Laporan Kasus Sindrom Nefrotik
Laporan Kasus Sindrom Nefrotik
Laporan Kasus Sindrom Nefrotik
LAPORAN KASUS
1.1 Identitas
Nama : An. SS
Usia : 9 tahun
Jenis kelamin : Laki – laki
Tempat & tgl lahir : 29 januari 2010
Alamat : Jl. Nunyai Gg. Bungsu II Rajabasa
Tanggal masuk RS : 14 Mei 2019
No.RM : 035275
1.2 Anamnesis
Alloanamnesa tanggal 14 Mei 2019 Jam 10.13
Keluhan Utama :
Mual, muntah dan kelopak mata bengkak
1
Riwayat Pengobatan :
Belum ada riwayat pengoatan sebelumnya
Riwayat Alergi :
Alergi terhadap obat-obatan, makanan, cuaca tertentu disangkal.
.
1.3 Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital
BB : 22 kg
Nadi : 90 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36º C
Status Generalis
Kepala : Normocephali
Mata : Conjungtiva anemis -/-. Sklera ikterik -/-. Refleks pupil +/+
isokor. Edema palpebra +/+.
Leher : Pembesaran KGB (-)
Thoraks : Bentuk dan gerak simetris. Pernapasan Vesikuler antara kanan
dan kiri. Ronki -/-, Wheezing -/-. Bunyi Jantung I dan II murni
regular. Retraksi ICS (-)
Abdomen : Perut supel, distensi abdomen (-), Bising usus (+) normal, hepar-
lien tidak teraba, suara timpani di seluruh lapang abdomen.
Urogenital : Tidak tampak kelainan
Ekstremitas
Atas : Akral hangat +/+, CRT<2 dtk +/+, edema +/+
Bawah : Akral hangat +/+, CRT<2 dtk +/+, edema -/-
2
1.4 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium tgl 14/05/2019
Hematologi rutin
Hemoglobin 12,7 11,5-15,5 g/dL
Hematokrit 37 32-42%
Eritrosit 4,6 4-5,2 106/ul
Leukosit 16.000 4,5-10,5 103/ul
Basofil 0 0-1%
Eosinofil 0 1-3%
Batang 1 2-6%
Segmen 83 50-70%
Limposit 13 20-40%
Monosit 3 2-8%
Trombosit 392.000 159-400 rb ul
MCV 79 80-96 fl
MCH 27 27-31 pg
MCHC 34 32-36 g/dl
Kimia Darah
Urea 50 10-40 mg/dl
Kreatinin 0,8 0,9-1,5 mg/dl
SGOT 25 6-30 U/L
SGPT 23 6-45 U/L
Kolestrol total 303 150-220 mg/dl
Urine rutin
Warna Kuning Kuning
Kejernihan Keruh Jernih
Berat jenis 1,030 1,005-1,030
pH 6 4,6-8,0
Nitrit - -
Protein urin ++ -
Glukosa (reduksi) - -
Keton - -
Urobilinogen Normal Normal
Bilirubin - -
Darah Samar ++ -
3
Kristal - -
Silinder - -
Lain-lain - -
1.5 Diagnosis
Sindrom nefrotik
1.6 Penatalaksaanaan
Terapi :
- IUFD 1500 cc/24 jam ( RL 500cc + KAEN3B 1000cc)
- Inj. Ceftriaxone 500 mg /12 jam
- Paracetamol syr 3-4 x cth II / kalau demam
- Multivitamin syr 2x cth 1
- PB = - Domperidon 5 mg
- Vit B6 8 mg
- cetirizin 9 mg
pulu XV 3x1
- triamcinolon 4 mg
- vit C 20 mg
- sacc
1.7 Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanatiam : dubia ad bonam
FOLLOW UP
Tanggal 15 Mei 2019
S : muntah (-), mual (-), demam (-), wajah dan kelopak mata kiri dan kanan
bengkak, tangan kanan bengkak (+).
O :
keadaan umum : sedang
kesadaran : compos mentis
4
nadi : 98x/menit
napas : 20x/menit
suhu : 36,30C
BB : 22 Kg
A : sindrom nefrotik
5
nadi : 82x/menit
napas : 22x/menit
suhu : 36,60C
akral teraba hangat
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Sindrom nefrotik merupakan kumpulan gejala-gejala yang terdiri dari proteinuria
massif (≥40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urine sewaktu >2
mg/mg atau dipstick ≥2+), hipoalbuminemia (≤2,5 gr/dL), edema, dan dapat disertai
hiperkolestrerolemia (250 mg/uL).1.2
Terdapat beberapa definisi/batasan yang dipakai pada Sindrom Nefrotik, antara
lain :
1. Remisi, yaitu proteinuria negatif atau trace (proteinuria <4 mg/m2 LBP/jam)
selama 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu.
