R - Faktor Resiko Relaps Pasien Skizofrenia - Nurul Asmi Mansyur
R - Faktor Resiko Relaps Pasien Skizofrenia - Nurul Asmi Mansyur
R - Faktor Resiko Relaps Pasien Skizofrenia - Nurul Asmi Mansyur
Disusun Oleh:
Nurul Asmi Mansyur
C014182269
RESIDEN PEMBIMBING
dr. Fritz Edward Gonzalves
SUPERVISOR PEMBIMBING
dr. Rinvil Renaldi, M.Kes, Sp.KJ(K), A&R
1
LEMBAR PENGESAHAN
Telah menyelesaikan tugas referat dan laporan kasus pada Oktober 2019 dan telah
mendapatkan perbaikan.Tugas ini dalam rangka kepaniteraan klinik pada
departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Co-Assistant
Supervisor Pembimbing
(dr. Rinvil Renaldi, M.Kes, Sp.KJ(K), A&R) (dr. Fritz Edward Gonzalves)
2
DAFTAR ISI
REFERAT
BAB I
PENDAHULUAN ……………………………...…..………………………..…....4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Skizofrenia................……………………………………………...……....5
2.2 Skizofrenia relaps………………………………………………………....9
2.3 Faktor resiko relaps pada skizofrenia...…………………...………….......10
2.4 Faktor protektif dari relaps ……………...........………….…………........13
2.5 Hubungan relaps dengan prognosis .............................………...…..........17
2.6 Program Pencegahan Relaps (PRP) Pada Pasien Skizofrenia....................17
BAB III
KESIMPULAN……………………..……………..…………………………......20
DAFTAR PUSTAKA…….………...………………………………………........21
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 SKIZOFRENIA
2.1.1 Definisi
Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, schizein yang berarti terpisah atau
pecah, dan phren yang artinya jiwa. Pada skizofrenia, terjadi pecahnya atau
ketidakserasian antara afeksi, kognitif, dan perilaku. Skizofrenia adalah suatu
deskripsi sindrom dengan variasi penyebab (banyak belum diketahui) dan
perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau deteriorating) yang luas, serta
sejumlah akibat yang tergantung pada pertimbangan pengaruh genetik, fisik, dan
sosial budaya.1
Bleuler mencetuskan istilah skizofrenia, yang menggantikan demensia
prekoks. Istilah tersebut dipilih untuk menunjukkan bahwa adanya skisme antara
pikiran, perasaan dan tingkah laku pada seseorang dengan gangguan ini. Bleuler
mengidentifikasi gejala primer pada skizofrenia yang mampu menggambarkan
adanya perpecahan mental internal. Gejala tersebut ialah gangguan asosiasi,
dimana terdapat kelonggaran; gangguan afektif, gangguan autism, dan
ambivalensi.1
2.1.2 Epidemiologi
Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang umum terjadi dengan
karakteristik adanya kerusakan dan keanehan pada pikiran, persepsi, emosi,
pergerakan dan perilaku. WHO (2012) menyatakan bahwa 24 miliar penduduk di
dunia menderita skizofrenia pada usia antara 15 sampai dengan 35 tahun. Laki-
laki memiliki tingkat kejadian tinggi dibandingkan wanita dengan perbandingan
1,4 banding 1.1
Di Amerika Serikat, prevalensi seumur hidup skizofrenia sekitar 1 persen,
artinya 1 dari 100 orang akan mengalami skizofrenia selama masa hidupnya.
