Filsafat - DRIJARKARA MAKALAH

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

PENDIDIKAN MENURUT DRIJARKARA

Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas


Mata Kuliah Pengantar Filsafat Pendidikan
Dosen Pengampu: Drs. L. Hendrowibowo, M.Pd.
Dr. Shely Cathrin, S.Fil., M.Phil.

Disusun oleh:
Kelompok VIII PGSD 3 E
1. Maghfiroh Desi Nur Fitriany (17108241029)
2. Oktaviana Agilia Putri (17108241063)
3. An Nisa Ayu Budi Utami (17108241084)
4. Hanif Hermawan (17108241106)
5. Yuni Kurniawati (17108244080)

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN


UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat
dan karunia-Nya, sehingga makalah yang berjudul Pendidikan Menurut Drijarkara ini dapat
tersusun hingga selesai. Penyusunan makalah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak,
maka pada kesempatan ini penyusun menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Drs.
L. Hendrowibowo, M.Pd. dan Ibu Dr. Shely Cathrin, S.Fil., M.Phil. selaku dosen pengampu
mata kuliah Pengantar Filsafat Pendidikan.
Penyusun merasa bahwa dalam menyusun makalah ini masih menemui kesulitan dan
hambatan, di samping itu kami juga menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh
dari kata sempurna dan masih banyak kekurangan-kekurangan lainnnya, maka dari itu kami
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah
ini.
Harapan kami semoga makalah yang berjudul Pendidikan Menurut Drijarkara ini
dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi para pembaca. Terima kasih.

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan adalah tangga untuk mobilitas kelas. Bersama pendidikan manusia
mengubah nasibnya. Pendidikan juga merupakan sarana melatih kemampuan solidaritas
dan kepekaan sosial. Oleh karena itu, pendidikan dapat kembali kepada fitrahnya,
menjadi alat untuk memanusiakan manusia, melalui usaha sadar dan terencana.
Kesadaran menjadi hal penting dalam pendidikan agar manusia terlepas dari segala
bentuk penindasan yang berujung pada keterkungkungan.
Menurut N.Driyarkara (1980 : 69), pendidikan adalah proses pemanusiaan
manusia muda. Pendidikan harus membantu agar seseorang secara tahu dan mau
bertindak sebagai manusia dan bukan hanya secara instrinsik. Lebih lanjut pendidikan
hendaknya dipahami juga sebagai humanisasi, yaitu usaha agar seluruh sikap dan tindak
serta aneka kegiatan seseorang benar-benar bersifat manusiawi dan semakin manusiawi.
Driyarkara menyatakan pendidikan adalah fenomena yang fundamental atau azasi
dalam kehidupan manusia. Kita dapat mengatakan bahwa dimana ada kehidupan
manusia, bagaimanapun juga pasti ada pendidikan (Dwi Siswoyo, 2007: 28). Pendidikan
sebagai gejala universal, merupakan suatu keharusan bagi manusia, karena selain
pendidikan sebagai gejala sekaligus juga sebagai upaya memanusiakan manusia itu
sendiri. Dengan perkembangan kebudayaan manusia, timbullah tuntutan akan adanya
pendidikan yang terselenggara lebih baik, lebih teratur dan didasarkan atas pemikiran
yang matang (Dwi Siswoyo. 2007: 28). Sugihartono, dkk (2007: 3-4) menyatakan bahwa
pendidikan ialah suatu usaha yang dilakukan secara sadar dan sengaja untuk mengubah
tingkah laku manusia baik secara individu maupun kelompok untuk mendewasakan
manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kedudukan dan tujuan ilmu mendidik teoritis?
2. Bagaimana fenomena pendidikan?
3. Bagaimana kelebihan dan kekurangan menurut pandangan driyarkara ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui kedudukan dan tujuan ilmu mendidik teoritis.
2. Untuk mengetahui fenomena pendidikan.
3. Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan menurut pandangan driyarkara.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kedudukan dan Tujuan Ilmu Mendidik Teoritis


