Laporan Pendahuluan Praktik Anak - Davita Aprilia Pratiwi - 2010721046
Laporan Pendahuluan Praktik Anak - Davita Aprilia Pratiwi - 2010721046
Laporan Pendahuluan Praktik Anak - Davita Aprilia Pratiwi - 2010721046
Disusun Oleh :
Nama : Davita Aprilia Pratiwi
NIM : 2010721046
A. Definisi
Hygroma subdural merupakan pengumpulan cairan liquor yang terbungkus oleh
kapsul di bawah durameter. Biasanya disebabkan oleh pecahnya araknoid sehingga liquor
serebrospinalis mengalir dan membentuk kolam (Satyanegara, 2014). Menurut Dugdale,
(2013), hygroma subdural adalah hematoma subdural kronis yang mungkin disertai oleh
penumpukan atau pengumpulan cairan LCS di dalam ruang subdural. Kelainan ini agak
jarang ditemukan dan dapat terjadi karena robekan selaput araknoid yang menyebabkan
cairan LCS keluar ke ruang subdural, dengan demikian hygroma subdural serupa dengan
hematoma subdural kronik (HSD Kronik).
Higroma (Hidroma) subdural adalah akumulasi cairan cerebrospinal dalam ruang
subdural atau penimbunan cairan diantara durameter dan araknoid. Higroma ini sering
terjadi di daerah frontal dan temporal. Pada umumnya higroma subdural disebabkan
pecahnya araknoid sehingga LCS (Likuor Cerebrospinalis) mengalir dan terkumpul dan
membentuk kolam. Cairan yang terjadi sebenarnya adalah cairan otak yang secara normal
memang berada di situ, bedanya adalah jumlah dan efek yang ditimbulkan (Heller, 2012).
C. Etiologi
Beberapa etiologi hygroma subdural menurut beberapa sumber adalah sebagai berikut
(Heller, 2012) :
1) Post Trauma Kecelakaan
Pada umumnya hygroma subdural disebabkan pecahnya araknoid sehingga LCS
mengalir dan terkumpul membentuk kolam. Posttraumatic subdural higroma
merupakan kasus yang umum terjadi.
2) Post Operasi (pintasan ventrikuler, marsupialisasi kista araknoid dan reseksi kista)
Higroma subdural akut dan kronik merupakan komplikasi postoperasi yang umum
terjadi dari pintasan ventrikuler, marsupialisasi kista araknoid dan reseksi kista, Y et
al (2010), melaporkan suatu kasu higroma subdural setelah tindakan reseksi suatu lesi
desak ruang pada ventrikel lateral yang menyebabkan deformasi brainstem
dekompresif, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang sangat
penting antara prosedur pembedahan, pencegahan kehilangan LCS dan fluktuasi yang
cepat dalam tekanan intracranial (Heller, 2012).
3) Komplikasi atau lanjutan dari hematoma subdural akut
Kebanyakan subdrual higroma (SDG) atau higroma subdural terjadi sekunder akibat
trauma. Kejadian perkembangan suatu higroma subdural pada pasien Acute Subdural
Hematoma (ASDH) atau hematoma subdural akut atau hematom subdural akut, yang
kemudian mengalami resolusi spontan cepat dalam waktu 9 jam akibat kontribusi
terhadap pembesaran higroma subdural. Hematoma seubdural akut merupakan
kumpulan darah segar di bawh lapisan durameter yang biasanya cukup besar untuk
menekan otak dan menyebabkan kematian hingga 60-80% kasus. Resolusi spontan
cepat pada kasus hematom subdural akut sangat jarang terjadi. Salah satu mekanisme
resolusi spontan yang pernah dilaporkan adalah melalui terbentuknya higroma
subdural. Resolusi hematom subdural akut dan dampaknya terhadap higroma
seubdural harus dipertimbangkan selama penatalaksanaan hematom subdural akut (Y
et al., 2010).
