Model Pemberdayaan Masyarakat
Model Pemberdayaan Masyarakat
Model Pemberdayaan Masyarakat
PENDAHULUAN
Diawali pada akhir tahun 1960-an, para ahli menyadari bahwa pertumbuhan
ekonomi tidak langsung terkait dengan tujuan pembangunan yang lain seperti
penciptaan lapangan kerja, penghapusan kemiskinan dan kesenjangan, serta
peningkatan pemenuhan kebutuhan dasar. Bahkan dibeberapa negara seperti Iran,
Kenya, Meksiko, Nikaragua, Pakistan dan Afrika Selatan yang pencapaian
pertumbuhan ekonominya tinggi, justru muncul masalah ‘maldevelopment’. Pada
kenyataannya, pertumbuhan ekonomi tidak mengurangi kemiskinan dan tidak
menciptakan pertumbuhan lapangan pekerjaan sebagaimana diprediksikan, bahkan
dalam beberapa kasus kesenjangan ekonomi justru meningkat. Pada tahun 1970,
sejumlah 944 juta orang, atau 52 persen dari total penduduk Negara Selatan masih
hidup dibawah garis kemiskinan. Data juga menunjukkan adanya peningkatan jumlah
pengangguran, terutama dibidang pertanian dan peningkatan kesenjangan pendapatan.
Tahun 1970-an benar-benar merupakan periode dimana pertumbuhan ekonomi di
Negara berkembang diikuti dengan meningkatnya kesenjangan.
Menurut Fakih, salah satu dari banyak hal yang mempengaruhi terbentuknya
sebuah teori adalah apa yang disebut sebagai paradigma. Pembahasan mengenai
paradigma ini perlu dilakukan mengingat pentingnya pengaruh paradigma terhadap
teori dan analisis atas realitas sosial, karena pada dasarnya tidak ada satu pandangan
atau satu teori sosial pun yang bersifat netral dan objektif, melainkan bergantung
terhadap paradigma yang digunakan. Thomas Kuhn dalam bukunya “The Structure
of Scientific Revolution” menjelaskan bahwa suatu aliran ilmu lahir dan berkembang
sebagai proses revolusi paradigma, dimana suatu pandangan teori ditumbangkan oleh
pandangan teori yang baru. Paradigma diartikan sebagai satu kerangka referensi atau
pandangan dunia yang menjadi dasar keyakinan atau pijakan sebuah teori.
Pertama, kesadaran magis yaitu suatu keadaan kesadaran yang tidak mampu
mengetahui hubungan atau kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Kesadaran
magis lebih mengarahkan penyebab masalah dan ketidakberdayaan masyarakat
dengan faktor-faktor diluar manusia, baik natural maupun supranatural. Dalam teori
perubahan sosial, apabila proses analisis sebuah teori tidak mampu mengaitkan antara
sebab dan musabab suatu masalah sosial, teori tersebut disebut sebagai teori sosial
fatalistik. Suatu teori sosial bisa dikategorikan dalam model ini jika teori yang
dimaksud tidak memberikan kemampuan analisis dan kaitan antara sistem dan
struktur terhadap masalah sosial. Masyarakat secara dogmatik menerima kebenaran
dari teoretisi sosial tanpa ada mekanisme untuk memahami makna ideologi setiap
konsepsiatas kehidupan masyarakat.
Kedua, kesadaran naif, yang melihat ‘aspek manusia’ sebagai akar penyebab
masalah dalam masyarakat. Dalam kesadaran ini, masalah etika, kreatifitas dan ‘need
for achievement’ dianggap sebagai penentu dalam perubahan sosial. Jadi, dalam
menganalisis kemiskinan mereka berpendapat bahwa masyarakat miskin karena
kesalahan mereka sendiri, yakni karena mereka malas, tidak memiliki jiwa
kewiraswastaan, atau tidak memiliki budaya pembangunan dan seterusnya. Oleh
karena itu, man power development adalah sebuah jalan keluar yang diharapkan dapat
memicu perubahan. Teori perubahan dalam konteks ini adalah teori yang tidak
mempertanyakan sistem dan struktur, bahkan sistem dan struktur yang ada dianggap
sudah baik dan benar, merupakan faktor given dan karena itu tidak perlu
dipertanyakan. Tugas teori sosial adalah bagaimana membuat dan mengarahkan agar
masyarakat bisa beradaptasi dengan sistem yang sudah benar tersebut. Paradigma
inilah yang dikategorikan sebagai perubahan yang bersifat reformatif.