Ilmu mendidik teoritis adalah pandangan yang dipertanggungjawabkan secara
metodis dan sistematis atas fenomena atau gejala insani yang kita sebut pendidikan.
Timbulnya pandangan teoritis tentang pendidikan itu adalah sesuatu yang niscaya,
artinya sesuatu yang tidak bisa tidak terjadi, jika manusia berkembang lebih lanjut,
terutama jika manusia berkembang sampai ke taraf yang tinggi, dimana dia tidak lagi
hanya bertindak dengan pengertian biasa, yang tidak dipertanggungjawabkan.
Fenomena pendidikan ada melekat kepada manusia. Dimana ada manusia, disitu
ada pendidikan, jadi: juga dalam kalangan primitif. Hal ini kita tunjuk untuk lebih
menonjolkan adanya pendidikan yang tanpa teori. Yang dimaksud dengan masyarakat
primitif ialah masyarakat yang dimana kehidupan manusia lebih dekat dan terikat dengan
oleh alam maupun kodratnya sendiri. Disitu manusia baru sedikit mengatasi alam
maupun dirinya sendiri, keadaannya, kehidupannya serba terikat. Terhadap kejaidan-
kejadian pada dirinya sendiri, terhadap kejadian-kejadian alam, manusia primitif serba
menyerah, serba kalah. Dia kurang mengerti dan mampu mengatur alam dan hidupnya
sendiri. Yang perlu dikatakan disini ialah, bahwa dengan berkembangnya seluruh
masyarakat, akan berkembang juga pendidikan, akan berkembang juga pelaksanaannya
dan pikiran yang menjadi dasarnya.
Dimana hidup manusia berkembang dalam taraf kebudayaan yang lebih tinggi,
maka self-liberation itu terlaksana, pengertian-pengertiannya, teknik, dan saluran-saluran
hidup itu menjadi lebih komlpleks dan penuh komplikasi. Dengan gambaran yang
singkat ini kita hanya ingin mengemukakan, bahwa anak muda tidak dengan sendirinya
saja bisa memasuki alam yang penuh komplikasi itu. Generasi muda tidak hanya dengan
tumbuh saja bisa menjadi penyelenggara kebudayaan yang lebih tinggi dan menjadi
pelaksana self-liberation yang bertingkat-tingkat itu. Macam-macam keahlian
diperlukan, ada minimum pengertian yang diperlukan untuk menjadi aggota masyarakat
yang demikian itu. Maka sekolah dasar diharuskan supaya manusia bisa mempunyai
pengetahuan permulaan untuk ikut serta. Sesudah itu macam-macam spesifikasi training
diperlukan.
Nampaknya dengan semua ini yang ditunjuk hanya keharusan pembentukan
manusia-manusia yang berkeahlian. Tetapi tak terbatas dengan itulah maksud kita. Tak
mungkinlah kebudayaan yang tinggi tetap berkembang dan dipertahankan tanpa
pendidikan perwatakan, jadi: tak mungkin tanpa pendidikan manusia sebagai manusia.
Keahlian, kepandaian, ilmu pengetahuan semua itu tak mungkin diabaikan, tetapi yang
lebih tidak mungkin diabaikan ialah “manusia susila dan sempurna”. Tanpa manusia
susila tak mungkin ada demokrasi, ada negara teratur, ada ekonomi sehta, tak mungkin
ada teknik tinggi digunakan untuk kemakmuran bersama. “Pinter” tanpa kesusilaan
hanya akan menjadi “minteri” (menyalahgunakan kepandaiannya).
Dalam alam kebudayaan yang lebih tinggi segala-galanya dilaksanakan dengan
pengertian dan peraturan. Kehidupan teknik tidak mungkin dengan serampangan saja.
Produksi dan distribusi dijalankan berdasarkan rencana. Lalu lintas terselenggara di atas
jaringan jalan-jalan besar yang teratur dengan rapi, atau dengan menggunakan sistem
perjalanan udara dan kereta api, yang semuanya serba berencana. Dalam suasana yang
demikian itu tidak mungkin manusia tidak berpikir-pikir tentang penyelenggaraan hidup
manusia muda yang harus dimasukkan ke dalam alam kebudayaan yang serba ruwet itu.
Dengan demikian, timbullah. Pendidikan yang lebih terelenggara, yang lebih teratur dan
berdasarkan pemikiran.
Pemikiran tentang realitas yang kita sebut pendidikan (=mendidik dan dididik)
barulah bersifat ilmiah, jika pemikiran itu bersifat kritis, metodis, dan sistematis.
Rumusan ini berlaku baik untuk pemikiran dalam arti aktivitas manusia, maupun untuk
pemikiran dalam arti hasil dari aktivitas itu. Kritis berarti bahwa orang tidak menerima
saja apa yang ditangkap atau muncul dalam benaknya; semua pernyataan, semua afirmasi
harus mempunyai dasar yang cukup. Barangsiapa bersikap kritis, tentu ingin mengerti
betul-betul (tidak hanya membeo!), ingin menyelami sesuatu dengan seluk-belukya dan
dasar-dasarnya. Metodis berarti bahwa dalam proses berpikir dan menyelidiki itu orang
menggunakan suatu cara yang tertentu. Cara yang serampangan, berjalan tanpa logika,
melalaikan ketetapan, semua itu sebaliknyalah dari pikiran ilmiah. Sistematis berarti
bahwa pemikir ilmiah dalam prosesnya itu dijiwai oleh suatu idea yang menyeluruh dan
menyatukan, sehingga pikiran-pikirannya dan pendapat-pendapatnya tidak tanpa
hubungan, melainkan merupakan keasatuan. Tentu saja semua ini sedapat mungkin dan
menuntut tabiat dari macam-macam ilmu pengetahuan yang bersangkutan.

