Referat Appendicitis

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 35

REFERAT

BAGIAN ILMU BEDAH


OKTOBER, 2020
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

APPENDISITIS

Oleh:
SITI KHADIDJAH

Pembimbing:
dr. H. Muhammad Rijal Tjaddi Aman, Sp.B.

(Dibawakan dalam rangka tugas kepaniteraan klinik bagian Bedah)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2020
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menerangkan, bahwa:


Nama : SITI KHADIDJAH
Judul Refarat : APPENDISITIS
telah menyelesaikan refarat dalam rangka Kepanitraan Klinik di Bagian Bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, 14 Oktober 2020

Pembimbing,

dr. H. Muhammad Rijal Tjaddi Aman, Sp.B.

i
KATA PENGANTAR

Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Dengan mengucapkan puji syukur atas kehadirat Allah subhanu wa ta’ala
karena atas rahmat, hidayah, kesehatan dan kesempatan-Nya sehingga referat
dengan judul “Appendisitis” ini dapat terselesaikan. Salam dan shalawat
senantiasa tercurah kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, sang
pembelajar sejati yang memberikan pedoman hidup yang sesungguhnya.
Pada kesempatan ini, secara khusus penulis mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada dosen pembimbing, dr. H.
Muhammad Rijal Tjaddi Aman, Sp.B., yang telah memberikan petunjuk, arahan
dan nasehat yang sangat berharga dalam penyusunan sampai dengan selesainya
referat ini.
Penulis menyadari sepenuhnya masih banyak terdapat kelemahan dan
kekurangan dalam penyusunan referat ini, baik dari isi maupun penulisannya.
Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak senantiasa penulis harapkan demi
penyempurnaan referat ini.
Demikian, semoga refarat ini bermanfaat bagi pembaca secara umum dan
penulis secara khususnya.
Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Makassar, 14 Oktober 2020

Siti Khadidjah, S.Ked

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING......................................................i

KATA PENGANTAR........................................................................................ii

DAFTAR ISI.......................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 3

A. Definisi........................................................................................ 3
B. Anatomi, Histologi dan Fisiologi................................................ 3
C. Klasifikasi................................................................................... 7
D. Klasifikasi................................................................................... 7
E. Etiologi........................................................................................ 8
F. Patomekanisme........................................................................... 8
G. Manifestasi Klinis....................................................................... 11
H. Langkah Diagnostik.................................................................... 13
I. Diagnosis Banding...................................................................... 19
J. Penatalaksanaan.......................................................................... 20
K. Komplikasi.................................................................................. 24
L. Prognosis..................................................................................... 25

BAB III KESIMPULAN .................................................................................. 26

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 27

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

Appendisitis adalah penyakit abdomen akut yang tersering ditangani oleh


dokter bedah. Walaupun entitas diagnostik ini menonjol, diagnosis banding harus
mencakup hampir semua proses akut yang dapat terjadi di dalam rongga
abdomen, serta beberapa keadaan kedaruratan yang mengenai organ toraks.
Kadang-kadang tumor muncul di apendiks dan mengharuskan eksplorasi
abdomen. Banyak kasus appendisitis di Indonesia memerlukan perhatian penting
tenaga kesehatan, karena bila penanganan tidak tepat mungkin akan menimbulkan
komplikasi lain dan menyulitkan untuk penanganan appendisitis tersebut. Untuk
meminimalisir terjadinya penyulit dalam penatalaksanaan appendisitis maka
diperlukan penilaian appendisitis yang spesifik dan efektif. Karena nyeri perut
yang disebabkan oleh appendisitis merupakan kasus kegawatdaruratan, sehingga
membutuhkan penanganan yang segera.
Insidens appendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara
berkembang. Namun, dalam tigaempat dasawarsa terakhir kejadiannya menurun
secara bermakna. Hal ini diduga disebabkan oleh meningkatnya penggunaan
makanan berserat dalam menu sehari-hari.
Penyakit appendisitis umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri, namun
faktor pencetusnya ada beberapa kemungkinan yang sampai sekarang belum
dapat diketahui secara pasti, diantaranya faktor penyumbatan (obstruksi) pada
lapisan saluran (lumen) appendiks oleh timbunan tinja/feses yang keras (fekalit),
hyperplasia (pembesaran) jaringan limfoid, erosi mukosa oleh cacing askaris
dan E.histolytica, parasit, benda asing dalam tubuh, kanker primer dan striktur.
Tantangan jelas dalam penatalaksanaan appendisitis akut adalah dalam
membuang apendiks secara dini dalam perjalanan penyakit. Appendisitis
memiliki potensi untuk terjadinya komplikasi parah jika tidak segera diobati,
seperti perforasi atau sepsis, dan bahkan dapat menyebabkan kematian.
Dalam hal ini perlu dilakukan tindakan bedah sebagai terapi appendisitis,
yang disebut juga apendektomi, merupakan satu-satunya terapi kuratif
appendisitis. Apendektomi merupakan tindakan bedah abdomen akut yang
paling banyak dilakukan di dunia. Dalam pembahasan referat ini akan dibahas
lebih dalam menegenai appendisitis secara definisi hingga prognosis.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Appendisitis merupakan proses peradangan akut maupun kronis yang
terjadi pada apendiks vemiformis oleh karena adanya sumbatan yang terjadi
pada lumen apendiks(1). Apendiks adalah sebuah divertikulum yang sebenarnya
dari sekum normal. Seperti divertikulum lainnya, apendiks rentan terhadap
inflamasi akut dan kronik(2).

