Cutaneous Larva Migrans Creeping Eruptio
Cutaneous Larva Migrans Creeping Eruptio
Cutaneous Larva Migrans Creeping Eruptio
A. Definisi
Istilah ini digunakan pada kelaian kulit yang merupakan peradangan berbentuk linier atau
berkelok-kelok, menimbul dan progresif, disebabkan oleh invasi larva cacing tambang yang
berasal dari feses anjing dan kucing.1
Cutaneous larva migrans (CML) merupakan erupsi di kulit berbentuk penjalaran
serpiginosa, sebagai reaksi hipersensitivitas kulit terhadap invasi larva cacing tambang atau
nematodes (roundworms) atau produknya. Larva cacing tersebut berasal dari cacing yang hidup
di usus kucing atau anjing. Umumnya mampi menginvasi kulit di kaki, tangan, bokong atau
abdomen.1
Invasi ini sering terjadi pada anak-anak terutama yang sering berjalan tanpa alas kaki atau
sering berhubungan dengan tanah atau pasir yang mengandung larva tersebut. demikian pula
para petani atau tentara sering mengalami hal yang sama. Penyakit ini banyak terdapat di daerah
tropis atau subtropics yang hangat dan lembab, misalnya di Afrika, Amerika Selatan dan Barat,
di Indonesia pun banyak dijumpai. Walaupun demikian dengan berkembangnya pariwisata,
infeksi CLM dapat terjadi pada para wisatawan.1
B. EPIDEMIOLOGI
Insidens yang sebenarnya sulit diketahui, di Amerika Serikat (pantai Florida, Texas, dan
New Jersey) tercatat 6,7% dari 13.300 wisatawan mengalami CLM setelah berkunjung ke daerah
tropis. Hamper di semua Negara beriklim tropis dan subtropis, misalnya Amerika Tengah dan
Amerika Selatan, Karibia, Afrika, Australia dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, banyak
ditemukan CLM. Pada invasi ini tidak terdapat perbedaan ras, usia, maupun jenis kelamin.1
Belum pernah dilaporkan kematian akibat CLM. Invasi CLM yang bertahan lama dan tidak
diobati dapat menyebabkan infeksi sekunder akibat garukan. Walaupun jarang, namun dapat
menyebabkan selulitis.1
C. ETIOPATOGENESIS
Penyebab utama adalah larva yang berasal dari cacing tambang binatang anjing dan kucing,
yaitu Ancylostoma braziliense dan Ancylostoma caninum. Di Asia Timur umumnya disebabkan
oleh gnatostoma babi dan kucing. Pada beberapa kasus ditemukan Enchinococcus, Strongyloides
sterconalis, Dermatobia maxiales, dan Lucilia caesar. Selain itu dapat pula disebabkan oleh
larva dari beberapa jenis lalat, misalnya Castrophilus (the horse bot fly) dan cattle fly. Biasanya
larva ini merupakan stadium ketiga siklus hidup. Nematoda hidup pada hospes (anjing, kucing
atau babi), ovum terdapat pada kotoran binatang dan karena kelembaban berubah menjadi larva
yang mempu mengadakan penetrasi ke kulit. Larva ini tinggal di kulit berjalan-jalan sepanjang
dermo-epidermal, setelah beberapa jam atau hari, akan timbul gejala di kulit.1,2
Siklus hidup ancylostoma braziliense terjadi pada binatang dan serupa dengan ancylostoma
duodenale pada manusia. Siklus hidup parasit dimulai saat telur keluar bersama kotoran binatang
ke tanah berpasir yang hangat dan lembab. Pada kondisi kelembaban dan temperatur yang
menguntungkan, telur bisa menetas dan tumbuh cepat menjadi larva rhabditiform. Awalnya larva
makan bakteri yang ada di tanah dan berganti buluh dua kali sebelum menjadi bentuk infektif
(larva stadium tiga). Pada hospes alami binatang, larva mampu penetrasi sampai ke dermis dan
ditranspor melalui sistem limfatik dan vena sampai ke paru-paru. Kemudian menembus samai ke
alveoli dan trakea dimana kemudian tertelan. Di usus terjadi pematangan secara seksual, dan
siklus baru dimulai saat telur diekskresikan. Larva yang infektif dapat tetap hidup pada tanah
selama beberapa minggu.3
Manusia yang berjalan tanpa alas kaki terinfeksi secara tidak sengaja oleh larva dimana
larva menggunakan enzim protease untuk menembus melalui folikel, fisura atau kulit intak.
