Kelompok 4 - Medis Pemeriksaan Fisik
Kelompok 4 - Medis Pemeriksaan Fisik
Kelompok 4 - Medis Pemeriksaan Fisik
Disusun Oleh :
1. Safira Muntaz (17071010025)
2. Miftachul Nurjanah (18071010019)
3. Karisma Nilam Ayuandani (18071010131)
4. Dewi Pithaloka (18071010135)
5. Putu Ceshelia E. A. (18071010156)
6. Ameilia Herpina Denovita (18071010164)
7. Moh Romli (18071010166)
8. M Kenza Radhya E A (18071010167)
9. Moh Imam Mubarok (18071010193)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR
2020
Identifikasi dalam bidang kedokteran forensik adalah upaya untuk membantu penegak
hukum dalam menentukan identitas seseorang (Kumar et al., 2014). Identifikasi seorang individu
adalah pengenalan individu berdasarkan ciri-ciri atau sifat-sifat yang membedakan dari individu
lain, mencakup korban hidup dan korban mati. Identifikasi orang hidup pada dasarnya meliputi:
anatomi, odontologi dan golongan darah. Pada identifikasi dilakukan pemeriksaan dan
pengamatan menyeluruh, salah satunya adalah pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan fisik dalam kedokteran forensik seringkali menjadi langkah yang wajib
untuk dilakukan. Dalam mengungkap kasus tindak pidana yang memberikan dampak pada tubuh
korban, perlu dilakukan sebuah pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik juga didasarkan pada
kebijakan jurisdiksional, dan dilakukan oleh dokter dengan pemeriksaan meliputi :
Pemeriksaan umum :
1. Rambut, wajah, emosi secara keseluruhan
2. Apakah korban pernah pingsan sebelumnya, mabuk atau tanda-tanda pemakaian narkotik
3. Tanda-tanda kekerasan diperiksa di seluruh tubuh korban.
Pemeriksaan khusus :
1. Genitalia : merupakan pemeriksaan akibat-akibat langsung dari kekerasan seksual yang
dialami korban, meliputi :
a. Kulit genita apakah terdapat eritema, iritasi, robekan atau tanda-tanda kekerasan lainnya.
b. Eritema vestibulum atau jaringan sekitar.
c. Pendarahan dari suatu bagian tubuh tertentu
d. Kelainan lain dari suatu bagian tubuh yang mungkin disebabkan oleh infeksi atau
penyebab lain.
2. Pemeriksaan laboratorium :
a. Pemeriksaan darah
b. Pemeriksaan bagian tubuh yang sering keluarg cairan
c. Tes fisik seperti contoh berupa tes kehamilan (jika terjadi tindak pidana kekerasan
seksual)
d. Pemeriksaan lain seperti tanda-tanda penyakit menular
e. Pemeriksaan cairan tubuh lainnya seperti mani, liur, atau rambut yang dianggap
merupakan rambut pelaku.
Tindak pidana yang terjadi di lapangan, sangat beragam, bahkan dalam kasus tersebut,
untuk memperoleh suatu informasi, dibutuhkan keterangan dari pihak kedokteran seperti
pemeriksaan-pemeriksaan baik dari pihak pelaku maupun korbannya. Seperti pada kasus tindak
pidana kekerasan seksual, hal ini dibedakan menjadi beberapa kategori yaitu: keadaan umum dan
tingkah laku pasien; keadaan tubuh secara keseluruhan, genitalia externa, vagina dan servix, dan
anus serta rectum.
