Borang Tifoid

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PORTOFOLIO

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

DISUSUN OLEH :
dr. ROSITA ALIFA PRANABAKTI

PENDAMPING :
dr. NURUL FAJRI KURNIATI
dr. MOH HERMAN SYAHRUDIN

DOKTER INTERNSIP WAHANA RSTdr. ASMIR SALATIGA


PERIODE 17 NOVEMBER 2018 – 20 NOVEMBER 2019
KOTA SALATIGA

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA| 1


Borang Portofolio

Nama Peserta:dr. Rosita Alifa Pranabakti


Nama Wahana: RST dr. Asmir Salatiga
Topik: Demam Tifoid
Tanggal (kasus): 27 Juli 2019
Nama Pasien: Ny. S / 59 tahun No. RM: 1204xx
Nama Pendamping: dr. Nurul Fajri Kurniati
Tanggal Presentasi:-
dr. Moh Herman Syahrudin
Tempat Presentasi:RST dr. Asmir Salatiga
Obyektif Presentasi:

■ Keilmuan  Keterampilan  Penyegaran  Tinjauan Pustaka

■ Diagnostik ■ Manajemen  Masalah  Istimewa

 Neonatus  Bayi  Anak  Remaja ■ Dewasa  Lansia  Bumil

 Deskripsi:
Pasien datang dengan keluhan demam selama 5 hari terus menerus disertai mual namun tidak sampai muntah, kepala pusing dan badan
terasa linu-linu. Pasien mengaku sudah meminum obat turun panas tetapi demam kembali naik, dan keluhan lain belum berkurang. Demam
dirasakan sepanjang hari, terutama malam hari, hanya turun saat minum obat penurun demam namun demam kembali lagi. Pasien belum
mendatangi pelayanan kesehatan sebelumnya hanya membeli obat warung untuk mual nya namun belum berkurang. Pasien tidak
mengeluhkan batuk (-), pilek (-), nyeri tenggorokan (-), BAB cair (-). Riwayat berpergian (-).
 Tujuan:

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA| 2


Menegakkan diagnosis kerja, melakukan penanganan awal serta konsultasi dengan spesialis penyakit dalam untuk penanganan lebih lanjut
terkait kasus febris serta memberikan edukasi tentang penyakit pada pasien dan keluarga.
 Kasus  Tinjauan Pustaka  Riset ■ Kasus  Audit

 Email  Diskusi ■ Presentasi dan diskusi  Email  Pos

Nama: Ny. S / 59 tahun Nomor Registrasi: 008xxx Nomor Registrasi:1204xxx

Telp: - Terdaftar sejak: 12 Februari 2018 Terdaftar sejak: -

Data utama untuk bahan diskusi:

1. Diagnosis/Gambaran Klinis:

Pasien datang dengan keluhan demam selama 5 hari terus menerus disertai mual namun tidak sampai muntah, kepala pusing dan badan
terasa linu-linu. Pasien mengaku sudah meminum obat turun panas tetapi demam kembali naik, dan keluhan lain belum berkurang. Demam
dirasakan sepanjang hari, terutama malam hari, hanya turun saat minum obat penurun demam namun demam kembali lagi. Pasien belum
mendatangi pelayanan kesehatan sebelumnya hanya membeli obat warung untuk mual nya namun belum berkurang. Pasien tidak
mengeluhkan batuk (-), pilek (-), nyeri tenggorokan (-), BAB cair (-). Riwayat berpergian (-).

2. Riwayat dan Penyakit :


Diabetes mellitus : disangkal
Hipertensi : disangkal
Stroke : disangkal

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA| 3


Jantung : disangkal
Alergi obat / makanan : disangkal
Immunodefisiensi : disangkal

3. Riwayat makan dan minum


Pasien makan dan minum cukup setiap hari

4. Riwayat penyakit serupa : disangkal

5. Riwayat Penyakit Keluarga:


Asma : disangkal
Alergi : disangkal
Diabetes mellitus : disangkal
Stroke : disangkal
Jantung : disangkal
Riwayat penyakit serupa di keluarga : disangkal

6. Riwayat Sosial dan Ekonomi:


Pasien ibu rumah tangga. Biaya pengobatan menggunakan BPJS. Kesan sosial ekonomi cukup.