B. Anatomi, Histologi dan Fisiologi Appendiks


Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10cm
(kisaran 3- 15cm), dan berpangkal di caecum. Lumennya sempit di bagian
proksimal dan melebar di bagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks
berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit ke arah ujungnya.
Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden appendisitis pada usia
itu(3).

Gambar 2.1 Apendiks Vermiformis(4)

3
Pada 65% kasus, apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu
memungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada
panjang mesoapendiks penggantungnya. Pada kasus selebihnya, apendiks
terletak retroperitoneal, yaitu di belakang caecum, di belakang colon
ascendens, atau di tepi lateral colon ascendens. Gejala klinis appendisitis
ditentukan oleh letak apendiks(3).

Gambar 2.2 Variasi Posisi Apendiks Vermiformis(4)

Gambar 2.3 Apendiks Retrocecal(4)

4
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti
a.mesenterica superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis
berasal dari n.torakalis x. Oleh karena itu, nyeri visceral pada appendisitis
bermula di sekitar umbilicus. Pendarahan apendiks berasal dari a.apendikularis
yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya
karena thrombosis pada infeksi apendiks akan mengalami gangren(3).

Gambar 2.4 Vaskularisasi Apendiks(5)


Dinding saluran cerna termasuk appendiks, terdiri dari beberapa lapisan,
yakni mukosa, submukosa, muskularis eksterna dan serosa. Lapisan mukosa
melapisi permukaan luminal appendiks dan terdiri dari tiga komponen. Pertama
adalah lapisan membran mukosa yang berfungsi sebagai permukaan protektif
serta absorbsi dan sekresi kelenjar endokrin atau eksokrin. Apendiks
menghasilkan lender 1-2ml per hari. Lendir itu normalnya dicurahkan ke dalam
lumen dan selanjutnya mengalir ke caecum. Hambatan aliran lender di muara
apendiks tampaknya berperan pada pathogenesis appendisitis. Kedua adalah
lamina propria yang mensekresi Gut-Associated Lyphoid Tissue (GALT) yang

5
akan memproduksi immunoglobulin IgA. Immunoglobulin itu sangat efektif
sebagai pelindung terhadap infeksi. Ketiga adalah muskularis mukosa(6).
Lapisan kedua adalah submukosa. Bagian ini banyak mengandung
pembuluh darah dan pembuluh limfe. Pada lapisan ini juga terdapat anyaman
saraf yang dikenal dengan pleksus submukosa. Lapisan ketiga adalah
muskularis eksterna. Lapisan ini terdiri dari 2 struktur yakni lapisan muskular
sirkular dalam dan muskular longitudinal luar. Di antara kedua lapisan
muskularis ini terdapat anyaman saraf lain yakni pleksus mienterikus. Lapisan
terakhir dan paling luar adalah lapisan serosa. Jaringan ikat yang menutupi
saluran cerna dan mengeluarkan cairan encer licin (cairan serosa) yang
melumasi dan mencegah gesekan dengan organ viscera disekitarnya(6).

Gambar 2.5 Lapisan Dinding Apendiks(5)

6
7
C. Klasifikasi
Pemeriksaan histopatologi merupakan metode diagnosis yang paling
sering digunakan untuk mendiagnosis appendisitis. Berdasarkan gambaran
histopatologinya, appendisitis diklasifikasikan menjadi appendisitis akut,
appendisitis akut supuratif, appendisitis phlegmontosa, appendisitis
(1)
gangrenosa, dan appendisitis kronis . Pemeriksaan secara histopatologi ini
membedakan antara endoappendisitis (inflamasi atau ulcerasi pada mukosa)
dan periappendisitis (inflamasi pada serosa dan subserosa)(7).
Selain klasifikasi berdasarkan histopatologi, appendisitis akut juga
memiliki sistem grading berdararkan pemeriksaan laparoskopi. Grade 0,
merujuk pada kondisi ditemukannya gejala klinis namun normal looking
appendiks pada laparoskopi. Grade 1, kondisi saat apendiks tampak inflamasi
(hiperemia, edema). Grade 2, telah ditemukan nekrosis segmental (2A) atau
nekrosis pada dasar apendiks (2B). Grade 3, telah ditemukan flegmon (3A),
abses kurang dari 5 cm tanpa udara (3C). Grade 4, telah perforasi yang dapat
berkembang menjadi diffuse peritonitis dengan atau tanpa udara bebas
peritoneum(7).

D. Epidemiologi
Appendisitis adalah penyakit abdomen akut yang tersering ditangani oleh
dokter bedah. Insidens appendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di
negara berkembang. Namun, dalam tiga-empat dasawarsa terakhir kejadiannya
menurun secara bermakna. Hal ini diduga disebabkan oleh meningkatnya
penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari. Dalam penelitiaan
departemen Patologi Anatomi FKUI RSUPNCM, appendisitis akut adalah
diagnosis appendisitis yang paling sering ditemukan, terbanyak kedua adalah
appendisitis akut perforasi sebesar, terbanyak ketiga adalah appendisitis
kronis(8).
Di Indonesia, sebesar 596.132 orang dengan presentase 3,36% dilaporkan
menderita appendisitis pada tahun 2009, dan meningkat menjadi 621.435
dengan presentase 3,53% di tahun 2010. Prevalensi dari appendisitis sekitar 7%

8
dari kebanyakan populasi di Amerika dengan kejadian 1,1 kasus per seribu
orang per tahun. Kejadian appendisitis mencapai puncaknya pada kelompok
usia remaja akhir yaitu usia 17 – 25 tahun. Frekuensi terjadinya appendisitis
antara laki-laki dan perempuan umumnya sama. Terdapat perbedaan pada usia
20-30 tahun, dimana kasus appendisitis lebih sering terjadi pada jenis kelamin
laki-laki pada usia tersebut(1).

