I.K Anak - Muhammad Radix Rayfitra - 12100119080 - 2019 - 15 BARUUU

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 10

Refluks Gastroesofagus

M. Radix Rayfitra_12100119080_15_2019

1. Definisi
Penyakit refluks gastroesofagus (GERD) dapat didefinisikan sebagai
masalah gejala yang cukup untuk mengganggu kualitas hidup seseorang, atau
cedera atau komplikasi yang dihasilkan dari aliran retrograde dari isi lambung
ke dalam kerongkongan, orofaring, dan / atau saluran pernapasan.1

2. Epidemiologi
Asia diperkirakan memiliki prevalensi yang rendah dan juga konsisten
dibandingkan dengan benua lain sebesar 10%.2

Tabel 1 Rentang Kejadian Refluks Gastroesofagus

Insidensi Region
High North America
Autralia
Northern Europe
Medium Western Asia
Southern Asia
South America
Low Eastern Asia
Southern Europe
Insufficient Data Africa

3. Etiologi
GERD adalah gangguan sensorimotor yang terkait dengan kerusakan
mekanisme antireflux normal (misalnya, fungsi sfingter esofagus yang lebih
rendah, ligamentum frenikoesofageal), dengan perubahan fisiologi normal
(misal Gangguan peristaltik esofagus, peningkatan tekanan intragastrik,
peningkatan tekanan introlastrik, peningkatan gradien tekanan
abdominothoracic) atau sangat jarang, sekresi asam lambung berlebih
(Zollinger–Ellison syndrome).3,4
Penyakit refluks gastroesofagus disebabkan oleh proses yang
multifaktor. Pada orang dewasa, faktor-faktor yang menurunkan tekanan
sfingter esofagus bawah sehingga terjadi refluks gastroesofagus antara lain
coklat, obat-obatan (misalnya aspirin), alkohol, rokok, kehamilan.3,4

4. Faktor Risiko
Beberapa faktor risiko GERD adalah:5,6
- Obat-obatan, seperti teofilin, antikolinergik, beta adrenergik, nitrat,
calcium-channel blocker.
- Makanan, seperti cokelat, makanan berlemak, kopi, alkohol, dan rokok.
- Struktural, umumnya berkaitan dengan hiatus hernia. Selain hiatus hernia,
panjang Lower Esophageal Sphincter (LES) yang < 3 cm juga memiliki
pengaruh terhadap terjadinya GERD.
- Indeks Massa Tubuh (IMT), semakin tinggi nilai IMT, maka risiko
terjadinya GERD juga semakin tinggi.

5. Klasifikasi
Berdasarkan lokalisasi gejalanya, GERD dibagi menjadi dua, yaitu
sindrom esofageal dan esktraesofageal. Sindrom esofageal merupakan refluks
esofageal yang disertai dengan atau tanpa adanya lesi struktural. Gejala klinis
sindrom esofageal tanpa lesi struktural berupa heartburn dan regurgitasi, serta
nyeri dada non-kardiak. Sedangkan pada sindrom esofageal disertai lesi
struktural, berupa refluks esofagitis, struktur refluks, Barret’s esophagus,
adenokarsinoma esofagus. Sindrom ekstraesofageal biasanya terjadi akibat
refluks gastroesofageal jangka panjang.7,8,9

6. Patogenesis
GERD terjadi akibat adanya ketidakseimbangan antara faktor ofensif
dan defensif dari sistem pertahanan esofagus dan bahan refluksat lambung.
Faktor defensif sistem pertahanan esofagus adalah Lower Esophageal
Sphincter (LES), mekanisme bersihan esofagus, dan epitel esofagus.5,7,8
LES merupakan strukur anatomi berbentuk sudut yang memisahkan
esofagus dengan lambung. Pada keadaan normal, tekanan LES akan menurun
saat menelan sehingga terjadi aliran antegrade dari esofagus ke lambung.
Pada GERD, fungsi LES terganggu dan menyebabkan terjadinya aliran
retrograde dari lambung ke esofagus. Terganggunya fungsi LES pada GERD
disebabkan oleh turunnya tekanan LES akibat penggunaan obat-obatan,
makanan, faktor hormonal, atau kelainan struktural.5,7,8