G. Penatalaksanaan Medis
Sejumlah modalitas terapi pernah dilaporkan, antara lain evakuasi dan irigasi
ruang subdural melalui burr-hole , tap subdural , drainase subdural secara kontinyu dan
penggunaan shunt subduroperitoneal . Pemasangan shunt telah dilaporkan oleh sejumlah
peneliti, namun terdapat komplikasi antara lain obstruksi, migrasi, infeksi, drainase
unilateral dan perforasi usus. Pada higroma yang simtomatik, khususnya dengan status
klinis yang memburuk disertai dengan peningkatan volume higroma dengan kompresi
otak yang menyebabkan herniasi, dilakukan tindakan operasi drainase burr-hole
eksternal. Namun tetap dilakukan drainase subdural selama 24-48 jam pasca operasi, jika
tidak terjadi resorpsi yang memadai shunting pada ruang subdural. Kekambuhan setelah
tindakan drainase burr-hole sederhana merupakan hal yang sering terjadi, karena kasus
yang berulang (Kumar, 2010).
Tindakan kraniotomi dilakukan untuk menemukan lokasi kebocoran CSF. Juga
dilakukan peletakan shunt subdural ke peritoneal, untuk mengalirkan cairan yang
berlebih menuju ruang peritoneum (Greaves & Johnson, 2010).
H. Komplikasi
Subdural hematom dapat memberikan komplikasi berupa :
1. Hemiparese/hemiplegia.
2. Disfasia/afasia
3. Epilepsi.
4. Hidrosepalus.
5. Subdural empiema
I. Konsep Pertumbuhan
1) Pengertian Pertumbuhan
Pertumbuhan (growth) adalah perubahan yang bersifat kuantitatif, yaitu
bertambahnya jumlah, ukuran, dimensi pada tingkat sel, organ, maupun individu.
Anak tidak hanya bertambah besar secara fisik, melainkan juga ukuran dan struktur
organ-organ tubuh dan otak. Sebagai contoh, hasil dari pertumbuhan otak adalah anak
mempunyai kapasitas lebih besar untuk belajar, mengingat, dan mempergunakan
akalnya. Jadi anak tumbuh baik secara fisik maupun mental. Pertumbuhan fisik dapat
dinilai dengan ukuran berat (gram, pound, kilogram), ukuran panjang (cm, meter)
umur tulang, dan tanda-tanda seks sekunder (Soetjiningsih, 2013). Menurut Karl E
Garrison (Syamsussabri, 2013) pertumbuhan adalah perubahan individu dalam bentuk
ukuran badan, perubahan otot, tulang, kulit, rambut dan kelenjar.
2) Aspek Pertumbuhan
Untuk menilai pertumbuhan anak dilakukan pengukuran antopometri, pengukuran
antopometri meliputi pengukuran berat badan, tinggi badan (panjang badan), lingkar
kepala, lingkar lengan atas, dan lingkar dada (Saputri, 2014). Pengukuran berat badan
digunakan untuk menilai hasil peningkatan atau penurunan semua jaringan yang ada
pada tubuh, pengukuran tinggi badan digunakan untuk menilai status perbaikan gizi
disamping faktor genetik, sedangkan pengukuran lingkar kepala dimaksudkan untuk
menilai pertumbuhan otak. Pertumbuhan otak kecil (mikrosefali) menunjukkan
adanya reterdasi mental, apabila otaknya besar (volume kepala meningkat) terjadi
akibat penyumbatan cairan serebrospinal. (Hidayat, 2011). Pada umur 6 bulan lingkar
kepala rata-rata adalah 44 cm (Angelina, 2014).
3) Ciri Pertumbuhan
Pertumbuhan dapat dinilai dari beberapa perubahan yaitu : (a) Perubahan ukuran,
terlihat jelas pada pertumbuhan fisik dengan bertambahnya umur anak terjadi pula
penambahan berat badan, tinggi badan, lingkar kepala dan lain-lain. (b) Proporsi
tubuh, perubahan proporsi tubuh sesuai dengan bertambahnya umur anak, proporsi
tubuh seorang bayi baru lahir sangat berbeda dibandingkan tubuh anak ataupun orang
dewasa. (c) Hilangnya ciri-ciri lama, selama proses pertumbuhan terdapat hal-hal
yang terjadi perlahan-lahan seperti menghilangnya kelenjar timus, lepasnya gigi susu
dan menghilangnya refleks-refleks primitif. (d) Timbul ciri-ciri baru, dikarenakan
pematangan fungsi-fungsi organ, seperti tumbuh gigi permanen. (Soetjiningsih, 2013)
4) Tahap Pertumbuhan
a)Berat badan
Pemantauan pertumbuhan bayi dan anak dapat dilakukan dengan menimbang
berat badan, mengukur tinggi badan, dan lingkar kepala anak. Pertumbuhan berat
badan bayi usia 0-6 bulan mengalami penambahan 150-250 gram/minggu dan
berdasarkan kurva pertumbuhan yang diterbitkan oleh National Center for Health
Statistics (NCHS), berat badan bayi akan meningkat dua kali lipat dari berat lahir
pada anak usia 4-7 bulan (Wong, 2008). Berat badan lahir normal bayi sekitar
2.500-3.500 gram, apabila kurang dari 2.500 gram dikatakan bayi memiliki berat
lahir rendah (BBLR), sedangkan bila lebih dari 3.500 gram dikatakan
makrosomia. Pada masa bayi-balita, berat badan digunakan untuk mengukur
pertumbuhan fisik dan status gizi diperhaatikan (Susilowati 2008, dalam
Rif’atunnisa, 2014).