B. Fenomena Pendidikan
Dalam bagian Fenomena Pendidikan Driyarkara menulis tentang pendirian-
pendiriannya mengenai pendidikan: bahwa pendidikan merupakan kegiatan sadar untuk
memanusiakan manusia muda, yang dia sebut sebagai “hominisasi dan humanisasi”.
Untuk itu, berikut ini akan diuraikan ringkasan pemaparan Driyarkara mengenai
Fenomena Pendidikan. Pertama-tama akan diberikan uraian Driyarkara tentang
pendidikan sebagai aktivitas fundamental. Kemudian disusul dengan gambaran dasar
pendidikan, yang akan menjadi latar bagi pendirian Driyarkara bahwa pendidikan
merupakan pemanusiaan manusia muda, atau dengan kata lain hominisasi dan
humanisasi. Berikutnya akan dilanjutkan dengan penjelasannya mengenai bapak, ibu dan
anak sebagai Bhineka-Tunggal dan struktur (kesatuan) pendidikan. Dan pada akhirnya
diberikan penegasan Driyarkara mengenai definisi Pendidikan.

1. Pendidikan sebagai Aktivitas Fundamental


Driyarkara menyebutkan, dalam menyusun ilmu pendidikan, yang pertama
kali harus dilakukan adalah mencari tahu apa itu fenomena pendidikan. Secara
etimologi, phainomenon berarti sesuatu yang tampak. Dalam hal itu, Driyarkara
mempertegas fenomena bukanlah hanya apa yang tampak di hadapan mata, melainkan
di hadapan manusia; di hadapan budi, jiwa, serta pribadinya. Lalu seperti apakah
fenomena pendidikan itu? Menurut Driyarkara, tidak ada satu perbuatan pun yang an
sich sudah berupa pendidikan. Kenyataan tersebut tidak menurunkan makna
pendidikan, karena justru semua perbuatan bisa dijadikan pendidikan. Pendidikan
tidak dapat dibatasi dalam perbuatan tertentu.
Perbuatan menjadi pendidikan karena diberi arti tertentu, yaitu membawa anak
ke taraf insani. Perbuatan mendidik sama dengan perbuatan manusia yang sifatnya
mendalam dan tidak terikat pada bentuk tertentu. Sama halnya dengan cinta kasih
antara suami-istri. Dalam perbuatan manusia arti tidak hanya diberikan, melainkan
juga dibuat. Karena dibuat, maka harus ada bahannya, yang dimaksud adalah bahwa
kompleks keadaan atau situasi secara potensial sudah harus mengandung arti itu.
Manusia tidak hanya memberi arti; arti itu juga diambil. Arti yang dibangun oleh
manusia itu berupa kemungkinan dalam situasi yang dihadapinya. Jadi jika hari ini
perbuatan tertentu merupakan penjelmaan, lalu di hari lain mungkin saja sebaliknya.
Menurut Driyarakara, perbuatan fundamental terkait dengan perbuatan yang
menyentuh akar kehidupan sehingga mengubah dan menentukan hidup manusia.
Perbuatan fundamental itu keluar dari sikap fundamental, seperti sikap moral, sosial,
atau religi. Sikap fundamental mengubah, menentukan, membangun hidup manusia,
baik hidupnya sendiri maupun hidup sesama. Sikap ini berdasarkan kodrat manusia
sendiri sehingga manusia dalam hal ini saling mengangkat; menyebabkan kita saling
terhubung dan membuat berbagai macam kesatuan dalam hidup kita. Oleh karena itu,
bagi Driyarakara perbuatan mendidik merupakan perbuatan fundamental, yang
mengubah dan menentukan hidup manusia.

2. Gambaran Dasar Dari Pendidikan


Bagi Driyarkara, sangat mungkin bahwa bila orang yang berpikir tentang
pendidikan dan mencari sesuatu yang lebih dalam hanya sampai ke satu hal yang
biasa disebut pergaulan. Namun, Driyarkara menegaskan bahwa tidak setiap
pergaulan antara setiap orang dewasa dan anak bersifat mendidik. Tetapi justru
pergaulan antara pendidik dan anak didik yang sekalipun tanpa pikiran mendidik,
pada dasarnya bersifat mendidik. Driyarkara di sini ingin mempertanyakan; Apakah
arti perbuatan mendidik?
Melalui pergaulan, pendidik memimpin si anak dalam eksplorasinya untuk
menemukan yang disebut Driyarkara sebagai dunia manusia. Dalam gejala pendidikan
terdapat hubungan timbal balik antara pendidik dan anak didik, yang bisa disebut
pendidikan. Perbuatan mendidik, seperti perbuatan-perbuatan lain merupakan
penjelmaan dari sesuatu. Sesuatu yang menjelmakan pendidikan itu bisa disebut
dengan jiwa pendidikan atau gambaran dasar dari pendidikan. Dalam hal ini,
Driyarkara menjelaskan arti dari perbuatan mendidik ialah bahwa dengan tindakannya
itu pendidikan hendak memanusiakan manusia muda. Jadi, eidos atau ide pokok
perbuatan mendidik: pemanusiaan manusia muda. Itulah gambaran dari setiap
perbuatan mendidik.