E. Etiologi
Appendisitis diduga dimulai dengan adanya peningkatan progresif dari
tekanan intraluminal yang menekan aliran vena. Pada 50-80% kasus,
appendisitis berkaitan dengan obstruksi luminal, umumnya disebabkan oleh
feses berukuran kecil seperti batu atau fecalith, atau lebih jarang, karena batu
empedu, tumor, cacing, benda asing (pin, biji-bijian). Cedera iskemik dan
stasis isi luminal yang mendukung proliferasi bakteri dapat memicu respon
inflamasi termasuk edema jaringan dan infiltrasi neutrofil pada lumen, dinding
otot dan jaringan lunak periapendiks(2)(3). Berbagai spesies bakteri yang dapat
diisolasi pada pasien appendisitis yaitu: bakteri aerob fakultatif, bakteri
anaerob Escherichia coli, Viridans streptococci, Pseudomonas aeruginosa,
Enterococcus, Bacteroides fragilis, Peptostreptococcus micros, Bilophila
species, Lactobacillus species(3). Studi lain menyebutkan bahwa ada peranan
dari kebiasaan mengonsumsi makanan rendah serat yang mempengaruhi
terjadinya konstipasi, sehingga terjadi appendisitis(1).

F. Patomekanisme
Appendisitis terjadi dari proses inflamasi ringan hingga perforasi, khas
dalam 24-36 jam setelah munculnya gejala, kemudian diikuti dengan
pembentukkan abscess setelah 2-3 hari. Appendisitis dapat terjadi karena
berbagai macam penyebab, antara lain obstruksi oleh fecalith, gallstone, tumor,
atau bahkan oleh cacing (Oxyurus vermicularis), akan tetapi paling sering
disebabkan obstruksi oleh fecalith dan kemudian diikuti oleh proses
peradangan. Hasil observasi epidemiologi juga menyebutkan bahwa obstruksi

9
fecalith adalah penyebab terbesar, yaitu sekitar 20% pada anak dengan
appendisitis akut dan 30-40% pada anak dengan perforasi appendiks.
Hiperplasia folikel limfoid appendiks juga dapat menyababkan obstruksi
lumen. Insidensi terjadinya appendisitis berhubungan dengan jumlah jaringan
limfoid yang hyperplasia. Penyebab dari reaksi jaringan limfatik baik lokal
atau general misalnya akibat infeksi Yersinia, Salmonella, dan Shigella; atau
akibat invasi parasit seperti Entamoeba, Strongyloides, Enterobius
vermicularis, Schistosoma, atau Ascaris. Appendisitis juga dapat diakibatkan
oleh infeksi virus enteric atau sistemik, seperti measles, chicken pox, dan
cytomegalovirus. Pasien dengan cyctic fibrosis memiliki peningkatan insidensi
appendisitis akibat perubahan pada kelenjar yang mensekresi mucus.
Carcinoid tumor juga dapat mengakibatkan obstruksi appendiks, khususnya
jika tumor berlokasi di 1/3 proksimal. Selama lebih dari 200 tahun, benda asing
seperti pin, biji sayuran, dan batu cherry dilibatkan dalam terjadinya
appendisitis. Trauma, stress psikologis, dan herediter juga mempengaruhi
terjadinya appendisitis. Awalnya, pasien akan merasa gejala gastrointestinal
ringan seperti berkurangnya nafsu makan, perubahan kebiasaan BAB yang
minimal, dan kesalahan pencernaan. Anoreksia berperan penting pada
diagnosis appendisitis, khususnya pada anak-anak. Distensi appendiks
menyebabkan perangsangan serabut saraf visceral dan dipersepsikan sebagai
nyeri di daerah periumbilical. Nyeri awal ini bersifat nyeri dalam, tumpul,
berlokasi di dermatom Th 10. Adanya distensi yang semakin bertambah
menyebabkan mual dan muntah, dalam beberapa jam setelah nyeri. Jika mual
muntah timbul lebih dulu sebelum nyeri, dapat dipikirkan diagnosis lain.
Appendiks yang obstruksi merupakan tempat yang baik bagi bakteri untuk
berkembang biak. Seiring dengan peningkatan tekanan intraluminal, terjadi
gangguan aliran limf, terjadi oedem yang lebih hebat. Akhirnya peningkatan
tekanan menyebabkan obstruksi vena, yang mengarah pada iskemik jaringan,
infark, dan gangrene. Setelah itu, terjadi invasi bakteri ke dinding appendiks;
diikuti demam, takikardi, dan leukositosis akibat kensekuensi pelepasan
mediator inflamasi dari jaringan yang iskemik. Saat eksudat inflamasi dari