Menurut DSM-IV-TR, insidensi tahunan daari skizofrenia berkisar antara 0,5
sampai 5,0 per 10.000 penduduk dengan beberapa variasi geografik. Skizofrenia
5
dapat ditemukan pada semua golongan masyarakat dan area georafik yang angka
insidensi serta prevalensinya secara kasar merata diseluruh dunia.1
6
e. Pencetus psikososial
Stressor sosio-lingkungan sering menyebabkan timbulnya serangan awal
dan kekambuhan skizofrenia serta dapat diduga sebagai suatu terobosan kekuatan
protektif dengan tetap mempertahankan kerawanan secara psiko biologik dalam
pengendalian. Tiga tindakan emosi yang dinyatakan di lingkungan rumah seperti
komentar kritis, permusuhan dan keterlibatan emosional yang berlebihan terbukti
menyebabkan peningkatan angka kekambuhan skizofrenia. Etiologi atau
penyebab skizofrenia yang lebih rinci dijelaskan oleh Kaplan dan Sadock sebagai
berikut:
1. Model diatesis-stress
Suatu model untuk integrasi faktor biologis dan faktor psikososial dan
lingkungan adalah model diatesis-stress. Model ini merumuskan bahwa seseorang
mungkin memiliki suatu kerentanan spesifik (diatesis) yang jika dikenai oleh
suatu pengaruh lingkungan yang menimbulkan stress akan memungkinkan
perkembangan gejala skizofrenia.2
2. Faktor biologis
Semakin banyak penelitian telah melibatkan peranan patofiologis untuk
daerah tertentu di otak termasuk sistem limbik, korteks frontalis dan ganglia
basalis. Ketiga daerah tersebut saling berhubungan sehingga disfungsi pada salah
satu daerah tersebut mungkin melibatkan patologi primer di daerah lainnya
sehingga menjadi suatu tempat potensial untuk patologi primer pasien
skizofrenik.2
7
aneh tentang kerja tubuh, misalnya pasien skizofrenia menganggap bahwa
otaknya sudah dimakan rayap.4,5
b. Gangguan pada bentuk pikiran, bahasa dan komunikasi
Proses berpikir dari pasien skizofrenia dapat menjadi tidak terorganisasi
dan tidak berfungsi, kemampuan berpikir mereka menjadi kehilangan logika, cara
mereka mengekspresikan dalam pikiran dan bahasa dapat menjadi tidak dapat
dimengerti, akan sangat membingungkan jika kita berkomunikasi dengan
penderita, gangguan pikiran. Contoh umum gangguan berpikir adalah inkoheren,
kehilangan asosiasi, neologisms, blocking dan pemakaian kata-kata yang salah.4,5
c. Gangguan persepsi halusinasi
Halusinasi adalah salah satu simpton skizofrenia yang merupakan
kesalahan dalam persepsi yang melibatkan kelima alat indera kita walaupun
halusinasi tidak begitu terikat pada stimulus yang di luar tetapi kelihatan begitu
nyata bagi pasien skizofrenia. Halusinasi tidak berada dalam kontrol individu,
tetapi tejadi begitu spontan walaupun individu mencoba untuk menghalanginya. 4,5
d. Gangguan afeksi (perasaan)
Pasien skizofrenia selalu mengekspresikan emosinya secara abnormal
dibandingkan dengan orang lain. secara umum, perasaan itu konsisten dengan
emosi tetapi reaksi ditampilkan tidak sesuai dengan perasaannya. 4,5
e. Gangguan psikomotor
Pasien skizofrenia kadang akan terlihat aneh dan cara yang berantakan,
memakai pakaian aneh atau membuat mimik yang aneh atau pasien skizofrenia
akan memperlihatkan gangguan katatonik stupor (suatu keadaan di mana pasien
tidak lagi merespon stimulus dari luar, mungkin tidak mengetahui bahwa ada
orang di sekitarnya), katatonik rigid (mempertahankan suatu posisi tubuh atau
tidak mengadakan gerakan) dan katatonik gerakan (selalu mengulang suatu
gerakan tubuh) menonjol adalah afek yang menumpul, hilangnya dorongan
kehendak dan bertambahnya kemunduran sosial. Menurut Eugen Bleuler dalam
Kaplan & Sadock, (2010) membagi gejala-gejala skizofrenia menjadi 2 kelompok:
gejala positif dan negatif. Gejala positif antara lain thougt echo, delusi, halusinasi.
Gejala negatifnya seperti: sikap apatis, bicara jarang, efek tumpul, menarik diri.
8
Gejala lain dapat bersifat non-skizofrenia meliputi kecemasan, depresi dan
psikosomatik. 4,5
Menurut PPDGJ III sendiri terdapat beberapa kriteria untuk mendiagnosis
suatu skizofrenia, diantaranya : 4
1. Harus adanya sedikit satu gejala berikut:
a. “thought echo”/ “thought insertion” / “thought broadcasting”
b. “delusion of control” / “delusion of influence” / “delusion of passivity”
/ “delusion perception” /
c. halusinasi auditorik
d. waham-waham menetap jenis lainnya yang menurut budaya setempat
tidak wajar dan sesuatu yang mustahil.
