Dewi Pursita Audriana

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 98

AKIBAT HUKUM SUKSESI NEGARA

TERHADAP PERJANJIAN INTERNASIONAL

(STUDI KASUS SUKSESI NEGARA DI TIMOR LESTE)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat-Syarat

Memperoleh Gelar Kesarjanaan Dalam IlmuHukum

Oleh :

Dewi Pursita Audriana

NIM. 135010107111113

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

FAKULTAS HUKUM

MALANG

2017

i
HALAMAN PERSETUJUAN

Judul Skripsi : AKIBAT HUKUM SUKSESI NEGARA TERHADAP

PERJANJIAN INTERNASIONAL (STUDI KASUS

SUKSESI NEGARA TIMOR LESTE)

Identitas Penulis :

a. NAMA : Dewi Pursita Audriana

b. NIM : 135010107111113

Konsentrasi : Hukum Internasional

Jangka Waktu Penelitian : 6 bulan

Disetujui pada Tanggal : 1 Juni 2017

Dosen Pembimbing Utama Dosen Pembimbing Pendamping

Dr.Patricia Audrey Ruslijanto SH,MKn. Agis Ardhiansyah SH,LLM

NIP.19801012009122005 NIP.198403132009121001

Mengetahui,
Ketua Bagian Hukum Internasional,

Hanif Nur Widhiyati, SH,MHum, PhD

NIP. 197808112002122001
HALAMAN PENGESAHAN

ii
Akibat Hukum Suksesi Negara Terhadap Perjanjian Internasional

(Studi Kasus Suksesi Negara Timor Leste)

Oleh :
DEWI PURSITA AUDRIANA
NIM: 135010107111113

Skripsi ini telah disahkan pada tanggal :

Dosen Pembimbing Utama Dosen Pembimbing Pendamping

Dr.Patricia Audrey Ruslijanto SH,MKn. Agis Ardhiansyah SH,LLM

NIP.198501012009122005 NIP.198403132009121001

Mengetahui, Ketua Bagian


Dekan Fakultas Hukum Hukum Internasional

Dr. Rachmad Safa’at, SH., MSi Dr. Hanif N. Widhiyanti, SH.MHum


NIP. 196208051988021001 NIP. 197808112002122001

iii
KATA PENGANTAR

Pertama-tama penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT yang telah

memberikan jalan dan kemudahan bagi penulis untuk melaksanakan salah satu

kewajiban akademik penulis yakni menyelesaikan penelitian skripsi berjudul

AKIBAT HUKUM SUKSESI NEGARA TERHADAP PERJANJIAN

INTERNASIONAL (STUDI KASUS SUKSESI NEGARA TIMOR LESTE) guna

mendapatkan gelar kesarjanaan dalam ilmu hukum

Skripsi ini diselesaikan oleh penulis dalam kurun waktu 6 bulan sejak 22

Desember 2017. Skripsi ini diselesaikan dalam rangka memenuhi syarat untuk

meraih gelar kesarjanaan dalam ilmu hukum. Namun ternyata pada pengerjaan

skripsi ini, penulis merasa mendapatkan banyak manfaat, tidak hanya semata-

mata mendapatkan gelar ketika berhasil menyelesaikan skripsi ini.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dan

doa dari berbagai pihak, oleh sebab itu penulis ingin mengungkapkan rasa terima

kasih kepada :

1. Allah SWT atas rahmat yang diberikan, doa yang dikabulkan serta segala

limpahan rezekiNya.

2. Orang tua penulis, Akhdiat Sidik dan Wahju Flamintariati, yang setia

memberikan dukungan moral maupun materil serta doa yang tidak henti

dipanjatkan kepada penulis.

3. Kedua adik penulis, Indy dan Desti atas dukungan dan doanya.

4. Ibu Patricia Audrey Ruslijanto dan Bapak Agis Ardhiansyah selaku dosen

iv
pembimbing telah banyak meluangkan waktu dan tenaganya untuk

memberikan pertolongan, masukan, serta arahan kepada penulis dengan

penuh kesabaran. Semoga ilmu dari Bapak dan Ibu menjadi berkah bagi

penulis.

5. Sahabat dan teman-teman penulis di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

angkatan 2013 terutama sahabat penulis sejak maba yakni Euginia, Kiane,

Nitus, Dina, Nindy, Maudy dan Erika.

6. Keluarga besar BILSTUF 2016 terutama sahabat penulis di BILSTUF yakni

Adinda, Safira, Pungky, Ridha Ayu dan Marsya yang setia memberikan

dukungan moral serta menemani penulis dalam suka maupun duka.

7. Keluarga besar AIESEC Universitas Brawijaya yang telah menjadi keluarga

kedua penulis selama 3 tahun terutama sahabat penulis dari departemen

Program Marketing 1617 yakni, Ralitza, Alvian dan Lidya atas supportnya.

8. Sahabat-sahabat penulis dari kelas IPS SMAN 15 Surabaya yakni Farah,

Yari, Ratih, Amelia dan yang lainnya.

9. Pihak-pihak lain yang tidak bisa disebutkan penulis satu persatu. Terimakasih

atas doa dan dukungannya baik secara langsung maupun tidak langsung.

Dalam setiap hal yang dilakukan penulis tidaklah sempurna, maka apabila

nantinya terdapat kekeliruan dalam penulisan skripsi iniini penulis sangat

mengharapkan kritik dan sarannya.Akhir kata semoga penelitian ini dapat

memberikan banyak manfaat bagi kita semua.

Malang, 6 Juni 2017

v
DAFTAR ISI

Halaman Judul............................................................................................ I

Halaman Persetujuan.................................................................................. II

Kata Pengantar........................................................................................... III

Daftar Isi …………………………………………………………………. V

Ringkasan…………………………………………………………………. IX

Summary…………………………………………………………………… X

BAB. I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang........................................................................... 1

B. Rumusan Masalah....................................................................... 9

C. Tujuan Penelitian......................................................................... 9

D. Manfaat Penelitian...................................................................... 10

E. Sistematika Penulisan………………………………………….. 10

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Umum Tentang Negara………………………….. 12

1. Negara Sebagai Subjek Hukum

Internasional ……………………………… 12

2. Berbagai Macam Bentuk Negara ………………... 14

3. Hak dan Kewajiban Negara …………………………. 17

B. Kajian Umum Tentang Kedaulatan Negara ………….…. 19

1. Pengertian Kedaulatan Negara ………………….. 19

2. Kedaulatan Negara atas Wilayah …………..……. 20

3. Cara-Cara Memperoleh Kedaulatan Wilayah…………. 21

C. Kajian Umum Tentang Suksesi Negara …………………… 23

vi
1. Pengertian Suksesi Negara Dalam

Hukum Internasional ……………………….. 23

2. Bentuk-Bentuk Suksesi Negara……………………. 24

3. Akibat Hukum Suksesi Negara……………………….. 24

D. Kajian Umum Tentang Perjanjian Internasional…………… 28

1. Pengertian dan Bentuk Perjanjian Internasional …….. 23

2. Pembuatan dan Pemberlakuan Perjanjian

Internasional …………………..……………. 30

3. Hal Berakhirnya Perjanjian Internasional ………….. 32

4. Sifat Perjanjian Internasional ……………………….. 33

BAB III METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian ………………………………………….. 34

B. Pendekatan Penelitian ………………………….……….. 34

C. Jenis dan Sumber Bahan Hukum………….. …………... 34

a) Jenis Bahan Hukum Primer ……………………… 34

b) Jenis Bahan Hukum Sekunder …………………… 34

D. Teknik Penelusuran Bahan Hukum …………..………… 35

E. Teknik Analisa Bahan Hukum…..………………………… 36

F. Definisi Konseptual ………………………………….….. 36

BAB IV PEMBAHASAN

A. Penggunaan Kata Successor State dalam Suksesi

vii
Negara Timor Leste ………………………………….. 37

1. Definisi Successor State Secara Umum……...…… 37

2. Kajian Histori Successor State dalam

Hukum Internasional ……………………… 39

3. Definisi Successor State dalam Hukum

Internasional ………………………………… 41

4.Alternatif Penggunaan Kata Bagi Timor Leste

dalam Suksesi Negara ………………………. 48

B. Konsekuensi Hukum Terhadap Timor Leste atas

Perjanjian Internasional antara Indonesia dengan

Negara Lain Setelah Terjadinya Suksesi …….…… 50

1. Status Hukum Perjanjian Internasional Setelah

Terjadinya Suksesi Negara Berdasarkan

Konvensi Wina 1978 …………………………… 50

2. Teori-Teori Mengenai Peralihan Hak dan Kewajiban

dalam Suksesi Negara …………………………. 54

3. Ketentuan Konvensi Wina 1978 Mengenai Peralihan

Perjanjian Internasional dalam Suksesi Negara …. 55

4. Studi Kasus Akibat Hukum Suksesi Negara Timor

Leste Terhadap Perjanjian Internasional antara

Indonesia dengan Negara Lain ………………… 58

5. Konsekuensi Hukum Jika Perjanjian Tidak Terlaksana … 72

BAB V PENUTUP

viii
4.1 Kesimpulan ………………………………………………… 75

4.2 Saran ……………………………………………………….. 76

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………….. 79

RINGKASAN

ix
DEWI PURSITA AUDRIANA, Hukum Internasional, Fakultas Hukum,
Universitas Brawijaya, Maret 2017, AKIBAT HUKUM SUKSESI NEGARA
TERHADAP PERJANJIAN INTERNASIONAL(STUDI KASUS SUKSESI
NEGARA DI TIMOR LESTE), Dr.Patricia Audrey Roeslijanto S.H,MKn, Agis
Ardhiansyah, S.H,LLM
Kata kunci: Perjanjian Internasional, Akibat Hukum, Suksesi Negara Timor
Leste
Suksesi negara merupakan peristiwa peralihan kedaulatan dari suatu negara ke
negara lainnya yang menimbulkan beberapa akibat hukum termasuk terhadap
perjanjian internasional. Indonesia merupakan salah satu negara yang pernah
mengalami peristiwa suksesi negara ketika Timor Leste memutuskan untuk
memisahkan diri pada tahun 2002. Peristiwa ini membawa akibat hukum
termasuk terhadap perjanjian internasional yang pernah terjalin antara Indonesia
dengan negara lain. Hukum internasional memberi petunjuk mengenai akibat
hukum terhadap perjanjian internasional lewat Konvensi Wina 1978. Beberapa
hal yang dimuat dalam konvensi tersebut antara lain mengenai perjanjian mana
yang dapat beralih dan bagaimana peralihannya. Dalam kasus Indonesia-Timor
Leste terdapat dua perjanjian yang beralih ke Timor Leste yakni perjanjian batas
wilayah Timor Gap dan perjanjian hutang Indonesia-Amerika Serikat. Namun
konsekuensi hukum serta implementasi peralihan kedua perjanjian tersebut
berbeda meskipun sama-sama beralih ke Timor Leste. Selain menimbulkan akibat
hukum, suksesi negara juga dikenal menimbulkan dua subjek dalam peristiwanya
yakni predecessor state dan successor state. Namun berdasarkan definisi secara
umum serta beberapa kasus mengenai negara melakukan suksesi negara,
successor state diartikan sebagai negara yang mewarisi hak dan kewajiban dari
predecessor state secara penuh dan hal tersebut tidak terjadi kepada Timor Leste.
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan pendekatan
perundang-undangan dan pendekatan kasus. Tujuan dari penelitian ini adalah
memberi jawaban tentang penggunaan kata successor state bagi Timor Leste
dalam hal terjadinya suksesi negara serta memberikan analisa mengenai
perbedaan konsekuensi hukum antara dua perjanjian internasional Indonesia yang
beralih ke Timor Leste
Berdasarkan hasil penelitian, Timor Leste tidak dapat dikatakan sebagai successor
state dari Indonesia karena Timor Leste tidak mewarisi hak dan kewajiban
Indonesia secara penuh. Timor Leste dapat disebut sebagai negara baru yang
sepenuhnya lepas dari Indonesia. Sedangkan mengenai konsekuensi hukum
terhadap dua perjanjian internasional Indonesia yang beralih, kedua perjanjian
tersebut yakni perjanjian Timor Gap dan perjanjian hutang Indonesia-Amerika
Serikat keduanya sama-sama beralih namun hanya perjanjian Timor Gap yang
mempunyai perjanjian peralihan sedangkan perjanjian hutang tersebut tidak
membuat perjanjian serupa sehingga implementasinya tidak jelas dan tidak
mengikat.