10
dinding appendiks berhubungan dengan peritoneum parietale, serabut saraf
somatic akan teraktivasi dan nyeri akan dirasakan lokal pada lokasi appendiks,
khususnya di titik Mc Burney’s. Nyeri jarang timbul hanya pada kuadran kanan
bawah tanpa didahului nyeri visceral sebelumnya. Pada appendiks retrocaecal
atau pelvic, nyeri somatic biasanya tertunda karena eksudat inflamasi tidak
mengenai peritoneum parietale sampai saat terjadinya rupture dan penyebaran
infeksi. Nyeri pada appendiks retrocaecal dapat muncul di punggung atau
pinggang. Appendiks pelvic yang terletak dekat ureter atau pembuluh darah
testis dapat menyebabkan peningkatan frekuensi BAK, nyeri pada testis, atau
keduanya. Inflamasi ureter atau vesica urinaria pada appendisitis dapat
menyebabkan nyeri saat berkemih, atau nyeri seperti terjadi retensi urine5.
Perforasi appendiks akan menyebabkan terjadinya abscess lokal atau peritonitis
umum. Proses ini tergantung pada kecepatan progresivitas ke arah perforasi
dan kemampuan pasien berespon terhadap adanya perforasi. Tanda perforasi
appendiks mencakup peningkatan suhu melebihi 38.6oC, leukositosis > 14.000,
dan gejala peritonitis pada pemeriksaan fisik. Pasien dapat tidak bergejala
sebelum terjadi perforasi, dan gejala dapat menetap hingga > 48 jam tanpa
perforasi. Secara umum, semakin lama gejala berhubungan dengan
peningkatan risiko perforasi. Peritonitis difus lebih sering dijumpai pada bayi
karena tidak adanya jaringan lemak omentum. Anak yang lebih tua atau remaja
lebih memungkinkan untuk terjadinya abscess yang dapat diketahui dari
adanya massa pada pemeriksaan fisik Konstipasi jarang dijumpai tetapi
tenesmus sering dijumpai. Diare sering didapatkan pada anak-anak, dalam
jangka waktu sebentar, akibat iritasi ileum terminal atau caecum. Adanya diare
dapat mengindikasikan adanya abscess pelvis(3)(9).

11
Gambar 2.6 Morfologi Appendisitis(5)

G. Manifestasi Klinis
Pada awal appendisitis akut terdapat rasa nyeri periumbilikalis yang
kemudian terlokalisasi pada bagian kanan bawah(2). Nyeri pada periumbilikalis
adalah nyeri visceral yang muncul akibat adanya respon saraf simpatis dari
nervus thorakalis x sebagai innervasi otonom apendiks. Nyeri viscera ini lebih
banyak menunjukkan gejala dibandingkan tanda. Nyeri terasa tumpul, colicky,
kadang tanpa disertai nyeri pada pemeriksaan fisik. Nyeri bersifat radikular,
mengikuti distribusi segmen saraf thorakalis. Nyeri pada perut kanan bawah
adalah nyeri somatik yang muncul saat appendisitis sudah bermanifestasi pada
peritoneum. Infeksi akan mengiritasi serabut saraf khusus pada peritoneum
sehingga memberikan rasa nyeri yang lebih terlokalisasi, yakni pada titik Mc
Burney. Berbeda dengan nyeri visceral, nyeri somatik lebih banyak
menunjukkan tanda dibandingkan gejala. Pada pemeriksaan fisik akan nampak
tenderness dan nyeri tekan(10).
Gejala nyeri periumbilikal akan diikuti dengan gejala mual dan muntah
dan anoreksia, demam derajat rendah serta sedikit peningkatan leukosit (2).
Demam derajat rendah dapat berkisar dari 37,5-38,5 derajat celcius. Bila
demam lebih tinggi dari 38,5 derajat celcius dapat dicurigai appendisitis sudah
berkembang menjadi peritonitis. Beberapa penderita dengan letak apendiks
pelvikal juga dapat mengalami obstipasi atau diare sebelum datangnya nyeri(11).
Variasi lokasi anatomi apendiks akan menjelaskan keluhan nyeri somatik
yang beragam. Apendiks yang panjang dengan ujung yang mengalami

12
inflamasi di kuadran kiri bawah akan menyebabkan nyeri di daerah tersebut,
apendiks retrosekal akan menyebabkan nyeri flank atau punggung, apendiks
pelvikal akan menyebabkan nyeri pada suprapubik dan apendiks retroileal bisa
menyebabkan nyeri testikuler(11).
Pada Apendicitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling,
sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut. Secara
klinis, dikenal beberapa manuver diagnostik. Rovsing’s sign: dikatakan posiif
jika tekanan yang diberikan pada LLQ abdomen menghasilkan sakit di sebelah
kanan (RLQ), menggambarkan iritasi peritoneum. Sering positif tapi tidak
spesifik. Psoas sign: dilakukan dengan posisi pasien berbaring pada sisi
sebelah kiri, sendi pangkal kanan diekstensikan. Nyeri pada cara ini
menggambarkan iritasi pada otot psoas kanan dan indikasi iritasi retrocaecal
dan retroperitoneal dari phlegmon atau abscess. Dasar anatomis terjadinya
psoas sign adalah appendiks yang terinflamasi yang terletak retroperitoneal
akan kontak dengan otot psoas pada saat dilakukan manuver ini. Obturator
sign: dilakukan dengan posisi pasien terlentang, kemudian gerakan endorotasi
tungkai kanan dari lateral ke medial. Nyeri pada cara ini menunjukkan
peradangan pada M. obturatorius di rongga pelvis. Perlu diketahui bahwa
masing-masing tanda ini untuk menegakkan lokasi appendiks yang telah
mengalami radang atau perforasi. Blumberg’s sign: nyeri lepas kontralateral
(tekan di LLQ kemudian lepas dan nyeri di RLQ). Wahl’s sign: nyeri perkusi di
RLQ di segitiga Scherren menurun. Baldwin test: nyeri di flank bila tungkai
kanan ditekuk. Defence musculare: bersifat lokal, lokasi bervariasi sesuai letak
Appendiks. Nyeri pada daerah cavum Douglas bila ada abscess di rongga
abdomen atau Appendiks letak pelvis. Nyeri pada pemeriksaan rectal tooucher.
Dunphy sign: nyeri ketika batuk(3).
Semua penderita dengan suspek appendisitis acute dibuat skor Alvarado
dengan sistem scoring sebagai berikut(12).
Tabel 2.1 Alvarado Score
Aspek Score
Migrasi nyeri 1