Bagi penganut paham ini, permasalahan globalisasi lebih pada sejauh mana
mereka mampu menyiapkan sumber daya manusia yang cocok dan dapat bersaing
dalam sistem pasar bebas. Dalam menghadapi tantangan globalisasi kapitalisme dan
menguatnya liberalisme, para intelektual yang memiliki kesadaran naïf ini justru
menggali ajaran-ajaran agama yang sesuai dengan modernisasi dan liberalisme,
melakukan penafsiran ulang atas ajaran-ajaran agama yang tidak sesuai dengan
perkembangan zaman, tanpa mempersoalkan secara mendasar masalah yang
diakibatkan oleh neoliberalisme.
Ketiga, kesadaran kritis, yaitu paradigma yang lebih melihat aspek sistem dan
struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktural menghindari blaming the
victims dan lebih menganalisis secara kritis struktur dan sistem sosial, politik,
ekonomi dan budaya dan bagaimana keterkaitan aspek-aspek tersebut berakibat pada
keadaan masyarakat. Paradigma kritis dalam perubahan sosial memberikan ruang
bagi masyarakat untuk mampu mengidentifikasi ‘ketidakadilan’ dalam sistem dan
struktur yang ada, kemudian mampu melakukan analisis bagaimana sistem dan
struktur tersebut bekerja, serta bagaimana mentransformasikannya. Tugas teori sosial
dalam paradigma kritis adalah menciptakan ruang dan kesempatan agar masyarakat
terlibat dalam suatu proses dialog ‘penciptaan struktur yang secara fundamental baru
dan lebih baik atau lebih adil’. Kesadaran ini disebut sebagai kesadaran transformatif.
Masyarakat yang memiliki kesadaran ini percaya bahwa ketidakberdayaan
masyarakat, termasuk masyarakat muslim disebabkan oleh ketidakadilan sistem dan
struktur ekonomi, politik, dan budaya. Bagi mereka, agenda yang harus dilakukan
adalah melakukan transformasi terhadap struktur melalui penciptaan relasi yang
secara fundamental lebih baik dan lebih adil dalam bidang ekonomi, politik dan
budaya. Mereka menyadari bahwa transformasi meliputi proses panjang penciptaan
ekonomi yang tidak eksploitatif, politik tanpa represi dan kultur tanpa hegemoni,
serta penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia.
Dengan mendasarkan pada prinsip keadilan, fokus kerja kaum ini adalah
mencari akar teologi, metodologi dan aksi yang memungkinkan terjadinya
transformasi sosial. Keberpihakan mereka terhadap kaum miskin dan tertindas tidak
hanya diilhami oleh sumber-sumber ajaran agama, tetapi juga didasarkan pada
analisis kritis terhadap struktur yang ada. Agama bagi mereka dipahami sebagai
pembebasan bagi yang tertindas, serta mentransformasikan sistem eksploitasi menjadi
sistem yang adil. Globalisasi, serta berbagai proyek kapitalisme yang lain bagi
golongan ini menjadi salah satu penyebab yang memiskinkan, memarginalisasi dan
mengalienasi masyarakat. Selain usaha praktis untuk membantu memecahkan
persoalan ekonomi, politik, dan budaya keseharian melalui proyek-proyek
pengembangan ekonomi berbasis masyarakat, mereka juga mengaitkannya dengan
melakukan advokasi untuk mempengaruhi kebijakan Negara baik di level nasional
maupun lokal yang memarginalkan kaum miskin dan pinggiran.
