REFERAT Retinopati Serosa Sentral - Dr. Dr. Nofri Suriadi, SP.M

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 21

Referat

RETINOPATI SEROSA SENTRAL

Oleh:
Chaterine Salsabila Amanda
Herlinda Gustia P
Ike Fitri Andini
Lofina Mutia Dewi
Muhammad Rizki Pernadi
Novia Citra Dewi
Saleh Nur Azhari

Pembimbing :
Dr. dr. Nofri Suriadi, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RSUD ARIFIN ACHMAD PROVINSI RIAU
2020

1
BAB I

PENDAHULUAN

Retinopati serosa sentral / Central serous retinopathy/choroidopathy (CSR)

adalah suatu kelainan idiopatik pada bagian chorioretinal yang ditandai dengan

adanya pelepasan lapisan serosa pada bagian neural retina daerah makula. 1 Definisi

lain mengatakan retinopati serosa sentral atau korioretinopati serosa sentral adalah

sebuah penyakit dimana terdapat ablasio serosa retina neurosensorik sebagai akibat

dari kebocoran cairan setempat dari koriokapilaris melalui suatu defek di epitel

pigmen retina.2

Beberapa penelitian di Amerika Serikat mengatakan bahwa angka kejadian

CSR berada pada rasio 10:100000 pada laki-laki, dan CSR 6 kali lebih sering

terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan dan melaporkan umur rata-

rata penderita CSR antara 41-45 tahun. Pada wanita dengan CSR yang kronik

prevalensi puncak rata-rata umur penderita adalah usia 51 tahun.2

Faktor risiko CSR adalah penggunan kortikosteroid sistemik, personalitas

tipe A, kehamilan, dan cushing syndrome. Patofisiologi dari CSR masih belum

jelas sepenuhnya, tetapi diduga kelainan berada pada sirkulasi koroid dan pada

retinal pigment epithelium. Manifestasi penyakit ini adalah penglihatan kabur,

mikropsia, metamorfopsia, dan skotoma sentralis yang semuanya timbul

mendadak. Tajam penglihatan sering hanya berkurang secara moderat dan dapat

diperbaiki mendekati normal dengan koreksi hiperopia kecil.1

CSR merupakan self limited desease, tanpa pengobatan akan sembuh sendiri.

Obat yang diberikan hanya obat yang dapat mempercepat menutupnya lubang

2
kebocoran dilapisan epitel pigmen. Jika penderita belum sembuh, maka dilakukan

pengobatan dengan koagulasi sinar laser yang bertujuan untuk menutup lobang

kebocoran dilapisan epitel pigmen. Tujuan referat ini dibuat untuk menambah

pengetahuan dan memahami tentang central serous retinopathy.3

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Retina

Retina merupakan tunika terdalam dari lapisan bola mata. Retina

membentang dari papil optikus ke depan hapmir sama jauhnya dengan korpus

siliare dan berakhir di tepi ora serrata dengan luas permukaan sekitar 266 mm 2.

Retina paling tebal berada di daerah peripalillary (0,56 mm) dan tertipis di ora

serrata (0,1 mm). Papil optikus dan makula lutea merupakan dua bidang berbeda

yang berada pada kutub posterior retina, dapat diperiksa dengan indirek

biomikroskopi slit-lamp lensa +78 D dan +90 D dengan direk oftalmoskopi.4

Gambar 2.1 Anatomi Retina5

Papil optikus berwarna merah muda, berbatas tegas dengan bidang vertikal

berbentuk oval dengan diameter horizontal rata-rata 1,76 mm dan vertikal 1,88 m

serta terletak 3,4 mm ke arah nasal dari fovea. Papil optikus menjadi tempat

berakhirnya semua lapisan retina kecuali serabut saraf (1-1,2 juta) yang akan

melewati lamina cribrosa dan berlanjut menjadi nervus optikus. Depresi yang

4
terlihat pada papil optikus disebut physiological cup. Arteri dan vena retina sentral