SUMMARY

x
DEWI PURSITA AUDRIANA, International Law, Faculty of Law, Universitas
Brawijaya, June 2017, LEGAL CONSEQUENCES OF STATE SUCCESSION
TOWARD INTERNATIONAL AGREEMENTS (THE CASE STUDY OF
SUCCESSION STATE IN TIMOR LESTE), Dr.Patricia Audrey Roeslijanto
S.H,MKn, Agis Ardhiansyah, S.H,LLM
Keywords: International agreements, legal consequences, succession state in
Timor Leste
State succession is the replacement of one State by another in the responsibility
that causes several legal consequences over the implementation, including
towards international agreeements. Indonesia is one of state that once had
experienced state succession when Timor Leste decided to separate themselves
from Indonesia in 2002. This causes several legal consequences including
towards international agreements that once established between Indonesia and
other states. The international law has given the guidance about the legal
consequences toward international agreement through Vienna Convention 1978.
This convention also contains the guidance about which agreements that can
changed over. In the case of state succession between Indonesia-Timor Leste,
there were two agreements that changed over Timor Leste which is Timor Gap
Treaty and Loan Agreements between Indonesia-USA. But the legal consequences
between those agreements is different although they both changed over Timor
Leste. Beside causing several legal consequences, state succession also causes
two new subjects through the implementation which are predecessor state and
successor state. But based on general definition and based on several cases about
state succession, successor state is defined as state that fully responsible for rights
and obligations from predecessor state and Timor Leste is clearly not defined as
that.
This research is using normative juridical methods with state approach and case
approach. The aim of this research is giving the clear answer about the use of the
word successor state for Timor Leste in terms of their state succession and giving
clear analyst about the difference of legal consequences between two Indonesia
international agreements that changed over Timor Leste.
Based on the result, Timor Leste cant be defined as successor state from
Indonesia because they are not fully responsible for Indonesia’s rights and
obligations. Thus Timor Leste can be defined as new state. About the legal
consequences towards two Indonesia’s international agreement which is Timor
Gap Treaty and Loan Agreement between Indonesia and USA, they both changed
over Timor Leste but only Timor Gap Treaty that has the devolution agreement.
Both Indonesia and Timor Leste didn’t make the same kind of agreement toward
the Loan Agreements so it makes the implementation of the changeover isn’t clear
and binding for both parties.

xi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai subjek utama dalam hukum internasional, negara tentu

mempunyai kelebihan yang berbeda dibandingkan dengan subjek hukum

inernsional lainnya. Berdasarkan Konvensi Montevidio 1933, unsur-unsur

yang harus dipenuhi untuk membentuk suatu negara adalah1:

(a) A permanent population (rakyat permanen)


(b) A defined territory (wilayah yang jelas)
(c) Government (pemerintah yang berdaulat)
(d) Capacity to into relations with the other states (kemampuan
melakukan hubungan dengan negara lain)

Kemampuan melakukan hubungan dengan negara lain inilah yang

menjadi kelebihan yang berbeda dibandingkan dengan subjek hukum

internasional lainnya, selain menjadi subjek hukum internasional tertua.

Kemampuan melakukan hubungan dengan negara atau subjek hukum

internasional lain ini dapat meliputi pembuatan perjanjian internasional,

kerjasama internasional, melakukan hubungan diplomatik. Dalam hukum

internasional, negara juga mempunyai kedaulatan atas negaranya sendiri.

Kedaulatan tersebut meliputi tiga aspek sesuai konsep hukum internasional

1
Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933
yaitu, aspek ekstern kedaulatan yakni hak untuk membuat hubungan dengan

negara atau subjek hukum internasional lain secara bebas tanpa intervensi dari

negara lain, aspek intern kedaulatan yakni hak atau wewenang ekslusif suatu

Negara untuk menentukan bagaimana bekerjanya lembaga-lembaga di negara

tersebut serta hak untuk membentuk dan membuat konstitusi dan peraturan

perundang-undangan, dan yang terakhir adalah aspek territorial kedaulatan

yakni kekuasaan penuh dan eksklusif atas wilayah, individu-individu dan

benda-benda di negara tersebut.2 Selain itu kedaulatan negara juga didasarkan

pada prinsip keutuhan wilayah dan kedaulatan nasional yang diatur di dalam

Piagam PBB.

Namun seiring dengan perkembangan zaman, kedaulatan negara bisa

berganti dengan adanya peristiwa suksesi akibat pemisahan diri suatu negara

dan pembentukan negara baru. Menurut Konvensi Wina 1978, pasal 2 huruf

(b) suksesi diartikan sebagai:

“Succession of States” means the replacement of one State by another in the


responsibility for theinternational relations of territory;3

Artinya, suksesi negara adalah perpindahan tanggung jawab dari satu

negara ke negara yang lain dalam hal praktek hubungan internasional dari

wilayah tersebut, sehingga yang berhubungan dengan suksesi dapat berupa

penggabungan, perpisahan atau pembentukan negara baru dimana

konsekuensinya adalah terjadi perubahan kedaulatan. Suksesi bisa berupa


2
Boer Mauna. Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika
Global . Alumni. Bandung: 2000. Hlm 24
3
Pasal 2 huruf (b) Konvensi Wina 1978
suksesi pemerintahan atau suksesi negara. Suksesi pemerintahan adalah

pergantian pemerintah lama oleh pemerintah baru secara konstitusional dan

non konsitutisional serta terjadi di dalam suatu negara

Sedangkan suksesi negara dapat dibedakan menjadi dua yaitu suksesi

negara universal dan suksesi negara parsial. Suksesi negara menimbulkan dua

pihak yakni predecessor state (negara terdahulu/negara yang tergantikan) dan

successor state (negara baru/negara yang menggantikan). 4Suksesi juga dapat

dibedakan menjadi dua jenis, pertama yakni suksesi universal. Suksesi

universal adalah suksesi yang terjadi dimana negara sebelumnya atau

predecessor state-nya sudah tidak ada karena satu negara tersebut semuanya

telah terpecah masing-masing menjadi negara baru. Jenis suksesi yang kedua

adalah suksesi parsial, biasanya suksesi ini terjadi jika suatu daerah

memisahkan diri dengan negara lain dan membentuk negara baru. Suatu

suksesi terjadi karena adanya pemisahan diri suatu negara untuk tergabung di

negara lain atau membentuk negara baru yang berdaulat. Pemisahan diri

tersebut biasanya dilatar belakangi oleh beberapa faktor antara lain

ketidaksesuaian kebijakan suatu negara dengan kondisi di daerah yang ingin

memisahkan diri tersebut, budaya yang tidak sesuai, ataupun pemerintah

dianggap tidak mampu melindungi hak-hak warga daerah tersebut dan

bersikap adil. Meskipun melanggar prinsip kedaulatan negara, namun hukum

internasional juga mengatur membenarkan hal tersebut dalam prinsip hak

4
Jawahir Thontowi SH.,Ph.D, Pranoto Iskandar, SH. Hukum Internasional Kontemporer. Rafika
Aditama. Yogyakarta: 2006 hlm.212
menentukan nasib sendiri atau self determination. Hukum internasional

menyebutkan adanya prinsip tersebut dalam Piagam PBB serta Deklarasi

Pemberian Kemerdekan Wilayah-wilayah dan Bangsa-bangsa Terjajah atau

Declaration on the Granting Independence to Colonial Countries and People

yang diterima melalui Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 1514 (XV).5

Pada faktanya, tidak sedikit daerah yang telah memisahkan diri dan

mendeklarasikan kedaulatan negara merdeka sendiri. Hukum internasional

dalam teorinya membenarkan pemisahan suatu negara melalui beberapa cara

salah satunya lewat referendum. Sebuah referendum (dari bahasa Latin) atau

jajak pendapat dalam istilah bahasa Indonesia merupakan pemungutan suara

untuk mengambil sebuah keputusan (politik). Pada sebuah referendum,

biasanya orang-orang yang memiliki hak pilih dimintai pendapatnya. Hasil

referendum bisa dianggap mengikat atau tidak mengikat. Jika mengikat, maka

para anggota kaum eksekutif wajib menjalankan hasil jajak pendapat tersebut.

Di beberapa negara tertentu seperti Belanda, referendum tidaklah harus

mengikat.6 Indonesia sendiri pernah mengalaminya pada kasus pemisahan

Timor Leste lewat referendum yang membentuk negara sendiri pada tahun

1999. Sebelumnya, Timor Leste telah terlebih dahulu memerdekakan diri dari

Portugal tepatnya pada tanggal 28 November 1975 namun tidak lama

kemudian Timor Leste menyatakan diri sebagai bagian dari Indonesia. Namun

5
Sumaryo Suryokosumo, Organisasi Internasional, Universitas Indonesia, Jakarta: 1987,hlm 40
66
Rani Nuraeni dalam “3 Cara Memperoleh Wilayah” https://raninuraeni379.wordpress.com/s-i-
h/hukum-internasional/3-cara-memperoleh-wilayah/ diakses pada 6 Januari 2017
selama dibawah kedaulatan Indonesia, banyak terjadi konflik diantara Timor

Leste yang diakibatkan oleh ketidakpuasan dalam pembangunan infrastruktur

yang dilakukan pemerintah Indonesia di Timor Leste. Konflik yang terjadi

pun cukup parah. Setidaknya ada 102.800 konflik yang terjadi dengan ribuan

korban meninggal, belum lagi ribuan korban lainnya yang meninggal karena

penyakit.

Pada tanggal 30 Agustus 1999, Timor Leste mengadakan sebuah

referendum yang difasilitasi oleh PBB dan hasilnya, mayoritas penduduk

Timor Leste (78,5 %) memilih untuk terlepas dari Negara Indonesia. Namun

hasil referendum tersebut tidak sepenuhnya diterima oleh masyarakat yang

dibuktikan adanya perselisihan antara pihak yang pro dengan kemerdekaan

dengan pihak yang mendukung agar Timor Leste tetap menjadi kedaulatan

Indonesia. Selama masa peralihan sebelum Timor Leste benar-benar resmi

merdeka sendiri, banyak konflik yang terjadi di Timor Leste sehingga PBB

turut ikut campur dengan mengirimkan pasukan penjaga perdamaian PBB.

Selain itu, hal-hal terkait administrasi juga diambil alih oleh PBB lewat

dibentuknya UNTAET pada tanggal 25 Februari 2001. Akhirnya Timor Leste

memerdekakan diri yang secara resmi diakui oleh internasional pada tanggal

20 Mei 2002 dan Xanana Gusmao sebagai Presiden pertama Timor Leste

disumpah pad tanggal 27 September 2002 bertepatan dengan resminya Timor

Leste menjadi anggota dari PBB. Sebelumnya, pada tahun 1998, presiden

Habibie sempat menawarkan otonomi kepada Timor Leste namun tetap


dibawah kedaulatan Indonesia. Australia, lewat Perdana Menteri nya yakni

Alexander Downer.

