4725 10227 1 PB
4725 10227 1 PB
4725 10227 1 PB
ARTIKEL RISET
URL Artikel : http://ejournal.helvetia.ac.id/index.php/jkg
Abstrak
Selama tahun 2016-2018 Kabupaten Jember memiliki capaian Case Detection Rate (CDR)
dibawah target nasional, sehingga perlu mendapat perhatian khusus. Oleh karena itu, diperlukan
upaya yang memadai dan komprehensif guna mendukung sistem surveilans TB dalam rangka
memecahkan masalah TB. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan kualitas sistem
surveilans TB berdasarkan penilaian atribut sistem surveilans untuk memberikan rekomendasi yang
tepat. Metode Penelitian ini menggunakan desain studi deskriptif dengan rancangan studi evaluasi.
Penelitian evaluasi dilakukan pada sistem surveilans TB yang diimplementasikan di Dinas Kesehatan
Kabupaten Jember selama tahun 2018. Responden adalah pengelola program TB di Dinas Kesehatan
dan di 24 Puskesmas. Analisis data dilakukan dengan menggambarkan atribut sistem surveilans, serta
membandingkan dengan Updated Guidelines for Evaluating Public Health Surveillance Sistems dari
Central of Disease Control (CDC). Informasi yang diperoleh disampaikan dalam bentuk tabel dan
dinarasikan. Hasil Penelitian menunjukan bahwa sistem surveilans tuberculosis di Dinkes Jember
tahun 2019 sudah memenuhi atribut fleksibilitas, kualitas data tinggi, akseptabilitas, ketepatan waktu,
kerepresentatifan, dan stabilitas yang tinggi. Sedangkan atribut sistem surveilans TB yang belum
terpenuhi adalah keserderhanaan. Saran yang dapat diberikan adalah perlu meningkatakan kapasitas
kualitas petugas TB dan Petugas Report/Record (RR) melalui berbagai pelatihan serta melakukan
monitoring secara terus menerus.
Kata Kunci: Sistem Surveilans, Penilaian Atribut, Tuberkulosis
Abstract
During 2016-2018 Jember District has Case Detection Rate (CDR) achievement below the
national target, so it needs special attention. Therefore, adequate and comprehensive efforts are
needed to support the TB surveillance sistem in order to solve the TB problem. The purpose of this
study is to describe the quality of the TB surveillance sistem based on attribute of the surveillance
system to provide appropriate recommendations. This research method uses a descriptive study
design with an evaluation study design. Evaluation research was conducted on the TB surveillance
sistem implemented in the Jember District Health Office during 2018. Respondents were managers of
the TB program at the Health Office and at 24 Primary Health Center. Data analysis was performed
by describing the attributes of the surveillance system, and comparing them with the Updated the
Guidelines for Evaluating Public Health Surveillance Sistems from the Central of Disease Control
(CDC). The information obtained is presented in table and narrated. The results showed that the
tuberculosis surveillance system at the Jember District in 2019 met the attributes of flexibility, high
data quality, acceptability, timeliness, representativeness, and high stability. Meanwhile, the
unfulfilled attribute of the TB surveillance system is simplicity. The suggestion that can be given is
that it is necessary to increase the quality capacity of TB officers and RR officers through various
trainings and to carry out continuous monitoring.
Keyword : Attribute, Evaluation, Surveillance system, Tuberculosis
PENDAHULUAN
Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium
tuberculosis. Terdapat beberapa spesies Mycobacterium, antara lain: M.tuberculosis, M.africanum, M.
bovis, M. Leprae dsb, yang juga dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA). Kelompok bakteri
Mycobacterium selain Mycobacterium tuberculosis yang bisa menimbulkan gangguan pada saluran
nafas dikenal sebagai MOTT (Mycobacterium Other Than Tuberculosis) yang terkadang bisa
mengganggu penegakan diagnosis dan pengobatan Tuberkulosis (1).
Gejala utama pasien Tuberkulosis paru yaitu batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih. Batuk
dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan
lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan
fisik, demam meriang lebih dari satu bulan (2). Pada pasien dengan HIV positif, batuk sering kali
bukan merupakan gejala Tuberkulosis yang khas, sehingga gejala batuk tidak harus selalu selama 2
minggu atau lebih (3).
