Hukum Islam Periode Imam Madzhab

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 13

Hukum Islam Periode Imam Madzhab

Disusun Guna Memenuhi Mata Kuliah Tarih Tasyrik


Dosen Pengampu: Asyrofi Aziz, M.S.I.

Di susun oleh :

1. Fatimah (23010170345)
2. Mawarida (230101703)
3. Ahnafrifqi Dhiyaulhaq (23010170347)

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2020
KATA PENGANTAR

Bismillahirohmanirrohim.

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam yang selalu menyeru segenap jiwa dan
raga untuk tunduk di haribaan-Nya. Allah Maha Penyayang terhadap segenap insan yang
berlari dari gelapnya hati kepada terangnya cahaya Illahi. Allah yang selalu merahmati dan
menerangi kehidupan dengan petunjuk Al-Qur’an, kitab suci yang melapangkan jalan dengan
kearifan dan kebijaksanaan.

Shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan ke hadirat Nabi Agung


Muhammad SAW dan para sahabat, yang dengan setia dan penuh kesabaran, kesungguhan,
dan ketaatan kepada Allah, menjaga kesucian dan kemurnian Al-Qur’an sebagai pedoman
hidup seluruh umat manusia di dunia.

Semoga atas tersusunya makalah ini menjadi pembelajaran bagi kita semua
dari segala hal yang terjadi di sekeliling kita. Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi
penulis khususnya dan para pembaca umumnya, serta dapat mengambil sedikit pembelajaran
bagi kita semua. Disamping itu penulis juga menyadari makalah ini tidak terlepas dari segala
kekurangan, oleh karenanya segala bentuk keritikan sangat penulis harapkan untuk selangkah
lebih maju pada kesempatan selanjutnya.

Salatiga, 14 Juli 2020

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar........................................................................................................ i
Daftar Isi................................................................................................................. ii
BAB I: Pendahuluan............................................................................................... 1
A. Latar Belakang............................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah....................................................................................... 1
C. Tujuan......................................................................................................... 1
BAB II: Pembahasan............................................................................................... 2
A. .................................................................................................................2
B. .................................................................................................................4
BAB III: Penutup................................................................................................... 9
A. Kesimpulan................................................................................................. 9
B. Penutup....................................................................................................... 9
Daftar Pustaka......................................................................................................... 10
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Pengertian Dan Sejarah Mazhab Hukum Islam?
2. Apa saja madzab 4 dan pemikirannya?
3.

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Pengertian Dan Sejarah Mazhab Hukum Islam.
2. Untuk mengetahui 4 madzab dan pemikirannya.
3.
BAB II

