Bab Iii
Bab Iii
Bab Iii
Jika kita melihat masa lalu, nenek moyang bangsa kita umumnya
menggantungkan kehidupannya pada bercocok tanam, mereka melakukan sistem
pertanian tradisional dengan mengandalkan keseimbangan alam sebagai sistem
pertanian (natural sistem). Saat itu belum dikenal adanya benih unggul, pupuk dan
pestisida. Mereka menggunakan benih yang telah ada secara alami dan berkembang
secara in situ. Mereka tidak menggunakan pupuk, tetapi semua jerami sisa panen
dikembalikan ke lahan. Pupuk yang mereka kenal adalah kotoran ternak. Mereka
membuat rumah kecil di lahan sebagai tempat pembuangan kotoran keluarga. Hama
dan penyakit tanaman sudah mereka kenal, tetapi tidak diberantas. Untuk
pengendaliannya diserahkan kepada alam. Hasilnya, kehidupan nenek moyang kita
saat itu berkecukupan, bahkan berlimpah.
Konsep pertanian yang tanpa atau sedikit memberikan masukan (input) dari
luar lahan dikenal dengan sistem ”pertanian input luar rendah” (low external input
agriculture, LEIA). Sistem pertanian ini terdapat pada berbagai agro-ekosistem dan
sosio-kultural, di Negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin pada masa lalu, di
mana belum dikenal istilah pertanian modern (modern farming).
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi abad ke-20 mengarah ke
penggunaan teknologi masukan luar tinggi (high external input technology, HEIT),
mulai dari ditemukannya varietas unggul yang respon terhadap pupuk tetapi peka
serangan hama - penyakit. Hal ini menyebabkan penggunaan pupuk buatan pabrik
dan pestisida yang berlebihan sehingga mengakibatkan kerusakan lahan dan
lingkungan hidup. Di lain pihak, upaya mengoptimalkan sistem ini terasa sulit
dilaksanakan meskipun potensi produksi masih jauh untuk dicapai, atau terjadi gejala
”leveling off” pada produksi pertanian. Hal ini berarti bahwa sistem HEIT tidak
menjamin hasil pertanian berkelanjutan (sustainability).
Kemudian ditawarkan konsep pertanian masa depan yang disebut sistem
pertanian berkelanjutan dengan teknologi input luar rendah (low external input
sustainable agriculture, LEISA). LEISA dianggap merupakan sistem yang
menjanjikan kehidupan yang layak bagi petani, bertolak pada optimalisasi
sumberdaya lokal yang ada, dengan pendekatan ”keseimbangan” dan memperhatikan
kesehatan lingkungan. Termasuk dalam LEISA adalah Sistem Pertanian
Terpadu/SPT (Integrated Farming Sistem/IFS). SPT merupakan suatu sistem yang
menggabungkan peternakan konvensional, budidaya perairan, hortikultura,
agroindustri dan segala aktivitas pertanian. Pupuk yang dihasilkan oleh ternak
digunakan untuk memupuk tanaman, dan residu tanaman digunakan sebagai pakan
ternak.
Sistem Pertanian Terpadu (SPT) atau Integrated Farming Sistem (IFS) telah
merubah dengan cepat peternakan konvensional, budidaya perairan, hortikultura,
agroindustri dan segala aktivitas pertanian di beberapa negara, khususnya di daerah
tropis dan sub-tropis basah (not-arid). Pertanian di seluruh dunia tidak akan
menampakkan hasilnya tanpa input tinggi dan seringkali tidak kompromi dengan
kelangsungan hidup ekonomi dan keberlajutan ekologinya. Situasi ini menjadi lebih
memperburuk SPT, semuanya harus dibayar dengan bahan dan energi yang diimpor
di mana bahan berpotensi sebagai polutan juga digunakan.
SPT dapat mengatasi semua kendala tersebut, tidak saja dari aspek ekonomi
dan permasalahan ekologis, tetapi juga menyediakan sarana produksi yang
diperlukan seperti bahan bakar, pupuk dan makanan, di samping produktivitas terus
meningkat. Hal itu dapat mengubah sistem pertanian yang penuh resiko (terutama di
negara-negara miskin) kearah sistem pertanian ekonomis dan kondisi ekologi
seimbang.
Sistem Terpadu
Melihat masa lalu di mana situasi aktivitas pertanian di dunia yang penuh
resiko, kita lihat petani miskin susah untuk memberi makan diri mereka sendiri dan
berusaha untuk menghidupi dirinya dari lahan, ternak dan tanaman mereka. Pupuk
yang dihasilkan oleh ternak digunakan untuk memupuk tanaman, dan residu tanaman
digunakan sebagai pakan ternak. Dalam rangka meningkatkan produksi dan kualitas,
mereka memerlukan input yang tinggi seperti pupuk kimia dan pakan buatan pabrik,
yang membuat aktivitas pertanian tidak ekonomis. SPT mereka juga harus
mengatasi polusi yang mereka ciptakan dari aktivitas pertanian tersebut, mereka
tidak akan mampu usahakan itu.
Mereka yang membudidayakan ikan pada sistem peternakan telah membuat
kemajuan besar, tidak hanya meningkatkan pupuk dari kotoran ikan, tetapi juga
meningkatkan pendapatan mereka dari hasil ikan yang lebih cepat dan harga pasar
yang lebih tinggi. Kolam yang lebih dalam mengakibatkan produktivitas ikan lebih
tinggi, dengan nilai pupuk dan kotoran ikan lebih tinggi, tetapi kolam ikan akan
menjadi sumber polusi, SPT menerima terlalu banyak kotoran ikan yang
menghabiskan oksigen terlarut.
Dengan memperlakukan kotoran ikan secara an-aerob dalam mesin
pengompos (digesters), dengan tambahan energi biogas, dan secara aerob dalam bak
penampungan, akan meningkatkan jumlah pupuk dan makanan yang dihasilkan,
tetapi tanpa menggunakan oksigen terlarut dalam air. Teknologi murah dengan
masukan (input) yang lebih baik akan memperbaiki sistem.