Tuberkulosis (TB) sampai dengan saat ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat di dunia walaupun upaya penanggulangan Tuberkulosis telah dilaksanakan di banyak
negara sejak tahun 1995. Pada tahun 2018, diperkirakan ada 10 (9.0-11.1) juta kasus Tuberkulosis
baru (insiden) di seluruh dunia, di mana 5,7 juta adalah laki-laki, 3,2 juta adalah perempuan dan 1,1
juta adalah anak-anak. Orang yang hidup dengan HIV (Human Immunodeficiency Virus)
menyumbang 9% dari total. Delapan negara menyumbang 66% dari kasus baru: India (27%), Cina
(9%), Indonesia (8%), Filipina (6%), Pakistan (5%), Nigeria (4%), Bangladesh (4%), dan Afrika
Selatan (3%). Sekitar 1,5 (1,4-1,6) juta orang meninggal karena Tuberkulosis. Secara global, angka
kematian Tuberkulosis turun 42% antara tahun 2000 dan 2018. Tingkat keparahan epidemi nasional
sangat bervariasi di antara negara-negara. Pada tahun 2018, ada kurang dari 10 kasus baru per
100.000 penduduk di sebagian besar negara dengan populasi tinggi, 150 - 400 di sebagian besar dari
30 negara dengan beban Tuberkulosis tinggi, dan di atas 500 di beberapa negara termasuk Mozambik,
Filipina, dan Afrika Selatan (4).
Indonesia menempati urutan ketiga di dunia setelah India dan Cina dalam dalam penemuan
kasus Tuberkulosis pada tahun 2018. Jumlah kasus tuberkulosis pada tahun 2018 ditemukan sebanyak
566.623 kasus, meningkat bila dibandingkan semua kasus Tuberkulosis yang ditemukan pada tahun
2017 yang sebesar 446.732 kasus. Jumlah kasus tertinggi yang dilaporkan terdapat di provinsi dengan
jumlah penduduk yang besar yaitu Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kasus Tuberkulosis di
tiga provinsi tersebut sebesar 44% dari jumlah seluruh kasus Tuberkulosis di Indonesia (5).
Provinsi Jawa Timur pada tahun 2017 menempati ururan kedua di Indonesia dalam jumlah
penemuan penderita Tuberkulosis. Jumlah penemuan kasus baru BTA + sebanyak 26.152 kasus (CNR
= 67/100.000 penduduk) dan jumlah penemuan semua kasus Tuberkulosis sebanyak 54.811 kasus (
CNR = 139/100.000 penduduk atau CDR = 46%), target CNR (Case Notification Rate) semua kasus
yang ditetapkan oleh Kemenkes RI tahun 2017 sebesar 185/100.000 penduduk dan CDR (Case
Detection Rate) = 51%. Kabupaten Jember merupakan salah satu kabupaten yang menyumbangkan
banyak kasus Tuberkulosis di Jawa Timur setelah Kota Surabaya (6).
Pada tahun 2016 hingga tahun 2018, penemuan kasus Tuberkulosis di Kabupaten Jember terus
mengalami kenaikan. Berikut adalah trend kasus Tuberkulosis dari tahun 2016 – 2018 berdasarkan
CDR di Kabupaten Jember.
METODE
Penelitian ini menggunakan desain studi deskriptif dengan rancangan studi evaluasi. Desain
studi deskriptif membantu untuk menunjukkan apakah suatu program telah berjalan sesuai prosedur.
Rancangan studi evaluasi dilakukan untuk melihat dan menilai pelaksanaan maupun capaian dari
kegiatan atau program yang sedang atau yang sudah dilakukan untuk meningkatkan dan memperbaiki
kegiatan atau program tersebut (13). Selain itu, studi evaluasi juga bertujuan untuk menilai peforma
suatu sistem surveilans yang sudah berjalan (14).
HASIL
Atribut Surveilans Tuberkulosis di Dinas Kesehatan Kabupaten Jember
Kesederhanaan (Simplicity)
Kesederhanaan mengacu pada kemudahan operasional sistem surveilans secara utuh pada setiap
komponen dengan memenuhi kriteria yang sudah ditetapkan. Berikut adalah gambaran kesederhanaan
berdasarkan hasil wawancara dengan petugas pemegang program tuberculosis di Dinas Kesehatan
Kabupaten Jember dan Puskesmas.
