Revisi Susan Bureni

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 43

PROPOSAL PENELITIAN

IDENTIFIKASI FUNGI MIKORIZA PADA TEGAKAN


KABESAK (Acacia leucophloea Willd.) DI HUTAN
PENELITIAN OELSONBAI

Sebagai salah satu syarat untuk melakukan Penelitian Tugas akhir

Susan Apriani Bureni


1606050002

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS SAINS DAN TEKNIK
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2020
HALAMAN PERSETUJUAN

Proposal penelitian dengan judul “Identifikasi Fungi Mikoriza Pada


Tegakan Kabesak (A. leucophloea Willd.) Di Hutan Penelitian Oelsonbai
Kupang” yang disusun dan diajukan oleh Susan Apriani Bureni, NIM
1606050002 telah diperiksa dan disetujui untuk diseminarkan.

Disetujui oleh:

Pembimbing I Pembimbing II

Rony S. Mauboy, S.Si, M.Si Kristina Moi Nono, S.Si, M.Si


NIP. 19761002 200501 1 002 NIP. 19671228 199702 2 001

Mengetahui,
Ketua Program Studi Biologi Fakultas Sains dan
Teknik Universitas Nusa Cendana

Dr. Refli, M.Sc.

NIP. 19650526 199103 1 002

i
ABSTRAK
1)
Susan Bureni, 2) Rony S. Mauboy, 3) Kristina Moi Nono.
Program Studi Biologi, Fakultas Sains Dan Teknik, Universitas Nusa Cendana
Kupang
Jl. Adisucipto, Penfui.
Email: [email protected]

Tanaman kabesak merupakan salah satu tanaman yang cukup banyak


dijumpai di daerah kering khususnya NTT. Kesuburan dari tanaman kabesak dalam
mempertahankan hidup di daerah kering juga didukung oleh keberadaan mikoriza
yang membantu meningkatkan pengambilan unsur hara terutama fosfat oleh tanaman.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis spora mikoriza yang berasosiasi
dengan tegakan kabesak di Hutan penelitian Oelsanbai dan juga menggambarkan
karakteristik dari mikoriza yang didapat. Penelitian ini akan dilaksanakan dari bulan
juli-september 2020. Penelitian ini akan dilakukan melalui tiga tahap yakni proses
Pengambilan sampel tanah dan akar secara purposive sampling di hutan Penelitian
Oelsonbai, dan kemudian dilanjutkan dengan identifikasi mikoriza di UPT
Pengolahan Kebun Dinas dan Laboratorium Hayati Provinsi Nusa Tenggara Timur..
Hasil penelitian kemudian dianalisis secara kualitatif yang disajikan dalam bentuk
deskripsi dan gambar spesies mikoriza.
Kata kunci : mikoriza

ii
ABSTRACT
1)
Susan Bureni, 2) Rony S. Mauboy, 3) Kristina Moi Nono.
Program Studi Biologi, Fakultas Sains Dan Teknik, Universitas Nusa Cendana
Kupang
Jl. Adisucipto, Penfui.
Email: [email protected]

Kabesak plant is one of the plants that is quite common in dry areas,
especially in east Timor. Fertility of kabesak plants in maintaining life in dry areas is
also supported by the presence of mycorrhizae that help increase nutrient uptake,
especially phosphate by plants. This study aims to identify the type of mycorrhizal
spores associated with kabesak stands in the Oelsonbai recearch forest and also
describe the characteristics of mycorrhizae obtained. This research will be carried out
from july-September 2020. This research ill be carried out through several stages,
namely the process of taking samples of soil and roots by purposive sampling in the
Oelsonbai Recearch Forest and then proceed with mycorrhizal identification in the
UPT of the management of the office Plantation and the Laboratory of Biological
Sciences in East Nusa Tenggara Province. The result of the study were then analyzed
qualitatively presented in the form of descriptions and images of mycorrhizal species.
Key word : mycorrhizal

iii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah menganugerahkan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
proposal dengan judul “Identifikasi Fungi Mikoriza Pada Tegakan Kabesak (A.
leucophloea Willd.) Di Hutan Penelitian Oelsonbai Kupang”. Proposal ini dibuat
untuk memenuhi salah satu syarat dalam menempuh sidang sripsi guna memperoleh
gelar sarjana bagi mahasiswa Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknik
Universitas Nusa Cendana.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan proposal ini tentu tidak lepas
dari dukungan serta bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih kepada:
 Bapak Dekan Fakultas Sains dan Teknik beserta staf akademik yang telah
memberi kesempatan dan fasilitas bagi penulis.
 Bapak Dr. Refli, M.Sc sebagai ketua Program Studi Biologi Fakutas Sains dan
Teknik beserta staf yang telah banyak membantu demi kelancaran penyusunan
proposal ini.
 Bapak Rony S. Mauboy, S.Si, M.Si dan Ibu Kristina Moi Nono, S.Si, M.Si
sebagai pembimbing yang sudah membimbing dan memberi banyak masukan
dalam proses penyelesaian proposal ini.
 Bapak Vinsensius M. Ati S.Pt, M.Si sebagai pembimbing akademik yang
telah memberikan bimbingan pada penulis selama proses perkuliahan.
 Segenap dosen Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknik yang telah
dengan sabar mengajar dan membimbing penulis selama perkuliahan.
 Keluarga besar tercinta yang telah membantu dan mendukung penulis dalam
menempuh pendidikan.
 Teman-teman seperjuangan Bioisme 16 yang selalu memberi semangat dan
motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal ini, serta semua
pihak yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan proposal
ini.

iv
Penulis menyadari bahwa proposal ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu,
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan proposal ini.Atas
bantuan dan kerjasama yang baik dari semua pihak, penulis ucapkan terimakasih.

Kupang, Juni 2020

Penulis

v
DAFTAR ISI
Halaman Persetujuan .......................................................................................i
Abstrak .............................................................................................................ii
Kata Pengantar..................................................................................................iv
Daftar isi...........................................................................................................vi
Daftar Tabel......................................................................................................vii
Daftar Gambar..................................................................................................viii
BAB I. PENDAHULUAN
 Latar Belakang Masalah ...................................................................1
 Rumusan Masalah ............................................................................3
 Tujuan Penelitian ..............................................................................4
 Manfaat penelitian.............................................................................4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
 Kajian Pustaka .................................................................................5
 Deskripsi Tempat.............................................................................5
 Mikoriza...........................................................................................7
 Kabesak............................................................................................18
 Penelitian yang Relevan ..................................................................22
BAB III. METODE PENELITIAN
 Waktu dan Tempat ...........................................................................26
 Alat dan Bahan .................................................................................26
 Prosedur Kerja...................................................................................26
 Analisis Data.....................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR TABEL

vi
Tabel Halaman

2.1 Penelitian yang relevan dan sudah dilaksanakan......................... 22

vii
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Gambar ektomikoriza.................................................................. 9

2.2 Gambar endomikoriza................................................................. 9

2.3 Gambar ektendomikoriza............................................................ 10

2.4 Gambar spora glomus.................................................................. 10

2.5 Gambar spora Ambiospora.......................................................... 11

2.6 Gambar spora gigaspora............................................................. 11

2.7 Gambar Spora Archaeospora...................................................... 12

2.8 Gambar Spora Dentiscutata........................................................ 12

2.9 Gambar Spora Entrophospora..................................................... 12

2.10 Gambar Spora Funneliformis...................................................... 13

2.11 Gambar Spora Paraglomus......................................................... 13

2.12 Gambar Spora Racocetra............................................................ 14

2.13 Gambar Spora Scutellospora....................................................... 14

viii
2.14 Gambar Spora Rhizophagus........................................................ 14

