Laporan Pendahuluan Praktik Anak - Davita Aprilia Pratiwi - 2010721046

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN PENDAHULUAN

DENGAN MASALAH HYGROMA SUBDURAL


RUMAH SAKIT BHAYANGKARA TK.I R. SAID SUKANTO
Jl. Raya Jakarta-Bogor, Kramat Jati, Kec. Kramat Jati, Kota Jakarta
Timur, Daerah Khusus Ibukota Jakarta

Dosen Pembimbing: Ns. Indah Permatasari, S.Kep, M.Kep

Disusun Oleh :
Nama : Davita Aprilia Pratiwi
NIM : 2010721046

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA
2020/2021
BAB I
KONSEP DASAR

A. Definisi
Hygroma subdural merupakan pengumpulan cairan liquor yang terbungkus oleh
kapsul di bawah durameter. Biasanya disebabkan oleh pecahnya araknoid sehingga liquor
serebrospinalis mengalir dan membentuk kolam (Satyanegara, 2014). Menurut Dugdale,
(2013), hygroma subdural adalah hematoma subdural kronis yang mungkin disertai oleh
penumpukan atau pengumpulan cairan LCS di dalam ruang subdural. Kelainan ini agak
jarang ditemukan dan dapat terjadi karena robekan selaput araknoid yang menyebabkan
cairan LCS keluar ke ruang subdural, dengan demikian hygroma subdural serupa dengan
hematoma subdural kronik (HSD Kronik).
Higroma (Hidroma) subdural adalah akumulasi cairan cerebrospinal dalam ruang
subdural atau penimbunan cairan diantara durameter dan araknoid. Higroma ini sering
terjadi di daerah frontal dan temporal. Pada umumnya higroma subdural disebabkan
pecahnya araknoid sehingga LCS (Likuor Cerebrospinalis) mengalir dan terkumpul dan
membentuk kolam. Cairan yang terjadi sebenarnya adalah cairan otak yang secara normal
memang berada di situ, bedanya adalah jumlah dan efek yang ditimbulkan (Heller, 2012).

Gambar 1. CT Scan Higroma Subdural Tampak penekanan


pada ventrikel lateral kiri
B. Anatomi dan Fisiologi
1. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu: skin atau kulit,
connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea aponeurotika ,
loose conective tissue atau jaringan penunjang longgar dan pericranium (American
College of Surgeons, 2011).
2. Tulang Tengkorak
Tengkorak adalah tulang kerangka dari kepala yang disusun menjadi dua bagian
yaitu kranium (kalvaria) yang terdiri atas delapan tulang dan kerangka wajah yang
terdiri atas empat belas tulang. Rongga tengkorak mempunyai permukaan atas yang
dikenal sebagai kubah tengkorak, licin pada permukaan luar dan pada permukaan
dalam yang terdapat lekukan supaya dapat sesuai dengan otak dan pembuluh darah.
Permukaan bawah dari rongga dikenal sebagai dasar tengkorak atau basis kranii.
Dasar tengkorak ditembusi oleh banyak lubang supaya dapat dilalui oleh saraf dan
pembuluh darah (American College of Surgeons, 2011).
3. Meningeal
Meningeal merupakan selaput yang membungkus otak dan sumsum tulang
belakang. Fungsi meningeal yaitu melindungi struktur saraf halus yang membawa
pembuluh darah dan cairan sekresi (cairan serebrospinal), dan memperkecil benturan
atau getaran, yang terdiri atas 3 lapisan sebagai berikut (American College of
Surgeons, 2011).
a) Durameter (Lapisan sebelah luar)
Durameter ialah selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat
tebal dan kuat, dibagian tengkorak terdiri dari selaput tulang tengkorak dan dura
meter propia di bagian dalam. Di dalam kanalis vertebralis kedua lapisan ini
terpisah. Durameter pada tempat tertentu mengandung rongga yang mengalirkan
darah vena dari otak, rongga ini dinamakan sinus longitudinal superior yang
terletak diantara kedua hemisfer otak. Pada durameter terdapat rongga yang
dinamakan rongga subdural, yaitu rongga potensial kecil yang terletak antara
duramater bagian dalam dan araknoid.
b) Selaput Arakhnoid (Lapisan tengah)
Selaput arakhnoid merupakan selaput halus yang memisahkan durameter dengan
piameter yang membentuk sebuah kantong atau balon berisi cairan otak yang
meliputi seluruh susunan saraf sentral.
c) Piameter (Lapisan sebelah dalam) Piameter merupakan selaput tipis yang terdapat
pada permukaan jaringan otak, piameter berhubungan dengan arakhnoid melalui
struktur-struktur jaringan ikat yang disebut trebekel. Tepi falks serebri
membentuk sinus longitudinalis inferior dan sinus sagitalis inferior yang
mengeluarkan darah dari falks serebri. Tentorium memisahkan cerebrum dengan
cerebelum.