13
Anoreksia 1
Mual/muntah 1
Nyeri RLQ 2
Nyeri tekan lepas (Rebound) 1
Febris 1
Leukositosis 2
Shift of white blood cell count to the left 1
Total 10

Keterangan:
0-4 : Kemungkinan appendisitis kecil
5-6 : Bukan diagnosis appendisitis (Observasi di rumah sakit)
7-8 : Kemungkinan besar appendisitis (Appendektomi)
9-10 : Hampir pasti menderita appendisitis (Appendektomi)

H. Langkah Diagnostik
1. Anamnesis
a. Pasien biasanya datang dengan keluhan utama nyeri pada perut kanan
bawah yang mula-mula muncul pada daerah periumbilikal kemudian
menjalar ke titik Mc Burney, punggung, supra pubik, atau testikuler
(>6 jam).
b. Muntah akibat aktivasi nervus vagus.
c. Anoreksia, nausea, vomiting yang timbul beberapa jam setelah rasa
nyeri muncul.
d. Disuria.
e. Obstipasi sebelum datangnya rasa nyeri
f. Demam tidak terlalu tinggi atau tinggi.
2. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi
a. Berjalan membungkuk sambil memegang perut yang sakit.
b. Kembung bila terjadi perforasi.
c. Penonjolan perut kanan bawah pada appendikuler abses.
Palpasi

14
a. Nyeri tekan Mc Burney.
b. Rebound tenderness (nyeri lepas tekan).
c. Adanya defans muscular.
d. Rovsign sign positif.
e. Psoaas sign positif.
f. Obturator sign positif.
Perkusi
a. Nyeri ketok positif.
Auskultasi
a. Peristaltik normal.
b. Peristaltik tidak ada pada ileus paralitik karena peritonitis generalisata
akibat appendisitis perforata.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan darah lengkap
1) 70-90% hasil laboratorium menunjukkan nilai leukosit dan
netrofil maningkat
2) Pada anak ditemukan leukositosis 11.000-14.000/mm3, jika
jumlah leukosit >18.000/mm3, maka umumnya sudah terjadi
perforasi dan peritonitis.
b. Foto polos abdomen
1) Pemeriksaan ini tidak banyak membantu pada appendisitis akut.
2) Pemeriksaan dapat menampilkan adanya appendicolith yang
menunjang diagnosis appendisitis.

15
Gambar 2.7 Appendiolith(13)
3) Pada peradangan lebih luas dan membentuk infiltrat maka usus
pada kanan bawah akan kolaps.
4) Dinding usus yang edematouse akan tampak pada daerah kanan
bawah abdomen kosong dari udara.
5) Gambaran udara seakan akan terdorong ke pihak lain.
6) Proses peradangan pada fossa iliaka kanan akan menyebabkan
kontraksi otot sehingga timbul skoliosis ke kanan.
7) Bila terjadi perforasi, maka pada foto abdomen tegak akan
tampak udara bebeas subdiafragma.

16
Gambar 2.8 Appendisitis Perforasi(14)
8) Pada abses appendisitis kadang memberi pola bercak udara dan
air fluid level pada posisi berdiri/LLD, kalsifikasi bercak rim-like
sekitar perifer mukokel yang asalnya dari apendiks.
c. Ultrasonografi
Gambaran USG yang merupakan kriteria diagnosis appendisitis akut
adalah appendiks dengan diameter anteroposterior 7 mm atau lebih,
didapatkan suatu appendicolith dengan posterior acoustic shadowing,
adanya cairan atau massa periappendiks. Tampak phlegmon, atau
hilangnya stratifikasi dinding appendiks pada tahap nekrotik(13).
False positif dapat muncul dikarenakan infeksi sekunder appendiks
sebagai hasil dari salphingitis atau inflammatory bowel disease. False
negatif juga dapat muncul karena letak appendiks yang retrocaecal
atau rongga usus yang terisi banyak udara yang menghalangi
appendiks(3).

17
Gambar 2.9 Gambaran USG Appendisitis Akut dengan Diameter >9
cm(15).
d. CT Scan
CT scan merupakan pemeriksaan yang dapat digunakan untuk
mendiagnosis appendisitis akut jika diagnosisnya tidak jelas.
Sensitifitas dan spesifisitasnya kira-kira 95-98%. Pasien-pasien yang
obesitas, presentasi klinis tidak jelas, dan curiga adanya abscess, maka
CT-scan dapat digunakan sebagai pilihan test diagnostik1. Diagnosis
appendisitis dengan CT-scan ditegakkan jika appendiks dilatasi lebih
dari 5-7 mm pada diameternya. Dinding menebal >3 cm(3)(13).

Gambar 2.10 Appendisitis Akut dengan Penebalan Diameter


Appendiks > 6 cm(13).