2.15 Gambar Spora Septoglomus........................................................ 15

2.16 Gambar Spora Acaulospora....................................................... 15

2.17 Perawakan pohon kabesak di Pulau Timor................................. 19

ix
BAB I
PENDAHULUAN

 Latar Belakang

Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan provinsi kepulauan dengan jumlah


pulau sebanyak 532 pulau (Informasi Kemendagri Tahun 2018), dan bedasarkan
data Badan Pusat Statistik Tahun 2017 memiliki luas wilayah 48.718,10 km 2 .
Provinsi NTT memiliki keindahan alam yang menjadi daya tarik bagi wisatawan.
Beragam obyek wisata dapat dijumpai di wilayah ini, mulai dari keindahan pulau,
wisata bahari, pegunungan dengan berbagai flora dan fauna khas, maupun wisata
budaya (Anonim, 2017). Pulau Timor merupakan salah satu pulau terbesar di
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Pulau ini memiliki kondisi iklim tropis
kering dengan bulan basah yang hanya berkisar 1-4 bulan dengan rata-rata kisaran
curah hujan 200-400 mm/bulan, sedangkan bulan kering mencapai 8-12 bulan
dengan rata-rata curah hujan 0-50 mm/bulan (Njurumana dan Butarbutar, 2008).
Karena kondisi lingkungan Pulau Timor yang semi-arid ditambah dengan sistem
perladangan berpindah yang dilakukan masyarakat, menyebabkan lahan kritis di
Pulau Timor ditemukan sangat luas. Banyak upaya telah dilakukan pemerintah
untuk merehabilitasi lahan kritis tersebut, diantaranya melalui program hutan
tanaman rakyat (HTR), hutan kemasyarakatan, penghijauan dan reboisasi.
Dalam program rehabilitasi lahan kritis pemilihan jenis tanaman yang
digunakan cenderung merupakan jenis-jenis tanaman komersial seperti jati, johar,
gmelina, cendana, jambu mete, kayu putih, kayu merah dan mahoni (Umroni,
2013). Jenis-jenis tanaman ini di lapangan banyak mengalami kematian karena
tidak dapat bertahan terhadap cekaman kekeringan, juga akibat gangguan seperti
kebakaran hutan dan penggembalaan ternak. Oleh karena itu diperlukan model
rehabilitasi lahan dengan menggunakan jenis-jenis pohon yang tidak hanya
menghasilkan kayu, tetapi juga menghasilkan hasil hutan bukan kayu (HHBK),
sekaligus juga jenis yang mampu bertahan dengan cekaman lingkungan berupa
kekeringan. Pemilihan jenis tanaman untuk rehabilitasi dapat dengan tanaman

1
yang menghasilkan HHBK dan diutamakan jenis lokal yang mampu bertahan
terhadap kekeringan. HHBK yang dihasilkan di Pulau Timor antara lain minyak
cendana, lak yang merupakan hasil sekresi kutu lak (Laccifer lacca kerr.) yang
hidup di pohon kesambi (Schleichera oleosa Merr.), kemiri (Aleurites moluccana)
dan asam biji (Tamarindus indica) (Anonim, 2009). Jenis-jenis tanaman ini
merupakan tanaman lokal yang penyebarannya juga cukup luas di Pulau Timor.
Namun masih banyak jenis tanaman lokal lain yang berpotensi dikembangkan,
salah satunya jenis kabesak (Acacia leucophloea). Akasia jenis ini di Pulau Timor
mampu bertahan hidup dalam kondisi kekeringan.
Kabesak (Acacia leucophloea) merupakan tumbuhan dari famili Fabaceae.
Tumbuhan ini diketahui merupakan jenis asli Asia Tenggara dan Asia Selatan
yang menyebar di India, Pakistan, Nepal, Srilangka, Myanmar, Thailand, Vietnam
dan Indonesia. Di Pulau Timor kabesak merupakan jenis tanaman asli yang
tumbuh liar dan oleh masyarakat daun kabesak dimanfaatkan sebagai pakan ternak
sapi dan kambing. Daun kabesak pada saat musim kering masih ditemukan hijau
sehingga digunakan sebagai pakan menggantikan rumput yang sudah kering, oleh
karena itu kabesak berpotensi dikembangkan dalam sistem silvopastura. Selain itu
batang kayu kabesak juga digunakan masyarakat Pulau Timor untuk kayu
konstruksi dan mebel. Akasia jenis ini mampu bertahan hidup dalam kondisi
kekeringan dan mampu hidup di tanah yang miskin hara. Kabesak umumnya
tumbuh di daerah semi-arid yang mempunyai bulan kering 9-10 bulan, dengan
curah hujan 500-1400 mm/tahun (NFTA 1996). Menurut Heyne (1987), pohon
kabesak mampu mencapai tinggi 35 m dengan diameter mencapai 60 cm. Pohon
kabesak ditemukan tumbuh liar dan subur di semua wilayah yang ada di Pulau
Timor. Kesuburan tanaman di lahan kritis tidak terlepas dari peranan mikroba
endofit (jamur dan bakteri) yang membantu dalam menyuburkan tanaman.
Mikoriza merupakan salah satu mikroba endofit yang bersimbiosis dengan akar
tanaman yang membentuk hifa menyerupai bola kapas guna memperluas
jangkauan serapan air dan hara tanaman serta meningkatkan ketahanan tanaman
dari cekaman (Mycotech Agro Asia, 2019). Mikoriza mempunyai sejumlah fungsi

2
diantaranya meningkatkan pengambilan unsur hara terutama fosfat oleh tanaman,
mikoriza menghalang terjadinya infeksi jamur pathogen, dan manfaat lain adanya
mikoriza adalah dapat memproduksi hormon dan zat pengatur tumbuh yang
menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman. Melihat pentingnya mikoriza bagi
tanaman, maka perlu dilakukan identifikasi mikoriza sebagai langkah awal
eksplorasi dan pemanfaatan mikoriza lokal. Tempat yang cocok untuk dilakukan
identifikasi mikoriza adalah Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK)
Oelsonbai yang terletak di kelurahan Fatukoa Kecamatan Maulafa. Hutan ini
berdasarkan pada hasil analisis klasifikasi iklim antara bulan basah (CH≥ 100
mm) dan bulan kering (CH≤60) menunjukkan bahwa kawasan ini tergolong dalam
iklim E (agak Kering). Tanaman kabesak yang dijumpai disana menjadi objek
yang menarik untuk diidentifikasi mikoriza yang bersimbiosis dengan tanaman
tersebut. Sebelumnya Penelitian tentang identifikasi mikoriza arbuskular pada
tegakan pohon telah dilakukan misalnya oleh Feri., dkk, 2016 dimana mereka
mengidentifikasi mikoriza pada tegakan kemiri dan hasil yang didapat ialah 1
genus yakni Glomus dan 8 spesies. Kemudian Yama, D., dkk, 2016 menemukan 2
genus pada tegakan akasia yakni Glomus dan Gigaspora. Penelitian tentang
tegakan pohon terus dilakukan dan yang terbaru ialah Istigfaiyah, 2018
menemukan 3 genus pada tegakan Melina yakni Glomus, Gigaspora, dan
Scultelospora. Sedangkan di pulau Timor identifikasi mikoriza lokal belum
dilakukan, khususnya pada tanaman lokal seperti kabesak yang mampu hidup pada
kondisi daerah kering. Oleh sebab itu, peneliti bermaksud untuk melakukan
penelitian berjudul “Identifikasi Fungi Mikoriza Pada Tegakan Kabesak (A.
leucophloea Willd.) Di Hutan Penelitian Oelsonbai Kupang”.
 Rumusan Masalah
 Apa saja jenis mikoriza yang bersimbiosis dengan tegakan kabesak di stasiun
penelitian Oelsonbai ?
 Bagaimana karakteristik mikoriza yang bersimbiosis dengan tegakan kabesak di
stasiun penelitian Oelsonbai ?