Tabel 1.
Rekapitulasi Jawaban Kuesioner Responden pada Atribut Kesederhanaan
Provinsi Kemenkes)
a. Sederhana 1 100 24 100
b. Tidak sederhana - - - -
Berdasarkan kriteria input, Puskesmas di Dinas Kesehatan Jember 54% masih membutuhkan
tenaga khusus untuk pengambilan spesimen tuberkulosis, dikarenakan menurut para petugas
tuberculosis sulit untuk mengambil dahak pada pasien yang diduga menderita penyakit tuberculosis.
Selanjutnya dalam pengimputan data bagi Puskesmas 79.2% masih membutuhkan pelatihan khusus.
Sedangkan dalam proses pengumpulan data ada 54.2% petugas yang meyatakan mudah
mengumpulkan data secara pasif.
Kriteria proses yakni ketersediaan akan juknis atau pedoman yang memuat alur/ diagram
pencatatan dan pelaporan masih sangat kurang, sekitar 66.7% petugas tiddak memiliki pedoman
tersebut. 83.3% petugas menyatakan bahwa aplikasi yang digunakan juga sering terjadi perubahan
serta 79.2% petugas menyatakan kesulitan dalam menggunakan aplikasi tersebut, terdapat banyak
kendala diantaranya: kehilangan data, perubahan data serta kondisi aplikasi yang sering mengalami
gangguan/error.
Kriteria output yakni dalam proses pelaporan yang dilaksanakan tidak membutuhkan urutan
pelaporan sistem yang panjang (Puskesmas Dinkes Kabupaten Dinkes Provinsi Kemenkes).
Sekita 100% petugas mengatakan tidak mengalami kendala dalam melakukan proses pelaporan karena
sudah didukung dengan aplikasi SITT, selain itu proses pelaporan juga dapat dilakukan melalui email
dan Whats App sehingga idak membutuhkan waktu dan proses yang panjang.
Fleksibilitas (Flexibility)
Sistem Surveilans Tuberkulosis dikatakan fleksibel apabila memenuhi semua kriteria yang
sudah ditetapkan yakni kemampuan sistem surveilans dalam menyesuaikan dengan perubahan
informasi tanpa disertai peningkatan yang berarti akan biaya, tenaga, dan waktu.. Berikut adalah
gambaran flexibility berdasarkan hasil wawancara dengan petugas pemegang program tuberculosis di
Dinas Kesehatan Kabupaten Jember dan Puskesmas
Tabel 2.
Rekapitulasi Jawaban Kuesioner Responden pada Atribut Fleksibilitas
Berdasarkan uraian diatas bahwa hasil penilaian fleksibel dalam pelaksanaan surveilans
tuberculosis di Dinas Kesehatan Kabupaten Jember dan Puskesmas di Kabupaten Jember yakni sistem
surveilans tuberculosis di Kabupaten Jember menurut pernyataan petugas surveilans 9 petugas
menyatakan pernah mengalami perubahan dan perubahan tersebut tidak membutuhkan biaya, waktu,
tenaga dan sarana tambahan dalam pelaksanaanya.
Akseptabilitas (Acceptability)
Penerimaan mencerminkan kesediaan individu dan organisasi untuk berpartisipasi dalam sistem
surveilans, dengan kriteria yang sudah ditetapkan. Berikut adalah gambaran acceptability berdasarkan
hasil wawancara dan observasi dengan petugas pemegang program tuberculosis di Dinas Kesehatan
Kabupaten Jember dan Puskesmas.
Tabel 3.