3. Pendidikan sebagai Hominisasi dan Humanisasi


Hominisasi artinya penjadian manusia. Tetapi bukan hominisasi inilah yang
dimaksud disini. Hominisasi yang sedang kita bicarakan ini terjadi pada tiap-tiap
manusia, sejak timbulnya sampai akhir hidupnya. Akan tetapi siapa yang akan
meyangkal, bahwa hidup dalam kandungnan ibu, yang baru mulai itu sedang dalam
proses penjadian, sehingga lambat-laun mendapat bentuk manusia dalam proporsi
kecil dan akhirnya lahir sebagai bayi? Dan setelah berupa bayi, namun belum bisa
bertindak sebagai manusia. Dia bertumbuh, berporses, dan hanya dengan lambat-laun
dia sampai ke kemanusiaannya. Manusia bukanlah sebagai makhluk biologis,
melainkan seorang pribadi, seorang person, seorang subyek, artinya: mengerti diri,
menempatkan diri dalam situasinya, mengambil sikap dan menentukan dirinya;
nasibnya ada di tangannya sendiri. Itulah puncak dari proses yang selalu terjadi pada
kita.
Hominisasi tidak pernah terpisah dari humanisasi. Tingkat humanisasi adalah
tingkat kebudayaan yang (lebih) tinggi. Manusia itu mengangkat alam menjadi alam
manusaiwi. Tanah menjadi ladang, tumbuh-tumbuhan menjaditanaman, barang-barag
menjadi alatnya, rumahnya, pakaiannya.

