Model Pemberdayaan Masyarakat

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Pengertian Pemberdayaan Masyarakat


Pemberdayaan menurut arti secara bahasa adalah proses, cara, perbuatan
membuat berdaya, yaitu kemampuan untuk melakukan sesuatu atau kemampuan
bertindak yang berupa akal, ikhtiar atau upaya (Depdiknas, 2003). Masyarakat adalah
kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu  sistem adat istiadat tertentu
yang bersifat kontinyu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama
(Koentjaraningrat, 2009). Pemberdayaan masyarakat merupakan strategi
pembangunan. Dalam perspektif pembangunan ini, disadari betapa penting kapasitas
manusia dalam upaya meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal atas sumber
daya materi dan non material.

Dalam beberapa kajian mengenai pembangunan komunitas, pemberdayaan


masyarakat sering dimaknai sebagai upaya untuk memberikan kekuasaan agar suara
mereka didengar guna memberikan kontribusi kepada perencanaan dan keputusan
yang mempengaruhi komunitasnya (Foy, 1994). Pemberdayaan adalah proses transisi
dari keadaan ketidakberdayaan ke keadaan kontrol relatif atas kehidupan seseorang,
takdir, dan lingkungan (Sadan, 1997). Menurut Mubarak (2010) pemberdayaan 
masyarakat dapat diartikan sebagai upaya untuk memulihkan atau meningkatkan
kemampuan suatu komunitas untuk mampu berbuat sesuai dengan harkat dan
martabat mereka dalam melaksanakan hak-hak dan tanggung jawabnya selaku
anggota masyarakat.

Pada pemberdayaan pendekatan proses lebih memungkinkan pelaksanaan


pembangunan yang memanusiakan manusia. Dalam  pandangan ini pelibatan
masyarakat dalam pembangunan lebih mengarah kepada bentuk partisipasi, bukan
dalam bentuk mobilisasi. Partisipasi masyarakat dalam perumusan program membuat
masyarakat tidak semata-mata berkedudukan sebagai konsumen program, tetapi juga
sebagai produsen karena telah ikut serta terlibat dalam proses pembuatan dan
perumusannya, sehingga masyarakat merasa ikut memiliki program tersebut dan
mempunyai tanggung jawab bagi keberhasilannya serta memiliki motivasi yang lebih
bagi partisipasi pada tahap-tahap berikutnya (Soetomo, 2006).

Robinson (1994) menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah suatu proses


pribadi dan sosial; suatu pembebasan kemampuan pribadi, kompetensi, kreatifitas dan
kebebasan bertindak. Sedangkan Ife (1995) mengemukakan bahwa pemberdayaan
mengacu pada kata “empowerment” yang berarti memberi daya, memberi ”power”
(kuasa), kekuatan, kepada pihak yang kurang berdaya.

1.2 Sejarah Kemunculan Konsep Pemberdayaan Masyarakat


Empowerment, atau pemberdayaan adalah sebuah konsep yang lahir sebagai
bagian dari perkembangan alam pikiran dan kebudayaan masyarakat Barat, terutama
Eropa. Konsep ini muncul sejak dekade 70-an dan kemudian terus berkembang
sampai saat ini. Kemunculannya hampir bersamaan dengan aliran-aliran seperti
eksistensialisme, phenomenologi, personalisme dan kemudian lebih dekat dengan
gelombang Neo-Marxisme, freudianisme, strukturalisme, dan sosiologi kritik
Frankfurt School. Bersamaan itu juga muncul konsep-konsep elit, kekuasaan, anti-
establishment, gerakan populis, anti-struktur, legitimasi, ideologi pembebasan dan
civil society. Konsep pemberdayaan juga dapat dipandang sebagai bagian dari aliran-
aliran paruh abad ke-20, atau yang dikenal dengan aliran post-modernisme, dengan
penekanan sikap dan pendapat yang orientasinya adalah anti-sistem, anti-struktur, dan
anti-determinisme, yang diaplikasikan pada dunia kekuasaan.

Diawali pada akhir tahun 1960-an, para ahli menyadari bahwa pertumbuhan
ekonomi tidak langsung terkait dengan tujuan pembangunan yang lain seperti
penciptaan lapangan kerja, penghapusan kemiskinan dan kesenjangan, serta
peningkatan pemenuhan kebutuhan dasar. Bahkan dibeberapa negara seperti Iran,
Kenya, Meksiko, Nikaragua, Pakistan dan Afrika Selatan yang pencapaian
pertumbuhan ekonominya tinggi, justru muncul masalah ‘maldevelopment’. Pada
kenyataannya, pertumbuhan ekonomi tidak mengurangi kemiskinan dan tidak
menciptakan pertumbuhan lapangan pekerjaan sebagaimana diprediksikan, bahkan
dalam beberapa kasus kesenjangan ekonomi justru meningkat. Pada tahun 1970,
sejumlah 944 juta orang, atau 52 persen dari total penduduk Negara Selatan masih
hidup dibawah garis kemiskinan. Data juga menunjukkan adanya peningkatan jumlah
pengangguran, terutama dibidang pertanian dan peningkatan kesenjangan pendapatan.
Tahun 1970-an benar-benar merupakan periode dimana pertumbuhan ekonomi di
Negara berkembang diikuti dengan meningkatnya kesenjangan.

Permasalahan ‘maldevelopment’ sebagaimana dijelaskan, memunculkan


beberapa pandangan yang berbeda. Perbedaan tersebut dilandasi oleh paradigma atau
cara pandang yang sangat berpengaruh terhadap teori-teori yang digunakan sebagai
alat analisis atas realitas sosial. Teori mencakup empat fungsi dasar yaitu: penjelasan,
prediksi, kontrol dan pengelolaan perubahan. Pemberdayaan masyarakat adalah
praktek berdasarkan empat fungsi tersebut: menggambarkan kejadian; menjelaskan
sebab-sebab kejadian tersebut; memperkirakan apa yang akan terjadi selanjutnya
(termasuk apa yang akan terjadi apabila dilakukan intervensi atau tidak dilakukan
intervensi); dan berusaha untuk mengelola dan mengontrol terhadap perubahan pada
semua level aktifitas masyarakat.

Menurut Fakih, salah satu dari banyak hal yang mempengaruhi terbentuknya
sebuah teori adalah apa yang disebut sebagai paradigma. Pembahasan mengenai
paradigma ini perlu dilakukan mengingat pentingnya pengaruh paradigma terhadap
teori dan analisis atas realitas sosial, karena pada dasarnya tidak ada satu pandangan
atau satu teori sosial pun yang bersifat netral dan objektif, melainkan bergantung
terhadap paradigma yang digunakan. Thomas Kuhn dalam bukunya “The Structure
of Scientific Revolution” menjelaskan bahwa suatu aliran ilmu lahir dan berkembang
sebagai proses revolusi paradigma, dimana suatu pandangan teori ditumbangkan oleh
pandangan teori yang baru. Paradigma diartikan sebagai satu kerangka referensi atau
pandangan dunia yang menjadi dasar keyakinan atau pijakan sebuah teori.