3
 Tujuan Penelitian
 Mengidentifikasi jenis mikoriza yang bersimbiosis dengan tegakan kabesak di
stasiun penelitian Oelsonbai
 Mengetahui karakteristik mikoriza yang bersimbiosis dengan tegakan kabesak
di stasiun penelitian Oilsonbai
 Manfaat Penelitian
 Sebagai sumber informasi ilmiah kepada para pembaca tentang mikoriza dan
simbiosisnya dengan tanaman.
 Sebagai informasi kepada pembaca mengenai pentingnya pemanfaatan
mikoriza lokal
 Sebagai informasi kepada pembaca mengenai genus spora mikoriza yang
berasosiasi dengan tanaman kabesak sehingga dapat digunakan untuk
meningkatkan produktivitas pertumbuhannya

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
 Kajian Pustaka
 Deskripsi tempat
 Lokasi, status Hukum dan luas
Hutan penelitian (HP) Oelsonbai dikelola sejak tahun 1987, secara
administrasi pemerintah termasuk dalam wilayah Kelurahan Fatukoa,
Kecamatan Maulafa dan Kelurahan Naioni, Kecamatan Alak, kota Kupang,
provinsi Nusa Tenggara Timur. Jika ditilik dari proporsi luas wilayah
administrasi, maka sebagian besar HP Oelsonbai terletak dalam wilayah
Kelurahan Maulafa dengan Luas mencapai 20,6 ha (95%) dan hanya 1, 2 ha
yang berada di Kelurahan Alak (5%) (Anonim, 2018).
Berdasarkan fungsi kawasan, HP Oelsonbai terletak pada kelompok hutan
kali kupang (RTK 174) dengan fungsi hutan produksi yang dapat dikonversi
(HPK). Pada tahun 2010, HP Oelsonbai telah mendapatkan surat rekomendasi
Walikota Kupang Nomor : Distan.522/061/2010 tanggal 26 Mei 2010 untuk
ditetapkan status pengelolaannya menjadi KHDTK Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan Seluas 21,82 ha. Namun jika ditilik berdasarkan
status kawasan hutan berdasarkan SK Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan No. 357/2016, maka area hutan Penelitian Oelsonbai yang
merupakan kawasan hutan dengan fungsi hutan produksi konversi seluas
20,53 ha dari total luas Hutan Penelitian Oelsonbai. Sedangkan 1,27 ha
terdapat areal penggunaan lain (APL) (Anonim, 2018)..
 Iklim (curah hujan)
Wilayah NTT secara umum merupakan wilayah yang dominan beriklim
kering, dimana dalam setahun musim hujan berlangsung selama 5 bulan
(November-Maret), dan musim kemarau berlangsung selama 7 bulan (April-
Oktober). Hasil analisis rarata hujan dari grid Worlclim menunjukkan bahwa
rerata hujan tahunan pada HP Oelsonbai yaitu 1.473 mm/tahun dengan pola
hujan eratik dimana hujan/bulan basah berdasarkan klasifikasi Mohr (bulan

5
Basah = hujan > 100 mm, bulan kering=hujan < 60 mm) terjadi selama 5
bulan (November-Maret), bulan lembab hanya terjadi 1 bulan April), dan 6
bulan diantaranya dikategorikan sebagai bulan kering (Anonim, 2018).
Hasil analisis klasifikasi iklim berdasarkan klasifikasi Schmidt-Ferguson
yang menggunakan quotient (Q) antara bulan basah (CH ≥ 100 mm) dan
bulan kering CH ≤ 60 mm) menunjukkan bahwa pola iklilm di HP Oelsonbai
tergolong dalam iklim E (agak kering). Oleh karena itu, secara alami wilayah
dengan klasifikasi E merupakan daerah agak kering dengan vegetasi hutan
sabana sebagaimana formasi tutupan lahan yang ditemui di HP Oelsonbai
(Anonim, 2018).
 Formasi geologi dan jenis tanah
Hasil diginatasi Peta Geologi Lembar Kupang Timor skala 1 : 250.000
menunjukkan formasi geologi pada hutan Penelitian Oelsonbai adalah formasi
batu gamping koral yang terbentuk pada masa Plistosen. Formasi geologi ini
memiliki ciri sebagian kompak dan sebagian bersifat breksi (Anonim, 2018).
Berdasarkan data jenis tanah dari BPDASHL Benain Noelmina
menunjukkan pada Hutan Penelitian Oelsonbai terdapat 2 jenis tanah, yaitu
Alfisol dan Molisol, dengan perbandingan jenis tanah alfisol lebih luas
dibandingkan jenis molisol. Dimana luas tanah alfisol pada HP Oelsonbai
mencakup 14,1 ha atau 65 % dari total dibandingkan jenistanah Molisol
dengan luas 7,7 ha 35% dari total luas HP Oelsonbai (Anonim, 2018).
 Potensi flora dan fauna
HP Oelsonbai mempunyai potensi flora dan fauna endemik NTT yang
sebagian merupakan hasil dari kegiatan penelitian dan yang sebagian lainnya
merupakan jenis yang memang tumbuh dan hidup secara alami. Hidayat
(2016) menyatakan bahwa HP Oelsonbai menjadi kantong biodiversitas di
Kota Kupang sehingga keeradaannya perlu dijaga dan dilestarikan. Ini dapat
dijustifikasi dari hasil analisis tutupan lahan hutan menggunakan citra Sentinel
2 (tanggal akuisis citra 23 Juli 2019) yang menunjukkan bahwa tutupan lahan
hutan yang menjadi kantong biodiversitas tidak banyak tersedia di Kota

6
Kupang dan HP Oelsonbai menjadi salah satu diantaranya. Fauna yang hidup
di HP Oelsonbai antara lain berbagai jenis burung yang jumlahnya mencapai
41 spesies dari 23 famili yang terdiri dari burung penetap dan migran. Penulis
yang sama juga menyatakan bahwa jumlah tersebut masih sangat mungkin
bertambah mengingat burung merupakan satwa yang memiliki tingkat
mobilitas yang tinggi (Hidayat, 2016). Sedangkan fauna yang merupakan hasil
dari penelitian yaitu rusa timor, burung bayan, dan kura-kura leher ular
(Anonim, 2018).
Hasil analisis komposisi dan struktur pada tingkat pohon dan tiang, maka
ditemukan 15 jenis vegetasi dimana jenis akasia, jati dan johar merupakan 3
jenis vegetasi yang memiliki nilai penting (INP/SDR) tertinggi secara
berturut-turut pada tingkat pohon. Hal yang serupa juga ditemukan pada tingat
tiang dimana berdasarkan nilai penting, meski sedikit berbeda dalam
komposisi vegetasi dominannya (Anonim, 2018).
 Mikoriza
Mikoriza berasal dari bahasa Yunani yang secara harfiah berarti “fungi
akar” (mykos = miko= fungi dan rhiza = akar ) atau “fungi tanah” karena hifa
dan sporanya selalu berada di tanah terutama di areal rhizosfer tanaman.
Mikoriza adalah suatu bentuk hubungan simbiosis mutualistik antara jamur
(mykus) tanah kelompok tertentu dan perakaran (rhiza) tumbuhan tingkat
tinggi. Hubungan yang saling menguntungkan ialah tanaman mendapatkan
hara lebih banyak dari tanah, sedang jamur mendapat fotosintat dari tanaman.
Mikoriza mempunyai peranan penting bagi tanaan karena : (a) meningkatkan
pengambilan unsur hara terutama fosfat oleh tanaman, (b) meningkatkan
penggunaan pupuk fosfat alam yang kurang tersedia dan harganya murah, dan
(c) mikoriza tahan terhadap keadaan lingkungan yang kurang menguntungkan.
Tanaman yang terinfeksi mikoriza lebih tahan terhadap kekeringan oleh
karena adanya miselium mikoriza dapat meningkatkan daya serap terhadap
air. Tanaman juga lebih tahan terhadap jamur pathogen karena infeksi
mikoriza menghalangi terjadinya infeksi jamur pathogen. Manfaat lain adanya

7
mikoriza adalah dapat memproduksi hormon dan zat pengatur tumbuh yang
menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman (Hidayat, Nur., dkk. 2016).
Adapun struktur mikoriza diantaranya :
 Arbuskular
Arbuskular adalah struktur hifa yang berasal dari percabangan hifa di
dalam sel korteks akar tanaman inang. Bentuk arbuskular menyerupai
pohon kecil yang berfungsi sebagai tempat pertukaran zat-zat metabolit
primer antara fungi dan akar tanaman (Brundrett, 2008). Semakin
bertambahnya umur, arbuskular berubah menjadi suatu struktur yang
menggumpal dan tidak dapat dibedakan lagi (Pattimahu, 2004).
 Vesikel
Vesikel merupakan hifa fungi endomikoriza yang mengalami
penggembungan (melebar). Penggembungan hifa bisa terjadi secara
internal di dalam sel atau di luar sel akar tanaman inang yang terbentuk
pada hifa terminus dan interkalar. Vesikel berbentuk bulat atau
oval/lonjong yang berisi senyawa lemak. Vesikel merupakan organ
penyimpanan cadangan makanan bagi fungi endomikoriza (Brundrett,
2008).
 Hifa Eksternal
Hifa eksternal merupakan struktur lain dari cendawan mikoriza yang
berkembang di luar akar. Hifa ini berfungsi menyerap hara dan air di dalam
tanah. Terbentuknya hifa eksternal yang berasosiasi dengan tanaman
berperan penting dalam perluasan bidang adsorpsi akar sehingga
memungkinkan akar menyerap hara dan air dalam jangkauan yang lebih
luas (Mosse, 1981).
 Hifa Internal
Hifa internal adalah hifa yang menembus ke dalam sel korteks dari satu sel
ke sel yang lain. Hifa internal sangat penting untuk mengetahui adanya
kolonisasi mikoriza dalam akar tanaman (Pujianto, 2001).