Dalam setiap pemisahan diri negara yang terjadi pasti ada akibat

hukum, terutama mengenai yurisdiksi atau kedaulatan negara, pengalihan aset,

hutang, properti, hutang dari negara lama atau predecessor state ke negara

baru atau successor state, permasalahan kewarganegaraan serta keanggotaan

dalam organisasi internasional. Status akan akibat hukum tersebut secara

khusus diatur dalam Konvensi Wina 1978 dan Konvensi Wina 1983. Dalam

penelitian ini, penulis akan lebih spesifik membahas mengenai akibat hukum

dalam hal perjanjian internasional yang secara khusus diatur dalam Konvensi

Wina 1978. Akibat hukum suksesi negara pada hakikatnya memang menjadi

urusan negara lama dengan negara baru saja. Namun, dalam perjanjian

internasional pihaknya bisa bertambah karena perjanjian tersebut mengikat

negara lain juga sehingga disini negara yang terikat dengan negara lama

tersebut disebut dengan pihak ketiga. Hal ini menjadi menarik mengingat

peralihan hak dan kewajiban antar negara lama dan negara baru saja tidak

diatur dalam Konvensi Wina 1978, apalagi jika melibatkan pihak ketiga.

Dalam kasus Timor Leste, kasus yang menjadi analisa penulis adalah

Perjanjian Timor Gap yang tidak hanya melibatkan Indonesia dengan Timor

Leste melainkan juga melibatkan Australia sebagai pihak ketiga.

Selain itu, penulis juga tertarik menganalisa definisi successor state itu

sendiri. Secara umum, successor state diartikan sebagai negara pengganti.


Jika ditelaah dari pengertian suksesi negara, seharusnya successor state

diartikan sebagai negara yang memangku hak dan kewajiban negara yang

lama secara penuh. Pengertian ini bisa saja diterapkan jika yang terjadi adalah

suksesi negara universal. Namun dalam kasus suksesi negara parsial dimana

kedaulatan yang beralih hanya terjadi di satu wilayah saja, istilah successor

state yang biasa digunakan, menjadi rancu. Hak dan kewajiban dari negara

sebelumnya tidak secara penuh beralih bahkan sama sekali tidak beralih

kepada negara yang baru melakukan suksesi karena dalam konsep suksesi

negara, negara baru dapat menganut konsep clean state atau memulai

semuanya dari awal. Sama halnya terjadi dalam kasus suksesi negara karena

perpecahan. Umumnya, semua negara baru hasil pecahan tersebut bisa

dikatakan sebagai successor state. Namun, jika ditelaah dari makna suksesi

sendiri, dimana terjadi perpindahan hak dan kewajiban, ternyata tidak semua

negara baru hasil pecahan tersebut dapat dikatakan sebagai successor state.

Contohnya dalam kasus pemecahan negara Uni Soviet, ternyata hak dan

kewajiban sepenuhnya hanya beralih kepada negara Rusia sehingga dalam hal

ini istilah successor state hanya bisa digunakan kepada Rusia saja. Tetapi,

istilah successor state secara umum disama-ratakan sehingga menimbulkan

kerancuan sehingga dari hal ini muncul permasalahan menarik mengenai

batasan definisi dari successor state itu sendiri serta istilah apa yang dapat

digunakan jika sebutan successor state hanya dapat digunakan dalam kasus

suksesi negara tertentu saja. Konvensi-konvensi yang mengatur tentang


suksesi maupun akibat hukumnya juga tidak memberikan definisi dan batasan

secara jelas dan mengikat mengenai successor state.

Berdasarkan teori-teori tersebut, maka dalam penelitian yang berjudul

Akibat Hukum Suksesi Negara Terhadap Perjanjian Internasional (Studi

Kasus Suksesi Negara Timor Leste), penulis secara khusus akan membahas

permasalahan mengenai batasan dari definisi dan penggunaan istilah

successor state terlebih dahulu sebelum akhirnya secara detail menganalisa

mengenai akibat hukum suksesi negara terhadap perjanjian internasional

dalam kasus suksesi negara Timor Leste, khususnya apakah perjanjian

internasional yang pernah dijalin Indonesia dengan negara lain akan mengikat

Timor Leste juga setelah terjadinya suksesi negara berikut pula kaitannya

dengan pihak ketiga seperti kasus perjanjian Timor Gap yang akan dianalisa

lebih lanjut dalam penelitian ini.

Tabel 1.1 Orisinalitas Penelitian

No Nama Peneliti Judul Rumusan Keterangan


masalah
1. Putri Purbasari Analisis Bagaimana Penelitian ini
Raharningtyas Implikasi implikasi juga
(Fakultas Hukum Hukum hukum menganalisa
Universitas Sebelas Suksesi suksesi tentang
Maret, 2012) Negara negara implikasi
Republik Republik atau akibat
Sudan Sudan hukum atas
Selatan Selatan dari suksesi suatu
Ditinjau dari Republik negara
Hukum Sudan namun
Internasional ditinjau dari berbeda
Hukum kasus
Internasional?
2. Tiffany Yessa Tinjauan a.Bagaimana Penelitian ini
(Universitas Hukum akibat hukum menganalisa
Sumatera Utara, Internasional suksesi hal yang
2014) Tentang negara Timor sama dengan
Akibat Leste kasus yang
Hukum terhadap sama yakni
Suksesi Indonesia? akibat hukum
Negara b. suksesi
Timor Leste Bagaimana Timor Leste
Terhadap keberadaan namun
Negara aset membahas
Indonesia -aset secara umum,
Indonesia di tidak spesifik
wilayah perjanjian
Timor Leste internasional
setelah saja dan tidak
pemisahan? membahas
c. mengenai
Bagaimana batasan
penyelesaian definisi
terhadap aset successor
-aset state.
Indonesia di
wilayah
Timor Leste
setelah
pemisahan?

B. Rumusan Masalah

1. Apakah Timor Leste merupakan successor state dari Indonesia dalam

hal terjadinya suksesi negara Indonesia-Timor Leste?

2. Bagaimana konsekuensi hukum terhadap Timor Leste atas perjanjian

internasional antara Indonesia dengan negara lain setelah terjadinya

suksesi?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk memberi jawaban tentang penggunaan kata successor state bagi

Timor Leste dalam hal terjadinya suksesi negara.

2. Untuk menganalisa konsekuensi hukum terhadap Timor Leste atas

perjanjian-perjanjian internaisonal yang pernah terjalin antara

Indonesia dengan negara lain setelah terjadinya suksesi.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk bahan kajian dan

referensi hukum dalam hukum internasional terkait akibat hukum

suksesi dan penyelesaian-penyelesaiannya.


2. Manfaat Praktis

a. Bagi masyarakat penelitian ini diharapkan dapat menjadi

menambah pengetahuan dan informasi terkait masalah suksesi

dan akibat hukumnya terutama terkait pembahasan pertama, ke

depannya tidak ada lagi kerancuan dalam menggunakan istilah

successor state.

b. Bagi mahasiswa dan akademisi penelitian ini diharapkan dapat

menjadi bahan referensi dalam proses pembelajaran ataupun

kegiatan akademik

E. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pemahaman materi, maka skripsi ini dibagi

menjadi 5 (lima) bab yang berurutan dan saling berhubungan satu sama lain.

Berikut ini adalah uraian isi dari setiap bab secara garis besar dapat dilihat

sebagai berikut:

BAB I. PENDAHULUAN

Pada bagian ini dibahas mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah,

tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan untuk

memberikan gambaran yang jelas terhadap sistematika skripsi ini.


BAB II. KAJIAN PUSTAKA

Pada bagian dijelaskan teori-teori terkait suksesi dan perjanjian internasional

beserta pengertian dasarnya. Sumber-sumber referensi yang digunakan oleh

penulis dalam bab ini berasal dari buku-buku teks, jurnal, dan informasi-

informasi internet yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas.

BAB III. METODE PENELITIAN

Metode penelitian menguraikan cara pelaksanaan penelitian, mulai

merumuskann pendekatan penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi

ini hingga bagaimana menganalisisi hasil penelitian. Penelitian ini

menggunakan metode yuridis normatif yang memuat tentang pendekatan

penelitian yang terdiri dari pendekatan perundang-undangan, konsep, dan

kasus.

BAB IV. PEMBAHASAN

Bab ini berisi mengenai pembahasan bagaimana akibat hukum suksesi negara

perjanjian internasional secara teori dan praktiknya serta definisi dari suksesi

sendiri sehingga Timor Leste dapat dikatakan sebagai suksesi negara dari

Indonesia.
BAB V. PENUTUP

Sebagai penutup, bab ini berisikan kesimpulan dan saran dari hasil analisis

penulis mengenai permasalahan yang telah di teliti. Kesimpulan merupakan

ringkasan jawaban dari rumusan masalah yang telah dijabarkan dalam

pembahasan. Saran berisi harapan-harapan mengenai hasil tinjauan kearah

yang lebih baik.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Umum Tentang Negara

1. Negara Sebagai Subjek Hukum Internasional

Negara adalah subjek hukum internasional yang paling penting, atau disebut juga par

excellence, dibandingkan dengan subjek hukum internasional yang lain dan

mengemban hak dan kewajiban berdasarkan hukum internasional. Beberapa ahli

mengungkapkan definisinya mengenai negara itu sendiri antara lain menurut

R.Kraneburg, Negara merupakan organisasi yang mempunyai kekuasaan dan

diciptakan oleh kelompok manusia yang disebut bangsa. Tidak jauh berbeda dengan

Kraneburg, menuru Logeman negara adalah organisasi dengan kekuasaan yang

menyatukan kelompok manusia yang disebut bangsa.1Sedangkan menurut Hendry C

Black Negara merupakan sekumpulan individu yang secara permanen menempati

suatu wilayah tertentu dan terikat dengan ketentuan-ketentuan hukum yang diatur

oleh suatu pemerintah berdaulat yang juga mengawasi masyarakat beserta harta

bendanya yang ada di dalam wilayah kedaulatannya serta mampu mengadakan

perang dan menjalin hubungan internasional dengan subjek hukum internasional

1
Mochtar Kusumaatmadja. Pengantar Hukum Internasional: Buku-1. Bagian Umum. Bina Cipta.
Jakarta:1982 hlm.89
lainnya. .2 Pasal 1 Konvensi Montevidio 1933 tentang hak dan kewajiban negara

menyatakan bahwa karakteristik negara adalah sebagai berikut:3Defined territory

Suatu wilayah yang pasti (fixed territory) merupakan persyaratan dasar

adanya suatu negara. Meskipun demikian, tidak ada persyaratan

dalam hukum internasional bahwa semua perbatasan sudah final

dan tidak memiliki sengketa perbatasan lagi dengan negara-negara

tetangga baik pada waktu memproklamirkan diri sebagai negara

baru ataupun setelahnya.4

a. Permanent Population

Negara tidak akan ada tanpa penduduk. Persyaratan a permanent

population dimaksudan untuk stable community. Stable

community tidak memiliki syarat jumlah minimum penduduk

ataupun jenis penduduk tertentu. Stable community disyaratkan

sebagai kelompok-kelompok yang hidup permanen di suatu

wilayah negara..5

b. Governement

Pemerintah yang dimaksud adalah pemerintah yang berdaulat,

mampu menguasai organ-organ pemerintahan secara efektif dan

2
Huala Adolf. Aspek-aspek Negara Dalam Hukum Internasional. Rajawali. Jakarta:1991. Hlm.1
3
Sefriani, SH.MHum: Hukum Internasional: Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada. Yogyakarta:
2009 hal.103
4
Ibid. Hlm.104
5
Ibid.Hlm.106
mampu menjaga stabilitas serta ketertiban di dalam suatu wilaya

negara.6

c. Kemampuan untuk melakukan hubungan dengan negara lain

Kedaulatan yang dimaksud disini artinya adalah kemampuan

untuk mengadakan hubungan dengan negara lain sesuai dengan

Pasal 1 Konvensi Montevideo 27 Desember 1933 tentang Hak dan

Kewajiban Negara.7

2. Berbagai Macam Bentuk Negara

a) Negara Kesatuan

Pada bentuk negara kesatuan, kekuasaan untuk melaksanakan

kegiatan hubungan luar negeri sepenuhnya ada pada

pemerintah pusat meskipun luas otonomi daerah yang

diberikan pemerintah pusat pada provinsi-provinsinya

sangatlah besar, masalah hubungan luar negeri tetap menjadi

kewenangan penuh pemerintah pusat Indonesia dan Pranis

merupakan dua contoh dari sekitar 10 negara kesatuan yang

ada di dunia saat ini.8

b) Negara Federasi

Negara federasi adalah gabungan dari beberapa negara yang

disebut sebagai negara bagian. Kekuasaannya sendiri dibagi

6
Ibid.Hlm.106
7
Jawahir Thontowi SH.,Ph.D, Pranoto Iskandar, SH. Op.cit hlm.110
8
Boer Mauna. Op.Cit. Hlm. 26
dua berdarkan kesepakatan antara negara bagian dengan

pemerintah pusat yang juga disebut sebagai pemerintah federal.

