Prosiding Asean Revisi

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 226

Prosiding

SEMINAR NASIONAL
“KONTRIBUSI STUDI HUBUNGAN
INTERNASIONAL DALAM INTEGRASI ASEAN
COMMUNITY 2015”

KONVENSI NASIONAL III


ASOSIASI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
INDONESIA

MALANG, 8 – 10 OKTOBER 2012

i
ii
Prosiding

SEMINAR NASIONAL
“KONTRIBUSI STUDI HUBUNGAN
INTERNASIONAL DALAM INTEGRASI ASEAN
COMMUNITY 2015”

KONVENSI NASIONAL III


ASOSIASI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
INDONESIA

MALANG, 8 – 10 OKTOBER 2012

Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional Indonesia (AIHII)


dan
Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Muhammadiyah Malang

iii
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL
“KONTRIBUSI STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
DALAM INTEGRASI ASEAN COMMUNITY 2015”
© Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional Indonesia (AIHII)

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang All Rights Reserved


Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit

Cetakan Pertama, Januari 2013


viii+hlm.; 21x29.7cm
ISBN:

Editor: Tonny Dian Effendy


Perancang Sampul:
Penata Letak:

Pertama kali diterbitkan oleh


Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional Indonesia (AIHII)

Bekerja sama dengan


Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Muhammadiyah Malang

Dicetak Oleh:
Mata Padi Pressindo
08179407446, 081227837806
[email protected], [email protected]

iv
Kata Pengantar

Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas karunia-Nya akhrinya Konvensi Nasional III,
Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional Indonesia (AIHII) yang mengusung tema “Kontribusi Studi
Hubungan Internasional dalam Integrasi ASEAN Community 2015 “ dapat terselenggara dengan
baik.
Pelaksanaan Venas kali ini memiliki arti penting dalam melanjutkan dan memperkuat
kebersamaan, persaudaraan, dan persatuan antara jurusan dan dosen Ilmu Hubungan Internasional
dari berbagai universitas di Indonesia. Hal ini tentu saja merupakan modal yang sangat baik untuk
memberikan banyak kontribusi dalam pengembangan keilmuan hubungan internasional maupun
juga kontribusi kepada negara dan juga masyarakat Indonesia.
Dari Venas kali ini muncul berbagai macam ide dan gagasan baik yang tertuang dalam beberapa
artikel dalam prosiding ini, maupun dalam berbagai diskusi yang muncul dalam presentasi maupun
dalam sidang komisi dan pleno yang membahas tentang kelembagaan asosiasi ini.
Tema tentang Komunitas ASEAN merupakan satu hal yang sangat penting untuk dibicarakan,
dipandang dari dua sisi. Pertama, secara keilmuan, fenomena ASEAN Community ini merupakan
ladang penelitian yang sangat menarik dan memberikan “undangan” kepada peminat, pegiat dan
penstudi ilmu hubungan internasional untuk meneliti dan mengamatinya. Kedua, secara praktis,
waktu menjelang pelaksanaan ASEAN Community ini menjadi semakin dekat. Tentu, dibutuhkan
persiapan yang matang agar bangsa Indonesia mampu memanfaatkan dengan baik demi kemajuan
dan kesejahteraan bangsa. Oleh karena itu dari hasil Venas ini diharapkan akan muncul berbagai
gagasan dan ide tentang bagaimana posisi Indonesia dalam perubahan regional Asia Tenggara ini.
Akhirnya, mewakili seluruh panitia Konvensi Nasional III, Asosiasi Ilmu Hubungan
Internasional Indonesia (AIHII) yang dilaksanakan di Universitas Muhammadiyah Malang, kami
mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya atas semua dukungan dan partisipasi dari
peserta Vennas, saudara-saudara kami dari perwakilan jurusan Ilmu Hubungan Internasional di
Indonesia, sehingga kegiatan ini dapat terlaksana dengan baik. Kami juga mohon maaf sekiranya
terdapat banyak kekurangan dan hal-hal yang kurang berkenan dalam pelaksanaan Vennas III
AIHII. Semoga kebersamaan kita akan terus terjalin dan memberikan yang terbaik untuk bangsa
dan negara Indonesia.

Malang, November 2012


Ketua Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
Universitas Muhammadiyah Malang

Tonny Dian Effendi

v
vi
Daftar Isi

Kata pengantar ............................................................................................................................................


Daftar Isi .......................................................................................................................................................

EKONOMI POLITIK INTERNASIONAL


- Keamanan Pangan Regional Tanpa Kedaulatan Pangan Lokal : Kasus Pertanian
Indonesia dalam Konteks Pangan ASEAN
Andre Ardi ..........................................................................................................................................
- Komunitas Epistemik dan Peran Second Track Diplomacy dalam Kerjasama Ekonomi
Asia Timur
Tirta N. Mursitama dan Maisa Yudono .............................................................................................
- Pendefinisian ASEAN Community di Era Globalisasi
Mohammad Riza Widyarsa .................................................................................................................
- Indonesia : Strengthening the Competitiveness of Domestic Products and Protecting
Domestic Labour Force from any Detrimental Efffects of the ASEAN-China Free
Trade Agreement
Hevi Kurnia Hardini ...........................................................................................................................
- Identitas Kerjasama Regional Asia Tenggara : Sulitnya Mewujudkan ASEAN
Free Trade Area (AFTA)
Obsatar Sinaga ....................................................................................................................................

KEAMANAN
- Keterlibatan Akademik Intelektual dalam Modus Kepemerintahan Neoliberal:
Kasus Integrasi Keamanan ASEAN
Hizkia Yosie Polimpung . ....................................................................................................................
- Kegagalan Code of Conduct (CoC) dan Tantangan Bagi ASEAN dalam Penyelesaian
Sengketa Wilayah Laut Cina Selatan
Purnama Wulandari ...........................................................................................................................
- Peran Indonesia Melalui Regional Peace Making dalam Pencapaian ASEAN Community
Arin Fithriana .....................................................................................................................................
- Problem State-led Regionalism dalam Transformasi ASEAN
Ade M Wirasenjaya . ...........................................................................................................................
- Memahami ASEAN Community dengan Teori-teori Integrasi Internasional :
Fungsionalisme, Neofungsionalisme dan Konstruktivisme
Bambang Wahyu Nugroho...................................................................................................................
- Komunitas ASEAN 2015: Survival, Peacefull Coexistance, Global Concern dan Global Interest
Andrik Purwasito ................................................................................................................................

vii
- Kerjasama ASEAN dalam Penanggulangan Terorisme
Sukawarsini Djelantik . .......................................................................................................................
- Quo Vadis Konflik Laut China Selatan
Yudha Kurniawan ...............................................................................................................................
- South China Rising Tension: The Quest of ASEAN’s Role?
Angel Damayanti ................................................................................................................................

SOSIAL-BUDAYA
- Kepemerintahan Lingkungan di Asia Tenggara
Apriwan . .............................................................................................................................................
- The Establishment of The Chiang Mai Initiative Multilateralisn (CMIM)
and The Internationalization of Asean Political Culture
M. Sigit Andhi Rahman . ....................................................................................................................
- Indonesia Menuju ASEAN Community 2015
Emil Radhiansyah ...............................................................................................................................
- Pembentukan Piagam ASEAN : Tinjauan Konstruktivisme Politik Hukum Internasional
Deni Meutia dan Yoga Suharman.......................................................................................................
- ASEAN Community 2015 from Socio-Cultural Perspective
Amb. Nazaruddin Nasution . ..............................................................................................................

Daftar Penulis ..............................................................................................................................................

viii
I
EKONOMI POLITIK
INTERNASIONAL

1
2
KEAMANAN PANGAN REGIONAL TANPA KEDAULATAN
PANGAN LOKAL: KASUS PERTANIAN INDONESIA DALAM
KONTEKS PANGAN ASEAN

Andre Ardi
Pengajar Jurusan Hubungan Internasional di Universitas Prof. Dr. Moestopo (B)

Abstraction
One of the efforts to prevent the impact of the world food crisis is by strengthening the mechanism of the
regional food security. There for since 2009 ASEAN has been implemented the ASEAN Integrated Food
Security (AIFS) Frame Work and the Strategic Plan of Action on Food Security in the ASEAN Region (SPA-FS).
The goal of the program is to ensure long-term food security and to improve the livelihoods of farmers in
the ASEAN region. Become a question then how we can reach the regional food security without local food
sovereignty? Looking at the Indonesian Case that has a huge potential in agroculture but become more and
more depend on foods import. This papper tries to describe that regional food security will be hard to gain
without food sovereignty at the local level by examine Indonesian case in the ASEAN context.
Keywords: Agriculture, Food Security, Food Sovereignty


Ketidakamanan Pangan Global
Dalam sejarah pangan dunia, tahun 2007/2008 merupakan salah satu periode krisis yang
ditandai dengan naiknya harga pangan global. Pada tahun tersebut, 180 negara bertemu di Roma
untuk menyepakati komitmen tindakan bersama yang terkoordinasi untuk memerangi dampak
buruk dari kenaikan harga pangan tersebut. Di titik ini negara-negara di dunia telah sampai pada
kesimpulan bahwa kenaikan harga pangan dunia telah sampai pada kondisi yang mengkhawatirkan
dan dapat mengancam keamanan pangan (food security) secara global. Komitmen-komitmen sejenis
juga muncul pada berbagai pertemuan multilateral dan regional.

Data dari Food and Agriculture Organization (FAO) tahun 2008 di atas menunjukkan bahwa
kenaikan yang sangat siginifikan dari harga pangan dunia. Index kenaikan tersebut bahkan telah
mendekati harga ketika terjadi krisis pangan pada tahun 1970an. Sebagai catatan bahwa Krisis
pangan tahun 1970-an ini adalah yang terburuk terjadi pada masa Pasca Perang Dunia II.
Sebelumnya, sejak berakhirnya perang, persoalan pangan memang menjadi hal yang sangat
serius diperhatikan oleh negara-negara maju dan berkembang. Marshall Plan Amerika Serikat
misalnya menjadikan bantuan pangan dan pertanian sebagai salah satu paket bantuan utama untuk
membantu negara-negara Eropa pasca perang. Kebijakan pangan dari negara-negara waktu itu
hampir semuanya menitikberatkan kepada peningkatan produksi pertanian untuk menghindar

3
dari ancaman kelaparan dan inflasi. Untuk itu mereka berusaha menekan laju impor pangan dalam
rangka melindungi dan memperbaiki posisi ekonomi para petani. Kebijakan pertanian ini meliputi
kebijakan proteksi, harga, dan perlindungan terhadap pendapatan petani yang kesemuanya
berujung pada kebijakan subsidi ekspor. Seluruh kebijakan tersebut, ditambah dengan keberhasilan
Revolusi Hijau, kemudian menyebabkan terjadinya surplus produksi pertanian yang sebaliknya
justru menyebabkan turunnya harga produk-produk pertanian. Dalam kurun dua dekade hingga
awal tahun 1970, meskipun fluktuatif, namun produksi pertanian dunia naik hingga lebih dari 50%.
Kenaikan produksi dan jatuhnya harga pangan menyebabkan negara-negara maju, seperti
Amerika Serikat dan Kanada, kemudian melakukan kebijakan pengaturan pasokan guna menurunkan
surplus produksi mereka. Faktor-faktor lain kemudian berkelindan turut menyebabkan turunnya
produksi pangan dunia dan sebaliknya meroketkan harga. Di antara faktor-faktor tersebut adalah
persoalan iklim yang tidak kondusif dan gagal panen gandum di Uni Soviet yang memaksa mereka
untuk melakukan transaksi impor gandum, di antaranya dari Amerika Serikat, terbesar sepanjang
sejarah. Faktor lain yang kemudian turut memperburuk keadaan adalah kenaikan harga minyak
yang menimbulkan efek kenaikan harga pupuk (Shaw, 2007, pp. 115-116).
Kondisi tersebut memaksa negara-negara melakukan koordinasi di Roma pada tahun 1974.
Hasilnya adalah proposal tindakan yang berisi: (1)kebijakan untuk meningkatkan produksi pangan;
(2)kebijakan untuk memastikan ketersediaan pangan di negara-negara berkembang; (3)kebijakan
Keamanan Pangan yang meliputi Sistem Peringatan Dini dan Sistem Informasi, Sistem stok pangan
interasional, dan bantuan pangan; (4)kebijakan perdagangan pangan; dan (5)implementasi. Inti dari
kebijakan ini sebenarnya bermuara pada dua hal yaitu: keamanan pangan dan produksi pangan
(Shaw, 2007, p. 127). Hasil dari koordinasi pangan dunia itu menciptakan trend harga pangan dunia
yang terus menurun selama tiga dasawarsa.
Itulah sebabnya ketika harga pangan dunia melonjak drastis pada tahun 2007, dunia
harus kembali mengevaluasi apa yang terjadi dan apa yang berbeda pada krisis kali ini. FAO
menyimpulkan bahwa kenaikan harga kali ini disebabkan oleh beberapa faktor pada sisi pasokan
dan permintaan. Pada sisi pasokan penyebabnya adalah: (1)adanya perubahan kebijakan pertanian
di Cina, Uni Eropa, India, dan AS yang menyebabkan penurunan pada stok dunia; (2)penurunan
produksi pangan akibat perubahan iklim; dan (3)kenaikan harga minyak dunia yang memicu
kenaikan biaya produksi. Sedangkan pada sisi permintaan faktor-faktor yang mempengaruhi
adalah: (1)meningkatnya permintaan pangan untuk biofuel; (2)meningkatnya konsumsi pangan
akibat kenaikan pertumbuhan ekonomi di negara-negara tertentu. Selain itu ada beberapa faktor
lain yang turut mempengaruhi seperti: (1)kebijakan perdagangan di negara-negara tertentu
yang membatasi ekspor pangan guna melindungi keamanan pangan domestik namun justru
meningkatkan ketidakamanan pangan global; dan (2)ulah para spekulan pasar keuangan yang
menjadi memperburuk kenaikan harga karena menjadinya sebagai objek spekulasi. (“The High
Food Price and Food Security: Threats and Opportunity,” 2008, p. 9)
Banyak yang memperkirakan bahwa volatilitas kenaikan harga komoditas pangan ini akan
berlangsung singkat dan dengan cepat keseimbangan pasar akan kembali menstabilkan harga
meskipun lebih tinggi dari rata-rata sebelumnya. Namun pada pertengahan tahun 2010 harga
kembali naik dengan cepat. Hal ini menimbulkan sebuah kesimpulan baru bahwa naik turunnya
harga atau volatilitas akan menjadi karakter harga pangan ke depan (“How Does International
Price Volatility Affect Domestic Economies and Food Security?,” 2011, p. 12).
Meskipun volatilitas dan tingginya harga pangan akan memiliki dampak positif dan negatif,
namun dapat dipastikan bahwa harga pangan yang terlalu tinggi akan memukul keamanan pangan
konsumen pada level rumah tangga dan individu. Laporan FAO menyebutkan bahwa kenaikan
harga pangan dunia akan menurunkan pendapatan riil masyarakat yang pada gilirannya akan

4
menurunkan asupan makanan pokok serta belanja terhadap untuk pendidikan, kesehatan, dan
lain sebagainya. Dengan demikian ia akan memperburuk tingkat kekurangan gizi serta tingkat
kemiskinan.

Laporan FAO (2008) memperlihatkan bahwa kawasan Asia dan Pasifik merupakan kawasan
yang paling terkena dampak dari tingginya harga pangan. Penyebabnya adalah tingginya jumlah
penduduk dan lambannya kemajuan di dalam pengurangan kelaparan membuat kawasan ini
merupakan lokasi di mana 2/3 dari jumlah penduduk dunia yang kekurangan pangan berada. India
dan Cina merupakan sumber dari tingginya angka kekurangan gizi di kawasan ini dimana mereka
berdua berkontribusi terhadap 41% dari angka kekurangan gizi di negara-negara berkembang.
Meskipun pada sub-kawasan Asia Tenggara, terutama Vietnam dan Thailand, dinilai cukup berhasil
di dalam mencapai target pengurangan angka kelaparan MDG’s dan World Food Summit.

Kerangka Keamanan Pangan Regional Melalui ASEAN: ASEAN Integrated Food Security (AIFS)
Kenaikan harga pangan pada tahun 2007/2008 telah mendorong negara-negara ASEAN
untuk memperkuat kerja sama pangan mereka. Sebagai catatan bahwa kerja sama ASEAN untuk
bidang pertanian telah ada sejak tahun 1968 dengan fokus pada persoalan produksi dan pasokan
pangan. Pada tahun 1977 kerja sama ini diperluas mencakup bidang pertanian dan kehutanan.
Idealnya kerja sama tersebut bertujuan untuk meningkatkan kerja sama regional ASEAN di bidang
keamanan pangan, pertanian, dan kehutanan serta meningkatkan kekompetitifan ASEAN
secara internasional pada bidang-bidang tersebut.
Pada tahun 1992 ASEAN Ministers on Agriculture and Forestry (AMAF) menetapkan tujuh
prioritas kerja sama ini, yaitu (“AMAF,” 2008): (1)keamanan pangan; (2)perdagangan intra dan ekstra
ASEAN; (3)transfer teknologi; (4)pembangunan desa; (5)investasi; (6)sustainable development; dan
(7)berbagai isu regional maupun internasional.
Konsep ASEAN mengenai keamanan pangan secara terintegrasi baru dimunculkan pada
pertemuan ASEAN Ministers on Agriculture and Forestry (AMAF) tahun 2008 di Chiang Mai. Konsep
ini kemudian disebut sebagai ASEAN Integrated Food Security (AIFS) yang akan dijabarkan oleh
Strategic Plan of Action on Food Security (SPA-FS). Tujuan dari SPA-FS adalah untuk memastikan
keamanan pangan jangka panjang dan memperbaiki kehidupan petani di kawasan ASEAN .
Sasaran dari SPA-FS yang ingin dicapai dari adanya SPA-FS ini adalah: (1)peningkatan produksi
pangan; (2)mengurangi gagal panen; (3)mempromosikan perdagangan; (4)stabilitas pangan; (5)
ketersediaan input pertanian; (6)mengatur bantuan darurat pangan regional. Ada lima komoditas
pangan strategis yang menjadi prioritas perhatian dari SPA-FS yaitu: beras, jagung, kedelai, gula,

5
dan singkong.
Untuk mencapai hasil tersebut maka kerangka kerja dari AIFS akan dilaksanakan di dalam
empat komponen, yaitu: (1)keamanan pangan dan bantuan darurat pangan; (2)pengembangan
perdagangan pangan yang berkelanjutan; (3)sistem informasi keamanan pangan yang terintegrasi;
dan (4)inovasi pertanian. Implementasi dari SPA-FS akan berlangsung selama lima tahun yaitu
2009 sampai dengan 2013.

Bila dilihat secara keseluruhan ketersediaan pangan untuk kawasan Asia Tenggara memang
relatif baik. Sebagai contoh misalnya cadangan beras sebagai makanan pokok untuk kawasan
ini relatif stabil pada kisaran 22 juta ton meskipun terjadi faktor cuaca seperti banjir, namun
penurunannya tidak sampai mengganggu cadangan beras ASEAN secara drastis. Rasio cadangan
terhadap penggunaan domestik di negara-negara ASEAN juga berada pada kisaran aman 20%,
kecuali Indonesia yang hanya 5%.
Produksi beras negara-negara di kawasan ini juga menunjukkan adanya peningkatan. Meskipun
Thailand sebagai suplier beras ASEAN terbesar terkena dampak dari bencana banjir, namun
produksi secara total relatif stabil. Hal ini ditunjukkan dengan angka rasio produksi beras terhadap
penggunaan domestik berada pada angka kisaran 112%, yang bermakna bahwa produksi beras
ASEAN secara keseluruhan cukup untuk menutupi konsumsi regional. Namun patut dicermati
bahwa hanya tiga negara, yaitu Thailand, Vietnam, dan Kamboja, yang baru dapat mencapai surplus
produksi beras sehingga dapat melakukan ekspor. Sementara negara sisanya, termasuk Indonesia,
merupakan net importir beras. (“ASEAN Agricultural Commodity Outlook,” 2012, p. 1).

6
Ketersediaan dan penggunaan lahan untuk pertanian padi juga cenderung menunjukkan trend
peningkatan, meskipun fluktuatif. Hal ini memperlihatkan hasrat para petani untuk bertanam padi
di kawasan ini masih belum luntur. Meskipun terjadi proses transformasi industrialisasi, namun
luas lahan pertanian padi masih dalam batas yang relatif aman untuk mengamankan konsumsi
kawasan.
Kondisi yang hampir sama juga berlaku untuk komoditas prioritas pangan ASEAN lainnya.
Produksi jagung misalnya meskipun turun ke angka 36,5 juta ton, namun masih membukukan
angka cadangan hingga 5 juta ton. Sedangkan untuk produksi gula naik hingga ke angka 16,4 juta
ton, sehingga menaikkan angka cadangan ke angka 3,3 juta ton. Produksi kedelai turun hingga
angka 1,6 juta ton, sedangkan angka stok kedelai akan sama dengan tahun sebelumnya yaitu 0,24
juta ton. Untuk singkong, produksi naik ke angka 66,4 juta ton, dengan stok 2,3 juta ton. Secara
umum meskipun bersifat fluktuatif, namun keseluruhan tanaman pangan prioritas ASEAN masih
mampu membukukan cadangan kawasan (“ASEAN Agricultural Commodity Outlook,” 2012).
Dalam kaitannya keamanan pangan dengan pengentasan kekurangan gizi, bila mengacu
kepada target World Food Summit untuk mengurangi jumlah penduduk yang kurang gizi hingga
50% dari tahun 1990-92, maka menurut FAO kemajuan yang telah dibuat ASEAN dinilai belum
memadai. Total penduduk ASEAN berjumlah 564 juta pada tahun 2006-08. Dari angka ini masih
ada 77,4 juta penduduk kekurangan gizi, hanya turun 26,9% dari angka 105,8 juta sejak tahun 1990-
92.
Namun bila mengacu kepada target MDG’s untuk mengurangi proporsi angka kurang gizi
hingga 50% dari tahun 1990-92, kawasan ASEAN dinilai FAO akan mampu mencapai target tersebut.
Dari 24% proporsi penduduk kekurangan gizi pada tahun 1990-92, maka di tahun 2006-08 ASEAN
dinilai telah mengurangi proporsi tersebut hingga ke angka 14% atau berkurang sebesar 41%.

Dari seluruh negara ASEAN hanya Vietnam, Thailand, dan Filipina yang dinilai telah mampu
mencapai target pengurangan proporsi kurang gizi sesuai target MDG’s. Bahkan Vietnam telah
mampu pula melampaui target yang disepakati di dalam World Food Summit. Adapun untuk
Indonesia adalah negara yang mendapat penilaian paling buruk sekawasan ASEAN untuk
pencapaian target World Food Summit maupun MDG’s. (“How Does International Price Volatility
Affect Domestic Economies and Food Security?,” 2011)

Keamanan Pangan Versus Kedaulatan Pangan


Apakah sebenarnya keamanan pangan itu? Konsep mengenai keamanan pangan telah
mengalami evolusi yang cukup panjang secara definisi. Pada masa 1960-an hingga 1970-an
pemahaman konsep ini lebih kepada persoalan pasokan pangan (food supply). Pada tahun 1974 di

7
dalam resolusi mengenai Internasional Undertaking on Wood Food Security (IUWFS) yang didukung
oleh FAO dan The World Food Conference, keamanan pangan didefinisikan sebagai “ketersediaan
pasokan makanan pokok yang memadai sepanjang waktu untuk menghindari kelangkaan pangan
pada masa gagal panen atau bencana alam yang meluas, keberlanjutan peningkatan produksi
dan konsumsi, serta mengurangi fluktuasi produksi dan harga” (Shaw, 2007, p. 150). Untuk itu
IUWFS juga mendefinisikan level aman minimal untuk stok pangan sebagai “jumlah total cadangan
sebelumnya yang dibutuhkan untuk memastikan keberlangsungan pasokan musim berikutnya pada
pasar nasional dan internasional, dan untuk menjaga level konsumsi dan perlindungan terhadap
kelangkaan yang parah pada masa kegagalan panen atau bencana alam”.
Konsep awal ini masih berfokus kepada persoalan peningkatan produksi, terutama di negara
berkembang, menstabilkan pasokan pangan, memanfaatkan surplus pangan di negara maju,
menciptakan cadangan pangan dunia dan nasional, menstimulasi perdagangan pertanian dunia,
menegosiasikan kesepakatan mengenai komoditas internasional, dan meningkatkan kesepahaman
mengenai kampanye Freedom From Hunger. Negara-negara berkembang kemudian berhasil
mencapai target tersebut melalui Green Revolution dengan menggunakan bibit, pupuk, dan irigasi
yang telah dikembangkan untuk menghasilkan lebih banyak pangan. Namun menjelang akhir 1970-
an dan awal 1980-an pertumbuhan ini ternyata tidak terlihat memberikan manfaat bagi setiap orang,
dan yang pasti tidak menghapuskan kelaparan dan kekurangan gizi.
Pendekatan dari sisi pasokan (supply driven) ini kemudian mulai banyak menuai kritik. Salah
satu kritik yang paling terkenal adalah dari Amartya Sen yang mengatakan bahwa produksi pangan
saja tidaklah cukup, orang membutuhkan akses kepada pangan, untuk mendapatkan ‘entitlement’
atau hak kepemilikan terhadap pangan tersebut. Menurutnya walaupun tidak ada kelangkaan
pangan orang bisa saja mengalami ketidakamanan pangan. (“Sustainable Agriculture and Food
Security in Asia Pacific,” 2009, p. 20)
Setelah krisis krisis pangan evolusi keamanan pangan paling tidak telah mengalami tiga jenis
pergeseran: (1)dari global dan nasional bergeser kepada rumah tangga dan individu; (2)dari ‘food
first’ kepada perpektif kehidupan; (3)dari indikator objektif kepada persepsi subjektif (Maxwell, 2001).
Selanjutnya fase dari perkembangan konsep dan kebijakan keamanan pangan dapat digambarkan
sebagai berikut: (1)pada masa krisis pangan dan World Food Conference 1974 sasarannya adalah
membentuk sistem keamanan pangan global; (2)pada paruh awal 1980-an konsep Amartya Sen’s
mengenai ‘entitlement’ serta dampak kontraproduktif dari proram Structural Adjustment IMF dan
World Bank; (3)pada paruh kedua era 1980-an ketika terjadi bencana kelaparan di Afrika, ketahanan
pangan lebih ditekankan kepada persoalan kelaparan dan sebab-sebabnya; (4)dan pada era 1990-an
ketika ketahanan pangan dikaitkan dengan kelaparan dan kekurangan gizi (Shaw, 2007, p. 385).
Perkembangan terkini definisi kemanan pangan adalah sebagai mana yang disampaikan oleh
Food and Agricuture Organization, yaitu “keamanan pangan sebagai sebuah kondisi dimana semua
orang, pada setiap waktu, memiliki akses secara fisik, sosial, dan ekonomi, terhadap pangan secara
cukup, aman, dan sehat sehingga dapat memenuhi kebutuhan gizi dan pilihan pangan mereka
bagi kehidupan yang aktif dan sehat”. Sedangkan ketidakamanan atau kerawanan pangan (Food
Insecurity) adalah “sebuah kondisi dimana orang tidak memiliki akses terhadap pangan yang
memadai secara fisik, sosial, dan ekonomi” (“The Economic Crises - Impacts and Lesson Learned,”
2008, p. 8)
Sebagai tambahan, kekurangan gizi (undernourishment) adalah “sebuah kondisi ketika
asupan kalori berada di bawah persyaratan minimum energi makanan (Minimum Dietary Energi
Requirement: MDER)”. MDER adalah jumlah energi yang dibutuhkan untuk aktifitas ringan serta
berat badan minimum bagi tinggi badan tertentu. MDER berbeda-beda bagi tiap negara dan dari
tahun ke tahun tergantung dari gender dan struktur umur dari populasi. Kata-kata kekurangan

8
gizi (undernourishment) dan kelaparan (hunger) sering digunakan secara bergantian(“The Economic
Crises - Impacts and Lesson Learned,” 2008, p. 8).
Lalu, apakah kini masalah keamanan pangan dunia telah dapat diselesaikan? Faktanya hingga
tahun 2010, 925 juta orang didunia tidak memiliki akses yang memadai kepada pangan dan 98% dari
mereka hidup di negara berkembang, 60% dari kasus kelaparan tersebut menimpa kaum wanita,
10,9 juta anak di bawah 5 tahun mati setiap tahun dan kebanyakan dari penyebab kematian mereka
adalah kekurangan pangan (“UN World Food Program Statistic,” 2010). Fakta yang mencengangkan
ini tampaknya menjadikan konsep keamanan pangan mulai bergeser kembali.
Muncul dari sebuah gerakan internasional yang bernama La Via Campesina, pada tahun
1996 gagasan mengenai Kedaulatan Pangan atau Food Sovereignty diperkenalkan secara resmi di
dalam pertemuan World Food Summit. La Via Campesina, menurut web resmi mereka, merupakan
perwakilan dari kelompok petani yang berasal Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika, didirikan pada
tahun 1993 di Mons Belgia. Pendirian organisasi berangkat dari sikap kritis mereka terhadap
masalah globalisasi kebijakan pertanian dan agribisnis. Menurut mereka dalam konteks ini suara
petani kecil harus didengar. Petani kecil dan menengah harus terlibat langsung dalam penentuan
berbagai kebijakan yang akan menentukan nasib mereka. Kini organisasi ini beranggotakan sekitar
200 juta petani dan 150 organisasi yang berasal dari 70 negara yang menjadikan mereka aktor utama
dalam perdebatan mengenai persoalan pertanian. Suara mereka didengar oleh institusi-institusi
seperti FAO dan UN Human Rights Council.
Konsep kedaulatan pangan yang disampaikan oleh La Via Campesina adalah “hak dari
masyarakat untuk memperoleh pangan yang sehat dan sesuai budayanya, yang diproduksi melalui
metode berkelanjutan dan hak mereka untuk menentukan pangan serta sistem pertanian mereka
sendiri”. Lebih tegas La Via Campesina pada tahun 1996 menyatakan bahwa kedaulatan pangan
adalah “hak setiap negara untuk mempertahankan dan mengembangkan kapasitasnya dalam
memproduksi pangan pokoknya sesuai dengan budaya dan perbedaan cara produksi. Kita memiliki
hak untuk memproduksi makanan kita sendiri di dalam wilayah kita sendiri. Kedaulatan pangan
adalah prasyarat untuk terciptanya keamanan pangan”.
Hal ini meletakkan aspirasi, kebutuhan, dan kelangsungan hidup mereka yang memproduksi,
mendistribusikan, serta mengkonsumsi pangan sebagai jantung dari sistem dan kebijakan pangan,
bukannya pada pasar dan korporasi. Kedaulatan pangan memprioritaskan kepada produksi dan
konsumsi pangan lokal. Hal ini memastikan perlindungan para produser lokal dari impor murah
dan kontrol produksi. Kebijakan tersebut juga memastikan hak untuk menggunakan dan mengelola
tanah, air, bibit, ternak, dan biodiversitas di tangan mereka yang memproduksinya dan bukan di
tangan perusahaan (“La Via Campesina,”). Ada tujuh prinsip dari konsep kedaulatan pangan
menurut La Via Campesina (Michael Windfuhr, 2004, p. 15).
1. Pangan sebagai hak asasi manusia dimana setiap orang harus memiliki akses kepada pangan
yang aman, bergizi, dan sesuai dengan budaya dalam kuantitas dan kualitas yang memadai
untuk keberlangsungan hidup yang sehat sesuai dengan harkat dan martabat manusia.
2. Reformasi agraria untuk memberikan hak milik dan kontrol atas tanah bagi para petani yang
selama ini tidak memiliki tanah, serta mengembalikan kembali wilayah kepada penduduk asli.
3. Perlindungan terhadap kekayaan alam, dimana masyarakat harus diberikan hak untuk
pengelolaan yang berkelanjutan atas sumber daya alam dan pemeliharaan atas keanekaragaman
hayati.
4. Mengorganisasikan kembali perdagangan pangan, dimana kebijakan pertanian nasional harus
memprioritas produksi untuk konsumsi domestik dan swasembada pangan. Impor pangan
tidak boleh menggantikan produksi lokal atau menekan harga. Untuk itu praktek dumping atau
subsidi ekspor tidak boleh dilakukan. Harga pangan domestik maupun internasional haruslah

9
diregulasi dan merefleksikan biaya produksi pangan yang sesungguhnya. Hal ini untuk
memastikan bahwa keluarga petani akan mendapatkan pemasukan yang layak.
5. Mengakhiri kelaparan global. Kedaulatan pangan selama ini telah dilemahkan oleh institusi
multilateral dan spekulasi kapital. Perusahaan-perusahaan multinasional dan para spekulan
kapital yang mengendalikan kebijakan pertanian telah difasilitasi World Bank, IMF, dan WTO.
Dibutuhkan regulasi dan pajak untuk mengendalikan spekulasi kapital dan MNC.
6. Perdamaian sosial. Pangan tidak boleh digunakan sebagai senjata. Marginalisasi pedesaan, etnis,
dan penduduk asli, pengusiran, keterpaksaan urbanisasi, dan represi terhadap para petani tidak
boleh terjadi.
7. Kontrol demokrasi, dimana para petani harus mendapatkan akses langsung untuk
memformulasikan kebijakan pertanian pada semua level.

Konsep kedaulatan pangan dapat dibedakan dan sangat kontras dengan model neoliberalisme
mengenai ketahanan pangan. Kedaulatan pangan memfokuskan kepada produksi lokal bagi
konsumsi lokal dan dilandasi oleh gagasan mengenai saling ketergantungan. Hal ini sangat
berbeda dengan visi globalisasi ala neoliberal yang menekankan kepada dunia yang terintegrasi
dan terdiri dari individu-individu yang bersifat rasional, otonom, dan self-interest. Untuk itu
konsep ekonomi murni mengenai kompetisi, efisiensi, profit, dan konsumsi yang tanpa batas dapat
dibandingkan dengan konsep mengenai kerja sama, produksi yang efisien bagi komunitas lokal,
saling mensejahterakan, dan pembangunan yang berkelanjutan (Schanbacher, 2010, p. 55).
Menurut Schanbacher kritik terhadap reformasi pertanian dengan model pasar, yaitu liberalisasi
perdagangan, privatisasi, dan deregulasi telah berdampak terhadap spesialisasi dan homogenisasi
pertanian lokal. Pertanian skala kecil ditransformasi kepada model pertanian besar yang
mempraktekkan monocropping, padat modal, dan merusak keanekaragaman hayati. Para aktifis
kedaulatan pangan sangat meyakini bahwa pertanian dalam skala kecil akan sangat bermanfaat
tidak hanya dalam perolehan ekonomi, namun juga kepada pelestarian keanekaragaman hayati,
menghubungkan petani dengan tanah, dan juga menciptakan kedekatan hubungan antara petani,
tanaman, dan makanan yang mereka produksi dan mereka konsumsi.
Selain itu pertanian pada skala kecil ini juga mengadopsi apa yang disebut sebagai agroekologi.
Agroekologi adalah sistem pertanian yang berbasis kepada pengetahuan lokal dan tradisional,
yang aman terhadap lingungan, dan secara budaya mendukung pembangunan yang berkelanjutan,
menggunakan input organik ketimbang kimiawi, dan keanekaragaman hayati.
Kedaulatan pangan juga berusaha melindungi para petani kecil dari monopoli bibit yang
dilakukan oleh perusahaan-perusahaan raksasa, seperti Monsanto, Dupont, dan Syngenta. Ketiga
perusahaan ini saja menguasai lebih kurang 47% pasokan bibit dunia (10 perusahaan bibit dunia
menguasai lebih kurang 67% pasaran bibit dunia). Dampak dari praktek monopoli ini adalah
hilangnya keanekaragaman hayati dari bibit-bibit yang selama ini telah ada, ketergantungan para
petani terhadap produk bibit korporasi dan produk-produk tambahan lainnya, serta efek samping
dari penggunaan bibit transgenik terhadap lingkungan maupun manusia sendiri (Schanbacher,
2010, p. 59).
Pada tahun 2002 beberapa organisasi non pemerintah dan pergerakan sosial yang tergabung
dalam International Planning Commitee for Food Sovereignty (IPC) menyampaikan bahwa kedaulatan
pangan mencakup empat area prioritas atau pilar, yaitu (Lee, 2007): (1)hak terhadap pangan; (2)
akses kepada sumber daya produktif; (3)mengarusutamakan produksi yang bersifat agroekologi;
dan (4)perdagangan serta pasar lokal.

10
Secara politis konsep kedaulatan pangan memiliki beberapa kelebihan (Hospes, 2010). Pertama
konsep ini menyoroti akar penyebab marginalisasi petani kecil. Ia menaruh perhatian kepada
kemungkinan keterkaitan antara globalisasi produksi pangan dan perdagangan dengan kemiskinan
pedesaan dan lemahnya pembangunan sektor pertanian. Kedua, konsep keamanan pangan juga
menyoroti marginalisasi politik. Ia menitikberatkan bahwa para petani kecil miskin pedesaan juga
harus dilibatkan dalam berbagai kebijakan yang menyangkut persoalan pertanian, termasuk dalam
negosiasi perdagangan pertanian. Ketiga, konsep ini membangun pendekatan yang bersifat multi-
level untuk menghadapi marginalisasi ekonomi dan politik petani kecil tersebut. Ia tidak hanya
berbicara mengenai reformasi di dalam lembaga-lembanga multinasional seperti WTO, namun juga
dukungan terhadap sistem pertanian lokal dan bagaimana pemerintah nasional dapat menyusun
sebuah kebijakan pertanian dan kebijakan pangan yang berdasarkan hak asasi manusia.
Namun sebagaimana lazimnya terjadi di dalam perkembangan dialektika mengenai suatu
konsep, kedaulatan pangan pun tidak dapat dilepaskan dari kritik. Menurut Hospes beberapa kritik
terhadap konsep ini adalah (Hospes, 2010): pertama, masih belum jelas dampak dan keuntungan dari
pengimplementasian kedaulatan pangan sebagai sebuah kebijakan. Misalnya faktor resiko terhadap
keamanan pangan secara nasional dan global yang dihadapi ketika mengandalkan sepenuhnya
kepada produksi petani kecil. Kedua, konsep kedaulatan pangan kurang memberikan perhatian
terhadap konflik kepentingan yang akan terjadi antara individu, komunitas, dan pemerintah
nasional dalam pengimplementasian konsep kedaulatan pangan. Dalam hal ini siapa yang berhak
menentukan kebijakan pertanian dan pangan, sebab kedaulatan pangan juga berfungsi sebagai
mekanisme redistribusi kekuasaan, legitimasi, dan representasi. Ketiga, pergerakan kedaulatan
pangan beresiko menjauhkan dirinya pembuatan kebijakan pada level internasional bila ia
tidak memperhatikan potensi keuntungan yang didapat dari liberalisasi perdagangan dan bila ia
mengusulkan untuk mengeluarkan pertanian dari perundingan WTO.

Kedaulatan Pangan Indonesia: Mau Kemana?


Berikut ini adalah fakta mengenai posisi pasokan pangan Indonesia dalam kaitannya dengan
komoditas pangan strategis ASEAN (“ASEAN Agricultural Commodity Outlook,” 2012):
1. Pengimpor beras no. 1 di ASEAN pada tahun 2011 (1.620.000 ton)

11
2. Pengimpor gula no. 1 di ASEAN pada tahun 2011 (1.689.000 ton)

3. Pengimpor jagung no. 1 di ASEAN pada tahun 2011 (2.682.000 ton)

4. Pengimpor kedelai no.3 di ASEAN pada tahun 2011 (1.440.659 ton)

5. Meskipun bukan termasuk pengimpor casava dalam jumlah besar, namun Indonesia juga bukan
negara pengekspor casava.

Fakta-fakta ini meskipun tidak mengejutkan, namun membuat kita berfikir mengenai
ketergantungan pangan nasional Indonesia. Tidak hanya terhadap produk pangan, ketergantungan
ini pun termasuk terhadap input utama pertanian seperti pupuk dan bibit. Untuk kondisi pupuk
nasional, nilai impor pupuk memperlihat kecenderungan untuk terus meningkat. Data Kementrian
Perdagangan untuk impor pupuk pada tahun 2011 mencapai angka US$ 2.587.000 (2011).

12
Produksi pupuk nasional memang belum mampu menutup kebutuhan pertanian domestik.
Menurut prediksi Kementerian Perindustrian, kebutuhan pupuk anorganik nasional di tahun 2011
adalah sebanyak 9,3 juta ton pupuk urea, 4,5 juta ton pupuk super phosphate (SP-36), 1,6 juta ton
pupuk ZA, dan 8,8 juta ton pupuk NPK. Sementara proyeksi produksi nasional pada tahun yang
sama adalah pupuk urea sebanyak 8,05 juta ton, pupuk SP-36 sebanyak 1,0 juta ton, pupuk ZA 0,65
juta ton, dan pupuk NPK sebanyak 5,89 juta ton. Untuk kebutuhan pupuk organik di Indonesia
pada tahun 2011 adalah 12,394 juta ton. Padahal pabrik pupuk BUMN pada tahun yang sama hanya
memproduksi pupuk organik sebanyak 2,601 juta ton. Ada potensi kekurangan pupuk organik
sebanyak 9,793 juta ton (“Pengembangan Pupuk Organik Mendukung Pasokan Pupuk Nasional
2011,” 2011).
Kondisi ini sebenarnya lebih disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang tidak jelas. Sebagian
besar dari produsen pupuk nasional adalah Badan Usaha Milik Negara. Tujuan dari industri pupuk
memang untuk mendukung kegiatan pertanian dan perkebunan nasional. Salah satu kendala utama
dari indsutri pupuk adalah pasokan gas. Mengingat prioritas pemerintah pada sektor energi adalah
kepada penerimaan devisa, maka gas sebagai produk energi terikat kontrak ekspor jangka panjang.
Dengan demikian industri pupuk harus membeli pasokan gas sesuai dengan harga pasar. Padahal
mereka hanya boleh menjual pupuk dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang telah ditetapkan
pemerintah. Kondisi ini belum ditambah lagi dengan pasokan gas yang seringkali tersendat. Kita
tentu masih ingat kondisi PT ASEAN Aceh Fertilizer (perusahaan patungan beberapa negara anggota
ASEAN) yang bangkrut, ironis padahal ia berada tidak jauh dari ladang-ladang gas terbesar di Aceh
(“Perkembangan Industri Pupuk di Indonesia,” 2008).
Dalam kaitannya dengan bibit kondisinya tidak jauh berbeda. Menurut Kementerian
Perdagangan trend impor benih juga memperlihatkan kecenderungan terus naik. Persoalan benih
ini kemudian bertambah runyam karena ia melibatkan perusahaan-perusahaan multinasional yang
tidak segan-segan menggunakan berbagai cara untuk memelihara kepentingan mereka. Apalagi
kepentingan mereka tersebut kemudian dilindungi oleh Undang-Undang no. 12 tahun 1992 tentang
Sistem Budi Daya Tanaman. Undang-undang ini dianggap sebagai biang keladi kriminalisasi petani
di dalam menghadapi korporasi besar dan pemerintah.

Sejak tahun 2004 di Jawa Timur misalnya tidak kurang 17 petani dan pedagang benih jagung
lokal di Jawa Timur mengalami kriminalisasi oleh perusahaan benih internasional. Pada kasus-
kasus tersebut bila ditelusuri maka akan bermuara kepada Monsanto, yaitu perusahaan pertanian
multinasional raksasa yang sangat terkenal dengan praktek-praktek serupa di berbagai negara.
Kasus-kasus lain yang juga melibatkan Monsanto misalnya kegagalan panen petani padi Rembang
tahun 2012 setelah menggunakan produk PT BISI Internasional tbk (“Petani Rembang Tuntut
Ganti Rugi Perusahaan Benih,” 2012). PT BISI tbk Internasional adalah anak perusahaan Charoen
Pokhpan perusahaan yang menjadi mitra dagang dan pemegang ijin utama perusahaan benih
Dekalb Genetics (AS) yang dibeli oleh Monsanto pada tahun 1998 seharga 2,3 milyar dolar (“Pledoi
Melawan Kriminalisasi Petani: Menegaskan Negara Res-Publica, Menolak Negara Res-Privata,”

13
2010). Perusahaan inilah yang juga berulang kali menuntut petani karena tuduhan pelanggaran
hukum atas kasus benih.
Kasus lain Monsanto yang sangat menggegerkan terjadi pada tahun 2005 di Sulawesi Selatan
ketika terjadi kegagalan panen para petani kapas akibat menggunakan benih transgenik ilegal
dari Monsanto. Kasus ini menjadi besar karena mengindikasikan adanya penyuapan hingga di
tingkat pejabat tinggi negara dan menimbulkan tuntutan hukum terhadap Monsanto di Amerika
Serikat. Uniknya kasus ini hingga kini belum kunjung terselesaikan oleh KPK. Namun jangan
dikira bahwa persoalan benih di negeri ini telah usai. Berita di harian kompas 19 September 2012
mengenai rekomendasi oleh Komisi Keamanan Hayati terhadap jagung hasil rekayasa genetik
produk Monsanto yang konstroversial menyadarkan kita bahwa perang penguasaan korporasi
asing terhadap pertanian Indonesia belumlah usai (“Konsekuensi Jagung Transgenik,” 2012).
Tambahkan persoalan-persoalan pertanian ini dengan konflik agraria maka hampir sempurnalah
penderitaan petani Indonesia. Serikat Petani Indonesia memaparkan bahwa penyempitan lahan
pertanian, konflik agraria, kekerasan, dan kriminalisasi petani semakin marak sepanjang tahun
2011. Petani terus dihadapkan dengan penangkapan, penggusuran, penembakan, serta berbagai
tindakan kekerasan sepanjang tahun ini. Hal ini berdampak nyata terhadap hilangnya sumber-
sumber kehidupan, dan ancaman terhadap keberlangsungan hidup masyarakat, khususnya lagi
terhadap perempuan (“Tahun Korporasi Besar dan Penggusuran Pertanian Rakyat “, 2011). Berikut
catatan perkembangan kasus agraria yang disampaikan oleh Serikat Petani Indonesia.

Inilah sebagian karut marut wajah pertanian Indonesia. Pasca reformasi ala neoliberal ditahun
1998 yang dibawakan oleh para agen Wahington Consensus, privatisasi pertanian dan marginalisasi
petani kecil serta perusakan ekosistem lingkungan seolah menjadi kabar buruk yang tak kunjung
usai. Prestasi awal neoliberalisme adalah importasi beras dan pelucutan peran Bulog. Sangat
mengherankan memang melihat antusiasme para pendukung kebijakan pasar bebas ini. Bahkan Karl
Polanyi sejak tahun 1944 telah menggambarkan kemunculan pasar bebas ini sebagai sebuah ideologi
utopia yang berdasarkan semata-mata kepada premis bahwa pasar yang tidak diatur (unregulated)
atau pasar bebas akan membawa kesejahteraan bagi semua orang. Namun menurutnya ideologi
ini memiliki sejumlah cacat yang mendasar. Kebijakan neoliberal akan membawa semua produk
kepada pasar bebas dunia dan akan mengintensifkan kompetisi dalam kontrol sumber daya alam
dan tanah (Collins, 2007, p. 189).
Pasar yang sepenuhnya diserahkan kepada pasar dan tiadanya peran pemerintah, atau
pemerintah yang justru bersekutu dengan korporasi, akan membawa kepada konflik dan eksploitasi
terhadap mereka yang berada pada anak tangga ketidakberdayaan paling bawah. Namun sikap keras
kepala para utopian pasar bebas di Indonesia tampaknya memang sejak awal sudah begitu meyakini
kebaikan pasar bebas, dalam hal ini bagi produk pertanian. Mari kita lihat apa yang dituliskan
oleh Marie Pangestu dan teman-teman pada tahun 2002 mengenai kemungkinan kebaikan pasar
bebas, dengan menggunakan model komputasi, dalam konteks AFTA dan APEC bagi pertanian
Indonesia. Menurut mereka semakin besar partisipasi negara, semakin luas sektor yang dicakup,
semakin besar pengurangan tarif, maka akan semakin besar manfaat kesejahteraan yang diperoleh
dari perdagangan bebas. Untuk Indonesia dampak keterlibatan Indonesia dalam AFTA akan besar,

14
dimana Indonesia akan mendapatkan akses-akses ke negara-negara ASEAN lainnya (Mari Pangestu,
2002, p. 35). Ironis bila penelitian itu dibandingkan dengan realita yang terjadi 10 tahun kemudian.
Sejak dibukanya gerbang impor, petani dari berbagai komoditas berteriak mengeluhkan kejatuhan
harga akibat serbuan produk impor. Logika ekonominya bila hal ini dibiarkan terus terjadi adalah
petani akan kehilangan insentif untuk bercocok tanam dan berpindah ke sektor-sektor lain yang
menjanjikan pendapatan dan nilai tambah yang lebih tinggi.
Pemerintah dalam hal ini seolah lupa bahwa keberlangsungan hidup bangsa ini ditopang justru
oleh para petani kecil yang masih sangat tergantung alam tersebut. Sektor pertanian merupakan
tempat menggantungkan hidup lebih dari 42,47 juta jiwa penduduk Indonesia dan ini sama dengan
lebih kurang 40% dari jumlah penduduk (terbesar). Sektor pertanian menyumbang lebih kurang
15,7% Produk Domestik Bruto dengan laju pertumbuhan 3,4%. Namun dari pertumbuhan ekonomi
Indonesia yang 6,5%, sektor pertanian hanya menyumbang 0,4%.

Tingginya angka penduduk yang bekerja di sektor pertanian identik dengan kemiskinan
(dalam kasus Indonesia). Laporan Biro Pusat Statistik menunjukkan bahwa pada Maret 2011 jumlah
penduduk miskin Indonesia adalah 30,02 juta, dengan komposisi penduduk miskin pedesaan 18,97
juta dan 11,05 juta penduduk miskin perkotaan. Ketika tingkat kemiskinan pedesaan disetarakan
dengan jumlah petani gurem yang hanya punya tanah garapan kurang dari 0,5 ha, menurut sensus
pertanian Indonesia tahun 2008 jumlahnya adalah 15,6 juta kepala keluarga (bandingkan dengan
sensus tahun 2003 yang berjumlah 13,7 juta jiwa). Dengan melihat data ini saja sebenarnya solusi
ketahan pangan dan kemiskinan sudah tampak jelas terlihat, yaitu fokuslah kepada pertanian dan
pedesaan. Masalah kemiskinan perkotaan akibat urbanisasi pun dengan ini akan turut terpecahkan.
Dengan mengabaikannya, wajarlah kalau MDG’s dan target keamanan pangan Indonesia paling
melorot di Asia Tenggara.
Namun fakta justru memperlihatkan bahwa meskipun kontribusi dan pertumbuhan sektor
pertanian relatif signifikan namun kecenderungan jumlah petani miskin malah makin bertambah.
Artinya petani memiliki keterbatasan-keterbatasan secara struktural yang membuat peningkatan
produktifitas pertanian belum tentu akan memberikan dampak peningkatan pendapatan untuk
mencukupi kebutuhan rumah tangganya. Ketidaklayakan hidup sebagai seorang petani ini pulalah
yang menjadikan minat pilihan hidup anak petani untuk melanjutkan usaha tani orang tuanya
menjadi kecil. Hasil penelitian penelitian Perhimpunan Sarjana Pertanian menunjukkan bahwa
ketersediaan petani di lumbung-lumbung pertanian didominasi oleh struktur usia di atas 45 tahun.
Krisis petani muda (2011) terjadi di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat,
dan Sulawesi (“Tahun Korporasi Besar dan Penggusuran Pertanian Rakyat “, 2011).
Dapatkah kita membayangkan apa artinya itu bagi keamanan pangan Indonesia? Dan mari
kemudian kita mengutip apa yang dikatakan oleh mantan presiden Amerika Serikat Bill Clinton
pada pertemuan UN World Food Day 2008 mengenai krisis harga pangan dan kritiknya terhadap

15
kebijakan keamanan pangan ala IMF, World Bank, dan Amerika Serikat (Henley, 2008),
“..kita semua telah mengacaukannya, termasuk saya sendiri, dengan memperlakukan tanaman
pangan seperti TV berwarna dan bukannya sebagai komoditas vital bagi negara-negara miskin.
Pangan bukanlah komoditas biasa. Kita harus kembali kepada kebijakan kemandirian pangan
secara maksimal. Adalah gila bila kita berpikir bahwa kita dapat membangun suatu negara
tanpa meningkatkan kemampuan mereka untuk memberi makan diri mereka sendiri.”

Keamanan Pangan Regional Melalui Kedaulatan Pangan Lokal


Konsep keamanan pangan ASEAN bila secara seksama diperhatikan terlihat masih merupakan
sebuah konsep kovensional yang semata-mata lebih menitikberatkan kepada pasokan pangan.
Konsep keamanan pangan ASEAN bahkan bukan merupakan sebuah pendekatan komprehensif
yang mengacu kepada konsep keamanan pangan FAO saat ini. Apalagi bila dikaitkan dengan
konsep yang lebih holistik mengenai kedaulatan pangan.
Lebih jauh dalam perkembangan kondisi pangan dunia saat ini, konsep keamanan pangan
ASEAN tampaknya memang harus direvisi lagi dengan merujuk dan memasukkan konsep
kedaulatan pangan. Pada kondisi diambang krisis pangan seperti sekarang, sulit membayangkan
keamanan pangan tanpa kedaulatan pangan.
Meski demikian beberapa hal memang perlu diperhatikan dalam diskusi mengenai keamanan
pangan dan kedaulatan pangan.Sebagaimana menurut Hospes, yaitu (Hospes, 2010): pertama,
dibutuhkan pemahaman empiris dan konseptual yang lebih besar untuk memahami persoalan
kedaulatan pangan pada level (individu, rumah tangga, komunitas, negara, dan global), kategori
masyarakat (petani kecil, buruh yang tidak punya tanah, masyarakat miskin perkotaan), dan untuk
negara (importir atau eksportir) yang berbeda. Kedua, produksi pangan pada petani skala kecil
tidaklah untuk menggantikan pertanian skala besar dan berorientasi ekspor, namun mereka saling
melengkapi. Ketiga, pergerakan petani dan LSM harus menemukan sekutu di dalam pemerintah
nasional dan WTO untuk menciptakan ruang kebijakan dan negosiasi pada level yang berbeda.
Sekiranya perlu ditambahkan di sini bahwa kedaulatan pangan bukan sesuatu yang anti perdagangan
(harap dibedakan perdagangan dengan perdagangan bebas) dan anti-asing. Pembicaraan mengenai
kedaulatan pangan tetap harus memasukkan prinsip-prinsip kebaikan dari interdependensi antar-
negara.
Akhirnya, dengan jumlah penduduk sebesar Indonesia, kehilangan kedaulatan pangan berarti
kehilangan keamanan pangan, dan dapat dibayangkan besarnya tarikan yang akan menyeret
kawasan ini kepada pusaran krisis pangan bila itu terjadi. Ada beberapa kemungkinan yang bisa
saja terjadi. Pertama, kerawanan pangan di Indonesia akan menyedot cadangan pangan negara-
negara sekawasan. Atau kedua, negara-negara di kawasan ini akan justru memproteksi cadangan
dan kepentingan mereka sendiri dan pada akhirnya akan malah membahayakan hubungan ASEAN
ke depan.

Daftar Pustaka
. (2011). Retrieved 20/9, 2012, from http://www.kemendag.go.id/statistik_perkembangan_impor_
nonmigas_(komoditi)/
. AMAF. (2008). Retrieved 20-9, 2012, from http://www.aseansec.org/19587.htm
. ASEAN Agricultural Commodity Outlook. (2012) (Vol. 7). Bangkok: ASEAN Food Security
Information Center.
Collins, E. F. (2007). Indonesian Betrayed: How Development Fails. Hawaii: Universty of Hawaii
Press.
. The Economic Crises - Impacts and Lesson Learned. (2008) The State of Food Insecurity in the

16
Wold. Rome: Food and Agriculture Organization of United Nations.
Henley, C. J. (2008, 28/10/2008). We Blew It on Global Feed, Says Bill Clinton, San Frasisco Chronicle.
The High Food Price and Food Security: Threats and Opportunity. (2008). The State of Food Insecurity
in The World 2008.
Hospes, O. (2010). Food Sovereignty. Netherland: Wageningen UR.
. How Does International Price Volatility Affect Domestic Economies and Food Security? (2011) The
State of Food Insecurity in The Wolrd 2011. Rome: FAO.
Konsekuensi Jagung Transgenik. (2012, 19-9-2012). Kompas.
. La Via Campesina. Retrieved 20-9, 2012, from http://viacampesina.org/en/index.php/
organisation-mainmenu-44
Lee, R. (2007). Food Security and Food Sovereignty. Center for Rural Economy Discussion Paper
Series (University of NewCastle Upon Tyne, 11.
Mari Pangestu, E., Tubagus Feridhanusetiyawan. (2002). Effects on AFTA and APEC Reforms on
Indonesian Agriculture. In R. S. Kim Anderson, Erwidodo, Tubagus Feridhanusetiyawan (Ed.),
Indonesia in A Reforming World Economy: Effects on Agriculture, Trade, and The Environment.
Adelaide: The Universtiy of Adelaide Press.
Maxwell, S. D. S. (2001). Food Security in Sub Sahara Africa. London: ITGD Publisher.
Michaek Windfuhr, J. J. (2004). Policy Paper on Food Sovereignty: Towards a New Understanding
and a New Framework for Poverty Reduction and to Combating Hunger in Developing
Countries. Heidelberg: Intermediate Technology Development Group.
. Pengembangan Pupuk Organik Mendukung Pasokan Pupuk Nasional 2011. (2011). Retrieved 20/9,
2012, from http://mediadata.co.id/MCS-Indonesia-Edition/pengembangan-pupuk-organik-
mendukung-pasokan-pupuk-nasional-2011.html
. Perkembangan Industri Pupuk di Indonesia. (2008). Retrieved 20/9, 2012, from http://www.
datacon.co.id/Fertilizer2008Ind.html
Petani Rembang Tuntut Ganti Rugi Perusahaan Benih. (2012). Kompas.
. Pledoi Melawan Kriminalisasi Petani: Menegaskan Negara Res-Publica, Menolak Negara Res-
Privata. (2010). Pengadilan Negeri Kediri: Tim Kuasa Hukum Kunoto.
Schanbacher, W. D. (2010). The Politics of Food: The Global Conflict Between Food Security and
Food Souvereignty. Santa Barbara: Praeger.
Shaw, D. J. (2007). World Food Security: A History Since 1945. New York: Palgrave Macmillan.
. Sustainable Agriculture and Food Security in Asia Pacific. (2009). Bangkok: United Nations
Economic and Social Commission for Asia and the Pacific.
. Tahun Korporasi Besar dan Penggusuran Pertanian Rakyat (2011). Jakarta: Serikat Petani Indonesia.
. UN World Food Program Statistic. (2010): UN World Food Program.

17
18
KOMUNITAS EPISTEMIK DAN PERAN SECOND TRACK
DIPLOMACY DALAM KERJA SAMA EKONOMI ASIA TIMUR1

Tirta N. Mursitama
Lektor Kepala Ekonomi Politik Internasional, Departemen Ilmu Hubungan Internasional Fakultas
Humaniora Universitas Bina Nusantara. Email: [email protected]

Maisa Yudono
Manajer Program Center for East Asian Cooperation Studies (CEACoS) Universitas Indonesia

Abstract
This paper examines the role of Network of East Asian Think-tanks (NEAT) as epistemic community that can
enchance economic cooperation in East Asia by performing second track diplomacy. We argue that Japan and
China have been wisely utilized NEAT as integrated diplomacy between second and first track. It shows from
their inisiation of a set of working groups whose focus on economic cooperation in the systematic manner.
Keywords: Epistemic community, second tranck diplomacy, NEAT, East Asia, economic cooperation

Pendahuluan
Perkembangan kerjasama Asia Timur sering kali hanya dilihat dari kegiatan diplomasi pada
tingkat pertama (track one). Padahal, peran dari kelompok epistemik tidak kalah penting. Bahkan
sering kali peran kelompok epistemik memiliki peran tersendiri yang erat kaitannya dalam
pengambilan kebijakan mengenai kasus-kasus tertentu. sejarah terbentuknya kerjasama Asia Timur,
pertemuan-pertemuan yang telah dilangsungkan, kerjasama antar negara yang telah dilaksanakan
khususnya kerjasama yang dilakukan antar negara-negara Asia Timur dengan negara-negara
kawasan ASEAN. Selanjutnya pada bagian ini dijelaskan mengenai kebijakan-kebijakan yang telah
dihasilkan oleh kerjasama Asia Timur.
Latar belakang terbentuknya NEAT akan dibahas pada bagian selanjutnya bab 2 ini. Selain
latar belakang dan hal-hal yang menyangkut normatif lainnya seperti sejarah terbentuknya NEAT,
bagian ini juga dibahas mengenai struktur dan badan-badan utama NEAT.
Pada bagian akhir bab memaparkan 5 CCM serta 2 AC yang telah dilaksanakan oleh NEAT
selama periode tahun 2007 sampai dengan tahun 2010. dalam pemaparan tersebut juga dielaborasi
mengenai perihal yang dibahas dalam CCM dan AC serta WG yang telah dilaksanakan.

Komunitas Epistemik dan Second Track Diplomacy


Konsep komunitas epistemik dipopulerkan oleh Haas (1992) dua puluh tahun lalu. Menurut
Haas (1992) komunitas epistemik merupakan kelompok kaum profesional dari berbagai disiplin
ilmu yang memiliki kemampuan untuk menghasilkan pengetahuan yang relevan bagi pengambilan
kebijakan publik tentang isu-isu teknis tertentu. Ia juga menambahkan empat elemen penting yang
dimiliki oleh komunitas epistemik yaitu (1) sekumpulan keyakinan prinsipil dan normatif bersama
yang memberikan dasar bagi perilaku para anggota; (2) keyakinan bersama tentang kausalitas yang

1
Makalah disajikan dalam Konvensi Nasional III Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional Indonesia (AIHII) di
Universitas Muhammadiyah Malang, 8 – 10 Oktober 2012. Makalah ini masih dalam bentuk draft mohon tidak dikutip
tanpa persetujuan penulis.

19
memberikan dasar keterkaitan antara berbagai saluran kebijakan dengan hasil yang diharapkan;
(3) keyakinan bersama tentang kesahihan yang digunakan sebagai kriteria mengukur kesahihan
pengetahuan yang menjadi keahlian para anggotanya; dan (4) sekumpulan praktik-praktik
umum kebijakan berkait dengan keahlian dan kompetensi para anggota yang digunakan untuk
memecahkan masalah.2
Menurut Kim (2001), diplomasi yang dilakukan oleh negara (states) tidak selalu dilakukan oleh
pemerintah ke pemerintah. Seperti yang dilakukan oleh kerja sama Asia Timur, proses diplomasi itu
juga melibatkan Track Two (T2) yang dikenal sebagai “private-citizen diplomacy”3. Selanjutnya, Kim
juga berpendapat bahwa T2 melanjutkan setiap dialog-dialog kawasan dan mengembangkannya
untuk ditujukan kepada pemerintah dengan tujuan membantu pemerintah membuat keputusan
atau kebijakan yang terkait dari isu ekonomi hingga penciptaan perdamaian dan pencegahan
konflik.
Mekanisme T2 dan institusinya adalah menyediakan masukan kebijakan kepada Track One (T1)
yang merupakan badan resmi pemerintah. Mereka mengorganisasi pertemuan regional, workshops,
konferensi, seminar dan lain-lain dengan kadang menghadirkan partisipasi dari wakil pemerintah.
Mereka menyiapkan draft kebijakan membahasnya dalam pertemuan nasional atau regional dan
mengirimkan hasil-hasilnya kepada T1. Mereka juga mengadakan pengayaan kebijakan secara
khusus kepada wakil pemerintah, melakukan lobi-lobi kepada aktor-aktor kunci dalam T1 baik di
tataran nasional dan luar negeri.
Pada 1982 Joseph Monteville mendeskripsikan bahwa T2 merupakan metodologi diplomasi
yang diluar dari sistem resmi pemerintahan. Yang dimaksud dengan hal-hal diluar kepemerintahan
tersebut adalah penduduk atau grup non-formal lainnya4. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan T2
meliputi:
1. Mengurangi konflik antar grup atau bangsa dengan cara meningkatkan komunikasi dan jalinan
persahabatan.
2. Meminimalisasi ancaman dan kesalahpahaman apabila ada ancaman musuh.
3. Mempengaruhi pemikiran T1 dengan menngusulkan langkah-langkah terbaik yang sepatutnya
dijalankan melalui diplomasi.

Konsep T2 mengacu pada kegiatan yang tidak resmi, yang mencakup akademisi, think tank,
penelitian-penelitian dan hubungan mantan pejabat yang berwenang begitu pula dengan pejabat
yang masih menjabat. Track 2 berbeda dengan T1 yang didefinisikan sebagai diplomasi resmi,
pemerintah yang berperan dalam organisasi internasional dan prosesnya. Contohnya seperti
ASEAN, ARF, Shanghai Cooperation Organization (SCO) dan kerjasama pertahanan. Walaupun T2
memiliki karakter yang berbeda dengan T1 namun keduanya memiliki hubungan dengan partisipasi
para wakil resmi pemerintah dan kegiatan ini terlembagakan. Hubungan yang dicontohkan antara
lain adalah dalam ARF dan CSCAP.
Terdapat tiga esensi utama dalam diplomasi T2. Pertama adalah keberadaan suatu dewan /
badan yang berstatus non-governmental namun melibatkan wakil pemerintah dalam kapasitasnya
sebagai individu. Independensi dewan / badan diperlukan karena memberikan keuntungan
dalam memperoleh kelebihan intelektual yang dimiliki oleh Non-Governmental Organization (NGO)
terutama dalam proses diplomasi T2. Keterlibatan wakil pemerintah juga diperlukan untuk
menarik dukungan dan sumber daya pemerintah dan menjamin nilai dan keterlibatan NGO dalam

2
Haas, Peter M (1992). “Introduction: epistemic communities and international policy co-ordination”, International
Organization 46 (1): 1-36.
3
Phar, Kim Beng. (2001). Track Two Discussion and Regionalism.
4
Diamond, Dr. Louise. McDonald, John. (1996).Multi-Track Diplomacy. United States of America: Kumarian Press.
P 1-2

20
mendapatkan dukungan dari pemerintah5.
Esensi kedua adalah pengalaman NGO. Para NGO berkontribusi bagi proses kerjasama
ekonomi regional melalui berbagai macam cara. Mereka memulainya dengan mengembangkan
dan menyebarkan ide-ide serta mendorong diskusi yang menyebabkan berkembangnya wacana.
Mereka memandu studi teknis tentang ekonomi dan menganalisanya sehingga memperlihatkan
keuntungan dari liberalisasi di kawasan, baik melalui peraturan free trade yang formal atau konsep
’open regionalism’.6 Mereka menunjukkan kepada wakil pemerintah bahwa kemungkinan melakukan
dialog produktif dan berarti dalam masalah kebijakan yang kompleks dan penting. Dengan
tersedianya forum-forum untuk para wakil pemerintah dan non-wakil pemerintah berdialog, maka
para NGO berkontribusi bagi interaksi dan peningkatan mutual confidence, begitu pula dengan
membangun fondasi bagi kerjasama antar pemerintah.
Esensi ketiga adalah kebutuhan membangun kerjasama dari hubungan yang telah terjalin
daripada membangun sesuatu yang baru.7 Dalam prakteknya kerjasama yang berdasarkan dari
hubungan dan proses yang berasal dari interaksi T2 lainnya.
Berdasarkan pemikiran Phar Kim Beng dan Hadi Soesastro dan kawan-kawan maka
kami berpendapat bahwa NEAT sebagai bentuk second track diplomacy di Asia Timur semenjak
pembentukkan pada tahun 2002 telah memainkan perannya dalam memberikan masukan
kepada T1 dan mengidentifikasi kebutuhan serta upaya yang telah dan harus dilakukan dalam
proses integrasi Asia. NEAT juga menjadi wadah bagi T1 dalam menunjukkan dan memantapkan
kebijakan-kebijakan mereka dalam memajukan negara mereka melalui kerjasama regional.
Dalam tulisan ini konsep komunitas epistemik dikaitkan dengan second track diplomacy (saluran
diplomasi lingkaran kedua). Kami berpandangan bahwa komunitas epistemik dalam melakukan
kontribusinya melalui jalur diplomasi lingkaran kedua ini. Para ahli dan kaum profesional membantu
para diplomat sebagai aktor diplomasi lingkaran pertama yang mewakili negara (state). Komunitas
epistemik berperan dalam mengidentifikasikan berbagai persoalan, memformulasikan alternatif
pemecahan masalah dan mewujudkan dalam bentuk kebijakan luar negeri. Dalam konteks tulisan
ini yang berfokus pada peran NEAT maka komunitas epistemik adalah perwakilan NEAT masing-
masing negara ASEAN+3.

NEAT: Profil, Tujuan dan Mekanisme


Sesuai dengan rekomendasi East Asian Vision Group (EAVG) dan kebutuhan memperdalam
integrasi masyarakat Asia Timur maka pada 29 September 2003 terbentuklah Network of East
Asia Think-tanks (NEAT) yang ditandai dengan dilaksanakannya kongres pertama NEAT. Ide
pembentukan NEAT adalah untuk menyatukan pemikiran kalangan akademis dan intelektual
dalam membentuk dan membangun kawasan Asia Timur.
Sebelum diselenggarakan kongres pertama NEAT, pada KTT East Asian Summit VIII di Phnom
Penh, 4-5 November 2002, para negara anggota KTT secara resmi mengakui dan mendukung
keberadaan NEAT sebagai wadah kalangan intelektual.8 Setiap negara Asia Timur memiliki wakil
dalam jejaring NEAT, mereka itu adalah:
1. Brunei Darussalam Institute of Policy and Strategic Studies, Brunei;
2. General Department of ASEAN, Kamboja;
3. Center for East Asian Studies, China;

5
Hadi Soesastro, Clara Joewono dan Caroline G. Hernandez, “Twenty Two Years of ASEAN ISIS, Origin, Evolution and
Challenges of Track Two Diplomacy”, ASEAN ISIS, Kanisius, Yogyakarta, p 19
6
Ibid
7
Ibid
8
NEAT . 2004.Februari 2010. www.neat.org.cn/english/zjdyen/index

21
4. Center for East Asian Cooperation Studies, Indonesia;
5. The Japan Forum on International Relations, Jepang;
6. Korean Institute of South East Asian Studies (KISEAS), Korea;
7. Institute of Foreign Affairs, Laos;
8. Institute of Strategic and International Studies (ISIS), Malaysia;
9. Myanmar Institute of Strategic and International Studies (MISIS), Myanmar;
10. Philippines Institute for Development Studies, Philippine;
11. East Asian Institute, Singapore;
12. Institute of East Asian Studies, Thailand; dan
13. Institutes for International Relations, Vietnam.

Institusi yang mewakili masing-masing negara dalam NEAT bertugas sebagai koordinator
para kalangan intelektual dan akademisi di negaranya, dan bertugas memberikan laporan tentang
kegiatan yang mendukung NEAT. Setiap anggota dari jejaring NEAT bertugas merancang
penelitian yang kemudian dilaporkan kepada koordinator di negaranya. Kemudian diteruskan oleh
koordinator negaranya untuk disebarluaskan kepada koordinator dari negara-negara lain untuk
diminta masukannya. Mekanisme keanggotaan NEAT bersifat terbuka dan tanpa keanggotaan
yang menetap.

Tujuan NEAT
Tujuan NEAT adalah sebagai wadah berkumpulnya para peneliti dan akademisi dari negara
Asia Timur untuk memberikan dorongan atau pandangan terhadap kemajuan kerjasama Asia
Timur. NEAT bertujuan pula memberikan rekomendasi kebijakan yang dihasilkan oleh kerjasama
Asia Timur dan menelaah atau mengevaluasi penerapan kebijakan tersebut. Tujuan yang paling
utama adalah menjaga hubungan dengan T1 dan organisasi dan institusi lainnya diluar NEAT.9

Struktur dan mekanisme NEAT


Didalam NEAT terdapat 3 badan utama yang memegang peranan penting yaitu: Country
Coordinator Meetings (CCM), Working Group (WG), dan Annual Conference (AC).
(1) Country Coordinator Meetings (CCM)
Country Coordinator Meetings (CCM) atau disebut dengan pertemuan koordinator negara
merupakan mekanisme tertinggi dalam NEAT. Yang boleh hadir dan memiliki hak suara dalam
CCM ini adalah koordinator negara ASEAN+3 dengan jumlah 13 orang. Disinilah arti penting
CCM sebagai mekanisme tertinggi pengambilan keputusan. Dalam CCM ini lah seringkali
terjadi perdebatan diantara negara anggota yang saling mempertahankan pendapat dan prinsip
masing-masing. Anggota delegasi resmi diluar koordinator negara dimungkinkan untuk hadir
mendampingi koordinator negara tetapi tidak memiliki hak suara. Biasanya anggota tersebut
membantu koordinator negara. Jumlahnya antara 1 hingga 3 orang.
CCM memiliki fungsi menetapkan agenda kegiatan selama satu tahun, mengesahkan
rencana Working Group (kelompok kerja) yang diusulkan negara anggota atau kumpulan negara
anggota, mengesahkan hasil kelompok kerja dan menetapkan rekomendasi kebijakan (Policy
Memorandum) serta menetapkan chairman NEAT tahun berikutnya. CCM diadakan sebanyak 2
kali dalam setahun. CCM yang pertama yang biasanya diadakan antara bulan Januari – April
(waktu tergantung kesiapan negara tuan rumah) membahas agenda kegiatan yang harus
dilaksanakan oleh NEAT dalam tahun itu. CCM yang pertama menentukan pula WG-WG yang
akan dilaksanakan ataupun digabung maupun dihapuskan.

9
ISIS.2005. Februari 2010. www.isis.org.my/index.php?

22
CCM kedua yang biasanya diadakan antara bulan Agustus - November membahas
tentang hasil-hasil dari WG yang merupakan inisiasi dari masing- masing negara anggota
NEAT yang mengusulkan. Anggota atau kumpulan anggota NEAT yang menyelenggarakan
WG menyampaikan hasilnya dalam acara Annual Conference (AC) atau disebut juga Konferensi
Tahunan NEAT dengan audiens yang lebih banyak dan terbuka di luar anggota delegasi
NEAT masing-masing negara. Dalam AC inilah hasil WG didiskusikan dan dikritisi secara
lebih mendalam oleh para peserta. Hasil AC ini kemudian disarikan kembali untuk dibahas dan
dipertajam pada CCM kedua untuk disusun dalam bentuk rekomendasi kebijakan yang akan
diberikan kepada APT leaders.
Oleh karena itu, bertepatan dengan CCM kedua ini biasanya jumlah delegasi anggota
NEAT yang hadir lebih banyak dibandingkan dari CCM pertama. CCM kedua ini juga memiliki
nilai strategis karena para koordinator negara merumuskan dan menyepakati rekomendasi
kebijakan yang akan diberikan kepada T1 yaitu para pemimpin ASEAN+3 (APT leaders).
Hasil ini biasanya dibahas atau diperhatikan oleh APT leaders pertemuan tingkat tinggi para
pemimpin ASEAN+3. Rekomendasi kebijakan tersebut merupakan isu-isu penting berkaitan
dengan permasalahan yang sedang dihadapi oleh negara anggota NEAT atau ASEAN+3 secara
keseluruhan. Rekomendasi kebijakan ini merupakan refleksi pertarungan kepentingan dari
para anggota NEAT.
Pada kedua CCM, pembahasan dituangkan dalam minutes, yaitu merupakan catatan laporan
tertulis mengenai dinamika perdebatan antara para anggota NEAT. Ide, usulan, perbedaan
pendapat hingga kesepakatan dapat terefleksi dari catatan tertulis tersebut. Dengan demikian
minutes menjadi sumber catatan penting dalam tulisan ini. Minutes yang telah dibuat dalam
CCM kemudian disebarluaskan kepada setiap anggota NEAT melalui surat elektronik untuk
mendapatkan masukan atau koreksi. Dalam kurun waktu satu bulan sejak dikirimkan minutes
tersebut bila tidak ada komentar ataupun dengan komentar maka otomotis disetujui. Kemudian
minutes disahkan dalam CCM berikutnya.

(2) Working Group


Working Group (WG) merupakan kegiatan yang setiap negara mendapatkan kebebasan
untuk mengadakannya sesuai dengan kepentingan nasionalnya dan dalam rangka memberikan
sumbangan bagi kemajuan kerjasama kawasan Asia Timur. WG ini merupakan inisiasi dari
negara anggota NEAT. Setiap topik WG merupakan hasil dari usulan dari negara anggota NEAT
baik secara individu maupun gabungan. Jika disetujui dalam CCM pertama maka WG dapat
dilaksanakan. Hasil dari WG dilaporkan dalam CCM kedua setelah didesiminasikan melalui
AC.
WG bisa dilaksanakan oleh negara pengusul WG maupun bekerjasama dengan negara lain,
seperti pada kerjasama Malaysia dan Philipina tentang WG Migrant Workers, Institusionalisasi
NEAT antara Indonesia dan Thailand atau Singapura dan Jepang dalam WG Ketahanan Energi
dan Lingkungan Hidup. WG merupakan cerminan dari kepentingan nasional negara pengusul
maka dalam hal pendanaan negara pengusul yang membiayai semua kegiatan. Biaya tersebut
meliputi transportasi dari negara asal ke negara tuan rumah WG dan akomodasi selama WG
untuk satu orang ahli wakil dari setiap negara anggota NEAT. Perwakilan yang dikirim oleh tiap-
tiap anggota NEAT ini merupakan seseorang yang memiliki reputasi, kapasitas dan keahlian
sesuai dengan topik WG yang dibahas. Masalah pendanaan ini berbeda dengan pelaksanaan
CCM dan AC yang sepenuhnya didanai oleh masing-masing negara anggota NEAT sendiri.
Di dalam WG perdebatan yang terjadi bersifat ilmiah dan praktis. Karena dihadiri oleh
para ahli di bidangnya dari masing-masing negara, pada umumnya mereka mendiskusikan

23
permasalah secara ilmiah dan rasional. Bila telah menyangkut hal-hal yang sensitif kemudian
bisa saja muncul pandangan yang bias kepentingan dari negara tertentu. Namun, jarang sekali
dalam WG terjadi perdebatan yang bersifat politis yang menunjukkan pertarungan kekuatan
politik antara negara anggota NEAT. Dalam WG iklim akademik sebagai komunitas epistemik
lah yang kuat mengemuka.
WG ini tidak hanya menjadi ajang pertukaran ide, namun juga upaya pembangunan jejaring
para ahli dan kaum profesional di bidang tertentu yang berasal dari berbagai negara. Manfaat
utama ini lah yang dapat menjadi faktor yang mempererat kerjasama di Asia Timur ini dan
menjembatani perbedaan atau bahkan mengesampingkan konflik yang terjadi. Dari pertemuan
jejaring ini lah kegiatan-kegiatan akademik lainnya bisa berlanjut antar sesama kalangan
akademisi baik dalam bentuk penelitian bersama, konferensi maupun penulisan karya ilmiah.

(3) Annual Conferences


Mekanisme utama yeng ketiga adalah Annual Conference (AC) atau Konferensi Tahunan
yang pelaksanaannya bersamaan dengan CCM kedua dalam tahun yang sama. Agenda utama
AC adalah setiap ketua/koordinator WG mempresentasikan hasil-hasil dari kegiatan WG
dalam setahun. Hasil- hasil WG yang diharapkan bisa meningkatkan hubungan para stakeholder
dalam jejaring NEAT serta memberikan insight yang bermanfaat bagi pembangunan kerjasama
Asia Timur. Walaupun AC berfungsi menerima pandangan bagi pembangunan kerjasama Asia
Timur, AC tidak menghasilkan rekomendasi bagi T1. Perumusan rekomendasi dilakukan oleh
para koordinator negara dalam CCM kedua seperti yang dipaparkan dalam bagian sebelumnya.
Pada penyelenggaraan AC, NEAT mengundang semua elemen masyarakat selain dari
para anggota NEAT, diantaranya adalah para pengambil kebijakan dari T1, para akademisi
dari luar jejaring NEAT, masyarakat sipil, pengusaha dan lain-lain. Tujuannya adalah untuk
menyebarluaskan hasil kajian WG serta berusaha menangkap topik-topik dan masukan-
masukan yang berkembang dalam semua elemen masyarakat.

Gambar 1
Mekanisme Kerja NEAT sebagai Komunitas Epistemik

Pada gambar 1 disajikan mekanisme kerja NEAT dari sejak pertemuan koordinator negara
pertama, konferensi tahunan hingga pertemuan koordinator negara yang kedua. Pada masing-
masing tahapan ini memiliki makna penting masing-masing.
Pada pertemuan koordinator negara yang pertama terjadi pembahasan agenda-agenda penting
selama satu tahun. Pada kesempatan itu suasana biasanya lebih cair di antara para negara anggota.

24
Usulan-usulan WG disampaikan dalam pertemuan tersebut baik yang sudah disiapkan maupun
usulan baru yang berkembang dalam pertemuan tersebut. Para koordinator negara biasanya mulai
bisa “membaca” kemana arah usulan dan tujuan serta luaran yang ingin dicapai oleh suatu negara
ketika mengusulkan sebuah WG.
Berdasarkan pengalaman, jarang sekali terjadi perdebatan yang sengit dalam penentuan WG
dan siapa yang ingin melaksanakannya. Perdebatan bukan pada topik apa yang diusung tetapi lebih
pada teknis waktu pelaksanaan yang oleh sebagian negara anggota NEAT tidak cocok atau bentrok
dengan WG yang lain. Perdebatan yang pernah terjadi dalam tahapan ini adalah ketika NEAT Korea
Selatan mengusulkan sebuah WG tentang Pertukaran Kebudayaan yang bentrok waktunya dengan
WG tentang Kerjasama Lingkungan yang dilakukan oleh NEAT Jepang dan NEAT Singapura pada
bulan Juni 2008. Karena tidak ada yang mau mengundurkan waktunya akhirnya WG tersebut tetap
dilaksanakan sesuai usulan masing-masing.
Sedangkan AC atau Konferensi Tahunan yang merupakan pertemuan ilmiah dari para anggota
NEAT dan para peserta lain yang lebih luas. Perdebatan yang terjadi lebih pada tataran konsep
dan teoretik atas tema yang diusung. Pada AC ini selalu dihadiri oleh para akademisi termuka
dari anggota negara NEAT selain para koordinator negara NEAT sendiri yang merupakan para
akademisi terkemuka. Jadi secara kualitas AC ini sangat berbobot.
Pada pertemuan koordinator negara yang kedua lah sering terjadi perdebatan sengit di antara
negara anggota. Akar perdebatan itu tidak hanya secara substansi tetapi juga sering kali hingga
masalah teknis yaitu berupa pemilihan kata untuk dituliskan dalam rekomendasi kebijakan. Contoh
perdebatan salah satunya adalah ketika NEAT Jepang yang tidak bisa menyepakati pemilihan kata
sehingga sidang ditunda (skorsing) untuk dilakukan lobi antara pihak Jepang dengan sebagian besar
koordinator negara yang memiliki pandangan berbeda. Pada akhirnya, Jepang bisa menyetujui dan
mengikuti pandangan sebagian besar para koordinator negara yang sebenarnya secara esensial
tidak berbeda dengan maksud pihak Jepang.

Gambar 2
NEAT sebagai Komunitas Epistemik, Second Track, dan First Track Diplomacy

Gambar 2 diatas memperlihatkan potensi NEAT sebagai komunitas epistemik sekaligus


berfungsi sebagai second track diplomacy yang berkaitan erat dengan first track diplomacy atau dikenal
juga dengan track one. Perbedaan mendasar NEAT dengan komunitas epistemik lainnya adalah
NEAT dibentuk sebagai amanat resmi dari APT leaders sehingga NEAT memiliki dukungan dan
mandat penuh dari pemerintah anggota NEAT. Posisi khusus dan unik ini yang tidak dimiliki oleh
komunitas epistemik lain.

25
Pemetaan Kerjasama Komunitas Epistemik NEAT
Pada bagian kedua tulisan ini memfokuskan pembahasan pada pemetaan kerjasama ekonomi
dan topik-topik yang berkembang dalam T2 yang terjadi baik dalam tingkat CCM, AC dan WG. Hal
utama adalah yang mencerminkan kepentingan nasional negara anggota APT pada periode 2005
sampai dengan 2010.
Semenjak tahun 2005, NEAT telah melaksanakan CCM sebanyak 13 kali pertemuan dan 8 kali
pertemuan AC dan selama rentang waktu tersebut terdapat 14 topik yang dibahas dalam tingkat
WG. Topik-topik tersebut antara lain :
1. East Asian Financial Cooperation (In response to Post-Crisis Challenges : 2010)
2. Inter-Regional Exchange Rate Stability Prevention of Financial Crisis in East Asia
3. Concepts, Ideas and Empowering Guidelines
4. Energy Security Cooperation in East Asia
5. Overall Architecture of Community Building in East Asia (regional Architecture for Non-
Traditional Security Issues), Evolving regional Architecture
6. Resolving New Global Imbalances in an Era of Asian Economic Integration
7. East Asian Investment Cooperation (Trade and Investment Facilitation)
8. Trade-FDI-Technology Linkages in Asia
9. Regional Cooperation Framework for Migrant Labour
10. Enhancement of Cultural Exchange in East Asia
11. East Asian Environmental Cooperation
12. The Future Direction of NEAT
13. East Asian Food Security
14. Water Resource Management.10

Empat belas topik pada daftar di atas merupakan topik utama dari WG-WG yang dilaksanakan
sejak tahun 2005-2010. Perlu diperhatikan selama periode tersebut topik-topik yang diusulkan
oleh anggota NEAT mengalami perubahan, baik dalam anggota pengusul, tuan rumah dari WG
serta yang paling penting adalah perubahan fokus topik pembahasan. Sebagai ilustrasi adalah
WG Overall Architecture of Community Building in East Asia (Regional Architecture for Non-Traditional
Security Issues), Evolving regional Architecture, WG ini mengalami evolusi perubahan topik dari
memfokuskan pada pembangunan komunitas Aisia Timur lalu memfokuskan pada masalah non-
traditional security yang akhirnya menjadi membahas perubahan arsitek regional. Negara pengusul
pun mengalami perubahan, dimana pada tahun 2005-2006, Jepang menjadi tuan rumah WG namun
pada tahun 2008-2009 WG ini tidak dilaksanakan/tidak dilanjutkan. Pada tahun 2010, WG berubah
nama menjadi WG Evolving Regional Architecture dan dilaksanakan di Bangkok, Thailand. Terlihat
pada ilustrasi WG ini perkembangan / evolusi topik dan pergeseran negara pengusul dari Jepang
ke Thailand.
Dari 14 WG yang telah dilakukan oleh NEAT selama 2005-2010, WG-WG yang membahas
topik ekonomi mencapai 5 WG. Sedangkan WG yang membahas topik non-traditional security
(energi, lingkungan hidup, pangan dan pekerja migran) juga mencapai 5 WG. Sedangkan WG yang
membahas budaya dan penguatan institusi dan arsitektur regional mencapai 4 WG. Lebih lanjut
terlihat dalam gambar 3 di bawah ini

10
Diolah dari www.neat.org.cn dan www.ceac.jp

26
Gambar 3
Rekomendasi Working Groups
Berdasarkan negara-negara yang berinsiatif menjadi sponsor WG selama periode 2005-2010
maka peringkat pertama oleh Jepang, kedua Cina dan Siangpura. Lebih jelas terlihat dalam diagram
di bawah ini:

Gambar 4
Negara-Negara Sponsor Pertemuan WG

Telihat Jepang, Cina dan Singapura berada dalam barisan terdepan dalam memanfaatkan jalur
second track diplomacy dalam kawasan Asia Timur. Menarik dicermati adalah perbedaan strategi
yang dipergunakan oleh Jepang dan Cina dalam memperkenalkan kebijakan politik luar negeri
mereka dalam forum NEAT. Dalam memperkenalkan kebijakan politik luar negeri mereka terlihat
berusaha mengikutsertakan rekan-rekan dari ASEAN dalam hal ini Singapura, Thailand dan
Malaysia, sedangkan Cina berusaha mengambil peran sebagai lokomotif dalam pembahasan WG
terutama topik ekonomi.

Pemetaan Kerjasama Ekonomi di Asia Timur


Selama periode 2005-2010, NEAT telah melakukan 13 pertemuan CCM, dengan setiap bulan
Agustus diadakan CCM yang merumuskan dan mengesahkan rekomendasi yang dibahas dalam
pertemuan WG. Selama periode yang sama NEAT konsisten membuat rekomendasi bagi pemerintah
(track 1) yang bermanfaat begi pengembangan kawasan Asia Timur. Bukti dari konsistensi NEAT

27
adalah NEAT secara berkelanjutan memberikan rekomendasi dalam bidang ekonomi. Rekomendasi
NEAT dalam bidang ekonomi telah berjalan semenjak pembentukan NEAT pada tahun 2002 sampai
sekarang.
Bab ini memaparkan dinamika pembahasan tema ekonomi dalam di level yaitu level WG,
Substansi yang dibahas serta kekhususan dari subtema-subtema yang berkembang. Subtema-
subtema yang berkembang selama periode 2005-2010 dalam bidang ekonomi antara lain Financial
Cooperation Asia Timur dan penangangan paska krisis moneter 2008, subtema kerjasama investasi
di Asia Timur, subtema kestabilan nilai tukar mata uang Asia, subtema akan penguatan jejaring
tekhnologi-perdagangan-FDI di Asia Timur dan tentang fasilitasi perdagangan dan investasi di
Asia Timur.
Dalam pembahasan tema ekonomi di kawasan Asia Timur, NEAT membagi menjadi beberapa
bagian subtema yang dibahas dalam WG-WG. Pertama adalah East Asian Financial Cooperation
(pada tahun 2010 WG menjadi East Asian Financial Cooperation in Response to Post-Crisis Challenges) ,
kedua East Asian Investment Cooperation, ketiga Trade-FDI-Technology Linkages In East Asia, keempat
Intra Regional Exchange of Rate Stability and Prevention of Financial Crisis, kelima Trade-FDI-Technology
Linkages in East Asia. Kelima subtema tersebut menjadi fondasi dari rekomendasi yang dihasilkan
oleh NEAT bagi para pemerintah.