7. Pemeriksaan fisik
Dilakukan pada tanggal 27 Juli 2019

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA| 4


 KU : Pasien tampak sakit sedang
 Kesadaran : Compos mentis
 Tekanan darah : 120/80
 Frekuensi nadi : 106 kali/menit, reguler, isi cukup
 Frekuensi nafas : 20 kali/menit
SpO2 : 99%
 Suhu : 38.9 (per aksiler)
 VAS :4
 Kepala : Bentuk normal, rambut hitam , distribusi merata, tidak mudah tercabut
 Mata : pupil isokor, refleks cahaya (+/+) normal, konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), edema palpebra (-/-)
 Hidung : nafas cuping hidung (-/-), sekret (-/-)
 Telinga : normotia, sekret (-/-)
 Mulut : sianosis (-), mukosa bibir kering (-), lidah kotor (+)
 Leher : KGB servikal tidak membesar
 Thoraks :
cor I : pulsasi ictus cordis tidak tampak
P: ictus cordis tidak melebar
P: pekak, batas jantung kanan linea parasternal kanan ICS IV, batas jantung kiri di linea midclavicularis kiri ICS V
A: bunyi jantung I-II, reguler, bising (-), murmur (-)

pulmo I : Pengembangan dada kanan dan kiri simetris, retraksi intercostal (-), retraksi substernal (-)

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA| 5


P : Fremitus raba kanan kiri simetris
P : sonor/sonor
A : SDV (+/+), RBH (-/-), wheezing (-/-)
 Abdomen :

I : Dinding perut sejajar dinding dada, distensi (-), retraksi epigastrium (-)
A: Bising usus (+) normal, 10 kali menit
P: Timpani diseluruh kuadran abdomen
P: Supel, Nyeri tekan epigastrium (+), lien dan hepar tidak teraba membesar
 Suprapubik : nyeri tekan (-), VU penuh (-)
 Genitalia eksterna : benjolan di daerah inguinal (-), benjolan di scrotum (-), OUE tak tampak kelainan
 Anorektal : anus/rektum dalam batas normal
 Kulit : sianosis (-), ikterik (-), ptekie (-), purpura (-).
 Ekstremitas :

Superior Inferior
Edema -/- -/-
Akral Dingin -/- -/-
Akral Sianosis -/- -/-
Ikterik -/- -/-
CRT < 2” < 2”
Tonus Normotonus Normotonus

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA| 6


8. Pemeriksaan penunjang
a. Gula Darah Sewaktu : 151
b. Pemeriksaan laboratorium darah (27 Juli 2019)
PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN
HEMATOLOGI
Hemoglobin 16.3 13.0 – 16.0
Leukosit 16.39 4.00 – 10.0
Trombosit 98 150-450
Hematokrit 51.6 37.0-48.0
Eritrosit 5.73 3.50-5.00
MCV 88.9 82.0-95.0
MCH 29.7 27.0-31.0
MCHC 33.4 32.0-36.0
MPV 9.5 6.5-12.00
PDW 16.1 9.0-17.0

IMUNO-SEROLOGI (Widal)
Salmonella Typhi O +1/80 1/40
Salmonella Paratyphi A-O Negative 1/40
Salmonella Paratyphi B-O Negative 1/40
Salmonella Paratyphi C-O +1/80 1/40
Salmonella Typhi H +1/160 1/40
Salmonella Paratyphi A-H +1/80 1/40
Salmonella Paratyphi B-H +1/160 1/40
Salmonella Paratyphi C-H Negative 1/40