b)Panjang badan
Istilah panjang badan dinyatakan sebagai pengukuran yang dilakukan ketika anak
terlentang. Pengukuran panjang badan digunakan untuk menilai status perbaikan
gizi. Selain itu, panjang badan merupakan indikator yang baik untuk pertumbuhan
fisik yang sudah lewat (stunting) dan untuk perbandingan terhadap perubahan
relatif, seperti nilai berat badan dan lingkar lengan atas. Pengukuran panjang
badan dapat dilakukan dengan sangat mudah untuk menilai gangguan
pertumbuhan dan perkembangan anak. Panjang bayi baru lahir normal adalah 45-
50 cm dan berdasarkan kurva yang ditentukan oleh National Center for Health
Statistics (NCHS), bayi akan mengalami penambahan panjang badan sekitar 2,5
cm setiap bulannya. Penambahan tersebut akan berangsur-angsur berkurang
sampai usia 9 tahun, yaitu hanya sekitar 5 cm/tahun dan penambahan ini akan
berhenti pada usia 18-20 tahun.
c)Pengukuran Lingkar Kepala Anak
Cara yang biasa dipakai untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan otak
anak. Biasanya ukuran pertumbuhan tengkorak mengikuti perkembangan otak,
sehingga bila ada hambatan pada pertumbuhan tengkorak maka perkembangan
otak anak juga terhambat. Pengukuran dilakukan pada diameter occipitofrontal
dengan mengambil rerata 3 kali pengukuran sebagai standar. Lingkar kepala pada
waktu lahir rata-rata adalah 34-35 cm dan lingkar kepala ini lebih besar daripada
lingkar dada. Pada anak umur 6 bulan, lingkar kepala rata-rata adalah 44 cm,
umur 1 tahun 47 cm, 2 tahun 49 cm, dan dewasa 54 cm. Jadi, pertambaha lingkar
kepala pada 6 bulan pertama adalah 10 cm, atau sekitar 50% pertambahan lingkar
kepala sejak lahir sampai dewasa terjadi 6 bulan pertama kehidupan.
(Soetjiningsih, 2013)
J. Konsep Perkembangan
1) Pengertian Perkembangan
Pengertian perkembangan secara termitologis adalah proses kualitatif yang
mengacu pada penyempurnaan fungsi sosial dan psikologis dalam diri seseorang dan
berlangsung sepanjang hidup manusia. Menurut para ahli perkembangan merupakan
serangkaian perubahan progresif yang terjadi sebagai akibat dari proses kematangan
dan pengalaman, terdiri atas serangkaian perubahan yang bersifat kualitatif dan
kuantitatif (E.B Harlock dalam Syamsusbahri, 2013), dimaksudkan bahwa
perkembangan merupakan proses perubahan individu yang terjadi dari kematangan
( kemampuan seseorang sesuai usia normal) dan pengalaman yang merupakan
interaksi antara individu dengan lingkungan sekitar yang menyebabkan perubahan
kualitatif dan kuantitatif (dapat diukur) yang menyebabkan perubahan pada diri
individu tersebut.