Dalam konteks pemberdayaan, paradigma memiliki peran untuk membentuk


apa yang kita lihat, bagaimana cara kita melihat suatu masalah, apa yang kita anggap
sebagai masalah ketidakberdayaan itu, apa masalah yang kita anggap bermanfaat
untuk dipecahkan serta metode apa yang kita gunakan untuk meneliti dan melakukan
intervensi atas masalah tersebut. Begitu juga paradigma akan mempengaruhi apa
yang tidak kita pilih, apa yang tidak ingin kita lihat, dan apa yang tidak ingin kita
ketahui. Paradigma pula yang akan mempengaruhi pandangan seseorang mengenai
apa yang ‘adil dan tidak adil’, baik-buruk, tepat atau tidaknya suatu program dalam
memecahkan masalah sosial. Dalam konteks ini, Freire menjelaskan klasifikasi
ideologi teori social yang terbagi kedalam tiga kesadaran yaitu: kesadaran magis
(magical consciousness); kesadaran naif (naival consciousness); dan kesadaran kritis
(critical consciousness).

Pertama, kesadaran magis yaitu suatu keadaan kesadaran yang tidak mampu
mengetahui hubungan atau kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Kesadaran
magis lebih mengarahkan penyebab masalah dan ketidakberdayaan masyarakat
dengan faktor-faktor diluar manusia, baik natural maupun supranatural. Dalam teori
perubahan sosial, apabila proses analisis sebuah teori tidak mampu mengaitkan antara
sebab dan musabab suatu masalah sosial, teori tersebut disebut sebagai teori sosial
fatalistik. Suatu teori sosial bisa dikategorikan dalam model ini jika teori yang
dimaksud tidak memberikan kemampuan analisis dan kaitan antara sistem dan
struktur terhadap masalah sosial. Masyarakat secara dogmatik menerima kebenaran
dari teoretisi sosial tanpa ada mekanisme untuk memahami makna ideologi setiap
konsepsiatas kehidupan masyarakat.

Dalam konteks masyarakat, orang yang memahami masalah sosial dengan


menggunakan kesadaran magis ini akan melihat bahwa kemiskinan dan
ketidakberdayaan masyarakat merupakan takdir atau ketetapan dari Tuhan. Hanya
Tuhan yang Maha Tahu apa arti dan hikmah dibalik ketentuan tersebut. Makhluk,
termasuk umat tidak tahu tentang gambaran besar skenario Tuhan akan perjalanan
umat manusia. Bagi mereka, masalah kemiskinan dan marginalisasi tidak ada
kaitannya dengan globalisasi dan modernisasi, bahkan sering dianggap sebagai
‘ujian’ atas keimanan dan kita tidak tahu manfaat dan mudaratnya, malapetaka apa
yang dibalik kemajuan dan pertumbuhan serta globalisasi bagi umat-umat manusia
dan lingkungan di masa mendatang. Pandangan didasarkan pada teologi mengenai
predeterminism atau takdir, yakni ketentuan dan rencana Tuhan jauh sebelum alam
diciptakan.

Kedua, kesadaran naif, yang melihat ‘aspek manusia’ sebagai akar penyebab
masalah dalam masyarakat. Dalam kesadaran ini, masalah etika, kreatifitas dan ‘need
for achievement’ dianggap sebagai penentu dalam perubahan sosial. Jadi, dalam
menganalisis kemiskinan mereka berpendapat bahwa masyarakat miskin karena
kesalahan mereka sendiri, yakni karena mereka malas, tidak memiliki jiwa
kewiraswastaan, atau tidak memiliki budaya pembangunan dan seterusnya. Oleh
karena itu, man power development adalah sebuah jalan keluar yang diharapkan dapat
memicu perubahan. Teori perubahan dalam konteks ini adalah teori yang tidak
mempertanyakan sistem dan struktur, bahkan sistem dan struktur yang ada dianggap
sudah baik dan benar, merupakan faktor given dan karena itu tidak perlu
dipertanyakan. Tugas teori sosial adalah bagaimana membuat dan mengarahkan agar
masyarakat bisa beradaptasi dengan sistem yang sudah benar tersebut. Paradigma
inilah yang dikategorikan sebagai perubahan yang bersifat reformatif.

Masyarakat yang memiliki kesadaran ini pada dasarnya sepaham dengan


pikiran modernisasi sekuler mengenai kemiskinan dan ketidakberdayaan. Mereka
percaya bahwa masalah yang dihadapi kaum miskin berakar dari persoalan karena
ada yang salah dengan sikap mental, budaya, ataupun teologi mereka. Kemiskinan
umat tidak ada sangkut pautnya dengan menguatnya paham neloliberalisme maupun
globalisasi. Mereka menyerang teologi fatalistik sebagai penyebabnya. Kesadaran ini
memiliki pendekatan dan analisis yang sama dengan penganut paham modernisasi
sekuler yang menjadi aliran mainstream pembangunan. Menurut mereka, kemiskinan
yang terjadi di Indonesia karena mereka tidak mampu berpartisipasi secara aktif
dalam proses pembangunan dan globalisasi. Oleh karena itu, mereka cenderung
melihat nilai-nilai (values) sikap mental, kreativitas, budaya dan paham teologi
sebagai pokok permasalahan, dan tidak melihat struktur kelas, gender dan sosial
sebagai pembentuk nasib masyarakat. Bagi mereka, masyarakat harus berpartisipasi
dan mampu bersaing dalam proses industrialisasi dan globalisasi serta proses
pembangunan. Mereka tidak mempersoalkan globalisasi dan pembangunan itu sendiri
sepanjang diterapkan melalui pendekatan dan metodologi yang benar, serta dikelola
oleh pemerintahan yang bersih (Sri Widayanti, Pemberdayaan Masyarakat:
Pendekatan Teoritis).

Bagi penganut paham ini, permasalahan globalisasi lebih pada sejauh mana
mereka mampu menyiapkan sumber daya manusia yang cocok dan dapat bersaing
dalam sistem pasar bebas. Dalam menghadapi tantangan globalisasi kapitalisme dan
menguatnya liberalisme, para intelektual yang memiliki kesadaran naïf ini justru
menggali ajaran-ajaran agama yang sesuai dengan modernisasi dan liberalisme,
melakukan penafsiran ulang atas ajaran-ajaran agama yang tidak sesuai dengan
perkembangan zaman, tanpa mempersoalkan secara mendasar masalah yang
diakibatkan oleh neoliberalisme.