Dengan catatan bahwa semua nutrisi dan makanan digunakan untuk
meningkatkan produktivitas, akan membuat petani jauh lebih makmur. Energi juga
dapat membantu petani dalam memproses, memelihara dan memberikan nilai
tambah serta mengurangi resiko produksi. Inilah yang disebut dengan ’Sistem
Pertanian Terpadu’.
Pengintegrasian (Keterpaduan)
Kombinasi peternakan dan aktivitas pertanian telah banyak membantu petani
seluruh dunia di masa lalu, dengan menggunakan kotoran ternak sebagai pupuk
untuk tanaman, dan residu tanaman digunakan sebagai pakan ternak. Umumnya
kebanyakan dari pupuk kehilangan setengah dari kandungan nitrogennya sebelum
menjadi nitrat tersedia bagi tumbuhan. Jumlahnya menjadi tidak cukup jika populasi
tanaman meningkat, sehingga pupuk kimia dan makanan buatan harus digunakan,
keuntungan petani yang kecil menjadi merosot.
Pemaduan perikanan dalam petenakan dan pertanian akan memperbaiki baik
persediaan pupuk maupun pakan, dan nilai pasar yang lebih tinggi dari ikan sebagai
bahan pangan. Secara teknis, penambahan yang penting dari siklus kedua yang
dihasilkan oleh kotoran ikan memberikan keuntungan pada proses yang terintegrasi.
Hal ini telah dicatat oleh M.Prein dari ICLARM Malaysia dalam ”Integration of
Aquaculture into Crop-Animal Sistems in Asia”.
Perlu dicatat bahwa yang pertama dari siklus kedua dari nutrisi yang
dihasilkan dari peternakan digunakan untuk memupuk pertumbuhan berbagai
plankton alami di kolam yang nantinya menjadi makanan ikan. Hasil ikan
meningkat tiga sampai empat kali lipat seperti yang terjadi di Cina, Thailand,
Vietnam, India dan Bangladesh. Ikan, setelah mengkonsumsi plankton, akan
menghasilkan kotoran mereka sendiri yang dikonversi secara alami ke dalam siklus
bahan makanan yang kedua, yang kemudian digunakan untuk memupuk berbagai
tanaman yang terapung di permukaan air, seperti yang dilakukan di sebagian Negeri
Cina.
Sekalipun ini telah menjadi suatu langkah kemajuan, masih memerlukan
beberapa masukan eksternal untuk meningkatkan produktivitas pertanian dan poses
agroindustri. Maka dari itu tidaklah cukup untuk mengangkat petani kecil keluar dari
kemiskinan, oleh karena meningkatnya biaya-biaya produksi, seperti pupuk kimia,
bahan bakar dan makanan buatan, yang mempunyai efek kurang baik pada hasil dan
mutu, proses produksi dan ekonomi pertanian. Inovasi lebih lanjut untuk
peningkatan produktivitas sangat diperlukan untuk mendukung kesempurnaan sistem
pertanian terpadu. Ini adalah apa yang sedang diupayakan oleh ZERI (Zero
Emission Research Initiative) suatu Sistem Biomas Terpadu/Integrated Biomas
Sistem (IBS), seperti didokumentasikan oleh Gunter Pauli dalam ”Upsizing".
Peternakan
Peternakan besar atau kecil yang memproduksi susu, telor atau daging
memerlukan pemberian makanan yang seimbang tiap hari. Sesuatu yang berharga
bahwa di samping tempat tinggal yang nyaman dan terjaga kebersihannya, mereka
harus mempunyai keseimbangan ransum yang baik untuk menghasilkan produk
makanan berkualitas.
Peternakan juga menghasilkan kotoran/sampah setiap hari, yang merupakan
sumber daya dapat diperbaharui yang berharga dan akan medukung keberlanjutan
aktivitas pertanian di tempat itu, bahkan tanpa masukan eksternal seperti bahan
bakar fosil, pupuk kimia dan makanan buatan. Di seluruh dunia, yang belakangan
telah dipercaya dapat meningkatkan hasil dan bahkan kualitas tetapi dengan biaya
lebih besar. Tetapi kebanyakan petani pada strata rata-rata dan petani miskin tidak
dapat mengusahakannya, sementara petani-petani pertanian terpadu menjadi kaya
dengan hasil pertanian mereka.
Bagaimanapun, makanan tetap merupakan masalah serius baik dalam
kuantitas maupun kualitas. Kebanyakan makanan dapat diproduksi dari tanaman,
tanaman dan pemrosesan residu tanaman, dengan atau tanpa pengolahan lebih lanjut
untuk pemeliharaan atau peningkatan, tetapi beberapa bahan seperti cacing tanah,
ulat sutera, jamur, serangga dan organisme lain juga perlu dijaga kestabilannya,
karena beberapa di antara mereka genap memproduksi bahan-bahan bernilai tinggi
seperti sutera dan jamur.
Alat Pengompos
Alat pengompos dapat berupa alat sederhana seperti sepasang tas plastik
3
dengan kapasitas 5 m atau drum bervolume 200 liter untuk lahan yang kecil, atau
struktur baja/beton bertulang dengan UASB (upflow anaerobik sludge blanket) untuk
efisiensi yang maksimum bagi lahan yang besar atau perusahaan industri.
Alat pengompos tersebut akan mengolah kotoran/sampah organik melalui
isolasi, penyelesaian (settling), pencernaan (digestion), pencairan (liquefaction) dan
pemisahan cairan (solid/liquid separasion), kemudian menghasilkan
endapan/sedimentasi dalam tangki, untuk mengurangi BOD (Biochemical Oxyangen
Demand), jika diukur kandungan bahan organik mencapai 60% atau lebih. Substrat
ini secara biologis kondisinya sangat baik, dengan bakteri yang methana, yang secara
alami terdapat dalam perut manusia dan binatang berdarah panas.