Rekapitulasi Jawaban Kuesioner Responden pada Atribut Akseptabilitas
Berdasarkan uraian diatas 87.5% petugas Tuberkulosis berpartisipasi secara aktif dalam
mengumpulkan data dan 95.8% petugas tuberculosis melaporkan secara rutin setiap bulan. Petugas
Tuberkulosis juga banyak mendapatkan kritik dan saran dari dari stakeholder atau para pemangku
kepentingan, dari 24 Puskesmas 17 Puskesmas pernah mendapatkan kritikan dan saran terkait
penanggulangan Tuberkulosis. Kritik yang diberikan diantara untuk melakukan kerjasama dengan
lintas sector, mengumpul laporan tepat waktu, teguran atas capaian yang rendah, teguran kurangnya
sosialisasi dimasyarakat. Sedangkan saran/rekomendasi yang berikan diataranya untuk lebih
mendekatkan diri dimasyarakat, menambah fasilitas sarana Tuberkulosis di ruang poli Tuberkulosis,
untuk selalu mengumpul laporan dibawah tanggal yang sudah ditetapkan bersama, melakukan
kerjasama dengan lintas wilayah sehinggah pasien dapat dikembalikan diwilayah aslinya, melakukan
skrining dan penempatan petugas Tuberkulosis di desa.
Kerepresentatifan (Representativeness)
Representativeneness mengacu pada data pasien TB BTA+ yang dilaporkan di Dinas Kesehatan
sama dengan data yang ada di Puskesmas menurut tempat, waktu dan orang. Berdasarkan hasil
wawancara dan observasi yang dilakukan dengan pemegang program surveilans Tuberkulosis di
Dinas Kesehatan Kabupaten Jember, diketahui bahwa data Jember sudah diolah berdasarkan orang
tempat dan waktu namun ada perbedaan data antara Puskesmas dan Dinas Kesehatan sehingga perlu
dilakukan perbaikan data. Dinas Kesehatan sudah menfasilitasi untuk memperbaiki perbedaan data
tersbut dengan melakukan kegiatan validasi data 3 bulan sekali.
Representativeneness diPuskesmas mengacu pada kesesuaian data pasien TB BTA+ yang
dilaporkan Puskesmas sama dengan data yang ada di lapangan. Berdasarkan hasil wawancara dengan
pemegang program di Puskesmas, diketahui bahwa dari 23 Puskesmas, 9 (37.5%) Puskesmas
mengatakan sudah mengolah data menurut waktu tempat dan orang namun terdapat perbedaan data
antara Puskesmas dengan lapangan sehingga perlu dilakukan perbaikan data. Sedangkan 15(62.5%)
Puskesmas mengatakan tidak ada perbedaan data antara Puskesmas dan di lapangan.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa hasil penilaian representative dalam
pelaksanaan surveilans tuberculosis di Dinas Kesehatan Kabupaten Jember tidak representative
sedangkan pelaksanaan surveilans tuberculosis di Puskesmas ada 15 Puskesmas yang sudah
representative dan 9 Puskesmas tidak representative.
Ketepatan Waktu (Timeliness)
Kemampuan petugas surveilans dalam melakukan setiap tahapan surveilans Tuberkulosis
dinilai dari penemuan kasus dari unit pelapor, ketepatan waktu pengolahan data, analisis data,
intepretasi data dan diseminasi data di Dinas Kesehatan dan Puskesmas Kabupaten Jember. Berikut
gambaran ketepatan waktu Dinas Kesehatan dan Puskesemas di Kabupaten Jember:
Tabel 4.
Rekapitulasi Jawaban Kuesioner Responden pada Atribut Timeliness
Berdasarkan uraian diatas semua kriteria memiliki presentasi yang baik, dimana kriteria
Puskesmas mengumpulkan laporan setiap bulan tepat waktu sebesar 83.3%, kompilasi data sebesar
95.8%, analisis dan interpretasi data sebesar79.2%, melakukan rekapitulasi dan penyajian data
menurut variable epidemiologi sebesar 62.5% serta rekapitulasi dengan SITT sebesar 95.8% sehingga
dapat disimpulkan bahwa Dinas Kesehatan dan Puskesmas tepat waktu dalam pengumpulan data,
kompilasi data, analisa dan interpretasi data, rekapitulasi data sampai pada pelaporan.
Kualitas Data (Data Quality)
Sebuah Sistem Surveilans Tuberkulosis dikatakan berkualitas datanya bila memenuhi
kelengkapan data, sumber data dan cara pengolahan yang dapat diukur dengan mengetahui persentase
data yang kosong dan tidak jelas pada form. Berikut adalah gambaran kualitas data berdasarkan hasil
wawancara dan observasi dengan petugas pemegang program tuberculosis di Dinas Kesehatan
Kabupaten Jember dan Puskesmas.