4. Ayah, Ibu, dan Anak sebagai Bhineka-Tunggal


Seluruh pendidikan bisa disebut perwujudan dalam dua arti: pertama,
pendidikan sebagai keseluruhan berisi banyak wujud. Mirip dengan kata perkebunan
atau perbukitan. Kedua, perwujudan juga berarti pelaksanaan yang konkret. Istilah
perwujudan digunakan Driyarkara untuk menunjuk bentuk pokok yang memuat
semua bentuk, yaitu hidup bersama atau kesatuan hidup di mana anak terkandung di
dalamnya (bukan hanya secara biologis, tetapi juga dikandung dalam keluarga,
sehingga menjadi manusia paripurna). Kesatuan hidup antara orang tua dan keturunan
itu merupakan perwujudan dan tempat utama serta primer dari pendidikan. Dalam hal
ini, Driyarkara tidak setuju dengan konsep negara dari Plato. Baginya, kandungan ibu
hanya dapat dilanjutkan dengan kandungan keluarga.
Bagi Driyarkara, kesatuan hidup terwujud nyata terutama dalam perkawinan.
Perkawinan adalah pelaksanaan cinta kasih dalam kesatuan hidup. Cinta kasih itu
antara dua pribadi yang sama tingginya, derajatnya, haknya. Dua pribadi menjadi
satu; dua aku menjadi kita. Itulah ideal perkawinan. Dalam kesatuan hidup lalu
muncullah keturunan. Kesatuan cinta kasih, selain biologis, juga merupakan kesatuan
jasmani-rohani. Anak manusia itu tidak hanya lahir dari badan, melainkan juga “lahir
dari jiwa”. Karena terdapat anak, kesatuan itu menjadi lebih erat. Kesatuan hidup ini
dapat disebut Bhinneka Tunggal atau tritunggal karena ketiganya merupakan
konfigurasi tersendiri. Jadi hubungan bapak, ibu dan anak merupakan relasi Bhineka
Tunggal, tempat perwujudan primer dari pendidikan.
Dalam perwujudan primer pendidikan dalam kesatuan hidup tersebut,
kebapakan itu berupa relasi (hubungan), sikap dan pelaksanaan sikap. Menurut
Driyarkara, bila pria menerima kebapakannya, belum tentu ia berhasil menjadi bapak.
Dalam kebapakan terdapat berbagai variasi keadaan (Tergantung watak, pandangan,
dan sikap hidup). Dalam hal ini, pria memandang anak sebagai pelaksanaan impian-
impiannya. Dia merasa lahir dan hidup kembali dalam diri anaknya. Bapak
mengidentifikasikan dirinya dengan si anak, juga mengidentifikasikan anak dengan
dirinya; dengan cita-citanya. Semuanya dialami dalam kesatuannya dengan si anak.
Sebelum ada anak, suami tidak sendiri karena sudah se-Aku dengan istri. Sesudah ada
anak, maka termuatlah dia. Bapak mengakui dan menerima anak itu dalam kesatuan
dengan istri. Bapak telah menunjukkan cinta kasih; ingin memanusiakan anak.
Misalnya dengan pemberian nama anak. Bapak memasukkan anak ke dalam
kehidupan (baik jasmani maupun rohani). Memasukkan itu untuk “melahirkan”;
membuat anak itu lambat laun menjadi manusia paripurna. Proses kelahiran itulah
yang disebut pendidikan.
Berbeda dengan Bapak, bagi Driyarkara, Ibu tidak perlu mengakui dan
menerima. Sejak awal anak sudah dirasakan sebagai buah dirinya (bukan hanya buah
badan). Saat lahir, anak “lebih terkandung” karena kelemahan si anak tampak jelas
oleh ibunya. Hidup anak masih terus diselenggarakan oleh ibunya. Ibu selalu
mengalami anak dalam perspektif atau pandangan ke depan. Semua perbuatannya
didasarkan atas pandangan itu; dalam kesemuanya itu sang ibu ingin membesarkan
anak. Yang termuat dalam kesatuan ibu-anak adalah kehendak untuk memanusiakan
si anak. Kehendak itu menjelma menjadi berbagai macam perbuatan yang jelas
tujuannya yakni, memanusiakan.
Dalam perwujudan primer pendidikan dalam kesatuan hidup dari sudut anak,
menurut Driyarkara, terdapat skema dasar dari seluruh keadaan dan kehidupan anak,
yaitu Geborgenheit dan partisipasi. Yang pertama, Geborgenheit (secara harfiah:
tersimpan, tersembunyi) adalah kondisi yang menjamin hidup dan perkembangan.
Contoh konkritnya, anak saat dalam kandungan ibunya dalam keadaan yang lengkap
dan serba terjamin. Geborgenheit dalam hidup anak bervariasi. Kalau anak sudah
besar; sudah mengerti keadaan orang tuanya, maka dalam keadaan menderita, anak
bisa juga menangkap kesukaran orang tuanya. Dari sudut anak, ada keadaan tidak
berdaya. Dari sudut orang tua, dengan sendirinya terdapat rasa yang menyebabkan
orang tua menyelenggarakan segala-galanya. Rasa kebapakan dan keibuan
mendorong orang tua untuk memberi keadaan serba terjamin dalam Geborgenheit.
Rasa itu tidak cukup. Rasa bisa membawa berbagai macam tindakan keliru, yang
tidak sesuai dengan kepentingan anak. Rasa dan kecenderungan harus juga
“dimanusiakan” (dihayati dan dilaksanakan secara manusia, dengan pikiran). Bisa
disebut bahwa orang tua memberi keadaan serba terjamin, tetapi dapat juga dikatakan
bahwa bapak dan ibu adalah Geborgenheit itu. Geborgenheit menyuburkan atau
menumbuhkan manusia. Di samping itu ada partisipasi. Partisipasi (participate atau
participation) berarti mempunyai bagian, atau lebih tepatnya ikut serta. Orang tua
mengikutsertakan anak dalam kehidupan; anak diperlakukan sebagai manusia. Hal ini
nampak ketika anak belajar bahasa, juga dengan berpartisipasi. Dalam hal ini, orang
tua memandang dan mengalami anak sebagai manusia yang sedang dalam proses
penjadian. Dengan menerima anak sebagai kesatuan mereka, itu berarti orang tua
mengikutsertakan si anak dalam hidup mereka. Lambat laun anak menjalankan
kehidupan manusia. Anak akan terbuka dan “bertemu” dengan ibunya: dari hati ke
hati; seperti dua manusia yang berada dalam cinta suci. Cinta tersebut suci, sejati, dan
luhur (manusia tidak diobjekkan; manusia bertemu dengan manusia; pribadi dengan
pribadi.) Di sinilah terwujud Liebende Wirheit: dua pribadi bersatu, tapi tidak
kehilangan diri sendiri. Sebaliknya, justru dalam bersatu itu masing-masing lebih
mempribadi. Dalam “kekitaan” yang penuh cinta itu, anak mengalami bahwa dunia
manusia itu spasial (terbentang, ada di sini, ada di sana) dan temporal (ada sekarang,
ada nanti).

