Bab Iii

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 75

BAB III

SISTEM PERTANIAN TERPADU


(INTEGRATED FARMING SISTEM)

Jika kita melihat masa lalu, nenek moyang bangsa kita umumnya
menggantungkan kehidupannya pada bercocok tanam, mereka melakukan sistem
pertanian tradisional dengan mengandalkan keseimbangan alam sebagai sistem
pertanian (natural sistem). Saat itu belum dikenal adanya benih unggul, pupuk dan
pestisida. Mereka menggunakan benih yang telah ada secara alami dan berkembang
secara in situ. Mereka tidak menggunakan pupuk, tetapi semua jerami sisa panen
dikembalikan ke lahan. Pupuk yang mereka kenal adalah kotoran ternak. Mereka
membuat rumah kecil di lahan sebagai tempat pembuangan kotoran keluarga. Hama
dan penyakit tanaman sudah mereka kenal, tetapi tidak diberantas. Untuk
pengendaliannya diserahkan kepada alam. Hasilnya, kehidupan nenek moyang kita
saat itu berkecukupan, bahkan berlimpah.
Konsep pertanian yang tanpa atau sedikit memberikan masukan (input) dari
luar lahan dikenal dengan sistem ”pertanian input luar rendah” (low external input
agriculture, LEIA). Sistem pertanian ini terdapat pada berbagai agro-ekosistem dan
sosio-kultural, di Negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin pada masa lalu, di
mana belum dikenal istilah pertanian modern (modern farming).
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi abad ke-20 mengarah ke
penggunaan teknologi masukan luar tinggi (high external input technology, HEIT),
mulai dari ditemukannya varietas unggul yang respon terhadap pupuk tetapi peka
serangan hama - penyakit. Hal ini menyebabkan penggunaan pupuk buatan pabrik
dan pestisida yang berlebihan sehingga mengakibatkan kerusakan lahan dan
lingkungan hidup. Di lain pihak, upaya mengoptimalkan sistem ini terasa sulit
dilaksanakan meskipun potensi produksi masih jauh untuk dicapai, atau terjadi gejala
”leveling off” pada produksi pertanian. Hal ini berarti bahwa sistem HEIT tidak
menjamin hasil pertanian berkelanjutan (sustainability).
Kemudian ditawarkan konsep pertanian masa depan yang disebut sistem
pertanian berkelanjutan dengan teknologi input luar rendah (low external input
sustainable agriculture, LEISA). LEISA dianggap merupakan sistem yang
menjanjikan kehidupan yang layak bagi petani, bertolak pada optimalisasi
sumberdaya lokal yang ada, dengan pendekatan ”keseimbangan” dan memperhatikan
kesehatan lingkungan. Termasuk dalam LEISA adalah Sistem Pertanian
Terpadu/SPT (Integrated Farming Sistem/IFS). SPT merupakan suatu sistem yang
menggabungkan peternakan konvensional, budidaya perairan, hortikultura,
agroindustri dan segala aktivitas pertanian. Pupuk yang dihasilkan oleh ternak
digunakan untuk memupuk tanaman, dan residu tanaman digunakan sebagai pakan
ternak.
Sistem Pertanian Terpadu (SPT) atau Integrated Farming Sistem (IFS) telah
merubah dengan cepat peternakan konvensional, budidaya perairan, hortikultura,
agroindustri dan segala aktivitas pertanian di beberapa negara, khususnya di daerah
tropis dan sub-tropis basah (not-arid). Pertanian di seluruh dunia tidak akan
menampakkan hasilnya tanpa input tinggi dan seringkali tidak kompromi dengan
kelangsungan hidup ekonomi dan keberlajutan ekologinya. Situasi ini menjadi lebih
memperburuk SPT, semuanya harus dibayar dengan bahan dan energi yang diimpor
di mana bahan berpotensi sebagai polutan juga digunakan.
SPT dapat mengatasi semua kendala tersebut, tidak saja dari aspek ekonomi
dan permasalahan ekologis, tetapi juga menyediakan sarana produksi yang
diperlukan seperti bahan bakar, pupuk dan makanan, di samping produktivitas terus
meningkat. Hal itu dapat mengubah sistem pertanian yang penuh resiko (terutama di
negara-negara miskin) kearah sistem pertanian ekonomis dan kondisi ekologi
seimbang.

Sistem Terpadu

Melihat masa lalu di mana situasi aktivitas pertanian di dunia yang penuh
resiko, kita lihat petani miskin susah untuk memberi makan diri mereka sendiri dan
berusaha untuk menghidupi dirinya dari lahan, ternak dan tanaman mereka. Pupuk
yang dihasilkan oleh ternak digunakan untuk memupuk tanaman, dan residu tanaman
digunakan sebagai pakan ternak. Dalam rangka meningkatkan produksi dan kualitas,
mereka memerlukan input yang tinggi seperti pupuk kimia dan pakan buatan pabrik,
yang membuat aktivitas pertanian tidak ekonomis. SPT mereka juga harus
mengatasi polusi yang mereka ciptakan dari aktivitas pertanian tersebut, mereka
tidak akan mampu usahakan itu.
Mereka yang membudidayakan ikan pada sistem peternakan telah membuat
kemajuan besar, tidak hanya meningkatkan pupuk dari kotoran ikan, tetapi juga
meningkatkan pendapatan mereka dari hasil ikan yang lebih cepat dan harga pasar
yang lebih tinggi. Kolam yang lebih dalam mengakibatkan produktivitas ikan lebih
tinggi, dengan nilai pupuk dan kotoran ikan lebih tinggi, tetapi kolam ikan akan
menjadi sumber polusi, SPT menerima terlalu banyak kotoran ikan yang
menghabiskan oksigen terlarut.
Dengan memperlakukan kotoran ikan secara an-aerob dalam mesin
pengompos (digesters), dengan tambahan energi biogas, dan secara aerob dalam bak
penampungan, akan meningkatkan jumlah pupuk dan makanan yang dihasilkan,
tetapi tanpa menggunakan oksigen terlarut dalam air. Teknologi murah dengan
masukan (input) yang lebih baik akan memperbaiki sistem.
Dengan catatan bahwa semua nutrisi dan makanan digunakan untuk
meningkatkan produktivitas, akan membuat petani jauh lebih makmur. Energi juga
dapat membantu petani dalam memproses, memelihara dan memberikan nilai
tambah serta mengurangi resiko produksi. Inilah yang disebut dengan ’Sistem
Pertanian Terpadu’.

Pengintegrasian (Keterpaduan)
Kombinasi peternakan dan aktivitas pertanian telah banyak membantu petani
seluruh dunia di masa lalu, dengan menggunakan kotoran ternak sebagai pupuk
untuk tanaman, dan residu tanaman digunakan sebagai pakan ternak. Umumnya
kebanyakan dari pupuk kehilangan setengah dari kandungan nitrogennya sebelum
menjadi nitrat tersedia bagi tumbuhan. Jumlahnya menjadi tidak cukup jika populasi
tanaman meningkat, sehingga pupuk kimia dan makanan buatan harus digunakan,
keuntungan petani yang kecil menjadi merosot.
Pemaduan perikanan dalam petenakan dan pertanian akan memperbaiki baik
persediaan pupuk maupun pakan, dan nilai pasar yang lebih tinggi dari ikan sebagai
bahan pangan. Secara teknis, penambahan yang penting dari siklus kedua yang
dihasilkan oleh kotoran ikan memberikan keuntungan pada proses yang terintegrasi.
Hal ini telah dicatat oleh M.Prein dari ICLARM Malaysia dalam ”Integration of
Aquaculture into Crop-Animal Sistems in Asia”.
Perlu dicatat bahwa yang pertama dari siklus kedua dari nutrisi yang
dihasilkan dari peternakan digunakan untuk memupuk pertumbuhan berbagai
plankton alami di kolam yang nantinya menjadi makanan ikan. Hasil ikan
meningkat tiga sampai empat kali lipat seperti yang terjadi di Cina, Thailand,
Vietnam, India dan Bangladesh. Ikan, setelah mengkonsumsi plankton, akan
menghasilkan kotoran mereka sendiri yang dikonversi secara alami ke dalam siklus
bahan makanan yang kedua, yang kemudian digunakan untuk memupuk berbagai
tanaman yang terapung di permukaan air, seperti yang dilakukan di sebagian Negeri
Cina.
Sekalipun ini telah menjadi suatu langkah kemajuan, masih memerlukan
beberapa masukan eksternal untuk meningkatkan produktivitas pertanian dan poses
agroindustri. Maka dari itu tidaklah cukup untuk mengangkat petani kecil keluar dari
kemiskinan, oleh karena meningkatnya biaya-biaya produksi, seperti pupuk kimia,
bahan bakar dan makanan buatan, yang mempunyai efek kurang baik pada hasil dan
mutu, proses produksi dan ekonomi pertanian. Inovasi lebih lanjut untuk
peningkatan produktivitas sangat diperlukan untuk mendukung kesempurnaan sistem
pertanian terpadu. Ini adalah apa yang sedang diupayakan oleh ZERI (Zero
Emission Research Initiative) suatu Sistem Biomas Terpadu/Integrated Biomas
Sistem (IBS), seperti didokumentasikan oleh Gunter Pauli dalam ”Upsizing".

Pengolahan dan Oksidasi


Inovasi yang paling penting adalah pengenalan DIGESTER dan BASIN dalam
proses pengolahan sampah/kotoran dalam SPT (Sistem Pertanian Terpadu). Satu
masalah besar dengan sampah/kotoran ternak adalah kotoran tersebut mengandung
bahan organik yang tidak stabil, yang cepat terdekomposisi dan mengkonsumsi
oksigen. Maka untuk kolam ikan spesifik, jumlah kotoran ternak yang dapat
ditambahkan terbatas, sebab dapat menghabiskan oksigen dan mempengaruhi
populasi, bahkan dapat membunuh ikan.
Kita perlu juga mempertanyakan proposal yang tak menentu, seperti yang
dikemukakan oleh ilmuwan Mauritius, yang mengabaikan kegagalan masa lampau
yang di seluruh dunia dan mengulangi kekeliruan yang sama, seperti:
Gambar 1. Kotoran Ternak di Areal Peternakan

ƒ Menyebar kotoran ternak di lahan untuk membiarkannya membusuk dan


berharap sejumlah nutrisi tersisa setelah amoniak menguap dan nitrit jika
tidak tercuci oleh hujan atau air irigasi.
ƒ Mengomposkan kotoran ternak dengan sampah rumah tangga untuk
mendapatkan pupuk dengan mutu rendah, karena amoniak dan nitrit telah
hilang, sebagai ganti pengolahan kotoran ternak dengan kualitas lebih baik,
dan penggunaan sampah untuk menghasilkan makanan tinggi protein seperti
cacing tanah dan residu sampah sebagai pelembab tanah.
ƒ Memperlakukan kotoran ternak secara tidak efektif seperti halnya tidak
efisiennya septic-tank yang sudah ketinggalan jaman yang tidak lagi
bermanfaat.
Pengolahan kotoran ternak dalam kondisi an-aerob, diikuti dengan oksidasi
dalam bak terbuka menggunakan ganggang alami menghasilkan oksigen bebas
melalui fotosintesis, sebelum kotoran tadi mengalir ke dalam tambak, dapat
mengkonversi hampir 100% bahan organik ke bahan an-organik, yang tidak
mengurangi oksigen bagi keberlangsungan kehidupan ikan. Maka, secara teoritis,
adalah mungkin untuk meningkatkan jumlah ikan sepuluh kali lipat tanpa resiko
polusi.
Lebih dari itu, meningkatnya nutrisi yang siap digunakan memberikan
keuntungan bagi sistem tersebut, dengan ketentuan bahwa mereka secara total
digunakan kedua-duanya baik ikan maupun budidaya tanaman, atau mereka dapat
mengatasi permasalahan ’pengkayaan’ (eutrophication) hara dalam air, termasuk
tambak itu sendiri.

Peran dan Efek Berbagai Komponen Sistem Pertanian Terpadu

Peternakan
Peternakan besar atau kecil yang memproduksi susu, telor atau daging
memerlukan pemberian makanan yang seimbang tiap hari. Sesuatu yang berharga
bahwa di samping tempat tinggal yang nyaman dan terjaga kebersihannya, mereka
harus mempunyai keseimbangan ransum yang baik untuk menghasilkan produk
makanan berkualitas.
Peternakan juga menghasilkan kotoran/sampah setiap hari, yang merupakan
sumber daya dapat diperbaharui yang berharga dan akan medukung keberlanjutan
aktivitas pertanian di tempat itu, bahkan tanpa masukan eksternal seperti bahan
bakar fosil, pupuk kimia dan makanan buatan. Di seluruh dunia, yang belakangan
telah dipercaya dapat meningkatkan hasil dan bahkan kualitas tetapi dengan biaya
lebih besar. Tetapi kebanyakan petani pada strata rata-rata dan petani miskin tidak
dapat mengusahakannya, sementara petani-petani pertanian terpadu menjadi kaya
dengan hasil pertanian mereka.
Bagaimanapun, makanan tetap merupakan masalah serius baik dalam
kuantitas maupun kualitas. Kebanyakan makanan dapat diproduksi dari tanaman,
tanaman dan pemrosesan residu tanaman, dengan atau tanpa pengolahan lebih lanjut
untuk pemeliharaan atau peningkatan, tetapi beberapa bahan seperti cacing tanah,
ulat sutera, jamur, serangga dan organisme lain juga perlu dijaga kestabilannya,
karena beberapa di antara mereka genap memproduksi bahan-bahan bernilai tinggi
seperti sutera dan jamur.

Alat Pengompos
Alat pengompos dapat berupa alat sederhana seperti sepasang tas plastik
3
dengan kapasitas 5 m atau drum bervolume 200 liter untuk lahan yang kecil, atau
struktur baja/beton bertulang dengan UASB (upflow anaerobik sludge blanket) untuk
efisiensi yang maksimum bagi lahan yang besar atau perusahaan industri.
Alat pengompos tersebut akan mengolah kotoran/sampah organik melalui
isolasi, penyelesaian (settling), pencernaan (digestion), pencairan (liquefaction) dan
pemisahan cairan (solid/liquid separasion), kemudian menghasilkan
endapan/sedimentasi dalam tangki, untuk mengurangi BOD (Biochemical Oxyangen
Demand), jika diukur kandungan bahan organik mencapai 60% atau lebih. Substrat
ini secara biologis kondisinya sangat baik, dengan bakteri yang methana, yang secara
alami terdapat dalam perut manusia dan binatang berdarah panas.

Gambar 2. Alat Pengompos (Decomposter)


Ketika sampah segar dimasukkan dalam alat pengompos, bakteri ”makan”
kandungan bahan organiknya dan mengubah bentuk amoniak (NH3) dan nitrit (NO2)
yang tidak stabil ke bentuk nitrat (NO3) yang stabil, yang merupakan nutrisi yang
siap digunakan sebagai pupuk. Setelah itu hanya memerlukan pembalikan dan
pembersihan bahan yang mengapung di permukaan dan dimasukkan pipa dengan
bantuan penghisap, tanpa penambahan energi atau bahan-kimia.
Ketika kotoran/sampah ditambahkan, mesin pengompos menghasilkan biogas
yang berlimpah, suatu campuran 2/3 gas metan dan 1/3 gas asam-arang (CO2), yang
merupakan suatu sumber energi dapat diperbaharui dan cuma-cuma bagi petani
dan pengguna industri. Perkebunan besar, pengemas daging dan ikan, tempat
penyulingan, dan berbagai agro-industri kini dapat memenuhi kebutuhan energi
sendiri, di samping mempunyai nutrisi dalam jumlah banyak untuk pemupukan
tambak ikan, dan ”fertigation” (pemupukan melalui air irigasi) bagi tanaman.

Oksidasi
Proses oksidasi ini merupakan proses yang murah dalam bak secara aerobik
(dimana oksigen terlarut dapat berasal dari atmosfer atau yang diproduksi oleh
ganggang alami melalui fotosintesis) dengan pengurangan 30% BOD. Sehingga
alirannya akan siap untuk masuk ke dalam tambak ikan. Daerah tropis (sedikit di
subtropik), merupakan daerah subur penghasil protein dari ganggang chlorella,
sehingga merupakan sumber oksigen cuma-cuma untuk makanan tambahan bagi
ayam, itik dan angsa.

Gambar 3. Pengaliran Gas Oksigen melalui Pipa

Tambak (Kolam Ikan)


Beberapa sisa bahan organik dari kotoran ternak akan segera dioksidasi di
dalam tambak, dengan efek kurang baik pada populasi ikan yang besar. Lebih dari
itu, nutrisi siap tersedia untuk menghasilkan pertumbuhan yang subur dari berbagai
plankton yang berbeda sebagai sumber makanan bagi 5-6 jenis ikan. Tidak perlu
makanan buatan, kecuali rumput yang tumbuh di situ sebagai makanan bagi ikan-
ikan herbivora (herbivorous fish).

Gambar 4. Kolam Ikan


Seperti telah disebutkan, ikan menghasilkan kotoran mereka sendiri yang
secara alami akan berfungsi dalam siklus nutrisi yang kedua, yang kemudian
digunakan oleh tanaman yang tumbuh di kolam. Produktivitas yang tinggi seperti ini
tidak ditemukan dalam sistem pertanian lain.
Dalam Sistem Pertanian Terpadu, fermentasi beras atau biji-bijian lain,
digunakan untuk produksi alkohol, atau ulat sutera dan kotorannya digunakan dalam
serviculture, semua tersedia untuk siklus nutrisi yang ketiga dalam kolam,
menghasilkan produksi ikan dan tanaman lebih tinggi, dengan ketentuan bahwa mutu
air tidak mempengaruhi. Penelitian dan pengembangan lebih lanjut diperlukan untuk
menemukan inovasi-inovasi baru dalam penggunaan/penyerapan nutrisi dalam
sistem perikanan, budidaya ikan dan tanaman, sebab bagian yang tak terpakai
potensial sebagai polutan. Ada juga kemungkinan untuk menggunakannya sebagai
pupuk kering.

Lahan Tanaman
SPT mempunyai situasi berlawanan di mana dalam SPT ada banyak pupuk,
sementara dalam sistem yang lain kekurangan, sehingga dibutuhkan cara lain dalam
penggunaannya. Terlepas dari tumbuhnya tanaman merambat di tepi kolam, yang
dibiarkan tumbuh menjalar di sekitar tambak, beberapa negara-negara sudah berhasil
menumbuhkan beberapa jenis sayuran yang terapung di permukaan danau dan
sungai. Sementara yang lain sudah menanam biji-bijian, buah-buahan dan bunga
diatas bambu atau pipa polyurethane panjang yang mengapung di atas hampir
separuh permukaan air tambak, tanpa mengganggu budidaya 5-6 macam ikan yang
ada dalam kolam tersebut.