Namun, meski memiliki kedaulatan dengan konstitusinya

masing-masing, hukum internasional hanya mengakui

pemerintah federal sebagai subjek dalam hukum internasional

karena kewenangan untuk melakukan hubungan luar negeri

tetap ada di tangan pemerintah pusat atau pemerintah federal.9

c) Negara Konfederasi

Di dalam negara konfederensi terdapat dua atau lebih negara

merdeka dengan kedaulatannya masing-masing yang

menyatukan diri untuk kepentingan bersama. Karena masing-

masing anggota memiliki kedaulatan sendiri maka pemerintah

pusat hanya berwenang untuk hal-hal tertentu saja misalnya

hubungan luar negeri..10

d) Negara Persemakmuan (Commonwealth Nations)

Commonwealth Nations merupakan negara-negara berdaulat

yang memutuskan untuk bersatu dalam rangka memlihara

persahabatan dan kerjasama Kerajaan Inggris sekaligus

mengakui mereka sebagai pemimpin dari persatuan tersebut.

Asosiasi ini dibentuk dengan Statuta Westminister 1932.11

e) Negara Mikro

9
Sefriani, SH.MHum. Op.Cit. Hlm.108
10
Ibid. Hlm.108
11
Ibid.Hlm.109
Negara mikro adalah suatu negara yang merdeka dan memiliki

kedaultan penuh namun demikian negara ini wilayah penduduk

dan sumber daya manusia serta sumber daya ekonominy sangat

kecil mengingat keterbatasan yang dimiliknya, negara-negara

ini dapat menjadi anggota PBB dengan fasilitas-fasilitas

tertentu tanpa memikul kewajiban yang umumnya dibebankan

pada negara anggota yang lain, contohnya kewajiban untuk

mengirimkan pasukan perdamaian.12

f) Negara Netral

Negara netral adalah negara yang secara permanen menjamin

kemerdekaan dan integritas politik serta wilayahnya tidak akan

mengintervensi negara lain yang akan menimbulkan perang

atau ketidaknetralan, kecuali dalam kondisi membela diri.

Komitmen tersebut dituangkan dalam sebuah perjanjian

kolektif.13

g) Negara Protektorat

Negara protektorat adalah negara dibawah perlindungan negara

lain namun masih memiliki keaulatan penuh dan biasanya,

negara yang melindungi adalah negara yang lebih kuat. Bentuk

hubungan ini dituangkan dalam suatu perjanjian internasional

12
May Rudy T. Hukum Internasional. Refika Aditama. Bandung:2011 Hlm.26
13
Ibid.Hlm.54
yang berisi kekuasaan dan urusan mana saja yang menjadi

kewenangan negara pelindung.14

h) Condominium

Suatu Condominium timbul bila terhadap suatu wilayah

tertentu dilaksanakan penguasaan bersama oleh dua atau tiga

negara. Contohya adalah negara New Hybrida yang sekarang

dikenal sebagai Republik Vanuatu sampai tanggal 30 Juli 1980

dikuasi Inggris dan Perancis. 15

3. Hak dan Kewajiban Negara

Sejak abad ke-17 masyarakat internasional telah mempersoalkan hal-hal

mengenai hak dan kewajiban negara lewat landasan teori kontrak sosial.Sampai

akhirnya pada tahun 1916, diadakan sebuah seminar oleh American Institute of

International Law atau AIIL yang kemudian menghasilkan Declaration of the Rights

and Duties of Nations dan disusul oleh dikeluarkannya sebuah kajian berjudul

Fundamental Right and Duties of American Republics hingga akhirnya dibuat dalam

konvensi yakni Konvensi Montevidio pada tahun 1933 yang menghasilkan sebuah

rancangan deklarasi tentang hak dan kewajiban negara-negara. Prinsip-prinsip

mengenai hak dan kewajiban negara yang terkandung dalam deklarasi tersebut

antara lain:

Hak-hak negara:

14
Sefriani SH.MHum. OpCit. Hlm.111
15
Ibid. Hlm.111
a. Hak atas kemerdekaan (pasal 1);

b. Hak untuk melaksanakan jurisdiksi setiap wilayah, orang dan

benda yang berada di dalam wilayahnya (pasal 2);

c. Hak untuk mendapatkan kedudukan hukum yang sama dengan

negara lain (pasal 5);

d. Hak untuk menjalankan pertahanan diri sendiri atau kolektif

(pasal 12)

Kewajiban-kewajiban negara:

a. Kewajiban untuk tidak melakukan intervensi terhadap

masalah-masalah yang terjadi di negara lain (pasal3);

b. Kewajiban untuk tidak menggerakan persoalan sipil di negara

lain (pasal 4);

c. Kewajiban untuk memperlakukan semua orang yang berada di

wilayahnya dengan memperhatikan hak-hak asasi manusia

(pasal 6);

d. Kewajiban untuk menjaga wilayahnya agar tidak

membahayakan perdamaian dan keamanan internasional (pasal

7);

e. Kewajiban untuk menyelesaikan sengketa secara damai (pasal

8);

f. Kewajiban untuk tidak menggunakan kekuatan atau ancaman

senjata (pasal 9);


g. Kewajiban untuk tidak membantu terlaksananya pasal 9 diatas;

h. Kewajiban untuk tidak mengakui wilayah0wilayah yang

diperoleh melalui cara-cara kekerasan (pasal 12);

i. Kewajiban untuk melaksanakan kewajiban internasional

dengan itikad baik (pasal 13);

j. Kewajiban untuk mengadakan hubungan dengan negara-negara

lain sesuai dengan hukum internasional (pasal 14).16

B. Kajian Umum Tentang Kedaulatan Negara

1. Pengertian Kedaulatan Negara

Kedaulatan merupakan salah satu unsure penting dalam eksistensi sebuah

negara. Dari konteks ilmu bahasa, kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi atas

pemeritahan dalam suatu negara, daerah, dan sebagainya. Sedangkan dari konteks

ilmu tata negara, Parthiana menyatakan bahwa adalah kekuasaan yang tertinggi yang

mutlak, utuh, tidak dapat dibagi-bagi dan tidak dapat ditempatkan di bawah

kekuasaan lain.17. Dalam konteks hukum internasional sendiri, negara yang memiliki

kedaulatan harus tunduk pada hukum internasional, maupun kedaulatan dan integritas

wilayah negara lain.18

16
Jawahir Thontowi, SH.PhD. Pranoto Iskandar, SH.Opcit. Hlm.113
17
Suryo Sakti Hadiwijoyo, Perbatasan Negara Dalam Dimensi Hukum Internasional, Graha Ilmu,
Yogyakarta 2011 hal 8
18
Fred Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Binacipta, Bandung 1996 hal 89
Suatu entitas politik dikatakan sebagai negara tentunya harus memiliki

kedaulatan baik secara eksternal maupun internal. Pengertian dari kedaulatan

eksternal adalah memiliki kedudukan yang sama dengan negara-negara lain.

Kelanjutan dari prinsip persamaan (equality) antar negara-negara mengakibatkan

negara-negara tersebut memiliki: (1) sebuah jurisdiksi atas wilayahnya dan warganya

yang mendiaminya; (2) kewajiban bagi negara-negara lain untuk tidak campur tangan

atas persoalan yang terjadi di wilayah negara lain; (3) kewajiban-kewajiban yang

diakibatkan oleh hukum kebiasaan dan perjanjian internasional didasarkan pada

kehendak dari negara itu sendiri. Mengenai pengertian kedaulatan secara internal bisa

dikatakan sebagai kedaulatan yang ditujukan ke dalam wilayah hukum dari negara

yang bersangkutan. Kedaulatan secara internal terebut diantaranya direalisasikan

dalam bentuk kewenangan atau kemampuan untuk: (a) membentuk hukum; (b)

mendapatkan ketundukan; dan (c) memutus persoalan-persoalan yang timbul dalam

jurisdiksinya19.

2. Kedaulatan Negara atas Wilayah

Sebagaimana dinyatakan dalam pasal 1 Konvensi Montevideo 1993 mengenai

Hak-hak dan kewajiban-kewajiban Negara, wilayah merupakan salah satu elemen

utama untuk menyatakan entitas sebagai negara, subjek hukum utama hukum

internasional. Di samping itu, dengan adanya wilayah, negara dapat melaksanakan

kedaulatannya melalui, salah satunya, penerapan aturan sekaligus mengefektifkan

19
Sefriani.SH.M.Hum.Op.cit Hlm.154
20
sanksi dari aturan tersebut. Negara memiliki hak untuk melakukan tindakan atas

orang, benda dan perbuatan hukum lain didalam kedaulatan wilayahnya kecuali jika

tindakan tersebut mengakibatkan kerugian dan mebahayakan negara lain atau bahkan

membahayakan perdamaian internesional. Hal tersebut disatur dalam Pasal 7 Draft

Deklarasi PBB 1949 mengenai hak-hak dan kewajiban negara21

Wilayah suatu negara terdiri dari wilayah darat dan laut. Wilayah darat

merupakan wilayah yang kering.Suatu daratan di sebuah negara dapat terbentuk dari

awal suatu negara tersebut berdiri maupun tambahan dari wilayah lain. Sedangkan

mengenai luas daratan dapat ditentukan secara tertulis ketika suatu negara

memproklamirkan kemerdekannya maupun secara langsung sesuai kebiasaan

internasional dengan mengikuti perkembangan negara tersebut setelah terbentuk..22

Sedangkan wilayah laut adalah laut beserta tanah yang ada di bawahnya.