Oksidasi
Proses oksidasi ini merupakan proses yang murah dalam bak secara aerobik
(dimana oksigen terlarut dapat berasal dari atmosfer atau yang diproduksi oleh
ganggang alami melalui fotosintesis) dengan pengurangan 30% BOD. Sehingga
alirannya akan siap untuk masuk ke dalam tambak ikan. Daerah tropis (sedikit di
subtropik), merupakan daerah subur penghasil protein dari ganggang chlorella,
sehingga merupakan sumber oksigen cuma-cuma untuk makanan tambahan bagi
ayam, itik dan angsa.
Lahan Tanaman
SPT mempunyai situasi berlawanan di mana dalam SPT ada banyak pupuk,
sementara dalam sistem yang lain kekurangan, sehingga dibutuhkan cara lain dalam
penggunaannya. Terlepas dari tumbuhnya tanaman merambat di tepi kolam, yang
dibiarkan tumbuh menjalar di sekitar tambak, beberapa negara-negara sudah berhasil
menumbuhkan beberapa jenis sayuran yang terapung di permukaan danau dan
sungai. Sementara yang lain sudah menanam biji-bijian, buah-buahan dan bunga
diatas bambu atau pipa polyurethane panjang yang mengapung di atas hampir
separuh permukaan air tambak, tanpa mengganggu budidaya 5-6 macam ikan yang
ada dalam kolam tersebut.
Prosessing
Satu masalah besar dalam pemasaran hasil pertanian adalah turunnya harga
ketika hasil pertanian berlimpah, dan kerugian besar disebabkan karena produk tidak
terjual. Proses sederhana seperti pengasapan, pengeringan, penggaraman,
perendaman dalam larutan gula (sugaring), pengawetan, dan lain lain harus
diajarkan kepada petani agar produk yang melimpah tadi tidak rusak. Dengan
kondisi energi biogas yang ada, mereka sekarang mampu melakukan pengolahan
hasil pertanian untuk memberikan nilai tambah produk tersebut.
Pentingnya sumber yang cukup seperti energi biogas gratis dalam Sistem
Pertanian Terpadu tidak cukup memberi penekanan, ketika kebanyakan negara-
negara kekurangan sumber daya penting ini untuk kepentingan ekonomi dan
pembangunan sosial, terutama di wilayah-wilayah terisolasi. Biogas tetap tersedia
ketika bahan bakar fosil habis.
Residu/Sampah
Dalam SPT, banyak dihasilkan biomas seperti sludge (kotoran cair),
ganggang mati, macrophytes, sisa panen dan sisa prosesing. Dengan pertimbangan
bahwa peternakan hanya menggunakan 15-20% makanan yang mereka konsumsi,
dan mengeluarkan sisa dalam kotoran mereka, kandang menjadi tempat kaya bahan
organik. Semua harus didaur ulang (recycle) agar dapat digunakan lagi, hal yang
betul-betul dilakukan dalam Sistem Pertanian Terpadu.
Kotoran cair (sludge), ganggang, macrophytes, sisa prosesing dan panen
dimasukan kantung plastik, disterilkan dengan uap (steam) lalu menghasilkan energi
biogas, kemudian disuntikan melalui lubang-lubang untuk budidaya jamur yang
bernilai ekonomi tinggi. Enzim jamur tidak hanya memecah lignin-selulosa (ligno-
cellulose) untuk melepaskan kandungan nutrisi, tetapi juga memperkaya residu
tesebut sehingga mudah dicernak dan bahkan menjadi makanan yang lebih ”lezat”
bagi ternak. Sisa residu berserat tetap dapat digunakan untuk kultur cacing tanah,
yang kemudian menyediakan makanan dengan protein khusus bagi ayam. Residu
akhir, meliputi cacing yang berlimpah, dikomposkan dan dimanfaatkan untuk
perbaikan kelembaban dan aerasi tanah.
Kesimpulan
Tidak ada keraguan sama sekali dari semua manfaat yang diberikan kepada
petani kecil, petani medium atau petani besar dari Sistem Pertanian Terpadu (SPT),
melalui daur ulang sampah tak terpakai sebagai sumber daya dapat diperbaharui,
menyediakan bahan-bahan penting seperti pupuk, makanan ikan dan ternak serta
bahan bakar yang dapat membuat bertani beraktivitas secara ekonomis dan
berkelanjutan secara ekologis. Dengan mengabaikan konsep SPT, oleh karena
ketidak-tahuan penjahat atau prasangka buruk, petani akan tetap miskin dan
dirampas semua keuntungannya yang merupakan hak asasi dari setiap orang baik
pria maupun wanita, anak-anak di muka bumi ini, yang mempunyai sumber daya
yang cukup untuk semua orang, sekarang dan untuk generasi masa depan.
Gambar 6. Lahan Tanaman dan Perikanan
Sistem usaha tani harus direncanakan dan disusun sesuai dengan kebutuhan
unsur hara dan selanjutnya akan membantu dalam mempertahankan produktivitas
tanah. Akan tetapi sistem pertanaman campuran tidak selalu cocok untuk diterapkan
pada semua kondisi. Model pola tanam yang bisa mendukung pertanian organik
antara lain:
Tanaman Utama
Pada bagian lorong dapat ditanami dengan tanaman semusim (pangan)
berumur pendek yang menyesuaikan dengan kebiasaan petani setempat (jagung,
kacang tanah, kedelai, padi gogo dan sayuran). Pola pertanaman yang dianjurkan
menyesuaikan dengan kondisi iklim, apabila memungkinkan dapat ditanami terus
menerus sepanjang tahun. Dapat juga ditanami tanaman-tanaman keras yang
mempunyai nilai ekonomis tinggi seperti kopi, jeruk, cokelat, pisang dll. Dengan
demikian prinsip keanekaragaman berkembang dalam budidaya lorong.
Teknologi konservasi yang diterapkan oleh adalah: pemulsaan, cover crop,
pupuk hijau, OTM dan TOT.