Gambar 5. Sistem Pertanian Terpadu


Budidaya tanaman sekitar tambak dapat meningkatkan hasil tanaman dengan
penggunaan hampir setengah juta hektar dari tambak ikan dan danau di Cina.
Semuanya ini mungkin dilakukan karena berlebihnya nutrisi dari Sistem Pertanian
Terpadu.
Pola penanaman juga diperbaiki dengan budidaya tanaman air (aquaponic
culture). Sebagai contoh, padi ditransplanting dalam 12 modul, satu setiap minggu,
dan dibiarkan berkembang dalam kolam tanpa irigasi dan pemupukan, atau
melakukan penyiangan, dalam waktu 12 minggu akan masak (dewasa). Pada
minggu ke-13, padi dipanen dan bibit semaian ditanam lagi untuk memulai siklus
baru. Hal tersebut memungkinkan untuk 4 kali penanaman padi dalam setahun.
Contoh lain adalah pada teknik budidaya hidroponik buah-buahan sayur-
sayuran dalam deretan pipa berbentuk bersegi tiga, dan diberi nutrisi yang berasal
dari mineral di kolam, ditambah dengan unsur-unsur yang hilang, semua diserap oleh
tanaman. Rangkaian ini memberikan hasil lebih tinggi per unit area permukaan
bangunan hidroponik.
Aliran terakhir disalurkan pembuangan di mana tumbuhan makrofit seperti:
Lemna, Azolla, Pistia, dan bahkan sejenis bunga bakung air yang menyerap unsur-
unsur hara seperti nitrat, fosfat dan kalium sebelum air yang murni dilepaskan ke
aquifer.

Prosessing
Satu masalah besar dalam pemasaran hasil pertanian adalah turunnya harga
ketika hasil pertanian berlimpah, dan kerugian besar disebabkan karena produk tidak
terjual. Proses sederhana seperti pengasapan, pengeringan, penggaraman,
perendaman dalam larutan gula (sugaring), pengawetan, dan lain lain harus
diajarkan kepada petani agar produk yang melimpah tadi tidak rusak. Dengan
kondisi energi biogas yang ada, mereka sekarang mampu melakukan pengolahan
hasil pertanian untuk memberikan nilai tambah produk tersebut.
Pentingnya sumber yang cukup seperti energi biogas gratis dalam Sistem
Pertanian Terpadu tidak cukup memberi penekanan, ketika kebanyakan negara-
negara kekurangan sumber daya penting ini untuk kepentingan ekonomi dan
pembangunan sosial, terutama di wilayah-wilayah terisolasi. Biogas tetap tersedia
ketika bahan bakar fosil habis.
Residu/Sampah
Dalam SPT, banyak dihasilkan biomas seperti sludge (kotoran cair),
ganggang mati, macrophytes, sisa panen dan sisa prosesing. Dengan pertimbangan
bahwa peternakan hanya menggunakan 15-20% makanan yang mereka konsumsi,
dan mengeluarkan sisa dalam kotoran mereka, kandang menjadi tempat kaya bahan
organik. Semua harus didaur ulang (recycle) agar dapat digunakan lagi, hal yang
betul-betul dilakukan dalam Sistem Pertanian Terpadu.
Kotoran cair (sludge), ganggang, macrophytes, sisa prosesing dan panen
dimasukan kantung plastik, disterilkan dengan uap (steam) lalu menghasilkan energi
biogas, kemudian disuntikan melalui lubang-lubang untuk budidaya jamur yang
bernilai ekonomi tinggi. Enzim jamur tidak hanya memecah lignin-selulosa (ligno-
cellulose) untuk melepaskan kandungan nutrisi, tetapi juga memperkaya residu
tesebut sehingga mudah dicernak dan bahkan menjadi makanan yang lebih ”lezat”
bagi ternak. Sisa residu berserat tetap dapat digunakan untuk kultur cacing tanah,
yang kemudian menyediakan makanan dengan protein khusus bagi ayam. Residu
akhir, meliputi cacing yang berlimpah, dikomposkan dan dimanfaatkan untuk
perbaikan kelembaban dan aerasi tanah.

Kesimpulan
Tidak ada keraguan sama sekali dari semua manfaat yang diberikan kepada
petani kecil, petani medium atau petani besar dari Sistem Pertanian Terpadu (SPT),
melalui daur ulang sampah tak terpakai sebagai sumber daya dapat diperbaharui,
menyediakan bahan-bahan penting seperti pupuk, makanan ikan dan ternak serta
bahan bakar yang dapat membuat bertani beraktivitas secara ekonomis dan
berkelanjutan secara ekologis. Dengan mengabaikan konsep SPT, oleh karena
ketidak-tahuan penjahat atau prasangka buruk, petani akan tetap miskin dan
dirampas semua keuntungannya yang merupakan hak asasi dari setiap orang baik
pria maupun wanita, anak-anak di muka bumi ini, yang mempunyai sumber daya
yang cukup untuk semua orang, sekarang dan untuk generasi masa depan.
Gambar 6. Lahan Tanaman dan Perikanan

Persyaratan Tanaman Organik


Definisi pertanian organik menurut Florida Organik Certification Program
adalah: ”sistem produksi pangan yang didasarkan pada metode dan praktek
pengelolaan lahan pertanian dengan pemanfaatan rotasi tanaman, recycling
sampah organik, aplikasi mineral alami untuk menjaga kesuburan tanah, dan jika
perlu pengendalian jasad pengganggupun secara biologi”. Menurut Budianto
(2002): ”pertanian organik merupakan cara memproduksi bahan pangan dengan
menggunakan bahan-bahan alami baik yang diberikan melalui tanah maupun
secara langsung kepada tanaman dan hewan”.
Tidak semua tanaman jenis tanaman dapat ditanam sebagai tanaman organik.
Di Amerika, beberapa lahan pertanian sudah disertifikasi untuk tanaman organik. Di
negara bagian selatan dan barat Amerika misalnya, jeruk menjadi komoditas buah
organik. Di negara bagian tengah (pusat) lebih banyak sayur-sayuran dan buah-
buahan yang dibudidayakan secara organik.
Beberapa persyaratan tanaman yang akan ditanam dalam sistem pertanian
organik, antara lain:
1. Mempunyai nilai ekonomis tinggi:
Sebenarnya keputusan pemilihan tanaman organik merupakan keputusan
ekonomis dan sangat personal. Selain itu pangsa pasar (market acceptability)
menjadi salah satu alasan untuk memutuskan tanaman apa yang akan ditanam.
Berdasarkan pangsa pasar yang ada saat ini dan potensi ekspornya, komoditas
perkebunan yang mempunyai prospek untuk dibudidayakan secara organik di
Indonesia adalah: tanaman rempah (lada, panili, kapulaga, kayu manis dan
pala), tanaman obat (jahe), tanaman minyak atsiri (nilam dan serai wangi), serta
tanaman perkebunan lain seperti jambu mente, kelapa, mlinjo.
2. Kesesuaian antara tanaman dengan jenis tanah dan kondisi lingkungan:
Tanah-tanah ideal untuk menumbuhkan sayuran organik adalah drainase baik,
kedalaman tanah cukup dan mempunyai kandungan bahan organik yang relatif
tinggi. Pada tanah-tanah berpasir di Florida, penambahan mulsa dan kompos
selama 3 tahun atau lebih dapat menghasilkan produksi tanaman organik yang
baik.
Upaya pengembangan pertanian organik di Indonesia memerlukan lahan yang
memiliki karakteristik tertentu, yaitu terbebas dari zat kimia buatan pabrik yang
berasal dari pupuk buatan, pestisida serta bahan-bahan lain seperti soil
conditioner dan amelioran. Berdasarkan persyaratan teknis tersebut, maka
sebagian besar lahan pertanian yang ada saat ini kurang sesuai dan tidak dapat
digunakan untuk mengembangkan pertanian organik. Badan Litbang Pertanian
sedang menyusun peta perwilayahan komoditas pertanian unggulan nasional,
yang diharapkan dapat bermanfaat untuk upaya pemilihan lokasi usaha tani,
termasuk pertanian organik.
3. Tahan terhadap hama dan penyakit tanaman:
Penggunaan tanaman yang mempunyai ketahanan terhadap penyakit merupakan
salah satu metode pengelolaan jasad pengganggu yang paling efektif dan
ekonomis.
BAB IV PENGATURAN POLA
TANAM

Sistem usaha tani harus direncanakan dan disusun sesuai dengan kebutuhan
unsur hara dan selanjutnya akan membantu dalam mempertahankan produktivitas
tanah. Akan tetapi sistem pertanaman campuran tidak selalu cocok untuk diterapkan
pada semua kondisi. Model pola tanam yang bisa mendukung pertanian organik
antara lain:

Budidaya Lorong (Alley Cropping/Hedgerow Intercropping)


Budidaya lorong atau dikenal sebagai sistem pertanaman lorong merupakan
salah satu bentuk wanatani yang memadukan praktek pengelolaan hutan tradisional
dan proses daur ulang hara secara alarm ke dalam usaha tani yang intensif produktif
dan berkelanjutan. Pelaksanaannya mengikuti lorong-lorong (tanaman pangan) yang
masing-masing lorong dibatasi tanaman pagar/tegakan, pada umumnya tanaman
yang tumbuh cepat (legum).

Banyak penelitian menyimpulkan bahwa budidaya lorong dapat


dikembangkan sebagai suatu sistem pertanian berkelanjutan dengan masukan rendah.
Beberapa gatra penting budidaya lorong yang bersifat multiguna adalah:
1. Mencegah terjadinya kerusakan tanah akibat erosi permukaan (gatra
konservasi).
2. Mempertahankan dan meningkatkan kesuburan tanah (gatra kesuburan).
3. Tanaman pagar (legum) dapat dimanfaatkan sebagai pupuk hijau, makanan
ternak, sayuran, pematah angin, dan penyediaan kayu bakar (gatra multiguna
tanaman pagar).
4. Meningkatkan produktivitas tanah.
Gambar 7. Model Praktek Budidaya Lorong

Pemilihan Tamanam Pagar


Banyak jenis pohon dan perdu yang dapat dipakai sebagai tanaman pagar,
terutama tanaman legum. Ciri tanaman legum yaitu pertumbuhannya cepat, mudah
ditanam dan bersifat multiguna (MPTS = Multi Purpose Plant Spesies) sehingga
untuk tanaman pagar dalam budidaya lorong jenis tanaman pagar yang dipilih harus
memenuhi persyaratan, antara lain:
1. Benih atau bibit mudah didapat di sekitar lokasi .
2. Mudah ditanam dan pertumbuhannya cepat.
3. Memiliki sistem perakaran yang dalam sehingga mampu memanfaatkan hara
dari lapisan yang lebih dalam, dan tidak mengganggu perakaran tanaman
pokok.
4. Menghasilkan banyak biomasa melalui pemangkasan yang dapat dimanfaatkan
sebagai sumber pupuk hijau, mulsa, dan hijauan pakan ternak.
5. Tahan terhadap pemangkasan dan mempunyai daya regenerasi dan
pertumbuhan kembali yang cepat dan tinggi.
6. Dapat menyediakan nitrogen tanah secara alamiah melalui penyematan N-
udara yang merupakan hasil kegiatan mikroorganisme yang bersimbioses
dengan tanaman legum.
7. Menghasilkan bahan sampingan yang sangat bermanfaat bagi petani (sumber
kayu, bahan bangunan dan perabot rumah tangga).
8. Apabila sudah tidak digunakan lagi dapat dengan mudah dimusnahkan.
Jenis tanaman legum yang banyak dimanfaatkan untuk budidaya lorong
adalah: kaliandra merah (Caliandra calothyrsus), kaliandra putih (Caliandra
tetragona), gamal (Gliricidia sepium), lamtoro gung (Leucaena leucochephala),
flemingia (Flemingia congesta), turi (Sesbania grandiflora), Cayanus cajan,
Dalbergia sisso, Desmantus virgatus, dan Tephrosia volgelii. Di antara jenis-jenis di
atas yang sering dimanfaatkan adalah lamtoro dan gliricidia.
Dalam pengembangan budidaya lorong tanaman pagar tidak terbatas pada
tanaman legum saja tetapi telah berkembang dengan memanfaatkan tanaman yang
lebih menguntungkan dan disukai petani serta mempunyai nilai ekonomi, yaitu
jenis buah-buahan dan perkebunan. Apabila dipadukan dengan peternakan maka
beberapa rumput pakan ternak dapat ditanam sebagai tanaman pagar.
Rumput pada umumnya mempunyai sistem perakaran yang sangat kuat
sehingga bermanfaat untuk tujuan konservasi. Jenis rumput yang telah
dikembangkan untuk pakan ternak dan umum ditanam, ialah: rumput gajah
(Pennisetum purpureum), dan rumput guinea (Panicum maximum). Di samping
terdapat jenis lain yang dapat dimanfaatkan sebagai rempah dan wewangian, antara
lain: rumput citronella (Cymbopogon nardus, Jowitt), sere wangi (Cymbopogon
citratus, Stapf), rumput guatemala (Tripsacum laxum), dan rumput vetiver
(Vetiveria zizanoides). Kelebihan jenis rumput adalah mudah ditanam dan mudah
tumbuh. Tetapi pada kondisi kekurangan air akan bersaing dengan tanaman lain
dalam penyerapan lengas tanah.
Tanaman pagar, baik permanen atau sementara yang ditanam menurut
kontur mempunyai keuntungan lain sebagai pengendali erosi. Jenis tanaman yang
ditanam harus sesuai dengan kondisi agroekosistem setempat dan
mempertimbangkan kebiasaan petani setempat.
Tanaman pagar harus dipangkas secara periodik, dapat dipakai sebagai
pakan ternak, atau mulsa tanaman utama (pangan). Pemangkasan juga berfungsi
untuk mengontrol pertumbuhan, karena apabila tidak dilakukan akan berubah
sebagai gulma. Beberapa keuntungan lain dari pemangkasan adalah:
1. Pemangkasan mulai dilaksanakan setelah tanaman cukup tinggi dan banyak
menghasilkan biomas yang dapat dimanfaatkan.
2. Pemangkasan dapat dilakukan berulangkali menyesuaikan dengan
pertumbuhan tanaman.
3. Tanaman pagar harus dipertahankan pada ketinggian tertentu supaya tidak
terlalu banyak menaungi tanaman utama, disamping itu harus menyesuaikan
dengan daya regenerasi tanaman, karena tanaman tertentu apabila terlalu
pendek tidak terjadi regenerasi tetapi malah menjadi mati.
4. Hasil pemangkasan berupa pupuk hijau dapat dibenamkan langsung pada
bidang oleh sebelum tanaman utama dipanen.
5. Pemangkasan dapat dilakukan 2-3 kali dalam musim penghujan, sedang
musim kemarau sebaiknya tidak dilakukan pemangkasan, kecuali apabila
pertumbuhannnya cukup baik.

Tanaman Utama
Pada bagian lorong dapat ditanami dengan tanaman semusim (pangan)
berumur pendek yang menyesuaikan dengan kebiasaan petani setempat (jagung,
kacang tanah, kedelai, padi gogo dan sayuran). Pola pertanaman yang dianjurkan
menyesuaikan dengan kondisi iklim, apabila memungkinkan dapat ditanami terus
menerus sepanjang tahun. Dapat juga ditanami tanaman-tanaman keras yang
mempunyai nilai ekonomis tinggi seperti kopi, jeruk, cokelat, pisang dll. Dengan
demikian prinsip keanekaragaman berkembang dalam budidaya lorong.
Teknologi konservasi yang diterapkan oleh adalah: pemulsaan, cover crop,
pupuk hijau, OTM dan TOT.

Gambar 8. Parit di antara Tanaman Pagar dan Tanaman Budi Daya untuk
Menghindari Gangguan pada Akar

Pertanian Sejajar Kontur (Contour Farming)


Sistem pertanian yang senada dengan budidaya lorong adalah pertanian
sejajar kontur tetapi dalam prakteknya lebih banyak dilaksanakan di lahan miring
yang bertujuan untuk mencegah terjadinya erosi. Dalam, penerapannya dilengkapi
dengan pembuatan saluran kontur, saluran pengendali aliran, perangkap sedimen,
cekdam dan bangunan konservasi lainnya.
Sistem pertanian ini merupakan salah satu model SALT (Sloping Agriculture
Land Technology), yaitu mengubah lahan miring yang tak produktif menjadi
produktif. Teknik ini memberikan kesempatan pada petani untuk meningkatkan
kesuburan tanah, konservasi tanah dan air, menekan pertumbuhan hama dan
penyakit, menekan ketergantungan pada masukan dari luar usaha tani. Dengan
teknologi SALT diharapkan petani dapat meningkatkan pendapatan melalui tanaman
semusim /tanaman keras. Beberapa tahapan untuk melaksanakan teknologi SALT:
1. Disiapkan lebih dahulu garis kontur, sepanjang garis ditanami dengan
tanaman permanen yang disebut dengan tanaman pagar. Penanaman
dilakukan dengan dengan jarak pagar 4-6 m untuk tanah yang kemiringannya
> 15%, dan 7-10 m untuk yang lebih landai yaitu (<15%).
2. Penanaman sebanyak dua baris sepan fang garis kontur dengan jenis tanaman
legum semak dan pohon. Jarak antara baris sepanjang kontur 50 Cm.
3. Untuk setiap tiga atau empat larikan ditanami tanaman permanen yang
mempunyai nilai ekonomis tinggi misalnya, kopi, kakao, jeruk dan lain-lain.
4. Antar tanaman pagar sebelum tajuk tanaman permanen soling menutup
diantaranya dapat ditanami tanaman yang disukai petani.
5. Dipilih tanaman yang berumur pendek/sedang seperti, jagung, sorgum, padi
gogo, nenas, ketela rambat dll.
6. Pemotongan tanaman pagar sampai ketinggian 1 m dan biomas dikembalikan
lagi sebagai sumber bahan organik.
7. Diperlukan rotasi tanaman pada non-permanen untuk mempertahankan
kesuburan tanah.
8. Di bagian bawah tanaman pagar diberi penguat seperti tongkat/batu yang
disusun berjajar bertujuan unt mengikat/perangkap sedimen yang mengalir
dari atas.
9. Teknik ini dapat divariasi dengan memanfaatkan tanaman multiguna dan
menyesuaikan dengan kondisi spesifik setempat. Tanaman pagar berupa
rumput setiap waktu dapat dipangkas dan dimanfaatkan untuk pakan ternak.

Adapun langkah-langkah pembuatannya sebagai berikut:


Pembuatan Kerangka A
(1) Bahan dan alat yang diperlukan:
• Tongkat kayu atau bambu sepanjang 2,1 m sebanyak 2 buah dan sebuah
berukuran 1,2 m.
• Paku dan tali untuk mengikat tongkat
• Batu sebesar kepalan tangan atau pemberat lainnya.

Gambar 9. Alat dan Bahan Kerangka A dalam Pertanian Sejajar Kontur


(2) Tatacara pembuatan kerangka A:
• Ikat tongkat kayu/bambu yang berukuran 2,1 m bagian ujungnya erat

menggunakan tali.
• bagian tengah antara 1 m dari ujung diikat lagi dengan kayu/bambu rukuran

1,2 m sebagai palang bingkai sehingga menyerupai hurup A.


• Ikat batu/pemberat lain menggunakan tali atau benang besar hingga menjadi

bandul.
• Gantungkan batu yang telah diikat tali pada puncak kerangka. Panjang tali
bandul harus melewati palang kerangka.