Gambar 2. Lapisan Otak


4. Otak
Otak merupakan suatu organ tubuh yang sangat penting karena merupakan pusat
komputer dari semua organ tubuh, bagian dari saraf sentral yang terletak di dalam
rongga tengkorak (kranium) yang dibungkus oleh selaput otak yang kuat. Otak terdiri
dari otak besar ( cerebrum ), otak kecil ( cerebellum ), dan batang otak (Trunkus
serebri ). Besar otak orang dewasa kira-kira 1300 gram, 7/8 bagian berat terdiri dari
otak besar (American College of Surgeons, 2011).
Gambar 3. Bagian Otak
a) Otak besar ( cerebrum )
Otak besar merupakan bagian yang terluas dan terbesar dari otak,
berbentuk telur mengisi penuh bagian depan atas rongga tengkorak. Masing-
masing disebut fosa kranialis anterior atas dan fosa kranialis media. Otak
besar terdiri dari dua belahan, yaitu belahan kiri yang mengendalikan tubuh
bagian kanan, dan belahan kanan yang mengendalikan tubuh bagian kiri. Otak
mempunyai 2 permukaan, permukaan atas dan permukaan bawah. Kedua
lapisan ini dilapisi oleh lapisan kelabu (zat kelabu) yaitu pada pada bagian
korteks serebral dan zat putih yang terdapat pada bagian dalam yang
mengandung serabut saraf. Fungsi otak besar yaitu sebagai pusat berpikir
(kepandaian), kecerdasan dan kehendak. Selain itu otak besar juga
mengendalikan semua kegiatan yang disadari seperti bergerak, mendengar,
melihat, berbicara, berpikir dan lain sebagainya (Y et al., 2010).
Cerebrum secara terbagi menjadi 4 (empat) bagian yang disebut lobus
yaitu lobus frontal, lobus parietal, lobus occipital dan lobus temporal.
1) Lobus frontal merupakan bagian lobus yang terletak pada bagian
depan cerebrum. Lobus ini berhubungan dengan kemampuan membuat
alasan, kemampuan gerak, kognisi, perencanaan, penyelesaian
masalah, memberi penilaian, kreativitas, kontrol perasaan, kontrol
perilaku seksual dan kemampuan bahasa secara umum.
2) Lobus parietal berhubungan dengan proses sensor perasaan seperti
tekanan, sentuhan dan rasa sakit.
3) Lobus temporal berhubungan dengan kemampuan pendengaran,
pemaknaan informasi dan bahasa dalam bentuk suara
b) Otak kecil ( cerebellum )
Otak kecil terletak dibawah otak besar. Terdiri dari dua belahan yang
dihubungkan oleh jembatan varol, yang menyampaikan rangsangan pada
kedua belahan dan menyampaikan rangsangan dari bagian lain. Fungsi otak
kecil adalah untuk mengatur keseimbangan tubuh serta mengkoordinasikan
kerja otot ketika bergerak (American College of Surgeons, 2011).
c) Batang otak ( Trunkus serebri )
Batang otak terdiri dari :
1) Diensefalon , bagian batang otak paling atas terdapat diantara
serebellum dengan mensepalon, kumpulan dari sel saraf yang terdapat
dibagian depan lobus temporalis terdapat kapsula interna dengan sudut
menghadap kesamping. Diensefalon ini berfungsi sebagai vaso
konstruksi (memperkecil pembuluh darah), respiratori (membantu
proses pernafasan), mengontrol kegiatan reflex, dan membantu
pekerjaan jantung.
2) Mensefalon, atap dari mensefalaon terdiri dari empat bagian yang
menonjol ke atas, dua di sebelah atas disebut korpus kuadrigeminus
superior dan dua disebelah bawah disebut korpus kuadrigeminus
inferior. Mensefalon ini berfungsi untuk sebagai pusat pergerakan
mata, mengangkat kelopak mata, dan memutar mata.
3) Pons varolli , merupakan bagian tengah batang otak dan arena itu
memiliki jalur lintas naik dan turun seperti otak tengah. Selain itu
terdapat banyak serabut yang berjalan menyilang menghubungkan
kedua lobus cerebellum dan menghubungkan cerebellum dengan
korteks serebri.
4) Medula oblongata, merupakan bagian dari batang otak yang paling
bawah yang menghubungkan pons varolli dengan medulla spinalis.
Medulla oblongata memiliki fungsi yang sama dengan diensefalon. (Y
et al., 2010)
5. Cairan Serebrospinalis
Cairan serebrospinal adalah hasil sekresi plexus khoroid. Cairan ini bersifat alkali, bening
mirip plasma dengan tekanannya 60-140 mm air. Sirkulasi cairan cerebrospinal yaitu cairan
ini disalurkan oleh plexus khoroid ke dalam ventrikel- ventrikel yang ada di dalam otak.
Cairan itu masuk ke dalam kanalis sentralis sumsum tulang belakang dan juga ke dalam
ruang subarakhnoid melalui celahcelah yang terdapat pada ventrikel keempat. Setelah itu
cairan ini dapat melintasi ruangan di atas seluruh permukaan otak dan sumsum tulang
belakang hingga akhirnya kembali ke sirkulasi vena melalui granulasi arakhnoid pada sinus
sagitalis superior. Oleh karena susunan ini maka bagian saraf otak dan sumsum tulang
belakang yang sangat halus terletak diantara dua lapisan cairan. Dengan adanya kedua
‘bantalan air’ ini maka sistem persarafan terlindungi dengan baik. Cairan cerebrospinal ini
berfungsi sebagai buffer, melindungi otak dan sumsum tulang belakang dan menghantarkan
makanan ke jaringan sistem persarafan pusat (Y et al., 2010).

C. Etiologi
Beberapa etiologi hygroma subdural menurut beberapa sumber adalah sebagai berikut
(Heller, 2012) :
1) Post Trauma Kecelakaan
Pada umumnya hygroma subdural disebabkan pecahnya araknoid sehingga LCS
mengalir dan terkumpul membentuk kolam. Posttraumatic subdural higroma
merupakan kasus yang umum terjadi.
2) Post Operasi (pintasan ventrikuler, marsupialisasi kista araknoid dan reseksi kista)
Higroma subdural akut dan kronik merupakan komplikasi postoperasi yang umum
terjadi dari pintasan ventrikuler, marsupialisasi kista araknoid dan reseksi kista, Y et
al (2010), melaporkan suatu kasu higroma subdural setelah tindakan reseksi suatu lesi
desak ruang pada ventrikel lateral yang menyebabkan deformasi brainstem
dekompresif, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang sangat
penting antara prosedur pembedahan, pencegahan kehilangan LCS dan fluktuasi yang
cepat dalam tekanan intracranial (Heller, 2012).
3) Komplikasi atau lanjutan dari hematoma subdural akut
Kebanyakan subdrual higroma (SDG) atau higroma subdural terjadi sekunder akibat
trauma. Kejadian perkembangan suatu higroma subdural pada pasien Acute Subdural
Hematoma (ASDH) atau hematoma subdural akut atau hematom subdural akut, yang
kemudian mengalami resolusi spontan cepat dalam waktu 9 jam akibat kontribusi
terhadap pembesaran higroma subdural. Hematoma seubdural akut merupakan
kumpulan darah segar di bawh lapisan durameter yang biasanya cukup besar untuk
menekan otak dan menyebabkan kematian hingga 60-80% kasus. Resolusi spontan
cepat pada kasus hematom subdural akut sangat jarang terjadi. Salah satu mekanisme
resolusi spontan yang pernah dilaporkan adalah melalui terbentuknya higroma
subdural. Resolusi hematom subdural akut dan dampaknya terhadap higroma
seubdural harus dipertimbangkan selama penatalaksanaan hematom subdural akut (Y
et al., 2010).