8
 Jenis-jenis mikoriza
Menurut Prabaningrum (2017), mikoriza secara umum dapat dibagi menjadi
tiga kelompok, yaitu :
 Ektomikoriza Ektomikoriza adalah asosiasi simbiosa antara jamur dan akar
tumbuhan, dimana jamur membentuk suatu sarung yang menyelubungi
semua atau beberapa cabang-cabang akar dan adakalanya masuk ke dalam
sel tetapi tidak pernah menembus melewati korteks dan hifa intraseluler
tidak menyebabkan kerusakan sel inang. Contoh ektomikoriza disajikan
pada gambar berikut

Gambar 2.1. Ektomikoriza (Russulales, 2010)


 Endomikoriza adalah asosiasi simbiosis mutualisme antara jamur tertentu
dengan akar tanaman, dimana jamur tumbuh sebagian besar di dalam
korteks akar dan menembus akar tanaman inang. Endomikoriza dibedakan
atas tiga grup yaitu erikoid mikoriza, orchidaceous mikoriza dan mikoriza
vesikular arbuskular. Contoh endomikoriza disajikan pada Gambar

Gambar 2.2. Endomikoriza (INVAM, 2017)


 Ektendomikoriza merupakan bentuk antara (intermediet) kedua mikoriza
yang lain. Ciri-cirinya antara lain adanya selubung akar yang tipis berupa
jaringan hartiq, hifa dapat menginfeksi dinding sel korteks dan juga sel-sel

9
korteknya. Penyebarannya terbatas dalam tanah-tanah hutan sehingga
pengetahuan tentang mikoriza tipe ini sangat terbatas. Contoh
ektendomikoriza disajikan pada Gambar

Gambar 2.3. Ektendomikoriza (Anonim, 2004)

Berdasarkan INVAM (2017), ada 13 genus spora mikoriza yaitu


 Glomus
Genus ini dicirikan dengan bentuk bulat dan oval. Warna spora genus
Glomus bervariasi mulai dari, kuning, kuning kemerahan, kuning
kecoklatan, coklat kekuningan, coklat muda, coklat tua kehitaman, ungu
hingga hitam. Selain itu, spora dapat diproduksi secara tunggal maupun
bergerombol membentuk agregat. Contoh spora Glomus disajikan pada
Gambar

Gambar 2.4. Spora Glomus (INVAM, 2017)

 Ambispora
Genus Ambispora berbentuk bulat dan struktur subselulernya terdiri
dari tiga lapis. Dinding spora berwarna dan memiliki dua germination wall.
Dinding spora terluar membentuk permukaan spora yang berumur pendek

10
dan jarang terbentuk pada spora dewasa. Germination wall terluar
membentuk dua lapisan yang biasanya saling melekat, sementara
germination wall terdalam membentuk tiga lapisan. Contoh spora Ambispora
disajikan pada Gambar

Gambar 2.5. Spora Ambispora (INVAM, 2017)


 Gigaspora
Spora pada genus ini memiliki dua lapis dinding serta auxiliary cells.
Karakteristik khas pada Gigaspora ialah memiliki bulbous suspensor. Spora
Gigaspora dihasilkan secara tunggal di dalam tanah, dengan ukuran yang
relatif besar dan memiliki bentuk bulat, oval dan iregular. Warna spora pada
genus ini bervariasi mulai dari kuning, kuning kehijauan, hijau kekuningan,
kuning kecoklatan, coklat kekuningan hingga hitam. Contoh spora
Gigaspora disajikan pada Gambar

Gambar 2.6. Spora Gigaspora (INVAM, 2017)

 Archaeospora
Perkembangan spora pada genus Archaespora merupakan perpaduan antara
perkembangan spora genus Glomus dan Entrophospora atau Acaulospora.
Proses awal pembentukan spora berupa pembentukan Sporiferous saccule di
ujung hifa. Leher saccule akan berkembang menjadi pedicel atau

11
percabangan hifa dari leher saccule. Contoh spora Archaeospora disajikan
pada Gambar

Gambar 2.7. Spora Archaeospora (INVAM, 2017)


 Dentiscutata
Genus Dentiscutata biasanya memiliki ornamen spora. Memiliki dinding
spora yang berlapis-lapis dan dua dinding bagian dalam yang fleksibel.
Auxiliary cell berdinding tipis dengan permukaan yang halus dan menonjol,
dan dihasilkan pada hifa dalam tanah dekat permukaan akar. Contoh spora
Dentiscutata disajikan pada Gambar

Gambar 2.8. Spora Dentiscutata (INVAM, 2017)


 Entrophospora
Proses perkembangan spora Entrophospora berada di antara hifa terminal
dan dudukan hifa. Warna sporanya kuning dan coklat. Jika spora belum
matang, warnanya tampak jauh lebih buram. Spora berbentuk bulat dengan
ukuran ratarata 121 𝜇m. Dinding spora terdiri atas dua lapisan. Contoh spora
Entrophospora disajikan pada Gambar

Gambar 2.9. Spora Entrophospora (INVAM, 2017)

12
 Funneliformis
Spora terbentuk secara tunggal dalam tanah atau berkelompok. Spora
biasanya dikelilingi oleh seluruh atau bahkan sebagian dari selimut
miselium. Dasar spora biasanya berbentuk corong dan dinding spora terdiri
atas dua atau tiga lapisan. Lapisan luar hialin dan akan meluruh seiring
dengan pematangan spora. Contoh spora Funneliformis disajikan pada
Gambar

Gambar 2.10. Spora Funneliformis (INVAM, 2017)


 Paraglomus
Spora berbentuk bulat dengan warna kuning, semi transparan dan bening.
Jumlah dinding spora terdiri atas lapisan transparan. Dudukan hifa berbentuk
silinder. Ukuran spora rata-rata 85 𝜇m. Contoh spora Paraglomus disajikan
pada Gambar

Gambar 2.11. Spora Paraglomus (INVAM, 2017)


 Racocetra
Genus Racocetra bisa memiliki ornamen spora. Spora memiliki dua lapis
dinding spora dan dua lapis dinding germinal dalam yang fleksibel.
Auxiliary cell berdinding tipis dengan permukaan halus dan menonjol, dan
diproduksi melalui hifa di tanah yang dekat dengan permukaan akar. Contoh
spora Racocetra disajikan pada Gambar

13
Gambar 2.12. Spora Racocetra ( INVAM, 2017)

10. Scutellospora
Spora Scutellospora umumnya ditemukan dengan atau tanpa ornament.
Genus Scutellospora memiliki bentuk spora bulat, elips dan terkadang
iregular dengan warna dinding spora kuning, biru, coklat hingga kehitaman.
Scutellospora memiliki germination shield yang terletak pada lapisan
dinding fleksibel bagian dalam. Contoh spora Scutellospora disajikan pada
Gambar

Gambar 2.13. Spora Scutellospora (INVAM, 2017)


11. Rhizophagus

Perkembangan spora Rhizophagus mirip dengan perkembangan spora pada


genus Glomus. Spora glomoid terbentuk secara tunggal pada tanah dan juga
akar. Genus cenderung tidak membentuk struktur vesikular-arbuskular yang
khas. Contoh spora Rhizophagus disajikan pada Gambar

14
Gambar 2.14. Spora Rhizophagus (INVAM, 2017)
12. Septoglomus
Spora terbentuk secara tunggal maupun berkelompok dalam tanah.
Susunan hifanya tidak beraturan dengan lapisan laminasi pada dinding
spora. Spora memiliki satu atau lebih lapisan dinding bagian luar. Dudukan
berbentuk silindris atau sedikit berbentuk corong pada dasar spora. Contoh
spora Septoglomus disajikan pada Gambar

Gambar 2.15. Spora Septoglomus (INVAM, 2017)


13. Acaulospora
Genus Acaulospora memiliki bentuk bulat, iregular dan elips dengan dua
lapis dinding spora. Warna spora bervariasi mulai kuning, oranye
kecoklatan, merah tua, hingga merah kecoklatan. Genus Acaulospora
memiliki saccule yang berbentuk bulat hingga iregular dengan warna
bervariasi dari transparan, kuning, merah muda transparan, hingga putih.
Contoh spora Acaulospora disajikan pada Gambar

