan pembunuhan tersebut, banyak daerah yang
menentang kebijakan pemerintah pusat yang kemudian berakibat pada pemberontakan
PRRI/Permesta.

Keberhasilan Kabinet Karya yang paling menguntungkan kedaulatan Indonesia dengan


dikeluarkannya Deklarasi Djuanda yang mengatur batas wilayah kepulauan Indonesia. Kemudian
dikuatkan dengan peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang No. 4 prp. Tahun 1960 tentang
perairan Indonesia. Pasca Deklarasi Djuanda, perairan Indonesia bertambah luas sampai 13 mil yang
sebelumnya hanya 9 mil.

Sebelum deklarasi Djuanda, wilayah negara Republik Indonesia mengacu pada Ordonansi
Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO
1939). Dalam peraturan zaman Hindia Belanda ini, pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan oleh
laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh 3 mil dari garis
pantai. Ini berarti kapal asing boleh dengan bebas melayari laut yang memisahkan pulau-pulau
tersebut.
SISTEM DAN STRUKTUR POLITIK DAN EKONOMI MASA DEMOKRASI TERPIMPIN
(1959-1965)

Demokreasi liberal dinilai telah gagal mewujudkan stabilitas politik serta perbaikan ekonomi.
Atas dasar itulah Presiden Soekarno mengambil alih kepemimpinan pemerintah melalui dekrit
Presiden 5 Juli 1955, saat itulah Indonesia memasuki masa Demokrasi Terpimpin. Demokrasi
terpimpin merupakan sebuah sistem demokrasi di mana seluruh keputusan serta pemikiran berpusat
pada pemimpin negara, kala itu Presiden Soekarno.

1. Dekrit Presiden 5 Juli 1959

Masa Demokrasi Terpimpin yang dicetuskan oleh Presiden Soekarno diawali oleh anjuran
Soekarno agar Undang-Undang yang digunakan untuk menggantikan UUDS 1950 adalah UUD
1945. Tanggal 20 November 1956 Konstituante mulai bersidang . Namun usulan itu
menimbulkan pro dan kontra di kalangan anggota konstituante. Sebagai tindak lanjut usulannya,
diadakan pemungutan suara yang diikuti oleh seluruh anggota konstituante . Pemungutan suara
ini dilakukan dalam rangka mengatasi konflik yang timbul dari pro kontra akan usulan Presiden
Soekarno tersebut. Hingga pada awal tahun 1957 konstituane belum juga berhasil
menyelesaikan tugasnya. Pada tanggal 21 Februari 1957 Presiden Soekarno mengajukan
gagasan yang dikenal sebagai Konsepsi Presiden, yang berisi :

a. Sistem Demokrasi Liberal-Parlementer perlu diganti dengan Demokrasi Terpimpin

b. Perlu dibentuk kabinet gotong royong yang merupakan kaki empat, yakni PNI,
Masyumi, NU dan PKI

c. Perlu dibentuk Dewan Nasional yang anggotanya terdiri dari golongan fungsional
dalam masyarakat

Konsepsi Presiden menimbulkan perdebatan dalam masyarakat dan DPR. Tanggal 30 Mei
1959 diadakan pemungutan suara terhadap usul presiden untuk kembali ke UUD 1945. Hasil
pemungutan suara menunjukan bahwa dari 474 anggota, 269 orang setuju untuk kembali ke
UUD 1945 dan 119 orang tidak setuju untuk kembali ke UUD 1945. Melihat dari hasil voting,
usulan untuk kembali ke UUD 1945 tidak dapat direalisasikan. Hal ini disebabkan oleh jumlah
anggota konstituante yang menyetujui usulan tersebut tidak mencapai 2/3 bagian, seperti yang
telah ditetapkan pada pasal 137 UUDS 1950. Tanggal 3 Juni 1959 konstituante mengadakan
reses atau masa istirahat yang kemudian untuk selama-lamanya. Gagalnya konstituante
melaksanakan tugasnya dan rentetan peristiwa politik dan keamanan yang mengguncangkan
persatuan dan kesatuan bangsa mencapai puncaknya pada Juni 1959. Demi keselamatan
negara, Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah dekret yang disebut Dekret Presiden 5 Juli
1959. Isi Dekret Presiden 5 Juli 1959 :

1. Tidak berlaku kembali UUDS 1950 dan Berlakunya kembali UUD 1945

2. Dibubarkannya konstituante

3. Pembentukan MPRS dan DPAS

B. SISTEM POLITIK PADA MASA DEMOKRASI TERPIMPIN

1. Pembentukan kabinet kerja

Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden, maka Kabinet Djuanda dibubarkan diganti


dengan Kabinet Kerja. Dalam Kabinet itu presiden bertindak sebagai sebagai perdana
menteri dan Ir, juanda menjadi menteri pertama. Kabinet ini dilantik pada tanggal 10 Juli
1959 dengan programnya yang disebut “Tri Program Kabinet Kerja” meliputi masala-
masalah sandang pangan, keamanan dalam negeri dan pengembalian Irian Barat.

