Borang Tifoid
Borang Tifoid
Borang Tifoid
DISUSUN OLEH :
dr. ROSITA ALIFA PRANABAKTI
PENDAMPING :
dr. NURUL FAJRI KURNIATI
dr. MOH HERMAN SYAHRUDIN
Deskripsi:
Pasien datang dengan keluhan demam selama 5 hari terus menerus disertai mual namun tidak sampai muntah, kepala pusing dan badan
terasa linu-linu. Pasien mengaku sudah meminum obat turun panas tetapi demam kembali naik, dan keluhan lain belum berkurang. Demam
dirasakan sepanjang hari, terutama malam hari, hanya turun saat minum obat penurun demam namun demam kembali lagi. Pasien belum
mendatangi pelayanan kesehatan sebelumnya hanya membeli obat warung untuk mual nya namun belum berkurang. Pasien tidak
mengeluhkan batuk (-), pilek (-), nyeri tenggorokan (-), BAB cair (-). Riwayat berpergian (-).
Tujuan:
1. Diagnosis/Gambaran Klinis:
Pasien datang dengan keluhan demam selama 5 hari terus menerus disertai mual namun tidak sampai muntah, kepala pusing dan badan
terasa linu-linu. Pasien mengaku sudah meminum obat turun panas tetapi demam kembali naik, dan keluhan lain belum berkurang. Demam
dirasakan sepanjang hari, terutama malam hari, hanya turun saat minum obat penurun demam namun demam kembali lagi. Pasien belum
mendatangi pelayanan kesehatan sebelumnya hanya membeli obat warung untuk mual nya namun belum berkurang. Pasien tidak
mengeluhkan batuk (-), pilek (-), nyeri tenggorokan (-), BAB cair (-). Riwayat berpergian (-).
7. Pemeriksaan fisik
Dilakukan pada tanggal 27 Juli 2019
pulmo I : Pengembangan dada kanan dan kiri simetris, retraksi intercostal (-), retraksi substernal (-)
I : Dinding perut sejajar dinding dada, distensi (-), retraksi epigastrium (-)
A: Bising usus (+) normal, 10 kali menit
P: Timpani diseluruh kuadran abdomen
P: Supel, Nyeri tekan epigastrium (+), lien dan hepar tidak teraba membesar
Suprapubik : nyeri tekan (-), VU penuh (-)
Genitalia eksterna : benjolan di daerah inguinal (-), benjolan di scrotum (-), OUE tak tampak kelainan
Anorektal : anus/rektum dalam batas normal
Kulit : sianosis (-), ikterik (-), ptekie (-), purpura (-).
Ekstremitas :
Superior Inferior
Edema -/- -/-
Akral Dingin -/- -/-
Akral Sianosis -/- -/-
Ikterik -/- -/-
CRT < 2” < 2”
Tonus Normotonus Normotonus
IMUNO-SEROLOGI (Widal)
Salmonella Typhi O +1/80 1/40
Salmonella Paratyphi A-O Negative 1/40
Salmonella Paratyphi B-O Negative 1/40
Salmonella Paratyphi C-O +1/80 1/40
Salmonella Typhi H +1/160 1/40
Salmonella Paratyphi A-H +1/80 1/40
Salmonella Paratyphi B-H +1/160 1/40
Salmonella Paratyphi C-H Negative 1/40
Pasien datang dengan keluhan demam selama 5 hari terus menerus disertai mual namun tidak sampai muntah, kepala pusing dan badan
terasa linu-linu. Pasien mengaku sudah meminum obat turun panas tetapi demam kembali naik, dan keluhan lain belum berkurang. Demam
dirasakan sepanjang hari, terutama malam hari, hanya turun saat minum obat penurun demam namun demam kembali lagi. Pasien belum
mendatangi pelayanan kesehatan sebelumnya hanya membeli obat warung untuk mual nya namun belum berkurang. Pasien tidak
mengeluhkan batuk (-), pilek (-), nyeri tenggorokan (-), BAB cair (-). Riwayat berpergian (-).