Gambar 8. Parit di antara Tanaman Pagar dan Tanaman Budi Daya untuk
Menghindari Gangguan pada Akar
menggunakan tali.
• bagian tengah antara 1 m dari ujung diikat lagi dengan kayu/bambu rukuran
bandul.
• Gantungkan batu yang telah diikat tali pada puncak kerangka. Panjang tali
bandul harus melewati palang kerangka.
Rumus lain yang dapat digunakan untuk menentukan posisi tanaman pagar
dikemukakan oleh Sukmana et al., (1990).
VI=0,125+0,3
HI = VI/S x 100
Wanatani/Hutan Tani/Agroforestry
Wanatani diartikan sebagai sistim penggunaan lahan yang berutama
memadukan antara tanaman pangan berumur pendek dengan tanaman pohon, semak
atau rumput makanan ternak. Contoh teknologi yang sudah memasyarakat antara
lain; pertanian sejajar kontur, budidaya lorong, tumpangsari (Taungnya), teknologi
'
lahan miring, teknik konservasi air, peternakan dan usaha tani terpadu yang
memanfaatkan tanaman multiguna.
Salah satu komponen wanatani adalah hutan kemasyarakatan, di mana disini
melibatkan masyarakat/petani sekitar untuk ikut menanami dan memelihara
tanaman utama. Di samping itu selama tanaman masih muda dan tajuk tanaman
belum saling menutupi petani dapat menanam diantara tanaman pokok dengan
tanaman semusim yang biasa ditanam petani setempat. Sistem yang sudah
berkembang adalah sistem tumpangsari tanaman jati di lahan milik perhutani.
Model ini dapat dikembangkan di lahan milik perusahaan perkebunan dan HTI yang
banyak tersebar di luar pulau Jawa. Wanatani dan model hutan kemasyarakatan ini
perlu dikembangkan untuk memantapkan lingkungan, termasuk juga kebutuhan
setempat berupa pangan, pelestarian hutan dan memenuhi kebutuhan kayu.
Kriteria pemilihan jenis pohon berumur panjang yang sesuai untuk
pengembangan hutan desa berskala kecil adalah: (1) sumber kayu untuk bangunan
dan peralatan rumah tangga, (2) mudah beradaptasi dengan kondisi lingkungan
setempat, (3) pertumbuhannnya berkelanjutan, (4) mendatangkan tambahan
pendapatan petani, (5) awal pertumbuhannya tahan terhadap naungan, dan (6) sesuai
dengan selera dan pengalaman petani.
Beberapa contoh jenis tanaman pohon dapat dilihat pada Tabel 5 dibawah.
Kriteria pemilihan Jenis tanaman pohon yang tumbuh cepat adalah: (1) pertumbuhan
cepat, (2) dapat menyediakan kayu bakar, bahan bangunan, pakan ternak atau
sebagai bahan pangan lain, (3) dapat meningkatkan pendapatan petani, (4)
memperbaiki tanah, (5) toleran terhadap kondisi setempat, dan (6) toleran terhadap
cekaman kekeringan.
Tabel 6. Jenis Tanaman Pohon yang Tumbuh Cepat dan Bersifat Multiguna
Nama Indonesia Nama Ilmiah Pemanfaatan
Air suli Acacia auriculliformis Air suli
Mangium Acacia mangium KB,BB
Saga Adenanthera KB,PT,BB,PH
Sengon lout microosperma Albizia KB,BB,PH
Kaliandra merah falcataria KB,PT,BB,PH
Kaliandra putih Caliandra calothyrsus KB,PT,BB,PH
Johar Calliandra KB,BB,PH,SK
Flamboyant tetragonal Cassia KB,BB,PH
Gamal siamea De%nix regia KB,PT,BB,PH
Waru Gliricidia sepium KB,PT,BB,PH
Kelor Hibiscus tillaceaus KB,PT,BB
Lamtoro Moringa oleifera KB,PT,BB,PH
Trembesi Leucaena diversifolia KB,PT,BS,PH,SK
Turi Samanea samara KB,PT,BB,PH
Jayanti Sesbania grandif/ora KB,PT,BB
KB= kayu bakar, PT = pakan ternak, BB = bahansesban
Sesbania bangunan, PH = pupuk hi jau, SK = sumber kayu
Tabel 7. Jenis Tanaman Pohon Berumur Sedang
Nama Indonesia Nama Ilmiah Pemanfaatan
Jambu mete Asacardium occidentale SP,KB
Sirsak Annona muricata SP,KB
Pinang Areca catechu SP,BB
Sukun Artocarpus communis SP,KB,BB
Nangka Artocorpus heterophyllus SP,KB,BB,SK
Belimbing Averrhoo 6ilimbi SP
Kemiri A/eurites molluscana SP,KB,BB
Bambu Sambusa sp SP,BB,SK
Kenitu Chrysophylum cainito SP,KB,BB
Kayu manis Cinnamomum zeylanicum 5P
Kelapa Cocos nucifera SP,BB,SK
Kopi Coffea sp SP,
Durian Durio zibethinus SP
Melinjo Gneturn gnemon SP,KB,PT
Mangga Mangifera indica SP
Sawo Manilkara zapota SP
Kelor Moringara oleifera SP,PT,PH
Pisang Musa sp SP,PT
Markisn Passiflora edulis SP
Apokat Persea Americana SP
Merica/lada Piper ningrum SP
Sirih Piper betel SP
Jambu biji Psidium guajava SP,KB,SK
Kecapi Sandoricum koetjape SP
Duwet Syzgium cumini SP,KB,SK
Asam jaws Tamarindus indica SP,KB,PH,SK
Kakao Theobroma cacao SP
Sp = sumber pangan KB= kayu bakar, PT = pakan ternak, BB = bahan bangunan, PH = pupuk hijau,
5K = sumber kayu
Intensifikasi Pekarangan
Pekarangan atau kebun yang banyak di jumpai merupakan sistem wanatani
tradisional yang tetap bertahan sesuai budaya dan kondisi ekosistem setempat.