Ketiga, kesadaran kritis, yaitu paradigma yang lebih melihat aspek sistem dan
struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktural menghindari blaming the
victims dan lebih menganalisis secara kritis struktur dan sistem sosial, politik,
ekonomi dan budaya dan bagaimana keterkaitan aspek-aspek tersebut berakibat pada
keadaan masyarakat. Paradigma kritis dalam perubahan sosial memberikan ruang
bagi masyarakat untuk mampu mengidentifikasi ‘ketidakadilan’ dalam sistem dan
struktur yang ada, kemudian mampu melakukan analisis bagaimana sistem dan
struktur tersebut bekerja, serta bagaimana mentransformasikannya. Tugas teori sosial
dalam paradigma kritis adalah menciptakan ruang dan kesempatan agar masyarakat
terlibat dalam suatu proses dialog ‘penciptaan struktur yang secara fundamental baru
dan lebih baik atau lebih adil’. Kesadaran ini disebut sebagai kesadaran transformatif.
Masyarakat yang memiliki kesadaran ini percaya bahwa ketidakberdayaan
masyarakat, termasuk masyarakat muslim disebabkan oleh ketidakadilan sistem dan
struktur ekonomi, politik, dan budaya. Bagi mereka, agenda yang harus dilakukan
adalah melakukan transformasi terhadap struktur melalui penciptaan relasi yang
secara fundamental lebih baik dan lebih adil dalam bidang ekonomi, politik dan
budaya. Mereka menyadari bahwa transformasi meliputi proses panjang penciptaan
ekonomi yang tidak eksploitatif, politik tanpa represi dan kultur tanpa hegemoni,
serta penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia.

Dengan mendasarkan pada prinsip keadilan, fokus kerja kaum ini adalah
mencari akar teologi, metodologi dan aksi yang memungkinkan terjadinya
transformasi sosial. Keberpihakan mereka terhadap kaum miskin dan tertindas tidak
hanya diilhami oleh sumber-sumber ajaran agama, tetapi juga didasarkan pada
analisis kritis terhadap struktur yang ada. Agama bagi mereka dipahami sebagai
pembebasan bagi yang tertindas, serta mentransformasikan sistem eksploitasi menjadi
sistem yang adil. Globalisasi, serta berbagai proyek kapitalisme yang lain bagi
golongan ini menjadi salah satu penyebab yang memiskinkan, memarginalisasi dan
mengalienasi masyarakat. Selain usaha praktis untuk membantu memecahkan
persoalan ekonomi, politik, dan budaya keseharian melalui proyek-proyek
pengembangan ekonomi berbasis masyarakat, mereka juga mengaitkannya dengan
melakukan advokasi untuk mempengaruhi kebijakan Negara baik di level nasional
maupun lokal yang memarginalkan kaum miskin dan pinggiran.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Pemberdayaan Masyarakat


Istilah konsep berasal dari bahasa latin conceptum, artinya sesuatu yang
dipahami. Konsep merupakan abstraksi suatu ide atau gambaran mental, yang
dinyatakan dalam suatu kata atau simbol. Secara konseptual, pemberdayaan atau
pemberkuasaan (empowerment), berasal dari kata power yang berarti kekuasaan atau
keberdayaan. Konsep pemberdayaan berawal dari penguatan modal sosial di
masyarakat (kelompok) yang meliputi penguatan penguatan modal sosial. Apabila
kita sudah memiliki modal sosial yang kuat maka kita akan mudah mengarahkan dan
mengatur (direct) masyarakat serta mudah mentransfer pengetahuan kepada
masyarakat. Dengan memiliki modal sosial yang kuat maka kita akan dapat
menguatkan knowledge, modal (money), dan people. Konsep ini mengandung arti
bahwa konsep pemberdayaan masyarakat adalah transfer kekuasaan melalui
penguatan modal sosial kelompok untuk menjadikan kelompok produktif untuk
mencapai kesejahteraan sosial. Modal sosial yang kuat akan menjamin suistainable
dalam membangun rasa kepercayaan di dalam masyarakat khususnya anggota
kelompok (how to build the trust).

Oleh karena itu, ide utama pemberdayaan bersentuhan dengan konsep


mengenai modal soaial dan kekuasaan. Kekuasaan seringkali dikaitkan dan
dihubungkan dengan kemampuan individu untuk membuat individu melakukan apa
yang diinginkan, terlepas dari keinginan dan minat mereka. Pada  dasarnya, 
pemberdayaan  diletakkan  pada  kekuatan  tingkat  individu  dan sosial (Sipahelut,
2010). Pemberdayaan  merujuk  pada  kemampuan  orang,  khususnya  kelompok 
rentan dan lemah sehingga mereka memiliki kekuatan  atau kemampuan dalam (a) 
memenuhi  kebutuhan  dasarnya  sehingga  mereka  memiliki  kebebasan  (freedom), 
dalam  arti  bukan  saja  bebas  dalam  mengemukakan  pendapat,  melainkan  bebas 
dari  kelaparan,  bebas  dari  kebodohan,  bebas  dari  kesakitan;  (b)  menjangkau 
sumber-sumber  produktif  yang  memungkinkan  mereka  dapat  meningkatkan 
pendapatannya  dan  memperoleh  barang-barang  dan  jasa-jasa  yang  mereka
perlukan;  dan  (c)  berpartisipasi  dalam  proses pembangunan dan keputusan
keputusan yang mempengaruhi mereka (Suharto 2005).

Jimmu, (2008) menyatakan bahwa pengembangan masyarakat tidak hanya


sebatas  teori tentang bagaimana mengembangkan daerah pedesaan tetapi memiliki
arti yang  memungkinkan terjadinya perkembangan di tingkat masyarakat.
Pembangunan masyarakat seharusnya mencerminkan tindakan masyarakat dan
kesadaran atas identitas diri. Oleh karena itu, komitmen untuk pengembangan
masyarakat harus mengenali keterkaitan antara individu dan masyarakat dimana
mereka berada. Masyarakat adalah sebuah fenomena struktural dan bahwa sifat
struktural dari kelompok atau masyarakat memiliki efek pada cara orang bertindak,
merasa dan berpikir. Tapi  ketika kita melihat struktur tersebut, mereka jelas tidak
seperti kualitas fisik dari dunia luar. Mereka bergantung pada keteraturan  reproduksi
sosial, masyarakat yang hanya memiliki efek pada orang-orang sejauh struktur
diproduksi dan direproduksi dalam apa yang orang lakukan. Oleh karena itu
pengembangan masyarakat memiliki epistemologis logis dan yang  dasar dalam
kewajiban sosial yang individu miliki terhadap masyarakat yang  mengembangkan
bakat mereka.

Adedokun et all., (2010) menunjukkan bahwa komunikasi yang efektif akan


menimbulkan partisipasi aktif dari anggota masyarakat  dalam pengembangan
masyarakat. Ia juga mengungkapkan bahwa ketika kelompok masyarakat yang
terlibat dalam strategi komunikasi, membantu mereka mengambil kepemilikan
inisiatif pembangunan masyarakat daripada melihat diri mereka sebagai penerima
manfaat pembangunan. Berdasarkan temuan tersebut, direkomendasikan bahwa para
pemimpin masyarakat serta agen pengembangan masyarakat harus terlibat dalam
komunikasi yang jelas sehingga dapat meminta partisipasi anggota masyarakat dalam
isu-isu pembangunannya.