Gambar 10. Cara Pembuatan Kerangka A dalam Pertanian Sejajar Kontur


(3). Menentukan titik berat/keseimbangan:
• Peneraan titik berat dengan cara menempatkan kerangka A di tempat yang
berbeda tinggi.
• Beri tanda dengan patok masing-masing kaki kerangka A.
• Beri tanda pada tempat persinggungan antara tali dan pemberat pada talang
kerangka.
• Tukar posisi kaki kerangka A antara kiri dan kanan dengan memutar
kerangka 180°.
• Beri tanda pada persinggungan antara tali bandul dan palang kerangka
sebagai tanda kedua.
• Tentukan titik tengah antara kedua tanda persinggungan yang telah dibuat.
Tanda titik tengah tersebut adalah titik berat/keseimbangan kerangka A.

Gambar 11. Cara Menentukan Titik Berat/Keseimbangan Kerangka A

Teknik Pembuatan Kontur dengan Kerangka A


(1) Menentukan Letak Kontur:
• Bawalah kerangka A dan siapkan secukupnya patok ke lahan dibuat
konturnya.

Gambar 12. Teknik Pembuatan Kontur dengan Kerangka A


• Tancapkan patok pada tempat yang sudah ditentukan sebagai pembuatan

garis kontur. Pekerjaan dimulai dari tempat tertinggi. Pengkuran


dilaksanakan dari batas pemilikan tanah ke arah samping.

(2) Menentukan Garis Kontur:


• Letakkan kaki kiri kerangka A tepat pada pangkal patok.
• Kemudian tempatkan posisi kaki kanan kerangka sedemikian sehingga posisi
bandul tepat di tanda tengah.
• Tandai posisi kaki kanan kerangka dengan tongkat patok. Gerakkan kerangka
A ke samping dengan menempatkan kaki yang satu pada posisi yang baru.
Dalam keadaan seperti ini berarti kedua kaki kerangka berada pada tempat
yang sama tinggi.
• Demikian seterusnya sampai keseluruhan lahan terselesaikan.

(3). Menentukan Jarak Barisan Kontur:


• Rentangkan tangan tegak lurus ke depan. Arahkan pandangan sejajar lengan
tangan
• Geser-geserkan kaki sehingga titik pandangan tepat pada pangkal patok di
barisan pertama.
• Tancapkan patok tepat pada kaki kita berdiri.
• Buat barisan kontur kedua dan seterusnya, seperti cara membuat barisan
pertama.

Gambar 13. Cara Menentukan Jarak Barisan Kontur


(4) Perhitungan Penentuan Posisi Tanaman:
Perhitungan menentukan posisi tanaman pagar pada budi daya lorong. Rumus
sederhana lain yang dikemukakan oleh Arsyad (1988 menentukan posisi garis
kontur dan sekaligus menentukan posisi pagar dan lebar bidang olah antar-
tanaman pagar.
W = 33 -(S -10)
Keterangan: W = lebar antar-garis kontur, S = kemiringan tanah (%)

Rumus lain yang dapat digunakan untuk menentukan posisi tanaman pagar
dikemukakan oleh Sukmana et al., (1990).

VI=0,125+0,3
HI = VI/S x 100

Keterangan: V interval vertikal


H interval horisontal
S kemiringan lereng dalam

Wanatani/Hutan Tani/Agroforestry
Wanatani diartikan sebagai sistim penggunaan lahan yang berutama
memadukan antara tanaman pangan berumur pendek dengan tanaman pohon, semak
atau rumput makanan ternak. Contoh teknologi yang sudah memasyarakat antara
lain; pertanian sejajar kontur, budidaya lorong, tumpangsari (Taungnya), teknologi
'
lahan miring, teknik konservasi air, peternakan dan usaha tani terpadu yang
memanfaatkan tanaman multiguna.
Salah satu komponen wanatani adalah hutan kemasyarakatan, di mana disini
melibatkan masyarakat/petani sekitar untuk ikut menanami dan memelihara
tanaman utama. Di samping itu selama tanaman masih muda dan tajuk tanaman
belum saling menutupi petani dapat menanam diantara tanaman pokok dengan
tanaman semusim yang biasa ditanam petani setempat. Sistem yang sudah
berkembang adalah sistem tumpangsari tanaman jati di lahan milik perhutani.
Model ini dapat dikembangkan di lahan milik perusahaan perkebunan dan HTI yang
banyak tersebar di luar pulau Jawa. Wanatani dan model hutan kemasyarakatan ini
perlu dikembangkan untuk memantapkan lingkungan, termasuk juga kebutuhan
setempat berupa pangan, pelestarian hutan dan memenuhi kebutuhan kayu.
Kriteria pemilihan jenis pohon berumur panjang yang sesuai untuk
pengembangan hutan desa berskala kecil adalah: (1) sumber kayu untuk bangunan
dan peralatan rumah tangga, (2) mudah beradaptasi dengan kondisi lingkungan
setempat, (3) pertumbuhannnya berkelanjutan, (4) mendatangkan tambahan
pendapatan petani, (5) awal pertumbuhannya tahan terhadap naungan, dan (6) sesuai
dengan selera dan pengalaman petani.
Beberapa contoh jenis tanaman pohon dapat dilihat pada Tabel 5 dibawah.
Kriteria pemilihan Jenis tanaman pohon yang tumbuh cepat adalah: (1) pertumbuhan
cepat, (2) dapat menyediakan kayu bakar, bahan bangunan, pakan ternak atau
sebagai bahan pangan lain, (3) dapat meningkatkan pendapatan petani, (4)
memperbaiki tanah, (5) toleran terhadap kondisi setempat, dan (6) toleran terhadap
cekaman kekeringan.

Tabel 6. Jenis Tanaman Pohon yang Tumbuh Cepat dan Bersifat Multiguna
Nama Indonesia Nama Ilmiah Pemanfaatan
Air suli Acacia auriculliformis Air suli
Mangium Acacia mangium KB,BB
Saga Adenanthera KB,PT,BB,PH
Sengon lout microosperma Albizia KB,BB,PH
Kaliandra merah falcataria KB,PT,BB,PH
Kaliandra putih Caliandra calothyrsus KB,PT,BB,PH
Johar Calliandra KB,BB,PH,SK
Flamboyant tetragonal Cassia KB,BB,PH
Gamal siamea De%nix regia KB,PT,BB,PH
Waru Gliricidia sepium KB,PT,BB,PH
Kelor Hibiscus tillaceaus KB,PT,BB
Lamtoro Moringa oleifera KB,PT,BB,PH
Trembesi Leucaena diversifolia KB,PT,BS,PH,SK
Turi Samanea samara KB,PT,BB,PH
Jayanti Sesbania grandif/ora KB,PT,BB
KB= kayu bakar, PT = pakan ternak, BB = bahansesban
Sesbania bangunan, PH = pupuk hi jau, SK = sumber kayu
Tabel 7. Jenis Tanaman Pohon Berumur Sedang
Nama Indonesia Nama Ilmiah Pemanfaatan
Jambu mete Asacardium occidentale SP,KB
Sirsak Annona muricata SP,KB
Pinang Areca catechu SP,BB
Sukun Artocarpus communis SP,KB,BB
Nangka Artocorpus heterophyllus SP,KB,BB,SK
Belimbing Averrhoo 6ilimbi SP
Kemiri A/eurites molluscana SP,KB,BB
Bambu Sambusa sp SP,BB,SK
Kenitu Chrysophylum cainito SP,KB,BB
Kayu manis Cinnamomum zeylanicum 5P
Kelapa Cocos nucifera SP,BB,SK
Kopi Coffea sp SP,
Durian Durio zibethinus SP
Melinjo Gneturn gnemon SP,KB,PT
Mangga Mangifera indica SP
Sawo Manilkara zapota SP
Kelor Moringara oleifera SP,PT,PH
Pisang Musa sp SP,PT
Markisn Passiflora edulis SP
Apokat Persea Americana SP
Merica/lada Piper ningrum SP
Sirih Piper betel SP
Jambu biji Psidium guajava SP,KB,SK
Kecapi Sandoricum koetjape SP
Duwet Syzgium cumini SP,KB,SK
Asam jaws Tamarindus indica SP,KB,PH,SK
Kakao Theobroma cacao SP

Sp = sumber pangan KB= kayu bakar, PT = pakan ternak, BB = bahan bangunan, PH = pupuk hijau,
5K = sumber kayu

Tabel 8. Jenis Tanaman Pohon yang Berumur Panjang


Nama Indonesia Nama Ilmiah Pemanfaatan

Jambu mete Anacardium occidentale SP,KB


Nimba Azaderachta indica KB,BB,PH,SK
Cemara Casuarinas equisetifolia KB,BB,SK
Kayu manis Cinamomum zeylanicum SP,KB,BB,PH,SK
Johar Cassia siamea KB,BB,SK
Sono keling Da/bergia sisoo KB,PT,BB,SK
Gmelin 6melia arborea KB,PT,$B,SK
Mindi Me1ia azaderach KB,BB,SK
Sono kembang Pterocapusindico 88,SK
Cendana Santa/um album BB,SK
Mahoni Switenia marcophylla BB,SK
Jat i Tectonic grandis BB,SK,KB
SP = sumber pangan KB= kayu bakar, PT = pakan ternak, 88 = bahan bangunan, PH = pupuk hijau,
SK = sumber kayu
Kriteria pemilihan jenis tanaman pohon yang berumur sedang, adalah: (1)
mudah beradaptasi dengan lingkungan, (2) multiguna, dapat menyediakan kayu
bakar, bahan bangunan, pakan ternak atau sebagai bahan pangan lain, (3) dapat
meningkatkan pendapatan petani, (4) pertumbuhan dan hasil berkesinambungan (5)
toleran terhadap naungan, dan (6) sesuai dengan selera petani.
Kriteria pemilihan jenis tanaman pohon yang berumur panjang adalah: (1)
sumber kayu, (2) mudah beradaptasi dengan kondisi setempat, (3) dapat
meningkatkan pendapatan petani, (4) pertumbuhan dan hasi) berkelanjutan, (5) awal
pertumbuhan toleran terhadap naungan, dan (6) sesuai dengan selera petani.

Sistem Pertanaman Campuran dan Rotasi (Pergiliran) Tanaman

Pertanaman campuran merupakan sitem pertanaman yang menanam lebih


dari satu jenis tanaman pada satu petak dalam musim tanam yang lama. Pertanaman
campuran ini komposisinya sangat beraneka tergantung pada petani. Pertanaman
campuran merupakan sitem pertanaman tradisional yang sudah sering dilakukan
petani berskala kecil. Sistem ini biasanya dikenal dengan tumpangsari/tumpang gilir,
dimana dapat diterapkan pada lahan sawah/lahan kering.
Pada awalnya hanya diterapkan untuk tanaman semusim saja, tetapi dalam
perkembangannya dikombinasikan juga dengan tanaman keras/pohon. Beberapa
keuntungan dari sistem pertanaman campuran ini adalah:
1. Pada luas pengelolaan yang sama, pertanaman campuran mempunyai
produktivitas lahan persatuan luas lebih besar dari pertanaman tunggal, jika
ditinjau dari hasil panen per satuan luas. Perbedaan ini disebabkan karena salah
satu atau kombinasi dari: pertumbuhan yang lebih baik, pertumbuhan gulma
terhambat, HPT ditekan, lebih efisien dalam memanfaatkan air, sinar dan hara
yang tersedia.
2. Apabila beberapa jenis tanaman ditanam bersamaan, maka kegagalan salah satu
tanaman dapat dikompensasi oleh tanaman yang lain sehingga resiko kegagalan
panen dapat ditekan seminimal mungkin.
3. Pertanaman campuran yang memanfaatkan tanaman keras dan rerumputan dapat
menekan erosi karena penutupan yang lebih baik, pemanfaatan ruang tumbuh
lebih baik untuk perakaran dan pertumbuhan kanopi, daur hara dan air berjalan
baik sehingga dapat menyangga kondisi lingkungan yang kurang
menguntungkan misalnya kekeringan, serangan hama dan penyakit.

Sistem Pertanaman Surjan


Sistem pertanaman surjan merupakan sistem tradisional yang banyak
dikembangkan pada lahan yang mempunyai kendala biofisik yaitu lahan yang selalu
tertimpa banjir atau tergenang permanen, sehingga petani tidak melakukan usaha
taninya. Sistem ini sesuai dikembangkan pula pada wilayah-wilayah pasang surut,
dataran banjir permanen, lahan gambut dan bergambut.
Melalui sistem surjan ini lingkungan tanah dapat diperbaiki sehingga
produktivitasnya meningkat. Sistem ini memenuhi tiga prinsip dasar meningkatkan
ketersediaan pangan:
1. Memperluas areal yang dapat ditanami untuk tanaman pangan.
2. Meningkatkan hasil tanaman per satuan luas.
3. Meningkatkan jumlah tanaman yang dapat ditanam untuk setiap tahunnya.
Pada lahan yang tinggi, pengatusannya dapat diperbaiki sehingga tanaman
selain padi dapat diusahakan, dan pada bagian alur yang tergenang dapat
dimanfaatkan sebagai sawah sepanjang tahun, bahkan dikembangkan untuk usaha
perikanan (mina padi).

Cara Membuat Surjan


1. Kondisi tanah dibuat sedemikian rupa dengan cara membuat larikan-larikan
secara berselang-seling antara guludan dan alur.
2. Lebar guludan dan alur bervariasi sesuai dengan kondisi setempat (ketinggian
genangan) dan selera petani.
3. Bagian guludan atau tanah yang ditinggikan ditanami jenis tanaman semusim
yang tidak tahan genangan air seperti:sayuran, palawija dan buah-buahan,
sedang bagian alur yang tergenang ditanami padi yang dikombinasi dengan
mina padi.
Kelebihan Sistem Surjan
1. melalui sistem surjan tani subsisten dapat memenuhi sendiri kebutuhan
pangannya dengan cara menanam bermacam-macam tanaman di lahan yang
terbatas yang sebelumnya hanya ditanami padi sawah saja.
2. Dengan memperhatikan jadwal tanaman dan pemiliha jenis tanaman yang baik,
maka sistem ini secara kesinambungan menyediakan sayuran segar pada
bagian guludan, beras dan ikan pada bagian alur.
3. Pada periode diluar musim tanam beberapa tanaman yang mempunyai nilai
ekonomis dapat dipasarkan untuk menambah pendapatan petani.
4. Sistem surjan memberikan kesempatan pada petani secara optimal untuk
memanfaatkan lahan, sumber daya manusia, dan sumber daya lainnya serta
pendapatan yang berkesinambungan.
5. Menanam bermacam-macam tanaman pada waktu yang berbeda dapat
menekan terjadinya ledakan hama dan penyakit.
6. Bagian guludan yang lebih tinggi sekaligus sebagai pelindung tanaman padi
dari terpaan angin yang besar yang dapat menyebabkan tanaman menjadi
rebah.

Kelemahan Sistem Surjan


1. Memerlukan tenaga yang lebih banyak dari sistem tradisional.
2. Tennga diperlukan sepanjang tahun, terutama pada awal konstruksi pembuatan
surjan yang terdiri atas guludan dan alur memerlukan tenaga, waktu dan biaya
yang banyak.
3. Diperlukan pengelolaan usaha tani yang baik karena menyangkut bermacam-
macam tanaman dan jadwal tanaman yang terus menerus sepan jang tahun.
Gambar 14. Contoh Lahan Untuk Pengembangan Sistem Surjan

Intensifikasi Pekarangan
Pekarangan atau kebun yang banyak di jumpai merupakan sistem wanatani
tradisional yang tetap bertahan sesuai budaya dan kondisi ekosistem setempat.
Intensifikasi konvensional memerlukan ketergantungan yang tinggi terhadap
masukan dari luar antara lain; benih, pupuk kimia, pestisida dan kebutuhan lainnya.
Keberhasilan intensifikasi pekarangan konvensional sangat tergantung pada
penyediaan masukan dari luar usaha tani.
Pendekatan intensifikasi alami berbeda sekali dengan intensifikasi
pekarangan penyiapan petak pertanaman dengan pengolahan tanah, daur ulang hara,
membangun kesuburan tanah, keanekaragaman pertanaman dan keseimbangan
ekosistem terpadu.
Melalui intensifikasi pekarangan alami bahan organik didaur ulang dengan
cara dikembalikan ke tanah dalam bentuk kompos dan pendekatan lain juga
menghindarkan pemakaian pestisida buatan pabrik. Keanekaragaman jenis tanaman
yang ditanam mampu mengendalikan serangan hama dan penyakit tanaman, lebih
jauh semua bentuk formula organik dapat dibuat dengan mengandalkan bahan-bahan
yang tersedia disekeliling, termasuk toga, pestisida hayati, dll. Keberhasilan
pekarangan dalam mempertahankan produktivitasnya dapat ditinjau berdasarkan:
a. Mempertahankan dan meningkatkan hasil tanaman secara berkelanjutan.
b. Meningkatkan pasokan energi dari sumber daya lokal misalnya kayu bakar.
c. Menghasilkan beranekaragan bahan yang dapat dipakai untuk kebutuhan
sehari-hari atau di jual di pasar menambah pendapatan.
d. Perlindungan dan sekaligus meningkatkan kualitas lingkungan, terutama air,
flora dan fauna.
e. Meningkatkan kondisi sosial ekonomi petani.

Pembuatan Petak Pertanaman


Merupakan tahap awal yang dilakukan dengan cara mencampur dan
menggemburkan tanah sedalam 30-60 Cm, dengan tujuan memperbaiki aerasi, daya
ikat air, sehingga kondisi biota meningkat. Di permukaan dapat diberi mulsa jerami
atau rerumputan untuk mengurangi pemadatan tanah.

Pemberian Pupuk Organik dan Bahan Pembenam Tanah Lain


Pada saat pembuatan petak pertanaman perlu diberikan pupuk organik
dengan tujuan memperbaiki sifat fisik tanah, menyediakan hara dan meningkatkan
kegiatan mikroba tanah.
Sejumlah kompos perlu diberikan pada petak pertanaman. Sejak petak dibuat
3 2
diperlukan 0,75 m setiap 10 m , atau secara kasar setebal 7,5 cm apabila disebar
3
merata di permukaan tanah. Pada musim tanam berikutnya cukup 0,25 m atau
setebal 2,5 cm. Pada galian sedalam 60 cm dapat juga diberikan abu bakaran, kulit
telur, sisa pakan ikan, daun lamtoro, tepung tulang dan kompos yang dicampur
dengan tanah permukaan sedalam 15 cm sebelum benih ditanam. Pupuk cair dapat
diberikan setiap 4 hari sekali terutama pada musim hujan karena banyak hara yang
terlindi. Pupuk cair dapat berasal dari daun tanaman legum, atau pupuk kandang
yang difermentasi dengan air.

Penanaman Secara Intensif


Komposisi pemanfaatan ruang untuk ditanami tergantung pada jenis
tanaman, pergiliran tanaman dan pertanaman campuran yang dilaksanakan. Jarak
tanam dekat dianjurkan, karena tajuk tanaman yang rapat dapat menutupi permukaan
tanah dari terik matahari sehingga evaporasi kecil.

Pengendalian Hama dan Penyakit


Penyiapan tanah yang baik dapat mengendalikan serangan hama. Varietas
lokal yang sudah sesuai dengan kondisi setempat diusahakan dan dikembangkan
karena mereka relatif tahan terhadap serangan hama dan penyakit. Pertanaman
berbagai jenis tanaman dapat mengendalikan hama, aroma tertentu dari tanaman liar
atau budidaya seperti bawang putih, bawang merah dapat mengusir hama. Apabila
hama masih bertahan maka dapat dibuat formula pestisida alami yang bahan-
bahanya sudah tersedia.