5. Struktur Pendidikan
a. Pendahuluan
Sebelum kita menyelidiki, apakah pendidikan itu merupakan suatu realitas,
baiklah kita ingatlah terlebih dahulu bahwa ada perbedaan antara kesatuan dari
barang buatan dan dari barang hidup. Kesatuan barang buatan, misalnya arloji,
adalah lebih nampak bagi kita. Tetapi hal itu tidak berarti, bahwa kesatuan buatan
itu lebih sempurna. Kesatuan buatan datangnya tidak dari dalam, melainkan dari
luar. Sebaliknya, kesatuan makhluk hidup itu dari dalam. Makhluk hidup
mengkonstruir kesatuannya sendiri. Dan kalau mengalami kerusakan, akan
mencoba memulihkan sendiri, sedangkan jam rusak akan tinggal rusak. Kesatuan
hidup tidak bisa kita selami sepenuhnya, justru karena lebih tingginya itu.
Mengingat kenyataan ini, maka tidak perlu heranlah kita, jika kurang melihat
kesatuan pendidikan. Pendidikan adalah pertumbuhan suatu makhluk hidup, dan
makhluk ini adalah manusia. Tak mungkinlah pertumbuhan ini kita perhitungkan
dan kita tentukan sebelumnya dengan pasti. Selamanya mendidik itu berupa
vivere pericoloso, seperti seluruh hidup manusia. Sebab itu tidak mungkin
dipaksa-paksa dalam suatu sistem yang tertentu dan tepat. Sebab itu kita juga
tidak melihat sistem dalam pendidikan keluarga. Janganlah dicari suatu kesatuan
teknis dan ekanis. Dengan mengingat batas-batas ini maka kita bisa mencoba
menemukan kesatuan dalam pendidikan.
b. Hidup Bersama dan Kesadaran Pendidikan
Kesatuan tri-tunggal keluarga seperti halnya dengan tiap-tiap kesatuan
manusia, mempunyai dua unsur. Yang satu ialah unsur batin, unsur kejiwaan atau
unsur rohani. Unsur ini adalah cinta kasih. Dimana unsur ini tidak ada, maka
meskipun nampaknya ada kesatuan, sebetulnya keadaannya cerai-berai. Unsur
yang lain adaah unsur lahir atau jasmani. Menurut unsur ini maka kesatuan
manusia terikat oleh ruang dan waktu, artinya kesatuan itu terlaksana dalam
bentu-bentuk tertentu, seperti berkumpul, berdiam dalam satu rumah, dsb.
Dimana kesatuan yang nampak itu tidak terlaksana, maka kesatuan akan hilang
juga. Tentu saja kesatuan tidak berarti, bahwa anggota-anggotanya harus selalu
bersama-sama. Dengan demikian, batas-batas kesatuan tri-tunggal keluarga itu
dimana cinta rusak, maka rusaklah juga kesatuan. Kesatuan bisa berkurang
tindakan-tindakan yang salah, tetapi belum hancur.
Jika dilihat melalui kesatuan atau hidup bersama tri-tunggal keluarga, maka
bagaimanakah pendidikan nampak kepada kita? Pendidikan adalah hidup
bersama yang memanusiakan manusia muda. Atau (jika dipandang dari anak):
hdup bersama, dimana anak me-manusia sebagai anak, untuk lambat-laun bisa
me-manusia sebagai manusia purnawan.
c. Nilai-nilai dan Struktur Pendidikan
 Nilai Medial (Sarana):
i. Nilai vital, yakni barang-barang yang bisa menyelenggarakan,
mempertahankan dan memperkembangkan hidup manusia, menurut
aspek kejasmaniannya. Contoh: pakaian, perumahan, obat-obatan.
ii. Nilai estetik, yaitu nilai keindahan yang bisa membuat manusia menjadi
bahagia dengan mengalami barang-barang yang bagus, indah.
 Nilai Final (Kesempurnaan):
i. Nilai moral
ii. Nilai keagamaan
Jadi, mendidik berarti memasukkan anak ke dalam alam nilai-nilai,
atau juga: memasukkan dunia nilai-nilai ke dalam jiwa anak.

6. Definisi Pendidikan
Rumusan yang pertama, ialah bahwa pendidikan adalah hidup bersama
dalam kesatuan tri-tunggal ayah-ibu-anak, dimana terjadi pe-manusia-an anak,
dengan mana dia berproses untuk akhirnya me-manusia sendiri sebagai manusia
purnawan. Pe-manusia-an disini mempunyai dua arti, hal itu sudah dikatakan di atas
bahwa pe-manusia-an terjadi dalam dan dengan hidup bersama, yakni hidup bersama
ayah-ibu-anak. Bagian yang terakhir menyinggung tujuan pendidikan. Kata “dengan
mana” tersebut memberi kesan bahwa pe-manusia-an itu seolah-olah merupakan alat
proses. Sebetulnya bukan itulah yang dimaksud. Kita boleh mengatakan demikian.
Tetapi sebetulnya pe-manusia-an itulah yang merupakan proses. Proses itu akan
berakhir, jika anak sudah bisa me-manusia sendiri sebagai manusia purnawan.
Rumusan yang kedua kita ambil dari kenyataan, bahwa pendidikan berarti
pemasukan anak ke dalam alam budaya, atau juga masuknya alam budaya ke dalam
anak. Pemasukan ini menunjuk aktivitas baik dari pendidik maupun dari anak.
Demikian juga kebudayaan tidak akan masuk ke dalam anak, kalau anak tidak
memsaukkannya sendiri. Jadi, pendidikan adalah hidup bersa,a dalam kesatuan tri-
tunggal, ayah-ibu-anak,dimana terjadi pembudayaan anak, dengan mana dia
berproses untukakhirnya bisa membudaya sendiri sebagai manusia purnawan.
Rumusan yang ketiga adalah berdasarkan pandangan tentang nilai-nilai. Sudah
dinyatakan, bahwa hidup manusia itu sekalipun sangat primitif tentulah merupakan
pelaksanaan nilai-nilai. Makan dan minum, tidur dan kerja, bergaul dan bersenda
gurau, menangis dan bersuka ria, kesemuanya itu merupakan pelaksanaan nilai-nilai.
Maka berdasarkan pemikiran ini pendidikan adalah: hidup bersama dalam kesatuan
tri-tunggal ayah-ibu-anak, dimana terjadi pelaksanaan nilai-nilai, dengan mana dia
berproses untuk akhirnya bisa melaksanakan sendiri sebagai manusia purnawan.