Jimmu (2008) menunjukkan bahwa pengembangan masyarakat tidak hanya


khususnya masalah ekonomi, teknis atau infrastruktur. Ini adalah masalah 
pencocokan dukungan eksternal yang ditawarkan oleh agen pembangunan pedesaan
dengan karakteristik internal sistem pedesaan itu sendiri. Oleh karena itu, agen
pembangunan pedesaan  harus belajar untuk ‘menempatkan terakhir terlebih dahulu’
(Chambers, 1983 dalam Jimmu, 2008). Secara teori, peran  pemerintah pusat dan
agen luar lainnya harus menginspirasi inisiatif lokal  bahwa hal itu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat (Passmore 1972 dalam Jimmu, 2008). Dalam prakteknya,
top-down  perencanaan dan pelaksanaan proyek-proyek pembangunan harus memberi
jalan kepada  bottom-up atau partisipasi aktif masyarakat untuk mencapai apa yang
disebut ‘pembangunan melalui negosiasi’. Hal ini sesuai Menurut Talcot Parsons
(dalam Prijono, 1996:64-65) power merupakan sirkulasi dalam subsistem suatu
masyarakat, sedangkan power dalam empowerment adalah daya sehingga
empowerment dimaksudkan sebagai kekuatan yang berasal dari bawah (bottom-up).
Shucksmith, (2013) menyatakan pendekatan bottom-up untuk pembangunan
pedesaan (‘didorong dari dalam’, atau kadang-kadang disebut endogen) berdasarkan
pada asumsi bahwa  sumber daya spesifik daerah – alam, manusia dan  budaya –
memegang kunci untuk perkembangannya. Sedangkan pembangunan pedesaan top-
down melihat tantangan utamanya  sebagai mengatasi perbedaan pedesaan dan
kekhasan melalui promosi keterampilan teknis universal dan modernisasi
infrastruktur fisik. Pengembangan melihat tantangan utama sebagai memanfaatkan
selisih melalui memelihara khas lokal kapasitas manusia dan lingkungan itu. Model
bottom-up terutama menyangkut mobilisasi sumber daya lokal dan aset.  Artinya,
masyarakat  pembangunan harus dianggap bukan sebagai teori pembangunan, tetapi
praktek pembangunan yang menekankan emansipasi dari lembaga yang tidak pantas 
dan setiap melemahkan situasi yang mengarah pada perias partisipasi, pengembangan
masyarakat harus menjadi mekanisme untuk menarik kekuatan kolektif anggota
masyarakat tertentu – yang terdiri dari laki-laki dan  perempuan, kaya dan miskin,
mampu dan cacat, dll – untuk mengubah  di wilayah mereka.

Pemberdayaan ini memiliki tujuan dua arah, yaitu melepaskan belenggu 


kemiskinan dan keterbelakangan dan memperkuat posisi lapisan masyarakat dalam
struktur kekuasaan. Pemberdayaan  adalah  sebuah  proses  dan  tujuan.  Sebagai 
proses,  pemberdayaan  adalah  serangkaian  kegiatan  untuk  memperkuat 
kekuasaan  atau  keberdayaan  kelompok  lemah  dalam masyarakat, termasuk
individu-individu yang mengalami masalah kemiskinan.  Sebagai  tujuan,  maka 
pemberdayaan merujuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah
perubahan sosial;  yaitu  masyarakat  yang  berdaya,  memiliki  kekuasaan  atau 
mempunyai  pengetahuan  dan  kemampuan  dalam  memenuhi  kebutuhan  hidupnya 
baik  yang bersifat fisik, ekonomi maupun sosial seperti memiliki kepecayaan diri,
mampu  menyampaikan  aspirasi,  mempunyai  mata  pencaharian,  berpartisipasi 
dalam  kegiatan sosial, dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya
(Sipahelut, 2010).

Konsep pemberdayaan menurut Friedman (1992) dalam hal ini pembangunan


alternatif menekankan keutamaan politik melalui otonomi pengambilan keputusan
untuk melindungi kepentingan rakyat yang berlandaskan pada sumberdaya pribadi,
langsung melalui partisipasi, demokrasi dan pembelajaran sosial melalui pengamatan
langsung. Menurut Chambers, (1995) pemberdayaan masyarakat adalah sebuah
konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini
mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat “people centred,
participatory, empowering, and sustainable”.
Jika dilihat dari proses operasionalisasinya, maka ide pemberdayaan memiliki
dua kecenderungan, antara lain: pertama, kecenderungan primer, yaitu kecenderungan
proses yang memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan, atau
kemampuan (power) kepada masyarakat atau individu menjadi lebih berdaya. Proses
ini dapat dilengkapi pula dengan upaya membangun asset material guna mendukung
pembangunan kemandirian mereka melalui organisasi; dan kedua, kecenderungan
sekunder, yaitu kecenderungan yang menekankan pada proses memberikan
stimulasi,mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau
keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses
dialog (Sumodiningrat, 2002).

Konsep pemberdayaan menekankan bahwa orang memperoleh keterampilan,


pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan
kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya (Pearson et all, 1994 dalam
Sukmaniar, 2007). Pemahaman mengenai konsep pemberdayaan tidak bisa
dilepaskan dari pemahaman mengenai siklus pemberdayaan itu sendiri, karena pada
hakikatnya pemberdayaan adalah sebuah usaha berkesinambungan untuk
menempatkan masyarakat menjadi lebih proaktif dalam menentukan arah kemajuan
dalam komunitasnya sendiri. Artinya program pemberdayaan tidak bisa hanya
dilakukan dalam satu siklus saja dan berhenti pada suatu tahapan tertentu, akan tetapi
harus terus berkesinambungan dan kualitasnya terus meningkat dari satu tahapan ke
tahapan berikutnya (Mubarak, 2010).

Menurut Wilson (1996) terdapat 7 tahapan dalam siklus pemberdayaan


masyarakat. Tahap pertama yaitu keinginan dari masyarakat sendiri untuk berubah
menjadi lebih baik. Pada tahap kedua, masyarakat diharapkan mampu melepaskan
halangan-halangan atau faktor-faktor yang bersifat resistensi terhadap kemajuan
dalam dirinya dan komunitasnya. Pada tahap ketiga, masyarakat diharapkan sudah
menerima kebebasan tambahan dan merasa memiliki tanggung jawab dalam
mengembangkan dirinya dan komunitasnya. Tahap keempat yaitu upaya untuk
mengembangkan peran dan batas tanggung jawab yang lebih luas, hal ini juga terkait
dengan minat dan motivasi  untuk melakukan pekerjaan dengan lebih baik. Pada
tahap kelima ini hasil-hasil  nyata dari pemberdayaan mulai kelihatan, dimana
peningkatan rasa memiliki yang  lebih besar menghasilkan keluaran kinerja yang
lebih baik. Pada tahap keenam telah terjadi perubahan perilaku dan kesan terhadap
dirinya, dimana keberhasilan dalam peningkatan kinerja mampu meningkatkan
perasaan psikologis di atas posisi sebelumnya. Pada tahap ketujuh masyarakat yang
telah berhasil dalam memberdayakan dirinya, merasa tertantang untuk upaya yang
lebih besar guna  mendapatkan hasil yang lebih baik. Siklus pemberdayaan ini
menggambarkan proses mengenai upaya individu dan komunitas untuk mengikuti
perjalanan ke arah prestasi dan kepuasan individu dan pekerjaan yang lebih tinggi.