D. Tanda dan Gejala


Gambaran klinis menunjukkan tanda peningkatan tekanan intrakranial, meski
sering tanpa disertai tanda-tanda fokal. Penyembuhan cedera otak primer yang biasanya
berupa memar otak, terganggu akibat adanya higroma ini (Stavrinou et al., 2017). Dalam
penelitiannya menemukan berbagai gejala terkait cedera kepala sebagai berikut.
1) Nyeri kepala ( headache )
2) Perubahan status mental
3) Gejala pada ekstremitas
4) Kehilangan kesadaran atau epilepsi
5) Kejang
6) Somnolen atau tampak mengantuk
7) Mual muntah
8) Hemiparesis
9) Papilledema
10) Neck Stiffness (kaku leher)
11) Hemianopsia (penyempitan lapang pandang)
12) Disfasia
E. Patofisiologi dan Patoflow
Patogenesis terjadinya higroma subdural adalah akumulasi cairan dalam waktu
lama di ruang subdural dapat terjadi akibat salah satu dari tiga proses yang berbeda.
Patogenesis yang paling lazim terjadi adalah likuifikasi hematoma subdural akut sehingga
membentuk atau terjadinya hematoma subdural kronik. Ada postulat yang menyatakan
bahwa semakin kental cairan yang berakumulasi, semakin cepat pula peningkatan
volumenya. Hal ini terjadi karena gradien tekanan onkotik yang tinggi pada cairan yang
kental. Meskipun volumenya bisa menurun akibat degradasi darah dan protein, namun
adanya perdarahan ulang menyebabkan volumenya menetap sehingga hematoma
subdural tetap ada. Tipe akumulasi cairan subdural yang kedua adalah terbukanya
arachnoid sehingga cairan serebrospinal dapat memasuki ruang subdural. Cairan
serebrospinal bercampur dengan darah sehingga berubah menjadi cairan xantokromatik
yang encer, sering disebut higroma subdural. Tipe akumulasi ketiga menghasilkan cairan
yang lebih purulen. Empiema subdural dapat disebabkan oleh perluasan langsung dari
sinusitis atau otitis media ke ruang epidural lalu ke ruang subdural. Akumulasi cairan
subdural yang purulen kadang-kadang juga terlihat setelah episode meningitis bakterial,
khususnya akibat Haemophilus influenzae (DM & L, 2011).
Gambar 4. Pathway Higroma Subdural
F. Pemeriksaan Penunjang
Untuk menegakkan diagnosis higroma subdural, selain anamnesis, gejala klinis
dan pemeriksaan fisik, diperlukan juga penunjang berupa radiologis diagnostik yaitu CT
Scan dan MRI. CT Scan kepala dengan atau tanpa kontras memiliki nilai diagnostik.
Akumulasi cairan subdural umumnya bersifat bilateral pada hampir 77% kasus.
Ketebalan akumulasi cairan subdural dapat bervariasi dari 4 mm hingga 42 mm. MRI
juga terbukti bermanfaat dalam membedakan akumulasi cairan subdural dari dilatasi
subarachnoid jinak atau hidrosefalus eksternal jinak yang tidak membutuhkan intervensi
bedah pada sebagian besar kasus. MRI dapat menunjukkan efek penekanan akumulasi
subdural terhadap korteks (Satyanegara, 2014).
Pada pemeriksaan neuroimaging , biasanya dengan CT scan dan MRI, terlihat
berbentuk seperti bulan sabit dengan adanya tumpukan cairan extraaxial dengan CSF
yang padat. Umumnya terjadi secara bilateral.
Gambar 5. Higroma subdural
Gambar 5
a) CT-scan menunjukkan hygroma subdural bilateral pada bagian frontal
b) MRI ( T1-weighted , tanpa kontras) menunjukkan subdural hematoma laminar,
tanpa adanya kompresi pada otak yang mendasarinya
c) MRI (T1-weighted , dengan kontras) menunjukkan peningkatan pada bagian
perifer
d) CT scan menunjukkan hilangnya kumpulan cairan di subdural.

G. Penatalaksanaan Medis
Sejumlah modalitas terapi pernah dilaporkan, antara lain evakuasi dan irigasi
ruang subdural melalui burr-hole , tap subdural , drainase subdural secara kontinyu dan
penggunaan shunt subduroperitoneal . Pemasangan shunt telah dilaporkan oleh sejumlah
peneliti, namun terdapat komplikasi antara lain obstruksi, migrasi, infeksi, drainase
unilateral dan perforasi usus. Pada higroma yang simtomatik, khususnya dengan status
klinis yang memburuk disertai dengan peningkatan volume higroma dengan kompresi
otak yang menyebabkan herniasi, dilakukan tindakan operasi drainase burr-hole
eksternal. Namun tetap dilakukan drainase subdural selama 24-48 jam pasca operasi, jika
tidak terjadi resorpsi yang memadai shunting pada ruang subdural. Kekambuhan setelah
tindakan drainase burr-hole sederhana merupakan hal yang sering terjadi, karena kasus
yang berulang (Kumar, 2010).
Tindakan kraniotomi dilakukan untuk menemukan lokasi kebocoran CSF. Juga
dilakukan peletakan shunt subdural ke peritoneal, untuk mengalirkan cairan yang
berlebih menuju ruang peritoneum (Greaves & Johnson, 2010).
H. Komplikasi
Subdural hematom dapat memberikan komplikasi berupa :
1. Hemiparese/hemiplegia.
2. Disfasia/afasia
3. Epilepsi.
4. Hidrosepalus.
5. Subdural empiema