Kerjasama Keuangan Asia Timur (East Asian Financial Cooperation)


Subtema East Financial Cooperation dalam periode waktu 2005-2010 telah menjadi salah satu
pokok pembahasan utama dari WG NEAT. Tercatat WG East Asian Financial Cooperation telah
dilaksanakan sebanyak 6 kali, yang berarti subtema ini setiap tahunnya dilaksanakan. WG East
Asian Financial Cooperation diselenggarakan dan disponsori oleh NEAT China, semenjak tahun 2005-
2010.
WG East Asian Financial Cooperation pada tanggal 6 Juni 2005 di Beijing menghasilkan 3
rekomendasi bagi track 1 yaitu memperkuat cakupan Chiang Mai Initiative (CMI), pengembangan
pasar surat berharga Asia (Asian Bond Market) dan memperdalam dialog tentang koordinasi
kebijakan nilai tukar mata uang negara Asia Timur.11 Topik yang sama juga dibahas dalam WG
Resolving New Global Imbalances in an Era of Asian Economic Integration yang disponsori oleh NEAT
Jepang melalui RIETI pada tanggal 1 Agustus 2005 di Tokyo. Perbedaan dari WG ini dengan WG
East Asian Financial Cooperation adalah memfokuskan pada isu ketimpangan ekonomi dan nilai mata
uang Asia dan US$.
Kembali pada WG East Asian Financial Cooperation, maka WG tahun 2005 rekomendasi yang
dihasilkan lebih bersifat umum dan terlihat kehati-hatian para negara anggota NEAT dalam
menyuarakan kepentingannya terkecuali China yang menjadi sponsor dari WG ini. Hal yang sama
terjadi pada penyelenggaraan WG East Asian Financial Cooperation pada 10 Juli 2006 di Beijing. Hasil
rekomendasi bersifat umum walaupun dengan fokus yang berbeda. WG kali ini menghasilkan
rekomendasi bagi negara APT untuk melakukan studi tentang East Asian Monetary System dan
pengembangan Asian Bond Market.12 WG kali terlihat masih adanya bahwa setiap negara anggota
NEAT masih mencari “jalur” dalam mengutarakan kepentingan nasionalnya. Kesan tersebut
terlihat dalam penjelasan rekomendasi yang memfokuskan pada penguatan institusi kerjasama di
Asia Timur.
Pada penyelenggaraan tanggal 18 April 2007 di Beijing, hasil rekomendasi dari WG East
Asian Financial Cooperation adalah penguatan fungsi dari Chiang Mai Initiative (CMI) dan perluasan
cakupan pertemuan Asian Finance Ministers menjadi pertemuan antara Finance Ministers dan

11
Report, “WG East Asian Financial Cooperation”, 6 Juni 2005, diunduh dari www.ceac.jp, p 7-9
12
Report, “WG East Asian Financial Cooperation”, 10 Juli 2006, diunduh dari www.ceac.jp, p 3-6

28
Central Bank Governors. Rekomendasi WG mencakup pula penerapan kebijakan bagi pemerintah
yaitu pembentukan pasar surat berharga Asia (Asian Bond Market) dengan membentuk suatu
badan khusus dan pembangunan infrastruktur. WG tidak lupa memberikan rekomendasi bagi
pengembangan kerjasama ekonomi di masa depan, rekomendasi tentang studi tentang Asian
Currency Unit atau Asian Currency Unit Index.13 Rekomendasi ini sejalan dengan WG Intra-Regional
Exchange Rate Stability & Prevention of Financial Crisis in East Asia yang diadakan pada 30 Juni 2006
di Tokyo, Jepang.
Pada WG tahun 2007 terlihat kemajuan signifikan dimana hasil dari WG lebih tajam daripada
dua WG sebelumnya. Terdapat dua faktor yang memberikan pengaruh, pertama adalah konteks
kondisi ekonomi global yang berada dalam kondisi tidak baik. Kedua adalah Asia pernah mengalami
krisis moneter pada tahun 1997-1998, yang secara langsung mendorong pemerintah negara APT
membuat kebijakan untuk mengatasi krisis. Situasi dan kondisi yang ditangkap oleh para anggota
NEAT.
Pada tahun 2008 WG East Asian Financial Cooperation kembali diadakan pada 12 April 2008 di
Beijing, China. WG kali memfokuskan rekomendasinya pada pembentukan badan khusus yang
mengawasi dan mengontrol penerapan CMI dan mekanisme Economic Review and Policy Dialogue
(ERPD). Serta memperkuat kerjasama antara lembaga keuangan pemerintah dan swasta termasuk
lembaga pasar saham di kawasan Asia Timur.14 Tujuannya untuk mencegah terhambatnya
pertumbuhan ekonomi kawasan sebagai akibat krisis moneter di Amerika. Pada level perumusan
kebijakan WG melihat perlunya East Asian Investment Fund for Infrastructure Development dalam
kerangka kerjasama APT.15 Rekomendasi ini diperkuat oleh hasil WG East Asian Investment di tempat
yang sama pada bulan Mei 2008. Penjelasan tentang WG East Asian Investment akan dipaparkan
pada bagian berikutnya.
Suatu rekomendasi yang patut diperhatikan adalah perlunya peningkatan kerjasama dan
koordinasi ekonomi antara China dan Jepang. Selain latar belakang kedua negara merupakan
negara ekonomi utama di dunia, posisi penting mata uang kedua negara yaitu Renminbi dan Yen
sebagai alat tukar di kawasan menjadi pertimbangan keluarnya rekomendasi tersebut. Bahkan WG
mengusulkan kepada kedua negara bekerja sama melakukan studi tentang Asia Currency Unit (ACU)
atau Asia Currency Index.16 Walaupun studi tentang Asia Currency Unit (ACU) atau Asia Currency
Index bersifat jangka panjang, gagasan tersebut menyiratkan bahwa kebutuhan integrasi ekonomi
di Asia Timur merupakan suatu keniscayaan. Terutama dalam perspektif yang berkembang dalam
WG NEAT, khususnya bagi China.
Pada tahun 2009, Beijing menjadi tuan rumah dari WG East Asian Financial Cooperation untuk
keempat kalinya secara beruntun. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, WG kali ini dalam
suasana dan kondisi pasca krisis global. Pertemuan WG East Asian Financial Cooperation kali ini
mencatat kecenderungan menurunnya cadangan devisa negara beberapa negara APT, kondisi
pasar modal dan saham yang fluktuatif, pertumbuhan ekonomi yang melambat serta meningkatnya
kebijakan proteksionism di beberapa negara serta keputusan pertemuan ASEAN+3 Financial
ministers yang meningkatkan dana dalam Chiang Mai Intiative Multilateralization (CMIM) dari
US$ 80 milyar menjadi US$ 120 milyar untuk mengatasi krisis.17 Kondisi tersebut kurang lebih
menyumbang pemikiran yang dituangkan dalam rekomendasi WG East Asian Financial Cooperation
kali ini.

13
Report, “WG East Financial Cooperation”, 18 April 2007, diunduh dari www.neat.org.cn, p 6
14
Report, “WG East Financial Cooperation”, 12 April 2008, diunduh dari www.ceac.jp, p 4-7
15
Ibid, p 5
16
Ibid, p 6
17
Report, “WG East Financial Cooperation”, 29 Mei 2009, diunduh dari www.ceac.jp, p 3

29
Berdasarkan suasana dan kondisi tersebut maka WG East Asian Financial Cooperation
merekomendasikan agar pemerintah negara APT untuk memperkuat pengawasan regional dengan
membentuk badan khusus mengawasi penerapan CMIM, cakupan badan tersebut harus diperluas
mencakup pengawasan makroekonomi, keuangan, dan kebijakan-kebijakan negara-negara APT.18
Pemerintah negara-negara APT diusulkan untuk meningkatkan jaringan non-IMF serta perluasan
cakupan CMIM secara berkala.
Rekomendasi WG mengusulkan pula agar CMIM lebih gencar diperkenalkan sebagai
kerjasama keuangan regional. Dengan adanya CMIM maka kawasan Asia Timur memiliki dasar
koordinasi kebijakan makroekonomi antar negara APT dan nilai tukar, CMIM sebagai pedoman
untuk pengawasaan sistem keuangan dan pengembangan Asian Bond Markets.
Rekomendasi ketiga adalah peningkatan kerjasama sistem keuangan internasional dan
pertumbuhan ekonomi regional. Perlunya para pemerintah negara APT menyiapkan dana dan
fasilitasi bagi Usaha Kecil Menengah (UKM) menghadapi ancaman krisis masa depan. Dana
dipergunakan sebagai bantuan modal, pelatihan UKM dan bantun teknis bagi institusi keuangan.
Pemerintah negara-negara APT juga didorong menggunakan mata uang lokal untuk investasi dan
perdagangan serta penguatan kerjasama investasi dalam infrastruktur.
Dari hasil WG East Asian Financial Cooperation di tahun 2009, terlihat pergeseran tema dalam
kerjasama keuangan. Pergeseran terlihat pada substansi rekomendasi yang bersifat penguatan dan
koordinasi kerjasama ekonomi untuk mengatasi krisis pada saat itu maupun pada masa depan.
Rekomendasi yang sedikit berbeda dengan dua WG sebelumnya seperti perluasan aktor-aktor
perumusan kerjasama ekonomi, pembentukan Asian Bond Market dan tema Asian Currency Unit,
yang kesemuanya bersifat jangka panjang. Hal ini memperlihatkan para pemerintah negara APT
memiliki kewaspadaan tinggi akan bahaya krisis global, diperkuat dengan pengalaman krisis Asia
97-98.
Beijing menjadi tuan rumah dari WG East Asian Financial Cooperation in Response to Post-Crisis
Challenges pada 21 Mei 2010. WG ini masih dalam kerangka WG East Asian Financial Cooperation dengan
memfokuskan pembahasan dampak krisis yang dialami oleh Asia Timur dan penangangannya.
Secara umum proses pemulihan krisis di Asia Timur lebih cepat daripada kawasan lain, faktor
yang paling berpengaruh karena krisis kali ini tidak berasal dari Asia melainkan dari Amerika.
Namun WG East Asian Financial Cooperation mengidentifikasi beberapa tantangan dalam pemulihan
ekonomi di Asia Timur.
Tantangan-tantangan tersebut yaitu pemulihan dari krisis di berbagai kawasan masih tidak bisa
diprediksi, resiko investasi yang menjadi pertimbangan investor berubah seiring dengan terjadinya
krisis dan mendorong perubahan lokasi investasi, meningkatnya utang negara di Amerika dan
negara-negara lain, reformasi sistem keuangan internasional yang belum berjalan dan orientasi
pertumbuhan ekonomi yang keluar kawasan harus dipertimbangkan kembali.19
WG kali ini pun menghasilkan rekomendasi yang memfokuskan pada mempererat East Asian
Financial Cooperation. WG merekomendasikan pelembagaan CMIM dan pembentukan East Asian
Monetary Fund. Lembaga CMIM memiliki tiga fungsi utama yaitu governance, peminjaman dan
pengawasan ekonomi.20 Sementara East Asian Monetary Fund merupakan lembaga independen yang
membantu negara-negara APT dalam menghadapi krisis.
Rekomendasi kedua adalah meningkatkan pengembangan pasar keuangan regional dan
penggunaan mata uang lokal. Penggunaan mata uang lokal sebagai alternatif pembayaran selain

Ibid, p 4
18

Report, “WG East Asian Financial Cooperation in Response to Post-Crisis Challenges” , 21 Mei 2010, diunduh dari
19

www.ceac.jp, p 2-3
20
Ibid, p 10-12

30
US dollar dalam transaksi perdagangan dan keuangan regional. Tujuannya mendorong terciptanya
mata uang lokal yang kuat dan stabil. Kondisi mata uang lokal yang kuat dan stabil harus didukung
dengan adanya mekanisme regional dalam transaksi mata uang local. Untuk meningkatkan
pengembangan pasar keuangan regional, negara-negara APT harus mempertimbangan peluncuran
Asian Bond 3 untuk memperluas pasar surat berharga di kawasan.21
Rekomendasi ketiga adalah kerjasama kebijakan exchange rate. Faktor pendorong dari keluarnya
rekomendasi ini adalah laju pemulihan yang cepat di kawasan Asia Timur, Asia Timur menjadi
tempat favorit dalam berinvestasi yang menyebabkan meningkatnya modal masuk, harga-harga
naik, cadangan devisa naik dan memberikan tekanan pada nilai tukar mata uang.22 Oleh karena itu
diperlukan kerjasama kebijakan tentang nilai tukar mata uang sehingga proses pengawasan bisa
berjalan dengan lebih baik dan tepat.
Tidak berbeda dengan tahun 2009, fokus rekomendasi pada proses pemulihan ekonomi paska
krisis. Perbedaan dengan tahun sebelumnya adalah rekomendasi penerapan kebijakan beralih
dari sektor UKM ke pembenahan kerjasama nilai mata uang lokal serta penggunaannya sebagai
alternatif selain US dollar. Patut dicatat kembali muncul ide pembentukan East Asian Monetary
Fund, jika dirunut kembali pada krisis 97-98 ide pembentukan badan keuangan regional Asia
telah dikembangkan sayangnya ide tersebut layu sebelum berkembang lebih lanjut. Walaupun
rekomendasi pembentukan badan ini merupakan solusi jangka pendek namun melihat dan
mengingat perkembangannya realisasi akan membutuhkan waktu.

Kerjasama Investasi Asia Timur (East Asian Investment Cooperation)


Subtema kedua dalam bidang ekonomi adalah East Asian Investment Cooperation. Pada periode
2005-2010, WG East Asian Investment Cooperation pertama dilaksanakan pada 15 Agustus 2006 di
Beijing, China beberapa hari sebelum digelarnya CCM ke-5 di Kuala Lumpur. Pertemuan WG East
Asian Investment Cooperation menghasilkan 9 rekomendasi.
Rekomendasi pertama adalah dilakukannya penelitian bersama antara pemerintah, komunitas
bisnis dan akademisi tentang kerjasama investasi di kawasan Asia Timur. Kedua, pembentukan
pusat promosi investasi. Ketiga, pemebentukan badan penyelesaian sengketa. Keempat peningkatan
kemampuan Asian Bond Market. Kelima, perumusan peraturan dasar transaksi. Keenam standarisasi
pasar, peraturan, sistem dan kerangka kerja dalam mempromosikan Asian Bond Market. Ketujuh
pembentukan dana East Asian Investment Cooperation untuk menyediakan jaminan bagi UKM dan
investasi pertanian yang terintegrasi dalam East Asian Investment Bank, yang merupakan rekomendasi
kedelapan. Rekomendasi kesembilan adalah fokus prioritas kerjasama investasi yaitu energy security
dan perlindungan lingkungan, infrastruktur, pengembangan UKM, dan pertanian.
Pada WG tahun 2006 terlihat pembahasan di WG East Asian Investment Cooperation berada dalam
tataran eksploratif. Indikasinya bisa tercermin pada fokus pengembangan investasi yang mencakup
hampir semua bidang yang berkaitan dengan ekonomi walaupun dalam rekomendasi terdapat
usulan prioritas utama. Eksploratif-nya pembahasan tercermin dengan masuknya pembahasan
energy security, lingkungan hidup dan pertanian. Dalam perkembangannya ketiga pembahasan ini
menjadi pokok pembahasan dalam WG-WG tersendiri.
Pada 6 Agustus 2007, Beijing menjadi tuan rumah dari WG East Asian Investment Cooperation
(Investement Cooperation in East Asia). Pada dasarnya WG East Asian Investment Cooperation memiliki
agenda utama yang sama dengan WG East Asian Financial Cooperation yaitu meningkatkan
perekonomian di kawasan Asia Timur. Namun WG East Asian Investment Cooperation memiliki
perbedaan dengan tidak hanya mencakup rekomendasi ekonomi saja, WG juga memasukkan

21
Ibid, p 14
22
Ibid

31
beberapa rekomendasi dari bidang di luar ekonomi yang memiliki kaitan erat dengan investasi di
Asia Timur.
Pada WG yang dilaksanakan di Beijing, WG menghasilkan 5 rekomendasi bagi pemerintah
(track 1). Pertama, percepatan pembangunan FTA. Kedua, mempercepat kerjasama investasi
infrastruktur seperti transportasi. Ketiga, peningkatan sumber daya manusia di sektor jasa dan
kerjasama dalam perlindungan International Property Rights. Keempat, memperkuat kerjasama green
and sustainable development yang bertujuan mencegah climate change seperti proyek Clean Development
Mechanism (CDM). Kelima, perlunya studi tentang merger dan akusisi dalam pasar internasional,
karena setiap kawasan memiliki karakteristik yang berbeda sehingga diperlukan penggabungan
elemen global dan lokal (Glocalization). Penerapan prinsip-prinsip umum dari kerjasama regional
yaitu keterbukaan, saling menguntungkan, kebudayaan yang harmonis, visi politik, determinasi,
partisipasi dan tindakan.23
Dari kelima rekomendasi WG East Asian Investment Cooperation memperlihatkan bahwa isu-
isu yang berkembang tidak hanya berasal dari bidang ekonomi namun terlihat isu hak kekayaan
intelektual dan infrastruktur. Kedua isu mengikuti isu lingkungan hidup yang telah masuk dalam
pembahasan di WG sebelumnya. Perbedaan inilah yang memberikan karakter yang berbeda dalam
pembahasan WG East Asian Investment Cooperation.
Pada tahun 2008, WG East Asian Investment Cooperation kembali diadakan di Beijing tanggal 10
Mei. Berbeda dengan WG tahun 2007, WG kali ini hanya menghasilkan 3 rekomendasi. Pertama,
track 1 perlu mempromosikan kerjasama investasi dalam bidang energi dan perlindungan
lingkungan hidup. Kedua, mempromosikan kerjasama investasi dalam bidang pertanian terutama
produksi pangan. Ketiga adalah mempromosikan kerjasama investasi pembangunan infrastruktur.
Diusulkan pula pembentukan ”Task Force for The Promotion of Infrastructure Investment in East Asia”
dalam kerangka kerja APT dengan negara ekonomi utama / mapan bisa mengambil kepimpinan
dalam mengumpulkan dana investasi24.
Hal yang menarik dalam dalam rekomendasi kali ini adalah kembali yang sempat menghilang
dalam agenda WG sebelumnya. Masuknya isu energi dan perlindungan lingkungan hidup serta
isu investasi pertanian memperlihatkan adanya perhatian akan keberlangsungan pertumbuhan
ekonomi Asia Timur terutama ketersediaan energi dan bahan pokok yang menjadi ’bahan bakar’
dari bergeraknya perekonomian. Walaupun masih dibingkai dalam tema investasi, dorongan
negara-negara APT untuk mencari solusi masalah energi dan lingkungan hidup perlu diapresiasi.
Beijing, China menjadi tuan rumah WG East Asian Investment Cooperation untuk ke-4 kalinya.
Pertemuan diadakan pada 3 Juli 2009, dan berhasil mengeluarkan 5 rekomendasi bagi track 1. Seperti
WG East Asian Investment Cooperation sebelumnya, WG kali ini menunjukkan ciri khasnya yaitu
konsisten membahas isu-isu pendukung kerjasama ekonomi dan investasi. Pada pertemuan kali ini
isu-isu yang beriringan dengan isu peningkatan dan penguatan kerjasama investasi infrastruktur
dan iklim berinvestasi adalah pembahasan tentang peningkatan sumber daya manusia, investasi
hijau untuk pembangunan green industry dan membentuk mekanisme kerjasama investasi untuk
UKM25.
Jika kembali ke pertemuan WG East Asian Investment Cooperation sebelumnya, pokok
pembahasan kerjasama investasi UKM merupakan lanjutan pembahasan di WG sebelumnya,
sementara pembahasan tentang green industry merupakan topik pembahasan ‘baru tapi lama’.
Rekomendasi tentang investasi di bidang lingkungan hidup terutama industri pernah muncul

23
Memorandum No.4, “Policy Recommendations on East Asia Cooperation: Towards Sustainable development and Prosperity”,
20-22 Agustus 2007, diunduh dari www.neat.org.cn , p 5-6
24 Report, “WG East Asian Investment Cooperation”, 10 Mei 2008, diunduh dari www.ceac.jp, p 3
25 Report, “WG East Asian Investment Cooperation”, 3 Juli 2009,diunduh dari www.ceac.jp, p 3-5

32
sebagai rekomendasi di WG tahun 2007. Perbedaannya pada WG kali ini rekomendasi mengusulkan
adanya upaya investasi di bidang Research and Design, studi tentang kebijakan green industry beserta
transfer tekhnologi.
Namun bukan WG East Asian Investment Cooperation jika tidak bersifat eksploratif. WG kali ini
juga masuk bidang baru dengan munculnya rekomendasi pengembangan sumber daya manusia.
Bahkan rekomendasi WG mendorong terbentuknya pusat pelatihan pekerja dan informasi. Badan
tersebut bertujuan meningkatkan kualitas pekerja dan membuat jejaring di kawasan Asia Timur.
Rekomendasi tentang sumber daya manusia memiliki persamaan dengan WG tentang Migrant
Labour yang diselengarakan di Kuala Lumpur. Sayangnya kelanjutan pembahasan dalam WG
Migrant Labour di tahun berikutnya tidak terreaslisasi.
Dari sisi positif masuknya isu pengembangan sumber daya manusia oleh WG East Asian
Investment Cooperation mengindikasikan adanya kepedulian akan kualitas sumber daya manusia di
negara-negara APT. Serta adanya insiatif dari para akademisi tentang permasalahan kualitas pekerja
yang selama ini tidak menjadi pokok pembahasan di NEAT. Namun pembahasan isu ini memiliki
potensi bertabrakan dengan pembahasan dengan isu yang sama dalam WG tentang kebudayaan
yang dalam perkembangannya mulai menyentuh isu pengembangan sumber daya manusia melalui
pendidikan.

Fasilitasi Perdagangan dan Investasi (Trade and Investment Facilitation)


Setelah memfokuskan pembahasan pada tataran penjajakan isu-isu investasi dan rekomendasi
kebijakan, memasuki tahun 2010 terjadi perubahan dalam subtema investasi dalam NEAT.
Perubahan terjadi pada subtema yang diusung dari WG East Asian Investment Cooperation menjadi
WG East Asian Trade and Investment Facilitation. Pelaksanaan WG East Asian Trade and Investment
Facilitation diadakan di Beijing, China pada tanggal 25 Juni 2010.
WG East Asian Trade and Investment Facilitation memfokuskan pembahasannya tentang kemajuan
dan capaian kerjasama investasi di Asia Timur selama periode WG East Asian Investment Cooperation
berlangsung. Baik dalam kerangka kerjasama APEC, AFTA, GMS, ASEAN+3 dan kerjasama bilateral.
WG juga mengidentifikasi berbagai masalah yang dihadapi negara-negara APT seperti minimnya
infrastruktur, kesenjangan tingkat pembangunan di negara-negara APT, pembangunan biaya
tinggi, kompleksitas perjanjian investasi di tiap-tiap negara dan sulitnya memberikan assessment
dalam hal biaya.
WG East Asian Trade and Investment Facilitation menghasilkan 5 rekomendasi. Pertama,
rekomendasi tentang kejelasan tujuan pembangunan kerjasama investasi dan infrastruktur. Tujuan
yang direkomendasikan oleh WG adalah memperpendek jarak pembangunan, pembangunan
ekonomi yang berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan. Terdapat
pula tujuan khusus yaitu memperbaiki iklim investasi dan memperbaiki perdagangan, penerapan
action plan perdagangan dan investasi dan mengurangi biaya perdagangan intra-regional.26
Rekomendasi kedua adalah memberikan pedoman-pedoman dalam pembangunan negara-
negara APT. Latar belakang dari keluarnya rekomendasi ini adalah perbedaan tahap pembangunan
yang terjadi di negara-negara APT sehingga diperlukan pedoman-pedoman yang bersifat fleksibel.
Pedoman atau prinsip yang diusulkan oleh WG East Asian Trade and Investment Facilitation adalah
comprehensiveness, fleksibel, transparansi, comparability dan inclusiveness.
Rekomendasi ketiga adalah pendekatan atau rencana kerja yang harus dilakukan untuk
meningkatkan pedagangan dan pengembangan fasilitasi investasi. Pendekatan pertama adalah
mekanisme quantitative assessment, yang diperuntukan mengukur kinerja kerjasama, sebagai

26
Report, “WG East Asian Trade and Investment Facilitation”, 25 Juni 2010,diunduh dari www.neat.org.cn , p 7

33
mekanisme pengawasan dan pelaporan secara berkala. Tugas-tugas tersebut dibebankan kepada
suatu tim ahli yang independen dengan tujuan utama menjamin capaian pengurangan biaya
transaksi hingga 5% di tahun 201627. WG melihat perlunya pembentuan EATIF Steering Committee
yang bertanggung jawab menerjemahkan perjanjian dalam EAS menjadi rencana kerja, melakukan
komunikasi antar negara-negara APT dan mengawasi proses kerjasama yang sedang berlangsung.
Rekomendasi keempat adalah prioritas-prioritas yag harus dilakukan negara-negara APT.
Prioritas-prioritas tersebut antara lain harmonisasi prinsip Rules of Origin (ROO), harmonisasi
prosedur bea cukai, harmonisasi standar domestik dengan standar internasional, harmonisasi
peraturan dalam perdagangan di setiap negara anggota APT dan memperkuat kerjasama fasilitas
visa beserta prosedurnya dan standarisasi pengurusan dokumen-dokumen bisnis serta keimigrasian.
Rekomendasi kelima adalah perlunya roadmap East Asian Trade and Investment Facilitation.28
Rekomendasi yang dikeluarkan oleh WG East Asian Trade and Investment Facilitation lebih
bersifat penerapan dari rekomendasi kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan dalam WG East
Asian Investment Cooperation. Fokus pembahasan pada tataran aplikatif terlihat dalam rekomendasi
ke-3 dan 4, yang memfokuskan dalam metode pengawasan dan harmonisasi peraturan. Kedua
rekomendasi ini mencerminkan bahwa NEAT mampu mengidentifikasi permasalahan yang dialami
oleh para pelaku bisnis yang berada di garis depan dalam peningkatan kerjasam Asia Timur. Karena
salah satu yang permasalahan yang sering dikeluhkan adalah tidak adanya harmonsasi dan standar
yang sama antara negara anggota APT. Begitu pula dengan standar pengawasan dan penilaian yang
digunakan.

Intra-Regional Exchange Rate Stability & Prevention of Financial Crisis in East Asia
WG Intra-Regional Exchange Rate Stability & Prevention of Financial Crisis in East Asia disponsori
oleh Jepang dan diadakan pada tanggal 30 Juni 2006. Latar belakang dari pelaksanaan dari WG ini
adalah meningkatnya resiko melebarnya krisis moneter yang terjadi di kawasan lain ke Asia karena
semakin terintergrasinya sistem keuangan internasional, dan dorongan dari para kepala negara APT
untuk memperkuat kerjasama keuangan dalam menghadapi krisis moneter yang akan datang.29
WG menghasilkan beberapa rekomendasi, pertama adalah melakukan studi tentang Asian
Regional Currency Units. Kedua adalah para Negara APT melakukan studi tentang manfaat dan
kerugian dari liberalisasi keuangan mereka dan pembentukan mata uang yang convertibility. Ketiga,
negara-negara APT harus mengevaluasi dampak yang diakibatkan oleh liberalisasi keuangan dan
mata uang mereka terhadap kondisi moneter domestik dan pasar keuangan.
Rekomendasi keempat perluasan dan penguatan mekanisme pengawasan regional terutama
ERPD dari Chiang Mai Initiative. Kelima adalah pembentukan sekretariat tetap di negara-negara
APT agar proses pengwasan berjalan dengan baik. Keenam, WG mengusulkan partisipasi penuh
bagi para gurbernur bank sentral dalam APT Finance Meeting. Terakhir adalah para Negara APT
harus berperan lebih aktif dalam lembaga multilateral dalam dialog mencari solusi bagi masalah
ketidakseimbangan global.30
Berbeda dengan WG East Asian Financial Cooperation, WG kali lebih bersifat kontekstual karena
adanya kecenderungan terjadinya krisis moneter di dunia. Terlihat dalam hasil rekomendasi yang
bersifat terapan dengan masuknya pembahasan pengawasan regional dan penguatan peran bank
sentral melalui para gurbernurnya. Rekomendasi pun menjadi bersifat jangka pendek walaupun

Ibid, p 19
27

Ibid, p 11
28

29
Report, “WG Intra-Regional Exchange Stability and Preventing Financial Crisis in East Asia”, 30 Juni 2006, diunduh dari
www.ceac.jp, p 2
30
Ibid, p 24-27

34
WG tidak lepas mengusulkan kebijakan jangka panjang yaitu kelanjutan studi tentang Asian Regional
Currency Units.

Trade-FDI-Technology Linkages in East Asia


WG ini disponsori pula oleh Jepang dan diadakan tanggal 7 Juli 2006 di Tokyo. Latar belakang
dari pelaksanaan WG ini adalah semakin meningkatnya jejaring produksi Multinational Corporation
di seluruh dunia. Kawasan Asia Timur pun mengalami proses pembentukan jejaring tersebut,
akan tetapi kawasan Asia Timur memiliki tingkat fragmentasi tinggi terutama dalam kebijakan
perdagangan dan FDI. Tujuan WG ini adalah mencoba memberikan rekomendasi yang mendorong
peningkatan jejaring dan kebijakan yang terkoordinasi antara negara APT.
Rekomendasi pertama negara-negara APT harus menurunkan biaya jasa transfer tekhnologi
dan mempromosikan perdagangan dan investasi. pemerintah harus memfokuskan pada kebijakan
pada memperkuat infrastruktur seperti jalan raya, pelabuhan, bandara dan lain-lain. Kedua, negara
berkembang harus meningkatkan nilai tambah produksinya melalui transfer tekhnologi dan
mengembangkan basis local knowledge serta pendidikan yang berkualitas tinggi dalam science dan
matematika. Ketiga, peran pusat penelitian milik negara bisa membantu menentukan tekhnologi
yang layak diimpor, ditambah kerjasama negara-swasta yang meningkatkan proses dari imitasi dan
asimilasi sampai inovasi.31
Keempat, menjaga iklim yang mendukung FDI melalui supremasi hukum dan fundamental
makroekononi yang stabil. Kelima, para negara APT harus memfasilitasi mobilitas para pekerja
dan menjaga para perusahaan dari ancaman kehilangan pasarnya dengan meningkatkan pelatihan
keahlian para pekerja. Serta meminimalisir hambatan-hambatan pembentukan perusahan-
perusahaan baru. Keenam, kebijakan proteksionis dalam beberapa area harus ditinggalkan dan
iklim kompetisi harus ditingkatkan. Ketujuh, memperkecil kategorisasi komoditi sensitif dan
memperluas cakupan FTA. Kedelapan, memberlakukan peraturan perdagangan bilateral yang
baik untuk menarik investasi asing ke host countries, seperti investment protection, investment
facilitation dan investment liberation. Kesembilan, perlunya nilai tukar yang fleksibel antara mata
uang negara APT dan perlunya setiap negara memiliki cadangan devisa yang kuat untuk mengatasi
krisis yang akan datang.32
Kesepuluh, setiap negara APT harus berinvestasi secara efektif dalam cadangan devisanya.
Kesebelas, setiap negara perlu menggunakan mekanisme kebijakan stimulus keuangan dengan
melakukan investasi dalam proyek infrastruktur di daerah dan secara bersamaan melakukan
deregulasi untuk mendorong kompetisi dan perumbuhan. Tidak lupa juga memperkuat jejaring
sosial untuk menjaga daya beli masyarakat.33
WG Trade-FDI-Technology Linkages in East Asia pada tahun 2006 merupakan WG yang
dilaksanakan berdasarkan situasi dan konteks lingkungan internasional pada saat itu. Pada tahun
2006, kawasan Asia Timur mengalami pertumbuhan ekonomi yang stabil namun di belahan dunia
lain mulai terjadi krisis moneter. Sehingga mendorong negara APT untuk membuat langkah-
langkah untuk mengatasinya. Salah satunya melalui pelaksanaan WG Trade-FDI-Technology Linkages
in East Asia. WG ini juga memperkuat perhatian Jepang akan kelangsungan pertumbuhan ekonomi
di kawasan Asia Timur karena pada tahun yang sama WG Inter-Regional Exchange Rate Stability
and Prevention of Financial Crisis in East Asia dilaksanakan di Jepang. Kedua WG memperlihatkan
kepentingan utama Jepang adalah bagaimana mempertahankan dan meningkatkan pertumbuhan

31 Memorandum No.3, “Strengthening The Pillars of East Asian Community Building”, 21-23 Agustus 2006,dinduh
dari www.ceac.jp p 7-8
32 Ibid, p 8
33 Ibid

35
ekonomi jika para penyokong utamanya terkena krisis moneter.
Dari data-data yang dikumpulkan maka dari empat belas WG yang telah diselenggarakan oleh
NEAT maka terdapat empat WG yang membahas topik ekonomi yang menghasilkan 16 rekomendasi
yang disarankan bagi T1. Secara lebih rinci 16 rekomendasi itu dapat dilihat dalam tabel 1 berikut:

Tabel 1
Rekomendasi NEAT bidang Ekonomi
Bidang Kerjasama Rekomendasi
Ekonomi 1. Memperkuat cakupan Chiang Mai Initiative (CMI), pengembangan pasar
surat berharga Asia (Asian Bond Market) dan memperdalam dialog tentang
koordinasi kebijakan nilai tukar mata uang negara Asia Timur
2. Studi tentang East Asian Monetary System dan pengembangan Asian Bond
Market
3. Perluasan cakupan pertemuan Asian Finance Ministers menjadi pertemuan
antara Finance Ministers dan Central Bank Governors
4. Studi tentang Asian Currency Unit atau Asian Currency Unit Index
5. Pembentukan badan khusus yang mengawasi dan mengontrol penerapan CMI
dan mekanisme Economic Review and Policy Dialogue (ERPD)
6. Perlunya East Asian Investment Fund for Infrastructure Development dalam
kerangka kerjasama APT
7. Perlunya para pemerintah negara APT menyiapkan dana dan fasilitasi bagi
Usaha Kecil Menengah (UKM)
8. Pelembagaan CMIM dan pembentukan East Asian Monetary Fund
9. Kerjasama kebijakan exchange rate
10. Pembentukan badan penyelesaian sengketa.
11. Pembentukan dana East Asian Investment Cooperation untuk menyediakan
jaminan bagi UKM dan investasi pertanian
12. Fokus prioritas kerjasama investasi yaitu energy security dan perlindungan
lingkungan, infrastruktur, pengembangan UKM, dan pertanian.
13. Percepatan pembangunan FTA
14. Memperkuat kerjasama green and sustainable development
15. Pembentukan ”Task Force for The Promotion of Infrastructure Investment in East
Asia”
16. Harmonisasi prinsip Rules of Origin (ROO), harmonisasi prosedur bea cukai,
harmonisasi standar domestik dengan standar internasional, harmonisasi
peraturan dalam perdagangan di setiap negara anggota APT

Dalam topik ekonomi, pembahasan dalam jejaring NEAT memfokuskan pada penguatan
kerjasama melalui Chiang Mai Initiative (CMI), pengembangan Asian Bond Market, studi tentang
Asian Currency Unit dan harmonisasi kebijakan di level nasional dan internasional. Perhatian juga
dicurahkan pada perkembangan investasi di Asia Timur dan NEAT merekomendasikan perlunya
investasi yang lebih besar dalam bidang infrastruktur, UKM, pertanian dan energi untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi di Asia Timur.

Penutup
Cina dan Jepang merupakan dua negara anggota NEAT yang bisa selalu mewarnai persaingan
dalam kerjasama ekonomi di Asia Timur saat ini. Baik dalam first track maupun second track kedua
negara terus berusaha menjadi motor utama perekonomian Asia Timur melakukan inisiasi-inisiasi
secara sistematis. Konsitensi keduanya bisa terlihat dalam topik-topik WG yang disponsori oleh
mereka.
Cina secara konsisten fokus dalam WG kerjasama keuangan dan investasi. Secara keseluruhan
telah mensponsori 11 WG selama 5-6 tahun berturut-turut. Sementara Jepang mensponsori 3
WG dengan nama yang berbeda namun dengan tema tentang ekonomi Asia Timur. Jika melihat

36
perkembangan tema keuangan dalam serangkaian WG NEAT maka Cina benar-benar memanfaatkan
jejaring NEAT sebagai salah satu cara untuk mempromosikan kebijakan-kebijakan pemerintah
Cina serta menangkap masukan dan reaksi dari negara-negara Asia Timur lainnya akan kebijakan
perekonomiannya.
Patut dicermati adalah konsistensi Cina dalam mengajukan usulan kebijakan tentang Asian
Currency Unit dan Asian Bond Market. Semenjak penyelenggaraan WG financial cooperation, Cina
terus mengedepankan perlunya Asia Timur memiliki mata uang dan pasar modal yang sama untuk
meningkatkan perekonomian Asia Timur. Pesan yang sengaja diutarakan oleh Cina dalam usulan
ini adalah bahwa Cina dengan mata uangnya yaitu Renminbi telah siap untuk menggantikan peran
US$ dalam menopang arus modal di Asia Timur. Suatu kebijakan yang berani untuk mengubah
pola perekonomian di Asia Timur.
Pada tema perekonomian, Jepang juga memberikan perhatian serius dengan menyelenggarakan
beberapa WG. Berbeda dengan Cina yang konsisten dengan financial cooperation dan investment
cooperation, Jepang memilih menyelenggarakan WG sesuai dengan konteks perkembangan ekonomi
di Asia Timur. Jepang yang terlebih dahulu memupuk hubungan dengan negara-negara ASEAN,
lebih mengedepankan bagaimana mengatasi permasalahan yang menghambat perekonomian Asia
Timur.
Pemilihan Jepang yang memperhatikan pada masalah ekonomi yang melanda dan akan terjadi
di Asia Timur cukup mendasar. Sebagai negara yang terkena dampak dari krisis Asia 1997-1998,
Jepang tidak ingin mengulang pengalaman terhentinya perekonomian di ASEAN yang menyebabkan
Jepang ikut terimbas mengalami perlambatan pertumbuhan. Jepang juga memandang bahwa
kerjasama perekonomian harus ditopang dengan bidang-bidang lain seperti energi, lingkungan
hidup, pangan dan lainnya. Oleh karena itu walaupun memiliki perhatian serius terhadap topik
ekonomi, Jepang memilih untuk mengkaitkannya dengan topik-topik di luar ekonomi.
Upaya Jepang untuk mengaitkan topik ekonomi dan non-ekonomi terlihat dalam penye­
lenggaraan serangkaian WG energi, lingkungan hidup dan ketahanan pangan. Disini lah perbedaan
strategi Cina dan Jepang yang diejawantahkan melalui komunitas epistemik-nya. Jepang lebih
menitikberatkan pada persoalan ekonomi yang dibalut dengan antisipasi persoalan yang mungkin
muncul di masa depan seperti tentang lingkungan hidup, ketahanan pangan dan sumber daya air.
Jepang sangat jeli melihat kemungkinan konflik masa depan yang akan muncul di kawasan Asia
Timur. Sedangkan Cina terlihat lebih menitikberatkan kepada masalah ekonomi kekinian walaupun
mereka lakukan secara serius dan sistematis.
Pada akhirnya, jejaring NEAT sebagai bagian komunitas epistemik telah melakukan
serangkaian perannya melalui second track diplomacy. Hal ini yang secara jeli ditangkap oleh Cina
dan Jepang. Pemerintah kedua negara sadar betul bahwa komunitas epistemik ini sangat penting
untuk menyokong kesuksesan politik luar negeri yang dijalankan oleh track one. Di sisi lain negara-
negara ASEAN belum mampu secara maksimal memanfaatkan potensi komunitas epistemik dalam
berkontribusi bagi kesuksesan kebijakan luar negeri negara mereka. Posisi negara-negara ASEAN
melalui serangkaian WG masih menjadi pelengkap atau partner dengan negara +3. Ke depan, hal ini
harus diubah. Termasuk Indonesia bila ingin mengambil manfaat lebih dari komunitas epistemik
dan second track diplomacy ini, maka potensi komunitas epistemik salah satunya melalui NEAT harus
diperkuat. Salah satunya Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional Indonesia bisa menjadi motor
penggerak komunitas epistemik tersebut agar lebih bermakna.

37
38
PENDEFINISIAN ASEAN COMMUNITY
DI ERA GLOBALISASI

Mohammad Riza Widyarsa


Pengajar Jurusan Hubungan Internasional di Universitas Al Azhar Indonesia

Abstrak
Pengaruh globalisasi sangat berdampak pada bagaimana manusia bersikap dan berfikir. Hal ini berdampak
pada sistem yang berlaku di dunia ketika arus globalisasi berjalan. Hegemoni budaya Barat pada ASEAN,
sebagai dampak dari globalisasi, telah membuat ASEAN mengadopsi nilai-nilai Barat. Sistem liberalisme,
demokrasi dan hak azasi manusia, yang diadopsi dari pemikiran Barat, menjadi hal yang dadopsi oleh
ASEAN. Mimicry, atau peniruan budaya/nilai-nilai Barat seperti liberalisme dan demokrasi, bahkan dijadikan
acuan bagi terbentuknya Komunitas ASEAN (ASEAN Community).
Apabila mimicry dilakukan oleh pemerintah di negara-negara ASEAN, maka ASEAN hanyalah akan menjadi
sebuah medium yang melakukan imitasi sebuah nilai atau sistem (dalam hal ini nilai dan sistem Barat) yang
lebih dominan. Ini menjadi problematik karena ASEAN adalah perkumpulan negara-negara di Asia Tenggara
yang seharusnya mengadopsi nilai-nilai Asia Tenggara, sehingga Komunitas ASEAN dibangun berdasarkan
sistem yang terwujud dari nilai-nilai regional. Jika sistem yang berjalan bukan dari sistem yang didasarkan
oleh nilai-nilai ASEAN, maka Komunitas ASEAN bukanlah suatu komunitas yang didefinisikan oleh orang
Asia Tenggara.
Kata Kunci: Hegemoni, Nilai/Budaya Barat, Komunitas ASEAN, Globalisasi, Mimicry.

Pendahuluan
Globalisasi sebagai sebuah fenomena yang sedang terjadi di dunia merambah segala segi
kehidupan yang ada di sekitar kita. Manusia pada saat ini tidak dapat menghindar dari era globalisasi.
Bagi kita yang berada di Indonesia, dikelilingi oleh produk buatan luar negeri bukanlah hal yang
luar biasa. Bahkan kita sekarang dikelilingi oleh produk buatan lokal, namun dengan merek non-
lokal. Seperti motor Honda dan mobil Suzuki yang diproduksi di Jawa Barat dan Banten. Kurikulum
sekolah dan universitas di Indonesia memasukkan bahasa Inggris sebagai mata pelajaran wajib.
Hal ini dikarenakan era globalisasi yang mengharuskan warga Indonesia untuk dapat berbahasa
Inggris.
Arus globalisasi tidak lagi dilihat semata sebagai sebuah relasi yang berhubungan hanya
dengan isu-isu yang terkait dengan ekonomi, seperti perdagangan antar negara. Namun isu-isu
yang terkait dengan budaya (culture), juga menjadi isu yang menarik untuk dibahas dengan adanya
globalisasi. Gillermo de la Dehesa menyatakan bahwa di era globalisasi bangsa akan mengalami
masuknya pengaruh budaya lain yang mungkin berbeda dengan budaya bangsa tersebut.1 Pengaruh
globalisasi terhadap budaya sangat besar. Argumentasi ini diperkuat oleh Jan Nederveen Pieterse,
bahwa seiring dengan adanya globalisasi, pasti akan ada budaya dari luar yang akan masuk ke
suatu negara atau bangsa. Ini akan mempengaruhi budaya setempat dengan masuknya budaya dari
luar dan ini bisa dilihat dari dinamika budaya yang terpengaruh dengan budaya lain. Pengaruh
masuknya budaya dari luar ini, menurut Pieterse, dapat menyebabkan pertentangan antar budaya,
namun juga dapat menimbulkan efek lain yaitu penyeragaman/standarisasi budaya atau hibriditas
(pencampuran antar budaya).2

1
Guillermo de la Dehesa, Winners and Losers in Globalization. ( Malden: Blackwell Publishing, 2006), 165-172.
2
Jan Nederveenn Pieterse, Globalization and Culture: Three Paradigms, dalam Reading in Globalization: Key Concepts and
Major Debates, Ed. George Ritzer & Zeynep Atalay. (Maiden: Blackwell Publishing, 2010), 309.

39
Efek penyeragaman budaya ini juga disentuh oleh George Ritzer dengan istilah McDonaldization.
Dengan adanya restoran cepat saji McDonald, yang juga terdapat di Indonesia, disemua negara di
mana terdapat restoran McDonald, setiap orang akan melakukan hal yang sama. Mereka memakan
produk yang sama, yaitu hamburger McDonald, dengan rasa yang sama. Sehingga jika kita sedang
berada di Vietnam, kita akan mendapatkan rasa Big Mac yang sama dengan yang kita dapatkan di
McDonald Jakarta. Kita akan terbiasa dengan makanan yang sama meskipun kita berada di negara
yang berbeda sekalipun. Kita juga akan mendapatkan suasana restoran yang sama, karena setiap
restoran McDonald yang berada di Benua Amerika, Asia, Afrika dan Eropa mempunyai standar
pelayanan yang sama, model tempat duduk yang sama, bahkan sampai dengan desain interior yang
serupa. Kita tidak akan merasa canggung jika kita berkunjung ke restoran McDonald di Washington
atau di Hong Kong.3 Budaya makan McDonald di setiap benua di dunia menjadi sama, warga di
Asia dan Afrika akan mempunyai pola makan cepat saji ala Amerika Serikat, seperti halnya warga
di Eropa.
Arus globalisasi membawa dampak yang besar bagi budaya suatu bangsa, karena globalisasi
datang dalam satu paket yang salah satunya adalah budaya. Wilayah Asia Tenggara tidak luput
dalam arus globalisasi, bahkan kawasan ini menjadi salah satu kawasan yang terkena efek budaya.
Dalam hal musik, yang termasuk dalam budaya, MTV menjadi salah satu barometer standar musik
di Asia Tenggara. MTV sudah berada di Hong Kong, Filipina, Malaysia, Singapura, Indonesia dan
Vietnam.4 Cara pengemasan yang ada di acara-acara MTV di Asia Tenggara, mengacu pada MTV
di Amerika Serikat (AS). Bahkan aliran musik, video musik dan cara berpakaian musisi di Asia
Tenggara terpengaruh dengan apa yang ada di AS, berkat MTV.
Pengaruh budaya yang masuk ke Asia Tenggara sudah tentu merubah nilai-nilai Asia Tenggara
itu sendiri. Seperti yang diungkapkan oleh Pieterse dan Ritzer, budaya yang masuk ke dalam suatu
bangsa, dapat merubah perilaku bangsa tersebut. Di mana sudah tentu mempengaruhi nilai (value)
yang ada dalam bangsa tersebut. Karena budaya adalah rangkuman dari nilai, pengetahuan, sikap,
pengetahuan dan bahkan konsep tentang alam semesta yang dimiliki oleh sebuah bangsa.5 Jika
terjadi sebuah perubahan dalam budaya, maka ini akan merubah seluruh yang tercakup dalam
budaya, termasuk nilai. Dengan adanya globalisasi yang membuat adanya penetrasi budaya
ke dalam masyarakat Asia Tenggara, maka budaya atau nilai yang ada dalam masyarakat Asia
Tenggara mengalami perubahan. Dalam hal ini yang perlu ditelaah secara kritis apakah nilai yang
masuk ke wilayah ini dan yang kemudian diadopsi oleh masyarakat Asia Tenggara, yang kemudian
berusaha untuk diwujudkan ke dalam Komunitas ASEAN (Association of Southeast Asian Nations)
adalah nilai yang tepat bagi terwjudnya atau bahkan berjalannya Komunitas ASEAN tersebut.

Komunitas ASEAN
Pembentukan Komunitas ASEAN menjadi salah satu kejadian yang bersejarah bagi asosiasi
ini. Ini adalah sebuah perwujudan tentang integrasi negara-negara di Asia Tenggara, dalam
menyongsong dunia yang semakin mengglobal. Dengan menyatunya negara-negara anggota
ASEAN diharapkan negara-negara tersebut menjadi semakin kuat dalam berbagai aspek yang
diperjuangkan dalam Komunitas ASEAN. Pengaruh globalisasi terlihat sangat jelas sebagai salah
satu acuan bagi terbentuknya komunitas ini. Deklarasi ASEAN Concord ke dua di Bali pada tahun
2003, menyatakan bahwa perlunya dibentuk Komunitas ASEAN untuk mempertahankan keamanan,
meningkatkan peran ekonomi di dunia dan mempertahankan budaya.6 Komunitas ini diharapkan

3
George Ritzer, An Introduction to McDonaldization, dalam Reading in Globalization: Key Concepts and Major Debates, Ed.
George Ritzer & Zeynep Atalay. (Maiden: Blackwell Publishing, 2010), 383-388.
4
http://www.mtvasia.com/
5
http://www.tamu.edu/faculty/choudhury/culture.html
6
http://www.aseansec.org/15159.htm

40
akan terwujud pada tahun 2015.
Hal yang menjadi kepedulian dari para pemimpin ASEAN untuk membentuk Komunitas
ASEAN ini jelas didasari oleh era globalisasi, paling tidak hal tersebut dapat menjadi salah satu
alasan. Di dalam blueprint Komunitas Sosio-Kultural ASEAN dijelaskan bahwa Komunitas Sosio-
Kultural ASEAN dibentuk salah satunya adalah untuk melindungi efek negatif dari globalisasi.
Dalam blueprint tersebut dijelaskan bahwa perlindungan dari efek negatif globalisasi adalah
dengan memberikan perlindungan bagi warga ASEAN seperti buruh migran. Selain itu juga
memberikan akses ekonomi yang lebih baik bagi warga miskin dan kaum wanita. Bahkan hal yang
terkait dengan sisi negatif dari internet juga menjadi hal yang penting dalam blueprint tersebut.7
Dalam hal budaya, blueprint Komunitas Sosio-Kultural ASEAN menyebutkan pentingnya untuk
mempertahankan dan mempromosikan identitas ASEAN. Identitas ASEAN yang dimaksud adalah
budaya, nilai dan norma yang membentuk komunitas ASEAN.8 Identitas ini harus dipertahankan,
meskipun dengan perbedaan budaya, nilai dan norma disetiap negara anggota ASEAN, agar hal
yang distingtif sebagai bangsa Asia Tenggara tetap dapat terlihat di tengah era globalisasi.
Pengaruh globalisasi sebagai salah satu pendorong terwujudnya Komunitas ASEAN juga
terlihat pada blueprint Komunitas Ekonomi ASEAN. Blueprint ini menyebutkan bahwa Komunitas
Ekonomi ASEAN dibentuk untuk melancarkan proses liberalisasi perdagangan di ASEAN. Hal-hal
yang terkait dengan kebebasan berinvestasi, arus kapital, serta pembangunan infrastruktur akan
diatur dalam Komunitas Ekonomi. Semua ini dilakukan untuk menjamin kelancaran liberalisasi
perdagangan, terutama masalah infrastruktur yang sering menjadi kendala di negara-negara
ASEAN.9 Lebih jauh lagi blueprint Komunitas Ekonomi ASEAN juga mengatur mengenai kebebasan
para pekerja terampil yang warga negara ASEAN, agar dapat dengan bebas bekerja di negara-negara
ASEAN.10 Demikian juga dalam blueprint Komunitas Politik dan Keamanan ASEAN, yang peduli
akan era globalisasi yang membuat perpindahan manusia dari satu negara ke negara lain menjadi
lebih mudah dan cepat. Begitu pula dengan perkembangan teknologi yang membuat semua orang
diseluruh dunia dapat berkomunikasi dengan lancar. Ini menjadi salah satu hal yang mendorong
Komunitas Politik dan Keamanan ASEAN untuk melawan Kejahatan Transnasional.11 Suatu aksi
kejahatan yang berkembang dengan adanya era globalisasi. Penegakan keamanan dalam blueprint
ini di antaranya adalah dengan menegakkan Hak Asasi Manusia (HAM) dan mempromosikan
demokrasi.12 Blueprint yang diterbitkan oleh sekretariat ASEAN ini mempercayai bahwa kedua hal
ini termasuk dalam nilai-nilai yang esensial bagi terwujudnya kestabilan di Asia Tenggara.
Jika merujuk pada ketiga blueprint ini, terlihat jelas bahwa arus globalisasi menjadi salah satu
faktor pendorong untuk mewujudkan Komunitas ASEAN. Namun yang menjadi problem dalam
hal ini adalah, apakah cita-cita yang terdapat dalam Komunitas ASEAN dapat terwujud jika kita
mengacu pada ketiga blueprint tersebut.

Pengadopsian Nilai-Nilai Barat dan Problematikanya


Ketika Komunitas ASEAN dibangun dengan fondasi yang tidak berasal dari nilai-nilai Asia
Tenggara, maka Komunitas ASEAN akan kehilangan identitas dan bahkan cita-cita yang ingin
dicapai mungkin tidak akan terwujud. Apabila kita telaah lebih lanjut apa yang termaktub dalam
blueprint Komunitas ASEAN, baik itu komunitas ekonomi, sosio-kultural, maupun politik dan
keamanan, semua mengacu pada niali-nilai Barat. Nilai-nilai ini diusahakan untuk diadopsi oleh

7
ASEAN Socio-Cultural Community Blueprint. (Jakarta: ASEAN Secretariat, 2009), 6-7.
8
ASEAN Socio-Cultural Community Blueprint. (Jakarta: ASEAN Secretariat, 2009), 20-22.
9
ASEAN Economic Community Blueprint. (Jakarta: ASEAN Secretariat, 2008), 12-15& 20.
10
ASEAN Economic Community Blueprint. (Jakarta: ASEAN Secretariat, 2008), 15-16.
11
ASEAN Political and Security Community Blueprint. (Jakarta: ASEAN Secretariat, 2009), 12.
12
ASEAN Political and Security Community Blueprint. (Jakarta: ASEAN Secretariat, 2009), 5-6.

41
negara-negara anggota ASEAN yang secara budaya dan etnis, tidak masuk dalam rumpun budaya
ataupun manusia Barat. Padahal di satu sisi, salah satu ide mengapa Komunitas Sosio-Kultural
dibentuk, adalah untuk mempertahankan nilai dan budaya ASEAN.
Hegemoni budaya Barat, adalah sebuah teori yang pernah dicetuskan oleh Antonio Gramsci.
Dalam argumentasinya, Gramsci menyatakan bahwa meskipun kebudayaan dari berbagai penjuru
dunia memberikan kontribusi besar pada peradaban dunia, namun kebudayaan tersebut dianggap
menjadi sebuah budaya yang memberikan kontribusi, jika budaya tersebut sudah terkonstitusi
dalam budaya Barat. Dengan kata lain selama budaya tersebut bisa terasimilasi dengan budaya Barat,
maka budaya tersebut pantas untuk dianggap sebagai bagian dari budaya universal.13 Sehingga
jika dilihat lebih jauh, maka yang dianggap dengan budaya universal di dunia, tetap budaya yang
berdasarkan atau sesuai dengan budaya/nilai Barat.
Di dalam blueprint ketiga sektor Komunitas ASEAN, kita bisa melihat patterns di mana nilai/
budaya Barat menjadi acuan di dalam ketiga blueprint ini. Liberalisasi ekonomi yang menjadi
acuan dalam pembentukkan Komunitas Ekonomi ASEAN apakah hal tersebut berasal dari nilai
Asia Tenggara? Liberalisasi ekonomi hanya akan membantu para kapitalis yang berusaha untuk
mengeruk keuntungan melalui sistem perekonomian dan perdagangan.14 Pembentukkan ke arah
liberalisasi perdagangan terlihat jelas dalam blueprint Komunitas Ekonomi, seperti pengaturan
kebebasan kapital dan upaya untuk menciptakan iklim yang bebas untuk berinvestasi. Kekayaan
intelektual dan pengintegrasian ke dalam ekonomi global juga menunjukkan bahwa komunitas
ekonomi memang diarahkan untuk terintegrasi ke dalam sistem perekonomian liberal.
Namun apakah sistem perkonomian seperti ini yang cocok bagi masyarakat Asia Tenggara?
Jika melihat kepada Indonesia, masyarakat Indonesia secara nilai dan budaya bukan masyarakat
yang bersifat kapitalistik. Paling tidak dalam masyarakat di Pulau Jawa terdapat sistem gotong
royong. Sebuah sistem yang pada dasarnya untuk membantu sesama yang berada di lingkungan
dalam masyarakat tersebut. Upaya bantuan ini bisa berupa pembangunan rumah atau bahkan untuk
peningkatan ekonomi.15 Ini adalah sebuah sistem yang dapat digunakan untuk mensejahterakan
masyarakat yang dilakukan secara kolektif oleh sebuah komunitas. Mungkin ini yang mendasari
Bung Hatta untuk mendirikan koperasi di Indonesia. Bahkan jika kita menilik pada Hak Kekayaan
Intelektual (yang juga diatur dala blueprint Komunitas Ekonomi ASEAN), apakah hal ini menjadi
hal yang lumrah di dalam budaya Asia Tenggara? Atau ini adalah sebuah sistem komodifikasi
yang berujung pada kekayaan material? Apakah ini sesuai dengan nilai-nilai di suku bangsa Asia
Tenggara?
Seperti industri budaya yang juga terdapat dalam blueprint Komunitas Sosio-Kultural, apakah
ini harus menjadi salah satu cita-cita Komunitas ASEAN? Pernahkah terbesit oleh nenek moyang
bangsa Asia Tenggara untuk mendapatkan kekayaan materi dari penciptaan sebuah karya seni?
Atau bahkan apakah salah satu tujuan hidup yang terdapat dalam nilai-nilai kehidupan masyarakat
Laos dan Kamboja misalnya, adalah kekayaan secara materi? Mungkin ini bisa terwujud jika
diadopsi oleh bangsa Eropa dengan nilai/budaya yang berbeda dari bangsa di Asia Tenggara.
Jika kita melihat ke dalam konteks Komunitas Politik dan Keamanan ASEAN, sektor ini
juga tidak lepas dari hegemoni budaya/nilai Barat. Mempromosikan nilai demokrasi dan HAM
dapat menjadi problematik di dalam masyarakat ASEAN. Apakah sistem demokrasi dan HAM
ala Barat dapat diadopsi oleh masyarakat ASEAN dengan mudah. Dengan melihat struktur sosial
masyarakat ASEAN yang berbeda dengan struktur sosial masyarakat Eropa dan AS, apakah sistem

13
Antonio Gramsci, Selections From The Prison Notebooks. (New York: International Publisher, 1995), 416-417.
14
Dodi Mantra, Hegemoni & Diskursus Neoliberalisme: Menelusuri Langkah Indonesia Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
2015. (Bekasi: Mantra Press, 2011), 17.
15
Ensiklopedi Indonesia. (Jakarta: P.T. Ichtiar Baru, Tanpa Tahun) , 1157.

42
yang diterapkan di Barat ini bisa berjalan di Asia Tenggara? Sistem demokrasi dan HAM dapat
berjalan di Barat karena sistem ini dibentuk melalui nilai/budaya Barat. Pemikiran Charles Louis
Montesquieu dan J.J. Rousseau yang menjadi prinsip demokrasi, dibentuk melaui alam dan nilai
Barat. Mereka tidak mengacu kepada pemikiran Asia atau Afrika, kecuali sebagai bahan kritikan.16
Bentuk pemerintahan yang ada di negara-negara anggota ASEAN secara tradisional berbeda dengan
sistem demokrasi ala Barat. Feodalisme ala Melayu dan Thailand, serta sistem patriarki yang ada di
Filipina dan Vietnam tentu jauh berbeda dengan sistem demokrasi dan nilai-nilai HAM ala Barat.
Hal ini juga dapat menjadi problem jika konsep HAM ala Barat diterapkan kepada masyarakat
ASEAN yang secara tradisi memegang nilai-nilai Islam. Apakah perpindahaan agama dari Islam
ke agama lain bisa diterima dengan mudah oleh pemeluk agama Islam di Brunei dan di Malaysia?
Namun seakan-akan demokrasi dan HAM menjadi nilai atau aturan yang harus diterapkan apabila
masyarakat ASEAN ingin maju. Jika Komunitas ASEAN dibangun berdasarkan nilai/budaya Barat,
berikut dengan sistemnya, dan seakan-akan hal tersebut menjadi acuan yang harus diikuti agar
dapat terintegrasi dan bergerak maju ke dalam masyarakat dunia, maka hegemoni budaya yang
dikatakan oleh Gramsci mungkin dapat terjadi pada masyarakat ASEAN.
Dengan pengadopsian nilai, budaya serta sistem Barat ini, maka Komunitas ASEAN tidak
lebih merupakan mimicry dari nilai, budaya serta sistem Barat. Mimicry menurut Homi Bhabha
adalah sebuah proses ”penyamaan” ketika masyarakat non-Barat dibuat/dikonstruksikan melalui
pendidikan atau hal yang lain, agar mengikuti norma/nilai Barat. Seperti ketika pemerintah Inggris
berusaha untuk mendidik bangsa India dengan sistem dan bahasa Inggris, sehingga bangsa India
dapat bekerja bagi pemerintah Inggris karena mereka telah berperilaku selayaknya orang Inggris.17
Bhabha mengatakan jika sebuah bangsa non-Barat mengadopsi nilai dan sistem Barat, bahkan
berperilaku sesuai dengan pola pikir Barat, maka mereka melakukan mimicry. Meskipun, lanjut
Bhabha, mimicry bisa menjadi senjata yang ampuh bagi bangsa non-Barat untuk mendefinisikan
siapa mereka. Karena dengan proses mimicry mereka merasakan ambivalensi dengan masyarakat
Barat. Mereka diusahakan atau berusaha untuk menjadi Barat, akan tetapi mereka bukan Barat.18
Akan tetapi proses mimicry akan terus berjalan karena untuk membuat sistem yang nyaman
bagi masyarakat Barat, dunia Barat akan terus berusaha untuk mengkonstruksikan pola berpikir
masyarakat non-Barat, agar mereka dapat mengadopsi sistem yang diciptakan berdasarkan nilai/
budaya Barat.
Penegakan HAM, menjalankan sistem demokrasi, serta melaksanakan sistem perekonomian
yang liberal, merupakan bentuk mimicry yang dilakukan oleh Komunitas ASEAN apabila
Komunitas ASEAN berjalan sesuai dengan blueprint yang ada sekarang ini. Dengan mengadopsi
sistem Barat, maka diharapkan ASEAN dapat menjadi maju dan terintegrasi ke dalam politik dan
ekonomi global, karena selama ini diskursus yang ada mengkonstruksikan bahwa sistem Barat
adalah sistem yang harus diterapkan agar ingin maju. Sehingga akan menjadi hal yang wajar jika
ASEAN menjalankan sistem ala Barat jika ingin maju.
Hal yang harus diperhatikan adalah, apakah dengan mimicry masyarakat ASEAN kemudian
dapat mendefinisikan siapa mereka, dan kemudian dapat membuat counter hegemony. Atau
masyarakat ASEAN tenggelam dalam sistem yang ada, sehingga mereka tidak dapat lagi
mendefinisikan siapa mereka. Ini tentu harus ditelaah secara lebih lanjut, karena Komunitas ASEAN
masih dalam proses yang berjalan. Karena jika kita telaah lebih lanjut pembentukan negara di ASEAN
tidak lepas dari mimicry. Konsep kemerdekaan dan sistem pemerintahan yang menjadi ideologi

16
Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan.
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007), 213-257.
17
John McLeod, Beginning Postcolonialism. (New York: Manchester University Press, 2000), 54-55.
18
Homi Bhabha, “Of Mimicry and Man: The Ambivalence of Colonial Discourse”, Discipleship: A Special Issue on
Psychoanalysis, Vol. 28, The MIT Press (1984).

43
para founding fathers negara-negara ASEAN, yang kemudian diadopsi oleh negara-negara ASEAN,
merupakan konsep dan sistem yang didapat dari bangsa penjajah (Barat). Sistem republik yang
diadopsi oleh Indonesia, Myanmar, Singapura dan Filipina, adalah sistem yang dikonseptualisasi
oleh Montesquieu dan Rousseau. Monarki konstitutional seperti yang diadopsi oleh Thailand dan
Malaysia adalah konsep yang dicetuskan oleh Walter Bagehot dari Inggris pada abad ke-19. Sistem
politik yang kemudian menjadi identitas di tiap-tiap negara ASEAN adalah mimicry dari sistem
Barat. Ini berarti identitas negara di ASEAN pun adalah mimic dari identitas yang ada di Barat.
Dengan dasar ini maka identitas apa yang ingin dibangun oleh ASEAN? Seperti yang tercantum
dalam blueprint Komunitas Sosio-Kultural ASEAN, bahwa salah satu tujuan dibentuknya komunitas
ini adalah untuk membangun identitas ASEAN.19 Namun di dalam blueprint yang ada, semua nilai
dan sistem yang akan dibangun dalam Komunitas ASEAN adalah nilai dan sistem yang bukan
berasal dari Asia Tenggara. Identitas kenegaraan, seperti sistem pemerintahan di negara anggota
ASEAN pun bukan berasal dari Asia Tenggara. Definisi Komunitas ASEAN sendiri menjadi
kabur karena Komunitas ASEAN bukanlah sebuah komunitas yang berdasarkan nilai, norma, dan
budaya Asia Tenggara. Bahkan sistem ekonomi dan politik yang dibangun oleh Komunitas ASEAN
bukanlah sistem yang berasal dari Asia Tenggara.

Kesimpulan
Sebagai bagian dari masyarakat Asia Tenggara, kita harus mempunyai identitas yang berasal
dari kita sendiri, karena inilah yang mendefinisikan siapa kita. Komunitas ASEAN selayaknya
dibangun berdasarkan nilai, budaya, dan norma yang berasal dari Asia Tenggara. Sehingga sistem
yang ada di ASEAN adalah sistem yang diciptakan oleh masyarakat Asia Tenggara itu sendiri.
Apabila Komunitas ASEAN dibangun berdasarkan nilai, budaya dan norma yang bukan berasal
dari Asia Tenggara, dengan konsekuensi sistem yang berjalan di ASEAN bukanlah sistem yang
berasal dari masyarakat Asia Tenggara, maka komunitas ini bukanlah komunitas yang didefinisikan
oleh bangsa Asia Tenggara sendiri. Komunitas ASEAN akan didefinisikan oleh sistem yang berjalan
di dalam komunitas tersebut, dan jika sistem tersebut bukan berasal dari Asia Tenggara, maka
Komunitas ASEAN adalah sebuah komunitas yang didefinisikan oleh bangsa yang membuat sistem
yang diadopsi oleh ASEAN. Era globalisasi memang membuat setiap bangsa di manapun akan
terekspose dengan nilai/budaya dari luar, namun ini bukan berarti masyarakat ASEAN tidak dapat
membuat sistem yang berasal dari mereka sendiri. Sehingga salah satu cita-cita Komunitas ASEAN,
yaitu membangun identitas ASEAN benar-benar terwujud.

Daftar Pustaka
Buku
Dehesa, Guillermo de la, Winners and Losers in Globalization. Malden: Blackwell Publishing, 2006.
Gramsci, Antonio, Selections From The Prison Notebooks. New York: International Publisher, 1995.
McLeod, John, Beginning Postcolonialism. New York: Manchester University Press, 2000.
Mantra, Dodi, Hegemoni & Diskursus Neoliberalisme: Menelusuri Langkah Indonesia Menuju Masyarakat
Ekonomi ASEAN 2015. Bekasi: Mantra Press, 2011.
Pieterse, Jan Nederveenn, Globalization and Culture: Three Paradigms, dalam George Ritzer &
Zeynep Atalay Ed. Readings in Globalization: Key Concepts and Major Debates. Maiden: Blackwell
Publishing, 2010.
Ritzer, George, An Introduction to McDonaldization, dalam George Ritzer & Zeynep Atalay Ed.

19
ASEAN Socio-Cultural Community Blueprint. (Jakarta: ASEAN Secretariat, 2009), 20-21.

44
Readings in Globalization: Key Concepts and Major Debates. Maiden: Blackwell Publishing, 2010.
Suhelmi, Ahmad, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat
dan Kekuasaan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007.
ASEAN Economic Community Blueprint. Jakarta: ASEAN Secretariat, 2008.
ASEAN Political and Security Community Blueprint. Jakarta: ASEAN Secretariat, 2009.
ASEAN Socio-Cultural Community Blueprint. Jakarta: ASEAN Secretariat, 2009.
Ensiklopedi Indonesia. Jakarta: P.T. Ichtiar Baru, Tanpa Tahun.

Jurnal
Bhabha, Homi, “Of Mimicry and Man: The Ambivalence of Colonial Discourse”, Discipleship: A
Special Issue on Psychoanalysis, Vol. 28, The MIT Press (Spring 1984).

Website
http://www.aseansec.org/15159.htm
http://www.mtvasia.com/
http://www.tamu.edu/faculty/choudhury/culture.html

45
46
INDONESIA: STRENGTHENING THE COMPETITIVENESS
OF DOMESTIC PRODUCTS AND PROTECTING DOMESTIC
LABOUR FORCE FROM ANY DETRIMENTAL EFFECTS OF
THE ASEAN-CHINA FREE TRADE AGREEMENT

Hevi Kurnia Hardini


Lecturer Department of International Relations at Universitas Muhammadiyah Malang

Abstract
Engaging in a free trade agreement with other countries in the globalisation age is not a choice. In case of
the ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA)1,Indonesian government is expecting to gain benefits by
expanding its economictrade zone. This agreement aims to enlarge market size and enhance trade byremoving
the trade barriers, specialising economic division and increasing efficiency among the members. This paper will
argue that Indonesian government is vital actor in determining its position in the global market, because national
structures of political economy strongly determine economic performance which influences its interaction in
economic affairs internationally. In order to strengthen the competitiveness of its domestic products in ASEAN-
China market, the government should not only concentrate on specialising of national endowment factors but
also increasing the importance of technology in determining trade patterns (Solow, in Greenaway et.al (eds.)
in Gilpin, 2000). It means modifying the perspective comparative towards competitive advantages. In line with
protecting its labour force, the government should not only export its abundant unskilled labour to work abroad
and export merely labour-intensive goods but also apply concept of human capital to increase the skills and
productivity of Indonesian workers by training and education investments (Liontief in Gilpin 2000).

Introduction
In the globalisation age, engaging in a free trade agreement with other countries is not a choice
anymore. According to the theory of comparative advantage, by opening domestic market to function
in the global market, “every state has a comparative advantage in something and therefore can be
a winner” (in Gilpin 2001, p.180). The most important that should be emphasised, how a national
government determines its role in governing the market. Even though liberal market perspective
believes that the state’s role should be minimised and the autonomy of market and the welfare of
consumers should be maximised, in facts, many “national leaders are reluctant to leave economic
outcomes entirely up to market forces” (Gilpin 2001, p. 130). It is reasonable, because every country
has interests to protect its country from any detrimental effects and promote its national interests to
gain benefits from the global market.
In case of the ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA),1 Indonesian government is
expecting to gain benefits by expanding its economic trade zone. This agreement aims to enlarge
market size and enhance trade by removing the trade barriers, specialising economic division and
increasing efficiency among the members. The important points that need to be discussed in this
essay are about dealing with several challenges from ACFTA implementation and “turning some
challenges into a potential opportunity” (in Ibrahim et al 2010, p. 30). Since the free trade agreement
(FTA) leads the flexible flow of information, goods, capital and labours travel across the borders

1
4 November 2002 head of ASEAN countries and China signed a framework on comprehensive Economic
Cooperation in Phnom Penh, 6 October 2003 Economic Ministers of ASEAN and China signed the protocol changes to
the framework agreement in Bali, 15 June 2004 Indonesia ratified the ACFTA framework agreement through Presidential
Decree No.48/2004, Free trade commenced in Indonesia since 2010 in Ibrahim et. al 2010, p.31

47
(Ananta, A 2000), therefore the readiness of Indonesian government is being challenged in terms of
domestic products competitiveness and domestic labour force protection.
In this essay, I will argue that Indonesian government is vital actor in determining its position
in the global market, because national structures of political economy strongly determine economic
performance in which influencing its interaction in economic affairs internationally. In order to
strengthen the competitiveness of its domestic products in ASEAN-China market, the government
should not only depend on specialising of national endowment factors but also increasing the
important of technology in determining trade patterns (Solow, in Greenaway et.al (eds.) in Gilpin,
2000). It means that modifying perspective comparative with competitive advantages. In line with
protecting its labour force, the government should not only export its abundant unskilled labour
to work abroad and export merely labour-intensive goods but also apply concept of human capital
in which increasing the skills and productivity of Indonesian workers by training and education
investments (Liontief in Gilpin 2000).
This essay will be divided into three parts. Firstly, the introduction in which the general
overview of the essay content is presented. Secondly, strengthening the competitiveness of
Indonesian domestic products will be analysed by using several theoretical debates of economic
competitiveness and combining with data and facts about Indonesian domestic products in ACFTA
market. Thirdly, protecting Indonesian domestic labour force from any detrimental effects of
ACFTA will be explored by synthesising with several theories and analysing with related data
during ACFTA implementation. Finally, concluding remarks will be drawn.

Strengthening the competitiveness of Indonesian domestic products


Sharing market zone and liberalising flow of economic factors trigger competitiveness among
the member of ACFTA. As it has been stated by Gunnar Eliasson, “competitiveness can be defined
as a nation’s ability to renew itself” (citied in Gilpin 2000, p. 182). In this sense, competitiveness
is not merely stuck on revitalising national endowment sectors, but also enhancing capability of
nation to renew other potential sectors continuously by transforming domestic policy in response
to economic, political and technological changing. This mean that, the Heckscher and Oilin theorem
(H-O theorem)2 is being questioned, because if a state merely specialise in the production and export
of its abundant products, the country will be difficult to maintain its long-term competitiveness
and economic growth. Indeed, in the beginning stage of identifying global market and specialising
economic division, the H-O theorem is a very useful parameter to be applied, however, if the
endowment sectors of the country are categorised as non-renewable natural resources, the country
will be facing scarcity of its abundant sectors in the next future. If this condition occurred, the state
will lost its sector of competitiveness. Thus, the state should keep maintaining its transformation
and adjustment of political economic policy from time to time.
Proponent from the previous theory above, R & D. Eliason also states that competitiveness
as the economy’s flexibility. It means that the important strategy of adjusting economic activities,
modifying industrial structures and scrapping obsolete economic activities by the country. Therefore,
labour and capital can be allocated and facilitated in developing viable new business sectors (in
Gilpin 2000). By applying this, the country is able to sustain its domestic competitiveness products.
In Indonesian case, before analysing the competitive of domestic product in ACFTA market, the
important figures that should be looked at is the export-import data in which describing country’s
international trade performance as provided below:

2
“a country will export those products that are intensive in its abundant factor; that is, a capital-rich country will
export capital-intensive goods. In Gilpin p.206 those products usually have a cost advantages over other countries.

48
Table 1. Indonesia’s Export, semester 1 2010

Data sourced from: BPS Indonesia (Bureau of Statistic Centre Indonesia)

Table 2. Indonesia’s Import, semester 1 2010

Data sourced from: BPS Indonesia (Bureau of Statistic Centre Indonesia)

According to those tables above, there was a decrease in the value of total export by 2.87 percent
compared to May 2010 (see table 1), It was due to decreasing of oil export by 19.74%, while non-oil
export increased by 1.02%. On the other hand, there was an increase in the value of total import by
17.36% compared to May 2010 (see table 2). In addition, the country increasingly imported both oil-
gas commodities by 20.89% and non oil-gas commodities by 16.49% compared to May 2010.
The trend remains to be worsening as revealed by the Indonesian Finance Today, the country’s
value export decreased 4.55% in January 2011 compared to December 2010, while Indonesia still
kept importing oil and gas up to US$ 2.97 billion in January 2011 or rose about 12.44% compared
to December 20103 (Kandi & Sejati 2011). Overall, the state revenue from the export sectors is very
low in comparison with the high cost of import. It means that national productivity is weak because

3
“ in total, Indonesia’s export value in January 2011 reached US$ 12.55 billion, decreasing 4.55 percent compared to
December 2010 imports of US$ 13.15 billion. Even though Indonesia is one of the producers of oil and gas, its oil and gas
imports actually rose 12.44 percent, from US$ 2.64 billion in December 2010 to US$ 2.97 billion in January 2011. The rise
was contributed by the hike of oil imports by 33.19 percent from US$ 1.56 billion to US$ 2.08 billion, while gas imports fell
30.19 percent, from US$ 183 million to US$ 128 million”. Indonesia Finance Today, 7 March 2011.

49
of expensive national cost production and poor infrastructure and technology. Therefore, in order
to meet domestic demand, the country is forced to import commodities with the cheaper cost and
better quality of commodities.
In order to identify the domestic product competitiveness, the top 10 commodities of Indonesia’s
export and import need to be analysed as shown below:

Table 3. Non-oil and Gas Export of 10 Main Commodities (2 digits HS code) Semester 1 2010

Data sourced from: BPS Indonesia (Bureau of Statistic Centre Indonesia)

50
Table 4. Non-oil and Gas Imports of Ten Major Commodities, Semester 1 2010

Data sourced from: BPS Indonesia (Bureau of Statistic Centre Indonesia)

There are some interesting figures by comparing table 3 and table 4. As shown by the table 3,
electrical machinery-equipments (at the third rank) and machinery-mechanical appliances (at the
sixth rank) had a positive trend of increasing as the 10 main of non-oil export commodities. However
as shown by the table 4, those two commodities were imported by the country at the same period
at the first and the second rank of 10 major commodities of non-oil import. This indicates that some
of top 10 exported commodities could not compete with imported commodities in the local market.
After analysing the top 10 exported and imported commodities and identifying the weak
competitiveness of domestic products generally, those tables below present Indonesian market
share of non-oil and gas commodities with the ACFTA members.

51
Table 5. Non-oil and Gas Export by Country of Destination, Semester 1 2010

Data sourced from: BPS Indonesia (Bureau of Statistic Centre Indonesia)

52
Table 6. Indonesian Non-oil and Gas Imports by Country of Origin, Semester 1 2010

Data sourced from: BPS Indonesia (Bureau of Statistic Centre Indonesia)

AS shown by the table 5, there was an increase of non-oil gas commodities export to Singapore
(US$ 95.8 millions), Malaysia (US$ 28.4 millions) and Thailand (US$ 165.4 millions) in June 2010
compared to May 2010. However, there was a decrease of non-oil gas commodities export to other
ASEAN (US$ -3.1 millions) and China (US$ -0,3 millions) in the same period. Interestingly, the table 6
presents that the value of Indonesian import from Singapore, Malaysia, Thailand, other ASEAN and
China increased significantly by (US$ 190.3 millions), (US$ 100.2 millions), (US$ 51.5 millions), (US$
21.6 millions) and (US$ 325.8 millions) respectively in June 2010 compared to May 2010. Overall, the
numbers of Indonesian import in non-oil gas commodities are bigger than the numbers of its export
to ACFTA members.
It means that Indonesia’s main competitor in sharing market is China. Therefore, “the Indonesia-
China trade balance deficit in 2008 was minus US$ 3.6 billion, minus US$ 2.5 billion in 2009 and
minus US$ 4.7 billion in 2010”, the government should anticipate an increasing trend in the non-oil
and gas imports from China (Soelistianingsih in Gandhi et.al, 2011).
This condition indicates that the competitiveness of domestic product in the ACFTA market is
low, because several factors namely: lack of facilities and infrastructure, limitation of high technology
industry, lack of domestic market share and export dependency on several commodities and

53
countries. As a consequence, it causes a weak economy basis, reflected by unstable macro economy
and unhealthy business and investment climate. Thus, several industries in the manufacture sectors,
manpower, sales and profit decline after the ACFTA implementation, as revealed by the ministry of
industry survey below:
The largest declining production is in the grey cloth industry (raw) reaching 67 percent. The
machine industry fell 61 percent, furniture industry dropped 56 percent, metal industry with
56 percent, and electronic as well as garment industries, both dipping 25 percent. (Malik, 2011)

In order to prevent the influx of Chinese goods and products, the government should strengthen
the competitiveness of its domestic products by combining the H-O theorem for identifying market
specialisation in the global trade and G Eliasson, R&D Elliason theorems in which renew its policy in
strengthening domestic products competitiveness and national productivity, because the economic
trend and public demand are changeable factors in which the government should be proactive in
innovating and restructuring its policies and strategies.
In response to those facts, Nuzhat (2011) has pointed out that the industry and trade departments
of the Indonesian government lack of a focused goal and a unified strategy to increase market
competition. These are related to lack of policy coordination and integration, even though there is
Coordinating Minister for Economic Affairs as the facilitator of integrating economic policies, the
policies are still being set up partially, even more each department and ministerial are not flexible
to work across boundaries and portfolio. The integrated concept of whole government4 is still
understood within the discourse stage. Therefore, the government strategies in pursuing industrial
competitiveness are important to be analysed as presented by the several tables and figures below:

Figure 1. Framework Adopted in the Formulation of National Industrial Policy


Sourced from: The industrial ministry of Indonesia

4
The Australian Public Service (APS) defines whole of government denotes public service agencies working across
portfolio boundaries to achieve a shared goal and an integrated government response to particular issues. Approaches can
be formal and informal. They can focus on policy development, program management and service delivery.

54
Table 7. Industries Having Export Potential

Sourced from: The industrial ministry of Indonesia

55
Table 8. Industry with Domestic Market Potentials

Sourced from: The industrial ministry of Indonesia

56
Figure 2. Basic Capitals for the National Industry Sector Development
Sourced from: The industrial ministry of Indonesia

Figure 3. The 2025 Industry Structure


Sourced from: The industrial ministry of Indonesia

57
According to those tables and figures above, indeed, Indonesian government has planned
policies in the short, medium and long term policy.5 They seem to be futuristic policy designs at
the time of formulating. However, keep adjusting and renewing its policy are the big challenges
for Indonesian Government in order to keep up with the recent trends and demands. Currently, in
response to those changeable situations, the government remains setting up its policy pragmatically
and unsustainably. Its policy should have strategic and adjustable vision in foreseeing the next
global trends and demands. These conditions require solid coordination and integration among
state institutions.
Moreover, currently Indonesia is dealing with several unfavourable industrial and business
factors namely: lack of law enforcement, policy consistency, bureaucracy professionalism, in which
impede international investment to Indonesia. Furthermore, less capital and unskilled labour remain
major obstacles in increasing national productivities and domestic products competitiveness.
Besides, the sustainability of political economic policies, there are several strategy that could
be applied for enhancing domestic products competitiveness namely: reducing the industrial cost
by turning to import semi-finished products or raw materials but considering the sufficiency stocks
of raw materials for domestic use, improving basic infrastructure for supporting industrial sectors
namely: electricity, transportation etc in order to reduce expensive industrial cost, strengthening
industrial relation policy (Soesastro & Basri 2005, p. 4), identifying the potential chain market and the
world demand either regionally or internationally in order to enhance the competitiveness products
and shared. (Juswanto & Mulyati2003, p.104) and campaigning the love Indonesian products.

Protecting its domestic labour force from any detrimental effects of ACFTA
In one hand, free trade offers comparative advantages among its members. On the other hand,
it brings the country members facing their own challenges towards its implementation. As far as
the countries could deal with their own difficulties, any detrimental effects could be diminished.
ACFTA implementation leads national competitiveness in capital, goods, services, and workforce
sectors and the flow of those economic sectors are being eased to across boundaries under the
agreement provision (Ibrahim, et.al 2010). Defining national competitiveness, Cable has pointed
out that, “a competing nation attempts to strengthen the position of its firms in the global economy
and attract foreign investment through creation of a pool of highly educated, flexible workers, an
efficient physical infrastructure, sound economic policies and an attractive quality of life” (cited
in Gilpin p. 183). The point is that human resource is considered as one of the economic tools to
increase national competitiveness in the global market.
In case of Indonesia, the quality of human resources is categorised as the country with abundant
unskilled workforce as revealed by the World Human Development Index, in 2010 Indonesia is at
the 108th position out of 169 countries, far below from Singapore (27th), Brunei Darussalam (37th),
Malaysia (57th), Thailand (92nd) and the Philippines (97th) (cited in Setiaji 2011). Moreover, Indonesia
is facing the high number of unemployment as shown by this table below:

5
According to Indonesian Economic Development Priority will be based on 1) sustainable economic growth; 2)
Creation of a robust economic stability and 3) Developments of an inclusive and equitable economic. The focus on industry
priorities of 2010-2014 (Medium Term Development Plan) there are several focuses namely: Population Growth of Industrial
Enterprises Focus, Strengthening the Industrial Structure Focus, Increased Productivity of Industrial Enterprises. While
the long-term vision of national industry development is Indonesia to become “a strong industrial nation in the world”,
with a linking vision: “In the year 2020 Indonesia shall become a New Industrial Developed Country”. It means in that
year the National industry capability is recognized by the international community as the structural basis for the future’s
strong modern economy as well as a vehicle for a people-oriented economy.” Source: Ministry of Republic Indonesia

58
Figure. 4 Unemployment, Total (% of total labour force)
Source: The World Bank

According to the figure, indeed Indonesia has positive trend in decreasing the percentage
of unemployment. However, the country remains have the highest unemployment workforce
compared to several mentioned countries above. Meanwhile, in the mean time, those abundant
unskilled workforces and unemployment still could be considered as ‘national potency’ or national
comparative advantage in facing ACFTA. In which the country still could gain trade creation and
trade diversion by optimising labour intensive industry and exporting unskilled labour abroad
(Widyasanti, 2012). This is in line with Heckscher-Ohlin theorem states that “a country will tend to
export commodities that intensively use the abundant factor of production” (cited in Ibrahim, et.al
2010, p. 28).
However, Indonesian government should not merely stick on that theorem for its economic
performance in the future, because Indonesia will be marginalised either in the global or ACFTA
market. Thus, the Liontief’s concept of human capital investment in which increasing the skills and
productivity of Indonesian workers by training and education investments should be implemented
as well (Liontief in Gilpin 2000). It is reasonable, if Indonesia merely exports unskilled labour and
labour-intensive goods, the country will get low national income from those trade factors. Because,
usually unskilled labour are paid in low salary and labour intensive goods earn low national income
rather than capital intensive goods. Moreover, the country has difficulties to increase its national
capital for enhancing national productivity, since the country deals with reducing the high cost of
production. Therefore, strengthening national competitiveness is important to keep the country’s
existence in the global market. According to Porter, by determining domestic competitive condition,
the country can influence its international competitiveness (cited in Gilipin 212). International
competitiveness itself refers to “national productivity and gives rise to improved government
policies to increase national savings and investment in capital goods and in skilled labour” (Gilpin,
p. 181).
As ACFTA is being implemented, Indonesian human resources are being competed in that
regional market. According to Modjo,6 “there is an increase in the number of unemployment in

6
Modjo is director of INDEF (Institute for Development of Economic and Finance )

59
which, there are nine labour-intensive industries affected and around 1 million people might lose
their job because of ACFTA”. (The Jakarta Post, 28/2/2010). Whereas, Allen, E and Chatani, K (2011)
have different analysis of employment impacts during ACFTA implementation as shown by the
table below:

Table. 9. Employment Impact during ACFTA implementation

Sourced: Allen and Chatani 2011

According to the table above, Job creation “gains mostly in sectors with low productivity and high
labour intensity” namely other agricultures, forest hunt coal metal petrol and wood. Interestingly,
agriculture is the sector that creates the highest number of jobs, but also with the highest number of
job losses. Moreover, ACFTA affects Job losses in mostly mentioned sectors namely: crops, weave
textile garment leather, trade service etc. Therefore, mostly young workers are affected (47% below
30 years), especially female employment, additionally, “net losses in urban areas and net gains in
rural areas” (Allen and Chatani 2011).
In response to that problem, assessing the government policies to overcome increasing the
number of unemployment as one of detrimental effects of ACFTA implementation is important
to be analysed, because this problem is linked to several state institutions namely: Ministry of
Manpower and Transmigration, Ministry of Industry, Ministry of Finance and Ministry of Trade.
Hence, a combination of careful policy coordination is vital to be implemented in order to protect
Indonesian domestic labour force.
There are several actions that are being and (should be) implemented by the government.
Firstly, the Ministry of Manpower and Transmigration has formed a Task Force7 under the name
Satgas Antisipasi Dampak ACFTA terhadap Sektor Ketenagakerjaan (Anticipation Team of the ACFTA
Impact on the employment sector). The Task Force’s duty are monitoring and promoting the
development impact of ACFTA; conducting studies and impact analysis ACFTA; evaluating and
formulating policies in anticipation of the implementation of ACFTA; taking immediate action of

7
The task force consists of: Anticipation Field and Policy Action, Field of Study and Crisis Center.

60
ACFTA impacts and giving recommendation to the policy maker. In fact, the real actions from the
task force have not yet been realised during several years of ACFTA implementation. Every case
that related to increasing the number of job losses that is caused by ACFTA often to be seen as
the responsibility of industrial ministry and trade ministry in terms of: formulating strategy for
overcoming problems, obtaining data, survey and studies at ACFTA impacts. Moreover, a number
of employment terminations by the companies are unprotected by the policy in terms of severance
payment. This case is often occurred in medium and small scale companies.
Secondly, the ministry of industry should be more concerned in realising more job opportunities
creation by encouraging industrial sectors which are labour intensive and export commodities
oriented. According to the table presented by Allen & Chatani, optimising in agricultural sectors
could reduce the number unemployment. In this term, the H-O theorem is still applicable to employ
abundant workforces while the ACFTA agreement is being implemented.
Thirdly, the government should increase the quality and productivity of its workforce to help
them not only have comparative-advantage but also competitive advantage by applying human
capital investments. In this term, the Liontief’s concept is useful to increase the quality of human
resources through education and training.
Fourthly, developing and increasing the number of small and medium industries (IKMs)
should be more intensified by the industrial ministry in term of implementation as shown by the
table below:

Table 10. Industry Structure Based on Actors, Business Scale and Manpower

Sourced from: The industrial ministry of Indonesia

By strengthening those industrial scales, not only the number of unemployment that could
be reduced, but also industrial diversification and entrepreneurship could be gained in facing the
ACFTA
Finally, the ministry of finance should renew and adjust the relevancy of fiscal stimulus program
periodically with the current facts in order to encourage industrial sectors growth, competitiveness
and job opportunities creation. In this stage, the collaboration and coordination across ministry is
important in terms of obtaining data, identifying national needs, and solving the national problems
comprehensively. These figures and tables below provide more information about the scheme of
fiscal stimulus in which the government is trying to improve national economic growth in several

61
sectors:

Figure 5. Fiscal Stimulus Package for 2009


Sourced data from : Ministry of Finance Indonesia

Table 11. Fiscal Stimulus 2009 in Indonesia

Sourced data from: Ministry of Finance Indonesia

62
Table 12. Indonesia’s stimulus package compared to other countries

Sourced data from : Ministry of Finance Indonesia

Table 12. Indonesia’s stimulus package compared to other countries

Sourced data from: Ministry of Finance Indonesia

63
According to those data above, the government seems to have good policy formulation in
terms of accelerating job creation, fostering growth of small scale business, stimulating trade and
promoting entrepreneurship by providing tax saving payment, tax subsidy for business and non-
tax subsidy for business. Moreover, in comparison with other countries, the stimulus package of
Indonesian government shows the high commitment by investing and allocating national revenue
in promoting national growth. The problems are that in the policy implementation and evaluation
stage and other social discrepancies namely: corruption, industrial extortion and law enforcement.
Those factors often impede international investment to Indonesia and create unconducive business
environment. Therefore the policy aims seem hard to be achieved.