Konservasi Sumber Daya Genetik


Intensifikasi pekarangan menekankan pada penggunaan bermacam-macam
jenis sayuran dan tanaman lain varietas lokal. Idealnya pekarangan harus
menggunakan 60-70% benih atau bibit varietas lokal. Strategi ini tidak hanya
bertujuan mengendalikan serangan hama tetapi juga merupakan nilai kearifan yang
perlu dipertahankan untuk generasi yang akan datang. Usaha pelestarian ini tidak
hanya dari bank benih saja, tetapi juga dari budidaya yang diterapkan petani. Melalui
tanaman mereka ikut ambil bagian dalam usaha pelestarian kearifan tradisional.

Penggunaan Bahan-Bahan yang Tersedia Lokal


Intensifikasi pekarangan secara hayati berusaha menekan ketergantungan
petani pada masukan teknologi modern yang relatif mahal. Pupuk dan pestisida
dianjurkan dari limbah atau biomas yang tersedia di sekitarnya. Demikian juga benih
varietas lokal dianjurkan daripada varietas hibrida yang berharga mahal.

Penggunaan Tenaga intensif daripada Modal Intensif


Intensifikasi pekarangan merupakan kegiatan pertanaman yang memerlukan
lebih banyak tenaga kerja terutama pada awal persiapan, sehingga sistem ini sesuai
untuk kegiatan rumah tangga berskala kecil. Program ini dapat dikembangkan untuk
program yang berhubungan dengan pengentasan kemiskinan yang pada umumnya
tidak mempunyai modal yang banyak tetapi mempunyai tenaga kerja yang banyak.

Langkah-langkah Intensifikasi Pekarangan


1. Memilih lokasi yang tepat dengan memperhatikan hal-hal berikut:
• Kemudahan dan dekat dengan sumber air untuk menyirami tanaman.
• Tanah mempunyai pengatusan dan kesuburan yang baik.
• Sinar matahari cukup.
• Sirkulasi udara baik.
2. Lahan cukup tersedia untuk mengembangkan pekarangan.
3. Menyiapkan petak pertanaman dengan jalan ; mencangkul tanah sedalam 15-30
cm, untuk mendapat pengatusan yang baik petak ditinggikan dengan pelapisan
tanah setinggi 10-15 cm dari permukaan asli tanah.

Gambar 15. Langkah-Langkah Intensifikasi Pekarangan

4. Membenamkan keranjang untuk menempatkan kompos dengan jalan:


• Membuat lubang sedalam 15 cm dengan jarak 1 m kemudian tanam
keranjang kompos.
• Masukkan ke dalam keranjang kompos/pupuk kandang, kemudian rumpur,
gulma, daun tanaman legum dan semak. Selama proses pengomposan tak
perlu dibalik cukup setiap waktu ditambah biomasnya.
• Setelah beberapa minggu sayuran ditanam disekitar keranjang kompos
dengan jarak 7,5 cm, sehingga perakaran dapat menyerap hara disekitar
keranjang kompos.
• Pada saat penyiraman tidak langsung pada tanaman tetapi pada keran jang
karena perakaran tanaman ada di dalam keranjang.
• Setiap 6 bulan kompos yang sudah matang diambil dan disebar ke petak
pertanaman.
• Pekarangan dibagi menjadi beberapa blok misalnya satu blok untuk sayuran
yang rutin dipetik, blok kedua sayuran semi musiman dan blok ketiga
sayuran musiman.

Gambar 16. Sketsa Intensifikasi Pekarangan


• Di sekitar pekarangan ditanami tanaman keras/pohon baik yang permanen
atau semi permanen seperti buah-buahan, nenas, kacangkacangan dll.
• Pergiliran tanaman perlu dilakukan.
BAB V PUPUK
ORGANIK

Pupuk organik merupakan kunci dalam pengelolaan tanah berkelanjutan


sistem pertanian organik. Sumber pupuk, dalam praktek-praktek pertanian
berkelanjutan dapat diperoleh dari kegiatan rotasi tanaman, tanaman penutup tanah,
pupuk hijau, pengapuran, dan bahan alami lainnya; atau penggunaan pupuk serta
bahan pembenah tanah ramah lingkungan.
Dalam sistem pertanian organik, pupuk organik yang sering digunakan
adalah berupa kotoran ternak yang dikenal dengan pupuk kandang; biasanya
diaplikasikan ke lahan baik dalam kondisi segar/kering ataupun setelah menjadi
kompos. Berikut ini akan diuraikan manfaat dan kerugian penggunaan pupuk
kotoran ternak terutama pupuk kotoran ternak segar, sekaligus sebagai persyaratan
aplikasi pupuk organik ke lahan pertanian

Masalah dan Solusi Penggunaan Pupuk Kotoran Ternak dalam


Bentuk Segar (Mentah) sebagai Persyaratan Penggunaan

Kotoran ternak segar merupakan sumber pupuk alami untuk produksi


tanaman organik yang paling baik. Bahan ini menyuplai bahan organik dan unsur
hara, serta merangsang proses biologi di dalam tanah yang membantu membangun
kesuburan tanah. Namun dalam aplikasinya ada beberapa hal yang perlu
mendapatkan perhatian yang berhubungan dengan kualitas produk, kontaminasi,
ketidak-seimbangan kesuburan tanah, masalah gulma dan bahaya polusi.

Kontaminasi
Beberapa pupuk alam mungkin mengandung hormon-hormon residual,
antibiotik, pestisida, organisme penyakit, dan zat-zat yang tidak diinginkan. Bila
senyawa-senyawa ini dapat dieleminasi melalui pengomposan aerobik pada
temperatur tinggi, maka praktek penggunaan bahan ini direkomendasikan pada level
di mana kontaminan organik berada dalam jumlah minimum. Peringatan ini
disarankan berdasarkan hasil penelitian bahwa bakteri Salmonella dan E. coli
ditemukan pada saat proses pengomposan. Kemungkinan penyebaran penyakit
kepada manusia telah mematahkan semangat penggunaan pupuk alami segar
(demikian juga kompos) yang diaplikasikan sebelum tanam atau saat tanam pada
tanaman sayur-sayuran, terutama tanaman yang biasanya dikonsumsi bagian
vegetatifnya.
Beberapa hal yang disarankan kepada petani terkait dengan penggunaan
pupuk alam segar atau masih mentah adalah :
1. Mengaplikasikan pupuk kotoran hewan paling sedikit sebelum panen
tanaman sayuran yang akan dimakan tanpa dimasak. Jika memungkinkan,
hindari pemupukan setelah tanam. Disarankan pemberian dengan cara
disebar.
2. Jangan menggunakan pupuk kotoran anjing, kucing, atau babi dalam bentuk
segar atau kompos. Spesies ini mengandung banyak parasit bagi manusia.
3. Cucilah seluruh produk yang digunakan sebagai pupuk yang diambil dari
lahan sebelum digunakan. Beberapa orang (anak-anak, orang tua yang tidak
memiliki sistem kekebalan tubuh) terutama yang peka terhadap penyakit
yang terbawa dalam makanan seharusnya menghindari produk yang tidak
dimasak. Sehingga kadang-kadang produk organik yang berasal dari pupuk
kotoran hewan ini lebih berbahaya daripada produk pangan lainnya yang
beredar di pasaran. Hal ini suatu tantangan bagi petani-petani organik.
Temuan-temuan ini memberikan peringatan pada industri pertanian organik
dan untuk selalu melakukan kontrol terhadap kerusakan produk organik, meskipun
kenyataannya bahwa pernyataan ini belum dibuktikan secara ilmiah.
Tidak seperti halnya petani konvensional, yang hanya mempunyai pedoman
yang aman mengenai penggunaan pupuk, petani organik yang disertifikasi harus
mengikuti protokoler yang ketat. Pupuk mentah tidak boleh diaplikasikan untuk
tanaman pangan dalam waktu 120 hari dari panen di mana bagian yang dikonsumsi
berada dalam kontak dengan tanah (misalnya sayuran, stroberi dll). Pupuk mentah
juga tidak boleh diaplikasikan untuk tanaman pangan dalam waktu 90 hari dari
panen di mana bagian yang dikonsumsi tidak kontak dengan tanah (misalnya
tanaman biji-bijian, pohon buah-buahan). Persyaratan ini tidak berlaku untuk
tanaman pakan ternak dan serat.
Zat organik bukan hanya merupakan kontaminan yang ditemukan dalam
pupuk kotoran ternak. Logam-logam berat dapat menjadi masalah, terutama bila
sistem produksi skala industri digunakan.
Kualitas Produk
Telah diketahui bahwa penggunaan pupuk mentah yang tidak tepat dapat
berpengaruh negatif terhadap kualitas tanaman sayuran seperti kentang, mentimun,
wortel, lobak, kubis, brokoli dll. Pada saat terjadi penguraian dalam tanah, pupuk
tersebut melepaskan senyawa kimia seperti skatol, indol dan senyawa fenol lainnya.
Bila diserap oleh tanaman yang sedang tumbuh, senyawa-senyawa ini dapat
memberikan bau busuk dan rasa yang tidak enak pada tanaman sayuran. Oleh
karena itu, pupuk mentah seharusnya jangan diaplikasikan secara langsung pada
tanaman sayuran, melainkan disebar langsung pada tanaman penutup tanah yang
ditanam sebelum musim tanam.

Ketidak-seimbangan Kesuburan Tanah


Penggunaan Pupuk organik mentah sering kali menyebabkan ketidak-
seimbangan kesuburan tanah. Ada beberapa faktor penyebabnya, yaitu:
1. Pupuk tersebut seringkali kaya unsur hara tertentu seperti fosfat atau kalium.
Sementara unsur hara ini sangat bermanfaat bagi tanaman. Aplikasi
berulang-ulang pupuk alam dapat mengakibatkan terciptanya kandungan hara
tertentu yang berlebihan dan dapat merusak tanaman. Sebagai contoh
kelebihan P dapat menggangu serapan hara lainnya seperti Cu dan Zn, dan
kelebihan K dapat menggangu serapan B, Mn, dan Mg.
2. Pemberian pupuk alami secara terus menerus cenderung mengasamkan tanah.
Ketiaka pupuk alam tersebut terurai akan melepaskan berbagai senyawa
organik yang dapat membantu meningkatkan ketersediaan mineral tanah.
Namun di lain pihak proses ini dapat menurunkan kandungan Ca dan
menyebabkan pH tanah menurun di bawah optimum untuk pertumbuhan
tanaman pada umumnya. Walaupun pupuk alam juga menyuplai Ca, tetapi
tidak cukup untuk mengatasi kecenderungan peningkatan kemasaman tanah.
Kecuali bila dalam aplikasi pupuk alam tersebut disertai pengapuran.
3. Ketika pupuk segar mengandung sejumlah besar N dan garam-garam
diaplikasikan pada tanaman, maka dapat mempunyai pengaruh yang sama
seperti halnya aplikasi berlebihan pupuk komersial mudah larut. Efeknya
dapat menyebabkan terbakarnya akar-akar bibit tanaman yang sedang
tumbuh, mengurangi ketahanan tanaman terhadap hama dan penyakit dan
memperpendek masa ketegaran hidupnya. Kelebihan garam sering
disebabkan oleh aplikasi pupuk alam yang berasal dari ternak yang
dirangsum dengan makanan yang mengandung garam atau mentah yang
ditanam pada daerah dengan tingkat pencucian rendah.
Untuk mencegah ketidak-seimbangan yang disebabkan oleh pupuk organik,
kita harus memonitor kesuburan tanah secara kontinyu, menggunakan uji tanah yang
tepat. Selanjutnya aplikasi kapur atau pupuk suplemen lainnya dan bahan pembenah
tanah untuk menjamin keseimbangan tanah atau membatasi pemakaian hanya saat
diperlukan saja.
Pemahaman tentang kebutuhan tanah hanyalah bagian dari solusi kendala
pertanian organik. Kita harus mengetahui kandungan hara dari pupuk yang
diaplikasikan. Nilai pupuk standar seharusnya digunakan hanya untuk perkiraan
kasar saja. Kandungan hara yang lebih teliti dari pupuk kotoran ternak tidak hanya
tergantung pada spesies ternak, tetapi juga pada rangsum makanan ternak, jenis alas
kandang yang digunakan, jumlah cairan yang ditambahkan, dan cara pengambilan
dan penanganan yang diterapkan.

Tabel 9. Perkiraan Kandungan NPK dari Berbagai Pupuk Kotoran Hewan

Hewan % Nitrogen % Asam Fosfat % Kalium


Sapi perah 0.57 0.23 0.62
Sapi daging 0.73 0.48 0.55
Kuda 0.73 0.25 0.77
Babi 0.49 0.34 0.47
Domba 1.44 0.50 1.21
Kelinci 2.40 1.40 0.60
Ayam 1.00 0.80 0.39
Diadopsi dari Arnon, 1998. Fertilizer values of some manure. Countryside dan
Small Stock J. P.75

Masalah Gulma
Penggunaan pupuk mentah (segar) seringkali berkaitan dengan
meningkatnya gulma. Beberapa pupuk organik segar mengandung benih gulma,
seringkali dari bahan alas kandang seperti jerami yang mengandung biji kecil dan
rumput tua. Pengomposan secara aerob pada temperatur tinggi dapat sangat
mengurangi jumlah biji-biji gulma yang viable (dapat hidup). Namun dalam banyak
kasus, pertumbuhan gulma yang subur menyertai pemupukan tidak berasal dari biji
gulma dalam pupuk, tetapi dari pengaruh rangsangan dari pupuk tersebut terhadap
biji-biji gulma yang ada dalam tanah. Perkembangan pesat dari gulma tersebut
mungkin akibat meningkatnya aktivitas biologi, adanya asam organik, kelebihan
nitrat, atau beberapa perubahan lain dalam status kesuburan tanah. Namun masalah
yang berhubungan dengan ketidak-seimbang kesuburan, bergantung pada spesies
gulma yang muncul. Kelebihan Kalium dan Nitrogen dapat merangsang
pertumbuhan gulma. Memantau kandungan hara tanah dan pupuk yang disebarkan
secara merata bertujuan untuk mengurangi kejadian masalah gulma tersebut.

Polusi
Bila hara dalam pupuk segar atau yang dikomposkan tererosi atau tercuci dari
lahan pertanian, maka hara tersebut menjadi suatu masalah polusi yang cukup
potensial, selain dianggap sebagai kehilangan sumber hara bagi petani. Bila hara-
hara tersebut seperti nitrat tercuci menuju ke groundwater (air tanah) yang
dimanfaatkan oleh manusia akan muncul masalah kesehatan manusia. Bila hara
tersebut mengalir di air permukaan, maka dapat menyebabkan eutrofikasi pada
waduk, danau, dan aliran sungai.
Cara di mana pupuk dikumpulkan dan disimpan sebelum diaplikasikan di
lapanganan mempengaruhi stabilisasi dan konservasi hara yang sangat berharga dan
bahan organik. Pengomposan merupakan satu cara yang baik dalam penanganan
pupuk kotoran ternak Mengurangi pupuk yang hilang karena aliran permukaan dan
pencucian dari lahan merupakan suatu bahan yang mencakup volume dan waktu.
Aplikasi pupuk jauh sebelum kebutuhan hara tanaman sangat meningkatkan
kesempatan kehilangan hara, terutama pada daerah dengan curah hujan tinggi.

Pupuk Kotoran Ternak yang Dikomposkan


Suatu proses pengomposan yang efektif mengubah limbah hewan atau
produk mentah lainnya menjadi humus, yang bersifat relatif stabil, kaya hara, dan
secara kimia fraksi organik aktif ditemukan pada tanah subur. Di dalam humus
stabil tidak terkandung amoniak atau nitrat larut, tetapi sejumlah besar Nitrogen
yang diikat sebagai protein, asam amino, dan komponen biologis lainnya. Unsur-
unsur hara lain juga stabil dalam kompos yang baik.
Pengomposan pupuk kotoran ternak mengurangi banyaknya kekurangan dan
kerugian yang disebabkan oleh aplikasinya dalam keadaan mentah. Kompos yang
baik adalah pupuk yang aman; kandungan garamnya rendah, tidak membakar
tanaman dan sesedikit mungkin menyebabkan ketidak-seimbangan hara. Pupuk
semacam ini dapat diaplikasikan secara langsung dengan aman untuk pertumbuhan
tanaman sayuran. Banyak pupuk organik komersial tersedia didasarkan pada pupuk
kotoran hewan yang dikomposkan disuplemen dengan serbuk batuan alam, produk
samping tanaman seperti tepung alfalfa, dan produk samping hewan seperti darah,
tulang, atau tepung bulu ternak.
Kualitas kompos tergantung pada pakan ternak yang digunakan. Jika tidak
dilakukan penambahan bahan, seresah broiler yang dikomposkan, meskipun lebih
stabil daripada seresah mentah akan memiliki kandungan fosfat tinggi dan kalsium
yang rendah. Aplikasi terus menerus dapat menyebabkan ketidak-seimbangan
kondisi tanah jangka panjang. Uji tanah dan kompos untuk memantau kandungan
hara sangat dianjurkan.
Walaupun pengomposan dapat mendegradasi kontaminan organik, namun
tidak dapat mengeleminasi logam berat. Kenyataannya, pengomposan ternyata
masih mengandung logam, yang membuat kompos terkontaminasi. Hal ini lebih
berbahaya daripada pupuk yang berasal dari seresah broiler, karena dalam beberapa
pakan ternak seringkali terkandung arsenik.
Beberapa temuan baru pakan ternak juga mengandung tembaga dan dapat
terakumulasi dalam pupuk kotoran ternak tersebut. Walaupun Cu merupakan unsur
hara esensial bagi tanaman, namun bila dalam jumlah yang berlebihan dapat
menyebabkan racun.
Menurut peraturan standar pupuk organik internasional, kompos harus memenuhi
kriteria sebagai berikut:
1. Rasio C: N awal antara 25: 1 dan 40: 1 harus tetap ada selama proses
penggilingan bahan, dan
o o
2. Temperatur antara 131 F dan 170 F harus dipertahankan selama 3 hari
dengan menggunakan sistem yang teraerasi statis, atau
o o
3. Temperatur antara 131 F dan 170 F harus dipertahankan selama 15 hari
dengan sistem pengomposan windrow (bedengan terbuka), selama periode
bahan harus dibalik minimum 5 kali.