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA| 7


9. Resume

Pasien datang dengan keluhan demam selama 5 hari terus menerus disertai mual namun tidak sampai muntah, kepala pusing dan badan
terasa linu-linu. Pasien mengaku sudah meminum obat turun panas tetapi demam kembali naik, dan keluhan lain belum berkurang. Demam
dirasakan sepanjang hari, terutama malam hari, hanya turun saat minum obat penurun demam namun demam kembali lagi. Pasien belum
mendatangi pelayanan kesehatan sebelumnya hanya membeli obat warung untuk mual nya namun belum berkurang. Pasien tidak
mengeluhkan batuk (-), pilek (-), nyeri tenggorokan (-), BAB cair (-). Riwayat berpergian (-).
Pada pemeriksaan tanda vital didapatkan suhu 38.9 per aksiler. Pada pemeriksaan fisik didapatkan lidah kotor dan nyeri tekan epigastrium.
Pada pemeriksaan darah rutin didapatkan peningkatan angka leukosit dan titer salmonella paratyphi O, C-
O, H, A-H, B-H.

10. Diagnosis Kerja

- Obs.Febris H6 DD/typhoid Fever

11. Diagnosis Banding

- Dengue Fever
- Gastroenteritis akut

12. Penatalaksaaan

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA| 8


 Inf. RL 20 tpm
 Inj. Omeprazole 1 x 40mg
 Inj. Ondansentron 3 x 4mg
 Inf. Paracetamol 3 x 500mg
 Inj. Ceftriaxon 2x1gr,skin test
 Sucralfat syrup 3x1

13. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam: dubia ad bonam
Ad fungsionam: dubia ad bonam

Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio

1. Subjektif :
- Demam sejak 5 hari SMRS. Demam dirasakan sepanjang hari, terutama di malam hari.
- Mual namun tidak muntah

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA| 9


2. Objektif :
a. Tanda Klinis
- Mulut : lidah kotor (+)
- Abdomen : Nyeri tekan epigastrium (+)
b. Tanda Vital
- Tekanan darah : 120/80 mmHg
- Frekuensi nadi : 106 kali/menit, reguler
- Frekuensi nafas : 20 kali/menit
- SpO2 : 99%
- Suhu : 38.9oC (per aksiler)
c. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium:
Leukositosis (AL 16.39 10^3/uL)
Titer salmonella paratyphi O, C-O, H, A-H, B-H meningkat

3. Assesment :
Pada pasien ini dapat ditegakkan diagnosis obs.Febris H6 DD/typhoid Fever berdasarkan gejala klinis dan temuan pemeriksaan yang
ditemukan:
• Lidah kotor, nyeri tekan epigastrim
• Laboratorium : Leukositosis, titer samolnella paratyphi O, C-O, H, A-H, B-H meningkat

4. Plan
a. Diagnosis

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA| 10


Obs.Febris H6 DD/typhoid Fever

b. Penatalaksanaan

 Inf. RL 20 tpm
 Inj. Omeprazole 1 x 40mg
 Inj. Ondansentron 3 x 4mg
 Inf. Paracetamol 3 x 500mg
 Inj. Ceftriaxon 2x1gr,skin test
 Sucralfat syrup 3x1

c. Observasi
- Pemeriksaan KU dan tanda-tanda vital, dan klinis pasien
- Evaluasi pengobatan : perbaikan klinis

d. Edukasi
- Pasien diberikan edukasi mengenai penyakitnya, terutama penyebab dan komplikasi yang dapat timbul, serta pola pencegahan
penyakit yang dapat diterapkan di rumah.

e. Konsultasi
Dijelaskan secara rasional perlunya konsultasi dengan bagian spesialis penyakit dalam untuk penanganan utama dan pencegahan
komplikasinya. Penjelasan mengenai kemungkinan relaps dan prognosis pasien.