Tanah di bawah laut terdiri atas dasar laut dan tanah di bawah dasar laut. Wilayah

laut terbagi atas wilayah yang dikuasai suatu negara dengan laut yang tidak dikuasai

oleh negara. Konvensi PBB tentang Hukum laut 1982 (UNCLOS 1982) melahirkan

delapan zona pengaturan hukum laut yaitu perairan pedalaman, perairan kepulauan,

laut territorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, landas kontinen, laut lepas

dan kawasan dasar laut internasional.23

3. Cara-Cara Memperoleh Kedaulatan Wilayah

20
Jawahir Thontowi SH.PhD. Pranoto Iskandar SH. Op.Cit. Hlm.177
21
Sefriani SH.M.Hum. Opcit. Hlm.204
22
Ibid. Hlm.205
23
Ibid. Hlm.212
a. Okupasi

Okupasi adalah perolehan kedaulatan atas wilayah yang

sebelumnya tidak pernah ada dibawah kedaulatan negara

manapun. Adapun perolehan wilaya dengan okupasi ini harus

memenuhi beberapa syarat yakni adanya penemuan terhadap

wilayah yang masih baru tersebut, adanya kehendak dari negara

yang menemukan untuk menjadikan wilayah tersebut sebagai

kedaulatannya dan mewujudkan niat tersebut dalam tindakan yang

efektif.24

b. Aneksasi

Aneksasi adalah perolehan wilaya dengan cara penggabungan suatu

wilayah negara ke wilayah negara lain dengan cara kekerasan atau

paksaan. Perolehan wilayah dengan cara ini banyak terjadi di masa

lampau sebelum ada hukum internasional yang mengatur tentang hal

ini. Adapun perolehan wilayah dengan cara ini harus memenuhi

beberapa syarat yakni wilayah yang akan dianeksasi tersebut harus

telah ditundukkan secara formal.25

c. Akresi

24
Ibid. Hlm.206
25
Ibid. hlm.208
Akresi adalah perolehan wilayah lewat proses alam atau geografis

terhadap wilayah kedaulatan suatu negara. Proses alam tersebut

dapat berupa pemindahan tanah maupun pembentukan darat dari

endapan-endapan lumpur.26

d. Preskripsi

Preskripsi adalah perolehan wilayah yang diakibatkan oleh

pelaksanaan de facto atas wiayah yang secara de jure merupakan

wilayah negara lain. Perolehan tambahan wilayah dengan cara ini

mengadopsi dari ketentuan bezit dalam hukum perdata.27

e. Cessie

Perolehan wilayah dengan cara cessie dilakukan melalui proses

peralihan hak dari suatu negara ke negara yang lainnya. Proses ini

dapat dilakukan dengan sukarela maupun kekerasan yakni dengan

cara memaksakan untuk menyerahkan wilayah milik pihak yang

kalah perang.

f. Referendum

Referendum adalah perolehan wilayah dengan pemungutan suara.

Cara ini merupakan implementasi atas self determination rights

dalam hukum internasional.28

26
Ibid. hlm.209
27
Ibid hlm.210
28
Ibid. hlm.212
C. Kajian Umum Tentang Suksesi Negara

1. Pengertian Suksesi Negara dalam Hukum Internasional

Menurut Konvensi 1978, mengenai Suksesi terhadap Traktat pasal 2 (b)

dinyatakan ‘suksesi negara berarti perpindahan tanggungjawab dari suatu negara

kepada negara lain dalam kaitannya dengan praktek hubungan internasional dari

wilayah tersebut.’ Pemahaman di atas menyebutkan terjadinya ‘perubahan kedaulatan

atas suatu wilayah’ menunjukan pada luasnya peristiwa yang termasuk kategori

suksesi. Oleh karena itu, pertisiwa penggabungan, pemisahan atau pembentukan

sebuah negara atau hal-hal lain yang mengimplikasi terjadinya kedaulatan juga

disebut sebagai suksesi..29

Suksesi sendiri dibedakan atas dua yakni suksesi pemerintah dan suksesi

negara. Suksesi pemerintah biasanya mengarah pada masalah dalam negeri suatu

negara. Sedangkan dalam konteks hukum internasional yang lebih banyak

diimplementasi adalah suksesi negara. Kata suksesi negara berasa dari kata state

succession atau succession of state, yang artinya adalah pergantian kedaulatan pada

suatu wilayah. Pergantian kedaulatan yang dimaksud disini adalah pergantian dari

negara lama atau disebut juga predecessor state kepada negara baru atau yang

menggantikan dalam hal kedaulatan atas suatu wilayah dalam hubungan

internasional.30

2. Bentuk-Bentuk Suksesi Negara

29
Jawahir Thontowi SH.Ph.D, Pranoto Iskandar SH. Op.Cit. Hlm.213
30
Sefriani SH.MHum. Opcit. Hlm.293
a. Suksesi Universal

Dalam suksesi universal, seluruh wilayah negara yang

melakukan suksesi akan hilang sehingga tidak ada lagi sisa-sisa

identitas dari predecessor state..31

b. Suksesi Parsial

Dalam suksesi parsial, wilayah negara predecessor masih ada

karena hanya sebagian wilayah yang melakukan suksesi

negara. Suksesi negara tersebut bisa berupa memisahkan diri

dari negara lain ataupun bergabung dengan negara lain.32

2.3.3 Akibat Hukum Suksesi Negara

a. Akibat Hukum Suksesi Negara Terhadap Perjanjian

Internasional

Dalam terjadinya suksesi negara, pada umumnya suatu

perjanjian internasional tidak secara otomatis beralih pada

negara baru atau negara yang menggantikan yang notabene

merupakan pihak ketiga dalam suatu perjanjian internasional.

Hal ini disebutkan dalam pasal 34 Konvensi Wina 1969. Jika

dalam beberapa hal perjanjian tersebut beralih maka dapat

ditentukan dalam devolution agreement seperti yang

31
Ibid. hlm.294
32
Ibid. hlm.295
disebutkan dalam pasal 17 dan pasal 24 Konvensi Wina

1978.33

b. Akibat Hukum Suksesi Negara Terhadap Public Property

Rights

Pada umumnya dalam kebiasaan internasional, saat terjadin

suksesi negara, state property akan secara otomatis beralih

kepada negara baru atau negara yang menggantikan. Artinya,

pihak negara baru atau negara yang menggantikan tidak

berkewajiban untuk membayar ganti rugi atas aset-aset

tersebut. .34

c. Akibat Hukum Suksesi Negara Terhadap Pribate Property

Berdasarkan kesepakatan para ahli hukum, pada umumnya

private property tidak secara otomatis beralih dan harus

dilindungi oleh pihak predecessor state. Jika negara baru atau

negara yang menggantikan ingin mengambil alih aset privat

tersebut maka harus membayar kompensasi kepada individu

atau perusahaan sebagai pemilik..35

d. Akibat Hukum Suksesi Negara Terhadap Arsip Negara

33
Ibid hlm.296
34
Ibid. hlm.304
35
Ibid. Hlm306
Arsip negara predecessor juga beralih secara otomatis pada

saat terjadinya suksesi. Hal ini disebutkan dalam pasal 21

Konvensi Wina 1983. Arsip tersebut beralih tanpa perjanjian

dan kompensasi. Selain itu dalam Konvensi Wina 1983 juga

menyebutkan bahwa negara predecessor juga wajib membantu

peralihan arsip-arsip tersebut yang berkaitan dengan wilayah

bekas jajahannya jika kaitannya dengan newly independent

state case.36

e. Akibat Hukum Suksesi Negara terhadap Hutang Negara

Hutang negara dapat dibagi menjadi hutang pemerintah pusat

dan hutang pemerintah daerah. Dalam hal penyelesaian hutang

dilakukan melalui suatu perjanjian khusus dalam perjanjian

peralihan. Jika tidak ada perjanjian khusus maka predecessor

state akan tetap bertanggung jawab. Sedangkan dalam hal

hutang pemerintah daerah, jika daerah tersebut yang

melakukan suksesi maka hutang tersebut menjadi tanggung

jawab sepenuhnya bagi daerah tersebut.37

f. Akibat Hukum Suksesi Negara Terhadap

Kewarganegaraan

Baik Konvensi Wina 1978 maupun Konvensi Win 1983 tidak

mengatur tentang hal ini karena kewarganegaraan merupakan

36
Ibid. hlm.308
37
Ibid. hlm.310
hal yang berkaitan dengan wewenang setiap individu untuk

memilih kewarganegaraannya sendiri seperti yang

diamanatkan dalam Deklarasi HAM Universal 1948 yang

menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kewarganegaraan.

g. Akibat Hukum Suksesi Negara Terhadap Keanggotaan

pada Organisasi Internasional

Masalah keanggotaan suatu negara di organisasi internasional

maupun regional ditentukan oleh konstitusi masing-masing

organisasi. Piagam PBB misalnya, tidak mengatur masalah

pengunduruan diri. PBB juga menetapkan bahwa keanggotaan

suatu negara di PBB tidak terhenti hanya karena terjadinya

perubahan dan pergantian kosntitusi atau perbatasan. Adapun

terhadap negara baru maka negara ini harus mengikuti aturan

ang berlaku untuk negara baru yaitu mendaftarkan diri sebagai

anggota baru kecuali telah ada izins esuai dengan ketentuan

yang terdapat pada piagam.

D. Kajian Umum Tentang Perjanjian Internasional

1. Pengertian dan Bentuk Perjanjian Internasional

Perjanjian internasional adalah perjanjian yang dibentuk antara anggota

masyarakat bangsa-bangsa untuk menimbulkan suatu akibat hukum tertentu. Undang-

Undang no.24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional juga menyebutkan definisi
perjanjian internasional yakni perjanjian di bidang hukum publik yang diatur oleh

hukum internasional dan dibuat oleh Pemerintah dengan Negara, organisasi

internasional atau subjek hukum internasional lain.Beberapa bentuk perjanjian

internasional antara lain:38

a. Treaty

Treaty atau traktat adalah bentuk perjanjian internasional yang

mengikat negara secara menyeluruh yang umumnya bersifat

multilateral. Substansi dari treaty biasanya merupakan hal yang

sangat penting dan khusus.39

b. Konvensi

Konvensi adalah bentuk perjanjian internasional yang berlaku

secara umum dan bersifat law making treaty. Substansi dari

konvensi biasanya terkait hal-hal yang bersifat multilateral40.

c. Protokol

Protokol merupakan suatu persetujuan yang sifatnya kurang

resmi dibandingkan treaty atau konvensi dan pada umumnya

tidak dibuat secara resmi oleh kepala-kepala negara.41

38
May Rudy T. OpCit hl.123
39
Damos Dumoli Agusman S.H,M.A Hukum Perjanjian Internasional (Kajian dan Teori Praktik di
Indonesia). Refika Aditama: Bandung 2010 hal.32
40
Ibid hlm.33
41
May Rudy T.OpCit hlm.124
d. Persetujuan

Persetujuan atau agreement adalah bentuk perjanjian

internasional yang subtansinya lebih kecil lingkupnya daripada


42
konvensi atau treaty dan bersifat bilateral pada umumnya. .

e. Arrangement

Arangement atau peraturan adalah bentuk lain dairi perjanjian

yang memuat hal-hal terkait implementasi secara teknis dari

suatu perjanjian yang telah ada43.

f. Statuta

Statuta adalah himpunan peraturan-peraturan yang dibentuk

berdasarkan persetujuan internasional mengenai pelaksanaan

fungsi-fungsi suatu entitas khusus dibawah pengawasan

internasional.44

g. Deklarasi

Deklarasi adalah dokumen yang tidak resmi yang dilampirkan

pada suatu traktat atau konvnsi yang memberi penafsiran ata

menjelaskan ketentuan-ketentuan traktat atau konvensi.45

h. Modus Vivendi

Modus Vivendi adalah suatu dokumen untuk mencatat

persetujuan nternasional yang bersifat temporer atau

42
Damos Dumoli Agusman S.H.M.A Op.Cit hlm.33
43
Ibid hl.33
44
May Rudy T.OpCit hlm.125
45
Ibid hlm.125
provisional yang dimaksudkan untuk diganti dengan

pengaturan yang sifatnya lebih permanen dan terinci.46

i. Pertukaran Nota aau Surat

Pertukaran nota atau surat yang dikenal juga dengan exchange

of notes or letter merupakan suatu perjanjian yang berupa

pertukaran penyampaian atau pemberitahuan resmi posisi

pemerintah masing-masing berdasarkan kesepakatan

bersama..47

2. Pembuatan dan Pemberlakuan Perjanjian Internasional

Seara umum, tahap-tahap pembuatan perjanjian internasional dibagi menjadi

tiga tahap yakni:

1) Perundingan

Kebutuhan negara akan hubungan dengan negara lain untuk membicarakan

dan memecahkan berbagai masalah yang timbul diantara negara-negara tu

akan menimbulkan kehenda-kehendak negara untuk mengadakan perundingan

yang dapat melahirkan suatu treaty.