2) Aspek Perkembangan
a) Motorik kasar (gross motor) merupakan keterampilan meliputi aktivitas otot-
otot besar seperti gerakan lengan, duduk, berdiri, berjalan dan sebagainya
(Saputri, 2014).
b) Motorik halus (fine motor skills) merupakan keterampilan fisik yang
melibatkan otot kecil dan koordinasi mata dan tangan yang memerlukan
koordinasi yang cermat. Perkembangan motorik halus mulai memiliki
kemampuan menggoyangkan jari-jari kaki menggambar dua tau tiga bagian,
menggambar orang, melambaikan tangan dan sebagainya (Saputri, 2014).
c) Bahasa (Languange) adalah kemampuan untuk memberikan respon terhadap
suara, mengikuti perintah dan berbicara spontan, berkomunikasi (Hidayat,
2011 )
d) Sosialisasi dan kemandirian merupakan aspek yang berhubungan dengan
kemampuan mandiri (makan sendiri, membereskan mainan selesai bermain),
berpisah dengan ibu/pengasuh anak, bersosialisasi dan berinteraksi dengan
lingkungannya.
3) Ciri Perkembangan
Perkembangan melibatkan perubahan, yaitu terjadi bersamaan dengan
pertumbuhan disertai dengan perubahan fungsi. Misalnya, perkembangan sistem
reproduksi disertai dengan perubahan pada organ kelamin. Perubahan-perubahan ini
meliputi perubahan ukuran tubuh secara umum, perubahan proporsi tubuh,
berubahnya ciri-ciri lama dan timbulnya ciri-ciri baru sebagai tanda kematangan
suatuorgan tubuh tertentu. Perkembangan awal menentukan perkembangan
selanjutnya. Seseorang tidak akan melewati satu tahap perkembangan sebelum dia
melewati tahapan sebelumnya. Misalnya, seorang anak tidak akan bisa berjalan
sebelum dia berdiri. Karena itu perkembangan awal merupakan masa kritis karena
akan menentukan perkembangan selanjutnya. Perkembangan juga memiliki tahap
yang berurutan, tahap ini di lalui seorang anak mengikuti pola yang teratur dan
berurutan, dan tahap-tahap tersebut tidak bisa terjadi terbalik. Misalnya, anak lebih
dahulu mampu berdiri sebelum berjalan, mampu membuat lingkaran sebelum mampu
mampu membuat gambar kotak, dan lain-lain. (Soetjiningsih, 2013)
4) Tahap Perkembangan
a)Perkembangan motorik kasar, aspek perkembangan lokomosi (gerakan) dan postur
(posisi tubuh). Pada usia 6 bulan, bila bayi didudukkan di lantai, bayi bisa duduk
sendiri tanpa disokong tetapi punggung masih membungkuk, bayi mampu
berguling sebagai aktivitas yang disadari sehingga untuk mencapai benda dengan
jarak dekat, bayi dapat berguling-guling. Kontrol kepala bayi muncul lebih dulu
pada posisi tengkurap, sehingga bayi lebih dahulu berguling dari posisi terlentang.
b)Perkembangan motorik halus, kemampuan motorik halus dipengaruhi oleh
matangnya fungsi motorik, dan koordinasi neuromuskular yang baik, fungsi
visual yang akurat, dan kemampuan intelek nonverbal. Pada usia 6 bulan bayi
mampu memindahkan objek dari tangan satu ke tangan lainnya, bayi juga mampu
meraih dan mengambil benda dengan baik, tanpa disertai gerakan simultan pada
tangan yang lain, bayi juga mampu memasukkan balok ke dalam gelas tapi tidak
bisa mengambil kembali.
c)Perkembangan bahasa, kemampuan untuk memberikan respons terhadap suara,
mulai mengenal kata-kata “da da, pa pa, ma ma”.
d)Perkembangan sosial, banyak dipengaruhi faktor lingkungan (pengasuhan).
Seorang bayi mewarisi karakteristik emosional-sosial dan gaya berinteraksi, tetapi
sifat bawaan tersebut dimodifikasi oleh gaya orangtua dan lingkungan sosial, bayi
akan merasa nyaman disekitar orang-orang akrab dan timbul kecemasan di sekitar
orang asing. Pada usia ini bayi senang bermain dengan bayi lainnya, dan sekali-
kali ia akan tersenyum dan meniru suara masingmasing, diusia ini bayi mulai
mengenali orang tua.