Intensifikasi konvensional memerlukan ketergantungan yang tinggi terhadap
masukan dari luar antara lain; benih, pupuk kimia, pestisida dan kebutuhan lainnya.
Keberhasilan intensifikasi pekarangan konvensional sangat tergantung pada
penyediaan masukan dari luar usaha tani.
Pendekatan intensifikasi alami berbeda sekali dengan intensifikasi
pekarangan penyiapan petak pertanaman dengan pengolahan tanah, daur ulang hara,
membangun kesuburan tanah, keanekaragaman pertanaman dan keseimbangan
ekosistem terpadu.
Melalui intensifikasi pekarangan alami bahan organik didaur ulang dengan
cara dikembalikan ke tanah dalam bentuk kompos dan pendekatan lain juga
menghindarkan pemakaian pestisida buatan pabrik. Keanekaragaman jenis tanaman
yang ditanam mampu mengendalikan serangan hama dan penyakit tanaman, lebih
jauh semua bentuk formula organik dapat dibuat dengan mengandalkan bahan-bahan
yang tersedia disekeliling, termasuk toga, pestisida hayati, dll. Keberhasilan
pekarangan dalam mempertahankan produktivitasnya dapat ditinjau berdasarkan:
a. Mempertahankan dan meningkatkan hasil tanaman secara berkelanjutan.
b. Meningkatkan pasokan energi dari sumber daya lokal misalnya kayu bakar.
c. Menghasilkan beranekaragan bahan yang dapat dipakai untuk kebutuhan
sehari-hari atau di jual di pasar menambah pendapatan.
d. Perlindungan dan sekaligus meningkatkan kualitas lingkungan, terutama air,
flora dan fauna.
e. Meningkatkan kondisi sosial ekonomi petani.
Kontaminasi
Beberapa pupuk alam mungkin mengandung hormon-hormon residual,
antibiotik, pestisida, organisme penyakit, dan zat-zat yang tidak diinginkan. Bila
senyawa-senyawa ini dapat dieleminasi melalui pengomposan aerobik pada
temperatur tinggi, maka praktek penggunaan bahan ini direkomendasikan pada level
di mana kontaminan organik berada dalam jumlah minimum. Peringatan ini
disarankan berdasarkan hasil penelitian bahwa bakteri Salmonella dan E. coli
ditemukan pada saat proses pengomposan. Kemungkinan penyebaran penyakit
kepada manusia telah mematahkan semangat penggunaan pupuk alami segar
(demikian juga kompos) yang diaplikasikan sebelum tanam atau saat tanam pada
tanaman sayur-sayuran, terutama tanaman yang biasanya dikonsumsi bagian
vegetatifnya.
Beberapa hal yang disarankan kepada petani terkait dengan penggunaan
pupuk alam segar atau masih mentah adalah :
1. Mengaplikasikan pupuk kotoran hewan paling sedikit sebelum panen
tanaman sayuran yang akan dimakan tanpa dimasak. Jika memungkinkan,
hindari pemupukan setelah tanam. Disarankan pemberian dengan cara
disebar.
2. Jangan menggunakan pupuk kotoran anjing, kucing, atau babi dalam bentuk
segar atau kompos. Spesies ini mengandung banyak parasit bagi manusia.
3. Cucilah seluruh produk yang digunakan sebagai pupuk yang diambil dari
lahan sebelum digunakan. Beberapa orang (anak-anak, orang tua yang tidak
memiliki sistem kekebalan tubuh) terutama yang peka terhadap penyakit
yang terbawa dalam makanan seharusnya menghindari produk yang tidak
dimasak. Sehingga kadang-kadang produk organik yang berasal dari pupuk
kotoran hewan ini lebih berbahaya daripada produk pangan lainnya yang
beredar di pasaran. Hal ini suatu tantangan bagi petani-petani organik.
Temuan-temuan ini memberikan peringatan pada industri pertanian organik
dan untuk selalu melakukan kontrol terhadap kerusakan produk organik, meskipun
kenyataannya bahwa pernyataan ini belum dibuktikan secara ilmiah.
Tidak seperti halnya petani konvensional, yang hanya mempunyai pedoman
yang aman mengenai penggunaan pupuk, petani organik yang disertifikasi harus
mengikuti protokoler yang ketat. Pupuk mentah tidak boleh diaplikasikan untuk
tanaman pangan dalam waktu 120 hari dari panen di mana bagian yang dikonsumsi
berada dalam kontak dengan tanah (misalnya sayuran, stroberi dll). Pupuk mentah
juga tidak boleh diaplikasikan untuk tanaman pangan dalam waktu 90 hari dari
panen di mana bagian yang dikonsumsi tidak kontak dengan tanah (misalnya
tanaman biji-bijian, pohon buah-buahan). Persyaratan ini tidak berlaku untuk
tanaman pakan ternak dan serat.
Zat organik bukan hanya merupakan kontaminan yang ditemukan dalam
pupuk kotoran ternak. Logam-logam berat dapat menjadi masalah, terutama bila
sistem produksi skala industri digunakan.
Kualitas Produk
Telah diketahui bahwa penggunaan pupuk mentah yang tidak tepat dapat
berpengaruh negatif terhadap kualitas tanaman sayuran seperti kentang, mentimun,
wortel, lobak, kubis, brokoli dll. Pada saat terjadi penguraian dalam tanah, pupuk
tersebut melepaskan senyawa kimia seperti skatol, indol dan senyawa fenol lainnya.
Bila diserap oleh tanaman yang sedang tumbuh, senyawa-senyawa ini dapat
memberikan bau busuk dan rasa yang tidak enak pada tanaman sayuran. Oleh
karena itu, pupuk mentah seharusnya jangan diaplikasikan secara langsung pada
tanaman sayuran, melainkan disebar langsung pada tanaman penutup tanah yang
ditanam sebelum musim tanam.