18
19
Gambar 2.11 Appendisitis Akut dengan penebalan pembuluh limfe,
periappendiceal fat stranding, appendicolith dan abses(13).

e. Pemeriksaan Histopatologi juga dapat dilakukan setelah dilakukan


appendektomi. Pada appendisitis acute dapat ditemukan infiltrasi
neutrofil pada daerh yang telah mengalami inflamasi.

20
Gambar 2.12 Infiltrasi Neutrofil pada Dinding Appendiks(16)
f. Pemeriksaan urinalisa dapat digunakan untuk menyingkirkan kelainan
urologi.
g. Pengukuran kadar HCG bila dicurigai kehamilan ektopik pada wanita
usia subur.

21
I. Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari appendisitis dapat bervariasi tergantung dari usia
dan jenis kelamin. Pada anak-anak balita dapat terjadi intususepsi,
divertikulitis, dan gastroenteritis akut. Intususepsi paling sering didapatkan
pada anak-anak berusia dibawah 3 tahun. Divertikulitis jarang terjadi jika
dibandingkan Appendisitis. Nyeri divertikulitis hampir sama dengan
appendisitis, tetapi lokasinya berbeda, yaitu pada daerah periumbilikal. Pada
pencitraan dapat diketahui adanya inflammatory mass di daerah abdomen
tengah. Diagnosis banding yang agak sukar ditegakkan adalah gastroenteritis
akut, karena memiliki gejala-gejala yang mirip dengan appendisitis, yakni
diare, mual, muntah, dan ditemukan leukosit pada feses. Pada anak-anak usia
sekolah gastroenteritis, konstipasi, infark omentum. Pada gastroenteritis,
didapatkan gejala-gejala yang mirip dengan appendisitis, tetapi tidak dijumpai
adanya leukositosis. Konstipasi, merupakan salah satu penyebab nyeri
abdomen pada anak-anak, tetapi tidak ditemukan adanya demam. Infark
omentum juga dapat dijumpai pada anak-anak dan gejala-gejalanya dapat
menyerupai appendisitis. Pada infark omentum, dapat terraba massa pada
abdomen dan nyerinya tidak berpindah. Pada pria dewasa muda diagnosis
banding yang sering pada pria dewasa muda adalah Crohn’s disease, klitis
ulserativa, dan epididimitis. Pemeriksaan fisik pada skrotum dapat membantu
menyingkirkan diagnosis epididimitis. Pada epididimitis, pasien merasa sakit
pada skrotumnya. Pada wanita usia muda Diagnosis banding appendisitis pada
wanita usia muda lebih banyak berhubungan dengan kondisi-kondisi
ginekologik, seperti pelvic inflammatory disease (PID), kista ovarium, dan
infeksi saluran kencing. Pada PID, nyerinya bilateral dan dirasakan pada
abdomen bawah. Pada kista ovarium, nyeri dapat dirasakan bila terjadi ruptur
ataupun torsi. Pada usia lanjut Appendisitis pada usia lanjut sering sukar untuk
didiagnosis. Diagnosis banding yang sering terjadi pada kelompok usia ini
adalah keganasan dari traktus gastrointestinal dan saluran reproduksi,
divertikulitis, perforasi ulkus, dan kolesistitis. Keganasan dapat terlihat pada
CT Scan dan gejalanya muncul lebih lambat daripada appendisitis. Pada orang

22
tua, divertikulitis sering sukar untuk dibedakan dengan appendisitis, karena
lokasinya yang berada pada abdomen kanan. Perforasi ulkus dapat diketahui
dari onsetnya yang akut dan nyerinya tidak berpindah. Pada orang tua,
pemeriksaan dengan CT Scan lebih berarti dibandingkan dengan pemeriksaan
laboratorium(3)(11).

J. Penatalaksanaan
Pasien yang telah terdiagnostik appendisitis akut harus segera dirujuk ke
layanan sekunder untuk dilakukan operasi cito appendektomi. Hal yang dapat
kita lakukan sebelum merujuk adalah sebagai berikut(3)(11).
1. Bed rest total dengan posisi fowler (anti trandelenberg).
2. Pasien dengan dugaan appendisitis sebaiknya tidak diberikan apapun
melalui oral.
3. Penderita perlu cairan intravena untuk mengoreksi jika ada dehidrasi.
4. Dapat dilakukan pemasangan nasogastric tube untuk dekompresi lambung
agar mengurangi distensi.
5. Diberikan analgetik dan antiemetik.
6. Pemberian antibiotik broadspectrum untuk bakteri gram dan anaerob juga
dapat diberikan bagi penderita yang akses untuk rujukan ke fasilitas
kesehatan kurang memadai (misalnya berada di laut lepas, desa terpencil
dll).
Untuk appendektomi, dapat dilakukan dua teknik, yakni open
appendectomy dan laparoscopy appendectomy(17).
1. Open Appendectomy
a. Dilakukan tindakan aseptik dan antiseptik.
b. Dibuat sayatan kulit: Horizontal atau Oblique.

23
Gambar 2.13 Sayatan Kulit Pada Open Appendectomy
c. Dibuat sayatan otot. (1) Pararectal/paramedian. Sayatan pada vaginae
tendinae M. Rectus abdominis lalu otot disisihkan ke medial. Fascia di
klem sampai saat penutupan vaginae M. Rectus Abdominis kare
fascianya ada 2 agar tidak tertinggal pada waktu penjahitan. Bila
terjahit hanya satu lapis fascia saja, dapat terjadi hernia cicatricalis. (2)
McBurney. Sayatan berubah-ubah sesuai serabut otot. Stepnya adalah
sebagai berikut.
1) Pertama dilakukan insisi aponeurosis M. Obliquus Abdominis
Externus dari lateral ke medial bawah.