Gambar 2.16. Spora Acaulospora (INVAM, 2017)

15
 Faktor-faktor yang mempengaruhi Mikoriza
Keberadaan spora FMA dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan seperti :
 Cahaya
Rendahnya jumlah produksi spora dan akar tanaman yang terinfeksi
FMA dapat disebabkan oleh tingginya naungan pada tanaman inang.
Naungan yang tinggi juga dapat menyebabkan berkurangnya respon
tanaman terhadap fungi mikoriza. Hal ini disebabkan adanya hambatan
pertumbuhan dan perkembangan internal hifa dalam akar yang berakibat
terbatasnya perkembangan eksternal hifa pada rizosfer (Setiadi, 2000).
 Suhu
Suhu dapat mempengaruhi perkembangan spora, penetrasi hifa pada
sel akar dan perkembangan hifa pada korteks akar. Selain itu, suhu juga
berpengaruh pada ketahanan dan simbiosis FMA. Semakin tinggi suhu
semakin besar terbentuknya kolonisasi dan meningkatnya produksi spora.
Schenk dan Schroder (1974) menyatakan bahwa suhu terbaik untuk
perkembangan arbuskular adalah 30oC namun suhu optimum bagi
pertumbuhan koloni miselia adalah 28–34OC, sedangkan optimum bagi
perkembangan vesikula pada suhu 35oC.
 Kandungan air tanah
Kandungan air tanah dapat mempengaruhi pertumbuhan serta infeksi
fungi mikoriza terhadap akar tanaman. Daniels dan Trappe (1980)
menggunakan FMA spesies Glomus epigaeum yang dikecambahkan pada
lempung berdebu pada berbagai kandungan air menunjukkan hasil bahwa
Glomus epigaeum berkecambah paling baik pada kandungan air di antara
kapasitas lapang dan kandungan air jenuh.
 pH Tanah
Fungi mikoriza pada umumnya memiliki adaptasi yang baik pada
perubahan pH tanah. pH tanah berpengaruh pada perkecambahan,
perkembangan dan peran mikoriza terhadap pertumbuhan tanaman (Maas

16
dan Nieman, 1978). pH optimum untuk perkembangan fungi mikoriza
berbeda-beda tergantung pada adaptasi fungi mikoriza terhadap
lingkungan. pH dapat mempengaruhi aktivitas kerja enzim yang berperan
dalam perkecambahan spora fungi mikoriza. Beberapa contoh spesies
FMA yang beradaptasi pada pH dengan lingkungan yang berbeda antara
lain, Glomus mosseae pada tanah alkali dapat berkecambah dengan baik
pada air atau pada soil extract agar pada pH 6−9. Spora Gigaspora
coralloidea dan Gigaspora heterogama dapat berkecambah dengan baik
pada pH 4−6. Glomus epigaeum perkecambahannya lebih baik pada pH
6−8.
 Bahan Organik
Bahan organik merupakan salah satu komponen yang menunjang dalam
meningkatkan kesuburan tanah serta memperbaiki sifat-sifat tanah. Jumlah
spora FMA berhubungan erat dengan kdanungan bahan organik dalam
tanah. Pada tanah−tanah yang memiliki kadar bahan organik 1−2%,
ditemukan mengandung spora maksimum sedangkan pada tanah-tanah
berbahan organik kurang dari 0,5% kandungan spora sangat rendah
(Pujianto, 2001).
 Logam berat dan unsur lain
Kandungan logam berat yang terdapat dalam tanah dapat
mempengaruhi perkembangan mikoriza. Diketahui bahwa beberapa
spesies mikoriza arbuskular mampu beradaptasi pada tanah yang tercemar
seng (Zn), tetapi sebagian besar spesies mikoriza peka terhadap kandungan
Zn yang tinggi dalam tanah. Pada beberapa penelitian lain diketahui pula
strain-strain fungi mikoriza tertentu toleran terhadap kandungan Mn, Al,
dan Na yang tinggi (Janouskuva et al., 2006).
 Tanaman Inang
Fungi mikoriza arbuskular merupakan simbion obligat yang dalam
siklus hidupnya membutuhkan tanaman inang sebagai tempat hidupnya.
Tanaman inang merupakan sumber senyawa karbon yang merupakan

17
nutrisi bagi FMA. Kondisi fisik tanaman akan mempengaruhi
perkembangan FMA, sehingga apabila kondisi tanaman terganggu (stress)
baik akibat kekeringan maupun penyakit maka kondisi FMApun akan
terganggu, yang dapat menyebabkan terputusnya asosiasi antara fungi dan
tanaman yang selanjutnya dapat memicu sporulasi FMA. Seperti yang
diungkapkan oleh Shi et al. (2007), bahwa pada saat kondisi tanaman inang
tertekan atau terganggu maka FMA cenderung membentuk spora lebih
banyak.
 Mikroorganisme lain
Keberadaan mikroorganisme lain di dalam tanah dapat mempengaruhi
pertumbuhan tanaman inang, hal ini karena mikroorganisme di dalam tanah
ada yang bersifat antagonis terhadap tanaman dan ada juga yang bersifat
non−antagonis terhadap tanaman. Mikroorganisme yang bersifat antagonis
akan menyerang tanaman inang dan menimbulkan gangguan fisik,
sehingga menghambat pertumbuhan tanaman inang dan mampu memicu
sporulasi FMA (Paulitz dan Linderman, 1991). Namun mikroorganisme
yang bersifat non−antagonis tidak menimbulkan gangguan fisik justru
terkadang mikroorganisme tertentu dapat membantu meningkatkan
pertumbuhan tanaman inang (Mukerji et al., 1997).

 Kabesak
 Klasifikasi Kabesak
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Fabales
Famili : Fabaceae
Genus : Acacia
Spesies : Acacia leucophloea Willd.

18
 Morfologi Kabesak
Kabesak merupakan pohon besar berduri dengan tinggi mencapai 35 m
dan diameter setinggi dada mencapai 100 cm. Batang pohon kokoh, terbagi
menjadi beberapa cabang berdiameter besar. Spesies ini mempunyai
karakteristik tajuk berbentuk payung lebar seperti mahkota. Kulit batang
putih hingga kekuning-kenuningan pucat, halus, pengelupasan kulit dalam
garis panjang, pada pohon tua menjadi hitam dan kasar. Daun majemuk
berganda (bipinnatus) dengan 4-13 pasangan dari setiap tangkai daun
(pinnae), setiap tangkai daun dengan 5-30 pasangan helaian daun. Kelenjar
bundar ditemukan pada cabang bagian bawah pertemuan sepasang tangkai
daun (pinnae). Duri dengan panjang 2-5 mm, pada pangkal daun (Valke,
2002).
Bunga mencolok, berwarna kuning cerah sampai krem, pada ibu
tangkai bunga tukal (glomerulus) mengumpul di malai terminal atau axillar,
5 kelopak bunga, panjang mahkota bunga (corolla) 1.2-2 mm. Polong
berwarna kuning, hijau atau coklat, rata dan agak lurus, panjang 10-20 cm,
lebar 5-10 mm, mengandung 10-20 biji membujur dengan permukaan licin,
biji berwarna coklat pekat, berukuran 6x4 mm. Satu kg benih kabesak berisi
biji kabesak berjumlah 37.000-50.000 biji kabesak (NFTA 1996).
Gambar 2.17. Perawakan pohon kabesak di Pulau Timor (A), ranting kabesak dengan polong buah (B), bentuk dan
warna batang pohon kabesak (C), cabang kabesak yang sedang berbunga (D), morfologi kabesak menurut Lemmens et
al. (1996) (E).