Apabila kita cermati dari serangkaian literatur tentang konsep-konsep


Pemberdayaan Masyarakat maka konsep pemberdayaan adalah suatu proses yang
diupayakan untuk melakukan perubahan. Pemberdayaan masyarakat memiliki makna
memberi kekuatan/daya kepada kumpulan masyarakat yang berada pada kondisi
ketidakberdayaan  agar menjadi berdaya dan mandiri serta memiliki kekuatan melalui
proses dan tahapan yang sinergis.

2.2 Peranan Teori Pemberdayaan Masyarakat


Teori dalam praktek pemberdayaan masyarakat menggambarkan distribusi
kekuasaan dan sumberdaya dalam masyarakat, bagaimana fungsi-fungsi organisasi
dan bagaimana sistem dalam masyarakat mempertahankan diri. Teori di dalam
pemberdayaan masyarakat mengandung hubungan sebab dan pengaruh yang harus
dapat di uji secara empiris. Hubungan sebab dan akibat/outcome yang terjadi karena
kejadian/aksi tertentu akan dapat memunculkan jenis intervensi yang dapat digunakan
oleh pekerja sosial dalam memproduksi outcome. Dalam kerja sosial, kita dapat
menggunakan teori untuk menentukan jenis aksi/kegiatan atau intervensi yang dapat
digunakan untuk memproduksi outcome/hasil. Pada umumnya beberapa teori
digabung untuk memproduksi model outcome.
1.      Teori Ketergantungan Kekuasaan (Power-Dependency)
Power merupakan kunci konsep untuk memahami proses pemberdayaan.
Tujuan dari kekuasaan adalah untuk mencegah kelompok berpartisipasi dalam proses
pengambilan keputusan dan juga untuk  memperoleh persetujuan pasif kelompok ini
untuk situasi ini. Power merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari interaksi
sosial. Kekuasaan adalah fitur yang tidak terpisahkan dari kehidupan sosial. Hal ini
selalu menjadi bagian dari  hubungan, dan tanda-tanda yang dapat dilihat bahkan
pada tingkat interaksi mikro (Sadan, 1997).

Lebih lanjut (Abbot, 1996:16-17) menyatakan bahwa pengembangan


masyarakat perlu memperhatikan kesetaraan (equality), konflik dan hubungan
pengaruh kekuasaan (power relations) atau jika tidak maka tingkat keberhasilannya
rendah. Setelah kegagalan teori modernisasi muncul teori ketergantungan, dimana
teori ketergantungan pada prinsipnya menggambarkan adanya suatu hubungan antar
negara yang timpang, utamanya antara negara maju (pusat) dan negara pinggiran
(tidak maju). Menurut Abbot (1996: 20) dari teori ketergantungan muncul
pemahaman akan keseimbangan dan kesetaraan, yang pada akhirnya membentuk
sebuah pemberdayaan (empowerment) dalam partisipasi masyarakat dikenal sebagai
teori keadilan.

Pada konteks pemberdayaan maka teori ketergantungan dikaitkan dengan


kekuasaan yang biasanya dalam bentuk kepemilikan uang/modal. Untuk mencapai
suatu kondisi berdaya/kuat/mandiri, maka sekelompok masyarakat harus mempunyai
keuangan/modal yang kuat. Selain uang/modal, maka ilmu pengetahuan/knowledge
dan aspek people/sekumpulan orang/massa yang besar juga harus dimiliki agar
kelompok tersebut mempunyai power. Kelompok yang memiliki power maka
kelompok itu akan berdaya.

2.      Teori Sistem (The Social System)


Talcott Parsons (1991) melahirkan teori fungsional tentang perubahan. Seperti
para pendahulunya, Parsons juga menganalogikan perubahan sosial pada masyarakat
seperti halnya pertumbuhan pada mahkluk hidup. Komponen utama pemikiran
Parsons adalah adanya proses diferensiasi. Parsons berasumsi bahwa setiap
masyarakat tersusun dari sekumpulan subsistem yang berbeda berdasarkan
strukturnya maupun berdasarkan makna fungsionalnya bagi masyarakat yang lebih
luas. Ketika masyarakat berubah, umumnya masyarakat tersebut akan tumbuh dengan
kemampuan yang lebih baik untuk menanggulangi permasalahan hidupnya. Dapat
dikatakan Parsons termasuk dalam golongan yang memandang optimis sebuah proses
perubahan.

Parsons (1991) menyampaikan tiga fungsi yang harus dimiliki oleh sebuah
sistem agar mampu bertahan, yaitu: (a) Adaptasi, sebuah sistem hatus mampu
menanggulangi situasi eksternal yang gawat. Sistem harus dapat menyesuaikan diri
dengan lingkungan. (b) Pencapaian, sebuah sistem harus mendefinisikan dan
mencapai tujuan utamanya. (c) Integrasi, sebuah sistem harus mengatur hubungan
antar bagian yang menjadi komponennya. Sistem juga harus dapat mengelola
hubungan antara ketiga fungsi penting lainnya.

Pemeliharaan pola, sebuah sistem harus melengkapi, memelihara dan


memperbaiki motivasi individual maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan
menopang motivasi. Apabila dimasukkan dalam aspek pemberdayaan masyarakat,
maka teori sistem sosial ini mengarah pada salah satu kekuatan yang harus dimiliki
kelompok agar kelompok itu berdaya yaitu memiliki sekumpulan orang/massa.
Apabila kelompok itu memiliki massa yang besar dan mampu bertahan serta
berkembang menjadi lebih besar maka kelompok itu dapat dikatakan berdaya.

3.      Teori Ekologi (Kelangsungan Organisasi)


Organisasi merupakan sesuatu yang telah melekat dalam kehidupan kita,
karena kita adalah makhluk sosial. Kita hidup di dunia tidaklah sendirian, melainkan
sebagai manifestasi makhluk sosial, kita hidup berkelompok, bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Struktur organisasi merupakan kerangka antar hubungan
satuan-satuan organisasi yang didalamnya terdapat pejabat, tugas serta wewenang
yang masing-masing mempunyai peranan tertentu. Struktur organisasi akan tampak
lebih tegas apabila dituangkan dalam  bentuk bagan organisasi.