2. Atau paling sedikit dua gejala berikut:
a. Halusinasi yang menetap dari pancaindera apa saja, disertai baik oleh
waham yang mengambang, maupun yang setengah berbentuk tanpa
kandungan afektif yang jelas.
b. Arus pikiran yang terputus yang berakibat inkoherensi atau
pembicaraan yang tidak relevan.
c. Perilaku katatonik
d. Gejala-gejala negatif
3. Gejala-gejala khas telah berlangsung selama kurun waktu satu bulan atau
lebih.
4. Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan dan penarikan diri secara sosial.
9
dari gejala tersebut, dan tipe II adalah eksaserbasi dari gejala positif yang
persisten. Tipe-tipe tersebut tidak selalu mudah untuk dibedakan.2
Insiden relaps pada pasien skizofrenia tergolong tinggi, yaitu berkisar 60-
75% setelah suatu episode psikotik jika tidak diterapi, dari 74% pasien yang
relaps, 71% diantaranya memerlukan rehospitalisasi. Penelitian lain
mendapatkan hasil bahwa prevalensi relaps pada pasien skizofrenia adalah
43,4%, dan studi di Afrika Selatan mendapatkan hasil 61,8%. 17
Tidak ada kriteria umum yang dapat dianggap sebagai kriteria relaps.
Relaps diartikan sebagai suatu keadaan dimana apabila seorang pasien
skizofrenia yang telah menjalani rawat inap di rumah sakit jiwa dan
diperbolehkan pulang kemudian kembali menunjukkan gejala-gejala sebelum
dirawat inap. Setiap relaps yang terjadi berpotensi membahayakan bagi pasien
dan keluarganya. Apabila relaps terjadi maka pasien harus kembali melakukan
perawatan inap di rumah sakit jiwa (rehospitalisation).1
10
Beberapa karakteristik demografi telah dihubungkan dengan kejadian
relaps padapasien skizofrenia. Penelitian Dewi dkk mendapatkan hasil bahwase
bagian besar pasien skizofrenia yang mengalami relaps adalah laki-laki
(55,3%), berpendidikan menengah (53,2%), tidak bekerja (53,2%) dan belum
menikah (70,2%).4 Hal ini sejalan dengan penelitian Weret dkk yang
mendapatkan hasil bahwa sebagian besar pasien relaps adalah laki-laki (65%),
tidak pernah menikah (64,5%), dan tidak bekerja (75%).17
Beberapa alasan pasien menjadi tidak patuh dalam berobat antara lain
adalah:
11
sangat positif. Sikap negatif terhadap pengobatan berhubungan dengan
simptom positif dan efek samping. Dalam konteks ini dapat dipahami bahwa
semakin lama pasien akan berubah sikapnya terhadap penobatan.13
c. Biaya
3. Faktor Lingkungan
Dukungan dan bantuan dari keluarga maupun lingkungan sekitar
merupakan variabel penting dalam kepatuhan terhadap pengobatan.Pasien yang
tinggal sendirian secara umum mempunyai angka kepatuhan yang rendah dan
memiliki kesulitan dalam mengakses pusat layanan kesehatan dibandingkan
mereka yang tinggal dalam lingkungan yang mendukung. Sebagai kemungkinan
lain, sikap negatif dalam lingkungan sosial pasien terhadap pengobatan psikiatri
atau terhadap pasien sendiri dapat mempengaruhi kepatuhan. Interaksi sosial yang
penuh dengan stres dapat mengurangi kepatuhan yang biasanya terjadi bila pasien
tinggal dengan orang lain. Sebagai contohnya adalah situasi emosional yang
tinggi dan keluarga atau pihak lain yang tidak mau memperhatikan sikap positif
pasien terhadap pengobatan.12,13
12
Berbagai macam stresor lingkungan juga berhubungan dengan relapsnya
skizofrenia. Perhatian utama ditujukan bagi emosi yang diekspresikan (expressed
emotion) dan risiko terjadinya relaps pada skizofrenia. Sebagai salah satu faktor,
apa yang dimaksud dengan expressed emotion dalam hal ini, berupa kebiasaan
mempertontonkan kritikan atau emosi yang berlebihan oleh keluarga atau orang
yang mengawasi pasien. Pasien-pasien skizofrenia yang tinggal dalam lingkungan
keluarga dengan expressed emotion yang kuat (highly expressed emotion) atau
