Speech Delay

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

SPEECH DELAY

A. Definisi
Keterlambatan (speech delay) bicara dan berbahasa pada anak, menggambarkan
kemampuan (skill) anak yang berkembang, tetapi pada tingkat yang lebih lambat dari
anak-anak sebayanya sesuai dengan tahapan tumbuh kembang anak. Masalah
keterlambatan bicara dan berbahasa ini, bisa ringan, sedang, atau berat (Alvika dkk,
2018).
Anak yang mengalami speech delay juga tergolong dalam gangguan pada ekspresi
bahasa, misalnya kesulitan menyampaikan pikiran-pikiran dalam bentuk kalimat yang
baik, kesulitan menyusun kata-kata yang baik, atau kesulitan menyusun elemen cerita
secara runtut. Namun pada umumnya ia tidak mengalami kesulitan penerimaan bahasa,
ia juga pandai berbahasa simbolik. Hanya saja saat anak itu masih kecil atau balita
dimana belum mengalami perkembangan berbahasa secara baik, ia juga mengalami
kekurangan daftar kata-kata, sehingga jika diajak berbicara juga masih mengalami
kesulitan pemahaman bahasa dan juga kesulitan mengambil daftar kata dalam
memorinya (Julia , 2016).
Masalah bicara dan bahasa anak-anak ini adalah masalah ketertinggalam
perkembangan. Jika dilihat dalam sebuah spektrum perkembangan bahasa,
perkembangan bahasa anak-anak ini berada dalam spektrum yang paling bawah. Dengan
begitu kita dapat memehami mengapa anak-anak ini mengalami ketertinggalan yang
terus-menerus dalam area bahasa yang menyebabkan masalah prestasi di sekolah
(Khoiriyah, 2016).

B. Etiologi
1. Faktor genetik
Termasuk faktor genetik antara lain adalah berbagai faktor bawaan yang normal dan
patologik, jenis kelamin, suku bangsa atau bangsa. Seperti sindrom Down, sindrom
Turner yang disebabkan oleh kelainan kromosom.
2. Faktor lingkungan
3. Sosial ekonomi kurang
Anak dengan keluarga sosial ekonomi kurang akan mengalami keterlambatan dalam
berbahasa karena fasilitas berbahasa dan pendidikan yang rendah pulan dari orang
tua.
4. Faktor psikososial, antara lain: stimulasi, motivasi belajar, hukuman yang wajar,
kelompok sebaya, stres, sekolah, cinta dan kasih sayang, kualitas interaksi anak-
orang tua.
5. Faktor keluarga dan adat istiadat, antara lain: pekerjaan/ pendapatan keluarga,
pendidikan ayah/ibu, jumlah saudara, jenis kelamin dalam keluarga, stabilitas rumah
tangga, kepribadian ayah/ibu, adat-istiadat, norma-norma, agama, urbanisasi,
kehidupan politik dalam masyarakat yang mempengaruhi prioritas kepentingan anak,
angaran, dan lain-lain (Soetjiningsih, 1998).

C. Manifestasi Klinis
1. Tanda dan gejala Speech Delay anak usia 1 tahun (12 bulan)
a. Menggunakan bahasa tubuh seperti melambaikan tangan ‘good-bye’ atau
menunjuk objek tertentu
b. Berlatih menggunakan beberapa konsonan yang berbeda
c. Vokalisasi atau melakukan komunikasi
2. Tanda dan gejala Speech Delay anak usia 1-2 tahun
a. Tidak memanggil ‘mama’ dan ‘dada’
b. Tidak menjawab bila dikatakan ‘tidak’, ‘halo’ dan ‘bye’
c. Tidak memiliki satu atau 3 kata pada usia 12 bulan dan 15 kata pada usia 18
bulan
d. Tidak mampu mengidentifikasi bagian tubuh
e. Kesulitan mengulang suara dan gerakan
f. Lebih memilih menunjukkan gerakan daripada berbicara verbal
3. Tanda dan gejala Speech Delay anak usia 2-5 tahun
a. Tak mampu menyampaikan kata-kata atau frase secara spontan
b. Tak mampu mengikuti petunjuk dan perintah sederhana
c. Kurang bunyi konsonan di awal atau akhir kata, seperti ‘aya’ (ayah), ‘uka’
(buka)
d. Tidak dipahami bicaranya oleh keluarga terdekat
e. Tak mampu untuk membentuk 2 atau 3 kalimat sederhana