Masalah Gulma
Penggunaan pupuk mentah (segar) seringkali berkaitan dengan
meningkatnya gulma. Beberapa pupuk organik segar mengandung benih gulma,
seringkali dari bahan alas kandang seperti jerami yang mengandung biji kecil dan
rumput tua. Pengomposan secara aerob pada temperatur tinggi dapat sangat
mengurangi jumlah biji-biji gulma yang viable (dapat hidup). Namun dalam banyak
kasus, pertumbuhan gulma yang subur menyertai pemupukan tidak berasal dari biji
gulma dalam pupuk, tetapi dari pengaruh rangsangan dari pupuk tersebut terhadap
biji-biji gulma yang ada dalam tanah. Perkembangan pesat dari gulma tersebut
mungkin akibat meningkatnya aktivitas biologi, adanya asam organik, kelebihan
nitrat, atau beberapa perubahan lain dalam status kesuburan tanah. Namun masalah
yang berhubungan dengan ketidak-seimbang kesuburan, bergantung pada spesies
gulma yang muncul. Kelebihan Kalium dan Nitrogen dapat merangsang
pertumbuhan gulma. Memantau kandungan hara tanah dan pupuk yang disebarkan
secara merata bertujuan untuk mengurangi kejadian masalah gulma tersebut.
Polusi
Bila hara dalam pupuk segar atau yang dikomposkan tererosi atau tercuci dari
lahan pertanian, maka hara tersebut menjadi suatu masalah polusi yang cukup
potensial, selain dianggap sebagai kehilangan sumber hara bagi petani. Bila hara-
hara tersebut seperti nitrat tercuci menuju ke groundwater (air tanah) yang
dimanfaatkan oleh manusia akan muncul masalah kesehatan manusia. Bila hara
tersebut mengalir di air permukaan, maka dapat menyebabkan eutrofikasi pada
waduk, danau, dan aliran sungai.
Cara di mana pupuk dikumpulkan dan disimpan sebelum diaplikasikan di
lapanganan mempengaruhi stabilisasi dan konservasi hara yang sangat berharga dan
bahan organik. Pengomposan merupakan satu cara yang baik dalam penanganan
pupuk kotoran ternak Mengurangi pupuk yang hilang karena aliran permukaan dan
pencucian dari lahan merupakan suatu bahan yang mencakup volume dan waktu.
Aplikasi pupuk jauh sebelum kebutuhan hara tanaman sangat meningkatkan
kesempatan kehilangan hara, terutama pada daerah dengan curah hujan tinggi.
Guano
Guano merupakan eksresi kering berbagai spesies kelelawar dan burung laut.
Penggunaannya sebagai pupuk pertanian memiliki sejarah panjang. Sebelum
penggunaan pupuk kimia, para pengusaha pemerintah Amerika Serikat telah
menemukan dan mengembangkan deposit gunato tersebut.
Kandungan hara dalam produk guano komersial bervariasi bergantung pada
makanan burung atau kelelawar. Burung laut yang mendapatkan makanan dari ikan
bergantung pada spesies ikan. Kelelawar dapat tumbuh dan berkembang dari
serangga atau buah-buahan. Faktor utama lain adalah umur sumber deposit. Produk
guano dapat dalam bentuk segar, semi-fosil, ataupun fosil. Untuk mengetahui secara
cepat beberapa produk komersial guano diberikan kisaran analisis seperti
disajikan pada Tabel 10.
Produksi Nitrogen
Produksi N merupakan manfaat utama dari cover crop dan pupuk hijau yang
berasal dari tanaman legum. Akumulasi N oleh cover crop legum berkisar antara 80
– 400 kg N/ha. Jumlah N yang tersedia dari tanaman legum bergantung pada spesies
tanaman legum yang ditanam, biomas total yang dihasilkan, dan persentase N dalam
jaringan tanaman. Kondisi lingkungan dan cara budidaya tanaman yang membatasi
pertumbuhan tanaman legum, seperti jadwal penanaman yang tertunda, kekeringan,
dan cara budidaya yang tidak tepat akan mengurangi kandungan N yang dihasilkan.
Dan sebaliknya bila kondisi lingkungan dan cara budidaya yang tepat akan
mendukung produk N yang baik.
Porsi N tersedia dalam pupuk hijau untuk tanaman berikutnya pada
umumnya sebesar 40 – 60% dari jumlah total yang terkandung dalam legum. Untuk
menentukan berapa banyak N yang terkandung dalam cover crop dapat diestimasi
dari banyaknya biomas di atas tanah yang dihasilkan dan kandungan N nya.
Penambahan Hara
Selain menambah hara N ke dalam tanah, cover crop membantu mendaur
ulang hara-hara lainnya di lahan-lahan pertanian. Unsur hara N, P, K, Ca, Mg, S,
dan lainnya diakumulasikan oleh cover crop selama musim tanam. Ketika pupuk
hijau dibenamkan atau sebagai mulsa, hara-hara esensial tanaman menjadi lambat
tersedia selama proses dekomposisi. Beberapa jenis cover crop tertentu mampu
mengakuulasi hara dari dalam tanah dalam konsentrasi yang tinggi dalam jaringan
tanaman. Sebagai contoh tanaman pohon legum (alfalfa) yang memiliki perakaran
dalam mampu menyerap hara dari sub soil dan mentranslokasiknnya ke bagian atas
ke daerah perakaran tanaman, dan menjadi tersedia bagi tanaman berikutnya.
Penguraian pupuk hijau oleh mikroorganisme tanah mempengaruhi
ketersediaan hara mineral dengan cara yang lain. Selama proses dekomposisi bahan
organik, senyawa asam organik terbentuk sebagai produk samping aktivitas mikroba.
Asam-asam organik ini bereaksi dengan batuan mineral yang tidak larut dan fosfat
yang mengendap, melepaskan fosfat dan hara yang dapat dipertukarkan.
Aktivitas Perakaran
Sistem perakaran yang intensif dari cover crop sangat efektif dalam
melonggarkan dan memberikan aerasi yang baik dalam tanah. Ketika cover crop
ditanam setelah pengolahan tanah dalam, mereka dapat membantu melonggarkan
tanah sehingga lapisan bawah tanah memiliki aerasi yang baik. Keampuan ini juga
dipengaruhi oleh kedalaan perakaran cover crop.