7
2. Relaps, yaitu proteinuria ≥ 2+ (proteinuria ≥40 mg/m 2 LBP/jam) selama 3 hari
berturut-turut dalam 1 minggu.
3. Relaps jarang, yaitu relaps yang terjadi kurang dari 2 kali dalam 6 bulan
pertama setelah respon awal, atau kurang dari 4 kali per tahun pengamatan.
4. Relaps sering (frequent relapse), yaitu relaps terjadi ≥2 kali dalam 6 bulan
pertama atau ≥ 4 kali dalam periode satu tahun.
5. Dependen steroid, yaitu keadaan dimana terjadi relaps saat dosis steroid
diturunkan atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan, dalam hal ini
terjadi 2 kali berturut-turut.
6. Resisten steroid, yaitu suatu keadaan tidak terjadinya remisi pada pengobatan
prednisone dosis penuh (full dose) 2 mg/kgBB/hari selama 4 minggu.
3.2 Epidemiologi
Sindrom nefrotik lebih sering terjadi pada pria dibandingkan wanita (2:1) dan
kebanyakan terjadi pada umur 2 dan 6 tahun. Telah dilaporkan terjadi paling muda
pada anak umur 6 bulan dan paling tua pada masa dewasa. SNKM terjadi pada 85-
90% pasien dibawah umur 6 tahun. Di Indonesia dilaporkan 6 kasus per 100.000 anak
per tahun. Pada penelitian di Jakarta (Wila Wirya) menemukan hanya 44,2% tipe
kelainan minimal dari 364 anak dengan sindrom nefrotik primer yang dibiopsi,
sedangkan ISKDC melaporkan penelitiannya diantara 521 pasien, 76,4% merupakan
tipe kelainan minimal.3
Angka kejadian sindrom nefrotik pada anak dibawah usia 18 tahun diperkirakan
berkisar 2-7 kasus per 100.000 anak per tahun, dengan onset tertinggi pada usia 2-3
tahun. Hampir 50% penderita mulai sakit saat berusia 1-4 tahun, 75% mempunyai
onset sebelum berusia 10 tahun.3
3.3 Etiologi
Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :
1. Sindrom nefrotik primer (idiopatik)
Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer
terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain.
8
Golongan ini paling sering dijumpai pada anak. Termasuk dalam sindrom nefrotik
primer adalah sindrom nefrotik kongenital, salah satu jenis sindrom nefrotik yang
ditemukan sejak anak itu lahir atau usia dibawah 1 tahun.
Sekitar 90% anak dengan sindrom nefrotik merupakan sindrom nefrotik idiopatik.
Sindrom nefrotik idiopatik terdiri dari 3 tipe secara histologis :sindrom nefrotik
kelainan minimal, glomerulonephritis proliferative (mesangial proliferation), dan
glomerulosklerosis fokal segmental. Ketiga gangguan ini dapat mewakili 3 penyakit
berbeda dengan manifestasi klinis yang serupa; dengan kata lain, ketiga gangguan
ini mewakili suatu spektrum dari satu penyakit tunggal.4.5
Klasifikasi
Sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM)
Pada 85% dari kasus sindrom nefrotik pada anak, glomerulus terlihat
normal atau memperlihatkan peningkatan minimal pada sel mesangial dan
matriksnya. Penemuan pada mikroskop immunofluorescence biasanya negatif,
dan mikroskop elektron hanya memperlihatkan hilangnya epithelial cell foot
processes (podosit) pada glomerulus. Lebih dari 95% anak dengan SNKM
berespon dengan terapi kortikosteroid.7
9
dan C3 pada area yang mengalami sklerosis. Pada pemeriksaan dengan
mikroskop elektron, dapat dilihat jaringan parut segmental pada glomerular tuft
disertai dengan kerusakan pada lumen kapiler glomerulus. Lesi serupa dapat
terlihat pula pada infeksi HIC, refluks vesicoureteral, dan penyalahgunaan
heroin intravena. Hanya 20% pasien dengan FSGS yang berespon dengan terapi
prednisone. Penyakit ini biasanya bersifat progresif, pada akhirnya dapat
melibatkan semua glomeruli, dan menyebabkan penyakit ginjal stadium akhir
(end stage renal disease) pada kebanyakan pasien.6.7
10
Penyakit metabolic atau kongenital : diabetes mellitus, amiloidosis, sindrom
Alport, miksedema
Infeksi : hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis, streptokokus,
AIDS
Toksin dan allergen : logam berat (Hg), penisillamin, probenesid, racun
serangga, bisa ular
Penyakit sistemik imunologik : lupus eritematosus sistemik, purpura
Henoch-Schinlein, sarkoidosis
Neoplasma : tumor paru, penyakit hodgin, tumor gastrointestinal
3.4 Patofisiologi
Protenuria
Proteinuria merupakan kelainan dasar SN. Proteinuri sebagian besar berasal dari
kebocoran glomerulus (proteinuri glomerular) dan hanya sebagian kecil berasal dari
sekresi tubulus (proteinuri tubular). Perubahan integritas membrana basalis
glomerulus terhadap protein plasma dan protein utama yang dieksresikan dalam
urin adalah albumin. Dalam keadaan normal membran basal glomerulus (MBG)
mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein.