Pemeriksaan fisik selalu berkaitan dengan tubuh seseorang seperti halnya pada luka
maupun kerusakan pada jaringan tubuh akibat tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku
terhadap korbannya. Definisi luka ini merupakan kerusakan atau hilangnya hubungan antar
jaringan lunak, jaringan otot, jaringan pembuluh darah, jaringan saraf dan tulang. Luka
merupakan suatu kasus yang sering terjadi dalam ilmu kedokteran forensik. Dalam ilmu
kedokteran forensic, luka adalah hasil dari kekerasan fisik, yang merusak kontinuitas jaringan
tubuh. Trauma dijelaskan sebagai luka pada tubuh yang dapat menyebabkan luka atau
kemungkinan komplikasi. Secara medis, identifikasi luka mengenai mekanisme cedera
tergantung pada pola luka dan juga kontribusi baik faktor instrinsik dan ekstrinsik dari
mekanisme perlukaan. Luka tersebut diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu trauma tumpul dan
trauma tajam. Trauma tumpul ini merupakan suatu ruda paksa yang mengakibatkan luka pada
permukaan tubuh oleh benda tumpul, yang disebabkan oleh benda yang memiliki permukaan
tumpul seperti batu, kayu, martil, terkena bola dan benda tumpul lainnya. Sedangkan trauma
tajam ialah suatu ruda paksa. Untuk dapat memeriksa luka-luka tubuh tersebut, perlu
diperhatikan secara seksama organ mana saja yang dilintasi oleh benda yang menembus
permukaan tubuh (baik berupa luka tusuk, maupun luka tembak), agar dapat dipastikan, faktor
utama dari penyebab kematian dan luka tusuk atau luka tembak (bila dijumpai beberapa luka
tusuk atau luka tembak di permukaan tubuh), yang mana yang paling berisiko dalam
mengakibatkan kematian, sehingga dapat membantu penyidik dalam menentukan pelaku utama
yang menyebabkan kematian dan pelaku tambahan yang mencederai korban, meski di tubuh
korban dijumpai adanya luka tusuk atau luka tembak . Penyebab kematian yang paling sering
adalah cedera di bagian organ vital tubuh sehingga menimbulkan infeksi.
Saat melakukan pemeriksaan fisik, gunakan prinsip “top-to-toe”. Artinya, pemeriksaan
fisik harus dilakukan secara sistematis dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Pelaksanaan
pemeriksaan fisik juga harus memperhatikan keadaan umum korban. Apabila korban tidak sadar
atau keadaan umumnya buruk, maka pemeriksaan untuk pembuatan visum dapat ditunda dan
dokter fokus untuk ”life-saving” terlebih dahulu. Selain itu, dalam melakukan pemeriksaan fisik,
perhatikan kesesuaian dengan keterangan korban yang didapat saat anamnesis.
Pemeriksaan fisik dilakukan dengan seksama dinamakan visum, yang berasal dari kata
visus/melihat/inspeksi, perkusi (pengetukan), palpasi (perabaan/penekanan) dan auskultasi. Hasil
pemeriksaan dicatat dalam rekam medis yang dinamakan visum et repertum (laporan hasil
pemeriksaan).
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk menunjang hasil pemeriksaan sehingga
ditemukan diagnosis yang akurat. Diagnosis yang dimaksud dalam kasus forensik adalah sebab
dan derajat perlukaan (korban hidup) serta sebab kematian (jenazah). Jenis pemeriksaan
penunjang, sesuai dengan kasusnya
Pada kasus meninggal akibat trauma (kekerasan), diperlukan pemeriksaan patologi
anatomi (PA) untuk mengetahui ada /tidaknya sel-sel radang. Jika didapatkan sel radang maka
dapat disimpulkan bahwa kekerasan terjadi saat korban masih hidup (ante mortem/intravital).
Sedangkan tidak adanya sel radang menunjukkan trauma terjadi setelah korban meninggal (post
mortem). Sel radang yang dimaksud adalah sel leukosit polimorfonuklear (PMN).
Kasus dimana korban meninggal diduga akibat keracunan atau tidak ada hasil
pemeriksaan yang menunjukkan korban meninggal karena kekerasan/penyakit tertentu maka
wajib dilakukan pemeriksaan toksikologi forensik. Pemeriksaan ini tentunya didasarkan dari
hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik dan disesuaikan dengan dugaan jenis racunnya.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan dapat dibagi menjadi pemeriksaan umum dan khusus.