19
 Bioekologi kabesak
Kabesak merupakan pohon yang hidup di daerah beriklim tropis dan
subtropis. Kabesak merupakan jenis tumbuhan asli yang tumbuh menyebar
di beberapa negara seperti Bangladesh, India, Indonesia, Myanmar, Nepal,
Pakistan, Sri Lanka, Thailand dan Vietnam. Jenis tumbuhan ini merupakan
komponen hutan kering, savanna, hutan musim bawah, dan ekosistem gurun
dari permukaan laut sampai ketinggian 800 m di atas permukaan laut. Pada
area ini curah hujan hanya 400-1 500 mm/ tahun dan bulan kering berkisar
9-10 bulan. Temperatur ekstrim, berkisar 6-49oC. Kabesak biasanya tumbuh
pada tipe tanah berpasir, tanah rocky infertile, tanah limestone, liat organik
dan area alluvial (NFTA 1996).
Daun kabesak mungkin gugur selama musim dingin (Februari) atau
musim kering dan kembali tumbuh pada musim hujan (April) di India.
Bunga muncul secara berlimpah selama musim hujan. Pembungaan terjadi
Juli- November di India dan Desember-Maret di Indonesia. Polong matang
dari April-Juni. Pertumbuhan kabesak biasanya lambat namun pada tanah
subur semai kabesak dapat tumbuh dengan cepat, sampai dengan 60 cm per
tahun. Semai kabesak membutuhkan cahaya matahari dan peka terhadap
persaingan gulma, api dan suhu dingin, namun setelah mencapai pohon telah
bertumbuh sangat toleran terhadap kekeringan, api dan suhu dingin. Kabesak
mampu mengikat nitrogen atmosfer melalui hubungan simbiosis dengan
mikroba tanah yang memungkinkan untuk bertahan hidup di tanah tak subur
(NFTA 1996).
 Kegunaan kabesak
Kabesak oleh masyarakat India dimanfaatkan sebagai obat tradisional,
yang digunakan sebagai astringent, demulcent, thermogenic, anthelmintic
dan expectorant. Imran et al. (2011) mengungkapkan penggunaan kulit
batang kabesak sebagai obat untuk gangguan pencernaan dan pernafasan.
Sowndhararajan et al. (2013) mengungkapkan aseton dan methanol dari
ekstrak kulit batang kabesak menunjukkan aktivitas antioksidan yang baik

20
berdasarkan berbagai tes antioksidan, hal ini sama seperti yang diungkapkan
Zia-ul-Haq et al. (2013) bahwa biji, daun, bunga dan polong kabesak
mempunyai potensi yang cukup baik sebagai antioksidan alami.
Arthanarieswaran et al. (2015) juga mengungkapkan serat dari kulit kabesak
dapat menjadi alternatif terbaik serat sintesis dalam struktur komposit. Untuk
masyarakat Pulau Timor, kabesak digunakan sebagai pakan ternak dan juga
kayu konstruksi dan mebel. Kualitas kayu kabesak menurut Rianawati
(2014), termasuk dalam kayu kelas kuat II-III, yang jika dibandingkan
dengan kayu lain, seperti jati, maka kualitas kabesak di bawah kayu jati
(kelas kuat II). Kayu kabesak memiliki kualitas penyerutan, pembentukan,
pengampelasan, pengeboran dan pembubutan yang sangat baik atau kelas
pemesinan I, yang sangat baik seperti beragam produk moulding dan mebel
(Rianawati et al. 2015). Sebagai pakan ternak, suplementasi tepung ikan
terproteksi ekstrak tanin kabesak berefek positif terhadap pertumbuhan
ternak kambing (Lawa dan Lazarus 2015). Daun kabesak menghasilkan
pewarna hitam dan kulit menghasilkan zat coklat kemerahan digunakan
untuk memproduksi pewarna dan tanin. Kabesak mampu bertahan hidup
dalam kondisi cekaman kekeringan sehingga di India kabesak digunakan
sebagai tanaman untuk reklamasi. Menurut Lemmens et al. (1996) kayu
kabesak sangat baik untuk kayu bakar dan pembuatan arang, selain itu biji
kabesak yang telah berkecambah dapat dimasak dan dimakan sebagai
sayuran.

21
 Penelitian yang relevan
Beberapa penelitian terdahulu yang relevan atau berhubungan dengan penellitian
yang dilakukan saat ini dapat dilihat pada Tabel 2.1

Tabel 2.1 Penelitian yang relevan dan sudah dilaksanakan


No Peneliti Judul Penelitian Hasil atau kesimpulan
Penelitian
 Yurisman, Asosiasi fungi Berdasarkan penelitian didapat
Bondan., mikoriza arbuskula hasil bahwa tanaman bintaro
dkk. 2015 (FMA) pada (Cerbera manghas) di sekitar
tanaman bintaro komplek Untan berasosiasi
(Cerbera manghas dengan sFMA, ditunjukkan
linn.) Di tanah dengan adanya spora FMA dan
aluvial ditemukan struktur infeksi
yang membentuk hifa dan
vesikel pada akar tanaman
bintaro tersebut. Jenis FMA
yang diperoleh adalah 10 jenis
Glomus dan 2 jenis
Scutellopora dari 2 jenis tanah
(aluvial dan gambut). Pada
tanah berbeda ditemukan jenis
berbeda dari genus Glomus
maupun Scutellospora. Tingkat
infeksi akar bintaro oleh FMA
berkisar antara rendah – sedang
dengan rata – rata termasuk
kelas 2 (rendah).

 Feri., dkk. Keberadaan Fungi Hasil penelitian yang dilakukan 

22
2016 Mikoriza di Desa Bentunai Kecamatan 
Arbuskula (Fma) selakau Kabupaten sambas
Pada Tegakan menunjukan adanya hubungan
Kemiri (Aleurites atau asosiasi pada tegakan
Moluccana Willd) kemiri dengan dibuktikan
Di Desa Bentunai adanya infeksi FMA pada akar.
Kabupaten Sambas Hasil karakteristik spora FMA
yang terdapat pada rizozfer
tegakan kemiri di Desa
Bentunai Kecamatan Selakau
hanya terdapat 1 genus yaitu
Glomus dan 8 jenis
FMA. Berdasarkan rata rata
dari keseluruhan sampel yang
diamati, tingkat infeksi akar
yang terdapat pada tegakan
kemiri termasuk dalam
klasifikasi kelas 3 (sedang).
 Yama, Asosiasi Cendawan Kesimpulan yang dapat
Decki., Mikoriza diambil ialah Lahan gambut di
dkk. 2016 Arbuskula (CMA) areal Hutan Tanaman Industri
Pada Tegakan PT. Kalimantan Subur Permai
Akasia (Acacia Kabupaten Kubu Raya
crassicarpa a. diperoleh informasi awal
Cunn.ex benth) di bahwa terdapat asosiasi CMA
Lahan Gambut PT. terhadap tegakan Acacia
Kalimantan Subur crassicarpa. Berdasarkan hasil
Permai Kabupaten karakteristik tipe spora
Kubu Raya ditemukan 6 jenis spora dari 2
Kalimantan Barat genus, yaitu genus Glomus dan

23
Gigaspora. Rata – rata tingkat
asosiasi yang terjadi pada akar
Acacia crassicarpa termasuk
dalam klasifikasi kelas 3
(sedang).
 Ginting. Keanekaragaman Berdasarkan pada hasil
2018 Fungi Mikoriza penelitian, persentase
Arbuskula (FMA) kolonisasi FMA di Pantai
di Bawah Tegakan Cemara Kembar termasuk
Cemara Laut dalam kategori tinggi dengan
(Casuarina rata-rata 63,36% pada
equisetifollia) pada kedalaman 0-20. Hasil
Beberapa penelitian keanekaragaman
Kedalaman Tanah FMA di Pantai Cemara
Kembar ditemukan 2 genus
spora yaitu Glomus dan
Acaulospora. Kepadatan spora
yang paling banyak ditemukan
pada kedalaman 0-20 cm dan
hasil yang paling sedikit
ditemukan yaitu pada
kedalaman 60-80 cm.
 Istigfaiyah Identifikasi Dan Kesimpulan yang dapat
, Lily. Karakterisasi diambil ialah terdapat 3 genus
2018 Mikoriza Pada spora mikoriza yang
Tegakan Gmelina berasosiasi dengan tegakan
arborea Melina diantaranya :
Glomus, Gigaspora, dan
Scutellospora. Dan Glomus
paling banyak ditemukan

24
dibandingkan jenis lainnya.
Dan juga untuk bagian akar
yang paling banyak terinfeksi
mikoriza adalah bagian ujung
cabang akar dan bagian yang
paling sedikit terinfeksi
mikoriza adalah pangkal akar,
dan berdasarkan pada
perhitungan rata-rata
persentase koloni mikoriza
pada lokasi penelitian
tergolong sedang.

