Sejarah Pietisme Final
Sejarah Pietisme Final
Sejarah Pietisme Final
Pendahuluan
Krisis yang dialami gereja pada masa abad pertengahan memicu munculnya
keprihatinan yang mendorong banyak orang untuk memperbaiki atau mereformasi gereja
yang sudah dicemari oleh pihak-pihak yang memiliki moral yang sangat buruk, sehingga dari
sinilah muncul suatu pembaharuan terhadap kebudayaan yang disebut dengan Renaissance
(=kelahiran kembali). Pada masa ini juga terjadi penyebaran kekristenan yang melampaui
batas-batas geografis yang meskipun pada dasarnya yang menjadi tujuan utamanya adalah
untuk menemukan daerah-daerah baru dan untuk memperluas daerah kekuasaan bagi orang-
orang Eropa.1
Setelah itu gerakan reformasi Martin Luther mencoba mereformasi gereja dengan
pernyataan-pernyataannya sebagai penolakan atas praktik-praktik keagamaan yang tidak
benar yang dilakukan kalangan Roma Katolik meskipun pada dasarnya diajukan Luther
bukan sesuatu yang baru bagi gereja karena tidak semua yang ada di gereja Katolik ditentang
olehnya. Luther menolak bahwa gereja berhak menentukan tafsir Alkitab yang benar dengan
ukuran tradisi gereja dan anggapan bahwa manusia dapat diselamatkan dengan sakramen-
sakramen serta perbuatan baik. Maka Luther mengemukakan untuk menjawab dua
pernyataan tersebut yaitu dengan pernyataan sola scriptura, sola gratia, dan sola fide.2 Di sisi
lain dari gerakan reformasi tersebut tidak tampak secara nyata akan adanya gerakan
pekabaran Injil. Tetapi hal ini hanya dapat terlihat tentang bagaimana seriusnya Luther di
dalam mengajarkan akan pemahaman dari sola scriptura-nya melalui pengajaran kuliah dan
penterjemahan Perjanjian Baru dan sebagian Perjanjian Lama ke dalam bahasa Jerman.
Setelah masa reformasi ini, muncul kembali satu kegerakan atas ketidakpuasan
terhadap Lutheranisme yang dinamakan dengan kaum Pietisme. Untuk itu di dalam makalah
ini, kelompok akan mencoba memfokuskan pokok pembahasan yang dimulai dari bagaimana
sejarah Pietisme, kemudian membahas akan pengaruh dari Pietisme ini khususnya terhadap
kebangkitan kesadaran missiologis Gereja Barat.
1
1. Dr.C.de Jonge, Pembimbing Ke Dalam Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,1996), 71.
2
2. Jonge, Pembimbing Ke Dalam Sejarah Gereja. 73.
1
II. Sejarah Pietisme.
Sekitar pertengahan abad ke-17 didapati bahwa ada sesuatu yang tidak beres di dalam
ajaran Lutheran. Pada masa itu terjadilah pembaptisan terhadap semua warga negara
Lutheran ketika masih dalam keadaaan bayi, dan mereka dianggap telah “lahir kembali”,
sehingga dengan demikian nampaklah semua warga negeri-negeri Lutheran telah menjadi
Kristen. 3 Namun meskipun semua hal tersebut dilakukan pada akhirnya muncullah satu
permasalahan, bahwa kendatipun mereka telah menjadi anggota gereja dan dididik dalam
ajaran Luther, kondisi iman mereka masih mengalami kemiskinan. Di samping itu, sebagai
akibat dari konsep Luther imamat am orang percaya maka terjadilah hal-hal yang tidak
diinginkan, dimana gereja dan sebagian besar pendeta-pendeta Lutheran dikuasai oleh raja-
raja. Mimbar-mimbar gereja dijadikan media untuk menyampaikan keinginan raja, sehingga
para pendeta tidak saja melayani Allah, tetapi juga mereka harus melayani raja. Akibatnya
Lutheran saat itu kehilangan suara, dan tidak bereaksi terhadap kemelaratan umat serta
kepincangan-kepincangan sosial.4
Peperangan selama tiga puluh tahun (1618-1648) telah menandai perubahan itu,