Pemeriksaan fisik umum mencakup:
tingkat kesadaran,
keadaan umum,
tanda vital,
penampilan (rapih atau tidak, dandan, dan lain-lain),
afek (keadaan emosi, apakah tampak sedih, takut, dan sebagainya),
pakaian (apakah ada kotoran, robekan, atau kancing yang terlepas),
status generalis,
tinggi badan dan berat badan,
rambut (tercabut/rontok)
gigi dan mulut (terutama pertumbuhan gigi molar kedua dan ketiga),
kuku (apakah ada kotoran atau darah di bawahnya, apakah ada kuku yang tercabut
atau patah),
tanda-tanda perkembangan seksual sekunder,
tanda-tanda intoksikasi NAPZA, serta
status lokalis dari luka-luka yang terdapat pada bagian tubuh selain daerah kemaluan
Pemeriksaan fisik khusus bertujuan mencari bukti-bukti fisik yang terkait dengan
tindakan kekerasan seksual yang diakui korban dan mencakup pemeriksaan:
daerah pubis (kemaluan bagian luar), yaitu adanya perlukaan pada jaringan lunak
atau bercak cairan mani;
penyisiran rambut pubis (rambut kemaluan), yaitu apakah adanya rambut pubis yang
terlepas yang mungkin berasal dari pelaku, penggumpalan atau perlengketan rambut
pubis akibat cairan mani;
daerah vulva dan kulit sekitar vulva/paha bagian dalam (adanya perlukaan pada
jaringan lunak, bercak cairan mani);
labia mayora dan minora (bibir kemaluan besar dan kecil), apakah ada perlukaan
pada jaringan lunak atau bercak cairan mani;
vestibulum dan fourchette posterior (pertemuan bibir kemaluan bagian bawah),
apakah ada perlukaan;
hymen (selaput dara), catat bentuk, diameter ostium, elastisitas atau ketebalan,
adanya perlukaan seperti robekan, memar, lecet, atau hiperemi). Apabila ditemukan
robekan hymen, catat jumlah robekan, lokasi dan arah robekan (sesuai arah pada
jarum jam, dengan korban dalam posisi litotomi), apakah robekan mencapai dasar
(insersio) atau tidak, dan adanya perdarahan atau tanda penyembuhan pada tepi
robekan;
vagina (liang senggama), cari perlukaan dan adanya cairan atau lendir;
serviks dan porsio (mulut leher rahim), cari tanda-tanda pernah melahirkan dan
adanya cairan atau lendir;
uterus (rahim), periksa apakah ada tanda kehamilan;
anus (lubang dubur) dan daerah perianal, apabila ada indikasi berdasarkan
anamnesis;
mulut, apabila ada indikasi berdasarkan anamnesis,
daerah-daerah erogen (leher, payudara, paha, dan lain-lain), untuk mencari bercak
mani atau air liur dari pelaku; serta
tanda-tanda kehamilan pada payudara dan perut.
Secara umum cara kematian dibagi menjadi dua, yakni wajar dan tidak wajar. Kematian
wajar disebabkan penyakit atau usia tua (> 80 tahun). Sedangkan kematian tidak wajar
disebabkan berbagai jenis kekerasan (pembunuhan, bunuh diri, dan kecelakaan kerja serta
kecelakaan lalu lintas), kematian akibat tindakan medis, tenggelam, intoksikasi, dan kematian
yang tidak jelas penyebabnya. Surat keterangan penyebab kematian yang diterbitkan dokter
dapat digunakan sebagai salah satu petunjuk untuk memperkirakan cara kematian korban.
Berdasarkan pedoman WHO penyebab kematian dibagi menjadi penyebab langsung,
penyebab antara, dan penyebab dasar yang saling berkaitan satu sama lain. Selain itu terdapat
kondisi lain yang tidak bertanggung jawab secara langsung terhadap kematian pasien/korban
atau sebagai penyulit. Penyebab langsung adalah mekanisme kematian yaitu gangguan
fisiologis dan biokimiawi yang ditimbulkan penyebab dasar kematian. Sedangkan penyebab
dasar merupakan penyebab kematian utama yang sarat muatan medikolegalnya, sehingga
berhubungan langsung dengan cara kematian. Dengan demikian, penyebab dasar adalah
penyebab kematian yang perlu ditelaah secara seksama untuk memperkirakan cara kematian.