Guano
Guano merupakan eksresi kering berbagai spesies kelelawar dan burung laut.
Penggunaannya sebagai pupuk pertanian memiliki sejarah panjang. Sebelum
penggunaan pupuk kimia, para pengusaha pemerintah Amerika Serikat telah
menemukan dan mengembangkan deposit gunato tersebut.
Kandungan hara dalam produk guano komersial bervariasi bergantung pada
makanan burung atau kelelawar. Burung laut yang mendapatkan makanan dari ikan
bergantung pada spesies ikan. Kelelawar dapat tumbuh dan berkembang dari
serangga atau buah-buahan. Faktor utama lain adalah umur sumber deposit. Produk
guano dapat dalam bentuk segar, semi-fosil, ataupun fosil. Untuk mengetahui secara
cepat beberapa produk komersial guano diberikan kisaran analisis seperti
disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Hasil Analisis Kandungan NPK Berbagai Jenis Guano

Jenis /Produk Guano Kandungan N-P-K Sumber


Kelelawar gurun 8 – 4 – 10 Panen Rumah (Home Harvest)
Kelelawar Gua kering 3 – 10 – 10 Panen Rumah (Home Harvest)
Burung Laut (fosil) 1 – 10 -10 Panen Rumah (Home Harvest)
Burung Laut Peru dalam 12 – 12 – 2.5 Panen Rumah (Home Harvest)
bentuk pelet
Burung laut Old Thyme 13 – 8 – 2.0 Panen Rumah (Home Harvest)
Kelelawar Jamaika 1 – 10 – 0.0 Boomington Whse
Burung laut Peru 11 – 13 – 3.0 Boomington Whse
Kelelawar Jamaika 3 – 8 – 10 Industry nitron

Sebagai sumber hara, guano dipertimbangkan cukup tersedia seperti halnya


pupuk alam lainnya. Salah satu sumber mengungkapkan bahwa guano kaya mikroba
bioremediasi yang membantu membersihkan toksin tanah. Jika benar, ini akan
membuat guano menjadi bahan pembenah tanah yang luar biasa untuk digunakan
pada masa transisi dari sistem produksi konvensional menjadi sistem produksi
berkelanjutan. Namun informasi ini belum terdokumentasikan dengan baik.
Guano diperkenalkan sebagai bahan yang sangat aman dan tidak membakar
tanaman yang seringkali diistilahkan dengan foolproof. Dan belum ada penemuan
yang menentangnya. Namun terdapat suatu penyakit manusia yang cukup serius
yang berhubungan dengan guano. Histoplasmosis, yang disebabkan jamur
Histoplasm capsulatum, menunjukkan gejala yang sama dengan influenza, atau
pneumonia bila berat. Seseorang yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang
membahayakan, histoplasmosis dapat menyebabkan komplikasi yang dapat
menyebabkan kematian.
Akumulasi guano burung laut dan kelelawar dapat mengandung spora
Histoplasm. Masalah ini sering muncul dalam pelapisan yang telah berumur 2 tahun
atau lebih. Sebagaimana halnya fungi (jamur) yang berkembang biak dan
menghasilkan spora. Pada kondisi segar, guano Kelelawar lebih berbahaya daripada
guano burung karena Kelelawar yang terinfeksi dapat menjadi sarang organisme dan
secara cepat menginokulasi pupuk tersebut. Sehingga bagi orang atau pekerja yang
sering kali ke gua atau memanen dan mengemas guano memiliki resiko tinggi
terinfeksi penyakit ini.

Tanaman Penutup Tanah dan Pupuk Hijau


Pupuk hijau merupakan bahan tanaman yang masih segar yang dibenamkan
ke dalam tanah untuk tujuan perbaikan tanah. Sedangkan cover crop adalah tanaman
penutup tanah yang sengaja ditanam untuk menutup permukaan tanah. Tanaman
penutup tanah (cover crop) terutama ditujukan untuk mencegah erosi tanah di daerah
berlereng. Cover crop dan tanaman pupuk hijau dapat berupa tanaman setahun, 2
tahunan, maupun tanaman tahunan yang ditanam secara monokultur ataupun
campuran selama musim tanam. Selain berfungsi menutup tanah, tanaman legum
dapat menghasilkan nitrogen, dan membantu mengendalikan gulma dan mengurangi
hama dan penyakit tanaman. Bila cover crop ditanam untuk mengurangi pencucian
hara dari profil tanah yang menyertai tanaman utama, seringkali diistilahkan dengan
“cath crop”.

Gambar 17. Aplikasi Pupuk Hijau di Lapangann


Cover crop seringkali diistilahkan dengan mulsa hidup yang berfungsi
menekan pertumbuhan gulma, mengurangi erosi, meningkatkan kesuburan tanah,
dan memperbaiki infiltrasi air. Jenis tanaman mulsa hidup dalam sistem penanaman
tahunan adalah rumput-rumputan atau tanaman legum yang ditanam dengan sistem
alley cropping di antara barisanan tanaman utama (tanaman pohon).

Gambar 18. Penanaman Cover crop

Manfaat Cover crop dan Pupuk Hijau


Bahan Organik dan Struktur Tanah
Manfaat utama yang diperoleh dari pupuk hijau adalah adanya tambahan
bahan organik ke dalam tanah. Selama penguraian bahan organik oleh
mikroorganisme, senyawa-senyawa yang terbentuk bersifat tahan terhadap
dekomposisi, seperti gum, wax, dan resin. Senyawa-senyawa ini bersama-sama
dengan miselia, lender, kotoran/eksresi yang dihasilkan oleh mikroorganisme
membantu mengikat partikel tanah membentuk granul atau agregat. Tanah yang
beragregat baik akan mudah diolah, aerasinya baik, dan mempunyai laju infiltrasi
yang tinggi. Dengan meningkatnya kandungan bahan organik tanah juga akan
meningkatkan humus tanah.

Produksi Nitrogen
Produksi N merupakan manfaat utama dari cover crop dan pupuk hijau yang
berasal dari tanaman legum. Akumulasi N oleh cover crop legum berkisar antara 80
– 400 kg N/ha. Jumlah N yang tersedia dari tanaman legum bergantung pada spesies
tanaman legum yang ditanam, biomas total yang dihasilkan, dan persentase N dalam
jaringan tanaman. Kondisi lingkungan dan cara budidaya tanaman yang membatasi
pertumbuhan tanaman legum, seperti jadwal penanaman yang tertunda, kekeringan,
dan cara budidaya yang tidak tepat akan mengurangi kandungan N yang dihasilkan.
Dan sebaliknya bila kondisi lingkungan dan cara budidaya yang tepat akan
mendukung produk N yang baik.
Porsi N tersedia dalam pupuk hijau untuk tanaman berikutnya pada
umumnya sebesar 40 – 60% dari jumlah total yang terkandung dalam legum. Untuk
menentukan berapa banyak N yang terkandung dalam cover crop dapat diestimasi
dari banyaknya biomas di atas tanah yang dihasilkan dan kandungan N nya.

Aktivitas Mikroba Tanah


Suatu peningkatan yang cepat dalam populasi mikroorganisme tanah terjadi
setelah tanaman muda pupuk hijau dibenamkan ke dalam tanah. Jumlah mikroba
dalam tanah berlipat ganda untuk menyerang pupuk hijau segar begitu dibenamkan.
Selama penguraian yang dilakukan oleh mikroba, hara-hara yang terkandung di
dalam jaringan tanaman dilepaskan dan menjadi tersedia bagi tanaman berikutnya.
Faktor yang mepengaruhi kemampuan mikroorganisme untuk menguraikan bahan
organik adalah temperatur tanah, kelebaban tanah, dan rasio C/N bahan tanaman.
Rasio C/N mencerminkan jenis dan umur tanaman yang digunakan. Bila tanaman
dewasa digunakan akan mengandung serat (Carbon) yang tinggi sedangkan
kandungan protein (Nitrogen) menurun.
Residu tanaman yang kaya karbon biasanya memiliki Rasio C/N di atas 25:1
dapat mengakibatkan N diikat oleh mikroba tanah, sehingga menurunkan
ketersediaan N bagi tanaman. Penambahan sedikit pupuk N untuk membantu proses
dekoposisi disarankan pada jaringan tanaman dengan kandungan C tinggi.
Sebaliknya pada residu tanaman dengan rasio C/N rendah akan lebih banyak N yang
dilepaskan ke dalam tanah sehingga tersedia bagi tanaman.

Penambahan Hara
Selain menambah hara N ke dalam tanah, cover crop membantu mendaur
ulang hara-hara lainnya di lahan-lahan pertanian. Unsur hara N, P, K, Ca, Mg, S,
dan lainnya diakumulasikan oleh cover crop selama musim tanam. Ketika pupuk
hijau dibenamkan atau sebagai mulsa, hara-hara esensial tanaman menjadi lambat
tersedia selama proses dekomposisi. Beberapa jenis cover crop tertentu mampu
mengakuulasi hara dari dalam tanah dalam konsentrasi yang tinggi dalam jaringan
tanaman. Sebagai contoh tanaman pohon legum (alfalfa) yang memiliki perakaran
dalam mampu menyerap hara dari sub soil dan mentranslokasiknnya ke bagian atas
ke daerah perakaran tanaman, dan menjadi tersedia bagi tanaman berikutnya.
Penguraian pupuk hijau oleh mikroorganisme tanah mempengaruhi
ketersediaan hara mineral dengan cara yang lain. Selama proses dekomposisi bahan
organik, senyawa asam organik terbentuk sebagai produk samping aktivitas mikroba.
Asam-asam organik ini bereaksi dengan batuan mineral yang tidak larut dan fosfat
yang mengendap, melepaskan fosfat dan hara yang dapat dipertukarkan.

Aktivitas Perakaran
Sistem perakaran yang intensif dari cover crop sangat efektif dalam
melonggarkan dan memberikan aerasi yang baik dalam tanah. Ketika cover crop
ditanam setelah pengolahan tanah dalam, mereka dapat membantu melonggarkan
tanah sehingga lapisan bawah tanah memiliki aerasi yang baik. Keampuan ini juga
dipengaruhi oleh kedalaan perakaran cover crop.

Penekanan Gulma
Gulma akan tumbuh pada bagian-bagian anah yang kosong. Ketika tanah
ditanami cover crop, tanaman ini menempati ruang di atas tanah serta menangkap
cahaya, sehingga memberikan naungan pada tanah dan mengurangi kesempatan
gulma untuk tumbuh. Pengaruh pelonggaran tanah dari cover crop yang memiliki
perakaran dalam juga mengurangi populasi gulma yang tumbuh dengan subur pada
tanah yang padat.
Penanaman cover crop non legum (rumput-rumputan) adalah untuk
memberikan pengendalian gulma sebagaimana penambahan bahan organik ke dalam
tanah dan memperbaiki kepadatan walaupun tidak menghasilkan N.
Penekanan gulma akibat penggunaan cover crop dapat terjadi oleh adanya
zat alelopati yang dihasilkan oleh cover crop atau mulsa hidup. Hal ini merupakan
metode yang penting dalam pengendalian gulma dalam sistem pertanian yang
berkelanjutan. Tanaman yang menghasilkan alelopati adalah tanaman yang mampu
menghambat pertumbuhan tanaman di dekatnya dengan cara melepaskan senyawa
toksin alami atau alelokimia. Beberapa cover crop menunjukkan kemampuan seperti
ini, sehingga cukup efektif dalam mengendalikan pertumbuhan gulma.

Konservasi Tanah dan Air


Bila cover crop ditanam semata-mata untuk tujuan konservasi tanah, mereka
seharusnya memberikan persentase penutupan tanah yang tinggi secepat mungkin.
Cover crop jenis rumput-rumputan (non legum) menunjukkan kemampuan
konservasi tanah dengan baik. Sehingga dapat mengurangi besarnya erosi di
permukaan tanah.
Manfaat konservasi tanah yang diberikan oleh cover crop memperpanjang
perlindungan tanah selama periode bero (kosong). Selain itu adanya cover crop
dapat meningkatkan infiltrasi air dan mengurangi evaporasi air dari permukaan
tanah. Cover crop mengurangi terjadinya kerak di permukaan tanah sehingga
mengurangi aliran air di permukaan (runoff).
Retensi air di bawah cover crop (mulsa) memberikan pengaruh yang nyata
dalam mengendalikan erosi karena air banyak yang masuk ke dalam tanah.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya cover crop dapat mengurangi
evaporasi dan meningkatkan kelembaban tanah sehingga memungkinkan lahan-lahan
tersebut dapat bertahan dalam kondisi kekeringan tanpa terjadi stress air pada
tanaman.
Selain mengurangi erosi tanah, cover crop dapat mengurangi pencucian hara
ke lapisan yang lebih dalam, terutama tanaman yang memiliki perakaran dalam.

Gambar 19. Penanaman Cover crop untuk Mengurangi Pencucian


Biofertilizer
Biofertilizer merupakan istilah yang mempunyai banyak arti, dapat berupa
segala sesuatu yang diekstrak dari tanaman menjadi pupuk kimia yang mengandung
komponen organik (misalnya vitamin), atau menjadi campuran berbagai organisme
mikroba. Vessey (2003) mendefinisikan biofertilizer sebagai: “suatu zat yang
mengandung organisme hidup, yang mana bila diaplikasikan pada biji, permukaan
tanaman, atau tanah, akan membentuk koloni rhizosfer atau bagian dalam tanaman
dan merangsang pertumbuhan dengan meningkatkan suplai dan ketersediaan hara
bagi tanaman inang”.
Selanjutnya Rao (1981) juga mendefinisikan biofertilizer sebagai: “inokulan
mikroba sebagai preparat yang mengandung sel hidup (laten) dari strain bakteri
pemfiksasi N, pelarut fosfat, atau mikroorganisme selulotik yang diaplikasikan pada
biji, tanah atau tempat pengomposan dengan tujuan untuk meningkatkan jumlah
mikroorganisme tersebut di atas dan mempercepat proses-proses yang dibantu oleh
mikroorganisme untuk menambah tingkat ketersediaan hara dalam bentuk yang
mudah diserap oleh tanaman”. Dalam aplikasinya, inokulan mikroba tersebut
dianggap sebagai karier yang mengandung mikroorganisme bermanfaat dalam
keadaan hidup yang ditujukan untuk biji atau tanah dan diharapkan dapat
memperbaiki kesuburan tanah dan membantu pertumbuhan tanaman dengan
meningkatkan jumlah aktivitas biologi dari mikroorganisme di sekitar perakaran
tanaman. Definisi ini menitik-beratkan pada mikroorganisme hidup dan dengan
demikian memisahkan biofertilizer dengan pupuk organik dan pupuk kotoran hewan
atau sisa tanaman. Beberapa jenis fungi yang hidu p di daerah perakaran (seperti
arbuscular mycorrhizae) dapat menjadi biofertilizer.
Di antara berbagai inokulan, bakteri dari rhizosfer tanaman (Rhizobacteria)
mendapat perhatian khusus selama dua dekade terakhir ini yang dikenal dengan
Plant-Growth-Promoting Rhizocbacteria (PGPR) yang merupakan bakteri yang
mengkoloni tanaman dan merangsang pertumbuhan tanaman.
Sebagai biofertilizer, PGPR dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman
melalui beberapa mekanisme yaitu:
1. Menambah suplai N bagi tanaman inang melalui proses fiksasi N2.
2. Menambah suplai unsur hara yang lain (seperti P, S, dan Fe).
3. Produksi fitohormon PGPR dapat meningkatkan luas permukaan akar.
4. Menambah bakteri atau fungi yang bermanfaat dengan cara bersimbiosis
dengan tanaman inang.
Beberapa PGPR merangsang pertumbuhan tanaman inang dengan cara
meningkatkan ketersediaan hara anorganik tertentu di daerah perakaran tanaman
(Rizhosfer). Bakteri-bakteri ini terlibat dalam beberapa reaksi antara lain pelarutan
fosfat, oksidasi sulfur, dan pengkelatan besi serta berbagai proses lainnya.

1. Pelarutan Fosfat
Fosfor merupakan unsur hara yang sering membatasi pertumbuhan dan
produksi tanaman di daerah tropis. Namun tidak hanya di daerah tropis saja, di
daeras sedang dan tanah dengan kandungan bahan organik tinggi ketersediaan fosfor
juga terbatas. Hal ini disebabkan karena banyaknya bentuk-bentuk P yang tidak
larut, sedangkan tanaman hanya dapat menyerap P dalam bentuk ion larut yaitu
- 2-
H2PO4 dan HPO4 . Banyak bakteri yang diisolasi dari rhizosfer memiliki
kemampuan melarutkan bentuk P yang tidak tersedia dalam suatu kultur yang
mengandung eksresi asm organik dan enzim fosfatase (Kim, et al.,1998). Bukti
adanya pelarutan fosfat sebagai suatu mekanisme aktivitas PGPR ditunjukkan pada
Rhizobium sp. dan Bradyrhizobium japonicum dan radish (lobak) (Antoun, et al.,
1998) ; R. leguminosarum bv. phaseoli dan jagung (Chabot et al., 1998);
Enterobacter agglomerans dan tomat (Kim, et al., 1998); Bacillus sp. dan berbagai
spesies tanaman (Pal, 1998); Azotobacter chroococcum dan gandum (Kumar dan
Narula, 1999); Bacillus circulans dan Cladosporium herbarum dan gandum (Singh
dan Kapoor, 1999); dan Pseudomonas chlororaphis dan P.putida dan kedelai
(Cattelan, et al., 1999). Namun yang perlu diingat bahwa kemampuan melarutkan P
di dalam kultur tidak berarti bahwa bakteri tersebut bertindak sebagai suatu PGPR.
Hanya ada 2 dari 5 isolat pelarut fosfat dari rizhosfer kedelai yang dapat merangsang
pertumbuhan kedelai (Cattelan, et al.,1999). Demikian juga, isolat Bacillus dan
Xanthomonas dari rizhosfer minyak lobak dapat merangsang pertumbuhan tanaman
tetapi tidak meningkatkan kandungan P tanaman inang (Rai, M.K, 2005).

2. Oksidasi Sulfur
Sulfur (S) merupakan unsur hara makro yang ke empat setelah N, P, dan K.
Sulfur merupakan komponen vital protein dan sistem enzim di dalam tubuh tanaman.
Namun tanaman hanya dapat menyerap S dalam bentuk ion sulfat
2-
(SO4 ). Bila tanaman mengalami defisiensi S, petani bisa saja menambahkan pupuk
sulfat seperti Amonium Sulfat [(NH4)2SO4, K2SO4]. Namun pupuk ini bersifat larut
dalam air, sehingga besar kemungkinan dapat hilang melalui pencucian yang akan
mencemasi sumber air tanah. Penggunaan pupuk S elementer lebih dianjurkan, selain
harganya tidak terlalu mahal, juga tidak larut secara langsung dalam air, sehingga
mengurangi pencucian. Lebih lanjut, S elementer merupakan produk samping
industri minyak
dan gas, sehingga penggunaannya lebih dianjurkan dalam rangka pemanfaatan
limbah. Namun Sulfur dalam bentuk elementer ini tidak dapat secara langsung
diserap oleh tanaman. Unsur ini harus dioksidasikan terlebih dahulu membentuk ion
sulfat. Proses oksidasi ini dibantu oleh mikroorganisme tanah. Dalam kondisi alami
proses ini berlangsung selama 18 – 24 bulan bergantung pada jumlah bakteri
pengosidasi S dan kondisi lingkungan yang kondusif. Reaksi oksidasi tersebut
adalah sebagai berikut:

2- 2-
S (elementer) (S0) Thiosulfat (S2O3 ) tetrathionat (S4O6 )
2- 2- 2-
Trithionat (S3O6 ) sulfit (S)3 ) sulfat (SO4 ).