dalam masa bangkit dari perjuangan itu akhirnya gerakan Pietisme dalam bentuk penginjilan
yang hebat muncul. Peperangan tiga puluh tahun itu adalah perjuangan besar terakhir Eropa
atas agama, dengan selesainya perang itu kaum katolik Roma dan kaum Lutheran
bermusuhan, ironisnya, mereka justru telah melupakan pokok permasalahan simbolis yang
menyebabkan mereka berperang. Para tentara korban perang dijarah dan dihancurkan di
Eropa Utara, dan sepuluh juta dari enam belas juta penduduk Jerman itu dibunuh. Seluruh
kota dihancurkan, dan hampir tidak ada satupun yang dibiarkan tanpa cedera; anak-anak
yatim piatu menjelajahi hutan dalam gerombolan seperti binatang liar. Kehidupan religius
dan intelektual mengalami stagnasi.5 Inilah sebuah perang dengan latar belakang agama,
tetapi ternyata menghancurkan semua nilai-nilai agama. Budaya manusia hancur, moral
merosot, dan banyak gedung gereja yang ditutup. Perang ini diakhiri dengan Perjanjian
Munster pada tahun 1648, tetapi akibat perang itu dalam semua bidang kehidupan ternyata
sangat fatal. Banyak desa-desa yang musnah, rumah-rumah dan kebun dibakar. Penyakit
merajalela, uang kehilangan nilainya, sadisme ditemukan di mana-mana, mabuk-mabukan
dan pelacuran adalah hal yang biasa.6
3
3. Tony Lane, Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran Kristen. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 142.
4
4. Leonard Hale, Jujur Terhadap Pietisme. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), 110-111.
5
5. Clyde L. Manschreck, Editor. A History of Christianity. Volume 2 The Church from the
Reformation to the Present. (Michigan: Baker Book House Grand Rapids, 1981),263-264.
6
Hale, Jujur Terhadap Pietisme, 5.
2
Di tengah-tengah kemerosotan moral dan kemelaratan akibat Perang Tiga Puluh
Tahun, gereja-gereja Lutheran tidak mempunyai sarana untuk mengisi atau mengatasi
keadaan itu. Karena waktu mereka hanya dihabiskan untuk debat-debat dan polemik
menyangkut agama, maka wajar kalau ada semacam kekosongan di kalangan umat, seperti
kebutuhan untuk hidup saleh, bermoral, lahir baru, pertobatan dan lain-lain.7 Oleh karena itu,
pada saat-saat inilah Pietisme muncul.
Pietisme adalah sebuah gerakan di lingkungan Lutheranisme, dimana ini bermula
sebagai reaksi atau bentuk protes terhadap kebiasaan zaman ketika itu, yang hanya
memikirkan hal-hal remeh dari ajaran Lutheran. Pietisme adalah gerakan yang mencoba
untuk fokus pada kesucian individu dan kehidupan Kristen yang konsisten.
Gerakan pietisme merupakan reaksi kompleks dari kekuatan masyarakat yang
ditandai sebuah masa peralihan di dalam peradaban Barat dari paham religius ke paham
sekuler. Pada tahun 1650-1800, muncul sebuah perhimpunan di mana agama dianggap
hanyalah salah satu dari begitu banyak kepentingan. Gerakan Pietisme, dalam memprotes
perkembangan ini, adalah dengan menegaskan kembali kekuatan dan pengaruh Kekristenan
untuk mengubah kehidupan manusia, menyelamatkan gereja dari kemerosotan yang mampu
mengakibatkan kejatuhan gereja, dan menunda datangnya barisan paham sekuler yang akan
merajalela.8
Dengan demikian Jerman telah menjadi persemaian yang cukup subur untuk benih-
benih Pietisme. Setelah Luther meninggal dunia, tidak lagi ditemukan tokoh-tokoh Lutheran
yang setenar Luther atau Melanchthon. Secara umum bisa dikatakan, tidak ada lagi tokoh-
tokoh yang mampu mempertahankan semangat dan jiwa Lutheran. Ajaran-ajaran Luther
dipertahankan dan dijaga dengan baik, tetapi penekanan atau titik berat ajaran mulai bergeser.