Mekanisme penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan
yang kedua berdasarkan muatan listrik (change barrier). Pada SN kedua mekanisme
penghalang tersebut ikut terganggu. Selain konfigurasi molekul protein juga
menentukan lolos tidaknya protein melalui MBG. Proteinuria dibedakan menjadi
selektif dan non-selektif berdasarkan ukuran molekul protein yang keluar melalui
urin. Proteinuria selektif apabila yang keluar terdiri dari molekul kecil misalnya
albumin. Sedangkan non-selektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul
besar seperti immunoglobulin. Selektivitas proteinuria ditentukan oleh keutuhan
struktur MBG.4.5
Hipoalbuminemia
Hipoalbuminemi disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan
peningkatan katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati biasanya
11
meningkat (namun tidak memadai untuk mengganti kehilangan albumin dalam
urin), tetapi mungkin normal atau menurun.5
Edema
Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill. Teori
underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci terjadinya
edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik
plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskular ke jaringan intestitium dan
terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan bergesernya cairan
plasma terjadi hipovolemia dan ginjal melakukan kompensasi dengan
meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisme kompensasi ini akan
memperbaiki volume intravaskular tetapi juga akan mengeksaserbasi terjadinya
hipoalbuminemia sehingga edema semakin berlanjut.5
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal utama.
Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraseluler meningkat sehingga
terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal akan
menambah retensi natrium dan edema akibat teraktivasinya sistem Renin-
angiotensin-aldosteron terutama kenaikan konsentrasi hormone aldosteron yang
akan mempengaruhi sel-sel tubulus ginjal untuk mengabsorbsi ion natrium
sehingga ekskresi ion natrium (natriuresis) menurun. Selain itu juga terjadi
kenaikan aktivasi saraf simpatetik dan konsentrasi katekolamin yang menyebabkan
tahanan atau resistensi vaskuler glomerulus meningkat, hal ini mengakibatkan
penurunan LFG dan kenaikan desakan Starling kapiler peritubuler sehingga terjadi
penurunan ekskresi natrium.5
Hiperlipidemia
Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density lipoprotein
(LDL), trigliserida meningkat sedangkan high density lipoprotein (HDL) dapat
meningkat, normal, atau menurun. Hal ini disebabkan peningkatan sintesis lipid di
hepar dan penurunan katabolisme di perifer (penurunan pengeluaran lipoprotein,
VLDL, kilomikron dan intermediate density lipoprotein dari darah). Peningkatan
12
sintesis lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan albumin serum dan penurunan
tekanan onkotik.4.5
13
gejala syok dikarenakan kekurangan perfusi ke daerah splanchnik atau akibat
peritonitis.8.9
Diagnosis banding antara lain Diabetic Nephropathy, Light Chain-Associated
Renal Disorders, Focal Segmental Glomerulosclerosis, Glomerulonephritis
akut/kronis, HIV Nephropathy, IgA Nephropathy.
3.7 Penatalaksanaan
Pada kasus sindrom nefrotik yang diketahui untuk pertama kalinya, sebaiknya
penderita di rawat di rumah sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan
14
evaluasi pengaturan diet, penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan
edukasi bagi orang tua. Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan uji Mantoux.
Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH bersama steroid, dan bila ditemukan
tuberculosis (OAT). Perawatan pada sindrom nefrotik relaps dilakukan bila disertai
edema anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal ginjal,
atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas disesuaikan dengan
kemampuan pasien. 2
Pemberian diet tinggi protein tidak diperlukan. Bahkan sekarang dianggap kontra
indikasi, karena akan menambah beban glomerolus untuk mengeluarkan sisa
metabolisme protein (hiperfiltasi) dan menyebabkan terjadinya sklerosis glomerolus.
Sehingga cukup diberikan diet protein normal sesuai dengan RDA (Recommended
Daily Allowances) yaitu 2gram/kgBB/hari. Diet rendah protein akan menyebabkan
malnutrisi energy protein (MEP) dan hambatan pertumbuhan anak. Diet rendah garam
(1-2gram/hari) hanya diperlukan jika anak menderita edema.1.2
a. Pengobatan Inisial
Sesuai dengan anjuran ISKDC (International Study on Kidney Diseases in
Children) pengobatan inisial pada sindrom nefrotik dimulai dengan pemberian
prednisone dosis penuh (full dose) 60 mg/m2 LPB/hari (maksimal 80mg/hari),
dibagi dalam 3 dosis, untuk menginduksi remisi. Dosis prednisone dihitung
berdasarkan berat badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan). Prednisone
dalam dosis penuh inisial diberikan selama 4 minggu. Setelah pemberian
steroid dalam 2 minggu pertama, remisi telah terjadi pada 80% kasus, dan
remisi mencapai 94% setelah pengobatan steroid 4 minggu. Bila terjadi remisi
pada remisi pada 4 minggu pertama, maka pemberian steroid dilanjutkan
dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40mg/m2 LPB/hari (2/3 dosis awal)
secara alternating (selang sehari), 1 kali sehari setelah makan pagi. Bila setelah
4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien
dinyatakan sebagai resisten steroid. (Gambar 1)
15
b. Pengobatan Relaps
Meskipun pada pengobatan inisial terjadi remisi total pada 94% pasien,
tetapi pada sebagian besar akan mengalami relaps (60-70%) dan 50%
diantaranya mengalami relaps sering. Skema pengobatan relaps dapat dilihat di
gambar 2, yaitu diberikan prednisone dosis penuh sampai remisi (maksimal 4
minggu) dilanjutkan dengan prednisone dosis alternating selama 4 minggu.
Pada sindrom nefrotik yang mengalami proteinuria ≥ 2+ kembali tetapi tanpa
edema, sebelum dimulai pemberian prednisone, terlebih dahulu dicari
pemicunya, biasanya infeksi saluran napas atas. Bila ada infeksi, diberikan
antibiotic 5-7 hari dan bila setelah pemberian antibiotic kemudian proteinuria
menghilang, tidak perlu diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal
ditemukan proteinuria ≥ 2+ disertai edema, maka didiagnosis sebagai relaps,
dan diberi pengobatan relaps.1
Jumlah kejadian relaps dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan inisial,
sangat penting, karen dapat meramalkan perjalanan penyakit selanjutnya.
Berdasarkan relaps yang terjadi dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan
steroid inisial, pasien dapat dibagi dalam beberapa penggolongan, yaitu :1
1. Tidak ada relaps sama sekali (30%)
2. Relaps jarang : jumlah relaps < 2 kali (10-20%)
3. Relaps sering : jumlah relaps ≥ 2 kali (40-50%)
4. Dependen steroid : yaitu keadaan dimana terjadi relaps saat dosis
steroid diturunkan atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan,
dalam hal ini terjadi 2 kali berturut-turut.
16
c. Pengobatan Sindrom Nefrotik relaps sering atau dependen steroid
Pengobatan Sindrom Nefrotik relaps sering atau dependen steroid ada 4
pilihan, yaitu :
1. Pemberian steroid jangka panjang
2. Pemberian Levamisol
3. Pengobatan dengan sitostatik
4. Pengobatan dengan siklosporin (pilihan terakhir)
Selain itu perlu dicari focus infeksi, seperti tuberculosis, infeksi di gigi
atau cacingan. Bila telah dinyatakan sebagai sindrom nefrotik relaps
sering/dependen steroid, setelah mencapai remisi dengan prednisone dosis
penuh, diteruskan dengan steroid alternating dengan dosis yang diturunkan
perlahan/ bertahap 0,2mg/kgBB sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan
relaps yaitu antara 0,1-0,5mg/kgBB alternating. Dosis ini disebut threshold dan
dapat diteruskan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba dihentikan. Umumnya
anak usia sekolah dapat mentolerir prednisone 0,5mg/kgBB dan anak usia pra
sekolah sampai 1mg/kgBB secara alternating.