D. Patofisiologi
Proses produksi berlokasi pada area yang sama pada otak. Struktur untuk pesan yang
masuk ini diatur pada area Wernicke, pesan diteruskan melalui fasikulus arkuatum ke
area Broca untuk penguraian dan koordinasi verbalisasi pesan tersebut. Signal kemudian
melewati korteks motorik yang mengaktifkan otot-otot respirasi, fonasi, resonansi dan
artikulasi. Ini merupakan proses aktif pemilihan lambang dan formulasi pesan. Proses
enkode dimulai dengan enkode semantik yang dilanjutkan dengan enkode gramatika dan
berakhir pada enkode fonologi. Keseluruhan proses enkode ini terjadi di otak/pusat
pembicara (Susanto & Ahmad, 2011).
Di antara proses dekode dan enkode terdapat proses transmisi, yaitu pemindahan atau
penyampaian kode atau disebut kode bahasa. Transmisi ini terjadi antara mulut
pembicara dan telinga pendengar. Proses decode-encode diatas disimpulkan sebagai
proses komunikasi. Dalam proses perkembangan bahasa, kemampuan menggunakan
bahasa reseptif dan ekspresif harus berkembang dengan baik.

E. Klasifikasi
Jenis dalam keterlambatan berbicara tidak hanya disebabkan oleh faktor
perkembangan anak, juga disebabkan oleh gangguan sensori, gangguan neorologis,
intellegences, kepribadian serta ketidakseimbangan perkembangan internal dan
ketidakseimbangan perkembangan eksternal anak. Keterlambatan dalam berbicara
memiliki jenis yang beda-beda satu dengan yang lainnya yang ditunjukkan dengan
gangguan yang dialami oleh anak. Jenis-jenis keterlambatan dalam berbicara pada anak
usia dini tersebut menurut Van Tiel (Tsuraya 2013:25) antara lain:
1. Specific Language Impairment yaitu gangguan bahasa merupakan gangguan primer
yang disebabkan karena gangguan perkembangannya sendiri, tidak disebabkan
karena gangguan sensoris, gangguan neurologis dan gangguan kognitif (inteligensi)
2. Speech and Language Expressive Disorder yaitu anak mengalami gangguan pada
ekspresi bahasa

3. Centrum Auditory Processing Disorder yaitu gangguan bicara tidak disebabkan


karena masalah pada organ pendengarannya. Pendengarannya sendiri berada dalam
kondisi baik, namun mengalami kesulitan dalam pemrosesan informasi yang
tempatnya di dalam otak.

4. Pure Dysphatic Development yaitu gangguan perkembangan bicara dan bahasa


ekspresif yang mempunyai kelemahan pada sistem fonetik.

5. Gifted Visual Spatial Learner yaitu karakteristik gifted visual spatial learner ini baik


pada tumbuh kembangnya, kepribadiannya, maupun karakteristik giftednessnya
sendiri.
6. Disynchronous Developmental yaitu perkembangan seorang anak gifted pada dasarnya
terdapat penyimpangan perkembangan dari pola normal. Ada ketidaksinkronan
perkembangan internal dan ketidaksinkronan perkembangan eksternal.