Otopsi verbal untuk memperkirakan penyebab kematian dilakukan dengan melakukan
wawancara medikolegal. Secara medis dilakukan heteroanamnesis terhadap pihak yang
mengetahui riwayat kesehatan almarhum/ah sehari-hari, meliputi sacred seven dan fundamental
four. Selain itu, ringkasan rekam medis, hasil pemeriksaan laboratorium dan radiologi serta hal-
hal lain yang dapat membantu penegakkan diagnosis penyebab kematian perlu dimintakan
kepada keluarga almarhum/ah. Demi kepentingan hukum, pertanyaan-pertanyaan yang memuat
5W+1H (Who, Where, When, Why, What, How) juga perlu diajukan. Sebelum melakukan
pemeriksaan luar jenazah, pengambilan sampel, dan foto, penjelasan mengenai prosedur, tujuan,
dan manfaat tindakan-tindakan tersebut harus dijelaskan kepada keluarga terdekat almarhum/ah.
Pemeriksaan luar jenazah adalah pemeriksaan menyeluruh pada tubuh dengan cermat
meliputi segala sesuatu yang terlihat, tercium, teraba serta benda-benda yang menyertai
jenazah. Tujuan pemeriksaan luar jenazah adalah untuk memastikankematian, memperkirakan
waktu, mekanisme, dan cara kematian, identifikasi, serta menemukan tanda-tanda penyakit atau
luka-luka yang berkaitan dengan penyebab kematian sebagai dasar penerbitan surat
keterangan kematian. Bila ditemukan luka-luka yang diperkirakan sebagai penyebab kematian
maka kematian ini sangat mungkin sebagai suatu kematian yang tidak wajar sehingga diperlukan
koordinasi dengan penyidik, dan apabila diperlukan dilakukan pemeriksan otopsi forensik.
Pemeriksaan luar jenazah dibagi dalam 3 (tiga) kelompok besar pemeriksaan, yaitu
pemeriksaan identifikasi, pemeriksaan perubahan-perubahan setelah kematian (tanatologi) serta
pemeriksaan tanda-tanda kekerasan. Berikut pemeriksaan tersebut :
Pemeriksaan Identifikasi
Pemeriksaan identifikasi bertujuan untuk mengumpulkan data-data identifikasi postmortem yang
akan dicocokan dengan data antemortem pada rekonsiliasi. Untuk jenazah yang tidak diketahui
identitasnya, pemeriksaan identifikasi merupakan pemeriksaan yang utama, karena penyidik
tidak dapat memulai melakukan penyidikan bila korban tidak diketahui identitasnya. Untuk
jenazah yang dikenal pemeriksaan identifikasi merupakan konfirmasi atas data antemortem.
Pemeriksaan Tanatologi
Tanatologi adalah ilmu yang mempelajari perubahan-perubahan setelah kematian. Pemanfaatan
ilmu ini selain untuk mengetahui kepastian kematian juga dapat digunakan untuk memperkirakan
waktu kematian. Pencatatan waktu pemeriksaan menjadi hal yang sangat penting dalam
memperkirakan waktu kematian. Hal-hal yang berkaitan dengan tanatologi adalah:
1) Lebam Mayat
a. Lebam mayat disebut juga livor mortis atau postmortem lividity, adalah suatu keadaan
dimana terjadi pengumpulan darah pada bagian-bagian tubuh yang terletak paling
bawah namun bukan daerah yang tertekan akibat berhentinya pompa jantung dan
pengaruh gaya gravitasi.
b. Timbul antara 15 menit sampai 1 jam setelah kematian. Pada awalnya lebam mayat
pada penekanan akan menghilang. Seiring dengan bertambahnya waktu maka lebam
mayat berangsur-angsur semakin jelas dan merata. Dengan munculnya kaku mayat
termasuk pada tunika muskularis pembuluh darah maka lebam mayat akan menetap
walaupun pada bagian tersebut ditekan. Lebam mayat akan menetap sekitar 12 jam
setelah kematian.