muncul melalui bagian tengah cup ini. Akibat tidak adanya fotoreseptor (batang

dan kerucut), papil optik akan membentuk skotoma absolut pada lapang pandang

yang disebut bintik buta fisiologis.3,4

Makula lutea atau dikenal sebagai bintik kuning. Area ini relatif lebih

merah dibanding sekitarnya dan pada fundus terletak di temporal kutub posterior

dengan diameter sekitar 5,5 mm. Bagian depresi pada pusat makula disebut fovea

sentralis dengan diameter sekitar 1,5 mm dan merupakan area yang paling sensitif

dari retina. Fovea merupakan area dengan tajam penglihatan tertinggi karena

hanya berisi sel kerucut, pada tengahnya terdapat area yang bersinar yang disebut

foveola dengan diameter 0,35 mm. Area depresi kecil di tengah foveola disebut

umbo yang terlihat sebagai refleks foveal yang bersinar pada pemeriksaan fundus.

Ora serrata merupakan margin dengan tepi bergerigi tempat retina berakhir.

Pada area ini retina akan menempel sangat kuat dengan vitreous dan koroid.3

Retina terdiri dari sepuluh lapisan, tersusun dalam dua komponen

fungsional berbeda yaitu epitel pigmen dan retina neurosensori dan terdapat

potential space diantara keduanya.4

1. Epitel pigmen retina (retinal pigmented epithelium)

Lapisan ini merupakan lapisan terluar dari retina yang terdiri dari satu lapis sel

yang mengandung pigmen. Melekat kuat pada basal lamina koroid (membran

Bruch). Epitel pigmen memiliki fungsi metabolik terhadap retina neurosensori

seperti transportasi vitamin, mengurangi hamburan sinar, serta membentuk

sawar selektif antara koroid dan retina. Pada potential space antara epitel

pigmen dan retina neurosensori terdapat matriks interfotoreseptor (MIP).

5
2. Lapisan fotoreseptor batang dan kerucut (layer of rods and cones)

Sel batang dan sel kerucut adalah organ akhir penglihatan yang dikenal juga

sebagai fotoreseptor. Lapisan ini mengubah rangsangan cahaya menjadi suatu

impuls saraf yang dihantarkan oleh jaras-jaras penglihatan ke korteks

penglihatan oksipital. Pigmen fotosensitif sel batang disebut rhodopsin yang

bertanggung jawab pada lapang pandang perifer dan penglihatan pada

penerangan yang gelap (scotopic vision). Pigmen fotosensitif sel kerucut

disebut iodopsin yang dibagi menjadi tiga warna (merah, hijau, biru). Sel

kerucut menyajikan lapang pandang sentral dan penglihatan terang (photopic

vision).

3. Membran limitan eksterna (external limiting membrane)

Membran fenestrasi yang dilalui oleh jaras impuls dari sel batang dan sel

kerucut.

4. Lapisan nuklear luar (outer nuclear layer)

Lapisan ini terdapat inti dari sel batang dan sel kerucut.

5. Lapisan fleksiform luar (outer plexiform layer)

Lapisan ini terdapat sambungan antara spherules sel batang dan pedicles sel

kerucut dengan dendrit dari sel bipolar dan sel horizontal.

6. Lapisan nuklear dalam (inner nuclear layer)

Lapisan ini terutama diisi oleh badan sel bipolar. Selain itu juga terdapat badan

sel horizontal, amacrine dan sel Muller serta kapiler arteri retina sentralis.

7. Lapisan fleksiform dalam (inner plexiform layer)

Lapisan ini terdapat akson antara sel bipolar dan dendrit sel ganglion.