Tabel 5.
Rekapitulasi Jawaban Kuesioner Responden pada Atribut Kualitas Data
Berdasarkan uraian diatas dapat dilihat bahwa Dinas Kesehatan dan Puskesmas dalam
kelengkapan pengisisan Formulir TB (TB-01, TB-02, TB-04, TB-05, TB-06, TB-09, TB-10 TB) yang
digunakan, 70.8% Puskesmas form terisi. Pengumpulan data tepat waktu dilakukan serta rutin
dilakukan setiap bulan (79.2%). Data yang dibuat dan dikumpulkan terbackup di email dan computer
(87.5%). Sehingga dapat disimpulkan bahwa Klasifikasi terkait kualitas data untuk surveilans
Tuberkulosis Dinas Kesehatan Kabupaten Jember dan Puskesmas adalah kualitas data tinggi
Stabilitas (Stability)
Kemampuan dari sarana atau perangkat yang digunakan dalam mendukung sistem surveilans
serta ketersediaan laporan kasus Tuberkulosis dengan memenuhi semua kriteria bahwa dalam satu
tahun sistem mengalamai error tidak lebih dari 1 kali serta dalam perbaikan sistem tidak lebih dari 24
jam. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan petugas tuberculosis di Puskesmas dari 23
Puskesmas ada 11 Puskesmas (45.8%) mengalami error dan 13 puseksmas (54.2%) tidak mengalami
error pada tahun 2018. Sementara proses perbaikan ketika mengalami gangguan/error 81.8% dapat di
selesaikan <24 jam. Berikut adalah gambaran Stabilitas berdasarkan hasil wawancara dengan petugas
pemegang program tuberculosis di Dinas Kesehatan Kabupaten Jember dan Puskesmas.
Tabel 6.
Rekapitulasi Jawaban Kuesioner Responden pada Atribut Stabilitas
PEMBAHASAN
Evaluasi Sistem Surveilans Tuberkulosis berdasarkan Atribut Sistem Surveilans di Dinas
Kesehatan Jember
Kesederhanaan (Simplicity)
Kesederhanaan dari suatu sistem surveilans mencakup kesederhanaan dalam hal struktur dan
kemudahan alur pelaporan dan pengoperasiannya. Sistem surveilans sebaiknya dirancang sesederhana
mungkin, namun masih dapat mencapai tujuan yang diinginkan (15).
Berdasarkan hasil evaluasi yang diperoleh maka sistem surveilans tuberculosis di kabupaten
Jember dalam klasifikasi tidak sederhana. Hal tersebut dikarenakan hampir 71.4% variable tidak
memenuhi kriteria input, proses dan output dalam sistem surveilans yang adk. Menurut Asif dalam
Arina Ketidaksederhanaan itu tidak dapat dihindari, karena dari sisi definisi kasus sistem surveilans
TB membutuhkan pemeriksaan laboratorium. Dengan demikian, sistem surveilans TB pasti akan
kompleks dan membutuhkan sumber daya yang besar untuk mengimplementasikannya. Oleh karena
itu diperlukan upaya untuk meningkatkan kompetensi SDM pelaksana agar implementasi sistem dapat
optimal (16).
Fleksibilitas (Flexibility)
Sistem surveilans tuberculosis di Kabupaten Jember diklasifikasikan memiliki fleksibilitas,
karena perubahan sistem yang terjadi tidak membutuhkan peningkatan biaya, tenaga, waktu dan
sarana. Pelaksanaan program penaggulangan Tuberkulosis masih bisa dilaksanakan secara maksimal.
Sesuai dengan definisi Fleksisbilitas sistem surveilans menurut CDC, bahwa Fleksisbilitas adalah
kemampuan sistem surveilans dalam menyesuaikan dengan perubahan informasi tanpa disertai
peningkatan yang berarti akan biaya, tenaga, dan waktu (17).
Akseptabilitas (Acceptability)
Akseptabilitas menggambarkan kemauan seseorang atau organisasi untuk berpartisipasi dalam
melaksanakan sistem surveilans (14). Akseptabilitas pada sistem ini sudah termasuk tinggi, karena
sudah terdapat beberapa pihak yang berpartisipasi di dalamnya, yaitu Kader Posyandu sebagai
perwakilan dari masyarakat setempat dan Pemerintah Daerah, seperti pihak kecamatan dan kelurahan.