7. Patofisiologi
Mekanisme bersihan esofagus merupakan kemampuan esofagus
membersihkan dirinya dari bahan refluksat lambung, termasuk faktor
gravitasi, gaya peristaltik esofagus, bersihan saliva, dan bikarbonat dalam
saliva. Pada GERD, mekanisme bersihan esofagus terganggu sehingga bahan
refluksat lambung akan kontak ke dalam esofagus; makin lama kontak antara
bahan refluksat lambung dan esofagus, maka risiko esofagitis akan makin
tinggi. Selain itu, refluks malam hari pun akan meningkatkan risiko esofagitis
lebih besar. Hal ini karena tidak adanya gaya gravitasi saat berbaring.
Mekanisme ketahanan epitel esofagus terdiri dari membran sel, intercellular
junction yang membatasi difusi ion H+ ke dalam jaringan esofagus, aliran
darah esofagus yang menyuplai nutrien-oksigen dan bikarbonat serta
mengeluarkan ion H+ dan CO2, sel esofagus mempunyai kemampuan
mentransport ion H+ dan Cl- intraseluler dengan Na+ dan bikarbonat
ekstraseluler.5,7,8
Sedangkan yang termasuk faktor ofensif adalah peningkatan asam
lambung, dilatasi lambung atau obstruksi gastric outlet, distensi lambung dan
pengosongan lambung yang terlambat, tekanan intragastrik dan intraabdomen
yang meningkat. Beberapa keadaan yang mempengaruhi tekanan
intraabdomen antara lain hamil, obesitas, dan pakaian terlalu ketat.5,7,8
8. Diagnosis Kriteria
Berdasarkan Guidelines for the Diagnosis and Management of
Gastroesophageal Reflux Disease yang dikeluarkan oleh American College of
Gastroenterology tahun 1995 dan revisi tahun 2013, diagnosis GERD dapat
ditegakkan berdasarkan:9
1) Empirical Therapy
2) Use of Endoscopy
3) Ambulatory Reflux Monitoring
4) Esophageal Manometry (lebih direkomendasikan untuk evaluasi
preoperasi untuk eksklusi kelainan motilitas yang jarang seperti
achalasia atau aperistaltik yang berhubungan dengan suatu kelainan,
misalnya skleroderma).
Terapi empirik merupakan upaya diagnostik yang dapat diterapkan di
pusat pelayanan kesehatan primer karena upaya diagnostiknya sederhana dan
tidak membutuhkan alat penunjang diagnostik.5,10
Diagnosis GERD ditegakkan berdasarkan gejala klasik dari hasil
anamnesis dan pengisian kuesioner, serta berdasarkan hasil uji terapi PPI
(Proton Pump Inhibitor). Selain itu, gejala klasik GERD juga dapat dinilai
dengan Gastroesophageal Reflux Disease - Quesionaire (GERD-Q). GERD-Q
merupakan sebuah kuesioner yang terdiri dari 6 pertanyaan mengenai gejala
klasik GERD, pengaruh GERD pada kualitas hidup penderita, serta efek
penggunaan obat-obatan terhadap gejala dalam 7 hari terakhir. Berdasarkan
penilaian GERD-Q, jika skor >8 maka pasien tersebut memiliki
kecenderungan yang tinggi menderita GERD, sehingga perlu dievaluasi lebih
lanjut. Selain untuk menegakkan diagnosis, GERD-Q juga dapat digunakan
untuk memantau respons terapi.5,10
Pemeriksaan tambahan untuk diagnosis GERD adalah uji terapi PPI.
Uji terapi PPI merupakan suatu terapi empirik dengan memberikan PPI dosis
ganda selama 1-2 minggu tanpa pemeriksaan endoskopi sebelumnya. Indikasi
uji terapi PPI adalah penderita dengan gejala klasik GERD tanpa tanda-tanda
alarm. Tanda-tanda alarm meliputi usia >55 tahun, disfagia, odinofasia,
anemia defisiensi besi, BB turun, dan adanya perdarahan (melena/
hematemesis). Apabila gejala membaik selama penggunaan dan memburuk
kembali setelah pengobatan dihentikan, maka diagnosis GERD dapat
ditegakkan.5,10

9. Diagnosis Banding
- Peptic ulcer disease
- Achalasia gastritis
- Dyspepsia
- Gastroparesis11

10. Tatalaksana
10.1 Non Farmakologis
Secara garis besar, prinsip terapi GERD di pusat pelayanan
kesehatan primer berdasarkan Guidelines for the Diagnosis and
Management of Gastroesophageal Reflux Disease adalah dengan
melakukan modifikasi gaya hidup dan terapi medikamentosa GERD.
Modifikasi gaya hidup, merupakan pengaturan pola hidup yang dapat
dilakukan dengan:5,10
- Menurunkan berat badan bila penderita obesitas atau menjaga berat
badan sesuai dengan IMT ideal.
- Meninggikan kepala ± 15-20 cm/ menjaga kepala agar tetap elevasi
saat posisi berbaring.
- Makan malam paling lambat 2 - 3 jam sebelum tidur.
- Menghindari makanan yang dapat merangsang GERD seperti
cokelat, minuman mengandung kafein, alkohol, dan makanan
berlemak - asam - pedas.