Conclusion
The role of government to govern national and international market is important by expanding
the market size, removing the trade barriers, specialising or modifying economic division and
renewing its political economy. Indonesian is currently facing several challenges during ACFTA
implementation namely: domestic product competitiveness and protecting labour force from any
detrimental effects of ACFTA.
In pursuing domestic product competitiveness, the national government should modify the
perspective of comparative advantage with competitive advantage. Enhancing the quality of national
endowments is still useful to be implemented in order to gain international market chain. In addition,
expanding the new potential of national endowment is important to be explored in order to sustain
national competitiveness and indentify the current trade pattern in the global market. Furthermore,
a focused goal, unified and sustainable policy in political economy should be revitalised in order
to increase the market competitiveness and create healthy and investment climate. Besides, there
are several technical strategy that could be applied such as: reducing the industrial cost by turning
to import semi-finished products, improving basic infrastructure for supporting industrial sectors,
strengthening industrial relation policy (Soesastro & Basri 2005, p. 4), identifying the potential
chain market and the world demand (Juswanto & Mulyati2003, p.104) and campaigning the love
Indonesian products.
In protecting domestic labour force from detrimental effects of ACFTA, the government should
combine the strategy of exporting unskilled labour force and labour intensive goods in creating job
opportunities with the strategy of human capital investment, because the number of unemployment
increase reasonably during the ACFTA implementation. In response to that problem, an integrated
policy and institutional coordination among the state ministry are required. There are several
strategies that could be strengthened and implemented namely: revitalising the role of Task Force
which is established by the Ministry of Manpower and Transmigration in anticipating the ACFTA
impacts, imposing the policy protection of employment termination especially in medium and small
scale companies, Intensifying industrial sectors in labour intensive and export commodities oriented
in creating job opportunities, increasing human capital investment program through education and
training, developing the number of small and scales industries in encouraging domestic entrepreneurs
and adjusting the relevancy of fiscal stimulus program in national economic growth improvement.
The implementation of those strategies should be monitored periodically in order to prevent from
any social discrepancy practice in which could impede conducive business environment.

Word Count: 4.414

64
References
Ananta, A 2000. ‘Economic integration and free labour area: an Indonesian perspective’ in Sukamdi
et.al (eds), Labour migration in Indonesia: policies and practice, Population studies centre Gadjah
Mada University, Jogjakarta, pp. 23-61.
Australian Public Service Commission 2004, Connecting government: whole of government responses
to Australia’s priority challenges, viewed, 10 March 2011, <http://www.apsc.gov.au/mac/
connectinggovernment.htm >
Gandhi, GS et. al. 2011, ‘Imports from China tighten competition’ Indonesia Finance Today 19 April,
viewed 15 May 2011, <http://en.indonesiafinancetoday.com/read/4495/Imports-from-
China-Tighten-Competition#>
Gilpin, R 2001, Global political economy understanding the international economy order, Princeton
University Press, New Jersey
Ibrahim, et.al 2010, the impact of ACFTA implementation on International trade of Indonesia,
Bulletin of Monetary, Economics and Banking, vol. 13 No, 1, viewed 15 April 2011 <http://
www.bi.go.id/NR/rdonlyres/A4987088-FA98-40FB-A418-2AAC57E55A87/22713/Ibrahim.
pdf>
Indonesian BPS (Central Bureau Statistic) 2010, Strategic Data of Indonesian BPS, Jakarta.
International Labour Organisation 2011, FTA Indonesia-China what is the impact on employment? a
social accounting matrix as an employment impact assessment tool, Allen, E, Chatani, K.
Juswanto, W & Mulyati, P 2003, Indonesia’s manufactured exports: a constant market shares analysis,
Jurnal Keuangan, dan Moneter, Vol. 6, No. 2, pp. 97-106
Kandi, RD & Sejati, P 2011, ‘China increasingly dominates Indonesian import market’ Indonesia Finance
Today 7 March, viewed 10 May 2011, <http://en.indonesiafinancetoday.com/read/2776/
China-Increasingly-Dominates-Indonesian-Import-Market>
Malik, A 2011, ‘Production of six industries dropped due to ASEAN-China free trade agreement’ Indonesia
Finance Today 24 March, viewed 11 May 2011, <http://en.indonesiafinancetoday.com/
read/3545/Production-of-Six-Industries-Dropped-Due-To-ASEAN-China-Free-Trade-
Agreement->
Ministry of Finance Republic of Indonesia, Fiscal Sustainability: 2009 State Budget and Fiscal Stimulus,
Jakarta
Ministry of Industry Republic of Indonesia 2010, Industry facts and figures, Jakarta
Ministry of Manpower and Transmigration of the Republic of Indonesia 2011, Anticipating the
Impact of ACFTA, Jakarta
Nuzhat 2011, Current Affairs, Socio-Economic Issues, Current Events, News—News Dawn, Asian-
China free trade area affects Indonesian industries, viewed 15 April 2011, <http://newsdawn.
blogspot.com/2011/04/asean-china-free-trade-area-affects.html>
Sejati, H 2011, ‘Indonesia not ready for ASEAN economic integration’ Indonesia Finance Today 17
February, viewed 12 May 2011, <http://en.indonesiafinancetoday.com/read/2222/Indonesia-
Not-Ready-for-ASEAN-Economic-Integration>
Soesastro, H & Basri, MC 2005, The Political Economy of Trade Policy in Indonesia, ASEAN Economic
Bulletin, Vol. 22, No. 1, pp. 3-18
Widyasanti, AA 2010, Do regional trade areas improve export competitiveness? A case of Indonesia,
Bulletin of Monetary, Economics and Banking, Vol. 13, No. 1, pp. 5-22
_________, 2010, ‘ACFTA worsens unemployment: INDEF’, The Jakarta Post, 28 January, viewed
28 April 2011, <http://www.thejakartapost.com/news/2010/01/28/acfta-worsens-quality-
economic-growth-indef.html>

65
66
IDENTITAS KERJASAMA REGIONAL
ASIA TENGGARA:
SULITNYA MEWUJUDKAN ASEAN FREE TRADE (AFTA)

Obsatar Sinaga
Pengajar Jurusan Hubungan Internasional di Universitas Padjajaran

Abstrak
Meskipun Kesepakan pembentukan AFTA sudah sejak lama dilaksanakan, akan tetapi pelaksanaannya di
lapangan cenderung menemui kendala dikarena sulitnya menyatukan kepentingan dari berbagai negara-
negara anggota ASEAN untuk menyamakan persepsi tentang tujuan dibentuknya AFTA. Pengaruh Negara
besar (great power) dalam kanca pergaulan di Asia Tenggara membawa juga signifikansi pada sulitnya
pelaksanaan AFTA. Sementara itu, tuntutan pembentukan pasar bebas merupakan perkembangan baru
dalam regim internasional yang bergerak ke area potensi pasar kawasan. Jumlah penduduk Asia Tenggara
yang mencapai angka ½ miliar jiwa merupakan potensi pasar luar biasa bagi Negara-negara produsen.
Karena itu AFTA harus menjadi kekuatan yang mempertimbangkan dalam kanca pasar bebas dunia. Tulisan
ini mangkaji secara kualitatif perkembangan pelaksanaan AFTA dari sisi identitas regional. Pada akhirnya
ditemukan kesimpulan bahwa koordinasi antar Negara anggota ASEAN merupakan ihwal yang penting
dalam perwujudan AFTA di kawasan ini.
Kata kunci: AFTA, WTO, Economic Community dan Koordinasi

Pada hakekatnya, nomenklatur ASEAN Free Trade Area (AFTA) tidak merupakan hirauan
baru dalam kajian studi hubungan internasional. Perhatian dunia pernah terfokus ke kawasan
strategis Asia Tenggara ketika AFTA diluncurkan kepermukaan dengan prinsip kebebasan pasar.
Setidaknya ada dua alasan yang menyebabkan perhatian dunia tertuju ke kawasan ini seiring AFTA
dicanangkan.
Pertama, AFTA merupakan rencana yang bermakna kolektif dalam wadah ASEAN (Association
of Southeast Asia Nations-Organisasi Negara-negara Asia Tenggara) yang justru awalnya berasal
dari ajakan pemerintah Cina pada November 2001. Munculnya Cina ini menjadi subjek menarik
bagi Negara besar (greatpower) untuk diperhitungkan sebgai kekuatan tandingan dalam kanca
perdagangan bebas di kawasan lain. Paling tidak, AFTA juga diterjemahkan sebagai jawaban
pemberlakuan pasar bebas Eropa, NAFTA dan praktek yang sama di kawasan lain.
Kedua, Jumlah penduduk kawasan yang akan dijadikan objek pasar bebas ini mencapai sekitar
dua miliar jiwa. Populasi yang tinggi ini akan menjadi energy kinetis bagi kekuatan pasar raksasa
yang dibentuk. Setidaknya, mekanisme pasar yang akan terjadi lebih banyak diwarnai oleh kondisi
populasi dan distribusi barang dan jasa. Alasan yang dibutuhkan yang disebutkan terakhir ini justru
menimbulkan kecurigaan bahwa kekuatan pasar raksasa di Asia Tenggara ini akan menyingkirkan
pihak luar yang sebenarnya juga meletakkan dasar distribusi produknya di Asia Tenggara. Apalagi,
di dalamnya terdapat peran pemerintah Cina yang selama ini tidak pernah ikut terpengaruh oleh
mekanisme pasar negara-negara Barat, kecuali hanya untuk kepentingan mempertahankan diri dari
intervensi negara besar lainnya di Beijing.
Faktor Cina tersebut boleh jadi merupakan aspek utama dalam perhitungan negara lain untuk
tidak tertinggal dengan eksistensi pasar bebas di Asia Tenggara. Hal tersebut dapat dibuktikan
dengan ikutsertanya beberapa negara untuk “melamar” ASEAN. Jepang, Misalnya, mengambil
langkah mengikuti Cina dengan menawarkan persetujuan ekonomi yang lebih luas dalam hubungan
antara Tokyo dan negara-negara ASEAN, Januari 2002 (dua bulan setelah usulan Cina). Prakarsa
yang sama juga diikuti oleh India, Korea Selatan, Australia dan Selandia Baru.

67
Economic Community
Harus diakui, Amerika Serikat juga menaruh kekhawatiran yang sama dengan Negara lainnya
atas munculnya pasar bebas ASEAN. Sikap AS tersebut ditandai dengan upaya negara Paman Sam
itu untuk melaksanakan simposium tentang AFTA di Washington, 27 September 2002. Padahal
substansi utama dari acara simposium yang mengundang beberapa negara anggota ASEAN adalah
niat AS untuk membentuk Enterprise for the ASEAN Inisiative (EAI). Hanya saja, pembentukan EAI
tersebut hanya melibatkan sejumlah (tidak semua) negara anggota ASEAN, meskipun arahnya
sejalan dengan Free Trade Area.
Tentu saja, apa yang dilakukan Amerika Serikat tersebut tersebut semakin menambah
“kecurigaan” dari beberapa anggota ASEAN yang tidak turut serta dan juga negara-negara
industri maju yang sejak awal sudah mendekati ASEAN. Kecurigaan tersebut terbukti dengan
adanya kesepakatan yang disebut Bali Concord II tersebut mencanangkan format ASEAN Economic
Community yang akan memberikan batasan khusus bagi anggota di kawasan tersebut.
Lebih jauh, kesepakatan tersebut akan membuka sebuah pasar tunggal yang menyeluruh dan
tidak hanya membuka peluang pasar secara parsial bagi anggota ASEAN dengan negara-negara
industri maju. Batasan yang jelas tentang platform produksi di dalam pasar tunggal ASEAN akan
ditetapkan dalam tahun 2020. Pada saat itu tidak akan ada lagi hambatan dalam perdagangan
barang dan jasa antarnegara ASEAN. Bahkan arus lalu lintas modal dan orang akan ikut dalam
ketetapan mekanisme pasar bebas.
Forcasting tentang perdagangan bebas yang dimaksud oleh ASEAN dalam pertemuan di Bali
tersebut adalah suatu kawasan ekonomi yang berdaya saing tinggi karena produsen di kawasan ini
dapat menggunakan bahan dan factor produksi yang termurah yang tersedia di kawasan sendiri.
Ada lagi hal yang sangat menggebirakan dengan sistem masyarakat ekonomi ASEAN tersebut
adalah soal production network yang dapat dipastikan akan lebih luas jangkauannya secara hasil dan
geografis. Tegasnya, akan terciptanya kawasan ekonomi yang tangguh karena produksi barang dan
jasa yang dihasilkan akan sangat sesuai dengan karakter dan kondisi masyarakat di kawasan.
Sesungguhnya apa yang akan diciptakan ASEAN adalah suatu kerangka ekonomi yang tidak
bergantung pada kekuatan ekonomi dari sentripugal lain. ASEAN ingin menampilkan sebuah
wujud kerjasama regional yang menyatu dengan bentuk centre dengan kekuatan terpusat pada
anggota ASEAN. Negara lain atau kekuatan ekonomi kawasan lain hanya akan diposisikan dalam
kerangka pinggiran yang semuanya bergantung pada wilayah centre dalam Economic Community
ASEAN.

Kerangka Tunggal WTO


Ekonom Jagdish Bhagwati mengungkapkan sebuah proposisi dalam pembentukan Free Trade
Area sebagai sebuah mangkuk spageti (spaghetti bowl). Mangkuk tersebut terbentuk dari aturan-
aturan perdagangan yang disepakati platform bagi interaksi negara-negara yang ada dalam
kawasan tertentu. Kalau demikian halnya, Bhagwati menilai bahwa aturan tersebut semestinya
menjadi satu dalam tatanan pasar bebas dunia. Sehingga dapat dimengerti apabila kemudian
Bhagwati menyarankan agar perhatian dan energi diarahkan bagi pembentukan sistem perdagangan
multilateral. Bentuk tersebut adalah World Trade Organization (WTO).
Pandangan Bhagwati tersebut lebih dimaksudkan pada upaya untuk memberikan kepastian
yang lebih besar bagi peraturan perdagangan yang mendunia. Meskipun pandangan ini menafikan
kondisi karakter dan kekhasan yang terjadi di kawasan, akan tetapi pendapat Bhagwati tersebut
juga berusaha untuk menghilangkan tindakan deskriminasi yang biasa dipraktekkan oleh Free Trade
Area. Karena, dalam prakteknya FTA seringkali mempergunakan sarana pasar bebasnya sebagai
alat untuk menetapkan prefensial bagi negara anggotanya. Bahkan Bhagwati meyakini bahwa

68
pemberlakuan prefensial hanya akan menimbulkan ketegangan ekonomi dan politik antar-kawasan
atau malahan antar-negara produsen dalam satu kawasan.
Proposisi Bhagwati tersebut ditandai dengan sikap “latah” beberapa Negara termasuk di
kawasan Asia Tenggara karena reaksi dari kekhawatiran disisihkan dari pembentukan FTA lain.
Teori Prematur dari Bhagwati ini juga bisa digunakan untuk memahami kenapa banyak negara
berusaha untuk mengikuti membentuk FTA ketika ASEAN melakukannya dengan China. Padahal
secara otomatis ASEAN sendiri berhadapan dengan persoalan kamampuan organisasi regional ini
untuk melakukan negoisasi dan menangani berbagai kendala ditimbulkan oleh FTA-FTA tersebut.
Padahal kemampuan negosiasi ASEAN masih bergantung banyak pada pola kerjasama
intraregional yang sampai saat ini masih mencari bentuk. ASEAN harus mengakui bahwa persaingan
“dingin” yang ditimbulkan sebagai akibat dari produksi barang dan jasa yang komplementer
maupun subtitutif masih belum ditemukan jawabannya. Terdapat negara-negara yang memiliki
produksi barang dan jasa yang sama yang sama dan ada negara yang produksi barang dan jasanya
sama-sama saling melengkapi. Persaingan tersebut lebih mengarah lagi pada kondisi penguasaan
teknologi yang masih bervariasi dari negara anggota. Tercatat ada negara anggota yang sudah
berkemampuan tinggi dalam teknologi dan bahkan tampil dalam tatanan negara maju, akan tetapi
ada pula negara yang berada dalam posisi underdeveloping countries.

Fungsi Koordinasi
Seorang ilmuan bernama Hoegerwerf mengungkapkan bahwa koordinasi sangat diperlukan
dalam sebuah bentuk kerjasama pada organisasi manapun. Tanpa fungsi koordinasi, masing-
masing pihak yang ada dalam organisasi akan berjalan dengan sendiri dan mengambil keuntungan
berdasarkan kepentingan sendiri. Elemen-elemen yang berada dalam organisasi akan bergantung
secara kreatif kepada fungsi koordinasi yang ada.
Agaknya, tidak terlalu berlebihan apabila ASEAN juga berhadapan dengan kendala fungsi
koordinasi dalam keanggotaanya. Fungsi tersebut tidak berjalan dalam kerangka yang dibutuhkan
oleh koordinasi sebesar ASEAN. Negara anggota ASEAN hanya meyakini bahwa koordinasi
diproyeksikan dalam fungsi dari ASEAN Secretariat yang berkedudukan di Jakarta. Tugas
koordinasi tersebut lebih diarahkan pada sifat informatif yang tentu saja tidak memadai dalam
tatanan kepentingan ASEAN secara menyeluruh. Kondisi tersebut semakin tidak jelas pada
praktiknya ketika dihubungkan dengan eksistensi AFTA.
Paling tidak, pada praktik AFTA sendiri banyak negara mengambil sikap tidak mengikuti
langkah koordinasi yang seharusnya menjadi keputusan kolektif. Sejumlah negara anggota ASEAN
memilih mengambil sikap untuk bereaksi secara lebih kongruen sambil tidak memperhatikan akibat
yang ditimbulkan kemudian. Tindakan melakukan kesepakatan FTA yang dilakukan anggota
ASEAN dengan Negara industri lain secara sendiri-sendiri merupakan bukti yang memperlihatkan
ke arah tidak berjalannya fungsi koordinasi.
Singapura telah melakukan FTA dengan Selandia Baru, Jepang, Australia dan bahkan dengan
negeri Paman Sam. Disinyalir, Singapura suadah sipa melakukan FTA secara khusus dengan Korea
dan India. Padahal FTA yang sama juga dilakukan oleh Thailand secara mandiri dengan Australia
dan Cina. Rencananya Thailand juga akan segera menandatangani FTA dengan pemerintah Bahrain.
Thailand dan Singapura merasa bahwa percepatan yang dilakukan ASEAN selaku organisasi
regional tidak bisa mengikuti kebutuhan dan kekhawatiran berkembang dalam sektor ekonomi di
negara tersebut.
Pada pertemuan di Viantienne, November 2004, muncul pertanyaan mendasar yang
melatarbelakangi negara anggota ASEAN untuk melakukan kesepakatan FTA mendahului ASEAN
sendiri. Alasan yang dikemukakan Singapura dan Thailand adalah untuk melakukan langkah

69
terobosan bagi kepentinagn ASEAN di masa depan dalam mengembangkan kerjasama sejenis
dengan negara tujuan. Formula pendahuluan tersebut dianggap oleh Singapura dan Thailand dapat
membuka keterlambatan yang dilakukan ASEAN secara kolektif.
Alasan kedua Negara tersebut justru mendapat sokongan politis dari Jepang yang menilai bahwa
Tokyo lebih penting untuk melakukan kesepakatan FTA dengan masing-masing negara ASEAN
lebih dulu ketimbang dengan ASEAN sebagai organisasi. Meskipun sebenarnya Jepang sendiri telah
melanggar sebuah kerangka perjanjian yang isinya untuk melakukan Close Economic Partnership
(CEP). Perjanjian tersebut menggarisbawahi bahwa jepang akan selalu mengikuti perkembangan
keinginan dari sebuah FTA di tingkat regional sebagai wujud dari keikutsertaan dan dukungannya
dalam AFTA. Anehnya, langkah inkoordinasi tersebut diikuti oleh Filipina dan Malaysia. Bahkan
Indonesia yang tercatat sering memunculkan pentingnya koordinasi dalam kerjasama ASEAN juga
sudah mulai melakukan konsultasi dengan Jepang untuk selanjutnya ditindaklanjuti dengan FTA
bilateral.
Setidaknya, Indonesia juga harus mengambil sikap yang cepat dalam melihat perkembangan
di kawasan Asia Tenggara. Bila tidak, Jakarta akan tertinggal dengan perkembangan FTA bilateral.
Apalagi Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono menetapkan perbaikan ekonomi dan iklim investasi
di Indonesia. Upaya tersebut tentu saja tidak bisa dilepaskan dengan kondisi perkembangan
ekonomi di ASEAN. Ketika Singapura melakukan kesepakatan FTA bilateral, Jakarta tidak perlu
terpengaruh. Akan tetapi ketika FTA tersebut sudah dilakukan oleh Filipina, Malaysia dan Thailand,
berarti Jakarta harus menilai kondisi tersebut sebagai tekanan regional. Sedikitnya, apabila Jakarta
tidak mengambil langkah yang sama, maka produk ekspornya akan menghadapi kendala di pasar
Jepang, Selandia Baru, Australia dan Amerika Serikat.
Lantas, siapa yang akan berada di garis depan dalam memfungsikan koordinasi dalam tatanan
intraregional? Barangkali sudah saatnya Indonesia mengambil posisi penting sebagai negara yang
berada di garis depan. Pembentukan FTA yang ada tidak dapat dipungkiri lagi, sehingga tinggal
meningkatkan fungsinya menjadi lebih bermanfaat kepada kepentingan regional ASEAN. Pada saat
yang sama, Indonesia juga mengambil posisi kepemimpinan untuk terus memperjuangkan fungsi
koordinasi intraregional dengan cara meningkatkan porsi pertemuan di tingkat forum CEO.
Kendala ini tidak akan bisa diatasi tanpa meletakkan dimensi koordinasi dengan memfungsikan
struktur ASEAN Secretariat sebagai nilai hub yang mempertemukan berbagai kebijakan bilateral ke
dalam fungsi regional. Dan aktor Indonesia menjadi penting ketika kemudian dikaitkan dengan
sifat representatif Jakarta dari semua negara ASEAN. Sebab selama ini Jakarta hanya berdiam
dalam sikap ragu-ragu ketika kebijakan AFTA ditetapkan. Malahan terlihat sikap yang mendua
dan bersembunyi dengan tetap menerapkan perlindungan terhadap produk dalam negeri tertentu
di tengah pemberlakuan AFTA secara bertahap. Kecuali jika Indonesia memang berterus terang
tidak siap dalam menerima penerapan pasar bebas regional ASEAN.

Daftar Bacaan
ASEAN Secretariat. 1996. AFTA Reader Volume I-IV. Jakarta : Departemen LuarNegeri Republik
Indonesia.
Bantarto Bandoro, “Menu Baru Politik Luar Negeri RI (New Menu of Indonesia’s Foreign Policy),“
Suara Pembaharuan, 2 Februari 2000.
Coulumbis, Theodore A., & James H. Wolfe. 1981. Introduction to International Relations: Power and
Justice, New Delhi: Prentice Hall of India Private Limited.
Dunn, William N. 1995. Analisa Kebijakan Publik, Diterj. Muhadjir Darwin. Yogyakarta: PT. Hanindita
Offset.

70
Frankel, Josep. 1973. Contemporary International Theory and the Behavior States. Oxford University
Press
Holsti, K.J. 1977. International Politics. New Jersey : Prentice Hall, Inc.
Lovell, John F. 1970. Foreign Policy and Perspective : Strategy Adaption, Decision Making. Chicago : Holt
Rinehart and Wilson Inc.
Michael Leifer, Indonesia’s Foreign Policy. London, George Allen & Unwin, 1983, pp. 27-29
Mohammad Hatta, “An Independent Active Foreign Policy,” In H. Feith and L. Castles, eds.,
Indonesia Political Thinking. Itacha, Cornell University Press, 1970, pp.449-553.
Speech of Minister of Foreign Affairs at the 57th Anniversary of the Departement of Foreign Affairs,
19 August 2002.
Winardi, J. 1989. Pengantar Tentang Teori Sistem dan Analisis Sistem. Bandung : CV Mandar Maju.
-----..-----. 1992. Asas-Asas Manajemen. Bandung : CV. Mandar Maju.
Winardi, J. 1990. Teori dan Praktek Manajemen Bauran Pemasaran (Marketing Mix). Bandung : FISIP
UNPAD.

71
72
II
KEAMANAN

73
74
KETERLIBATAN AKADEMIK-INTELEKTUAL DALAM
MODUS KEPEMERINTAHAN NEOLIBERAL
(KASUS INTEGRASI KEAMANAN ASEAN)

Hizkia Yosie Polimpung1


Pengajar Jurusan Hubungan Internasional di Universitas Al Azhar Indonesia

Abstrak
Kondisi keamanan Asia Tenggara yang relatif damai, oleh beberapa kubu besar (konstruktivis, liberalis, mazhab
Inggris, neorealis) penstudi kawasan tersebut telah terlalu dibesar-besarkan, bahkan sampai menjadi sesuatu
yang disepakati bersama dan tidak dipertanyakan lagi di kalangan akademik-intelektual. Tujuan studi ini ada
dua: pertama, memproblematisasi kembali kondisi damai tersebut dengan mengaitkannya dengan studi
kepemerintahan (governmentality) dengan memberi penekanan sentral pada ketakterpisahkannya modus
kepemerintahan neoliberal dengan politik ekonomi keamanan. Dengan memperluas studi kepemerintahan
ini ke ranah regional, studi ini berargumentasi bahwa kondisi kamanan di Asia Tenggara yang relatif
damai merupakan efek darinkepemerintahan neoliberal, dengan integrasi isu kemananan melalui ASEAN
Political- Security Community (APSC) sebagai korelat pemerintahannya. Salah satu pemegang peranan
penting dalam mengkonsolidasi kepemerintahan neoliberal yang pula akan disoroti studi ini adalah kaum
akademik-intelektual. Hal ini dilakukannya dengan mendepolitisasi isu integrasi kemanan sebagai hal-hal
teknis dan taktis. Oleh karena itu, tujuan kedua studi ini adalah mengeksplisitkan strategi depolitisasi kaum
akademikintelektual tersebut dalam proses integrasi kemanan Asia Tenggara melalui APSC. Proses eksplisitasi
ini akan dipungkasi dengan memetakan keterlibatan akademik-intelektual dalam modus kepemerintahan
neoliberal. Bagian kesimpulan akan mendiskusikan implikasi studi ini bagi studi Hubungan Internasional
Indonesia pada umumnya, dan eksistensi Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional Indonesia (AIHII) pada
khususnya.
Abstract
Relatively peaceful condition that has been experienced by Southeast Asia, for some prominent camp of the
field of study (constructivist, liberalist, English School, neorealist) has been overly exaggerated in a way that
is has become a consensus and been taken for granted among academics-intellectuals. The aim of this study
are twofold: first, it seeks to reproblematize the relatively peaceful condition in Southeast Asia by interlinking
it to the study of governmentality, that is by stressing the inextricable link between neoliberal mode of
governmentality and political economy of security. Expanding the study of governmentality to regional realm,
this study argues that relatively peaceful condition in Southeast Asia is the effect of neoliberal governmentality,
with the integration of security issues through ASEAN Political-Security Community (APSC) as its correlate
of governance. This study also puts a spotlight on to one key actor involved in consolidating neoliberal
governmentality, namely the academics-intellectuals. The involvement is done by their depoliticizing the
issue of security integration, rendering it merely technical and tactical. Therefore, the second aim of this study
is to make explicit the strategy of depoliticization done by academics intellectuals in the context of Southeast
Asia security integration through the APSC. At the end of analysis, a general mapping of involvement of
academicsintellectuals in the neoliberal mode of governmentality is charted out. The conclusion section also
discusses the implication of this study to the Indonesian International Relations scholarship in general, and
the existence of Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional Indonesia (AIHII) in particular.

PARADOKS STABILITAS
Setidaknya terdapat dua tren umum yang konsisten, baik di kalangan akademisi maupun
khalayak publik, terkait dengan stabilitas kawasan di Asia Tenggara berikut bertahannya kerangka
institusi dominan di situ, yiatu ASEAN. Tren pertama adalah tren over-optimis, yaitu mereka yang
memandang bahwa kondisi Asia Tenggara yang relatif stabil adalah karena telah terbentuk semacam
konsensus atas suatu norma dan kultur (ketimuran?) diplomasi tertentu di kalangan negara-negara

1
Penulis berterima-kasih kepada rekan-rekan Diskusi Sabtuan Hubungan Internasional Kontemporer, terutama Prasojo,
Muhamad Haripin, Dodi Mantra, Muhammad Riza, Wendy Prajuli, Muhammad Arif, Azis Rahmani, Anggun Puspitasari,
Triandani Ramadanti, Bramantya Basuki, dan Fitri Bintang Timur untuk diskusidiskusi seputar ASEAN dalam berbagai
kesempatan selama penulis membangun argumentasi dalam tulisan ini. Juga kepada Frisca Tobing untuk bantuannya
mengumpulkan beberapa data terkait. Kritik dan komentar: [email protected].

75
ASEAN. Pendekatan ini banyak diusung oleh liberalis, konstruktivis dan juga Mazhab Inggris.2 Tren
kedua adalah tren sinis yang melihat performa ASEAN hanya sebagai sesuatu yang semu. Dengan
mengeksplisitkan relasi dominasi, perimbangan kekuasaan (baik regional maupun global) dan
konflik laten, baik dalam perdagangan maupun dalam isu keamanan, penstudi dari tren ini jatuh
pada kesimpulan bahwa ASEAN “making process, not progress” alias tidak berfungsi. Pendekatan ini,
tentu saja, banyak dikemukan oleh neorealis.3
Kedua pandangan ini sayangnya bukan tanpa permasalahan. Pandangan over-optimis, tentu
saja, akan jatuh pada keluguan yang seolah-olah menafikan begitu saja relasi dominasi, konflik laten
dan keterlibatan hegemon global, seraya selalu menekankan aspek normatif. Namun demikian,
pandangan sinis juga tidak lantas bersih dari pertanyaan kritis. Persistensi dalam mengekspos
aspek-aspek “riil” yang terjadi di kalangan negara-negara ASEAN yang notabene menjadi anti-tesis
bagi seluruh retorika normatif ASEAN, tidak serta-merta membuat hal-hal normatif itu pudar begitu
saja. Terlalu mudah sekiranya untuk memperolok ASEAN sebagai sekedar “talk shop”’4 apalagi
dengan tergesa-gesa mengumumkan irelevansinya. Belum lagi mereka, bahkan tidak sedikit dari
kalangan akademisi, yang secara prematur menekankan bahwa ASEAN adalah pengecualian bagi
teori-teori HI pada umumnya, bahwa teori-teori HI tidak lagi relevan untuk membahasnya.5
Studi ini berupaya keluar dari dua posisi ini dengan menawarkan cara pandang baru yang
mampu memahami pertanyaan-pertanyaan ampas yang disisakan dari dua tren di atas: mengapa
sekalipun perdamaian dan stabilitas Asia Tenggara pada dasarnya adalah semu, tapi ia tak kunjung
pudar?; mengapa sekalipun ASEAN tak lebih dari sekedar “talk shop” tapi keberadaannya tetap
persisten sekalipun didera kritisisme dari segala penjuru? Studi ini berangkat dari komitmen untuk
menjelaskan, bahkan mengkonstruksikan teori atas, realitas ‘paradoks stabilitas’ Asia Tenggara dan
ASEAN ini, seraya mencela seluruh upaya yang berusaha mengecualikannya dari upaya teorisasi
sebagai sebentuk arogansi akademik yang hanya menyembunyikan kelembaman berpikir dan
rendahnya komitmen intelektual untuk secara konsisten menjelaskan realitas secara obyektif, yang
berangkat dari kondisi apa adanya di lapangan.
Untuk menjelaskan dan memahami ‘paradoks stabilitas’ ini, tulisan ini akan mengajukan
argumen yang akan mengikut-sertakan variabel ekstra-keamanan. Problem perang dan damai,
stabilitas dan instabilitas, maupun tatanan atau kekacauan, akan dijelaskan hubungannya melalui
penjelasan yang sifatnya lebih ekonomi-politis. Hal ini bukan berarti hendak mensubordinasikan
isu-isu keamanan pada basis ekonomi politik, melainkan, sebagaimana yang akan menjadi semakin
jelas pada bagian berikutnya, untuk menunjukkan relasi over-determinasi, relasi timbal-balik, relasi
dialektis, di antara keduanya. Studi ini menunjukkan bagaimana spesifisitas isu keamanan (dalam
hal ini paradoks stabilitas Asia Tenggara) memiliki asal-usul ekonomi-politis, namun kemudian isu
keamanan ini pada gilirannya berbalik mendeterminasi konten ekonomi politik itu sendiri. Sekali
lagi, hubungan keduanya adalah sirkuler. Hal ini, menurut penulis, akan memperluas agenda studi
keamanan itu sendiri untuk tidak secara naif menggunakan kacamata kuda dalam melihat problem

2
Misalnya, Acharya (1998), Narine (2006) dan Kivimaki (2011).
3
Misalnya, Emmers (2003b, 2005), Haacke, J. (2009), Jones dan Smith (2007a, 2007 b), Green dan Tweening(2008), Jones
(2009, 2010, 2011).
4
Tentang ASEAN, BBC bahkan menegaskan bahwa ‘[i]ts annual summit has been described as a “talking shop” by at least one
international news service’ (De Launey, 2012). Untuk argumentasi umum di balik sinisme ini berikut sangkalannya, lihat Katsumata
(2006).
5
Lihat perdebatan menarik mengenai anomali ASEAN di hadapan teori-teori HI arus utama (terutama realisme) oleh
David Kang (2003) yang segera disanggah oleh Amitav Acharya (2003/4), yang kemudian dibalas kembali oleh Kang (2003/4).
Inti perdebatan sebenarnya ada pada apakah ASEAN punya model terdahulu untuk diperbandingkan atau tidak, yang menurut
Acharya tidak ada, thus perlu kerangka baru yang non Barat-sentris. Lihat juga keluhan Acharya dalam wawancaranya dengan
Theory Talks (Clifford, 2011). Di tanah air, saya pribadi berulang kali mendengar seruan-seruan bahwa ASEAN dan Asia Tenggara
(bahkan juga Indonesia) tidak bisa dijelaskan dengan teori-teori yang ada, dan tidak sedikit di antaranya lantas membuang teori
dan melenggak dengan common sense dan tumpukan data semata.

76
yang menjadi perhatiannya.
Untuk mengemban tujuan ini, pemaparan akan dibagi kedalam beberapa bagian. Bagian
pertama ini akan segera ditutup dengan klarifikasi metode dan sistematika penulisan. Bagian kedua,
berikutnya akan mengeksplisitkan fakta paradoks stabilitas Asia Tenggara dengan menunjukkan
anti-tesis dari ASEAN Way dan perdamaian Asia Tenggara. Bagian ketiga akan membahas mengenai
tren perkembangan terbaru dari perdebatan di seputar paradox stabilitas ini, yaitu mengenai strategic
hedging dan perimbangan institusional. Pendekatan ini, menurut penulis, sekalipun berangkat
dari kamp teorisasi arus utama neorealisme, mampu menangkap realitas paradoks stabilitas yang
penulis maksudkan as it is. Penulis akan menyertakan kritik dan upaya untuk mengembangkan lebih
jauh argumentasi ini dengan memasukkan argumentasi ekstra-keamanan. Namun sebelumnya,
bagian keempat akan mengevaluasi secara kritis pendekatan ekstra-keamanan yang cukup populer,
yaitu materialisme historis dan/atau Marxisme. Bagian kelima merupakan upaya penulis untuk
memformulasikan suatu pendekatan baru untuk memahami paradoks stabilitas Asia Tenggara,
berikut arti pentingnya bagi tatanan regional maupun global. Untuk ini, penulis menggunakan
pendekatan ‘kepemerintahan’ (governmentality) yang diusung oleh penstudipenstudi HI yang
banyak terinspirasi dari karya-karya akhir Michel Foucault tentang kepemerintahan liberal dan
biopolitik.

Metode
Posisi analitis yang ingin ditegaskan di sini adalah bahwa semua teori dari kedua tren yang telah
dijelaskan sebelumnya hanyalah menjelaskan satu level saja, yaitu di level yang akan saya sebut
sebagai level simptom (gejala).6 Level simptom memang merada di tataran permukaan yang eksplisit,
empirik dan kongkrit. Namun demikian, konkrisitas dari simptom merupakan hasil abstraksi
dari proses-proses yang terjadi sebelumnya, dan bahkan yang secara implisit terjadi bersamaan
namun tidak muncul di permukaan. Lalu apa fungsi simptom? Tidak lain adalah untuk menutupi,
menyegel, menyensor, realitas implicit yang paradoksal terhadap simptom, yang sebenarnya terjadi
di lapangan. Kerangka analisis untuk membedah simptom ini disebut ‘pembacaan simptomatik’.
Metode pembacaan simptomatik ini sebenarnya mencoba mengembangkan lebih jauh
pendekatan “six-words-question” yang dikemukakan oleh James Rosenau (2006), yaitu “of what is this
an instance?” (h. 92). Metode ini memiliki semangat yang sama dengan penulis, yaitu menolak untuk
begitu saja menerima apa yang eksplisit tampak di depan mata. Namun demikian, pembacaan
simptomatik melebihi mantra Rosenau ini dalam hal ia tidak hanya menelisik realitas implisit apa
yang memanifestasikan diri dalam simptom (instance, bahasa Rosenau), melainkan juga bertanya
mengapa ia harus memanifestasi dalam simptom tersebut, dan bukan yang lainnya. Yang diburu dan
dipertaruhkan di sini adalah spesifisitas obyektif dan kongrit dari simptom tersebut. Singkat kata,
tujuan dari analisis simptomatik bukan hanya berhenti pada mengutarakan realitas paradoksal yang
dipendam, melainkan juga mengapa realitas paradoksal itu mensyaratkan simptom tersebut untuk
menyembunyikannya. Komitmen pada obyektivitas analisis, dengan demikian, harus mampu
mendeskripsikan dan menjelaskan syarat-syarat keberadaan simptom ini. Selama penjelasan
tidak di arahkan pada konkrisitas simptom ini, maka seluruh penjelasan akan jatuh pada jurang
normativisme dan idealisme (sekalipun ia mengusung-usung kartu ‘(neo-)real-isme’).
Berangkat dari metode ini, maka kembali ke problem tulisan ini, ‘Stabilitas Asia Tenggara’
beserta turunan-turunannya seperti “ASEAN Way” dan anak-anaknya, harus diangkat ke status
simptom. Kedua tren di atas telah mampu menyumbangkan penjelasan mengenai realitas di level
implisit (neorealisme) maupun di level eksplisit (konstruktivis dan Mazhab Inggris). Hanya saja,

6
Pendekatan ini diadopsi dan dimodifikasi dari Psikoanalisis yang dikembangkan oleh Jacques Lacan, dengan menekankan
dimensi materialitas dari ketidak-sadaran/hasrt yang notabene merupakan obyek kajian utamanya. Penjelasan yang mirip
dengan proposal penulis, lihat Eyers (2011). Tentang symptom, lihat Zizek(2008 [1989): Part I).

77
keduanya tidak mampu saling menghubungkan penjelasan di antara mereka. Akhirnya, perdebatan
yang ada tidak lebih dari sekedar percek-cokan tak berujung seperti di Famili 100. Pembacaan
simptomatik mencoba mengintervensi perdebatan dengan mencoba mengaitkan di antara
keduanya yang hubungannya tampak paradoksal. Dengan pembacaan simptomatik, pertanyaan
yang diajukan dapat direformulasi menjadi: “kondisi apa yang mensyaratkan realitas implisit di
Asia Tenggara harus dimanifestasikan dalam dan melalui ASEAN beserta seluruh karakteristik
institusional, norma dan retoriknya yang notabene paradoksal?”

ASEAN WAY: WHICH WAY?


Mayoritas pengkritik ASEAN akan menjadikan norma yang dibangga-banggakan oleh institusi
ini sebagai sasaran kritik utamanya. Norma tersebut adalah ASEAN Way. Dua prinsip sentral
dalam ASEAN Way adalah non-intervensi dan pembentukan consensus (yang seringkali hanya
diantara para elit, jika bukan pemimpin negara). Implisit di dalam prinsip-prinsip tersebut adalah
penjunjungan tinggi atas kedaulatan negara dan manajemen keamanan antar-negara di dalam
kawasan. Memang, secara teoritis, penjelasan mengenai asal-usul ASEAN Way berbeda-beda.7
Acharya dan para konstruktivis akan menekankabahwa ASEAN Way adalah
usually described as a decision-making process that favours a high degree of consultation
and consensus. It is a claim about the process of regional cooperation and interaction based on
discreteness, informality, consensus-building and nonconfrontational bargaining styles which
are often contrasted with the adversarial posturing, majority vote and other legalistic decision-
making procedures in Western multilateral negotiations. (Acharya, 2001: 64, penekanan dari
naskah asli).

Sebaliknya, bagi pengkritik ASEAN Way, yang kebanyakan dari kubu neorealis, akan
menganggap Acharya dkk. sebagai ‘uncritical scholarship reinforcing failed multilateral initiatives
repeating itself. Central to this pattern [of scholarship] is the mistake of confusing process with progress’
(Jones dan Smith, 2007a: 180) dan bahwa ‘norms [ASEAN Way] are what strong states make of them’
(2007b: 182). Selama ASEAN dan para “uncritical scholarship” ini tidak mau mengakui realitas
ini, maka apapun “strategic mutation” (h.184) yang ditempuhnya, pasti akan tersandung kerasnya
realitas politik internasional.
Namun demikian, sekalipun perbedaan pandangan ini, hal yang nampaknya disepakati adalah
bahwa ada ASEAN Way, dan bahwa keberadaan tersebut tidak tersentuh, apalagi dipermasalahkan.
Yang mereka perdebatan adalah apakah ASEAN Way akan berdampak positif atau negatif bagi
kokohnya institusi regional ASEAN dalam menjaga stabilitas kawasan, dan siapakah dalang
sesungguhnya dari ASEAN Way ini. Sayangnya, sebagaimana ditekankan di awal, argumentasi
demikian kurang begitu berfaedah dalam menjelaskan situasi obyektif di kawasan karena masih
terjebak di salah satu level, implicit (riil) dan eksplisit (simptom). Sehingga dari cek-cok ini, tidak
akan terpikirkan pertanyaan mengenai apa yang memungkinkan ASEAN Way, dan bukan yang
lainnya, muncul dan persisten. Bukan dalang yang dikejar, dan bukan topeng8 dalang itu yang
dikejar; namun mengapa dalang tersebut memilih topeng tersebut. Penulis akan kembali ke hal ini
lagi nanti.
Fakta lain yang dapat memperkuat kritik Jones dan Smith terhadap Acharya sebenarnya
adalah pada manejemen nonkonfrontasional yang implisit di ASEAN Way. Apabila melihat
statistik pembelanjaan militer negara-negara Asia Tenggara, khususnya ASEAN, maka akan dilihat

7
Paparan umum mengenai posisi-posisi terkait ASEAN Way, lihat Ravenhill (2009). Jurnal Cambridge Review of
International Affairs pernah mendedikasikan satu isu membahas ASEAN Way ini, lihat Beeson (2009).
8
Jones dan Smith menegaskan bahwa ASEAN Way hanya menopengi sebuah ugly truth tentang penetrasi
kekuatan global di kawasan; ASEAN Way ‘can only mask the reality that weaker states cannot shape the fates of
stronger ones’ (Jones dan Smith, 2007b: 184).

78
dengan jelas betapa fatsoen diplomatik a la ASEAN Way sebenarnya menyembunyikan potensi
konfrontasional yang tinggi. Grafik 1 menunjukkan, memang, bahwa semenjak tahun 2003 telah
terjadi penurunan porsi pembelanjaan militer dari keseluruhan alokasi belanja negara.

Grafik 1 Persentase Kontribusi Pembelanjaan Militer terhadap PDB Negara-Negara Asia


Tenggara
(diolah dari SIPRI, 2011)

Namun, apabila berpaling ke Grafik 2, kenyataan bisa diartikan sebaliknya. Sekalipun persentasi
menurun, namun, secara nominal, tren peningkatan, bahkan peningkatan tajam untuk beberapa
negara, sangat terlihat jelas.

Grafik 2 Pembelanjaan Militer Negara-Negara Asia Tenggara 1988-2011


(diolah dari SIPRI, 2011)

Peningkatan konstan pembelanjaan militer Indonesia dan Singapura (bahkan untuk Singapura,
sangat tajam peningkatannya) semenjak 1998/1999. Indonesia, sejak 2003 telah melakukan kontrak
dengan Rusia untuk mendatangkan 10 buah Sukhoi secara bertahap sampai 2010. Belum lagi

79
digolkannya rencana kontroversial pembelian Main Battle Tank Leopard 2A6 sejumlah 15 Unit
pada bulan Oktober 2012 dan seterusnya akan datang secara bertahap sebanyak, 100 unit sampai
dengan Oktober 2014. Di matra laut pun Indonesia, di tengah retorika Thousand Friend Zero Enemy-
nya, semakin merealisasikan semboyan Jalesveva Jaya Mahe (di laut kita jaya) dengan menguji
misil supersonic antikapal, Yakhonot, buatan Rusia, pada April 2011. Dengan Cina, Indonesia juga
melakukan kolaborasi untuk pembuatan, lagi, misil anti-kapal C-705 dan C-802. Dengan Korea
Selatan, Indonesia juga memesan tiga buah kapal selam tipe 209/1400 melalui penandatanganan
MoU September 2012. Di matra udara, Indonesia pun berkolaborasi untuk pengembangan pesawat
tempur Korea Selatan, KF-X, yang konon lebih canggih dari F-16 milik AS.9 Saya kira ini bukti betapa
“bersahabatnya” Indonesia...
Beralih ke negara lainnya. Singapura malah sebenarnya telah meningkat pembelanjaannya
semenjak 1994. Kini, tahun 2012, Singapura mengalokasikan 9,7 Miliar USD untuk pembelanjaan
militernya. Peningkatan tajam pembelian Thailand semenjak 2006 juga tidak dapat dilepaskan dari
konflik perbatasannya dengan Kamboja, terutama semenjak pecahnya konflik terbuka pada Juli
2008 terkait kuil Preah Vihear. Vietnam pun demikian, sekalipun tidak seagresif Singapura, ia juga
meningkatkan kapasitas militernya untuk mengantisipasi klaim Cina di terotorinya. Data-data ini
bisa diteruskan sampai mendetil, hanya saja ia berada di luar scope yang ingin dibahas studi ini.
Sampai di sini setidaknya bisa di lihat bahwa retorika non-konfrontasional a la ASEAN Way benar-
benar secara miris tampak dan terdengar paradoksal (belum lagi kenaifan kebijakan Zero Enemy
salah satu Negara terbesarnya).
Prinsip non-intervensi a la ASEAN Way juga bukan sesuatu yang bersih dari ironi. Lagi, di
mulai dari negara terbesarnya yang konon cinta perdamaian dan menghargai kedaulatan negara
lain, Indonesia, misalnya, berada di garda depan di ASEAN Inter-Parliamentary Myanmar Caucus
(AIPMC) untuk melakukan kampanye intervensi ke Myanmar. Namun demikian, tetap saja hanya
sebatas kampanye. Singapura lebih unik (jika bukan menggelikan), kendati pemerintahnya sangat
mendorong AIPMC, namun anehnya ia malah memenjarakan oposisinya yang menyelenggarakan
sendiri demonstrasi “Free Burma!”10 Di Malaysia tidak kalah uniknya, pemerintah mempersilakan
parlemennya melakukan kritik bertubi-tubi kepada pemerintahan junta Myanmar, namun tidak
untuk mengeluarkan sanksi. Hal ini demikian karena, sebagaimana disampaikan seorang dari
partai oposisi, ‘we can’t call for sanctions because this will hurt the investors from Malaysia [since] some of
the MPs, orthe government-linked corporations, like Petronas› memiliki investasi di Burma (dikutip dari
Jones, 2011: 421).
Dilema intervensi terhadap Myanmar ini cukup menjadi contoh bagaimana penggunaan
ASEAN Way sangatlah diskriminatif. Ia hanya dipakai saat stabilitas regional (terutama pasca-
Perang Dingin) dipertaruhkan. Stabilitas ini, perlu ditekankan, berlaku di level regional; ia
diperlukan untuk menciptakan iklim regional yang kondusif bagi hubungan ekonomi yang terjadi
di dalamnya (baik antar sesama anggota, maupun dengan partner eksternal). Namun demikian,
saat norma-norma ASEAN Way menyentuh isu vital kepentingan nasional, maka ia akan dipelintir
(bahkan diabaikan sama sekali) dan melancarkan intervensinya (Jones, 2009, 2010, 2011). Hal yang
perlu digaris-bawahi dari uraian ini adalah bahwa ASEAN Way memiliki fungsi lain diluar fungsi
semantiknya! Ada sesuatu dalam ASEAN Way, yang melebihi ASEAN Way itu sendiri. ASEAN
Way adalah sebuah jalan yang diam-diam mengantarkan negara-negara ASEAN ke jalan lain selain
yang tertera di markanya. Ini yang gagal dijelaskan secara memadai oleh kebanyakan penstudi
ASEAN dan Asia Tenggara yang begitu self-sufficient dengan analisis kritis maupun optimisme
mereka.

9
Data-data disadur dari The Military Balance (2012).
10
Lihat kronologinya di Singapore Rebel (2011).

80
DI ANTARA KARANG-KARANG: BERMAIN ATAU TERJEBAK?
Mencoba keluar dari ASEAN Way dan perimbangan kekuasaan yang vulgar, beberapa
penstudi HI mencoba memikirkan rute penjelasan lain yang berupaya memahami paradox tersebut.
Para penstudi ini mencoba membaca fenomena di kawasan dengan cara yang baru, yaitu dengan
merevisi pendekatan arus utama sedemikian rupa sehingga cocok untuk menganalisis fenomena
yang secara spasio-temporal khusus, yaitu Asia Tenggara pasca-Perang Dingin. Penstudi-penstudi
ini menawarkan konsep ‘strategic hedging’ yang lebih soft sebagai ganti balancing yang terkesan hard
dalam kanon teoritik neorealisme.11 Apabila hard balancing adalah konsep dari logika teorisasi balance
of power/threat, maka hedging atau soft balancing merupakan konsep dari logika teorisasi balance of
influence. Sebelum masuk ke penggunaannya di Asia Tenggara, ada baiknya klarifikasi konseptual
didiskusikan terlebih dahulu.
Konstelasi politik dunia (negara, non-negara, dan non-entitas) kontemporer telah mengubah
lanskap politik itu sendiri. Empat faktor penting yang mempengaruhi situasi kontemporer adalah
bubarnya Perang Dingin, meningkatnya intensitas dan integrasi globalisasi sosioekonomi, ancaman
terorisme pasca-911 dan naiknya Cina. Bubarnya Perang Dingin telah membuka jalan bagi eksplorasi
ekonomi tanpa batas; perdamaian unipolar (karena absennya balancer bagi sang hegemon tunggal)
telah menjamin perdamaian, setidaknya untuk sementara, bagi lancarnya transaksi ekonomi.
Kondisi perdamaian ini juga memungkinkan masyarakat untuk berpindah-pindah lintas batas
untuk mengekplorasi diri dan dunia. Di sisi lain yang lebih gelap, pasca-911, ancaman teror merebak.
Bahkan, sang hegemon pun kelabakan untuk mengatasinya. Ini tentu saja mengurangi kredibilitas
AS sebagai hegemon tunggal. Serangan balik AS secara unilateral terbukti justru membuat terror
bukannya mereda, melainkan semakin menegang. Di Timur Laut, kekuatan besar Cina semakin
memantapkan posisinya sebagai penantang sang hegemon yang sedang declining. Pertanyaan
besarnya: lalu bagaimana nasib negara-negara kecil dan menengah?12

Perimbangan Pengaruh (Balance of Influence)


Jawabannya adalah ketidak-menentuan (uncertainty). Ketidak-menentuan adalah fitur
utama politik dunia kontemporer. Berbagai ancaman bisa datang dari mana pun dan kapan pun.
Naiknya Cina menjadikan aliansi tradisional dengan hegemon inkumben menjadi dilematis. Bahkan,
semenjak Cina dan AS enggan melakukan konfrontasi terbuka, peta aliansi juga semakin tidak
menentu. Tidak ada kepastian bahwa aliansi ketat dengan salah satu hegemon akan memastikan
keamanan nasionalnya. Dalam situasi ketidak-menentuan ini, menjalin aliansi secara tradisional
hitam dan putih semakin tampak tidak relevan. Reliabilitas sekutu tampak kabur.13 Pula di tengah
keterjejaringan dunia di hampir segala bidang, memotong konektivitas dengan suatu negara (atau
negara besar) demi memperkuat konektivitas dengan negara lainnya juga tampak merugikan.
Ancaman hari ini telah bergeser menjadi resiko; jika ancaman dapat diukur, maka tidak untuk resiko.
Yang diperlukan adalah koordinasi dan kesiagaan konstan. Semenjak dunia telah terintegrasi, maka
resiko pun juga terintegrasi.14
Di sinilah konsep hedging masuk. Situasi kontemporer telah membuat konsep perimbangan
kekuasaan tradisional menjadi uzur. Negara, bahkan AS, lebih memilih untuk melakukan hedging
terhadap Cina (Goh, 2005). Opsi hedging sebagai strategi memungkinkan Negara untuk bermain-
main di antara karang-karang besar. Dengan hedging, Goh memaksudkan, “a set of strategies aimed at

11
Beberapa yang dimaksudkan sbb: Goh (2005, 2007/8), Ruland (2011), Ciorciari (2011), Khong (2004). Rosemary Foot
(2004) bahkan memperkenalkan konsep soft bandwagoning untuk juga mengimbangi konsep (hard) bandwagoning.
12
Bdk. Goh (2007/8: 4).
13
Dilema ini dikenal dengan dilema ganda aliansi. Dilema pertama tentang memilih beraliansi atau tidak, jika ya dengan
siapa; dilema kedua terkait bertahan atau tidak dalam suatu aliansi, dan spekulasi mengenai reliabilitas aliansi. Lihat
Snyder (1984) dan Kim (2011).
14
Alhasil, World Economic Forum 2011 menawarkan konsep Risk Response Network-nya.

81
avoiding (or planning for contingencies in) a situation in which states cannot decide upon more straightforward
alternatives such as balancing, bandwagoning, or neutrality” (2005: viii).
Untuk negara-negara Asia Tenggara, seperangkat strategi yang dimaksudkan Goh terdiri dari
tiga: indirect balancing, complex engagement, dan enmeshment strategy. Indirect balancing ditujukan
ke AS, yaitu dalam rangka mengimbangi kehadiran Cina di kawasan. Terhadap Cina, kerja sama
kompleks (complex engagement) dilakukan untuk menghadapi Cina di kawasan dengan harapan
Cina mau konform terhadap norma-norma yang telah ada. Enmeshment merupakan strategi untuk
mengundang negara-negara kuat untuk masuk terlibat ke dalam kawasan dengan harapan mereka
menjadi memiliki andil dan kepentingan untuk ikut menjaga stabilitas kawasan (ibid.). (Berikutnya,
Goh (2007/8) mengembangkannya menjadi omni-enmeshment untuk menangkap gestur enmeshment
negara-negara ke level regional, maupun hanya di level nasional).
Dengan aparatus konseptual seperti ini, Goh ingin menangkap gestur anomali dan paradoksal
yang ditunjukkan oleh negara-negara ASEAN. Negara-negara ASEAN Nampak aneh dengan
mengundang banyak kekuatan besar, lalu mendiversifikasi hubungan ketergantungan dan hubungan
kerja sama, bahkan mencoba melakukan appeasement dengan para negara-negara besar tersebut.
Strategi ini, jelas, dari kacamata aurs utama, adalah hal yang menggelikan. Namun demikian, Goh
mencoba menjelaskan ini secara obyektif, tanpa terjebak pada kanon ortodoks. Sehingga sampai di
sini maka sah kiranya studi ini menilai Goh mampu, setidaknya mencoba, menjelaskan simptom
paradoks ASEAN tersebut.
Dengan kerangka yang disediakan Goh, menjadi terang benderang tentang kemana ASEAN
Way akan membawa negara-negara ASEAN, yaitu menuju pada suatu moderasi perimbangan
kekuasaan kedua hegemon, menuju perimbangan pengaruh (balance of influence) yang lebih
moderat. Sehingga retorika-retorika yang tampak naif seperti Thousand Friends Zero Enemy ala
Indonesia, dapat ditangkap latar belakang logika politik internasionalnya. Dari Malaysia, aspirasi
serupa juga muncul. “[W]hat we really want to do is help the ‘elephants’ get to a point where their interests
are so intertwined that it would be too costly for them to fight” kata seorang diplomat Malaysia (dikutip
dari Goh 2007/8: 123). Singapura pun mengemukakan hal yang senada saat ditanya untuk apa
mengundang kekuatankekuatan besar ke kawasan, “to deepen interdependence and to strengthen their
sense of having a stake in the region’s security, so that they would be more interested in helping to maintain
regional stability.”(ibid.)15 Di sini setidaknya kita bisa menilai secara obyektif bahwa ASEAN Way
yang diusung oleh ASEAN, dalam berbagai paradoks dan kenaifannya, menyimpan suatu fungsi
yang berimplikasi pada tatanan, tidak hanya internal, tapi juga tatanan eksternal kawasan, bahkan
tatanan global.
Terlepas dari gagal atau tidaknya strategi-strategi ini, setidaknya sampai di sini dapat
dirangkumkan poin utama mengenai fungsi ganda ASEAN Way: ke dalam, ia menjamin. stabilitas
regional di antara negara, seraya tidak saling mengganggu pemerintah otoriter lainnya dengan
harapan ia sendiri tidak diganggu; ke luar, ia menjadi pembenar bagi negara-negara besar untuk
masuk ke kawasan, dan untuk juga ikut memetik keuntungan yang dimungkinkan didapat melalui
ASEAN, sedemikian rupa sehingga mereka turut berkepentingan dan kemudian menjaga stabilitas
ASEAN ini. ASEAN Way dengan demikian, dapat dilihat sebagai instrumen kebijakan luar negeri
kawasan untuk mengengage kekuatan-kekuatan besar dunia. Lagipula, bagi pemimpin negara-negara
ASEAN, imaji liberal-demokratik yang juga terkandung dalam ASEAN Way merupakan cara yang
berguna untuk “regaining Western aid in the wake of the Asian financial crisis, and of restating Jakarta’s
supposed right to lead ASEAN” (Emmerson, 2006; Ruland, 2009). Sehingga pilihan strategisnya, “[r]
ather than balancing the power of China or bandwagoning with a rising China, ASEAN is avoiding the need
to choose sides, and enmeshing both Beijing and the United States in regional Institutions” (Katsumata dlm

15
Diplomat dari Filipina dan Thailand pun sependapat dengan ini. Lihat Goh (2007/8: 122cat29)

82
Katsumata, dkk, 2008: 185).
Sampai di sini sekiranya pertanyaan mengenai motivasi kebijakan ASEAN Way telah terjawab.
Dengan kata lain, arti penting simptom ASEAN Way bagi realitas paradoksal yang tidak nampak
dalam keseharian ASEAN, juga telah terjelaskan. Namun demikian, masih ada satu pertanyaan
yang belum mampu diselesaikan para pengusung hedging ini yaitu pertanyaan mengapa ASEAN
Way, dan bukan yang lain, yang harus menjadi solusi bagi, misal, problem AS untuk masuk ke
kawasan?—bukankah AS bisa langsung masuk begitu saja mengingat kekuatan militernya yang
belum tertandingi? Apa yang dikejar di sini bukan di level substansi atau orientasi, melainkan di
level retorik dari ASEAN Way. Bentuk spesifik dari wacana ASEAN Way itu yang menjadi big
prize dari analisis. Inilah yang akan dicoba tawarkan oleh tulisan ini. (Untuk versi ini, karena berbagai
keterbatasan, tulisan ini tidak akan memberikan tawaran sistematis mengenai bentuk analisis obyektif-spesifik
ini. Tulisan ini hanya akan memberikan semacam prolegomena (pengantar) menuju kerangka analisis yang
demikian. Beberapa fitur yang harus dimiliki, sekaligus keterbatasan yang harus diatasi, adalah yang akan
dirumuskan pada bagian-bagian berikutnya. Beberapa hipotesis juga akan dirumuskan berdasar fitur-fitur
analisis ini.)

EKSTRA-KEAMANAN
Beberapa penelitian sudah menunjukkan isyarat ke arah sini, hanya saja semuanya berhenti
dengan menjelaskan bahwa adalah faktor ‘X’ yang sebenarnya menyebabkan perdamaian di Asteng.
Satu contoh studi terbaru adalah yang dilakukan oleh Chih-Mao Tang (2012) dengan menunjukkan
bahwa faktor penjelas bentuk spesifik perdamaian Asia Tenggara memiliki keterkaitan ideologis
yang erat dengan kapitalisme neoliberal.
Namun demikian, studi seperti ini masih menyisakan pertanyaan seperti: mengapa adalah
kapitalisme neoliberal yang menjadi idiologi dominan di Asia Tenggara, dan bukan yang lainnya?
Kemudian, bagaimana tepatnya ia mencapai posisi hegemonik tersebut di Asia Tenggara? Muara
dari pertanyaan ini adalah penjelasan obyektif mengenai dinamika transformasi sistemik—secara
ketat harus diartikan sebagai transformasi dari sebentuk sistem spesifik satu ke sistem spesifik
lainnya; pula kata sistemik di sini juga memaktubkan baik ideologi, konstelasi kekuasaan, retorika
diplomatik, maupun aparatus legalinstitusional-arsitekturalnya. Penjelasan sistemik yang obyektif
seperti inilah yang tidak mampu diberikan studi Tang ini. Intinya ia belum mampu menjelaskan
mengenai perubahan inter-sistemik, melainkan hanya dinamika intra-sistemik; pula perubahan
sistemik secara spesifik, melainkan hanya sistemik secara umum.
Hal ini bisa dimaklumi semenjak yang penting bagi studi Tang bukanlah transformasi sistemik,
melainkan lebih kepada rekomendasi-rekomendasi kebijakan (2012: 391). Rekomendasi kebijakan
umumnya berangkat dari kondisi sistemik yang diterima begitu saja. Berbeda dari Tang, studi ini
berpihak kepada suatu transformasi sosial-politik kawasan yang sifatnya sistemik. Aksiologi seperti
ini akhirnya membuat studi ini berpisah jalan dari studi-studi yang sifatnya relevansi-kebijakan,
dan menempuh lintasan pembahasan yang lain.
Studi Tang juga hanya menjelaskan mengenai kebijakan ekonomi kapitalis-neoliberalis sebagai
penjelas. Saat pertanyaan beralih ke mengapa demokrasi dan ASEAN way tetap dipertahankan, yang
dilakukan Tang adalah dengan mensubordinasikan kedua tema ini ke dalam koridor kapitalisme
dan neoliberalisme. Semi-otoritarianisme dan demokrasi semu di Asteng, akhirnya, bagi Tang, tidak
lebih dari sekedar instrumen bagi kapitalisme-neoliberal. Tang, bisa dibayangkan, akan kesulitan
apabila ia harus menjelaskan bentuk jadi-jadian kapitalisme di Asia, yaitu yang disebut-sebut sebagai
‘kapitalisme otoritarian’ (mis. Rodan dan Jayasuriya, 2009). Kapitalisme otoritaan merupakan bukti
nyata bahwa struktur nasional politik-ekonomi bisa men-subordinasi (dan tidak ter-subordinasi
oleh) struktur global kapitalisme. Artinya, ada semacam, meminjam Nicos Poulantzas (1978, 1980),

83
otonomi relatif faktor nasional (negara) dari faktor global (kapitalisme-neoliberal) yang tak mampu
dijelaskan Tang.
Menjadi lebih problematik lagi apabila otonomi relatif tersebut juga dikaitkan dengan situasi
geopolitik kontemporer Asia-Pasifik yang diwarnai oleh persaingan AS dan Cina dalam merebut
hegemoni kawasan. Menjadi lebih penting kemudian untuk memahami sinergi yang (diam-diam?)
terjadi antara para pemimpin otoritarian di Asia Tenggara dengan kedua kekuatan global ini.
Dikatakan ‘sinergi’ karena pada umumnya, dalam melakukan ekspansi hegemonik, suatu negara
yang tersubordinasi biasanya harus menyesuaikan sistem politik-ekonominya dengan nengara
metropolnya. Namun, di kasus Asia Tenggara ini tidak berlaku demikian. AS, misalnya, tetap
menjalankan hubungan dengan negara-negara Asia Tenggara sekalipun corak otoritarianisme yang
menonjol. Hal ini membawa pada implikasi konseptual dan teoritik: secara konseptual, penstudi
HI harus mampu mereformulasikan konsep hegemoni yang tidak dominatif di satu sisi, sementara
di level teoritik, menjelaskan dinamika konstelasi perimbangan kekuasaan yang pola hegemoninya
tidak dominatif tadi.
Kubu kontruktivis dari mazhab sekuritisasi Kopenhagen juga demikian. Mereka mampu
menjelaskan gestur sekuritisasi yang dilakukan oleh ASEAN terhadap isu-isu seperti kejahatan
transnasional, lingkungan dan endemi, namun demikian tetap tidak mampu menjelaskan mengapa
gestur sekuritisasi tersebut tidak berlanjut ke kebijakan kongkrit di lapangan (misalnya, Emmers, 2003
dan Caballero-Anthony, 2008). Jawaban paling jauh kubu ini adalah dengan selalu menghadirkan
argumentasi ASEAN Way. Namun, sebagaimana telah dibahas di bagian sebelumnya, norma itu
sudah terlalu sering dilanggar sehingga pendekatan ini masih perlu dipertajam lagi apabila hendak
memberi kontribusi pemahaman lebih jauh (Jones, 2010).
Sampai di sini sekiranya telah didiskusikan keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh
pendekatan-pendekatan yang terdahulu. Beberapa pendekatan baru sepeti yang dilakukan Tang
(2012) dan penstudi sekuritisasi pun masih belum mampu menjelaskan teka-teki perdamaian
dan stabilitas regional Asia Tenggara. Namun demikian, satu hal yang telah mereka lakukan
setidaknya adalah dengan mengajukan argumentasi yang ‘ekstrakeamanan’—penjelasan mengenai
isu keamanan dengan faktor penjelas yang bukan keamanan. Argumentasi ekstra-keamanan ini
penting untuk membuat penstudi keamanan melepaskan strait-jacket naifnya yang mengisolasi
isu-isu keamanan pada faktor-faktor keamanan saja (strategi dan taktik). Dengan strait-jacket ini,
seluruh isu-isu non-keamanan dieksklusi, bahkan, yang paling berbahaya, diasumsikan tetap
(ceteris paribus). Penting sekiranya menanggalkan jaket-ketat ini demi suatu pemahaman obyektif
yang spesifik tentang Asia Tenggara. Oleh karena itu, dengan semangat ini pula penulis hendak
mengisi keterbatasan argumen-argumen ini melalui kerangka analisis kekuasaan yang ditawarkan
oleh Foucault, yaitu kepemerintahan (governmentality).

Melampaui Nasionalisme Metodologis dengan Analisis Kepemerintahan


Sebelum mempertemukan problem paradoks stabilitas Asia Tenggara dengan perangkat
analisis kepemerintahan, perlu dibahas sedikit beberapa isu metodologis dan teoritis. Di sini,
beberapa asumsi metodologis harus diperjelas semenjak penjelasan-penjelasan yang didiskusikan
di atas menemui batas dan kebuntuannya karena berpijak pada beberapa asumsi metodologis yang
bermasalah.
Penghalang utama, sekaligus yang menyebabkan, analisis-analisis di atas tidak mampu
menjawab spesifisitas dan obyektivitas dari paradoks stabilitas Asia Tenggara adalah bahwa
kesemuanya, sekalipun perbedaan di antara mereka, masih memegang teguh keyakinan dogmatis
akan suatu entitas utuh integral bernama negara berdaulat. Inilah salah satu bentuk negara-sentrisme
dan/atau statisme dalam analisis. Pengasumsian ini juga berimbas pada corak kerangka metodologi

84
yang tidak akan jauh-jauh dari apa yang disebut-sebut sebagai ‘nasionalisme metodologis’, yaitu
suatu pengandaian begitu saja akan dunia yang terbagi-bagi berbasiskan teritori negara-bangsa.
Keterbagian ini tidak pernah dipertanyakan. Sebaliknya, malah dijadikan basis bagi konstruksi
konsep dan teorisasi lainnya, misalnya yang dominan di studi HI, tentang kepentingan nasional,
kebijakan luar negeri, integrasi regional, dst. Ke-aktor-an negara, akhirnya, menjadi tampak inosen
dan tak bermasalah, bahkan menjadi natural dan menjadi tidak relevan untuk dipertanyakan.
Andreas Wimmer dan Nina Schiller (2002) mengutarakan dengan apik,
Methodological nationalism [...] is taking national discourses, agendas, loyalties and histories
for granted, without problematizing them or making them an object of an analysis in its own
right. Instead, nationally bounded societies are taken to be the naturally given entities to study.
[...] International relations assume that nation-states are the adequate entities for studying the
international world. While the anarchical nature of this interstate system and the changing
dynamics of hegemony and polycentrism have been discussed at length, almost no research
was done on why this international system has become an international one (h. 304, cetak miring
dari naskah asli.)

Berangkat dari entitas yang tidak terproblematisasi dengan memadai ini, seluruh analisis di atas
mencoba menjelaskan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari fenomena stabilitas
semu Asia Tenggara tersebut. Alhasil, seluruh analisis yang dihasilkan menjadi tampak koheren
selama (dan hanya selama) basis asumsi negara-utuh ini tidak terproblematisasi. Namun, apabila
asumsi ini mulai dipertanyakan, maka analisis-analisis tersebut menjadi tidak dapat dipertahankan
lagi.
Dari rangkaian refleksi kritis terhadap variasi kerangka analisis di atas yang masih menyisakan
banyak pertanyaan mengganggu, maka sekiranya sudah saatnya asumsi dogmatis ini dicoba untuk
digeser. Semangat ini mengharuskan analisis untuk mampu memahami secara sistematis bahwa
negara itu tidaklah uniter alias manunggal. Analisis juga harus mampu meramu model analisis yang
berangkat dari kenyataan realistis, yaitu bahwa negara terpecah—antara kelompok kepentingan,
faksi dan kelas. Berangkat dari asumsi seperti ini, barulah analisis terhadap spesifisitas stabilitas
Asia Tenggara bisa dimulai.
Lee Jones telah dengan sangat baik menunjukkan bahwa analisis hanya dapat maju apabila
kita membuka “kotak hitam,” negara (2011: 406). Hanya saja ia masih mensubordinasi negara ke
dalam kepentingan sosial di dalam negara itu sendiri saat menjelaskan berbagai macam kebijakan-
kebijakan dalam konteks ASEAN, seolah-olah itu semua dilakukan hanya karena pertimbangan
mengamankan kepentingan pemodal. Agensi negara yang relative otonom, menjadi tidak
diperhatikan, apalagi dijelaskan asal-usulnya. Alhasil, Jones juga akan kesulitan untuk menjawab
problem kapitalisme otoritarian di Asia Tenggara (dan Timur secara umum).
Argumentasi yang ingin diajukan tulisan ini adalah bahwa kebijakan yang tampak
“kapitalis dan neoliberal” ini harus dilihat sebagai cara negara untuk mempertahankan legitimasi
kedaulatannya untuk memerintah, sebagai negara yang sah. Jadi, kepentingan kelas dominan (baca:
kelas kapitalis) di domestik harus dilihat sebagai jembatan demi menghantarkan negara kepada
legitimasi kedaulatan. Karena apabila negara gagal membela kepentingan kelas dominan ini, maka
kesinambungan perekonomian negara akan terganggu (semenjak kelas dominan ini menguasai
sektor produksi domestik). Hal ini berpotensi untuk menimbulkan berbagai kekacauan yang
pada akhirnya akan mengurangi, jika bukan menegasikan, kedaulatan negara itu sendiri. Ini yang
ditakutkan negara, sehingga ia memutuskan untuk berpihak kepada kelas dominan. Keberpihakan
ini, akhirnya, harus dilihat bukan sebagai ketertundukan di hadapan kelas dominan, melainkan
suatu kalkulasi aktif (sebentuk agensi) demi mengamankan kedaulatan negara. Akhirnya, seluruh
kebijakan pro-kelas dominan ini harus dilihat sebagai korelat dari kekuasaan Negara berdaulat ini.
Pendekatan ini berikutnya akan memungkinkan analisis untuk bergerak lebih jauh dengan

85
mempertanyakan spesifisitas korelat tadi. Pertanyaannya, mengapa korelat itu yang terpilih dari
sekian banyak kemungkinan? Di sini, mau tidak mau, analisis harus bergerak ke konteks yang lebih
makro yang mensyaratkan korelat tersebut sebagai instansiasinya, atau simptom-nya. Pertanyaan
yang bisa diajukan adalah: kondisi makro-global apa yang mengarahkan para agen/anggota
sistemnya (yi. Negara berdaulat) untuk memunculkan korelat yang demikian? Korelat di sini
memang diciptakan oleh para agen, namun demikian, pilihan-pilihan agen ini bukanlah pilihan
yang benar-benar bebas; ia telah terkoridor sedemikian rupa oleh sistem yang sifatnya makro-global.
Dengan kata lain, spesifisitas korelat/simptom ini bisa diartikan sebagai hasil dari persinggungan,
bahkan pertabrakan, dua daya: partikular (nasional) dan universal (global). Memahami salah
satu saja, hanya akan membawa analisis menjadi kurang akurat. Akhirnya, usulan-usulan yang
ditawarkan pun akan menjadi problematik.
Dengan formulasi kerangka acuan analisis seperti ini, maka problem stabilitas Asia Tenggara
berikut retorika ASEAN Way yang menjadi emblemnya dapat diformulasikan sebagai berikut:
ASEAN Way merupakan cara negara-negara di Asia Tenggara untuk menjaga stabilitas dan
perdamaian relatif di kawasan. Ini dilakukan bukan demi perdamaian itu sendiri, namun demi
mulusnya ekonomi kapitalis yang berlangsung di kawasan. Akibatnya, apabila perekonomian
tetap berjalan, sementara beberapa prinsip ASEAN Way harus dilanggar, maka hal tersebut akan
dilakukan oleh mereka. Corak dari prinsip ASEAN Way yang menjunjung tinggi prinsip non-
intervensi dan demokrasi tidak bisa dilepaskan dari konteks persaingan kedua hegemon AS dan
Cina di kawasan. Prinsipprinsip ini memiliki fungsi pembenar saat negara-negara Asia Tenggara
menerapkan kebijakan hedging terhadap AS dan Cina. Hal ini demikian karena hanya melalui
kedua prinsip inilah AS dan Cina memiliki justifikasi, setidaknya retorik, untuk menjalin hubungan
dengan negara-negara Asia Tenggara. Aspirasi kedua hegemon ini, saat bertabrakan dengan
aspirasi nasional di kawasan, melahirkan retorika-retorika yang mencoba mengilustrasikan betapa
stabilnya kawasan Asia Tenggara, yaitu ASEAN Way yang diinstitusionalisasikan ke dalam ASEAN
Community.
Untuk sampai ke argumentasi ini, sebagaimana telah ditekankan, nasionalisme metodologis
harus ditinggalkan. Konsepsi kepentingan nasional sebagai motif nasional terhadap bentuk dan
esensi regionalisme harus diinvestigasi lebih lanjut. Nuansa kesatuan yang diimplikasikan ‘nasional’
dalam ‘kepentingan nasional’ harus dipandang sebagai suatu simptom semata yang harus dijelaskan
asal-usulnya sebagai benturan antara dua daya— nasional dan global. Inilah yang belum mampu
diberikan analisis-analisis terdahulu.

Penutup: Keterlibatan Akademik-Intelektual


Namun demikian, tulisan ini juga tidak puas begitu saja menerima kenyataan
persistensinyaanalisis-analisis yang mengidap nasionalisme metodologis. Ketimbang melihatnya
sebagai suatu yang sifatnya aksidental dan tidak disengaja, penulis malah melihatnya justru sebagai
cara dari baik sistem global maupun nasional ini untuk membuat dirinya tak tampak sehingga
dapat dengan tenang menjalankan kuasanya dari kejauhan. Bentuk kekuasaan demikian adalah
bentuk kekuasaan yang diimplikasikan oleh analisis kepemerintahan, yaitu bentuk kekuasaan yang
mengatur dari jauh (governing at a distance). Bagaimana tepatnya kelalaian akademik ini menjadi
pertanda modus kepemerintahan liberal di Asia Tenggara?
Sebelumnya, perlu dipahami dahulu bentuk kekuasaan yang diimplikasikan modus
kepemrintahan liberal ini. Bentuk kekuasaan ini adalah khas kekuasaan di era liberalisme.
Liberalisme mensyaratkan kebebasan bagi masyarakat. Sehingga apabila seseorang hendak
menguasai masyarakat tersebut, maka ia harus mempekerjakan kekuasaannya melalui kebebasan
itu sendiri. Di sini jelas terlihat bahwa dalam politik pemerintahan liberal, kebebasan tidaklah lebih
dari korelat penguasaan. Kebebasan adalah apa yang diproduksi dan digunakan kekuasaan untuk

86
menguasai. Inilah ciri khas kedaulatan dari negara-negara yang menganut paham liberal. Negara,
akhirnya, tidaklah lebih dari pelembagaan modus kepemerintahan liberal ini.
Untuk menjalankan kekuasaan tersebut, pemerintah negara mempekerjakan aparatus.
Aparatus adalah segala sesuatu yang bertugas mengatur, mengarahkan, memodel, membatasi, dan
menstruktur prilaku, pikiran, harapan, perasaan, dan atau hasrat dari segala sesuatu (organik maupun
inorganik) yang menjadi subyek dari kedaulatan pemerintah tadi. Sebagaimana yang ditunjukkan
Foucault (1984, 2003), aparatus tersebut mulanya adalah sesuatu yang dibuat dan disebarkan oleh
pemerintah. Tetapi hari-hari ini, saat kepemerintahan liberal semakin terkonsolidasi sempurna—
menjadi neoliberal—aparatus tersebut telah mulai terdemokratisasi, dalam artian bahwa, siapapun
telah terekrut menjadi aparatus itu sendiri, disadari atau tidak (Foucault, 2008; Deleuze, 1992;
Agamben, 2008). Situasi dimana aparatus telah terdemokratisasi ini terjadi di era yang disebut-
sebut sebagai neoliberalisme yang masyarakatnya disebut sebagai masyarakat kontrol. Artinya,
dalam neoliberalisme, masyarakat menjadi kontrol bagi masyrakat lainnya. Saling control satu
sama lain, saling koreksi satu sama lain, bahkan saling menghukum satu sama lain, adalah tujuan
(outcome) yang diharapkan—dan telah kesampaian—modus kepemerintahan neoliberal. Karena
dengan demikian, sistem akan tetap terjaga karena masyarakat, disadari atau tidak, berpartisipasi
di dalamnya. Saat suatu sat terjadi problem sistemik, maka sistem tidak akan pernah disalahkan,
melainkan sang masyarakatnya akan saling memberlakukan introspeksi satu sama lain.
Salah satu yang ingin disoroti tulisan ini adalah peran akademik-intelektual dalam modus
kepemerintahan neoliberal ini. Sebagai aparatus, akademisi memiliki peran yang khusus, yaitu
dengan menjadi ekspertis bagi kelanggengan sistem ini. Untuk menjadi ekspertis, akademisi-
intelektual bukan hanya harus memfokuskan pada satu bidang fokus saja, melainkan tidak boleh
(terlalu serius) mempertanyakan asumsi-asumsi dasar dari bidang kajiannya tersebut. Yang harus
ia lakukan adalah menjaga kesinambungan dan keberlangsungan proliferasi turunan-turunan dari
bidang fokus yang dipakarinya tersebut. Aktivitas akademik, akhirnya, tereduksi menjadi urusan-
urusan teknis belaka. Inilah yang disebut Foucault ‘rendering technical’ sebagai aktivitas para ekspert
dalam modus kepemerintahan liberal.
Ini pula yang diduga terjadi dalam perdebatan mengenai stabilitas Asia Tenggara dan
ASEAN Way. Absennya problematisasi asumsi-asumsi dasar dan nasionalisme metodologis, bisa
jadi merupakan efek dari kerja-kerja akademik yang hanya bersifat teknis dan minim refleksi dan
kritisisme. Kritik pun hanya dimunculkan tetap dalam koridor dogmatika memperkuat sistem yang
diterima begitu saja. Kontribusi akademik pun diukur hanya saat ia memberi kontribusi positif bagi
konsolidasi sistemik. Alhasil perdebatan seputar ASEAN Community hanya berputar di kisaran
bagaimana membentuk pemahaman bersama, membentuk kepercayaan bersama, membentuk
identitas bersama, dst., tanpa pernah mempertanyakan paradoks yang membayanginya, bahkan
konstelasi struktur nasional-global yang memelihara paradoks tersebut. Kontribusi akademik
akhirnya dibatasi pada know-hows, pada manual-manual rekomendasi akademik. Apa yang hilang
di sini? Tidak lain adalah komitmen akademik pada obyektivitas keilmuan; untuk menhasilkan
pengetahuan yang obyektif (dan bukan pesanan: pesanan penguasa, pesanan pasar, pesanan
hegemon, dst.).
Perdebatan seputar isu keamanan Asia Tenggara pun tidak terkecualikan. Berbagai macam
diskusi “pakar-pakar” keamanan hanya berputar-putar di isu yang teknis dan taktis: bagaimana
prosedur membeli tank ini, bagaimana menempatkan armada, bagaimana merumuskan doktrin,
dst. Tidak pernah diproblematisasi mengenai kepentingan siapa yang sebenarnya dipertahankan
barisan artileri ini. Pula absen refleksi kritis mengenai bentuk spesifik sistem yang dipertahankan
armada-armada ini. Kontribusi penstudi keamanan Asia Tenggara akhirnya hanya diukur dari
sebagus apa manual-manual rumusan strategi pertahanan yang mampu dirumuskannya dengan

87
berpijak dari keterbatasan alutsista yang ada. Apa yang hilang di sini? Sekali lagi: tidak lain adalah
komitmen akademik pada obyektivitas keilmuan; untuk menhasilkan pengetahuan yang obyektif
(dan bukan pesanan: pesanan penguasa, pesanan pasar, pesanan hegemon, dst.).
Tulisan ini merupakan medium yang dapat digunakan oleh segenap akademik-intelektual
keamanan Asia Tenggara, dan Hubungan Internasional pada umumnya, untuk kembali merefleksikan
kiprah dan kontribusi akademiknya dalam konteks perdebatan mengenai konsolidasi ASEAN.
Apakah menjadi ekspert teknis, ataukah memperjuangkan obyektivitas analisisnya sebagaimana
yang konon diidealkan dalam sosok akademisi. Hal ini juga menjadi momen refleksi yang krusial
bagi Asosiasi Hubungan Internasional Indonesia untuk merefleksikan perannya: sebagai hub para
akademisi HI, ataukah sebagai bengkel tempat kerja para ekspertis sistem neoliberal ini. Salam. [HYP]

DAFTAR PUSTAKA
‘1994-2012: A Chronology of Authoritarian Rule in Singapore’, Singapore Rebel, http://singaporerebel.
blogspot.com/2011/03/1994-2011-chronology-ofauthoritarian. html diakses pada 30 September
2012.
Acharya, A. (1998) ‘Collective identity and conflict management in Southeast Asia’, dlm E. Adler
dan M. Barnett (peny), Security Community, 198–227. Cambridge: Cambridge University Press.
Acharya, A. (2001) Constructing a security community in Southeast Asia: ASEAN and the Problem of
Regional Order. London & NY: Routledge.
Acharya, A. (2003/4) ‹Will Asia’s Past Be Its Future?› International Security, 28 (3), 149–164.
Agamben, G. (2009) What is an Apparatus?, terj. D. Kishik dan S. Pedatella. Stanford: Stanford Uni
Press.
Beeson, M. (peny) (2009) Cambridge Review of International Affairs (edisi khusus ASEAN Way), 22:3,
333-343
Caballero-Anthony, M. (2008) ‘Non-traditional security and infectious diseases un ASEAN: going
beyond the rhetoric of securitization to deeper institutionalization’, Pacific Review, 21(4), 507-25.
Ciorciari, J. D. ‹The balance of great-power influence in contemporary Southeast Asia›, International
Relations of the Asia-Pacific, 9 (1), 157-196.
Clifford, S. (2011) ‘Theory Talk #42: Amitav Acharya on the Relevance of Regions, ASEAN, and
Western IR’s False Universalisms’, Theory Talks, diakses pada 29 September 2012 di http://
www.theorytalks.org/2011/08/theory-talk-42.html.
De Launey, G. (2012) ‹Asean single currency unlikely after eurozone «lesson»›, BBC News, 4 April.
Diakses pada 29 September 2012 di http://www.bbc.co.uk/news/business- 17595960.
Deleuze, G. (1992) ‘Postcript on the Societies of Control’, October, 59, Winter, 3-7.
Emmers, R. (2003a) ‘ASEAN and the Securitiation of Transnational Crime in Souheast Asia’, Pacific
Review, 16 (3), 419-38.
Emmers, R. (2003b) Cooperative Security and the Balance of Power in ASEAN and the ARF. London:
Routledge Curzon.
Emmers, R. (2005) ‹Regional Hegemonies and the Exercise of Power in Southeast Asia: A Study of
Indonesia and Vietnam, Asian Survey, 45 (4), 645-665.
Eyers, T. (2011) ‘Lacanian Materialism and the Question of the Real’, Cosmos and History, 7(1), 155-
166.
Foot, R. (2006) ‘Chinese strategies in a U.S.–hegemonic global order: accommodating and hedging’,
International Affairs, 82(1), 77-94.
Foucault, M. (2003) Society Must be Defended, terj. D. Macey. London: Picador.
Foucault, M. (2008) The Birth of Biopolitics, terj. G. Burchell. Basingstoke: Palgrave.

88
Goh, E. (2005) ‘Meeting the China challenge: the US in Southeast Asian regional security strategies’,
Policy Studies 16. Washington DC: East–West Center, 2005.
Goh, E. (2007/8) ‹Great Powers and Hierarchical Order in Southeast Asia: Analyzing Regional
Security Strategies›, International Security, 32 (3), 113–157.
Green, M.J. dan Daniel Twining (2008) ‹Democracy and American Grand Strategy in Asia: The
Realist Principles Behind an Enduring Idealism›, Contemporary Southeast Asia, 30 (1), 1–28.
Haacke, J. (2009) ‹The ASEAN Regional Forum: from dialogue to practical security cooperation?›,
Cambridge Review of International Affairs, 22 (3), 427-449.
Jones, D. M. dan Michael L.R. Smith (2007b) ‹Making Process, Not Progress: ASEAN and the
Evolving East Asian Regional Order›, International Security, 32(1), 148–184.
Jones, D.M. dan Michael L.R. Smith (2007a) ‘Constructing communities: the curious case of East
Asian regionalism’, Review of International Studies, 33:1, 165–186.
Jones, L. (2009) ASEAN and the Norm of Non-Interference in Southeast Asia: A Quest for Social Order.
Nuffield College Politics Group Working Paper. Nuffield College, Oxford.
Jones, L. (2010) ‘ASEAN’s unchanged melody? The theory and practice of “noninterference” in
Southeast Asia’, Pacific Review, 23(4), 479–502.
Jones, L. (2011) ‹Beyond securitization: explaining the scope of security policy in Southeast Asia›,
International Relations of the Asia-Pacific, 11 (3), 403-432.
Kang, D.C. (2003) ‹Getting Asia Wrong: The Need for New Analytical Frameworks,› International
Security, 27 (4), 57–85.
Kang, D.C. (2003/4) ‹Hierarchy, Balancing, and Empirical Puzzles in Asian International Relations›,
International Security, 28 (3), 165-180.
Katsumata, H. (2006) ‹Establishment of the ASEAN Regional Forum: constructing a “talking shop”
or a “norm brewery”?› Pacific Review, 19 (2), 181–198.
Katsumata, H., David Martin Jones dan Michael L.R. Smith. (2008) ‹Correspondence: ASEAN,
Regional Integration, and State Sovereignty›, International Security, 33 (2), 182–188.
Khong, Y.F. (2004) ‘Coping with strategic uncertainty: the role of institutions and soft balancing in
Southeast Asia’s post-Cold War strategy’, dlm. J.J. Suh, P. Katzenstein dan A. Carlson (peny),
Rethinking Security in East Asia: Identity, Power, and Efficiency, 172–208. Stanford, CA: Stanford
University Press.
Kim, T. (2011), ‹Why Alliances Entangle But Seldom Entrap States, Security Studies, 20(3), 350-377.
Kivimaki, T. (2011), ‹East Asian relative peace and the ASEAN Way›, International Relations of the
Asia-Pacific, 11(1), 57–85.
Narine, S. (2006) ‹The English School and ASEAN›, Pacific Review, 19 (2), 199–218.
Poulantzas, N. (1978) Political Power and Social Classes. London: Verso Books.
Poulantzas, N. (1980) State, Power, Socialism. London: Verso Books.
Ravenhill, John (2009) ‘East Asian regionalism: much ado about nothing?’, Review of International
Studies, 35:S1, 215–235
Rodan, G. dan Kanishka Jayasuriya. (2009) ‹Capitalist development, regime transitions and new
forms of authoritarianism in Asia›, Pacific Review, 22: 1, 23-47.
Rosenau, J.N. (2006) The Study of World Politics, Volume 2: Globilization and Governance. London & NY:
Routledge.
Ruland, J. (2011) ‹Southeast Asian Regionalism and Global Governance: “Multilateral Utility” or
“Hedging Utility”?› Contemporary Southeast Asia, 33 (1), 83–112.
Snyder, G.H. (1984) ‹The Security Dilemma in Alliance Politics›, World Politics, 36(4), 461-495. The
Military Balance (2012). London: The International Institute for Strategic Studies.
Wimmer, A. dan Nina G. Schiller (2002) ‘Methodological Nationalism and Beyond: Nation-State

89
Building, Migration and the Social Sciences’, Global Networks, 2 (4), 301-34.
Zizek, S. (2008 [1989]) The Sublime Object of Ideology. London: Verso.