Tokoh-tokoh Lutheran pada waktu itu lebih menekankan hal yang formal dari ajaran Luther,
dan debat-debat dogmatis yang tidak menyentuh kebutuhan praktis.9
Pada waktu itu tumbuh kelompok-kelompok orang yang hidup saleh (Collegia
Pietatis), dan menjamur dalam gereja-gereja Lutheran. Menurut penilaian pada waktu itu,
kesalehan mereka terlalu berlebihan dan dituduh farisi oleh masyarakat. Kelompok-kelompok
orang yang hidup saleh atau collegia Pietatis sebenarnya bukan kelompok-kelompok yang
terlalu eksklusif. Sejak tahun 1669, kelompok ini untuk pertama kali didirikan oleh Spener
(tokoh pertama Pietisme) dalam rangka memberi arti dan memanfaatkan kehidupan orang-
7
Hale, Jujur Terhadap Pietisme, 7.
8
Manschreck, Editor. A History of Christianity. Volume 2 The Church from the Reformation to the
Present, 263-264
9
9. Hale, Jujur Terhadap Pietisme, 7-8.
3
orang Kristen. Kegiatan collegia Pietatis kemudian berkembang, mereka tidak saja berdiskusi
tentang kesalehan, tetapi diskusi itu juga diikuti oleh petunjuk-petunjuk praktis, sesuai
dengan kekhasan Pietisme dikemudian hari.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa kelompok-kelompok saleh atau collegia
Pietatis adalah perwujudan usaha untuk memperbaiki keadaan masyarakat dan gereja.10
Beberapa hal yang ditekankan dalam aliran Pietisme adalah:11
a. Kesalehan batin perseorangan. Setiap orang harus sadar akan segala dosanya yang
ujungnya akan menuju kebinasaaan, supaya dengan kesadaran ini dapat membuat
orang bergumul sehingga akhirnya menuju ke pertobatan sejati kepada Sang Juru
Selamat karena tidak berguna jika dibaptis namun kelakuan kita tidak mencerminkan
kerohanian kita.
b. Praktek kesalehan dalam hidup sehari-hari. Seorang Kristen wajib memperlihatkan
imannya dengan buah hasil iman itu. Sehingga dengan penerapan ini, kaum Pietis
bersikap negatif terhadap dunia karena bagi mereka semua kesenangan dan keramaian
masyarakat banyak mengandung dosa. Kemudian Pietisme gampang sekali bersifat
moralistis dan Pietisme juga bersifat eskhatologis. Mereka memandang bumi sebagai
lembah air mata dan tempat iblis merajalela. Sebab itu orang Pietisme sangat
mengharapkan kedatangan Tuhan dengan segera, agar persekutuan rohani mereka
dengan Yesus boleh menjadi sempurna dan berlangsung untuk selama-lamanya.
10
. Hale, Jujur Terhadap Pietisme, 4-6.
11
. Berkhof & Enklaar, Sejarah Gereja, 244-245.
4
Berlin serta menjadi pendeta disana pada tahun 1691, kemudian tepat pada tahun 1705 ia
meninggal.12
Spener menetapkan tujuannya dalam sebuah manifesto untuk pembaruan secara
pietistis berjudul Pia Desideria (Hasrat Kudus) yang diterbitkan pada tahun 1675. Hasrat
Kudus atau cita–cita saleh terdiri dari tiga bagian utama.
Adapun isi dari 3 pokok penting dari Pia Desideria adalah:13
1. Bagian pertama menyangkut kondisi korup di dalam gereja.
Dalam bagian ini Spener mengecam para petinggi masa itu yang menggunakan kekuasaan
mereka untuk mengatur dan mengendalikan gereja. Kemudian Spener juga mengecam
para pendeta – pendeta Protestan karena semua pelayanan mereka hanya dilaksanakan
secara lahiriah dan memiliki makna yang sangat dangkal. Spener menekankan bahwa
setiap pelayan Tuhan harus mengalami lahir baru. Terakhir Spener juga mengecam orang
banyak atau masyarakat Kristen yang telah kehilangan citra kasih sehingga hanya
menjadi batu sandungan bagi orang lain.
2. Bagian kedua dari Pia Desideria sebenarnya melukiskan tentang harapan perbaikan
gereja. Menurutnya keadaan gereja yang rusak pasti bisa dipulihkan kembali dengan
bersandar pada janji Allah dan bukan mengandalkan kemampuan manusia. Dan ia
memiliki harapan yang besar bahwa gereja mampu bekerja keras untuk bisa ideal seperti
jemaat mula-mula.