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA| 11


f. Rujukan
Tidak diperlukan rujukan

TINJAUAN PUSTAKA

DEMAM TIFOID

A. DEFINISI
Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella enterica serovar typhi (S typhi). Salmonella enterica
serovar paratyphi A, B, dan C juga dapat menyebabkan infeksi yang disebut demam paratifoid. Demam tifoid dan paratifoid termasuk ke

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA| 12


dalam demam enterik. Pada daerah endemik, sekitar 90% dari demam enterik adalah demam tifoid.
Manusia adalah satu-satunya penjamu yang alamiah dan merupakan reservoir untuk Salmonella typhi. Bakteri tersebut dapat bertahan
hidup selama berhari-hari di air tanah, air kolam, atau air laut dan selama berbulan-bulan dalam telur yang sudah terkontaminasi atau tiram
yang dibekukan.
Pada daerah endemik, infeksi paling banyak terjadi pada musim kemarau atau permulaan musim hujan. Dosis yang infeksius adalah 103-
106 organisme yang tertelan secara oral. Infeksi dapat ditularkan melalui makanan atau air yang terkontaminasi oleh feses. Di Indonesia,
insidens demam tifoid banyak dijumpai pada populasi yang berusia 3-19 tahun. Selain itu, demam tifoid di Indonesia juga berkaitan dengan
rumah tangga, yaitu adanya anggota keluarga dengan riwayat terkena demam tifoid, tidak adanya sabun untuk mencuci tangan,
menggunakan piring yang sama untuk makan, dan tidak tersedianya tempat buang air besar dalam rumah.

B. PATOFISIOLOGI
Patogenesis demam tifoid merupakan proses yang kompleks yang melalui beberapa tahapan. Setelah kuman Salmonella typhi tertelan,
kuman tersebut dapat bertahan terhadap asam lambung dan masuk ke dalam tubuh melalui mukosa usus pada ileum terminalis. Di usus,
bakteri melekat pada mikrovili, kemudian melalui barier usus yang melibatkan mekanisme membrane ruffling, actin rearrangement, dan
internalisasi dalam vakuola intraseluler. Kemudian Salmonella typhi menyebar ke sistem limfoid mesenterika dan masuk ke dalam
pembuluh darah melalui sistem limfatik. Bakteremia primer terjadi pada tahap ini dan biasanya tidak didapatkan gejala dan kultur darah
biasanya masih memberikan hasil yang negatif. Periode inkubasi ini terjadi selama 7-14 hari. Bakteri dalam pembuluh darah ini akan
menyebar ke seluruh tubuh dan berkolonisasi dalam organ-organ sistem retikuloendotelial, yakni di hati, limpa, dan sumsum tulang. Kuman
juga dapat melakukan replikasi dalam makrofag. Setelah periode replikasi, kuman akan disebarkan kembali ke dalam sistem peredaran
darah dan menyebabkan bakteremia sekunder sekaligus menandai berakhirnya periode inkubasi. Bakteremia sekunder menimbulkan gejala
klinis seperti demam, sakit kepala, dan nyeri abdomen. Bakteremia dapat menetap selama beberapa minggu bila tidak diobati dengan
antibiotik. Pada tahapan ini, bakteri tersebar luas di hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu, dan Peyer’s patches di mukosa ileum

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA| 13


terminal.
Ulserasi pada Peyer’s patches dapat terjadi melalui proses inflamasi yang mengakibatkan nekrosis dan iskemia. Komplikasi perdarahan
dan perforasi usus dapat menyusul ulserasi. Kekambuhan dapat terjadi bila kuman masih menetap dalam organ-organ sistem
retikuloendotelial dan berkesempatan untuk berproliferasi kembali. Menetapnya Salmonella dalam tubuh manusia diistilahkan sebagai
pembawa kuman atau carrier.