PEMBAHASAN

SEJARAH HUKUM ISLAM DAN PERKEMBANGANNYA

A. Pengertian Dan Sejarah Mazhab Hukum Islam

Secara bahasa mazhab dapat berarti pendapat (view, opinion, ra’yi), kepercayaan,
ideologi (belief, ideology, al-mu’taqad), doktrin, ajaran, paham, aliran (doctrine, teaching,
school – al-ta’lim wa al-thariqah)1. Sebagaimana disebutkan di atas, wujud hukum Islam
bermula dari pendapat perseorangan terhadap pemahaman nash atau pendapat
perseorangan tentang penemuan hukum terhadap suatu kejadian (waqi’ah) yang ada.
Tentu, pendapat tadi
dapat mewujudkan sosok hukum dengan menggunakan metode yang digunakan secara
spesifik2.
Bermula dari pendapat perorangan yang dilengkapi dengan metode itu
kemudian diikuti oleh orang lain atau murid, yang jumlahnya semakin banyak.Pendapat
perseorangan itu kemudian menjadi pendapat beberapa orang dan begitu seterusnya
diikuti oleh orang lain. Dari pendapat dengan metodenya perseorangan itu, kemudian
menjadi sebuah metode dalam pendapat yang dianggap baku dan disebutlah dengan
sebuah mazhab.
Jika diperhatikan, hukum Islam merupakan pendapat perseorangan kemudian
diikuti oleh murid-muridnya, lalu dianggap sebagai pendapat yang paling kuat di daerah
atau kota tertentu. Ketika itulah maka disebut dengan mazhab sebuah kota atau daerah,
yang seolah menjadi sebuah consensus (ijma’) dari masyarakat kota atau daerah tersebut.
Maka ada mazhab Hijazi, yaitu pendapat tentang hukum Islam, yang bermula dari
pendapat perseorangan kemudian diikuti oleh murid-muridnya dan melebar diikuti oleh
orang-orang menjadi sebuah consensus. Mazhab Hijazi kemudian terbagi menjadi dua
kelompok, yaitu mazhab Madinah dan mazhab Makkah.
Di sisi lain, muncul juga mazhab Iraqi, yaitu pendapat tentang hukum Islam, yang
bermula dari pendapat perseorangan kemudian diikuti oleh murid-muridnya dan melebar
diikuti oleh orang-orang di sebuah daerah di wilayah Iraq. Kemudian, mazhab Iraqi
mengelompok menjadi dua, yakni mazhab Kuffah dan mazhab Basrah. Ada mazhab lain
yang popular yaitu mazhab Syam. Oleh karenanya dalam sejarahnya ada tiga mazhab
1
Ahmad Warson Munawir, Kamur al-Munawir, Surabaya: Pustaka Progresif, 1994, hlm. 453
2
Qodri Azizy, Eklektisisme Hukum Islam, Yogyakarta: Gama Media, 2002, hlm.21
besar atas dasar kedaerahan ini yakni mazhab Iraqi, mazhab Hijazi dan mazhab Syami.
Perlu ada catatan, bahwa sebenarnya ada pula mazhab di Mesir yang mempunyai karakter
tersendiri. Namun di daerah-daerah yang sudah ada nama mazhab kedaerahan itu tetap
masih terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama. Pengelompokan mazhab atas
kedaerahan ini berakhir dengan munculnya imam Syafi’i.
Dalam perkembangan berikutnya, mazhab yang semula sangat terdominasi oleh
pendapat kedaerahan, lalu kembali lagi ke pendapat perseorangan. Di masing-masing
daerah muncul perkembangan pendapat yang berbeda. Dari pendapat-pendapat yang
berbeda ini kemudian mengerucut kepada pendapat perseorangan. Pendapat perseorangan
yang dilengkapi dengan metodologi (manhaj) yang dipakai ini kemudian menguat.
Mazhab yang semula didasarkan atas nama daerah, seperti uraian singkat di atas,
kemudian berubah menjadi mazhab yang dinisbahkan kepada nama-nama perseorangan.
Di antara sekian banyak mazhab, yang paling popular ada empat mazhab di kalangan
ahlussunnah waljama’ah atau biasa disebut dengan mazhab sunni3.
Selanjutnya, perkembangan mazhab hukum Islam tidak lepas dari kebijakan politik
pada masa pemerintahan kekhalifahan. Beberapa peristiwa politik yang melahirkan dan
mempengaruhi perkembangan hukum Islam dapat dirunut dari akar kesejarahan politik
khilafah Abbasiyah. Peristiwa politik yang berorientasi kepada semangat umat Islam dan