I. Konsep Pertumbuhan
1) Pengertian Pertumbuhan
Pertumbuhan (growth) adalah perubahan yang bersifat kuantitatif, yaitu
bertambahnya jumlah, ukuran, dimensi pada tingkat sel, organ, maupun individu.
Anak tidak hanya bertambah besar secara fisik, melainkan juga ukuran dan struktur
organ-organ tubuh dan otak. Sebagai contoh, hasil dari pertumbuhan otak adalah anak
mempunyai kapasitas lebih besar untuk belajar, mengingat, dan mempergunakan
akalnya. Jadi anak tumbuh baik secara fisik maupun mental. Pertumbuhan fisik dapat
dinilai dengan ukuran berat (gram, pound, kilogram), ukuran panjang (cm, meter)
umur tulang, dan tanda-tanda seks sekunder (Soetjiningsih, 2013). Menurut Karl E
Garrison (Syamsussabri, 2013) pertumbuhan adalah perubahan individu dalam bentuk
ukuran badan, perubahan otot, tulang, kulit, rambut dan kelenjar.
2) Aspek Pertumbuhan
Untuk menilai pertumbuhan anak dilakukan pengukuran antopometri, pengukuran
antopometri meliputi pengukuran berat badan, tinggi badan (panjang badan), lingkar
kepala, lingkar lengan atas, dan lingkar dada (Saputri, 2014). Pengukuran berat badan
digunakan untuk menilai hasil peningkatan atau penurunan semua jaringan yang ada
pada tubuh, pengukuran tinggi badan digunakan untuk menilai status perbaikan gizi
disamping faktor genetik, sedangkan pengukuran lingkar kepala dimaksudkan untuk
menilai pertumbuhan otak. Pertumbuhan otak kecil (mikrosefali) menunjukkan
adanya reterdasi mental, apabila otaknya besar (volume kepala meningkat) terjadi
akibat penyumbatan cairan serebrospinal. (Hidayat, 2011). Pada umur 6 bulan lingkar
kepala rata-rata adalah 44 cm (Angelina, 2014).
3) Ciri Pertumbuhan
Pertumbuhan dapat dinilai dari beberapa perubahan yaitu : (a) Perubahan ukuran,
terlihat jelas pada pertumbuhan fisik dengan bertambahnya umur anak terjadi pula
penambahan berat badan, tinggi badan, lingkar kepala dan lain-lain. (b) Proporsi
tubuh, perubahan proporsi tubuh sesuai dengan bertambahnya umur anak, proporsi
tubuh seorang bayi baru lahir sangat berbeda dibandingkan tubuh anak ataupun orang
dewasa. (c) Hilangnya ciri-ciri lama, selama proses pertumbuhan terdapat hal-hal
yang terjadi perlahan-lahan seperti menghilangnya kelenjar timus, lepasnya gigi susu
dan menghilangnya refleks-refleks primitif. (d) Timbul ciri-ciri baru, dikarenakan
pematangan fungsi-fungsi organ, seperti tumbuh gigi permanen. (Soetjiningsih, 2013)
4) Tahap Pertumbuhan
a)Berat badan
Pemantauan pertumbuhan bayi dan anak dapat dilakukan dengan menimbang
berat badan, mengukur tinggi badan, dan lingkar kepala anak. Pertumbuhan berat
badan bayi usia 0-6 bulan mengalami penambahan 150-250 gram/minggu dan
berdasarkan kurva pertumbuhan yang diterbitkan oleh National Center for Health
Statistics (NCHS), berat badan bayi akan meningkat dua kali lipat dari berat lahir
pada anak usia 4-7 bulan (Wong, 2008). Berat badan lahir normal bayi sekitar
2.500-3.500 gram, apabila kurang dari 2.500 gram dikatakan bayi memiliki berat
lahir rendah (BBLR), sedangkan bila lebih dari 3.500 gram dikatakan
makrosomia. Pada masa bayi-balita, berat badan digunakan untuk mengukur
pertumbuhan fisik dan status gizi diperhaatikan (Susilowati 2008, dalam
Rif’atunnisa, 2014).
b)Panjang badan
Istilah panjang badan dinyatakan sebagai pengukuran yang dilakukan ketika anak
terlentang. Pengukuran panjang badan digunakan untuk menilai status perbaikan
gizi. Selain itu, panjang badan merupakan indikator yang baik untuk pertumbuhan
fisik yang sudah lewat (stunting) dan untuk perbandingan terhadap perubahan
relatif, seperti nilai berat badan dan lingkar lengan atas. Pengukuran panjang
badan dapat dilakukan dengan sangat mudah untuk menilai gangguan
pertumbuhan dan perkembangan anak. Panjang bayi baru lahir normal adalah 45-
50 cm dan berdasarkan kurva yang ditentukan oleh National Center for Health
Statistics (NCHS), bayi akan mengalami penambahan panjang badan sekitar 2,5
cm setiap bulannya. Penambahan tersebut akan berangsur-angsur berkurang
sampai usia 9 tahun, yaitu hanya sekitar 5 cm/tahun dan penambahan ini akan
berhenti pada usia 18-20 tahun.
c)Pengukuran Lingkar Kepala Anak
Cara yang biasa dipakai untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan otak
anak. Biasanya ukuran pertumbuhan tengkorak mengikuti perkembangan otak,
sehingga bila ada hambatan pada pertumbuhan tengkorak maka perkembangan
otak anak juga terhambat. Pengukuran dilakukan pada diameter occipitofrontal
dengan mengambil rerata 3 kali pengukuran sebagai standar. Lingkar kepala pada
waktu lahir rata-rata adalah 34-35 cm dan lingkar kepala ini lebih besar daripada
lingkar dada. Pada anak umur 6 bulan, lingkar kepala rata-rata adalah 44 cm,
umur 1 tahun 47 cm, 2 tahun 49 cm, dan dewasa 54 cm. Jadi, pertambaha lingkar
kepala pada 6 bulan pertama adalah 10 cm, atau sekitar 50% pertambahan lingkar
kepala sejak lahir sampai dewasa terjadi 6 bulan pertama kehidupan.
(Soetjiningsih, 2013)