Penekanan Gulma
Gulma akan tumbuh pada bagian-bagian anah yang kosong. Ketika tanah
ditanami cover crop, tanaman ini menempati ruang di atas tanah serta menangkap
cahaya, sehingga memberikan naungan pada tanah dan mengurangi kesempatan
gulma untuk tumbuh. Pengaruh pelonggaran tanah dari cover crop yang memiliki
perakaran dalam juga mengurangi populasi gulma yang tumbuh dengan subur pada
tanah yang padat.
Penanaman cover crop non legum (rumput-rumputan) adalah untuk
memberikan pengendalian gulma sebagaimana penambahan bahan organik ke dalam
tanah dan memperbaiki kepadatan walaupun tidak menghasilkan N.
Penekanan gulma akibat penggunaan cover crop dapat terjadi oleh adanya
zat alelopati yang dihasilkan oleh cover crop atau mulsa hidup. Hal ini merupakan
metode yang penting dalam pengendalian gulma dalam sistem pertanian yang
berkelanjutan. Tanaman yang menghasilkan alelopati adalah tanaman yang mampu
menghambat pertumbuhan tanaman di dekatnya dengan cara melepaskan senyawa
toksin alami atau alelokimia. Beberapa cover crop menunjukkan kemampuan seperti
ini, sehingga cukup efektif dalam mengendalikan pertumbuhan gulma.
1. Pelarutan Fosfat
Fosfor merupakan unsur hara yang sering membatasi pertumbuhan dan
produksi tanaman di daerah tropis. Namun tidak hanya di daerah tropis saja, di
daeras sedang dan tanah dengan kandungan bahan organik tinggi ketersediaan fosfor
juga terbatas. Hal ini disebabkan karena banyaknya bentuk-bentuk P yang tidak
larut, sedangkan tanaman hanya dapat menyerap P dalam bentuk ion larut yaitu
- 2-
H2PO4 dan HPO4 . Banyak bakteri yang diisolasi dari rhizosfer memiliki
kemampuan melarutkan bentuk P yang tidak tersedia dalam suatu kultur yang
mengandung eksresi asm organik dan enzim fosfatase (Kim, et al.,1998). Bukti
adanya pelarutan fosfat sebagai suatu mekanisme aktivitas PGPR ditunjukkan pada
Rhizobium sp. dan Bradyrhizobium japonicum dan radish (lobak) (Antoun, et al.,
1998) ; R. leguminosarum bv. phaseoli dan jagung (Chabot et al., 1998);
Enterobacter agglomerans dan tomat (Kim, et al., 1998); Bacillus sp. dan berbagai
spesies tanaman (Pal, 1998); Azotobacter chroococcum dan gandum (Kumar dan
Narula, 1999); Bacillus circulans dan Cladosporium herbarum dan gandum (Singh
dan Kapoor, 1999); dan Pseudomonas chlororaphis dan P.putida dan kedelai
(Cattelan, et al., 1999). Namun yang perlu diingat bahwa kemampuan melarutkan P
di dalam kultur tidak berarti bahwa bakteri tersebut bertindak sebagai suatu PGPR.
Hanya ada 2 dari 5 isolat pelarut fosfat dari rizhosfer kedelai yang dapat merangsang
pertumbuhan kedelai (Cattelan, et al.,1999). Demikian juga, isolat Bacillus dan
Xanthomonas dari rizhosfer minyak lobak dapat merangsang pertumbuhan tanaman
tetapi tidak meningkatkan kandungan P tanaman inang (Rai, M.K, 2005).
2. Oksidasi Sulfur
Sulfur (S) merupakan unsur hara makro yang ke empat setelah N, P, dan K.
Sulfur merupakan komponen vital protein dan sistem enzim di dalam tubuh tanaman.
Namun tanaman hanya dapat menyerap S dalam bentuk ion sulfat
2-
(SO4 ). Bila tanaman mengalami defisiensi S, petani bisa saja menambahkan pupuk
sulfat seperti Amonium Sulfat [(NH4)2SO4, K2SO4]. Namun pupuk ini bersifat larut
dalam air, sehingga besar kemungkinan dapat hilang melalui pencucian yang akan
mencemasi sumber air tanah. Penggunaan pupuk S elementer lebih dianjurkan, selain
harganya tidak terlalu mahal, juga tidak larut secara langsung dalam air, sehingga
mengurangi pencucian. Lebih lanjut, S elementer merupakan produk samping
industri minyak
dan gas, sehingga penggunaannya lebih dianjurkan dalam rangka pemanfaatan
limbah. Namun Sulfur dalam bentuk elementer ini tidak dapat secara langsung
diserap oleh tanaman. Unsur ini harus dioksidasikan terlebih dahulu membentuk ion
sulfat. Proses oksidasi ini dibantu oleh mikroorganisme tanah. Dalam kondisi alami
proses ini berlangsung selama 18 – 24 bulan bergantung pada jumlah bakteri
pengosidasi S dan kondisi lingkungan yang kondusif. Reaksi oksidasi tersebut
adalah sebagai berikut:
2- 2-
S (elementer) (S0) Thiosulfat (S2O3 ) tetrathionat (S4O6 )
2- 2- 2-
Trithionat (S3O6 ) sulfit (S)3 ) sulfat (SO4 ).
4. Produksi Fitohormon
Cara yang paling umum aktivitas PGPR dalam merangsang pertumbuhan
tanaman adalah melalui proses alterasi level fitohormon, yang pada gilirannya akan
mengubah pertumbuhan dan morfologi akar tanaman inang sehingga memiliki luas
permukaan yang lebih besar. Banyak kajian dan model serapan hara di dalam
tanaman menunjukkan peranan yang sangat penting dari luas permukaan akar
sebagai suatu faktor yang mempengaruhi kapasitas tanaman untuk menyerap hara
anorganik. Peranan PGPR dalam merangsang pertumbuhan tanaman terjadi melalui
peningkatan luas permukaan akar, yang pada gilirannya akan meningkatkan
kemampuan tanaman menyerap hara sehingga pertumbuhan tanaman meningkat.