banyak berpengaruh bagi perkembangan fiqih adalah jatuhnya dinasti Bani Umayah dan
tampilnya dinasti Abbasiyah di panggung kekuasaan. Pada masa daulah Abasiyah, bukan
sekedar penting bagi negara tetapi justru merupakan urusan pertama dan utama bagi
negara. Dengan kondisi ini para ahli agama, termasuk hukum Islam mempunyai tempat
di lingkaran pemerintahan terutama pada wilayah qudlat karena harus di dasarkan pada
perintah agama.
Dengan dinasti baru inilah tiba saatnya perkembangan dan kesuburan hukum Islam4.
Abad ini merupakan abad fiqih, abad ahli yurisprudensi, dan abad fuqaha’. Qadli
merupakan tokoh terhormat dan penting. Pada masa ini studi tentang yurisprudensi
berkembang secara intensif dari pusat kekuasaan sampai pusat daerah negeri yang paling
terpencil. Upaya dan usaha pengembangan ilmu pengetahuan hukum tersebut didukung
oleh moril dan metriil, sehingga masyarakat maju dengan pesat 5. Beberapa mazhab fiqih
tersebut dapat dikategorikan kepada tiga kelompok besar, yaitu kelompok Ahlussunnah,
3
Ibid., hlm. 22
4
Ignas Goldzier, Pengantar Teologi dan Hukum Islam, Pent. Heri Setiawan, Jakarta: INIS, 1991, hlm.
41-43
5
A. salim, Tarikh Tasyri’, Solo: Ramadhani, 1988, hlm. 128-129
Syi’ah dan Khawarij. Mazhabmazhab hukum Ahlusunnah banyak sekali, di antaranya
adalah mazhab Sufyan Al-Tsauri di Kufah, mazhab Al-Auza’i di Syam, mazhab Al-Syafi’i
dan Laits bin Sa’ad di Mesir, mazhab Ishaq bin Rahawiyah di Nisabur, mazhab Ibnu Abi
Layla, mazhab Ibnu Jarir, mazhab Abu Tsaur, mazhab Ahmad bin Hanbal, dan mazhab
Daud al-Asfihani atau al-Dzahiri di Baghdad.
Namun demikian dari sekian banyak mazhab hukum Islam hanya empat yang sampai
sekarang diakui kalangan Sunni sebagai mazhab yang mu’tabar. Dari keempat mazhab ini
kemudian hukum Islam berkembang ke seluruh dunia. Masing-masing negara dapat dilihat
mazhab apa yang dominan. Di Saudi Arabia yang dominan adalah mazhab Hanbali, di
India, Pakistan dan Turki yang dominan adalah mazhab Hanafi, di Afrika Utara yang
paling dominan adalah mazhab maliki, sedangkan di Indonesia dan Malaysia yang paling
dominan adalah mazhab Syafi’i. Perlu diketahui bahwa mazhab telah mendominasi
perkembangan hukum Islam selama berabad-abad. Bahkan tidak jarang pemikiran hukum
Islam di dalam masing-masing mazhab itu difahami secara doktrinal dan dogmatik.
Artinya, pendapat imam mazhab dan beberapa ulama besar yang mengikatkan dirinya
pada mazhab tertentu menjadi sebuah doktrin.
Yang terjadi kemudian adalah mazhab dalam hukum Islam seolah-olah menjadi
agama baru yang memainkan peranan penting dalam keberagamaan umat Islam. Setelah
para pendiri mazhab meninggal, para pengikut mazhab yang ekstrim tidak bisa menahan
diri untuk saling bertikai. Konflik ini mencapai puncaknya pada abad 11 M di Baghdad
dan sekitarnya. Tetapi dalam hal ini, harus dicermati bahwa sesungguhnya di antara para
pendiri mazhab terdapat kemesraan hubungan guru murid. Sungguh mereka bahkan
mempunyai jaringan intelektual bersama yang cukup kuat6. Dengan demikian perbedaan di
antara mereka sama sekali tidak menimbulkan perpecahan apalagi fanatisme ajaran yang
menjadikan mereka saling berselisih secara tajam dan membabi buta.
Perbedaan pendapat dan mazhab tersebut ada pengaruh faktor budaya kedaerahan atau
yang biasa disebut dengan ‘urf atau al-adah (adat kebiasaan), meskipun pengaruhnya tidak
semata-mata pada esensi hukumnya, namun lebih pada pengaruh terhadap mujtahid / faqih
yang kemudian berdampak pada hasil pemikiran atau ijtihadnya. Oleh karena itu, di
Indoensia juga muncul pendapat untuk menciptakan “mazhab ala Indonesia”. Atau
setidaknya agar berusaha menemukan hukum Islam yang sesuai dengan sosio kultural
bangsa Indonesia, yang dalam banyak hal terdapat perbedaan dengan sosio kultural