17
Keterangan : prednisone dosis penuh setiap hari sampai remisi (maksimal 4
minggu), dialnjutkan dengan prednisone alternating 40 mg/m 2 LPB/hari dan
imunosupresan/sitostatik oral (siklofosfamid 2-3 mg/kgBB/hari) dosis tunggal
selama 8 minggu
18
bulan, dilanjutkan dengan 0,5mg/kgBB/hari selama 1 bulan (lama tapering-off
2 bulan).1
2. Klorambusil
Klorambusil efektif bila dikombinasikan dengan terapi steroid dalam
menginduksi remisi pada penderita ketergantungan steroid dan kambuh
sering. Dosis yang umumnya digunakan adalah 0,2 mg/kgBB/hari selama
8-12 minggu.
3. Levamisol
Levamisol sebenarnya merupakan obat antihelmentik. Obat ini juga
mempengaruhi fungsi sel T seperti imunosupresan lainnya, tetapi sifatnya
memberikan stimulasi terhadap sel T. Dosis levamisol 2,5 mg/kgBB
diberikan selang sehari selama 4-12 bulan.
19
4. Siklosporin
Pemberian siklosporin (CyA) dilakukan sesudah remisi dicapai dengan
steroid. Umumnya terapi ini digunakan bila siklofosfamid kurang efektif.
Dosis awal yang digunakan yaitu 5 mg/kgBB/hari.
Dalam penggunaannya, kadar dalam darah perlu dikontrol karena
memberikan efek nefrotoksik. Siklosporin dapat menyebabkan kelainan
histologist bahkan pada penderita yang ginjalnya normal sekalipun. Efek
samping lain yang sering ditemukan yaitu hipertrikosis, hyperplasia gusi,
gejala gastrointestinal, dan hipertensi.
20
g. Pengobatan tambahan
Mengatasi edema anasarka dengan memberikan diuretik, furosemid 1-
2mg/kgBB/kali, 2 kali sehari peroral
Edema menetap, berikan albumin (IVFD) 0,5-1g/kgBB atau plasma 10-
20 ml/kgBB/hari, dilanjutkan dengan furosemid i.v. 1 mg/kgBB/kali
Mengatasi renjatan yang diduga karena hipoalbuminemia (1,5g/dL)
berikan albumin atau plasma darah
3.8 Komplikasi
1. Infeksi
Pada sindrom nefrotik mudah terjadi infeksi dan paling sering adalah
selulitis dan peritonitis. Hal ini disebabkan karena terjadi kebocoran IgG dan
komplemen faktor B dan D di urin. Bila terjadi penyulit infeksi bacterial
(pneumonia pneumokokal atau peritonitis, selulitis, sepsis, ISK) diberikan
antibiotic yang sesuai dan dapat disertai pemberian immunoglobulin G
intravena. Untuk mencegah infeksi digunakan vaksin pneumokokus.
Pemakaian imunosupresan menambah resiko terjadinya infeksi virus seperti
campak, herpes. Bila terjadi peritonitis primer (biasanya disebabkan oleh
kuman gram negatif dan Streptococcus pneumoniae) perlu sefalosporin
generasi ketiga yaitu sefataksim atau seftriakson, selama 10-14 hari.9.10
2. Hiperlipidemia
Pada sindrom nefrotik relaps atau resisten steroid terjadi peningkatan
kadar kolesterol LDL dan VLDL, trigliserida, dan lipoprotein (a) (Lpa)
sedangkan kolesterol HDL menurun atau normal. Zat-zat tersebut bersifat
aterogenik dan trombogenik. Pada sindrom nefrotik sensitive steroid, karena
peningkatan zat-zat tersebut sementara, cukup dengan pengurangan diit lemak.9
3. Hipokalsemia
Terjadi hipokalsemia karena :
Penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan osteoporosis
dan osteopenia
21
Kebocoran metabolit vitamin D
Oleh karena itu pada sindrom nefrotik relaps sering dan sindrom nefrotik
resisten steroid dianjurkan pemberian suplementasi kalsium 500mg/hari dan
vitamin D. Bila telah terjadi tetani, diobati dengan kalsium glukonas
50mg/kgBB intravena.9
4. Hipovolemia
Pemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan sindrom nefrotik
relaps dapat mengakibatkan hipovolemia dengan gejala hipotensi, takikardia,
ekstremitas dingin dan sering disertai sakit perut.