Beberapa mikroorganisme tanah memiliki kemampuan mengoksidasi S,


tetapi mikroorganisme ini hanya dijumpai kurang dari 1% dari total populasi
mikroba tanah. Mikroorganisme pengoksidasi S antara lain bakteri Thiobacillus sp.,
fungi Fusarium sp, dan aktinomeset Streptomyces sp.. Di antara ketiga
mikroorganisme tersebut yang paling aktif dalam mengoksidasi S adalah golongan
bakteri. Keberhasilan penggunaan pengoksidasi S dalam PGPR berbeda-beda
bergantung kondisi agroklimatnya. Sebagai contoh , bakteri Thiobacillus digunakan
dalam pembuatan pupuk Biosuper di Australia dengan mencampurkan batuan fosfat
dan sulfur. Asam sulfat yang dihasilkan dalam campuran tersebut dapat melarutkan
fosfat dan dengan cara demikian dapat meningkatkan hara P bagi tanaman. Namun
apakah biofertilizer seperti ini dapat bermanfaat dan menguntungkan dari segi
ekonomi sangat bergantung pada ketersediaan sulfur dan batuan fosfat untuk tujuan
ini serta penggunaannya di tingkat petani dalam meningkatkan hasil tanaman.
3. Pengkelatan Besi
3+
(Fe )
2+
Ion besi ferro (Fe ) lebih larut tetapi keberadaannnya lebih sedikit
3+
dibandingkan dengan ion Ferri (Fe ) di dalam larutan tanah pada pH tanah netral.
3+
Dalam bentuk ion ferri (Fe ), besi mudah mengendap menjadi bentuk besi oksida
yang tidak larut. Selain dari pengasaman rhizosfer untuk membuat besi lebih
tersedia, beberapa tanaman juga mengeksresikan pengkelat (Chelator) besi
3+
(Phytosiderophor) yang mengikat Fe , menghentikannya dari proses oksidasi
3+
membentuk senyawa tidak larut. Senyawa kompleks Phytosiderophor-Fe ini dapat
diserap masuk ke sel-sel akar tanaman (von Wiren, et al., 2000 dalam Rai, 2005).
Beberapa bakteri rhizosfer juga menghasilkan siderophor yang mengkelat
Fe3+, tetapi aktivitas ini lebih sering disebabkan oleh aktivitas biokontrol daripada
aktivitas biofertilizer. Meskipun demikian , terdapat bukti yang menunjukkan bahwa
3+
senyawa kompleks siderophor-Fe dapat diserap oleh beberapa spesies tanaman.
Beberapa peneliti menyarankan bahwa tipe absorbsi ini sangat penting dalam
hubungannya dengan hara besi tanaman, terutama pada tanah Calcareous (Masalha,
et al.,2000 dalam Rai, 2005).

4. Produksi Fitohormon
Cara yang paling umum aktivitas PGPR dalam merangsang pertumbuhan
tanaman adalah melalui proses alterasi level fitohormon, yang pada gilirannya akan
mengubah pertumbuhan dan morfologi akar tanaman inang sehingga memiliki luas
permukaan yang lebih besar. Banyak kajian dan model serapan hara di dalam
tanaman menunjukkan peranan yang sangat penting dari luas permukaan akar
sebagai suatu faktor yang mempengaruhi kapasitas tanaman untuk menyerap hara
anorganik. Peranan PGPR dalam merangsang pertumbuhan tanaman terjadi melalui
peningkatan luas permukaan akar, yang pada gilirannya akan meningkatkan
kemampuan tanaman menyerap hara sehingga pertumbuhan tanaman meningkat.
Pengaruh produksi fitohormon oleh PGPR pada tanaman inang dibuktikan
dengan parameter berat akar tanaman yang lebih besar, cabang akar lebih banya,
akar lebih tebal, dan rambut akar lebih banyak (Gambar 20).
KONTROL PGPR
Gambar 20. Hasil Scanning Mikroskop Elektron Akar Canola setelah 96 Jam
Inokulasi PGPR dibandingkan dengan Kontrol (Rai, 2005)

Gambar tersebut memperlihatkan bahwa akar yang diinokulasi PGPR


menunjukkan kerapatan yang lebih tinggi dari rambut-rambut akar. PGPR juga
meningkatkan pembentukan rambut akar dan panjang akar. Rambut akar lebih
panjang dan lebih tebal daripada kontrol. Molla, et al., (2001) menunjukkan bahwa
Azospirillum brasilense Sp7 dapat menyebabkan terjadinya peningkatan berat kering
akar kedelai sebesar 63 % dan lebih dari 6 kali lipat meningkatkan panjang akar
spesifik, dan lebih dari 10 kali lipat peningkatan dalam panjang akar total.
Tabel 11 di bawah ini menyajikan daftar hormon (IAA, cytokinin, dan asam
giberelin) dan suatu zat yang mempengaruhi hormon (ACC deaminase) yang
dihasilkan oleh PGPR tertentu dan bertanggungjawab untuk perangsangan
pertumbuhan tanaman inang. Zat perangsang tumbuh yang paling umum adalah
IAA (indole-3 acetic acid), suatu fitohormon yang terlibat dalam inisiasi akar,
pembelahan sel, dan pembesaran sel (Salisbury, 1994). Pengaruh yang paling umum
dari produksi IAA oleh PGPR dapat meningkatkan panjang akar.
ACC (1-aminocyclopropane-1-carboxylate) merupakan prekusor etilen
dalam jalur biosintesis. ACC deaminase adalah suatu enzim yang dihasilkan oleh
beberapa PGPR yang menurunkan produksi etilen. Etilen merupakan fitohormon
yang unik yang berada dalam bentuk gas dan sebagai penghambat pertumbuhan akar
pada beberapa spesies. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa PGPR yang
mensekresi ACC deaminase merangsang pertumbuhan tanaman melalui
penghambatan produksi etilen pada tanaman inang, yang menyebabkan terjadinya
peningkatan panjang akar.
Tabel 11. Hormon atau Zat yang Mempengaruhi Hormon Dihasilkan PGPR untuk
Merangsang Pertumbuhan Tanaman Inang

Pengaruh hormonal PGPR Tanaman Inang


Produksi IAA Aeromonas veronii Padi
Agrobacterium sp Slada
Alcaligenes piechaudii Slada
Azospirillum brasilense Gandum
Bradyrhizobium sp. Lobak (Radish)
Comamonas acidovorans Slada
Enterobacter cloacae Padi
Enterobacter sp Tebu
Pseudomonas putida Minyak lobak (rape)
Rhizobium leguminosarum Lobak (Radish)
Produksi ACC deaminase Alcaligenes sp Rape
Bacillus pumilus Rape
Enterobacter cloacae Rape
Pseudomonas cepacia Kedelai
Pseudomonas putida Mung bean
Pseudomonas sp Rape
Variovorax paradoxus Rape
Produksi Cytokinin Paenibacillus polymyxa Gandum dan cemara
Rhizobium leguminosarum Rape dan Slada
Bacillus sp Alder dan Cemara

Sumber: Vessey (2003)

Sitokinin merangsang pembelahan sel, pembesaran sel, dan perkembangan


jaringan didalam bagian tanaman tertentu. Sedangkan Asam giberelin merupakan
kelompok fitohormon yang dapat menyebakan perkembangan jaringan tanaman,
terutama jaringan batang (Salisburry, 1994). Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa PGPR yang menghasilkan cytokinn dapat merangsang pertumbuhan tanaman
(Tabel 11) (Bent, et al., 2001 ; de Salamone, et al., 2001 dalam Rai, 2005).

Aplikasi Pupuk Segar dan Kompos di Lapangan


Dalam hubungannya dengan aplikasi pupuk segar dan kompos di lapangan
yang perlu dibahas adalah kapan dan bagaimana cara aplikasinya. Batasan aplikasi
90 dan 120 hari untuk pupuk alam dimaksudkan mencegah kontaminasi pangan
dengan patogen pupuk. Namun, di bawah batasan waktu tersebut, pertimbangan
agronomis tambahan seringkali dilibatkan dalam penjadwalan aplikasi pupuk.
Biasanya pupuk segar dan kompos mempunyai pengaruh paling kuat pada
tanaman pangan atau tanaman penutup tanah jika diaplikasikan hanya dalam fase
lanjutan penanaman. Para petani tanaman pangan biasanya mengaplikasikan pada
kondisi tanah kekurangan N dan pada tanaman respon misalnya jagung.
Keadaan tersebut agak lebih kompleks pada tanaman sayuran. Menurut para
pekebun yang berpengalaman, tanaman seperti labu (squash), jagung, kacang
polong atau buncis, memberikan pengaruh terbaik bila pupuk disebar dan
dibenamkan sebelum tanam. Sedangkan untuk tanaman kubis, tomat, kentang, dan
tanaman akar (wortel, lobak) cenderung memberikan respon lebih baik bila tanah
dipupuk pada tahun sebelumnya. Sehingga rotasi tanaman yang mengutamakan
tanaman yang tidak dipupuk menyertai tanaman yang dipupuk sungguh sangat ideal.
Untuk memaksimumkan penemuan kembali (recovery) hara dalam pupuk
yang disebar, pengomposan, pembajakan atau pembenaman pupuk ke dalam tanah
sesegara mungkin setelah penyebaran merupakan pilihan terbaik. Penelitian
menunjukkan bahwa pupuk segar padat akan kehilangan 21% Nitrogennya ke
atmosfer jika disebar dan dibiarkan selama 4 hari, pembenaman ke dalam tanah yang
cepat mengurangi kehilangan ini hanya 5%.
Namun, karena pengolahan tanah berlebihan menurunkan semangat sistem
pertanian berkelanjutan, pilihan untuk pengomposan mungkin dibatasi pada
beberapa sistem pertanian saja. Pilihan yang terbaik berikutnya muncul untuk
menyebarkan di atas tanaman penutup tanah yang sedang tumbuh. Hal ini
mengurangi kesempatan hilangnya melalui erosi permukaan dan mengurangi
pencucian. Namun, hal ini sedikit mengendalikan kehilangan amoniak ke atmosfer.
Salah satu dari rangkaian penggunaan pupuk yang paling lemah sebagai
pupuk yang muncul menjadi proses nyata dari penyebaran di lapanganan. Menurut
beberapa peneliti, alat penyebar yang berupa kotak konvensional untuk membuang
limbah tidak mampu mengelola sumber hara. Banyak mesin dibuat untuk
pembuangan sampah sebanyak mungkin dalam waktu singkat dan sulit untuk
dikalibrasi jika kamu menginginkan mendistribusikan pupuk secara tepat dan
menyesuaikan dengan kebutuhan tanaman.
BAB VI
TEKNOLOGI PENGOMPOSAN

Proses Dekomposisi dalam Tanah


Residu tanaman merupakan bahan utama yang mengalami dekomposisi di
dalam tanah, dan oleh karena itu ia merupakan sumber utama bahan organik tanah.
Jaringan tanaman hijau mengandung 60 – 90% air. Jika jaringan tanaman
dikeringkan untuk menghilangkan seluruh airnya, bahan kering yang tersisa
mengandung paling sedikit 90 – 85% C, H, dan O. Selama fotosintesis, tanaman
memperoleh unsur-unsur ini dari CO2 dan air. Jika bahan kering tanaman dibakar
(dioksidasi), unsur-unsur ini berubah kembali menjadi CO2 dan air. Selain itu juga
terbentuk abu kurang lebih sebanyak 5 – 10% dari bahan kering. Di dalam abu
dapat ditemukan banyak unsur hara diserap tanaman dari dalam tanah; seperti N, S,
P, K dan unsur mikro.

Senyawa Organik dalam Residu Tanaman


Senyawa organik di dalam jaringan tanaman dapat dikelompokkan secara
kasar dalam beberapa kelas: Selulosa (45%), Lignin (20%), Hemi selulosa (18%),
Protein (8%) dan Lemak dan wax (2%). Senyawa karbohidrat merupakan senyawa
organik yang memiliki kompleksitas dari yang sederhana (gula) dan amilum sampai
selulosa, biasanya merupakan senyawa organik tanaman yang terbanyak.
Lignin, merupakan senyawa kompleks dengan tipe cincin ganda atau struktur
fenol merupakan komponen dinding sel tanaman. Kandungan lignin meningkat
meningkat sebagaimana meningkatnya tingkat kematangan tanaman dan senyawa ini
tinggi kandungannya terutama dalam jaringan kayu. Polifenol yang lain, seperti
tannin, menyusun 6 – 7% dari daun dan kulit kayu tanaman tertentu (sebagai contoh
warna coklat pada daun teh yang direndam disebabkan karena senyawa tannin).
Bagian tanaman tertentu, terutama biji dan selaput daun, mengandung sejumlah
lemak, wax, dan minyak, yang lebih kompleks dari senyawa karbohidrat tetapi masih
dibawah lignin. Protein mengandung 16% N dan unsur hara esensial lainnya dalam
jumlah sedikit, seperti S, Mn, Cu, dan Fe.
Laju Dekomposisi
Senyawa organik dapat diurutkan berdasarkan tingkat kemudahannya
terdekomposisinya sebagai berikut:

1. Gula, Amilum, dan protein sederhana Dekomposisi Cepat


2. Protein Kasar
3. Hemicelulosa
4. Cellulosa
5. Lemak, wax, dan turunannya
6. Lignin, dan senyawa fenol Dekomposisi Sangat lambat

Dekomposisi Senyawa Organik pada Tanah Aerobik


Ketika jaringan organik ditambahkan ke dalam tanah aerobik, 3 reaksi umum
akan terjadi. Senyawa Carbon secara enzimatis akan teroksidasi menghasilkan CO2,
air, energi, dan biomas dekomposer. Unsur hara esensial, seperti N, P, dan S dilepas
dan atau diimobilisasi oleh serangkaian reaksi spesifik yang relatif unik untuk tiap-
tiap unsur. Selama proses ini, senyawa-senyawa yang sangat resisten terhadap
aktivitas mikroba akan terbentuk, baik melalui modifikasi senyawa di dalam jaringan
asalnya atau melalui sintesi mikrobal.

Dekomposisi
Dekomposisi merupakan proses oksidasi. Pada tanah teaerasi baik, seluruh
senyawa organik ditemukan di dalam residu tanaman mengikuti reaksi berikut ini:

Enzimatik
R-(C, 4H) + 2 O2 CO2 + 2 H2O + energi (478 kJ mol -1 C)
Senyawa yang Oksidasi
mengandung C dan H

Kebanyakan tahap intermediat terlibat di dalam seluruh reaksi di atas, dan


hal ini disertai oleh reaksi samping yang melibatkan unsur-unsur lain selain C dan H.
Reaksi di atas merupakan reasi dasar untuk proses dekomposisi bahan organik di
dalam tanah.
Pemecahan Protein
Ketika protein tanaman terurai, akan menghasilkan tidak hanya CO2 dan air,
tetapi asam amino seperti glisin (CH2NH2COOH) dan kistin
(CH2HSCHNH2COOH). Selanjutnya, senyawa N dan S akan pecah, bahkan
+ -
menghasilkan ion anorganik sederhana seperti amonium (NH4 ), nitrat (NO3 ), dan
Sulfat (SO42-) yang tersedia bagi tanaman.

Pemecahan Lignin
Molekul lignin sangat besar dan kompleks, terdiri atas beratus-ratus cincin
fenol yang terikat sebagai sub unit-sub unit. Karena ikatan antara struktur sangat
bervariasi dan kuat, hanya sedikit mikroorganisme yang dapat memecahkan ikatan
senyawa tersebut. Dekomposisi berjalan sangat lambat pada awalnya, dan biasanya
dibantu oleh aktivitas fisik fauna tanah. Pada saat subunit lignin terlepas, banyak
mikroorganisme berpartisipasi dalam proses pemecahan tersebut. Hal ini berarti
bahwa mikroorganisme menggunakan beberapa struktur cincin dari lignin dalam
sintesis bahan organik stabil.

Dekomposisi pada Tanah An-aerobik


Dekomposisi mikrobial berlangsung paling cepat ketika banyak suplai
oksigen, yang bertindak sebagai aseptor elektron selama oksidasi aerobik dari
senyawa organik. Suplai oksigen mungkin menjadi menurun ketika pori-pori tanah
terisi air yang dapat menghambat difusi oksigen (O2) dari atmosfer ke dalam tanah.
Tanpa keberadaan oksigen yang cukup, organisme aerobik tidak dapat berfungsi,
sehingga organisme anaerobik dan fakultatif menjadi dominan. Di bawah kondisi
anaerobik (Kandungan oksigen rendah), dekomposisi terjadi jauh lebih lambat dari
pada ketika oksigen melimpah. Oleh karena itu, tanah anaerobik cenderung
mengakumulasi sejumlah besar bahan organik dalam kondisi terdekomposisi secara
parsial.
Produk dekomposisi anaerob menghasilkan berbagai macam senyawa
organik yang teroksidasi secara parsial, seperti asam-asam organik, alkohol, dan gas
metan. Dekomposisi anaerob melepaskan energi yang relatif kecil bagi organisme
yang terlibat. Dengan demikian, produk akhir masih mengandung banyak energi
(untuk alasan ini, alkohol dan gas metan dapat digunakan sebagai bahan bakar).
Beberapa dari produk dekomposisi anaerobik menimbulkan kekhawatiran karena
senyawa-senyawa tersebut berbau busuk atau menghambat pertumbuhan tanaman.
Gas metan yang dihasilkan tanah-tanah jenuh air oleh bakteri methanogenik
merupakan kontributor utama untuk efek rumah kaca.