90
KEGAGALAN CODE OF CONDUCT (COC) DAN TANTANGAN
BAGI ASEAN DALAM PENYELESAIAN SENGKETA
WILAYAH LAUT CINA SELATAN

Purnama Wulandari
Sekretaris Prodi HI, Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta

ABSTRAK
Makalah ini membahas mengenai bagaimana upaya ASEAN dalam mencegah eskalasi dan meredam konflik di
wilayah Laut Cina Selatan. Sengketa wilayah di kawasan Laut Cina Selatan telah berlangsung lama antara Cina
dengan beberapa negara anggota ASEAN (Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam). Perkembangan
situasi yang terjadi di kawasan Laut Cina Selatan saat ini menjadi perhatian karena kembali memanas dan
menjadi potensi ancaman akan munculnya kekerasan dikawasan tersebut. ASEAN sebagai organisasi regional
di kawasan Asia Tenggara berupaya untuk mengambil bagian dalam menyelesaikan sengketa tersebut.
Awal terbentuknya ASEAN pada prinsipnya adalah untuk hidup berdampingan secara damai. Kerjasama
politik dan keamanan ASEAN dimaksudkan untuk menciptakan stabilitas dan perdamaian kawasan dengan
bertumpu pada dinamika dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, sekaligus dapat membangun rasa
saling percaya (confidence building) menuju satu masyarakat keamanan ASEAN (ASEAN Security Community)
yang secara khusus mengandalkan proses damai dalam menyelesaikan perselisihan yang mungkin terjadi di
antara sesama anggota. Dalam persengketaan wilayah di Laut Cina Selatan ini, ASEAN merasa berkewajiban
untuk turut serta dalam penyelesaian sengketa karena melibatkan negara anggota ASEAN. Filipina mendesak
ASEAN untuk bersatu mendesak Cina agar menerima Kode Etik Tata Perilaku atau Code of Conduct (CoC)
di Laut Cina Selatan. Hal ini kemudian menjadi isu utama dalam pembahasan di ASEAN Ministerial Meeting
(AMM) ke-45 yang dilaksanakan pada 9-13 Juli 2012 lalu, di Phnom Penh, Kamboja. Namun, untuk pertama
kalinya dalam sejarah, ASEAN gagal mengeluarkan pernyataan bersama. ASEAN terpecah dalam menanggapi
sengketa kawasan Laut Cina Selatan. Kamboja sebagai pemimpin ASEAN 2012 menolak keterlibatan forum
ASEAN dalam penyelesaian sengketa kawasan Laut Cina Selatan. Padahal sebelumnya para Menlu ASEAN
sempat menyepakati elemen utama dari draft CoC yang akan diberikan kepada Cina. Dengan gagalnya CoC,
maka permasalahan di Laut Cina Selatan akan semakin berlarut-larut ditambah dengan adanya negara-
negara besar seperti AS, Jepang, dan Rusia yang memiliki kepentingan perdagangan atas wilayah tersebut.
Tentunya ini menjadi tantangan tersendiri bagi ASEAN. Untuk itu, makalah ini mencoba untuk mencari solusi
dalam penyelesaian konflik di Laut Cina Selatan dalam bingkai ASEAN setelah CoC di Laut Cina Selatan gagal
disepakati di Kamboja.

PENDAHULUAN
Konflik Laut Cina Selatan memiliki perjalanan sejarah konflik yang cukup panjang. Konflik ini
melibatkan enam negara sebagai pengklaim secara langsung. Sengketa teritorial di kawasan Laut
Cina Selatan bukan hanya terbatas pada masalah kedaulatan atas kepemilikan pulau-pulau, tetapi
juga bercampur dengan masalah hak berdaulat atas Landas Kontinen dan ZEE serta menyangkut
masalah penggunaan teknologi baru penambangan laut dalam (dasar laut) yang menembus
kedaulatan negara. Secara geografis kawasan Laut Cina Selatan dikelilingi sepuluh negara pantai
(RRC dan Taiwan, Vietnam, Kamboja, Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia, Brunei Darussalam,
Filipina), serta negara tak berpantai yaitu Laos, dan dependent territory yaitu Makau. Luas perairan
Laut Cina Selatan mencakup Teluk Siam yang dibatasi Vietnam, Kamboja, Thailand dan Malaysia
serta Teluk Tonkin yang dibatasi Vietnam dan RRC. Kawasan Laut Cina Selatan menjadi sangat
penting karena kondisi potensi geografisnya maupun potensi sumber daya alam yang dimilikinya.
Sebagai jalur pelayaran dan komunikasi internasional (jalur lintas laut perdagangan
internasional) kawasan ini bernilai ekonomis, politis dan strategis, sehingga menjadikan kawasan
ini memiliki potensi konflik sekaligus potensi kerjasama. Jalur ini seringkali disebut sebagai maritime
superhighway karena merupakan salah satu jalur pelayaran internasional paling sibuk di dunia. Lebih
dari setengah lalu lintas supertanker dunia berlayar melalui jalur ini lewat Selat Malaka, Sunda
dan Lombok. Jumlah supertanker yang berlayar melewati selat Malaka dan bagian barat daya Laut

91
Cina Selatan bahkan lebih dari tiga kali lalu lintas yang melewati Kanal Suez dan lebih dari lima
kali lipatnya kanal Panama.1 Tentunya dengan posisi yang sangat strategis tersebut, banyak negara
memiliki kepentingan dan terlibat dalam sengketa wilayah di kawasan ini. Secara politis ketegangan
hubungan antara negara-negara pengklaim akibat dari sengketa wilayah di Laut Cina Selatan
memiliki kecenderungan yang kuat untuk berkembang menjadi sumber ketidakstabilan kawasan.
Ketidakstabilan ini semakin lama semakin mempengaruhi negara-negara yang berdekatan dengan
kawasan sengketa.
Istilah konflik Laut Cina Selatan merujuk pada gugusan kepulauan Paracels yang masih
dipersengketakan oleh tiga negara (Cina, Vietnam, dan Taiwan), dan kepulauan Spratly yang
dipersengketakan oleh enam negara (Cina, Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei).
Namun, kepulauan Spratly merupakan titik api yang paling potensial untuk berkembang menjadi
wilayah konflik militer di masa depan, tidak saja karena adanya tuntutan yang tumpang tindih
yang melibatkan ke-enam negara, tetapi juga karena kepentingan negara-negara besar (Jepang, AS,
Rusia) di perairan Laut Cina Selatan.2 Keterlibatan beberapa negara ASEAN dalam sengketa wilayah
tersebut, mendorong ASEAN untuk ikut serta dalam meredam dan menyelesaikan permasalahan
tersebut. ASEAN memiliki kepentingan dalam menjaga stabilitas hubungan negara-negara
anggotanya, khususnya yang terlibat langsung dalam konflik Laut Cina Selatan (Malaysia, Vietnam,
Filipina, dan Brunei Darusalam). Letak strategis Laut Cina Selatan juga menjadi kekhawatiran
ASEAN dimana kawasan ini sangat potensial untuk menjadi pangkalan militer dari negaranegara
yang akan meluaskan pengaruhnya di Asia Tenggara. Sehingga akan menjadi ancaman yang
harus diperhatikan ASEAN dalam mempertahankan keamanan regional. Hal ini berkaitan dengan
dampak yang akan ditimbulkan terhadap stabilitas keamanan di kawasan Asia Tenggara. Karena
pengaruhnya yang begitu besar, maka ASEAN merasa perlu untuk terlibat dalam penyelesaian
sengketa ini melalui mekanisme ASEAN.
ASEAN telah melakukan berbagai upaya perundingan yang banyak mendapat dukungan
negara-negara ASEAN yang terlibat sengketa. Upaya-upaya perundingan ini dilakukan untuk
memecahkan permasalahan secara multilateral demi terciptanya stabilitas di kawasan. Dengan
perundingan secara multilateral maka diharapkan akan ada solusi bersama yang win-win solution.
Salah satu langkah politis yang nyata adalah penandatanganan dokumen Declaration of Conduct of
Parties in the South Cina Sea (DOC) dimana semua penandatangan, termasuk Cina setuju untuk
menjaga stabilitas regional, bekerja sama dan menyelesaikan konflik secara damai. Deklarasi ini
juga menyatakan bahwa semua pihak harus menahan diri dan tidak melakukan aktivitas yang
memperumit keadaan. Tetapi tampaknya DOC tidak diindahkan karena banyaknya aktivitas
pembangunan yang dilakukan Cina serta tindakan-tindakan yang mengancam perdamaian di
kawasan.3 Cina telah mengerahkan militer di Laut Cina Selatan dan keputusan terbaru ini makin
mengukuhkan upaya Cina mendapatkan kedaulatan.4 Tentu saja tindakan Cina ini juga memancing
kemarahan negara yang bersengketa, sehingga setahun terakhir ini ketegangan di Laut Cina Selatan
kembali memanas. DOC tidak terimplementasi dengan baik karena dianggap kurang mengikat.
meskipun DOC sudah disepakati sejak tahun 2002, namun belum ada panduan umum atau guidelines
untuk pelaksanaannya.5 ASEAN terus berupaya untuk mencegah terjadinya eskalasi konflik dan

1
Athanasius Aditya Nugraha, “Manuver Politik Cina Dalam Konflik Laut Cina Selatan”, Jurnal Universitas
Pertahanan .
2
Asrudin, “Problem kedaulatan di Laut Cina Selatan”, http://asrudiancenter.wordpress.com/2012/07/17/
problem-kedaulatan-di-laut-Cinaselatan/
3
Op Cit, hal 61-62
4
http://internasional.kompas.com/read/2012/07/23/07332222/Cina.Dirikan.Garnisun.di .Laut.Cina.Selatan
5
http://www.seruu.com/index.php/2011050550134/utama/nasional/timor-leste-dan sengketa-laut-Cina-selatan-
akan-dibahas-dalam-ktt-asean-50134/menu-id-691.html. Lihat juga ASEAN Bahas Isu Laut Cina Selatan, http://www.
kemlu.go.id/Pages/News.aspx?IDP=4871&l=id

92
beranggapan bahwa dibutuhkan suatu aturan main yang harus disepakati negara-negara yang
bersengketa. Pada tahun 2011, ASEAN telah menghasilkan draf awal dari Code of Conduct (COC)
yang akan diajukan ke Cina. Pemerintah Indonesia sebagai ketua ASEAN saat itu, terus mendorong
ASEAN dan Cina meningkatkan status Declaration on the Conduct (DOC) Laut Cina Selatan menjadi
Code of Conduct (COC) yang lebih mengikat, sehingga menjamin keamanan wilayah tersebut
Namun, tak disangka dalam pertemuan Phnom Penh, Kamboja Juli 2012 yang lalu, Kamboja
menolak adanya pembicaraan mengenai kode etik di Laut Cina Selatan. Kamboja yang juga
merupakan Ketua ASEAN untuk periode 2012 menolak keterlibatan forum ASEAN dalam
peyelesaian sengketa wilayah Laut Cina Selatan. Tentunya hal ini sangat mengejutkan bagi Negara-
negara ASEAN lainnya mengingat sebelumnya sudah disepakati bahwa pertemuan di Kamboja
akan membahas mengenai COC. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, ASEAN gagal mencapai
kesepakatan. Hal ini tidak hanya mengejutkan berbagai pihak tapi juga menimbulkan kekecewaan
dari negara ASEAN yang bersengketa dengan Cina. Bagaimana selanjutnya tindakan dari ASEAN
setelah kegagalan COC? Rumitnya permasalahan Laut Cina Selatan ini, tentu menjadi tantangan
tersendiri bagi ASEAN dalam upayanya meredakan ketegangan, mencegah konflik terbuka terjadi
serta menyelesaikan sengketa wilayah Laut Cina Selatan.

FORUM DIALOG ASEAN DALAM UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA WILAYAH DI


LAUT CINA SELATAN
Untuk melihat bagaimana upaya ASEAN menyelesaikan permasalahan Laut Cina Selatan,
maka akan ditelusuri terlebih dahulu berbagai upaya yang telah dilakukan ASEAN dan dianggap
berhasil dalam meredam konflik Laut Cina Selatan dan mencegah timbulnya tindakan militer/
kekerasan di wilayah tersebut. Keterlibatan ASEAN dalam mengelola sengketa di Laut Cina Selatan
didasarkan pada prinsip-prinsip dan mekanisme pengelolaan konflik yang ditetapkan dalam
dokumen utama ASEAN. Teks-teks ini termasuk Deklarasi pendirian ASEAN pada tahun 1967,
Treaty of Amity and Coorporation (TAC) tahun 1967, Deklarasi ASEAN Concord II di Bali tahun 2003,
Cetak Biru Komunitas Politik dan Keamanan ASEAN, dan Piagam ASEAN. Mengacu khusus pada
permasalahan Laut Cina Selatan, dua dokumen penting adalah Deklarasi tentang Laut Cina Selatan
tahun 1992 dan DOC tahun 2002. Dokumen-dokumen tersebut mencerminkan prinsip utama
ASEAN dalam menjaga hubungannya dengan Negara lain dan manajemen konflik. Pasal 1 Piagam
ASEAN menunjukkan bahwa tujuan ASEAN adalah untuk menjaga perdamaian di kawasan dan
meningkatkan kerjasama politik, ekonomi, keamanan dan sosial budaya. Untuk mewujudkan tujuan
ini, maka penyelesaian sengketa secara damai dan tanpa menggunakan kekerasan merupakan hal
yang fundamental bagi ASEAN.6 Berikut ini forum dialog yang sudah dilakukan ASEAN dalam
membahas masalah Laut Cina Selatan:

A. Workshop Managing Potential Conflicts in the South Cina Sea


ASEAN telah mengadakan Lokakarya (workshop) yang difasilitasi oleh Indonesia dengan
program “Managing Potential Conflicts in the South Cina Sea,” yang sudah berlangsung sejak tahun
1990 hingga 2011. Sejak tahun 1990an, Indonesia telah berperan sebagai mediator untuk memfasilitasi
penyelenggaran sebuah Lokakarya tentang Laut Cina Selatan untuk mengelola potensi konflik di
kawasan Laut Cina Selatan melalui upaya pengembangan confidence building measures, mendorong
diskusi dan dialog di antara negara yang memiliki sengketa wilayah laut, dan menjajaki berbagai
kemungkinan dan cara bekerjasama di bidangbidang yang menjadi perhatian bersama. Lokakarya
diikuti oleh para peserta dari 11 negara di Asia yakni Brunei Darussalam, Cina, Kamboja, Laos,
Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand,Vietnam dan Taiwan yang berasal dari berbagai institusi

6
Ha Anh Tuan “ASEAN and the Disputes in the South Cina Sea”

93
pemerintah, namun dalam Lokakarya bertindak dalam kapasitas pribadi. Keberhasilan lokakarya
Laut Cina Selatan dalam membawa pihak-pihak yang bersengketa, termasuk Cina dan Taiwan pada
satu forum untuk membahas hal-hal yang menjadi kepentingan bersama, telah diakui oleh banyak
pihak di luar negeri dan bahkan menjadi rujukan success story sebagai model untuk dapat ditiru
dalam penyelesaian konflik teritorial di kawasan lainnya di dunia. Pada Lokakarya Laut Cina Selatan
ke- 18 di Manado 27-29 November 2009, telah berlangsung dua pertemuan lain yaitu Working Group
Meeting (WGM) on the Study of Tides and Sea Level Change and Their Impact on Coastal Environment in
the South Cina Sea (SCS) Affected by Potential Climate Change dan Open Discussion Forum (ODF) dengan
tema “Cooperation on Marine Biodiversity Protection in the South Cina Sea”.7 Lokakarya Penanganan
Potensi Konflik di Laut Cina Selatan (LCS) ke-19 di lakukan pada tanggal 13-14 November 2009
di Makassar. Lokakarya juga mencatat perkembangan baru yang menggembirakan yaitu adanya
keinginan peserta dari Cina dan Taiwan untuk mengajukan suatu joint project dengan tema Southeast
Asia Network for Education and Training project yang merupakan proyek pelatihan dan pertukaran
tenaga ahli untuk pengembangan kapasitas di bidang oceanography, remote sensing, modelling,marine
ecology, fishery management, ocean science, ocean and coastal management dan marine environmental
protection. Proyek akan dilaksanakan di Cina dan Taiwan dan diikuti oleh perwakilan dari negara
peserta Lokakarya Laut Cina Selatan. Pelaksanaan proyek bersama ini merupakan perwujudan dari
tujuan Lokakarya yaitu untuk mengurangi potensi konflik kekerasan dan mengubah potensi konflik
menjadi kerjasama yang bermanfaat di wilayah Laut Cina Selatan.8 Menteri Luar Negeri RI, DR.
Marty M. Natalegawa menyatakan bahwa fakta yang menunjukkan bahwa sejak tahun 1990 tidak
terjadi suatu konflik bersenjata di wilayah Laut Cina Selatan merupakan bukti keberhasilan dari
Lokakarya Laut Cina Selatan yang digagas oleh Indonesia. Indonesia harus terus berperan sebagai
Mediator sekaligus fasilitator sebagai upaya untuk menciptakan Confidence Building Measure dan
sarana Preventive Diplomacy melalui peningkatan dialog ke arah upaya menciptakan perdamaian
dan stabilitas di kawasan.
Untuk itu, meskipun COC gagal disepakati di Kamboja, Indonesia terus mendorong negara-
negara ASEAN untuk bersatu menyepakati COC dan memperkuat kembali proses dialog untuk
menjawab tantangan-tantangan baru di kawasan serta membangun kerjasama yang lebih erat
guna mencapai hasil yang konkret dalam rangka mempertahankan perdamaian, stabilitas dan
kesejahteraan di kawasan.9

B. The Six’s ASEAN-Cina Joint Working Group on the Implementation of the Declaration on the
Conduct of Parties in the South Cina Sea (DOC), 17-19 April 2011
Negara-negara anggota ASEAN bersama Cina membahas agenda Implementation of the Declaration
on the Conduct of Parties in the South Cina Sea (DOC) dan Proposal Cina mengenai draft Guidelines DOC
pada pertemuan ke – 6 ASEAN-Cina Joint Working Group on the Implementation of the Declaration on the
Conduct of Parties in the South Cina Sea (DOC) di Medan, 17-19 April 2011.10 DOC merupakan dokumen
politis yang ditandatangani oleh negara Anggota ASEAN dan Cina di Kamboja tahun 2002 yang
memuat elemen-elemen kerjasama di Laut Cina Selatan beserta implementasinya di antara kedua
belah pihak. Pertemuan diketuai bersama oleh Vietnam dan Cina dan dihadiri oleh wakil-wakil
seluruh Negara Anggota ASEAN dan Sekretariat ASEAN. Pada pertemuan ini, Cina mengajukan
Proposal draft Guidelines DOC. Joint Working Group ini mengadakan pertemuan pertamanya di

7
www.kemlu.go.id/Lists/PressRelease/DispForm.aspx?ID=627
8
(Lokakarya Penanganan Potensi Konflik di Laut Cina Selatan ke-19, http://www.deplu.go.id/Pages/PressRelease.
aspx?IDP=775&l=id
9
Ibid
10
http://www.kemlu.go.id/Pages/News.aspx?IDP=4726&l=id

94
Manila pada tahun 2005.11 Pertemuan ditujukan untuk menemukan aspek-aspek persamaan dan
menyatukan pandangan-pandangan guna mendorong segera implementasi DOC. Namun, sejak
persoalan tersebut mengemuka pada 2002 hingga kini belum ada kesepakatan, terutama terkait
kepemilikan Kepulauan Spratly, yang diklaim oleh Cina dan 4 negara ASEAN.
Pejabat tinggi yang mengikuti ASEAN Senior Officials Meeting (SOM) menyepakati untuk
menyelesaikan konflik Laut Cina Selatan. Negara-negara ASEAN berharap, masalah keamanan dan
kedaulatan maritim yang kerap mucul di kawasan Laut Cina Selatan yang meliputi negara ASEAN
yakni Malaysia, Brunei, Filipina dan Vietnam, agar cepat terselesaikan melalui forum dialog.

C. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-18 ASEAN di Jakarta, 7-8 Mei 2011
ASEAN Summit ke-18 diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 7-8 Mei 2011 yang berakhir
dan ditutup oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Banyak keputusan dihasilkan
dari KTT kali ini. Khusus untuk masalah sensitif di Laut Cina Selatan, ASEAN bertekad untuk
menyelesaikan pembahasan deklarasi etik tentang Laut Cina Selatan (DOC), dan berupaya
mengimplementasikannya menjadi kode etik (COC) yang lebih bisa mengikat secara hukum. Hal
tersebut juga merupakan hasil dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-18 ASEAN pada 7-8 Mei 2011
di Indonesia (Jakarta), yang menargetkan untuk menggunakan peringatan 10 tahun adopsi DOC
pada 2012, untuk merampungkan pembahasan DOC dan implementasi COC dengan Cina sebagai
mitra di kawasan Laut Cina Selatan.12 Indonesia dan ASEAN menekankan pentingnya implementasi
efektif dari DOC dan mendorong agar DOC segera diterapkan dalam bentuk COC, sebagai langkah
maju hasil perundingan dengan Cina dalam masalah Laut Cina Selatan. DOC diakui oleh ASEAN
sebagai dokumen yang penting dalam langkah untuk mewujudkan perdamaian, stabilitas, dan
saling percaya antara negara-negara Asia Tenggara dan Cina.
Dari berbagai upaya tersebut, ASEAN masih saja menemui jalan buntu dengan ditolaknya
pembahasan COC dalam ASEAN Ministerial Meeting (AMM) ke-45 yang dilaksanakan pada 9-13
Juli 2012 lalu di Kamboja. Ketidaksepakatan tersebut memperlihatkan adanya perbedaan pendapat
antar negara ASEAN, ditambah lagi sikap Cina yang menolak membahas permasalahan Laut Cina
Selatan secara multilateral. Cina lebih memilih untuk membahasnya secara bilateral dengan Negara
yang bersengketa. Apalagi, keterlibatan negara besar seperti Amerika Serikat yang notabenenya
sekutu dekat Filipina semakin memperumit masalah ini. Dengan banyaknya kepentingan di wilayah
ini tentu akan membuat permasalahan sengketa wilayah akan semakin berlarut-larut.
Rumitnya persoalan Laut Cina Selatan bahkan membuat pemimpin Cina setelah Mao Zedong,
Deng Xiaoping pernah berkata “karena kita tidak bisa memecahkan masalah Laut Cina Selatan, kita
dapat menyerahkan kepada generasi berikutnya yang akan lebih pintar.” Hal ini dikarenakan, Deng
Xiaoping sudah melihat adanya indikasi campur tangan Amerika Serikat atas teritorial tersebut
yangberusaha untuk melakukan internasionalisasi atas masalah sengketa yang terjadi di Laut Cina
Selatan, yang melibatkan negara-negara anggota ASEAN. Pangkal masalah Cina boleh dibilang
13

akibat Undang-Undang domestik nya, yaitu UU dalam negeri tahun 1998 yang menegaskan
penegakan hukum atas zona ekonomi eksklusif (ZEE) dengan batas 200 mil laut dari garis dasar
pantai. Padahal, sebelummnya Cina adalah penandatangan ratifikasi Konvensi PBB tentang
Hukum Laut (UNCLOS) 1982. Berdasarkan UU tersebut, Cina tidak mengakui wilayah udara di
atas dengan ZEE sebagai “wilayah udara internasional” Dengan regulasi tersebut, Cina yang kuat
secara ekonomi dan militer menjadi sangat keras bahkan dinilai congkak atas wilayah ZEE mereka.14

11
Ibid
12
http://nasional.inilah.com/read/detail/1493242/asean-kejar-implementasi-CoC-laut-Cina-selatan
13
http://www.detiknews.com/read/2011/05/08/230249/1635043/10/asean-ingin-lautcina-selatan-menjadi-
kawasan-damai
14
Ibid

95
Cina sangat menentang keras upaya “internasionalisasi” terhadap isu Laut Cina Selatan yang
disuarakan oleh pihak-pihak tertentu. Cina akan mendorong resolusi dengan “negara-negara
yang terlibat sengketa” melalui negosiasi dan dialog damai dan bersahabat berdasarkan hukum
internasional. Bagi Cina, Laut Cina Selatan adalah wilayah yang damai dan bebas navigasi, tetapi
perselisihan tersebut tidak seharusnya dianggap antara Cina dan ASEAN secara keseluruhan hanya
karena melibatkan negara-negara angota ASEAN. Cina pada dasarnya menolak membicarakan
masalah di Laut Cina Selatan, di forum-forum multilateral. Hal inilah yang menjadi kesulitan bagi
ASEAN dalam upaya membantu penyelesaian sengketa.
Cina mempunyai pandangan bahwa The Declaration on Conduct of Parties in the Southeast Asia
(DOC) tahun 2002 tersebut semata-mata hanya sebuah dokumen kerjasama antara ASEAN dengan
Cina saja, sama halnya seperti Cina dalam menandatangani Treaty of Amity and Cooperation (TAC),
padahal semua anggota ASEAN melihatnya justru sebagai sebuah dokumen untuk menyelesaikan
perselisihan wilayah yang terjadi antara anggota ASEAN dengan Cina di Laut Cina Selatan.
Deklarasi dari Dokumen tersebut bertujuan untuk memastikan bahwa perselisihan yang terjadi
di Laut Cina Selatan yang melibatkan 4 Negara anggota ASEAN ( Brunei, Malaysia, Filipina dan
Vietnam) dengan Cina, dapat diselesaikan dengan cara-cara diplomatik, tanpa harus menggunakan
kekuatan militer.15 Jika merujuk pada apa yang dikatakan oleh Deputi Sekretariat Wakil Presiden
Bidang Politik, Dewi Fortuna Anwar, maka “isu sengketa Laut Cina Selatan tidak akan bisa
diselesaikan sampai kiamat,” karena tidak akan ada satu negara yang mau memberikan satu pulau
pun yang dianggapnya merupakan bagian dari wilayah kedaulatannya. Menurutnya, konflik
regional akan selalu ada, karena memang kepentingannya masing-masing berbeda. Tapi konflik itu
bisa dikelola menjadi kerjasama. Kode etik konflik Laut China Selatan harus dapat dikembangkan
lagi di antara negara-negara ASEAN untuk membuat aturan larangan berkonflik dengan sesama
anggota maupun dengan negara mitra di luar kawasan.16 Oleh karena itu, solusi yang bisa dibuat
hanya mencegah terjadinya konflik terbuka dengan cara berdialog dan membangun kerjasama
sehingga meningkatkan rasa saling percaya antar negara-negara yang bersengketa.
Kegagalan COC tidak serta merta menghilangkan semangat negara-negara ASEAN terutama
Indonesia sebagai motor penggerak untuk terus mendorong diselesaikannya sengketa wilayah di
Laut Cina Selatan. Indonesia dalam hal ini Menlu Marty Latalegawa mencoba menjadi penengah
dan mengambil inisiatif untuk kembali mempersatukan negara-negara ASEAN dalam sebuah
konsensus bersama untuk tercipta sebuah kesepakatan mengenai kode etik (code of conduct) di Laut
Cina Selatan. Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa telah melakukan kunjungan ke berbagai
negara untuk mengajak negara-negara ASEAN kembali menjadikan isu di Laut Cina Selatan sebagai
agenda utama ASEAN. Langkah yang dilakukan oleh Indonesia ini oleh kalangan jurnalis disebut
dengan Diplomasi Antar-Jemput (Suttle Diplomacy).17 Upaya dari Indonesia ini telah membuahkan
hasil, akhirnya Negara-negara anggota Perhimpunan Asia Tenggara (ASEAN) telah berhasil
menyuarakan posisi bersama soal Laut Cina Selatan. Hal tersebut tercermin dengan diluncurkannya
pernyataan dari Menteri Luar Negeri (Menlu) negara-negara ASEAN yang berisi ASEAN’s Six-Point
Principles on the South Cina Sea. Pernyataan sikap dikeluarkan oleh Menlu Kamboja selaku Ketua
ASEAN 2012.
Enam prinsip utama ini merupakan buah manis shuttle diplomacy yang dilakukan Menlu
Indonesia Marty M. Natalegawa atas arahan Presiden SBY ke Filipina, Vietnam, Kamboja, dan
Singapura. Peran sentral Indonesia tidak dapat dipisahkan dari keberhasilan tercapainya posisi

15
Indonesia sebagai Ketua ASEAN 2011 dan Penyelesaian Sengketa Di Laut Cina Selatan, Oseafas.wordpress.com
16
ASEAN Harus Cegah Konflik Laut Cina Selatan, http://dunia.news.viva.co.id/news/read/322382-asean-harus-
kelola-konflik-laut-cinaselatan
17
Mochammad Faisal Karim, “Mengapa ASEAN harus terlibat dalam Konflikdi Laut Cina Selatan?”, CBDC
Commentaries No.01, 19 Juli 2012,www.ir.binus.ac.id

96
bersama ASEAN ini. ASEAN’s Six-Point Principles on the South Cina Sea secara garis besar menjelaskan
bahwa perserikatan negara Asia Tenggara tersebut mengafirmasi ulang deklarasi sikap atau
declaration of conduct (DoC) terhadap isu Laut Cina Selatan. Selain itu, sepuluh negara ASEAN juga
mengafirmasi ulang pedoman deklarasi sikap itu. Poin berikutnya yang dinyatakan adalah urgensi
penyelesaian pembahasan code of conduct(CoC) dan menghargai hukum internasional yang berlaku,
yakni United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982. Selanjutnya, Menlu ASEAN
sepakat melarang penggunaan kekerasan dan menyelesaikan permasalahan yang terjadi secara
damai sesuai UNCLOS 1982.18
Secara spesifik, enam prinsip utama ASEAN tertuang sebagai berikut.19
STATEMENT of ASEAN Foreign Ministers
on ASEAN’s Six-Point Principles
on the South Cina Sea
ASEAN Foreign Ministers reiterate and reaffirm the commitment of ASEAN Member
States to:
1. the full implementation of the Declaration on the Conduct of Parties in the South Cina Sea (2002);
2. the Guidelines for the Implementation of the Declaration on the Conduct of Parties in the South Cina
Sea (2011);
3. the early conclusion of a Regional Code of Conduct in the South Cina Sea;
4. the full respect of the universally recognized principles of International Law, including the 1982
United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS);
5. the continued exercise of self-restraint and non-use of force by all parties; and
6. the peaceful resolution of disputes, in accordance with universally recognized principles of International
Law, including the 1982 United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS).
The ASEAN Foreign Ministers resolve to intensify ASEAN consultations in the advancement of the
above principles, consistent with the Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia (1976) and the
ASEAN Charter (2008).

Dengan adanya inisiatif diplomasi dari Indonesia melalui Menlu Marty Latalegawa, akhirnya
dapat menyatukan kembali suara ASEAN mengenai konflik Laut Cina Selatan. Keberhasilan
diplomasi ini menegaskan posisi Indonesia yang begitu penting dalam percaturan politik regional
dan global. Melalui Suttle Diplomacy, ASEAN tetap mempertahankan prinsip manajemen konflik
melalui diplomasi dan dialog.

KESIMPULAN
Potensi konflik yang terjadi di wilayah Laut Cina Selatan dapat berdampak luas pada stabilitas
keamanan di kawasan. Oleh karena itu, ASEAN sebagai organisasi regional yang menaungi negara-
negara di Asia Tenggara merasa perlu ikut terlibat dalam penyelesaian konflik tersebut. Apalagi,
negara yang bersengketa di Laut Cina Selatan dengan Cina, enam diantaranya adalah negara-
negara ASEAN. Mekanisme resolusi konflik yang dipegang teguh sampai sekarang adalah dengan
melalui Confidence Building Measure (CBM) dan Preventive Diplomacy. Dengan melalui forum dialog
diharapkan konflik di Laut Cina Selatan bisa diredam. Seperti misalnya Lokakarya yang difasilitasi
oleh Indonesia dengan program “Managing Potential Conflicts in the South China Sea,” yang sudah
berlangsung sejak tahun 1990 hingga 2011. Lokakarya ini telah terbukti berhasil meredakan
ketegangan di wilayah Laut Cina Selatan. Oleh karena itu, kegiatan ini harus terus dipertahankan
agar antar negara yang bersengketa terjalin hubungan yang baik dan diharapkan juga dapat
menghasilkan orientasi kebijakan yang dapat mendorong terbentuknya resolusi konflik. Meskipun
kesepakatan CoC dianggap gagal, namun dengan melalui diplomasi, ASEAN kembali memiliki

18
http://setkab.go.id/berita-5307-menlu-asean-keluarkan-pernyataan-bersamamengenai-laut-Cina-selatan.html
19
Ibid

97
satu suara. Hal ini menunjukkan bahwa negaranegara ASEAN sudah sepakat untuk bersama-sama
menjaga perdamaian di kawasan dan terus berupaya untuk mewujudkan terealisasinya Komunitas
Keamanan ASEAN. Kedepannya Kode Etik Laut Cina Selatan (Code Of Conduct) juga diharapkan
dapat tercapai untuk mempromosikan perdamaian, stabilitas keamanan, rasa saling percaya, dan
memastikan keharmonisan di Laut Cina Selatan.

REFERENSI
Asrudin, “Problem kedaulatan di Laut Cina Selatan”,
http://asrudiancenter.wordpress.com/2012/07/17/problem-kedaulatan-di-laut-Cinaselatan/
Buszynski, Leszek, “Rising Tensions in the South China Sea: Prospects for a Resolution of the Issue”,
Security Challenges, Vol. 6, No. 2 (Winter 2010)
Karim, Mochammad Faisal, “Mengapa ASEAN harus terlibat dalam Konflk di Laut Cina Selatan?”,
CBDC Commentaries No.01, 19 Juli 2012, www.ir.binus.ac.id
Nugraha, Athanasius Aditya, “Manuver Politik Cina Dalam Konflik Laut Cina Selatan”, Jurnal
Universitas Pertahanan.
Pradhan, S. D. “South China Sea: A Model Code of Conduct”
Stirring up the South China Sea (I), Crisis Group Asia Report N°223, 23 April 2012
Stirring up the South China Sea (II): Regional Responses Crisis Group Asia Report N°229, 24 July 2012
Tuan, Ha Anh, “ASEAN and the Disputes in the South Cina Sea”
http://internasional.kompas.com/read/2012/07/23/07332222/Cina.Dirikan.Garnisun.di .Laut.
Cina.Selatan
http://www.seruu.com/index.php/2011050550134/utama/nasional/timor-leste-dansengketa-
laut Cina-selatan-akan-dibahas-dalam-ktt-asean-50134/menu-id-691.html.
http://www.kemlu.go.id/Pages/News.aspx?IDP=4871&l=id
www.kemlu.go.id/Lists/PressRelease/DispForm.aspx?ID=627
http://www.kemlu.go.id/Pages/News.aspx?IDP=4726&l=id
(Lokakarya Penanganan Potensi Konflik di Laut Cina Selatan ke-19,
http://www.deplu.go.id/Pages/PressRelease.aspx?IDP=775&l=id
http://nasional.inilah.com/read/detail/1493242/asean-kejar-implementasi-CoC-laut-Cina-
selatan
http://www.detiknews.com/read/2011/05/08/230249/1635043/10/asean-ingin-lautcina-
selatanmenjadi-kawasan-damai
Indonesia sebagai Ketua ASEAN 2011 dan Penyelesaian Sengketa Di Laut Cina Selatan, Oseafas.
wordpress.com
ASEAN Harus Cegah Konflik Laut China Selatan,
http://dunia.news.viva.co.id/news/read/322382-asean-harus-kelola-konflik-laut-cinaselatan
http://setkab.go.id/berita-5307-menlu-asean-keluarkan-pernyataan-bersamamengenai-laut-china-
selatan.html

98
PERAN INDONESIA MELALUI REGIONAL PEACE MAKING
DALAM PENCAPAIAN ASEAN COMMUNITY1

Arin Fithriana
Dosen Universitas Budi Luhur Jakarta, Jurusan Ilmu Hubungan Internasional

Abstract
To achieve the ASEAN Community, it must be need some great efforts. It because ASEAN’s members have
their own domestic problem and historical graveness that make some problems complicated and synergetic
causality. By looking for the cause of conflict and identify the international and domestic conditions. Indonesia
could shift it role for ASEAN Community achievement as intervensionist actor throught peacemaking on
preventive diplomacy and confidance building measures. That all could be legitimated toward foreign policy
throught the idea dynamic equilibrium.

Pendahuluan
Pencapaian menuju ASEAN Communitymembutuhkan jalan yang panjang.Masing-masing
Negara anggota mempunyai permasalahan internal baik dalam bidang politik, economy maupun
keamanan.Jika dilihat per Negara anggota ASEAN, secara internal masing-masing memiliki
permasalahan dalam negeri yang membutuhkan perhatian tersendiri.hal ini merupakan salah
satu sebab mengapa ASEAN sebagai organisasi regional mengalami semacam stagnasi, padahal
kerangka kerjasama ekstensif telah disepakati bersama. Energy masing-masing anggota lebih banyak
tersalurkan untuk menangani permasalahan internal. Mengacu pada hasil penelitian The Fund for
Peace mengenai index Negara gagal, bahwa dari sepuluh anggota ASEAN hanya satu Negara yang
masuk dalam kategori stabil (stable) yaitu Singapura. Malaysia dan Brunei berada dalam posisi
warning borderline, sedangkan sisanya masuk dalam kategori warning.Kajian tersebut menekankan
pada indikator Sosial, ekonomi, Politik dan militer.Hasil penelitiaan ini mengasumsikan bahwa
permasalahan internal yang dihadapi oleh Negara anggota ASEAN sudah cukup rumit.Penyelesaian
persoalan (ancaman konflik) intra anggota menjadi tersendat, bahkan sedari sejak belum berdirinya
ASEAN hingga saat ini kesepakatan damai dan kerjasama hanya untuk memperpanjang konflik
tersebut.
Secara eksternal hampir semua anggota memiliki permasalahan dengan anggota lainnya.
Bahkan Malaysia mempunyai permasalahan dengan semua Negara anggota.Hal ini karena Malaysia
merupakan satu-satunya Negara yang berbatasan dengan semua Negara anggota.2 Keberadaan TAC
(Treaty of Amity and Co-operation) sebagai bentuk perjanjian persahabatan dan kerjasama di Asia
Tenggara juga belum mampu menyelesaikan permasalahan antar Negara. Termasuk keberpihakan
Negara terhadap TAC tersebut.Hal ini karena jika suatu Negara melakukan dukungan terhadap
suatu Negara dalam kerangka TAC, maka secara tidak langsung Negara tersebut juga mengorbankan
kepentingan nasionalnya. maka upaya ASEAN Community kesepakatan banyak terdapat pada
pada tahapan AEC (ASEAN Economic Community), dan ASCC (ASEAN Socio-Cultural Community),
daripada APSC (Asean Political and Security Community).
Ada tiga kemungkinan untuk menyelesaikan persengketaan antar Negara ASEAN dan Asia
Tenggara; pertama; membolehkan Negara non-Asia Tenggara menjadi pihak pada TAC, namun

1
Tulisan ini terinspirasi dari tulisan David Basco di Jurnal Foreign Policy, “Indonesia Tries to Clean Up ASEAN
Mess” Thursday, July 19, 2012-11:36 AM
2
C.P.F. Luhulima, “Dinamika Asia Tenggara Menuju 2015”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011, hal. 228

99
kemungkinan ini menimbulkan kekhawatiran akan adanya intervensi, sehingga banyak ditentang.
Kedua; mengajukan sengketa kepada Mahkamah Internasional di Den Haag.Pada pilihan ini kembali
kepada kesepakatan Negara yang bertikai.Indonesia dan Malaysia merupakan contoh pilihan ini
pada kasus Sipadan-Ligitan. Kekalahan yang dialami Indonesia pada kasus tersebut cukup menjadi
pelajaran berharga bukan hanya bagi Indonesia namun juga Negara anggota lain ketika akan
membawa masalahnya. Ketiga; membiarkan masalah perbatasan dan territorial menyelesaikan diri
sendiri dengan meningkatkan kerjasama menuju bentuk keakraban dan saling pengertian. Pilihan
ketiga inilah yang selama ini masih banyak dilakukan, sehingga proses penyelesaian membutuhkan
waktu lama bahkan tidak menutup kemungkinan adanya pemanfaatan Negara luar dalam
kepentingan mereka.3
Selama ini langkah resolusi konflik yang telah dilakukan oleh ASEAN merupakan bagian dari
kerangka Preventif Diplomacymelalui confidence building measures.Langkah ini juga dilakukan oleh
beberapa wilayah konflik di dunia dalam proses perdamaian, seperti di Afrika dan Negara-negara
bekas Uni Soviet. Namun untuk menyelesaikan permasalahan keamanan di ASEAN tidaklah
sama persis dengan wilayah-wilayah tersebut. ASEAN memiliki ASEAN Way yang membedakan
karakter penyelesaiannya, yang meskipun dikatakan lebih mampu meredam konflik, namun
berdampak pada penyelesaian yang berlarut.Selain itu Negara anggota ASEAN masing-masing
mempunyai peran penting dalam perdamaian wilayah, terutama Negara-negara pendiri.Sebagai
contoh Indonesia selama ini bertindak sebagai mediator permasalahan Laut China Selatan dan juga
perbatasan Kamboja – Thailand.Indonesia juga berperan sebagai fasilitator pada beberapa upaya
penyelesaian konflik wilayah.Upaya Indonesia tidaklah mudah karena kompleksitas permasalahan
tersebut yang bisa menyulut potensi konflik yang telah lama terpendam.Disisi lain, masing-masing
Negara anggota mempunyai permasalahan internal bahkan berpotensi menjadikan Negara masuk
dalam kategori Negara gagal. Namun demikian beberapa kebijakan telah disepakati bersama antar
anggota dan beberapa Negara yang terkait dengan permasalahan kawasan.Dalam hal ini keberadaan
mediator sangat penting dalam mengatur konflik ke arah resolusi secara damai. Mediator diharapkan
mampu mempengaruhi pelaku, terutama pembuat keputusan untuk mengubah dan atau membuat
aturan untuk mentransformasikan turan untuk mentransformasikan konflik tersebut kearah yang
lebih stabil. Tulisan ini berusaha untuk melihat peran Indonesia dalam menciptakan perdamaian
(peacemaking) menuju ASEAN Community.

Resolusi konflik menuju ASEAN Community


Sebagai sebuah institusi kerjasama kawasan, ASEAN berupaya memperbaiki dari dan
melengkapi lingkup kerjanya.Dunia mempunyai contoh integrasi kawasan yang memberi banyak
pembelajaran bagi integrasi kawasan secara komprehensif, yaitu Uni Eropa.Perkembangannya
turut mempengaruhi perkembangan pemikiran Hubungan Internasional dan menjadi core model
integrasi kawasan lainnya. Demikian juga dengan ASEAN, menerapkan langkah yang sama dalam
integrasi kawasan. Langkah tersebut terencana dalam ASEAN Vision 2020.Demi mewujudkan
ASEAN Vision 2020, Negara anggota ASEAN menyepakati ASEAN Concord II (Bali Concord II)
tahun 2003.Pada deklarasi tersebut disepakati pembentukan ASEAN Community yang terdiri dari
tiga pilar yaitu APSC (ASEAN Political Security Community), AEC (ASEAN Economic Community),
dan ASCC (ASEAN Socio-Cultural Community).4
Sebagaimana bentuk integrasi dan kerjasama regional, pencapaian suatu komunitas
mensyaratkan adanya kesamaan dan kesepahaman antar anggota.Tujuan akhir dari komunitas
adalah kesejahteraan anggota. Ketiga pilar tersebut sama dengan dalam Uni Eropa. Dari ketiga pilar

3
C.P.F. Luhulima, Ibid, hal. 230
4
ASPC, Blueprint, p.5

100
tersebut, pencapaian APSC membutuhkan upaya yang cukup keras dari semua Negara anggota
dan masyarakat ASEAN.APSC adalah salah satu pilar ASEAN yang diperlukan dalam pencapaian
komunitas. APSC mensyaratkan adanya perkembangan politik sesuai demokrasi, perlindungan
HAM yang pada akhirnya terbentuk kedekatan interaksi antar anggota, kesamaan norma dan
pembentukan mekanisme (aturan) sebagai prasyarat community building.5ASPC membawa kerjasama
politik dan keamanan ke tingkat yang lebih tinggi dari sebuah diplomatic community menjadi security
community.Sebuah tujuan yang ingin dicapai melalui kerjasama politik dan keamanan berupa
kondisi dimana prospek konflik tidak ada dan konflik tidak terjadi. Kalaupun terjadi konflik akan
diselesaikan secara damai tanpa menggunakan kekerasan ataupun ancaman kekerasan. Hanya saja
untuk mengembangkan kerjasama keamanan dengan adanya Pakta Pertahanan, masih diperlukan
kajian lebih lanjut.
Hal ini karena lain Uni Eropa lain pula ASEAN. Keduanya mempunyai latar belakang dan
sejarah yang berbeda.Sebelum terbentuk tahun 1964, wilayah Asia Tenggara berpotensi konflik.
Potensi konflik ini juga mencakup kawasan atau lingkungan.Pada masa perang dingin Asia
Tenggara menjadi kawasan yang dikhawatirkan mengalami effek domino komunisme, sehingga
permasalahan ideology menjadi salah satu bagian dari potensi konflik yang ada, disamping etnis,
perbatasan/wilayah.Pada beberapa kajian mengklasifikasikan potensi konflik ini dalam tiga
kategori berdasarkan intensitasnya, yaitu konflik dengan intensitas tinggi (semenanjung Korea
dan Teluk Taiwan), konflik dengan intensitas menengah (konflik Laut Cina Selatan dan Kepulauan
Paracel antara Cina – Taiwan yang melibatkan beberapa Negara anggota ASEAN (Vietnam,
Malaysia, Filipina, dan Brunei).Kategori berikutnya adalah konflik dengan intensitas rendah seperti
konflik mengenai Pulau Nipah, Pedra Branca, sengketa kepulauan Utara antara Rusia dan Jepang.
Dari uraian konflik tersebut bahwa konflik kawasan dengan actor diliuar Negara anggota ASEAN
juga berpengaruh terhadap kondisi keamanan wilayah.6Selain konflik yang didasari batas-batas
wilayah kedaulatan tersebut diatas, masih ada potensi konflik lain yang apabila tidak diatur dan
dikendalikan sedemikian rupa, akanberdampak pada konflik sesungguhnya, seperti dengan adanya
masalah klaim budaya antara Indonesia-Malaysia, masalah tenaga kerja, terrorisme, dan organized
crime.
Secara umum pengelolaan konflik (conflict management) berpijak pada beberapa prinsip, antara
lain membatasi tentang apa yang disebut dengan kepentingan nasional, menjalin komunikasi
dengan pihak lawan, mengekang diri dalam penggelaran kekuatan militer, memutuskan akses
lawan secara akseleratif dan menggunakan strategi ganda diplomasi dan militer. Harus diingat
bahwa lawanpun mungkin akan melakukan strategi yang sama, sehingga kedua belah pihak berada
dalam suatu kompetisi pengambilan resiko. Sedangkan penyelesaian konflik menurut Nicholson
merupakan suatu proses mencari peluang penyelesaian konflik dimana setiap aktor tidak lagi
merasa perlu untuk melanjutkan perselisihan dan mengakui bahwa dengan begitu mereka mungkin
dapat memperoleh keuntungan tertentu. Menurut Wallensteen , penyelesaian konflik merupakan
suatu proses yang berkaitan dengan bagaimana menemukan jalan untuk mengakomodasikan
kepentingan eksplisit dari pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa.7
Penyelesaian konflik (conflict resolution) adalah suatu jalan menuju perdamaian, minimal
perdamaian negatif yang berfungsi menjamin stabilitas politik dan kesinambungan pembangunan
social dan ekonomi.Meskipun demikian, penyelesaian konflik selalu merupakan tujuan politik
yang paling diharapkan karena mengurangi jumlah korban jiwa manusia, mencegah disorganisasi
Negara dan memperbaiki hubungan luar negeri mereka.Resolusi konflik merupakan bagian dari

5
Ibid, p. 6
6
Bantarto Bandoro, “ASEAN dan Diplomasi Preventif di Asia Pasifik”, Analsis CSIS volume 6 tahun 1996, hal.511
7
Peter Wallensteen (ed), “Preventing Violent Conflicts:Post Record and Future Challenges”, Sweden: Upsala
University, 1998, p.13

101
manajemen konflik. Sehingga keberadaan konflik dapat menjadi alat bagi Negara, baik Negara yang
sedang berkonflik maupun Negara lain yang berkepentingan untuk merubah suatu kondisi atau
konstelasi. Perubahan, dalam hal ini adalah transformasi konflik dapat terjadi karena: (1)pelaku;
baik adanya pelaku baru maupun perubahan sikap dan kebijakan pelaku lama akan berperngaruh
terhadap perubahan (transformasi) konflik. (2)sumber konflik; yaitu dengan munculnya isu baru
atau perkembangan isu lama yang mampu berpengaruh baik ke arah positif ataupun negative
dengan mengkaji keterkaitannya dengan actor yang berkonflik. (3)Aturan ;berupa perkembangan
dan perubahan aturan yang dianut pihak yang bertikai. (4)Struktur konflik; perubahan distribusi
kekuatan / perubahan kualitatif dalam hal ini perubahan struktur lingkungan eksternal.Berdasarkan
sebab transformasi konflik tersebut, resolusi konflik di Asia Tenggara dapat diarahkan pada kondisi
yang lebih positif dan damai.8
Berdasarkan sebab terjadinya perubahan konflik tersebut diatas, keterlibatan Indonesia
melalui ASEAN dapat mempengaruhi perubahan aturan resolusi konflik dan struktur konflik,
termasuk kajian ARF (ASEAN Regional Forum) sangat bermanfaat sebagai pijakan untuk menjaga
perdamaian dan mencegah konflik regional. Melalui peran sebagai mediator dan menjaga masuknya
pelaku baru (pelaku asing diluar ASEAN) dapat dijadikan acuan untuk menciptakan perdamaian
kawasan.Langkah inipun sesuai dengan mekanisme yang telah disepakati bersama.Pada tataran
isu, Isu konflik yang berkembang di Negara anggota sebagian besar merupakan isu territorial.
Upaya menciptakan perdamaian yang terkesan tarik ulur selama ini karena untuk mencegah
pecahnya konflik kekerasan yang dapat berpengaruh pada keamanan wilayah secara utuh dan
memicu masuknya aktor asing.Maka tidak mengherankan apabila beberapa pihak yang bertikai
menunda penyelesaian konflik dan memulai kerjasama ekstensif lainya sebagai bentuk pengalihan
isu.Berdasarkan aturan yang dianut, penciptaan perdamaian kawasan melalui resolusi konflik telah
diterapkan ASEAN dengan cukup baik.Secara konseptual, TAC merupakan bentuk yang cukup
ideal bagi penciptaan perdamaian kawasan, namun secara teknis, aplikasi TAC memunculkan
dilemma tersendiri bagi anggota.Pasca perang dingin mendorong peningkatan kerjasama secara
ekstensif. Namun disisi lain memunculkan permasalahan lain dengan adanya perbedaan persepsi
keamanan. Perbedaan persepsi ini berpengaruh terhadap transformasi konflik dan penyelesaiannya.
Berdasarkan sebab transformasi konflik tersebut, dapat diasumsikan bahwa di lingkup ASEAN
penyelesaian konflik dan penciptaan perdamaian dapat terwujud melalui penyamaan persepsi
keamanan dan sumber konflik.Tentunya menyamakan persepsi ini membutuhkan kajian tersendiri
di ASEAN.
Transformasi konflik secara tidak langsung berpengaruh terhadap kondisi konflik.Mengacu
pada spektrum konflik, terdapat beberapa bentuk kondisi yang dilihat dari keberadaan situasi dari
situasi damai hingga konflik dengan intensitas tinggi. Transformasi tersebut antara lain :Durable /
positive peace ; ditandai dengan adanya kerjasama antar pihak, hingga kerjasama yang ekstensif,
Stable /cold peace ; ditandai dengan kerjasama yang terbatas antar pihak karena masih adanya
beberapa hambatan dalam hubungan mereka yang belum terselesaikan secara tuntas. Unstable
peace/negative ;ditandai dengan munculnya rasa saling curiga dan bahkan mengarah pada kondisi
deterrence.Krisis ;mulai terjadi konflik dengan intensitas rendah, dan pada spektrum terakhir adalah
Perang.9Berdasarkan spectrum tersebut, kondisi ASEAN terletak antara positive peace dan cold peace.
Meskipun kerjasama di ASEAN sudah semakin ekstensif, bukan berarti tidak ada hambatan,
dalam hal ini potensi yang berpengaruh terhadap kondisi konflik di Asia Tenggara dan sekitarnya.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa intensitas dan potensi konflik di kawasan

8
Raymo Vayrynen (ed), “New Direction on Conflict Theory: Conflict Resolution and Conflict Transformation”,
London:Sage Publications, 1991, p.
9
Kusnanto Anggoro, “The Stages of Escalation and Institutions for Conflict Management”, Preliminary Draft Eskalasi
Konflik, Pengelolaan Konflik dan Penggunaan Kekuatan Militer, 21 Mei 1999.

102
bervariatif dan tidak hanya menyangkut Negara anggota ASEAN, namun juga dengan Negara lain
dikawasan, seperti China, Korea Selatan dan Jepang.
Kondisi konflik juga dipengaruhi oleh magnitude dan intensitas konflik.Pada kawasan Asia
Tenggara ditentukan oleh inkompatibilitas kepentingan pihak-pihak yang terlibat, dalam hal ini
pihak yang terlibat selama ini telah berusaha membatasi kepentingan nasionalnya dengan menjalin
komunikasi dengan pihak lawan dan Negara anggota lainnya.Selain itu ada kecenderungan yang
dipengaruhi oleh tingkah laku lawan potensial, kondisi ini yang menyebabkan dilemma.Kebencian
historis (Historical grievances) antar pihak di Asia Tenggara dipengaruhi sejarah kolonialisme.
Kolonialisme mewariskan permasalahan perbatasan (territorial) yang belum terselesaikan hingga
saat ini.Namun kesemuanya dapat ditekan dengan keberadaan ASEAN sebagai institusi yang
inheren dalam masyarakat.
Kompleksitas masalah yang dihadapi Negara anggota ASEAN merupakan bentuk
komplementer dari dinamika konflik yang dilihat berdasarkan anatomi konflik, karena tidak terdapat
satu pendekatanpun yang secara sempurna mampu menjelaskan sebab terjadinya konflik.Dinamika
tersebut menggunakan pendekatan structural, tingkah laku dan institusional.Pada pendekatan
structural, dinamika terletak pada adanya ketimpangan sumberdaya ekonomi dan politik.Secara
structural tidak terdapat hegemony di kawasan Asia Tenggara, bahkan sebagaimana kajian dari
The fund for Peace hanya Singapura yang masuk dalam kategori Negara stabil, sedangkan Negara
lainnya mendekati gagal. Namun Singapura tidak dapat dikategorikan hegemoni.Ketimpangan
yang ada terdapat pada struktur domestic masing-masing Negara, termasuk Indonesia, dimana
terdapat ketimpangan sumberdaya ekonomi dan politik terutama pada masyarakat perbatasan.
Pada pendekatan tingkah laku; menekankan aspek psikososial, naluri agresi, sosialisasi elit politik
dan factor historis.Pada kawasan Asia Tenggara, meskipun terdapat kebencian sejarah yang
berdampak pada permasalahan territorial, sosialisasi elit politik dan adanya ASEAN Way mampu
meredam konflik.Sedangkan pada pendekatan institusional ; mempersoalkan kemampuan lembaga
internasional untuk menampung aspirasi masyarakat internasional.Dalam hal ini keberadaan
ASEAN mampu menggantikan keberadaan PBB secara regional dengan segala konsepsinya yang
ideal.Ketiga dinamika ini saling berkaitan Sehingga dapat dikatakan pada umumnya konflik
bersifat multicausal sebagaimana yang dikatakan Jones dan Rosen yang disebut dengan ‘sinergetic
causalitas’.10
Synergetic causalitas yang menjadi sebab kompleksitas konflik di Asia Tenggara dapat
dikategorikan sebagai konflik fundamental. Konflik tersebut bersifat antara lain; pertikaian yang
berakar pada perbedaan yang mendasar, dapat bersumber pada soal territorial yang mempunyai
nilai strategis, ekonomi, tradisi/kebudayaan, agama dan nasionalitas. Konflik ini mungkin tidak
berakhir pada menang atau kalahnya salah satu pihak, hanya berupa konsesi antar keduanya,
sehingga memungkinkan konflik ini terulang kembali.

Peran Indonesia
Peran Indonesia sebagai salah satu pendiri dan sebagai pemimpin ASEAN selama ini cukup
penting.Indonesia banyak memberikan masukan terhadap perubahan dan perdamaian ASEAN.
Dynamic Equilibrium yang dicetuskan Indonesia menjadi asas yang melandasi hubungan antar
anggota dan kawasan yang penuh potensi ancaman keamanan ini.Latar belakang sejarah Negara
anggota menjadi bagian kelam yang berpotensi konflik kekinian.Melalui nilai-nilai ASEAN,
Indonesia dimudahkan dalam berperan dikawasan. Peran Indonesia tertuang dalam Arah kebijakan
dan strategi pembangunan subbidang politik luar negeri sebagai berikut:11

10
Walter S Jones, Steven J Rosen, “The Logic of International Relations”, Boston:Little Brown, 1982, p.365
http://www.kemlu.go.id/Pages/Polugri.aspx?l=id, diakses pada 10 September 2012 pukul 22.00 wib
11

103
1. Meningkatkan peran dan kepemimpinan Indonesia dalam ASEAN dan pembentukan Komunitas
ASEAN 2015. Upaya untuk menciptakan peran dan kepemimpinan Indonesia dalam ASEAN
khususnya dalam perwujudan komunitas ASEAN pada tahun 2015 dilakukan melalui antara
lain:
(i) Penyusunan dan pelaksanaan grand design komunitas ASEAN akan digunakan untuk
memperkenalkan rencana aksi Piagam ASEAN dan mendorong komitmen seluruh pemangku
kepentingan di tanah air untuk melaksanakan rencana aksi di bidang ekonomi, politik dan
keamanan, serta sosial dan budaya. Dukungan pemangku kepentingan dalam negeri akan
membantu mendorong peran dan kepemimpinan Indonesia di ASEAN. Dengan posisi yang
akan dijabat sebagai Ketua ASEAN pada tahun 2013, dukungan untuk mempersiapkan
kinerja Indonesia perlu mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh. 
(ii) Peningkatan koordinasi teknis dan pelaksanaan sosialisasi cetak biru ASEAN. Peran dan
kepemimpinan Indonesia di ASEAN ditentukan pula oleh konsistensi Indonesia melaksanakan
cetak biru ASEAN. Untuk itu, koordinasi teknis di antara kementerian teknis dan dengan
pemerintah daerah untuk mengintegrasikan cetak biru ke dalam hukum nasional dan
melaksanakannya merupakan keniscayaan. Di samping itu, sosialisasi perlu dilakukan untuk
meningkatkan komitmen pemangku kepentingan dalam negeri, baik itu pemerintah pusat,
pemerintah daerah, maupun masyarakat. Adanya komitmen dan dukungan pemerintah
pusat dan daerah terutama dalam pembangunan akan membantu memperkecil kesenjangan
pembangunan dengan negara anggota ASEAN lainnya. 
(iii)Partisipasi aktif Indonesia dalam setiap forum ASEAN
Partisipasi aktif Indonesia diperlukan untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan,
menunjukkan komitmen, dan memenangkan pertarungan gagasan untuk mendorong
ASEAN berjalan ke arah yang dikehendaki bersama. 

Mendasarkan diri pada arah dan kebijakan luar negeri, Indonesia dengan keketuaan ASEAN
2011, menetapkan tiga prioritas yaitu; memastikan kemajuan yang signifikan dalam pencapaian
Komunitas ASEAN 2015; memastikan terpeliharanya tatanan dan situasi di kawasan yang
kondusif bagi upaya pembangunan; menggulirkan pembahasan mengenai perlunya visi “ASEAN
pasca-2015”, yaitu peran masyarakat ASEAN dalam masyarakat dunia (ASEAN Community in a
Global Community of Nations).Kebijakan luar negeri dan prioritas inilah yang mendasari Indonesia
sebagai aktor penting dalam mengatur konflik dengan tujuan penyelesaian konflik dikawasan Asia
Tenggara.Keaktifan Indonesia dalam resolusi konflik ini dapat dipahami dan dianalisa sebagai
langkah transformasi konflik.Konflik dapat menjadi alat yang efektif (bargaining) dalam percaturan
internasional yang berfungsi sebagai upaya untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuatan,
memelihara kohesifitas internal dan memperluas hubungan eksternal.
Peran nasional suatu Negara dalam system internasional menurut tipologi Singer dan
Hudson mengidentifikasikan dua level peran nasional Negara, yaitu peran untuk merealisasikan
kepentingan- kepentingan pemerintah atau penguasa (decision making role) dan menentukan adannya
perubahan atau pergeseran posisi suatu Negara mengikuti perubahan-perubahan dalam system
internasional (situationally defined roles). Peran demikian akan menimbulkan masalah apabila isu-isu
seperti keamanan, ekonomi, peran internasional serta kedaulatan menghadapi ancaman. Apabila
muncul ancaman terhadap primary interest tersebut, maka kemungkinan yang timbul kemudian
adalah berbagai situasi anarkis. Situasi anarkis yang timbul dapat berupakonfrontasi (ketika suatu
situasi tertentu mengharuskan suatu Negara berhadapan dalam situasi konfrontasi dengan Negara
lain).Intervensi (ketika suatu Negara memutuskan untuk campur tangan ke dalam persoalan yang
cross boundary dengan pertimbangan, bahwa masalah dinegara tersebut dapat membahayakan

104
kepentingannya).Assistance (dimana suatu Negara memberikan bantuan ke Negara lain dengan
motif untuk melindungi kepentingannya secara tidak langsung). Collaboration; dimana aliansi
dibentuk untuk menghadapi kemungkinan ancaman yang dapat terjadi.12
Berdasarkan arah dan kebijakan luar negeri serta keterlibatan Indonesia selama ini dalam
ASEAN, peran Indonesia dapat dikategorikan sebagai bentuk intervensi. Meskipun secara konseptual
dan procedural terdapat beberapa pemahaman intervensi dalam hubungan internasional, bentuk
intervensi yang dilakukan Indonesia tidak bertentangan dengan bab 7 pasal 39 Piagam PBB yang
berkaitan dengan intervensi. Intervensi merupakan tindakan eksternal yang mempengaruhi tingkah
laku domestic Negara lain. Ada beberapa bentuk intervensi dari yang paling ekstrim berupa invasi
militer sampai pada bentuk terendah berupa pernyataan atau speeches.13Perspektif intervensi yang
dilakukan Indonesia dapat dilihat segi cosmopolitan yang melihat adanya keadilan dalam masyarakat
dan individu sehingga intervensi dapat diterima apabila ditujukan untuk mempromosikan keadilan.
Indonesia sebagai actor Negara dapat melakukan intervensi.14Intervensi yang dilakukan merupakan
bagian dari common humanity yang mendorong perlunya intervensi sebagai aspek kemanusiaan dan
perdamaian.Implementasi dari pernyataan tersebut dilakukan melalui lobbying terhadap pihak-
pihak yang bertikai.Sehingga implementasinya merupakan bagian dari diplomasi.Berkaitan dengan
resolusi konflik yang terjadi dikawasan Asia Tenggara, maka diplomasi yang dilakukan Indonesia
merupakan bagian dari mekanisme preventive diplomacy yang telah diadopsi ASEAN.
Preventif diplomasi dicetuskan sebagai bentuk keterbukaan untuk pencapaian perdamaian
belum sepenuhnya bisa dijadikan alat penyelesaian konflik. Preventif diplomacy merupakan cara
mengisolasi konflik regional dari persaingan Negara-negara adidaya ataupun untuk menjaga
agar konflik tidak meluas. Untuk tujuan tersebut dilakukan dengan membuka jalur komunikasi,
membuka pusat penanggulangan konflik, dan membuat kebijakan yang transparan.Preventive
Diplomacy dipandang sebagai pendekatan komprehensif dalam menangani konflik regional.Pada
pelaksanaannya Preventive Diplomacy memerlukan instrument baik pada saat damai maupun pada
masa krisis. Pada masa damai (peace time measures) yang dapat dilakukan antara lain; membangun
rasa saling percaya diri (Confidance Building Measures), membentuk institusi dan melakukan
peringatan awal (early warning). Sedangkan langkah yang termasuk pada masa crisis adalah :fact
finding, good officers, crisis management dan preventive deployment.Langkah CBM dapat dikategorikan
dalam tiga hal; declaratory measures: suatu pernyataan untuk tidak melakukan penyerangan pertama
dalam bentuk apapun atau dengan tidak menggunakan persenjataan tertentu, Transparency measures;
termasuk didalamnya tukar menukar informasi dan menjalin komunikasi, pemberitahuan aktivitas
militer(notifikasi) serta ijin melakukan observasi / inspeksi sebagai bagian dari kegiatan keamanan
bersama. Constrains measures; sebagai usaha pencegahan dan membatasi resiko.15Kesemua langkah
dan mekanisme tersebut telah diadopsi ASEAN dan disepakati oleh semua Negara anggota.Namun
sayangnya dalam implementasi terdapat kendala adanya realitas kepentingan nasional masing-
masing Negara dengan adanya permasalahan mendasar sebagai potensi ancaman keamanan.
Peran intervensi Indonesia dapat dilakukan melalui peacemaking.Peacemaking mengacu pada
upaya penyelesaian konflik, dengan kondisi telah terjadi violence conflict maupun belum terjadi.
Sehingga ada beberapa langkah dan parameter untuk melihat pelaksanaan peace making tersebut.
Menurut agenda untuk perdamaian, peacemaking merupakan serangkaian konsep yang merupakan
bagian dari diplomasi preventif.Konsep ini dikemukakan oleh Boutros Ghali, saat menjabat sebagai

12
Stephen G Walker, “Role Theory and The Origin of Foreign Policy” dalam Charles F Hermann, Charles W Kegley
Jr dan James N Roosenau (eds), Comparing Freign Policies:Theories, Findings and Methods, Beverly Hills California, Sage
Publication.Inc, 1974 p.282
13
Joseph S. Nye, Jr, “Understanding International Conflict”, NY: Longman, 1997, p.134)
14
R.J. Vincent, “Non Intervention and International Order”
15
Bantarto Bandoro, “ASEAN dan Diplomasi Preventif di Asia Pasifik”, Analsis CSIS volume 6 tahun 1996, hal.511

105
Sekretaris Jendral PBB.Serangkaian konsep ini bermakna bahwa dalam menciptakan perdamaian
tidak hanya sekedar mempertemukan pihak yang berkonflik, namun juga langkah keberlanjutan
agar konflik benar-benar usai dan tidak memunculkan potensi ancaman konflik.Serangkaian
konsep tersebut antara lain, peacemaking, peacekeeping dan peacebuilding.Berdasarkan agenda
untuk perdamaian, peacemaking dirumuskan sebagai “action to bring hostile parties to agreement”.
Peacekeeping sebagai “the deployment of a United Nation presence to the field” dan Peacebuilding sebagai
“action to identify and support structures which will tend to strengthen and solidify peace in order to avoid
a relaps in conflict.”16Maka peran regional peacemaking ini menekankan pada upaya mendorong
pihak-pihak yang bertikai menuju kesepakatan.Artinya dorongan ini bukan hanya dilakukan dan
ditekankan kepada Negara-negara anggota ASEAN, namun juga kepada Negara mitra yang juga
mempunyai kebersinggungan masalah dengan Negara anggota ASEAN seperti China, Jepang dan
Korea. Permasalahan territorial Laut China Selatan merupakan focus keamanan ASEAN karena
menyangkut beberapa Negara. Tindakan unilateral yang dilakukan oleh salah satu pihak terhadap
masalah tersebut akan berdampak terhadap Negara lain dan juga berpengaruh terhadap isu lainnya
seperti ekonomi dan social. Sehingga peran intervensionist regional peacemaking menjadi penting.
Beberapa pencapaian Indonesia dalam pilar APSC dapat dikategorikan sebagai peacemaking
;Indonesia berinisiatif untuk mendorong implementasi Cetak Biru Komunitas Politik-Keamanan
ASEAN guna mewujudkan Komunitas Politik-Keamanan ASEAN. Untuk mendukung
pencapaian APSC, diperlukan manajemen dan resolusi konflik. Disini Indonesia mendorong
dibentuknya ASEANInstitute for Peace and Reconciliation (AIPR) yang  diharapkan menjadi lembaga
pengembangan kapasitas negara-negara ASEAN dalam penyelesaian dan manajemen konflik di
kawasan.Berkaitan dengan isu SEANFWZ Treaty, setelah mengalami kevakuman sekitar sepuluh
tahun demi terciptanya kawasan ASEAN yang bebas senjata nuklir, telah mengalami kemajuan
yang sangat penting dengan diselesaikannya negosiasi dan pembahasan Protokol Southeast Asia
Nuclear Weapon-Free Zone (SEANWFZ) dengan Negara-negara Pemilik Senjata Nuklir pada tahun
2011.Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara (Treaty of Amity and Cooperation)
telah berperan penting sebagai acuan hubungan antarnegara di kawasan. Pada Juli 2011, Kanada
telah mengaksesi Protokol Ketiga TAC, sementara Brasil telah menandatangani Deklarasi Aksesi
terhadap TAC di sela-sela KTT ke-19 ASEAN, 16 November 2011.Pada bidang maritime ASEAN
telah menyepakati perlunya penguatan kerja sama melalui ASEAN Maritime Forum (AMF). ASEAN
juga telah menyepakati pentingnya peningkatan kerja sama maritim dan penanganan kejahatan
lintas Negara secara komprehensif.ASEAN Inter-governmental Commission on Human Rights (AICHR)
telah memulai penyusunan rancangan ASEAN Human Rights Declaration yang diharapkan dapat
disahkan pada tahun 2012. Kerja samaPertahanan juga terus diintensifkan melalui mekanisme
ASEAN Defense Ministers’ Meeting (ADMM) dan ADMM Plus. Beberapa inisiatif kerjasama dalam
kerangka ini adalah pembentukan ASEAN Peacekeeping  Centres Network dan ASEAN Industry Defense
Collaboration.ASEAN juga telah berhasil menyepakati format standar ASEAN Security Outlook (ASO)
yang akan dipublikasikan tahun 2012. ASO diharapkan akan dapat meningkatkan transparansi,
kepercayaan dan pemahaman terhadap kebijakan pertahanan dan persepsi keamanan di antara
Negara-negara anggota ASEAN.Melalui ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crimes
(AMMTC), ASEAN terus memperkuat kerja sama di bidang penanganan kejahatan lintas negara.
Pada bidang pemberantasan terrorisme, sejak Mei 2011 ASEAN Convention on Counter Terrorism
telah mulai berlaku secara efektif.ASEAN juga semakin mengintensifkan upaya pembentukan
suatu instrumen hukum untuk memberantas kejahatan perdagangan manusia (trafficking in persons).
ASEAN telah berhasil menyepakati Guidelines for the Implementation of Declaration on Conduct of
Parties in the South China Sea (DOC) pada Juli 2011 dan memulai pembahasan mengenai elemen-

16
Ibid

106
elemen regional code of conduct  (COC) di Laut China Selatan. Indonesia juga terus memainkan peran
aktif dalam isu ini melalui penyelenggaraan Lokakarya mengenai Laut China Selatan. Lokakarya
ke-21 telah diselenggarakan di Solo, 9-11 November 2011, dimana untuk pertama kalinya Myanmar
berpartisipasi sebagai observer dan sekaligus melengkapi keterlibatan semua participating authorities
dari negara anggota ASEAN.ARF telah memiliki Preventive Diplomacy Work Plan yang akan
meningkatkan kerja sama dari tahap confidence building measures ke arah preventive diplomacy.Pada
bidang kerja sama penanggulangan bencana, Indonesia bersama Jepang telah menyelenggarakan
ARF Disaster Relief Exercise (DiREx)2011di Manado, Maret 2011.Pembahasan mengenai Visa Bersama
ASEAN (ASEAN Common Visa) untuk Non-ASEAN Nationals.17

Penutup
Peran Indonesia melalui Regional Peacemaking dalam pencapaian ASEAN Community dapat
dilihat dari arah dan kebijakan politik luar negeri Indonesia. Peran ini dapat dikategorikan sebagai
bentuk intervensi dengan perspektif cosmopolitan sebagai upaya keadilan dan perdamaian regional.
Peran Indonesia sebenarnya dimudahkan dengan telah adanya instrumen di ASEAN yang terangkum
dalam TAC. Perlu disadari bahwa negara-negara di Asia Tenggara masih berada pada transisi,
sehingga permasalahan domestik masih mendominasi keberadaannya. Hal ini dapat dilihat dari
hasil pengkajian the fund for global peace yang menunjukkan bahwa hanya Singapura yang masuk
pada kategori stabil, sedangkan lainnya dalam posisi waspada sebagai negara gagal. Kekuatan
domestik masing-masing negara menjadi bagian dari proses pencapaian ASEAN Community, hal
ini karena keamanan menjadi pilar penting yang harus dicapai sebelum pembentukan komunitas.
Berbeda dengan Uni Eropa, pembentukan ASEAN tidak mempunyai landasan kesamaan persepsi
tentang keamanan. Selain itu sejarah kolonial yang mewariskan masalah territorial menjadi ganjalan
kesamaan persepsi tersebut. Maka untuk menuju ASEAN Community cukup penting kesamaan
persepsi tentang keamanan dan ancaman keamanan yang tentu saja dengan sedikit mungkin
pengorbanan terhadap kepentingan nasional.

17
http://www.kemlu.go.id/ptri-asean/Pages/News-aspx?IDP=5743&l=id diakses 10 September 2012,
22.15 wib

107
108
PROBLEM STATE-LED REGIONALISM
DALAM TRANSFORMASI ASEAN

Ade M Wirasenjaya
Pengajar Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,
email : [email protected]

Abstract
Two aspects will be discussed in this paper. First, the transformation of ASEAN is strongly influenced by
Hobbesian model on state sovereignty. The construction about architecture and mainstreaming of ASEAN
Community is reflecting this approach. Second, this paper also believes that the transformation of ASEAN is
a form of regional adaptation that is driven by external dynamics rather than the effort to accommodate the
aspirations and interest of ASEAN society itself.
Keywords: Hobbesian model, state-led regionalism, ASEAN community, people-led regionalism.

Pengantar
Perlahan tapi pasti, ruang sosial yang dihadapi setiap bangsa mulai mengalami peluluhan seiring
dengan munculnya globalisasi. Ide dan konstruksi tentang batas (border) kini mulai mengalami
banyak gugatan sehubungan dengan makin menyatunya aspek ruang dan waktu. Kedaulatan
negara semakin mengalami konservasi di sejumlah tempat. Seperti yang akan ditunjukkan di bagian
lain makalah ini, bahkan di sejumlah hutan Asia Tenggara, sudah lama imajinasi dan konstruksi
tentang “border” telah hilang dari transaksi sosial dan ruang kultural masyarakat pedalaman. 1
Dilihat dari dinamika yang berlangsung pada level subaltern, pembentukkan Komunitas
ASEAN merupakan transformasi yang amat rasional mengingat kelompok-kelompok masyarakat
marjinal di kawasan ini telah lama membentuk pola-pola relasi yang unik dan berkelanjutan
(“international relations?”). Dalam konteks ini maka upaya melakukan integrasi komunitas ASEAN
bukan sesuatu yang a-historis. Kini tinggal bagaimana arah integrasi ke dalam komunitas ASEAN
tersebut benar-benar merepresentasikan dunia sosial dan kultural masyarakat Asia Tenggara.
Sejak dibentuk tahun 1967, ASEAN menjadi kerjasama regional yang telah memperlihatkan
persitensinya dalam dinamika hubungan internasional yang semakin cepat berubah. Terlihat
dengan jelas, bahwa kelompok regional ini amat kuat memegang model-model penyelesaian
konflik khas Asia yang menempatkan harmoni, kooperasi dan non-intervensi. Patrimonialisme Asia
yang menjadi gaya kepemimpinan di hampir semua negara di kawasan ini, diproyeksikan pada
pengambilan keputusan.
Secara empiris, dinamika di kawasan Asia Tenggara selalu mencerminkan kuatnya pola
penyelesaian yang state-centris dalam berbagai ikhtiar melakukan resolusi atas konflik-konflik
kawasan. Dengan tetap memberi respek pada peran negara dalam setiap penyelesaian sengketa,
dan tetap menjaga kedaulatan pada masing-masing negara, transformasi ASEAN mengalami
tantangan yang cukup besar. Pada saat bersamaan, ASEAN dihadapkan pada makin seringnya isu-
isu non-tradisional muncul di kawasan ini. Isu-isu non-tradisional tersebut mendorong hadirnya
aktor-aktor baru di luar negara.

1
Kebetulan penulis pernah melakukan riset kecil tentang project Heart of Borneo (HoB) yang diinisasi oleh WWF
Kalimantan. Menarik sekali bahwa dalam hal konstruksi tentang hutan dan ancaman lingkungan, tiga negara – Malaysia,
Indonesia, Brunei – nampaknya “tunduk” pada konstruksi civil society. Ketiga negara menjalankan sepenuhnya desain
HoB yang dirancang NGO. Batas negara hampir tidak dikenal oleh penduduk lokal karena HoB telah menkonservasi
kedualtan negara ke dalam hutan Kalimantan. Bahan ini juga merupakan bahan untuk studi penulis.

109
“Regionalism from Above”
Hampir setengah abad berdiri, ASEAN telah menjadi apa yang oleh seorang penulis disebut
“one the most enduring inter-governmental organizations outside Europe” (Beeson, 2007: 216). Di luar
Uni Eropa, inilah kerjasama regional yang dipandang memiliki kemampuan adaptasi dengan
dinamika eksternal dan perubahan yang berlangsung pada level internal kawasan. Daya tahan
ASEAN sebagai kelompok kerjasama regional menjadikannya sebagai sebuah asosiasi yang unik
dan semakin penting, sekurang-kurangnya sebagai sebuah kawasan yang dinamis baik secara
ekonomi maupun politik.
Dilihat secara makro, fase ASEAN sebagai asosiasi kerjasama antar-negara bisa kita bagi
ke dalam dua periode penting. Kedua periode itu menunjukkan pola-pola peralihan, sebelum
kemudian gagasan integrasi komunitas ASEAN muncul pada KTT ke-13 di Singapura (1997). KTT
tersebut nampaknya menjadi titik kulminasi yang penting setelah fase regionalism-making process
pada dua dasawarsa pertama (1960-1980 an) hingga fase developmental-state regionalism pada dua
dasawarsa berikutnya (1980-an hingga sekarang).
Fase pertama menunjuk pada kreasi dan intrusi negara-negara Barat yang membutuhkan zona
penyangga dari konflik ideologis Timur-Barat saat itu. ASEAN dibayangkan sebagai kisah sukses
modernisasi Barat melalui contagion effect dan demonstration effect. Efek pertama menyangkut upaya-
upaya Barat (khususnya Amerika Serikat) dalam menularkan developmentalisme di kawasan Asia
Tenggara dengan cara-cara yang amat pragmatis dan efisien. Efek kedua menyangkut upaya-upaya
kawasan melakukan akselerasi modernisasi. Untuk dua program besar tersebut, jelas kekuatan dan
preferensi negara-negara Barat seperti Amerika tidak akan absen. Asia Tenggara adalah role model
bagi penyebaran modernisasi Barat (Simpson, 2008). Kedua upaya tersebut nampaknya sukses
dijalankan, baik oleh Barat sendiri maupun oleh negara-negara ASEAN.
Fase kedua menunjuk pada akibat langsung dari dampak munculnya konsolidasi negara
sebagai aktor pembangunan (developmental-state) di sejumlah negara Asia, dimana Asia Tenggara
digambarkan sebagai rombongan angsa yang mengikuti si angsa utama Asia, yakni Jepang.2
Beberapa ilmuwan menyebut bahwa regionalisme ASEAN adalah developmental-state regionalism
dimana negara menjadi penentu dan menjadi aktor utama. Developmental-state merupakan model
kebijakan pembangunan yang menempatkan negara sebagai penentu dan eksekutor sekaligus. Dari
sisi isu, model ini lebih memberi perhatian pada aspek ekonomi (Beeson,2007).
Kekuatan hegemonik pada fase pertama, yakni Amerika Serikat, yang memberi instrusi
politik bagi pembentukkan dan road map ASEAN pada masa-masa awal, kini secara perlahan mulai
menghadapi banyak evaluasi, selain juga karena munculnya kekuatan middle-powers dalam politik
maupun ekonomi internasional. Sedang kekuatan hegemonik pada fase kedua, si angsa Jepang,
juga mulai menyusut peran-peran ekonominya sehubungan dengan munculnya kekuatan ekonomi
baru dari Asia seperti Korea Selatan, India, China dan Taiwan. Daya tahan negara-negara ASEAN
menghadapi krisis ekonomi tahun 1997 nampaknya menjadi titik penting bagi ASEAN untuk lebih
bebas membentuk desain dan arsitektur kerjasama, dari yang semua amat longgar menjadi sebuah
kerjasama yang lebih sistematis dan struktural. Inilah yang kemudian melahirkan sebuah prinsip
yang dipegang teguh oleh negara-negara ASEAN, yakni “ASEAN Way” .
Oleh Acharya (2001), “ASEAN Way” didefinisikan sebagai: “...a process of regional interactions
and cooperation based on discreteness, informality, consensus building and non-confrontational bargaining

2
Teori “flying geese” atau angsa terbang begitu populer bagi pengkaji teori pembangunan dan ekonomi-
politik internasional, sebuah model pembacaan untuk melihat kepemimpinan Jepang dalam industri dan
investasi di Asia. Teori ini menyebut Jepang sebagai role model industri Asia, dan menjadi pemimpin
rombongan angsa-angsa di kawasan Asia untuk terbang di belakang Jepang. Lihat misalnya Kaniska Jayasurya
“Southeast Asia’s Embedded Mercantilism in Crisis: International Strategies and Domestic Coalition”, dalam
Andrew TH Tan and Keneth Boudin (eds.), Non-Traditional Security Issue in Southeast Asia, Institute of Defence and
Strategic Institute, Singapore (2001).

110
styles”. Pilihan pada “Jalan ASEAN” nampaknya lahir pada mantra-mantra pembangunan yang
ingin mempercepat akselerasi pertumbuhan ekonomi regional. Di sisi lain, pilihan ini tentu saja
merupakan tak lepas dari problem-problem mendasar yang menimpa hampir semua masyarakat Asia
Tenggara terutama dalam hal hak-hak politik, pertisipasi dan juga posisinya dalam pembangunan
yang seringkali marjinal.
Semenytara itu Kaniskha Jayasurya (2001: 33) menyebut fase kepemimpinan industri Jepang
telah melahirkan fenomena “embedded mercantilism” dimana negara menjadi aktor yang melekat
dalam seluruh bangunan pencapaian ekonomi kawasan. Akibatnya, inisiatif-inisiatif regional selalu
berorientasi pada logika-logika pertumbuhan, juga pada saat yang sama mengkualifikasi aktor-
aktor yang seharusnya terlibat dalam dinamika regional.
Hampir dipastikan, rute Masyarakat ASEAN akan sangat berbeda dengan misalnya, rute
Masyarakat Eropa. Sangat boleh jadi, pada ME, ada semacam keinginan untuk menjadi blok
resistensi dari laju dan pengaruh Amerika Serikat. Pada rute Masyarakat ASEAN, sebagaimana
sering muncul dalam sejumlah dokumen hasil serial KTT, persistensi nampaknya menjadi target
besar – yakni bagaimana transformasi ASEAN sebagai penyangga kapitalisme pinggiran –bisa
terus dipelihara. Dengan cara pandang seperti ini, rute Masyarakat ASEAN sebenarnya terbilang
ambisius, karena ia ingin mengakomodasi berbagai perubahan pendulum ekonomi-politik di luar
dirinya. Barangkali hanya satu yang mengalami eksklusi dari rute itu: yakni upaya mengakomodasi
berbagai tuntutan, perubahan dan bangunan persepsional masyarakat ASEAN pada level grass-
roots.
Pertanyaan yang kemudian relevan untuk diajukan adalah: siapa pemimpin angsa terbang itu
saat ini? Jawaban atas pertanyaan itu kini semakin sulit, dan nampaknya harus mengalami semacam
kategorisasi. Masing-masing isu yang kini populer dalam hubungan internasional seperti Hak-
hak Ekonomi, Sosial, Budaya (Ekosob) dan perubahan iklim kini memiliki rejimnya sendiri-sendiri.
Berbagai project perubahan iklim di sejumlah negara ASEAN kini menalilkan hubungan yang cukup
erat dengan negara-negara Eropa seperti Finlandia dan Norwegia. Isu-isu keamanan baru seperti
terorisme membuat sejumlah negara begitu dekat dengan Australia. Dengan lanskap semacam itu,
sebenarnya tidak ada lagi kekuatan eksternal yang dominan di ASEAN. Ini juga memberitahukan
tentang momentum yang tepat dan strategis untuk memperluas cakupan, dimensi dan proyeksi
integrasi ASEAN 2015 yang datang.
Berbagai isu baru dalam lingkup regional mulai muncul sebagai akibat langsung globalisasi
dan kehadiran aktor-aktor di luar negara yang semakin artikulatif membentuk komunitas di luar
radar negara. Kekuatan masyarakat sipil seperti kaum aktivis telah merancang inisiatif-inisiatif
yang menghubungan berbagai elemen dan isu yang melintas-batas negara. Isu-isu semacam buruh
migran, perubahan iklim, hutan, perdagangan manusia dan perempuan, hak-hak Ekosob dan juga
isu-isu kaum minoritas termasuk terorisme, merupakan isu-isu baru yang sangat terkait dengan
desain komunitas ASEAN.

Menegosiasikan Kedaulatan
Kebutuhan terbesar dari rencana pembentukkan komunitas ASEAN (ASEAN Community)
adalah pada soal bagaimana transformasi tersebut memberi perimbangan antara respon atas
dinamika eksternal pada satu sisi dan akomodasi atas tuntutan internal dari masyarakat Asia
Tenggara sendiri.
Prinsip tidak mencampuri urusan dalam negeri negara lain yang selama ini dipegang sebagai
tatakrama regional oleh ASEAN nampaknya mulai harus direvisi. ASEAN harus memiliki
kualifikasi dan kategorisasi yang jelas tentang konstruksi masyarakat ASEAN yang diharapkan
sebagai penopang integrasi. Selama ini terdapat benturan persepsional menyangkut sejumlah isu

111
besar seperti penegakkan hak asasi manusia dan demokrasi.
Begitu juga dalam menghadpi isu-isu potensial (incoming issues) seperti bencana kabut asap.
Kasus ini pernah menjadi isu yang menyita perhatian hebat tahun 1997-1999. Ketegangan terjadi
antara Indonesia, Malaysia dan Brunei Darusalam. Indonesia dianggap sebagai biang keladi dari
bencana tersebut. Pada saat itu tidak ada upaya ASEAN untuk mengatasi ini. Selain karena tidak
memiliki instrumen yang jelas, ASEAN meyakini bahwa Negara-negara tetangga yang paling
dirugikan seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei cenderung menyikapi melalui protes dengan
gaya diplomasi yang sangat sopan. Beberapa bantuan dan asistensi juga ditawarkan oleh Malaysia
dan Singapura.
Keterbatasan pendekatan state-centris menyisakan problem representasi. Artinya, cara pandang
negara akan lebih banyak ditentukan oleh kalkulasi politik dan teknokrasi lingkungan hidup.
Padahal dalam penanganan masalah kabut asap misalnya, persoalannya jauh lebih kompleks.
Aspek-aspek vernacular seperti pandangan dunia (world view) komunitas hutan, persoalan ekonomi
dan sosial yang dihadapi pada masyarakat pedalaman, jauh dari bayangan negara. Legitimasi
negara untuk merepsentasikan masalah lingkungan juga seringkali menjadi persoalan. Lintas-batas
manusia di hutan yang berbatasan langsung dengan negara tetangga seperti di hutan Kalimantan
memiliki habitus yang telah lama terbentuk dimana hutan telah menjadi medium identifikasi yang
melampaui batas-batas administratif sebuah negara.
Berbagai upaya penanganan lingkungan di kawasan ASEAN mencerminkan pendekatan realis
dimana dominasi aktor negara masih sangat kuat. Dalam rangka untuk menyelesaikan masalah
polusi asap misalnya, negara-negara ASEAN telah melakukan beberapa upaya dan akhirnya pada
tahun 2002 ASEAN menyepakati sebuah komitmen bersama yang disebut ASEAN Agreement on
Transboundary Haze Pollution. Dalam agreement ini setiap negara yang meratifikasi berkomitmen
untuk ikut menyelesaikan masalah polusi asap di kawasan Asia Tenggara yang sebagian besar
akibat kebakaran hutan di Indonesia (Ahmadi, 2009).
Sementara itu, upaya yang mengarah kepada bagaimana kedaulatan dinegosiasikan (negotiating
souvereignty) diam-diam berlangsung di level masyarakat sipil (civil society). Terobosan berlangsung
ketiga tiga negara di kawasan ini -- Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam – mendesain sebuah
proyek bersama dalam tajuk “Heart of Borneo (HoB)”. Pada dasarnya, proyek ini merupakan upaya
ketiga negara melihat sisi paling problematis dalam masalah lingkungan, yakni hutan. Disamping
ingin mengembangkan konservasi hutan Kalimantan yang amat luas, HoB didesain sebagai upaya
ketiga negara membagi komitmen untuk menjaga sustainibilitas hutan Kalimantan sebagai paru-
paru dunia. Pada 12 Februari 2007, proyek HoB diluncurkan (WWF Indonesia, April 2010)..
Desain HoB merupakan upaya persuasi dan kontruksi dari World Wild Fund (WWF) Indonesia yang
kemudian dijadikan model penyelamatan hutan di sejumlah kawasan di dunia.
Dalam isu hak asasi manusia, jejaring masyarakat sipil ASEAN yang bergiat dalam isu tersebut
kini aktif mengajukan proposal pendirian Badan HAM ASEAN. Badan ini mencoba mengadopsi
lembaga serupa yang sudah mapan di Eropa. Namun, proposal tersebut masih terbentur karena
perbedaan persepsional dan visi penegakkan HAM di antara negara-negara ASEAN sendiri
(HRWG, 2011). Dua isu ini – lingkungan dan HAM, memberi gambaran tentang pada aspek mana
sebenarnya kedaulatan negara masih diberlakukan dan pada aspek mana yang mulai mengalami
peluluhan. Barangkali karena isu HAM masih terkait langsung dengan kekuasaan sejumlah
negara di kawasan ini, negara-negara HAM menggunakan asas “menghormati kedaulatan” untuk
menghindari konflik. Sementara pada isu lingkungan, gagasan tersebut nampak tidak cukup kuat
digunakan. Bahkan dalam isu lingkungan, pengarusutamaan (mainstreaming) justru dilakukan oleh
kalangan masyarakat sipil dan negara mengikuti semua desain, skope dan juga aksi yang dirancang
masyarakat sipil.