F. Komplikasi
1. Gangguan bahasa ekspresif
2. Gangguan bahasa reseptif ekspresif
3. Gangguan phonological
4. Gagap

G. Pemeriksaan Penunjang
1. TES BERA (Brainstem Evoked Response Auditory) atau ABR (Auditory Brainstem
Response)
Menguji kinerja seluruh alat pendengaran dari gendang telinga (telinga luar)
sampai ke otak. Cara kerjanya dengan memberikan bunyik klik pada frekuensi yang
berbeda–beda pada tingkat kekerasan yang berbeda–beda pula responnya ditangkap
langsung oleh sensor di otak. Tesnya tidak menyakitkan (un-invasive), tidak perlu
respon aktif dari pasien dan hasilnya menyeluruh. Tes ini adalah tes paling umum
dalam mendeteksi gangguan pendengaran.
2. TES OAE (Oto Acoustic Emission)
Menguji kinerja alat pendengaran dari gendang sampai rumah siput tetapi
terutama rumah siput. Cara kerjanya dengan memberikan nada murni ke telinga dan
menangkap responnya melalui perubahan tekanan di saluran telinga. Tesnya juga
tidak menyakitkan dan tidak memerlukan respon aktif dari pasien serta obyektif.
Biasanya digunakan untuk mendeteksi gangguan pendengaran khususnya akibat
gangguan di telinga tengah karena OME, OMA atau sensorinerual hearing loss
(SNHL) yaitu kerusakan sel saraf di rumah siput.
3. Tes Tympanometri
Menguji kinerja alat pendengaran dari gendang sampai telinga tengah (tulang
sanggurdi). Caranya mirip dengan OAE tapi responnya dari defleksi (perubahan
gerak) gendang telinga. Tesnya juga tidak menyakitkan, obyektif dan tidak perlu
respon aktif dari pasien. Biasanya digunakan untuk mengeliminasi kemungkinan
gangguan telinga tengah jika hasil OAE menunjukkan respon negatif.
4. Tes Audiometri
Pemeriksaan audiometri memerlukan : audiometer, ruang kedap suara, dan pasien
yang kooperatif. Pemeriksaan standar yang adalah :
a. Audiometri nada murni, Audiometri tutur
Audiometri nada murni adalah tes dasar untuk mengetahui ada tidaknya
gangguan pendengaran. Selama tes, orang yang dites akan mendengar nada
murni yang diberikan pada frekwensi yang berbeda melalui sebuah headphone
atau ear phone. Intensitas nada berangsur-angsur dikurangi sampai ambang
dengar, titik dimana suara terkecil yang dapat didengar akan diketahui. Hasilnya
ditunjukkan dalam desibel (dB) dan dimasukkan ke bentuk audiogram.
Caranya dengan memberikan nada murni baik melalui earphone (direct to
ear) ataupun speaker (free field test) dan meminta respon balik dari pasien
apakah bunyi terdengar atau tidak. Tesnya tidak menyakitkan namun agak
subyektif dan memerlukan respon aktif dari pasien. Cukup sulit dilakukan
khususnya untuk anak-anak.
Pemeriksaan ini menghasilkan grafik nilai ambang pendengaran pasien pada
stimulus nada murni. Nilai ambang diukur dengan frekwensi yang berbeda-beda.
Secara kasar bahwa pendengaran yang normal grafik berada diatas. Grafiknya
terdiri dari skala desibel. Suara dipresentasikan dengan earphone (air
conduction) dan skull vibrator (bone conduction). Bila terjadi air bone gap maka
mengindikasikan adanya CHL. Turunnya nilai ambang pendengaran oleh bone
conduction menggambarkan SNHL.
Untuk anak–anak biasanya dilakukan “Play Audiometri” yaitu uji
pendengaran dengan bermain dan diperlukan audiologist yang berpengalaman
untuk mendapatkan hasil yang baik. Biasanya untuk menguji
kemajuan/kemunduran fungsi pendengaran terutama pada pasien gangguan
pendengaran. Sedangkan pada audiometric tutur dites seberapa banyak
kemampuan mengerti percakapan pada intensitas yang berbeda. Tes terdiri dari
sejumlah kata-kata tertentu yang diberikan melalui headphone atau pengeras
suara free field. Kata-kata tersebut harus diulangi oleh orang yang dites. Setelah
selesai, persentase berapa kata yang dapat diulang dengan benar dapat diketahui.
5. TES ASSR (Auditory Steady State Response)
Menguji kinerja seluruh alat pendengaran dari gendang telinga sampai ke otak.
Cara kerjanya seperti BERA tapi yang diberikan adalah nada murni seperti layaknya
tes audiometri. Namun tidak diperlukan partisipasi aktif dari pasien karena respon
langsung dicatat oleh sensor yang menangkap aktifitas otak. Tes ini tidak
menyakitkan dan tidak memerlukan respon aktif namun pasien harus diam dan
tenang dalam waktu yang cukup lama, kurang lebih 1 jam.
Seringkali dianjurkan agar pasien ditidurkan atau diberi obat tidur jika memang
sulit, diminta untuk tetap tenang dan diam. Digunakan untuk mendeteksi gangguan
pendengaran pada bayi dan anak - anak yang masih kecil.