7. Relevansi Pemikiran Driyarkara tentang Pendidikan


Perubahan yang digambarkan secara sederhana di atas berlangsung dalam
jumlah besar-besaran dan dinamika yang jauh lebih kaya warna serta nuansa daripada
yang dapat digambarkan di sini. Dari deskripsi tersebut dapatlah digarisbawahi
sebuah kondisi muktahir yang bersifat global yang menjadi konteks masa kini bagi
lembaga dan watak pendidikan tinggi di Indonesia. Gambaran di atas juga sekaligus
menjadi sebuah peringatan bagi dunia pendidikan Indonesia, juga secara umum bagi
masyarakat Indonesia dalam usahanya memanusiakan “manusia Indonesia”.
Terkait dengan itu, kiranya pemikiran Driyarkara mengenai pendidikan bisa
dijadikan suatu sarana refleksikan bagi pendidikan (terutama formal dalam institusi
pendidikan) dalam masa sekarang, agar arah dan tujuan pendidikan tidak bergeser ke
pengejaran gambaran manusia yang tidak fundamental.
Driyarkara sebenarnya, dalam tulisan-tulisannya mengenai pendidikan, sudah
mengantisipasi perubahan yang digambarkan di atas. “Dalam abad teknik ini”, tulis
Driyarkara, “bisa saja orang hanya memburu kecakapan kerja dan bukan
perkembangan manusia. Maka, dengan memasukkan anak sekolah, misalnya orang
tua belum tentu perbuatannya itu utuh sebagai perbuatan mendidik karena dirongrong
oleh konsep yang salah.”[10] Dalam pernyataan tersebut, kiranya Driyarakara ingin
menunjukkan suatu kekeliruan dalam mengejar gambaran manusia yang cakap untuk
bekerja dan mendapatkan uang, jadi bukan gambaran manusia yang sebenarnya. Jadi
dalam memperkembangkan manusia muda dalam lapangan pengertian menurut
Driyarkara harus sesuai dengan kodrat manusia.
Jelaslah bahwa bagi Driyarkara pendidikan merupakan kegiatan sadar untuk
memanusiakan manusia muda, atau juga disebut hominisasi dan humanisasi. Melalui
hominisasi, manusia masuk dalam lingkup hidup manusiawi secara minimal. Setelah
masuk dalam lingkup manusiawi dengan memenuhi kodratnya yang niscaya,
pendidikan selanjutnya memanusiakan manusia secara khusus dalam proses
humanisasi. Dalam humanisasi manusia berproses dan berkembang untuk bisa meraih
perkembangan yang lebih tinggi. Dalam hal ini, manusia turun tangan dalam
mengangkat alam menjadi alam manusiawi. Alam manusiawi ini disebut Driyarkara
sebagai kebudayaan dalam arti luas.
Dalam pemikiran mengenai pendidikan tersebut, Driyarkara menguraikan
bahwa mendidik itu termasuk dalam kategori aktivitas fundamental. Karena
merupakan aktivitas fundamental, antara pendidikan, mencakup mendidik dan
dididik, dengan pelaksanaannya yang konkret terdapat perbedaan. Hal yang serupa
terjadi dalam cinta dan bentunknya yang konkret. Jadi, perbuatan mendidik adalah
penjelmaan dari sesuatu, seperti pemberian hadiah atau cincin merupakan penjelmaan
dari cinta. Seperti cinta yang menjelma dalam berbagai macam bentuk, demikian juga
sesuatu yang menjelma dalam perbuatan mendidik itu bisa menjelma dalam berbagai
aktivitas yang bersifat mendidik. Sesuatu itu bagi Driyarkara disebut jiwa pendidikan
atau gambaran dasar dari pendidikan. Jiwa pendidikan tersebut niscaya merupakan
pemanusiaan manusia muda. Arti dari perbuatan mendidik ialah bahwa dengan
tindakannya itu pendidikan (hendak) memanusiakan manusia muda. Pengangkatan
manusia ke taraf insani. Itulah gambaran manusia yang menjelma dalam semua
perbuatan mendidik, yang jumlah dan macamnya tidak terhitung.
Gambaran Driyarakara tentang pendidikan sebagai suatu aktifitas
fundamental, pemanusiaan manusia muda kiranya merupakan suatu antisipasi yang
efektif untuk meredam kecenderungan industrialisasi pendidikan. Berhadapan dengan
gejala makro yang terutama efeknya paling terasa dalam dunia pendidikan formal,
pemikiran Driyarkara kiranya dapat mencegah pendidikan yang berorientasikan
gambaran manusia yang tidak fundamental. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa
hukum pasar yang berlaku diantara para pesaing industri pendidikan pada tingkat
global dapat mengarahkan pendidikan yang berorientasi pragmatis. Sesuai dengan
hukum penawaran-permintaan, pendidikan hanya didasarkan pada aspek ekonomi.
Pendidikan hadir sebagai toko-serba-ada yang menyediakan barang bagi kehidupan
global. Pendidikan (formal) pada masa ini, dengan demikian, rentan terhadap
kecenderungan pragmatis yang berorientasikan nilai pasar, atau dengan kata lain tidak
fundamental. Pendidikan cenderung mengarahkan anak-didik kepada gambaran
manusia yang cakap untuk bekerja dan mendapatkan uang, jadi bukan gambaran
manusia yang sebenarnya.