Faktor yang Mengendalikan Laju Dekomposisi dan Mineralisasi


Waktu dibutuhkan untuk menyelesaikan proses dekomposisi dan mineralisasi
berkisar mulai harian sampai tahunan, bergantung pada 2 faktor utama yaitu: (1)
kondisi lingkungan di dalam tanah, dan (2) kualitas residu yang ditambahkan sebagai
sumber makanan untuk organisme tanah.
Kondisi lingkungan yang sesuai untuk dekomposisi dan mineralisasi cepat
adalah pH mendekati netral, kelembaban tanah cukup, dan aerasi baik (kira-kira 60%
o
dari ruang pori total tanah terisi oleh air), dan temperatur hangat (25 – 35 C).
Sedangkan faktor fisik yang mempengaruhi kualitas residu adalah lokasi
penempatan residu. Bila residu ditempatkan di atas tanah biasanya lebih lambat
terdekomposisi dan lebih bervariasi daripada yang dibenamkan di daerah perakaran
tanaman, karena adanya pengaruh aktivitas fauna tanah atau pengolahan tanah.
Residu-residu yang ada di permukaan lebih cepat kering akibat adanya temperatur
yang ekstrim. Unsur-unsur hara yang termineralisasi dari residu di eprmukaan lebih
peka terhadap kehilangan akibat aliran permukaan atau oleh proses volatilisasi
daripada yang dibenamkan ke dalam tanah. Secara fisik, residu di permukaan di luar
jangkauan mikroorganisme tanah. Sedangkan residu yang dibenamkan lebih dekat
kontak dengan organisme tanah dan kondisinya lebih lembab, sehingga dapat
terdekomposisi lebih cepat, namun dapat hilang melalui pencucian.
Ukuran partikel juga merupakan faktor fisik pentingyang lain. Semakin kecil
kecil ukuran partikel, semakin cepat laju dekomposisi. Ukuran partikel yang kecil
dapat diperoleh secara alami dari jenis residu yang ada, atau dapat dihaluskan
dengan grinder atau juga telah dihancurkan oleh fauna tanah. Pengurangan ukuran
residu secara fisik mengekspos lebih luas permukaan untuk dekompoisisi, dan juga
dapat memecahkan dinding sel yang mengandung lignin dan lapisan luar yang
mengandung wax, sehingga mengekspos lebih siap sel-sel dan jaringan yang
terdekomposisi.
Rasio C/N bahan organik (residu) mempengaruhi laju dekomposisi dan
mineralisasi. Mikroba tanah, sepertihalnya organisme lainnya, memerlukan
keseimbangan hara dimana mereka perlukan untuk membangun sel-sel mereka dan
mengekstrak energi. Organisme tanah membutuhkan C untuk membentuk senyawa
organik esensial dan untuk memperoleh energi untuk proses kehidupannya.
Organisme harus juga memperoleh N yang cukup untuk mensintesa komponen
celuler yang mengandung N, seperti asam amino, enzim, dan DNA. Rata-rata
mikroba tanah harus memasukkan 8 bagian C ke dalam sel-selnya untuk setiap satu
bagian N (Rasio C/N 8: 1). Karena hanya kira-kira 1/3 C yang dimetabolisme oleh
mikroba dimasukkan ke dalam sel-sel (sisanya direspirasi dan hilang sebagai CO2),
mikroba membutuhkan kira-kira 1 g N untuk setiap 24 g C dalam makanannya.
Keperluan ini menghasilkan 2 konsekuensi paraktikal yang sangat penting.
Pertama, jika rasio C:N bahan organik ditambahkan ke dalam tanah melebihi 25: 1,
mikroba tanah harus mencari sesuatu dalam larutan tanah untuk memperoleh cukup
N, proses ini dikenal dengan imobilisasi N. Dengan demikian, pembenaman residu
dengan rasio C/N tinggi akan mengurangi suplai N larut dalam tanah, yang
menyebabkan tanaman mengalami defisiensi N. Kedua, penguraian bahan organik
dapat tertunda jika N yang cukup untuk mendukung pertumbuhan mikroba, tersedia
baik di dalam bahan yang mengalami dekomposisi maupun di dalam larutan tanah.
Pengaruh ekologi tanah terhadap proses mineralisasi N melibatkan seluruh
jejaring makanan dalam tanah, tidak hanya bakteri dan fungi saprofit. Sebagai
contoh, ektika residu organik ditambahkan ke dalam tanah, bakteri dan fungi tumbuh
secara cepat di atas sumber makanan tersebut, menghasilkan biomas sel bakteri dan
fungi dalam jumlah besar yang mengandung banyak N yang berasal dari residu.
Hingga biomas mikroba mulai mati, N diimobilisasi dan tidak tersedia bagi tanaman.
Namun, ekosistem tanah yang sehat akan mengandung nematoda, protozoa, dan
cacing tanah yang memberi makan bakteri dan fungi. Oleh karena rasio C/N
binatang tidak terlalu berbeda dari makanan mikroba tersebut, dan sebagian besar C
dikonversi menjadi CO2 oleh proses respirasi, maka binatang tersebut segera
mencernak lebih banyak N dari pada yang mereka konsumsi. Kemudian mereka
+
mengeksresi kelebihan N, terutama dalam bentuk NH4 , masuk ke dalam larutan
tanah, memberikan N mineral yang tersedia bagi tanaman. Aktivitas makan
memakan hewan-hewan tanah secara mikrobal dapat meningkatkan laju mineralisasi
N hingga 100%. Pengelolaan tanah yang menyesuaikan jejaring makanan kompleks
dengan berbagai level trofik dapat diharapkan meningkatkan siklus dan efisiensi
penggunaan hara.
Kandungan lignin dan polifenol dari bahan organik mempengaruhi laju
dekomposisi dan mineralisasi. Kandungan lignin seresah tanaman berkisar antara
<20 - >50 %. Bahan dengan kandungan lignin tinggi akan terdekomposisi sangat
lambat. Senyawa polifenol yang ditemukan dalam seresah tanaman dapat juga
menghambat dekomposisi. Senyawa fenolik larut dalam air dan mungkin berada
dalam konsentrasi tinggi kira-kira 5 – 10 % dari bahan kering. Dengan membentuk
senyawa kompleks yang sangat resisten dengan protein selama dekomposisi residu,
senyawa fenolik ini secara nyata memperlambat laju mineralisasi N dan oksidasi C.
Residu yang mengandung lignin dan/atau fenol yang tinggi dianggap sebagai
bahan organik kualitas jelek bagi organisme tanah yang mendaur ulang karbon dan
hara. Karena mereka kurang mendukung aktivitas mikroba dan biomas. Produksi
residu dengan laju dekomposisi lambat pada tanaman hutan dapat membantu
menjelaskan akumulasi C dan N yang terhumifikasi dalam jumlah sangat besar
dalam tanah hutan.
Kandungan lignin dan polifenol juga mempengaruhi dekomposisi dan
pelepasan N residu tanaman yang berfungsi sebagai pupuk hijau, yang digunakan
untuk memperkaya tanah-tanah pertanian. Sebagai contoh bila residu tanaman
pohonan legum, mempunyai rasio C/N sangat sempit, tetapi kandungan fenolik
sangat tinggi. Ketika residu tersebut ditambahkan ke dalam tanah dalam suatu
sistem agroforestri, N dilepaskan secara lambat, bahkan sering sangat lambat untuk
memenuhi kebutuhan tanaman. Sama halnya, residu dengan kandungan lignin tinggi
lebih dari 20 – 25 % akan terdekomposisi sangat lambat dan akan efektif sebagai
pupuk hijau untuk tanaman setahun dengan pertumbuhan cepat. Namun, untuk
tanaman tahunan atau hutan, pelepasan N yang lambat dari residu dapat
menguntungkan untuk jangka waktu lama, karena N sedikit hilang. Lagi pula,
dekomposisi lambat dari bahan yang kaya fenol dan lignin berarti sama bahwa jika
rasio C/N sangat tinggi, depresi nitrat tidak akan terjadi.
Sebelum Pengomposan
Menentukan Rasio C/N:
Selama pengomposan hampir seluruh hara di dalam bahan organik dapat
digunakan oleh mikroba. Namun, keseimbangan hara yang terpenting adalah rasio
Carbon: Nitrogen (C:N). Terlalu tinggi Carbon dibandingkan dengan N (C:N tinggi)
akan melambatkan proses pengomposan. Terlalu banyak N dibandingkan C (C:N
rasio rendah) akan menimbulkan emisi gas amoniak yang tinggi dan menimbulkan
masalah bau yang tidak enak. Suatu proses pengomposan yang efisien harus
mengandung bahan-bahan dengan C:N rasio yang tepat. Rasio optimum merupakan
fungsi sifat bahan kompos, seperti ketersediaan hara, terutama senyawa Carbon.
Suatu nilai C:N rasio sebesar 25 sampai 30:1 (25 – 30 bagian Carbon dibanding
dengan 1 bagian Nitrogen) merupakan nilai yang optimum untuk kebanyakan jenis
limbah/ Jika bahan berkayu digunakan untuk kompos, maka C:N rasio sebesar 35 –
40:1 bisa digunakan untuk menunjukkan ketersediaan Carbon yang rendah.

Seleksi Bahan Pelapisan:


Bahan yang digunakan memegang 2 peranan penting dalam pengomposan:
1. Mereka memberikan sumber carbon ekstra untuk meningkatkan rasio C:N, dan
2. Mereka meningkatkan porositas bahan kompos yang memperaiki pergerakan
udara.
Ketika menyeleksi bahan kita perlu mempertimbangkan berikut ini:
1. Ekonomi: Harga bahan seharusnya dinilai, termasuk pengiriman dan prosessing
(pemrosesan) (penyortiran, pemilahan, dan penggilingan)
2. Ukuran partikel: partikel seharusnya berukuran 2 – 10 mm panjangnya dan cukup
seragam
3. Ketersediaan Carbon: Jika suatu bahan akan digunakan harus dipertimbangkan
besarnya C:N rasio, ketersediaan Carbon dalam bahan juga harus
dipertimbangkan. Tidak seluruh Carbon aka segera tersedia untuk dikonsumsi
mikroba. Beberapa bahan berkayu, seperti potongan-potongan kayu, sulit
dihancurkan, dan lebih banyak bahan lain yang diperlukan untuk menggantinya.
4. Lingkungan:beberapa bahan yang digunakan seringkali mengandung zat toksik.
Sebagai contoh serbuk gergaji yang berasal dari kayu yang telah diperlakukan
dapat mengandung berbagai pollutan. Bahan ini seharusnya tidak digunakan
sebagai bahan kompos.
5. Perijinan: Limbah non pertanian yang digunakan sebagai bahan mungkin
memerlukan ijin pengelolaan limbah dari Dinas Lingkungan, sebelum digunakan
untuk pertanian. Bahanbahan tersebut misalnya: serbuk gergaji, potongan kayu,
jerami, potongan kertas. Bahan-bahan tersebut dapat digunakan setelah melalui
proses screening.

Penggilingan
Jika bahan kompos mengandung partikel lebih besar dari 10 mm
panjangnya, dan menyusun porsi yang besar dalam total volume, maka penggilingan
akan diperlukan untuk mengurangi ukurannya menjadi 2 – 10 mm agar supaya
efisiensi pengomposan meningkat.

Penimbangan dan Pencampuran


Setelah semua bahan kompos telah siap, maka perlu ditimbang masing-
masing bahan kompos yang berbeda, kemudian dicampur dengan menggunakan alat
pencampur (mixer). Suatu mesin penyortir, seperti penyaring yang berputar dapat
digunakan untuk memisahkan bahan logam berat dai bahan yang dapat didegradasi
(biodegradable). Bila menggunakan limbah pertanian, mesin ini tidak perlu
digunakan. Alat tersebut dibutuhkan, jika bahan yang ditambahkan mengandung
logam berat atau logam mulia. Alat penyortiran dan penggilingan dapat dibeli di
banyak tempat.

Pengontrolan Proses Pengomposan


Ukuran Pelapisan Kompos
Ukuran pelapisan kompos bergantung pada pemilihan metode pencampuran
bahan. Tumpukan yang kecil biasanya 3 – 3.6 m lebar di bagian dasar dengan
tinggi hingga 1.5 m. Tumpukan yang besar biasanya 5.4 – 6.6 m lebarnya di bagian
dasar dengan tinggi 2.1 m hingga lebih dari 2.1 m lebarnya di bagian atas.
Pengontrolan Kelembaban Dan Aerasi
Kandungan air dan aerasi merupakan 2 faktor penting yang saling
berhubungan di dalam pengomposan. Batas yang lebih rendah dari kandungan air di
dalam pengomposan sebesar 45 – 50%. Jika bahan kompos sangat kering, aktivitas
biologi menjadi lambat. Batas atas kandungan air berhubungan dengan sifat bahan
kompos. Jika bahan kompos bersifat porus seperti serbuk gergaji, batas atas
kandungan air dapat setinggi 70%, jika kompos tidak dapat mempertahankan pori-
pori yang baik di dalam massanya, batas atas kandungan air tidak lebih dari 60%.
Jika bahan tersebut sangat basah, kondisi anaerob akan mendominasi proses
pengomposan, dekomposisi menjadi lambat dan menghasilkan bau busuk.
Penentuan kandungan air dapat dihitung dengan mudah melalui tahapan sebagai
berikut:
1. Timbang tempat kosong (kaleng oven) yang digunakan untuk mengukur kadar air
bahan.
2. Timbang tempat tersebut dengan sampel kompos di dalamnya.
o
3. Keringkan sampel dengan menggunakan oven pada suhu 105 C selama 6 – 8 jam.
4. Timbang kaleng dengan kompos yang telah dikeringkan.
5. Berat basah sampel kompos diperoleh dengan mengurangi berat kaleng dan
sampel kompos sebelum dioven (2) dengan berat kaleng kosong (1).
6. Berat kering sampel kompos diperoleh dengan mengurangi berat kaleng dan
sampel kompos setelah dioven (3) dengan berat kaleng kosong (1).
7. Gunakan persamaan berikut ini untuk menetukan kadar air kompos:

Kadar air kompos: berat basah kompos – berat kering kompos x 100%
Berat basah kompos

Di lapanganan untuk menguji kadar air kompos dapat dilakukan dengan Uji
Squeeze (Uji kepalan, tekanan menggunakan tangan. Bila kadar air sebesar 60%,
bahan terasa lembab ketika dipegang, dan bila diperas ada satu atau 2 tetes cairan
yang keluar. Bila kompos terlalu basah (di atas batas atas), tumpukan atau pelapisan
kompos seharusnya dibalik-aduk, untuk menghilangkan airnya atau ditambahkan
bahan kompos yang kering untuk menyerap kelebihan air. Jika bahan kompos
terlalu kering (< 45%), perlu ditambahkan air dan dibalik-aduk hingga kandar air
yang sesuai dapat dicapai. Kelebihan air seharunya dihindari. Kebutuhan udara
ditentukan oleh sifat bahan kompos dan tahap proses pengomposan. Aerasi juga
memberikan suatu control untuk mendinginkan bahan kompos ketika terlalu panas.
Kebutuhan udara dapat diduga dengan mengamati warna dan bau kompos. Di
bawah kondisi berikut ini lebih banyak udara dibutuhkan:
1. Terdapat bau busuk pada tumpukan kompos.
2. Warna lebih terang di bagian dalam tumpukan.
3. Bahan yang dikomposkan terlalu basah.
Selama 2 minggu pertama pengomposan, seharusnya dibalik setiap 2 hari sekali, jika
o
temperatur dipertahankan antara 35 – 60 C. Untuk 2 minggu berikutnya (minggu ke
3 – 4), pembalikan dilakukan 2 kali seminggu. Untuk 2 minggu ketiga (minggu ke 5
dan 6), pembalikan dapat dilakukan seminggu sekali. Setelah 6 minggu hingga
proses kompos selesai, bahan kompos dapat dibalik sebulan sekali. Kompos yang
matang dapat dicapai minimum 3 bulan.

Temperatur
Temperatur perlu dimonitor secara terus menerus selama pengomposan.
o
Kisaran Temperatur ideal untuk pertumbuhan mikroba adalah antara 35 dan 55 C.
o
Temperatur melebihi 60 C akan menurunkan aktivitas mikroba dan proses
pengomposan. Namun, untuk pengurangan gulma dan patogen, temperatur perlu
o o
dipertahankan diatas 55 C dselama paling sedikit 3 hari. Temperatur melebihi 70 C
seharusnya dihindari dengan memberikan aerasi dan pembalikan yang cukup.
o
Temperatur melebihi 55 C biasanya akan dicapai setelah 2 – 5 hari pengomposan.
Pengukuran temperatur harian seharusnya dilakukan pada 4 minggu pertama, jika
o
temperatur sudah mulai mencapai 60 C, pengukuran harus lebih sering dilakukan
agar tidak terjali kebihan pans. Setelah pengomposan selama 4 – 6 minggu,
pengamatan temperatur dapat dilakukan 1-2 kali seminggu.

Bau Tidak Sedap


Menghilangkan bau tidak sedap selama pengomposan secara menyeluruh
adalah tidak mungkin. Namun, bau tidak sedap dapat diminimalisasi dengan
mengikuti prosedur dasar. Setelah 5 – 6 hari pengamposan di bawah kondisi yang
sesuai, bahan kompos mulai berbau tanah. Ini menunjukkan suatu proses
pengomposan yang sehat. Namun bau yang tidak mnyenangkan dapat muncul karena
beberapa kondisi berikut ini:
1. Kondisi aerasi yang kurang memadai, memungkingkan terjadinya proses
penguraian secara anaerobik. Bila hal ini terjadi dapat diatasi dengan
memberikan aerasi yang lebih sering pada proses pengomposan.
2. Bahan kompos yang memiliki rasio C:N rendah. Hal ini dapat diatasi dengan
menambahkan bahan yang mengandung senyawa karbon yang lebih banyak.
3. Bahan kompos terlalu basah. Hal ini dapat diatasi dengan mengaerasi atau
menambahkan bahan kering untuk menyerap kelebihan air.

Kemasakan dan Kontrol Kualitas


Meskipun tidak ada standar kualitas dan tingkat kematangan kompos yang
ditetapkan, namun terdapat beberapa parameter yang dapat dijadikan acuan untuk
menilai kualitas kompos seperti kadar hara (misalnya Nitrogen, Fosfor, dan Kalium),
Kapasitas Tukar Kation (KTK), pH, garam larut, dan ukuran partikel. Didalam
praktek, metode berikut ini dapat diterapkan untuk menilai kematangan kompos.
3
Setelah 3 bulan pengomposan, kumpulkan 1 sampai 3 m kompos dari lokasi
pengomposan windrow yang berbeda (dekatkan ke permukan dan bagian bawah),
campur secara keseluruhan kompos dan atur kelembaban kira-kira 50%, dan
menimbun kompos ke atas untuk mendapat udara. Jika tidak ada kenaikan atau
o
penurunan suhu yang tidak lebih dari 5 C, berarti kompos telah matang. Jika masih
o
terjadi kenaikan suhu lebih dari 5 C, maka waktu pengomposan perlu diperpanjang.
Bahan yang telah dikomposkan seharusnya memiliki kualitas akhir secara fisik
adalah: bahan organik asal sudah tidak bisa dikenal lagi, warna coklat gelap sampai
hitam, bahan asing kurang dari 1%, relatif porus, tidak padat dan keras, dan tidak ada
bau yang tidak sedap, kompos berbau tanah.

Fase Akhir Kompos


Pada fase ini, kompos telah stabil secara sempurna dan dicirikan dengan
kualitas yang telah dijelaskan di atas. Kompos seperti ini sudah siap dipasarkan atau
digunakan ke lahan pertanian
Proses Screening
Jika proses penyaringan dan penggilingan tidak dilakukan secara sempurna
sebelum pengomposan, maka produk akhir akan mengandung bahan-bahan yang
tidak dapat didekomposisi seperti plastic, kaca,logam, kerikil, dll. Hal ini
seharusnya discreening terlebih dahulu sebelum dipasarkan.

Pengeringan atau Pembasahan


Kandungan air kompos pada fase akhir seharusnya diatur kira-kira 50%. Bila
melebihi maka perlu pengeringan, atau sebaliknya bila terlalu kering perlu dibasahi.
Air di dalam produk akhir perlu didistribusikan secara merata dengan pencampuran
yang sempurna. Menurut Standar CAN/BNQ 0413 – 200 karaketristik kompos
adalah sebagai berikut:

Tabel 12. Standarisasi Karakteristik Kompos

Karakteristik Standar
Kandungan Air ≤ 60%
Kandungan bahan Organik ≥ 40% (dari bahan kering oven)
total
Kandungan Benda asing ≤ 0,5% dengan diameter 12.5 mm
Kematangan Didasarkan pada parameter Rasio C/N ≤ 25, atau
serapan Oksigen ≤ 150 kg O2 per kg bahan volatile per
jam, atau laju perkecambahan biji di dalam kompos
paling sedikit 90% dibandingkan laju perkecambahan
control, dan pertumbuhan tanaman dalam campuran
kompos dan tanah tidak berbeda lebih dari 50%
dibandingkan dengan tanaman control

Sifat yang lain yaitu kandungan unsur mikro disajikan pada Tabel 12.