K. Deteksi Dini Penyimpangan Pertumbuhan dan Perkembangan Anak
1) Antopometri
Pengukuran antropometri dimaksudkan untuk mengetahui ukuran-ukuran fisik
seorang anak dengan menggunakan alat ukur tertentu, seperti timbangan dan pita
pengukur (meteran). Pada penentuan keadaan pertumbuhan fisik anak perlu dilakukan
pemeriksaan antopometri dan pertumbuhan fisik. Pengukuran antropometri untuk
emantau tumbuh kembang anak adalah berat badan, badan panjang, lingkar kepala
dan lingkar lengan atas.
2) Indeks antopometri
Indeks antropometri merupakan rasio dari pengukuran terhadap satu atau lebih
pengukuran atau yang dihubungkan dengan umur, TB/U (Tinggi Badan terhadap
Umur) dan BB/U (Berat Badan terhadap Umur).
3) Interpretasi indeks antropometri gizi
Interpretasi indeks antropometri gizi memerlukan ambang batas. Ambang batas dapat
disajikan kedalam tiga cara, yaitu persen terhadap median, persentil, dan standar
deviasi unit. WHO menyarankan menggunakan standar deviasi unit untuk meneliti
dan memantau pertumbuhan. Standar Deviasi Unit (SD) disebut juga Z-skor.
Rumus perhitungan Z- Score adalah:
Hasil seorang penemu pakar gizi Indonesia Mei 2000 di Semarang, standar baku
antropometri yang digunakan secara nasional dipakai menggunakan standar baku
WHO-NHCS 1983. Berdasarkan Kepmenkes RI Nomor:920/Menkes/SK/VII/2002
tentang klasifikasi status gizi anak.
L. Konsep Hospitalisasi
1) Pengertian
Hospitalisasi merupakan suatau keadaan krisis yang terjadi pada anak, yang
terjadi saat anak sakit dan dirawat di rumah sakit. Perawatan anak di rumah sakit
merupakan krisis utama yang tampak pada anak karena anak yang dirawat di rumah
sakit mengalami perubahan status kesehatan dan juga lingkungan seperti ruangan
perawatan, petugas kesehatan yang memakai seragam ruangan, alat-alat kesehatan.
Selama proses tersebut, anak dapat mengalami hal yang tidak menyenangkan bagi
dirinya, bisa ditunjukkan dengan anak tidak aktif, tidak komunikatif, merusak mainan
atau makanan, mundur ke perilaku sebelumnya (misalnya mengompol, menghisap
jari) dan perilaku regresi seperti ketergantungan dengan orang tua, menarik diri.
Keadaan ini terjadi karena anak berusaha beradaptasi dengan lingkungan baru yaitu
lingkungan rumah sakit sehingga kondisi tersebut mejadi faktor stressor bagi anak
maupun orang tua dan keluarga yang bisa menimbulkan kecemasan.berbagai perasaan
yang sering muncul pada anak yaitu rasa cemas, marah, sedih, takut, dan merasa
bersalah (Hockenberry & Wilson, 2011). Hospitalisasi adalah pengalaman penuh
cemas baik bagi anak maupun keluarganya. Kecemasan utama yang dialami dapat
berupa perpisahan dengan keluarga, kehilangan kontrol, lingkungan yang asing,
kehilangan kemandirian dan kebebasan. Reaksi anak dapat dipengaruhi oleh
perkembangan usia anak, pengalaman terhadap sakit, diagnosa penyakit, sistem
dukungan dan koping terhadap cemas (Nursalam, 2013).
Berdasarkan pengertian diatas kecemasan hospitalisasi adalah kecemasan yang
dialami oleh anak yang menjalani hospitalisasi karena anak harus menghadapi
stressor-stressor yang berada dirumah sakit seperti kecemasan karena perpisahan,,
kecemasan karena anak kehilangan kontrol atas dirinya, kecemasan karena tindakan
medis yang diberikan kepada anak seperti tindakan injeksi, dan pengukuran tanda-
tanda vital (TTV).