6
Gambar 2.2 Lapisan Retina6

8. Lapisan sel ganglion (ganglion cell layer)

Lapisan ini terutama disusun oleh badan sel ganglion (neuron urutan kedua

dari jaras visual). Sel ganglion terbagi dua jenis yaitu, sel ganglion kecil dan

sel ganglion polisinaps. Sel ganglion kecil berada di area makula dengan

masing-masing dendritnya akan bersinaps dengan satu akson sel bipolar. Sel

ganglion polisinaps berada di area retina perifer dan masing-masing akan

bersinaps dengan ratusan sel bipolar.

7
9. Lapisan serabut saraf (nerve fiber layer)

Lapisan ini disebut juga sebagai stratum optikum yang terdiri dari akson sel

ganglion dan akan melewati lamina cribosa menjadi nervus optikus.

10. Membran limitan interna (internal limiting membrane)

Lapisan ini adalah lapisan terdalam yang memisahkan retina dengan vitreous.

Lapisan ini dibentuk oleh penyatuan terminal dari serat Muller dan pada

dasarnya merupakan membran basal.

Empat lapisan terluar retina merupakan area avaskular yang mendapat

nutrisi dari sistem vascular koroid. Enam lapisan terdalam retina diperdarahi oleh

arteri retina sentralis cabang arteri oftalmika. Arteri retina sentralis keluar dari

tengah physiological cup dari papil optikus dan bercabang menjadi empat yaitu,

arteri nasal superior, temporal superior, nasal inferior, dan temporal inferior. Arteri

ini merupakan end arteries dan tidak memiliki anastomosis satu sama lain. Aliran

balik darah akan dibawa oleh vena retina sentralis ke sinus kavernosus dan

langsung ke vena oftalmika superior.3,4

2.2. Definisi

Retinopati serosa sentral / Central serous retinopathy/choroidopathy (CSR)

atau disebut juga dengan Korioretinopati serosa sentral yang pertama kali

diidentifikasi pada tahun 1866 oleh Von Graefe yang juga menyebutnya sebagai

penyakit Retinitis sentral berulang.7 CSR adalah kelainan yang ditandai dengan

pelepasan pigmen retina epitel (RPE) terkait dengan kebocoran cairan melalui RPE

ke ruang subretinal atau juga didefinisikan sebagai ablasi retina serosa dengan atau

8
tanpa pigmen epithelial detachment (PED) yang paling sering terlihat didaerah

makula.8,9

2.3 Epidemiologi

CSR paling sering menyerang pada usia dewasa muda yaitu kisaran 25 – 50

tahun, dimana jenis kelamin laki – laki lebih sering dibandingkan wanita dengan

perbandingan 6 : 1.7,9 Angka kekambuhan yang lebih tinggi juga terjadi pada jenis

kelamin laki – laki. Sebuah penelitian oleh Kitzman dkk menunjukkan angka

kejadian CSR 9,9 dari 100.000 pria dan 1,7 dari 100.000 wanita dalam penelitian

berbasis populasi yang di lakukan di Minnesota. Insiden CSR multifokal dan CSR

bilateral lebih sering terjadi pada oras Kaukasia, Asia dibandingkan dengan Afrika

dan Amerika.9

Faktor yang paling konsistensi penyebab CSR adalah penggunaan

glukokortikoid. Glukokortikoid terkadang digunakan dalam pengobatan CSR

tetapi dengan adanya penelitian tentang peningkatan kejadian CSR pada pengguna

steroid endogen seperti pada pasien dengan sindrom cushing, sehingga

penggunaan steroid harus dihindari.8 Faktor lain yang berperan dalam CSR adalah

kehamilan, konsumsi alkohol dan hipertensi yang tidak terkontrol.10

2.4 Etiologi

CSR merupakan kelainan yang bersifat idiopatik atau belum diketahui pasti

penyebabnya. Terdapat teori yang mengemukakan penyebab terjadinya kelainan

ini, yaitu berhubungan dengan adanya peningkatan hormon kortisol endogen pada

tubuh yang disebut hiperkortisolisme.8

9
Pemakaian glukokortikoid dan pasien dengan sindrom cushing berhubungan

dengan kejadian CSR karena menyebabkan terjadinya peningkatan sirkulasi

kortisol yang mempengaruhi autoregulasi sirkulasi koroid.8

Abnormalitas sirkulasi koroid juga dapat disebabkan oleh kehamilan, stres

dan penggunaan steroid yang menyebabkan terjadinya peningkatan kadar kortisol

pada plasma. Faktor risiko lainnya seperti kepribadian tipe A, hipertensi sistemik,