C. MANIFESTASI KLINIS
Setelah 7-14 hari tanpa keluhan atau gejala, dapat muncul keluhan atau gejala yang bervariasi mulai dari yang ringan dengan demam
yang tidak tinggi, malaise, dan batuk kering sampai dengan gejala yang berat dengan demam yang berangsur makin tinggi setiap harinya,
rasa tidak nyaman di perut, serta beraneka ragam keluhan lainnya.
Gejala yang biasanya dijumpai adalah demam sore hari dengan serangkaian keluhan klinis, seperti anoreksia, mialgia, nyeri abdomen,
dan obstipasi. Dapat disertai dengan lidah kotor, nyeri tekan perut, dan pembengkakan pada stadium lebih lanjut dari hati atau limpa atau
kedua-duanya. Pada anak, diare sering dijumpai pada awal gejala yang baru, kemudian dilanjutkan dengan konstipasi. Konstipasi pada
permulaan sering dijumpai pada orang dewasa. Walaupun tidak selalu konsisten, bradikardi relatif saat demam tinggi dapat dijadikan
indikator demam tifoid. Pada sekitar 25% dari kasus, ruam makular atau makulopapular (rose spots) mulai terlihat pada hari ke 7-10,
terutama pada orang berkulit putih, dan terlihat pada dada bagian bawah dan abdomen pada hari ke 10-15 serta menetap selama 2-3 hari.
Sekitar 10-15% dari pasien akan mengalami komplikasi, terutama pada yang sudah sakit selama lebih dari 2 minggu. Komplikasi yang
sering dijumpai adalah reaktif hepatitis, perdarahan gastrointestinal, perforasi usus, ensefalopati tifosa, serta gangguan pada sistem tubuh
lainnya mengingat penyebaran kuman adalah secara hematogen. Bila tidak terdapat komplikasi, gejala klinis akan mengalami perbaikan
dalam waktu 2-4 minggu.

D. DIAGNOSIS

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA| 14


Diagnosis dini demam tifoid dan pemberian terapi yang tepat bermanfaat untuk mendapatkan hasil yang cepat dan optimal sehingga
dapat mencegah terjadinya komplikasi. Pengetahuan mengenai gambaran klinis penyakit sangat penting untuk membantu mendeteksi dini
penyakit ini. Pada kasus-kasus tertentu, dibutuhkan pemeriksaan tambahan dari laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis.
Gambaran darah tepi pada permulaan penyakit dapat berbeda dengan pemeriksaan pada keadaan penyakit yang lanjut.
Pada permulaan penyakit, dapat dijumpai pergeseran hitung jenis sel darah putih ke kiri, sedangkan pada stadium lanjut terjadi
pergeseran darah tepi ke kanan (limfositosis relatif). Ciri lain yang sering ditemukan pada gambaran darah tepi adalah aneosinofilia
(menghilangnya eosinofil).
Diagnosis pasti demam tifoid berdasarkan pemeriksaan laboratorium didasarkan pada 3 prinsip, yaitu:
• Isolasi bakteri
• Deteksi antigen mikroba
• Titrasi antibodi terhadap organisme penyebab
Kultur darah merupakan gold standard metode diagnostik dan hasilnya positif pada 60-80% dari pasien, bila darah yang tersedia cukup
(darah yang diperlukan 15 mL untuk pasien dewasa). Untuk daerah endemik dimana sering terjadi penggunaan antibiotik yang tinggi,
sensitivitas kultur darah rendah (hanya 10-20% kuman saja yang terdeteksi). Peran pemeriksaan Widal (untuk mendeteksi antibodi terhadap
antigen Salmonella typhi) masih kontroversial. Biasanya antibodi antigen O dijumpai pada hari 6-8 dan antibodi terhadap antigen H
dijumpai pada hari 10-12 setelah sakit.
Pada orang yang telah sembuh, antibodi O masih tetap dapat dijumpai setelah 4-6 bulan dan antibodi H setelah 10-12 bulan. Karena itu,
Widal bukanlah pemeriksaan untuk menentukan kesembuhan penyakit.
Diagnosis didasarkan atas kenaikan titer sebanyak 4 kali pada dua pengambilan berselang beberapa hari atau bila klinis disertai hasil
pemeriksaan titer Widal di atas rata-rata titer orang sehat setempat.
Pemeriksaan Tubex dapat mendeteksi antibodi IgM. Hasil pemeriksaan yang positif menunjukkan adanya infeksi terhadap Salmonella.
Antigen yang dipakai pada pemeriksaan ini adalah O9 dan hanya dijumpai pada Salmonella serogroup D. Pemeriksaan lain adalah dengan