H. Penatalaksanaan
1. Terapi :
a. Terapi wicara
b. Terapi okupasi
2. Edukasi
a. Motivasi keluarga untuk menstimulasi bahasa, bicara secara intensif
b. Secara teratur membawa anak untuk mengikuti terapi
c. Konseling
I. Pathway

Lingkungan Kerusakan otak Emosi


1. Sosial ekonomi 1. Kerusakan 1. Ibu tertekan
rendah neuromuskuler 2. Gangguan serius
2. Tekanan keluarga 2. Sensori motorik pada orangtua/anak
3. Keluarga bisu 3. Serebral palsi
4. bahasa 4. Masalah persepsi

Masalah pendengaran Gangguan bahasa Perkembangan


1. Kongenital 1. Ekspresif terlambat
2. Didapat 2. Reseptik

Gangguan bicara

Keluarga Hubungan sosial Perkembangan


1. Cemas 1. Gangguan
2. Pengetahuan komunikasi verbal
3. Koping keluarga 2. Gangguan bermain Intelegensia
tidak efektif 3. Isolasi social
4. Interaksi sosial
Produktifitas

Resiko ketergantungan
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
1. Identitas Pasien
Meliputi : nama, tempat/tanggal lahir, umur, jenis kelamin, anak-ke, BB/TB, alamat.
2. Keluhan Utama
Hal yang sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan
bergantung seberapa jauh dampak dari speech delay pada peningkatan tekanan
intracranial, meliputi muntah, gelisah nyeri kepala, letargi, lelah apatis, penglihatan
ganda, perubahan pupil, dan kontriksi penglihatan perifer.
3. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat Kesehatan Sekarang
Adanya riwayat infeksi (biasanya riwayat infeksi pada selaput otak dan
meningens) sebelumnya. Pengkajian yang didapat meliputi seorang anak
mengalami pembesaran kepala. Tingkat kesadaran menurun (GCS <15), kejang,
muntah, sakit kepala, wajahnya tanpak kecil cecara disproposional, anak menjadi
lemah, kelemahan fisik umum, akumulasi secret pada saluran nafas, dan adanya
liquor dari hidung. Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran
akibat adanya perubahan di dalam intracranial. Keluhan perubahan prilaku juga
umum terjadi.
b. Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat speech delay
sebelumnya, riwayat adanyanya neoplasma otak, kelaian bawaan pada otak dan
riwayat infeksi.
4. Pengkajian psikososiospritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien dan keluarga (orang tua untuk
menilai respon terhadap penyakit yang diderita dan perubahan peran dalam keluarga
dan masyarakat serta respon atau pengruhnya dalam kehidupan sehari-hari. Baik
dalam keluarga maupun masyarakata. Apakah ada dampak yang timbul pada klien dan
orang tua, yaitu timbul seperti ketakutan akan kecatatan, rasa cemas, rasa ketidak
mampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal. Perawat juga memasukkan
pengkajian terhadap fungsi neurologis dengan dampak gangguan neurologis yang akan
terjadi pada gaya hidup individu. Perspektif perawatan dalam mengkaji terdiri atas dua
masalah: keterbatasan yang diakibatkan oleh defisit neurologis dalam hubungan
dengan peran sosial klien dan rencana pelayanan yang akan mendukung adaptasi pada
gangguan neurologis didalam sistem dukungan individu.
5. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik menggunakan pemeriksaan fisik secara head to-toe.
6. Pengkajian tingkat kesadaran
Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien speech delay biasanya berkisar pada
tingkat latergi, stupor, semikomatosa sampai koma.
7. Pengkajian fungsi serebral, meliputi:
a. Status mental
Obresvasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya bicara, ekspresi wajah dan
aktivitas motorik klien. Pada klien speech delay tahap lanjut biasanya status
mental klien mengalami perubahan. Pada bayi dan anak-anak pemeriksaan statuss
mental tidak dilakukan. Fungsi intelektual. Pada beberapa kedaan klien speech
delay didapatkan. Penurunan dalam ingatan dan memori, baik jangka pendek
maupun jangka panjang.
b. Pengkajin saraf cranial, meliputi :
1) Saraf I (Olfaktori)
Pada beberapa keadaan speech delay menekan anatomi dan fisiologis saraf,
klien akan mengalami kelainan pada fungsi penciuman/ anosmia lateral atau
bilateral.
2) Saraf II (Optikus)
Pada anak yang agak besar mungkin terdapat edema pupil saraf otak II pada
pemeriksaan funduskopi.
3) Saraf III, IV dan VI (Okulomotoris, Troklearis, Abducens)
Tanda dini herniasi tertonium adalah midriasis yang tidak bereaksi pada
penyinaran . paralisis otot-otot ocular akan menyusul pada tahap berikutnya.
Konvergensi sedangkan alis mata atau bulu mata keatas, tidak bisa melihat
keatas,. Strabismus, nistagmus, atrofi optic sering di dapatkan pada anak
dengan speech delay.
4) Saraf V (Trigeminius)
Karena terjadinya paralisis saraf trigeminus, didapatkan penurunan
kemampuan koordinasi gerakan mengunyah atau menetek.
5) Saraf VII(facialis)
Persepsi pengecapan mengalami perubahan.
6) Saraf VIII (Akustikus)
Biasanya tidak didapatkan gangguan fungsi pendengaran.
7) Saraf IX dan X( Glosofaringeus dan Vagus).
8) Saraf XI (Aksesorius)
9) Saraf XII (Hipoglosus)
Indra pengecapan mengalami perubahan.
8. Mobilitas
Kurang baik karena besarnya kepala menghambat mobilitas leher klien.
9. Pengkajian Refleks.
Pemeriksaan reflex profunda, pengetukan pada tendon, ligamentum atau periosteum
derajat reflex pada respon normal. Pada tahap lanjut, speech delay yang mengganggu
pusat refleks, maka akan didapatkan perubahan dari derajat reflex. Pemeriksaan
refleks patologis, pada fase akut refleks fisiologis sisi yang lumpuh akan menghilang.
Setelah beberapa hari refleks
10. Pengkajian sistem sensorik.
Kehilangan sensori karena speech delay dapat berupa kerusakan sentuhan ringan
atau mungkin lebih berat, dengan kehilangan propriosepsi (kemampuan untuk
merasakan posisi dan gerakan bagian tubuh) serta kesulitan dalam
menginterpretasikan stimuli visual, taktil, dan auditorius.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan kurangnya stimulasi bahasa
2. Gangguan komunikasi berhubungan dengan kerusakan fungsi alat-alat artikulasi.
3. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan gangguan pendengaran.
4. Gangguan komunikasi berhubungan dengan hambatan bahasa.
5. Kecemasan orang tua berhubungan dengan ketidakmampuan anak berkomunikasi.
6. Gangguan komunikasi berhubungan dengan kecemasan.
7. Gangguan komunikasi berhubungan dengan kurangnya kemampuan memori dan
kerusakan sistem saraf pusat.
C. Intervensi Keperawatan