112
Nampaknya mulai ada upaya-upaya untuk menegosiasikan kedaulatan pada beberapa isu
yang muncul dalam hubungan antar bangsa kontemporer. Dalam Deklarasi yang ditandatangani
sepuluh pemimpin ASEAN di Cha-am Hua Him, Thailand, tahun 2009, disepakati tentang road
map ASEAN. Peta jalan itu memberi arah yang jelas tentang arsitektur kawasan Asia Tenggara
menjelang dibentuknya komunitas ASEAN tahun 2015 yang akan datang. Hal ini sejalan dengan
gagasan tentang pembentukkan sebuah rezi. Pempel (dalam Jakasurya, 2001) mengajukan kerangka
dasar mengapa sebuah rejim begitu penting untuk membangun aransemen baru di luar batas
negara. Sebuah rejim harus memiliki tiga komponen dasar: adanya aliansi sosial-ekonomi, hadirnya
institusi politik-ekonomi dan dimilikinya strategi kebijakan publik.
Cita-cita integrasi masyarakat ASEAN hanya bisa dilakukan melalui upaya menegosiasikan
kedaulatan dari masing-masing aktor yang ada di kawasan. Sampai makalah ini ditulis, berbagai
negosiasi kedaulatan negara sudah berlangsung dalam kasus transisi demokrasi di Myanmar dan
perundingan bersejarah pemerintah Filipina bangsa Moro di Filipina Selatan. Pada gilirannya,
sebagaimana keyakinan pandangan Kantian dalam ide tentang peran negara, kedaulatan negara
semakin lama semakin kabur. Namun untuk mentransformasikan kedaulatan negara pada aspek-
aspek non-tradisional, namppaknya pendekatan state-led regionalism sudah harus jauh-jauh
ditinggalkan. Masyarakat ASEAN hanya bisa terwujud jika pola-pola regionalisme berubah, dari
regionalism from above menuju regionalism from below, dari state-led regionalism menuju people-led
regionalism***

Referensi
Ahmadi, Sidik, Isu Haze Pollution dan Kebijakan Non-Intervensi ASEAN, Jurnal Hubungan Internasional,
Departemen Hubungan Internasional UMY, Vol 2/2009.
ASEAN Secretariat, Roadmap for an ASEAN Community 2009-2015, Jakarta, 2009.
Beeson, Mark, Regionalism and Globalization in East Asia: Politics, Security and Economic
Development, 2007
Boutin, Keneth dan Tan, Andrew, Non-traditional Security Issues, Institute of Defense and Strategic
Studies, Singapore, 2001.
Linklater, Andrew, The Transformation of Political Community, Polity Press, 1998.
Simpson, Bradley, Economic With Guns, Stanford University, 2008.

113
114
MEMAHAMI ASEAN COMMUNITY DENGAN TEORI-
TEORI INTEGRASI INTERNASIONAL: FUNGSIONALISME,
NEOFUNGSIONALISME, DAN KONSTRUKTIVISME

Bambang Wahyu Nugroho


Dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

ABSTRACT
Regionalism and regional integration is a middle-way out in managing world order between the difficult (even
utopian) effort to settle a world government and anarchical nature of nation-states relationship. It implies
causes and effects, factors and goals, as well as process and conditions of shifting respect and loyalty of the
government as well as citizens from its established nation-states into a newly regional political institution. It
also discusses on how procedural and consensual processes could be (or could not be) achieved and continued
in particular regional system. Meanwhile, there are two fundamental powers which shape regional integration,
say, internal and external powers. Internal powers means internal cohesion among member countries within
a region, and external powers implies the common interest on the potential threat from extra-regional power
as a shared attention.
To understand about ASEAN Community in term of process and condition of Southeast Asia regional integration,
we will discuss about such aspects with functionalism and neo-functionalism theoretical framework as classic
approaches on regional integration. At least it could make easier comprehension on the topic, especially for
the students. However, many criticisms have made to reveal the limitation of both approaches. Therefore we
need to develop our analysis using a more recent constructivist approach. By the framework, we assume that
ASEAN Community is a product of social construction upon which the cohesivity of the institution could be
better analysed.
Keywords: integration, regionalism, functionalism, neo-functionalism, constructivism.

PENGANTAR: KONSENSUS, KEKUATAN, DAN KOMUNITAS POLITIK DI ASEAN


Komunitas politik regional telah lama dikaji sebagai sebuah alternatif “jalan tengah” antara
utopianisme pemerintahan dunia1 dan anarkisme negara-bangsa.2 Intisari kajiannya yakni
identifikasi dan analisis atas mengenai kekuatan-kekuatan pembentuk integrasi komunitas-
komunitas politik di suatu kawasan yang kemudian disebut sebagai komunitas regional. Dua
masalah fundamental yang menjadi pokok kajian integrasi politik regional yakni: Pertama, mengapa
aktor politik (warga negara, badan hukum, atau bahkan pemerintah) di suatu negara memindahkan
(atau tidak memindahkan) rasa hormat dan pengabdiannya kepada satuan politik “baru” di dalam
kawasan mana mereka eksis;3 dan kedua, bagaimana proses konsensus prosedural dan substantif
dapat dicapai dan diteruskan keberlangsungannya di dalam sistem politik regional itu.4
Terdapat dua kekuatan dasar yang mengenai sumber daya integrasi regional yang patut
diperhatikan di sini. Pertama, sebut saja kekuatan endogen. Sistem regional memperoleh dan dapat
mempertahankan kohesivitasnya oleh adanya nilai-nilai bersama yang tersebar luas di antara para
anggota mereka dan adanya kesepakatan umum mengenai kerangka sistem tersebut. Sistem-sistem
seperti itu didasarkan atas persetujuan prosedural, atau kesepakatan umum mengenai kerangka
politik dan proses-proses hukum dengan mana masalah-masalah dipecahkan, dan persetujuan
substantif, atau kesepakatan umum mengenai solusi terhadap masalah-masalah yang hendak
diselesaikan (atau yang tidak akan diselesaikan) oleh sistem regional tersebut. Semakin tinggi

1
Reinhold Niebuhr, “The Illusion of World Government,” Bulletin of the Atomic Scientists, V (Oktober 1949), hal. 289-
292.
2
Hans J. Morgenthau, Politics Among Nations (New York: Knopf, 1978), hal. 499-507.
3
Ernst B. Haas, The Uniting of Europe (Stanford: Stanford University Press, 1958), hal. 16.
4
Ibid.

115
persetujuan prosedural dan substantif tersebut, semakin kuatlah integrasi sistem regional itu. Hal
ini mirip dengan istilah konsensus sebagai pengabsahan (legitimation) sebagaimana dicontohkan
antara lain oleh Henry A. Kissinger yakni kesetimbangan kekuatan klasik di Eropa.5 Kedua, kekuatan
eksogen. Sistem-sistem politik regional menjadi tetap kohesif disebabkan oleh adanya ancaman
kekuatan dari luar kawasan. Asumsinya, integrasi sebuah komunitas politik regional ditentukan pula
oleh persepsi bersama akan adanya tantangan atau ancaman ekstraregional.6 Namun demikian, dari
kedua pandangan tersebut kita dapat menarik sebuah sistesis mengenai proses integrasi regional
sebagai sebuah konstruksi sosial yang dibentuk baik oleh para elit regional maupun proses-proses
sosial yang lebih menyebar (diverse) dan majemuk (pluralistic).7 Analisis konstruktivisme diharapkan
dapat memperbaiki keterbatasan kedua pendekatan sebelumnya.
Dalam tulisan ini, kita akan mencoba memahami seberapa kuat kohesivitas ASEAN Community
sebagai suatu unit politik regional dengan menelaah kedua kekuatan tersebut berdasarkan
senarai teori-teori integrasi regional yang terkemuka, terutama yang menggunakan pendekatan
fungsionalisme, neofungsionalisme, dan konstruktivisme.8 Dengan menelusuri ketiganya kita
berharap dapat memahami problematika yang menyangkut eksistensi ASEAN Community, antara
lain:
• Bagaimana kita dapat memahami homogenitas ASEAN Community di tengah kemajemukan
sosial dan ekonomi ASEAN?
• Bagaimana kita dapat memahami elitisitas ASEAN Community di tengah perkembangan
transnasionalitas di Asia Tenggara?
• Bagaimana kita dapat memahami efektivitas makro ASEAN sebagai stabilisator kawasan di
tengah problem-problem bilateral dan multilateral yang masih rapuh?

Tulisan singkat ini tentu tidak bermaksud untuk menjawab soalan tersebut secara tuntas, namun
lebih merupakan pengantar untuk menuju analisis yang lebih mendalam. Tulisan ini mungkin juga
berguna untuk menuntun pemahaman mahasiswa secara bertahap dari yang paling sederhana
menuju ke pemahaman yang lebih canggih mengenai regionalisme dan integrasi regional.

FUNGSIONALISME DAN INTEGRASI DI ASIA TENGGARA


David Mitrany pernah mengemukakan bahwa sepanjang tahun-tahun antara dua perang
dunia, dan juga masa-masa setelah Perang Dunia II, perkembangan kompleksitas sistem
pemerintahan telah meningkatkan dengan pesat tuntutan-tuntutan teknis non politis yang dihadapi
oleh pemerintah. Tuntutan-tuntutan itu bukan hanya menimbulkan permintaan akan ketersediaan
sumber daya manusia yang terlatih, baik pada level nasional ataupun internasional, yang lebih
teknokratik ketimbang politik, namun juga arti penting masalah-masalah teknis yang berkembang
sepanjang abad ke-20 meningkatkan keperluan untuk menciptakan atau memperbaiki kerangka
kerja sama internasional. Pembentukan organisasi-organisasi fungsional regional diharapkan dapat
menjawab meningkatnya problem-problem teknikal, baik skala maupun bobotnya. Pada gilirannya,
organisasi fungsional regional akan dapat menggantikan, atau setidaknya melengkapi institusi

5
Henry A. Kissinger, A world restored; Metternich, Castlereagh and the problems of peace, 1812-22 (Boston,
Houghton Mifflin, 1957).
6
Thomas Hobbes, Leviathan (Oxford: Basil H. Blackwell, 1967), hal. 109, 174. Ralph Dahrendorf, Class and Class
Conflict in Industrial Society (Stanford: Stanford University Press, 1959), hal. 157, dan Essays in the Theory of Society (Stanford:
Stanford University Press, 1968), hal. 147-150.
7
Alexander Wendt, Social Theory of International Politics (Cambridge: Cambridge University Press, 1999).
8
Sebagian dari pemahaman teoritik dalam tulisan ini, terutama fungsionalisme dan neofungsionalisme dikutip
dan diterjemahkan dari James E. Dougherty dan Robert L. Pflatzgraff, Jr., Contending Theories of International Relations: A
Comprehensive Survey, edisi 5 (New York: Longman, 2001), Bab 10 “Theories of International Cooperation and Integration”.
Untuk pendekatan konstruktivisme disarikan dari Alexander Wendt, ibid.

116
lawas yakni negara-negara-bangsa yang menjadi induknya.9 Dalam teori Mitrany tersebut terdapat
konsep ramification, yakni perkembangan dari kerja sama di satu bidang teknis yang kemudian
merembet ke bidang-bidang teknis lainnya. Artinya, kerja sama fungsional pada satu sektor
menimbulkan kebutuhan untuk bekerja sama secara fungsional pada sektor lainnya. Contohnya,
upaya yang diawali dengan hanya menciptakan pasar bersama (common market) dapat menjadi
patokan (benchmarking) dan pengungkit (leverage) bagi kerja sama selanjutnya, misalnya penetapan
harga, investasi, asuransi, pajak, upah pekerja, perlindungan sosial, keuangan dan perbankan, serta
kebijakan-kebijakan lainnya. Kompatibilitas ini akan meningkatkan kompleksitas interdependensi
yang berperan bagi perdamaian regional.
Integrasi regional juga dapat dipahami sebagai proses dan kondisi. Ernst Haas mendefinisikan
integrasi sebagai suatu proses “yang ditempuh oleh para aktor politik dari sejumlah negara-bangsa
yang berbeda-beda yang terpengaruh untuk menggeser dukungan, harapan, dan kegiatan politiknya
ke suatu pusat baru, yang lembaga-lembaganya memiliki atau menuntut jurisdiksi atas negara-
negara kebangsaan yang telah ada sebelumnya.”10 Haas kemudian juga menegaskan, “integrasi
adalah proses meningkatnya interaksi dan percampuran sedemikian hingga mengaburkan batas-
batas antara sistem organisasi internasional dan lingkungannya yang dibentuk oleh negara-negara
kebangsaan yang menjadi anggota mereka.”11
Para pakar lain yang menganggap integrasi regional adalah sebuah proses dan kondisi, antara
lain yakni Leon N. Lindberg, Donald C. Puchala, Karl W. Deutcsh, Philip E. Jacob, Johan K. de Vree,
James A. Caporaso dan Alan L. Pelowski, serta Amitai Etzioni.
Leon N. Lindberg mendefinisikan integrasi sebagai “(1) proses-proses yang ditempuh bangsa-
bangsa dalam mencegah keinginan dan kemauan untuk mengarahkan kebijakan luar negeri dan
kebijakan domestik kunci secara bebas satu sama lain, dan lebih mencari jalan untuk membuat
kebijakan bersama atau untuk mewakilkan proses pembuatan keputusan kepada para politisi di tingkat
regional; dan (2) proses di mana para aktor politik dari beberapa setting yang berbeda terdorong
untuk menggeser harapan dan aktivitas politiknya ke suatu pusat baru.”12 Selanjutnya, Lindberg
memandang integrasi politik sebagai bagian dari proses yang lebih luas dari integrasi internasional
tempat “pengelompokan yang lebih luas muncul atau tercipta pada level antarbangsa tanpa
menggunakan tindak kekerasan,” dan tempat beradanya “peran serta bersama dalam pembuatan
keputusan berkelanjutan yang tertata,” sebagai suatu hasil, atau suatu bagian dari “evolusi sepanjang
masa dari suatu sistem pembuatan keputusan kolektif antarbangsa.”13 Donald J. Puchala mengajukan
suatu definisi integrasi sebagai suatu “kumpulan proses yang menghasilkan dan mendukung
suatu sistem konkordansi pada tingkat internasional” – yakni, “suatu sistem internasional di mana
para aktornya menemukan proses yang memungkinkan untuk secara konsisten menyelaraskan
kepentingan-kepentingan mereka, mengkompromikan perbedaan-perbedaan mereka, dan meraup
keuntungan timbal-balik dari interaksi mereka itu.”14 Karl W. Deutsch menunjukkan integrasi politik
sebagai suatu proses yang bisa menimbulkan suatu kondisi di dalam mana sekelompok orang telah
“mencapai suatu perasaan sekomunitas yang lembaga-lembaga dan praktek-prakteknya cukup
kuat untuk menjamin, untuk jangka panjang, pengharapan yang digantungkan pada perubahan

9
David Mitrany, A Working Peace System (Quadrangle Book, Chicago, 1966)
10
Ernst B. Haas, loc cit.
11
Ernst B. Haas, Beyond the Nation-State (Stanford: Stanford University Press, 1964), hal. 29.
12
Leon N. Linberg, The Political Dynamics of European Economic Integration (Stanford: Stanford University Press,
1963), hal. 6.
13
Leon N. Lindberg, “Political Integration as a Multidimensional Phenomenon Requiring Multivariate Measurement,”
dalam Leon N. Lindberg dan Stuart A. Scheingold, eds., Regional Integration (Cambridge, Mass.: Harvard University Press,
1971), hal, 45-46.
14
Donald J. Puchala, “Of Blind Men, Elephants and International Integration,” Journal of Common Market Studies, X,
No. 3 (Maret, 1972), hal. 277.

117
damai di dalam suatu wilayah di antara penduduknya.”15 Dia juga berpendapat bahwa integrasi
politik dapat diperbandingkan dengan kekuatan, di dalam mana setidaknya satu aktor bertindak
secara berbeda ketimbang apa yang akan dilakukannya dalam kondisi lain (misalnya jika kekuatan
ini tidak ada).16 Dalam uraian yang lain, Philip E. Jacob menyatakan bahwa integrasi politik telah
“secara umum menimbulkan hubungan ke-komunitas-an antarmasyarakat di dalam entitas politik
yang sama yang memungkinkan adanya kerja sama timbal-balik dalam satu dan lain hal yang pada
gilirannya memberi sebuah perasaan identitas serta kesadaran-diri sebagai komunitas regional.”17
Johan K. De Vree menyatakan bahwa integrasi dapat diartikan sebagai “proses pembentukan
dan pengembangan lembaga melalui mana tata-nilai tertentu dialokasikan secara otoritatif bagi
kelompok-kelompok tertentu dari aktor-aktor atau unit-unit politik.”18 Pendek kata, integrasi
pada level antarbangsa dikonseptualisasikan sebagai pelembagaan proses politik antara dua atau
lebih negara-negara. Menurut James A. Caporaso dan Alan L. Pelowski, integrasi adalam proses
perkembangan struktur-struktur dan fungsi-fungsi baru pada sebuah level sistem baru yang lebih
komprehensif ketimbang sebelumnya, baik secara geografis maupun fungsional.19 Hal-hal ini
mencerminkan suatu perasaan yang tumbuh akan keterhubungan antara dua atau lebih struktur-
struktur politik atau ekonomi. Proses yang memunculkan integrasi dapat diukur menggunakan
indikator-indikator pertumbuhan kemampuan membuat keputusan di dalam sebuah unit politik
regional seperti halnya ASEAN Community. Sementara itu Amitai Etzioni menyatakan bahwa
pemilikan kontrol efektif atas penggunaan kekerasan oleh sebuah komunitas politik menimbulkan
satu kriterium untuk mengukur tingkat integrasi suatu komunitas regional. Menurutnya, komunitas
politik regional memiliki tiga jenis integrasi:
(a) memiliki kendali efektif atas penggunaan cara-cara kekerasan;
(b) memiliki suatu pusat pembuatan keputusan yang mampu mempengaruhi secara berarti alokasi
sumber daya dan penghargaan bagi segenap komunitas regional; dan
(c) adanya identifikasi politik bagi mayoritas luas dari warga di kawasan tersebut.”20

Dalam skema karya Etzioni, unifikasi politik adalah proses di mana integrasi politik sebagai
sebuah kondisi sudah tercapai. Penyatuan memperkuat atau mempercepat pembentukan ikatan-
ikatan antarsatuan yang akan membentuk suatu sistem.21
Dengan demikian, para penulis integrasi memiliki beberapa gambaran yang sama. Semuanya
memperhatikan proses-proses yang menjadikan dukungan bergeser dari satu pusat ke pusat lainnya.
Umumnya, para teorisi intregrasi mempertahankan pendapat bahwa orang menunjukkan perilaku
integratif disebabkan oleh harapan-harapan akan adanya keuntungan atau kerugian bersama. Pada
mulanya, harapan-harapan tersebut dikembangkan di kalangan kelompok-kelompok elit baik di
kalangan pemerintahan maupun swasta.
Pemikiran-pemikiran fungsionalis tersebut di atas sangat tepat untuk memahami proses dan

15
Karl W. Deutsch dkk., Political Community and the North Atlantic Area (Princeton: Princeton University Press, 1957),
hal. 5
Karl W. Deutsch, The Analysis of International Relations (Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall, 1978), hal. 198-199.
16

Philip E. Jacob dan Henry Teune, “The Integrative Process: Guidelines for Analysis of the Bases of Political
17

Community,” dalam Philip E. Jacob dan James V. Toscano, eds., The Integration of Political Communities (Philadelphia:
Lippincott, 1964), hal. 4.
18
Johan K. De Vree, op. cit., hal. 11.
19
James A. Caporaso dan Alan L. Pelowski, “Economic and Political Integration in Europe: A Time series Quasi-
Experimental Analysis.” American Political Science Review, 65, No. 2 (Juni 1975), hal. 421-422.
20
Amitai Etzioni, Political Unification (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1965), hal. 4. “Suatu komunitas politik
adalah suatu komunitas yang memiliki tiga jenis integrasi: (a) punya kendali efektif atas penggunaan cara-cara kekerasan
(meskipun mungkin ‘mendelegasikan’ sebagian dari monopoli ini pada unit-unit anggotanya; (b) punya suatu pusat
pembuatan keputusan yang mampu mempengaruhi secara berarti alokasi sumber daya dan penghargaan bagi segenap
komunitas; dan (c) terdapat pemusatan perhatian dominan pada identifikasi politik bagi mayoritas luas dari warga yang
sadar politik.” Ibid., hal. 329.
21
Ibid., hal. 332.

118
perkembangan integrasi Eropa mulai dari pembentukan European Coal and Steel Community (ECSC)
yang merupakan kegiatan tunggal, bersifat teknis dan fungsional, dan kemudian berkembang
mengait aktivitas teknis fungsional lainnya, dan pada gilirannya merembet menjadi unifikasi politik
dalam format Uni Eropa. Namun di Asia Tenggara yang terjadi tampak sebaliknya. ASEAN yang
didirikan pada tahun 1967 jelas-jelas merupakan organisasi politik regional yang sarat dengan
tujuan politik, dan tujuan teknis fungsionalnya baru berkembang kemudian. Integrasi dalam
ASEAN Community akan berhasil bergantung pada kemampuan masyarakat di negara-negara
anggota ASEAN untuk melakukan internalisasi integratif di jalur integrasi. Harus ditekankan di
sini tentang dampak dari integrasi di satu sektor terhadap kemampuan unit-unit yang berperan-
serta untuk mencapai integrasi pada sektor lainnya. Pada akhirnya, fungsionalisme mengasumsikan
secara luas bahwa integrasi regional adalah suatu gejala multidimensi. Namun demikian, teori-
teori fungsionalisme memang tampak sangat Eropa-sentris, dan masih memerlukan revisi teoritik.
Untuk keperluan inilah analisis berikut ini akan dimulai dengan pendekatan fungsionalisme untuk
mempermudah pemahaman awal kita mengenai integrasi regional, namun kemudian dianalisis
lebih lanjut dengan pendekatan neofungsionalisme untuk mengatasi keterbatasan fungsionalisme
sebagai alat analisis.

ASEAN SEBAGAI KOMUNITAS EKONOMI DAN KEAMANAN


Sampai taraf yang cukup jauh ketimbang para penulis lain mengenai integrasi, Karl W. Deutsch
menggunakan baik teori komunikasi maupun teosi sistem. Komunikasi antarmasyarakat dapat
menghasilkan persahabatan ataupun perseteruan bergantung pada taraf yang dituju oleh ingatan-
ingatan komunikasi dihubungkan dengan banyak sedikitnya perasaan (emosi) yang dilibatkan.
Deustch sangat memperhatikan relasi antara komunikasi dan integrasi komunitas-komunitas
politik.22 Negeri-negeri adalah “rumpun penduduk, yang disatukan oleh kerangka jaringan aliran
sistem-sistem komunikasi dan transportasi, dan dipisahkan oleh wilayah-wilayah pemukiman
yang sedikit penduduknya atau hampir kosong.”23 Masyarakat adalah sekelompok penduduk
yang disatukan oleh suatu kemampuan untuk berkomunikasi tentang banyak hal; mereka memiliki
kebiasaan berkomunikasi yang saling melengkapi. Secara umum, batas-batas negara adalah wilayah
di dalam mana kepadatan penduduk dan komunikasi menurun dengan tajam. Masyarakat menjadi
terintegrasi pada saat mereka saling berhubungan dan saling bergantung. Meminjam Deutsch
dengan kalimat lain, “apabila terdapat gejala kesalingbergantungan mencakup jenis barang dan jasa
yang berbeda-beda dan luas cakupannya, maka patut diduga bahwa kita tengah berurusan dengan
sebuah komunitas ekonomi.”24 Dari sini lah kiranya kita dapat memahami frekuensi dan intensitas
hubungan lintas-batas negara yang meningkat secara signifikan sehingga disebut sebagai pusat-
pusat pertumbuhan. Di Asia Tenggara terdapat berbagai “segi tiga pertumbuhan” yang menjadi
semacam enclave sosial-ekonomi dan justru kemudian ditetapkan secara politis sebagai kawasan-
kawasan ekonomi khusus, semisal Sijori (Singapura-Johor- Riau) yang pada gilirannya mengalami
spill-over menjadi IMS-GT (Indonesia-Malaysia-Singapore Growth Triangle), Aceh, Sumatera Utara,
Langkawi, Kedah, Perlis, Perak, Selangor, Kelantan, Phuket, Songkhla, Saturn, Trang, Pattalung,

22
Dalam karyanya mengenai nasionalisme, Deutsch menulis: “Komunitas yang mengijinkan suatu sejarah bersama
untuk dialami bersama adalah sebuah komunitas kebiasaan komplementer dan merupakan fasilitas bagi komunikasi.
Boleh dikatakan bahwa hal itu mempersyaratkan kelengkapan untuk sebuah tugas. Tugas ini meliputi penyimpanan,
pemanggilan kembali, pengiriman, penggabungan ulang, dan penerapan ulang dari informasi yang relatif berjangkauan
luas, dan ‘kelengkapan’ yang terkandung di dalam ingatan-ingatan, simbol, kebiasaan, pilihan-pilihan yang berlaku,
dan fasilitas-fasilitas yang dipelajari tersebut, yang sesungguhnya akan secara memadai bersifat komplementer untuk
memungkinkan kinerja fungsi-fungsi ini. Suatu kelompok orang yang lebih besar yang dipertalikan oleh kebiasaan komplementer
tersebut dan memfasilitasi komunikasi dapat kita sebut masyarakat.” Nationalism and Social Communication (Cambridge, Mass.:
M.I.T. Press, 1953), hal. 96. (cetak miring dari aslinya.)
23
Karl W. Deutsch, “The Impact of Communication Upon International Relations Theory,” dalam Abdul Said, ed.,
Theory of International Relations: The Crisis of Relevance (Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall, 1968), hal. 75.
24
Ibid., hal. 76.

119
dan Nakhonsithammarat menjadi IMT-GT (Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle), dan Sabah,
Serawak, Labuan, Mindanao, Palawan, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Brunei menjadi BIMP-
EAGA (Brunei-Indonesia-Malaysia-Philippines East ASEAN Growth Area). Pada proses selanjutnya,
fungsi-fungsi integratif ini pun menjadi pilar bagi aransemen perdagangan bebas antarnegara
ASEAN yang dikukuhkan sebagai AFTA (ASEAN Free Trade Area).
Dalam hal komunitas keamanan, Deutsch dan rekan-rekannya menetapkan dua jenis komunitas
keamanan: yakni komunitas keamaan lebur (amalgamated), di dalam mana unit-unit politik bebas
sebelumnya telah membentuk suatu unit tunggal di bawah pemerintah bersama; dan komunitas
keamanan majemuk (pluralistic), di dalam mana pemerintah-pemerintah nasional secara terpisah
masih menjalankan kedaulatan hukumnya. Amerika Serikat adalah contoh komunitas keamanan
yang lebur, sementara A.S.-Kanada atau Prancis-Jerman sejak Perang Dunia II adalah komunitas
keamanan yang majemuk.25
Prestasi makro ASEAN dalam mewujudkan stabilitas keamanan kawasan selama hampir
empat dasawarsa terakhir26 tidak disangsikan lagi, meskipun pada level mikro masih cukup banyak
“pekerjaan rumah” dalam bidang ini. Dalam konteks komunitas keamanan regional, berangkat dari
capaian tersebut, ASEAN hingga saat ini masih berciri sebagai komunitas keamanan majemuk.
Menurut Deutsch, untuk membentuk sebuah komunitas keamanan majemuk, ada tiga kondisi
yang patut ditampilkan, yakni:
(1) kesesuaian tata-nilai di antara para pembuat keputusan,
(2) prediktabilitas timbal-balik dari perilaku di antara para pembuat keputusan pada unit-unit yang
akan diintegrasikan,27 dan,
(3) respons timbal-balik. Pemerintah-pemerintah mesti mampu menanggapi dengan cepat,
tanpa harus mengarah pada kekerasan, terhadap tindakan dan komunikasi yang dilakukan
oleh pemerintah lainnya. Dalam suatu komunitas keamanan majemuk, unit-unit anggotanya
menghindari cara-cara berkekerasan untuk menyelesaikan perselisihan.

Dari pokok pikiran tersebut kita dapat memahami bahwa sampai batas tertentu, tata-nilai
di antara para pembuat keputusan di lingkup Komunitas ASEAN, khususnya dalam penyamaan
atau penyesuaian persepsi mengenai penghindaran cara-cara berkekerasan dalam menyelesaikan
permasalahan antarnegara anggota telah mencapai tahap yang terlembaga dan berkesinambungan,
sekalipun terdapat sejumlah insiden mikro yang menyangkut pertahanan dan keamanan, seperti
bentrokan antara pasukan militer Thailand dan Kamboja, juga beberapa kali ketegangan yang
terjadi antara Indonesia dan Malaysia di batas perairan kedua negara. Namun demikian masalah-
masalah tersebut tidak mengalami eskalasi politik, sehingga secara umum tetap dapat memelihara
stabilitas kawasan. Selain itu, kita juga dapat memahami inklusivitas fungsional Komunitas
Keamanan ASEAN dalam ARF (ASEAN Regional Forum) yang bertujuan memajukan keamanan dan
perdamaian melalui dialog di antara negara-negara Asia Pasifik. ARF diinisiasi oleh ASEAN dan
saat ini melibatkan 27 anggota yakni 10 negara anggota ASEAN, 10 negara mitra dialog ASEAN
(Australia, Kanada, China, Uni Eropa, India, Jepang, Selandia Baru, Korea Selatan, Russia dan
Amerika Serikat), dan beberapa observer (Papua Niugini, Korea Utara, Mongolia, Pakistan, Timor
Leste, Bangladesh dan Sri Lanka.

25
Gagasan Deutsch mengenai sebuah komunitas keamanan adalah komunitas di mana anggota-anggotanya tidak
mempertahankan harapan berperang satu sama lain, namun bukan disebabkan karena keperluan mereka untuk merasa
lebih aman dari serangan eksternal ke dalam dari pada ke luar komunitas tersebut.
26
Sejak berakhirnya perang Vietnam tahun1975.
27
Gagasan ini sama dengan sistem sosial menurut Talcott Parson, di dalam mana orang-orang mengembangkan
harapan-harapan mengenai perilaku satu sama lain. Talcott Parsons dan Edward A. Shils, Toward a General Theory of
Action: Theoretical Foundations for the Social Sciences, 3rd ed. (Edison, NJ: Transaction Publishers, 2007).

120
MENATAP KOMUNITAS ASEAN DALAM BINGKAI NEOFUNGSIONALISME
Neofungsionalisme merupakan anak-keturunan cendekia fungsionalisme. Peranan utamanya
terletak pada pemerincian, modifikasi, dan pengujian praduga-praduga mengenai integrasi. Tulisan-
tulisan kaum neofungsionalis meliputi karya-karya Ernst Haas, Philippe Schmitter, Leon Lindberg,
Joseph Nye, Robert Keohane, dan Lawrence Scheineman. Banyak, namun tak berarti semuanya,
dari tulisan kaum neofungsionalis dipusatkan pada pembentukan dan evolusi Masyarakat Eropa.
Sebagaimana dikemukakan oleh Charles Pentland, mengacu pada literatur neofungsionalis tahun
1960-an, “neofungsionalisme membentuk suatu kecenderungan untuk menyusun teori berjangkauan
menengah (middle-range theory), yang memampukannya untuk menempatkan diri secara lebih awal
dengan suatu uraian yang meyakinkan dan berguna–jika tidak selalu terverifikasi – mengenai
situasi-situasi di Eropa.”28 Berlawanan dengan pemusatan perhatian yang lebih komparatif dari
Deutsch dan Etzioni, karya Haas berkenaan dengan kasus-kasus khusus, yang ditelah Haas dengan
menggunakan suatu kerangka teoritik yang rinci. Inti dari karya Haas adalah konsep pelimpahan
(spill-over),29 atau apa yang oleh Mitrany disebut doktrin ramification. Dalam penelitiannya
mengenai ECSC, Haas menemukan bahwa di antara elit-elit bangsa Eropa yang secara langsung
berhubungan dengan masalah baja dan batubara, seara nisbi hanya sedikit yang pada mulanya
menjadi pendukung kuat gagasan pendirian ECSC. Hanya setelah ECSC itu dioperasikan selama
beberapa tahun sejumlah besar pemimpin serikat dagang dan partai politik menjadi pendukung
Komunitas tersebut. Terlebih kelompok seperti itu, dengan keuntungan yang mereka alami dari
ECSC, menempatkan diri mereka menjadi pelopor bagi upaya-upaya lain menuju integrasi Eropa,
termasuk Pasar Bersama. Dengan demikian terdapat suatu kecondongan yang jelas bagi orang-
orang yang telah mengalami keuntungan dari lembaga-lembaga adibangsa dalam satu sektor untuk
mendukung integrasi di sektor-sektor lainnya. “Keputusan-keputusan semula melimpah ke ranah-
ranah fungsional baru, melibatkan lebih banyak masyarakat, mengundang lebih banyak lagi kontak-
kontak dan konsultasi antarbirokrasi, bertemu dengan masalah-masalah baru yang tumbuh dari
kompromi-kompromi semula.”30 Oleh karena itu terdapat sebuah “nalar meluas” yang berperan
dalam “pelimpahan” dari satu sektor ke sektor lainnya. Proses itu adalah satu hal di mana bangsa-
bangsa “mengangkat” kepentingan nasionalnya dalam sebuah untaian integratif yang lebih luas.
Dibangun berdasarkan karya Haas, dan juga karya Mitrany sebelumnya, beberapa pakar telah
melakukan upaya untuk mempertajam teori-teori neofungsionalis mengenai integrasi. Di antaranya
adalah Joseph Nye, yang peranannya nampak dalam mengembangkan sebuah model neofungsionalis
yang didasarkan atas “mekanisme proses” dan “potensi integratif.” Nye mengemukakan kerangka
teoritik yang didasarkan atas pendekatan neofungsionalis yang lebih besar daripada apa yang
dilakukan oleh Haas dan Mitrany, yakni tidak Eropa-sentris. Nye mendasarkan konseptualisasinya
atas suatu uraian mengenai keadaan-keadaan integrasi yang diambil secara khusus dari pengalaman-
pengalaman Eropa dan non-Barat dan memodifikasi besar-besaran dugaan tentang “politisasi
otomatis” serta “pelimpahan.”31
Berdasarkan pokok-pokok pikiran Nye dapat dikemukakan di sini bahwa tujuh “mekanisme
proses” integrasi regional mampu mengkonseptualisasikan ulang dan merumuskan ulang teori
neofungsionalis.

28
Charles Pentland, “Fungsionalism and Theories of International Political Integration,” dalam A. J. R. Groom dan
Paul Taylor, eds., op. cit., hal. 18.
29
Haas menunjuk pada konsep “pelimpahan” sebagai “logika perluasan sektor-sektor integrasi,” dan menyatakan:
“Jikalau para aktor yang berpikir berdasarkan persepsi yang diilhami oleh kepentingan mereka, berhasrat menyerap
pelajaran integratif yang dipelajari di satu ranah ke suatu situasi baru, maka pelajaran itu akan digebyahkan.” Beyond the
Nation State (Stanford: Stanford University Press, 1964), hal. 48.
30
Ernst B. Haas, “International Integration: The European and the Universal Process,” International Organization,
XV (Musim Gugur, 1961), hal. 372.
31
Joseph S. Nye, Peace in Parts: Integration and Conflict in Regional Organization (Boston: Little, Brown, 1977), hal. 56-58.

121
1. Keterkaitan fungsionalis dari tuntutan-tuntutan, atau konsep pelimpahan. Menurut Nye mekanisme
ini tidak meliputi “gejala kerja sama apa pun yang meningkat,” namun hanya gejala-gejala
peningkatan yang berkaitan secara fungsional dengan proses integrasi tersebut, atau tindak
lanjut dari upaya-upaya serius para elit integrasionis untuk mendulang pelimpahan. Dan harus
diingat bahwa jika keterkaitan fungsional tuntutan-tuntutan itu dapat menghasilkan pelimpahan,
maka tentunya juga dapat menghasilkan langkah mundur (spill-back).32 Dengan demikian, maju-
mundurnya pelembagaan Komunitas ASEAN dapat dianalisis dari proses spill-over dan spill-back
ini.
2. Transaksi yang meningkat. Integrasi menuju Komunitas ASEAN mungkin ditandai dengan kenaikan
transaksi perdagangan, pergerakan modal, komunikasi, dan pertukaran masyarakat serta
gagasan-gagasan. Para aktor politik regional menghadapi tuntutan yang berat terhadap lembaga
bersama yang dihasilkan dari meningkatnya volume transaksi. Bisa saja mereka memilih untuk
berhubungan dengan masalah-masalah tersebut dengan basis nasional, atau mereka mungkin
memutuskan untuk memperkuat lembaga bersama. Menurut Nye, “Meningkatnya transaksi
tidak harus membawa menuju suatu perluasan cakupan (cakupan tuntutan) integrasi, namun
mengintensifkan kapasitas kelembagaan sentral untuk menangani sebuah tuntutan khusus.”33
Dalam hal ini pelembagaan Komunitas ASEAN dapat dianalisis dari upaya mereka melakukan
regionalisasi isu, bukan hanya terbatas pada komunike-komunike bersama atau rencana aksi,
namun juga penetrasi isu regional tersebut ke ranah sosial yang lebih luas.
3. Pertalian sengaja dan pembentukan koalisi. Di sini Nye memusatkan perhatian kembali terhadap
konsep pelimpahan, atau yang disebutnya sebagai pelimpahan yang ditekankan (accentuated spill-
over) di dalam mana “masalah-masalah secara sengaja dipertalikan bersama ke dalam suatu
perjanjian serentak, bukan karena kebutuhan teknologi, melainkan karena adanya proyeksi
ideologi dan politik serta kelaikan politik.”34 Di sini kita harus melihat upaya-upaya para politisi,
birokrat internasional, dan kelompok-kelompok kepentingan yang terlibat langsung di dalam
Komunitas ASEAN dalam menciptakan koalisi yang didasarkan atas problem-problem yang
bertalian. Namun perlu diingat, meskipun upaya-upaya tersebut mungkin mendukung integrasi,
barangkali juga menimbulkan efek negatif apabila, misalnya, keberuntungan politik dari
kelompok-kelompok pendukung integrasi tersebut, atau problem-problem yang diidentikkan
dengan integrasi, mengalami kemerosotan. ASEAN masih tampak rapuh ketika misalnya
menghadapi krisis ekonomi global. Pengalaman menghadapi krisis ekonomi tahun 1997 dan
2008 masih menunjukkan spill back ke kepentingan nasional masing-masing negara anggotanya.
4. Sosialisasi Kaum Elit. Sampai sejauh mana kaum birokrat nasional menjadi partisipan dalam
integrasi regional akan ditentukan oleh level sosialisasi mereka. Hal ini penting sebab para
birokrat nasional biasanya khawatir terhadap integrasi regional karena kemungkinan akan
kehilangan kendali nasionalnya. Berdasarkan hal ini, dengan mempertimbangkan heterogenitas
negara-negara ASEAN, tampaknya jalan menuju pelembagaan Komunitas ASEAN yang lebih
substantif dan efektif masih cukup terjal, sebab kaum elit ASEAN sendiri masih menghadapi
banyak perkara-perkara mendasar di negaranya masing-masing, dan lebih dari itu, mereka
memandang bahwa persoalan-persoalan tersebut masih lebih baik mereka hadapi dengan cara-
cara domestik juga.

32
Pengamatan Nye dalam hal ini mungkin cocok untuk menjelaskan merosotnya kelembagaan Uni Eropa tatkala
mereka mengalami krisis finansial. Sebelumnya, terjadi spill-over di mana para elit dan kelompok-kelompok kepentingan
mendapatkan keuntungan pada masa awal integrasi, tetapi kemudian menjadi enggan untuk mengambil langkah-langkah
integratif tambahan ketika laju pertumbuhan merosot. Ketika laju pertumbuhan menurun akibat krisis finansial, sentimen
proteksionis nasional kembali menyala dan para pemerintah merasa ragu untuk meningkatkan kepentingan bersama
karena tentunya mereka khawatir terhadap efek sebaliknya pada peluang kerja, inflasi, neraca, dan masalah-masalah
keuangan.
33
Nye, op. cit., hal. 67.
34
Ibid., hal. 68.

122
5. Pembentukan Kelompok Regional. Integrasi regional dikatakan akan merangsang daya cipta,
baik formal maupun informal, dari kelompok-kelompok non-pemerintah ataupun asosiasi-
asosiasi transasional. Pada ranah ini pelembagaan organisasi regional non pemerintah maupun
asosiasi-asosiasi transnasional di lingkup ASEAN masih relatif lemah. Hanya kepentingan-
kepentingan yang lebih umum lah yang diagregasikan oleh kelompok-kelompok seperti itu
pada level regional, sementara kepentingan yang lebih khusus tetap berada di dalam perhatian
kelompok-kelompok kepentingan pada level nasional.35 Sebagai contoh, telah sejak tahun 1980-
an ASEAN secara umum memandang serius terhadap persoalan kejahatan transnasional yang
meliputi penyalahgunaan dan penyelundupan narkoba, perdagangan perempuan dan anak,
perdagangan gelap senjata, dan terorisme transnasional, namun bukti semakin maraknya kasus-
kasus kejahatan transnasional tersebut menunjukkan bahwa pembentukan kelompok regional
belum cukup berdaya.
6. Daya tarik ideologis-identitif. Pemapanan suatu perasaan akan kesamaan identitas ASEAN
sebagai “the diversity in a community” dan “sharing and craing community” menghadirkan
suatu daya yang sangat kuat dalam mendukung integrasi regional. Menurut Nye, “Semakin
kuat rasa permanen dan semakin besar daya tarik identitasnya, semakin berkurang kemauan
kelompok-kelompok penentang untuk menyerang skema integrasi secara frontal.”36 Di bawah
kondisi seperti itu lah seharusnya negara-negara anggota ASEAN lebih mentolerir kerugian
jangka pendek ketimbang cara lainnya, dan kegiatan bisnis pun lebih memungkinkan untuk
mendapatkan investasi dengan harapan pelakunya akan mendapatkan keuntungan yang
kontinyu, dengan adanya pasar yang luas.
7. Keterlibatan aktor eksternal dalam proses itu. Dalam dunia yang menurut Nye masih menempatkan
negara-bangsa sebagai penting namun “panggungnya semakin dipenuhi aktor non-negara”
maka Komunitas ASEAN perlu menggrarisbawahi arti penting pengaruh pemerintah-
pemerintah asing, organisasi internasional lain, dan juga aktor-aktor non-pemerintah, sebagai
katalis dalam skema integrasi regional. Dalam hal ini ARF dapat menjadi contoh yang cukup
baik untuk menempatkan ASEAN sebagai komunitas keamanan regional yang secara kolektif
berkekuatan menengah, di tengah-tengah tekanan China dan pengaruh India, serta di ranah
global berhadapan dengan kekuatan Russia, Australia, maupun Amerika Serikat.

Yang agak menjadi problem serius bagi Komunitas ASEAN yakni apa yang oleh Nye yang
disebutnya sebagai potensi integratif – yakni, kondisi-kondisi integratif yang dirangsang oleh
“mekanisme proses.” Dalam hal ini dia menetapkan empat kondisi yang berpengaruh terhadap
komitmen asli maupun evolusi lanjut dari suatu skema integrasi.
1. Simetri atau kesetaraan ekonomi dari unit-unitnya. Dalam proses integrasi regional, sesungguhnya
tidak begitu masalah apakah terdapat “wilayah-wilayah inti” (“core areas”) yang eksis bagi
integrasi, atau apakah partisipan prospektifnya relatif setara ukurannya. Namun kesenjangan
taraf perekonomian di ASEAN masih menjadi kendala berat bagi penyetaraan ekonomi ASEAN.
Singapura dan Brunei adalah negara berpendapatan tinggi, sementara Malaysia tergolong upper
middle, dan di level lower middle terdapat Thailand, Indonesia, Filipina, dan Vietnam, kemudian
Laos, Myanmar dan Kamboja termasuk low income countries.37 Sebetulnya tidak menjadi masalah
apabila Singapura dan Bruney menjadi wilayah ekonomi inti, sepanjang kepemimpinan
mereka menunjukkan signifikansi berupa peningkatan arus ekonomi timbal-balik intra regional
dibanding ekstraregional.

35
Ibid., hal. 71-72.
36
Ibid., hal. 73.
37
Baca misalnya di http://www.questia.com/library/1G1-300952052/income-inequality-hinders-asean-
integration. Diunduh 5 Oktober 2012

123
2. Komplementaritas tata-nilai kaum elit. Nye mengakui bahwa level kemiripan pemikiran antarelit
pendukung integrasi penting artinya. Buktinya, dia menyatakan bahwa semakin tinggi level
komplementaritas elit, semakin besarlah prospek bagi daya dorong yang didukung menuju
integrasi regional. Dalam mewujudkan hal ini agaknya ASEAN lebih serius. Tampak dari adanya
sejumlah besar lembaga di bawah ASEAN yang mendorong komplementaritas tata-nilai kaum
elit meliputi berbagai bidang.
3. Keberadaan pluralisme. Secara fungsional, kelompok-kelompok tertentu yang pluralis dikatakan
dapat meningkatkan peluang integrasi. Di sini, Nye menunjukkan suatu perbedaan utama antara
pengalaman Eropa Barat dan apa yang dialami oleh Dunia Ketiga, di mana kelompok-kelompok
seperti itu tidak ada. Menurut Nye, “semakin besar pluralisme di semua negara anggota,
semakin baik keadaan bagi sebuah tanggapan integrasi terhadap umpan balik dari mekanisme
proses itu.”38 Namun pada kenyataannya, di dalam masyarakat di negara-negara anggota
ASEAN masih kuat tertanam sikap antipluralisme. Kasus-kasus Rohingya di Myanmar, Pattani
di Thailand, Moro di Filipina, aksi-aksi kekerasan terhadap kelompok minoritas di Indonesia,
merupakan sederet kasus di mana masyarakat Asia Tenggara masih jauh dari pluralisme politik
dan kultural. Apabila tidak segera diperoleh jalan keluar dari kondisi ini, maka hal ini akan
meredupkan pelembagaan Komunitas ASEAN.
4. Kemampuan negara-negara peserta untuk beradaptasi dan menanggapi. Faktor ini dikatakan bergantung
secara vital pada tingkat respon timbal-balik di dalam unit-unit politik yang akan diintegrasikan
ke dalam sebuah entitas regional yang lebih luas. Hipotesisnya, “semakin tinggi tingkat stabilitas
domestik dan semakin besar kapasitas para pembuat keputusan kunci untuk menanggapi
tuntutan di dalam unit-unit politik mereka masing-masing, semakin besar kemungkinan mereka
untuk mampu berperan secara efektif di dalam sebuah satuan integratif yang lebih besar.”
Dalam hal ini sejumlah negara ASEAN masih menghadapi kendala berupa terbatasnya kapasitas
dalam menangani beban masalah-masalah domestik sehingga tekad elit politik regional untuk
mewujudkan “one community in a diverse society” sulit diimplementasikan tanpa meningkatkan
daya adaptasi dan respon regional.

Organisasi ekonomi mikroregional di ASEAN yang terus berkembang menjadi unit-unit


baru memang perlahan-lahan menggerogoti, atau menggantikan, negara-negara bangsa yang ada.
Akan tetapi, organisasi-organisasi ekonomi mikroregional itu bersama-sama dengan organisasi-
organisasi politik makroregional telah berperan bagi stabilitas kawasan. Mungkin hal ini menjadi
sebuah pilihan yang tidak mudah bagi negara-bangsa, karena di satu sisi, sikap “cinta damai” itu
berarti membiarkan perlahan-lahan otonomi kedaulatannya digerus, sekalipun di sisi lain peluang
bagi kesejahteraan masyarakatnya semakin baik. Namun mengingat prasarana ekonomi domestik
maupun prasarana regionalisasi ekonomi ASEAN belum cukup memadai, maka peranan negara-
bangsa sebagai unit politik penting dalam jangka waktu relatif lama ke depan, sebab meskipun
dampak perkembangan teknologi -- khususnya teknologi informasi, telekomunikasi dan transportasi
-- terhadap unit-unit politik yang eksis di ASEAN telah nyata-nyata mengurangi otonomi negara-
bangsa, namun ternyata hanya sebagian dari kekuatan nasional negara-negara anggota ASEAN
yang diredistribusikan di tingkat regional.
Ringkasnya, organisasi-organisasi ekonomi mikroregional telah mengokohkan tautan-tautan
fungsional yang pada gilirannya telah meningkatkan relasi antaranggota. Sementara itu politik
makroregional ASEAN telah mampu memainkan peranan konstruktif dalam mengendalikan
konflik antarnegara antaranggota, walaupun tidak berhasil dalam menangani kasus-kasus konflik
yang utamanya bersifat internal – ini merupakan suatu keterbatasan serius sebagaimana diakui

Nye, op. cit., hal. 82.


38

124
oleh Nye.39 Justru, di sejumlah negara anggota ASEAN, tantangan yang lebih segera bagi sentimen
nasionalismenya pada dasawarsa belakangan ini datang bukan berasal dari globalisasi ataupun
regionalisasi, namun dari kekuatan-kekuatan subnasional sentrifugal para pendukung otonomi
kedaerahan yang dalam beberapa hal menjelma menjadi gerakan pemisahan diri (secession),
kemudian ancaman terhadap pluralitas ASEAN berupa pengucilan atau penindasan terhadap
kelompok-kelompok minoritas yang tak dikehendaki dari sebuah wilayah kebangsaan, dan
perebutan dominasi satu kelompok etnik, bahasa, atau keagamaan oleh kelompok lainnya.

KRITIK TERHADAP FUNGSIONALISME DAN NEOFUNGSIONALISME


Fungsionalisme telah menjadi obyek beberapa jenis kritik dan modifikasi, khususnya
yang dilakukan oleh kaum neofungsionalis. Di antara kekurangan yang dituduhkan kepada
fungsionalisme adalah sebagai berikut:40
(1) memang sulit, jika bukan mustahil, untuk memisahkan aspek-aspek ekonomi dan sosial dari politik;
(2) bahwa pemerintah-pemerintah telah menunjukkan bahwa diri mereka enggan menyerahkan
hal-hal yang menyangkut politik kepada kewenangan internasional;
(3) bahwa tuntutan-tuntutan ekonomi dan sosial tertentu tidak “mencabang” atau “melimpah” ke
sektor politik; dan,
(4) bahwa jalan menuju integrasi politik lebih bergantung pada “tindakan dari kemauan” politik,
ketimbang integrasi fungsional di dalam sektor-sektor ekonomi dan sosial.

Sementara itu neofungsionalisme dianggap tidak cukup mampu memecahkan masalah-


masalah di “bidang-bidang yang bergolak” dalam hubungan internasional, dengan banyaknya
masalah-masalah global di akhir abad ke-20, termasuk masalah besar berupa krisis finansial dan
ekonomi yang melanda Amerika Serikat pada tahun 2008 dan yang menyuramkan nasib Uni Eropa
saat ini. Sementara itu, justru di Asia, perkembangan ekonomi China dan India meningkatkan
potensi mereka bukan hanya sebagai raksasa ekonomi regional, namun juga sebagai pemain penting
perekonomian dunia di masa depan. Dalam kritik lain terhadap fungsionalisme, Charles Pentland
menyimpulkan bahwa setidaknya berdasarkan pengalaman Eropa Barat sejak Perang Dunia II,
terdapat sedikit bukti untuk menyatakan bahwa dengan pertumbuhan teknologi dan ekonomi
sendiri, di sebuah dunia menciut ini, akan menghasilkan integrasi melalui kerja sama fungsional.
“Hubungan antara kebutuhan fungsional dan adaptasi struktural, yang menjadi inti teori itu,
bersifat ‘perlu’ hanya untuk menciptakan sebuah gambaran ideal atau norma, bukan dalam hal
menetapkan arah perubahan.”41 Terlebih, pengaruh-pengaruh dan tekanan-tekanan politik telah
terbukti menjadi sangat penting dalam mendayagunakan proses integrasi di Eropa Barat. Terdapat
sedikit atau tidak sama sekali hal-hal yang bersifat “non-politik” dalam pengalaman integrasi
Eropa Barat sejak Perang Dunia II , meskipun lembaga-lembaga Masyarakat Eropa, yang tepat bagi
pembentukan kesatuan pabean, mungkin tidak relevan bagi problem-problem mendasar integrasi
Eropa Barat – yakni untuk membentuk sebuah federasi politik.
Model integrasi neofungsionalis juga kurang tepat untuk mengkaji sistem-sistem integratif di
Dunia Ketiga. Berlawanan dengan aktor-aktor industri maju, negara-negara Dunia Ketiga mungkin
mempunyai lebih sedikit tujuan yang dapat dipuaskan oleh integrasi. Sebagai contoh, harapan
memperoleh keuntungan ekonomi dari meningkatnya perdagangan, yang didukung dengan
pengurangan atau penghapusan halangan tarif, telah melengkapi dorongan kuat pembentukan
kesatuan pabean, khususnya di Eropa Barat. Namun struktur perdagangan dan produksi di

39
Ibid., hal. 172, 198-199; dan Donald Rostchild, “Ethnicity and Conflict Resolution,” World Politics, XXII (Juli 1970),
hal. 597-616.
40
Dougherty dan Pfaltzgraff, Jr., op. cit.
41
Charles Pentland, International Theory and European Integration (London: Faber and Faber, 1973), hal. 98.

125
sebagian besar Dunia Ketiga, yang secara menyejarah didasarkan atas suplai produk pertanian dan
bahan-bahan mentah ke negara-negara industri maju, telah merintangi prospeknya, dan setidaknya
dalam jangka pendek, bagi komplementaritas ekonomi pada suatu tingkat yang memadai untuk
memajukan integrasi di Dunia Ketiga dengan pembentukan kesatuan-kesatuan pabean atau Pasar
Bersama yang bisa dibandingkan dengan Eropa Barat.42 Bahkan di wilayah seperti Amerika Latin dan
Dunia Arab, di mana terdapat tata-nilai bahasa dan budaya yang sama yang mestinya mendukung
proses integrasi, tetapi buktinya bahwa perekonomian nasional diarahkan lebih ke luar ke kawasan-
kawasan industri dunia ketimbang kepada satu sama lain, menjadikan satu halangan serius bagi
regionalisasi. Oleh karena itu, cara-cara integrasi yang tepat untuk kondisi-kondisi Dunia Ketiga
ini secara substansial berbeda dari apa yang relevan bagi negara-negara industri. Dan model-model
yang diuraikan di dalam bab ini berperan lebih untuk menciptakan penjelasan mengenai kurangnya
integrasi di Dunia Ketiga, sementara luput memandang kekhasan integrasi di Dunia Ketiga tersebut.

MEMAHAMI KOMUNITAS ASEAN DALAM BINGKAI KONSTRUKTIVISME


Dalam bukunya Social Theory of International Politics, Alexander Wendt mengembangkan suatu
teori mengenai sistem internasional sebagai sebuah konstruksi sosial.43 Wendt menjelaskan klaim
sentral pendekatan kaum konstruktivis yang menampilkan pandangan dunia struktural dan idealis
yang kontras dengan individualisme dan materialisme yang mendukung arus utama teori HI. Wendt
membangun teori kultur mengenai politik internasional dengan mendasarkan diri pada pertanyaan
apakah negara-negara memandang satu sama lain sebagai musuh, pesaing, atau teman, yang
menjadi penentu fundamental. Wendt menyebut peranan-peranan ini sebagai “budaya anarki,”
yang memiliki tiga atribut: Hobbesian, Lockean, dan Kantian. Kultur ini merupakan gagasan-
gagasan umum yang membentuk kepentingan dan kapabilitas negara, dan membangkitkan tendensi
dalam sistem internasional. Yang dimaksud dengan kultur Hobbesian adalah suatu asumsi dengan
mana negara-negara memandang satu sama lain pada dasarnya sebagai musuh, kultur Lockean
mengasumsikan bahwa negara adalah saingan bagi negara lain, sedangkan kultur Kantian adalah
asumsi dengan mana negara-negara menganggap satu sama lain sebagai teman. Walaupun secara
umum kedaulatan negara sering diasosiasikan dengan penentuan nasib sendiri (self-determination)
dan kemandirian (self-help), Wendt menekankan bahwa hanya kultur Hobbesian lah yang murni
self-help. Kultur lain mendasarkan diri pada asumsi bahwa logika kultur Hobbesian “kill or to be
killed” tidak lagi relevan dalam mewujudkan perdamaian dujnia dan kesejahteraan umat manusia.
Kemudian dengan mengemukakan tiga tingkatan penetrasi (internalisasi) terhadap kultur tersebut
akan mampu memberikan konstruksi terhadap sistem internasional yang akan dibentuk. Kemudian
terdapat empat faktor yang oleh Wendt dipandang dapat mendorong perubahan struktural dari
satu kultur ke kultur lainnya, yakni kesalingbergantungan (interdependence), perasaan senasib
(common fate), penyerbasamaan (homogenization), dan sikap menahan diri (self-restraint). Contoh
yang relevan dalam kerangka konstruktivis tersebut yakni internalisasi pada derajat yang tinggi
(derajat 3) dari kultur Kantian akan berimplikasi pada sosialisasi konsep identitas kolektif yang
sepadan dengan semangat kekitaan (we-feeling), solidaritas, subyek majemuk (plural subjects),
identitas kebersamaan dalam kelompok (common-in-group identity), berpikir sebagai tim (thinking like
a team), kesetiaan (loyalty), dan sebagainya.44 Dengan demikian, dalam pandangan ini Komunitas

42
Lynn Krieger Mytelka, “The Salience of Gains in Third World Integrative Systems,” World Politics, 25 No. 2 (Januari
1973), hal. 237-243. Lihat juga David Morawetz, “Harmonization of Economic Policies in Customs Union: The Andean
Group,” Journal of Common Market Studies, XI, No. 4 (Musim Gugur, 1970). “Sangat tidak memungkinkan bagi Kelompok
Andean untuk mencapai tahap wilayah mata-uang yang optimum, bahkan untuk sekadar mendekati optimum.” Hal ini
dipatok oleh adanya imobilitas tenaga kerja di dalam dan di antara negara-negara di kawasan itu, prosentase perdagangan
manca yang sangat rendah disebabkan adanya kebijakan substitusi impor, kerawanan berat dalam hal neraca pembayaran
terhadap negara-negara manca, dan perbedaan berarti dalam hal laju inflasi antarnegara anggota.
43
Alexander Wendt, Social Theory of International Politics, op. cit., hal. ix.
44
Ibid., hal. 305. Baca selanjutnya uraian di dalam bab ini.

126
ASEAN akan diasumsikan sebagai hasil dari proses konstruksi sosial yang dibentuk sepanjang
sejarah keberadaannya.
Salah satu pakar kajian Asia Tenggara yang tersohor dan sangat produktif adalah Amitav
Acharya. Menggunakan pandangan konstruktivisme, dia berpendapat bahwa bagi banyak sarjana
Hubungan Internasional, ASEAN adalah sebuah anomali. ASEAN merupakan sekelompok negara-
negara ringkih yang telah menata diri untuk mendapatkan perhatian signifikan dari negara-
negara besar. Kembali soal ARF yang telah saya diterangkan di atas, Acharya menyatakan bahwa
keragaman dan keluasan mitra dialog dan mitra pengamat (observer ) yang tergabung dalam ARF
tidak ada presedennya. Dengan ARF, ASEAN betul-betul memposisikan dirinya sebagai komunitas
yang netral-aktif. Netral dalam arti tidak condong memihak ke salah satu kekuatan besar dunia,
dan aktif, karena justru menjadi pusat dialog keamanan regional yang dapat mempertemukan
kekuatan-kekuatan besar dunia yang berbeda-beda, bahkan sering kali bertabrakan, orientasi dan
kepentingannya. Acharya menambahkan, bagi kaum Realis, peranan ASEAN seperti itu betul-
betul merupakan sebuah anomali struktural. Negara-negara ringkih yang semestinya menjadi
obyek ketimbang subyek bagi negara adidaya, kenyataannya telah mampu menunjukkan kekuatan
sosialisasi ketimbang berspekulasi dengan politik kekuatan.45
Acharya selanjutnya mengemukakan bahwa sejak jaman kuno, Asia Tenggara merupakan
wilayah yang masyarakatnya terpapar oleh pengaruh kuat kebudayaan China dan India, sekalipun
sampai batas tertentu menunjukkan identitas yang secara signifikan berbeda dengan keduanya.
Masyarakat Asia Tenggara tidak membabi-buta dalam menerima hegemoni kultural dari dua
peradaban besar tersebut, dan kemudian melokalisir gagasan-gagasan yang berakar di India maupun
China yang relevan dengan konteks lokal dan mendukung keabsahan serta memberdayakan
masyarakat lokal. Dia kemudian mengembangkan konsep yang disebutnya subaltern universalism
(universalisme lapis bawah), yang merupakan suatu ekstrapolasi dari kajiannya mengenai masa
lampau Asia Tenggara dan agen-agen masyarakat Asia Tenggara yang lebih kontemporer. Konsep
itu menyebutkan bahwa terdapat kemungkinan pihak yang lemah pun bisa memiliki agen; dan
mereka dapat mengkonstruksikan tata regional dan global.46
Berdasarkan argumen itu Acharya berpendapat bahwa sekalipun terdapat kebangkitan
kekuatan raksasa di Asia, khususnya China dan India, ASEAN akan tetap bertahan apabila mampu
mengelola diri untuk memelihara kohesivitas pada derajat tertentu. Faktanya, bahwa kekuatan-
kekuatan besar di Asia tidak menaruh saling kepercayaan untuk mengembangkan sebuah Konser
Kekuatan, namun kekuatan-kekuatan besar tersebut, termasuk Amerika Serikat dan China, jutru
telah menerima sentralitas ASEAN di dalam arsitektur keamanan regional. Tetapi harus diingat
bahwa ASEAN musnah jika kehilangan persatuan dan mengambil posisi di salah satu adidaya
melawan adidaya lainnya. Maka ASEAN harus menyediakan diri sebagai broker keamanan regional
yang terpercaya dan netral, khususnya ketika negara-negara adidaya tidak menaruh kepercayaan
satu sama lain.47 Kita telah menyaksikan kemampuan ASEAN untuk bergeser dari kerangka ideologi
“anti-komunis” di masa awal pendiriannya ke arah yang lebih pragmatis, dan berhasil menarik
masuk bagi negara-negara sosialis dan totalitarian di Asia Tenggara untuk bergabung. ASEAN juga
berhasil menyesuaikan diri dengan perkembangan globalisasi ekonomi dan pasar bebas, sekalipun
kadang dipandang sebagai “terjebak” di tengah arus neoliberalisme global. Pada tahun-tahun
belakangan ini, ASEAN telah sedikit meninggalkan doktrin non-interferensinya. ASEAN juga telah
mengembangkan mekanisme untuk menghadapi tantangan-tantangan transnasional dan konflik

45
Clifford, S. (2011) ‘Theory Talk #42: Amitav Acharya on the Relevance of Regions, ASEAN, and
Western IR’s False Universalisms’, Theory Talks, http://www.theorytalks.org/2011/08/theory-talk-42.html
(10-08-2011)
Ibid.
46

Ibid.
47

127
regional.
Dalam kasus reformasi politik di Myanmar, ASEAN, sampai batas tertentu, mulai tampak
melakukan desakan politis dan memulai merumuskan mekanisme regional untuk mengatasi
problem-problem Hak Asasi Manusia (HAM).48 Namun demikian, Acharya masih mempertanyakan
apakah ASEAN cukup mampu menyesuaikan diri dengan laju perkembangan lingkungan
transnasional ekonomi dan politik. – Apakah ASEAN akan menjadi terlampau lamban?49
Pada tahap inilah menurut saya arti penting percepatan pembentukan Komunitas ASEAN
agar segera terbentuk pada tahun 2015 yang semestinya berdasarkan Visi ASEAN dibentuk tahun
2020. Para pemimpin ASEAN tampaknya menyadari bahwa momentum kecepatan perkembangan
ekonomi Asia dapat menggulungnya apabila tidak cukup cepat beradaptasi.
Meminjam istilah Benedict Anderson, “imagined community”,50 bisa dibilang bahwa ASEAN
yang merupakan kelompok negara-negara yang sangat beraneka ragam, baik ukuran luas negara,
jumlah penduduk, kekuatan militer, kondisi ekonomi, latar budaya, tipe sistem politik, dan
sebagainya, nyatanya mampu mewujudkan bayangan mereka selama 45 tahun terakhir sebagai
kawasan yang damai dan stabil. Konstruksi ini tentu menjadi modal dasar penting bagi pelembagaan
Komunitas ASEAN, karena membentuk sebuah komunitas ekonomi dan keamanan, dua hal pokok
dalam hubungan internasional, bukan sesuatu yang otomatis atau alamiah, melainkan harus
dirumuskan dengan canggih dan diperjuangkan dengan gigih.
Komunitas ASEAN harus dibentuk melalui sosialisasi dan interaksi. Menurut Acharya, hal
inilah yang menjadikan kerangka analisis konstruktivisme sangat cocok untuk memahami ASEAN.
Ketika ASEAN dibentuk pada tahun 1967, China masih berkutat dengan masalah domestiknya
sendiri, sedangkan India pasca perang perbatasan dengan China pada tahun 1962 menjadi lebih
inward looking. ASEAN pun kemudian memiliki kesempatan tumbuh dan eksis. Namun saat ini, di
panggung politik internasional yang lebih luas di Asia Pasifik, di tengah arus kebangkitan ekonomi
dan pertahanan China dan India, masa depan ASEAN kembali bergantung pada kualitas sosialisasi
dan interaksinya. Apabila ASEAN tetap kohesif dan menempatkan dirinya untuk merangkul semua
kekuatan internasional yang penting tanpa memihak dalam konteks persaingan di antara mereka,
maka ASEAN akan tetap eksis, dan dengan demikian, Komunitas ASEAN menjadi semakin penting
secara strategis.
Dengan demikian Komunitas ASEAN telah menempuh suatu alur konstruksi sosial dalam
mengubah kultur Hobbesian yang “semestinya” menjadikan negara-negara Asia Tenggara
sebagai obyek politik internasional kekuatan adidaya sebagaimana pernah terjadi selama berabad-
abad masa imperium China dan India maupun masa kolonial Barat, menjadi sebuah konstruksi
sosial sebagai subyek yang berperan sebagai “tuan rumah” untuk menciptakan dan memelihara
stabilitas kawasan. Hal itu dilakukan dengan menumbuhkan sikap kesalingbergantungan untuk
menciptakan perdamaian karena ASEAN meyakini bahwa perdamaian tidak bisa ditentukan secara
sepihak. Perasaan senasib sebagai negara-negara “tanggung” di tengah pusaran kekuatan global
dan regional dijadikan sebuah konstruksi “senasib sepenanggungan” oleh negara-negara anggota
ASEAN sehingga pada gilirannya juga membentuk homogenisasi dengan mencari celah-celah
kebersamaan di tengah belantara keanekaragaman di hampir semua aspek kehidupan. Perasaan
tersebut juga telah terbukti selama 45 tahun terakhir negara-negara ASEAN mampu menahan diri
untuk tidak mengintervensi urusan dalam negeri anggotanya. Yang terakhir ini sering dipandang
sebagai kelemahan ASEAN, padahal sesungguhnya dalam pandangan ini, sikap tersebut merupakan

48
Baca, antara lain http://www.republika.co.id/berita/internasional/tragedi-rohingya/12/08/18/m8x1zw-asean-
tegur-pemerintah-myanmar. Diunduh tanggal 5 Oktober 2012.
49
Acharya dalam Clifford, op. cit.
50
Anderson, Benedict R. O’G, Imagined communities: reflections on the origin and spread of nationalism. (Verso: London, 1991).

128
kekuatan untuk “berkorban dalam urusan mikro untuk mencapai kemaslahatan makro” kawasan.

SIMPULAN
Menelaah pelembagaan Komunitas ASEAN dengan model fungsional cukup mudah dipahami,
yakni diasumsikan bahwa perkembangan transnasionalitas sektoral dan non-politik pada tahapan
tertentu kemudian mengimbas menjadi kebutuhan untuk memperluas dan akhirnya menjangkau
ranah politik sebagai penguat dan formalisasi integrasi regional ASEAN. Dengan demikian, menurut
pendekatan fungsional, Komunitas ASEAN adalah salah satu milestone pelembagaan integrasi
regional negara-negara Asia Tenggara. Nemun, pendekatan ini dianggap Eropa-sentris, mengingat
bahwa ASEAN dibentuk justru sebaliknya, dimulai dari inisiatif politis-ideologis di masa Perang
Dingin, baru kemudian melakukan perluasan dan pragmatisasi ke ranah non-politik.
Model neofungsionalis lebih sempurna ketimbang model fungsionalis karena dapat
menyediakan suatu kerangka analisis untuk membandingkan proses-proses integratif di kawasan-
kawasan yang lebih dan kurang berkembang di dunia, dan untuk menilai sejauh mana organisasi-
organisasi ekonomi mikroregional, atau yang secara fungsional bersifat khusus memelihara potensi
bagi perkembangan selanjutnya menuju sebentuk federasi. Bangunan model neofungsionalis
dapat dan telah menyediakan proposisi-proposisi teoritik yang lebih eksplisit yang penting untuk
memahami batasan-batasan, dan juga potensi, dalam menjelaskan integrasi dan menyediakan satu
strategi untuk mempercepat proses integrasi. Namun demikian, sementara politik makroregional
ASEAN telah mampu memainkan peranan konstruktif dalam mengendalikan konflik antarnegara
antaranggota, ASEAN tidak berhasil menangani kasus-kasus konflik yang utamanya bersifat
internal. Di sejumlah negara anggota ASEAN masih terdapat tantangan yang berasal dari kekuatan-
kekuatan subnasional sentrifugal dari para para pendukung otonomi kedaerahan yang dalam
beberapa hal menjelma menjadi gerakan pemisahan diri (secession), kemudian ancaman terhadap
pluralitas ASEAN berupa pengucilan atau penindasan terhadap kelompok-kelompok minoritas
yang tak dikehendaki dari sebuah wilayah kebangsaan, dan perebutan dominasi satu kelompok
etnik, bahasa, atau keagamaan oleh kelompok lainnya. Belum lagi termasuk maraknya kejahatan
transnasional seperti penyelundupan, perdagangan obat terlarang dan narkoba, perdagangan
perempuan dan anak-anak, perbudakan manusia, perdagangan gelap senjata, dan sebagainya.
Untuk menjawab persoalan seperti ini kerangka pemikiran neofungsionalis tidak banyak berbicara.
Sementara itu pendekatan konstruktivis mampu menjelaskan ASEAN yang sering dipandang
sebagai anomali dalam politik internasional, di mana sebagai negara-negara lemah (ringkih), atau
negara mediocre (tanggung) seharusnya menjadi obyek bagi kepentingan politik negara-negara besar,
namun kenyataannya ASEAN justru semakin menarik perhatian dan mendapat kepercayaan dari
negara-negara besar yang pada dasarnya saling tidak percaya satu sama lain. Konstruktivisme mampu
menangkap kenyataan bahwa ASEAN selalu mengedepankan semangat kesalingbergantungan
(interdependence), perasaan senasib (common fate), penyerbasamaan (homogenization), dan sikap
menahan diri (self-restraint). Masa depan Komunitas ASEAN terletak pada jawaban atas pertanyaan
apakah ASEAN mampu terus menjadi broker ekonomi dan keamanan yang netral dan dipercaya
oleh negara-negara besar, dan itu semua terletak pada sejauh mana kohesivitas ASEAN terus
dipacu agar tidak ketinggalan oleh laju perkembangan globalisasi ekonomi dan sosial di kawasan
maupun di dunia. Tambahan, Keberhasilan ASEAN melakukan stabilisasi politik kawasan, baik di
lapis pertama (keamanan) maupun di lapis kedua (ekonomi) hendaknya segera diikuti internalisasi
dan sosialisasi secara serius ke lapis ketiga (masyarakat) agar tugas-tugas regional formal ASEAN
mendapatkan legitimasi dan dukungan luas masyarakat Asia Tenggara dalam rangka meningkatkan
kualitas hidup masyarakat serta menghadapi maraknya problem-problem sosial, pendidikan,
keamanan, ekonomi, di lapis ketiga tersebut.(*)

129
130
KOMUNITAS ASEAN 2015 : SURVIVAL, PEACEFULL
COEXISTANCE, GLOBAL CONCERN DAN GLOBAL INTEREST

Andrik Purwasito
Pengajar Prodi Hubungan Internasional, UNS, Surakarta

Pengantar
Kecenderungan mutakhir yang ditandai antara lain dengan adanya krisis ekonomi di Eropa
dan Negara-negara Barat serta goncangan demokratisasi di Negara-negara Timur Tengah, sekarang
order internasional mengalami re-orientasi dan kecenderungan kembali kepada proses regionalisasi
sebagaimana terjadi setelah Perang Dunia Kedua diawali dengan organisasi regional seperti NATO,
SEATO, yang disusul dengan upaya Eropa bersatu, sejak terjadinya penyatuan ekonomi Eropa
yang melahirkan Uni Eropa berdasarkan The Treaty on European Union yang menginisiasi jalan
menuju penyatuan politik, ekonomi dan mata uang. Tata internasional yang mendorong terjadinya
penyatuan kembali juga dipengaruhi oleh penyaturan Jerman dan jatuhnya Uni Soviet bersama
Blok Timurnya, Eropa made necessary a re-thinking of the European project. Sementara itu, di Asia
Tenggara sendiri ASEAN semakin mengokohkan dirinya menuju spirit penyatuan, yang kurang
lebih sama dengan apa yang terjadi di Eropa, sebagaimana tertuang dalam Roadmap for an ASEAN
Community 2009-2015, berbasis Deklarasi Cha-am Hua Hin. Inilah suatu arah perubahan regional
yang sedikit banyak menandai gerakan ke arah kembalinya semangat kubu-kubu regionalism. 1
Apa yang dapat kita petik dari pelajaran tersebut adalah pilihan kebijakan memperkokoh
regionalisme adalah salah satu prioritas yang cerdas, karena memang masa depan penuh
ketidakpastian, sementara setiap negara di suatu kawasan harus berpikir untuk tetap bertahan
terhadap krisis (survive) dan memenuhi kebutuhan hidup bangsa-bangsa di kawasan (self-suffiency),
dibutuhkan tidak saja menjamin kelangsungan hidup berdampingan secara damai (peacefull
coexistance) dan tetapi juga negara-negara di kawasan tersebut mampu menunjukkan eksistensi
serta memainkan peranan dalam percaturan politik internasional (global concern dan global interest).

1. Survive dan Self-suffiencey


Untuk mampu bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan hidup secara mandiri, suatu
bangsa membutuhkan resources (sumber daya) baik sumber daya manusia, sumber daya alam,
maupun sumber daya budaya. Sumber daya tersebut dapat berdaya guna apabila mampu di
kelola secara profesional. Prioritas utama untuk mampu bertahan hidup adalah kemampuan
manajemen mengubah human resource menjadi human capital.2 Keberadaan Komunitas ASEAN
sangat memungkinkan membuka peluang dan tantangan yang positif di masa depan. Oleh sebab
itu, semenjak sekarang, setiap pemerintah Daerah sudah sewajarnya untuk memanfaatkan peluang
dan tantangan tersebut untuk membina SDM setempat memasuki komunitas ASEAN.
Tujuan tersebut akan cepat tercapai dengan bekerjasama dengan Kementerian Luar Negri
dan Perwakilan RI di negara-negara ASEAN yang secara konseptual telah membuat “Masterplan
Percepatan dn Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025” yang didukung

1
Andrik Purwasito, “Masa Depan Bangsa-Bangsa Melayu di Tengah Krisis dan Perubahan Politik Global,” Seminar
Internasional, UUM-UNS, di Surakarta, 2 September 2012
2
Edy Putra Irawadi, dalam kegiatan Sosialisasi Kerja Sama ASEAN dengan tema “Menuju Pembentukan Komunitas
ASEAN 2015” di Jambi, (29/06) diselenggarakan oleh Ditjen Kerja Sama ASEAN bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi
Jambi.

131
dengan “Master Plan on ASEAN Connectivity (MPAC).” Kesiapan tersebut sudah barang tentu
harus dibarengi dengan sistem regulasi daerah yang adaptabel, perbaikan infrastruktur, sarana
dan prasarana bagi kelancaran dunia usaha serta infrastruktur sosial, khususnya peningkatan
kompetensi sumber daya manusia.
Kata “connectivity” menunjukkan arah penyatuan ekonomi secara regional, dan bagi Indonesia
pertanda dibangunnya jaringan bisnis yang menghubungkan kantung-kantung ekonomi Daerah
yang tersebar di berbagai kawasan.

2. Peacefull Coexistance
Perang Dunia adalah tonggak bersejarah perebutan kekuasaan dan hegemoni atas dunia.
Negara-negara kapital menjalankan politik perluasan wilayah pengaruh dengan berbagai cara,
baik bersifat politik agressi militer, politik ekonomi maupun politik prestise. Kini mereka harus
menjalankan industri mereka seperti pesawat tempur, senjata dan peralatan perang sebagai
komoditas dan bukan sebagai alat pertahanan diri. Mereka membutuhkan pasar dan pasokan
cadangan minyak untuk menghidupkan jalannya roda kehidupan di kota-kota metropolis mereka.
Politik hegemoni melahirkan berbagai instabilitas kawasan seperti di Timur Tengah, ketika
demokratisasi sistem politik dan pemerintahan menjadi panglima hegemoni. Krisis politik
sepanjang tahun satu dasawarsa terakhir mulai dari Irak, Tunisia, Libya, Mesir, Yaman, dan yang
tengah bergejolak di Suriah mewujudkan Negara-negara Besar menjalankan politik hegemoni untuk
menjamin keberlangsungan hidup mereka.
Apa yang dapat dipetik dari pelajaran tersebut bagi ASEAN adalah menandai pentingnya suatu
respon strategis guna menanggulangi gelombang politik hegemoni dengan tema yang berbeda,
“demokratisasi” bagi Timur Tengah dan barangkali lebih tepat pembasmian “terorisme” bagi Asia
Tenggara. Geopolitik Asia Tenggara sangat strategis, baik dari segi militer dan ekonomi, oleh sebab
itu, kawasan Asia Tenggara tetap menjadi target operasi bagi Negara-negara Adikuasa.
Yang dapat dilakukan oleh ASEAN adalah bagaimana menciptakan stabilitas ekonomi dan
keamanan regional agar setiap Negara mampu menghormati kedaulatan masing-masing serta
menjaga perdamaian untuk menciptakan hidup bertetangga yang baik melalui berbagai upaya yang
positif dan realistis. Terbitnya blueprint untuk komunitas ekonomi ASEAN , blueprint Komunitas
Sosial-Budaya ASEAN, blueprint untuk Politik dan Keamanan Komunitas ASEAN, dan banyak lagi
dokumen strategis ASEAN lainnya, merupakan roadmap yang siap dioperasionalkan oleh berbagai
komponen warga di kawasan ASEAN dengan kerjasama yang saling menguntungkan dengan
menjunjung tinggi prinsip liberte (kebebasan), egalite (kesederajatan), dan fratenite (persaudaraan).

3. Global Concern dan Global Interest


Sejarah telah menunjukkan bahwa rempah-rempah telah menjadi pusat perhatian dunia. Asia
Tenggara tidak hanya mempunyai “rempah-rempah” tetapi juga pasar yang potensial bagi produk
industrial, serta mempunyai masa depan pertumbuhan ekonomi yang menggiurkan. Untuk itulah,
ASEAN harus mengedepankan kualitas dan standar produk barang dan jasa yang berkualifikasi
internasional.
Melihat potensi pasar, geopolitik dan masa depan, ASEAN pastilah menjadi pusat perhatian
dunia (global concern) sekaligus menjadi kepentingan dunia (global interest). Keunggulan apa yang
kita (ASEAN) miliki haruslah menjadi icon produk, yang tidak hanya produk barang dan jasa, tetapi
juga produk budaya, termasuk falsafah kehidupan yang bisa dijadikan referensi untuk menjalankan
kehidupan secara rukun dan damai.

132
4. Kesimpulan3
Survival, self-sufficiency, peacefull coexistance, global concern dan global interest adalah suatu
kontribusi pemikiran kami demi terwujudnya Komunitas ASEAN di tahun 2015, yang secara
realitis komunitas tersebut mampu memberikan peningkatan kualitas kehidupan bagi warga
ASEAN, mampu mencukupi kebutuhan hidup sendiri bersama komunitas kawasan, menjunjung
tinggi kerukunan dan kedamaian sebagai tetangga yang berdampingan, dan dalam banyak hal
ASEAN mampu menjadi contoh (tredsetter) bagi dunia, seperti pengenalan terhadap pedoman dan
perilaku hidup KeTimuran yang santun dan damai, seni budaya adiluhung, kekayaan hayati yang
tak terhingga, dll. sehingga ASEAN akan menjadi pusat perhatian dunia sekaligus aspek geopolitik
dan demografisnya, ASEAN juga mampu menjadi pusat kepentingan dunia.

3
Tulisan ini disampaikand alam acara KONVENSI NASIONAL ke III, ASOSIASI ILMU HUBUNGAN
INTERNASIONAL INDONESIA (AIHII) di Universitas Muhammadiyah Malang, tanggal 9 Oktober 2012

133
134
KERJASAMA ASEAN
DALAM PENANGGULANGAN TERORISME

Sukawarsini Djelantik
Pengajar Jurusan Hubungan Internasional di Universitas Katolik Parahyangan, Bandung

Abstrak
Sejak peristiwa 11 September 2001, kerjasama internasional melawan terorisme meningkat pesat. Asia
Tenggara merupakan kawasan yang menjadi sasaran dan mitra Amerika Serikat (AS) dalam perang global
melawan terorisme selain Afghanistan dan Timur–Tengah. Mengingat peran Indonesia sebagai safe haven
dan tempat persemaian teroris internasional, maka diantara negara-negara ASEAN, kerjasama dengan
melibatkan Indonesia menjadi sangat signifikan. Teroris Asia Tenggara umumnya berawal dari kota-kota
di Indonesia seperti Jakarta, Bandung dan Solo, untuk kemudian menyebarkan ideologi dan memperluas
rekrutmen ke negara-negara di Asia-Tenggara (Malaysia, Singapura, Thailand Selatan dan Filipina Selatan).
Selain kamp pelatihan teroris di Mindanao, kawasan ini juga memiliki pusat pelatihan di wilayah Indonesia
seperti Aceh dan Sumatera Utara.
Masyarakat internasional semakin menyadari bahwa memberantas terorisme tidak cukup dengan
pendekatan militer dan politis. Tidak kalah pentingnya adalah upaya-upaya sekuritisasi melalui kerjasama
global untuk mempersempit ruang lingkup teroris dan mencegah kaderisasi. Globalisasi dan perkembangan
teknologi informasi memudahkan kelompok-kelompok teroris membangun jaringan internasional, sehingga
memaksa pemerintah di negara-negara ASEAN untuk meningkatkan kerjasama regional. Karena sifatnya
seperti perang gerilya, maka dibandingkan dengan jaringan teroris, kerjasama antar pemerintah masih lemah.
Salah satu upaya regional penting adalah dengan memblokade sumber-sumber keuangan kelompok teroris.
Akan tetapi, efektifitas kerjasama untuk membekukan aset-aset teroris dan untuk mencegah pencucian
uang sangat tergantung pada komitmen negara-negara ASEAN. Keberhasilan beberapa serangan terorisme
menunjukkan bahwa kerjasama dan komitmen kawasan masih perlu ditingkatkan. Ketidakefektifan kerjasama
karena muncul dilemma terkait isu-isu pelanggaran hak asasi manusia. Dalam hal ini, para pengambil
kebijakan pada tingkat nasional perlu menempatkan keamanan bersama di atas kedaulatan negara. Tulisan
ini akan membahas upaya-upaya sekuritisasi kawasan dalam memerangi terorisme selain membahas faktor-
faktor penyebab tidak efektifnya kerjasama regional. Pada bagian akhir dibahas pula keberadaan Jamaah
Islamiyah sebagai salah satu organsiasi teroris paling aktif di kawasan.

Terorisme di Asia Tenggara


Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan yang paling dinamis sebagai lokasi aksi-aksi
terorisme. Perang global melawan terorisme di kawasan ini menyebabkan meningkatnya sentimen
anti-AS di banyak negara. Selanjutnya, tekanan yang dilakukan AS terhadap pemerintah di negara-
negara Asia Tenggara agar memberantas terorisme di negara masing-masing justru meningkatkan
perlawanan terhadap pemerintah sendiri yang dianggap menjadi pengikut AS.1 Aksi-aksi anti-
terorisme yang masih marak terjadi setelah AS mencanangkan perang global melawan terorisme
juga melemahkan peran masyarakat sipil dan mengurangi citra pemerintah yang dianggap tidak
mampu melindungi warga. Kevakuman ini diisi oleh aksi-aksi teror yang semakin meningkat.2
Perang global pasca invasi ke Afghanistan dan Irak telah mengabaikan keamanan manusia yang
untuk jangka panjang dapat berperan mencegah konflik dan meminimalisir terorisme. Selain itu,
program-program anti-terorisme di sejumlah negara justru memakai dana-dana yang seharusnya
dipergunakan untuk keperluan membangun pemerintahan yang bersih, pemberdayaan masyarakat
sipil, mengatasi kemiskinan, pembelaan terhadap hak-hak asasi manusia dan peningkatan
demokrasi.3

1
Sukawarsini Djelantik, Terorisme: Tinjauan Psiko-Politis, Peran Media, Kemiskinan dan Keamanan Nasional,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hal. 102.
2
Non-Traditional Security Threats in Southeast Asia, Policy Bulletin, The Stanley Foundation, 16-18 Oktober 2003.
3
Ibid. hal. 155.

135
Salah satu organisasi terorisme kawasan Asia Tenggara yang paling penting adalah Jamaah
Islamiyah (JI).4 JI memiliki lebih 200 anggota yang terkait atau diduga sebagai jaringan, yang saat
ini tengah menjalani penahanan di Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Filipina. Tujuan akhir JI
untuk mewujudkan pemerintahan yang berlandaskan hukum Islam di Asia Tenggara menjadikan
wilayah-wilayah yang berpenduduk mayoritas Islam menjadi target operasi. JI juga ditengarai
memiliki kaitan dengan kelompok teroris di Timur Tengah khususnya al-Qaida pimpinan Osama
bin Laden. Dibandingkan dengan negara-engara lain di kawasan, Indonesia mengalami ancaman
besar dengan maraknya teror bom di sejumlah tempat terutama pasca tumbangnya pemerintahan
Orde Baru dibawah Soeharto. Sebagai aksi teroris Asia Tenggara yang berbasis di Indonesia, JI
masih merupakan kelompok yang aktif dan berbahaya, meskipun salah satu pimpinan puncaknya,
Hambali, telah ditahan pada bulan Agustus 2003. Organisasi ini mempunyai anggota yang tersebar
diseluruh Indonesia, dan diperkirakan mempunyai ribuan anggota.5 Meskipun telah lebih dari 200
anggota JI yang terlibat atau diduga terlibat saat ini tengah mengalami penyelidikan di Indonesia,
Malaysia, Singapura dan Philipina, akan tetapi JI belum berhasil dilumpuhkan. Kepolisian Indonesia
telah berhasil secara serius menghancurkan jaringan, akan tetapi bom yang meledak diberbagai
lokasi dan penangkapan pelaku menunjukkan bahwa kelompok teroris telah berhasil membangun
sel-sel baru yang beroperasi secara independen. 6
Perang global AS melawan terorisme trelah menggantikan objek kemarahan JI yang sebelumnya
ditujukan melalui konflik agama di Maluku dan Poso di Indonesia. Aksi teror yang terkait dengan
JI dan dianggap terburuk dalam sejarah adalah peledakan bom Bali pada tanggal 13 Oktober 2002,
yang memakan korban jiwa 183 orang dan sejumlah besar lainnya luka-luka. Orang-orang Barat di
Bali dijadikan sasaran baru JI. Peristiwa ini bisa menjadi petunjuk adanya pergeseran serangan dari
orang Kristen kepada orang Barat secara umum. Kebanyakan yang menjadi korban adalah turis
asal Australia, disamping warga negara Indonesia, Perancis, Jerman, Inggeris dan Amerika Serikat.7
Sejak peristiwa bom Bali I kerjasama antar-pemerintah melawan terorisme semakin meningkat,
terutama dengan Australia, mengingat prosentase terbesar korban ledakan adalah warga Australia.8

Upaya-Upaya Sekuritisasi Terorisme di ASEAN


Upaya ASEAN dalam memberantas terorisme dimulai pasca peristiwa 11/9. Dalam lingkup
kawasan, kerjasama sudah dijalin sejak terorisme menjadi isu global yang ditandai dengan semakin
maraknya aksi-aksi terorisme di berbagai belahan dunia. Inisiatif kerjasama ASEAN diawali pada
pertemuan Menteri Dalam Negeri yang diikuti dengan dikeluarkannya dekalarasi ASEAN untuk
aksi-aksi kejahatan lintas negara (ASEAN Declaration on Trasnorganized Crime). Tindak lanjutnya
adalah didirikannya pertemuan tingkat menteri untuk mengatasi aksi-aksi kejahatan lintas negara
(AMMTC). AMMTC diberi mandat untuk mengkoordinir aktivitas dengan badan-badan lainnya
seperti organisasi para menteri hukum dan Kejaksaan agung ASEAN, para pimpinan Kepolisian,

4
Tahun 1993, kepolisian RI telah menangkap Hambali alias Encep Nurjaman, yang dianggap bertanggung jawab
atas serangkaian pemboman di Tanah Air sejak 2000. Peristiwa terbesar yang melibatkan namanya adalah membiayai aksi
pemboman kawasan wisata di Legian, Kuta, Bali, yang menelan korban 202 orang pada 12 Oktober 2002 (Peristiwa Bom
Bali I). Hambali juga dituduh terlibat peledakan Hotel JW Marriott di kawasan Mega Kuningan, Jakarta, yang menewaskan
11 orang, pada 5 Agustus 2003. Lihat http://www.gatra.com/2003-08-22/versi_cetak.php?id=30748, diakses tanggal 31
Juli 2009.
5
International Crisis Group, Jemaah Islamiyah in South East Asia: Damaged but still Dangerous, Asia Report No 63,
26 Agustus 2003, Jakarta/Brussel, 26 Agustus 2003. http://www.icg.org/home/index.cfm?id=1452&1=5, diakses tanggal
22 Maret 2005.
6
Indonesia Changing Face of Terrorism, The Jakarta Globe, lihat di : http://www.thejakartaglobe.com/home/
indonesias-changing-face-of-terrorism/436807, diakses tanggal 20 Juni 2011.
7
http://www.cnn.com/2002/WORLD/asiapcf/southeast/10/13/bali.blast/ diakses tanggal 22 Juni 2004.
8
Bom Bali I terjadi pada tanggal 12 Oktober 2002 di kawasan Kuta, Bali. Serangan ini merupakan aksi terorisme
terburuk yang dialami Indonesia, menelan korban sebanyak 202 orang (sebanyak 88 orang turis Australia, dan 38 warga
Indonesia), dan 240 orang luka-luka. Lihat di: http://www.globalsecurity.org/security/ops/bali.htm, diakses tanggal 10
Juni 2011.