gaya afektif negatif secara signifikan lebih sering mengalami relaps dibandingkan
dengan yang tinggal dalam lingkungan keluarga dengan expressed emotion yang
rendah (low expressed emotion), atau gaya afektif yang normal. Studi-studi
keluarga (family studies) menunjukkan bahwa pasien skizofrenia yang kembali ke
lingkungan rumah dimana sering terjadi keadaan kritis, kekerasan atau emosi yang
diekspresikan cenderung akanmeningkatkan relaps.12
13
pada 12 bulan setelah penghentian obat, namun beberapa penelitian lain
melaporkan bahwa sekitar 95% terjadinya relaps pada 24 bulan setelah
penghentian pengobatan.6
14
c) Agama
d) Pekerjaan
15
keuntungan secara finansial, memberikan strategi mengatasi untuk gejala
kejiwaan, dan akhirnya memfasilitasi proses pemulihan dari penyakit jiwa.13
16
relaksasi, membantu pasien minum obat teratur, meningkatkan kemampuan
perawatan diri pasien dan meningkatkan interaksi antara pasien dan keluarga.
Psikoedukasi adalah edukasi yang dilakukan untuk meningkatkan
pengetahuan pasien dan pemahaman mengenai penyakit dan pengobatan
mereka. Peningkatan pengetahuan ini memungkinkan pasien dengan
skizofrenia dapat lebih efektif untuk mengatasi penyakit mereka. Pasien yang
memahami penyakit mereka, obat-obatan, dan harapan pengobatan secara
konsisten menunjukkan kepatuhan yang lebih baik. Selain itu pentingnya
edukasi kepada keluaga dengan individu yang memiliki gangguan jiwa
mengenai pada faktor-faktor risiko penyakit jiwa sehingga dapat melindungi
mereka yang belum menimbulkan gejala. Program psikoedukasi bagi pasien
dan keluarga yang bertujuan mengatasi skizofrenia ini telah terbukti
meningkatkan kepatuhan, mengurangi kejadian pelecehan, mengurangi
kekambuhan, dan memperpendek perawatan di rumah sakit.13
Bukti penelitian mengatakan bahwa durasi psikosis yang tidak diterapi dalam
jangka waktu yang lama berhubungan dengan keluaran jangka panjang yang
buruk.6 Literatur mengungkapkan beberapa hal, yakni:
17
pengobatan dihentikan, akan muncul kembali keadaan hiper-dopaminergik
dan secara cepat akan muncul kembali gejala seperti sebelumnya.6
18
e) Strategi 5 : Gunakan tindakan tegas jika diperlukan
Hal ini demikian karena terdapat beberap pasien jika mengalami tanda
relaps akan menarik diri dari kegiatan pengobatan rutin. Maka, tindakan tegas
dapat dilakukan oleh keluarga pasien dengan cara menghubungi melalui surat,
telepon pihak bersangkutan maupun kunjungan ke rumah pasien oleh tenaga
kesehatan. Selain itu, dapat juga melakukan Assertive Community Treatment
(ACT) oleh tenaga medis dalam hal ini perawat dan dokter maupun dari non
tenaga medis seperti pekerja sosial.
f) Strategi 6 : Mengatasi ketidak patuhan pengobatan
Terdapat beberapa langkah untuk mengurangi ketidak patuhan minum obat
antaranya adalah dengarkan, yaitu dengarkan dengan seksama pengalaman dan
kekhawatiran pasien dengan pengobatannya. Selanjutnya adalah empati, yaitu
kita mengakui perspektif pasien; edukasi pula adalah dengan memberikan
alasan yang rasional tentang rekomendasi pengobatan. Selain itu adalah
berikan pilihan kepada pasien dengan cara memberikan kesempatan kepada
pasien untuk memilih pengobatan. Dan yang terakhir adalah meminimalilisir
perilaku yang terlalu mengontrol pasien sehingga pasien merasakan kurang
nyaman.
g) Strategi 7 : Farmakoterapi yang optimal
Hal ini dapat dioptimalkan dengan cara menyederhanakan regimen obat,
mempertimbangkan penggunaan antipsikotik atipikal dan antipsikotik decanoat
serta mempertimbangkan efek samping obat yang minimal. Hal ini secara tidak
langsung dapat memastikan tingkat kepatuhan minum obat adalah lebih baik.