3. Bagian ketiga dari Pia Desideria adalah usul-usul pembaharuan yang diajukan oleh
Spener yang terdiri dari 6 proposal. Berikut adalah isi dari 6 proposal tersebut:
a. Suatu penggunaan firman Allah yang lebih luas.
b. Penegakan dan pelatihan secara tekun bagi kependetaan secara spiritual.
c. Kebutuhan untuk mengajar orang-orang bahwa tidak cukup hanya memiliki
pengetahuan tentang iman Kristen, karena kekristenan itu lebih kepada praktek.
d. Kita harus berhati-hati bagaimana tingkah laku kita dalam kontroversi-kontroversi
keagamaan dengan orang-orang belum percaya dan bidat-bidat.
e. Bahwa kepengurusan pelayanan harus ditempati oleh orang-orang yang di atas
rata-rata, mereka adalah Kristen sejati dan memiliki kebijaksanaan ilahi untuk
membimbing yang lain ke jalan Tuhan.
12
. Tony Lane, Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 142-
143.
13
. Hale, Jujur Terhadap Pietisme, 19-21.
5
f. Khotbah harus disiapkan dengan harapan bahwa semua tujuan mereka (iman dan
buahnya) dapat dicapai ketika mendengarkan dengan tingkat persetujuan yang
tertinggi.14
Maksud Spener menuliskan program pembaharuan ini adalah bukan untuk
memisahkan diri dari gereja. Harapan Spener dengan munculnya Collegia Pietatis adalah
akan munculnya ecclesiola in ecclesia, yang menjadi sarana dimana gereja dapat menghayati
kembali persekutuannya yang mula-mula. Spener sebenarnya tidak bermaksud memisahkan
orang Kristen yang benar dan orang Kristen yang lain. Kelompok ini dimaksudkan untuk
menjadi salah satu unsur penting dalam “Reformasi yang baru.” Pandangan-pandangan
Spener ini sangat dilawan oleh banyak pemimpin gereja, tetapi disetujui dan digemari oleh
banyak orang. Oleh karena pengaruh Spener, sekolah tinggi baru di Halle mendapat suatu
fakultas teologi yang guru besarnya semua orang Pietis. Pada masa itu, Pietisme yang
dikembangkan Spener membawa dampak yang cukup besar bagi orang-orang di berbagai
tempat.15
14
. Tony Lane. The Lion Christian Classics Collection. (England: Lion Hudson plc, 2004), 332.
15
. http://id.wikipedia.org/wiki/Philip_Jacob_Spener, diakses tanggal, 3 November 2011.
16
. Hale, Jujur Terhadap Pietisme, 29.
17
. Paulus Daun, Sejarah Gereja Pasca Reformasi, (Manado: Yayasan Daun Family, 2007), 211-212.
6
pekerjaan sosial itu berkembang menjadi “lembaga-lembaga Halle” yang mahsyur setelah
mendapat tunjangan dari luar. Ada empat macam sekolah yang didirikan Francke. Pertama,
The Paedagogium, yaitu sekolah khusus bagi anak-anak bangsawan. Kedua, sekolah Latin,
sekolah yang menyiapkan anak-anak untuk masuk universitas menjadi pengacara, dokter,
teolog dan pedagang. Ketiga, sekolah Jerman, di mana anak-anak dari rakyat biasa dapat
belajar di sini. Keempat, sekolah bagi mereka yang miskin dengan biaya gratis. Bagi Francke
sendiri, lembaga-lembaga yang didirikannya itu hanya sekedar alat saja, karena tujuan
utamanya adalah agar anak-anak tersebut dipersiapkan untuk menjadi penginjil. Selama abad
ke-18, sebanyak 60 orang murid Francke menjadi pekabar-pekabar Injil di Asia dan
Amerika.18
Disamping itu Francke juga mendirikan sebuah perkumpulan untuk menyebarkan
Alkitab yang dijual dengan harga yang amat murah. Francke menginsafkan anggota-anggota
gereja bahwa Tuhan mengutus mereka untuk masuk ke dalam masyarakat umum untuk
memberitakan keselamatan kepada segenap rakyat dan untuk mencari yang hilang.
Demikianlah Francke menjadi perintis bagi “pekabaran Injil di dalam negeri.”19
Dalam buku Sejarah Gereja, penulis H. Berkhof juga mencatatkan pengaruh Francke yang
lain.
“Juga untuk pekabaran Injil di luar negeri, Halle mempunyai arti yang besar, tatkala
raja Denmark membutuhkan utusan-utusan Injil untuk daerah jajahannya di India,
yakni Tranquebar di pantai Tenggara, pada tahun 1706, ia dapat memakai tenaga
dua orang muda (Ziegenbalg dan Plutschau), yang telah dididik oleh Francke.