2) Penandatanganan

Setelah berakhirnya perundingan tersebut, maka pada teks treaty yang telah

disetujui oleh wakil-wakil berkuasa penuh dibubuhkan tandatangan dibawah

treaty.

46
Ibid hlm.126
47
Damos Dumali Agusman SH.MA, OpCit hlm33
3) Ratifikasi

Ratifikasi adalah pengesahan atau penguatan terhadap perjanjian yang telah

ditandatangani. Ratifikasi dapat dilakukan oleh badan ekskutif, legislatif

maupun keduanya secara bersamaan.48

Namun sesuai dengan pasal 6 Undang-Undang no.24 tahun 2000

tentang Perjanjian Internasional, proses pembuatan perjanjian internasional

dapat dibagi atas beberapa tahapan proses yakni:49

1) Penjajagan

2) Perundingan

3) Perumusan naskah perjanjian

4) Penerimaan

5) Penandatanganan

Sedangkan pemberlakuan perjanjian internasional juga diatur dalam Undang-

Undang no.24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yakni:

1) Penandatanganan;

2) Pengesahan;

3) Pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik;

4) Cara-cara lain yang disepakati pihak dalam perjanjian internasional50

48
T.May Rudy OpCit.hlm.128
49
Pasal 6 Undang-Undang no.24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
50
Pasal 3 Undang-Undang no.24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasioal
3. Hal Berakhirnya Perjanjian Internasional

Beberapa hal yang mengakibatkan berakhirnya suatu perjanjian internasional

antara lain:

1) Karena telah tercapai tujuan perjanjian tersebut

2) Karena habis waktu berlakunya perjanjian tersebut

3) Karena punahnya salah satu pihak peserta perjanjian atau punahnya objek

perjanjian tersebut

4) Karena ada persetujuan dari para peserta untuk mengakhiri perjanjian

5) Karena diadakannya perjanjian antara para peserta kemudian yang

meniadakan perjanjian yang terdahulu

6) Karena dipenuhinya syarat tentang pengakhiran perjanjian sesuai dengan

ketentuan perjanjian

7) Diakhiri perjanjian secara sepihak oleh salah satu peserta dan diterimanya

pengakhiran itu oleh pihak lain.51

2.4.4 Sifat Perjanjian Internasional

1) Law Making treaties

Law making treaties artinya perjanjian internasional yang substansinya

merupakan kaidah hukum umum yang dapat diberlakukan secara universal

bagi anggota masyarakat internasional..52

51
T.May Rudy OpCit hlm.128
52
Ibid hlm.129
2) Treaty Contracts

Merupakan perjanjian yang hanya mengakibatkan hakhak dan kewajiban

diantara pihak yang mengadakan perjanjian. Hal-hal yang diatur dalam treaty

contracts adalah hal-hal yang hanya berlaku pada peserta perjanjian. Pihak

pihak yang belum menjadi peserta tidak boleh menjadi peserta kecuali isi

perjanjian tersebut diubah.53

53
Ibid hlm.129
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif. Penelitian yuridis

normatif adalah penelitian yang fokus pada kajian penerapan kaidah-kaidah atau

norma-norma dalam hukum positif.1 Penelitian ini menganalisa dan mengkaji apakah

Timor Leste merupakan successor state dari Indonesia dalam hal terjadinya suksesi

negara Indonesia-Timor Leste serta bagaimana konsekuensi hukum terhadap Timor

Leste atas perjanjian internasional yang pernah terjalin antara Indonesia dengan

negara lain setelah terjadinya suksesi.

B. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach).

Pendekatan perundang-undangan adalah pendekatan yang dilakukan dengan mengkaji

peraturan perundang-undangan yang terkait. Dalam kasus ini peraturan perundang-

undangan yang dikaji adalah Konvensi Wina 1978.

1
Johny Ibrahim. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Bayumedia. Malang;2005. Hlm
295
C. Jenis dan Sumber Bahan Hukum

a) Jenis Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah

a. Konvensi Wina 1978 tentang Akibat hukum suksesi negara terhadap perjanjian

internasional

b. Timor Gap Treaty

c. Project Loan Agreement between the Government of the Republic of Indonesia

and the Government of the United States of America for Timor Malaria Control

Project (AID Loan No.497-U-065, Project No.497-0326

b) Jenis Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan atau

bersifat menunjang terhadap bahan hukum primer dan data-data yang diperoleh

melalui bahan kepustakaan.2Jenis bahan hukum sekunder yang digunakan adalah

literatur-literatur, artikel dan jurnal ilmiah di internet serta skripsi atau penelitian

terdahulu mengenai kasus ini.

D. Teknik Penelusuran Bahan Hukum

Teknik yang digunakan penulis dalam penelitian ini digunakan dengan

cara melakukan studi kepustakaan serta mengakses internet. Studi

kepustakaan dilakukan dengan mengumpulkan bahan hukum yang terkait

dengan objek kajian permasalahan. Bahan hukum tersebut dapat berupa

2
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kncana Prenada MediaGroup, Jakarta, 2009, hlm.141
peraturan perundang-undangan, literature, jurnal, atau artikel, selanjutnya

bahan-bahan hukum tersebut membahas, menelaah dan menelusuri untuk

mencari jawaban dari rumusan masalah yang dikaji di penelitian ini.

E. Teknik Analisa Bahan Hukum

Teknik analisa yang digunakan adalah deskriptif kualitatif yang sesuai,

seperti uraian terhadap data yang terkumpul dengan tidak menggunakan

angka, tetapi berdasarkan peraturan perundang-undangan, pendapat para ahli,

literatur hukum, hasil-hasil penelitian, perjanjian internasional/ konvensi dan

sebagainya

3.6 Definisi Konseptual

1. Akibat Hukum

Akibat hukum adalah akibat suatu tindakan hukum yang dilakukan

untuk memperoleh suatu akibat yang dikehendaki oleh pelaku dan

yang diatur oleh hukum..3

2. Suksesi

Penggantian (terutama di lingkungan pimpinan tertinggi negara)

karena pewarisan, proses pergantian kepemimpinan sesuai dengan

peraturan yang berlaku.4

3
Soeroso, R., SH., Pengantar Ilmu Hukum. Bumi Aksara. Jakarta: 2011. hlm 295
4
Kamus Besar Bahasa Indonesia
3. Perjanjian Internasional

Perjanjian internasional adalah perjanjian yang dibuat ntara anggota

masyarakat bangsa-bangsa yang bertujuan untuk menimbulkan akibat

hukum tertentu.
BAB IV

PEMBAHASAN

A. Apakah Timor Leste merupakan successor state dari Indonesia

1. Definisi Successor Secara Umum

Sebelum menganalisa lebih lanjut mengenai definisi successor, ada

baiknya mengingat dahulu bahwa istilah suksesi tidak hanya dipakai

dalam hukum internasional. Dalam konteks bisnis dan manejemen,

Dunemann & Barrett (2004) mendefinisikan suksesi sebagai peralihan

manajemen atau pengendalian bisnis. Dunemann & Barrett (2004)

membagi suksesi menjadi dua, yaitu suksesi kepemilikan dan suksesi

manajemen. Suksesi kepemilikan berkaitan dengan siapa yang akan

memiliki perusahaan, kapan dan bagaimana suksesi dilaksanakan. Suksesi

manajemen berkaitan dengan siapa yang akan menjalankan bisnis,

perubahan apa yang akan terjadi, kapan merekabertanggungjawab

terhadap hasil dan bagaimana hasil tersebut direalisasikan. 1 Hukum

perdata juga mengenal suksesi yang diartikan sebagai penggantian subjek

hukum oleh subjek hukum lain. Namun dalam hukum perdata, istilah

1
PENGEMBANGAN MODEL KONSEPTUAL TENTANG KETERKAITANSUKSESI PADA PERUSAHAAN KELUARGA
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=388986&val=8569&title=PENGEMBANGAN%20MODEL%2
0KONSEPTUAL%20TENTANG%20KETERKAITAN%20PARA%20PELAKU%20%20DENGAN%20KELUASAN%20%20PER
ENCANAAN%20SUKSESI%20PADA%20PERUSAHAAN%20KELUARGA tanggal akses 9 April 2017
suksesi lebih merujuk pada waris. Mengingat hal ini, tentu saja

penggunaan successor luas maknanya karena banyak digunakan di

beberapa konteks suksesi, yang sebenarnya pada intinya adalah sama

yakni perpindahan atau pergantian hak dan kewajiban

Successor sendiri merupakan kata yang diambil dari bahasa Inggris

dan dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai pengganti. Masih dalam

bahasa Inggris, istilah ini diartikan sebagai one who succeeds or follows;

one who takes the place which another has left, and sustains the like part

or character; -- correlative to predecessor; as, the successor of a

deceased king atau seseorang yang mengambil alih suatu peran atau

bagian2. Istilah ini banyak digunakan untuk menunjuk obyek dalam suatu

perusahaan atau organisasi, yang mewarisi atau menggantikan suatu posisi

atau jabatan seseorang. Istilah ini juga dapat diartikan sebagai orang atau

badan yang menurut hukum menjadi penerus yang legal dari seseorang

atau badan yang sudah ada sebelumnya, dalam hal orang pribadi misalnya

ahli waris, dan dalam hal badan, misalnya perusahaan yang mengakuisisi

perusahaan sebelumnya.3Merajuk pada definisi-definisi tersebut, istilah

successor dominan dengan istilah pengganti atau penerus. Dalam hal

menggunakan kata pengganti atau penerus, maka hak dan kewajiban dari

2
Arti, definisi, pengertian successor, http://www.bahasaindonesia.net/successor, tanggal akses : 09
April, 2017.
3
Successors in title-and assigns,
http://www.proz.com/kudoz/english_to_indonesian/law_contracts/4124198-
successors_in_title_and_assigns.html tanggal akses 09 April 2017
pihak sebelumnya secara penuh berpindah kepada successor. Contohnya

dalam kasus suksesi hukum perdata yakni waris. Ahli waris secara penuh

berhak atas harta warisan dengan segala kewajibannya, setelah pewaris

meninggal. Hal ini berarti, tidak ada hak dan kewajiban yang tersisa bagi

pewaris. Contoh selanjutnya dalam kasus suksesi kepemimpinan di suatu

perusahaan. Pergantian manajemen atau kepemimpinan dalam perusahaan

tidak mungkin menyisakan hak dan kewajiban bagi pihak sebelumnya,

atau disebut predecessor, karena satu jabatan tidak mungkin hak dan

kewajibannya dirangkap oleh dua subyek sekaligus maka dari itu

selanjutnya harus terdapat prosesi peralihan hak dan kewajiban secara

penuh yang biasa disebut dengan transisi. Dari contoh-contoh serta

definisi-definisi tersebut dapat menjelaskan bahwa secara umum,

successor diartikan sebagai subyek atau pihak yang meneruskan atau

menggantikan suatu hak dan kewajiban yang beralih secara penuh karena

adanya suksesi.