Pada pemeriksaan tanda vital didapatkan suhu 38.9 per aksiler. Pada pemeriksaan fisik didapatkan lidah kotor dan nyeri tekan epigastrium.
Pada pemeriksaan darah rutin didapatkan peningkatan angka leukosit dan titer salmonella paratyphi O, C-
O, H, A-H, B-H.
- Dengue Fever
- Gastroenteritis akut
12. Penatalaksaaan
13. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam: dubia ad bonam
Ad fungsionam: dubia ad bonam
1. Subjektif :
- Demam sejak 5 hari SMRS. Demam dirasakan sepanjang hari, terutama di malam hari.
- Mual namun tidak muntah
3. Assesment :
Pada pasien ini dapat ditegakkan diagnosis obs.Febris H6 DD/typhoid Fever berdasarkan gejala klinis dan temuan pemeriksaan yang
ditemukan:
• Lidah kotor, nyeri tekan epigastrim
• Laboratorium : Leukositosis, titer samolnella paratyphi O, C-O, H, A-H, B-H meningkat
4. Plan
a. Diagnosis
b. Penatalaksanaan
Inf. RL 20 tpm
Inj. Omeprazole 1 x 40mg
Inj. Ondansentron 3 x 4mg
Inf. Paracetamol 3 x 500mg
Inj. Ceftriaxon 2x1gr,skin test
Sucralfat syrup 3x1
c. Observasi
- Pemeriksaan KU dan tanda-tanda vital, dan klinis pasien
- Evaluasi pengobatan : perbaikan klinis
d. Edukasi
- Pasien diberikan edukasi mengenai penyakitnya, terutama penyebab dan komplikasi yang dapat timbul, serta pola pencegahan
penyakit yang dapat diterapkan di rumah.
e. Konsultasi
Dijelaskan secara rasional perlunya konsultasi dengan bagian spesialis penyakit dalam untuk penanganan utama dan pencegahan
komplikasinya. Penjelasan mengenai kemungkinan relaps dan prognosis pasien.
TINJAUAN PUSTAKA
DEMAM TIFOID
A. DEFINISI
Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella enterica serovar typhi (S typhi). Salmonella enterica
serovar paratyphi A, B, dan C juga dapat menyebabkan infeksi yang disebut demam paratifoid. Demam tifoid dan paratifoid termasuk ke
B. PATOFISIOLOGI
Patogenesis demam tifoid merupakan proses yang kompleks yang melalui beberapa tahapan. Setelah kuman Salmonella typhi tertelan,
kuman tersebut dapat bertahan terhadap asam lambung dan masuk ke dalam tubuh melalui mukosa usus pada ileum terminalis. Di usus,
bakteri melekat pada mikrovili, kemudian melalui barier usus yang melibatkan mekanisme membrane ruffling, actin rearrangement, dan
internalisasi dalam vakuola intraseluler. Kemudian Salmonella typhi menyebar ke sistem limfoid mesenterika dan masuk ke dalam
pembuluh darah melalui sistem limfatik. Bakteremia primer terjadi pada tahap ini dan biasanya tidak didapatkan gejala dan kultur darah
biasanya masih memberikan hasil yang negatif. Periode inkubasi ini terjadi selama 7-14 hari. Bakteri dalam pembuluh darah ini akan
menyebar ke seluruh tubuh dan berkolonisasi dalam organ-organ sistem retikuloendotelial, yakni di hati, limpa, dan sumsum tulang. Kuman
juga dapat melakukan replikasi dalam makrofag. Setelah periode replikasi, kuman akan disebarkan kembali ke dalam sistem peredaran
darah dan menyebabkan bakteremia sekunder sekaligus menandai berakhirnya periode inkubasi. Bakteremia sekunder menimbulkan gejala
klinis seperti demam, sakit kepala, dan nyeri abdomen. Bakteremia dapat menetap selama beberapa minggu bila tidak diobati dengan
antibiotik. Pada tahapan ini, bakteri tersebar luas di hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu, dan Peyer’s patches di mukosa ileum
C. MANIFESTASI KLINIS
Setelah 7-14 hari tanpa keluhan atau gejala, dapat muncul keluhan atau gejala yang bervariasi mulai dari yang ringan dengan demam
yang tidak tinggi, malaise, dan batuk kering sampai dengan gejala yang berat dengan demam yang berangsur makin tinggi setiap harinya,
rasa tidak nyaman di perut, serta beraneka ragam keluhan lainnya.