J. Konsep Perkembangan
1) Pengertian Perkembangan
Pengertian perkembangan secara termitologis adalah proses kualitatif yang
mengacu pada penyempurnaan fungsi sosial dan psikologis dalam diri seseorang dan
berlangsung sepanjang hidup manusia. Menurut para ahli perkembangan merupakan
serangkaian perubahan progresif yang terjadi sebagai akibat dari proses kematangan
dan pengalaman, terdiri atas serangkaian perubahan yang bersifat kualitatif dan
kuantitatif (E.B Harlock dalam Syamsusbahri, 2013), dimaksudkan bahwa
perkembangan merupakan proses perubahan individu yang terjadi dari kematangan
( kemampuan seseorang sesuai usia normal) dan pengalaman yang merupakan
interaksi antara individu dengan lingkungan sekitar yang menyebabkan perubahan
kualitatif dan kuantitatif (dapat diukur) yang menyebabkan perubahan pada diri
individu tersebut.
2) Aspek Perkembangan
a) Motorik kasar (gross motor) merupakan keterampilan meliputi aktivitas otot-
otot besar seperti gerakan lengan, duduk, berdiri, berjalan dan sebagainya
(Saputri, 2014).
b) Motorik halus (fine motor skills) merupakan keterampilan fisik yang
melibatkan otot kecil dan koordinasi mata dan tangan yang memerlukan
koordinasi yang cermat. Perkembangan motorik halus mulai memiliki
kemampuan menggoyangkan jari-jari kaki menggambar dua tau tiga bagian,
menggambar orang, melambaikan tangan dan sebagainya (Saputri, 2014).
c) Bahasa (Languange) adalah kemampuan untuk memberikan respon terhadap
suara, mengikuti perintah dan berbicara spontan, berkomunikasi (Hidayat,
2011 )
d) Sosialisasi dan kemandirian merupakan aspek yang berhubungan dengan
kemampuan mandiri (makan sendiri, membereskan mainan selesai bermain),
berpisah dengan ibu/pengasuh anak, bersosialisasi dan berinteraksi dengan
lingkungannya.
3) Ciri Perkembangan
Perkembangan melibatkan perubahan, yaitu terjadi bersamaan dengan
pertumbuhan disertai dengan perubahan fungsi. Misalnya, perkembangan sistem
reproduksi disertai dengan perubahan pada organ kelamin. Perubahan-perubahan ini
meliputi perubahan ukuran tubuh secara umum, perubahan proporsi tubuh,
berubahnya ciri-ciri lama dan timbulnya ciri-ciri baru sebagai tanda kematangan
suatuorgan tubuh tertentu. Perkembangan awal menentukan perkembangan
selanjutnya. Seseorang tidak akan melewati satu tahap perkembangan sebelum dia
melewati tahapan sebelumnya. Misalnya, seorang anak tidak akan bisa berjalan
sebelum dia berdiri. Karena itu perkembangan awal merupakan masa kritis karena
akan menentukan perkembangan selanjutnya. Perkembangan juga memiliki tahap
yang berurutan, tahap ini di lalui seorang anak mengikuti pola yang teratur dan
berurutan, dan tahap-tahap tersebut tidak bisa terjadi terbalik. Misalnya, anak lebih
dahulu mampu berdiri sebelum berjalan, mampu membuat lingkaran sebelum mampu
mampu membuat gambar kotak, dan lain-lain. (Soetjiningsih, 2013)
4) Tahap Perkembangan
a)Perkembangan motorik kasar, aspek perkembangan lokomosi (gerakan) dan postur
(posisi tubuh). Pada usia 6 bulan, bila bayi didudukkan di lantai, bayi bisa duduk
sendiri tanpa disokong tetapi punggung masih membungkuk, bayi mampu
berguling sebagai aktivitas yang disadari sehingga untuk mencapai benda dengan
jarak dekat, bayi dapat berguling-guling. Kontrol kepala bayi muncul lebih dulu
pada posisi tengkurap, sehingga bayi lebih dahulu berguling dari posisi terlentang.
b)Perkembangan motorik halus, kemampuan motorik halus dipengaruhi oleh
matangnya fungsi motorik, dan koordinasi neuromuskular yang baik, fungsi
visual yang akurat, dan kemampuan intelek nonverbal. Pada usia 6 bulan bayi
mampu memindahkan objek dari tangan satu ke tangan lainnya, bayi juga mampu
meraih dan mengambil benda dengan baik, tanpa disertai gerakan simultan pada
tangan yang lain, bayi juga mampu memasukkan balok ke dalam gelas tapi tidak
bisa mengambil kembali.
c)Perkembangan bahasa, kemampuan untuk memberikan respons terhadap suara,
mulai mengenal kata-kata “da da, pa pa, ma ma”.
d)Perkembangan sosial, banyak dipengaruhi faktor lingkungan (pengasuhan).
Seorang bayi mewarisi karakteristik emosional-sosial dan gaya berinteraksi, tetapi
sifat bawaan tersebut dimodifikasi oleh gaya orangtua dan lingkungan sosial, bayi
akan merasa nyaman disekitar orang-orang akrab dan timbul kecemasan di sekitar
orang asing. Pada usia ini bayi senang bermain dengan bayi lainnya, dan sekali-
kali ia akan tersenyum dan meniru suara masingmasing, diusia ini bayi mulai
mengenali orang tua.
K. Deteksi Dini Penyimpangan Pertumbuhan dan Perkembangan Anak
1) Antopometri
Pengukuran antropometri dimaksudkan untuk mengetahui ukuran-ukuran fisik
seorang anak dengan menggunakan alat ukur tertentu, seperti timbangan dan pita
pengukur (meteran). Pada penentuan keadaan pertumbuhan fisik anak perlu dilakukan
pemeriksaan antopometri dan pertumbuhan fisik. Pengukuran antropometri untuk
emantau tumbuh kembang anak adalah berat badan, badan panjang, lingkar kepala
dan lingkar lengan atas.
2) Indeks antopometri
Indeks antropometri merupakan rasio dari pengukuran terhadap satu atau lebih
pengukuran atau yang dihubungkan dengan umur, TB/U (Tinggi Badan terhadap
Umur) dan BB/U (Berat Badan terhadap Umur).
3) Interpretasi indeks antropometri gizi
Interpretasi indeks antropometri gizi memerlukan ambang batas. Ambang batas dapat
disajikan kedalam tiga cara, yaitu persen terhadap median, persentil, dan standar
deviasi unit. WHO menyarankan menggunakan standar deviasi unit untuk meneliti
dan memantau pertumbuhan. Standar Deviasi Unit (SD) disebut juga Z-skor.
Rumus perhitungan Z- Score adalah:

Nilai Individu Subjek−nilai media baku rujukan


Z−Score=
Nilai simpang baku rujukan

Hasil seorang penemu pakar gizi Indonesia Mei 2000 di Semarang, standar baku
antropometri yang digunakan secara nasional dipakai menggunakan standar baku
WHO-NHCS 1983. Berdasarkan Kepmenkes RI Nomor:920/Menkes/SK/VII/2002
tentang klasifikasi status gizi anak.