BAB III
19
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
20
1. Kaplan, Sadock. Skizofrenia. Sinopsis Psikiatri Jilid 1: edisi 7; Penerbit Bina
Rupa Aksara, Jakarta; 1997: 685-729.
2. Sadock, Benjamin J, Virginia A. Schizophrenia and Other Psychotic Disorders.
Kaplan and Sadock’s Comprehensive Textbook of Psychiatry, 8th ed ; 2005.
3. American Psychiatric Association. Depressive Disorders. DSM V, 5th ed.
Washington DC; 2013;12-17.
4. Pedoman dan Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III.
5. Elvira SD, Hadisukanto G. Buku ajar psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
6. Emsley, Robin. Chiliza, Boginkosi. Asmal, Laila. Harvey, Brian H. The Nature
of Relaps in Schizophrenia.BMC Psychiatry. 2013;13(50):1-8.
7. Erlina S, Pramono D, editor. Determinan terhadap timbulnya skizofrenia pada
pasien rawat jalan di rumah sakit jiwa prof. hb saanin padang sumatera barat.
Berita Ked Masy. 2010; 26(2):71-80.
8. Frankenburg, Frances R. Dunayevich, Eduardo. Dkk. Schizophrenia.Emedicine
Medscape. 2014.
9. Jarut Y M, Fatimawali, Weny I. 2013. Tinjauan penggunaan antipsikotik pada
pengobatan skizofrenia di rumah sakit Prof. Dr. V.L Ratumbulysang Manado
Periode Januari 2013 – Maret. 2013. Pharmacon Jurnal Ilmiah Farmasi-Unsrat.
2(3);2302-2493.
10. Maramis WF. Catatan ilmu kedokteran jiwa. Dalam Erlina S, Pramono D,
editor. Determinan terhadap timbulnya skizofrenia pada pasien rawat jalan di
rumah sakit jiwa prof. hb saanin padang sumatera barat. Berita Ked Masy.
2010; 26(2):71-80.
11. Marvin I, 2000. Article of A Program for Relapse Prevention in Skizophrenia.
American Medical Association.
12. Rao, Sutajha. Management of Relapse in Schizophrenia. SFP
2013;39(1):2225.
13. Sariah, Adellah E. Outwater, Anne H. Malima, Khadija IY. Risk and
protective factors for relapse among Individuals with Schizophrenia: A
Qualitative Study in Dar es Salaam, Tanzania. BMC Pshychiatry.
2014;14(240):1-12.
21
14. Sadock, Benjamin J. Sadock, Virginia A. Kaplan &Sadock Buku Ajar
Psikiatri Klinis Edisi 2. 2010. Jakarta:EGC. P.147-168.
15. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & sadock's synopsis of psychiatry:
behavioral sciences/clinical psychiatry. Edisi 10.Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2010.
16. Suara Merdeka. Ramadhan dan gangguan jiwa. Dalam Erlina S, Pramono D,
editor. Determinan terhadap timbulnya skizofrenia pada pasien rawat jalan di
rumah sakit jiwa prof. hb saanin padang sumatera barat. Berita Ked Masy.
2010; 26(2):71-80.
17. Weret, Zewdu S. Mukherjee, Roan. Prevalence of Relapse and Associated
Factors in Patient with Schizophrenia at Amanuel Mental Specialized
Hospital, Addis Ababa, Ethiopia: Institution Based Cross Sectional Study.
IJIMS. 2014;2(1):184-192.
18. Campbell RJ. Psychiatric Dictionary 5th ed. New York : Oxford University
Press, 1981, p544
19. Ayuso-Guiterrez JL, Rio Vega JM. Factor Influencing Relapse in The Long-
Term Course of Schizophrenia. Eur Arch Psychiatri Clin Neurosci 2006; 256.
P.37-43
22