Menurut  Lubis  dan  Husaini  (1987)  bahwa  teori  organisasi  adalah 


sekumpulan ilmu pengetahuan  yang membicaraan mekanisme kerjasama dua  orang 
atau  lebih  secara  sistematis  untuk  mencapai  tujuan  yang  telah  ditentukan. 
Teori  organisasi  merupakan  sebuah  teori  untuk  mempelajari  kerjasama  pada 
setiap  individu.  Hakekat  kelompok  dalam  individu  untuk  mencapai tujuan
beserta cara-cara yang ditempuh dengan menggunakan teori yang dapat menerangkan
tingkah  laku, terutama motivasi, individu dalam proses kerjasama. Pada teori
ekologi, membahas tentang organisasi sebagai wadah untuk sekumpulan masyarakat
dengan tujuan yang sama agar tertatur, jelas, dan kuat. Orientasi organisasi mengacu
pada sekumpulan orang/massa yang harus dimiliki kelompok untuk dapat memiliki
power/daya. Kelompok yang memiliki organisasi dengan kuat dan berkelanjutan
maka kelompok ini dikatakan berdaya.
4.      Teori Konflik
Konflik akan selalu muncul dan akan selalu dapat ditemukan dalam semua
level kehidupan masyarakat. Dalam interaksi, semua pihak bersinggungan dan sering
malahirkan konflik. Dalam konteks demikian, konflik didefinisikan bukan dari aspek
para pelaku konflik tetapi merupakan sesuatu yang given dalam interaksi sosial.
Malah konflik menjadi motor pergaulan yang selalu melahirkan dinamika dalam
masyarakat. Dikenal beberapa pendekatan teoritis untuk menjelaskan konflik sebagai
kenyataan sosial. Diantaranya pendekatan ketimpangan dalam dunia ekonomi yang
menjelaskan bahwa munculnya konflik dikarenakan ketidakseimbangan antara
permintaan dan ketersediaan yang menciptakan kelangkaan. Sementara di sisi lain,
individu bersifat individualis, mementingkan diri sendiri untuk mendapatkan surplus
yang ada. Adanya kesamaan antara individu membuka peluang terjadinya perebutan
pada satu komoditi dan sebaliknya juga membuka kerjasama di antara para pelaku
(Chalid, 2005).

Pada proses pemberdayaan yang dilakukan di suatu lingkungan sosial


(masyarakat) akan sangat sering menemui konflik. Konflik yang terjadi berkaitan erat
dengan ketidakpercayaan dan adanya perubahan kepada mereka. Perubahan terhadap
kebiasaan, adat istiadat dan berbagai norma sosial yang sudah tertanam sejak lama di
dalam masyarakat. Hal ini sesuai pendapat Stewart, 2005 dalam Chalid (2005)
Terdapat tiga model penjelasan yang dapat dipakai untuk menganalisis kehadiran
konflik dalam kehidupan masyarakat, pertama penjelasan budaya, kedua, penjelasan
ekonomi, ketiga penjelasan politik. Perspektif budaya menjelaskan bahwa konflik
dalam masyarakat diakibatkan oleh adanya perbedaan budaya dan suku. Dalam
sejarah, konflik cenderung seringkali terjadi karena persoalan perbedaan budaya yang
melahirkan penilaian stereotip. Masing-masing kelompok budaya melihat sebagai
anggota atau bagian dari budaya yang sama dan melakukan pertarungan untuk
mendapatkan otonomi budaya. Terdapat perdebatan tentang pendekatan primordial
terhadap realitas konflik. Sebagian antropolog ada yang menerima dan sebagian
menolak. Argumentasi kalangan yang menolak beralasan bahwa terdapat masalah
serius bila hanya menekankan penjelasan konflik dari aspek budaya semata.
Pendekatan budaya tidak memasukkan faktor-faktor penting dari aspek sosial dan
ekonomi.

5.      Teori Mobilisasi Sumberdaya


Jasper, (2010) menyatakan gerakan sosial terdiri dari individu-individu dan 
interaksi di antara anggota suatu masyarakat. Pendekatan  pilihan rasional menyadari
akan hal ini, tetapi versi mereka memperhitungkan individu sebagai abstrak untuk
menjadi realistis. Pragmatisme, feminisme, dan yang  terkait dengan berbagai tradisi
yang mendorong lahirnya studi tentang aksi-aksi individu (individual action) dan
aksi-aksi kolektif (collective action) sejak tahun 1960-an, yakni  penelitian tentang
perlawanan (social resistence), gerakan sosial (social movement) dan tindakan
kolektif (collective behavior) berkembang di bawah inspirasi dari teori-teori besar
tersebut. Dua dari mereka di antaranya dipengaruhi oleh pandangan Marxisme,
terutama sosiologi makro versi Amerika yang  menekankan teori mobilisasi sumber
daya (resource mobilization theory) dan interaksi dengan negara.

Rusmanto, (2013) menyimpulkan bahwa untuk mengetahui keinginan


seseorang akan sangat terkait dengan tujuan di akhir orang tersebut. Seseorang dari
pertanyaan tersebut  mengarah kepada sebuah tujuan. Dalam hal ini, maka tujuan
adalah pusat pendekatan yang strategis sebagai taktik, meskipun dalam pemahaman
umum, telah keliru memahami bahwa strategi merupakan instrumen tujuan yang
bersifat sementara mencerminkan budaya dan  emosi. Pada konteks pemberdayaan
masyarakat maka teori mobilisasi menjadi salah satu dasar yang kuat, karena untuk
menjadi seorang atau kelompok masyarakat yang berdaya/memiliki power selain
uang, knowledge maka people juga mempunyai peranan yang penting. Kumpulan
orang akan memberikan kekuatan, kekuatan itu akan memberikan power pada orang
atau masyarakat itu.

6.      Teori Kontstruktivis (Constructivist)


Glasersfeld  (1987)  menyatakan konstruktivisme  sebagai  “teori 
pengetahuan  dengan  akar  dalam  “filosofi,  psikologi  dan  cybernetics”.  Von 
Glasersfeld  mendefinisikan  konstruktivisme radikal selalu membentuk konsepsi
pengetahuan. Ia melihat pengetahuan sebagai sesuatu hal yang dengan aktif menerima
apapun  melalui  pikiran sehat atau melalui komunikasi. Hal itu secara aktif terutama
dengan  membangun  pengetahuan.  Kognisi adalah  adaptif  dan  membiarkan 
sesuatu  untuk  mengorganisir pengalaman dunia itu, bukan untuk menemukan suatu
tujuan kenyataan. Konstruktivisme pada dasarnya adalah suatu pandangan  yang
didasarkan  pada aktivitas siswa dengan untuk menciptakan, menginterpretasikan,
dan  mereorganisasikan pengetahuan dengan jalan individual (Windschitl, dalam 
Abbeduto,  2004).
Teori konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat
generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda
dengan teori behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang
bersifat mekanistik antara stimulus dan respon, sedangkan teori kontruktivisme lebih
memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan
pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan
pengalamannya. Teori konstruktivisme juga mempunyai pemahaman tentang belajar
yang lebih menekankan pada proses daripada hasil. Hasil belajar sebagai tujuan
dinilai penting, tetapi proses yang melibatkan cara dan strategi dalam belajar juga
dinilai penting.

Pada proses pemberdayaan masyarakat pendekatan teori belajar secara


konstruktivis perlu ditanamkan dan diupayakan agar masyarakat mampu
menkonstruksi pemahaman untuk berubah. Pemberdayaan masyarakat hendaknya
tetap mempertahankan nilai-nilai yang sudah melekat di masyarakat selama nilai
tersebut baik dan benar. Nilai-nilai kebersamaan, keikhlasan, gotong-royong,
kejujuran, kerja keras harus dibangun dan dikonstruksikan sendiri oleh masyarakat
untuk menciptakan perubahan agar lebih berdaya. Keterkaitan dengan konsep
pemberdayaan maka aspek ilmu (knowledge) yang ada di dalam masyarakat perlu
dibangun dengan kuat dan di kontruksikan di dalam masyarakat itu sendiri.