Gambar 2.14 Insisi Kulit Open Appendectomy


(Satu insisi kulit yang rapi dibuat dengan perut mata pisau. Insisi
kedua mengenai jaringan subkutan sampai ke fascia M. Obliquus
Abdominis Externus).
2) Kedua, splitting M. Obliquus Abdominis internus dari medial atas
ke lateral bawah.

24
Gambar 2.15 Insisi Otot abdomen pada Open Appendectomy
(Dari tepi sarung rektus, fascia tipis M. Obliquus Abdominis
internus diinsisi searah dengan seratnya ke arah lateral).
3) Splitting M. Transversus abdominis arah horizontal.

Gambar 2.16 Insisi Otot abdomen pada Open Appendectomy


(pada saat menarik M. Obliquus Abdominis Internus hendaklah
berhati-hati agar tidak terjadi trauma jaringan. Dapat ditambahkan
bahwa N. Iliohipogastrikus dan pembuluh darahyang
memperdarahinya terletak dibagian lateral di antara M. Obliquus
Abdominis Externus dan Internus. Tarikan yang terlalu keras
akan merobek pembuluh darah dan membahayakan saraf).
4) Peritoneum dibuka.

Gambar 2.17 Peritoneum Dibuka


(kasa dipasang pada semua jaringan subkutan yang
terpapar.peritoneum sering tampak meradang, menggambarkan

25
proses yang ada di bawahnya. Secuil peritoneum diangkat dengan
pinset).
5) Sekum dicari kemudian dikeluarkan. Kemudian taenia libera
ditelusuri unuk mencari appendiks. Setelah appendiks ditemukan,
appendiks di klem dengan klem babcock dengan arah selalu ke
atas untuk menghindari kontaminasi. Appendiks dibebaskan dari
mesoappendiks dengan menembus mesoappendiks menggunakan
sonde kocher dan pada kedua sisnya di klem, kemudian dipotong
diantara dua ikatan.

Gambar 2.18 Pengangkatan Appendiks


(appendiks dengan hati-hati diangkat agar mesenteriumnya
teregang. Klem babcock melingkari appendiks dan satu klem
dimasukkan lewat mesenterium. Cara lainnya adalah dengan
mengklem ujung bebas mesenterium di bawah ujung appendiks.
Appendiks tak boleh terlalu banyak diraba dan dipegang agar
tidak menyebabkan kontaminasi.
6) Appendiks diklem pada basis. Klem dipindahkan sedikit ke distal,
lalu bekas klem yang pertama diikat dengan benang yang
diabsorbsi.
7) Appendiks dipotong diantara ikatan dan klem. Puntung dijahit
dan diberi betadine.

26
Gambar 2.19 Pemotongan Appendiks
8) Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis.
2. Laparoscopy Appendectomy
Laparoscopic dapat dipakai sarana diagnosis dan terapeutik untuk pasien
dengan nyeri akut abdomen dan suspek appendicitis acuta. Laparoscopic
kemungkinan sangat berguna untuk pemeriksaan wanita dengan keluhan
abdomen bagian bawah. Membedakan penyakit ginekologi akut dari
appendicitis akut sangat mudah dengan menggunakan laparoskop(3).
Pada laparoscopy appendectomy, pasien berbaring ke samping kiri dengan
posisi trendelenberg untuk visualisasi yang memudahkan serta membantu
memisahkan sekum dan apendiks dari organ intraabdomen lain dengan
bantuan gravitasi. Usus halus dapat diposisikan ke area left upper
quadrant untuk menghindari adanya trauma selama proses laparoskopi.
Omentum mayor digeser dari sekum menggunakan atraumatic
laparoscopic instrument agar apendiks dapat terlihat. Tantangan dalam
laparoscopy appendectomy adalah bila inflamasi dari apendiks telah
mengalami perlengketan dengan organ sekitar sehingga harus dilakukakn
separasi terlebih dahulu(17).

K. Komplikasi
Abses pasca operasi, hematoma, dan komplikasi dari luka merupakan
komplikasi yang dapat terlihat setelah appendektomi. Appendisitis "berulang"
dapat terjadi jika terlalu banyak puntung usus buntu yang tersisa setelah
appendektomi. Struktur ini dapat menjadi tersumbat dan terinfeksi ulang

27
seperti pada episode awal. Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa
terdapat sangat sedikit dan sebaiknya tidak ada sisa apendiks setelah operasi
apendektomi. Jika tidak diobati, appendisitis dapat menyebabkan pembentukan
abses dengan perkembangan fistula enterokutan. Peritonitis dan sepsis difus
juga dapat berkembang, yang dapat berkembang menjadi morbiditas yang
signifikan dan kemungkinan kematian yang besar(9).

L. Prognosis
Jika didiagnosis dan diobati lebih awal, dalam 24 hingga 48 jam,
pemulihan dan prognosis akan sangat baik. Kasus yang muncul dengan abses,
sepsis, dan peritonitis mungkin memiliki perjalanan yang lebih lama dan rumit
serta memerlukan pembedahan atau intervensi lain(9).

28
BAB III

KESIMPULAN

Adapun Kesimpulan yang dapat ditarik dalam referat dengan judul


appendisitis ini adalah sebagai berikut.