6
Abduraahman Mas’ud, Asal-usul Pemikiran Sunni; Sebuah Catatan Awal, Semarang:Makalah
Seminar, hlm. 7
masyarakat di negara-negara Arab.Dengan ini maka mazhab dapat berkembang bukan
hanya karena menyangkut pada pemikiran para ulama pendiri mazhab akan tetapi bisa
menurut daerah. Di sinilah Islamic area studies perlu ditumbuhkembangkan sehingga
sangat mungkin apa yang terjadi pada masa lalu dengan adanya mazhab kedaerahan akan
terulang pada saat sekarang ini.
B. Madzab 4 Dan Pemikirannya
Dalam khasanah fiqhi dikenal empat mazhab yang sangat populer. Mazhab-
mazhab
itu lahir dari mujtahid-mujtahid besar pada priode ini. Mereka itu adalah Imam Abu
Hanifah (Mazhab Hanafiah), Imam Malik (Mazhab Maliki), Imam Syafi’i (Mazhab
Syafi’i), dan Imam Ahmad bin Hanbal (Mazhab Hanbali).
1. Imam Abu Hanifah
Nama lengkapnya adalah al-Nu’man bin Tsabit, lahir pada tahun 80 H di
Kufah dan wafat pada tahun 150 H di Bagdad. Ia termasuk keturunan bangsawan
Persia yang merdeka. Abu Hanifah termasuk pengikut tabi’in dan menerima ilmu
fiqhi dari Hammad bin Abi Sulaiman dari Ibrahim al-Nakha’iy dari al-Qamah bin
Qais dari Ibnu Mas’ud.
Pada tahun 96 H, beliau melaksanakan ibadah haji bersama ayahnya di
Mesjidil Haram dan bertemu dengan Abdullah bin Haris bin Juz’i. Abu Hanifah
seorang yang cerdas dan cakap dalam berdebat. Metode belajar
mengajar di kalangan para muridnya adalah metode diskusi. Ia mengawali
kajiannya dengan melontarkan suatu masalah lalu mendiskusikannya bersama-
sama sehingga melahirkan pandangan sebagai jawaban terhadap masalah yang
diajukan sebelumnya. Metodologi penetapan hukum yang ditempuh oleh Abu
Hanifah adalah sebagaimana yang diungkapkannya sendiri sebagai berikut:
“Sesungguhnya saya berpedoman kepada Alquran, jika saya tidak
mendapatkannya dari Alquran, maka saya berpedoman pada sunnah rasul dan
atsar-atsar yang sahih dan yang terdapat di kalangan orang tsiqah (adil dan
dhabith). Bila Alquran dan sunnah tidak saya temukan, maka saya beralih kepada
keterangan para sahabat jika saya kehendaki dan meninggalkan pendapatnya
jika saya kehendaki. Kalau suatu masalah tidak ditemukan hukumnya dalam
Alquran, sunnah dan pendapat para sahabat, maka saya berijtihad sebagaimana
halnya Ibrahim al-Nakha’iy, al-Sya’biy, al-Hasan, Ibnu Sirin dan Said bin
Musayyab berijtihad”.
Sahal bin Muzahib pernah berkata: Abu Hanifah suka memperhatikan adat
istiadat dan hal ihwal orang banyak. Ia memecahkan berbagai problematika
dengan jalan qiyas, apabila jalan itu terasa kurang tepat, maka beliau menempuh
jalan istihsan, jika metode inipun tidak dapat ditempuh, maka beliau
mengembalikan urusan itu kepada apa yang telah dilakukan oleh kaum muslimin.
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa metodologi istinbath hukum yang
ditempuh oleh Abu Hanifah adalah:
a. Alquran
b. Sunnah Rasulullah dan atsar-atsar yang sahih serta telah mashur di antara
ulama.
c. Fatwa para sahabat
d. Qiyas
e. Istihsan
f. Adat yang berlaku di masyarakat
Atas dasar metodologi penetapan inilah, sehingga fiqhi dan ilmu ushul fiqh
mengalami perkembangan dan kemajuan baru.
2. Imam Malik bin Anas
Nama lengkapnya adalah Malik bin Anas al-Ashbahiy, nisbah pada
Ashbah merupakan salah satu kabilah di Yaman, salah seorang kakeknya datang
ke Madinah dan tinggal di sana. Kakeknya bernama Abu Amir termasuk salah
seorang sahabat nabi dan mengikuti perang bersama beliau kecuali perang Badar.