Diagnosa
No. Intervensi Rasional
keperawatan
1. Gangguan 1. Lakukan latihan
1. Latihan bicara yang sesuai
komunikasi komunikasi dengan dengan perkembangan anak
verbal memperhatikan akan menghindari ekploatasi
Sehubungan perkembangan mental anak yang berakibat penekanan
dengan 2. Lakukan komunikasi fungsi mental anak.
kurangnya secara komprehensif baik
2. Komunikasi yang
stimulasi bahasa verbal maupun non verbal. komprehensif akan
memperbanyak jumlah
stimulasi yang diterima anak
sehingga akan memperkuat
memori anak terhadap suatu
kata.
3. Berbicara sambil bermain
3. Bermain akan menigkatkan
dengan alat untuk daya tarik anak sehingga
mempercepat persepsi anak frekwensi dan durasi latihan
tentang suatu hal. bisa lebih lama
4. Berikan lebih banyak kata
4. Anak lebih suka
meskipun anak belum mendengarkan kata-akat dari
mampu mengucapkan pada mengucapkan karena
dengan benar. biasanya kesulitan dalam
mengucapkan.
5. Lakukan sekrening lanjutan
5. Untuk mengetahui jenis dan
dengan mengggunakan beratnya gangguan serta
Denver Speech Test. keterlambatan dalam
berbicara pada anak.
2. Gangguan 1. Lakukan latihan
1. Agar stimulasi tetap diterima
komunikasi komunikasi, dan stimulasi anak sesuai dengan
verbal dini dengan benda-benda perlembangan mental anak
Sehubungan atau dengan menggunakan yang didasarkan atas
dengan bahasa isyarat serta kemampuan penerimaan
gangguan biasakan anak melihat anak terhadap informasi
pendengaran artikulasi orang tua dalam yang diberikan
berbicara.
2. Perhatikan kebersihan
2. Ganguan pendengaran sering
telinga anak disebabkan oleh adanya
hambatan pendengaran
akibat adanya kotoran
3. Kolaborasi dengan ditelinga.
rehabilitasi untuk
3. Alat bantu dengar
penggunaan alat bantu diharapkan mampu
dengar mengatasi hambatan
pendengaran pada telinga
anak.
3. Gangguan 1. Gunakan bahasa yang
1. Untuk memudahkan pema-
komunikasi sederhana dan umum haman menghindari stress
Sehubungan digunakan dalam dan kebingungan anak yang
dengan komunikasi sehar-hari. akibat bahasa yang berubah-
hambatan bahasa ubah.
2. Gunakan verifikasi bahasa
2. Difersifikasi bahasa dapat
sesuai dengan tingkat diberikan jika kemampuan
kematangan dan mental anak sudah matang
pengetahuan anak. seperti setelah umur 9
tahun, karena perkembangan
selsel otak anak sudah mulai
maksimal.
4. Gangguan 1. Stimulasi bahasa dan latihn
1. Untuk mengindari keter-
komunikasi bicara tetap dilakukan lambatan perkembangan
Sehubungan sesuai dengan mental, bahasa maupun
dengan perkembangan mentak bicara ketika alat artikulasi
kerusakan fungsi anak. sudah bisa diperbaiki.
alat-alat tikulasi 2. Perbaikan alat-alat artikulasi
2. Kolaborasi: dengan ahli hanya bisa dilakukan secara
bedah untuk perbaikan alat- optimal dengan
alat artikulasi. pembedahan.
5. Kecemasan 1. Gali kebiasaan komunikasi
1. Untuk dapat menggali
orang tua dan stimulasi orang tua efektivitas dan kemampuan
Sehubungan terhadap anak. serta usaha yang telah
dengan dilakukan oleh orang tua,
ketidakmampuan untuk mengindari overlaping
anak berbicara tindakan yang berakibat
orang tua menjadi bosan.
2. Pengikutsertaan keluarga
2. Berikan penjelasan tentang terhadap perawatan anak
kondisi anaknya secara secara langsung akan
jelas, serta kemungkinan mampu mengurangi tingat
penanganan lanjutan, kecemasan orang tua
prognose serta lamanya terhadap keadaan anaknya.
tindakan atau pengobatan.
6. Gangguan 1. Hindari bicara pada saat 1. Komunikasi tidak efektif
komunikasi kondisi bising sehingga anak menjadi
Sehubungan irritable
dengan 2. Lakukan komunikasi
2. Untuk meningkatkan
kecemasan dengan posisi lawan bicara pandangan mata dan
setinggi badan anak. efektivitas komunikasi
sehingga anak merasa lebih
nyaman
3. Lakukan latihan bicara
3. Agar anak lebih tertarik dan
sambil bermain dengan tidak lekas bosan.
mainan kesukaan anak.
7. Gangguan 1. Lakukan observasi dan 1. Untuk mengetahui
komunikasi pemeriksaan fisik kemungkinan posisi kelainan
Sehubungan neurologi secara mendetail dalam otak.
dengan 2. Kolaborasi pemeriksaan
2. Untuk mengetahui
kurangnya EEG kemungkinan kelainan pada
kemampuan SSP anak.
memori dan
kerusakan sistem
saraf pusat.