Sedangkan hasil dari sistem sudah diterima oleh lintas sektoral maupun lintas program. Lintas
sektoral meliputi pihak kecamatan, kelurahan dan organisasi masyarakat seperti paguyuban sedangkan
lintas program meliputi pihak imunisasi, penyakit tidak menular dan HIV-AIDS.
Banyaknya kritik dan saran yang diberikan sebagai bentuk dukungan darri berbagai pihak
dalam pelaksanaan penaggulangan tuberculosis di Kabupaten Jember sesuai dengan penelitian dari
(Community Participation in Chagas Disease Vector Surveillance: Sistematic Review), yang dikutip
oleh Rani, I. A., dan Hargono, A., menyatakan bahwa sistem surveilans akan secara signifikan lebih
efektif bila masyarakat secara substansial dapat berkontribusi di dalamnya dalam bentuk yang sangat
sederhana pun dari partisipasi dapat meningkatkan efektifitas pemantauan (16). Sehingga Kabupaten
Jember dapat di klasifikasikan sebagai Akseptabilitas tinggi dalam penggulangan tuberculosis. Selaras
dengan penelitian Fernando, menyatakan bahwa sistem surveilans akan secara signifikan lebih efektif
bila masyarakat secara substansial dapat berkontribusi di dalamnya dan bentuk yang sangat sederhana
pun dari partisipasi dapat meningkatkan efektifitas pemantauan (18).
Kerepresentatifan (Representativeness)
Kerepresentatifan berarti dapat menguraikan dengan tepat berbagai kejadian atau peristiwa
kesehatan sepanjang waktu termasuk penyebarannya dalam populasi menurut waktu dan tempat (12).
Pengolahan data oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Jember diketahui bahwa 24 Puskesmas sudah
melakukan pengolahan data menurut waktu, tempat dan orang sehingga sudah representative.
Meskipun terjadi beberapa perbedaan data antara Puskesmas dan Dinas Kesehatan tetapi hal tersebut
bisa diselesaikan dengan kegiatan valiadasi data yang rutin dilakukan 3 bulan sekali untuk menyakan
data yang ada.
Menurut Nelson dan Sifakis, presentasi dari data penyakit infeksi yang endemis sangat penting
untuk menilai kemajuan atau kemunduran status kesehatan pada sebuah masyarakat. Jika laporan
surveilans tidak bersifat representatif maka dapat mempengaruhi program pencegahan penyakit (19).
Ketepatan Waktu (Timelines)
Ketepatan waktu berarti tingkat kecepatan atau keterlambatan di antara langkah-langkah yang
harus ditempuh dalam suatu sistem surveilans. Selain itu pula waktu yang dibutuhkan untuk
mengetahui kecenderungan (trend), outbreak, atau menilai pengaruh dari upaya penanggulangan (12).
Ketepatan waktu pada Surveilans Tuberkulosis berdasarkan uraian diatas semua kriteria
memiliki presentasi yang baik, dimana kriteria Puskesmas mengumpulkan laporan setiap bulan tepat
waktu sebesar 83.3%, kompilasi data sebesar 95.8%, analisis dan interpretasi data sebesar 79.2%,
melakukan rekapitulasi dan penyajian data menurut variable epidemiologi sebesar 62.5% serta
rekapitulasi dengan SITT sebesar 95.8% sehingga dapat disimpulkan bahwa Dinas Kesehatan dan
Puskesmas tepat waktu dalam pengumpulan data, kompilasi data, analisa dan interpretasi data,
rekapitulasi data sampai pada pelaporan.