Pekerjaan itu segera berkembang dan Halle menjadi pangkalan segala usaha
Pekabaran Injil Jerman-Denmark di India.”20
Francke adalah murid dari Philip Jakob Spener, sang pencetus gerakan Pietisme. Karya-karya
sosial milik Francke banyak menjadi acuan John Wesley dan kalangan Metodis dalam
mengembangkan Kekristenan. Dari Halle, Pietisme menyebar ke seluruh dunia termasuk ke
Amerika, sehingga secara langsung juga mempunyai banyak andil dalam Gerakan
Kebangunan Rohani.21
18
. http://id.wikipedia.org/wiki/August_Hermann_Francke , diakses, 5 November 2011.
19
. Berkhof & Enklaar, Sejarah Gereja, 247.
20
. Berkhof & Enklaar, Sejarah Gereja, 248.
21
. http://id.wikipedia.org/wiki/August_Hermann_Francke, diakses, 5 November 2011.
7
III. Pengaruh Pietisme dalam kebangkitan kesadaran missiologis Gereja Barat.
Sejak aliran ini muncul, ada berbagai dampak yang muncul dalam sejarah
perkembangan gereja. Disatu sisi aliran ini membawa dampak yang positif dan di sisi lain
aliran ini membawa dampak yang negatif. Adapun dampak- dampak dari aliran Pietisme ini
adalah:22
A. Dampak Positifnya, yaitu:
1. Adanya Pekabaran injil yang dilakukan dalam rangka harapan kedatangan kerajaan Allah.
2. Pekabaran injil yang dilakukan bersifat oikumenis, dimana ajaran yang dipegang sesuai
dengan Alkitab.
3. Pusat hidup adalah firman Tuhan.
4. Setia kepada Gereja.
5. Pola kesalehan sangat ditanamkan dalam kehidupan kelompok-kelompok Kristen
khususnya pada diri sendiri.
Dr. Th. Van den End dalam bukunya “Harta dalam Bejana” menjelaskan bahwa :
22
. http://johebettarigan.wordpress.com/2011/04/19/dampak-pietisme, diakses tanggal, 11 Oktober
2011.
23
. Dr. Th. Van den End, Harta dalam Bejana: Sejarah gereja ringkas (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1995), 237.
24
. Van den End, Harta dalam Bejana,237.
8
Melalui tindakan menanamkan nilai Pietisme yang dilakukan oleh Zinzendorf seperti
membentuk kelompok-kelompok kecil dengan tujuan meningkatkan kehidupan rohani di
Herrnhut, lewat doa dan diskusi-diskusi ini.25 Orang yang terharu oleh kasih karunia Allah
akan merasa terpanggil memberitakannya kepada orang-orang lain, disinilah adanya
hubungan yang erat antara Pietisme dan pekabaran Injil.26 Bahkan dikatakan setelah kematian
Zinzendorf, jemaatnya yang hanya berjumlah beberapa ribu orang itu, telah mengutus 200
orang pekabaran Injil ke seberang lautan.27 Masih dalam buku yang sama Dr. Th. Van den
End menuliskan bagaimana semangat dari jemaat yang dididik dibawah Zinzendorf
mengabarkan Injil ke Amerika.
“Mereka ini menjadi betul-betul mempunyai semangat yang sama seperti Xaverius
yang hanya mendapat dukungan doa dari jemaat Herrnhut tanpa latihan, tidak
mengenal keadaan daerah yang dituju dan tidak menerima gaji, kecuali uang untuk
ongkos perjalanan. Mereka mencari lapangan yang sukar untuk bekerja dan mereka
bekerja di tengah orang Eskimo di Tanah Hijau yang dingin itu serta mereka
bersedia menjadi budak bersama budak-budak di Amerika Selatan (Suriname)
untuk dapat mengabarkan Injil kepada mereka.”28
25
. Hale, Jujur terhadap Pietisme, 31.
26
. Van den End, Harta dalam Bejana, 237.
27
. Van den End, Harta dalam Bejana, 237.
28
. Van den End, Harta dalam Bejana, 237.
29
. Van den End, Harta dalam Bejana,237
30
. Hale, Jujur terhadap Pietisme,31.
31
. H. Berkhof & Enklaar, Sejarah Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 254.