penggunaan antibiotik, konsumsi alkohol, penyakit pada saluran napas dan alergi

juga dapat menyebabkan terjadinya peningkatan kadar kortisol dalam tubuh.8

2.5. Patofisiologi

1. Hiperpermeabilitas koroid

Teori tentang CSR yang berkembang saat ini menekankan pada peranan

koroid. Pada CSR diasumsikan koroid mengalami hiperpermeabilitas yang

diakibatkan oleh stasis, iskemia atau proses infalamasi. Hiperpermeabilitas

pada koroid menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan hidrostatik jaringan

yang mendorong pembentukan pelepasan epitel pigmen retina (retinal pigment

epithelial detachments), mengganggu fungsi barrier pada epitel pigmen retina

dan menimbulkan akumulasi cairan antara retina dan epitel pigmen retina.8

2. Disfungsi epitel pigmen retina

Hilangnya sel epitel pigmen retina secara luas, hilangnya barrier dari epitel

pigmen retina dan disfungsi pada pompa koroid menyebabkan kebocoran pada

epitel pigmen retina dan dilihat sebagai penyebab utama timbulnya akumulasi

cairan subretinal.8

3. Faktor hormonal

10
Terdapat hubungan erat antara CSR dengan penggunaan glukokortikoid.

Glukokortikoid diketahui dapat mempengaruhi koroid, membran Bruch

ataupun epitel pigmen retina dengan cara autoregulasi pada vaskular koroid.

Hal tersebut menyebabkan gangguan transportasi air dan ion epitel sehingga

terjadi gangguan pada barrier epitel pigmen retina.8

2.6 Diagnosis

Diagnosis CSR adalah dengan anamnesis, pemeriksaan oftalmologi dan

pemeriksaan penunjang.

1. Anamnesis :

Pasien datang dengan gejala akut berupa kehilangan penglihatan di satu

mata, kehilangan saturasu warna dan hilangnya sensitivitas pada kontras.11

2. Pemeriksaan Oftalmologi :

a. Pemeriksaan tajam penglihatan (visus) : antara 20/20-20/80 dengan

koreksi lensa positif akan menjadi lebih terang.

b. Tes Amsler grid

Tes ini digunakan untuk mengevaluasi fungsi makula, yaitu dengan

cara pasien melihat dengan satu mata ke titik setral suatu gambaran

dengan kisi-kisi yang tersusun atas garus horizontal dan vertikal,

umumnya dengan warna putih dan latar belakang hitam. Saat

pemeriksaan ditanyakan pada pasien apakah dengan satu mata keempat

sudut terlihat, apakah garis yang terbentuk irreguler, atau tidak terlihat

dengan acuan satu titik tengah. Bentuk irreguler ini dapat dilaporkan

sebagai adanya gambaran bergelombang (metamorfopsia), terlihat

11
kelabu, kabur, maupun tidak terlihat (skotoma).12 Pada CSR biasanya

ditemukan metamorfopsia yang bersesuaian dengan daerah yang

terkena defek.13

A B

Gambar 2.3 Tes Amsler Grid: A. Normal;