Pengaruh produksi fitohormon oleh PGPR pada tanaman inang dibuktikan
dengan parameter berat akar tanaman yang lebih besar, cabang akar lebih banya,
akar lebih tebal, dan rambut akar lebih banyak (Gambar 20).
KONTROL PGPR
Gambar 20. Hasil Scanning Mikroskop Elektron Akar Canola setelah 96 Jam
Inokulasi PGPR dibandingkan dengan Kontrol (Rai, 2005)
Dekomposisi
Dekomposisi merupakan proses oksidasi. Pada tanah teaerasi baik, seluruh
senyawa organik ditemukan di dalam residu tanaman mengikuti reaksi berikut ini:
Enzimatik
R-(C, 4H) + 2 O2 CO2 + 2 H2O + energi (478 kJ mol -1 C)
Senyawa yang Oksidasi
mengandung C dan H
Pemecahan Lignin
Molekul lignin sangat besar dan kompleks, terdiri atas beratus-ratus cincin
fenol yang terikat sebagai sub unit-sub unit. Karena ikatan antara struktur sangat
bervariasi dan kuat, hanya sedikit mikroorganisme yang dapat memecahkan ikatan
senyawa tersebut. Dekomposisi berjalan sangat lambat pada awalnya, dan biasanya
dibantu oleh aktivitas fisik fauna tanah. Pada saat subunit lignin terlepas, banyak
mikroorganisme berpartisipasi dalam proses pemecahan tersebut. Hal ini berarti
bahwa mikroorganisme menggunakan beberapa struktur cincin dari lignin dalam
sintesis bahan organik stabil.
Penggilingan
Jika bahan kompos mengandung partikel lebih besar dari 10 mm
panjangnya, dan menyusun porsi yang besar dalam total volume, maka penggilingan
akan diperlukan untuk mengurangi ukurannya menjadi 2 – 10 mm agar supaya
efisiensi pengomposan meningkat.
Kadar air kompos: berat basah kompos – berat kering kompos x 100%
Berat basah kompos
Di lapanganan untuk menguji kadar air kompos dapat dilakukan dengan Uji
Squeeze (Uji kepalan, tekanan menggunakan tangan. Bila kadar air sebesar 60%,
bahan terasa lembab ketika dipegang, dan bila diperas ada satu atau 2 tetes cairan
yang keluar. Bila kompos terlalu basah (di atas batas atas), tumpukan atau pelapisan
kompos seharusnya dibalik-aduk, untuk menghilangkan airnya atau ditambahkan
bahan kompos yang kering untuk menyerap kelebihan air. Jika bahan kompos
terlalu kering (< 45%), perlu ditambahkan air dan dibalik-aduk hingga kandar air
yang sesuai dapat dicapai. Kelebihan air seharunya dihindari. Kebutuhan udara
ditentukan oleh sifat bahan kompos dan tahap proses pengomposan. Aerasi juga
memberikan suatu control untuk mendinginkan bahan kompos ketika terlalu panas.
Kebutuhan udara dapat diduga dengan mengamati warna dan bau kompos. Di
bawah kondisi berikut ini lebih banyak udara dibutuhkan:
1. Terdapat bau busuk pada tumpukan kompos.
2. Warna lebih terang di bagian dalam tumpukan.
3. Bahan yang dikomposkan terlalu basah.
Selama 2 minggu pertama pengomposan, seharusnya dibalik setiap 2 hari sekali, jika
o
temperatur dipertahankan antara 35 – 60 C. Untuk 2 minggu berikutnya (minggu ke
3 – 4), pembalikan dilakukan 2 kali seminggu. Untuk 2 minggu ketiga (minggu ke 5
dan 6), pembalikan dapat dilakukan seminggu sekali. Setelah 6 minggu hingga
proses kompos selesai, bahan kompos dapat dibalik sebulan sekali. Kompos yang
matang dapat dicapai minimum 3 bulan.
Temperatur
Temperatur perlu dimonitor secara terus menerus selama pengomposan.
o
Kisaran Temperatur ideal untuk pertumbuhan mikroba adalah antara 35 dan 55 C.
o
Temperatur melebihi 60 C akan menurunkan aktivitas mikroba dan proses
pengomposan. Namun, untuk pengurangan gulma dan patogen, temperatur perlu
o o
dipertahankan diatas 55 C dselama paling sedikit 3 hari. Temperatur melebihi 70 C
seharusnya dihindari dengan memberikan aerasi dan pembalikan yang cukup.
o
Temperatur melebihi 55 C biasanya akan dicapai setelah 2 – 5 hari pengomposan.
Pengukuran temperatur harian seharusnya dilakukan pada 4 minggu pertama, jika
o
temperatur sudah mulai mencapai 60 C, pengukuran harus lebih sering dilakukan
agar tidak terjali kebihan pans. Setelah pengomposan selama 4 – 6 minggu,
pengamatan temperatur dapat dilakukan 1-2 kali seminggu.
Karakteristik Standar
Kandungan Air ≤ 60%
Kandungan bahan Organik ≥ 40% (dari bahan kering oven)
total
Kandungan Benda asing ≤ 0,5% dengan diameter 12.5 mm
Kematangan Didasarkan pada parameter Rasio C/N ≤ 25, atau
serapan Oksigen ≤ 150 kg O2 per kg bahan volatile per
jam, atau laju perkecambahan biji di dalam kompos
paling sedikit 90% dibandingkan laju perkecambahan
control, dan pertumbuhan tanaman dalam campuran
kompos dan tanah tidak berbeda lebih dari 50%
dibandingkan dengan tanaman control
Sifat yang lain yaitu kandungan unsur mikro disajikan pada Tabel 12.