L. Konsep Hospitalisasi
1) Pengertian
Hospitalisasi merupakan suatau keadaan krisis yang terjadi pada anak, yang
terjadi saat anak sakit dan dirawat di rumah sakit. Perawatan anak di rumah sakit
merupakan krisis utama yang tampak pada anak karena anak yang dirawat di rumah
sakit mengalami perubahan status kesehatan dan juga lingkungan seperti ruangan
perawatan, petugas kesehatan yang memakai seragam ruangan, alat-alat kesehatan.
Selama proses tersebut, anak dapat mengalami hal yang tidak menyenangkan bagi
dirinya, bisa ditunjukkan dengan anak tidak aktif, tidak komunikatif, merusak mainan
atau makanan, mundur ke perilaku sebelumnya (misalnya mengompol, menghisap
jari) dan perilaku regresi seperti ketergantungan dengan orang tua, menarik diri.
Keadaan ini terjadi karena anak berusaha beradaptasi dengan lingkungan baru yaitu
lingkungan rumah sakit sehingga kondisi tersebut mejadi faktor stressor bagi anak
maupun orang tua dan keluarga yang bisa menimbulkan kecemasan.berbagai perasaan
yang sering muncul pada anak yaitu rasa cemas, marah, sedih, takut, dan merasa
bersalah (Hockenberry & Wilson, 2011). Hospitalisasi adalah pengalaman penuh
cemas baik bagi anak maupun keluarganya. Kecemasan utama yang dialami dapat
berupa perpisahan dengan keluarga, kehilangan kontrol, lingkungan yang asing,
kehilangan kemandirian dan kebebasan. Reaksi anak dapat dipengaruhi oleh
perkembangan usia anak, pengalaman terhadap sakit, diagnosa penyakit, sistem
dukungan dan koping terhadap cemas (Nursalam, 2013).
Berdasarkan pengertian diatas kecemasan hospitalisasi adalah kecemasan yang
dialami oleh anak yang menjalani hospitalisasi karena anak harus menghadapi
stressor-stressor yang berada dirumah sakit seperti kecemasan karena perpisahan,,
kecemasan karena anak kehilangan kontrol atas dirinya, kecemasan karena tindakan
medis yang diberikan kepada anak seperti tindakan injeksi, dan pengukuran tanda-
tanda vital (TTV).
2) Penyebab Kecemasan Pada Anak
Hockenberry & Wilson (2011), penyebab kecemasan anak prasekolah karena
hospitalisasi dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :
a) Kecemasan karena perpisahan
Anak usia prasekolah memiliki koping yang lebih baik dari pada anak usia
toddler. Anak usia prasekolah dapat mementolerir jika mereka harus berpisah
dengan orang tua mereka walaupun anak prasekolah mentolerir perpisahan dalam
waktu sebentar dan anak prasekolah mulai untuk belajar mempercayai orang lain
selain orang terdekatmereka. Reaksi yang umum terjadi pada anak prasekolah
adalah menolak untuk makan, mengalami kesulitan tidur, menangis pelan ketika
anak bersama orang tua, marah, merusak mainan, tidak kooperatif terhadap
pengobatan.
b) Kehilangan kontrol (Loss of Control)
Anak usia prasekolah kehilangan kontrol karena pembatasan aktifitas fisik yang
menyebabkan anak ketergantungan dengan bantuan dari orang lain. Respon yang
biasa terjadi pada anak prasekolah seperti rasa malu, rasa bersalah, dan rasa takut.
c) Luka pada tubuh dan sakit atau nyeri
Reaksi anak terhadap luka dan nyeri dengan menyeringaikan wajah, menangis,
mengatupkan gigi, menggigit bibir, membuka mata dengan lebar atau anak
melakukan tindakan agresif seperti menggigit, menendang, dan memukul.
3) Reaksi Anak Terhadap Hospitalisasi
Reaksi anak terhadap penyakit dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, pengalaman
dirawat dan lama dirawat. Reaksi anak terhadap penyakit dapat berupa rasa cemas,
takut akan sakit, kurang kontrol dalam emosi, marah tidak adaptif dan regresi. Reaksi
hospitalisasi pada anak usia prasekolah menunjukan reaksi tidak adaptif dimana dapat
berupa menolak untuk makan, sering bertanya, menangis, dan tidak kooperatif
terhadap petugas. Dirawat di rumah sakit memaksa anak untuk meninggalkan
lingkungan yang dicintai, keluarga, dan teman sehingga menimbulkan kecemasan.
Selain itu anak berada pada lingkungan rumah sakit yang menyebabkan anak sulit
beradaptasi. Reaksi yang sering ditunjukan adalah menolak perawatan atau tindakan
dan tidak kooperatif dengan petugas (Adriana, 2011).
4) Faktor yang Berhubungan dengan Kecemasan Akibat Hospitalisasi
Reaksi anak terhadap kecemasan akibat hospitalisasi menurut Hockenberry &
Wilson (2011) berbeda-beda pada masing-masing individu. Hal tersebut dipengaruhi
oleh beberapa faktor. Faktor yang mempengaruhi reaksi anak prasekolah adalah
sebagai berikut :
a) Usia anak
Usia anak merupakan salah satu faktor utama yang dapat mempengaruhi reaksi
anak terhadap sakit dan proses perawatan. Reaksi anak terhadap sakit berbeda-
beda sesuai tingkat perkembangan anak. Semakin muda anak semakin sulit bagi
anak untuk menyesuaikan diri dengan pengalaman dirawat di rumah sakit.
b) Jenis Kelamin
Dibandingkan dengan anak laki-laki, anak perempuan memiliki kecenderungan
mudah mengalami kecemasan. Hal ini memungkinkan karena pengaruh hormon
esterogen yang apabila berinteraksi dengan serotonin akan memicu timbulnya
kecemasan.
c) Pengalaman dirawat sebelumnya
Pengalaman anak dirawat sebelumnya mempengaruhi reaksi anak. Apabila anak
pernah dirawat sebelumnya dan anak mengalami pengalaman tidak
menyenangkan dirawat di rumah sakit sebelumnya akan menyebabkan anak takut
dan trauma dan apabila ketika anak dirawat di rumah sakit dan anak
mendapatkan perawatan yang baik dan menyenangkan anak akan lebih
kooperatif pada perawat dan dokter.
d) Lama Perawatan
Lama hari dirawat bisa mempengaruhi kecemasan anak. Studi ini dengan
melakukan pengukuran kecemasan pada waktu 12 jam setelah anak masuk ke
rumah sakit, 12 jam sebelum keluar dari rumah sakit, dan 10 hari setelah keluar
dari rumah sakit menunjukkan bahwa lama dirawat mempengaruhi kecemasan
anak.
5) Tahap Respon Perilaku Kecemasan Anak
Respon kecemasan pada anak prasekolah akibat hospitalisasi adalah anak
menolak untuk makan, sering bertanya, menangis perlahan, tidak kooperatif terhadap
petugas kesehatan dan tindakan medis yang dilakukan. Hospitalisasi pada anak
prasekolah dianggap sebagai hukuman pada anak sehingga anak merasa malu, takut
sehingga menimbulkan sikap agresif pada anak, marah, berontak, tidak mau
bekerjasama dengan perawat (Hockenberry & Wilson, 2011).Respon perilaku anak
terhadap kecemasan dibagi dalam 3 tahap yaitu :
a) Tahap protes (Phase of Protest)
Tahap ini ditandai dengan anak menangis kuat, menjerit, memanggil orang
terdekatnya misalnya ibu. Secara verbal anak akan menyerang dengan rasa
marah seperti anak mengatakan “pergi”. Perilaku protes anak tersebut akan
terus berlanjut dan hanya berhenti jika anak merasa lelah dan orang terdekatnya
mendampinginya.
b) Tahap Putus Asa (Phase of Despair)
Pada tahap ini anak tampak tegang, menangis berkurang, anak kurang akitf,
kurang minat untuk bermain, tidak ada nafsu makan, menarik diri, tidak
kooperatif, perilaku regresi seperti mengompol atau menghisap jari.

c) Tahap Menolak (Phase of Dennial)


Pada tahap ini anak akan mulai menerima perpisahan, mulai tertarik dengan
lingkungan sekitar, mulai membina hubungan dengan orang lain.