B. Skotoma dan Metamorfopsia14

c. Funduskopi

Status oftalmologis diluar pemeriksaan funduskopi umumnya

berada dalam batas normal. Baik itu pemeriksaan mata luar dan

tekanan bola mata. Adapun pada pemeriksaan funduskopi

umumnya dapat ditemukan elevasi dari retina bagian sensoris

dengan bentuk oval atau bulat/pembengkakan berbatas tegas

pada makula serta cairan subretinal pada lesi awal atau presipitat

pada permukaan retina posterior.11 Dalam hal ini refleks makula

ditemukan menurun atau bahkan tidak ada.15

12
Gambar 2.4 Funduskopi pada CSR15

d. Biomikroskopi slitlamp

Perlu sekali dilakukan dalam meneggakan diagnosa dan

menyingkirkan penyebab lain lepasnya retina sensoris (misal

lubang diskus optikus, tumor koroid, dan membran neovaskular

subretina). Biomikroskopi menunjukkan retina sensoris yang

terlepas sebagai suatu yang transparan dengan ketebalan yang

normal. Terpisahnya retina sensoris yang terlepas tersebut dari

epitel retina yang mendasarinya dapat diketahui dengan

menandai bayangan semu diatas epitel pigmen retina oleh

pembuluh darah retina. Pada kasus tertentu presipitat kecil dapat

terlihat pada permukaan posterior retina sensoris yang terlepas.

Cairan subretina dapat jernih maupun keruh.11

3. Pemeriksaan penunjang

a. Fotografi fundus

Pada pole posterior akan nampak cairan serosa. Sedangkan

13
dalam bentuk kronis, banyak deposit kecil diamati antara RPE dan

retina. Karakteristik cairan subretinal kebanyakan jernih, namun

dapat terliha keruh pada kasus berulang atau atipikal yang

disebabkan oleh kehamilan dan penggunaan steroid.16

Gambar 2.5 Fotografi Fundus, Elevasi Cairan yang Jernih


dan Serous di Daerah Pusat16

b. Funduskopi angiografi

Funduskopi angiografi (FA) telah menjadi modal pencitraan

yang paling banyak digunakan untuk diagnosis penyakit retina. FA

menunjukkan satu atau lebih titik kebocoran khas pada RPE yang

diamati pada sekitar 95% dari semua pasien CSR. Titik bocornya

adalah terutama terletak di 500-1500 μm dari pusat fovea dan

10% kasus berada di daerah ekstrafoveal. Pola kebocoran

yang paling umum adalah pola“ink blot” yang dijelaskan oleh

tempat hiperfluoresen awal yang secara bertahap membesar. Pola

kebocoran kedua yang paling umum (7-25%) adalah  “ smoke stack

appearance” yang terbentuk saat pewarna masuk ke dalam ruang

subretinal dan naik secara vertikal ke titik tertinggi dan menyebar

14
secara lateral seperti payung atau jamur sampai seluruh area

detasemen terisi.16

Bentuk akut, kebanyakan kasus memiliki satu lokasi


kebocoran tunggal, jarang dua atau lebih. Sebaliknya, kasus CSR
kronis telah menghilangkan dekompensasi akibat kerapuhan
choroidal, yang berbeda dari perubahan fokal RPE CSR akut dan
menunjukkan kebocoran multifokal pada fase pertengahan dan
akhir sebagai tambalan dari hyperfluorescensi granular.16

c. Optical Coherence Tomography (OCT)