32
. Van den End, Harta dalam Bejana,234..
33
. Van den End, Harta dalam Bejana, 237
9
mengalami peristiwa yang membuat ia sangat takut akan kematian meskipun ia sudah
menjadi seorang pendeta yang rajin. Kapal yang ditumpangi oleh John Wesley diserang oleh
badai. Dalam kapal itu, ia bertemu dengan penumpang dari Herrnhut.34 Herrnhut adalah
tempat yang sudah dipengaruhi oleh Pietisme oleh Zinzendorf. John Wesley merasa heran
dengan orang-orang tersebut, dalam keadaan yang cukup genting, orang-orang tersebut masih
bisa menyanyi, berdoa dan bergembira seolah-olah tidak takut akan bahaya badai tersebut.
Keadaan kerohanian di Inggris pada waktu itu sangat memprihatinkan. Orang-orang
yang mempunyai kedudukan dan yang termasuk dalam kaum cendekiawan dipengaruhi oleh
Pencerahan, sehingga mereka menghina gereja.35 Dalam keadaan yang seperti ini, pendeta
hanya bisa menikmati kedudukannya yang nyaman tanpa memikirkan kaum miskin yang
terlantar. Orang-orang miskin di Inggris tidak dipedulikan oleh gereja.36 Keadaan seperti ini
membuat John Wesley cenderung untuk melakukan kegiatan-kegiatan sosial seperti
menyediakan rumah sakit, memperhatikan kaum miskin yang terlantar, dan berbagai tindakan
sosial lainnya yang mencerminkan semangat Pietisme yang sangat menekankan tindakan
praksis dalam kehidupan sehari-hari. Pada saat itu banyak orang yang tidak menyukainya, hal
ini menyebabkan ia keluar dari Gereja Anglikan. Akhirnya Wesley hanya berkhotbah
ditempat-tempat terbuka dan pergi ke daerah yang belum terjangkau oleh Injil dengan
menggunakan seekor kuda. Wesley juga mendirikan sebuah gereja yakni Gereja Methodist
yang adalah sebuah ejekan bagi pengikut Wesley. Saat ini, gereja Methodisme berkembang
sampai ke Amerika Serikat yang memiliki 8 juta anggota dan menghasilkan orang Methodist
yang sangat berjasa dalam pekabaran Injil.37
Pengaruh Pietisme juga terasa di Amerika.38 Apalagi Amerika adalah satu daerah
koloni yang baru dan merupakan tempat pelarian aliran yang mendapat hambatan di Eropa
dengan mencari kebebasan beribadah.39 Pengaruh Pietisme di Amerika menyebabkan
bangkitnya Gerakan Kebangunan Rohani yang penting sebanyak empat kali. Pada akhir abad
ke-17 dan permulaan abad ke-18 adalah masa resah dan kecemasan di Amerika, dimana
situasi daerah koloni ini sangat kacau dan tak menentu, sebagaimana Leonard Hale dalam
bukunya “Jujur Terhadap Pietisme” menuliskan bagaimana situasi Amerika pada saat itu,
demikian:40
34
. Van den End, Harta dalam Bejana, 238.
35
. Van den End, Harta dalam Bejana, 239.
36
. Van den End, Harta dalam Bejana, 239.
37
. Berkhof & Enklaar, Sejarah Gereja, 253.
38
. Hale, Jujur terhadap Pietisme, 97.
39
. Hale, Jujur terhadap Pietisme, 97.
40
. Hale, Leonard, Jujur terhadap Pietisme, 97.
10
“Perang diantara Negara-negara Eropa untuk memperebutkan koloni baru itu terjadi
dimana-mana. Sementara itu mereka juga diserang oleh orang-orang Indian yang
merasa daerahnya direbut oleh orang-orang kulit putih. Dan keadaan gereja sebelum
kebangunan rohani pertama di Amerika sangat tidak menguntungkan. Gereja
mengalami kehilangan pegangan.”