M. Pengkajian Keperawatan
1. Demografi
Higroma subdural dapat terjadi pada segala usia dan jenis kelamin. Namun, biasanya
laki-laki lebih rentan terjadi higroma subdural karena aktivitas yang lebih sering di
luar rumah sehingga rentan terjadi kecelakaan.
2. Keluhan utama
Keluhan pada pasien higroma subdural biasanya nyeri kepala hingga penurunan
kesadaran.
3. Anamnesis
Dalam cedera kepala, poin-poin yang harus digali dari anamnesis meliputi
a) Periode/waktu hilangnya kesadaran
b) Periode amnesia post trauma
c) Penyebab dan kasus cedera itu sendiri
d) Ada tidaknya nyeri kepala dan muntah
4. Riwayat penyakit sekarang
Kaji bagaimana pasien mengalami higroma subdural, sudah kemana saja pasien
meminta pertolongan untuk mengatasi masalahnya, dan telah mendapatkan
pengobatan apa saja.
5. Riwayat penyakit dahulu
Kaji apakah pasien pernah dilakukan tindakan operasi (pintasan ventrikuler,
marsupialisasi kista araknoid dan reseksi kista), saat operasi dilakukan pembiusan
total (general anastesi), lokal anastesi, atau regional anastesi, apakah pernah
mengalami perdarahan pada kepala, atau mengalami trauma kepala sebelumnya.
6. Pemeriksaan fisik (B1-B6)
Setelah melakukan anamnesa yang mengarah pada keluhan pasien, pemeriksaan
fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan
fisik dilakukan secara persistem (B1-B6) yang terarah dan dihubungkan dengan
keluhan-keluhan dari pasien.
a) B1 ( Breathing ) Pernapasan
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung,
sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun
iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing . Napas
berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing (kemungkinana karena aspirasi),
cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada jalan napas.
b) B2 ( Blood ) Kardiovaskuler
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah
bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi
rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi
menjadi lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan
frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia,
disritmia).
c) B3 ( Brain ) Persyarafan
Pengkajian B3 merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan
pengkajian pada sistem lainya.
1) Tingkat kesadaran
Pasien dengan cedera otak biasanya akan mengalami gangguan kesadaran,
amnesia seputar kejadian, vertigo, dan sinkope (pingsan). Perubahan status
mental umumnya terjadi seperti gangguan dalam orientasi, kewaspadaan,
perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, emosi, tingkah laku, dan memori.
Tingkat kesadaran dapat dinilai menggunakan GCS ( Glasgow Coma Scale )
Penilaian GCS:

2) Pemeriksaan 12 saraf kranial


a) Saraf I (N.Olfaktorius)
Biasanya pada klien meningitis tidak ada kelainan dan fungsi
penciuman tidak ada kelainan.
b) Saraf II (N.Optikus)
Pasien biasanya mengalami perubahan dalam penglihatan seperti
ketajaman penglihatan, diplopia (penglihatan ganda), kehilangan sebagian
lapang pandang (hemianopsia), fotofobia, dan papiledema mungkin
didapatkan.
c) Saraf III, IV & VI (N.Okulomotor, N.Troklearis, N.Abdusen)
Pemeriksaan fungsi dan reaksi pupil pada pasien cedera kepala biasanya
mengalami perubahan seperti respon terhadap cahaya dan kesimetrisan
pupil, dan dapat pula terjadi deviasi pada mata pasien.
d) Saraf V (N.Trigeminus)
Umumnya tidak ditemukan paralisis pada otot wajah dan refleks
kornea biasanya tidak ada kelainan.
e) Saraf VII (N.Fasialis)
Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris.
f) Saraf VIII (N.Vestibulo-Koklearis)
Pasien biasanya mengalami penurunan daya pendengaran dan
gangguan keseimbangan tubuh.
g) Saraf IX dan X (N.Glosofaringeus dan N.Vagus)
Pasien cedera kepala biasanya akan mengalami hiccup (cegukan) karena
kompresi pada nervus vagus sehingga menyebabkan kompresi
spasmodik diafragma.
h) Saraf XI (N.Aksesorius)
Adanya usaha dari pasien untuk melakukan fleksi leher dan biasanya
terdapat kaku kuduk (Neck Stiffness ).
i) Saraf XII (N.Hipoglosus)
Pasien biasanya mengalami gangguan pada kesimetrisan lidah yaitu
tampak lidah jatuh ke salah satu sisi (deviasi lidah), disfagia (kesulitan
menelan), disatria (gangguan bicara), disfasia (gangguan perkembangan
bahasa) sehingga pasien akan mengalami kesulitan dalam berbicara
maupun menelan.
3) Sistem motorik
Kekuatan otot menurun, perubahan pada kontrol keseimbangan dan
koordinasi.
d) B4 ( Bladder ) Perkemihan
Pada cedera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia uri, dan
ketidakmampuan menahan miksi.
e) B5 ( Bowel ) Pencernaan
Pasien biasanya mengalami gangguan menelan, mual, muntah, dan nyeri lambung
yang menyebabkan tidak nafsu makan. Apabila intake nutrisi tidak adekuat dapat
terjadi penurunan berat badan
f) B6 ( Bone ) Muskuloskeletal
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada kondisi
yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula terjadi
spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena
rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks pada
spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus otot. Pasien akan mengalami
intoleransi aktivitas dan gangguan pemenuhan ADL (Activity Daily Living)
7. Pemeriksaan laboratorium dan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien higroma adalah sebagai berikut.
a) MRI dapat menunjukkan efek penekanan akumulasi subdural terhadap
korteks
b) CT scan terlihat berbentuk seperti bulan sabit dengan adanya tumpukan
cairan extraaxial dengan CSF yang padat.

N. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang dapat diangkat sesuai dengan pathway adalah sebagai
berikut (NANDA, 2014).
1) Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan penurunan
aliran darah ke otak akibat edema serebri
2) Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan kompresi pada batang otak
3) Nyeri akut (kepala) berhubungan dengan peningkatan TIK, pelepasan mediator
kimia
4) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran
5) Defisit perawatan diri berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran
6) Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan kontraksi otot sekitar saraf servikal

O. Rencana Keperawatan

Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


Diagnosa Rasional
(NOC) (NIC)
Resiko Setelah dilakukan Monitor TIK 1) Perubahan status
ketidakefektifan tindakan keperawatan 1) Monitor status neurologi
perfusi jaringan selama ...x24 jam neurologi pasien menandakan
otak ketidakefektifan perfusi 2) Monitor jumlah
adanya perubahan
berhubungan jaringan otak tidak karakteristik TIK dan penting
dengan terjadi dengan kriteria untuk rencana
cairan serebrospinal
peningkatan hasil: intervensi
3) Monitor intake dan
TIK dan 1) Warna kulit pada 2) Untuk menentukan
edema serebral output pasien
ekstremitas dalam lokasi, penyebaran,
4) Monitor suhu
batas dan perkembangan
pasien
normal kerusakan serebral
5) Posisikan pasien
2) Peningkatan dengan kepala dan 3) Mencegah
tingkat leher dalam posisi terjadinya
kesadaran netral kehilangan cairan
3) TTV dalam 4) Hipertermi dapat
batas normal 6) Monitor meningkatkan
(TD: 120/80, lingkungan yang resiko dehidrasi
RR 16- dapat menstimulus 5) Perubahan posisi
20x/mnt, nadi peningkatan TIK kepala dapat
80- 100x/mnt, meningkatkan TIK
suhu 36,5- 37,5 6) Kebisingan, suhu,
o
C) pencahayaan dapat
mempengaruhi TIK