OCT merupakan pemeriksaan yang sangat akurat untuk

mendiagnosa CSR, terutama bila pemisahan lapisan retina yang

dangkal. Bahkan pada beberapa kasus dapat memperlihatkan titik

kebocoran. OCT juga dapat menunjukkan adanya elevasi bagian

neurosensoris dari retina serta ablasi, maupun defisit dari RPE. 13

Gambar 2.6 OCT pada CSR13

15
2.7 Tatalaksana

1. Medikamentosa

CSR merupakan self limited desease, tanpa pengobatan akan sembuh

sendiri. Obat yang diberikan pun hanya obat yang dapat mempercepat menutupnya

lubang kebocoran dilapisan epitel pigmen. Obat yang diberikan adalah vitamin

dalam dosis yang cukup.18 Penatalaksanaan CSR yang banyak dianut saat ini

adalah observasi selama 3-4 bulan sambil menunggu resolusi spontan. Biasanya

penyakit ini akan sembuh dalam waktu 8-12 minggu.17

Asetazolamid sebagai terapi pertama kali dikemukakan oleh Pikkel pada

tahun 2002. Percobaan ini didasarkan pada fakta bahwa asetazolamid terbukti

efektif untuk mengurangi edema makula yang disebabkan oleh tindakan operasi

dan berbagai kelainan intraocular lainnya. Penelitian pikkel ini membuktikan

asetazolamid dapat memperpendek waktu resolusi klinis, tetapi tidak berdampak

terhadap tajam penglihatan akhir dan rekurensi CSR.17

2. Non medikamentosa

a. Jika penderita belum sembuh, maka dilakukan pengobatan dengan

koagulasi sinar laser yang bertujuan untuk menutup lobang kebocoran

dilapisan epitel pigmen. Keuntungan melakukan koagulasi ini adalah

memperpendek perjalanan penyakit dan mengurangi kemungkinan

kekambuhan tetapi tidak berpengaruh terhadap tajam penglihatan

akhir.11,18

b. Fotokoagulasi laser Argon yang diarahkan kebagian yang bocor akan

secara bermakna mempersingkat durasi pelepasan retina sensorik dan

mempercepat pemulihan penglihatan sentral, tetapi tidak terdapat bukti

16
bahwa fotokoagulasi yang segera dilakukan akan menurunkan

kemungkinan gangguan penglihatn permanent. Walaupun penyulit

fotokoagulasi laser retina sedikit, terapi fotokoagulasi laser segera

sebaiknya tidak dianjurkan untuk semua pasien CSR. Lama dan letak

penyakit, keadaan mata yang lain, dan kebutuhan visual okupasional

merupakan factor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam

memutuskan pengobatan.3

c. Dalam menggunakan fotokagulasi laser, dilakukan dua sampai tiga kali

penyinaran tepat di sisi yang bocor, dengan ukuran titik sinarnya

adalah 200µm. dilakukan penyinaran selama 0,2 detik dan dengan

intensitas yang ringan untuk menghindari kerusakan RPE yang lebih

lanjut. Kontraindikasi pengobatan ini adalah bila sisi kebocorannya

dekat dengan FAZ atau tepat di bagian FAZ.13

Indikasi fotokoagulasi laser adalah: 17,18

o CSR yang berulang

o CSR sesudah 12 minggu belum membaik

o Visus semakin terganggu dan tidak bisa bekerja

o Defisit visual permanent pada mata disebelahnya

o Muncul tanda kronik seperti perubahan kistik pada retina sensorik

atau abnormalitas RPE yang luas.

17
2.8 Komplikasi

Komplikasi CSR yaitu:21

1. Atrofi retina

Atrofi retina disebabkan karena terjadinya dekompresi epitel pigmen retina

yang diberulang.

2. Ablasio retina

Sebuah laporan telah menyebutkan bahwa penggunaan kortikosteroid pada

retinopati serous sentral dapat menyebabkan pembentukan fibrin subretina

sehingga menyebabkan terjadinya ablasio retina bulosa akut.

3. Neovaskularisasi koroid

neovaskularisasi koroid biasanya terjadi pada tempat kebocoran dan bekas

laser.

2.9 Prognosis

CSR dapat sembuh sendiri, pada 90-95% kasus tajam penglihatan akan

sembali normal dalam beberapa bulan setelah cairan diresorpsi seluruhnya.

Beberapa pasien dengan kelainan visual mungkin akan tetap mengalami distorsi

visual meskipun setelah cairan menghilang. Sebanyak 20-30% kasus akan

mengalami kekambuhan dan telah dilaporkan adanya penyulit termasuk

neovaskularisasi subretina dan edema macula sistoid kronik pada pasien yang

sering mengalami kekambuhan.19,20

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Anna S. Kitzmann, Jose S. Pulido, William J. Wirostko. Central Serous

Chorioretinopathy. [book auth.] Jay S. Duker Myron Yanoff.