BAB III
METODE PENELITIAN

 Waktu dan Tempat Penelitian

25
Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2020 sampai Oktober 2020.
Pengambilan sampel tanah diambil di bawah tegakan pohon Kabesak di Stasiun
Penelitian Oelsonbai. Ekstrasi spora, pengkuran pH tanah dan identifikasi
dilakukan di UPT Pengolahan Kebun Dinas dan Laboratorium Hayati Provinsi
Nusa Tenggara Timur.
 Alat dan Bahan
Alat-alat digunakan diantaranya : penggali tanah atau bor tanah, batang pengaduk,
thermometer tanah, GPS, meteran, hygrometer, timbangan analitik, set saringan
bertingkat, cawan petri, tabung reaksi, mikropipet, mikroskop, preparat, pipet
tetes, pinset, gunting, sentrifuge, platik, kertas label, inkubator, autoklaf alat tulis,
tisu, dan kamera. Sedangkan, bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini
antara lain : sampel tanah dari tegakan pohon kabesak di Stasiun Penelitian,
alkohol, gliserol, aquades, KOH, H2O, media PDA.
 Prosedur Kerja
 Pengambilan Sampel Tanah
 Mengambil sampel tanah sebanyak 500 gram pada kedalaman 20 cm
menggunakan penggali tanah dibawah tegakan kabesak yang telah
ditetapkan secara random
 Kemudian tanah dibersihkan dari serasah dan dimasukkan kedalam plastik
dan diberi label yang tertulis jenis tanaman, lokasi pengambilan, tanggal
pengambilan dan nama pengambil sampel.
 Kemudian tanah yang diambil dari lapangan disterilisasi ke dalam autoklaf
dengan suhu 1210C dengan tekanan 2 atm selama 1 jam. Selanjutnya tanah
di keluarkan dari autoklaf untuk di biarkan dingin sebelum digunakan.
 Pada waktu pengambilan sampel dilakukan suhu udara menggunakan
thermometer, kelembaban udara menggunakan hygrometer, tinggi tanaman,
dan diameter tanaman menggunakan meteran.
 Isolasi dan identifikasi mikoriza pada tanah

26
 Tanah yang telah disterilisasi ditimbang sebanyak 100 gr, kemudian tanah
dimasukkan kedalam gelas beaker 1000 ml lalu ditambahkan air sampai
menjadi 1000 ml.
 Didalam gelas beaker agregat tanah dipecah dengan tangan agar spora
terbebas dari tanah.
 setelah agregat pecah tanah tersebut diaduk menggunakan batang pengaduk
selama ± 5 menit.
 Selanjutnya diamkan ± 1 menit sampai partikel-partikel yang besar
mengendap.
 Selanjutnya cairan supernata tersebut dituang ke dalam saringan bertingkat.
 Selanjutnya dilakukan pembilasan dengan air kran untuk menjamin bahwa
semua partikel yang kecil sudah terbawa oleh air.
 Hasil saringan dituang kedalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan
gliserol dan di sentrifugasi dengan kecepatan 5000 rpm selama 5 menit.
 Hasil sentrifugasi dituang kedalam cawan petri lalu dibuat preparat slide dan
dilakukan pengamatan morfologi spora (warna, bentuk, dan dudukan hifa)
menggunakan mikroskop streo.
 Hasil pengamatan yang telah dilakukan diidentifikasi menggunakan panduan
INVAM
 Pengambilan sampel akar
 Sampel akar diambil pada kedalaman 20 cm dari tegakan kabesak
menggunakan penggali. Sampel yang diambil ialah akar akar halus dengan
diameter 0,5 – 1,0 mm.
 Kemudian akar dimasukkan ke dalam kantong plastik dan diberi label yang
tertulis jenis tanaman, lokasi pengambilan, tanggal pengambilan dan nama
pengambil sampel.
 Lalu akar yang diambil dari lapangan disterilisasi ke dalam autoklaf dengan
suhu 1210C dengan tekanan 2 atm selama 1 jam. Selanjutnya akar di
keluarkan dari autoklaf untuk di biarkan dingin sebelum digunakan.
 Pada waktu pengambilan sampel dilakukan suhu udara menggunakan

27
thermometer, kelembaban udara menggunakan hygrometer, tinggi
tanaman, dan diameter tanaman menggunakan meteran.
 Identifikasi mikoriza pada akar
 Akar dari tanaman yang diambil dari lapangan dicuci hingga bersih.
 Selanjutnya direndam sampel akar ke dalam larutan KOH 10% selama 3
hari kemudian dicuci akar sampai bersih
 Akar yang telah dicuci dimasukkan ke dalam larutan HCL 10 % selama 24
jam kemudian dicuci akar sampai bersih
 Selanjutnya sampel direndam dalam larutan trypan blue selama 24 jam
 Kemudian sampel akar dipotong menjadi potongan-potongan kecil
sepanjang ± 1 cm menggunakan pinset dan gunting
 Potongan-potongan akar tersebut kemudian disusun pada preparat (masing-
masing preparat berisikan 5 potongan)
 Selanjutnya preparat tersebut diamati di bawah mikroskop. Dengan
melakukan pengamatan morfologi spora (warna, bentuk, dan dudukan hifa).
 Hasil pengamatan yang telah dilakukan diidentifikasi menggunakan panduan
INVAM
 Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif yaitu dengan mencantumkan jenis
mikoriza hasil identifikasi dalam bentuk tabel dan gambar serta mendeskripsikan
masing-masing genus yang diperoleh berdasarkan karakteristik yang didapat
dalam pengamatan di bawah mikroskop.