2. Kajian Histori Successo State dalam Hukum Internasional

Sebelum hukum internasional mengenal teori suksesi yang mengenal

suksesi universal dan suksesi parsial, teori suksesi pertama yang dikenal

pada era hukum Roman adalah suksesi universal saja. Teori suksesi

universal ini menganggap bahwa keberadaan sebuah negara adalah abadi,

jadi apapun perubahan yang terjadi dalam suatu pemerintahan tidak akan

mengubah hal apapun dalam negara itu termasuk hak dan kewajiban yang
tidak akan dialihkan kepada successor state atau dianggap hilang. Adanya

teori ini secara tidak langsung bertujuan untuk melindungi hak dan

kewajiban yang ada tanpa memperhatikan status atau identitas dari suatu

negara dalam lingkup hukum internasional yang masih primitif pada saat

itu. Menurut teori ini pula, kedaulatan negara adalah sama dengan

kedaulatan individu dalam hal hak dan kewajibannya, artinya bersifat

alami, tidak ada yang mengatur sehingga tidak bisa diganggu gugat.

Dalam pemahaman teori ini, konsep suksesi masih sebatas pemindahan

kedaulatan antar pemerintahan dalam suatu negara, tidak ada peralihan

hak dan kewajiban sehingga menurut penulis, meskipun pada teori ini

sudah mengenal successor state , namun tidak dapat dikatakan successor

state sepanjang tidak ada hak dan kewajiban yang beralih bahkan dapat

dikatakan hilang ketika perubahan dalam suatu pemerintahan itu terjadi.

Successor state masih sebatas mewarisi kedaulatan yang dianggap sebagai

pemberian Tuhan.

Seiring dengan berjalannya waktu, teori hukum internasional semakin

rumit dan teori mengenai suksesi sendiri juga perlu mengalami banyak

perubahan karena dalam praktiknya yang terjadi tidak sesederhana itu.

Teori bahwa kedaulatan bersifat alami dari Tuhan tidak bisa lagi berlaku

karena teori ini menciptakan kesulitan dalam membedakan definisi antara

pengertian successor state dengan negara yang mengalami perubahan

internal dalam pemerintahannya. Akibatnya, banyak negara-negara baru

yang muncul namun yang baru hanya pemerintahan internalnya saja tetapi
status dan implikasi hukumnya dalam hukum internasional tidak

mengalami perubahan apa-apa, pun tidak ada konsekuensi hukum yang

terjadi karena hak dan kewajibannya secara otomatis hilang, hanya

kedaulatan saja yang berpindah. Akhirnya muncul teori suksesi yang baru

yakni suksesi parsial. Perbedaan signifikan antara teori suksesi universal

dengan suksesi parsial adalah pada prinsipnya, suksesi parsial tidak

menganggap bahwa segala hal mengenai personalitas suatu negara,

mencakup hak dan kewajibannya, tidak secara otomatis hilang ketika

terjadi suksesi atau perubahan. Suksesi parsial menganggap bahwa jika

terjadi suksesi maka successor state mendapatkan hak dan kewajiban dari

predecessor state.

Dari kedua teori awal mengenai suksesi negara yang dijelaskan diatas

diatas, successor state pada masa awal muncul sebagai negara yang hanya

melanjutkan kedaulatan sebuah negara tanpa mewarisi hak dan

kewajibannya. Namun konsep awal yang muncul dari teori suksesi

universal tersebut dianggap tidak dapat mewakili peran successor state

dalam suksesi negara seutuhnya karena suksesi negara yang terjadi

dianggap sebatas perubahan internal saja. Setelah teori hukum

internasional berkembang, successor state lalu dianggap dapat mewairis

hak dan kewajiban negara sebelumnya, terlepas dari apapun bentuk

suksesi yang terjadi dan konsep mengenai successor state itu berlaku

dalam praktik hingga saat ini.


3. Definisi Successor State dalam Hukum Internasional

Sebuah pengertian sederhana namun cukup mewakili definisi dari

successor state adalah negara yang menggantikan kedaulatan suatu daerah

dan masyarakat yang sebelumnya dibawah kedaulatan negara lain.

Definisi ini membawa beberapa implikasi. Pertama, successor state tidak

perlu harus berupa negara yang benar-benar baru yang terbentuk karena

aneksasi atau penaklukan Negara, atau bagian dari suatu negara bisa

menggantikan kedaulatan suatu negara yang sudah ada. Kedua, hilangnya

kedaulatan terhadap suatu wilayah tidak membuat kedaulatan dari

successor state itu sendiri terhadap lahan yang tersisa, artinya kedaulatan

tersebut tidak hanya mengenai daerah saja. Ketiga, suatu negara bukanlah

successor state hanya karena pemerintahannya berubah. Keempat, namun

suatu perubahan dalam pemerintahan bisa menciptakan successor state.

Fakta-fakta diatas ini tampak kontradiktif dan bertentangan dengan

beberapa deklarasi.4

Secara umum, hukum internasional mengenal istilah successor state

untuk merujuk pada negara yang melakukan suksesi sebagai pihak yang

mengganti atau disebut negara pengganti atau negara baru. Namun,

pengaplikasian istilah successor state yang merata pada seluruh kasus

suksesi negara yang terjadi, jika dilihat dari definisi successor pada

umumnya, kurang tepat mengingat tidak semua suksesi negara yang

4
1985, Rights and Obligations of Successor States: AnAlternative Theory,Alfred R. Cowger Jr.
terjadi menghendaki negara baru atau negara pengganti untuk secara

otomatis mewarisi hak dan kewajiban predecessor state secara penuh

seperti successor pada umumnya karena bentuk dari suksesi negara sendiri

tidak selalu sama dan akibat hukumnya terhadap hak dan kewajiban yang

ada pun juga tidak sama.

Menurut J.G Starke, suksesi negara dapat terjadi dalam berbagai bentuk,

misalnya:

1. Sebagian wilayah negara A bergabung dengan negara B, atau dibagi

menjadi negara B,C,D dan seterusnya.

2. Sebagian wilayah negara A menjadi negara baru

3. Seluruh wilayah negara A menyatu dengan negara B, dan negara A

tidak eksis lagi

4. Seluruh wilayah A terbagi-bagi dan masing-masing menyatu dengan

negara A,B,C dan seterusnya dan negara A tidak eksis lagi.

5. Seluruh wilayah A terbagi-bagi menjadi negara-negara baru dan

negara A tidak eksis lagi.

6. Selurh wilayah negara A menjadi bagian dari suatu negara baru dan

negara A tidak eksis lagi

Berdasarkan teori tersebut, tidak satupun dari suksesi diatas berakibat

lenyapnya unsur-unsur konstitutif negara seperti penduduk, wilayah dan

pemerintah. Yang terjadi adalah semacam reogransasi dari masing-masing


entitas sesuai dengan pengaturan yang baru. Dapat dikatakan bahwa mutasi-

mutasi tersebut pada umumnya terjadi dalam konteks politik yang sangat

kompleks. Dari segi hukum yang penting untuk diketahui adalah sampai

dimana jahnya negara pengganti mewarisi hak-hak dan kewajiban dari negara

yang diganti. Mengenai masaah ini, jawaban yang ada pada umumnya hanya

bersifat prinsip dan tidak ada praktek yang berlaku secara umumu. Baik

prinsip yang menolak semua ikatan sebelumnya, yang didukung oleh negara-

negara yang baru lahir maupun prinsip kontinuitas absolute yaitu pemindahan

secara menyeluruh kewajiban-kewajiban negara sebelumnya, belum berlaku

secara umum.Masalah-masalah suksesi dalam banyak hal dilakukan melalui

pengaturan-pengaturan khusus antara negara pengganti atau dengan negara

lain yang berkepentingan.5 Artinya peralihan hak dan kewajibannya pun tidak

serta merta sama dan secara penuh beralih seperti suksesi pada umumnya

kecuali jika negara tersebut menganut teori common doctrine dimana ketika

suatu negara hilang, maka hak dan kewajiban negara tersebut otomatis lenyap

dan beralih ke negara yang baru. Selain itu, contoh penggunaan istilah

successor state sesuai dengan definisi umumnya memang banyak ditemukan

di kasus suksesi negara universal dimana seluruh bagian dari suatu negara

lenyap atau terpecah menjadi beberapa negara. Contohnya adalah suksesi

negara Uni Soviet.

5
Boer Mauna, Hukum INternasional: Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global,
Alumni: Bandung, September 2000. Hlm.29
Suksesi negara Uni Soviet merupakan kasus perpecahan negara

menjadi beberapa negara bagian. Awalnya, Uni Soviet merupakan negara

federasi dari beberapa republik. Namun seiring berjalannya waktu, banyak

terjadi pergolakan, revolusi serta krisis-krisis yang terjadi hingga

menyebabkan negara federasi ini membubarkan diri pada tanggal 26

Desember 1991. Uni Soviet akhirnya terpecah menjadi beberapa negara

bagian yakni Rusia, Georgia, Armenia, Azerbaijan, Belarusia, Kazakhstan,

Kyrgysztan, Moldova, Latvia, Lithuania, Tajikistan, Ukraina, Turkmenistan,

Ukraina dan Uzbekistan. Diantara negara-negara pecahan tersebut, Rusia

memang mendominasi dari segala aspek. Secara geografis, wilayah Rusia juga

paling luas saat masih menjadi bagian dari Uni Soviet. Setelah Uni Soviet

terpecah, Rusia juga aktif menggandeng negara-negara bekas Uni Soviet

lainnya untuk tergabung dalam organisasi atau persekutuan seperti

Commonwealth of Independent States (CIS), Collective Security Treaty

Organization (CSTO), Eurasian Economic Community (EurAsec), dan

Shanghai Cooperation Organization (SCO). Persekutuan-persekutuan

tersebut dibuat atas inisiatif Rusia dengan tujuan untuk mempertahankan dan

menyatukan potensi-potensi yang ada di masing-masing negara pecahan Uni

Soviet. Selain itu, Rusia juga membentuk sebuah federasi baru yang

menyatukan republik-republik bekas Uni Soviet lainnya dan menjadi suatu

federasi yang mewarisi hak Uni Soviet.


Perpecahan Uni Soviet dinilai menjadi salah satu kasus yang

signifikan dalam aspek suksesi negara karena kompleksitas akibat hukumnya.

Definisi suksesi negara setelah kasus ini dinilai lebih dari pergantian negara

atau pergantian kedaulatan. Dalam kasus perpecahan Uni Soviet ternyata tidak

semua negara diberikan peralihan secara penuh dalam akibat hukum tertentu.

Terkait kekayaan negara, seluruh bekas negara Uni Soviet beralih, utamanya

lewat persekutuan atau organisasi maupun federasi baru yang diprakarsai

Rusia. Namun lain halnya terkait dengan keanggotaan dalam PBB, Uni Soviet

secara resmi menunjuk Rusia sebagai penerusnya. Kompleksitas akibat

hukum ini berujung pada kompleksitas penggunaan istilah successor state.

Jika merujuk pada definisi successor secara umum, memang hanya Rusia

yang dapat disebut dengan successor state karena peralihan hak dan

kewajiban Uni Soviet diserahkan kepada Rusia bila dilihat dari penerus

keanggotaan Uni Soviet dalam PBB.

