Analisis Semiotik Puisi Akhir Kata Karya Idrus Tintin
Analisis Semiotik Puisi Akhir Kata Karya Idrus Tintin
Analisis Semiotik Puisi Akhir Kata Karya Idrus Tintin
Sesungguhnya manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah atau suci dari hati
yang putih tak tercelah artinya bahwa pertama kali manusia itu dilahirkan kedunia
dalam keadaan bersih atau suci tanpa noda yang melekat pada hati dan dirinya,
namun seiring berjalannya waktu hati manusia mulai diwarnai dengan berbagai
polemik kehidupan. Karena hati manusia sifatnya dapat berubah-ubah, tinggal
bagaimana caranya manusia dapat mengatasi persaannya tersebut. Perasaan yang
seperti rasa kesedihan, bahagia, marah, hancur, kecewa, gelisah, cinta,
kecemburuan, penyesalan, dan sebagainya.
Akhir Kata
Karya: Idrus Tintin
Setelah itu
seperti benih tumbuhkan tunas
bunga-bunga dan buahnya lebat sarat
itulah kosa kata bahasa manusia
dan dengan itu semua
kulahirkan puisi
kisah pengkhianatanku kepadamu
dendang tentang cinta kita
mabuk seribu malam
dan doa-doa yang membumbung
terbang ke langit
seperti burung-burung putih kecil-kecil
coba menggapai singgasanamu
Dalam sajak puisi yang berjudul “Akhir Kata” karya Idrus Tintin bila
ditafsirkan ke dalam kepribadian manusia, maka arti dari imaji ini adalah akhir
kata memperlihatkan tentang kehidupan seseorang mulai dari ia dilahirkan sampai
ia meninggal dunia. Di mana manusia yang baru dilahirkan kedunia dan tumbuh
serta berkembang menjadi manusia yang sesunguhnya kemudian bagaimana ia
akan menjalani kehidupan yang sebenarnya dimasa yang akan datang. Akankah ia
selalu taat dalam menjalankan kewajiban-kewajibannya yang akan menuntun ia
berada di jalan yang benar atau ia bahkan sebalikya berada di jalan yang salah
ataukah ia sama sekali tidak pernah berada di jalan yang terdapat cahaya yang
dapat menuntun ia semasa hidupnya.
Selanjutnya dalam sajak puisi Idrus Tintin pada kalimat “doa-doa yang
membumbung terbang ke langit seperti burung-burung putih kecil-kecil coba
menggapai singgasanamu” dapat diartikan bahwa ia sedang berdoa untuk
bertaubat dan menyesali atas kesalahan yang telah ia perbuat bahwa ia tidak akan
mengulangi kesalahan-kesalahannya tersebut. karena manusia di dunia ini jauh
dari kata sempurna, bahwasannya manusia juga merupakan makhluk yang tidak
pernah lepas dari kesalahan atau sering disebut juga manusia sebagai tempatnya
kesalahan. Sehingga manusia di anjurkan untuk selalu berdoa dan memohon
ampun agar dijauhkan dari kekhilafan-kekhilafan yang ada.
Disisi lain puisi ini juga dapat diartikan sebagai rasa penyesalan terhadap
seorang yang ia cintai, dikarenakan pengkhianatan yang telah ia lakukan terhadap
orang yang telah mencintainya apa adanya sehingga orang tersebut pergi
meninggalkannya. Awalnya cinta itu sederhana, cinta bisa datang dan pergi,
sehingga dari kebanyakan orang tidak dapat menolak datangnya cinta. Seperti
dalam kalimat “seperti benih tumbuhkan tunas, bunga-bunga dan buahnya lebat
sarat” dapat diartikan bahwa seorang sedang merasakan jatuh cinta. Sehingga
benih-benih cinta pun mulai bersemi dan menjadi bunga-bunga yang mampu
mengeluarkan keharuman yang semerbak atau dapat diartikan sebagai
kebahagiaan. Akan tetapi, mengapa begitu banyak orang yang lupa akan arti cinta
yang sebenarnya. Mengapa orang-orang bermain cinta namun pada akhirnya ia
harus berkhianat juga. Setelah ia menyadarai bahwa apa yang ia perbuat itu
merupakan hal yang salah dan ia juga sudah mencoba untuk meminta maaf serta
ia juga berusaha untuk meminta kesempatan yang kedua tapi apalah daya bahwa
semuanya telah terjadi. Itu sudah menjadi resiko atas semua kesalahan-
kesalahannya bahwa ia harus rela kehilangan orang yang benar-benar
mencintainya apa adanya.
Ketika kita sudah menyadari rasa penyesalan yang amat dalam tersebut
barulah kita menyadari bahwa apa yang telah kita lakukan adalah kesalahan-
kesalahan yang telah kita perbuat. Apalagi kesalahan terhadap sang pencipta
maupun orang yang dikasihinya maupun terhadap dirinya sendiri. Dari uraian di
atas dapat disimpulkan bahwa rasa penyesalan itu letaknya di akhir, ketika kita
telah lupa siapa sebenarnya jati diri kita, dan kita lupa apa yang sebenarnya
menjadi tujuan kita. Karena kebajikan hidup yang sebenarnya adalah bersalah dari
rasa penyesalan dan kesalahan sehingga dapat menjadikan kita tegas dalam
memilih kebaikan. Dan dari kesalahan itulah kita dapat belajar dan menjadikan
kesalahan tersebut manjadi pelajaran hidup untuk kedepannya.
Dwi Marlinawati, lahir di Siak tanggal 22 Maret 2000, merupakan anak pertama
dari dua bersudara. Lulusan dari Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 1
Bungaraya jurusan Akuntansi dan melanjutkan pendidikan keperguruan tinggi di
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau program studi Pendidikan
Bahasa Indonesia (S1) Fakultas Tarbiyah dan Keguruan. Motto hidupnya adalah
“Hidup, Mati, Syurga”.