D. IMPLEMENTASI
Setelah renacana keperawatan disusun, selanjutnya menerapkan rencana keperawatan
dalam suatu tindakan keperawatan dalam bentuk nyata agar hasil yang diharapkan dapat
tercapai, sehingga terjalin interaksi yang baik antara perawat, klien dan keluarga.
Implementasi merupakan tahap keempatdari proses keperawatan dimana rencana
keperawatan dilaksanakan : melaksanakan intervensi/aktivitas yang telah ditentukan,
pada tahap ini perawat siap untuk melaksanakan intervensi dan aktivitas yang telah
dicatat dalam rencana perawatan klien.
Agar implementasi perencanaan dapat tepat waktu dan efektif terhadap biaya, pertama-
tama harus mengidentifikasi prioritas perawatan klien, kemudian bila perawatan telah
dilaksanakan, memantau dan mencatat respons pasien terhadap setiap intervensi dan
mengkomunikasikan informasi ini kepada penyedia perawatan kesehatan lainnya.
Kemudian, dengan menggunakan data, dapat mengevaluasi dan revisi rencana perawatan
dalam tahap proses keperawatan berikutnya.

E. EVALUASI
Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan yaitu menilai efektifitas
rencana yang telah dibuat, strategi dan pelaksanaan dalam asuhan keperawatan serta
menentukan perkembangan dan kemampuan pasien mencapai sasaran yang telah
diharapkan.
Tahapan evaluasi menentukan kemajuan pasien tehadap pencapaian hasil yang
diinginkan dan respons pasien terhadap dan keefektifan intervensi keperawatan kemudian
mengganti rencana perawatan jika diperlukan. Tahap akhir dari proses keperawatan
perawat mengevaluasi kemampuan pasien ke arah pencapaian hasil.

DAFTAR PUSTAKA
Alvika Candra Puspita, Anin Akvian Perbawani, Nova Danoar Adriyanti, Sumarlan. 2018.
“Analisis Bahasa Lisan Pada Anak Keterlambatan Bicara (speech delay) Usia 5 Tahun”,
(Semarang: Universitas Negeri Semarang), hlm 155-156
Carpenito, L.D .2009. Nursing Diagnois; Application to Clinical Practice, 7th. Edition,
Lippincott, Philadelpia, New York.
Julia Maria Van Tiel. 2016. Anakku Gifted Terlambat Bicara: masalah & Intervensi Bahasa
Pada Anak Gifted Plus SLI (Jakarta:Prenadamedia Group). Hlm 4-5.
th
Kozier Barbara et.al. 2012. Fundamental Of Nursing ; Concept, Process and Practice , 5
Edition, Addison Wesley Nursing, Cuming Publishing, New York
Susanto, Ahmad. 2011. “Perkembangan Anak Usia Dini: Pengantar Dalam Berbagai
Aspeknya”.Jakarta: Prenadamedia Group.
th
Whaley and Wong. 1996. Nursing Care of Infants and Children, 5 Edition, Mosby Year
Book, Philadelpia.
Whaley and Wong. 1997. Pediatric Nursing; Clinical Manual, Mosby Year Book,
Philadelpia.

Anda mungkin juga menyukai