2) Penyebab Kecemasan Pada Anak
Hockenberry & Wilson (2011), penyebab kecemasan anak prasekolah karena
hospitalisasi dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :
a) Kecemasan karena perpisahan
Anak usia prasekolah memiliki koping yang lebih baik dari pada anak usia
toddler. Anak usia prasekolah dapat mementolerir jika mereka harus berpisah
dengan orang tua mereka walaupun anak prasekolah mentolerir perpisahan dalam
waktu sebentar dan anak prasekolah mulai untuk belajar mempercayai orang lain
selain orang terdekatmereka. Reaksi yang umum terjadi pada anak prasekolah
adalah menolak untuk makan, mengalami kesulitan tidur, menangis pelan ketika
anak bersama orang tua, marah, merusak mainan, tidak kooperatif terhadap
pengobatan.
b) Kehilangan kontrol (Loss of Control)
Anak usia prasekolah kehilangan kontrol karena pembatasan aktifitas fisik yang
menyebabkan anak ketergantungan dengan bantuan dari orang lain. Respon yang
biasa terjadi pada anak prasekolah seperti rasa malu, rasa bersalah, dan rasa takut.
c) Luka pada tubuh dan sakit atau nyeri
Reaksi anak terhadap luka dan nyeri dengan menyeringaikan wajah, menangis,
mengatupkan gigi, menggigit bibir, membuka mata dengan lebar atau anak
melakukan tindakan agresif seperti menggigit, menendang, dan memukul.
3) Reaksi Anak Terhadap Hospitalisasi
Reaksi anak terhadap penyakit dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, pengalaman
dirawat dan lama dirawat. Reaksi anak terhadap penyakit dapat berupa rasa cemas,
takut akan sakit, kurang kontrol dalam emosi, marah tidak adaptif dan regresi. Reaksi
hospitalisasi pada anak usia prasekolah menunjukan reaksi tidak adaptif dimana dapat
berupa menolak untuk makan, sering bertanya, menangis, dan tidak kooperatif
terhadap petugas. Dirawat di rumah sakit memaksa anak untuk meninggalkan
lingkungan yang dicintai, keluarga, dan teman sehingga menimbulkan kecemasan.
Selain itu anak berada pada lingkungan rumah sakit yang menyebabkan anak sulit
beradaptasi. Reaksi yang sering ditunjukan adalah menolak perawatan atau tindakan
dan tidak kooperatif dengan petugas (Adriana, 2011).
4) Faktor yang Berhubungan dengan Kecemasan Akibat Hospitalisasi
Reaksi anak terhadap kecemasan akibat hospitalisasi menurut Hockenberry &
Wilson (2011) berbeda-beda pada masing-masing individu. Hal tersebut dipengaruhi
oleh beberapa faktor. Faktor yang mempengaruhi reaksi anak prasekolah adalah
sebagai berikut :
a) Usia anak
Usia anak merupakan salah satu faktor utama yang dapat mempengaruhi reaksi
anak terhadap sakit dan proses perawatan. Reaksi anak terhadap sakit berbeda-
beda sesuai tingkat perkembangan anak. Semakin muda anak semakin sulit bagi
anak untuk menyesuaikan diri dengan pengalaman dirawat di rumah sakit.
b) Jenis Kelamin
Dibandingkan dengan anak laki-laki, anak perempuan memiliki kecenderungan
mudah mengalami kecemasan. Hal ini memungkinkan karena pengaruh hormon
esterogen yang apabila berinteraksi dengan serotonin akan memicu timbulnya
kecemasan.
c) Pengalaman dirawat sebelumnya
Pengalaman anak dirawat sebelumnya mempengaruhi reaksi anak. Apabila anak
pernah dirawat sebelumnya dan anak mengalami pengalaman tidak
menyenangkan dirawat di rumah sakit sebelumnya akan menyebabkan anak takut
dan trauma dan apabila ketika anak dirawat di rumah sakit dan anak
mendapatkan perawatan yang baik dan menyenangkan anak akan lebih
kooperatif pada perawat dan dokter.
d) Lama Perawatan
Lama hari dirawat bisa mempengaruhi kecemasan anak. Studi ini dengan
melakukan pengukuran kecemasan pada waktu 12 jam setelah anak masuk ke
rumah sakit, 12 jam sebelum keluar dari rumah sakit, dan 10 hari setelah keluar
dari rumah sakit menunjukkan bahwa lama dirawat mempengaruhi kecemasan
anak.