136
para menteri keuangan, direktur jenderal imigrasi dan bea dan cukai, dll, untuk investigasi,
pemeriksaan dan rehabilitasi pelaku kejahatan litas negara, termasuk terorisme internasional.
Peristiwa 11/9 semakin meningkatkan kebutuhan kerjasama kawasan. Dalam lingkup ASEAN,
beberapa kerjasama telah dilakukan antara lain:
1. Menandatangani deklarasikan bersama untuk memberantas terorisme (ASEAN Declaration on
Joint Action to Counter Terrorism) pada pertemuan tingkat tinggi ASEAN tanggal 5 November
2001 di Brunei Darussalam. ASEAN telah secara aktif menjalankan setidaknya dua komponen
utama deklarasi yaitu membentuk jaringan diantara badan-badan penegakan hukum dalam
memberantas terorisme dan saling tukar menukar data intelijen.
2. Menjalankan beberapa pelatihan perang urat syaraf bagi para petugas kepolisian dan intelijen,
cara mendeteksi bahan-bahan peledak (bom), investigasi pasca ledakan, keamanan di bandara
dan keamanan dokumen perjalanan, masalah-masalah imigrasi dan pengawasan perbatasan.
Salah satu pelatihan ini dilakukan pada awal tahun 2004 dengan bantuan dari pemerintah
Australia.
3. Mengadopsi Konvensi ASEAN untuk pemberantasan terorisme dalam ASEAN Security
Community Plan of Action. Instrumen tersebut membuat kerjasama memiliki ikatan hukum.9

Kerjasama Kawasan Melawan Terorisme


Selain intra kawasan, kerjasama juga semakin meningkat dengan negara-negara atau
kawasan lainnya. Masalah ini telah menjadi agenda dalam Forum Regional ASEAN (ARF) yang
terdiri atas 23 anggota di Asia-Afrika termasuk Uni Eropa. Kerjasama termasuk:
1. Penegakan hukum dan agen-agen inetelijen, menekan sumber-sumber keuangan teroris,
memperkuat keamanan di perbatasan termasuk perpindahan penduduk, barang dan dokumen,
dan melalui jalur pipa, termasuk pembajakan di laut dan penyelundupan.
2. Membentuk Inter-sessional Meeting on Counter-terrorism and Transnational Crime (ISM-CTTC)
dalam kerangka ARF. Selain itu, dipromosikan pula kerjasama antar negara dan praktek-
paraktek terbaik dalam mempromosikan keamanan perjalanan di darat, kereta, udara, laut dan
transportasi multi moda.
3. ISM-CTTC juga memonitor dan mendorong partisipasi ARF dalam kerangka hukum internasional
seperti memberikan arahan untuk keselamatan dalam organisasi penerbangan sipil (International
Civil Aviation Organization/(ICAO) dengan memberikan arahan untuk keamanan di udara,
penekanan pada konvensi aksi-aksi kejahatan yang melanggar keamanan lalu lintas di laut.
Diantara negara-negara kawasan, Brunei Darussalam, Myanmar, Philippines, Singapura dan
Vietnam telah menandatangani konvensi SUA, termasuk hukum dalam Organisasi Kelautan
Internasional (International Maritime Organization’s (IMO) dan International Ship and Port Facility
Security (ISPS). 10

ASEAN telah membahas kesepakatan kontra terorisme, baik ancaman kejahatan transnasional
atau keamanan non-tradisional dengan beberapa negara, seperti Australia (Juni 2004), China
(November 2002), the European Union (Januari 2003), India (Oktober 2003), Jepang (November
2004), Federasi Russia (Juni 2004), dan dengan Amerika Serikat (Agustus 2002).
Dibawah deklarasi kejasama ASEAN-Australia, kedua belah pihak juga menyepakati untuk
meningkatkan kerjasama dan hubungan dengan lembaga-lembaga penegak hukum dan keamanan.
Bentuk-bentuk kerjasama termasuk tukar menukar data intelijen termasuk data keuangan kelompok-

9
Ong Keng Yong, ASEAN’S Contribution to Regional Efforts in Counter-Terrorism, http://www.aseansec.
org/17274.htm, diakses tanggal 1 Oktober 2012.
10
Ong Keng Yong, ibid.

137
kelompok terorisme dan aksi-aksi kejahatan yang termasuk dalam pencucian uang. Selain itu,
kerjasama juga dijalin dalam hal keamanan transportasi dan pengawasan di perbatasan negara.
Pertemuan tingkat menteri untuk menanggulangi kejahatan transnasional juga telah dilakukan
dengan tiga negara lainnya (ASEAN plus 3, yaitu Cina, Jepang dan Korea Selatan sejak bulan Januari
2004.11

Terorisme dan Kerjasama Kawasan


Tragedi 11 September 2001 telah meningkatkan kesadaran masyarakat global mengenai
pentingnya kerjasama internasional dan regional. Dilain pihak, globalisasi dan perkembangan
teknologi informasi menyebabkan kelompok-kelompok teroris menyadari pentingnya membangun
jaringan internasional. Dalam hal ini, pemerintah dipaksa untuk mengimbangi dalam skala global
untuk melawan aksi-aksi teroris internasional. Dibandingkan dengan jaringan teroris, kerjasama
antar pemerintah masih lemah. Salah satu upaya yang telah dilakukan adalah dengan memblokade
sumber-sumber dana kelompok teroris. Akan tetapi, efektifitas kerjasama untuk membekukan aset-
aset teroris dan untuk mencegah pencucian uang sangat tergantung pada komitmen negara-negara
di kawasan. Keberhasilan serangan terorisme pasca tragedi 11/9 menunjukkan bahwa kerjasama
dan komitmen internasional perlu ditingkatkan. Ketidakefektifan kerjasama disebabkan munculnya
dilema di negara-negara demokrasi khususnya terkait isu-isu pelanggaran hak asasi manusia. Para
pengambil kebijakan di tingkat nasional perlu menempatkan keamanan bersama di atas kedaulatan
negara. Teroris selalu menemukan sisi lemah kerjasama internasional dan mencari negara-negara
sasaran yang tidak berkomitmen memberantas terorisme.
Era globalisasi dan keberadaan internet memungkinkan teroris melebarkan jaringan. Teroris
juga menyadari inefisiensi dan lemahnya kerjasama antar-pemerintah dalam melawan terorisme.
Kemajuan komunikasi dan transportasi bahkan tidak berhasil meningkatkan efektifitas kerjasama
antar negara. Selain itu, terdapat efek negatif dalam pencegahan terorisme internasional,
misalnya ketika dilakukan aksi proaktif untuk melindungi kepentingan negara-negara lain, justru
menyebabkan kemarahan bagi teroris dan pendukung-pendukungnya. Respons proaktif ini
biasanya memotivasi serangan teroris yang hebat di kemudian hari. Serangan dapat dilakukan
terhadap target yang lemah di luar negara yang melakukan tindakan proaktif tersebut.
ASEAN yang telah menajdi target terorisme menyebabkan diberlakukannya peringatan
perjalanan (travel warning) bagi warga negara AS, Inggris, dan Kanada untuk bepergian di beberapa
negara, khususnya Indonesia dan Filipina. Pada KTT di Cebu, Filipina bulan Januari 2007, kerjasama
internasional kawasan telah mulai dilembagakan.12 Kerjasama sangat diperlukan mengingat ASEAN
memiliki daftar panjang aksi terorisme setelah empat serangan besar di Indonesia sejak Bom Bali
I (2002) dan II (2005), bom di Hotel JW Marriott (2003), bom di depan Kedubes Australia (2004).13
Kerjasama internasional di ASEAN meliputi kesepakatan pertukaran informasi untuk mencari
para tersangka terorisme dengan rencana pembangunan pusat data informasi yang terhubung ke
kepolisian seluruh kawasan.14 Kerjasama seperti ini sangat diperlukan di tingkat operasional guna
memudahkan proses pengadilan, pengevakuasian para tersangka teroris, dan memblokir gerakan
teroris.
Kerjasama internasional juga perlu memperhatikan perbedaan kondisi dan situasi antara
teroris dan pemerintah. Kelompok-kelompok teroris modern cenderung bekerjasama dalam
jaringan yang longgar dan dalam sel-sel yang tidak mengenal satu sama lain. Jaringan terorisme

11
Ong Keng Yong, op.cit.
12
“KTT Ke-12 ASEAN Hasilkan Empat Deklarasi”, Harian Media Indonesia, Minggu 14 Januari 2007.
13
Viva News, http://dunia.news.viva.co.id/news/read/1157-bom_bali_2005, diakses tanggal 1 Oktober 2012.
14
“ASEAN Segera Bangun Pusat Data Terorisme”, Harian Media Indonesia, 15 Januari 2007.

138
konvensional bekerja dalam tingkatan yang berbeda-beda, misalnya dalam kegiatan pelatihan,
intelijen, menyediakan tempat persembunyian (safe haven), dukungan finansial, bantuan logistik,
perolehan senjata, dan pertukaran personil. Di lain pihak, kerjasama antar negara dalam melawan
terorisme terbatas karena mempertimbangkan masalah otonomi dan kedaulatan. Peristiwa
terorisme luar biasa seperti 11/9 menuntut partisipasi banyak negara dalam berbagai kapasitas
untuk menanggulanginya di kemudian hari.
Pemerintah dan teroris mempunyai jangka waktu berbeda. Di negara demokrasi liberal,
kepentingan politis pejabat pemerintah dijabarkan melalui pemilihan umum berikutnya dan
kemungkinan terpilih kembali. Pejabat yang hanya memiliki sisa satu periode kepemimpinan
lagi, misalnya Presiden AS dalam periode kedua, tidak akan terlalu memperdulikan konsekuensi
keputusan yang diambil terhadap hasil pemilu berikutnya. Karena pemerintah berganti, kesepakatan
dengan teroris yang ditandatangani dengan Presiden sebelumnya kemungkinan tidak terpakai
lagi.15
Faktor-faktor diatas menunjukkan kemampuan teroris yang lebih besar daripada pemerintah
dalam menghargai kepentingan bersama dengan cara mensinergikan tujuan. Melalui jaringan
globalnya, teroris dapat mengidentifikasikan target yang lemah. Lebih jauh lagi, teroris dapat
memakai sel terbaik yang dimiliki untuk menjalankan target. Absennya kerjasama antar pemerintah
yang memadai berarti jaringan yang paling rentan ini akan selalu ada.16 Ketidakseimbangan
ini merupakan keuntungan bagi teroris. Pemerintah dan rakyat menjadi sasaran yang empuk,
sementara teroris dan tempat persembunyian mereka tetap menjadi target yang sulit. Teroris
seringkali bersembunyi diantara penduduk biasa di kota-kota besar, sehingga menyebabkan
kerusakan yang lebih besar jika pemerintah melakukan operasi di tengah kota. Sementara ituteroris
tinggal di lokasi-lokasi yang tidak bisa diakses, seperti gua-gua di Afghanistan atau di tengah hutan
seperti para pejuang Moro di Filipina Selatan. Pemerintah harus melakukan penjagaan di sebanyak
mungkin tempat, sementara teroris dapat mengidentifikasikan dan mengarahkan target ke sasaran-
sasaran yang lemah. Hal ini berarti bahwa penjagaan oleh pemerintah berbiaya relatif mahal.
Pemerintah harus beruntung setiap hari jika tidak menjadi target terorisme. Dalam hal ini, teroris
dapat menunggu dan memilih waktu yang paling tepat untuk beraksi, seperti pada peristiwa 11/9.
Padahal pemerintahan yang demokratis memiliki berbagai keterbatasan dalam merespons teroris,
sementara teroris fundamentalis tidak memiliki batasan untuk melakukan aksi sebrutal apapun.
Pemerintah juga memiliki jenjang hirarki, sementara teroris masa kini tidak memilikinya.
Oleh karena organisasi teroris yang tidak terstruktur secara tegas, sel-sel teroris dan kelompok-
kelompok dapat beroperasi sendiri-sendiri. Penyusup dan mata-mata dapat menyebabkan
kehancuran jika struktur pemerintah terbongkar. Kebalikannya, teroris yang tertangkap hanya dapat
memberikan sedikit informasi intelijen mengenai otonomi dan komponen-komponen jaringannya.
Banyaknya sasaran yang perlu dilindungi merupakan kerugian bagi pemerintah, karena berarti
memerlukan koordinasi yang lebih solid. Sementara itu, jaringan sel teroris yang tidak terlalu kaku
menjadikan jumlah yang besar sebagai keuntungan karena berarti lebih banyak sumber daya yang
dapat dipakai.
Ketidakseimbangan lain terdapat dalam informasi. Pemerintah tidak terinformasi dengan
baik tentang kekuatan teroris, sementara teroris dapat dengan mudah menemukan jenis dan
jumlah program anti teror pemerintah. Di beberapa negara demokrasi liberal, informasi-informasi
program pemerintah bahkan dapat diakses dengan mudah selain diumumkan kepada publik.
Ketidakseimbangan ini tercermin dengan jelas ketika pemerintah AS mengumumkan kekuatan
jaringan Al-Qaida dengan mengatakan: “beberapa ratus sampai beberapa ribu anggota”, padahal

15
Enders dan Sandler, op.cit, hal. 142.
16
Todd Sandler, 2003, Collective Action and Transnational Terrorism, World Economy, 26 (6), hal. 779-802.

139
pernyataan itu disampaikan hanya beberapa bulan sebelum terjadinya peristiwa 11/9.17

Keberadaan Kelompok Jamaah Islamiyah


JI dibentuk pada Januari 1993, dan merupakan pecahan dari jamaah Darul Islam (DI) atau
dikenal dengan nama NII (Negara Islam Indonesia). Pembentukan JI terjadi setelah perpecahan
antara Abdullah Sungkar (Ust. Abdul Halim) dan Abu Bakar Ba’asyir (Ust. Abdus Somad) pada
satu sisi dengan Ajengan Masduki pada sisi lain.18 JI akan tetap menajdi sebuah organisasi rahasia
sampai Nasir Abbas, seorang mantan petinggi JI, membuat pengakuan. Pengakuan tersebut
sesungguhnya bukan yang pertama yang pernah disampaikan para mantan anggota JI. Sekitar
September 2003, lima anggota JI pernah mengungkapkan keberadaan JI dihadapan Amidhan dari
Majelis Ulama Indonesia (MUI), Idrus Marham dari Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI),
dan Naufal mewakili Front Hizbullah. Sedikit berbeda dengan Nasir Abbas, kelima mantan anggota
JI menyebutkan bahwa JI dirintis sejak 1992 di Malaysia oleh Abdullah Sungkar dan Abu Bakar
Ba’asyir dengan cikal bakal basis gerakan Darul Islam atau NII (Negara Islam Indonesia).
JI tetap merupakan kelompok yang berbahaya, meskipun penahanan tokoh-tokoh kunci anggota
lainnya telah melemahkan organisasi. Polisi Indonesia dan mitra-mitra kerja internasional telah
berhasil secara sungguh-sungguh merusak jaringan, tetapi penangkapan atas beberapa anggota
jaringan yang terjadi awal September 2012 menunjukkan dengan jelas bahwa organisasi ini tetap
mampu merencanakan dan melakukan operasi besar di ibu kota. Dengan kepemimpinan yang kuat
yang memungkinkan untuk berregenerasi, JI ditengarai mempunyai hubungan dan menerima dana
dari Al-Qaeda. Meskipun memperoleh dana dari luar, tetapi JI sangat independen, dan keputusan
operasional dilakukan secara lokal. Semua anggota senior dari komando sentral telah mendapatkan
pelatihan di Afghanistan pada akhir 1980-an dan awal 1990-an, sebelum JI secara resmi muncul.
Mereka dilatih di kamp latihan yang dibiayai oleh pemimpin Mujahidin Abdul Rasul Sayyaf yang
membangun semangat jihad, kontak internasional, dan kemampuan membunuh.
Para veteran Afghanistan menjadi pelatih dari generasi baru Mujahidin ketika JI membangun
sebuah kamp pelatihan di Mindanao dari 1996 sampai 2000, bekerjasama dengan Front Pembebasan
Islam Moro atau Moro Islamic Liberation Front (MILF). Para peserta dilatih menguasai bahan-bahan
peledak sampai menembak jitu baik untuk anggota-anggota JI maupun anggota-anggota dari
organisasi jihad lainnya dari provinsi-provinsi lain Indonesia, seperti Sulawesi Selatan dan Jawa
Barat. Ini berarti bahwa Indonesia juga harus mengkhawatirkan organisasi lainnya, dimana anggota-
anggotanya memiliki kepandaian melakukan aksi kekerasan melalui teror yang sama tetapi tidak
beroperasi di bawah struktur komando JI.
Anggota-anggota jaringan JI tidak saja memiliki kesamaan ideologi dan mendapatkan pelatihan
yang sama tetapi juga jaringan atas dasar ikatan perkawinan. JI juga tergantung pada jaringan kecil
pesantren, untuk menyebarkan ajaran-ajaran jihad. Saat ini terdapat lebih dari 14.000 pesantren
di Indonesia, tetapi hanya sebagian kecil saja yang berkomitmen terhadap ajaran-ajaran jihad.
Meskipun sedikit, sifat pesantren sangat eksklusif, dan menjadi tujuan para anggota JI mengirimkan
anak-anak mereka bersekolah. Yang paling terkenal adalah Pesantren al-Mukmin, yang lebih dikenal
sebagai Pondok Ngruki yang didirikan oleh Ustadz Abu Bakar Baasyir. Baasyir dipercaya sebagai
Amir JI atau pemimpin tertinggi antara akhir 1999 sampai 2002.
Cita-cita Jamaah Islamiyah untuk mendirikan negara Islam yang meliputi sebagian wilayah
Asia tenggara dengan melalui aksi-aksi kekerasan dan terorisme merupakan sebuah penyimpangan.
Pemerintahan Islam dan penegakan syariat Islam dijadikan dasar perjuangan para pengikut Jamaah

17
Laporan Komisi 11/9, Laporan Akhir Komisi Nasional mengenai Serangan Teroris terhadap AS, edisi
resmi pemerintah, lihat di http://www.gpoaccess.gov/911/index.html, diakses tanggal 24 Januari 2007.
18
Nasir Abbas, 2005, Membongkar Jamaah Islamiyah: Pengakuan Mantan Anggota JI, Grafindo Khazanah Ilmu, Jakarta,
hal. 85 dan 92.

140
Islamiyah hingga saat ini. Sejarah mencatat, bahwa misi yang sama juga pernah diperjuangkan
di Indonesia. Kelompok Darul Islam (DI) dengan pemimpinnya S.M.Kartosuwiryo telah
memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII) pada 7 Agustus 1949. Tetapi kemudian NII telah
ditumpas oleh pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pimpinan Soekarno
yang mengakibatkan S.M.Kartosuwiryo dihukum mati.
Sepeninggal S.M.Kartosuwiryo, sisa-sisa pengikut NII masih terus berjuang untuk
mengembalikan wilayah NII yang diyakini dijajah oleh NKRI. Para pengikut setia NII menganggap
pemerintahan NKRI adalah musuh yang telah merusak dan menjajah NII. Mereka meyakini Indonesia
sebagai negara kafir karena pemerintah RI tidak melaksanakan syariat islam dan mengkafirkan
pimpinan tertinggi negara (Presiden) walaupun presidennya seorang Muslim.
Perjuangan dan permusuhan NII terhadap RI telah membentuk paham bahwa mereka dalam
kondisi perang atau dalam kondisi hidup di dalam Darul Harb19. Pemerintah RI adalah musuh
NII, dari tingkat Presiden, pejabat pemerintah, polisi, militer dan lain-lain yang bekerja dalam
pemerintahan. Bukan sekadar menganggap musuh bahkan mengkafirkan semua yang bekerja
dalam pemerintahan RI karena dianggap pemerintahan kafir.
Misi menegakkan negara Islam di Indonesia terus diperjuangkan, hingga pengiriman anggota
NII sejak pertama kali ke Afghanistan (1985) adalah untuk persiapan perjuangan di Indonesia.
Demikianlah yang selalu diperingatkan, sampai-sampai ada diantara partisipan dari Indonesia yang
berharap tidak ditakdirkan mati di Afghanistan karena dia mengharap dapat mati di Indonesia
dengan berjuang menegakkan negara Islam di Indonesia dan mengembalikan wilayah NII yang
pernah diproklamirkan. Anggota NII kembali dari Afghanistan sejak 1987, dan sejak saat itu setiap
tahun terdapat anggota NII yang kembali ke tanah air. Sekembalinya di tanah air, mereka bersikap
pasif menunggu perintah atau arahan dari pimpinan NII untuk melakukan aksi militer terhadap
pemerintah RI. Hingga kemudian terjadi perpecahan di tubuh NII yang membentuk kelompok
baru pimpinan Ustadz Abdullah Sungkar (1993-1999), dan diikuti oleh kehadiran lalu Ustadz Abu
Bakar Baasyir (1999), yang membentuk organisasi yang dinamakan Al-Jamaah Al-Islamiyah atau
Jamaah Islamiyah (JI). Misi JI sama dengan NII yaitu untuk menegakkan negara Islam. Perbedaannya,
perjuangan menegakkan negara Islam bagi kelompok JI tidak secara spesifik menyebutkan wilayah
atau negara yang menjadi sasaran.

Kesimpulan
Meskipun kerjasama pemberantasan terorisme di ASEAN sudah dilaksanakan sejak persitiwa
11/9, akan tetapi tidak berarti kawasan ini termasuk paling berbahaya. ASEAN sebagai sebuah
organisasi telah memastikan bahwa kawasan ini tetap aman untuk ditempati selain lokasi bisnis
yang kompetitif. Terorisme yang memiliki jaringan global menjadi ancaman besar bagi masyarakat
dunia, apalagi jika negara-negara target bertindak sendiri-sendiri. Efektifitas kerjasama internasional
sangat terbatas jika negara-negara lebih mementingkan kedaulatan negara daripada keamanan
bersama. Meskipun dari segi kekuatan terdapat ketidakseimbangan antara teroris dengan
pemerintah, akan tetapi dari segi kekuatan jaringan dan kerjasama, teroris lebih unggul. Teroris
dapat mengidentifikasi kelemahan pemerintah, namun tidak sebaliknya. Setelah peristiwa 11/9 dan
3/11, kerjasama internasional meningkat sementara, untuk kemudian kembali melemah.
Meskipun sulit dicapai, kerjasama internasional tidak semata-mata menyatukan sumber
daya yang dimiliki masing-masing negara, akan tetapi juga merancang alokasi yang lebih efektif.
Kerjasama internasional menuntut mekanisme pemaksaan, yang mustahil diterapkan pada sistem
negara yang memiliki kedaulatan. Beberapa resolusi dan konvensi yang telah diberlakukan
menunjukkan bahwa memasukkan terorisme sebagai pelanggaran hukum ternyata berpengaruh

19
Daerah perang / konflik.

141
kecil dalam mengurangi aksi-aksi terorisme. Intensitas kerjasama untuk membekukan aset teroris
semakin melemah karena diyakini tidak efektif, selain teroris telah menemukan celah dan negara
yang tidak mematuhi resolusi. Maka inovasi lebih banyak diperlukan untuk merekayasa kerjasama
internasional. Kesadaran internasional merupakan keharusan untuk mengimbangi upaya negara
dalam memberantas terorisme. Negara-negara yang tidak bersedia bekerjasama akan merusak
tatanan yang ada karena tetap memperoleh keuntungan dari segi keamanan kolektif. Khusus untuk
ASEAN, intensitas kerjasama kawasan perlu lebih ditingkatkan.

Referensi
Abbas, Nasir, 2005, Membongkar Jamaah Islamiyah: Pengakuan Mantan Anggota JI, Grafindo Khazanah
Ilmu, Jakarta.
Basile, Mark, 2004, Going to the Sources: Why Al-Qaida’s Financial Network Is
Likelyto Withstand the Current War on Terrorist Financing, Studies in Conflict and Terrorism, Routledge,
UK, Vol. 27, Nomor 3, Mei-Juni.
Djelantik, Sukawarsini, 2010, Terorisme, Tinjauan Psiko-Politis, Peran Media, Kemiskinan
dan Keamanan Nasional, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Djelantik, Sukawarsini, 2005, Terorisme dan Media Massa, Jurnal Ilmiah Hubungan
Internasional, Parahyangan Centre for International Studies (PACIS),Bandung, Vol. I, No. 1.
Endlers, Walter dan Todd Sandler, 2006, The Political Economy of Terorisme, Cambridge University
Press, NY, hal. 138.
Endlers, Walter, Todd Sandler dan John Cauley, 1990, UN Conventions, Technology and Retaliation in
the Fight Against Terrorism: An Economic Evaluation, Terrorism and Political Violence, 2(1).
Sandler, Todd, 2003, Collective Action and Transnational Terrorism, World Economy, 26 (6).
Sandler,Todd dan Kevin Siqueira, 2005, Global Terrorism and Deterrence Versus Preemption, University
of Southern California, LA, CA.
The Economist, 2003, Al Qaeda Operations Are Rather Cheap, The Economist, 369 (8344).
Levitt, Matthew, 2003, Stemming the Flow of Terrorist Financing: Practical and
Conceptual Challenges, Flether Forum of World Affairs (27 (1), hal. 57-70.

Website
http://www.whitehouse.gov/news/releases/2001/12/100dayreport.html
http://www.whitehouse.gov/news/releases/2001/12/100dayreport.html.
www.jewishvirtuallibrary.org/jsource/History/time60s.html - 48k
http://www.state.gov/s/ct/rls/rpt/fto/2801.htm
http://www.whitehouse.gov/news/releases/2001/12/100dayreport.html
http://dunia.news.viva.co.id/news/read/1157-bom_bali_2005
http://www.imf.org/External/np/mae/aml/2001/eng/110501.htm,
http:www.whitehouse.gov/omb/budget/fy2005/pdf/budget/homeland.pdf
http://www.economist.com/background/displaystory.cfm?story_id=2102669.
http://www.amigospais-guaracabuya.org/oages027.php,
http://www.gpoaccess.gov/911/index.html.
http://www.gatra.com/2003-08-22/versi_cetak.php?id=30748
International Crisis Group, http://www.crisisgroup.org/home/index.cfm?id=1452&l=1
http://www.crisisgroup.org/home/index.cfm?id=4792&l=1
http://ibnismail.files.wordpress.com/2008/11/bali.jpg,
http://dida.vbaitullah.or.id/islam/buku/baiat/node4.html

142
QUO VADIS KONFLIK LAUT CHINA SELATAN

Yudha Kurniawan
Dosen tetap pada Program Studi Ilmu Hubungan Internasional
FISIP Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama)

Abstract
This paper has several objectives. First, this papper is intend to mapping the problems of South China Sea
conflict. In the last 20 years, the situation has not shown a significance changing. The claimant states: China,
Malaysia, Vietnam, Malaysia, Taiwan, and Brunei Darussalam still on their position to defense their claim
on south china sea region. Based on realism assumption which is there are no higher authority that can
manage the behavior of states in international system, therefore the interaction among claimant states always
characterized by conflictual spirit. Second, the aim of this paper try o analys the absence of authority in the
both of region. The absence authority on that situation raise the efforts by the ASEAN member particularly
Indonesia to shifting the circumtances into a new paradigm: to institutionalized the conflict by creating a code
of conduct in the manner to resolve the conflict. Third, this paper is intend to mapping the complexities about
the relations between the rise of China as major power, the reposition of commitment of U.S. in the Asia Pacific,
and the South China Sea conflict. And the last, this paper is intend to identify and propose what kind of possible
altenatives to solve the problems in the South China Sea disputes.
Keywords: Authority, Institution, Cooperation

Pendahuluan
Konflik Laut China Selatan (LCS) telah memberikan pengaruh yang sangat luas bagi lingkungan
strategis di kawasan Asia. Hingga saat ini konflik LCS masih menarik utnuk dikaji paling tidak
karena beberapa alasan. Pertama, konflik di kawasan tersebut melibatkan negara-negara di kawasan
Asia Tenggara dan Asia Timur seperti Malaysia, Filipina, Vietnam, Brunei Darussalam, Taiwan, dan
China. Kedua, peluang terjadinya konflik terbuka dan melibatkan instrumen militer antara negara-
negara yang terlibat masih berpotensi terjadi. Ketiga, terdapat keterlibatan negara-negara major
power di dalam konflik tersebut. Keempat, belum ada bentuk institusi atau instrumen sosial yang
cukup kredibel dalam menyelesaikan konflik di wilayah LCS.
Hingga saat ini, keenam negara yang mengklaim kawasan tersebut tetap berada pada posisi
masing-masing. Filipina misalnya, tetap mengklaim bahwa kawasan tersebut merupakan kawasan
Filipina Barat.1 Tentunya hal ini membuat China keberatan atas klaim tersebut. Selain Filipina,
Vietnam juga melakukan hal yang serupa. Vietnam melakukan klaim bahwa LCS merupakan
kawasan Vietnam Utara berdasarkan bukti sejarah. Vietnam mengklaim telah menguasai kawasan
tersebut terutama kepulauan Spratly dan Paracel sejak abad ke -17. Begitupula dengan Malaysia
dan Brunei Darussalam yang melakukan klaim wilayah tersebut atas dasar wilayah zona eksklusif
ekonomi sesuai dengan UNCLOS 1982.2
Persoalan konflik LCS tidak hanya terletak pada posisi masing-masing pihak yang berkonflik,
lebih dari itu hingga saat ini belum ada mekanisme institusi sosial yang cukup kredibel sebagai
cara untuk menyelesaikan persoalan konflik di kawasan tersebut. Berangkat dari persoalan diatas,
maka ada beberapa persoalan yang menarik untuk didiskusikan, bagaimana perkembangan konflik
di kawasan LCS? Apa tantangan-tantangan utama dalam persoalan konflik LCS? Apakah terdapat

1
Dosen 2 Josephus Primus, “China Tolak Tuduhan Filipina, http://internasional.kompas.com/
read/2012/01/09/17565352/China.Tolak.Tuduhan.Filipina, diakses pada tanggal 10 Februari 2012
2
Ikram Putra, “Babak Baru Konflik Laut China Selatan”, http://id.berita.yahoo.com/blogs/newsroom-blog/babak-
baru-sengketa-laut-cina-selatan-125252625.html, diakses pada tanggal 10 Februari 2012

143
peluang terhadap terjadinya sebuah transformasi konflik ke arah perdamaian pada konflik di
kawasan tersebut? Beberapa pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan persoalan-persoalan
yang coba untuk diulas dalam tulisan kecil ini. Sebelum membahas lebih jauh tentang persoalan-
persoalan diatas, maka pada bagian berikutnya dari tulisan ini akan membahas berbagai pendekatan-
pendekatan di dalam studi ilmu hubungan internasional untuk menjelaskan persoalan konflik LCS.

Pendekatan Realisme Struktural dan Konflik LCS: Apakah Masih Relevan?


Pendekatan realisme struktural atau sering disebut neorealisme merupakan salah satu
pendekatan di dalam studi ilmu hubungan internasional. Berangkat dari gagasan realisme,
pendekatan ini disebut sebagai pendekatan realisme struktural karena fokusnya terletak pada
struktur dari politik internasional. Perbedaan yang mendasar antara realisme klasik dan neo
realisme terletak pada sumber-sumber preferensi negara,3artinya kedua pendekatan ini memiliki
pandangan dan asumsi yang berbeda sehubungan dengan prilaku atau tindakan sebuah negara di
dalam politik internasional. Neorealisme memiliki asumsi bahwa preferensi negara akan terbentuk
dari interaksi sosial antar unit di dalam sebuah sistem internasional. Dari interaksi sosial inilah
dapat terlihat struktur sosial yang terbentuk di dalam sistem internasional
Kenneth Waltz di dalam bukunya yang berjudul Theories of International Politics (1979),
memberikan penjelasan bahwa sistem internasional terdiri dari struktur dan hubungan antar unit.
Lebih lanjut, Waltz mengemukakan bahwa struktur politik internasional terdiri dari tiga elemen:
prinsip tatanan (anarki atau hirarki), karaktrer unit (yang membedakan para unit dan fungsinya
di dalam sistem), dan distribusi kapabilitas unit. Waltz juga mengemukakan bahwa terdapat dua
elemen yang sifatnya konstan di dalam sistem internasional, yaitu: tidak terdapat otoritas tertinggi
di dalam politik internasional sehingga prinsip tatanannya adalah anarki dan prnisip self-help yang
membentuk fungsi dari unit-unit dalam sistem internasional4
Secara umum, jika melakukan telaah terhadap kondisi objektif pada konflik di kawasan LCS,
perspektif neorealisme dapat menjelaskan mengapa konflik di kawasan tersebut hingga saat ini
masih terjadi. Pertama, hingga saat ini belum ada otoritas tertinggi di dalam konteks global yang
dapat memenuhi kapasitas yang dibutuhkan untuk menyelesaikan konflik di kawasam LCS. Kedua,
karena tidak ada otoritas tertinggi di dalam politik internasional, maka asumsinya para pihak yang
berkonflik di kawasan tersebut berada dalam sistem internasional yang anarki yang berarti masing-
masing pihak akan mengedepankan semangat self help pada konflik tersebut.

Apakah Otoritas tertinggi “Absen” Pada Konflik LCS?


Otoritas tertinggi di dalam asusmsi realisme merupakan sebuah kondisi dimana terdapat
kekuatan yang dapat mengatur prilaku negara-negara di dalam sistem internasional. Hingga saat
ini, sulit untuk ditemukan sebuah otoritas tertinggi di dalam konflik LCS. Semua pihak yang tetap
berada pada posisi masing-masing menunjukkan bahwa tidak ada suatu keadaan atau suatu otoritas
tertinggi yang mengatur prilaku negara-negara tersebut. Konflik di kawasan LCS merupakan
konflik yang cukup rumit karena para pihak yang terlibat di dalamnya terdiri dari negara-negara
dari dua kawasan yang berbeda. China dan Taiwan merupakan negara yang berasal dari kawasan
Asia Timur, sedangkan Malaysia, Vietnam, Filipina, dan Brunei Darussalam merupakan negara-
negara yang berada di dalam kawasan Asia Tenggara.
Otoritas dapat diartikan sebagai atau sangat dekat dengan makna legitimasi, keadilan,
persetujuan, dan paksaan. Secara praktis, otoritas dapat dimengerti sebagai pemberian kewenangan

3
Martin Griffiths, International Relations Theory for The Twenty First Century: An Introduction, New York:
Routledge, hal 13
4
Ibid

144
terhadap seseorang atau suatu entitas untuk melakukan sesuatu atas dasar suatu perjanjian. Salah
satu ilmuwan hubungan internasional, Hans J. Morgenthau mendefinisikan otoritas sebagai kendali
manusia atas pikiran dan tindakan manusia lainnya. Lebih jauh, otoritas didasarkan pada aturan-
aturan baik yang sifatnya substantif maupun prosedural. Sehingga aturan dalam konteks ini sangat
erat kaitannya dengan legitimasi.5
Untuk kawasan Asia Timur, hampir sulit untuk menemukan mekanisme institusi di kawasan
yang memiliki otoritas untuk menyelesaikan berbagai persoalan-persoalan keamanan. Salah satu
persoalan yang kini dihadapi oleh dunia dan khususnya kawasan Asia Timur adalah persoalan
yang berhubungan dengan persenjataan nuklir Korea Utara. Persoalan nuklir Korea Utara ini
memberikan gambaran yang sangat jelas bahwa terdapat mekanisme institusi absen di kawasan
tersebut. Persoalan-persoalan keamanan lain di kawasan Asia Timur juga turut memberikan
gambaran dengan jelas bagaimana institusi absen di dalam menyelesaikan persoalan keamanan.
Sebut saja beberapa persoalan seperti sengketa Pulau Senkaku antara Jepang dan China, dan baru-
baru ini adalah konflik antara Korea Selatan dan Korea Utara tentang pulau Yeonpyeong. Semua
persoalan-persoalan keamanan tersebut diselesaikan dengan mekanisme bilateral.
Untuk kawasan Asia Tenggara, negara-negara di kawasan ini sejak tahun 1967 telah mengenal
format institusi dengan nama ASEAN (Association of Southeast Asian Nations). Dengan prinsip-
prinsip utamanya seperti ASEAN Way6 dan 6 prinsip di dalam Treaty of Amity Cooperation,7 ASEAN
telah menjadi sebuah organisasi regional yang cukup besar dan memainkan peranan penting dalam
panggung politik global. Dengan tiga pilar ASEAN yaitu, ASC (ASEAN Security Community), AEC
(ASEAN Economic Community), dan ASCC (ASEAN Socio-Cultural Community). Semangat ASEAN
untuk menjadi sebuah institusi yang kredibel juga ditunjukkan dengan munculnya ASEAN Charter
yang diharapakan dapat meningkatkan derajat institusi ASEAN.
Walaupun mekanisme institusi di kawasan Asia Tenggara telah dikenal sejak tahun 1960’an,
ASEAN hingga saat ini masih dipandang sebagai sebuah institusi yang memiliki karakter lemah. Lee
Leviter memberikan berbagai argumen yang menunjukkan berbagai kelemahan dalam hal institusi.8
Dalam konteks keamanan misalnya, Leviter menunjukkan bahwa diferensiasi sikap masing-masing
negara anggota memberikan hambatan dalam membentuk komunitas keamanan yang lebih solid.
Negara-negara seperti Kamboja, Malaysia, Vietnam dan Laos misalnya, menginginkan ASEAN
dapat menjadi media antar pemerintah di ASEAN dalam menyelesaikan persoalan keamanan di
kawasan. Sedangkan Indonesia, Filipina, dan Thailand lebih menginginkan ASEAN dapat menjadi
institusi yang dapat menyelesaiakan persoalan yang berhubungan dengan hak asasi manusia dan
promosi demokrasi.9
Absennya dan lemahnya otoritas pada kedua kawasan tersebut, yaitu baik di kawasan
Asia Timur dan Asia Tenggara membuat persoalan konflik di wilayah LCS menjadi sulit untuk
diselesaikan melalui mekanisme institusi. Hasilnya, hingga saat ini upaya penyelesaian persoalan
konflik LCS yang di dasarkan pada semangat perdamaian dan mutual trust building terlihat seperti
jalan di tempat. Karena kedua kawasan tersebut kurang memiliki kebudayaan institusi yang kuat,
maka upaya penyelesaian persoalan yang melibatkan negara-negara di kedua kawasan tersebut
mendapatkan tantangan yang berarti.

5
Anthony F. Lang, Jr, “Authorithy and the Problem of Non State Actors”, dalam Eric A. Heinze and Brent J. Steele,
Ethics, Authority, and War: Non State Actors and The Just War Tradition, New York: Palgrave, 2009, hal 49-50
6
ASEAN Way merupakan prinsip ASEAN yang memberikan penekanan pada penyelesaian sengketa atau konflik
dengan pendekatan informal dan mengedepankan dialog ketimbang penyelesaian secara formal
7
Enam prisnip TAC tersebut adalah; 1) saling menghormati kedaulatan negara satu sama lain khususnya anggota-
anggota ASEAN; 2) bebas dari intervensi eksternal; 3) adanya semangat non intervensi sesama negara anggota; 4)
menyelesaiakan persengketaan dengan cara-cara yang damai; 5) pembatasan penggunaan kekuatan bersenjata; 6)
Kerjasama
8
Lee Leviter, “The ASEAN Charter: ASEAN Failure or Member Failure”, International Law and Politics, Vol. 43:159, 2010
9
Ibid, hal 194

145
Semangat Self-help sebagai Implikasi Lemahnya Otoritas Tertinggi pada Konflik LCS
Persoalan LCS tentunya menjadi sebuah tantangan bagi sebuah tatanan institusi sosial di kedua
kawasan. Khusus kawasan Asia Tenggara, tentunya hal ini menjadi semacam ujian untuk menguji
kredibilitas institusi ASEAN. Lemahnya otoritas yang ditunjukkan pada uraian diatas sebelumnya,
tentunya memberikan sejumlah pengaruh terhadap pola interaksi diantara pihak-pihak yang
berkonflik. Karena sulitnya membangun sebuah mutual trust, maka pola hubungan yang sifatnya
konfliktual sebagai cerminan semangat self-help kerap muncul dalam diantara pihak-pihak yang
berkonflik.
Sejarah mencatat bahwa klaim China terhadap kepulauan Paracel dan Spratly yang juga diklaim
oleh Filipina yang berada di kawasan LCS telah muncul sejak tahun 1950’an. Pada bulan Mei tahun
1950 Presiden Filipina Quirino memberikan penegasan bahwa okupasi terhadap kepulauan Spratly
akan menjadi hal yang merugikan bagi keamanan Filipina. Pernyataan ini pun mendapatkan respon
resmi dari pemerintah China melalui People’s Daily yang menyatakan “(the) People’s Republic
of China will never allow the Nansha Islands (Spratly) or any other land which belongs to China, to be
encroached upon by any foreign power”10. Tentunya sikap China tersebut memperlihatkan sikap yang
sama dengan Filipina; yaitu tetap mempertahankan klaimnya terhadap kepulauan Spratly yang
berada di kawasan LCS. Gambar 1. Klaim China Terhadap Kawasan Laut China Selatan.

Gambar 1. Klaim China Terhadap Kawasan Laut China Selatan


Sumber: http://verafiles.org/2011/04/13/ph-protests-china’s-9-dash-line-claim-over-spratlys

10
People’s Daily, 26 May 1950 dalam Chi Kin Lo, China’s Policy in Territorial Disputes: The Case of the South China
Sea Islands, New York: Routledge, 1989, hal 26

146
Walaupun pada tahun 1960’an klaim antara kedua negara cukup hening, pada awal tahun
1970’an kedua negara kembali melakukan klaim terhadap Kepulauan Paracel dan Spratly. Sepanjang
tahun 1950 hingga 1960’an persoalan LCS didominasi oleh faktor Amerika Serikat (AS). Pada tahun-
tahun tersebut, AS seringkali mengajukan keberatan atas upaya penegasan kedaulatan dengan
menggunakan instrumen-instrumen militer.11
Keterlibatan AS dalam konflik tersebut semakin jelas ketika tahun 1995 AS menunjukkan
perhatiannya kepada konflik LCS pasca insiden Mischief Reef. Peristiwa tersebut mendorong
AS untuk menghimbau negara-negara ASEAN untuk menyelesaikan persoalan tersebut dengan
dialog keamanan. Hal ini terlihat saat AS terlibat aktif dalam berbagai dialog dalam track I dan
II di berbagai forum ASEAN yang membicarakan persoalan LCS seperti ARF, Sino-ASEAN Senior
Officials’ Meeting dan pada pertemuan-pertemuan track II yang dihelat oleh CSCAP, CSIS, bahkan
Indonesian Workshop on Managing Potential Conflicts in the South China Sea.12
Keterlibatan AS lebih jauh terhadap konflik LCS patut mendapatkan perhatian yang serius.
Kampanye perang terhadap terorisme pasca 9/11 menjadi celah bagi AS untuk melakukan
reposisi terhadap komitmen keamanan di Asia Pasifik. Kampanye anti teror tersebut membuat AS
memperluas jangkauan keamananannya di kawasan Asia Pasifik untuk mengawasi pergerakan
kelompok terorisme Al Qaida. Perluasan jangkauan keamanan AS tersebut menekankan pentingnya
Sea Lane AS di Asia Pasifik yang meliputi kawasan LCS.13 Perluasan jangkauan keamanan oleh AS
ini tentu saja ditanggapi negatif oleh China.
China semakin tidak nyaman berhadapan dengan Filipina dalam upaya penyelesaian konflik LCS
karena Filipina merupakan salah satu negara aliansi AS di kawasan Asia Tenggara. Keberpihakan AS
kepada Filipina menjadi catatan tersendiri bagi upaya pencapaian stabilitas keamanan sehubungan
dengan upaya penyelesaian konflik LCS. Semakin berkembangnya kekuatan militer China dewasa
ini, membuat AS juga turut memberikan bantuan militer kepada Filipina terutama pada armada
tempur udara dan laut termasuk bantuan teknis pelatihan personel hingga melaksanakan latihan
militer bersama di di sekitar kawasan LCS.14
Selain keterlibatan AS yang dinilai China sebagai suatu hal yang kontraproduktif, pada
perjalanannya persoalan klaim yang dilakukan oleh berbagai negara yang berkepentingan
terhadap kawasan tersebut secara bersamaan juga diwarnai dengan ketegangan politik. Kondisi ini
menunjukkan hubungan dan interaksi antara pihak-pihak yang berkonflik juga terlihat dilandasi
dengan semangat konfliktual. Tabel dibawah ini menunjukkan peristiwa ketegangan politik yang
terjadi di kawasan LCS hingga tahun 2001.

11
Ibid, hal 31
12
Lee Lai To, “China, the USA, and The South China Sea Conflict”, Security Dialogue, Vol. 34, No 1, Maret 2003, hal 35
13
Ibid, hal 26
14
Richard D. Fisher Jr. “Defending the Philippines: Military Modernization and the Challenges Ahead”, East and
South China Seas Bulletin, No. 3, 2012, hal 2-3.

147
Tabel. 1. Ketegangan Politik di Laut China Selatan pada Rentang Tahun 1974-200115
Tahun Peristiwa
1974 China menduduki Paracel setelah terjadi bentrokan senjata dengan Pasukan Vietnam.
Sebanyak 18 pasukan Vietnam tewas

1988 Angkatan Laut China bentrok dengan Vietnam di Johnson Reef salah satu Kepulauan
di Spratly. Menenggelamkan 3 kapal perang Vietnam dan lebih dari 70 awak tewas.
Peristiwa itu terjadi pada 14 Maret

1992 - Vietnam menuduh China mendaratkan pasukannya di Da Luc Reef


- Pada Juni-September, China menyita hampir 20 kapal kargo Vietnam yang membawa
barang dari Hong Kong
1993 Terjadi bentrokan antara tiga kapal Vietnam dengan kapal eksplorasi China di lepas
pantai Vietnam
1994 Angkatan Laut China dan Vietnam berkonfrontasi untuk pengakuan Internasional
wilayah perairan atas blok eksplorasi minyak Vietnam Tu Chinh. China mengklaim
area tersebut sebagai bagian blok Wan Bei
1995 Militer Filipina membongkar bangunan China di Mischief Reef di kawasan Spratly
pada bulan Maret dan juga menangkap 62 nelayan China
1996 Pada Januari, kapal China terlibat perang senjata dengan kapal angkatan laut Filipina
di dekat Pulau Capone, lepas pantai barat Luzon, Manila Utara

1998 - Pada Oktober, tentara Vietnam menembaki pesawat udara Filipina saat mengintai
Spratly
- Sebuah sumber di Pertahanan Filipina, melaporkan 2 pesawat tempur Malaysia dan 2
pesawat pengintai

Filipina hampir terlibat konflik udara di Spratly

1999 Pada Januari kembali terjadi insiden antara Filipina dan China di Mischief Reef

2000 Pada Mei, Tentara Filipina menembaki nelayan China. Sebanyak 1 orang tewas dan 7
orang terluka

Tabel diatas menunjukkan karakter konfliktual diantara pihak-pihak yang terlibat di dalam
konflik LCS. Karakter diatas tentu saja memberikan pengaruh pada dua hal; sulitnya membangun
mutual trust antara pihak yang berkonflik; dan menguatnya dilemma keamanan di kawasan LCS.
Situasi demikian tentunya akan memberikan tekanan secara politik kepada pihak yang berkonflik
sehingga berbagai kebijakan keamanan yang ditunjukkan oleh pihak-pihak berkonflik sangat
menarik untuk dicermati.
Dalam perkembangan konflik yang diwarnai dengan ketegangan politik tersebut, sebenarnya
ada berbagai upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak. Upaya tersebut meliputi upaya untuk
mentransformasikan interaksi mereka menuju ke arah perdamaian. Salah satu upaya tersebut adalah
membentuk Declaration on the Conduct in South China Sea. Pada prinsipnya, DOC merupakan suatu
cara untuk memberikan constraint kepada pihak-pihak yang berkonflik untuk tidak menggunakan
kekerasan dalam menyelesaikan konflik.

15
Abdul Rivai Ras, “Konflik Laut China Selatan”, dalam Anna Maryzka Bharata Dini, “Efektivitas
Declaration on the Conduct (DOC) Pada Konflik Laut China Selatan Tahun 2002-2011”, Skripsi Mahasiswa FISIP
HI Univ. Prof. Dr. Moestopo (Beragama), Jakarta, 2012, hal 57-58

148
Declaration on the Conduct in South China Sea: Apakah Merupakan Langkah yang Sesuai?
Pada tahun 2002, para pihak yang berkonflik khususnya ASEAN dan China mampu
membentuk sebuah kerangka kerja sebagai langkah awal untuk menyelesaikan persoalan konflik
di kawasan LCS. Ada beberapa hal yang penting untuk dicatat dalam DOC tersebut.16 Pertama,
deklarasi tersebut adalah langkah awal dalam penyelesaian konflik dengan kode etik. Deklarasi
tersebut juga membuat pihak-pihak yang terlibat di konflik LCS harus menerapkan prinsip yang
terkandung di dalam ASEAN Treaty of Amity and Cooperation sebagai basis kode etik internasional di
kawasan LCS. Kedua, deklarasi ini menciptakan basis legal terhadap penyelesaian konflik di LCS.
Pihak-pihak yang terlibat di dalam deklarasi tersebut harus memiliki komitmen untuk melakukan
afirmasi kembali terhadap Charter PBB dan UN Convention on the Law of the Sea 1982, TAC, dan
berbagai hukum internasional lainnya yang mengakui prinsip-prinsip hukum internasional yang
mengakomodasi hubungan antar negara. Ketiga, deklarasi ini memberikan syarat kepada negara-
negara yang tergabung di dalamnya untuk menyelesaikan persoalan di LCS dengan kebiasaan
yang baik dan menjunjung tinggi perdamaian. Poin 4 pada deklarasi ini menjelaskan “The Parties
concerned undertake to resolve their territorial and jurisdictional disputes by peaceful means, without resorting
to the threat or use of force, through friendly consultations and negotiations by sovereign states directly
concerned…”.
Namun pada perkembangannya, ada berbagai persoalan dengan pelaksanaan DOC tersebut.
Dari 10 prinsip yang disepakati dalam DOC tersebut, pada perjalanannya prinsip-prinsip tersebut
tidak dapat terlaksana dengan baik. Lihat tabel di bawah ini.

Tabel 2. Implementasi Pelaksanaan DOC17

NO Klausul Imple­ Keterangan


mentasi
Ya Tidak
1. Para pihak menegaskan komitmennya √ - Pada 2009 Vietnam dan Malaysia
terhadap tujuan dan prinsip-prinsip mengajukan bersama peta klaim
Piagam PBB, Konvensi Hukum Laut China ke Komisi Batas Landas
Internasional 1982, TAC, Lima Prinsip Kontinen PBB
Koeksistensi Damai, serta prinsip- - Vietnam mengeluarkan deklarasi
prinsip hukum internasional yang kedaulatan tentang larangan China
diakui lainnya yang akan dijadikan pada penangkapan ikan di Laut Cina
sebagai norma dasar dalam hubungan Selatan, karena Vietnam mengklaim
antar negara memiliki hak atas Kepulauan Paracel
dan Spratly pada bulai Mei 2008
2 Para pihak sepakat untuk √ - Filipina mengumumkan bahwa
meningkatkan langkah-langkah dirinya akan menambah patroli laut
untuk membangun rasa saling dan udaranya, dan juga meningkatkan
percaya berdasarkan Prinsip-prinsip fasilitas lapangan udaranya di pulau-
Koeksistensi Damai dan berdasarkan pulau Laut China Selatan yang
persamaan dan rasa saling didudukinya
menghormati.

16
Nguyen Hong Thao, “The 2002 Declaration on the Conduct of the Parties in the South China Sea” dalam Yudha
Kurniawan, “Kontribusi Indonesia dalam Penyelesaian Konflik Laut China Selatan”, Paper ini dipresentasikan pada
Konvensi Nasional Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional Indonesia (AIHII) II, Bandung, November, 2011, hal 7
17 Anna Maryzka Bharata Dini, op.cit, hal 80

149
3 Para pihak menegaskan komitmennya √ Pada 9 Juni 2011 Vietnam melaporkan
atas kebebasan untuk bernavigasi kembali bahwa kapal nelayan China
berdasarkan prinsip-prinsip hukum yang di dukung oleh kapal patroli
internasional yang telah disepakati China memotong kabel yang di
termasuk Konvensi Hukum Laut operasikan oleh kapal dari perusahaan
Internasional 1982. Petro Vietnam. Vietnam mengatakan
bahwa kapal tersebut masih beroperasi
di landas kontinennya yang masih
berada di dalam ZEE-nya
4 Para pihak juga sepakat untuk √ Permasalahan tentang konflik Laut
menyelesaikan sengketa territorial dan China Selatan menjadi bahan diskusi
yurisdiksi di Laut China Selatan secara dialog Shangri-La di Singapura tahun
damai, tanpa melakukan ancaman 2011 diantara kedua negara yaitu
atau menggunakan kekerasan melalui China dengan Vietnam. Vietnam
konsultasi dan negosiasi diantara mengkonfirmasi bahwa peristiwa 27
negara-negara berdaulat yang terlibat Mei 2011 menjadi tanggung jawab dari
langsung sesuai dengan prinsip- China, dimana di waktu yang sama
prinsip hukum laut internasional China juga berkomitmen untuk tetap
termasuk Konvensi Hukum Laut menjaga perdamaian dan stabilitas di
lautan.
5 Para pihak saling sepakat untuk √ Manila melaporkan bahwa kapal
menahan diri dari kegiatankegiatan angkatan laut China
yang akan mengakibatkan eskalasi membangun pilar-pilar dan
konflik dan akan mempengaruhi menurunkan material-material di dekat
perdamaian dan stabilitas di kawasan Amy Douglas Bank di dalam ZEE
termasuk menghentikan pendudukan Filipina pada 1 Juni.
atas pulau-pulau. Sehubungan dengan
tertundanya penyelesaian konflik
secara damai para pihak sepakat untuk
mencari cara-cara untuk membangun
kepercayaan berdasarkan semangat
kerjasama dan saling pengertian

6 Sebelum terdapat penyelesaian yang √ - Sejak tahun 2006 Cina dan Vietnam
menyeluruh dan bersifat telah mengadakan patroli angkatan laut
tetap atas konflik yang dimaksud, para bersama di Teluk Tonkin satu atau dua
pihak sepakat untuk meningkatkan kali setahun
kerjasama yang mungkin dilakukan - Perusahaan minyak dari China,
yang meliputi : perlindungan Vietnam, dan Filipina menandatangani
lingkungan kelautan, penelitian ilmiah kesepakatan untuk bersama-sama
kelautan, keamanan navigasi dan melindungi sumber daya minyak dan
pelayaran, operasi SAR (search and gas di lautan pada tahun 2005
rescue) dan memerangi kejahatan
transnasional termasuk lalu lintas obat
terlarang, bajak laut, perompakan
bersenjata, dan penyelundupan
senjata.

150
7 Para pihak yang terlibat siap untuk √ Pada Juli 2011, Menlu Filipina Alberto
melanjutkan dialog dan konsultasi del Rosario mengunjungi China
mengenai isu-isu terkait, melalui untuk mendapatkan solusi diplomatik
modalitas yang disepakati, termasuk dengan membawa permasalahan ini
konsultasi-konsultasi rutin untuk ke mahkamah PBB, tetapi ditolak oleh
mentaati deklarasi ini, dengan tujuan China
untuk meningkatkan semangat
bertetangga yang baik, transparasi,
meningkatkan harmoni, pengertian
bersama dan kerjasama serta untuk
memfasilitasi bagi penyelesaian damai
diantara mereka.
8 Para pihak harus selalu berusaha √ - Pada 27 Mei 2011, kapal patroli
menghormaticketentuan dari deklarasi China memotong kabel kapal Vietnam
ini dan mengambil tindakan yang sewaktu sedang melakukan survey
konsisten dengan hal tersebut. bawah laut di Laut China Selatan
- Vietnam melaporkan kembali pada
9 Juni 2011 bahwa kapal nelayan
China yang di dukung oleh kapal
patroli China memotong kabel yang di
operasikan oleh kapal dari perusahaan
Petro Vietnam

9 Setiap pihak mendorong negara √ Filipina menyatakan bahwa adanya


lainnya agar selalucmenghormati penolakan dari China untuk
prinsip-prinsip yang terdapat di dalam membawa kasus ini ke mahkamah PBB
deklarasi tersebut membuktikan bahwa klaim China tidak
mempunyai suatu dasar hukum yang
kuat
10 Para pihak yang terlibat menegaskan √ Sudah terjadi konsensus di ASEAN
kembali bahwa untuk mendukung perancangan COC,
pengesahan suatu code of conduct akan tetapi China mengatakan bahwa
di Laut China Selatan akan pembahasan tentang COC perlu
meningkatkan perdamaian dan menunggu waktu yang tepat
stabilitas di kawasan dan disepakati
untuk melanjutkan proses tercapainya
tujuan tersebut.

Dari hal yang telah diuraikan dalam tabel 2, negara-negara yang berkonflik di LCS masih
terlihat memiliki permasalahan dalam mengimplementasikan berbagai kesepakatan yang tertuang
dalam DOC. Persoalan yang menarik untuk dikaji berikutnya adalah bagaimana cara China dan
ASEAN untuk membuat sebuah aturan main yang lebih mengikat dan sekaligus berfungsi sebagai
sebuah otoritas politik tertinggi sehubugan dengan pengelolaan konflik di kawasan LCS.
Langkah untuk mendorong para pihak yang bekonflik untuk melangkah lebih jauh kearah
perdamian nampaknya masih menunggu waktu yang cukup lama. Dalam kaitannya dengan proses
mentransformasikan konflik kearah perdamaian, Indonesia dan ASEAN kembali mendorong
pihak-pihak yang berkonflik untuk maju ke babak baru, yaitu melakukan institusionalisasi bagi
pengelolaan konflik di kawasan LCS melalui Code of Conduct in the South China Sea. Bagi banyak
pihak terutama ASEAN, COC merupakan instrumen cukup kredibel untuk menyelesaikan konflik
di LCS. COC selanjutnya akan lebih mengikat secara hukum dan bersifat lebih teknis dan spesifik
dalam hal aturan-aturan main yang akan disepakati.

151
Untuk mewujudkan COC antara ASEAN dan China memunculkan dua persoalan penting.
Persoalan pertama, ASEAN masih harus menunggu kesepakatan dengan China. Artinya upaya
diplomatik harus terus menerus dilakukan oleh negara-negara ASEAN kepada China. Hal ini
tentu saja tidak mudah. Dari perkembangan yang ada, salah satu perkembangan yang menarik
untuk diperhatikan adalah kebijakan keamanan China sehubungan dengan upaya China untuk
mempertahankan kawasan tersebut. Lihat gambar sebagai berikut.

Gambar 2. Wilayah Administrasi Baru China di Laut China Selatan18


Gambar diatas menunjukkan bahwa saat ini China telah membentuk wilayah administrasi
baru yang disebut “Garnisun Sansha” yang berada di bawah Komando Militer Guangzhou. Tentu
saja hal ini memiliki implikasi strategis bagi perkembangan konflik tersebut. Pertama, dalam
konteks geostrategis, China menghadirkan tekanan politik bagi para pihak-pihak yang berkonflik.
Kedua, dengan modal tersebut, China mampu mendapatkan keuntungan strategis karena mampu
melakukan surveilance dan menempatkan instrumen militernya di wilayah administrasi barunya
tersebut. Dengan demikian, terdapat logika deterrence dalam pembangunan wilayah administrasi
Sansha.
Pembangunan ini ditanggapi dengan berbagai kecaman dan penolakan terhadap pembangunan
Garnisun tersebut terutama Vietnam dan Filipina. Tidak hanya dari Vietnam dan Filipina,
namun negara-negara lain seperti Brunei Darussalam dan Malaysia bahkan A.S turut menentang

18
Gambar mengenai perkembangan terbaru tentang dibentuknya wilayah administrasi baru China dikutip dari
paparan Dr. Siswono Pramono, LLM, dalam sebuah diskusi tentang Konflik Laut China Selatan yang bertema “Diplomasi
Indonesia dalam Konflik Laut China Selatan” yang diselenggarakan oleh Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis
Indonesia (Lesperssi), Jakarta, 2 Agustus 2012.

152
pembangunan wilayah tersebut. Meskipun demikian, China telah menunjuk Kolonel Senior Cai
Xihong diangkat sebagai komandan Garnisun dan Kolonel Senior Liao Chayi sebagai komisariat
politiknya.19
Persoalan Kedua yang dihadapi oleh ASEAN adalah sulitnya negara-negara ASEAN untuk
memiliki sikap dan pandangan yang sama atas upaya untuk menyelesaikan konflik LCS melalui
COC. Hal ini dapat dilihat ketika para Menteri Luar Negeri ASEAN gagal mengeluarkan
pernyataan bersama tentang konflik LCS di Pnom Penh, Kamboja, Juli 2012. Hal ini tentu saja juga
mengecewakan pihak Indonesia yang terus menerus berpartisipasi aktif mendorong para claimant
states untuk memiliki kerangka penyelesaian konflik LCS dengan damai.20

Adakah Alternatif Lain Selain COC Untuk Menyelesaikan Konflik LCS?


Ralf Emmers dalam sebuah konferensi tentang LCS di Singapura, menyatakan bahwa konflik
LCS memiliki karakter tingkat sekuritisasi yang rendah. Konflik tersebut merupakan kombinasi
dari perkembangan regional dan domestik:21 1) perubahan gradual dari persepesi elit politik Asia
Tenggara terhadap China; 2) lemahnya proyeksi kekuatan China di kawasan Asia Tenggara; 3) para
pihak yang berkonflik secara terus menerus memainkan kartu “nasionalisme”; 4) belum terlibatnya
AS lebih jauh dalam konflik LCS. Hal ini menyebabkan berbagai kemungkinan konflik terbuka atau
konfrontasi terbatas diantara para pihak jika terjadi suatu miskalkulasi aksi.22
Hal berikutnya yang patut menjadi perhatian adalah mengenai konteks keamanan di kawasan
Asia Tenggara. Periodeisasi sejarah mulai dari masa pre kolonial – kolonial – hingga pasca kolonial
menunjukkan bahwa kawasan Asia Tenggara selalu menjadi ajang kontestasi negara-negara kuat
untuk memproyeksikan pengaruhnya. Dengan demikian, negara-negara Asia Tenggara memerlukan
sebuah redefinisi konsep keamanan bersama dalam ASEAN.
Berangkat dari dua hal diatas, maka alternatif pertama yang akan diajukan dalam makalah
ini adalah bahwa penting bagi ASEAN untuk melakukan redefinisi konsep keamanan yang ada
di kawasan Asia Tenggara. Konsep keamanan yang mungkin untuk dikembangkan sehubungan
dengan konflik di kawasan LCS adalah konsep Common Security (CS).23 Konsep keamanan ini
merupakan sebuah konsep yang menjadi acuan dalam aransemen kerjasama keamanan di Eropa.
Konsep CS memiliki enam prinsip penting sebagai berikut; 1) semua negara memiliki hak yang
legitimate atas keamanan; 2) kekuatan militer bukan suatu hal legitimate dalam menyelesaikan
masalah; 3) prinsip menahan diri diperlukan dalam mengekspresikan kebijakan nasional; 4)
keamanan tidak bisa dicapai dengan superioritas militer; 5) reduksi dan pembatasan persenjataan
merupakan hal yang penting; 6) hubungan antara negosiasi persenjataan dan peristiwa politik perlu
dihindari.24
Pendekatan ini cenderung mengarah ke sistem keamanan kolektif dimana terdapat struktur
kolektif negara-negara yang didefinisikan oleh jaringan geopolitik regional akan menganggap
ancaman terhadap salah satu pihak akan menjadi ancaman bersama.25 Dengan prinsip ini, ASEAN
akan lebih siap untuk menghadapi tantangan keamanan kawasan maupun antar kawasan. Dengan

19
“China Angkat Komandan Garnisun Laut China Selatan”, diakses dari http://www.antaranews.com/
berita/323974/china-angkat-komandan-garnisun-laut-china-selatan, pada tanggal 24 September 2012
20
“ASEAN Gagal Raih Kesepakatan Tentang Laut China Selatan”, diakses dari http://international.okezone.com/
read/2012/07/13/411/663109/asean-gagal-raih-kesepakatan-tentang-laut-china-selatan, pada tanggal 26 September
2012.
21
“The South China Sea: Towards Cooperative Management Regime”, Conference Report, S. Rajaratnam School of
International Studies, NTU, Singapore, 16-17 May 2007, hal 8
22
Ibid
23
David Dewitt, “Common, Comprehensive, and Cooperative Security”, The Pacific Review, Vol. 7 No 1, 1994
24
Ibid, hal 413
25
Ibid, hal 414

153
enam prinsip CS diatas akan memungkinkan ASEAN memiliki kepentingan yang sama dalam
konteks keamanan.
Alternatif kedua adalah berhubungan dengan upaya untuk mengurangi ketegangan politik
para pihak yang berkonflik. Ide mengenai Join Development atas pengembangan kawasan LCS
yang dinilai memiliki kekayaan minyak dan gas bumi. Keinginan ini pernah menjadi perhatian
China pada tahun 1980’an ketika dipimpin Den Xiaoping:
I have also considered the possibility of resolving certain territorial disputes by having the countries
concerned jointly develop the disputed areas before discussing the question of sovereignty. New approaches
should be sought to solve such prob1ems according to realities26

Sehubungan dengan hal diatas, maka penting bagi ASEAN untuk mendorong pendekatan
penyelesaian konflik LCS bukan pada ranah langkah-langkah penyelesaian secara legal. Lebih
jauh, China telah menolak berkali-kali keinginan semua pihak yang berupaya untuk melakukan
internasionalisasi terhadap konflik LCS. Dengan demikian ASEAN perlu memikirkan opsi kerjasama
pengembangan eksplorasi sumber daya di LCS bersama dengan China. Untuk mendorong upaya
tersebut, maka hambatan politik dan legal terlebih dahulu harus di singkirkan.

Kesimpulan
Tidak dapat dipungkiri bahwa konflik LCS sangat menarik untuk terus diamati. Perkembangan
konflik tersebut semakin menunjukkan sebuah kondisi yang dipenuhi ketidakpastian. Dari
perkembangan yang ada, China semakin menunjukkan sikap yang tidak kompromi terhadap
berbagai upaya yang menganggu kepentingan China atas wilayah LCS. Bagi ASEAN, hingga saat
ini, instrumen legal dan institusionalisasi melalui pembentukan COC merupakan langkah yang
tepat. Namun persoalan lain justru muncul dari dalam ASEAN itu sendiri. ASEAN belum mampu
mencapai kesepakatan bersama tentang COC tersebut. Dari persoalan-persoalan tersebut, terdapat
dua alternatif selain memaksakan kerangka legal kepada China. Pertama, dengan kondisi yang
penuh ketidakpastian, ASEAN perlu meredefinisi konsep keamanan bersama di kawasan. Konsep
common security perlu menjadi pertimbangan ASEAN. Kedua, untuk mengurangi ketegangan
politik, maka perlu bagi ASEAN untuk memikirkan kemungkinan penjajakan kerjasama eksplorasi
sumber daya alam di kawasan LCS. Eksplorasi sumber daya alam tersebut idealnya dilakukan
antara ASEAN dan China tidak berbentuk hubungan yang sifatnya bilateral.

Daftar Pustaka
Chi Kin Lo, China’s Policy in Territorial Disputes: The Case of the South China Sea Islands, New
York: Routledge, 1989
Dewitt, David, “Common, Comprehensive, and Cooperative Security”, The Pacific Review, Vol. 7
No 1, 1994
Dini, Anna Maryzka Bharata, “Efektivitas Declaration on the Conduct (DOC) Pada Konflik Laut
China Selatan Tahun 2002-2011”, Skripsi Mahasiswi FISIP HI Univ. Prof. Dr. Moestopo
(Beragama), Jakarta, 2012,
Fisher Jr. Richard D, “Defending the Philippines: Military Modernization and the Challenges
Ahead”, East and South China Seas Bulletin, No. 3, 2012
Griffiths, Martin, International Relations Theory for The Twenty First Century: An Introduction,
New York: Routledge

26 Den Xiaoping dalam Chi Kin Lo, op.cit, hal 167

154
Heinze, Eric A and Brent J. Steele, Ethics, Authority, and War: Non State Actors and The Just War
Tradition, New York: Palgrave, 2009,
Kurniawan, Yudha, “Kontribusi Indonesia dalam Penyelesaian Konflik Laut China Selatan”, Paper
ini dipresentasikan pada Konvensi Nasional Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional Indonesia
(AIHII) II, Bandung, November, 2011
Lee Lai To, “China, the USA, and The South China Sea Conflict”, Security Dialogue, Vol. 34, No 1,
Maret 2003
Leviter, Lee, “The ASEAN Charter: ASEAN Failure or Member Failure”, International Law and
Politics, Vol. 43:159, 2010
“The South China Sea: Towards Cooperative Management Regime”, Conference Report, S.
Rajaratnam School of International Studies, NTU, Singapore, 16-17 May 2007

Artikel Internet
“ASEAN Gagal Raih Kesepakatan Tentang Laut China Selatan”, diakses dari http://international.
okezone.com/read/2012/07/13/411/663109/asean-gagal-raih-kesepakatan-tentang-laut-
china-selatan, pada tanggal 26 September 2012
“China Angkat Komandan Garnisun Laut China Selatan”, diakses dari http://www.antaranews.
com/berita/323974/china-angkat-komandan-garnisun-laut-china-selatan, pada tanggal 24
September 2012
Josephus Primus, “China Tolak Tuduhan Filipina, http://internasional.kompas.com/
read/2012/01/09/17565352/China.Tolak.Tuduhan.Filipina, diakses pada tanggal 10 Februari
2012
Putra, Ikram, “Babak Baru Konflik Laut China Selatan”, http://id.berita.yahoo.com/blogs/
newsroom-blog/babak-baru-sengketa-laut-cina-selatan-125252625.html, diakses pada tanggal
10 Februari 2012

155
156
SOUTH CHINA SEA RISING TENSION: THE QUEST
OF ASEAN’S ROLE?

Angel Damayanti
The writer is lecturer at Department of International Relations, Faculty of Social and Political Sciences,
Christian University of Indonesia.

Abstract
South China Sea has become a dispute for the last five decades. Several countries, involving China and some
member states of ASEAN (Association of South East Asian Nations), have overlapping claims on this area.
Its naturally rich resources, including fisheries, oil and gas, have become an attractive economic proposition
for these states. Some observers assume the South China Sea dispute is both complex and complicated as
the claims are not only territorial but also historical in nature. This suggests that the dispute necessitates
more time and further efforts in order to facilitate some form of resolution. Although China and ASEAN have
agreed a Declaration on Conduct of Parties in the South China Sea (DOC) in 2002, China has persistently
refused to relinquish its claims to this strategically placed resource. This may signalize the failure of ASEAN’s
strategy to ‘pour oil on troubled waters’. Additionally, it may well fail to bring China and its members to
achieving a measure of resolution regarding this dispute; thereby failing to reach consensus regarding the
exploitation of this valuable resource.

Introduction
In July 2012, the Chinese government approved the formal establishment of a military garrison
in Sansha, a remote island 220 miles from its southernmost province. Sansha is located in the vicinity
of Paracel Islands, one of disputed South China Sea Islands. By enacting this approval, China have
emphasized their previous policy in creating Sansha as their administrative base for the whole
South China Sea area; including the disputed territories of the Spratly Islands and the Scarborough
Shoal. Although there are no apparent further details providing data such as timing and numbers of
military deployment, the approval has subsequently provoked the United States, Vietnam and the
Philippines to voice their concerns.1
The rising tension in the South China Sea has been the result of a dispute primarily contested by
China, Vietnam, the Philippines and Brunei for decades; and it is therefore set to escalate. Vietnam
has specifically protested against China’s decision to establish the administrative city. In the
meantime, diplomatic tensions are also high between China and the Philippines after a standoff over
the Scarborough Shoal, an area that is contested and claimed by both sides. Moreover, the disputes
over resource-rich locations within the vicinity of the South China Sea, has sparked controversy at
an ASEAN regional forum. Significantly, for the first time in its 45-year history, the 10 state-members
were unable to establish a consensus on the construction of a closing statement in ASEAN Foreign
Ministers Meeting in Phnom Penh, July 2012.2
Therefore, this paper will analyze the role of ASEAN in the South China Sea dispute. This
paper primarily examines ASEAN’s ability to resolve the problematic issue due to the imbalance
created by some of its members’ involvement in this growing conflict with China. Although there
has been a Declaration on Conduct of Parties in the South China Sea (DOC), and a potential draft of
Code of Conduct (COC) concerning management on the South China Sea, ASEAN remains failed to

1
“China approves military garrison for disputed islands” accessed from http://www.bbc.co.uk/news/world-asia-
china-18949941 in 7 September 2012, 22.31 pm
2
“ASEAN summit fails to agree on concluding joint statement,” accessed from http://www.channelnewsasia.com/
stories/southeastasia/view/1213369/1/.html

157
deter China from its aggressive stance. In addition to ASEAN’s prior failure to construct a closing
statement, the likelihood exists that any consensus regarding this dispute will become increasingly
remote. This paper therefore suggests that ASEAN alone may not have the capacity to formulate a
viable consensus or resolve this long-standing dispute.
To analyze and evaluate the above-stated issue, will necessitate that the following discussion
be divided into three sections. The first section will describe the history of South China Sea dispute,
recent developments and China’s policy towards this area. The second section will focus on the
reaction from states that strongly opposed to Chinese claims, with attention directed specifically
towards Vietnam and the Philippines. This will be followed subsequently by an analysis on how
ASEAN enabled efforts to resolve the issue, whilst some of its member states have ongoing conflict
with China. This section will also examine the possibility exists that ASEAN can secure some form
of resolution that is mutually acceptable by all participants. In the conclusion, this paper will include
some recommendations with a view to facilitate strategies allowing the ASEAN member states to
achieve a favorable outcome.

Understanding China’s Claim on South China Sea


China’s sovereignty over the Spratly and other island groups in the South China Sea was
not challenged until the arrivals of invading powers. There are many classic Chinese poems and
inscriptions that were written from Xia Dynasty (21st - 16th centuries B.C.) to the Qing Dynasty
(1644 - 1911) as tribute to the South China Sea. This profoundly proves that China has established
and maintained her sovereignty over these island chains by ways of discovery, naming, mapping,
patrol and control, public and private use, administrative allocation of jurisdiction, and other
manifestations of authority throughout history.3
China arguably enjoyed peaceful and uninterrupted control over the South China Sea Islands
and the surrounding waters until the 1930’s. It was then France in 1933 that initially seized the
opportunity to occupy several islands in the South China Sea. However, Japan replaced the French
government and took over the entire South China Sea chain of islands in 1939. Japan accordingly
placed these Islands under the jurisdiction of Taiwan, which was administered by Japan. Following
Japan’s unconditional surrender to allied forces, in 1947 the Nationalist China Government sought
to regain the possession of all islands in the South China Sea, by publishing a map that displayed
nine bars enclosing almost its entire expanse.4
In 1951 San Francisco Peace Conference, Japan legally renounced its claim over the South China
Sea Islands. However, a year later, Japan surrendered all of her right, title and claim to the Republic
of China (Taiwan), by the bilateral Japan-Taiwan Treaty of Taipei. Along with Japan at the San
Francisco Peace Conference, France (and later Vietnam), asserted their claims to the Spratlys and
the Paracels. Notwithstanding, the Soviet Union recognized the full sovereignty of Chinese People’s
Republic over the Spratly and Paracel Islands.5 Thereby, in September 1958 Declaration on the
Territorial Sea, Beijing included the Spratlys, the Paracels and Macclesfield Bank among People’s
Republic of China’s territories, to which the twelve-mile breadth of the territorial sea applied.”6
In mid 1950s, a Filipino group of marine educator led by Tomas Cloma claimed to have
discovered the Kalayaan Islands, which is located in Spratly area. Yet, the first official claim by

3
Jianming Shen, “International Law Rules and Historical Evidence Supporting China’s Title to the South China Sea
Islands,” in Hastings International & Comparative Law Review, vol. 40, 1997, pp. 15-17.
4
Ibid., pp. 40-43. See also Rodolfo C. Severino, “ASEAN and the South China Sea,” in Security Challenges, Vol. 6, No.
2, Winter 2010, pp. 37-47.
5
Jiangming Shen, “China’s Sovereignty over the South China Sea Islands: A Historical Perspective,” in Chinese
Journal of Internasional Law, 2002, p. 99.
6
Severino, op. cit.

158
the Philippine government over the islands came in 1971, mainly in responding Taiwanese forces
stationed on Itu Aba Island. When a Philippine fishing vessel was being fired by Taiwanese, the
Philippine government reacted by protesting the incident and then asserted legal title by annexing
islands in the Spratly group based on Cloma’s claim. Subsequently, in 1978 the Marcos government
formally annexed the archipelago to the Philippines and placed it under the administration of
Palawan province.7
Meanwhile, Vietnam began to occupy some islands in both Spratly and Paracel Islands, which
based in right of cession from a French claim to the islands first made in the 1933. In any event,
Vietnam moved in 1975 to secure its claim to possession of the Spratlys when it occupied thirteen
islands of the group. In September 1989 Vietnam occupied three more islets, and has since taken at
least nine additional atolls.8 Contesting claims accelerated in late 1960s, 1970s, and 1980s, as Malaysia
and Brunei joined the occupations. These newly emerged claims inevitably led to an increasing
tension between claimants. In fact, there were several military encounters occurred between China
and Vietnam as well as China and the Philippines.
The Chinese government confirms that her possession over the South China Sea Islands and
the adjacent waters are backed not only by historical facts but also by international Law of Sea.9
Therefore, as stated in her 2010 White Defence Paper, the Chinese authorities legalize all measures to
“safeguard its national sovereignty, security and interests of national development” in their claimed-
territorial in South China Sea. Like other’s national defence forces, China People’s Liberation Army
(PLA) is mainly tasked to guard against and resist aggression, defend the security of its lands, inland
waters, territorial waters and airspace, safeguard its maritime rights and interests, and maintain its
security interests in space.10
In other words, China utilizes any efforts to proclaim her “complete sovereignty” over South
China Sea Islands. On one hand, China conducted diplomatic mechanisms not only with Vietnam,
but also with ASEAN regarding the South China Sea management. The dialogue between ASEAN
and China in 1994 has signalized a great transformation in China policy. That revolution was, the
conversion from unilateralism to multilateralism in the South China Sea.11 Furthermore, ASEAN-
China Dialogue has resulted in the Declaration on Conduct of Parties in the South China Sea (DOC)
in 2002.
On the other hand, by establishing its military presence on the Paracel group of islands recently,
China wishes to reinforce its claims and ensure that the others are ousted from the region. China’s
decision to post about 1,200 PLA soldiers in Sansha City, in July 2012 clearly explains its policy to
protect and secure her sovereignty. This act performs that China wished to send a message to all
other contenders that while it would wish for a diplomatic solution, it would react militarily to
defend its position in the South China Sea.12 Essentially, this emphasizes what Al Capone says, “You
can get further with a kind word and a gun than you can with just a kind word.”13

7
Christopher C. Joyner, “The Spratly Islands Dispute in the South China Sea: Problems, Policies, and Prospects
for Diplomatic Accommodation“ can be accessed through http://www.stimson.org/images/uploads/research-pdfs/
cbmapspratly.pdf.
8
John C. Baker, et al., “Cooperative Monitoring Using Commercial Observation Satellites: Case Study of a
Transparency Regime for the South China Sea Disputes,” Washington, D.C., George Washington University Space Policy
Institute, February 1999.
9
Lowell B. Bautista, “Thinking Outside the Box: The South China Sea Issue and the United Nations Convention on
the Law of the Sea (Options, Limitations and Prospects), in Philippines Law Journal, Vol. 81, No. 4, 2006, pp. 699-731.
10
China’s National Defense in 2010, can be accessed through http://news.xinhuanet.com/english2010/china/2011-
03/31/c_13806851_5.htm
11
Jason Ray Hutchison, “The South China Sea: Confusion in Complexity” can be accessed from http://pdf-world.
net/pdf/429137/The-South-China-Sea-Confusion-in-Complexity-pdf.php
12
R.S. Kalha, “China’s Forward Policy in South China Sea,” can be accessed in http://www.idsa.in/idsacomments/
ChinasForwardPolicyintheSouthChinaSea_RSKalha_300712
13
“The Untouchables” accessed from http://www.imdb.com/title/tt0094226/quotes

159
Responses from Other Claimants
The South China Sea is a huge area covering nearly 3.5 million square kilometres, where
countries such as China, Vietnam, Philippines, Malaysia and Brunei are in serious contention. There
are at least two arguments to trigger such countries claim the occupation of the region. Firstly, it is
due to its wealth natural resources. Besides fisheries and other sea products, oil and gas deposits
have been found in most of the littoral countries of the South China Sea. The region has proven
oil reserves estimated at about 7.5 billion barrels, and oil production is currently over 1.3 million
barrels per day. Moreover, natural gas might be the most abundant hydrocarbon resource in the
South China Sea. Most of the hydrocarbon fields explored in the South China Sea regions of Brunei,
Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam, and the Philippines contain natural gas.14
Secondly, the South China Sea is a significant medium of transportation and exchange. The
main East Asian economic power such as China, Japan and South Korea, are heavily dependent on
the safety and security of the South China Sea- lanes.15 Nearly 60,000 vessels pass through the Strait
of Malacca toward South China Sea region carrying various cargoes every year.16 According to the
U.S. Department of Homeland Security, approximately 30% of the world’s trade and 50% of the U.S
oil products pass through this waters.17 The report also says that nearly 15 million barrels oil per day
flow from the Persian Gulf, go through the Strait of Malacca to Japan, South Korea, China, and other
Pacific Rim states, including the U.S.
As previously mentioned, China exercises all efforts including her military capability to protect
her sovereignty in the South China Sea and its adjacent waters territorial. China’s defence strategy
ultimately allows its PLA to build its naval, air and missile forces. In order to modernize her military,
Chinese government has procured nuclear-powered submarines, frigates, amphibious landing craft
warships, fighter-bombers, as well as destroyers since 2000.18 These destroyers are also completed
with supersonics and anti-ship cruise missiles. In 2010, China bought 15 S-300 anti-aircraft missiles
from Russia, which have a range of more than 150 km and travel at minimum 2 km per second.19
Moreover, China has just launched its first aircraft carrier in 201020 and obviously China will further
continue its military procurement.
Although China reaffirms that her arms build-up is aimed to “safeguard its national sovereignty,
security and interests of national development,” its neighbors may view its policy differently. Japan,
Vietnam, and the Philippines, particularly, perceive this action as a threat. In 2009 Vietnam Defence
Paper, for example. Although Vietnam did not clearly mention about China, it noticed that territorial
disputes over South China Sea have been more complicated and on the rise. According to Vietnam
government, this is primarily due to many major powers have adjusted their military strategies,
increased their defence budgets, speeded up the armed forces modernization, and developed
advanced weapons and equipment, as well as military technologies.21 This, of course, made the
situation in South China Sea more complicated.

14
South China Sea Oil and Natural Gas, can be accessed from http://www.globalsecurity.org/military/world/
war/spratly-oil.htm
15
R.S. Kalha., op. cit.
16
Mokhzani Zubir, The Strategic Value of the Strait of Malacca, accessed from http://www.aspirasi-ndp.com/en/
archive/ThestrategicvalueoftheStraitofMalacca.pdf on 5 December 2011.
17
“Global Oil Choke Points, How Vulnerable Is the Global Oil Market?” accessed from http://www.deepgreencrystals.
com/images/GlobalOilChokePoints.pdf
18
Richard A. Bitzinger, “The China Syndromes: Chinese Military Modernization and the Rearming of Southeast
Asia,” in Working Paper no. 126, Singapore: S. Rajaratnam School of International Studies, May 2007.
19
“China Buys Air Defense Systems from Russia,” accessed from http://www.reuters.com/article/2010/04/02/
us-russia-china-arms-idUSTRE6310WG20100402
20
“China Launches First Aircraft Carrier on Maiden Sea Trial,” accessed from http://www.reuters.com/
article/2011/08/10/us-china-military-carrier-idUSTRE77900D20110810
21
“The 2009 Vietnam National Defence Paper,” can be accessed from http://admm.org.vn/sites/eng/Pages/vietna
mnationaldefence%28vietnamwhitepapers-nd-14440.html?cid=236

160
Similarly, Japan has viewed China’s arms build-up, particularly in navy capabilities, as a threat
since they remain had the East China Sea dispute to settle. This is as written in Japan’s Defence Paper
2010:
“In its military modernization China appears to give particular priority to the Taiwan issue as
an issue of national sovereignty and territorial integrity, and for the time being it will probably
aim for the improvement of military capabilities to prevent Taiwan’s independence and others,
but in recent years, China has begun to work on acquiring capabilities for missions other than
the Taiwan issue. The military trends of China draw attention from countries in the region, as
the country has been steadily growing as a major political and economic power in the region.”22

Regarding this issue, a retired Lieutenant General and Corps Commander of Japan’s Northern
Army, who later became a professor at Teikyo University, says, “We do not have any concern about
their land forces, only maritime forces like the navy and missiles. A drastic expansion of that kind of
capability could be a threat in the future.”23
China’s policy with regard to its military modernization and South China Sea issue, to a greater
extent, has led its neighbors to react in a similar strategy. As confirmed in its Defence Policy, Vietnam
has developed its defence powers and closely coordinated defence-security and diplomatic activities
in the last decade. This is carried out for two reasons; to protect its sovereignty as well as to support
its military industrialization and modernization. The Vietnam People’s Army modernization is
performed by a significant increase in Vietnam’s Defence budget. The 2006 defence budget was
increased 20.89% from USD 781.34 million to USD 987.70 million. It was then increased 28.85% in
2007 and became USD 1,388.26 million. It was slightly decreased in 2008, but then dramatically
increased to become USD 2,6 billion in 2011 and USD 3,3 billion in 2012.24
Like Vietnam, the Philippines have also established a reformation in its defence strategy
since 2003. Under the Philippines Defence Reform, the government focuses on 10 key areas,
such as improvement of operational and training capacity, improvement of logistics capacity,
personnel management systems, and level expertise, optimizing the defence budget and improving
management controls, and also increasing the capability of the Armed Forces of Philippines to
conduct civil military operations.25 Initially, along with the US, the defence reform is directed to
respond the 9/11 terrorist’s attack. Yet, the program is specifically containing the mission to protect
the Philippines national territory and its Exclusive Economic Zone from external aggression and
transnational threats.26
The Philippines has also performed an assertive stand towards China, with regard to Scarborough
Shoal issue since 1994. A recent standoff has just ensued when a Philippine navy surveillance plane
sighted eight Chinese fishing vessels anchored in a lagoon at Scarborough on April 8. Based on a
report form Filipino sailors, the Philippines navy then deployed its largest warship, the BRP Gregorio
del Pilar to the region.27 The Philippines later withdrew its warship, but China sent out two Fishery
Law Enforcement Command vessels. China’s act obviously provokes standoff to escalate, with the
Philippines requesting a diplomatic resolution to the crisis but refusing to retreat.  Bilateral relations

22
Japan’s Defense White Paper – 2010 accessed from http://www.mod.go.jp/e/publ/w_paper/pdf/2010/11Part1_
Chapter2_Sec3.pdf
23
“Japan Moves on from the Cold War,” accessed from http:www.bbc.co.uk/news/world-asia-pacific-12015563, in
13 September 2011.
24
The 2009 Vietnam National Defence Paper, pp. 38; see also http://defense-studies.blogspot.com/2011/01/
vietnam-defense-budget-in-2011.html and http://defense-studies.blogspot.com/2011/11/vietnam-announces-2012-
defence-budget.html
25
Philippines Defense Reform, can be accessed from http://www.dnd.gov.ph/DNDWEBPAGE_files/html/
pdrpage.htm
26
Charles ‘Ken’ Comer, “Philippines Defense Reform, Are We There Yet?” can be accessed from http://www.google.
co.id/search?q=philippines+defense+reform&ie=utf-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefox-a
27
“Philippine Warship in Standoff with China Vessels,” can be accessed from http://www.guardian.co.uk/
world/2012/apr/11/philippines-china-stand-off-south-china-sea

161
have quickly deteriorated, as China introduces restrictions on imports of Philippine bananas and
calls on tour groups to leave, causing a severe blow to the Philippine economy.  Moreover, the
Chinese media is talking of war and provoking both citizens, although a fishing ban implemented
by both sides may let tensions subside.28

ASEAN’s approaches in South China Sea Dispute


Rooted from its history, ASEAN obviously has its nature and origins. The national circumstances
and inter-state relationships of its members has shaped ASEAN as an association and set the so-
called “ASEAN Way.” This is to mention the loose arrangements over legal instruments and binding
agreements, the principle of non-interference, a pace comfortable to all member states and way
of consensus in its decision making process. In addition, to dispel the notion that ASEAN was
intended to be some kind of defence pact or military alliance, ASEAN has been devoted principally
to economic, social and cultural cooperation. 29 However, as former Singapore Prime Minister, Lee
Kuan Yew said in his memoirs, in its development, ASEAN was banding together more for political
objectives, stability and security.30
With regard to this security and stability matters, ASEAN later had initiatives to seek solutions
on the South China Sea dispute. There are at least two reasons that pulled ASEAN to pay attention
on the issue. Firstly, the dispute on the South China Sea involved its member states namely Malaysia,
Brunei, Vietnam and the Philippines. As far as it is concerned, the contention involves sensitive
questions of sovereignty and jurisdiction of its claimants. Secondly, as previously mentioned, the
dispute gives implications for national and regional security as well as economic development.
Accordingly, on July 1992, shortly after Vietnam acceded the ASEAN Treaty of Amity and
Cooperation (TAC), the ASEAN Foreign Ministers’ Meeting surprisingly agreed to issue a security-
related Declaration of the South China Sea. Essentially, it called for a peaceful resolution of territorial
disputes, without resort to force, the exercise of restraint, possible cooperation in maritime safety,
environmental protection, search and rescue and action against piracy, robbery at sea and drug-
trafficking.31 In the meeting, the ASEAN Foreign Ministers also praised the Workshops on Managing
Potential Conflicts in the South China Sea, initiated and hosted by Indonesia, as it contributed to a
better understanding of the issues. 32
Moreover, ASEAN has sought to deal regarding the South China Sea issues on multilateral
basis with China. However, China consistently refused as Chinese government offered to solve the
sovereignty issue and to negotiate joint development agreements on a bilateral basis.33 Eventually in
1994, ASEAN-China Dialogue marked the first time in history that China consented to multilateral
negotiations. Craig Snyder remarked that the multilateral approach has proven some success in the
South China Sea through joint development and increased transparency among the claimants.34
In a critical situation, in which four ASEAN members have conflicting claims to all or parts of

28
‘The Scarborough Shoal Standoff” accessed from http://www.currentintelligence.net/analysis/2012/5/17/
the-scarborough-shoal-standoff.html; see also “Chinese Media Warns of War with Philippines” http://www.telegraph.
co.uk/news/worldnews/asia/philippines/9258225/Chinese-media-warns-of-war-with-Philippines.html
29
Rodolfo C. Severino, Southeast Asia in Search of an ASEAN Community: Insights from the Former ASEAN
Secretary-General, Singapore, ISEAS, 2006, pp. 1-37, and 161.
30
Lee Kuan Yew, From Third World to First – The Singapore Story: 1965 – 2000, Singapore: Times Media Private
Limited, 2000, p. 370.
31
“ASEAN Declaration on The South China Sea, Manila, Philippines, 22 July 1992” can be accessed through http://
www.aseansec.org/1196.htm
32
“Joint Communique 25th ASEAN Ministerial Meeting Manila, Philippines, 21-22 July 1992, point 17” accessed
from http://www.aseansec.org/1167.htm
33
Epsey Cooke Farrel, The Socialist Republic of Vietnam and the Law of the Sea: An Analysis of Vietnamese
Behavior within the Emerging International Oceans Regime, Cambridge: Kluwer Law International, 1998, p. 282.
34
Craig Snyder comment in the Conference Report of “The South China Sea: Towards a Cooperative Management
Regime,” May 16-17, 2007, Singapore.