c. Periksa bagian terbawah dari jenazah. Tampak sebagai bercak besar pada kulit berwarna
merah keunguan yang kemudian melebar dan merata pada bagian tubuh yang lebih
rendah.
d. Tekan pada bagian yang terdapat bercak merah keunguan, saat dilepas tekanan memucat
atau tidak.
e. Foto untuk dokumentasi pemeriksaan.
f. Catat distribusi lebam mayat, warna, hilang atau tidak pada penekanan.
2) Kaku Mayat
a. Kaku mayat disebut juga rigor mortis atau postmortem rigidity, adalah suatu keadaan
dimana terjadi pemecahan ATP menjadi ADP dan penumpukan asam laktat yang tidak
bisa diresintesis kembali menjadi ATP karena tidak adanya oksigen yang masuk ke
tubuh. Hal ini mengakibatkan serat otot memendek dan kaku. Kaku mayat muncul
sekitar 2 jam setelah kematian dan setelah 12 jam menjadi sempurna pada seluruh tubuh
dan sukar dilawan.
b. Lakukan saat melepas pakaian (jika berpakaian)
c. Raba kekakuan otot mulai dari otot-otot kecil hingga otot-otot besar.
d. Gerakkan persendian rahang, leher, anggota gerak atas dan bawah sambil merasakan
tahanan pada otot-otot di sekitarnya.
e. Catat distribusi kaku mayat dan intensitas kekakuan.
3) Perubahan Pada Mata
a. Selain refleks mata menghilang, setelah kematian akan terjadi kekeruhan kornea
(selaput bening mata), segmentasi arteri sentralis retina, dan penurunkan tekanan bola
mata.
b. Kekeruhan kornea yang menetap terjadi sekitar 6 jam setelah kematian pada mata yang
terbuka dan sekitar 24 jam setelah kematian pada mata yang tertutup.
c. Kekeruhan selaput bening mata ditandai dengan warna putih keruh sehingga pemeriksa
tidak dapat memeriksa tirai mata dan teleng mata secara jelas.
d. Bila kornea keruh, mata ditetesi air bersih, tunggu beberapa saat, kemudian evaluasi
apakah menjadi jernih kembali atau tetap keruh.
e. Foto dan catat.
4) Pembusukan
a. Pembusukan terjadi karena proses autolisis dan aktifitas mikroorganisme. Tanda
pembusukan yang mulai terjadi 24-36 jam setelah kematian adalah warna kehijauan
pada kulit yang diawali dari perut samping kanan bagian bawah. Selanjutnya, 36-48 jam
setelah kematian, akan tampak pelebaran pembuluh darah di bawah kulit berwarna
hitam kehijauan (marbling sign). Kemudian, 48-72 jam setelah kematian, akan terjadi
pembengkakan pada tubuh (bloating) yang memiliki jaringan ikat longgar seperti
kantung zakar, wajah membengkak, kedua bola mata menonjol, lidah terjulur, mulut
mencucu, serta perut menegang yang mengakibatkan keluarnya cairan merah kehitaman
dari hidung dan mulut yang disebut purging. Gelembung-gelembung pembusukan yang
disertai pengelupasan kulit dan menyebabkan rambut mudah dicabut akan terjadi 72-96
jam setelah kematian. Beberapa minggu kemudian akan terjadi skeletonisasi.
b. Foto dan catat distribusi dan kondisi pembusukan yang terjadi.
Pemeriksaan Fisik Secara Umum
Pemeriksaan fisik umum dimulai dari kepala hingga kaki.
1. Kepala.
a) Periksa bentuk kepala apakah ada kelainan bentuk seperti tumor, microcephali, dsb.
b) Ukur diameter kepala laterolateral dan anteroposterior untuk menghitung cephalic
index.
c) Foto dan catat.