BAB II
PEMBAHASAN
Parsons (1991) menyampaikan tiga fungsi yang harus dimiliki oleh sebuah
sistem agar mampu bertahan, yaitu: (a) Adaptasi, sebuah sistem hatus mampu
menanggulangi situasi eksternal yang gawat. Sistem harus dapat menyesuaikan diri
dengan lingkungan. (b) Pencapaian, sebuah sistem harus mendefinisikan dan
mencapai tujuan utamanya. (c) Integrasi, sebuah sistem harus mengatur hubungan
antar bagian yang menjadi komponennya. Sistem juga harus dapat mengelola
hubungan antara ketiga fungsi penting lainnya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya tentang pemberdayaan
masyarakat maka kami menarik kesimpulan bahwa konsep pemberdayaan adalah
sebuah proses berkelanjutan yang mengupayakan transfer kekuasaan yang didasari
penguatan modal sosial, kepercayaan (trust), patuh aturan (role), dan jaringan
(networking), disambut partisipasi dan komunikasi aktif dengan metode bottom-up
yang dilandasi sikap saling percaya dari masyarakat untuk mengubah dan
mementukan nasibnya untuk pencapaian suatu tujuan tertentu (kesejahteraan
ekonomi).
DAFTAR PUSTAKA
Adedokun, O.M. C.W, Adeyamo, and E.O. Olorunsula. 2010. The Impact of
Communication on Community Development. J Communication, 1(2): 101-105.
Chalid, Pheni. 2005. Otonomi Daerah Masalah, Pemberdayaan dan Konflik.
Penebar Swadaya. Cetakan pertama. Jakarta.
Chambers, R. 1985. Rural Development : Putting The Last First. New
York.
Foy, Nancy. 1994. Empowering People at Work. London: Grower Publishing
Company.
Friedman, John. 1992. Empowerment The Politics of Alternative
Development. Blackwell Publishers, Cambridge, USA.
Glasserfield, E. (1987). A Constructivist Approach to Teaching. In L. Steffe
& J. Gale (Eds.), Constructivism In Education. Hillsdale, NJ, Lawrence Erlbaum. (pp.
3-16).
Ife, J.W. 1995. Community Development: Creating Community
Alternatives-vision, Analysis and Practice. Melbourne: Longman.
Jasper, James M. 2010. Social Movement Theory Today: Toward a
Theory of Action? Graduate Center of the City University of New York.
Jimmu, M.I. 2008. Community Development: A Cross-Examination of Theory
and Practice Using Experiences in Rural Malawi. Africa Development, Vol. XXXIII,
No. 2, 2008, pp. 23–3.
Koentjaraningrat. 2009: Manusia dan Kebudayaan di Indonesia.
Djambangan. Jakarta. Longman.
Lubis, Hari & Huseini, Martani.1987. Teori Organisasi; Suatu Pendekatan
Makro. Pusat Antar Ilmu-ilmu Sosial UI: Jakarta.
Mubarak, Z. 2010. Evaluasi Pemberdayaan Masyarakat Ditinjau Dari
Proses Pengembangan Kapasitas Pada Program PNPM Mandiri Perkotaan Di Desa
Sastrodirjan Kabupaten Pekalongan.Tesis.Program Studi Magister Teknik
Pemberdayaan Wilayah Dan Kota. Undip. Semarang.
Pearsons, Talcot. 1991. The Social System. Routledge is an imprint of
Taylor & Francis, an informa company.
Prijono, Onny S. dan Pranarka A.M.W. (ed.). 1996. Pemberdayaan:
Konsep, Kebijakan dan Implementasi. Jakarta: Centre for Strategic and International
Studies (CSIS).
Rusmanto, Joni. 2013. Gerakan Sosial Sejarah Perkembangan Teori
Kekuatan dan Kelemahannya. Zifatama Publishing. Sidoarjo.
Sadan, Elisheva. 1997. Empowerment and Community Planning: Theory
and Practice of People-Focused Social Solutions. Tel Aviv: Hakibbutz Hameuchad
Publishers.in Hebrew.
Shucksmith, Mark. 2013. Future Direction in Rural Development. Carnegie
UK Trust. England.
Soetomo. 2006. Strategi-strategi Pembangunan Masyarakat, Yogyakarta:
Penerbit Pustaka Pelajar.