Ketepatan waktu baik dalam pelaporan, penanggulangan kasus, dan diseminasi pada sistem ini
harus diperhatikan. Pelaporan data yang dilakukan secara tepat waktu memungkinkan untuk dapat
memanfaatkan data secara tepat untuk pengendalian keputusan intenal (18). Selain itu, dengan
menggunakan data secara tepat waktus , informasi yang berkualitas tinggi, maka akan menunjang
dalam mengidentifikasi dan mengatasi prioritas masalah kesehatan dalam populasi secara lebih efektif
dan efisien (20). Oleh karena itu, ketepatan waktu baik dalam pelaporan, penanggulangan kasus, dan
diseminasi pada sistem surveilans perlu diperhatikan. Pelaporan data yang dilakukan secara tepat
waktu memungkinkan untuk dapat memanfaatkan data secara tepat untuk pengendalian keputusan
intenal (21).
Kualitas Data (Data Quality)
Permasalahan kualitas data cenderung banyak ditemui dan bervariasi di seluruh negara dan
mempengaruhi kualitas sumber data. Hasil pengamatan menyatakan bahwa masalah kualitas sumber
data ini membuat laporan rutin sering terjadi bias, ketidaklengkapan, keterlambatan, dan kualitas data
rendah, serta manipulasi data (22). Kualitas data merupakan bagian penting dari keterwakilan Kualitas
data menggambarkan kelengkapan dan validitas dari data yang terekam dalam sistem kesehatan
masyarakat. Kualitas data dapat dilihat dari persentase "tidak diketahui" atau "kosong" dari item pada
form surveilans. Data berkualitas tinggi akan memiliki persentase rendah tanggapan tersebut (12).
Berdasarkan uraian hasil dapat dilihat bahwa Dinas Kesehatan dan Puskesmas dalam
kelengkapan pengisisan Formulir TB (TB-01, TB-02, TB-04, TB-05, TB-06, TB-09, TB-10 TB) yang
digunakan, 70.8% Puskesmas form terisi. Pengumpulan data tepat waktu dilakukan serta rutin
dilakukan setiap bulan (79.2%). Data yang dibuat dan dikumpulkan terbackup di email dan computer
(87.5%). Kualitas data dalam Surveilans Tuberkulosis di Dinas Kesehatan Kabupaten Jember
termasuk tinggi dikarenakan dari 24 Puskesmas 17 Puskesmas tidak terdapat jawaban kosong yang
ditemukan pada formulir pengumpulan data. Selain itu kualitas data dapat dilihat dari
kerepresentatifan dari hasil penyajian data. Penyajian data Surveilans Tuberkulosis di Dinas
Kesehatan Kabupaten Jember sudah representatif.
Stabilitas (Stability)
Stabilitas berkenaan dengan reliabilitas dan ketersediaan sistem surveilans. Reliabilitas yaitu
kemampuan untuk mengumpulkan, mengatur, dan menyediakan data secara tepat tanpa kesalahan.
Sedangkan ketersediaan yakni kemampuan untuk dioperasikan ketika dibutuhkan (8). Stabilitas
mengacu pada kemampuan untuk melakukan pengumpulan, manajemen atau pengelolaan, dan
penyediaan data tanpa kesalahan serta kemampuan sistem untuk beroperasi bila diperlukan (12).
Stabilitas pada Surveilans Tuberkulosis di Dinas Kesehatan Kabupaten Jember kemampuan dari
sarana atau perangkat yang digunakan dalam mendukung sistem surveilans serta ketersediaan laporan
kasus Tuberkulosis dengan memenuhi semua kriteria dalam satu tahun sistem mengalami error tidak
lebih dari 1 kali dan apabila perbaikan sistem tidak lebih dari 24 jam.
Stabilitas dalam evaluasi sistem surveilans TB di Kabupaten Jember dinilai berdasarkan
frekuensi error saat mengoperasikan SiTT. Berdasarkan hasil wawancara, sebesar 45% responden
menyatakan jika SiTT tidak pernah mengalami error serta perbaikan terhadap gangguan/error dapat
diselesaikan <24 jam sebesar 81.8%. Hal inilah yang menyebabkan sistem surveilans TB di
Kabupaten Jember dinilai Stabil.
KESIMPULAN
Berikut adalah kesimpulan pada evaluasi Sistem Surveilans Tuberkulosis di Dinas Kesehatan
Kabupaten Jember pada evaluasi atribut
1) Atribut kesederhanaan (simplicity) pada Sistem Surveilans Tuberkulosis di Dinas Kesehatan
Kabupaten Jember dilihat dari kriteri input, output dan proses tidak sederhana.