2.3 Proses Pemberdayaan Masyarakat


Pranarka & Vidhyandika (1996) menjelaskan bahwa proses pemberdayaan
mengandung dua kecenderungan. Pertama, proses pemberdayaan yang menekankan
pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuatan, kekuasaan atau
kemampuan kepada masyarakat agar individu lebih berdaya. Kecenderungan pertama
tersebut dapat disebut sebagai kecenderungan primer dari makna pemberdayaan.
Sedangkan kecenderungan kedua atau kecenderungan sekunder menekankan pada
proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai
kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya
melalui proses dialog. Sumardjo (1999) menyebutkan ciri-ciri warga masyarakat
berdaya yaitu:  

1. Mampu memahami diri dan potensinya, mampu merencanakan


(mengantisipasi kondisi perubahan ke depan).
2. Mampu mengarahkan dirinya sendiri.
3. Memiliki kekuatan untuk berunding.
4. Memiliki bargaining power yang memadai dalam melakukan kerjasama yang
saling menguntungkan, dan 
5. Bertanggungjawab atas tindakannya.

Slamet (2003) menjelaskan lebih rinci bahwa yang dimaksud dengan


masyarakat berdaya adalah masyarakat yang tahu, mengerti, paham, termotivasi,
berkesempatan, memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerjasama, tahu
berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani mengambil resiko, mampu
mencari dan menangkap informasi dan mampu bertindak sesuai dengan situasi.
Proses pemberdayaan yang melahirkan masyarakat yang memiliki sifat seperti yang
diharapkan harus dilakukan secara berkesinambungan dengan mengoptimalkan
partisipasi masyarakat secara bertanggungjawab.

2.4 Tujuan dan Tahapan Pemberdayaan Masyarakat


Jamasy (2004) mengemukakan bahwa konsekuensi dan tanggungjawab utama
dalam program pembangunan melalui pendekatan pemberdayaan adalah masyarakat
berdaya atau memiliki daya, kekuatan atau kemampuan. Kekuatan yang dimaksud
dapat dilihat dari aspek fisik dan material, ekonomi, kelembagaan, kerjasama,
kekuatan intelektual dan komitmen bersama dalam menerapkan prinsip-prinsip
pemberdayaan.

Terkait dengan tujuan pemberdayaan, Sulistiyani (2004) menjelaskan bahwa


tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan masyarakat adalah untuk membentuk
individu dan masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian tersebut meliputi
kemandirian berpikir, bertindak dan mengendalikan apa yang mereka lakukan.
Kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi yang dialami oleh masyarakat
yang ditandai dengan kemampuan memikirkan, memutuskan serta melakukan sesuatu
yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan masalah yang dihadapi dengan
mempergunakan daya/kemampuan yang dimiliki.
Daya/kemampuan yang dimaksud adalah kemampuan kognitif, konatif,
psikomotorik dan afektif serta sumber daya lainnya yang bersifat fisik/material.
Kondisi kognitif pada hakikatnya merupakan kemampuan berpikir yang dilandasi
oleh pengetahuan dan wawasan seseorang dalam rangka mencari solusi atas
permasalahan yang dihadapi. Kondisi konatif merupakan suatu sikap perilaku
masyarakat yang terbentuk dan diarahkan pada perilaku yang sensitif terhadap nilai-
nilai pemberdayaan masyarakat. Kondisi afektif adalah merupakan perasaan yang
dimiliki oleh individu yang diharapkan dapat diintervensi untuk mencapai
keberdayaan dalam sikap dan perilaku. Kemampuan psikomotorik merupakan
kecakapan keterampilan yang dimiliki masyarakat sebagai upaya mendukung
masyarakat dalam rangka melakukan aktivitas pembangunan.

Adapun tujuan pemberdayaan masyarakat dapat diuraikan sebagai berikut:


Upaya pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk membuat masyarakat menjadi
mandiri, dalam arti memiliki potensi untuk mampu memecahkan masalah-masalah
yang mereka hadapi, dan sanggup memenuhi kebutuhannya dengan tidak
menggantungkan hidup mereka pada bantuan pihak luar, baik pemerintah maupun
organisasi-organisasi non-pemerintah. Bantuan technical assistance jelas mereka
perlukan, akan tetapi bantuan tersebut harus mampu membangkitkan prakarsa
masyarakat untuk membangun bukan sebaliknya justru mematikan prakarsa. Dalam
hubungan ini, kita dituntut menghargai hak-hak masyarakat yaitu Right of Self -
Determination dan Right for Equal Opportunity. Hak untuk menentukan sendiri
untuk memilih apa yang terbaik bagi masyarakat, serta hak untuk memperoleh
kesempatan yang sama untuk berkembang sesuai dengan potensi-potensi yang
mereka miliki.
2.5 Model Pemberdayaan Pembangunan Masyarakat
Beberapa model pemberdayaan masyarakat yang telah di terapkan oleh pemerintah
adalah sebagai berikut :
1. Program Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K) :
Program ini berupaya meningkatkan keberdayaan masyarakat melalui
peningkatan SDM dengan berbagai rentetan kegiatan dimulai dari, penumbuhan
dan penguatan kelompok, pemupukan dana bersama, pengembangan usaha, dan
pengembangan kemitraan usaha yang pada akhirnya diharapkan akan terbentuk
Koperasi atau Badan usaha lainnya. Dalam upaya mendorong upaya kelompok
petani diberi support kredit usaha dengan persyaratan ringan melalui BRI.
2. Program Pemberdayaan Petani dan pelaku Agribisnis :
Program dirancang melalui kegiatan pelatihan yang dilakukan sebanyak 26 kali
pertemuan dengan rentang pertemuan selama 6 bulan. Fasilitasi yang diberikan
selama pelatihan (uang saku dan transport) di arahkan untuk digunakan peserta
menjadi modal usaha. Fasilitasi untuk kegiatan ini diberikan kepada petani
selama enam bulan dengan melaksanakan proses pembelajaran yang
kurikulumnya mencakup Teknologi, pengembangan organisasi dan penguatan
modal.
3. Program pengembangan kawasan agropolitan :
Program ini berupaya mengembangkan kawasan untuk memacu berjalannya
sistem dan usaha agribisnis, dengan meningkatkan peran serta masyarakat dalam
pembangunan agribisnis. Upaya ini didukung dengan mengembangkan
kemampuan SDM masyarakat petani yang dikoordinir dengan keberadaan Balai
Penyuluhan Pertanian yang merupakan Home Basenya Penyuluh