Malik lahir di Madinah pada tahun 93 H.36 Ia belajar kepada ulama Madinah,
termasuk Nafi bin Abi Nu’aim, Ibnu Syihab al-Zuhri, Abul Zinad dan lain
sebagainya. Sedang yang menjadi murid-muridnya adalah asy-Syaibani, Imam
Syafi’i, Yahya bin Yahya al-Andalusia, Abdurrahman bin Kasim di Mesir serta
As’ad al-Furat at-Tunisi. Dia seorang ahli hadis sekaligus ahli fiqhi.
Selanjutnya pada tahun 140 H. Imam Malik membukukan kitabnya yang
bernama alMuwaththa atas intruksi Abu Ja’far al-Mansur.38 Buku ini di samping
buku hadis juga sekaligus buku fiqhi. Hanya saja dalam kitab tersebut masih
bercampur antara hadis nabi, fatwa para sahabat dan tabi’in.
Pemikiran Imam Malik dalam bidang hukum Islam sangat dipengaruhi
oleh lingkungannya, yaitu Madinah sebagai pusat timbulnya sunnah Rasulullah
dan sunnah sahabat. Sehingga pemikiran hukumnya banyak berpegang kepada
sunnahsunnah tersebut, kalau terjadi perbedaan satu sunnah dengan yang lainnya,
maka ia berpegang pada tradisi yang biasa berlaku di masyarakat Madinah.39
Imam Malik mendahulukan amalan penduduk Madinah daripada hadis ahad, kalau
terjadi perbedaan antara keduanya. Karena penduduk Madinah itu mewarisi apa
yang mereka amalkan dari ulama salaf mereka, kemudian ulama salaf itu mewarisi
dari para sahabat. Olehnya itu amalan penduduk Madinah lebih kuat daripada
hadis ahad. Sedangkan Imam Syafi’i dan sebagian dari imam mujtahid lainnya
berbeda pendapatnya, karena sunnah itu kebanyakan dibawa oleh sebagian
sahabat keberbagai kota yang sudah ditaklukkan oleh umat Islam. Sunnah
seluruhnya tidakterbatas pada amalan penduduk Madinah.
Selain itu Imam Malik juga merujuk kepada metode qiyas (analogi). Selain
itu juga banyak persoalan hukum dibangun dengan metode maslahah mursalah.
Mujtahid yang banyak memakai metode ini adalah Imam Malik dan Imam Ahmad
bin Hanbal. Sebagai contoh: dibolehkannya pembedahan perut jenazah seorang
ibu untukmengeluarkan janinnya, apabila janinnya itu punya harapan untuk hidup.
Dari pemikiran Imam Malik tersebut, maka dalam menentukan hukum
adalah sebagai berikut :
a. Alquran
b. Sunnah
c. Ijma’ (kesepakatan penduduk Madinah)
d. Qiyas
e. Maslahah Mursalah
Mazhab ini timbul dan berkembang di Madinah lalu ke Hijaz sampai ke
Mesir, Magribi (Maroko) dan Andalus di Spanyol. Sehingga negara-negara yan
meminati mazhab ini banyak menghadiri kajian-kajian Mazhab Malik. Buku-buku
yang dikaji selain al-Muwaththa’ juga al-Mudawwanah yang merupakan kitab
dasar fiqhi Mazhab Malik.
3. Imam Syafii
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Idris al-Syafi’i al-Quraisy. Ia
juga sering dipanggil dengan nama Abu Abdullah, karena salah seorang anaknya
bernama Abdullah. Nasab keturunannya bersambung dengan nabi pada nama
Abdi Manaf dari pihak bapak. Sedang dari ibunya adalah cicit dari Ali bin Abi
Thalib. Jadi kedua orang tuanya berasal dari bangsawan Arab Quraisy. Ia lahir di
Ghazzah Palestina pada tahun 150 H. Ayahnya meninggal ketika Imam Syafi’i
masih kecil sehingga diasuh dan dibesarkan oleh ibunya dalam kehidupan yang
sangat sederhana bahkan banyak menderita kesulitan, tetapi ia terpelihara dari
akhlak tercela dan perbuatan buruk.
Dalam usia 10 tahun, ia telah menghafal Alquran, setelah itu mengarahkan
perhatiannya untuk menghapal hadis dari gurunya, lalu ia pun mendalami bahasa
Arab untuk menjaga dirinya dari pengaruh bahasa asing yang sedang melanda
bangsa Arab sampai ia ahli dalam bahasa Arab, kesusasteraan serta mahir dalam