C. Kelebihan dan kekurangan menurut pandangan Driyarkara


1. Kelebihan pandangan Driyarkara
1. Menekankan pada proses humanisasi atau pemanusiaan manusia muda. Hal
ini didasrkan pada pandangan Driyarkara yang menyebutkan bahwa
pendidikan adalah pengangkatan manusia muda ke taraf insani (Driyarkara,
1991:80).
2. Menekankan pada pendidikan keluarga. Sebagaimana disebutkan Driyarkara
(1991:129) bahwa pendidikan adalah hidup bersama dalam kesatuan tri
tunggal: ayah, ibu, dan anak, di mana terjadi pemanusiaan anak dengan dia
berproses untuk akhirnya memanusiakan sendiri sebagai manusia purnawan.
3. Menekankan pada pendidikan nilai. Hal ini didasarkan pada anggapan yang
menyebutkan bahwa pendidikan merupakan pengajaran dan pelaksanaan
nilai-nilai (Driyarkara, 1991:116).

2. Kekurangan pandangan Driyarkara


1. Keluarga sangat berperan sentral, sehingga baik-buruknya anak sangat
bergantung pada keluarga.
2. Menganggap sekolah sebagai tempat pendidikan yang kurang penting, karena
lebih menekankan pada pendidikan keluarga dan sekolah dinomor duakan.
3. Tidak adanya kurikulum pembelajaran yang jelas, sehingga sangat sulit untuk
diterapkan dalam pendidikan.
4. Tidak bisa diaplikasikan dalam semua jenjang pendidikan. Sebab
pandangannya lebih cocok diaplikasikan pada jenjang pendidikan dasar.
5. Membutuhkan banyak pengorbanan dari orang tua, karena harus terus
menerus memberikan pendidikan kepada anaknya.
BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
1. Pendidikan adalah hidup bersama dalam kesatuan tri-tunggal ayah-ibu-anak,
dimana terjadi pe-manusia-an anak, dengan mana dia berproses untuk akhirnya
me-manusia sendiri sebagai manusia purnawan.
2. Pendidikan berarti pemasukan anak ke dalam alam budaya, atau juga masuknya
alam budaya ke dalam anak.
3. Rumusan yang ketiga adalah berdasarkan pandangan tentang nilai-nilai. Sudah
dinyatakan, bahwa hidup manusia itu sekalipun sangat primitif tentulah
merupakan pelaksanaan nilai-nilai.
4. Mendidik merupakan perbuatan fundamental yang bertujuan mengubah,
menentukan, dan membentuk hidup manusia. Perbuatan mendidik tersebut adalah
pemanusiaan manusia muda dalam arti hominisasi dan humanisasi.
5. Perwujudan yang primer dan fundamental dari pendidikan atau atau kegiatan
mendidik termuat dalam kesatuan hidup tritunggal bapak-ibuanak dimana terjadi
tiga peristiwa penting pendidikan, yaitu pemanusiaan anak, pembudayaan anak,
dan pelaksanaan nilai-nilai.
DAFTAR PUSTAKA

Driyarkara. 1980. Driyarkara Tentang Pendidikan. Yogyakarta : Yayasan Kanisius.


https://www.driyarkara.ac.id/index.php/component/k2/item/55-biografi-singkat-prof-
dr-n-driyarkara-sj

Anda mungkin juga menyukai