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA| 15


Typhidot yang dapat mendeteksi IgM dan IgG. Terdeteksinya IgM menunjukkan fase akut demam tifoid, sedangkan terdeteksinya IgG dan
IgM menunjukkan demam tifoid akut pada fase pertengahan. Antibodi IgG dapat menetap selama 2 tahun setelah infeksi, oleh karena itu,
tidak dapat untuk membedakan antara kasus akut dan kasus dalam masa penyembuhan. Yang lebih baru lagi adalah Typhidot M yang hanya
digunakan untuk mendeteksi IgM saja. Typhidot M memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan Typhidot.
Pemeriksaan ini dapat menggantikan Widal, tetapi tetap harus disertai gambaran klinis sesuai yang telah dikemukakan sebelumnya.

E. TATALAKSANA
Terapi pada demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan bebas demam dan gejala, mencegah komplikasi, dan menghindari kematian.
Yang juga tidak kalah penting adalah eradikasi total bakeri untuk mencegah kekambuhan dan keadaan carrier. Pemilihan antibiotik
tergantung pada pola sensitivitas isolat Salmonella typhi setempat. Munculnya galur Salmonella typhi yang resisten terhadap banyak
antibiotik (kelompok MDR) dapat mengurangi pilihan antibiotik yang akan diberikan. Terdapat 2 kategori resistensi antibiotik yaitu resisten
terhadap antibiotik kelompok chloramphenicol, ampicillin, dan trimethoprimsulfamethoxazole (kelompok MDR) dan resisten terhadap
antibiotik fluoroquinolone.
Antibiotik golongan fluoroquinolone (ciprofloxacin, ofloxacin, dan pefloxacin) merupakan terapi yang efektif untuk demam tifoid yang
disebabkan isolat tidak resisten terhadap fluoroquinolone dengan angka kesembuhan klinis sebesar 98%, waktu penurunan demam 4 hari,
dan angka kekambuhan dan fecal carrier kurang dari 2%. Fluoroquinolone memiliki penetrasi ke jaringan yang sangat baik, dapat
membunuh S. Typhi intraseluler di dalam monosit/makrofag, serta mencapai kadar yang tinggi dalam kandung empedu dibandingkan
antibiotik lain. Berbagai studi telah dilakukan untuk menilai efektivitas fluoroquinolone dan salah satu fluoroquinolone yang saat ini telah
diteliti dan memiliki efektivitas yang baik adalah levofloxacin. Studi komparatif, acak, dan tersamar tunggal telah dilakukan untuk
levofloxacin terhadap obat standar ciprofloxacin untuk terapi demam tifoid tanpa komplikasi. Levofloxacin diberikan dengan dosis 500 mg,
1 kali sehari dan ciprofloxacin diberikan dengan dosis 500 mg, 2 kali sehari masing-masing selama 7 hari.

