Mentahan Sastra

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 5

1.

Dalam materi Krisis Sastra Indonesia terdapat beberapa pandangan :


– Sebuah simposium tentang kesusastraan Indonesia di Amsterdam.
Disini pertama kali dibicarakan tentang “Impasse” (kemacetan) dan
“krisis sastra Indonesia sebagai akibat dari gagalnya revolusi
Indonesia”.
– Soedjatmoko melihat krisis sastra sebagai akibat dari krisis
kepemimpinan politik. Ia lebih lanjut mengatakan bahwa sastra
Indonesia sedang mengalami krisis karena yang ditulis hanya cerpen-
cerpen kecil bukan roman-roman besar.
– Nugroho Notosusanto, S.M. Ardan, Boejoeng Saleh, dan lain-lain
secara tandas dengan bukti-bukti yang sukar untuk dibantah menolak
penamaan “krisis sastra”. Menurut mereka sastra Indonesia sedang
hidup dengan subur.
– H.B. Jassin dalam simposium sastra mengemukakan prasaran yang
secara tandas diberinya judul : “Kesusustraan Indonesia Moderen Tidak
Ada Krisis”, dengan bukti dokumentasinya lengkap.
– Sitor Situmorang mengemukakan pendapatnya bahwa yang ada
bukan krisis sastra, melainkan krisis menilai ukuran sastra.

Pada periode tahun 1953-1961 Sastra Indonesia mengalami krisis hal


ini mungkin dikarenakan karya sastra yang terbit pada masa itu hanya
berupa sajak, cerpen dan karangan-karangan yang tidak begitu panjang
sehingga hanya dimuat dalam majalah. Sehingga pada periode ini lahir
istilah sastra majalah. Majalah – majalah yang eksis pada masa ini
antara lain Gelanggang atau Siasat, Mimbar Indonesia, Zhenit, dan
majalah Kisah.
Periode 1953 – 1961 sastra Indonesia nampaknya sedang mencari jati
diri dan sekaligus menonjolkan penilaian kembali terhadap warisan
leluhur.
Pada masa ini terjadi pergolakan ideologi, dan pencarian konsep-
konsep sastra. Berbagai gejala yang menandakan pergolakan itu antara
lain terbitnya Surat Kepercayaan Gelanggang tahun 1949, munculnya
organisasi kebudayaan bentukan partai, seperti Lekra, Lesbumi, LKN di
tahun 1960-an; pasang surut majalah sastra seperti Kisah, Sastra,
cerpen; kasus pengadilan cerpen Langit Makin Mendung karya Ki
Panjikusmin, campur tangan kekuatan politik, pelarangan Manifes
Kebudayaan, dan sebagainya.
Perkembangan dan pergulatan sastra selama kurun 1950-1961 hilang
dari dunia pelajaran di sekolah maupun di kurikulum-kurikulum
universitas. Yang sangat jelas ialah bahwa dalam spektrum
perkembangan sastra dan budaya aliran Soekarnois dan alirian radikal
kiri hilang sama sekali. Dan memang hilang bukan tetap dipelajari dan
kemudian dikritisi melalui paradigma Orde Baru. Bukan. Hilang. Tidak
diterbitkan, tidak dijual. Tidak dibaca.
Sitor Situmorang dan Pramoedya Ananta Toer, misalnya, hilang dari
dunia bacaan selama Orde Baru – dan banyak lagi pengarang yang
karyanya tidak boleh diterbitkan.
Hal inilah salah satu penyebab terjadinya krisis sastra karena sastra
yang bernilai tidak boleh diterbitkan dan dilarang diedarkan oleh
pemerintah orde baru.
ada angkatan ini muncul gerakan komunis dikalangan sastrawan, yang
bergabung dalam Lembaga Kebudayaaan Rakyat (Lekra) yang
berkonsep sastra realisme-sosialis. Timbullah perpecahan dan polemik
yang berkepanjangan diantara kalangan sastrawan di Indonesia pada
awal tahun 1960; menyebabkan mandegnya perkembangan sastra
karena masuk kedalam politik praktis dan berakhir pada tahun 1965
dengan pecahnya G30S/PKI di Indonesia.