Meskipun dalam keadaan yang tidak menentu ini, di Amerika telah bangkit Gerakan
Kebangunan Rohani yang pertama yang di bawakan oleh Jonathan Edwards pada bulan
Desember 1734.41 Gerakan Kebangunan Rohani ini berhasil mempertobatkan banyak orang
pada saat itu. Orang-orang merasa menyesal akan dosa yang dilakukannya dan dengan
tangisan mereka menjadi percaya. Peristiwa pertobatan ini tidak terlepas dari perasaan yang
menekankan pengalaman bersama Allah sebagaimana aliran Pietisme sangat menekankan hal
ini. Setelah kebangunan rohani yang pertama, maka di Amerika daerah Timur terjadi
kebangunan rohani yang dipimpin oleh kelompok mahasiswa yang beraliran Methodist.42
Setelah Perang Saudara di Amerika (1861 – 1865) terjadi Gerakan Kebangunan Rohani yang
ketiga yang dipimpin oleh D.L. Moody.43 Sesudah Perang Dunia yang kedua terjadilah
Gerakan Kebangunan Rohani yang keempat. Tokoh Gerakan Kebangunan yang penting ini
dipimpin oleh Dr. Billy Graham yang memiliki pengaruh yang luar biasa di Amerika.44
IV. Kesimpulan
Pietisme dipandang sebagai satu gerakan yang cenderung Individualisme, yaitu untuk
mengutamakan apa yang dirasa, dihayati, dipercayai dan dipikirkan oleh perseorangan.45
41
. Hale, Leonard, Jujur terhadap Pietisme, 98.
42
. Hale, Leonard, Jujur terhadap Pietisme, 99.
43
. Hale, Leonard, Jujur terhadap Pietisme, 100.
44
. Hale, Jujur terhadap Pietisme, 101.
45
. Jonge, Pembimbing Ke Dalam Sejarah Gereja, 80.
11
Akan tetapi Pietisme telah banyak mewarnai sejarah gereja yang telah membawa dampak
yang begitu luas baik di Eropa bahkan di bagian-bagian lain dari dunia ini.46 Terlebih dalam
kaitannya dengan kondisi gereja pada waktu itu, Pietismelah yang sudah menunjukan dosa
dan kealfaan gereja yang telah mengabaikan kesalehan batin, penekanan pada persekutuan
yang seerat-eratnya antara orang-orang percaya dengan Kristus, menekankan penyelidikan
Alkitab dengan seksama, menekankan tuntutan Tuhan supaya pengikut-pengikutnya
memperhatikan buah-buah iman dan kasihnya dalam kelakuannya setiap hari dan dalam
pergaulannya dengan sesama manusia, dan yang terpenting lagi yaitu timbulnya kesadaran
dalam semangat pekabaran Injil di dalam gereja.47 Untuk hal pemberitaan Injil ini, Dr. C.de
Jonge juga menambahkan dalam bukunya dengan mengatakan bahwa “Orang-orang Pietis
adalah merupakan orang Protestan pertama yang memperhatikan pekabaran Injil”.48
Kesuksesan dalam hal Pekabaran Injil ini pun menghasilkan Lembaga Alkitab untuk
Inggris dan luar negeri ( British & Foreign Bible Society ) pada tahun 1804, yang merupakan
induk semua lembaga Alkitab di seluruh dunia.49 Dan hal ini merupakan titik tolak kegiatan
pekabaran Injil yang luar biasa selama abad 19 dan 20 serta merupakan titik tolak gerakan
oikumene ( kesatuan antar gereja ).50
Akhirnya dari apa yang dapat dipelajari dalam Pietisme, baik ataupun buruknya,
gerakan ini telah menunjukan akan iman dan hasratnya yang sejati, yang mempermalukan
banyak orang Kristen lain.51 Dan ini hendaklah dapat menjadi satu cerminan atau pelajaran
bagi gereja-gereja saat ini sebagai satu komunitas dalam mengemban Amanat Agung Tuhan,
yaitu untuk memberitakan Injil kepada semua orang yang belum percaya kepada Tuhan
Yesus Kristus di dalam pengajaran Firman Tuhan yang benar dan yang berpusat pada
Alkitab.
46
. Dr. Dietrich Kuhl, Sejarah Gereja: Pergumulan dan Perjuangan Gereja Antara Iman dan Rasio
Pada Zaman Pencerahan dan Pietisme, Jilid IV. (Batu: YPPII, 1998), 25.
47
. Berkhof & Enklaar, Sejarah Gereja, 255.
48
. Jonge, Pembimbing Ke Dalam Sejarah Gereja, 80.
49
. End, Th. Van den, Harta dalam Bejana, 240.
50
. End, Th. Van den, Harta dalam Bejana, 240.
51
. Berkhof & Enklaar, Sejarah Gereja, 256.
12