28
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2017. Warta Cendana Edisi X No. 1. Kupang : Balai Penelitian dan
pengemangan Lingkungan Hidup. Hal. 9
Anonim. 2018. Kondisi Umum Hutan Penelitian Oelsonbai. Balai Penelitian dan
Pengembangan Lingkungan Hidup dan kehutanan Kupang NTT. Hal 3-12
Anonim. 2009. Potensi sumber daya hutan produksi Nusa Tenggara Timur.
Direktorat Bina Pengembangan Hutan Tanaman. Direktorat Jenderal Bina
Produksi Kehutanan. Departemen Kehutanan
Arthanarieswaran, V.P., Kumaravel, A., Saravanakumar, S.S. 2015.
Characterization of new natural cellulosic fiber from Acacia leucophloea
Bark. International Journal of Polymer Analysis and Characterization :
20(4) : 367376.
Banilodu, L. 1998. Implikasi Entobotani Kuantitatif dalam Kaitannya
dengan Konservasi Gunung Mutis Timor. Skripsi. Institut Pertanian Bogor
Brundrett M., N. Bougher., B. Dell., T. Grove dan N. Malajxzuk. 1996. Working
with Mycorrhizas in Forestry and Agriculture, Pirie Printers, Canberra
Daniel, B.A.H dan Trappe, J.M. 1980. Factors Affecting Spora Germination of the
VAM Fungus Glomus Epigaeus. Mycologya : 72(3) : 457-471
Engelbert, M & Lolong A.A. Identifikasi Cendawan Mikoriza arbuskular (CMA)
pada Beberapa Tekstur Tanah di Lahan Kelapa Sawit di Kalimantan Tengah.
Kalimantan : Balai Penelitian Tanaman Palma
Feri., Burhanuddin., Herawatiningsi, R. 2016. Keberadaan Fungi Mikoriza
Arbuskula (FMA) Pada Tegakan Kemiri (Aleurites Moluccana Willd) Di
Desa Bentunai Kabupaten Sambas. Jurnal hutan lestari (2016) : vol. 4 (4) :
495 – 504
Firnando., Junedi, E. Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula pada
Tegakan Jabon [Skripsi Sarjana] Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera
Utara. http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/16196
Ginting, Febryanti, S. Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA)
Di Bawah Tegakan Cemara Laut (Casuarina equisetifollia) Pada
Beberapa Kedalaman Tanah [Skripsi Sarjana] Fakultas Kehutanan 
Universitas Sumatera Utara. http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/638
1.
Hermawan, H., Muin, A., Wulandari, R. S. 2015. Kelimpahan Fungi
Mikoriza Arbuskula (FMA) Pada Tegakan Ekaliptus (Eucalyptus pellita)
Berdasarkan Tingkat Kedalaman Di Lahan Gambut. Jurnal Hutan Lestari
(2015) : Vol. 3 (1) : 124 – 132
Hidayat, N., Wignyanto., Sumarsih, S., Putri, A.I. 2016. Mikologi Industri.
Malang : Universitas Brawijaya Press (UB Press)
Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid ke-3. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan : hlm 881-
883.
Istigfaiyah, Lily. 2018. Identifikasi Dan Karakterisasi Mikoriza Pada Tegakan
Gmelina arborea. Skripsi. Program Studi Kehutanan Fakultas Kehutanan
Universitas Hasanuddin Makassar
International Culture Collection of (Vesicular) Arbuscular Micorrhizal
Fungi (INVAM). 2017. Arbuscular Mycorrhizal Fungi. West Virginia
University https://invam.wvu.edu/ [14 Februai 2020]
Janouskova, M., Pavlikova, D dan Votsaka, M. 2006. Potensial Contribution of
Arbuscular Mycorrhiza to Cadmium Immobili Sation in Soil. Chemosphere
Lawa EDW, Lazarus EJL. 2015. Suplementasi tepung ikan terproteksi ekstrak
tanin hijauan kabesak kuning, kabesak hitam dan kihujan dalam ransum
terhadap pertumbuhan ternak kambing. Jurnal Zootek : 35(2) : 368-378.
Lemmens, R.H.M.J., I Soerinegara dan W.C. Wong (Editors). 1996. Plant
Resources of South – East Asia 5 (2) Timber Trees . Minor Comercial
Timbers. Prosea Foundation. Bogor
Mosse, B. 1981. Vesikular-Arbuskular Mycorrizha Research for Tropical
Agriculture Tress. Bull. Hawai.
Mycotech Agro Asia. 2019. Mycogrow ( Pupuk hayati mikoriza).
Company Ptrofile PT Mycotech Agro Asia
Nainggolan, R.T., Wirawan, G.P.,Susrama, G.K. 2014. Identifikasi Fungi
Mikoriza Arbuskular Secara Mikroskopis pada Rhizosfer Tanaman Alang-
Alang (Imperata Cylindrica L.) di Desa Sanur Kaja. E-Jurnal
Agroekoteknologi Tropika : Vol. 3 (4)
NFTA. 1996. Acacia leucophloea - shade and fodder for livestock in arid
environments. NFTA 96-04. Waimanalo. [internet]. [diunduh pada 13 Januari
2020] tersedia pada : http://www.nzdl.org/gsdlmod.
Njurumana GN, Butarbutar T. 2008. Prospek pengembangan hasil hutan bukan
kayu berbasis agroforestri untuk peningkatan dan diversifikasi pendapatan
masyarakat di Timor Barat. Info Hutan : 5 (1) : 53-62.
Njurumana GN. 2008. Rehabilitasi lahan kritis berbasis agrosylvopastura di
Timor dan Sumba, nusa tenggara timur. Info Hutan : 5 (2) : 99-112.
Nurhandayani, R., R. Linda, S. Khotimah. 2013. Inventarisasi jamur mikoriza
vesikular arbuskular dari rhizosfer tanah gambut tanaman nanas (Ananas
comosus (L.) Merr). Jurnal Protobiont : 2(3):146-151.
Pattimahu, D.V. 2004. Restorasi Lahan Kritis Pasca Tambang Sesuai Kaidah
Ekologi. Makalah Mata Kuliah Falsafah Sains. Sekolah Pasca Sarjana Institut
Pertanian Bogor, Bogor
Paulitz, T.C. dan R.G. Linderman. 1991. Ack of Antagonism Between The
Biocontrol Agent Gliocladium virens and Vesicular Arbuscular
Mycorrhizal Fungi. New Phytologist, 117, 303-308
Prabaningrum, D. 2017. Populasi dan Keragaman Fungi Mikoriza Arbuskular
pada Tiga Klon Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz.) di Kabupaten Tulang
Bawang Barat. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Lampung, Lampung
Pujianto. 2001. Pemanfatan Jasad Mikro Jamur Mikoriza dan Bakteri dalam
Sistem Pertanian Berkelanjutan di Indonesia. Tinjauan dari Perspektif
Falsafah Sains. Makalah Falsafah Sains,.Program Pasca Sarjana Institut
Pertanian Bogor. Bogor
Pusat data dan teknologi informasi. 2017. Buku Informasi Statistik. Jakarta: Pusat
data dan teknologi informasi
Pusat data dan teknologi informasi. 2018. Buku Informasi Statistik. Jakarta: Pusat
data dan teknologi informasi
Rahmi, N., Dewi, R., Maretalin, R., Hidayat M. 2017. Keanekaragaman Fungi
Mikoriza Di Kawasan Hutan Desa Lamteuba Droe Kecamatan Seulimum
Kabupaten Aceh Besar. (Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017) Program
studi Pendidikan Biologi FTK UIN Ar-Raniry banda Aceh
Rianawati H. 2014. Studi Kelas Kuat Kayu Kabesak (Acacia leucophloea (Roxb.)
Willd.). Majalah Warta Cendana : 7 (2) : 1-5. Balai Penelitian Kehutanan
Kupang.
Rianawati H, Siswadi, Setyowati R. 2015. Perbedaan sifat pemesinan kayu timo
(Timoniussericeus (Desf) K. Schum.) dan kabesak (Acacia leucophloea
(Roxb.) Willd.) dari Nusa Tenggara Timur. Jurnal Penelitian Kehutanan
Wallacea : 4(2) : 185-192.
Russulales. 2010. Characteristics of the Russuloid Fungi.  
http://www2.muse.it/russulales news/in_characteristics.asp [10 Januari 2020]
Rumondang, J. & Setiadi, Y. 2011. Evaluasi aplikasi fungi mikoriza arbuskula
(FMA) dan respon pertumbuhannya terhadap jati (Tectona grandis Linn. F) di
persemaian. Jurnal Silvikultur Tropika : Vol.01(3):194197.
Setiadi, Y. 2000. Status penelitian pemanfaatan cendawan mikoriza arbuskula
untuk rehabilitasi lahan terdegradasi. Prosiding Seminar Nasional Mikoriza I.
Asosiasi Mikoriza Indonesia (AMI). Bogor.
Sastrahidayat, I.R. 2011. Ilmu Jamur (mikologi). ; Malang : Universitas Brawijaya
Press (UB Press)
Schenk, N. C. dan V.N. Schroder. 1974. TemperatureResponse of 
Endogonemicorrhiza on Soybean Roots. Mycologia : 66(4), 600-605
Shi, Z.Y., Chen, Y.L., Feng, G., Liu, R.J., dan Christie, P. 2004. Arbuscular
Mycorrhizal Fungi Associated with the Meliaceae on Hainan Island.
China. Mycorrhiza. 16, 81 – 87
Sowndhararajan, K., Joseph, J.M., Manian, S. 2013. Antioxidant and Free
Radical Scavenging Activities of Indian Acacias: Acacia leucophloea
(Roxb.) Willd., Acacia ferruginea Dc., Acacia dealbata Link. and Acacia
pennata (L.) Willd. International Journal of Food Properties : 16(8) :
17171729. doi : 10. 1080/10942912. 2011.604895.
Warouw, V., Kainde, P.,Reynold. Populasi Jamur Mikoriza Veskular Arbuskular
(MVA) Pada Zone Perakaran Jati. Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas
Pertanian Unsrat Manado. Eugenia Volume 16 Nomor1 April 2010.
Wirawan, G. 2014. Identifikasi Fungi Mikoriza Arbuskular Secara Mikroskopis
pada Rhizosfer Tanaman Alang-Alang. [Laporan penelitian]. Bali: Universitas
Udayana.
Yama, Decki., Muin, Abdurrani., Wulandari, R.S. 2016. Asosiasi Cendawan
Mikoriza Arbuskula (CMA) Pada Tegakan Akasia (Acacia crassicarpa a.
Cunn.ex benth) di Lahan Gambut PT. Kalimantan Subur Permai Kabupaten
Kubu Raya Kalimantan Barat. Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura.
Pontianak
.Yurisman, B., Burhanuddin., Wahdina. Asosiasi Fungi Mikoriza Arbuskula
(FMA) Pada Tanaman Bintaro (Cerbera Manghas Linn.) Di Tanah Aluvial.
Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura. Jurnal Hutan Lestari (2015) : 3
(4) : 551 – 560.
Zia-Ul-Haq, M., Cavar, S., Qayum, M., Khan, I., Ahmad, S., 2013. Chemical
composition and antioxidant potential of Acacia leucophloea Roxb. Acta Bot
Croat : 72(1):133-144.doi:10.2478/v 10184-012-0005-9.

Anda mungkin juga menyukai