Di Jakarta, pada bulan April 1952 diselenggarakan sebuah


simposium tentang “Kesulitan-kesulitan Zaman Peralihan Sekarang”
dalam simposium itu dilontarkan istilah “Krisis Akhlak”, “Krisis Ekonomi”
dan berbagai krisis lainnya. Tahun 1953 di Amsterdam diselenggarakan
simposium tentang kesusastraan Indonesia antara lain berbicara dalam
simposium itu Asrul Sani, Sultan Takdir Ali Sjahbana, Prof. Dr. Werthim
dan lain-lain. Disinilah untuk pertama kali dibicarakan tentang “Impasse
(kemacetan) dan “krisis sastra Indonesia” sebagai akibat dari gagalnya
revolusi Indonesia, tetapi persoalan tentang krisis baru menjadi bahan
pembicaraan yang ramai ketika terbit majalah konfrontasi pada
pertengahan tahun 1954.
Nomor pertama majalah ini memuat essay Soejatmako berjudul
“Mengapa konfrontasi” dalam karangan ini secara tandas dikatakan oleh
penulisnya bahwa sastra penulisnya sedang mengalami krisis.
Soejatmoko mengatakan bahwa sastra Indonesia sedang mengalami
krisis karena yang ditulis hanya cerpen-cerpen kecil yang “berlingkar
sekitar psikologisme perseorangan semata-mata” roman-roman besar
tak ada ditulis. Karangan Soejatmoko ini mendapat reaksi hebat,
terutama dari kalangan sastrawan sendiri seperti : Nugroho
Notosusanto, S.M. Ardan, Boejong Saleh, dan lain-lain.
Begitu pula H.B. Jassin dalam simposium sastra mengemukakan
sebuah prosaran yang diberinya judul “Kesusastraan Indonesia Modern
tidak ada krisis” dengan bukti-bukti dari dokumentasi yang lengkap,
Jassin pun menolak sebutan adanya krisis maupun impasse dalam
kehidupan sastra Indonesia. Dalam tulisan berjudul “Situasi 1954” yang
ditujukan kepada sahabatnya Ramadhan K.H, Nugroho Notosusanto
mencoba mencari latar belakang timbulnya penamaan “Impasse sastra
Indonesia” yang bagi dia tidak lebih hanya sebuah “Mite”. Menurut
Nugroho asal timbulnya mite itu ialah pesimisme yang berjangkit dari
kalangan orang-orang tertentu pada masa sesudah kedaulatan. Kecuali
itu Nogroho pun melihat kemungkinan bahwa golongan “Old Cracks”
angkatan 1945 pada sekitar tahun 1945 mengalami masa keemasan,
pada masa sesudah tahun 1950 mengalami kemunduran.
Sitor Sitomurang dalam sebuah tulisannya yang berjudul “Krisis”
H.B Jassin dalam majalah Mimbar Indonesia mengemukakan
pendapatnya bahwa yang ada bukanlah krisis sastra melainkan krisis
ukuran menilai sastra. Sitor berkesimpulan bahwa krisis yang terjadi
ialah krisis dalam diri Jassin sendiri karena ukurannya tidak matang.
2. Penamaan atau pemberian nama ''.Angkatan 66" pertama kali
dikemukakan oleh H.B. Jassin dalam artikelnya berjudul Angkatan '66;
Bangkitnya Satu Generasi, dimuat dalam majalah Horison, Agustus
1966; kemudian dimuat kembali dalam bunga rampainya berjudul
Angkatan '66: Prosa dan Puisi terbitan Gunung Agung, 1968. Nama ini
dipakai sebagai kelanjutan Angkatan 45 yang dipelopori oleh Chairil
Anwar.
Menurut H.B. Jassin ciri-ciri karya sastra Angkatan 66 ialah: mempunyai
konsepsi Pancasila, menggemakan protes social dan politik dan
membawa kesadaran nurani manusia yang bertahun-tahun mengalarni
kezaliman dan perkosaan terhadap kebenaran dan rasa keadilan serta
kesadaran akan moral dan agama. Para pengarang yang termasuk
''.Angkatan '66, katanya ialah mereka yang tatkala tahun 1945 berumur
kira-kira 6 tahun dan baru masuk sekolah rakyat, jadi mereka yang
tahun 1966 kira-kira berumur 25 tahun. Mereka inilah yang telah giat
menulis dalam majalah-majalah sastra dan kebudayaan sekitar tahun
55-an, seperti Kisen, Siasat, Mimbar Indonesia, Budaya, Indonesia,
Konfrontasi, Tjerita, Prose, Sastra, Basis, dan lain-lain.
Dikemukakan juga, bahwa yang termasuk pengarang Angkatan '66
bukan hanya mereka yang baru menulis sajak-sajak perlawanan pada
permulaan tahun 1966, tetapi juga yang telah tampil beberapa tahun
sebelumnya dengan suatu kesadaran, Kurang lebih ada 30 orang
pengarang yang tergolong angkatan ini, antara lain A Bastari Asnin, NH
Dini, AA Navis, Bur Rasuanto, Ajip Rosidi, Gerson Poyk, Thsnoyuwono,
Satyagraha Hoerip, Mansur Sarnin, Subagio Sastrowardojo, Sapardi
Djoko Damono, WS Rendra, Tuufiq Ismail, Gunawan Mohammad,
Slamet Sukirnanto, Umar Kayam, dan lain-lainnya, Beberapa kumpulan
puisi dan cerpen yang dinilai dan dianggap sebagai tonggak munculnya
Angkatan '66 ialah: Tirani dan Benteng (kumpulan sajak karya Taufiq
Ismail), Mereka Tolah Bangkit karya Bur Rasuanto, dan Perlawanan
karya Mansur Samin. Nama ini juga secara khusus diberikan kepada
penulis sajak-sajak perlawanan yang muncul pada awal tahun 1966. Di
antaranya adalah Ajip Rosidi, W.S. Rendra, Yusach Ananda, Bastari
Asnin, Goenawan Mohammad, dan Taufiq Ismail.
Aoh K. Haclimadja membicarakan angkatan ini melalui tulisannya yang
berjudul Daerah dan Angkatan 66 dalam Horison (Februari, 1967).