5) Tahap Respon Perilaku Kecemasan Anak
Respon kecemasan pada anak prasekolah akibat hospitalisasi adalah anak
menolak untuk makan, sering bertanya, menangis perlahan, tidak kooperatif terhadap
petugas kesehatan dan tindakan medis yang dilakukan. Hospitalisasi pada anak
prasekolah dianggap sebagai hukuman pada anak sehingga anak merasa malu, takut
sehingga menimbulkan sikap agresif pada anak, marah, berontak, tidak mau
bekerjasama dengan perawat (Hockenberry & Wilson, 2011).Respon perilaku anak
terhadap kecemasan dibagi dalam 3 tahap yaitu :
a) Tahap protes (Phase of Protest)
Tahap ini ditandai dengan anak menangis kuat, menjerit, memanggil orang
terdekatnya misalnya ibu. Secara verbal anak akan menyerang dengan rasa
marah seperti anak mengatakan “pergi”. Perilaku protes anak tersebut akan
terus berlanjut dan hanya berhenti jika anak merasa lelah dan orang terdekatnya
mendampinginya.
b) Tahap Putus Asa (Phase of Despair)
Pada tahap ini anak tampak tegang, menangis berkurang, anak kurang akitf,
kurang minat untuk bermain, tidak ada nafsu makan, menarik diri, tidak
kooperatif, perilaku regresi seperti mengompol atau menghisap jari.
M. Pengkajian Keperawatan
1. Demografi
Higroma subdural dapat terjadi pada segala usia dan jenis kelamin. Namun, biasanya
laki-laki lebih rentan terjadi higroma subdural karena aktivitas yang lebih sering di
luar rumah sehingga rentan terjadi kecelakaan.
2. Keluhan utama
Keluhan pada pasien higroma subdural biasanya nyeri kepala hingga penurunan
kesadaran.
3. Anamnesis
Dalam cedera kepala, poin-poin yang harus digali dari anamnesis meliputi
a) Periode/waktu hilangnya kesadaran
b) Periode amnesia post trauma
c) Penyebab dan kasus cedera itu sendiri
d) Ada tidaknya nyeri kepala dan muntah
4. Riwayat penyakit sekarang
Kaji bagaimana pasien mengalami higroma subdural, sudah kemana saja pasien
meminta pertolongan untuk mengatasi masalahnya, dan telah mendapatkan
pengobatan apa saja.
5. Riwayat penyakit dahulu
Kaji apakah pasien pernah dilakukan tindakan operasi (pintasan ventrikuler,
marsupialisasi kista araknoid dan reseksi kista), saat operasi dilakukan pembiusan
total (general anastesi), lokal anastesi, atau regional anastesi, apakah pernah
mengalami perdarahan pada kepala, atau mengalami trauma kepala sebelumnya.
6. Pemeriksaan fisik (B1-B6)
Setelah melakukan anamnesa yang mengarah pada keluhan pasien, pemeriksaan
fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan
fisik dilakukan secara persistem (B1-B6) yang terarah dan dihubungkan dengan
keluhan-keluhan dari pasien.
a) B1 ( Breathing ) Pernapasan
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung,
sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun
iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing . Napas
berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing (kemungkinana karena aspirasi),
cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada jalan napas.
b) B2 ( Blood ) Kardiovaskuler
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah
bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi
rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi
menjadi lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan
frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia,
disritmia).
c) B3 ( Brain ) Persyarafan
Pengkajian B3 merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan
pengkajian pada sistem lainya.
1) Tingkat kesadaran
Pasien dengan cedera otak biasanya akan mengalami gangguan kesadaran,
amnesia seputar kejadian, vertigo, dan sinkope (pingsan). Perubahan status
mental umumnya terjadi seperti gangguan dalam orientasi, kewaspadaan,
perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, emosi, tingkah laku, dan memori.
Tingkat kesadaran dapat dinilai menggunakan GCS ( Glasgow Coma Scale )
Penilaian GCS:
N. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang dapat diangkat sesuai dengan pathway adalah sebagai
berikut (NANDA, 2014).
1) Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan penurunan
aliran darah ke otak akibat edema serebri
2) Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan kompresi pada batang otak
3) Nyeri akut (kepala) berhubungan dengan peningkatan TIK, pelepasan mediator
kimia
4) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran
5) Defisit perawatan diri berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran
6) Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan kontraksi otot sekitar saraf servikal
O. Rencana Keperawatan
P. Tindakan Keperawatan
Merupakan inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang spesifik.
Tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan disusun dan ditujukan pada nursing
orders untuk membantu pasien mencapai tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu
rencana tindakan yang spesifik dilaksanakan untuk memodifikasi faktor-faktor yang
mempengaruhi masalah kesehatan pasien. Adapun tahap-tahap dalam tindakan
keperawatan adalah sebagai berikut :
1) Tahap 1 :
Persiapan Tahap awal tindakan keperawatan ini menuntut perawat untuk
mengevaluasi yang diindentifikasi pada tahap perencanaan.
2) Tahap 2 :
Intervensi Fokus tahap pelaksanaan tindakan perawatan adalah kegiatan dan
pelaksanaan tindakan dari perencanaan untuk memenuhi kebutuhanfisik dan
emosional. Pendekatan tindakan keperawatan meliputi tindakan independen,
dependen dan interdependen.
3) Tahap 3 :
Dokumentasi Pelaksanaan tindakan keperawatan harus diikuti oleh pencatatan yang
lengkap dan akurat terhadap suatu kejadian dalam proses keperawatan.
Q. Evaluasi Keperawatan
Perencanaan evaluasi memuat kriteria keberhasilan proses dan keberhasilan
tindakan keperawatan. Keberhasilan proses dapat dilihat dengan jalan membandingkan
antara proses dengan pedoman atau rencana proses tersebut. Sasaran evaluasi adalah
sebagai berikut :
1) Proses asuhan keperawatan, berdasarkan kriteria atau rencana yang telah disusun)
2) Hasil tindakan keperawatan berdasarkan kriteria keberhasilan yang telah
dirumuskan dalam rencana evaluasi.
Terdapat 3 kemungkinan hasil evaluasi yaitu :
1) Tujuan tercapai, apabila pasien telah menunjukan perbaikan atau kemajuan sesuai
dengan kriteria yang telah ditetapkan.
2) Tujuan tercapai sebagian, apabila tujuan itu tidak tercapai secara maksimal,
sehingga perlu dicari penyebab serta cara untuk mengatasinya.
3) Tujuan tidak tercapai, apabila pasien tidak menunjukkan perubahan atau
kemajuan sama sekali bahkan timbul masalah baru dalam hal ini perawat perlu
untuk mengkaji secara lebih mendalam apakah terdapat data, analisis, diagnosa,
tindakan, dan faktor-faktor lain yang tidak sesuai yang menjadi penyebab tidak
tercapainya tujuan. Setelah seorang perawat melakukan seluruh proses
keperawatan dari pengkajian sampai dengan evaluasi kepada pasien, seluruh
tindakannya harus didokumentasikan dengan benar dalam dokumentasi
keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA
American College of Surgeons. (2011). Advanced Trauma Life Support (ATLS). American
College of Surgeons Commite on Trauma.
DM, S., & L, M. (2011). Chronic Subdural Hematoma in Children. Neurosurg Clin of North
Am.
Dugdale, L. S. (2013). Medicine’s Metaphysics. Hastings Center Report, 43(2), 7–8.
https://doi.org/10.1002/hast.150
Greaves, I., & Johnson, G. (2010). Head and Neck Trauma. Practical Emergency Medicine
Almond.
Heller, D. S. (2012). Handbook of Endometrial Pathology (K. Rimmer (ed.)). Geoff Greenwood.
Kumar, R. (2010). Chronic Subdural Fliud Collection in Children. Journal of Medical Education
and Research, 7(1).
NANDA. 2014. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012-2014 . Jakarta: EGC
Satyanegara. (2014). Buku Ajar Bedah Saraf Edisi IV. Gramedia Pustaka Utama.
Stavrinou, P., Katsigiannis, S., Lee, J. H., Hamisch, C., Krischek, B., Mpotsaris, A., Timmer, M.,
& Goldbrunner, R. (2017). Risk Factors for Chronic Subdural Hematoma Recurrence
Identified Using Quantitative Computed Tomography Analysis of Hematoma Volume and
Density. World Neurosurgery, 99(2017), 465. https://doi.org/10.1016/j.wneu.2016.12.058
Y, S., W, J., & J, N. (2010). Compressive Brainstem Deformation Resultingfrom Subdural
Hygroma After Neurosurgery: A Case Report. Chinese Medical Journal.