1. Appendisitis merupakan proses peradangan akut maupun kronis yang terjadi


pada apendiks vemiformis oleh karena adanya sumbatan yang terjadi pada
lumen apendiks.
2. Berdasarkan gambaran histopatologinya, appendisitis diklasifikasikan
menjadi appendisitis akut, appendisitis akut supuratif, appendisitis
phlegmontosa, appendisitis gangrenosa, dan appendisitis kronis.
3. Appendisitis adalah penyakit abdomen akut yang tersering ditangani oleh
dokter bedah. Kejadian appendisitis mencapai puncaknya pada kelompok usia
remaja akhir yaitu usia 17 – 25 tahun.
4. Appendisitis umumnya disebabkan oleh feses berukuran kecil seperti batu
atau fecalith, atau lebih jarang, karena batu empedu, tumor, cacing, benda
asing (pin, biji-bijian) yang kemudian memberikan obstruksi dan
menyebabkan radang pada appendiks.
5. Appendisitis diawali dengan gejala nyeri umbilikus diikuti dengan mual, muntah dan
anoreksia kemudian nyeri menjalar lebih terlokalisir pada titik Mc Burney.
6. Diagnostik appendisitis sudah dapat ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan
fisik. Dapat juga didukung dengan hasil pemeriksaan penunjang seperti leukositosisi,
USG abdomen, X-Ray Abdomen, CT Scan Abdomen dan scoring alvarado untuk
tata laksana yang lebih tepat.
7. Appendisitis dapat didiagnosis banding dengan penyakit lain sesuai dengan letak
apendiks dan gejala, usia, dan jenis kelamin.
8. Terapi defenitif dari appendisitis adalah appendektomi.
9. Appendisitis dapat berkomplikasi menjadi peritonitis dan sepsis bila tidak ditangani
dalam waktu yang cepat.
10. Prognosis sangat baik jika diberikan tata laksana lebih awal dan sebaliknya.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Fransisca C, Gotra IM, Mahastuti2 NM. Karakteristik Pasien dengan


Gambaran Histopatologi Appendisitis di RSUP Sanglah Denpasar Tahun
2015-2017. Dir Open Acces Journals. 2019;8(7).

2. Aster VK, Abbas AK, C. J. Buku Ajar Patologi Robbins. Singapore:


Elsevier; 2015. 592 p.

3. Warsinggih. Appendisitis Akut [Internet]. Makassar: Fakultas Kedokteran


Universitas Hasanuddin; 2016. Available from:
https://med.unhas.ac.id/kedokteran/en/wp-
content/uploads/2016/10/APPEDISITIS-AKUT.pdf

4. Netter FH. Atlas of Human anatomy. 5th ed. Elyse O’Grady, editor.
Philadelphia: Elsevier; 2010. 274-275 p.

5. Martin H. Floch, R. NF. Netter’s Gastroenterology. 2nd ed. Kowdley K V.,


Pitchumoni CS, Scolapio J, Rosenthal R, editors. Philadelphia: Elsevier;
2009. 371-372 p.

6. Lauralee Sherwood. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. 8th ed. Ong HO,
Mahode AA, Ramadhani D, editors. Jakarta: EGC; 2016. 624-625 p.

7. Gomes CA, Sartelli M, Saverio S Di, Ansaloni L, Catena F, Coccolini F, et


al. Acute appendicitis : proposal of a new comprehensive grading system
based on clinical , imaging and laparoscopic findings. World J Emerg Surg
[Internet]. 2015;1–6. Available from: http://dx.doi.org/10.1186/s13017-
015-0053-2

8. Siswandi A. ambaran Klinis Pasien Appendisitis Akut Dengan


Menggunakan Penilaian Tzanakis Skor Dan Alvarado Skor Di RSUD Dr.
H. Abdul Moeloek Bandar Lampung Tahun 2014. J Med Malahayati.
2015;2(3):110–4.

30
9. Jones MW, Lopez RA, Deppen. JG. Appendicitis. StatPearls Publ LLC
[Internet]. 2020; Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK493193/#article-17784.s4

10. Galvagno SM. Emergency Pathophysiology: Clinical Applications for


Prehospital Care. East Simpson: Teton NewMedia; 2015. 257 p.

11. IDI. Panduan Praktik Klinik. 1st ed. Ekayanti F, Hariyani I, Hendarto J,
Paranadipa M, Zainuddin AA, Faqih DM, et al., editors. Jakarta: Ikatan
Dokter Indonesia; 2017. 97-99 p.

12. Ohle R, Reilly FO, Brien KKO, Fahey T, Dimitrov BD. The Alvarado
score for predicting acute appendicitis : a systematic review. BMC Med
[Internet]. 2011;9(1):139. Available from:
http://www.biomedcentral.com/1741-7015/9/139

13. Jones J, Jacob K. appendicitis. In: Radiopaedia [Internet]. 2020. Available


from: https://radiopaedia.org/articles/appendicitis-2

14. Patel MS. Perforated appendicitis with appendicolith. In: Radiopaedia


[Internet]. 2020. Available from: https://radiopaedia.org/cases/perforated-
appendicitis-with-appendicolith

15. Huy Sruy. Acoute Appendicitis. In: Radiopaedia [Internet]. 2020. Available
from: https://radiopaedia.org/cases/acute-appendicitis-48

16. E W, Gonzalez RS. Acute appendicitis [Internet]. 2020. Available from:


http://www.pathologyoutlines.com/topic/appendiksacuteappendicitis.html

17. Delaney CP. Netter’s Surgical Anatomy and Approaches. Philadelphia:


Elsevier; 2014. 235 p.

31

Anda mungkin juga menyukai