Ophthalmology. s.l. : Elsevier Inc, 2015.

2. Moestijab, Wimbo Sasono, M. Firmansjah. Central Serous

Chorioretinopathy (CSC/CSCR). [book auth.] Trisnowati Taib Saleh,

Moestijab, Eddyanto Sjamsu Budiono. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Mata.

Surabaya : Airlangga University Press, 2015.

3. Emily C. Fletcher, N. H. Victor Chong, Debra J. Shetlar. Retina. [book

auth.] John P. Whitcher Paul Riordan-Eva. Voughan & Asbury Oftalmologi

Umum. Ed 19th. : The McGraw-Hill Companies Inc, 2018.

4. Khurana A. Comprehensive Ophtalmology. 6th ed. India: New Age

International; 2015. p. 263-66.

5. Lang GK. Ophthalmology; A pocket textbook Atlas. 2th nd. New York:

Thieme.2006.p.299-302.

6. Tortora GJ and Derrickson B. Principles of anatomy and physiology. 12 th Ed.

USA: John Wiley & Sons, Inc. 2009.

7. Semeraro F, et al. Central Serous Chorioretinopathy: Pathogenesis and

Management. Clinical Ophthalmology. 2019;13:2341-52.

8. Nicholson B, Noble J, Forooghian F, Meyerle C. Central Serous

Chorioretinopathy: Update on Pathophysiologi and Treatment. Survey of

Ophthalmology, 2013;58(2):103-26.

19
9. Manayath GJ, et al. Central Serous Chorioretinopathy: Current update on

Pathophysiology and Multimodal imaging. Oman Journal Ophthalmology.

2018;11(2): 103-12.

10. Wati L, Budhiastra NM, Andayani A. The Characteristic of Central Serous

Chorioretinophaty Patients at Sanglah General Hospital Bali-Indonesia. Bali

Medical Journla (BMJ). 2012;1(2):82-7.

11. Ilyas sidarta,Yuliati sri. Ilmu penyakit mata edisi keempat. Badan

penerbit Fakultas kedokteran Universitas Tadulako.2014.Jakarta.

12. Artini W, Hutauruk JA, Yudisianil. Pemeriksaan Dasar Mata. Edisi

pertama. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2011.

13. Kanski JJ. Clinical Ophtalmology: A Systematic Approach. 7th ed;

Philadelphia: Saunders Elsevier. 2011.

14. Diakses di www.amslergrid.org

15. Agarwal A. Fundus Fluorescein and Indocyanine Green Angiography.

Thorofare: SLACK Inc; 2008.

16. Prakash Gunjan et al, 2013. Central serous Chorioretinopathy : A

review of the literature. Asia-pasific journal of Ophtalmology

volume 2, number 2.

17. Sengdy, Chandra Chauhari dr, Elvoiza dr. Ophtalmologica Indonesia, Jurnal

Of The Indonesian Ophtalmologist Association 2005. Dalam Karakteristik

Penderita dan Efektivitas Terapi Medikamentosa CSR. Volume 32. Hal 133-

139.

20
18. Pedoman Diagnosis Dan Terapi, RSUD Dokter Soetomo 1988. Dalam

Sentral Serous Retinopati. Lab/UPF Ilmu Penyakit Mata. FK Universitas

Airlangga. Surabaya . Hal 107-8.

19. Liegl R, Ulbig MW. Central serous chorioretinopathy. Ophthalmologica.

2014;232(2):65–76. doi:10.1159/000360014.

20. Newman NM, Neuro-Ofthalmology A Practical Text; appletion & lange;

Connecticut, 1992; Hal 85-6.

21. Theng Oh K. MD; Folk J. MD; Chorioretinopathy, Central Serous; artcle

avaible at: www.emedicine.com, madscape; Feb 16 2010.

21

Anda mungkin juga menyukai