Setelah penetrasi stratum korneum, larva melepas kutikelnya. Biasanya migrasi dimulai dalam
waktu beberapa hari. Larva stadium tiga menembus kulit manusia dan bermigrasi beberapa cm
per hari, biasanya antara stratum germinativum dan stratum korneum. Larva ini tinggal di kulit
berjalan-jalan tanpa tujuan sepanjang dermoepidermal.hal ini menginduksi reaksi inflamasi
eosinofilik setempat. Setelah beberapa jam atau hari akan timbul gejala di kulit. Larva bemigrasi
pada epidermis tepat di atas membran basalis dan jarang menembus ke dermis. Manusia
merupakan hospes aksidental dan larva tidak mempunyai enzim kolagenase yang cukup untuk
penetrasi membran basalis sampai ke dermis. Sehingga penyakit ini menetap di kulit saja. Enzim
proteolitik yang disekresi larva menyababkan inflamasi sehingga terjadi rasa gatal dan progresi
lesi. Meskipun larva tidak bisa mencapai intestinum untuk melengkapi siklus hidup, larva
seringkali migrasi ke paru-paru sehingga terjadi infiltrat paru. Pada pasien dengan keterlibatan
paru-paru didapat larva dan eosinofil pada sputumnya. Kebanyakan larva tidak mampu
menembus lebih dalam dan mati setelah beberapa hari sampai beberapa bulan.3
Tempat predileksi adalah di tungkai, plantar, tangan, anus, bokong, paha, juga di bagian
tubuh di mana saja yang sering berkontak dengan tempat larve berada. Sering terjadi ekskoriasi
dan infeksi sekunder oleh bakteri. Larva terbatas hanya pada lapisan epidermis. Penyakit ini self
limited dengan kematian larva dalam waktu sebulan atau dua bulan. Infeksi bakteri sekunder bisa
terjadi akibat garukan pada lesi.3
Tanda dan gejala sistemik (mengi, batuk kering, urtikaria) pernah dilaporkan pada pasien
dengan infeksi ekstensif. Tanda sistemik termasuk eosinofilia perifer dan peningkatang kadar
IgE. Pada kasus creeping eruption bisaterjadi sindrom loeffler dan mtositis namun jarang
dijumpai. Larva bisa bermigrasi ke usus halus dan menyebabkan enteritis eosinofilik.3,5
E. Diagnosis
Diagnosis creeping eruption ditegakkan berdasarkan riwayat pajanan epidemiologi dan
penemuan lesi karakteristik. Bentuk khas, yakni terdapatnya kelainan seperti benang yang lurus
atau berkelok-kelok, menimbul, dan terdapat papul atau vesikel di atasnya. Biopsi spesimen
diambil pada ujung jalur yang mungkin mengandung larva.1,3,5
Bila infeksi ekstensif bisa dijumpai tanda sistemik berupa eosinofilia perifer, sindrom
loeffler (infiltrat paru yang berpindah-pindah), peningkatan IgE. Hanya sedikit pasien yang
menunjukkan eosinofilia perifer dan peningkatan IgE.3,5
Untuk menunjang diagnosa bisa dilakukan biopsi kulit. Biopsi kulit yang diambil tepat di
atas lesi menunjukkan larva (tes periodik asam schiff positif) di terowongan suprabsalar,
terowongan pada membran basalis, spongiosis dengan vesikel intraepidermal, nekrosis
keratinosit dan infiltrat kronis oleh eosinofil pada lapisan epidermis dan dermis bagian atas.3,5
G. Tatalaksana
Sebelum tahun 1960, terapi CLM adalah dengan ethyl chloride spray (disemprotkan
sepanjang lesi), liquid nitrogen, phenol, carbondioxide snow (CO2 snow dengan penekanan
selama 45 detik sampai 1 menit, dua hari berturut-turut), piperazine citrate, eletro-kauterisasi
dan radiasi. Pengobatan tersebut sering tidak berhasil karena kita tidak mengetahui secara pasti
di mana larva tersebut berada, dan bila terlalu lama dapat merusak jaringan disekitarnya.