4. Program pemberdayaan masyarakat mandiri (PNPM Mandiri)


Untuk meningkatkan efektivitas penanggulangan kemiskinan dan penciptaan
lapangan kerja, pemerintah meluncurkan Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat (PNPM) Mandiri mulai tahun 2007. Melalui PNPM Mandiri
dirumuskan kembali mekanisme upaya penanggulangan kemiskinan yang
melibatkan unsur masyarakat, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga
pemantauan dan evaluasi. Melalui proses pembangunan partisipatif, kesadaran
kritis dan kemandirian masyarakat, terutama masyarakat miskin, dapat
ditumbuhkembangkan sehingga mereka bukan sebagai obyek melainkan subyek
upaya penanggulangan kemiskinan. Pelaksanaan PNPM Mandiri tahun 2007
dimulai dengan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) sebagai dasar
pengembangan pemberdayaan masyarakat di perdesaan beserta program
pendukungnya seperti PNPM Generasi; Program Penanggulangan Kemiskinan di
Perkotaan (P2KP) sebagai dasar bagi pengembangan pemberdayaan masyarakat
di perkotaan; dan Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus
(P2DTK) untuk pengembangan daerah tertinggal, pasca bencana, dan konflik.
Mulai tahun 2008 PNPM Mandiri diperluas dengan melibatkan Program
Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah (PISEW) untuk
mengintegrasikan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dengan daerah sekitarnya.
Dari berbagai model pemberdayaan masyarakat yang telah dikeluarkan oleh
pemerintah program PNPM Mandiri yang dinilai sangat bagus dalam proses
memberdayakan masayarakat, meskipun juga masih ada kekurangan-kekurangan
yang terjadi.

BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya tentang pemberdayaan
masyarakat maka kami menarik kesimpulan bahwa konsep pemberdayaan adalah
sebuah proses berkelanjutan yang mengupayakan transfer kekuasaan yang didasari
penguatan modal sosial, kepercayaan (trust), patuh aturan (role), dan jaringan
(networking), disambut partisipasi dan komunikasi aktif dengan metode bottom-up
yang dilandasi sikap saling percaya dari masyarakat untuk mengubah dan
mementukan nasibnya untuk pencapaian suatu tujuan tertentu (kesejahteraan
ekonomi).

Dalam konteks pemberdayaan, paradigma memiliki peran untuk membentuk


apa yang kita lihat, bagaimana cara kita melihat suatu masalah, apa yang kita anggap
sebagai masalah ketidakberdayaan itu, apa masalah yang kita anggap bermanfaat
untuk dipecahkan serta metode apa yang kita gunakan untuk meneliti dan melakukan
intervensi atas masalah tersebut. Begitu juga paradigma akan mempengaruhi apa
yang tidak kita pilih, apa yang tidak ingin kita lihat, dan apa yang tidak ingin kita
ketahui. Paradigma pula yang akan mempengaruhi pandangan seseorang mengenai
apa yang ‘adil dan tidak adil’, baik-buruk, tepat atau tidaknya suatu program dalam
memecahkan masalah sosial.

Teori dalam praktek pemberdayaan masyarakat menggambarkan distribusi


kekuasaan dan sumberdaya dalam masyarakat, bagaimana fungsi-fungsi organisasi
dan bagaimana sistem dalam masyarakat mempertahankan diri. Teori pemberdayaan
masyarakat yang digunakan dalam proses pemberdayan antara lain: Teori
Ketergantungan Kekuasaan, Teori Sistem, Teori Ekologi, Teori Konflik, Teori
mobilisasi Sumberdaya, dan Teori Konstruktivis.
Upaya pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk membuat masyarakat
menjadi mandiri, dalam arti memiliki potensi untuk mampu memecahkan masalah-
masalah yang mereka hadapi, dan sanggup memenuhi kebutuhannya dengan tidak
menggantungkan hidup mereka pada bantuan pihak luar, baik pemerintah maupun
organisasi-organisasi non-pemerintah. Dalam hubungan ini, kita dituntut menghargai
hak-hak masyarakat yaitu Right of Self - Determination and Right for Equal
Opportunity.

DAFTAR PUSTAKA

Adedokun, O.M. C.W, Adeyamo, and E.O. Olorunsula. 2010. The Impact of
Communication on Community Development. J Communication, 1(2): 101-105.
Chalid, Pheni. 2005. Otonomi Daerah Masalah, Pemberdayaan dan Konflik.
Penebar Swadaya. Cetakan pertama. Jakarta.
                Chambers, R. 1985. Rural Development : Putting The Last First. New
York.
Foy, Nancy. 1994. Empowering People at Work. London: Grower Publishing
Company.
                Friedman, John. 1992. Empowerment The Politics of Alternative
Development. Blackwell Publishers, Cambridge, USA.
                Glasserfield, E. (1987). A Constructivist Approach to Teaching. In L. Steffe
& J. Gale (Eds.), Constructivism In Education. Hillsdale, NJ, Lawrence Erlbaum. (pp.
3-16).
                Ife, J.W. 1995. Community Development: Creating Community
Alternatives-vision, Analysis and Practice. Melbourne: Longman.
Jasper, James M. 2010. Social  Movement  Theory  Today:  Toward  a 
Theory  of  Action? Graduate Center of the City University of New York.
Jimmu, M.I. 2008. Community Development: A Cross-Examination of Theory
and Practice Using Experiences in Rural Malawi. Africa Development, Vol. XXXIII,
No. 2, 2008, pp. 23–3.
Koentjaraningrat. 2009: Manusia dan Kebudayaan di Indonesia.
Djambangan. Jakarta. Longman.
Lubis, Hari & Huseini, Martani.1987. Teori Organisasi; Suatu Pendekatan
Makro. Pusat Antar Ilmu-ilmu Sosial UI: Jakarta.
                Mubarak, Z. 2010. Evaluasi Pemberdayaan Masyarakat Ditinjau Dari
Proses Pengembangan Kapasitas Pada Program PNPM Mandiri Perkotaan Di Desa
Sastrodirjan Kabupaten Pekalongan.Tesis.Program Studi Magister Teknik
Pemberdayaan Wilayah Dan Kota. Undip. Semarang.
                Pearsons, Talcot. 1991. The Social System. Routledge is an imprint of
Taylor & Francis, an informa company.
                Prijono, Onny S. dan Pranarka A.M.W. (ed.). 1996. Pemberdayaan:
Konsep, Kebijakan dan Implementasi. Jakarta: Centre for Strategic and International 
Studies (CSIS).
                Rusmanto, Joni. 2013. Gerakan Sosial Sejarah Perkembangan Teori
Kekuatan dan Kelemahannya. Zifatama Publishing. Sidoarjo.
                Sadan, Elisheva. 1997. Empowerment and Community Planning: Theory
and Practice of People-Focused Social Solutions. Tel Aviv: Hakibbutz Hameuchad
Publishers.in Hebrew.
                Shucksmith, Mark. 2013. Future Direction in Rural Development. Carnegie
UK Trust. England.
                Soetomo. 2006. Strategi-strategi Pembangunan Masyarakat, Yogyakarta:
Penerbit Pustaka Pelajar.

Suharto  E.  2005.  Membangun  Masyarakat Memberdayakan  Rakyat. 


Kajian  Strategi  Pembangunan  Kesejahteraan  Sosial  dan  Pekerjaan  Sosial. 
Bandung: PT Refika Aditama.

Anda mungkin juga menyukai