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA| 16


Kesimpulannya adalah levofloxacin lebih bermanfaat dibandingkan ciprofloxacin dalam hal waktu penurunan demam, hasil mikrobiologi
dan secara bermakna memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan ciprofloxacin. Selain itu, pernah juga dilakukan studi terbuka
di lingkungan FKUI mengenai efikasi dan keamanan levofloxacin pada terapi demam tifoid tanpa komplikasi. Levofloxacin diberikan
dengan dosis 500 mg, 1 kali sehari selama 7 hari. Efikasi klinis yang dijumpai pada studi ini adalah 100% dengan efek samping yang
minimal. Dari studi ini juga terdapat tabel perbandingan rata-rata waktu penurunan demam di antara berbagai jenis fluoroquinolone yang
beredar di Indonesia di mana penurunan demam pada levofloxacin paling cepat, yaitu 2,4 hari.
Sebuah meta-analisis yang dipublikasikan pada tahun 2009 menyimpulkan bahwa pada demam enterik dewasa, fluoroquinolone lebih
baik dibandingkan chloramphenicol untuk mencegah kekambuhan. Namun, fluoroquinolone tidak diberikan pada anak-anak karena dapat
mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan kerusakan sendi. Chloramphenicol sudah sejak lama digunakan dan menjadi terapi standar pada
demam tifoid namun kekurangan dari chloramphenicol adalah angka kekambuhan yang tinggi (5-7%), angka terjadinya carrier juga tinggi,
dan toksik pada sumsum tulang.
Azithromycin dan cefixime memiliki angka kesembuhan klinis lebih dari 90% dengan waktu penurunan demam 5-7 hari, durasi
pemberiannya lama (14 hari) dan angka kekambuhan serta fecal carrier terjadi pada kurang dari 4%.
Pasien dengan muntah yang menetap, diare berat, distensi abdomen, atau kesadaran menurun memerlukan rawat inap dan pasien dengan
gejala klinis tersebut diterapi sebagai pasien demam tifoid yang berat. Terapi antibiotik yang diberikan pada demam tifoid berat menurut
WHO tahun 2003 dapat dilihat di tabel 2.11

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA| 17


Walaupun di tabel ini tertera cefotaxime untuk terapi demam tifoid tetapi sayangnya di Indonesia sampai saat ini tidak terdapat laporan
keberhasilan terapi demam tifoid dengan cefotaxime. Selain pemberian antibiotik, penderita perlu istirahat total serta terapi suportif. Yang
diberikan antara lain cairan untuk mengkoreksi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit dan antipiretik. Nutrisi yang adekuat melalui TPN
dilanjutkan dengan diet makanan yang lembut dan mudah dicerna secepat keadaan mengizinkan.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA| 18


1. Bhan MK, Bahl R, Bhatnagar S. Typhoid fever and paratyphoid fever. Lancet 2005; 366: 749-62.
2. Bhutta ZA. Typhoid fever: current concepts. Infect Dis Clin Pract 2006; 14: 266-72.
3. Kalra SP, Naithani N, Mehta SR, Swamy AJ. Current trends in the management of typhoid fever. MJAFI 2003; 59: 130-5.
4. Mehta KK. Changing trends in typhoid fever. Medicine Update 2008; 18: 201-4.
5. Nelwan RHH, Lie KC, Hadisaputro S, Suwandoyo E, Suharto, Nasronudin, et al. A single-blind randomized multicentre comparative
study of effi cacy and safety of levofl oxacin vs ciprofl oxacin in the treatment of uncomplicated typhoid fever. Paper presented at: 55th
Annual Meeting ASTMH; 2006 Nov; Atlanta, USA.
6. Ochiai RL, Acosta JC, Danovaro-Holliday MC, Baiqing D, Bhattacharya SK, Agtini M, et al. A study typhoid fever in fi ve Asian
countries: disease burden and implications for controls. Bull World Health Organ. 2008;86:260-8.
7. Pohan HT. Management of resistant Salmonella infection. Paper presented at: 12th Jakarta Antimicrobial Update; 2011 April 16-17;
Jakarta, Indonesia.
8. Thaver D, Zaidi AKM, Critchley J, Azmatullah A, Madni SA, Bhutta ZA. A
comparison of fl uoroquinolones versus other antibiotics for treating enteric fever: meta-analysis. BMJ 2009; 338: 1-11.
9. Vollaard AM, Ali S, Van Asten HAGH, Widjaja S, Visser LG, Surjadi C, et. al. Risk factors for typhoid and paratyphoid fever in
Jakarta, Indonesia. JAMA 2004; 291: 2607-15.
10. Zulkarnain I. Diagnosis demam tifoid. In: Zulkarnain I, Editors. Buku panduan dan diskusi demam tifoid. Jakarta: Pusat Informasi dan
Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2000: p.6-12.

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA| 19

Anda mungkin juga menyukai