Gejala yang biasanya dijumpai adalah demam sore hari dengan serangkaian keluhan klinis, seperti anoreksia, mialgia, nyeri abdomen,
dan obstipasi. Dapat disertai dengan lidah kotor, nyeri tekan perut, dan pembengkakan pada stadium lebih lanjut dari hati atau limpa atau
kedua-duanya. Pada anak, diare sering dijumpai pada awal gejala yang baru, kemudian dilanjutkan dengan konstipasi. Konstipasi pada
permulaan sering dijumpai pada orang dewasa. Walaupun tidak selalu konsisten, bradikardi relatif saat demam tinggi dapat dijadikan
indikator demam tifoid. Pada sekitar 25% dari kasus, ruam makular atau makulopapular (rose spots) mulai terlihat pada hari ke 7-10,
terutama pada orang berkulit putih, dan terlihat pada dada bagian bawah dan abdomen pada hari ke 10-15 serta menetap selama 2-3 hari.
Sekitar 10-15% dari pasien akan mengalami komplikasi, terutama pada yang sudah sakit selama lebih dari 2 minggu. Komplikasi yang
sering dijumpai adalah reaktif hepatitis, perdarahan gastrointestinal, perforasi usus, ensefalopati tifosa, serta gangguan pada sistem tubuh
lainnya mengingat penyebaran kuman adalah secara hematogen. Bila tidak terdapat komplikasi, gejala klinis akan mengalami perbaikan
dalam waktu 2-4 minggu.
D. DIAGNOSIS
E. TATALAKSANA
Terapi pada demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan bebas demam dan gejala, mencegah komplikasi, dan menghindari kematian.
Yang juga tidak kalah penting adalah eradikasi total bakeri untuk mencegah kekambuhan dan keadaan carrier. Pemilihan antibiotik
tergantung pada pola sensitivitas isolat Salmonella typhi setempat. Munculnya galur Salmonella typhi yang resisten terhadap banyak
antibiotik (kelompok MDR) dapat mengurangi pilihan antibiotik yang akan diberikan. Terdapat 2 kategori resistensi antibiotik yaitu resisten
terhadap antibiotik kelompok chloramphenicol, ampicillin, dan trimethoprimsulfamethoxazole (kelompok MDR) dan resisten terhadap
antibiotik fluoroquinolone.
Antibiotik golongan fluoroquinolone (ciprofloxacin, ofloxacin, dan pefloxacin) merupakan terapi yang efektif untuk demam tifoid yang
disebabkan isolat tidak resisten terhadap fluoroquinolone dengan angka kesembuhan klinis sebesar 98%, waktu penurunan demam 4 hari,
dan angka kekambuhan dan fecal carrier kurang dari 2%. Fluoroquinolone memiliki penetrasi ke jaringan yang sangat baik, dapat
membunuh S. Typhi intraseluler di dalam monosit/makrofag, serta mencapai kadar yang tinggi dalam kandung empedu dibandingkan
antibiotik lain. Berbagai studi telah dilakukan untuk menilai efektivitas fluoroquinolone dan salah satu fluoroquinolone yang saat ini telah
diteliti dan memiliki efektivitas yang baik adalah levofloxacin. Studi komparatif, acak, dan tersamar tunggal telah dilakukan untuk
levofloxacin terhadap obat standar ciprofloxacin untuk terapi demam tifoid tanpa komplikasi. Levofloxacin diberikan dengan dosis 500 mg,
1 kali sehari dan ciprofloxacin diberikan dengan dosis 500 mg, 2 kali sehari masing-masing selama 7 hari.
DAFTAR PUSTAKA