162
South China Sea, ASEAN has also developed a united posture in dealing with China. The political
solidarity posture was further manifested in November 2002, when the government of ASEAN’s
member states and the government of China signed the Declaration on the Conduct of Parties in
the South China Sea.35 Moreover, as the dispute between China and ASEAN came out into the open
during the 2010 ASEAN Regional Forum in Hanoi, ASEAN reached a consensus with China to
discuss a joint development of undersea resources. 36 ASEAN and China later agreed to adopt a set
of guidelines to implement the declaration of conduct, and pledged to exercise restraint. Building
on this progress, ASEAN senior officials have met several times since late 2011 to discuss a code of
conduct on South China Sea matters.
In January 2012, one of the claimants, the Philippines circulated an informal working draft
simply titled, Philippines Draft Code of Conduct. The document was eight pages in length and
comprised ten articles. In line with official Philippine foreign policy promoting the South China
Sea as a Zone of Peace, Freedom, Friendship and Cooperation (ZOPFF/C). The draft of CoC
proposed a Joint Cooperation Area in the South China Sea (Article III), a Joint Permanent Working
Committee to implement the ZOPFF/C (Article IV), the Application of Part IX of the 1982 United
Nations Convention on Law of the Sea in the South China Sea (Article V), and Dispute Settlement
Mechanisms (Article VI). The remaining articles contained standard provisions such as principles
(Article I), objectives (Article II), reservations (Article VII), signature and ratification (Article VIII),
entry into force (Article IX) and review and amendments to the code (Article X).37
The non-claimant state such as Indonesia also took the initiative to promulgate a CoC comprising
confidence building and conflict prevention measures and conflict management measures, should
conflict or an incident arise. This is essentially to prevent situations from worsening. Indonesia has
also circulated a draft of CoC on the South China Sea to ASEAN foreign ministers in last September
2012. According to Indonesian Foreign Minister, Marty Natalegawa, the CoC draft will be further
consulted by ASEAN Ministers before the ASEAN Summit November 2012.38
Notwithstanding, the situation in the waters remains vulnerable. There are three arguments to
support this statement. Firstly, any moves by any of the claimants, could become more and more
sensitive and could agitate the area at any time. As Severino concluded, the issues are much too
complex and their implications are much too great for the vital national interests of the countries
involved.39
ASEAN-China dialogue may significantly improve their mutual understanding and confidence
about the issue. However, the turning point in a long and complicated conflict, the conversion from
bilateralism to multilateralism, and the renunciation of the use of force according to some observers
led countries to conflict prevention rather than conflict resolution.40 In the meantime, ASEAN and
China have been trying to exercise self-restraint, refrain from occupying any more territory, avoid
any acts that could shake the stability of the area, build mutual confidence, and cooperate in dealing
with matters that call for cooperation and yield common benefits to the cooperating parties. Yet, the
territorial jurisdiction dispute itself remains unsolved.
Secondly, the contention between four ASEAN members as claimants of South China Sea,

35
Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea can be accessed from http://www.
aseansec.org/13163.htm
36
“ASEAN: a united front to tackle the South China Sea issue,” accessed form http://www.eastasiaforum.
org/2012/05/13/asean-a-united-front-to-tackle-the-south-china-sea-issue/
37
Carlyle A. Thayer, “ASEAN’S Code of Conduct in the South China Sea: A Litmus Test for Community-Building?”
accessed from http://www.japanfocus.org/-Carlyle_A_-Thayer/3813
38
“RI circulates draft code of conduct on South China Sea,” accessed from http://www.thejakartapost.com/
news/2012/09/29/ri-circulates-draft-code-conduct-south-china-sea.html
39
Severino, op. cit., p 189.
40
Jason Ray Hutchison, op. cit.

163
coupled with China, has failed the “ASEAN Way” to reach consensus. For the first time in ASEAN’s
history, the 10 members have failed to issue a joint communiqué at the end of its summit in Phnom
Penh, 13 July 2012. With a sharply disagreeable of the issue, most likely any consensus regarding
this dispute will become very difficult to achieve, if it is not impossible.
As a matter of fact, the whole issue of South China Sea is clearly not an issue between ASEAN
as an organization and China. It is rather a judicial and sovereignty matter between claimants.
Although Indonesia’s foreign minister Marty Natalegawa said that ASEAN should be seen to be
acting as one,41 the unity is needed merely to maintain the peace and stability of the region. ASEAN
has to make sure that any bilateral agreements regarding the territorial dispute will neither provoke
other claimants nor constrain other ASEAN countries to utilize their freedom of navigation in the
South China Sea and its adjacent waters.
Eventually, as the former Indonesian Minister of Defence, Juwono Sudarsono mentioned that
along with its both economic and military development, China is most likely refusing to submit
to international laws.42 This also applies to the DoC and CoC on South China Sea issue. China will
utilize its capacity entirely to place itself in a stronger bargaining position against other claimants,
including with ASEAN member-states. With this condition, the South China Sea dispute settlement
seems to take a longer time than predicted.

Conclusion
The South China Sea issue has called ASEAN for a significant role to resolve. The joint
communiqués discussing the South China Sea issue between ASEAN’s ministers has been held
many times. However, the last communiqué performed the failure of ASEAN’s way of consensus.
Moreover, the dialogue between ASEAN states and China is nothing more than to build a mutual
confidence and conflict prevention. Although China performs its peaceful diplomacy with its
neighbors, it remains utilized its military for sovereignty protection. ASEAN may not have the
capability to resolve the judicial dispute, yet it has the responsibility to maintain peace and stability
to the region. As a regional association, ASEAN has to protect its members’ interests. However,
ASEAN and ASEAN countries might utilize both multilateral and bilateral mechanisms with China,
particularly when it is related to the territorial border and jurisdiction dispute.

References
Books/Journals/Articles
Baker, John C., et al., “Cooperative Monitoring Using Commercial Observation Satellites: Case
Study of a Transparency Regime for the South China Sea Disputes,” Washington, D.C., George
Washington University Space Policy Institute, February 1999.
Bautista, Lowell B. “Thinking Outside the Box: The South China Sea Issue and the United Nations
Convention on the Law of the Sea (Options, Limitations and Prospects), in Philippines Law
Journal, Vol. 81, No. 4, 2006.
Bitzinger, Richard A., “The China Syndromes: Chinese Military Modernization and the Rearming
of Southeast Asia,” in Working Paper no. 126, Singapore: S. Rajaratnam School of International
Studies, May 2007.
Farrel, Epsey Cooke. The Socialist Republic of Vietnam and the Law of the Sea: An Analysis of Vietnamese

41
“ASEAN summit fails to agree on concluding joint statement,” accessed from http://www.channelnewsasia.com/
stories/southeastasia/view/1213369/1/.html
42
“Tiru AS, China Tak Akan Tunduk Aturan Internasional,” (Emulating the US, China Refuses to Submit to
International Laws.) Kompas, Saturday, 6 October 2012, p. 10

164
Behavior within the Emerging International Oceans Regime, Cambridge: Kluwer Law International,
1998.
Severino, Rodolfo C. “ASEAN and the South China Sea,” in Security Challenges, Vol. 6, No. 2, Winter
2010.
Severino, Rodolfo C. Southeast Asia in Search of an ASEAN Community: Insights from the Former ASEAN
Secretary-General, Singapore, ISEAS, 2006.
Shen, Jianming. “International Law Rules and Historical Evidence Supporting China’s Title to the
South China Sea Islands,” in Hastings International & Comparative Law Review, vol. 40, 1997.
Shen, Jiangming. “China’s Sovereignty over the South China Sea Islands: A Historical Perspective,”
in Chinese Journal of Internasional Law, 2002.
Snyder, Craig. Comment in the Conference Report of “The South China Sea: Towards a Cooperative
Management Regime,” May 16-17, 2007, Singapore.
“Tiru AS, China Tak Akan Tunduk Aturan Internasional,” (Emulating the US, China Refuses to
Submit to International Laws.) Kompas, Saturday, 6 October 2012.
Yew, Lee Kuan, From Third World to First – The Singapore Story: 1965 – 2000, Singapore: Times Media
Private Limited, 2000.

Websites
“ASEAN: a united front to tackle the South China Sea issue” accessed form http://www.
eastasiaforum.org/2012/05/13/asean-a-united-front-to-tackle-the-south-china-sea-issue/
“ASEAN Declaration on The South China Sea, Manila, Philippines, 22 July 1992” can be accessed
through http://www.aseansec.org/1196.htm
“ASEAN summit fails to agree on concluding joint statement,” accessed from http://www.
channelnewsasia.com/stories/southeastasia/view/1213369/1/.html
Comer, Charles ‘Ken.’ “Philippines Defense Reform, Are We There Yet?” can be accessed from http://
www.google.co.id/search?q=philippines+defense+reform&ie=utf-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.
mozilla:en-US:official&client=firefox-a
“China Buys Air Defense Systems from Russia,” accessed from http://www.reuters.com/
article/2010/04/02/us-russia-china-arms-idUSTRE6310WG20100402
“China Launches First Aircraft Carrier on Maiden Sea Trial,” accessed from http://www.reuters.
com/article/2011/08/10/us-china-military-carrier-idUSTRE77900D20110810
China’s National Defense in 2010, can be accessed through http://news.xinhuanet.com/
english2010/china/2011-03/31/c_13806851_5.htm
“China approves military garrison for disputed islands” accessed from http://www.bbc.co.uk/
news/world-asia-china-18949941
Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea can be accessed from http://www.
aseansec.org/13163.htm
“Global Oil Choke Points, How Vulnerable Is the Global Oil Market?” accessed from http://www.
deepgreencrystals.com/images/GlobalOilChokePoints.pdf
Hutchison, Jason Ray. “The South China Sea: Confusion in Complexity” can be accessed from
http://pdf-world.net/pdf/429137/The-South-China-Sea-Confusion-in-Complexity-pdf.php
Japan’s Defense White Paper – 2010 accessed from http://www.mod.go.jp/e/publ/w_paper/
pdf/2010/11Part1_Chapter2_Sec3.pdf
“Japan Moves on from the Cold War,” accessed from http:www.bbc.co.uk/news/world-asia-
pacific-12015563
Joyner, Christopher “The Spratly Islands Dispute in the South China Sea: Problems, Policies, and
Prospects for Diplomatic Accommodation“ can be accessed through http://www.stimson.

165
org/images/uploads/research-pdfs/cbmapspratly.pdf.
“Joint Communique 25th ASEAN Ministerial Meeting Manila, Philippines, 21-22 July 1992, point
17” accessed from http://www.aseansec.org/1167.htm
Kalha, R.S. “China’s Forward Policy in South China Sea,” can be accessed in http://www.idsa.in/
idsacomments/ChinasForwardPolicyintheSouthChinaSea_RSKalha_300712
Philippines Defense Reform, can be accessed from http://www.dnd.gov.ph/DNDWEBPAGE_
files/html/pdrpage.htm
“Philippine Warship in Standoff with China Vessels,” can be accessed from http://www.guardian.
co.uk/world/2012/apr/11/philippines-china-stand-off-south-china-sea
“RI circulates draft code of conduct on South China Sea,” accessed from http://www.thejakartapost.
com/news/2012/09/29/ri-circulates-draft-code-conduct-south-china-sea.html
“South China Sea Oil and Natural Gas,” can be accessed from http://www.globalsecurity.org/
military/world/war/spratly-oil.htm
Thayer, Carlyle A., “ASEAN’S Code of Conduct in the South China Sea: A Litmus Test for
Community-Building?” accessed from http://www.japanfocus.org/-Carlyle_A_-Thayer/3813
‘The Scarborough Shoal Standoff” accessed from http://www.currentintelligence.net/
analysis/2012/5/17/the-scarborough-shoal-standoff.html; see also “Chinese Media
Warns of War with Philippines” http://www.telegraph.co.uk/news/worldnews/asia/
philippines/9258225/Chinese-media-warns-of-war-with-Philippines.html
“The Untouchables” accessed from http://www.imdb.com/title/tt0094226/quotes
“The 2009 Vietnam National Defence Paper,” can be accessed from http://admm.org.vn/sites/
eng/Pages/vietnamnationaldefence%28vietnamwhitepapers-nd-14440.html?cid=236
Zubir, Mokhzani, “The Strategic Value of the Strait of Malacca,” accessed from http://www.
aspirasindp.com/en/archive/ThestrategicvalueoftheStraitofMalacca.pdf .

166
III
SOSIAL BUDAYA

167
168
KEPEMERINTAHAN LINGKUNGAN
DI ASIA TENGGARA

Apriwan
Andalas Institute of International Studies (ASSIST),Program Studi Ilmu Hubungan Internasional,
FISIP, Universitas Andalas, Padang,
email : [email protected]

Abstract
The environmental issues have been prominent problems that the human face today. Those issues influence
the human life in many aspect and level. It has influenced the social, economic and political life at the global,
regional and local level. At the regional level of Southeast Asia, it has become an agenda within the cooperation
of ASEAN. But, the improvement of the agenda is still low. This article wants to explain this issue with the
concept of environmental governance. The concept of environmental governance tries to offer an approach how
the stake holders (state and non state actors) play their roles to deal the problems. In other words, this concept
proposes that the environmental issues are not the responsibility of the state actor only, but also all the parties
which have interest and involve within the problem.
Key Words: environmental issues, environmental governance, regional, Southesast Asia

Pendahuluan
Isu lingkungan di Asia Tenggara cukup kompleks dan rumit. Isu ini telah menimbulkan ancaman
terhadap keamanan regional, dimana ancaman tersebut berdampak pada kualitas kehidupan dan
meningkatkan kompetisi dan ketegangan antar negara di kawasan tersebut. Ancaman keamanan
lingkungan ini ditandai dengan semakin langkanya sumber daya alam hayati dan non hayati seperti
ikan, kayu, minyak dan gas bumi. Kemudian juga termasuk menurunnya kapasitas pelayanan
lingkungan seperti udara dan air bersih. 1
Elliot misalnya memetakan lima agenda lingkungan di kawasan ini, antara lain environmental
degradation which affects terrestrial environment; atmospheric pollution and degradation; water resources;
the maritime environment; and energy resources2. Dalam hal terrestrial environment misalnya mencakup
di dalamnya deforestasi, disertifikasi, degradasi lahan dan hilangnya lahan subur yang sedang
menjadi permasalahan lingkungan yang cukup penting di Asia Tenggara. Rata-rata 1.2 persen Asia
Tenggara kehilangan lahan hutan , sementara itu Asia Tenggara berkontribusi 25 persen dari total
perdagangan kayu hutan tropis di dunia, Indonesia dan Malaysia merupakan kontributor utama.
Diikuti oleh negara-negara Indo-Cina, seperti Vietnam, Kamboja, dan Laos, yang kehilangan lahan
hutan disepanjang aliran sungai Mekong yang melalui ketiga negara tersebut.3
Berbicara dalam konteks polusi atmosfer, kawasan Asia Tenggara ditandai dengan masalah asap
yang tersebar di kawasan. Kabut asap merupakan bentuk dari ancaman terhadap kelangsungan
hidup manusia dan spesies lainnya. Kasus asap ini menciptakan ketegangan anatara Singapura,
Malaysia dengan Indonesia.4 Dalam hal sumber daya air, kawasan ini juga mengarah pada kondisi
krisis air. Kebutuhan air di Thailand diperkirakan meningkat dari 16,7% menjadi 22,5 % selama

1
Sean M. Lynn-Jones & Steven Miller, 1995, “Global Dangers: Changing Dimensions of International Security”, MIT
Press. hal. 87
2
Lorraine Elliot, Regional Environmental Security: Pursuing a Non-Traditional Approach, dalam Andrew T.H. Tan
and J.D. Kenneth Boutin, 2001 Op Cit hal. 439
3
Ibid. 440
4
RI-Malaysia Kerjasama Masalah Polusi Asap, http://menkokesra.go.id/content/view/1562/39/ dan http://
www.indonesia.go.id/id/index.php?option=com_content&task=view&id=2444&Itemid=716 lihat juga http://www.
gatra.com/2002-08-26/artikel.php?id=20032 diakses 26 Juni 2009

169
satu dasawarsa terakhir. Hal yang sama juga terjadi di Jakarta, Singapura dan Malaysia. Sementara
itu, pasokan sumber air bersih juga semakin menurun, meningkatnya kebutuhan air juga diiringi
dengan meningkatnya proses industri di kawasan tersebut. 5 Untuk permasalahan lingkungan
maritim, lebih dari 60 persen penduduk di Asia Tenggara tinggal di zona ekonomi dekat pantai, hal
ini berimbas pada kondisi ekosistem daerah tersebut dikarenakan meningkatnya polusi berdampak
pada keberlangsungan keberagaman hayati disekitarnya.6
Sementara itu, konflik perbatasan antara Malaysia dan Indonesia misalnya terkait blok
Ambalat(Indonesia)/ND6-ND7 (Malaysia), lebih banyak terkait dengan pemanfaatan sumber
energi, karena perbatasan ini kaya minyak bumi dan gas alam yang ingin dieksplorasi oleh kedua
belah pihak. Ketegangan di perbatasan ini sudah mengarah pada penggunaan persenjataan diantara
kedua belah pihak7. Sementara itu, ketegangan antara negara-negara Indocina dan China, juga
terjadi dalam pemanfaatan sumber energi di Aliran Sungai Mekong. Hal yang sama juga terjadi
antara Kamboja, Vietnam, dan Thailand terkait eksplorasi sumber energi di kawasan Teluk Thailand.
Terakhir, adalah kompleksitas permasalahan di Laut China Selatan, ditenggarai tidak hanya terkait
akan permasalahan teritorial semata, akan tetapi juga terkait dengan pemanfaatn sumber energi
oleh negara-negara yang bertikai.8
Berangkat dari kondisi di atas, isu lingkungan tidak hanya menjadi isu politik yang sangat
urgen bagi negara-negara di kawasan Asia Tenggara, akan tetapi telah mengalami proses sekuritasi
dimana isu ini ikut menjadi agenda-agenda keamanan di kawasan. Setidaknya ada tiga alasan yang
bisa dikemukakan. Pertama, permasalahan yang terkait dengan isu tersebut telah mengancam
eksistensi negara-negara di kawasan ini. Masing-masing negara merasa mendapatkan ancaman dari
negara terkait isu lingkungan. Bahkan sebagian negara telah menggunakan militer dan persenjataan
demi mengamankan kepentingan masing-masing negara terkait dengan isu tersebut.9
Kedua, kondisi ini sangat membutuhkan tindakan emergency, karena pada dasarnya hal ini
tidak hanya menyangkut keamanan atau kedaulatan suatu negara semata, tetapi juga terkait
dengan isu-isu lain, seperti sosial, politk dan ekonomi , sehingga butuh tindakan segera untuk
menyelesaikan sangketa tersebut. Ketiga, kondisi ini jelas memberikan efek terhadap hubungan
di antara negara-negara di kawasan ini. Polusi asap, krisis energi dan air, serta isu maritim telah
menjadi dispute yang tidak hanya menciptakan ketegangan antara dua atau beberapa negara, akan
tetapi telah mempengaruhi stabilitas keamanan di kawasan ini. Ketegangan akibat absennya atau
belum settle nya aturan-aturan yang mengatur permasalahan tersebut, telah menjadikan negara-
negara di kawasan ini bertindak sesuai dengan ukuran dan kepentingan mereka semata, tanpa
memandang kepentingan di luar mereka.
Berangkat dari kondisi yang cukup memprihatinkan seperti di atas, diperlukan sebuah usaha
dari semua pihak pada level regional untuk menemukan formulasi kebijakan dan pemecahan
masalah yang lebih serius dan komprehensif. Dengan menggunakan pendekatan environmental
governance (tata kelola lingkungan/kepemerintahan lingkungan), tulisan ini mencoba memberikan
pandangan bagaimana permasalahan lingkungan di kawasan Asia Tenggara bisa ditanggulangi
dengan bingkai kepemerintahan lingkungan di tingkat regional.

5
Andrew T.H Tan and J.D. Kenneth Boutin, 2001 Op Cit., hal. 443
6
Lihat Voravit Cheevaporn and Piamsak Menasveta, 2003, Water pollution and habitat degradation in the Gulf of Thailand,
Marine Pollution Bulletin 47, diakses dari www.aseanenvironment.info/Abstract/43003535.pdf
7
Mark. J. Valencia dan Nazery Khalid, The Sulawesi Sea Situation: Stage for tension or storm in a teacup? Diakses dari
ttp://www.nautilus.org/publications/essays/napsnet/policy-forums-online/security2009-2010/09060ValeniaKhalid.
pdf 
8
Apriwan, Ancaman Keamanan Energi di Asia Tenggara, Jurnal Ilmu Hubungan Internasional, Vol 8 (1) PACIS,
Universitas Katolik Parahyangan, Maret 2012
9
Apriwan, The Securitization of Environmental Issues in Southeast Asia, Andalas Journal of International Studies,
vol 1 no 1, 2012, pp 19-35

170
Persfektif dan Praksis Kepemerintahan Lingkungan
Kemunculan dari persfektif dan praktek tata kelola (kepemerintahan) tidak bisa terlepas dari
kondisi atau masalah yang dihadapi masyarakat modern saat ini, seperti isu lingkungan, pembangunan
ekonomi, adaptasi terhadap perubahan lingkungan global, bencana, krisis ekonomi, kemiskinan,
dan lain sebagainya. Hal ini terjadi pada tingkat lokal, nasional, regional, maupun global. Sementara
penyelesaian dan penanganan masalah tersebut tidak bisa diselesaikan dengan formulasi kebijakan
secara konvensional semata, dimana aktor negara (pemerintah) mengumpulkan dan menggunakan
pendapat para ahli, kemudian mengembangkan solusi kebijakan dan mengimplementasikannya
melalui proses legislatif dan eksekutif. 10 Pendekatan tradisional state-centric yang top down seperti
di atas memicu lahirnya pembagian otoritas pada pihak publik dan privat, kerjasama kemitraan,
standarisasi sukarela, kode etik, pengaturan bisnis yang mandiri, dan lain sebagainya. Kondisi ini
menunjukkan bahwa adanya pergeseran dari pendekatan pemerintah (top down government) yang
tradisional menjadi pendekatan kepemerintahan/tata kelola (governanace) yang lebih fleksibel
dan komprehensif.11 Disisi lain, hal ini juga dipicu dari kondisi ketidakpastian, kompleksitas dan
keterhubungan berbagai isu, serta banyaknya tahapan dan sejumlah konsekuensi dari setiap
solusi (peraturan) yang pada akhirnya memerlukan pendekatan kepemerintahan yang lebih bisa
memahami karakteristik masalah.12
Secara umum, konsep kepemerintahan terkait dengan pertanyaan bagaimana hubungan atau
interaksi sosial (apakah dalam konteks lokal, regional, maupun global etc.) dikoordinasikan. Makna
umum dari kepemerintahan sebagai “koordinasi sosial” menunjukkan perubahan kondisi dalam
masyarakat, ekonomi dan politik.13 Konsep kepemerintahan termasuk seluruh cara, dimana institusi
dan individu berencana dan mengatur urusan mereka secara bersama yang mengandung institusi
formal dan pengaturan informal, dan sekaligus apa saja yang harus dipahami dan dilakukan oleh
seluruh pihak yang terkait.14 World Humanity Action Trust (2000), mendefiniskan kepemerintahan
sebagai kerangka kerja dari sistem sosial dan ekonomi, serta struktur politik dan legal formal
melalui pengelolaan warga yang mandiri. Lebih lanjut, konsep kepemerintahan bersifat luas dan
merupakan instrumen yang total dalam menyediakan mekanisme kolektif dalam mengarahkan
masyarakat terkait isu-isu tetentu.
Dengan fokus pada isu-isu tertentu, praksis ide kepemerintahan menjadi lebih komprehensif
dan efektif. Dalam konteks isu lingkugan misalnya, ide kepemerintahan juga menjadi salah satu
pendekatan yang digunakan untuk menangani masalah-masalah ingkungan yang begitu rumit
dan kompleks. Pendekatan kepemerintahan lingkungan menjadi pilihan yang dilakukan oleh
masyarakat baik di tingkat lokal, nasional, regional maupun global.
Kepemerintahan Lingkungan (Environmental Governance) sebagai sebuah pendekatan bukan
sesuatu hal yang baru lagi. Model baru dari kepemerintahan lingkungan merupakan gerbang bagi
agenda normatif untuk memasuki tataran politik dan sekaligus menjadikan proses perumusan
kebijakan lingkungan yang lebih inklusif, transparan, akuntabel dan reflexif. Dan sekaligus

10
Torsten Grothmann and Marco Pütz, Reflexive regional governance – a framework for enhancing adaptiveness
of environmental overnance, Working Paper, presented at 2009 Amsterdam Conference, Wednesday Dec. 2,
2009Adaptiveness, Panel 3: Managing Climate Risks and Disasters
11
Lars H. Gulbrandsen , 2010, Transnational Environmental Governance; The Emergence and Eff ects of the Certifi
cation of Forests and Fisheries, Edwar Elgar, Northampton, hal. 6, lihat juga James Rosenau, James N Rosenau and
Ernst- Otto Czempiel (eds) (1992), Governance Without Government: Order and Change in World Politics, Cambridge:
Cambridge University Press.
12
Op CIt, Grothmann
13
Torsten Grothmann and Marco Pütz, Reflexive regional governance – a framework for enhancing adaptiveness
of environmental overnance, Working Paper, presented at 2009 Amsterdam Conference, Wednesday Dec. 2,
2009Adaptiveness, Panel 3: Managing Climate Risks and Disasters
14
Richard E. Saunier and Richard A. Meganck, 2007, Dictionary and introduction to global environmental governance,
Earthscan, London, hal.

171
berorientasi pada efketifitas dan performans.15 Pengembangan model baru kepemerintahan
lingkungan telah diartikulasikan antar penteori ilmu politik, sarjana kepemerintahan dan pelaku
kebijakan, yang memberikan perhatian dan harapan terhadap penataan kepemerintahan baru
dengan meningkatkan partisipasi dan deliberasi lintas sektor pasar, pemerintah dan civil society.
Partisipasi aktor privat dan publik melalui pengambilan kebijakan kolektif akan menghasilkan
kebijakan yang lebih legitimat dan efektif. 16
Kompleksnya proses sosio-lingkungan dan kebutuhan untuk adaptasi dan efisiensi sistem
manajemen menunjukkan semakin pentingnya sebuah pendekatan yang adaptif serta mekanisme
yang partisipatif, dimana persfektif kepemerintahan lingkungan berusaha untuk mengintegrasikan
keberagaman dari sistem manajemen termasuk di dalamnya kerangka aktor-aktor sosial yang lebih
luas dan sistem ekologi. Kepemerintahan lingkungan sebagai konsep neo liberal mengedepankan
peran aktor non-negara, telah dikembangkan oleh ilmuan sosial untuk mengusulkan persfektif
instusional baru terkait manajemen sumber daya alam. Dalam hal ini, kepemerintahan lingkungan
memperhitungkan pemecahan masalah secara kolektif dari kapasitas aktor yang berbeda-beda
dalam memahami interaksi sosial dan kemungkinan konflik diantara mereka dalam proses interaksi
yang kompleks dan dinamis tersebut. Lebih lanjut, persfektif ini juga terkait dengan konsep keadilan
lingkungan-- dimana perlu adanya penempatan distribusi harga dan keuntungan lingkungan yang
fair, penguatan kelompok-kelompok marginal, inklusi gender, serta pengurangan kemiskinan di
wilayah pusat. di samping itu, juga terkait dengan konsep politik lingkungan--dimana posisi negara
secara gradual telah didefenisikan ulang.17
Kepemerintahan lingkungan bisa dipahami sebagai sebuah proses yang dinamis berdasarkan
pada interaksi antar stakeholders, setidaknya terkait empat tahapan utama: 1)pembangunan wacana
dan pengetahuan, 2) desain agenda, 3) implementasi serta 4) pengawasan dan evaluasi. Lebih dari
sekedar siklus kebijakan pada umumnya, empat tahapan ini mencakup proses formal dan informal
serta mekanisme yang saling terkait dan terus menerus disesuaikan dengan konteks sejarah, sosial
dan lingkungan yang spesifik, serta bagaimana konfigurasi sosial dibentuk oleh aktor-aktor yang
berbeda.18 Di dalam praksisnya, memang tidak bisa dipungkiri bahwa kepentingan dan tekanan
politik seringkali mempengaruhi tahapan tersebut. Misalnya bagaimana menentukan jenis
pengetahuan yang akan digunakan, dan proses ini bisa memunculkan, mengurangi atau membentuk
ulang konfigurasi sosial yang sudah ada. Apakah karena pertimbangan efisiensi sosial, ekonomi
atau lingkungan itu sendiri.
Dalam tataran regional, persfektif dan praksis kepemerintahan lingkungan pun bukan sesuatu
yang baru lagi. Uni Eropa misalnya menggunakan pendekatan ini dalam menyelesaikan isu-isu
lingkungan. Sejak tahun 2000 misalnya EU mengeluarkan kebijakan baru yang disebut dengan
‘food safety”, yang secara resmi mereka istilahkan dengan “From the Farm to the Fork”, melalui
program ini, EU berusaha mengintegrasikan pendekatan multi sektor yang sebelumnya terpisah
satu sama lain, seperti, pertanian, perikanan, pembagunan, kesehatan, lingkungan, transportasi,
urusan konsumen, dan lain sebagainya. Selain itu, juga melibatkan berbagai pihak terkait untuk
mewujudkan tujuan-tujuan dari program tersebut.

Menyoal Kepemerintahan Lingkungan di Kawasan Asia Tenggara


Untuk melihat bagaimana kepemerintahan lingkungan beroperasi di kawasan Asia Tenggara

15
Karin Bäckstrand, Jamil Khan, Annica Kronsell and Eva Lövbrand, (2010), Environmental Politics and Deliberative
Democracy; Examining the Promise of the New Modes of Governance, Edwar Elgar, Northampton hal.3
16
Ibid
17
Michiel Baud, Fabio de Castro and Barbara Hogenboom, Environmental Governance in Latin America:Towards
an Integrative Research Agenda, European Review of Latin American and Caribbean Studies 90, April 2011 | 79-88
18
Ibid

172
tidak bisa terlepas dari peran dan kontribusi ASEAN sebagai organisasi regional kawasan. Komitmen
ASEAN terhadap lingkungan dan pembangunan berkelanjutan terekspresi dalam Visi ASEAN 2020
yang disampaikan pada pertemuan tingkat menteri ASEAN pada tahun 1997, bahwa, “A clean and
green ASEAN with fully established mechanisms for sustainable development to ensure the protection of the
region’s environment, the sustainability of natural resources and the high quality of life of its peoples.”19
Pada level ASEAN, negara-negara anggota sudah mengambil langkah serius dalam
meningkatkan kerjasama lingkungan baik bersifat internal maupun eksternal semenjak awal 1977.
Hal ini bisa dilihat dari serangkaian pertemuan ASEAN Sub-regional Environmental Programmes
(ASEP I, II, dan III), yang kemudian diikuti dengan Strategic Plan of Action on the Environement
(SPAE). Visi ASEAN 2020 yang diformulasikan pada 199720, Vientiane Action Programme 2004-2010
(VAP) dengan pengembangan strategi dan jangkauan program yang lebih luas21. Dan yang terbaru
adalah ditetapkannya 10 prioritas area yang tertuang dalam the Blueprint for the ASEAN Socio-
Cultural Community (ASCC Blueprint) 2009-2015.22

Pengelolaan dan Penanggulangan Polusi Asap dan Deforestasi


Kerjasama dalam penanggulangan polusi asap sudah dilakukan semenjak terjadinya kebakaran
hutan yang dahsyat pada tahun 1998 dan 1997, baik dalam konteks bilateral maupun regional.
Bilateral misalnya Malaysia dan Singapura telah memberikan bantuan secara lansung terhadap
Indonesia untuk menanggulangi dan mencegah kebakaran hutan yang akan berdampak pada
polusi asap di kedua negara.
Pada kebakaran hutan tahun 2006 misalnya, Singapura telah memberikan bantuan dana hampir
Rp100 miliar untuk Jambi dalam pembuatan master plan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan
serta kabut asap di wilayah tersebut.23 Sementara Malaysia dari tahun 2005 telah menyatakan diri
untuk memberikan bantuan lansung antara lain Malaysia menyatakan siap membantu memadamkan
kebakaran hutan di Riau, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah, baik pemadaman langsung
maupun melalui pembuatan hujan buatan.24
Bantuan yang diberikan oleh kedua negara ini bisa sebagai juga sebagai respon atas
ketidakmampuan Indonesia dalam menangani kabut asap. Asumsinya, protes mereka tidaklah
cukup untuk menyelesaikan kabut asap yang diproduksi oleh kebakaran hutan, mereka perlu pro
aktif, sehingga kerugian dari kabut asap tersebut bisa diminimalisir.

19
Fourth ASEAN State of the Environment Report 2009, Jakarta: ASEAN Secretariat, October 2009, hal. 2 Lihat juga
ASEAN Report to the World Summit on Sustainable Development, Jakarta, ASEAN Secretariat, 2002
20
Untuk detail ASEAN Vision 2020 lihat halaman page berikut http://www.aseansec.org/1814.htm dan arsipnya
pada link berikut www.commerce.gov.mm/eng/dot/pdf/asean_vision_2020.pdf
21
ASEAN Cooperation on Environment, diakses dari http://www.aseansec.org/8914.htm pada tanggal 25 November
2010. 12 strategi dan 55 program AREA yang terdapat dalam VAP bisa dilihat pada arsip ASEAnyang terkait dengan
isu lingkungan bisa dilihat pada dokumen VAP yang bisa diakses dari www.aseansec.org/VAP-10th%20ASEAN%20
Summit.pdf
22
10 prioritas area tersebut antara lain; (1)Addressing global environmental issues; (2) Managing and preventing
transboundary environmental pollution ( Transboundary haze pollution and Transboundary movement of hazardous
wastes); (3) Promoting sustainable development through environmental education and public participation; (4)Promoting
environmentally sound technology (EST); (5) Promoting quality living standards in ASEAN cities/ urban areas; (6)
Harmonising environmental policies and databases; (7) Promoting the sustainable use of coastal and marine environment;
(8)Promoting sustainable management of natural resources and biodiversity; (9) Promoting the sustainability of freshwater
resources; (10) Responding to climate change and addressing its impacts, diakses dari http://environment.asean.org/
index.php?page=overview pada tanggal 25 November 2010
23
Empat Menteri Lingkungan Asean Bahas Masalah Asap di Jambi, Antara News, 19 Juni 2007, diakses dari
http://www.antaranews.com/print/1182251350 pada tanggal 22 November 2010
Lihat juga Indonesia-Singapore Collaboration to Deal with the Land and Forest Fires in Jambi Province, diakses dari
http://haze.asean.org/info/indo-sing pada tanggal 22 November 2010
24
Atasi Asap, Malaysia Tawarkan Bantuan Hujan Buatan, Detik News Kamis, 11 Oktober 2005, diakses dari http://
www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2005/bulan/08/tgl/11/time/191751/idnews/420647/idkanal/10
pada tanggal 22 November 2010 lihat juga Soal Asap, Malaysia Beri Bantuan Penanganan, TEMPO  Interaktif, Jum’at, 12
Agustus 2005 diakses dari http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2005/08/12/brk,20050812-65237,id.html
pada tanggal 22 November 2010

173
Terkait dengan masalah asap dan deforestation ASEAN telah mengambil beberapa tindakan
dengan membentuk kerjasama, seperti the Regional Haze Action Plan (RHAP), the ASEAN Agreement
on Transboundary Haze Pollution (AATHP), the ASEAN Peatland Management Initiative (APMI), the
Zero-Burning and controlled-burning Guidelines, dan yang terbaru adalah mengaktifkan panel para
ahli di tingkat ASEAN ( Panel of ASEAN Experts in Fire and Haze Assessment and Coordination).25
RHAP dibentuk oleh Haze Technical Task Force (HTTF ) dan disahkan pada ASEAN Ministerial
Meeting on Haze (AMMH) yang diadakan di Singapura pada tanggal 22-23 Desember 1997. RHAP
ini menjadi Instrumen dalam menanggulangi dampak kebakaran hutan dan asap serta mencegah
kasus ini berulang kembali. Tujuan utama dari dibentuknya RHAP ini adalah: (i) untuk mencegah
terjadinya kebakaran hutan melalui formulasi kebijakan dan penegakkan hukum yang efektif, (ii)
Menetapkan mekanisme operasional untuk memantau kebakaran hutan dan lahan, (iii) Memperkuat
kapasitas regional dalam proses pemadaman kebakaran hutan dan lahan serta langkah-langak
mitigasi lainnya.26
Sementara AATHP disepakati oleh sepuluh negara ASEAN pada tanggal 10 Juni 2002 di
Kuala Lumpur, Malaysia. Perjanjian ini merupakan pengaturan regional pertama di dunia yang
mengikat sekelompok negara yang berdekatan dalam menanggulagi polusi asap lintas batas
akibat kebakaran hutan dan lahan. Perjanjian ini juga dianggap sebagai model peran global untuk
menangani isu-isu yang bersifat lintas batas. Ada tiga poin utama dari AATHP ini, (i) bekerja sama
dalam mengembangkan dan melaksanakan langkah-langkah untuk mencegah, memantau, dan
mengurangi polusi asap lintas batas dengan mengendalikan sumber kebakaran hutan dan/atau
lahan, mengembangkan sistem pemantauan, penilaian dan peringatan dini, pertukaran informasi
dan teknologi, serta usaha gotong-royong; (ii) segera merespon permintaan informasi terkait polusi
asap lintas batas yang sedang terjadi, dengan maksud untuk meminimalkan konsekuensi dari
pencemaran asap lintas batas; dan; (iii) mengambil tindakan hukum, administratif lainnya terkait
pelanggaran kewajiban berdasarkan Perjanjian.27
Sejauh ini semua negara anggota ASEAN sudah meratifikasi AATHP, kecuali pemerintahan
Republik Indonesia, yang masih terkendala dalam politik domestik, DPR masih mempertimbangkan
dan mempelajari imbas dari ratifikasi AATHP ini, ada pandangan bahwa Indonesia akan dirugikan
secara sepihak jika klausul dari AATHP belum dimodifikasi secara komprehensif.
The ASEAN Peatland Management Strategy (APMS) merupakan panduan untuk mendukung
pengelolaan lahan gambut di wilayah ini pada periode 2006-2020. APMS dipersiapkan karena adanya
kebutuhan mendesak untuk pemanfaatan dan pengelolaan secara benar atas lahan gambut, serta
munculnya ancaman asap akibat kebakaran yang berdampak pada perekonomian dan kesehatan
di wilayah Asia Tenggara, dan bahkan memungkinkan berkontribusi terhadap perubahan iklim
global.28
Sementara, Teknik zero burning adalah metode pembukaan dan pembersihan lahan tanpa
membakar tumbuhan atau pohon diseputar lahan, baik bekas tebangan pohon dan tanamanyang
sudah tua, seperti tumbuhan kelapa sawit. Hal ini bisa dilakukan dengan memarut, ditumpuk dan
dibiarkan menjadi kompos secara alami. Metode ini muncul didasarkan pada pengalaman skala
komersial perusahaan perkebunan di Malaysia dan Indonesia, perusahaan-perusahan tersebut
perlu melaksanaan kebijakan zero burning di perkebunan yang mereka buka.29

25
ASEAN claims to address haze, The Jakarta Post, 16 september 2006.
26
S. Tahir Qadri (ed), hal. 60
27
ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, diakses dari http://haze.asean.org/hazeagreement/ pada
tanggal 25 November 2010
28
ASEAN Peatland Management Startegy, Jakarta, ASEAN Secretariat, January 2007, hal 1-2, diakses dari http://
haze.asean.org/peatlandmanagement/apms pada tanggal 25 November 2010, lihat juga ASEAN Peatland Management
Initiative, Jakarta: ASEAN Secretariat, May 2005 hal. 3-5
29
Guidelines for the Implementation of the ASEAN policy on Zero Burning, The ASEAN secretariat, Jakarta, 2003,

174
Terakhir, Panel ahli di tingkat ASEAN dibentuk untuk menyediakan dan mengembangkan
prosedur dalam penangangan kabut asap dan pencegahan kebakaran hutan di kawasan Asia
Tenggara. Di samping itu, panel ahli juga memberikan penilaian secara independen dan rekomendasi
secara saintifik. Panel ini melakukan pertemuan setiap tahunnya untuk membicarakan dan
mengevaluasi prosedur penanganan masalah asap dan kebakaran hutan tersebut.30
Meskipun rangkaian kerjasama di tingkat regional ini cukup banyak, akan tetapi sebagian
pihak masih pesimis dan mempertanyakan kemampuan program tersebut dalam penanganan isu-
isu seperti kebakaran hutan dan asap lintas batas. Karena sejauh ini, masalah kebakaran hutan dan
polusi asap lintas batas ini masih saja terus terjadi di kawasan ini, sehingga protes terus bermuculan,
baik dari aktor negara maupun dari kelompok-kelompok masyarakat dari negara yang terkena
dampak polusi tersebut.
Tidak efektif nya kerjasama di atas, diasumsikan tekait dengan prinsip kerjasama ASEAN
yang dikenal dengan “the ASEAN Way”, yaitu prinsip musyawarah dan mufakat, serta non
intervensi dalam masalah-masalah domestik negara anggota ASEAN. Ditambah dengan
perencanaan dan kesepakatan yang tidak mengikat, menjadikan program-program tersebut sulit
untuk diimplementasikan. Selain itu sebagai lembaga yang terpusat, ASEAN sangat miskin akan
sumber daya serta inisiatif dalam implemetasi berbagai kebijakan mereka. Dalam hal ini, ASEAN
cenderung berciri sebagai lembaga kerjasama untuk perencanaan berbagai program antar negara-
negara bangsa di Asia Tenggara, daripada sebagai Institusi sentral yang memiliki kapasitas dan
kekuasaan dalam merumuskan dan mengimplementasikan sebuah kebijakan.31
Namun dari persfektif kepemrintahan lingkungan, kurang maksimalnya kebijakan yang
dibentuk oleh ASEAN tersebut, tidak hanya dalam konteks institusionalisasi kerjasama regional
ini semata, akan tetapi juga bagaimana ASEAN bisa melibatkan stakeholders yang terkait mulai
dari tahapan perumusan wacana dan penyusunan agenda sampai pada tahapan evaluasi dan
pengawasannya.

Kerjasama Pengelolaan Sumber Air


Kerjasama dalam pengelolaan sumber air juga dilakukan dalam konteks bilateral dan
multilateral. Untuk kasus pasokan sumber air Singapura, disamping negara ini sudah menjalin
kerjasama dengan Malaysia, Singapura juga bekerjasama dengan Indonesia, untuk mendapatkan
pasokan air dari Propinsi Riau di Pulau Sumatera. Dan untuk pengembangan penyulingan air laut,
Singapura sudah menjalin kerjasama dengan Jepang dan Arab Sudi.
Sementara untuk kasus pemanfaatan sumber air dari aliran sungai Mekong, pada tahun 1995
misalnya, telah dibentuk Mekong River Commission (MRC), yang beranggotakan negara-negara
Indo Cina. MRC merupakan lembaga kerjasama antar pemerintah yang bertanggungjawab dalam
manajemen keberlanjutan di daerah aliran sungai Mekong, anggotanya terdiri dari Kamboja,
Laos, Thailand dan Vietnam. Lembaga ini berusaha untuk menangani berbagai isu terkait dengan
pengelolaan aliran sungai, mulai dari kerbelanjutan industri perikanan,  mengidentifikasi peluang
untuk pertanian, mempertahankan kebebasan navigasi, manajemen banjir dan melestarikan
ekosistem penting di kawasan Mekong. Dan juga menangani dampak dari perubahan iklim yang
berimbas pada banjir besar di musim hujan, dan kekeringan di musim kemarau, serta naiknya
permukaan air laut. Untuk menangani masalah tersebut, MRC memfasilitasi berbagai dialog antara
pemerintah, sektor swasta dan masyarakat sipil yang terkait lansung dengan pemanfaatan aliran

hal. 2
30
Panel of ASEAN Experts on Fire and Haze Assessment and Coordination, diakses dari http://haze.asean.org/
experts/ pada tanggal 25 November 2010
31
Simon S. C. Tay, 1998, Southeast Asian Forest Fire: Haze over ASEAN and International Environmental Law,
Reciel, Volume 7 Issue 2, hal. 204

175
sungai Mekong tersebut.32
Hal ini bisa dilihat dari banyaknya LSM yang cukup aktif, baik nasional maupun internasional.
LSM-LSM ini juga membentuk konsorsium atau jaringan kerja yang dikenal dengan   ‘Save the
Mekong’ campaign – sebuah jaringan LSM yang berasal dari Thailand, Kamboja dan Vietnam.
Jaringan LSM ini cukup pro aktif dalam menyuarakan dan memberikan pendampingan bagi pihak-
pihak yang dirugikan dalam pemanfaatan aliran sungai Mekong. Mereka meminta negara-negara
riparian, memberikan tekanan pada Cina, yang dalam pemanfaatan hulu sungai Mekong, cenderung
merugikan negara dan masyarakat di bagian hilir sungai.33
Dalam konteks ini, MRC, tampil menjadi sub regional kepemerintahan lingkungan, dimana
MRC telah memulai langkah-langkah penyelesaian masalah dengan mekanisme partisipasi.
pelibatan-pelibatan aktor negara, seperti civil society, sektor privat dan elemen-elemen lain yang
terkait, baik tingkat lokal, nasional maupun regional. Kompleksnya masalah di Sungai Mekong,
menjadikan pendekatan kepemerintahan lingkungan sebagai pilihan yang efektif dan rasional.
Sehingga ketegangan-ketgangan dalam pemanfaatan aliran sungai yang bersifat lintas batas ini
menjadi lebih bisa diredam.

Tabel 1. Aktor-aktor dalam Pemanfaatan Aliran Sungai Mekong

No Aktor Keterangan
1 States Mekong governments Cambodia, Laos, Myanmar, Thailand, Vietnam, Yunnan
Province of China
Mekong public sector agencies and militaries
Regional inter-government organisations Asia-Pacific Economic Co-operation
(APEC), Association of
South-East Asian Nations (ASEAN) also ASEAN+3 (incl. South Korea, China,
Japan), Mekong River
Commission (MRC), Ministerial Forums, such as ADB-hosted Greater Mekong
Sub-region Economic
Co-operation annual meetings, ESCAP Environment Ministers’ 5 yearly meetings,
Asia-Europe Meetings
(ASEM)
Non-Mekong governments Japan, China, United States of America, South Korea,
Singapore, Sweden, etc.
2 GRASSROOTS People about 240 million people live in the GMS
People’s movements may be facilitated or supported by NGOs (e.g., People’s
Forum Chiang Mai, May
2000)
Mass organisations may have strong links to the State (e.g., Lao Women’s Union,
irrigation user groups,
the wat or the church, etc.)

32 ASEAN, MRC to Boost Cooperation on Mekong Issues, diakses dari http://www.mrcmekong.org/mrc_news/


press10/ASEAN-MRC-to-Boost-Cooperation4-Apr-10.htm pada tanggal 25 November 2011
33 http://www.yp.scmp.com/home/website/article.aspx?id=1745&section=International%20News diakses
tanggal 8 Februari 2011

176
3 NGOs Sub-national NGOs Assembly for the Poor (Thailand), Northern Development
Foundation (Thailand),
Cambodian NGO Forum—and their members, which may be other NGOs or
grassroots peoples’
movements.
Regional NGOs Focus on the Global South (FOCUS), Asia-Pacific Forum for
Women Law &
Development (APWLD), Towards Ecological Recovery and Regional Alliance
(TERRA)
International NGOs The Oxfams, World Wildlife Fund (WWF), IUCN; plus,
philanthropists such as
Ford Foundation, Rockefeller Brothers Fund, Rockefeller Foundation, etc.; plus
development assistance
subsidiaries of non-Mekong political parties such as the German Green Party’s
Heinrich Boll
Foundations; plus Church groups, such as World Vision
4 MEDIA Mainstream media, independent media, email networks, etc.
5 BUSINESS Local/national business—either private or private/public, transnational
corporations (TNCs) and other
international business, consultants, private financiers, also the deal arrangers
and insurers.
6 MULTILATERALS United Nations “family” UN Economic and Social Commission for Asia and the
and BILATERALS Pacific (ESCAP),
United Nations Development Program (UNDP), United Nations Commission on
Trade and
Development (UNCTAD), United Nations Environment Program (UNEP),
United Nations Education,
Scientific and Cultural Organisation (UNESCO), Food and Agriculture
Organisation (FAO) etc.
Multilateral public financiers, donor groups, trade regulators Asian Development
Bank (ADB); World
Bank “family”—International Bank for Reconstruction and Development (IBRD),
International
Development Association (IDA), International Finance Corporation (IFC),
Multilateral Investment
Guarantee Agency (MIGA), International Centre for Settlement of Investment
Disputes (ICSID); the
International Monetary Fund (IMF); associated Donor Consultative Groups
(DCGs) which may also
include bilateral and NGO members; World Trade Organisation (WTO).
Bilateral public financiers “Aid” organisations from Japan (JICA), United States of
America (USAID),
Sweden (SIDA), Denmark (DANIDA & DANCED), Australia (AusAID),
Germany (GTZ), etc., and
also major financiers such as Japan Bank for International Co-operation (JBIC)
and their respective
export credit guarantee agencies.

177
7 POLICY Cambodia Development Resource Institute (CDRI), Centre for Biodiversity and
RESEARCH Indigenous Knowledge
INSTITUTES (CBIK, Yunnan), Environment Research Institute (ERI, Laos), National Economic
Research Institute
(NERI, Laos), Thailand Development Resource Institute (TDRI), Stockholm
Environment Institute
(SEI), Viet Nam Environment and Sustainable Development Centre (VNESDC),
Yunnan Academy of
Social Sciences (YASS), World Resources Institute (WRI), etc.
8 UNIVERSITIES Cantho (Viet Nam), Chiang Mai (Thailand), Sydney (Australian Mekong
Resource Centre), Göteborg
(Sweden), etc.
9 RESEARCH and/ Asia Resource Tenure Network (ARTN), Development Analysis Network (DAN),
or ADVOCACY Greater Mekong Subregion
NETWORKS Academic Research Network (GMSARN), International Centre for Research on
Agroforestry
(ICRAF), International Mekong Research Network (IMRN), Oxfam Mekong
Initiative (OMI),
European Assoc. of South-East Asian Studies (EUROSEAS), Resource Policy
Support Initiative (REPSI);
plus aforementioned APWLD, FOCUS, TERRA etc.
Sumber: John Dore, Environmental Governance in The Greater Mekong Sub-Region, hal. 18 diakses dari http://pdf.wri.
org/mekong_governance_mreg_dore.pdf

Sementara pada level regional kerjasama ASEAN isu air juga menjadi bagian dalam
mengembangkan kerjasama mereka. Akan tetapi belum ada kerjasama spesifik yang sudah
diimplementasikan, isu air hanya menjadi bagian dari agenda-agenda besar pertemuan tingkat
menteri ASEAN. Misalnya pada pertemuan Consultative Working Group on ASEAN Water Conservation
yang diadakan di Manila pada tahun 1999, merekomendasikan pembentukan ASEAN Network of
water Resource Agencies (ANWRA), yang akan mempromosikan kerjasama antar negara-negara
anggota ASEAN dalam mendorong konservasi dan keberlanjutan sumber air dan juga transfer
pengetahuan dan teknologi secara sistematis. Lembaga ini berada dalam naungan ASEAN Senior
Officials on the Environment (ASOEN) yang diharapkan mampu berkontribusi dalam merealisasikan
program konservasi air regional ASEAN yang sudah disepakati dalam Hanoi Plan of Action.34

Pengelolaan Energi dan Sumber Energi


Terkait dengan konflik ekplorasi sumber energi di Laut Cina Selatan, ASEAN ikut andil dalam
mengelola potensi konflik di Laut China Selatan menjadi potensi kerjasama yang melibatkan
beberapa negara ASEAN dan China. ASEAN dan China telah menyepakati Declaration on the
Conduct of Parties in the South China Sea (DOC) yang ditujukan untuk menyelesaikan persengketaan
secara damai. DOC akan diimplementasikan melalui suatu code of conduct in the South China Sea.
Dalam kaitan ini, ASEAN-China Working Group on the Implementation of the Declaration on the Conduct
of Parties in the South China Sea menyepakati 6 proyek kerjasama dalam rangka confidence building
measures guna mendukung implementasi DOC.35
Seiring dengan kelangkaan akan sumber energi dunia, yang juga di alami di kawasan Asia
Tenggara, Kerjasama internal ASEAN dalam isu energi menjadi lebih komprehensif dan area

34
Diakses dari http://www.aseansec.org/10080.htm pada tanggal 25 November 2010, Lihat juga ASEAN Strategic
Plan of Action on Water Resources Management, Jakarta, ASEAN Secretariat, October 2005, hal 5-6 dan juga State of
Water Resources Management in ASEAN, Jakarta, ASEAN Secretariat, October 2005, hal 20-26
35
Asean Selayang Pandang, 2007, Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN, Departemen Luar Negeri Republik
Indonesia, hal 32.

178
kerjasama nya pun menjadi beragam termasuk dalam hal peningkatan ketersediaan sumber , akses,
pencarian energi. Kerjasama ini sudah di mulai dari tahun 1986, kemudian diperkuat dengan
penandatangan Plan of Action on Energy Cooperation (PAEC) pada tahun 1995, dan terakhir juga
diperkuat dalam Visi ASEAN 2020.36
Lebih lanjut, kerjasama ASEAN di sektor mineral dan energi diarahkan untuk membangun
jaringan/interkoneksi di bidang energi dan utiliti untuk sub-sektor kelistrikan dan gas bumi di
kawasan ASEAN melalui pembangunan ASEAN Power Grid dan jaringan pipa gas alam. Kerjasama
juga diarahkan untuk mempromosikan pengembangan sumber daya energi yang dapat diperbaharui
(renewable). Kerjasama sektor energi ini meliputi bidang minyak dan gas bumi, batubara, kelistrikan,
energi baru dan yang dapat diperbaharui serta konservasi energi. Kegiatan masing-masing bidang
dilaksanakan oleh suatu kelompok kerja (working group). Di samping kelompok kerja tersebut,
telah pula didirikan ASEAN-EC Energy Management Training and Research Centre yang kemudian
ditransformasikan menjadi ASEAN Centre for Energy (ACE), yang berkedudukan di Jakarta.37
Kerjasama juga sudah mulai dibangun dengan negara-negara di luar ASEAN, misalnya dengan
Cina, Korea Selatan, Jepang, dan Selandia Baru. Kerjasama ini mencakup keamanan energi, gas
alam, Konservasi dan renewable energi serta sistem pengelolaan stock minyak bumi. Pernyataan
regional ini telah dibahas dalam pertemuan tingkat menteri ASEAN di Hanoi, pada bulan July 2010
lalu.38 Kerjasama bidang energi dengan eksternal ASEAN juga terkait dengan implementasi dari
skema Protokol Kyoto dalam rangka mengurangi produksi green house gas (GHG), skema kerjasama
ini tertuang dalam Clean Development Management Project, antara negara-negara ASEAN dengan
Jepang, US dan Australia.39

Kesimpulan
Dari paparan di atas, bisa dipahami bahwa pendekatan Kepemerintahan Lingkungan dalam
lingkup Asia Tenggara belum lagi memberikan proporsi yang ideal, baik dalam hal mekanisme,
pelibatan aktor maupun formulasi kebijakan. Sementara, persfektif dan praksis kepemerintahan
lingkungan sudah menjadi pilihan yang rasional bagi penanggulangan isu-isu lingkungan yang
rumit dan kompleks.
Porsi pendekatan kepemerintahan lingkungan baru bisa dilihat pada kerjasama sub regional
Mekong River Commission (MRC). Dimana MRC memang telah membuka peluang dan kran
partisipasi bagi aktor-aktor non negara dalam merumuskan kebijakan terkait pemanfaatan aliran
sungai Mekong. MRC memiliki mekanisme formal dan informal dalam interksi antar aktor.
Semnetara itu, ASEAN sebagai organisasi regional Asia Tenggara masih menempatkan aktor
negara sebagai pusat perumusan kebijakan dengan pertimbanga-pertimbangan ahli yang mereka
kumpulkan. Pola-pola tradisional ini tentunya belum merefleksikan kaidah-kaidah dasar dari
persfektif kepemerintahan lingkungan yang dikembangkan oleh para ahli sosial. Setidaknya ada
beberapa asumsi yang bisa diambil disini, pertama, bahwa kerjasama dalam tataran ASEAN masih
bersifat umum dan luas, sehingga penanganannya menjadi tidak fokus dan komprehensif. Sementara
konsep kepemerintahan lingkungan menuntut perlu adanya fokus dan perhatian yang spesifik atas
isu tersebut. Kedua, pelibatan aktor non negara yang masih rendah, walaupun ASEAN memiliki

36
Francoise Nicolas, 2009, ASEAN Enegry Cooperation; An Increasingly Daunting Challenge, Note de I’Ifri
September , hal. 17
37
Ibid
38
Asia seeks to step up regional energy cooperation, diakses dari http://www.abs-cbnnews.com/business/07/23/10/
asia-seeks-step-regional-energy-cooperation pada tanggal 25 November 2010 lihat juga Southeast Asian nations reach
energy agreement. Diakses dari http://www.scidev.net/en/news/southeast-asian-nations-reach-energy-agreement.
html pada tanggal 25 November 2010
39
Development of Biomass Energy Use in Southeast Asia, diakses dari http://www.asiabiomass.jp/english/
topics/090216_03.html pada tanggal 25 November 2010

179
divisi untuk pelibatan aktor negara seperti ASEAN Civil Society Conference (ACSC) / ASEAN Peoples
Forum (APF), namun proses ini masih belum maksimal dan masih dalam tataran normatif. Hal
ini dikarenakan belum adanya mekanisme institusional dalam pelibatan aktor non negara terkait
penanggulangan isu-isu lingkungan di kawasan Asia Tenggara. Ketiga, belum terlihat adanya
usaha dan kemauan pelaku kebijakan di tingkat ASEAN untuk lebih memaksimalkan peran non
state aktor dalam isu-isu yang lebih spesifik seperti isi lingkungan.
Berangkat dari kondisi tersebut, ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh ASEAN, pertama
perlu adanya peluncuran wacana tentang kepemerintahan/ tata kelola di tingkat regional ASEAN
dan difokuskan pada isu-isu yang lebih spesifik. Kedua, perlu adanya kemauan politik dari pelaku
kebijakan di tingkat ASEAN (aktor negara) untuk menggunakan pendekatan kepemerintahan
lingkungan sebagai isntrumen dalam penyelesaian masalah lingkungan di tingkat regional. Ketiga
membuka ruang partisipasi dan delibersi secara luas, sehingga banyak pihak yang bisa memberikan
kontribusi dalam penyeleisaian masalah lingkungan. Terakhir, perlu adanya reinstitusionalisasi
kerjasama regional yang menempatkan porsi dan peran bagi aktor-aktor non negara dalam
penyelesaian dan penanggulangan isu-isu lingkungan.

Referensi
Buku dan Jurnal
Apriwan, (2012), Ancaman Keamanan Energi di Asia Tenggara, Jurnal Ilmu Hubungan Internasional,
Vol 8 (1) PACIS, Universitas Katolik Parahyangan. pp
------------------------(2012), The Securitization of Environmental Issues in Southeast Asia, Andalas
Journal of International Studies, vol 1 no 1, pp 19-35
ASEAN claims to address haze, The Jakarta Post, 16 september 2006.
ASEAN Peatland Management Initiative, (2005) Jakarta: ASEAN Secretariat
ASEAN Report to the World Summit on Sustainable Development, (2002) Jakarta, ASEAN Secretariat.
ASEAN Selayang Pandang, 2007, Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN, Departemen Luar Negeri
Republik Indonesia
ASEAN Strategic Plan of Action on Water Resources Management, (2005) Jakarta, ASEAN Secretariat
Bäckstrand, Karin Jamil Khan, Annica Kronsell and Eva Lövbrand, (2010), Environmental Politics
and Deliberative Democracy; Examining the Promise of the New Modes of Governance,
Northampton, Edwar Elgar,
Baud, Michiel Fabio de Castro and Barbara Hogenboom, (2011) Environmental Governance in Latin
America:Towards an Integrative Research Agenda, European Review of Latin American and
Caribbean Studies 90, April 2011 | 79-88
Certifi cation of Forests and Fisheries, Edwar Elgar, Northampton
Fourth ASEAN State of the Environment Report, (2009), Jakarta: ASEAN Secretariat
Grothmann, Torsten and Marco Pütz, (2009), Reflexive regional governance – a framework for
enhancing adaptiveness of environmental overnance, Working Paper, presented at 2009
Amsterdam Conference, Wednesday Dec. 2, 2009 Adaptiveness, Panel 3: Managing Climate
Risks and Disasters
Guidelines for the Implementation of the ASEAN policy on Zero Burning, (2003), The ASEAN
secretariat, Jakarta,
Gulbrandsen, Lars H. G , (2010), Transnational Environmental Governance; The Emergence and Eff
ects of the
Lynn-Jones, Sean M. & Steven Miller, (1995), “Global Dangers: Changing Dimensions of International

180
Security”, MIT Press. hal. 87
Nicolas, Francoise, (2009), ASEAN Enegry Cooperation; An Increasingly Daunting Challenge, Note
de I’Ifri September
Rosenau, James N and Ernst- Otto Czempiel (eds) (1992), Governance Without Government: Order and
Change in World Politics, Cambridge: Cambridge University Press.
Saunier, Richard E. and Richard A. Meganck, (2007), Dictionary and introduction to global
environmental governance, London, Earthscan.
Simon S. C. Tay, (1998), Southeast Asian Forest Fire: Haze over ASEAN and International
Environmental Law, Reciel, Volume 7 Issue 2,
State of Water Resources Management in ASEAN, (2005) Jakarta, ASEAN Secretariat
Tan, Andrew T.H. and J.D. Kenneth Boutin, (2001), Non-Traditional Security in Southeast Asia,
Singapore, IDSS

Artikel Online
ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, http://haze.asean.org/hazeagreement/
ASEAN Cooperation on Environment, http://www.aseansec.org/8914.htm
ASEAN Peatland Management Startegy, (2007), Jakarta, ASEAN Secretariat, http://haze.asean.
org/peatlandmanagement/apms
ASEAN Vision 2020, http://www.aseansec.org/1814.htm
ASEAN, MRC to Boost Cooperation on Mekong Issues, http://www.mrcmekong.org/mrc_news/
press10/ASEAN-MRC-to-Boost-Cooperation4-Apr-10.htm
Asia seeks to step up regional energy cooperation, http://www.abs-cbnnews.com/
business/07/23/10/asia-seeks-step-regional-energy-cooperation
Atasi Asap, Malaysia Tawarkan Bantuan Hujan Buatan, Detik News Kamis, 11 Oktober 2005, http://
www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2005/bulan/08/tgl/11/time/191751/
idnews/420647/idkanal/10
Cheevaporn, Voravit and Piamsak Menasveta, 2003, Water pollution and habitat degradation in the
Gulf of Thailand, Marine Pollution Bulletin 47, diakses dari www.aseanenvironment.info/
Abstract/43003535.pdf
Development of Biomass Energy Use in Southeast Asia,
Empat Menteri Lingkungan Asean Bahas Masalah Asap di Jambi, Antara News, 19 Juni 2007, diakses
dari http://www.antaranews.com/print/1182251350
http://haze.asean.org/info/indo-sing
http://www.aseansec.org/10080.htm
http://www.asiabiomass.jp/english/topics/090216_03.html
http://www.gatra.com/2002-08-26/artikel.php?id=20032 diakses 26 Juni 2009
http://www.indonesia.go.id/id/index.php?option=com_content&task=view&id=2444&Itemid=7
16 lihat
http://www.yp.scmp.com/home/website/article.aspx?id=1745&section=International%20News
Indonesia-Singapore Collaboration to Deal with the Land and Forest Fires in Jambi Province,
Panel of ASEAN Experts on Fire and Haze Assessment and Coordination, http://haze.asean.
org/experts/
Responding to climate change and addressing its impacts, diakses dari http://environment.asean.
org/index.php?page=overview
RI-Malaysia Kerjasama Masalah Polusi Asap, http://menkokesra.go.id/content/view/1562/39/
Soal Asap, Malaysia Beri Bantuan Penanganan, TEMPO Interaktif, Jum’at, 12 Agustus 2005 diakses dari

181
http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2005/08/12/brk,20050812-65237,id.html
Southeast Asian nations reach energy agreement. http://www.scidev.net/en/news/southeast-
asian-nations-reach-energy-agreement.html
Valencia, Mark. J. dan Nazery Khalid, The Sulawesi Sea Situation: Stage for tension or storm in a
teacup? Diakses dari http://www.nautilus.org/publications/essays/napsnet/policy-forums-
online/security2009-2010/09060ValeniaKhalid.pdf  
www.aseansec.org/VAP-10th%20ASEAN%20Summit.pdf
www.commerce.gov.mm/eng/dot/pdf/asean_vision_2020.pdf

182
THE ESTABLISHMENT OF THE CHIANG MAI
INITIATIVE MULTILATERALISATION (CMIM) AND THE
INTERNALIZATION OF ASEAN POLITICAL CULTURE

M. Sigit Andhi Rahman


Lecturer Department of International Relations at President University

Abstract
This paper study The Chiang Mai Initiative Multilateralisation (CMIM) in order to understand the internalization
of political culture of ASEAN. In contrary to Realist and Liberalist theories that see cooperation at the minimum
as non-existent and at the maximum as purely instrumental in the pursuit of self-interest this paper will use a
constructivist approach from Alexander Wendt towards the establishment of the CMIM. By analyzing Wendt’s
three master variables that resembles the formation of collective identity of ASEAN and the legitimacy of the
CMIM political culture, this paper concludes that the establishment of the CMIM has only for a small part
internalized the political culture of ASEAN to a higher degree.

Introduction
At a first glance the establishment of the Chiang Mai Initiative Multilateralisation (CMIM)
might be seen as a technical and economic process, thought out by economists, Central Bank
governors, finance ministries and technocrats. Under the ASEAN Economic Community Blueprint,
ASEAN envisages to achieve integrated financial and capital market by 2015.1 CMIM is one of the
key initiatives to achieve that goal through the cooperation of ASEAN+3 (China, Japan, and South
Korea). A US$120 billion multilateral currency swap facility designed to assist countries with short-
term liquidity difficulties. This mechanism has been implemented since 24 March 2010. However,
the process of ASEAN finance cooperation can be seen also as a political one, grounded in a South
East Asia security context; historical conflict between non-communist states and communist
states in, ideological and economic rivalries. Therefore, CMIM can be analyzed to understand
the internalization of political culture of ASEAN. To be relevant with the general theme of the
convention this paper will exclude Japan, China and South Korea in its discussion. This paper will
study ASEAN country members only.
In contrary to Realist and Liberalist theories that see cooperation at the minimum as non-existent
and at the maximum as purely instrumental in the pursuit of self-interest this paper will use a
constructivist approach from Alexander Wendt towards the establishment of the CMIM. According
to this approach the establishment of the CMIM and the norms, rules and institutions created are
not alone constraining actor behavior, more fundamentally they are shaping new identities and
interests.2 The underlying theory is explained by Wendt’s work Social Theory of International Politics.3
This theory will be used for this analysis. The objective of this paper is to analyze to what extent
the establishment of the CMIM has increased the political culture within the ASEAN. First a brief
analysis will be made about the political culture of the ASEAN.

The ASEAN political culture: a Lockean or Kantian one?


Wendt differentiates three different anarchies: a Hobbesian, Lockean and Kantian. Each
political culture can be internalized to a lower or higher degree. At a low level of internalization of

1
ASEAN secretariat, www.aseansec.org accessed Sept 28, 2012
2
Kenneth Dyson, The Politics of the Euro-zone, (London 1999), 8.
3
Alexander Wendt, Social Theory of International Politics, (New York; 1999).

183
its political culture states interact under coercion or at a medium level on self-interest. The highest
level of internalization is when states regard the political culture as a legitimate one.
In a Hobbesian anarchy states regard each other as enemies and settle disputes through violence.
Violence can break out at any time and makes cooperation almost impossible. In a Lockean anarchy
states are rivals. Violence between them is restrained based on the principle of mutual recognition
of each other’s right to exist. However, violence between states is not prevented and can occur.
Therefore, relative military power is still important in this political culture.4 A Kantian political
culture is based on friendship. States regard each other as friends and settle disputes without
violence or the threat of violence and will fight as one team if the security of any state is threatened
by third party. Institutional and economic power replaces military power.5
ASEAN political culture is quite unique. It resembles both Lockean and Kantian features. In
one hand, there are some border disputes together with small military incidents (ex. Cambodia
versus Thailand dispute on Preah Vihear temple) happened between member states but violence is
restrained based on the principle of mutual recognition. Consensus model of decision making, loose
regionalism without regional authority over states, strategic and not principle-based considerations
describe the institutional development of ASEAN.6 In case of ASEAN response in the Third
Indochina War (1978-1991), realist like Lee Jones said ASEAN’s emphasis on non-intervention was
ultimately a political rather than a normative principle. It was an expression of a defense of weak
capitalist regimes from subversion by separatist or communist movements being sponsored by
outside powers. ASEAN’s interests were regional ‘stability’ and the safeguarding of investments in
Cambodia.7
On the other hand, shared principles and collective identity have been initiated in Bangkok
Declaration, continued to be developed through the Treaty of Amity and Cooperation (TAC), and
strengthened through the three pillars of ASEAN Community in Bali Summit 2003. The Kantian
model of cooperation based on shared principles, ideas and a common duty to establish peace and
prosperity apparently exists in certain extent. The current ASEAN political culture has more or less
in between Lockean and Kantian characteristics.
For an analysis of an increase in the degree of internalization of the political culture Wendt
emphasizes a few master variables. He mentions efficient causes, such as common fate, interdependence,
homogenization and a permissive cause: self-restraint.8 According to Wendt for collective identity
formation to occur is one efficient cause and combined with self-restraint. Self-restraint therefore
plays a key role. The variable of homogenization is omitted in this analysis due several limitations
in its role to cause collective identity formation.9 The three variables will be analyzed in this paper to
understand whether the CMIM resembles the formation of collective identity of ASEAN. An extra
attention will be given to the legitimacy of the CMIM political culture, because legitimacy functions
as an indicator of a high degree of internalization of the political culture.

The CMIM
The CMIM agreement reached in May of 2009 at the ASEAN Plus Three Finance Ministers
Meeting (ASEAN+3-FMM) in Bali has come into effect in March 24, 2010. Its core objectives are (i) to

Ibidem 260-263, 279-283.


4

Ibidem, 298-302.
5

6
Donald E. Weatherbee, International Relations in South East Asia: The Struggle for Autonomy, 2nd ed. (Maryland:
Rowman &Littlefield, 2009).
7
Lee Jones, “ASEAN Intervention in Cambodia: From Cold War to Conditionality”, The Pacific Review, Vol. 20 No. 4
December 2007: 523–550 , 537
8
Wendt, 343-344.
9
Wendt, 353-357

184
address balance of payment and short-term liquidity difficulties in the region, and (ii) to supplement
the existing international financial arrangements. The total size is US$120 billion.10 This agreement
is the continuation of former ASEAN+3 multilateral currency swap arrangement. The former
arrangement was called as Chiang May Initiative (CMI). CMI was constructed as a response to the
1997-1998 Asian Financial Crisis.
There are three tracks of cooperation in the CMI agreement: currency swap, surveillance and
early warning system for future financial crisis, and exchange views among the ASEAN+3 members
on reform needed to international financial structure11 . Currency swap is an agreement to exchange
one currency for another and to reverse the transaction at a date in the future. This builds on the
expanded intra-ASEAN US$ 1 billion standby swap arrangement currently being developed and the
multibillion dollar Miyazawa Initiative put in place by Japan in late 1998 to assist Asian countries.
The surveillance and early warning system will be in form of exchange of information on short-
term capital movements in East Asia that will make governments aware of potential problems. The
last track will become the basis for recommendation to international forums on the international
financial structure reformation.12
CMI has become framework for ASEAN+3 member states to make contract between member
states bilaterally. All arrangements generally swap US dollars for local currency. For instance, Japan
and Thailand contracted swap agreement in certain amount of US dollar against Thailand Baht
and so on. Only one exception which is Japan and China contracted in Yen-Renmimbi. And if a
state wants to withdraw a necessary amount of money from more than one source, the state must
negotiate individually with each of the swap providing counterpart.
The Multilateralization of CMI (CMIM) has transformed a network of CMI bilateral currency
swap arrangement between the members, valued $78 billion, into a single $120 billion pool of
funds committed by the members. This was the second stage of CMI. Under this Common Fund
Agreement, member states could swap their respective currencies with US dollars for an amount
up to the participants contribution multiplied by respective purchasing multiplier as provided. This
single contract of common fund essentially replicates the model of reserve pooling of the European
Monetary Cooperation Fund (EMCF). This is meant to be legally binding and enforceable contract,
which would give effective protection to participating members.13

Asian Financial Crisis and ASEAN Financial Common Fate


When the individual survival or welfare of one state depends on what happens to the group
as a whole these states face a common fate. In international politics this threat is mostly constituted
externally.14 Richard Stubbs stated that Asian Financial Crisis has become a major catalyst in
institutionalizing the new arrangement (CMI and then CMIM). First, it added to the sense of
common history that has emerged in the region, secondly, it demonstrated the ineffectiveness of
APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) and ASEAN. Thirdly, a clear consensus has emerged
in the region that the International Monetary Fund (IMF), in conjunction with the U.S government,
initially misdiagnosed the problem and chose to impose a set solution that only served to exacerbate
the situation.15

10
http://www.amro-asia.org/about-amro/overview/what-we-do/
11
Richard Stubbs. ASEAN Plus Three:Emerging East Asian Regionalism?, Asian Survey, Vol XLII, No 3, 42:3,May-
June 2002, p. 449-450
12
M. Sigit Andhi Rahman, Multilateralims in East Asia: Analysis of Chiang Mai Initiative (CMI) within ASEAN+3
Framework, Jurnal Kajian Wilayah, Vol.1, No.1. (Jakarta, 2010)
13
PARK Yung-Chul. 2009. Global Economic Crisis and East Asia: What ASEAN+3 Can and Should Do, SERI
Quarterly, April 2009, 52.
14
Wendt, 349-350.
15
Richard Stubbs, 9

185
Asian Financial Crisis happened due to the lack of coordination and collaboration between
ASEAN member states. Even not all ASEAN member states directly affected by it, nearly every its
government felt its reverberations and had to deal with the fallout from the crisis.16 The crisis was
very contagious. Asian Financial Crisis erupted in July 1997 when the Thailand Government was
forced to abandon the fixed exchange rate regime to adopt a flexible exchange rate, resulting in
substantial depreciation of the Thai Baht. This crisis continued by the depreciation of Indonesian
Rupiah and Korean Won simultaneously.
There is change in the thinking among both political and business leaders and a growing
realization of the urgent need for the creation of formal regional mechanism to deal with any similar
crisis in the future and to maintain the economic growth of the region. The construction of
CMIM has built the sense of solidarity among ASEAN member states in term of economic and trade
especially in financial sector. Surely, future threat on one member’s financial structure will be a
threat to all members.

The CMIM: more or less interdependency after the 1997-8 Asian Financial Crisis?
In respect to the level of interdependence this section discusses whether the establishment of
the CMIM increased interdependence between the member states of the ASEAN or not. We can
distinguish two forms of interdependence; sensitivity and vulnerability.17 Sensitivity deals with
the degree to which changes in one actor affect the other, while vulnerability deals with the costs
an actor would incur from ending a relationship. Both stand in relation to each other. The more
vulnerable a state is, the more likely it is to accept a high level of sensitivity. By using vulnerability
and sensitivity it is possible to determine the level of interdependence between states and to find out
if it has increased.
Compare to European Monetary Union (EMU), CMIM has not given many consequences
for the interdependence between member states. In EMU member states would mutually fix
their exchange rate, guarantee the free flow of capital and transfer their monetary policy to the
European Central Bank. However, sovereignty of the fiscal domain remained at the state level. EMU
is a monetary union without a fiscal union. This has several consequences for the interdependence
between the states joining EMU. States in the EMU have lost the power of monetary policy to
steer their economies, while fiscal policies of separate states can affect the whole member states
by undermining the Euro. The current economic crisis illustrates the consequences. For example,
Greece with an estimated deficit of around 14 percent cannot devaluate its currency to improve the
competiveness of its economy. At the same time questions arise if the states that adhered to fiscal
discipline should fill the gaps created by undisciplined states. This is clear evidence that EMU has
increased the level of sensitivity. Domestic policies can affect directly monetary stability in the EMU,
so if one states spends too much it has consequences for all the European states and therefore asks
for rules and norms which constrain all.18
In respect to the level of vulnerability there has also been an increase in costs and risks associating
with leaving the EMU. Not only have the member states adjusted their economies to the Euro. It
has been the Euro, so argue many, which has prevented more serious economic problems in, for
example, Ireland and Greece. Leaving the Eurozone would mean the loss of credibility and possible
capital flight out of the country.19
While CMIM has been created in form of common fund where there is no transfer in term of

Ibidem.
16

Robert Keohane and Joseph Nye, Power and Interdependence, 2nd ed, (Glenville: 1989), 12-16
17

18
Peter Beynen, The Establishment of European Monetary Union and the Internalization of its Political Culture, 2010,
unpublished.
19
Ibidem.

186
state financial sovereignty. Both monetary and fiscal policies still remain in the state level. CMIM
only provide mechanism for each member state to swap their currencies with US dollars for an
amount up to their contribution. The level of sensitivity is only concerning the sustainability of
CMIM and not on other member state. For example, if one member state is using the fund through
the CMIM mechanism carelessly, this will affect its own economy and fund sustainability in CMIM.
Of course it will affect the regional financial stability in the future. But this level of sensitivity has not
changed significantly from 1997 Asian Financial Crisis.
In term of structural relation, the relation within the CMIM is more appropriate to be described
as the relation between potential borrowers (Korea and ASEAN) and loaners (Japan and China).
There is an increase in term of interdependence relation between loaners and borrowers since Japan
and China realized that their industries are depend on the economic stability of ASEAN. While
ASEAN regards Japan and Korea as the financial resources to overcome the problems. But the level
interdependence among ASEAN member states has changed significantly. ASEAN member states
have developed stronger relation with those 3 states outside ASEAN than among themselves.
In respect to the level of vulnerability, there are no increases in costs and risks for leaving the
CMIM. In fact, the CMIM fund is considered not sufficient to stave off a financial crisis in the ASEAN
countries. The largest ASEAN members of the CMIM can access roughly US$11 billion via the CMIM,
yet these same countries needed around $40 – $60 billion during the Asian Financial Crisis in 1997-
8. The CMIM does not provide incentives for member countries to stay only within the CMIM and
disconnect its financial from global architecture. China and Japan have calculated the ‘required’
CMIM resources based on the assumption of involving funds from IMF.20 The CMIM conditionality
is very strict. For ASEAN and Korea, accepting short-term financing through the CMIM mechanism
is probably not the cheapest option, at least on average. CMIM funding is charged at higher than
market rates and is non-differentiated.21 For example, during the late global economic crisis, Korea
chose to borrow from the US Federal Reserve while Indonesia struck an innovative agreement with
a consortium led by the World Bank.22
The formation of CMIM has not showed any increases in the level of sensitivity and vulnerability
in ASEAN as EMU in EU does. Domestic economic policies has not directly influence the economic
and financial well being of other states.

The permissive condition: self-restraint


Wendt stresses self-restraint is the key role in collective identity formation. Internalization to a
higher degree will be impeded by the fear of being physically or psychically engulfed by those whom
the actor would identify. Actors must trust that their needs will be respected and their individuality
not submerged by the group. Creating this trust is fundamental. If actors have the belief that others
pose no threat to them it is easier to identify with them.23
In the CMIM there exists a tension between the national financial sovereignty and non-state
regional macroeconomic surveillance unit within it, AMRO (ASEAN+3 Macroeconomic Research
Office). AMRO as independent unit has duties to monitor and analyze regional economies and to
contribute to early detection of risks.
But the tension is not as intense as the tension between the sovereignty of EMU member state
and the European Central Bank as the supranational institution. In a political culture with a high
degree of internalization states match their self-interest more willingly with the group interest. In

20
Joel Rathus, The Chiang Mai Initiative’s Multilateralisation: A Good Start, East Asia Forum, March 23rd, 2010
21
Ibidem.
22
Henning RC and MS Khan, “Asia and Global Financial Governance”, Peterson Institute of International Economics
Working Paper Series No. 11-16, October 2011.
23
Wendt, 358.

187
the EMU member states would have obey certain criteria in order to maintain the economic stability
within the region. The convergence criteria were the condition under which it was able to join EMU
and consisted of three important conditions
1. The annual budget must not exceed 3% of Gross Domestic Product (GDP).
2. The national debt must not exceed 60% of GDP or approaching it in a satisfactory pace.
3. The inflation rate must not be 1,5% higher than the average of the three EU members with the
lowest inflation.

This is an example of self binding mechanism found in the EMU. For states like Portugal, Italy,
Greece and Spain (PIGS) meeting these criteria would mean a great effort. They would have to
show self-restraint regarding their domestic economic policies. However, by meeting the criteria the
member states of the Eurozone has showed an example of self-restraint and compliance to shared
rules and by doing so they created mutual trust.
AMRO is planning to introduce the Regional Monetary Unit (RMU), a regional weighted
currency basket, as a numeraire currency. The RMU would provide more stable currency values.
It could also facilitate AMRO’s surveillance activities. This is to make sure that member states are
avoiding competitive devaluations among each other. This also motivates them to coordinate their
macroeconomic policies for deeper integration.24 This mechanism is still far in term of contributing
a self-binding mechanism for member states. The problem in establishing a binding CMIM
surveillance mechanism is due to the strong non-interference principle in the ASEAN. This is the
reason that AMRO is designed as independent unit and not as a supranational institution. AMRO
acts as only consultation unit without sufficient political power. AMRO together with its RMU will
not sufficiently create self-restrain mechanism regarding member states domestic economic policy.

The CMIM: a legitimate political culture?


The last indicator that will be analyzed is the level of legitimacy of the CMIM political culture,
its institutions, rules and the commitments made. When the member states regard the CMIM as a
legitimate political culture they accept the disadvantages and costs associated with it as legitimate.
Therefore, they are less likely to use the CMIM purely instrumentally to accomplish their self-
interests, but recognize that the well-being of other states is part of their own self-interest.25 CMIM
should be founded on a solid normative base, spreading and promoting shared values and the
overall good. Furthermore, it should be a proponent of fair policy. Decisions must be defensible and
avoid arbitrariness or privileging some of the member states. Only then will the political culture
be regarded as legitimate and be able to enforce moral obedience from its member.26 An important
factor in achieving this will be through the promotion of solidarity between the member states. It
is vital that the richer states join a system of burden sharing, which results in disadvantages for
the richer member states, but, on the other hand, increases the overall legitimacy of the CMIM.
Another factor that influences the legitimacy of the CMIM is the mode of governance. If the mode
of governance reflects relative bargaining powers and promotes inequality it erodes the legitimacy
of the Eurozone and risks losing moral obedience of the member states. Equally important is the
democratic accountability of the institutions involved. For the member states legitimacy means that
they find a way to act responsible towards the other states and match their self-interests accordingly.
In term of solidarity, CMIM has able remarkably show how a communist states like Vietnam
and Laos joined in the CMIM. Small and poor states such as Cambodia, Burma/Myanmar have also

24
Pradumna B. Rana, The next steps in ASEAN+3 monetary integration, Vox, 27 May 2012
25
Wendt, 303-307.
26
Dyson, 225-228.

188
contributed in this arrangement. The sharing burden shows the increase in the level of legitimacy.
But the sharing burden is only in term of share of fund in the CMIM and not in term of sharing
burden when one member state get financial problems. Solidarity between member states could
add legitimacy to the CMIM. In practice this is a difficult issue. There is no explicit statement that
member states will bail each other out if there is problem. As long as the richer states do not wish to
support poorer states real solidarity within CMIM cannot be achieved.
In term of governance, there is the problem of who will control the CMIM – China or Japan? This
Sino-Japanese rivalry was the principal cause of the failure to multilateralise (and insititutionalise)
the CMI before now. Indeed, it took an external threat in the form of the Global Financial Crisis for
Japan and China to finally settle their differences and work out a compromise on contributions and,
implicitly therefore, voting weight. This rivalry has hardly disappeared however, and continues to
be a factor inhibiting the development of the CMIM.27 ASEAN has not been the main driver in this
mechanism. There are no democratic mechanisms in the institution. As the case mentioned before,
Indonesia used other mechanism outside the CMIM to cope the recent global financial crisis. This
means that the CMIM is merely instrument of national interest. The member states will use this
mechanism when it is beneficial for their own interests.

Conclusion
I argue that although CMIM has developed the ASEAN previous regional cooperation (CMI)
into a more institutionalized and multilateralised mechanism, the establishment of the CMIM
has only for a small part internalized the political culture of to a higher degree. The CMIM arose
from common fate resulted from 1997-8 Asian Financial. But CMIM has not increased the level of
interdependence between ASEAN member states. CMIM has not provided enough rules, norms
that develop self-restraint mechanism for member states. These mechanisms, rules, institutions are
important to make higher degree of internalization of ASEAN political culture.
High level of internalization happens when states match or consider their interests with the
collective interest. There are increase interdependence relations between the borrower (ASEAN)
and the loaner (China and Japan) but not between ASEAN member states itself. Member states
preferred not using CMIM when other less straining mechanism available. The CMIM is more or
less an instrument for pursuing national interest. Moreover, democratic accountability is very low
which makes it more difficult for a necessary feature to form and sustain its identity on the longer
term. ASEAN political culture has not changed significantly by the formation of CMIM.

��������������
Joel Rathus.
������������

189
190
INDONESIA MENUJU ASEAN COMMUNITY 2015

Emil Radhiansyah
Pengajar Jurusan Hubungan Internasional di Universitas Paramadina

ABSTRAKSI
Perkembangan Globalisasi yang pesat yang ditandai dengan kemajuan teknologi, komunikasi dan
transportasi mempengaruhi hubungan antar negara dalam hal perpindahan barang, modal dan jasa serta
migrasi manusia yang pada akhirnya mempengaruhi kerjasama antar Negara dalam bidang ekonomi
dan politik. Kerjasama tersebut pada akhirnya mempengaruhi kerjasama pada bidang-bidang lain antara
negara-negara yang terlibat. Sebagai contoh Uni Eropa yang sukses menempuh kerjasama dalam bidang
ekonomi, merasa perlu untuk meningkatkan kerjasama dalam bidang politik dan sosial budaya, hal ini
dikarenakan kebijakan ekonomi yang disepakati berpengaruh terhadap kebijakan politik dan pada akhirnya
mempengaruhi kehidupan sosial budaya diantara negara-negara Uni Eropa tersebut. Model kerjasama yang
terjadi di eropa banyak diadopsi oleh kawasan lain, antara lain Asia Tenggara.
Kerjasama dalam kawasan asia tenggara dalam suatu institusi regional ASEAN, tengah mengalami
perkembangan menuju kepada terbentuknya suatu kawasan yang terintegrasi yaitu dengan membentuk
ASEAN Community pada 2015 mendatang. Dalam Deklarasi Concord yang dihasilkan pada KTT ke-9 di Bali,
Oktober 2003, dirumuskan bentuk integrasi tersebut ke dalam tiga pilar yaitu pembentukan ASEAN Political-
Security Community, ASEAN Economic Community, ASEAN Socio-Cultural Community. Indonesia sebagai
bagian dari Asia Tenggara dan sekaligus sebagai anggota dari ASEAN memiliki kewajiban untuk mewujudkan
terbentuknya ketiga pilar tersebut dengan melakukan langkah-langkah penyesuaian yang diperlukan dalam
deklarasi tersebut. Namun dalam perkembangan persiapan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia,
dihadapkan pada situasi ekonomi serta kehidupan berbangsa dan bernegara yang perlu dengan segera
dicarikan solusinya. Tulisan ini mencoba menjelaskan perkembangan persiapan yang dilakukan oleh
pemerintah Indonesia dalam menyongsong ASEAN Community.

RUMUSAN MASALAH
Fakta bahwa pada ASEAN China Free Trade Area, banyak bidang industri di Indonesia yang
mengalami mati suri sebagai akibat tidak mampu bersaing dengan hasil produksi China, terutama
perindustrian tekstil Indonesia, yang disebabkan persiapan yang tidak matang dari pemerintah
terhadap sektor perindustrian Indonesia. Fakta masih sering terjadinya carut marut politik yang
menghasilkan perselisihan serta konflik berbau SARA, serta penerimaan masyarakat terhadap isu-
isu regional-internasional yang menjurus kepada tindakan penolakan yang tercermin dalam gerakan
protes sehingga berpotensi menimbulkan ketegangan antar Negara. Melihat hal ini menimbulkan
pertanyaan apakah Indonesia siap dalam menghadapi ASEAN Community 2015?

HIPOTESA AWAL,
Situasi politik, ekonomi dan sosial budaya indonesia yang tidak lepas dari permasalahan
membuat pandangan yang skeptis terhadap kemajuan yang terjadi pada bidang-bidang tersebut.
Konflik dalam pemilihan kepala daerah yang tak kunjung usai sebagai akibat adanya kecurangan,
serta ketidak puasan masing-masing pendukung yang berujung pada tindakan anarkis dan konflik
daerah yang menjurus kepada separatisme dan konflik berkepanjangan, yang mengarah kepada
akibat pertumbuhan perekonomian yang tidak seimbang atau parsial serta konflik yang melibatkan
unsur SARA (Suku, Agama, dan Ras) mengantarkan kepada hipotesa awal mengenai ketidak siapan
Indonesia dalam menghadapi ASEAN Community pada 2015 nanti.

LANDASAN TEORI
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, dalam tulisan ini akan mencoba menelaah konsep
globalisasi, paradigma neoliberalisme serta konsep dan teori integrasi.