Hans Bague Jassin (1917-2000) bukan hanya kritikus dan dokumentator sastra. Dia adalah satu-
satunya kritikus-dan-dokumentator di tanah air kita. Dalam dirinya amalan kritik dan dokumentasi
tidak terpisahkan. H.B. Jassin bukan hanya seseorang, tapi sebuah lembaga, yang seringkali identik
dengan sastra Indonesia itu sendiri.

Dalam menegakkan kerja kritik-dan-dokumentasi tersebut, Jassin justru bertolak dari hal mendasar,
yaitu hasrat akan sastra�dan besaran hasrat atau kecintaan tak dimiliki oleh siapapun selain Jassin
sendiri. Demikianlah yang ditekankan oleh dua pembicara, Bagus Takwin (penulis filsafat, pengulas
sastra) dan Agus R. Sarjono (penyair dan redaktur sastra) dalam diskusi membahas karya dan
pemikiran Jassin di Freedom Institute, 22 September 2011.

Menurut Bagus Takwin, Jassin terus menerus merasa, berpikir dan bertindak untuk kesusastraan.
Jassin terus berusaha menggiatkan mentalnya untuk berfungsi menghasilkan tindakan-tindakan
sastra. Ia terus menerus memberi perhatian kepada sastra dan melibatkan dirinya dengan sastra.

Cara kerja Jassin memang lebih mengandalkan intuisi (atau dalam sebutannya: perasaan), fungsi
mental yang memberikan pengetahuan dan petunjuk tindakan tanpa melalui observasi penalaran
terlebih dahulu. Dengan intuisi Jassin justru mengenali daya pikat sastra.

Dalam memperjuangkan kemajuan sastra, Jassin mengambil risiko dan mau menanggung
konsekuensi dari perjuangannya. Untuk membela sastra, ia siap diadili dan dihukum. Ia berani
mengambil posisi yang tegas dan bertahan dari gempuran pihak-pihak yang tak setuju dengan
sikapnya.

Pembelaan Jassin yang terang-benderang terhadap cerpen �Langit Makin Mendung� (1968) dan
novel Belenggu (1940-an) Armijn Pane menunjukkan bahwa sang kritikus sanggup melawan
�masyarakat umum� dan menerima risiko sangat tinggi demi menegakkan kebebasan berkreasi
dan budaya tulisan.

Jassin, menurut Takwin, menyadari betapa sebuah perubahan yang berarti dalam masyarakat
membutuhkan usaha keras dalam waktu lama. Kerja membaca, mengkritik dan mendokumentasikan
sastra Jassin berlangsung selama enam dekade.

Hasrat yang bertahan lama, mengimplikasikan adanya citra ideal atau horison sastra universal yang
memanggil terus. Dokumentasi sastranya yang meraksasa itu�yang dicita-citakannya menjadi
�dokumentasi sastra dunia��pada dasarnya adalah �alat� Jassin untuk mengerjakan kritik
sastra. Kegiatan dokumentasi menjadi media berpikir bagi Jassin. Pada Jassin, demikianlah menurut
Bagus Takwin, kerangka pikir itu adalah intuisinya tentang citra sastra ideal dan semesta sastra.

Anda mungkin juga menyukai