membuat syair. Syafi’i adalah profil ulama yang tidak pernah puas dalam
menuntut ilmu, semakin banyak ia menuntut ilmu semakin dirasakan banyak yang
tidak diketahui.
Metodologi penetapan hukum menurut Imam Syafi’i adalah sebagai
berikut :
a. Alquran dan al-Sunnah
b. Ijma’
c. Fatwa sahabat yang disepakati
d. Fatwa sahabat yang diperselisihkan
e. Qiyas
f. Istidlal
Dasar pertama dalam menetapkan hukum adalah Alquran dan sunnah.
Alquran dan sunnah ditempatkan sejajar, karena baik Alquran maupun al-sunnah
datang dari Allah sekalipun berbeda cara dan sebab datangnya. Mengenai hadis
ahad, Syafi’i tidak mewajibkan syarat kemashuran; alasannya bahwa Allah telah
memerintahkan beriman kepada-Nya dan rasul-Nya, dengan konsekwensi wajib
mematuhinya baik dalam perkataan, perbuatan maupun takrirnya.
Dasar kedua adalah ijma’, jika ijma’ belum juga didapatkan, maka beliau
beralih ke fatwa sahabat yang disepakati, apabila fatwa sahabat yang disepakati
belum juga didapatkan maka beliau beralih pada fatwa sahabat yang
diperselisihkan. Setelah itu barulah menempuh jalan qiyas bila keadaan telah
memaksa. Apabila tidak dijumpai dalil qiyas, maka ia memilih jalan istidlal, yaitu
menetapkan hukum berdasarkan kaedah-kaedah umum agama Islam. Jadi Imam
Syafi’i sangat memperhatikan beramal dengan hadis ahad yang sahih, sehingga
penduduk Bagdad memberi gelar “Nashiru Sunnah” (penolong sunnah).
Imam Syafi’i termasuk profil ulama yang tekun dan berbakat dalam
menulis karangan yang terkenal antar lain (1) al-Risalah yang khusus membahas
dasar-dasar pengetahuan tentang ushul fiqhi. (2) al-Umm, sebuah kitab fiqhi yang
menjadi dasar mazhab Syafi’i. (3) al-Musnad, berisintang hadis-hadis nabi yang
dihimpun dari kitab al-Umm.
4. Imam Ahmad Bin Hambal
Nama lengkapnya Ahmad bin Hanbal al-Syaibani al-Marwaziy, lahir di
Marwah pada tahun 164 H (780 M) dan wafat pada tahun 241 H (855 M) di
Bagdad, ibunya pindah ke Bagdad sewaktu ia masih kecil. Beliau berusaha
mengumpulkan sunnah dan menghafalnya hingga menjadi ahli hadis pada
masanya. Imam Bukhari dan Imam Muslim pernah belajar hadis kepadanya. Ia
telah menyusun kitab hadis yang disebut musnad yang sangat populer dengan
nama musnad Imam Ahmad bin Hanbal yang terdiri dari 6 jilid dan diterbitkan di
Mesir.
Ahmad bin Hanbal belajar fiqhi dari Imam Syafi’i dan menyertainya
selama ia tinggal di Bagdad. Ahmad bin Hanbal termasuk imam mujtahid hanya
lebih cenderung kemuhaddisannya daripada kefaqihannya. Dasar-dasar penetapan
hukum Imam Ahmad bin Hanbal adalah sebagai berikut :
a. Nash yaitu Alquran dan hadis marfu’
b. Fatwa sahabat yang tidak diketahui ada yang menentangnya
c. Apabila sahabat berbeda pendapat, ia memilih pendapat mereka kepada yang
dekat pada kitabullah dan sunnah
d. Hadis mursal dan dhaif, yang dianggap lebih kuat dari pada qiyas. Akan tetapi
hadis mursal dan dhaif dapat dijadikan dasar hukum selama tidak ada dalil
lain, dan tidak termasuk hadis munkar dan tertuduh pendusta perawinya
e. Qiyas, jika keempat tersebut tidak dapat ditemukan barulah beralih kepada
qiyas. Jadi qiyas dilakukan karena keterpaksaan.
Landasan ijtihad Imam Ahmad bin Hanbal tidak jauh berbeda dengan
prinsip Imam Syafi’i, hal ini dimungkinkan karena ia belajar fiqhi dari Imam
Syafi’i.7

7
Darmawati F, “Hukum Islam Pada Masa Imam-imam Mujtahid (101 H – 350 H/750 M - 961 M)”,
Sulasena, Volume 7 Nomor 2 Tahun 2012.

Anda mungkin juga menyukai