Kemoterapi dengan chloroquine, antimony, dan diethyilcarbamazine juga tidak memuaskan.1
Sejak tahun 1963 telah diketahui bahwa antihelmintes berspektrum luas, misalnya
tiabendazol (mintezol), ternyata efektif. Dosisnya 25-50 mg/kg BB/hari, sehari 2x, diberikan
berturut-turut selama 2-5 hari. Dosis maksimum 3 gram sehari, jika belum sembuh dapat
diulangi setelah beberapa hari. Obat ini sukar didapat. Efek sampingnya mual, pusing, dan
muntah. Eyster mencobakan pengobatan topical solution tiabendazol dalam DMSO dan ternyata
efektif. Demikian pula Davis dan Israel menggunakan suspense obat tersebut (500mg/5ml)
secara oklusi selama 24-48 jam.1
Obat lain ialah abendazol, dosis sehari 400 mg sebagai dosis tunggal, diberikan 3 hari
berturut-turut. Sumber lain menyebutkan dalam 5-7 hari.2,5
Dapat juga diberikan single dose Ivermectin (200µ/kg BB) dapat membunuh migrasi larva
secara efektif dan mengurangi gatal secara cepat. Topikal thiabendazole 10% cream, meskipun
kurang efektif, namun dapat menjadi terapi alternative pada anak-anak untuk mencegah adanya
efek potensial dari terapi sistemik. Nesama et all menyebetukan juga bahawa kombinasi dari obat
topical dan sistemik terkadang dibutuhkan juga dalam pengobatan cutaneous larva migrans.1,2,5
Neseema et all menyebutkan dalam penelitian nya bahwa pengobatan cutaneous larva
migrans yang menggunakan kombinasi terapi anatara albendazole (400 mg selama 7 hari) dan
liquid nitrogen (1 sesi) lebih berkhasiat dalam pengobatan.2
H. Preventif
Dapat dicegah dengan menghidari kontak kulit langsung dengan tanah yang terkontaminasi
kotoran hewan.
Ketika mengunjungi negara tropis, terutama wilayah pantai dan area berpasir, area lembab,
disarankan menggunakan sepatu yang menutup seluruh bagian kaki. Serta menghindari duduk
dan tidur di area berpasir meskipun menggunakan handuk sebagai alas.2
I. Prognosis
J. Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi adalah ekskoriasi dan infeksi sekunder oleh bakteri akibat
garukan. Infeksi umumnya disebabkan oleh streptokokkus pyogenes. Bisa juga terjadi selulitis
dan reaksi alergi.1,3
DAFTAR PUSTAKA
1. Aisah S. Creeping eruption (cutaneous larva migrans). Dalam: Menaldi SLSW, Bramono K,
Indriatmi W, editors. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi 7. Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Kedokeran Univesitas Indonesia; 2015. h. 141-2.
2. Supplee SJ, Gupta S, Alweis R. Creeping eruption: cutaneous larva migrans. J Comm
Hospital Int Med Prespectives. 2013; 3 (10). 3402.
3. Gutte R, Khopkar U. Cutaneous larva migrans (creeping eruption). Indian Dermatol Online
J. 2011; 2 (1): 48.
4. Quashie NB, Tsegah E. Anusual recurrence of pruritic creeping eruption after treatment of
cutaneous larva migrans in an adult Ghanaian male. Pan African Med J. 2015; 21 (286):
5612-6.
5. Suh KN, Keystone JS. Helminthic infections. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA,
Paller AS, Leffell DJ, Wolf K, editors. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 8th ed.
New York: Mc Graw Hill; 2012. p. 3619-51.
6. Venkata NCR, Murali A. Creeping eruption. J new zealand med assoc. 2012; 125 (1360): 79-
81