191
Konsep globalisasi adalah konsep yang belakangan ini atau tepatnya pasca Perang Dingin
berakhir sering disebut-sebut sebagai suatu konsep yang akan mempersatukan seluruh Negara yang
ada dimuka bumi menjadi satu kesatuan politik, ekonomi dan hubungan antar budaya yang tidak
terpisahkan, tidak terhalang oleh suatu hambatan tradisional. Held dan McGrew menerjemahkan
globalisasi sebagai “…globalization is made up of the accumulation of links across the world’s major regions
and across many domains of activity”.1 Proses tersebut berjalan seiring dengan empat tipe perubahan
yaitu:
1. Proses tersebut melibatkan aktvitas sosial, politik dan ekonomi tanpa terbatasi oleh ikatan politik,
wilayah dan benua.
2. Meningkatan ketergantungan antar satu sama lain yang tercermin dari aliran tingkat perdagangan,
investasi, keuangan, migrasi dan perkembangan kebudayaan.
3. Proses tersebut mempercepat pertumbuhan dunia yang berarti terbentuknya sistem transportasi
dan komunikasi baru yang bertujuan mempercepat perjalanan barang produksi, arus informasi
dan arus manusia.
4. Proses tersebut mempengaruhi pola kehidupan ditempat lain.

Adanya banyak pengertian mengenai globalisasi antara lain seperti yang diungkapkan oleh
Pieterse yaitu sebagai suatu proses integrasi manusia yang melewati batas-batas Negara-bangsa
serta sebagai suatu media yang memungkinkan hubungan antar budaya .2 Dari beberapa pengertian
di atas dapat ditangkap bahwa proses globalisasi telah menyebabkan terjadinya perubahan
dalam pola interaksi antar Negara dalam berbagai bidang antara lain ekonomi yang ditenggarai
oleh perpindahan barang, modal dan jasa, politik yang ditenggarai dengan adanya penyelarasan
kebijakan dan sosial budaya yang ditenggarai dengan migrasi manusia serta budaya, sehingga
sebagai akibatnya interaksi ini menyebabkan adanya suatu pola yang saling timbal balik.
Bila ditelaah lebih lanjut terjadinya pola interaksi seperti pada konsep diatas maka ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan sehingga terjadinya globalisasi antara lain adanya entitas local yang
berusaha membuka diri sebagai akibat kemauan sendiri ataupun adanya dorongan eksternal.
Kedua, terdapatnya interaksi antara entitas local dengan entitas luar yang damai. Ketiga, adanya
media yang memfasilitasi proses interaksi tersebut baik berupa teknologi informasi, teknologi dan
transportasi, media dalam hal ini dapat dilihat dengan adanya kerjasama politik dan ekonomi
tingkat regional, internasional dan transnasional.3
Dalam bukunya, Firmanzyah, mencoba melihat bahwa tercapainya globalisasi bila terdapat
suatu sistem yang berjalan yang diterjemahkan dengan adanya organisasi yang menaungi bagaimana
pola interaksi tersebut dijalankan. Pola interaksi tersebut tercermin dalam suatu bentuk kerjasama
regional yang pada akhirnya mengarah pada suatu interaksi global. Terbentuknya suatu sistem
tidak secara sederhana menjelaskan berjalannya globalisasi namun perlu dibentuk juga suatu
keteraturan. Keteraturan yang dimaksud adalah keteraturan sosial yang berbentuk perundangan
resmi pemerintah, peraturan pemerintah, norma dan nilai yang terdapat dalam suatu budaya,
sistem prosedur dalam suatu organisasi dan lainnya.4
Sistem yang berjalan dalam globalisasi tidak dengan serta merta terbentuk sebagai akibat
kesadaran semua Negara, namun diawali oleh pembentukan globalisasi di tingkat local yaitu
terbentuknya sebuah kerjasama dalam kawasan atau regionalisme. Kawasan atau regional di

1
David Held and Anthony McGrew et.al, Managing the Challenge of Globalization and Institutionalizing Cooperation
Through Global Governance, dalamCharles W. Kegley, Jr & Eugene R. Witkopf,”The Global Agenda: Issues and Perspectives”,
McGrawHill:Singapore six edt, 2001, hlm 135.
2
Firmanzyah, “Globalisasi: Sebuah Proses Dialektika Sistemik”, Yayasan Sad Satria Bhakti:2007,hlm 25.
3
Ibid, hlm.,33.
4
Ibid, hlm. 67.

192
definisikan oleh Richard W. Mansbach sebagai pengelompokan regional [yang] diidentifikasi dari
basis kedekatan geografis, budaya, perdagangan dan saling ketergantungan ekonomi yang saling
menguntungkan, komunikasi serta keikutsertaan dalam organisasi internasional.5 Pengelompokan
ini diikuti dengan pembentukan suatu organisasi regional sebagai akibat adanya perasaan
bersama atas perkembangan konstelasi bentuk hubungan dalam sistem internasional. Wunderlich
mengatakan6
“….Single Market Programme itself that triggered a wave of new regionalisms, a wave driven by a variety
of different forces. Of particular importance were significant geopolitical changes following the end of the
Cold War and the growing importance of the globalisation process. Neoliberal economic globalisation,
with its emphasis on trade liberalisation and international financial deregulation, in conjunction with a
related dramatic increase in transboundary activities, began to challenge the central role of the nation-
state in political, social and economic affairs. Regional spaces and regional institutions began to serve as
increasingly important intermediate levels in the emerging multilayered structure of governance.”

Bjorn Hettne melalui pendekatan Regionalisme Baru mengidentifikasikan lima bentuk regioness:
“….First, a region is a geographical unit. Second, it is a social system, implying translocal and
transnational relations between different actors and agents. These relations constitute a security complex
in which the actors are dependent on each other for their own security. Third, regions can be characterised
by organised cooperation in economic, political, social or military fields. In this case, a region is defined
according to the members of the organisation in question. Fourth, a region as a ‘civil society’ can take
shape when the organizational framework facilitates and promotes social communication and values
throughout the region. And, fifth, regions can emerge as collective or international actors in their own
right with a distinct identity, actor capabilities, and a certain degree of legitimacy and decision-making
structures….”7

Bressands dan Nicholaidis memberikan pandangan lain yang mendorong terbentuknya


regionalism,bahwa regionalism merupakan sebuah proses yang kompleks yang melibatkan
integrasi formal dan non formal.8 Wallace menterjemahkan bahwa integrasi formal merujuk kepada
integrasi yang dilakukan oleh aktor pemerintah sebagai hasil dari sebuah kebijakan yang diambil
dan proses negosiasi (integrasi yang berasal dari atas), sementara integrasi non formal biasanya
didorong oleh kedinamisan sosial, ekonomi dan politik yang merujuk kepada pembentukan sebuah
ranah transnasional via interaksi sektor swasta (integrasi dari bawah).9
Vinner melihat dampak integrasi terhadap kesejahteraan melalui konsep trade creation and
trade diversion.10 Trade Creation adalah bila suatu Negara dalam satu kawasan integrasi mampu
melakukan impor dengan harga lebih murah dari Negara lain, sementara Trade Diversion terjadi
bila impor dari suatu Negara yang berasal dari luar kawasan dapat digantikan oleh Negara dalam
satu kawasan integrasi dengan demikian produk dari Negara tersebut akan menjadi lebih murah
sebagai akibat adanya perlakukan khusus dalam penetapan tarif. Dalam integrasi ekonomi terdapat
beberapa tahapan antara lain terbentuknya suatu Free Trade Area dimana Negara-negara dalam satu
kawasan bersepakat untuk menghilangkan hambatan perdagangan yang bersifat tarif maupun non-
tarif namun masih memiliki kebebasan dalam menetapkan tariff bagi Negara diluar FTA tersebut,
kemudian meningkat menjadi suatu Custom Union yaitu dimana Negara peserta FTA menetapkan
preferential tariff yang sama serta tariff impor yang sama terhadap Negara non peserta dan pada

5
NuraeniS., Deasy Silvya, Arfin Sudirman, “ Regionalisme dalam Studi Hubungan Internasional”, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010, hlm. 1.
6
Jens-Uwe Wunderlich,”Regionalism, Globalization and International Order: Europe and Southeast Asia”, Ashgate
Publishing Limited: Great Britain, 2007, hlm., 29.
7
Ibid, hlm., 49.
8
Ibid, hlm.,33.
9
Ibid, hlm., 35.
10
____,”Outlook Ekonomi Indonesia 2008-2012; Integrasi Ekonomi ASEAN dan Prospek Perekonomian Nasional”, Biro Riset
Ekonomi ; Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia: Januari 2008, hlm 26.

193
akhirnya menjadi Common Market dimana semua hambatan yang ada sudah hilang dan melakukan
harmonisasi dalam hukum dan pasar. Bila dapat diambil kesimpulan bahwa tujuan akhir dari
ntegrasi ekonomi yaitu menciptakan kesejahteraan bagi Negara-negara yang terlibat didalamnya
melalui penciptaan kesempatan yang sama melalui pembukaan akses pasar dan penyerapan tenaga
kerja.

Analisa
Perkembangan globalisasi yang terjadi demikian pesat secara langsung dan tidak langsung
telah membawa perubahan dalam segala aspek, terutama dibidang teknologi bila diperhatikan
perkembangan teknologi informasi baik komunikasi maupun komputerisasi dalam bentuk jaringan
internet telah mampu menembus batas batas wilayah yang bersifat tradisional. Hal lain yang turut
dipengaruhi dengan hadirnya era globalisasi yaitu bidang ekonomi dan pemerintahan. Ronald Hill
dalam bukunya Southeast Asia: People, Land and Economy (Ronald Hill: 2002) memberikan definisi
mengenai globalisasi sebagai “...The emergence of single global markets not only for commodity but also
for the basic factors of production-land, labor, capital...” Hill mencoba menjelaskan bahwa globalisasi
sebagai munculnya pasar tunggal yang tidak hanya terdiri dari hasil hasil produksi (komoditas)
namun juga terhadap faktor dasar produksi itu sendiri antara lain tanah, pekerja dan modal.
Merujuk pada Hill, perputaran barang, modal dan jasa pada saat ini tidak lagi berada dalam konteks
perekonomian tradisional, dengan dibantu kemajuan teknologi berbagai macam transaksi dapat
langsung dilakukan, perjalanan barang dan manusia sebagai makhluk ekonomi dapat ditempuh
dengan waktu yang singkat, transaksi perdagangan dan pembayaran dapat segera dilakukan hanya
dengan hanya meng-klik beberapa perintah program komputer pada teknologi perbankan.
Globalisasi sebagaimana disebutkan diatas turut mempengaruhi bagaimana negara bertindak
dan bersosialisasi. Dalam kancah internasional, kehadirannya, mempengaruhi hubungan antara
negara dalam bentuk kerjasama bilateral, regional (kawasan) ataupun multilateral (internasional)
sebagai akibat hubungan transaksional yang semakin intens antar masyarakat dan pebisnis. Bentuk
kerjasama bilateral adalah hal yang lazim terjadi yang dilakukan oleh dua negara, seperti kerjasama
bilateral Indonesia – Jepang dalam Indonesia Japan Economic Partnership (IJEPA), kerjasama regional
merujuk kepada kerjasama yang dilakukan oleh negara-negara yang dikategorikan berada dalam
wilayah kawasan / region yang sama antara lain Uni Eropa, Mercosur (Mercado Common del Sur),
ASEAN, Uni Afrika dan masih banyak lagi, sementara kerjasama multilateral merujuk kepada
Organisasi Perserikatan Bangsa Bangsa Dunia (PBB). Kerjasama kerjasama ini pada akhirnya
menghilangkan batasan batasan negara yang disebut dengan wilayah kedaulatan menjadi suatu
kesatuan wilayah atau Regional Unity dimana segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan
sosial-budaya, politik dan ekonomi diselaraskan.
Dalam perkembangannya negara-negara dalam kawasan ini saling menyelarasakan pandangan
mengenai perlunya dibentuk suatu organisasi kawasan yang pada akhirnya disebut dengan ASEAN
pada tahun 1967. Perkembangan ASEAN terus mengalami peningkatan terutama dibidang ekonomi
dengan disepakatinya Deklarasi ASEAN Concord di Bali pada 24 Februari 1976 yang menyatakan
tentang kerjasama perdagangan untuk mempromosikan pembangunan dan menumbuhkan
produksi perdagangan. Terkait dengan perkembangan globalisasi terutama dalam bidang ekonomi
yang ditandai dengan munculnya persaingan antara kekuatan ekonomi dunia yang didominasi
oleh China, Amerika Serikat serta Eropa serta beberapa negara industri lainnya, oleh karenanya
ASEAN dalam Deklarasi Concord yang dihasilkan pada KTT ASEAN ke-9 di Bali, Oktober 2003,
merumuskan beberapa pilar menuju integrasi yang lebih erat yaitu melalui pembentukan ASEAN
Political-Security Community, ASEAN Economic Community, ASEAN Socio-Cultural Community.

Indonesia Menuju ASEAN Economic Community

194
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau ASEAN Economic Community (AEC) merupakan
sebuah perubahan atau pergeseran dalam pergerakan barang, jasa dan tenaga kerja trampil di
wilayah ASEAN tanpa adanya batasan dan hambatan yang didukung pergerakan modal yang lebih
bebas. Dalam cetak biru pembentukan MEA terdapat beberapa karakteristik, elemen serta rencana
aksi, prioritas dan target yang hendak dicapai antara lain11
1) Single market and production base, yang meliputi: free flow of goods, services, investment, skilled labor
and freer flow of capital, Priority Integration Sectors, and food, agriculture and forestry.
2) Competitive economic region, yang meliputi: competition policy, consumer protection, Intellectual
Property Rights (IPR), infrastructure development, energy, taxation, e-commerce.
3) Equitable economic development, yang meliputi: SME development, initiative for ASEAN integration.
4) Full integration into global economy, yang meliputi: coherent approach toward external economic
relations, enhanced participation in global supply networks.

Indonesia merupakan salah satu aktor negara (State Actor) dalam dunia internasional
yang terletak di kawasan asia tenggara yang juga sekaligus merupakan anggota dari ASEAN.
Keanggotaan Indonesia dalam ASEAN boleh dibilang memiliki peran yang strategis. Hal ini terlihat
dari geographi indonesia yang diapit oleh dua samudera Hindia dan Pasifik memiliki nilai strategis
yang menyebabkan Indonesia memiliki hubungan langsung (direct interaction) dengan negara
negara yang berbatasan dengannya , jumlah rakyat Indonesia yang mencapai 237.641.326 jiwa (data
BPS 2010) yang memiliki serapan ekonomi yang besar dengan tingkat pertumbuhan ekonomi 6,5
persen (Bank Dunia), sumber daya yang dimiliki Indonesia seperti sumber daya alam dan sumber
daya manusia memiliki potensi perekonomian yang besar pula, serta pengalaman Indonesia dalam
demokratisasi, dan dalam diplomasi luar negeri ditambah pula dengan keanggotaan Indonesia
dalam G20 yang sekaligus merupakan satu-satunya negara di Asia Tenggara yang tergabung dalam
kelompok tersebut.
Merujuk kepada tujuan dibentuknya Masyarakat Ekonomi ASEAN, Indonesia tengah
mempersiapkan kebijakan dan tindakan nyata demi mewujudkan cetak biru yang sudah disepakati
bersama. Pencapaian Indonesia dalam bidang ekonomi, tercatat pertumbuhan ekonomi dengan
capaian PDB y-on-y sebesar 6.5% pada Triwulan I-2011 (BPS:No.31/05/Th.XIV, 5 Mei 2011).
Pertumbuhan ekonomi ini didukung oleh pertumbuhan sektor pertanian, peternakan, kehutanan
dan perikanan mencapai 18,1% dan sektor angkutan dan komunikasi sebesar 13,8%, selain itu
komponen ekspor menyumbang kenaikan PDB sebesar 12,3%. BPS juga mencatat pertumbuhan
perekonomian dibeberapa kepulauan Indonesia sebagai sumbangsih terhadap pertumbuhan
perekonomian nasional yang diukur dari pertumbuhan PDB yaitu pulau jawa dengan PDB 57,9%,
Sumatera 23,5%, Kalimantan 9,2%, Sulawesi 4,6%, Bali dan Nusa Tenggara 2,5% serta Maluku dan
Papua 2,3%. Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga ditunjang dengan adanya krisis ekonomi yang
melanda Amerika dan Eropa serta adanya kebijakan dasar mengenai penanaman modal, dimana
sebagian besar modal ‘dilarikan’ ke negara negara asia terutama asia tenggara, diantaranya Indonesia.
Badan Koordinasi Penanaman Modal mencatat pertumbuhan investasi ke Indonesia mencapai 41%
pada 2010 lalu dan akan terus membaik pada tahun 2011, Taiwan, Jepang, Singapura, Korea Selatan
dan Amerika Serikat adalah negara-negara yang telah siap untuk mingkatkan investasinya.
Pertumbuhan nasional perekonomian Indonesia didukung oleh persepsi dunia memandang
Indonesia yang merupakan tempat yang layak untuk penanaman modal dalam bentuk investasi
asing, dalam prediksi yang dilakukan oleh Bank Indonesia bahwa dalam jangka 5 tahun kedepan
sebagai akibat laju Foreign Direct Investment (FDI) yang tinggi, perekonomian Indonesia akan semakin

11
Association Southeast Asian Nations, Roadmap for an ASEAN Community 2009-2015”, Jakarta: ASEAN Secretariat,
2009, hlm., 21.

195
membaik dan berada dalam kisaran 7,4-8,0%.12 Dalam laporan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia
pertumbuhan investasi ke dalam Indonesia meningkat menjadi 13-15% pada 2012 dibandingkan
pada tahun 2008 yang hanya mencapai 9,3% saja.13 Berdasarkan pertumbuhan tersebut juga Bank
Indonesia berani membuat suatu prediksi mengenai penurunan angka pengangguran dari 7,5-8,55%
pada tahun 2012, sehingga berimplikasi pada penurunan jumlah kemiskinan.

Tabel.1 Proyeksi PDB Indonesia

Sumber: ____,”Outlook Ekonomi Indonesia 2008-2012; Integrasi Ekonomi ASEAN dan Prospek Perekonomian
Nasional”, Biro Riset Ekonomi ; Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia: Januari
2008, hlm 4.

Walaupun terdapat berbagai penilaian positif terhadap pertumbuhan perekonomian Indonesia,


namun tidak diimbangi dengan pertumbuhan negatifnya. Pada tahun 2007-2008 Global Competitivenes
Record mencatat bahwa daya saing perekonomian Indonesia di dunia tetap tidak meningkat hal
ini ditunjukkan dengan posisi Indonesia yang berada pada urutan ke-54 dunia daari 131 negara
yang di survey. World Competitiveness Yearbook pun menunjukkan hal yang sama bahwa Indonesia
mengalami penurunan daya saing terendah dibanding dengan sesame Negara ASEAN seperti
Singapura, Malaysia, Thailand dan Filipina. Bila dilihat lebih jauh penurunan daya saing Indonesia
disebabkan oleh beberapa hal antara lain belum terpenuhinya infrastruktur yang menunjang
pertumbuhan ekonomi, kelemahan dalam hal birokrasi serta masih kurangnya output pendidikan
tinggi dalam bentuk sumber daya manusia terdidik yang memiliki kesiapan untuk bersaing
dalam merebut kue ekonomi. Pertumbuhan perekonomian Indonesia yang ditunjang oleh sektor
perekonomian tidak didukung dengan tersedianya infrastruktur yang mempermudah terjadinya
distribusi hasil-hasil produksi kepada konsumen. Hal ini menyebabkan mahalnya penjualan hasil
distribusi sebagai akibat mahalnya ongkos transportasi dalam pendistribusian, belum lagi ditambah
denngan biaya ekonomi tingkat tinggi dalam artian hal lain diluar faktor produksi dan transportasi
yang memiliki sumbangsih terhadap mahalnya nilai jual hasil produksi. Hal lain adalah bahwa
walaupun permintaan pasar domestik terhadap hasil-hasil produksi nonmigas sangat tinggi,
sebagai akibat lemahnya infrastruktur, pemenuhan terhadap permintaan domestik dilakukan
melalui kebijakan impor. Implikasi kebijakan ini adalah terhadap pemintan untuk berinvestasi
dalam bidang nonmigas menjadi lemah sebab tingginya biaya yang harus dikeluarkan dibanding
dengan harus mengimpor selain itu barang atau hasil produksi yang diimpor memiliki kualitas yang
jauh di atas produksi domestik dan dengan harga yang relative murah. Kedua adalah melemahnya
daya beli masyarakat terhadap produk lokal yang langsung berdampak menumpuknya hasil-
hasil produksi yang berakibat pada turunnya nilai jual yang tidak setara dengan biaya produksi,
dengan demikian para produsen mengalami kerugian yang cukup besar dan berpengaruh langsung

12
____,”Outlook Ekonomi Indonesia 2008-2012; Integrasi Ekonomi ASEAN dan Prospek Perekonomian Nasional”, Biro Riset
Ekonomi ; Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia: Januari 2008, hlm 4.
13
Op.Cit.

196
terhadap keberlangsungan produksi lokal. Sebagai contoh protes yang dilakukan oleh petani garam
di Madura, dimana harga garam lokal tidak dapat bersaing atau bahkan tidak memiliki harga (daya
jual) dengan garam yang diimpor.
Berdasarkan laporan yang dibuat oleh LIPI bahwa pembangunan atau belanja 1% infrastruktur
menyumbang pertumbuhan 0,21% perekonomian domestik Indonesia.14 Namun menurut Global
Competitiveness Report 2008-2009 melaporkan bahwa pembangunan infrastruktur Indonesia jauh
tertinggal dari Malaysia, Thailand dan Singapura, laporan tersebut menyebutkan bahwa daya saing
infrstruktur Indonesia lemah dan hanya menempati urutan 84 dari134 negara, sementara Malaysia
pada urutan 26, Thailand pada urutan 40, dan Singapura pada urutan 4. Dari laporan ini kita dapat
melihat bagaimana pola pembangunan Indonesia yang tidak focus dan tidak terkoordinir dengan
baik. Infrastruktur yang sangat dibutuhkan oleh Indonesia antara lain terkait dengan jalur darat dan
laut dan sebagian kecil udara.
Sementara dari sisi birokrasi masih temukan hambatan dalam proses memulai usaha di
Indonesia. Bank Dunia mencatat bahwa dalam kawasan Asia Tenggara atau dalam lingkungan
ASEAN Indonesia adalah yang terburuk, hal ini dinilai bahawa proses memulai usaha di Indonesia
membutuhkan waktu selama 105 hari yang bila dibandingkan dengan Malaysia selama 24 hari,
Singapura selama 5 hari, Vietnam selama 50 hari dan Filipina yang hanya membutuhkan 58 hari.

Table 2 Peringkat Daya Saing oleh IMD Tabel 3 Perinkat Komponen Daya Saing


Sumber: ____,”Outlook Ekonomi Indonesia 2008-2012; Integrasi Ekonomi ASEAN dan Prospek Perekonomian
Nasional”, Biro Riset Ekonomi ; Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia: Januari
2008, hlm 12.

Hal lain yang turut berpartisipasi dalam menghambat laju pertumbuhan ekonomi yaitu dari
sisi output sumber daya manusia dalam mengelola sumber-sumber perekonomian. Tim Nasional
Percepatan Penanggulangan Kemiskinan atau TNP2PK, masih mencatat bahwa tingkat kemiskinan
di Indonesia yaitu sebesar 12,49% jumlah penduduk Indonesia atau sebesar 30 juta penduduk
indonesia adalah miskin, yang tersebar secara tidak merata di seluruh wilayah Indonesia. Tingkat
kemiskinan ini disebabkan oleh tidak meratanya pembangunan fisik dan ekonomi yang terjadi di
berbagai wilayah di Indonesia menyebabkan banyaknya tenaga kerja di daerah yang berpeluang di
sektor pertanian beralih menjadi tenaga kerja di sektor industri yang kecil kemungkinan menyerap

14
Bodi Gautama, Outlook Infrastructur 2010, diunduh dari http://www.asiasecurities.co.id/sys12x/images/
stories/Riset%20Desember/infra_2010.pdf , pada 05 Oktober 2012, pukul 20.43wib

197
sejumlah besar tenaga kerja indonesia, Kemenakertrans mencatat terdapat 9,25 juta pengangguran.
Hal ini didukung juga dengan tingkat pendidikan yang rendah yang didapatkan oleh penduduk
indonesia yaitu hanya 17,3% saja. Selain itu rendahnya mutu pendidikan juga dialami oleh
penduduk indonesia yang pada akhirnya turut mendukung munculnya kemiskinan, rendahnya
mutu pendidikan ini dikarenakan kurangnya tenaga pengajar terutama untuk daerah pedalaman
dan pedesaan, serta rendahnya mutu tenaga pengajar itu sendiri sebagai akibat kurangnya pelatihan
dan pengayaan ilmu yang diterima. Hal ini tentunya berbanding terbalik dengan negara-negara
tetangga di ASEAN, terutama dengan Malaysia yang dahulu belajar banyak dari pembangunan
yang berjalan di Indonesia.

Indonesia Menuju ASEAN Political-Security Community


ASEAN Political-Security Community terbentuk sebagai salah satu hasil kerjasama yang telah
dilakukan selama empat decade melalui kerjasama dan solidaritas yang dekat dianata Negara-
negara asia tenggara khususnya anggota ASEAN. Tujuan utama pilar ini adalah memastikan bahwa
masyarakat dan Negara-negara anggota ASEAN hidup dalam ligkungan harmoni dan damai.
Pencapaian pilar ini adalah terpenuhinya unsur-unsur dalam prinsip demokratisasi, tercapainya
suatu bentuk pemerintahan yang baik yang berlandaskan kepada hukum, serta pemenuhan dan
penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia. Merujuk kepada pencapaian ASEAN dalam kerjasama
politik dan regional serta tujuan pencapaian, dirumuskan beberapa karakteristik dari pilar ini yaitu
1. A Rules-based Community of shared values and norms.
2. A Cohesive, Peaceful, Stable and Resilient Region with shared responsibility for comprehensive security.
3. A Dynamic and Outward-looking Region in an increasingly integrated and interdependent world

Kepimimpinan Indonesia dalam ASEAN boleh jadi merupakan salah satu kebanggaan atas
kepercayaan Masyarakat Asia Tenggara terhadap Indonesia. Tentunya kepercayaan tersebut tidak
dapat disia-siakan karena Indonesia memikul tanggung jawab dalam penyelenggaraan, substansi,
koordinasi antar instansi, logistik dalam mendukung pencapaian tujuan dari ASEAN. Keberhasilan
Indonesia dalam memikul tanggung jawab tersebut tentunya tidak dapat hanya dilihat kinerja luar
negeri dalam kerangka ASEAN semata, namun juga cerminan dari keberhasilan program nasional.
Dalam bidang keamanan, Indonesia dipandang berhasil dalam menciptakan perdamaian dan
menciptakan situasi yang kondusif terutama dalam kasus perdamaian Aceh yang banyak dicontoh
oleh negara-negara lain dalam penyelesaian konflik yang terjadi di negaranya. Hal lain yang patut
di banggakan dalam penciptaan perdamaian yaitu Indonesia dipercaya mengirimkan pasukan
Combatant dibawah Peace Keeping Operation Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa (DK-
PBB) UNIFIL, ke Lebanon Selatan dalam jumlah yang relatif besar, bahkan dimasa lalu Indonesia
dipercaya oleh pemerintah Philipina untuk bertindak sebagai mediator dalam menyelesaikan
konflik antara pemberontak Moro dan pemerintah Philipina. Keberhasilan penciptaan perdamaian
baik nasional maupun internasional oleh Indonesia tentunya tidak terlepas dari peran pimpinan
politik pro aktif dalam mendorong penyelesaian masalah serta adanya kesigapan dan ketegasan
oleh aparatur keamanan Indonesia, yang semakin membaik indeks prestasinya dalam penegakan
hukum yang sesuai dengan asas hak asasi manusia dan demokrasi.
Proses demokratisasi yang berjalan di Indonesia pun perlu mendapatkan apresiasi. Pasca
reformasi pada tahun 1998, kehidupan politik di Indonesia semakin maju. Dalam kehidupan
demokrasi Indonesia pelaksanaan nilai-nilai yang terkandung dalam Undang Undang Dasar 1945
dijalankan dengan sungguh-sungguh, antara lain kebebasan menyampaikan pendapat di muka
umum, berorganisasi serta pelaksanaan pemerintahan yang mengayomi masyarakat Indonesia.
Dalam hal pemerintahan, Indonesia dikenal sebagai Negara demokratis terbesar nomor tiga dunia.
Pencapaian pada bidang ini dapat dilihat pada proses transformasi sistem politik terutama pemilihan

198
umum (pemilu) di Indonesia yaitu dengan secara bertahap dilakukannya pemilihan umum secara
langsung oleh rakyat Indonesia, pembentukan partai-partai politik sebagai bentuk aspirasi politik
masyarakat dalam berkumpul dan berpartisipasi dalam pembentukan kebijakan politik Negara.
Indonesia juga dikenal sebagai sebuah Negara demokratis muslim terbesar dunia,15 hal
ini dikarenakan walaupun sebagian besar penduduknya mayoritas memeluk agama Islam,
namun situasi kehidupan yang harmonis antar pemeluk agama dapat tercipta. Hal ini tentu saja
merupakan suatu pencapaian yang luar biasa sebab sebagai suatu Negara dengan penduduk yang
heterogen (majemuk) yang terdiri dari 250 kelompok etnis yang berbeda dengan lebih dari 500
jenis ragam bahasa dan budaya serta agama dan kepercayaan16 terdapat suatu bentuk hubungan
yang sangat kompleks di dalamnya, namun sebagai Negara hukum keragaman tersebut dilindungi
oleh Negara yang tercantum dalam perundan-undangan Negara Republik Indonesia. Pencapaian
lain dalam norma kehidupan berbangsa yaitu adanya komitmen yang tegas dari pemerintah
terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang bersih. Pada tahun 2004 lalu Presiden Soesilo
Bambang Yudhoyono membentuk suatu komisi untuk menghapuskan salah satu ‘penyakit kronis’
dalam tubuh penyelenggaran pemerintahan Republik Indonesia yaitu pembentukan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal ini tentu saja disambut luas tidak hanya dikalangan masyarakat
Indonesia namun juga oleh khalayak Internasional, terlebih komisi ini kemudian banyak membuat
gebrakan dalam pemberantasan korupsi yang terjadi di Indonesia. Dampaknya integritas masyarakat
Indonesia dinilai cukup baik yang ditunjukkan dengan naiknya indeks Indonesia dimata dunia
dalam perlawanan terhadap korupsi.
Namun dibalik hal hal yang dapat dibanggakan terdapat juga hal hal yang mencoreng
kebanggan dan keberhasilan yang dicapai. Permasalahan Papua yang terus bergolak hingga
sekarang menjadi batu sandungan bagi Indonesia dalam menerapkan penciptaan perdamaian
(Peace Building). Hal yang terus menerus menjadi sorotan adalah pengiriman pasukan non organik
baik oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) maupun Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) serta
operasi militer yang dilakukan untuk menumpas gerakan separatis. Operasi yang dilakukan kerap
kali mengundang kontroversi dikarenakan adanya perlakuan oknum aparatur keamanan yang
buruk di lapangan (Al Araf dkk:2010), salah satu contoh yang mengundang perhatian internasional
adalah video mengenai perlakuan aparat dari kesatuan non organik KODAM II Sriwijaya terhadap
penduduk asli papua di wasior (Kompas.com: 22 Oktober 2010). Permasalahan perbatasan pun tak
kunjung menjadi perhatian, berlarut larutnya penyelesaian permasalahan mencerminkan adanya
ketidak tegasan pemerintah dalam bersikap, hal ini dapat berdampak negatif di hadapan rakyat dan
di dunia internasional, indonesia hanya di pandang sebagai objek penderita, terutama dihadapan
negara tetangga di asia tenggara.
Hal lain yang mencoreng stabilitas negara dalam menuju ASEAN Political-Security
Community adalah munculnya aksi-aksi terorisme yang menimpa beberapa wilayah di Indonesia.
Aksi terorisme tersebut seringkali menggunakan agama tertentu dalam melancarkan aksinya,
sebagai akibatnya situasi keamanan di Indonesia seringkali dipertanyakan terutama oleh Dunia
Internasional. Kebebasan berpolitik sebagai kelanjutan dari kehidupan berdemkrasi pun tidak luput
dari munculnya masalah, antara lain perseteruan antar kelompok pendukung dalam pemilukada
dibeberapa daerah di Indonesia. Seringkali ketidak puasan para pendukung sebagai akibat kalahnya
calon kepada daerah yang didukungnya berakhir ricuh. Dampak dari hal tersebut menimbulkan
rasa ketidakpastian terhadap investasi yang hendak dilakukan oleh investor yang dikenal dengan

15
Gugi Yogaswara, Dari Demokrasi Indnesia Menuju Kebangkitan Islam, http://politik.kompasiana.
com/2012/08/05/dari-demokrasi-indonesia-menuju-kebangkitan-islam/ , diunduh pada 04 oktober 2012, pukul
22.50wib.
16
Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia, Materi dan Modul Nilai Nilai Kebhinekaan dan Multikulturalsime”,
2011, hlm,20.

199
sikap wait and see.
Kehidupan demokrasi Indonesia yang selama ini menjadi kebanggan bagi rakyat Indonesia dan
selalu dipuji Masyarakat Internasional mengalami penurunan dalam penerapan nilai-nilainya. Hal
ini dapat dilihat dari banyaknya kasus-kasus kekerasan yang terjadi di Indonesia yang berlandaskan
faktor keagamaan. Sebagai contoh adalah kekerasan yang menimpa pemeluk Ahmadiyah yang
berakhir dengan meninggalnya dua orang penduduk yang nota bene adalah rakyat Indonesia,
pecahnya kekerasan yang menimpa kaum syiah islam di Madura, kekerasan atas nama agama
yang dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat seperti Front Pembela Islam (FPI) dan masih
banyak lagi kasus lain. Namun kasus tersebut seolah tidak mendapatkan sorotan yang tajam dari
pemerintah terkait solusi yang ditawarkan bahkan dibiarkan mengambang, hal ini menimbulkan
interpretasi adanya pembiaran oleh pemerintah yang kemudian dianggap sebagai pembenaran oleh
kelompok-kelompok yang seharusnya bertanggung jawab.17
Keberhasilan pemerintah Indonesia dalam penangan tindak korupsi pun terancam tenggelam,
pasalnya komisi yang dibentuk oleh Presiden SBY pada periode kepemimpinannya lima tahun
pertama terancam menjadi mandul. Usaha komisi ini untuk menguak kasus-kasus korupsi seringkali
terhambat oleh ego lintas sektoral badan-badan pemerintah, legislative dan yudikative. Usaha yang
ditenggarai untuk melemahkan KPK seperti yang terjadi pada tahun 2009 mengenai ‘cicak versus
buaya’ seolah terulang kembali pada tahun ini yaitu adanya usaha DPR untuk memasukkan bab
tambahan dan pasal tambahan mengenai KPK serta kasus penarikan penyidik KPK yang berasal
dari lembaga Kepolisian Republik Indonesia.

Indonesia Menuju ASEAN Socio-Cultural Community


ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC) atau Masyarakat Sosio-Kultural ASEAN merupakan
pilar ketiga yang hendak dicapai oleh Negara-negara anggota ASEAN dalam bidang hubungan
sosial dan budaya. Pilar ini dianggap penting untuk memperkuat terbentuknya rasa nasionalitas dan
solidaritas dalam suatu identitas bersama yaitu Masyarakat ASEAN. Pembentukan pilar ini melalui
penguatan hubungan sosial antar masyarakat dari masing masing Negara anggota ASEAN antara
lain adanya interkoneksitas antara universitas dalam ASEAN, penguatan generasi muda ASEAN
melalui program youth exchange, penyebaran kesejahteraan dan pembangunan. Terdapat beberapa
hal dalam pencapaian ASCC antara lain 1)Pembangunan Manusia; 2)Proteksi dan Kesejahteraan
Sosial; 3)Keadilan Sosial dan terjaminnya Hak-Hak; 4)Pencapaian Keberlangsungan Lingkungan
Hidup; 6)Membangun Identitas ASEAN; 7)Mempersempit Celah Pembangunan.
Dalam bidang pembangunan manusia target pencapaiannya adalah melalui institusi pendidikan.
Pendidikan di Indonesia diatur melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 mengenai sistem
pendidikan Indonesia. Secara terstruktur pendidikan di Indonesia diselenggarakan oleh Kementrian
Pendidikan Nasional melalui pendirian sekolah-sekolah dari tingkat dasar hingga tinggi baik yang
dikelola oleh pemerintah maupun swasta. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Angka Partisipasi
Sekolah (APS) meningkat dari tahun ke tahun yaitu meningkat satu persen pertahunnya pada setiap
golongan umur.18 Peningkatan tersebut diikuti dengan penurunan jumlah buta huruf di Indonesia,
BPS mencatat bahwa antara tahun 2008-2011 terjadi penurunan dan juga peningkatan buta huruf
untuk usia 15-44 tahun yaitu 1,95% pada 2008; 1,80% pada 2009; 1,71 pada 2010 dan meningkat
kembali mennjadi 2,30% pada 2011.
Walaupun data menunjukkan bahwa terjadi peningkatan angka partisipasi sekolah namun

17
Ester Lince Napitupulu, Pembiaran Oleh Negara, Suburkan Kekerasan Atas Nama Agama, http://nasional.kompas.
com/read/2012/08/27/20551217/Pembiaran.Oleh.Negara.Suburkan.Kekerasan.Atas.Nama.Agama ,
diunduh pada 04 Oktober 2012, pada 23.46wib.
18
Angka Partisipasi Sekolah, http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_
subyek=28&notab=2 , diunduh pada 05 Oktober 2012, pukul 02.00wib.

200
hal ini tidak ditunjang dengan sistem pengajaran yang dilakukan oleh institusi pendidikan, yang
berimplikasi terhadap munculnya berbagai ketimpangan pendidikan di tengah-tengah masyarakat, antara
lain: a) adanya ketimpangan antara kualitas output pendidikan dan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan,
dan b) adanya ketimpangan kualitas pendidikan antar desa dan kota.� Sebagai akibat adanya ketimpangan
output pendidikan dan kualifikasi tenaga kerja maka berdampak terhadap perkembangan perindustrian dalam
negeri terutama dari sisi penguasaan teknologi industri. Ketimpangan kualitas pendidikan antar desa dan kota
memiliki implikasi terhadap division of labour .
Dalam hubungan antar budaya sebagai hasil dari masyarakat yang majemuk di Indonesia masih
mencatat adanya perseteruan antar budaya. Bunce� dalam sebuah penelitiannya menyebutkan bahwa
keragaman budaya itu sendiri bukanlah suatu masalah bagi suatu bangsa khusunya bagi bangsa
dari Negara Berkembang, permasalahan dalam masyarakat majemuk justru muncul dari adanya
perbedaan variasi dalam kesempatan politik, ekonomi dan sosial. Maraknya ketegangan antar
masyarakat di Indonesia bisa dilihat dari perspektif ini, sebagai akibat dari ketidak seimbangan
dalam pembentukan sistem pemerintahan yang berimbang menyebabkan beberapa suku ataupun
etnis maupun agama menjadi merasa lebih dominan dari yang lain. Pemilukada di Jakarta beberapa
waktu lalu memberikan contoh yang jelas betapa isu-isu yang melibatkan SARA masih ‘laku’ untuk
di jual, walaupun pada akhirnya justru isu itu sendiri yang menjadi ‘senjata makan tuan’. Sistem
desentralisasi yang ditetapkan oleh pemerintah pada awal tahun 2000-an, justru menimbulkan
sentimen kedaerahan yang tidak sesuai dengan semangat pembangunan daerah. Dalam analisa lebih
lanjut keragaman dalam masyarakat Indonesia yang seringkali berujung pada konflik menunjukkan
bahwa kondisi internal Indonesia sendiri belum siap menerima keragaman, hal ini pada akhirnya
akan merugikan posisi Indonesia sendiri begitu ASEAN Community dilaksanakan pada tahun 2015,
karena diperkirakan akan banyak para pencari kerja ataupun para pemilik kerja masuk ke pasar
ekonomi Indonesia dengan keragaman yang lebih kompleks.

Kesimpulan
Berbagai kemajuan dan keberhasilan yang dicapai oleh pmerintah indonesia baik dalam bidang
eknomi maupun politik tentunya tidak terlepas dari hasil kerja keras seluruh anak bangsa. Namun
perhatian pemerintah juga sebaiknya tidak terlena hanya kepada kemajuan dan keberhasilan itu
semata namun bagaimana agar memajukan lebih baik dan berhasil lebih banyak di berbagai bidang.
Hal ini hanya dapat dicapai bila semua komponen kebangsaan dipergunakan dan ditingkatkan
semaksimal mungkin, tidak hanya tools-nya namun juga human atau manusianya. Hingga pada
akhirnya apa yang dicita-citakan pendiri Republik dan seluruh lapisan masyarakat indonesia dapat
terwujud. ASEAN . Community yang disepakati oleh pemimpin ASEAN tentunya juga bukan
sekedar semboyan belaka yang hanya menjadi lipservice bagi masyarakat dunia dan juga rakyat
ASEAN, bagi Indonesia seharusnya inilah ajang untuk membuktikan diri sebagai yang terbaik
diantara yang baik di asia tenggara melalui Keketuaan Indonesia di ASEAN. Dan dengan sendirinya
keoptimisan kesiapan Indonesia dalam meyongsong terintegrasinya negara-negara asia sebagai
satu komunitas bukan lagi mimpi.

DAFTAR PUSTAKA
Bunce, Valerie, Democracy and Diversity in The Developing Worlds: The American Experience with
Democracy Promotion, the National Council for Eurasian and East European Research,
Washington D.C, Cornel University, 2006.
Firmanzyah, “Globalisasi: Sebuah Proses Dialektika Sistemik”, Yayasan Sad Satria Bhakti:2007
Held, David and Anthony McGrew et.al, Managing the Challenge of Globalization and
Institutionalizing Cooperation Through Global Governance, dalam Charles W. Kegley, Jr &

201
Eugene R. Witkopf,”The Global Agenda: Issues and Perspectives”, McGrawHill: Singapore six edt,
2001,
Hill, Ronald, “Southeast Asia People, Land and Economy”, Allen&Unwin : Australia, 2002
S.,Nuraeni, Deasy Silvya, Arfin Sudirman, “ Regionalisme dalam Studi Hubungan Internasional”,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010
Wunderlich, Jens-Uwe,”Regionalism, Globalization and International Order: Europe and Southeast Asia”,
Ashgate Publishing Limited: Great Britain, 2007
____,”Outlook Ekonomi Indonesia 2008-2012; Integrasi Ekonomi ASEAN dan Prospek Perekonomian
Nasional”, Biro Riset Ekonomi ; Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank
Indonesia: Januari 2008,
Association Southeast Asian Nations, Roadmap for an ASEAN Community 2009-2015”, Jakarta:
ASEAN Secretariat, 2009
Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia, Materi dan Modul Nilai Nilai Kebhinekaan dan
Multikulturalsime”, 2011
Bodi Gautama, Outlook Infrastructur 2010, diunduh dari http://www.asiasecurities.co.id/sys12x/
images/stories/Riset%20Desember/infra_2010.pdf , pada 05 Oktober 2012, pukul 20.43wib
Ester Lince Napitupulu, Pembiaran Oleh Negara, Suburkan Kekerasan Atas Nama Agama, http://
nasional.kompas.com/read/2012/08/27/20551217/Pembiaran.Oleh.Negara.Suburkan.
Kekerasan.Atas.Nama.Agama , diunduh pada 04 Oktober 2012, pada 23.46wib
Gugi Yogaswara, Dari Demokrasi Indnesia Menuju Kebangkitan Islam, http://politik.kompasiana.
com/2012/08/05/dari-demokrasi-indonesia-menuju-kebangkitan-islam/ , diunduh pada 04
oktober 2012, pukul 22.50wib.
Angka Partisipasi Sekolah, http://www.bps.go.id/tab_sub/view.
php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=28&notab=2 , diunduh pada 05 Oktober 2012,
pukul 02.00wib
http://edukasi.kompasiana.com/2011/09/25/pendidikan-indonesia-709-buta-huruf/, diunduh
pada 05 Oktober 2012, pukul 02.00wib

202
PEMBENTUKAN PIAGAM ASEAN:
TINJAUANKONSTRUKTIVISME POLITIK HUKUM
INTERNASIONAL

Deni Meutia & Yoga Suharman


Staf pengajar Program Studi Hubungan Internasional Universitas Respati Yogyakarta

Abstract:
This article explore about the forming of ASEAN Charter based on constructivism theoritical inquiry. This
approach will give another explanation besides Realism, Libralism, and Marxism. Constructivism doesn’t look
like those three approaches, it serves the importance of identity, normative structure, moral element that
constituted states action in international legal-politics forming process. When the other perspectives above
concerned on state as an actor building the charter, constructivism focus on the value of individual characteristic
to explain how and why such states have come in that decision to unity many differencies among them to be
one value, one nation, and one goal.
Keywords: ASEAN Charter, constructivism, identity, normative stucture, ethics

Menuju Piagam ASEAN


Dalam perjalanannya selama lebih dari empat dekade terakhir semenjak dicetuskannya
deklarasi Bangkok tahun 1967, ASEAN terus mengalami evolusi menuju organisasi yang lebih solid
dan mengarah pada usaha untuk membentuk konektivitas regional dan organisasi yang memiliki
landasan kerangka legal-politik yang lebih kuat dengan menyatukan nilai bersama antar anggotanya.
Sebagai sebuah organisasi regional, terdapat prinsip dan norma yang dibuat oleh negara-negara
anggota untuk membatasi perilaku dan tindakan diantara mereka. Sepanjang sembilan tahun
pertama sejak dibentuknya ASEAN pada tahun 1967 dimana selama periode tersebut menjadi bagian
dari proses pembentukan norma-norma yang kemudian menjadi fondasi bagi keberlangsungan
hubungan diantara negara ASEAN, tidak ada kerangka legal yang secara formal menjadi landasan
perjalanan organisasi tersebut. Oleh karena itu melalui sejumlah agenda yang diawali Program aksi
Vientiane, Deklarasi Kuala Lumpur dan Deklarasi Cebu dirintislah usaha negara-negara anggota
untuk membentuk Piagam ASEAN (ASEAN Charter). Terbentuknya Piagam ASEAN tersebut dapat
ditelaah berdasarkan dua sumber nilai. Pertama, organisasi ASEAN telah cukup banyak belajar dari
organisasi regional lainnya (learning process) dan pengalaman-pengalaman yang lalu. Kedua, sumber
norma dan prinsip bisa didapatkan dari nilai-nilai sosial, politik dan budaya setempat.1 Kedua hal
ini kemudian turut berperan dalam usaha untuk mengkonstruksi identitas bersama ASEAN dalam
sebuah kerangka legal yang dikonstitusikan secara bersama-sama.
Saat ini ASEAN telah memiliki sebuah piagam (ASEAN Charter). Walaupun secara substansial
Piagam ASEAN merupakan penegasan kembali atas deklarasi dan kesepakatan-kesepakatan para
pemimpin negara-negara anggota ASEAN yang dibuat sebelumnya, namun piagam ini mengarah
pada usaha untuk mentransformasikan ASEAN dari sebuah asosiasi politik yang memiliki landasan
konstitusional longgar (soft law) menjadi organisasi internasional yang memiliki dasar hukum yang
kuat (hard law) berdasarkan pada aturan yang jelas serta memiliki struktur organisasi yang efektif
dan efisien.
Jika ditelaah secara umum, tujuan penting dari Piagam ASEAN dapat dirumuskan menjadi

1
Amitav Acharya. 2001. Constructing a Security Community in South-east Asia: ASEAN and the Problem of
Regional Order. London & New York: Routledge. Hal. 47

203
lima hal, yakni 1) Mendorong peningkatan kerjasama berbagai kegiatan di tingkat sektoral oleh
berbagai pemangku kepentingan serta peningkatan interaksi masyarakat dalam kerjasama politik,
ekonomi, sosial dan budaya; (2) Menjadikan ASEAN sebagai organisasi yang berbasis pada aturan
legal formal (rule-based organization); (3) Meningkatkan interaksi antar masyarakat negara anggota
ASEAN dan interaksi antara masyarakat dengan organisasi ASEAN; (4) Mendorong ASEAN
untuk memiliki mekanisme dan prosedur penyelesaian sengketa yang lebih jelas sehingga mampu
menjamin terwujudnya tujuan ASEAN; (5) Merubah mekanisme kerja dan struktur organisasi
ASEAN yang lebih jelas dan efektif.2
Diantara tujuan-tujuan normatif diatas, ada hal yang menarik untuk ditelaah kemudian.
Mengapa negara-negara Asia Tenggara mau mengikatkan diri secara konstitusional dalam Piagam
ASEAN sementara masing-masing negara memiliki perbedaan kepentingan yang tajam? Terdapat
tiga pendekatan yang dapat digunakan untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi aktor
dalam hubungan internasional untuk menciptakan sebuah kerangka legal internasional, yakni
realisme, neoliberal institusionalisme dan konstruktivisme.

Pendekatan dalam Politik-Hukum Internasional


Penganut realisme dalam hubungan internasional akan selalu melihat tindakan negara dalam
membangun sebuah institusi politik, ekonomi dan hukum internasional diberbagai bidang seperti
PBB, NATO, Institusi Keuangan Internasional (IMF dan Bank Dunia) dan Pengadilan Kriminal
Internasional didasari oleh kepentingan material kuasa Besar atau siapa negara dominan yang
mempengaruhi terbentuknya institusi tersebut (Gilpin, 2001: 356). Dalam hal ini kuasa besar yang
dimaksud adalah negara yang berperan cukup dominan dalam konstelasi regional yang setidaknya
memiliki tujuan untuk memperluas dan mendapatkan dominasi dan posisi kekuasaan tertinggi.
Sementara itu kaum neoliberal institusionalis atau yang diasosiasikan sebagai kelompok
rasionalis menilai bahwa asosiasi politik merupakan ladang permainan strategis para aktor untuk
memaksimalkan keuntungan yang dapat diperoleh. Sementara dimensi hukum yang ada di
dalam sebuah asosiasi politik dipandang sebagai seperangkat aturan untuk memecahkan masalah
kerjasama dalam tatanan dunia yang anarki. Aspek politik dan hukum yang termaktub dalam
sebuah kesepakatan dijadikan landasan legal yang membatasi tindakan dan perilaku negara.
Institusi politik hukum terbentuk atas dasar rasionalisasi para aktor. Dalam konteks Piagam
ASEAN, jelas bahwa para anggota bersepakat untuk membentuk kerangka legal lantaran mereka
akan memperoleh keuntungan dengan adanya peningkatan hubungan kerjasama yang lebih efektif
dan efisien di sektor ekonomi dan pembangunan.
Pendekatan lain yang juga digunakan dalam menganalisis kajian politik hukum internasional
adalah marxisme. Menurut pendekatan ini, negara dipandang sebagai kepanjangan tangan kelas-
kelas borjuasi atau kelompok pemodal. Motivasi negara dalam membentuk institusi internasional
dan kerangka legal politik-hukum internasional tidak lain adalah untuk memenuhi hasrat kaum
kapitalis memperluas sumber produksi dan akses pasar. Jika aliran realisme melihat dunia sebagai
lokus kekuasaan dan liberalisme melihat dunia sebagai ladang kooperasi antar negara, pendekatan
marxisme melihat penguasaan modal sebagai aspek absolut yang membentuk perilaku negara
untuk menciptakan suatu kerangka legal politik-hukum internasional. Pembentukan piagam
ASEAN jika ditelaah berdasarkan pendekatan marxisme adalah bagian dari upaya kaum kapitalis
untuk memperluas jaringan modal diantara pelaku pasar. Negara adalah penyedia akses yang luas
untuk terciptanya suatu konektivitas ASEAN yang tidak lain adalah untuk kepentingan ekonomi
kelompok pemodal. Tidak seperti halnya liberalisme yang melihat piagam ASEAN sebagai bentuk
kerangka politik-hukum internasional dan kerangka legal kerjasama secara positif, pendekatan

2
Piagam ASEAN: http://www.kemlu.go.id/Pages/Asean.aspx?IDP=7&l=id

204
marxisme melihatnya secara sinis. Yang diuntungkan dengan adanya piagam ASEAN adalah kelas
pemodal. Dicantumkannya pelaku bisnis sebagai salah satu aktor dalam proses interaksi hubungan
internasional di Asia Tenggara pada satu bagian pasal Piagam ASEAN misalnya, (baca: tujuan
dan prinsip ASEAN) adalah salah satu kemenangan kaum pemodal untuk mengefektifkan proses
produksi dan akumulasi modal dikawasan regional yang terintegrasi.
Meskipun demikian, menurut pendekatan konstruktivisme, baik pendekatan realisme,
neoliberal institusionalis maupun marxisme melupakan unsur identitas sebagai sebuah kekuatan
konstituif dalam pembentukan perilaku negara. Kekurangan yang melekat diantara ketiga
perspektif dominan tersebut diatas dalam memaknai pembentukan sebuah kerangka legal institusi
politik-hukum internasional adalah tidak diakuinya eksistensi dan pertumbuhan badan hukum
internasional yang berbasis pada aspek normatif dan identitas. Pendekatan konstruktivisme
melibatkan identitas sebagai kekuatan konstitutif yang membentuk perilaku negara.
Premis yang dibangun oleh pendekatan konstruktivisme dalam politik hukum internasional
menyajikan gambaran tentang perlunya kita mengkaji kembali realitas hubungan internasional
dengan melihat dari sudut pandang yang berbeda. Konstruktivisme melampaui kenyataan bahwa
realitas sosial, aspek normatif, etika dan identitas pada kenyataannya turut mempengaruhi tindakan
para aktor dalam membentuk institusi ataupun kerangka legal politik-hukum internasional. Dari sini
kemudian dapat dimunculkan sejumlah pertanyaan, yakni apakah yang melandasi pembentukan
Piagam ASEAN hanya terbatas pada faktor kekuasaan negara dominan dan dorongan kerjasama
dalam tatanan dunia anarki serta dorongan kelas pemodal semata-mata? Bagaimana perspektif
konstruktivisme menjelaskan pembentukan Piagam ASEAN? Apa saja elemen teori konstruktivisme
yang dapat dimanfaatkan untuk menganalisis pembentukan Piagam ASEAN?

Perspektif Konstruktivisme dan Politik-Hukum Internasional


Aliran utama dalam hubungan internasional, yakni realisme senantiasa melihat politik sebagai
perjuangan untuk mencapai kekuasaan materiil diantara negara berdaulat. Sementara itu, aliran
kaum rasionalis atau diidentikan dengan kelompok neoliberal institusionalis memaknai politik
sebagai permainan strategis (strategic games), dimana negara-negara cenderung memanfaatkannya
sebagai instrumen untuk memaksimalisasi keuntungan (utility maximizing) mereka masing-masing
dalam dunia anarki. Hukum internasional menurut perspektif neoliberal institusionalisme dijadikan
seperangkat peraturan fungsional yang dikonstitusikan untuk mengatasi problem kerjasama
dibawah tatanan dunia yang anarki. Perspektif terakhir adalah konstruktivisme yang menekankan
bahwa politik merupakan bentuk tindakan yang terbentuk secara sosial dan hukum sebagai pusat
struktur normatif yang menentukan suatu tindakan aktor menjadi absah dan dapat dibenarkan.3
Pendekatan konstruktivisme lahir sebagai respon terhadap kekosongan dalam perspektif
rasionalisme atau neoliberalisme institusionalis, realisme dan marxisme. Perspektif rasionalisme
melihat politik sebagai bentuk aksi strategis negara yang egois dimana mereka mencari cara paling
efektif dan efisien untuk mewujudkan kepentingan, baik secara individual maupun kolektif. Dalam
pandangan neoliberal institusionalisme, kepentingan negara sebagai aktor rasional diyakini dapat
dicapai melalui kerjasama mutual walaupun berada di bawah tatanan dunia yang anarki dengan
cara membentuk institusi atau hukum internasional yang kemudian dikenal sebagai rezim.
Perspektif konstruktivisme menawarkan empat elemen penting dalam menilai sebuah tindakan
sebuah negara atau terbentuknya suatu institusi politik hukum internasional. Dalam pandangan
konstruktivisme, tindakan Negara sebetulnya tidak sepenuhnya hanya didasarkan pada motif-motif
politik, ekonomi dan militer ataupun didasarkan pada maksimalisasi keuntungan dibawah tatanan
dunia yang anarkis dengan pertimbangan untung rugi, melainkan juga bagaimana aspek normatif,

3 Reus-Smit. Ibid., hal. 15

205
ideasional (knowledge) dan identitas menjadi penting dalam membentuk tindakan dan perilaku
negara, termasuk dalam pembentukan institusi politik-hukum internasional. Proses terbentuknya
institusi modern politik-hukum internasional berada pada suatu masyarakat internasional yang ada
karena negara-negara saling mengakui hak masing-masing akan otoritas yang berdaulat. Proses
pengakuan tersebut melibatkan politik identitas, yang terdiri atas tiga komponen: kepercayaan
hegemonik tentang tujuan moral adanya negara, prinsip kedaulatan, dan norma keadilan prosedural.
Diantara sejumlah pemikir konstruktivisme dalam hubungan internasional dengan spesifikasi
politik hukum internasional adalah Christian Reus-Smit yang menjelaskan dalam konteks politik
hukum internasional. Terkait dengan teori Reus-Smit tentang politik hukum internasional, terutama
yang berhubungan dengan faktor penentu tindakan aktor dan proses terbentuknya institusi modern
politik hukum internasional terdapat empat elemen yang dapat digunakan, yakni idiography,
purposive, ethical dan instrumental.
Pertama, elemen idiographic, yakni “who am I” yang berhubungan dengan identitas dimana
maksud dari elemen ini adalah identitas kawasan yang secara geopolitik saling berdampingan dan
kesadaran akan satu identitas bersama (common identity). Kedua, elemen purposive, yaitu “what do I
want” yang berhubungan dengan proses pembentukan kepentingan kolektif berbasis pada aspek-
aspek normatif. Ketiga, ethical yakni “how I should act” yang berhubungan dengan norma dan standar
moral yang menuntun perilaku negara. Keempat adalah elemen instrumental yang berkaitan dengan
bagaimana negara-negara secara kolektif bisa mendapatkan apa yang mereka ingin capai. Elemen
keempat berkorelasi dengan metode atau instrumen apa yang digunakan.4
Selanjutnya, pendekatan konstruktivisme dalam kajian politik-hukum internasional mengajukan
tiga preposisi penting, yakni (1) bahwa struktur normatif dan ideasional sama pentingnya dengan
struktur material dalam membentuk tindakan dan perilaku negara; (2) identitas sosial berperan
dalam mengkonstruksi kepentingan aktor, dan (3) konstruktivis menekankan pentingnya kekuatan
konstitutif dari struktur normatif dan ideasional yang muncul ketika terjadi praktek diskursus
antara agen sosial yang saling berpengetahuan sehingga mereka sama-sama sadar akan perlunya
perubahan-perubahan transformatif.5
Menurut Smit, terbentuknya sebuah hubungan antar negara yang kemudian diinstitusi­
onalisasikan secara sah dan ideal dengan cara berusaha untuk mengabadikan tujuan yang mereka
promosikan melalui negosiasi dengan menjunjung tinggi konsep keadilan yang dapat mendukung
kepentingan strategis diantara mereka menggambarkan tentang formasi dari institusi modern
politik-hukum internasional. Institusi modern politik-hukum internasional diciptakan oleh negara
dalam menstrukturisasi dan menyediakan perangkat, mekanisme untuk menyusun politik dengan
cara-cara mengabadikan gagasan-gagasan utama para aktor, menciptakan stabilitas tujuan individu
dan kolektif serta memfasilitasi tujuan-tujuan instrumental.6
Penjelasan elemen-elemen teoritik pendekatan konstruktivisme tentang politik-hukum
internasional menyajikan gambaran bahwa pertimbangan idiografik diperlukan untuk melegitimasi
identitas sosial (social identity) sebuah institusi politik hukum internasional yang berbentuk kerangka
legal formal. Pertimbangan tujuan (purposive) memungkinkan adanya negosiasi dan stabilisasi
terhadap tujuan dan strategi kolektif yang sah. Pertimbangan etika (ethics) menciptakan alasan bagi
aktor yang terlibat dalam sebuah institusi sosial untuk bertindak sesuai dengan standar-standar nilai
yang dibentuk. Terakhir, pertimbangan instrumental menentukan isi institusi, peraturan-peraturan,
norma-norma, dan prinsip-prinsip yang ditetapkan secara spesifik dalam bentuk kerangka legal.

4 Reus-Smit. Ibid., hal. 25


5 Reus-Smit. Ibid., hal. 21 - 22
6 Reus-Smit. Ibid., hal. 34

206
Menakar Elemen Konstruktivisme Pembentukan Piagam ASEAN:

Idiography
Walaupun negara-negara ASEAN secara geografis, histografi, etnisitas, agama, budaya dan
bahasa memiliki perbedaan, namun dalam perjalanannya menuju cita-cita membentuk piagam
dan komunitas ASEAN, negara-negara anggota melihat bahwa pembentukan ASEAN menjadi
komunitas yang lebih solid tidak semata-mata didasari oleh perlunya membangun kerjasama dan
kesamaan kepentingan, melainkan adanya kesadaran akan Satu Identitas (shared identity) sebagai
negara yang pernah mengalami kolonialisme, kultur Melayu, satu komunitas yang saling peduli
dan berbagi. Selain itu, mereka memiliki tujuan bersama (common objectives) dan penerimaan akan
nasib bersama (common destiny).7
Terbentuknya Piagam ASEAN memberikan gambaran yang lebih jelas tentang adanya unsur
identitas negara-negara ASEAN. Penggambaran tentang identitas ASEAN tersebut dapat dilihat
pada pengakuan mereka akan sebuah Perserikatan Bangsa-bangsa yang secara geopolitik berada
di kawasan Asia Tenggara. Pada bagian pembukaan Piagam ASEAN misalnya dikatakan tentang
persamaan identitas mereka sebagai Rakyat Negara-negara Anggota Perhimpuanan Bangsa-bangsa
Asia Tenggara.
Secara lebih tegas identitas negara-negara Asia Tenggara dituangkan dalam Bab XI tentang
identitas ASEAN yang bunyinya adalah ASEAN wajib memajukan identitas bersama ASEAN
(common identity) dan rasa memiliki antar rakyatnya dalam rangka mencapai tujuan-tujuan, sasaran-
sasaran dan nilai bersama. Selain itu pada pasal berikutnya dinyatakan tentang semboyan ASEAN
yang berbunyi satu visi, satu identitas, dan komunitas.8 Hal ini mengindikasikan bahwa pasal
yang tertuang dalam Piagam ASEAN tersebut menunjukkan oleh apa yang disebut sebagai sebuah
elemen “idiography” atau yang berhubungan dengan pemaknaan tentang “siapa ASEAN”. Dalam
pembukaan piagam ASEAN, disebutkan bahwa negara-negara anggota ASEAN menyebut diri
“we, the peoples of ASEAN” yang merupakan bentuk konstruksi identitas bersama ASEAN. Melalui
pernyataan tersebut, negara-negara anggota mengkonstitusi, mendemonstrasikan legitimasi
identitas sosial dan justifikasi kepada publik bahwa mereka memiliki identitas kolektif, yakni
bangsa Asia Tenggara.
Identitas dalam hal ini merupakan modalitas politik yang mendasari perjalanan ASEAN hingga
organisasi regional itu memiliki sebuah kerangka legal Piagam ASEAN. Elemen idiografi terletak
dibalik praktek-praktek para aktor ketika mereka berusaha untuk mengartikulasikan, membenarkan,
menunjukkan, perfoma dan konteks diri mereka yang dilakukan melalui proses verbal dan ritual
tindakan komunikatif. Selama proses menuju pembentukan Piagam ASEAN, terdapat sejumlah
aksi komunikatif sebagai usaha pembenaran, artikulasi dan identitas mereka yang dilakukan oleh
para pemimpin negara-negara anggota ASEAN melalui Program Aksi Vientiane, Deklarasi Kuala
Lumpur dan Deklarasi Cebu yang sedikit banyak berperan dalam proses konstruksi ide tentang
identitas ASEAN. Aksi komunikatif yang berperan dalam proses pembentukan identitas ASEAN
dapat dilihat dalam upaya pemimpin negara-negara Asia Tenggara melakukan sosialisasi agar
rakyat ASEAN memiliki ‘Rasa Kekitaan’ (We Feeling).9 Identitas kekitaan ini sangat berbeda dengan
organisasi Uni Eropa yang tidak memiliki kesatuan identitas historis yang mendekatkan negara
anggotanya satu sama lain.

7 Asean Charter. 2008. “Charter of the Association of Southeast Asia Nations”. Jakarta: Asean Secretary.
Hal 1 - 2
8 ASEAN Charter, Ibid., hal. 19
9 CPF. Luhulima, Dewi Fortuna Anwar (et.al). 2008. Masyarakat Asia Tenggara Menuju Komunitas ASEAN
2015. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hal. 6 - 7

207
Ethics: How Should Southeast Asian States Act?
Perjanjian persahabatan dan kerjasama (Treaty of Amity and Cooperation) yang ditandatangani
pada pertemuan puncak ASEAN pertama di Bali pada tahun 1976 merupakan perwujudan dari
nilai-nilai universal yang mendasari pembentukan organisasi regional ASEAN. Dalam pertemuan
Bali tersebut negara-negara ASEAN menghasilkan sejumlah kesepakatan penting untuk saling
menghormati yang menjadi norma ASEAN. Norma tersebut terdiri dari; (1) kemerdekaan, kedaulatan
dan integritas wilayah semua bangsa; (2) setiap negara berhak memelihara keberadaannya dari
campur tangan, subversi, kekerasan dari kekuatan luar; (3) tidak mencampuri urusan dalam negeri
negara lain; (4) menyelesaikan perbedaan pendapat dan pertikaian dengan jalan damai; (5) menolak
ancaman penggunaan kekerasan.10
Beberapa dimensi diatas menunjukkan tentang landasan etika (ethics) tentang apa yang boleh
dan tidak boleh dilakukan oleh negara-negara anggota ASEAN. Pembentukan Piagam ASEAN
semakin memperkuat landasan hukum bagi organisasi regional ASEAN. Dalam mencapai tujuan-
tujuan yang disebutkan dalam Pasal 1 Piagam ASEAN, Negara-Negara Anggotanya menegaskan
kembali dan memegang teguh prinsip-prinsip dasar yang tertuang dalam deklarasi-deklarasi,
persetujuan-persetujuan, konvensi-konvensi, concords, traktat-traktat, dan instrumen ASEAN
lainnya. Artinya bahwa norma dan prinsip yang tertuang dalam Piagam ASEAN sebagian besarnya
mengadopsi dari kesepakatan yang dihasilkan dari Pertemuan Puncak ASEAN 1976 di Bali.
Rumusan etika dalam Piagam ASEAN dapat dirumuskan menjadi beberapa poin penting, yaitu
penghormatan terhadap kemerdekaan, kedaulatan, kesetaraan, integritas wilayah, dan identitas
nasional seluruh Negara-Negara Anggota ASEAN; komitmen bersama dan tanggung jawab
kolektif dalam meningkatkan perdamaian, keamanan dan kemakmuran di kawasan; penolakan
terhadap tindakan agresi atau penggunaan kekuatan apapun yang melanggar hukum internasional;
penyelesaian sengketa secara damai; prinsip non-intervensi; peningkatan konsultasi atas persoalan
yang menyangkut kepentingan bersama; penghargaan terhadap pemerintahan demokratis yang
konstitusional, penegakan HAM dan pemajuan keadilan sosial; menjunjung tinggi piagam PBB
yang disepakati ASEAN; negara anggota tidak diperbolehkan untuk terlibat dalam kegiatan yang
akan mengancam stabilitas regional; dan mengedepankan semangat persatuan dalam keberagaman.
Penjelasan ini sejalan dengan penjelasan tentang aspek how should we act?” Dalam penjelasan
ini menunjukkan bahwa negara-negara ASEAN dalam perjalanannya akan mengambil tindakan
berbasis pada norma-norma yang disepakati oleh negara-negara anggota berdasarkan landasan
konstitusional yang tertuang dalam bab I pasal 2 Piagam ASEAN dimana menurut Luhulima, Dewi
Fortuna Anwar dan Ikrar Nusa Bakti sebetulnya elemen etika yang ada di dalam piagam ASEAN
tidak beranjak jauh dari apa yang sudah dimiliki dan dipraktekan oleh ASEAN selama perjalanan
organisasi tersebut.11

Purposive Pembentukan Piagam ASEAN


Pada bagian ini penulis akan menjelaskan tentang elemen purposive yang terkait dengan
pembentukan kepentingan dan instrumental. Setidaknya terdapat enam elemen penting yang
dapat diajukan terkait dengan tujuan-tujuan normatif yang terdapat dalam Piagam ASEAN, yaitu
Pertama, hasrat dan keinginan bersama untuk hidup di kawasan yang memiliki perdamaian abadi,
keamanan dan stabilitas. Kedua, pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, kesejahteraan bersama
dan kemajuan sosial (sustainable development). Ketiga, memajukan kepentingan, cita-cita, dan aspirasi
bersama yang utama. Keempat, mempertahankan Asia Tenggara sebagai Kawasan Bebas Senjata

10 Bambang Cipto. Hal. 23


11 CPF. Luhulima, Dewi Fortuna Anwar (et.al). op.cit. hal. 95

208
Nuklir dan bebas dari semua jenis senjata pemusnah massal lainnya. Kelima, menjamin bahwa rakyat
dan Negara-Negara Anggota ASEAN hidup damai dengan dunia secara keseluruhan di lingkungan
yang adil, demokratis, dan harmonis. Keenam, mengurangi kemiskinan dan mempersempit
kesenjangan pembangunan di ASEAN.12
Tujuan-tujuan tersebut tentu tidak berangkat dari sebuah ruang kosong, melainkan menjadi
bagian dari kesadaran transformatif yang diperlukan dalam pembentukan Piagam ASEAN.
Kesadaran transformatif muncul ketika adanya kekuatan konstitutif dari struktur-struktur norma
dan ideasional yang membentuk diskursus diantara agen sosial yang saling berpengetahuan
dimana hal ini membuat negara-negara Asia Tenggara sama-sama sadar akan perlunya perubahan
transformatif.13 Proses diskursif tersebut berlangsung melalui tahapan pertemuan kepala negara
yang menghasilkan sebuah tujuan yang didasarkan pada kepentingan bersama Bangsa-bangsa Asia
tenggara.

Instrumental
Elemen terakhir dari perspektif konstruktivisme Reus-Smit tentang politik-hukum internasional
adalah hal yang berkenaan dengan instrumental atau dimensi yang terkait dengan bagaimana
mereka bisa memperoleh apa yang mereka inginkan. Dalam hal ini terdapat sejumlah instrumen
atau hal-hal yang terkait dengan bagaimana negara-negara anggota ASEAN dapat mencapai
tujuannya dimana aspek instrumental tersebut juga dituangkan dalam Piagam ASEAN.
Penjelasan diseputar bagaimana negara-negara ASEAN mencapai tujuan mereka, yakni yang
terkait dengan tujuan untuk mewujudkan Konektivitas Regional dan Komunitas ASEAN sebagai
bagian dari ASEAN Vision 2020 setidaknya dapat dianalisis dari tiga hal penting antara lain, (1)
Meningkatkan kerjasama regional dibidang ekonomi, sosial-budaya dan termasuk dalam bidang
keamanan melalui intensifikasi pertemuan-pertemuan pada tingkatan menteri maupun kepala
negara dalam bingkai Piagam ASEAN (2) Intensifikasi pertemuan tingkat kepala negara; (3)
Melibatkan masyarakat sipil termasuk sektor swasta di dalam pengembangan organisasi ASEAN
dikemudian hari.
Poin ketiga tersebut merupakan bagian dari sebuah upaya untuk menciptakan transformasi
yang semula hanya fokus pada state-oriented menuju people oriented atau people to people contact.
Penekanan pada penguatan dan pelibatan masyarakat sipil dalam pembangunan ASEAN dapat
dikatakan sebagai respon terhadap pandangan publik yang selama ini menilai ASEAN sebagai
organisasi regional yang bersifat elitis dan hanya didominasi oleh pejabat pemerintah seperti
menteri dan pemimpin negara.14 Disinilah bisa kita telaah bahwa tidak hanya negara saja yang
bisa menjadi sumber pokok untuk menciptakan legal-politic tetapi mengacu pada non-elite actor
pun suatu kerangka kerjasama regional bisa terbentuk lebih solid dan lebih mengikat diantara
para anggotanya. Jika para elite dominan bermain di tingkat pembuatan keputusan dan kebijakan
untuk merumuskan tujuan yang ingin dicapai oleh ASEAN, maka di tingkat non-elite actor inilah
masyarakat sipil menjadi instrumen untuk pencapaian tujuan tersebut dan menjadi objek dari hasil
keputusan dan kebijakan yang dibuat oleh kaum elite. Meskipun peran elite merupakan hal yang
signifikan tetapi peran aktor non-elite pun tidak bisa dikesampingkan begitu saja karena ada tujuan
ASEAN yang ingin dicapai sebagai bentuk interconnected people in south east asia nations.

12 Asean Charter. 2008. Hal 2 - 3


13 Christian Reus-Smit, Ibid., hal. 21 - 22
14 CPF. Luhulima, Dewi Fortuna Anwar (et.al). 2008. Masyarakat Asia Tenggara Menuju Komunitas ASEAN 2015.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hal. 133 - 135

209
Refleksi Bagi Indonesia
Bagi Indonesia, politik luar negeri baik yang menyangkut perkara politik maupun hukum
internasional tidak senantias menyandarkan pada pendekatan kepentingan nasional, kerjasama
semata-mata atau memenuhi kemauan para pemiliki modal, melainkan diarahkan pada orientasi
politik luar negeri yang konstruktif yang melibatkan unsur idiografi dalam pertimbangan kebijakan
luar negeri. Pendekatan konstruktif dalam praktek hubungan internasional dapat meningkatkan
peran Indonesia dikancah internasional, semisal peran Indonesia dalam upaya membantu
memerdekakan Palestina dan demokratisasi di Timur Tengah. Keterlibatan Indonesia di Timur
Tengah jika dilihat dari aspek idiografi akan sangat memperluas peran Indonesia mengingat bahwa
wilayah tersebut mayoritas berpenduduk muslim yang harusnya ditopang oleh negara lain yang
memiliki kesamaan identitas. Kepentingan nasional tetap menjadi prioritas tetapi perlu diingat
hubungan internasional kontemporer telah berkembang cukup jauh dari sekedar politik kekuasaan
maupun ekonomi-politik menuju unsur yang selama ini diabaikan, yakni identitas dan tujuan-
tujuan normatif

Epilog
Secara teoritik, pendekatan konstruktivisme memberikan sudut pandang alternatif terhadap
realitas hubungan internasional secara umum dan politik hukum internasional khususnya. Dalam
konteks ini pendekatan konstruktivisme digunakan sebagai kerangka kerja akademik untuk
memahami pembentukan Piagam ASEAN yang selama ini jauh dari penjelasan-penjelasan yang
berbasis pada pendekatan-pendekatan normatif, identitas dan tujuan-tujuan moral para aktor yang
sama pentingnya dengan kepentingan material diantara negara-negara berdaulat.
Ilmu hubungan internasional yang hanya mengedepankan aspek kerjasama dengan
pertimbangan untung rugi maupun perjuangan mencapai kekuasaan hanya akan menutup
perkembangan studi itu sendiri lantaran tidak membuka peluang bagi penjelasan-penjelasan
alternatif yang bersifat sosiologis dan normatif. Dunia yang dibayangkan oleh Morgenthou tidak
selalu mampu menjelaskan semua faktor yang membentuk tindakan aktor, begitu pula dengan
rasionalis yang tidak selamanya mampu menjelaskan kenapa faktor-faktor identitas, normatif dan
moral juga menyebabkan negara-negara mau bekerjasama atau membentuk institusi politik hukum
internasional atau sebuah kerangka legal seperti Piagam ASEAN.
Terbentuknya Piagam ASEAN melalui proses pembelajaran (learning process) yang cukup
panjang selama empat dekade terakhir oleh negara anggota membuka ruang penafsiran teoritik
diluar aliran utama pendekatan politik hukum internasional. Dalam arti bahwa pembentukan
Piagam ASEAN tidak semata-mata didasari oleh kepentingan material dan pertimbangan untung
rugi semata-mata serta menjadi landasan legal kerjasama dibawah tatanan dunia yang anarki,
melainkan bahwa pembentukan Piagam tersebut dapat dianalisis berdasarkan elemen sosial,
normatif-ideasional dan moral.
Dalam konteks pembentukan Piagam ASEAN (ASEAN Charter) bahwa kecenderungan untuk
mengatakan bahwa piagam tersebut didorong oleh faktor kepentingan politik dari kelompok negara
dominan dan dorongan kerjasama yang didasarkan pada pertimbangan untung rugi semata-mata
membuka kemungkinan untuk diperdebatkan. Piagam ASEAN terbentuk didorong oleh elemen-
elemen normatif (ethics), ‘identitas-bersama’ (idiography) sebagai bangsa-bangsa Asia Tenggara dan
tujuan moral (purposive) melalui sejumlah metode (instrumental) untuk memajukan pembangunan
rakyat Asia Tenggara dengan melibatkan aktor non-negara organisasi ASEAN pasca terbentuknya
Piagam ASEAN.

210
DAFTAR PUSTAKA
Acharya, Amitav. 2001. Constructing a Security Community in South-east Asia: ASEAN and the Problem
of Regional Order. London & New York: Routledge
Cipto, Bambang. 2007. Hubungan Internasional di Asia Tenggara: Teropong Terhadap Dinamika, Realitas
dan Masa Depan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Jemadu, Alexius. 2008. Politik Global dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta. Graha Ilmu
Luhuluma, CPF, Dewi Fortuna Anwar (et.al). 2008. Masyarakat Asia Tenggara Menuju Komunitas
ASEAN 2015. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Wanandi, Jusuf. 2001. “Asean’s Past and the Challenges Ahead: Aspect of Politics and Security”
dalam Simon S.C. Tay, Jesus P. Estanislao Hadi Soesastro. Reinventing ASEAN. Singapura:
ISEAS
Reus-Smit, Christian. 2004. The Politics of International Law. United Kingdom: Cambridge University
Press
Severino C., Rodolfo. 1999. ASEAN: Rises to the Challenge. Jakarta: Asean Secretary
Wuryandari, Ganewati (ed). 2008. Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah Pusaran Domestik. Jakarta:
P2P-LIPI dan Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Sumber Internet
Asean Charter. 2008. “Charter of the Association of Southeast Asia Nations”. Jakarta:
Asean Secretary. Dapat diakses di:[ http://www.kemlu.go.id/Pages/Asean.aspx?l=id ]
Tabloid Diplomasi. 2011. “KTT ASEAN Menyepakati Untuk Segera Mewujudkan Konektivitas
Regional”. No. 43 Tahun IV. Tanggal 15 Mei – 14 Juni
ASEAN Selayang Pandang Edisi-19, Tahun 2010. Dapat diakes di: [ http://www.kemlu.go.id/
Pages/Default.aspx ]

211
212
ASEAN COMMUNITY 2015,
FROM SOCIO-CULTURAL PERSPECTIVES1

Amb. Nazaruddin Nasution, MA


Director, Institute of International Studies (INSIST), State Islamic University (UIN),
Jakarta, Indonesia.

1. The ASEAN Community is a commitment that will be implemented by ASEAN in 2015.


The ASEAN Community consists of 3 pillars: Political and Security Community, Economic
Community and Socio-Cultural Community. One question that remains to be answered is: Will
the ASEAN Community be established in 2015? Knowing that the timeframe is only 3 years left,
will we able to establish it successfully?
2. At this opportunity, I will limit my observation to only one aspect of the ASEAN Community,
namely the Socio-Cultural Community. With regard to the other 2 pillars, we are aware that The
Political and Security Community has been implemented smoothly for the past 40 years (1971-
2011), thus I will not discuss it.  I will not touch on the economic aspect, because I’m not an expert
in that field. Therefore, I will focus just on the socio-cultural aspect.
3. Based on the Roadmap for an ASEAN Community, the socio-cultural aspect is defined in the
ASEAN Socio-Cultural Community Blueprint. By referring to 47 points from the Blueprint on
Characteristics and Elements and 9 points on Implementation and Review Mechanism, I will
spotlight 3 aspects, that is Human Development, Building ASEAN Identity, and Promotion of ASEAN
Culture.
4. The first aspect I would like to spotlight is Human Development. Human Development is focused
more on Advancing and Prioritizing Education. I’m interested with the actions that must be
done for education networking and university networking. This is expressed in the Blueprint
that is “promote education networking in various levels of educational institutions and continue
university networking and enhance and support student and staff exchanges and professional
interactions including creating research clusters among ASEAN institutions of higher learning,
in close collaboration with the Souteast Asia Ministers of Education Organization (SEAMEO)
and the ASEAN University Network (AUN).” It is very encouraging that the European Union,
Japan, China, Korea and a number of ASEAN members (Thailand, Malaysia, Indonesia, Brunei
and Vietnam) give scholarships to students from ASEAN countries to continue their studies
at various universities. Apart from gaining a deeper knowledge of ASEAN studies, is to get
advanced studies on fields that are essential for the future, i.e. science and technology, Business,
Management, Public Administration, Religion and Cross Cultural Studies Programme. Whereas
matters related to the future of ASEAN is cultivating a sense of belonging between the younger
ASEAN generation, aside from strengthening the friendship amongst the people of ASEAN.
5. One of the Action for Strategic Objective in Education states: to support learning of ASEAN
languages and promote exchanges of linguistics. The issue of language is one of the main elements
of Culture. It is an indesputable fact that other than English, there exists many national and local
languages in South East Asia. The national languages consist of Malay or Indonesian, besides
Thai, Khmer, Burmese, Vietnamese, Tagalog and others. Language is vital for strengthening
the bond and friendship in the framework of people-to-people contact. The Melayu language

1
This paper was presented at Roundtable Conference Malaysia-Indonesia/Thailand/Vietnam Relations towards
Strengthening ASEAN Regionalism-ASEAN: The Way Forward, on March 7 and 8, 2012 in Kuala Lumpur, organized by
the Foreign Policy Study Group (FPSG), Malaysia.

213
(Malaysia/Indonesia), for example, is expected to strengthen bonds and friendships and generally
is used by the people of Malaysia, Indonesia, Brunei and even Singapore, southern Philippines,
southern Thailand, certain areas in Cambodia,etc. In the ASEAN forum, English is used as the
official language of ASEAN. We need to communicate among the people of ASEAN member
countries with language or languages spoken in our daily life, and probably will be used as the
language of ASEAN, besides English.
6. Next, I would like to look at Building ASEAN Identity. One of the most important elements of
Building ASEAN Identity is ASEAN Awareness and a Sense of Community. It must be examined
how far the ASEAN Awareness and a Sense of Community is felt by the people of ASEAN
member countries. A research was done by Rajaratnam School on International Studies on public
awareness in Indonesia, through a questionnaire given to respondents in 3 cities of Indonesia.
The findings are:
- On the proposed formation of the ASEAN Community, Indonesian respondents appers to
have little knowledge about the idea. Surprisingly, not many of the respondents were aware
of the proposed formation of the ASEAN Community in 2015. Most of the respondents had
not even heard or read about the ASEAN Community and its founding document. The
respondents described that their lack of knowledge could be due to the government’s failure
to publicize and explain it to the general public.
It can be inferred from the findings that the formation process of the ASEAN Community has
not yet involved the people of the region. However, the study also found that despite their lack
of knowledge on the ASEAN Community, Indonesian respondents were supportive of the idea.
What is important to them is that the three core pillars under the ASEAN Community have to be
beneficial to their country, people, society and economy.
7. Realizing the minimal public awareness amongst Southeast Asian people and communities on
the ASEAN Community, what urgency programs must be worked out both by government and
civil society? What must Government examine which has been done cross-sectorally? Ministry
of Foreign Affairs of Indonesia has established a Department of Public Diplomacy within the
Ministry. Their duty, among others, is to disseminate ASEAN especially to universities and
other civil societies. A number of MOF officials, mainly from the ASEAN National Secretariat,
has given lectures or become speakers at seminars. Aside from private universities, public
universities in Indonesia are found in 33 provinces. Dissemination efforts to universities are
generally successful although lacking in quantity and penetrate only around 10 universities within
Java and Sumatera. It has not covered the other regions in Indonesia, which has 33 provinces.
Among the efforts performed are for universities as a center of excellence to be facilitated with
a special ASEAN room, called ASEAN Corner, aside from promoting an exclusive study on
ASEAN, namely ASEAN Studies. Along with dissemination programs and establishment
of ASEAN Corner and ASEAN Studies is building networks between the ASEAN National
Secretariat and various stakeholders in the community not only from academicians, but other
layers of the community such as the youth, women, journalists, workers, farmers, etc.
In the framework of A Sense of Community, there is a need to promote “Engagement with the
Community” by involving non-governmental organizations in ASEAN Community building
process, and organizing what is known as the ASEAN Social Forum and the ASEAN Civil Society
Conference.
8. The third aspect I wanted to highlight is Promotion of ASEAN Culture. Referring to “Preservation
and Promotion of ASEAN Cultural Heritage” in the Blueprint, one of the Action is to: “promote
cultural tourism and the development of related industries by establishing working relations
between and among the ASEAN culture and tourism officials and the private sector. “

214
Furthermore it states, “Initiate the establishment of linkages among ASEAN cities and townships,
especially those with cultural arts and heritage elements”. Cooperation in the framework of
tourism is essential to create links between nations with the same or similar cultural wealth,
such as the Angkor Wat Temple in Cambodia and Borobudur Temple in Indonesia; between
Pattaya Island in Thailand, Genting Islands in Malaysia, Danang Island in Vietnam and the
island of Bali in Indonesia. In practices, the cooperation is binded by a sister cities cooperation.
Cultural cooperation must be encouraged more through exchange of cultural troupes with
traditional music instruments as well as traditional dances. Outside of these initiatives, some
have suggested the idea to attract more tourists to Southeast Asian region for the benefit of all
ASEAN member countries by organizing, for instance, a 7-10 days ASEAN Cruise similar to the
well-known Carribean Cruise. It will connect mostly the interesting objects of tourism within
our region covering, among others: Pattaya, Siem Reap, Ho Chi Minh City, Genting Islands,
Singapore/Batam and Bali. This is also in line with the project of ASEAN Connectivity, namely to
link and match between the western part of ASEAN with the eastern part of ASEAN.
9. Lastly, outside of the Socio-Cultural Blueprint, I believe it is crucial to have an awareness of the
importance of disseminating the contents of the ASEAN Charter, especially with the purposes
and principles of ASEAN as published in the Charter. Democracy, Human Rights, Rule of Law
and Good Governance is stated both in the Purposes as well as the Principles of ASEAN.
The Purposes of ASEAN as stated in Article 1 of the Charter are:
- To strengthen democracy, enhance good governance and the rule of law, and to promote
and protect human rights and fundamental freedoms, with due regard to the rights and
responsibilities of the Member States of ASEAN;
10. Meanwhile, the Principles of ASEAN as stated in Article 2 of the Charter consist of :
(h) adherence to the rule of law, good governance, the principles of democracy and constitutional
government;
(i) respect for fundamental freedoms, the promotion and protection of human rights, and the
promotion of social justice; 
(l) respect for the different cultures, languages and religions of the peoples of ASEAN while
emphasising their common values in the spirit of unity in diversity;
11. In regard to Democracy, efforts have been made to explain this principle through the Bali
Democracy Forum. It is stated, among others, the areas of priority: (a) Strengthening and
developing electoral process; (b)Enhancing and the role of political parties; (c) Upholding the
rule of law and strengthening judicial integrity and capacity; (d) Developing and maintaining
check-and-balances among the main branches of governments; (e) Promoting good governance
(transparency and accountability); (f) Promoting democracy and socio-economic development,
including national and regional economic resilience; (g) Ensuring access to basic public
information;
12. With regard to Human Rights, we are familiar with The ASEAN Intergovernmental Commission
On Human Rights (AICHR) which was inaugurated in September 2009. It is a Consultative
Body of the Association of Southeast Asian Nations (ASEAN). The Human Rights Commission
exists to promote and protect Human Rights, and Regional Co-operation on Human Rights, in
the member states of ASEAN. The AICHR is directed by a body of Representatives, one per
member state, each nominated by and answerable to their Government and serving a three-year
term.
13. Lastly, regarding Good Governance, there are 8 major characteristics : (a) PARTICIPATORY,
(b) CONSENSUS ORIENTED, (c) ACCOUNTABLE, (d) TRANSPARENT, (e) RESPONSIVE, (f)

215
EFFECTIVE AND EFFICIENT, (g) EQUITABLE AND INCLUSIVE, (h) FOLLOWS THE RULE
OF LAW.
What is meant by Good Governance? Good governance requires fair legal frameworks that are enforced
impartially.
What is meant by Transparency? Transparency means that decisions taken and their enforcement are
done in a manner that follows rules and regulations.
And what does Accountability mean? Accountability is a key requirement of good governance. Not only
governmental institutions but also the private sector and civil society organizations must be accountable to
the public and to their institutional stakeholders.
14. Those objectives and principles of ASEAN, democracy, human rights, rule of law as well as good
governance have to be respected both by the authorities as well as by the people of ASEAN.
Those objectives and principles of ASEAN do not belong only to the duty of government officials,
but more importantly to the people of ASEAN at-large. Since those objectives and principles of
ASEAN stipulated in the Charter are strategic factors for the success of ASEAN Community, it
is necessary for all stakeholders of ASEAN to exercise the appropriate implementation of such
principles.
Academician, media, NGO’s as well as the youth have to contribute actively so that the purposes
and principles of ASEAN are fully implemented within the ASEAN circle, as a prerequisite to
establishing the ASEAN Community. ***

216
DAFTAR PENULIS

- Andre Ardhi – Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama)


- Tirta N. Mursitama dan Maisa Yudini – Universitas Bina Nusantara
- Mohammad Riza Widyarsa – Universitas Al Azhar Indonesia
- Hizkia Yosie Polimpung – Universitas Al Azhar Indonesia
- Hevi Kurnia Hardini – Universitas Muhammadiyah Malang
- Obsatar Sinaga – Universitas Padjajaran
- Purnama Wulandari – Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
- Arin Firtiana – Universitas Budi Luhur
- Ade M. Wirasenjaya – Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
- Bambang Wahyu Nugroho – Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
- Andrik purwasito – Universitas Sebelas Maret
- Sukawarsini Djelantik – Universitas Parahyangan
- Yudha Kurniawan – Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama)
- Angel Damawanti – Universitas Kristen Indonesia
- Apriwan – Universitas Andalas
- Nazaruddin Nasution – Universitas Islam Syarif Hdayatullah
- M. Sigit Andhi Rahman – President University
- Emil Radhiansyah – Universitas Paramadina
- Deni Meutia dan Yoga Suharman – Universitas Respati Yogayakarta

217
218

Anda mungkin juga menyukai