10.2 Farmakologis
10.2.1 Terapi PPI
Obat-obat golongan PPI adalah omeprazole 20 mg,
pantoprazole 40 mg, lansoprazole 30 mg, esomeprazole 40 mg,
dan rabeprazole 20 mg. PPI dosis tunggal selama 8 minggu
umumnya diberikan pada pagi hari sebelum makan pagi.
Apabila gejala tidak membaik setelah terapi inisial selama 8
minggu atau gejala terasa mengganggu di malam hari, terapi
dapat dilanjutkan dengan dosis ganda selama 4 - 8 minggu,
diberikan pagi hari sebelum makan pagi dan malam hari
sebelum makan malam.5,10

10.2.2 Antagonis Reseptor H2, Antasida, dan Prokinetik


(Antagonis Dopamin dan Antagonis Reseptor Serotonin).
Antagonis reseptor H2 dan antasida digunakan untuk
mengatasi gejala refluks yang ringan dan untuk terapi
maintenance dikombinasi dengan PPI. Yang termasuk ke
dalam antagonis reseptor H2 adalah simetidin (1 x 800 mg atau
2 x 400 mg), ranitidin (2 x 150 mg), farmotidin (2 x 20 mg),
dan nizatidin (2 x 150 mg). Prokinetik merupakan golongan
obat yang berfungsi mempercepat proses pengosongan perut,
sehingga mengurangi kesempatan asam lambung untuk naik ke
esofagus. Obat golongan prokinetik termasuk domperidon (3 x
10 mg) dan metoklopramid (3 x 10 mg).5,10

11. IIMC
Artinya :

“Diriwayatkan dari Sa’bad bin Abi Waqas dari bapaknya, dari Rasulullah
SAW: Sesungguhnya Allah SWT itu suci yang menyukai hal – hal yang suci,
dia maha bersih yang menyukai kebersihan, Dia mahamulia yang menyukai
kemuliaan, Dia maha indah yang menyukai keindahan, karena itu
bersihkanlah tempat – tempatmu (HR. Tirmizi)

Referensi
1. Moayyedi P, Talley NJ. Gastro-Oesophageal Reflux Disease. Lancet.
2010;367:2086–100.
2. El-Serag HB, Sweet S, Winchester CC, Dent J. Update on the Epidemiology
of Gastrooesophageal Reflux Disease: A Systematic Review. Gut.
2014;63:871–80.
3. Mariana Y. Penyakit Refluks Gastroesofagus. Dalam: Efiaty AS, Nurbaiti I.
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga-Hidung-Tenggorok Kepala Leher. Edisi
Kelima, Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2011;252-5.
4. Hibbert J. Scott-Brown’s Otolaryngology. 6th Ed Vol.5. Oxford: Butterworth
Heinemann. 2013;5:12-5.
5. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia. Revisi Konsensus Nasional
Penatalaksanaan Penyakit Refluks Gastroesofageal (Gastroesophageal Reflux
Disease/ GERD) di Indonesia. Jakarta: Perkumpulan Gastroenterologi
Indonesia; 2013.
6. Sharma PK, Ahuja V, Madan K, Gupta S, Raizada A, Sharma MP.
Prevalence, Severity, and Risk Factors of Symptomatic Gastroesophageal
Reflux Disease Among Employees of a Large Hospital in Northern India.
Indian J Gastroenterol. 2010:30(3);128-34.
7. Guarner, Lazaro, Gascon, Royo, Eximan, Herrero. Map of Digestive
Disorders and Diseases. World Gastroenterology Organization [Internet].
2016. Tersedia dari:
https://www.worldgastroenterology.org/UserFiles/file/wdhd-2008-map-of-
digestive-disorders.pdf
8. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Setiadi S, Simbadibrata M. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1. Edisi Kelima. Jakarta: Interna Publishing; 2010.
9. Katz PO, Gerson LB, Vela MF. Corrigendum: Guidelines for the Diagnosis
and Management of Gastroesophageal Reflux Disease. Am J Gastroenterol.
2013;108:308-28.
10. The Indonesian Society of Gastroenterology. National Consensus on the
Management of Gastroesophageal Reflux Disease in Indonesia. Acta Medica
Indon. 2014;46(3):263-71.
11. Hom C, Vaezi MF. Extra-Esophageal Manifestations of Gastroesophageal
Reflux Disease: Diagnosis and Treatment. Drugs. 2013;73:1295-1281.
Lampiran Resep

Anda mungkin juga menyukai