2. Mata.
a) Periksa apakah mata terbuka atau tertutup. Ukur lebarnya bila mata terbuka.
b) Perhatikan selaput bening mata (kornea) apakah keruh, bila keruh ditetesi air apakah
jernih kembali.
c) Ukur diameter pupil (teleng mata).
d) Evaluasi warna iris (tirai mata)
e) Periksa sklera (selaput bola mata) apakah terdapat tanda ikterik, pelebaran pembuluh
darah atau bintik perdarahan.
f) Periksa konjungtiva palpebra (selaput lendir kelopak mata) apakah pucat atau
kemerahan karena terdapat pelebaran pembuluh darah atau bintik perdarahan.
g) Foto dan catat.
3. Hidung.
a) Periksa bentuk hidung, apakah terdapat kelainan, perhiasan atau tindikan.
b) Evaluasi apakah keluar darah atau cairan dari lubang hidung.
c) Foto dan catat.
4. Telinga.
a) Periksa bentuk telinga, apakah terdapat kelainan, perhiasan atau tindikan.
b) Evaluasi apakah keluar darah atau cairan dari lubang telinga.
c) Foto dan catat.
5. Mulut.
a) Periksa apakah mulut terbuka atau tertutup, ukur lebarnya bila mulut terbuka.
b) Evaluasi apakah lidah terjulur dan tergigit, ukur panjangnya dari ujung lidah bila
tergigit.
c) Nilai apakah terdapat sianosis pada selaput lendir bibir.
d) Periksa kondisi gigi geligi, apakah terdapat gigi yang tidak ada, karies (lubang), protesa
(gigi tiruan), tumpatan (tambalan), scale (karang gigi), dan lain-lain.
e) Kode gigi:
I. Angka pertama menunjukkan lokasi:
1: Rahang atas sisi kanan.
2: Rahang atas sisi kiri.
3: Rahang bawah sisi kiri.
4: Rahang bawah sisi kanan.
II. Angka kedua menunjukkan jenis gigi:
1 dan 2 : Gigi seri pertama dan kedua.
3 : Gigi taring.
4 dan 5 : Gigi geraham depan pertama dan kedua.
6, 7 dan 8 : Gigi geraham belakang pertama, kedua dan ketiga.
f) Foto dan catat.
6. Leher, dada dan perut.
a) Pemeriksaan untuk menemukan kelainan seperti tumor, pembesaran organ, dsb.
b) Foto dan catat.
7. Alat kelamin.
a) Periksa alat kelamin luar untuk membedakan jenis kelamin.
b) Evaluasi apakah disunat atau tidak pada laki-laki.
c) Evaluasi selaput dara pada perempuan.
d) Nilai apakah keluar cairan seperti urin, darah, lendir dan lain-lain dari saluran kelamin.
e) Foto dan catat.
8. Lubang pelepasan.
a) Periksa apakah terdapat kelainan seperti luka, anus corong, jaringan ikat, dan lain-lain
pada lubang pelepasan.
b) Nilai apakah keluar cairan seperti kotoran, darah, lendir, dll dari lubang pelepasan.
c) Foto dan catat.
9. Lengan dan tungkai.
a) Periksa apakah terdapat kelainan.
b) Periksa apakah terdapat sianosis pada ujung jari, washer women hand, dan lain-lain.
c) Foto dan catat.
Terperiksa sebagai korban merupakan barang bukti yang dinyatakan dalam Surat
permintaan Visum (SPV) dari penyidik kepolisian. Bila terperiksa datang tanpa membawa SPV,
terperiksa ditangani sebagai pasien dimana semua bukti-bukti serta tindakan-tindakan medis
dicatat dalam Rekam Medis. Jika SPV datang terlambat, maka Visum et Repertum dibuat di
Bagian Ilmu Kedokteran Forensik berdasarkan data Rekam Medis. Apabila terperiksa masuk
Rumah Sakit dengan membawa SPV, maka terperiksa sebagai pasien ditangani oleh dokter klinis
yang sesuai dan sekaligus sebagai korban yang dikumpulkan bukti medisnya oleh dokter
forensik. Visum Et Repertum diterbitkan oleh Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal.