Ketidakefektifa Setelah dilakukan Manajemen jalan napas 1) Memudahkan


n pola napas tindakan keperawatan 1)Atur posisi pasien ekspansi paru dan
berhubungan ....x 24jam pola napas untuk menurunkan
dengan kembali efektif dengan memaksimalkan adanya
kompresi batang ventilasi kemungkinan lidah
otak kriteria hasil:
1) RR normal (16- jatuh yang
2) Anjurkan bernafas
20x/menit) menyumbat jalan
yang pelan dan
2) Pergerakan dada
napas
dalam
normal 2) Membantu
3) Auskultasi suara
3) Penggunaan
keefektifan
nafas, catat area
otot-otot bantu pernafasan pasien
penurunan atau
pernapasan berkurang 3) Mengidentifikasi
ketiadaan ventilasi
adanya sumbatan
dan adanya suara
jalan napas
nafas tambahan
4) Menentukan
4) Monitor respirasi
kecukupan
dan oksigenasi
pernapasan,
5) Kolaborasi keseimbangan
pemberian oksigen asam basa dan
yang sudah kebutuhan akan
terhumidifikasi terapi
5) Memaksimalkan
oksigen pada darah
arteri dan
membantu dalam
pencegahan
hipoksia

Nyeri akut Setelah dilakukan Manajemen nyeri 1) Mengetahui


(kepala) tindakan keperawatan 1) Lakukan pengkajian karakteristik nyeri
berhubungan selama ...x24 jam nyeri secara untuk pemilihan
dengan pasien dapat komprehensif intervensi
peningkatan mengontrol nyeri termasuk lokasi, 2) Mengetahui
TIK, pelepasan dengan kriteria hasil: karakteristik, durasi, reaksi pasien
mediator kimia 1) Menggunakan frekuensi, kualitas terhadap nyeri yang
metode non- dan faktor dirasakan
analgetik untuk 3) Guna memilih
mengurangi nyeri presipitasi intervensi yang
2) Observasi reaksi tepat yang dapat
2) Menggunakan non-verbal dari digunakan
analgetik sesuai ketidaknyamanan 4) Mengurangi faktor
kebutuhan 3) Gunakan teknik yang dapat
3) Melaporkan nyeri komunikasi memperparah nyeri
sudah terkontrol terapeutik untuk pasien
mengetahui 5) Mengurangi nyeri
pengalaman nyeri tanpa obat- obatan
pasien 6) Mengurangi nyeri
4) Kontrol lingkungan
yang dapat
mempengaruhi
nyeri seperti suhu
ruangan,
pencahayaan, dan
kebisingan
5) Ajarkan teknik non-
farmakologi untuk
mengatasi nyeri
6) Kolaborasi
pemberian analgetik

P. Tindakan Keperawatan
Merupakan inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang spesifik.
Tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan disusun dan ditujukan pada nursing
orders untuk membantu pasien mencapai tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu
rencana tindakan yang spesifik dilaksanakan untuk memodifikasi faktor-faktor yang
mempengaruhi masalah kesehatan pasien. Adapun tahap-tahap dalam tindakan
keperawatan adalah sebagai berikut :
1) Tahap 1 :
Persiapan Tahap awal tindakan keperawatan ini menuntut perawat untuk
mengevaluasi yang diindentifikasi pada tahap perencanaan.
2) Tahap 2 :
Intervensi Fokus tahap pelaksanaan tindakan perawatan adalah kegiatan dan
pelaksanaan tindakan dari perencanaan untuk memenuhi kebutuhanfisik dan
emosional. Pendekatan tindakan keperawatan meliputi tindakan independen,
dependen dan interdependen.
3) Tahap 3 :
Dokumentasi Pelaksanaan tindakan keperawatan harus diikuti oleh pencatatan yang
lengkap dan akurat terhadap suatu kejadian dalam proses keperawatan.
Q. Evaluasi Keperawatan
Perencanaan evaluasi memuat kriteria keberhasilan proses dan keberhasilan
tindakan keperawatan. Keberhasilan proses dapat dilihat dengan jalan membandingkan
antara proses dengan pedoman atau rencana proses tersebut. Sasaran evaluasi adalah
sebagai berikut :
1) Proses asuhan keperawatan, berdasarkan kriteria atau rencana yang telah disusun)
2) Hasil tindakan keperawatan berdasarkan kriteria keberhasilan yang telah
dirumuskan dalam rencana evaluasi.
Terdapat 3 kemungkinan hasil evaluasi yaitu :
1) Tujuan tercapai, apabila pasien telah menunjukan perbaikan atau kemajuan sesuai
dengan kriteria yang telah ditetapkan.
2) Tujuan tercapai sebagian, apabila tujuan itu tidak tercapai secara maksimal,
sehingga perlu dicari penyebab serta cara untuk mengatasinya.
3) Tujuan tidak tercapai, apabila pasien tidak menunjukkan perubahan atau
kemajuan sama sekali bahkan timbul masalah baru dalam hal ini perawat perlu
untuk mengkaji secara lebih mendalam apakah terdapat data, analisis, diagnosa,
tindakan, dan faktor-faktor lain yang tidak sesuai yang menjadi penyebab tidak
tercapainya tujuan. Setelah seorang perawat melakukan seluruh proses
keperawatan dari pengkajian sampai dengan evaluasi kepada pasien, seluruh
tindakannya harus didokumentasikan dengan benar dalam dokumentasi
keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA

American College of Surgeons. (2011). Advanced Trauma Life Support (ATLS). American
College of Surgeons Commite on Trauma.
DM, S., & L, M. (2011). Chronic Subdural Hematoma in Children. Neurosurg Clin of North
Am.
Dugdale, L. S. (2013). Medicine’s Metaphysics. Hastings Center Report, 43(2), 7–8.
https://doi.org/10.1002/hast.150
Greaves, I., & Johnson, G. (2010). Head and Neck Trauma. Practical Emergency Medicine
Almond.
Heller, D. S. (2012). Handbook of Endometrial Pathology (K. Rimmer (ed.)). Geoff Greenwood.
Kumar, R. (2010). Chronic Subdural Fliud Collection in Children. Journal of Medical Education
and Research, 7(1).
NANDA. 2014. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012-2014 . Jakarta: EGC
Satyanegara. (2014). Buku Ajar Bedah Saraf Edisi IV. Gramedia Pustaka Utama.
Stavrinou, P., Katsigiannis, S., Lee, J. H., Hamisch, C., Krischek, B., Mpotsaris, A., Timmer, M.,
& Goldbrunner, R. (2017). Risk Factors for Chronic Subdural Hematoma Recurrence
Identified Using Quantitative Computed Tomography Analysis of Hematoma Volume and
Density. World Neurosurgery, 99(2017), 465. https://doi.org/10.1016/j.wneu.2016.12.058
Y, S., W, J., & J, N. (2010). Compressive Brainstem Deformation Resultingfrom Subdural
Hygroma After Neurosurgery: A Case Report. Chinese Medical Journal.

Anda mungkin juga menyukai