Penyulit lain yang dapat terjadi diantaranya hipertensi, syok hipovolemik,
gagal ginjal akut, gagal ginjal kronik (setelah 5-15 tahun). Penanganan sama
dengan penanganan keadaan ini pada umumnya. Bila terjadi gagal ginjal kronik,
selain hemodialisis, dapat dilakukan transplantasi ginjal.9
3.9 Prognosis
Prognosis baik bila penderita sindrom nefrotik memberikan respons yang baik
terhadap pengobatan kortikosteroid dan jarang terjadi relaps. Prognosis jangka panjang
sindrom nefrotik kelainan minimal selama pengamatan 20 tahun menunjukan hanya 4-
5% menjadi gagal ginjal terminal, sedangkan pada glomerulosklerosis, 25% menjadi
gagal ginjal terminal dalam 5 tahun, dan pada sebagian besar lainnya disertai
penurunan fungsi ginjal.11.12
BAB III
ANALISIS KASUS
- Mual, muntah dan kelopak mata serta kedua tangan bengkak bengkak 3 hari yang
lalu.
22
b. Pemeriksaan fisik
dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, berat
badan 22 kg, suhu 36oC, nadi 90x/menit , RR 20x/menit serta terdapat edema pada
ekstermitas atas.
c. Pemeriksaan Penunjang
Penyebab dari sindrom nefrotik pada pasien kemungkinan berasal dari gejala
mual, muntah di sertai edema pada ekstermitas atas yang sudah dialami sejak 3 hari
yang lalu. Dan pada pemeriksaan laboratorium terdapat leukositosis, pada pemeriksaan
urine terdapat kekeruhan, protei urine (++), eritrosit pada urine meningkat 18-20 LPB,
kolesterol total meningkat 303 mg/dl. Penatalaksanaan pada pasien yang harus
diberikan adalah steroid predisone, dan untuk mengatasi edema sebaiknya diberikan
albumin atau diuretic. sebelum diberikan steroid sebaiknya pasien diberikan uji
mantoux. Jika hasilnya positif dapat diberikan profilaksis INH bersama steroid, bila
ditemukan tuberculosis di berikan OAT.
DAFTAR PUSTAKA
1. Alatas, Husein dkk. 2005. Kosensus Tatalaksana Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak.
Unit Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta, h.1-18.
23
2. Wila Wirya IG, 2002. Sindrom Nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede
SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi-2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI pp. 381-
426
3. Travis L, 2002. Nephrotic syndrome. Emed J (on line) (20) : screens. Available from :
URL:http//www.emedicine.com/PED/topic1564.htm. akses : on September 8, 2009
th
4. Kliegman, Behrman, Jenson, Stanton. 2007. Nelson Textbook of Pediatric 18 ed.
Saunders. Philadelpia.
5. Gunawan, AC. 2006. Sindrom Nefrotik: Pathogenesis dan Penatalaksanaan. Cermin
Dunia Kedokteran No. 150. Jakarta, h.50-54
6. Mansjoer Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2, Media Aesculapius : Jakarta
7. Pardede, Sudung O. 2002. Sindrom Nefrotik Infantil. Cermin Dunia Kedokteran No. 134.
Jakarta, h.32-37
8. Markum, et.al. 2002. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
9. Noer MS, Soemyarso N. 2009. Sindrom Nefrotik. (on line) (1) : screens. Available from :
URL:http//www.pediatrik.com. Akses : 8 september 2009
10. Suraatmaja S, Soetjiningsih, Penyunting. Pedoman Diagnosis Terapi Ilmu Kesehatan
Anak RSUP Sanglah Denpasar. Cetakan ke-2. Denpasar:Lab./SMF Ilmu Kesehatan Anak
FK UNUD/RSUP Sanglah; 2000. h.159-162
11. Cohen Eric P. Nephrotic Syndrome: Differential Diagnoses & Workup. Update: Aug 25,
2009
12. Garna, Herry dkk. 2012. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak FK
UNPAD. Edisi ke-4. Bandung: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD. h.601-
606
24