Tabel 13. Kandungan unsur mikro dalam kompos

Unsur mikro Konsentrasi Maksimum (mg/kg)bahan kering udara


As 13
Cd 3
Co 34
Cr 210
Cu 100
Hg 0.8
Mo 5
Ni 62
Pb 150
Se 2
Zn 500
Tidak mengandung mikroba patogen seperti salmonella
Metode Pengomposan

Ada beberapa metode pengomposan yang telah dikembangkan, yaitu:


1. Metode kotak (bak) (bin composting).
2. Metode bedengan terbuka (passive windrow).
3. Metode bedengan terbuka dibalik (turned windrow).
4. Metode pelapisan terbuka (aerated static piles).
5. Metode pipa saluran (in-vessel channels).
Pemilihan metode yang tepat disesuaikan dengan waktu untuk menyelesaikan
pengomposan, bahan dan volume yang dikomposkan, ruang yang tersedia,
ketersediaan suberdaya (tenaga, dana dll) dan kualitas produk akhir yang diinginkan.

Metode Kotak/Bak (Bin Composting)


Pengomposan dengan metode ini dilakukan dalam bak (kotak), Kompos
dihasilkan oleh proses aerasi alami dan melalui pembalikan. Campuran kompos
dibalik menggunakan traktor yang dilengkapi dengan alat bongkar di depan dan di
belakang. Metode kotak (bak) merupakan metode dengan teknologi rendah, tenaga
yang dibutuhkan sedang dan menghasilkan kompos dengan kualitas sedang. Metode
ini terutama dipakai untuk pengomposan residu.
Metode pengomposan Kotak (Bak) biasanya digunakan untuk sampah di
pekarangan rumah, jumlahnya sedikit, dan untuk peternakan unggas. Pembalikan
kompos akan mengurangi waktu pengomposan hingga kurang dari 2 bulan.
Sampah-sampah dalam kotakharus dicampur secara merata. Pembalikan yang sering
mempercepat proses pengomposan dengan memberikan bakteri aerobik yang
mebutuhkan oksigen untuk menghancurkan bahan-bahan tersebut. Dalam
prakteknya metode ini seringkali menggunakan kotak kayu yang bersekat-sekat
seperti pada Gambar 21. Pelapisan kompos dalam kotak perlu dibalik 5 – 10 hari
o
sekali untuk mendapatkan suhu pengomposan yang tinggi antara 32 – 60 C.
Tindakan ini diperlukan untuk membunuh mikroorganisme yang menyebabkan
penyakit, larva, biji-biji gulma dan memberikan lingkungan yang diperlukan untuk
mikroorganise dekomposer, sehingga proses pengomposan lebih efisien.
Gambar 21. Metode Pengomposan dalam Kotak Kayu Bersekat

Metode Bedengan Terbuka (Passive Windrow Composting)


Pengomposan dengan metode ini dilakukan dengan pelapisan pada bedengan
terbuka. Kompos dihasilkan dengan aerasi alai, dala periode yang sangat lama.
Metode pengomposan passive windrow merupakan metode pengomposan teknologi
rendah dan tenaga yang dibutuhkan relatif sedikit. Perhatian rinci seperti porositas
campuran awal, keseragaan pencampuran produk, dan ukuran partikel sangat
membantu kecepatan proses pengomposan dan dapat meningkatkan kualitas produk.
Pengomposan passive windrow merupakan pendekatan teknologi
pengomposan dengan biaya sangat rendah dan memerlukan lahan lebih luas, tetapi
tenaga dan modal relatif sedikit dibandingkan dengan metode lainnya. Biasanya,
bahan yang dikomposkan dikumpulkan dan dilapiskan dalam bentuk bedengan.
Bahan-bahan tersebut dibasahi, sebelum dilapiskan, tetapi ini tidak terlalu penting.
Gambar 22 menunjukkan bentuk dan ukuran pelapisan, dengan lebar 3 meter dan
tinggi 1.5 m. Panjangnya bervariasi bergantung pada jumlah bahan. Aerasi terjadi
secara alami. Bila udara panas, perlu dialirkan udara segar ke dalam lapisan. Bahan-
bahan baru dapat selalu ditambahkan di atas lapisan hingga jumlah yang cukup
dapat membuat suatu ukuran pelapisan yang bagus.
Pada umumnya dalam prakteknya digunakan 2 pelapisan (bedengan).
Pelapisan yang pertama cukup besar yang memungkinkan untuk mendekomposisi
dalam jumlah besar. Limbah tambahan dapat ditambahkan pada windrow yang
kedua. Penutupan bedengan dengan suatu lapisan kompos yang matang akan
membantu mencegah kehilangan air, mengurangi masalah bau yang tidak sedap, dan
menghasilkan kompos yang lebih seragam. Pengomposan dengan metode ini dapat
digunakan dari 6 bulan sampai 2 tahun. Pada pelapisan dengan ukuran yang terlalu
tebal akan mengakibatkan cepat terjadi kondisi anaerobik di bagian tengah lapisan.
Hal ini dapat diatasi dengan cara pembalikan untuk mendapatkan suplai oksigen
baru. Bau yang tidak enak akan muncul dari bahan kompos pada bagian anaerob.
Untuk mengatasi hal ini metode ini perlu diterapkan pada lahan yang luas untuk
menyangga bau yang tidak sedap mengalir ke pemukiman. Pada metode ini proses
pengomposan dapat dipercepat bila tersedia cukup oksigen. Secara normal
pengomposan membutuhkan waktu 3 tahun untuk stabilisasi. Pada metode ini tidak
ada pengontrolan secara teratur, sehingga produk kompos yang dihasilkan memiliki
kualitas sedang.

Gambar 22. Metode Pengomposan Dengan Bedengan Terbuka (open windrow)


dengan Pelapisan Berbentuk Segitiga
Metode Bedengan Terbuka Dibalik (Turned Windrow Composting)
Pada metode ini menggunakan aerasi mekanik. Campuran kompos diaerasi
dengan suatu pembalik berangin, yang dinyalakan dengan traktor atau tenaga sendiri.
Metode ini juga merupakan metode pengomposan teknologi rendah dan
membutuhkan tenaga sedang serta menghasilkan kompos yang seragam.
Aerasi pada metode windrow dapat diperoleh melalui pembalikan secara
mekanik. Pembalikan dapat juga dilakukan secara manual, tetapi dipertimbangkan
3
kurang praktis dengan volume yang lebih besar dari 1 atau 2 m . Dekomposisi yang
seragam dan penghancuran organisme patogen, dapat dicapai paling baik dengan
pembalikan pelapisan dari bagian luar sampai ke bagian tengah pelapisan. Namun,
jika ini tidak dapat dicapai, maka frekuensi pembalikan perlu ditingkatkan.
Pembalikan seharusnya juga lebih sering dari jadwal yang telah ditentukan bila
kandungan air pelapisan sangat tinggi untuk meminimalkan kondisi anaerobik. Di
daerah dengan curah hujan tinggi, perlu dikakukan penutupan lapisan agar tidak
terlalu basah, namun biaya untuk kegiatan ini menjadi penghambat tindakan
operasional tertentu.
Cara yang lain adalah dengan mempertahankan bentuk kubah atau segitiga
dari lapisan cukup efektif untuk menumpahkan kelebihan air hujan. Pada metode
pengomposan windrow, bahan mentah dicampur dan ditempatkan dalam suatu
barisan, baik secara langsung di atas tanah atau di atas permukaan yang dipaving
atau beton. Selama periode kompos aktif, ukuran lapisan akan menurun. Setelah
periode aktif, lapisan pada level yang sama kematangannya dapat digabung ke dalam
barisan yang lebih besar, yang membuat ruang tambahan untuk bahan baku yang
lebih banyak atau kompos.
Peralatan yang digunakan utuk pembalikan lapisan bervariasi dari
pembongkar awal dan akhir atau buldozer terutama yang dirancang mesin
pencampur. Meskipun alat pembongkar tidak mahal dibandingkan pembalik, tetapi
mempunyai kecenderungan memadatkan bahan kompos sehingga kurang efisien
karena dapat menghasilkan proses pengomposan yang lebih lama dan kualitas
kurang konsisten. Gambar 23 menunjukkan jenis tarikan traktor yang dapat
digunakan untuk membalik kompos (compost turner) Ada dua tipe dasar membalik
lapisan. Paling umum digunakan adalah yang mempunyai seperangkat gigi (garpu)
berat yang ditempatkan di sepanjang drum berputar secara horizontal yang berfungsi
mengaduk, mencampur, mengaerasi dan membentuk kembali lapisan.
Tipe yang kedua menggunakan suatu penggerak, berupa rantai meja
elevator dilengkapi gigi tajam. Pembalik lapisan ini dapat berupa alat dengan kali
yang dapat dibuka sepanjang baris atau ditarik dengan traktor yang dapat dinyalakan
dan dimatikan. Lapisan seharusnya dibalik sesering mungkin pada awalnya dan
kemudian pada akhir bulan pertama intervalnya dapat diperpanjang. Frekuensi
pembalikan yang direkomendasikan adalah 3 kali pada 1 minggu pertama, 2 – 3 kali
pada minggu kedua, 2 kali pada minggu ketiga, dan 1 kali pada minggu ke 4 dan 5
dan minggu keenam lebih dari 1 pembalikan setiap 2 minggu jika panas masih
terjadi. Pengukuran temperatur dalam lapisan seharusnya digunakan patokan untuk
kebutuhan pembalikan yang merangsang atau mengendalikan panas yang dihasilkan.
Dengan pembalikan yang efisien menggunakan windrow turner (pembalik windrow),
waktu pengomposan minimum selama 1 bulan, diikuti oleh paling sedikit 2 bulan
dalam suatu lapisan pemulihan. Kompos tersebut dapat siap diaplikasikan ke lahan
atau dipasarkan. Limbah-limbah seperti kotoran padat ternak, kotoran ikan dan
unggas yang mati dapat dikomposkan dengan bahan pengomposan lain seperti
jerami dan serbuk gergaji dan produk kertas yang dapat didaur ulang. Efisiensi
pengomposan lapisan dan kualitas produk sangat bergantung pada dua faktor utama
yaitu: campuran kompos awal dan praktek pengelolaan.

Gambar 23. Mesin Traktor Pencampur Bahan Kompos


Metode Pelapisan Terbuka (Aerated State Pile Composting)
Pengomposan dengan metode ini dilakukan dengan menimbun bahan
kompos dan berangin dengan menggunakan aerasi mekanik. Lapisan ini diletakkan
di atas saluran atau pipa udara, dan aerasi diperoleh dengan meniupkan udara
melalui bahan kompos. Sistem aerasi pada metode ini dapat dilakukan dengan
perangkat sederhana, menggunakan motor listrik, kipas angin dan pipa udara,
maupun dengan perangkat yang lebih canggih dilengkapi dengan sensor dan alarm.
Metode ini merupakan pengomposan dengan teknologi sedang dan tenaga rendah,
kadang-kadang menghasilkan produk yang tidak seragam. Dalam beberapa sistem,
aerasi mekanik dapat diberikan mendekati akhir periode kompos aktif.
Metode pengomposan lapisan statis yang teraerasi dikembangkan oleh
USDA merupakan suatu sistem yang sangat efisien. Selama beberapa tahun terakhir,
metode ini telah menjadi popular pada pengomposan sampah perkotaan, tetapi belum
popular di lahan pertanian. Metode pelapisan statis yang teraerasi tidak mengaduk
kompos secara mekanik untuk mencapai tingkat aerasi yang diinginkan. Lapisan ini
dibangun di atas suatu sumber udara seperti pipa plastik yang berlubang, alat
berbentuk kerucut aerasi atau lantai yang berlubang, dan aerasi dapat dipenuhi
dengan mengalirkan udara melalui lapisan kompos. Sistem aerasi ini memerlukan
sumber listrik pada tempat tersebut dan menyediakan kipas untuk ventilasi, saluran-
saluran dan memonitor peralatan. Peralatan monitoring menentukan waktu, lama
dan arah aliran udara. Lapisan seharusnya ditempatkan pada setelah lantai tertutup
dengan lapisan bahan penimbun lapisan seperti serbuk kayu atau kompos yang sudah
matang.
Bahan yang dikomposkan kemudian ditambahkan, dan lapisan penutup yang
berupa kompos matang ditaburkan di atas untuk memberikan penyekatan (isolasi).
Ukuran lapisan yang optimum berhubungan dengan bahan yang dikomposkan,
kemampuan aliran udara dan tipe peralatan penanganannya. Dalam beberapa
kondisi tertentu, campuran awal ditimbun di antara pagar sementara atau penyekat
jalan raya yang dapat bergerak. Ini memungkinkan fleksibilitas dengan
mempertimbangkan ukuran dan lokasi lapisan di dalam wilayah kerja atau bangunan.
Pengoperasian pelapisan statis yang teraerasi, waktu, lama dan pergerakan yang
seragam dari udara merupakan suatu hal yang penting. Perubahan kebutuhan aliran
udara bergantung pada bahan yang dikomposkan, ukuran lapisan dan umur kompos.
Kesulitan utama dengan sistem pelapisan statis adalah difusi udara yang efisien
yang masuk ke seluruh lapisan, terutama dengan limbah-limbah yang dicirikan oleh
distribusi ukuran partikel yang besar, kandungan air yang tinggi atau kecenderungan
untuk menggumpal. Masalah lain dalam metode ini adalah pembentukan saluran di
dalam lapisan yang memungkinkan udara masuk ke dalam rangkaian. Hal ini akan
menyebabkan pengeringan yang berlebihan yang disebabkan oleh evaporasi air di
dekat saluran. Kondisi seperti ini akan memerlukan pembalikan yang lebih sering.
Pelapisan statis yang teraerasi dapat menghasilkan kompos yang bagus, jika 2
kondisi operasional dasar dipenuhi yaitu:
1. Bahan awal mempunyai porositas yang memadai.
2. Sistem aliran udara bekerja dengan baik dan memberikan aliran udara yang
seragam selama periode kompos aktif di seluruh lapisan. Bila dibandingkan
dengan pengomposan windrow, metode ini memerlukan tingkat manajemen
dan monitoring yang berbeda. Pengomposan dengan metode windrow sering
dianggap sebagai pengembangan sistem penanganan pupuk alam, ketika
beberapa atau seluruh mesing-mesin pertanian dapat digunakan untuk
pengomposan windrow. Metode ini memerlukan peralatan tambahan dan
penyediaan infrastruktur dan aset ini digunakan untuk operasional
pengomposan. Selain itu, pencampuran produk kompos awal merupakan
tahapan yang penting dalam sistem pelapisan statis teraerasi ini. Sebaliknya,
pencampuran dan penghalusan dikerjakan seluruhnya pada tahap
pengomposan aktif dalam metode pengomposan windrow. Bau yang tidak
sedap sering menjadi masalah operasional yang dapat mempengaruhi tipe
sistem kompos, namun masalah ini sering muncul dengan sendirinya dalam
sistem windrow. Sebaliknya,bila masalah bau ini muncul pada sistem ini,
dapat dengan mudah diidentikasi dan diperbaiki seluruh perangkat sistem,
seperti mengubah aliran udara, memperbaiki kapasitas aliran udaa, dispersi
dan filter, dan menambah lapisan penutup. Dengan adanya tekanan udara
negatif, udata dialirkan melalui lapisan dapat dibersihkan menggunakan
biofilter sebelum dilepaskan ke atmosfer. Dengan tekanan udara positif,
udara didorong melalui lapisan dan penutup bagian luar dari kompos matang
membersihkan uda yang dihembuskan.
Gambar 24 menunjukkan rangkaian metode pelapisan statis teraerasi dengan
menggunakan biofilter.

Gambar 24. Metode Tumpukan Diberi Aerasi/Blower Terkontrol

Metode Pipa Saluran (in-vessel channels)


Metode ini merupakan produksi kompos dalam drum, gudang tertutup
ataupun channel-channel (saluran) menggunakan sistem aerasi terkontrol dengan
kecepatan tinggi yang dirancang untuk memberikan kondisi optimal. Aerasi bahan
tersebut dikerjakan dengan peredaran udara secara kontinue menggunakan mesin
aerasi yang dioperasikan dala teluk baja atau menggunakan kipas angin yang
memberikan aliran udara dari saluran yang dibangun di dalam dasar beton. Metode
ini merupakan pengomposan teknologi tinggi dan embutuhkan tenaga rendah, dan
menghasilkan kompos yang seragam.
Sistem pengomposan dalam saluran ini memiliki sistem kontrol aerasi
dengan kecepatan tinggi yang dirancang untuk memberikan kondisi pengomposan
yang optimak dengan melibatkan pencampuran mekanik kompos dibawah kondisi
lingkungan yang terkontrol. Meskipun berbagai variasi tersedia, sistem yang
berbeda tersebut dapat sama dalam hal modal dan intensitas pengelolaannya. Dalam
suatu sistem saluran tertutup terdiri dari 3 kategori utama:
1. Drum pemutar.
2. Tempat penyimpanan yang berbentuk persegi atau silinder.
3. Pipa Saluran.
Keuntungan utama dari sistem saluran dibandingkan dengan metode lainnya
adalah memperpendek tahap mesofilik dan termofilik, efisiensi proses lebih tinggi,
dan jumlah patogen menurun, menghasilkan produk akhir lebih berkualitas dan lebih
aman. Selain itu memerlukan ruang yang lebih sedikit daripada metode lainnya.
Namun, hal ini penting untuk dicatat bahwa seluruh sistem memerlukan stabilisasi
akhir dari kompos. Kerugian dari metode saluran tertutup adalah tingginya biaya
pengadaan alat dan biaya operasional yang disebabkan oleh penggunaan alat
komputerisasi dan tenaga terlatih. Di dalam saluran, komposter biasanya lebih
otomatis daripada sistem windrow atau pelapisan statis, dan dapat menghasilkan
produk kualitas tinggi. Beberapa alasan mengapa memilih metode pengomposan
dalam saluran dibandingkan dengan metode yang lain, adalah:
- Pengontrolan bau cukup efektif.
- Ruang yang dibutuhkan terbatas.
- Terdapat pengontrolan proses dan penanganan bahan.
- Dapat diterima dengan baik oleh masyarakat karena menciptakan lingkungan
yang lebih indah.
- Memerlukan tenaga lebih sedikit.
- Kualitas produk lebih konsisten.
Gambar 25 menunjukkan contoh pemasangan sistem pengomposan dalam
saluran, yang terdiri dari 4 saluran, dengan bagian dasar teraerasi. Waktu retensi
diperkirakan 3 minggu sebelum bahan kompos diperlakukan. Kapasitas operasi
mulai dari beberapa ton sampai ratusan ton per hari.

Gambar 25. Pengomposan Sistem 4 Channel


Penyimpanan Kompos
Kompos merupakan sumber hara yang dapat dengan mudah tercuci melalui
tanah menuju ke sumber air tanah (ground water atau tercuci menuju ke aliran air
melalui run off). Untuk meminimalkan potensi kehilangan hara dari kompos menuju
ke lingkungan sekitarnya, maka lapisan kompos seharusnya diletakkan di atas tanah
yang telah disemen atau dipadatkan untuk mencegah kehilangan melalui pencucian.
Bila memungkinkan letakkan pada suatu tempat berpagar dan beratap yang terhindar
dari panas dan hujan. Bila lapisan kompos berada di daerah lereng bagian atas
sebaiknya dipindahkan ke tempat di bagian bawah untuk menghindari aliran
permukaan yang membawa partikel kompos. Pada pabrik-pabrik kompos, kompos
yang telah jadi dikemas dalam plastik untuk menghindari kehilangan hara.

Anda mungkin juga menyukai