Pemeriksaan Korban Kekerasan Fisik Pemeriksaan korban kekerasan fisik meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan fisik lokal, dan pemeriksaan penunjang
bila diperlukan. Semua data yang diperoleh dicatat dalam formulir kekerasan fisik yang telah
ditentukan dan dilakukan fotografi forensik. Khusus untuk korban kekerasan fisik pada anak
dilakukan serangkaian tindakan-tindakan medis yang mengacu kepada standar penanganan
korban kekerasan fisik pada anak dari WHO.
Langkah-langkah pemeriksaan korban kekerasan seksual pada anak perempuan (kurang dari 18
tahun):
1. Pemeriksaan korban kekerasan seksual pada anak perempuan pada prinsipnya sama dengan
korban perempuan dewasa. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pada korban anak yaitu
kelainan-kelainan (luka-luka) pada alat kelamin terutama robekan selaput dara sangat jarang
ditemukan. Jarangnya kelainan ini disebabkan oleh:
a) Lokasi selaput dara anak perempuan yang relatif lebih dalam dari muara lubang liang
senggama (introitus vagina). Dalamnya lokasi selaput dara disebabkan timbunan lemak
berlebih pada mons veneris.
b) Pada darah anak perempuan terdapat hormon estrogen maternal yang lewat melalui sawar
darah plasenta saat dalam kandungan.
c) Secara anatomi, genitalia anak masih belum berkembang sehingga sulit mengalami
penetrasi total (lebih sering penetrasi minimal atau penetrasi partial).
2. Kelainan-kelainan selaput dara pada anak yang perlu diperhatikan:
a) Robekan selaput dara (deflorasi).
b) Bercak noktah pada selaput dara.
c) Bentuk U atau V pada tepi dalam selaput dara.
d) Celah pada selaput dara.
e) Memar, kemerahan, dan sembab pada selaput dara.
f) Penyempitan lokal pada lubang selaput dara.
g) Kehilangan jaringan selaput dara.
h) Pelebaran diameter transversal lubang selaput dara.
3. Diameter transversal lubang selaput dara pada anak berkembang sesuai dengan umur anak.
Pada balita bergaris tengah 5 mm dan setelah 6 sampai 10 tahun bertambah 1 mm sesuai
dengan umur.
4. Bila diameter transversal lubang selaput dara melebihi umur, maka hal ini dapat disebabkan
karena penetrasi tumpul yang mengakibatkan “folding mechanism” pada tepi dalam lubang
selaput dara.
5. Oleh karena minimalnya kelainan-kelainan pada selaput dara anak, maka pemeriksaan
genetalia harus dilakukan dengan berbagai macam posisi pemeriksaan. Awalnya dilakukan
dengan posisi litotomi lalu diubah menjadi posisi knee-chest kemudian diganti menjadi posisi
lateral decubitus. Jika terdapat kelainan selaput dara pada lokasi yang sama, maka kelainan
tersebut baru dapat dipastikan.
Contoh kasus dalam pemeriksaan fisik yaitu pada saat ada korban yang mengalami
kekerasan dalam rumah tangga seperti hal nya contoh kasus KDRT yang terjadi pada Februari
2016 di Kota Lampung . Dalam kejadian tersebut ada suatu peristiwa KDRT yang dilakukan
oleh suami istri , sang istri telah mengaku telah dianiaya oleh sang suami . Dan ahirnya pihak
kepolisian menyelidik kasus tersebut . Pada korban penganiayaan ditemukan luka memar
dipunggung kai kiri, punggung jari telunjuk, jari tengah, jari manis, dan kelingking, Setelah
pemeriksaan lebih lanjut luka tersebut sesuai dengan luka benda tumpul. Luka memar tersebut
akibat pecahnya pembuluh darah sehingga terjadi ekstravasasi darah ke jaringan sekitar. Warna
luka memar dapat menunjukkan waktu perkiraan timbulnya suatu kekerasan. Pada korban, luka
memar berwarna merah keunguan menandakan kekerasan baru terjadi.