2. Pembentukan MPRS

Selanjutnya presiden membentuk MPRS yang anggotanya terdiri dari anggota-anggota


DPR ditambah dengan utusan-utusan daerah dan wakil-wakil golongan karya. MPRS ini
diketuai oleh Chaerul Shaleh dengan tugas menetapkan GBHN.

3. Pembentukan DPR-GR

Pada mulanya DPR hasil pemilu 1955 mengikuti kebijakan Presiden Soekarno. Akan
tetapi mereka menoilak APBN tahun 1960 yang diajukanm oleh pemerintah. Kemudian
DPR hasil pemilu 1955 dibubarkan dan pada tanggal 24 Juni 1960 Presiden Soekarno
berhasil mengganti DPR menjadi DPR-GR yang dilantik pada tanggal 25 Juni 1960.

4. Pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara

Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) dibentuk berdasarkan Penetapan


Presiden No.3 tahun 1959.Lembaga ini diketuai oleh presiden. Keanggotaaan DPAS
terdiri atas 1 orang wakil ketua, 12 orang wakil partai politik, 8 orang utusan daerah,
dan 24 orang wakil golongan. Tugas DPAS adalah memberi jawaban atas pertanyaan
presiden dan mengajukan usul pemerintah.Pelaksanaannya, kedudukan DPAS juga
berada di bawah pemerintah/presiden.

5. Pembentukan Front Nasional

Front Nasional dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden No. 13 Tahun 1959 dan
diketuai oleh Presiden Soekarno. Front Nasional merupakan organisasi massa yang
memperjuangkan cita-cita proklamasi dan cita-cita yang terkandung dalam UUD 1945.
Front Nasional merupakan lembaga ekstra parlementer yang dibentuk dengan tujuan :

a. Menyelesaikan revolusi nasional Indonesia

b. Melaksanakan pembangunan semesta nasional

c. Mengembalikan Irian Jaya ke wilayah RI

6. Angkatan Bersenjata Republik Indonesia

TNI dan Polri disatukan menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang
terdiri atas empat angkatan, yaitu TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut, TNI
Angkatan Udara, dan Angkatan Kepolisian. Masing-masing angkatan dipimpin oleh
Menteri Panglima Angkatan yang kedudukannya berada di bawah presiden.ABRI
menjadi salah satu golongan fungsional dan kekuatan sosial poltik Indonesia.

7. Keterlibatan PKI dalam Ajaran NASAKOM

Karena adanya perbedaan pemahaman mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara


yang mengancam persatuan di Indonesia, maka pemerintah mengambil langkah untuk
menyamakan pemahaman mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara dengan
menyampaikan ajaran NASAKOM (Nasionalis, Agama, dan Komunis).NASAKOM
merupakan cerminan paham berbagai golongan dalam masyarakat. Presiden Soekarno
yakin bahwa dengan menerima dan melaksanakan NASAKOM maka persatuan
Indonesia akan terwujud.
C. PENYIMPANGAN-PENYIMPANGAN PEMERINTAH PADA MASA DEMOKRASI
TERPIMPIN

Dikeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 oleh Presiden Soekarno dimaksudkan untuk
melaksanakan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia agar sesuai dengan UUD 1945. Tetapi
pada pelaksanaannya, pemerintah khususnya Presiden Soekarno banyak melakukan penyimpangan-
penyimpangan terhadap UUD 1945 itu sendiri, di antaranya sebagai berikut :

a. Penyimpangan di Bidang Kebijakan Dalam Negeri

1. Mengumumkan ajaran Nasakom (Nasionalis, Agama, komunis)

2. Penetapan MPRS tentang jabatan Presiden Soekarno sebagai Presiden RI seumur hidup

3. Pembubaran DPR hasil pemilu 1, tahun 1955

b. Penyimpangan di Bidang Kebijakan Luar Negeri

1. Politik konfrontasi dengan pembagian dunia menjadi 2 bagian, yaitu Oldefo (Old
Establishes Forces/Negara-negara kapitalis imperialis) dan Nefo (New Emerging
Forces/Negara-negara progresif revolusioner)

2. Melaksanakan politik Mercu Suar (pembangunan proyek-proyek raksasa, komplek


olahraga senayan, Jakarta by pass, Monumen Nasional, Jembatan Ampera)

3. Menyelenggarakan Ganefo (Games of the New Emerging Forces) yang sebagian besar
pesertanya adalah Negara-negara komunis

4. Membentuk Poros Jakarta-Peking

Anda mungkin juga menyukai