Jika perpecahan Uni Soviet merupakan suksesi negara universal yang

melahirkan successor yakni Russia, lain halnya dengan suksesi negara di

Yugoslavia. Awalnya, Yugoslavia merupakan bentuk negara federasi yang

terdiri dari enam republik yakni Slovenia, Bosnia, Serbia, Macedonia, Kroasia

dan Montenegro. Perpecahan Yugsolavia dimulai oleh negara Slovenia yang

memisahkan diri dengan menggelar referendum untuk membentuk negara

baru pada bulan Desember 1990. Tindakan yang sama dilakukan pula oleh

Kroasia pada tahun 1991. Hal inilah yang kemudian memicu perang dan
perpecahan-perpecahan selanjutnya di Yugoslavia. Negara-negara yang masih

menjadi bagian dari Yugoslavia pada saat itu, banyak melakukan invasi

terhadap negara-negara yang memisahkan diri dari Yugoslavia sebagai bentuk

perlawanan yang berujung pada perang yang didominasi oleh konflik etnis

dan agama. Pada tahun yang sama, Macedonia juga menyusul untuk

memisahkan diri dari Yugoslavia dan kemudian Bosnia juga melakukan hal

yang sama pada tahun 1992, pemisahan diri Bosnia ini pula yang memicu

terjadinya konflik yang lebih hebat lagi. Hingga akhirnya, tersisa dua negara

saja di Yugoslavia yakni Montenegro dan Serbia yang kemudian

memproklamasikan nama baru mereka menjadi Republik Federal Yugoslavia

pada tahun 1992. Namun setelah itu, banyak terjadi konflik-konflik dan

p;emberontakan yang dilatarbelakangi oleh isu etnis. Hingga akhirnya pada

tahun 2003, Yugoslavia mengganti namanya menjadi negara Serbia dan

Montenegro sebelum akhirnya keduanya mengakhiri persatuan negara mereka

dengan saling memisahkan diri dan masing-masing membentuk negara baru

yang merdeka pada tahun 2006. Kasus suksesi negara Yugoslavia ini memang

lebih kompleks daripada Yugoslavia. Kembali mengacu kepada definisi

successor state sebagai negara yang mewarisi hak dan kewajiban secara

penuh, tidak ada satupun bekas negara dari Yugoslavia yang masuk dalam

kategori tersebut sehingga dapat dikatakan sebagai successor state. Karena

pada akhirnya, semua negara bekas Yugoslavia membuat suatu perjanjian

khusus yang berisi ketentuan peralihan hak dan kewajiban termasuk peralihan

aset-aset seperti properti, arsip, aset keuangan dan perjanjian. Dalam


perjanjian tersebut dinyatakan pembagian hak dan kewajiban serta aset-aset

bekas Yugoslavia terhadap setiap negara bekas Yugoslavia. Hal ini berarti,

tidak ada satupun negara bekas Yugoslavia yang mewarisi secara penuh,

bahkan Serbia dan Montenegro yang sebelumnya menggantikan pun tetap

termasuk dalam pihak-pihak perjanjian tersebut. Sehingga jika mengacu

kepada definisi, successor state, tidak ada negara yang dialihkan secara penuh

seperti dalam hal menggantikan keanggotaan Yugoslavia dalam organisasi

internasional seperti yang dilakukan Rusia terhadap Uni Soviet.

Contoh lainnya adalah dari bentuk suksesi parsial, yakni suksesi yang

terjadi di sebagian wilayah suatu negara seperti kasus pemisahan Timor Leste

dari Indonesia. Pada suksesi bentuk ini, definisi successor state akan lebih

sempit lagi karena dalam pergantian kedaulatan di Timor Timur yang

memisahkan diri dari Indonesia menjadi negara Timor Leste, tidak ada hak

dan kewajiban Indonesia yang beralih secara penuh kepada Timor Leste.

Implikasi hukum yang terjadi, beberapa hak dan kewajiban yang beralih

hanyalah hal-hal yang berhubungan atau berkepentingan dengan Timor Leste.

Oleh karena itu, predikat successor state jika merujuk pada definisi successor

secara umum, tidak dapat disematkan pada Timor Leste dalam kasus suksesi

negara bentuk parsial ini.

4. Alternatif Penggunaan Kata Bagi Timor Leste dalam Suksesi

Negara
Luasnya makna successor state yang membuat kata tersebut tidak bisa

fleksibel digunakan di jenis-jenis suksesi negara tertentu mengakibatkan

urgensi untuk mempersempit makna successor state itu sendiri. Dalam

konvensi-konvensi seperti konvensi Wina 1978, kata yang digunakan

untuk merujuk negara baru atau negara pengganti memang hanya

successor state namun jika dalam penggunaan Bahasa Indonesia, kata-kata

tersebut akan menjadi luas karena ada pengartiannya banyak. Makna

successor secara umum dengan makna successor dalam suksesi negara

memang ternyata berbeda karena meski artinya sama-sama yakni

pengganti atau penerus namun dalam suksesi negara tertentu, tidak semua

hak dan kewajiban beralih bahkan ada yang tidak mendapat peralihan hak

dan kewajiban sama sekali seperti successor pada umumnya.

Penggunaan kata negara baru atau negara pengganti dirasa lebih tepat

untuk menghindari perancuan makna dengan successor pada umumnya.

Dalam kasus suksesi negara universal, kata successor state jika merujuk

pada definisi secara umum, dapat digunakan jika negara tersebut

menganut prinsip common doctrine yakni prinsip dimana hak dan

kewajiban negara lama atau predecessor state secara otomatis beralih

tetapi kata negara pengganti akan juga tepat digunakan sebagai alternatif.

Sedangkan dalam kasus suksesi negara parsial, seperti Timor Leste, kata

successor state tidak tepat digunakan karena Indonesia tidak sepenuhnya

mengalihkan hak dan kewajibannya ketika Timor Leste memutuskan

untuk membentuk negara baru oleh karena itu Timro Leste bukanlah
successor state dari Indonesia melainkan negara baru yang pecah atau

berpisah dari Indonesia. Oleh karena itu penggunaan kata negara baru

dirasa lebih tepat dalam membahas atau mengkaji suksesi negara dalam

kasus demikian.

Atas kesimpulan tersebut dapat dikatakan bahwa tidak semua suksesi

negara yang terjadi melahirkan dua subjek sekaligus yang selama ini

dikenal. Sebuah successor state pada prinsipnya harus merupakan negara

yang diwariskan hak dan kewajiban secara penuh sedangkan pada kasus-

kasus tertentu seperti Timor Leste, tidak ada peralihan hak dan kewajiban

karena Timor Leste memisahkan diri dari negara yang notabene masih

memiliki kedaulatan dan yurisdiksi sehingga kedaulatan dan yurisdiksi

tersebut hanya beralih sebagian, tidak seluruhnya. Sebutan successor state

dapat muncul di suksesi negara universal yang biasanya menyebabkan

hilangnya negara lama atau predecessor state sehingga kedaulatan dan

yurisdiksinya, termasuk didalamnya hak dan kewajiban juga beralih ke

negara baru selanjutnya, kecuali jika negara baru tersebut menganut teori

clean state dimana hak dan kewajiban dari negara otomatis hilang tanpa

perjanjian khusus sebelumnya

B. Konsekuensi Hukum Terhadap Timor Leste Atas Perjanjian

Internasional antara Indonesia dengan Negara Lain Setelah Terjadinya

Suksesi.
1. Status Hukum Perjanjian Internasional Setelah Terjadinya

Suksesi Negara Berdasarkan Konvensi Wina 1978

a. Status Hukum Perjanjian Internasional Bagi Negara Baru

Merdeka

Hukum internasional sangat mengistimewakan keberadaan

negara baru merdeka, terutama pada perkembangan hukum

internasional, banyak negara-negara yang pecah dan membentuk

negara baru, ataupun negara baru yang terbentuk karena telah lepas

dari wilayah penjajahan. Negar-negara baru ini dibuktikan

keistimewaannya dalam Konvensi Wina 1978. Banyak hak yang diatur

secara tegas dan detail di beberapa pasal di Konvensi Wina 1978

antara lain:

 Kebebasan Untuk Tidak Terikat Pada Perjanjian

Internasional yang Masih Berlaku

Dalam pasal 16 Konvensi Wina 1978 disebutkan bahwa:

A newly independent state is not bound to maintain in


force,or to become a party to, any treaty by reason only
of the fact that at the date of the succession of states the
treaty was in force in respect of the territory to which the
succession of states relates.6

6
Pasal 16 Konvensi Wina 1978
Ketentuan ini sudah jelas menerangkan bahwa negara baru

merdeka dijamin kebabasannya untuk tidak terikat pada perjanjian

meskipun perjanjian tersebut masih berlaku pada saat suksesi negara

tersebut terjadi. Adanya pasal ini sebenarnya berkaitan dengan adanya

teori clean state yakni suatu negara baru merdeka akan dianggap

negara baru lahir dengan lembaran baru sehingga bebas dari segala

bentuk hak dan kewajiban di periode sebelum suksesi terjadi, termasuk

dalam hal perjanjian internasional. Tetapi baik pasal 16 maupun

prinsip clean state ini tidak bisa sepenuhnya berlaku terhadap

perjanjian internasional mengenai batas wilayah dan perjanjian

multilateral.

 Hak Untuk Mengubah Reservasi dalam Perjanjian

Internasional

Pada dasarnya, dalam pembuatan suatu perjanjian

internasional, negra memiliki hak untuk membuat pernyataan sepihak

mengenai pengecualian dalam ketentuan-ketentuan yang ada dalam

perjanjian tersebut. Hal ini diatur dalam Konvensi Wina 1969.

Ketentuan ini dipertegas lagi bagi negara baru merdeka setelah

terjadinya suksesi negara. Dalam pasal 20 ayat (1) Konvensi Wina

1978, dinyatakan bahwa suatu negara baru merdeka bisa mengubah

reservasi dalam perjanjian internasional multilateral yang sebelumnya

dibuat oleh predecessor state jika negara baru tersebut menghendaki


untuk memberlakukan perjanjian multilateral tersebut melalui sebuah

surat pernyataan.

Selain mengubah reservasi dalam perjanjian multilateral,

negara baru merdeka juga memiliki hak untuk terikat pada sebagian isi

perjanjian bahkan mengubah peretujuan dalam perjanjian tersebut. Hal

ini diatur dalam pasal 21 Konvensi Wina 1978 dengan catatan harus

memenuhi beberapa ketentuan antara lain hak tersebut harus sudah

disetujui oleh perjanjian yang bersangkutan

b. Status Hukum Perjanjian Internasional Bagi Negara Suksesi

Parsial

Berdasarkan pasal 15 Konvensi Wina 1978, suksesi negara

parsial diartikan sebagai succession in respect of part of territory.

Definisi dalam pasal tersebut adalah sebagai berikut:

Succession in respect of part of territory is when any part of


the territory of a state, or when any territory for the
international relations of which any state is responsible, not
being part of the territory of another state7

Suksesi negara parsial bisa berupa suatu wilayah yang bergabung

dengan negara lain maupun wilayah suatu negara yang memisahkan diri dan

7
Pasal 15 Konvensi Wina 1978
membentuk negara baru. Status hukumnya diatur dalam pasal 15 (a) dan (b)

yakni:

(a) Treaties of the predecessors state cease to be in force form


the date of the succession of states
(b) Treaties of the successor state are in force in respect of the
territory to which the succession of states relates from the date
of the succession of states, unless it appears from the treaty or
is otherwise established that the application of the treaty to
that territory would be incompatible with the object and
purpose of the treaty or would radically change the conditions
for its operation.8

Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa perjanjian internasional yang

dibuat oleh predecessor state tidak akan berlaku setelah suksesi negara terjadi.

Namun, perjanjian internasional yang berkaitan dengan wilayah dari negara

baru akan tetap berlaku sejak dilakukannya suksesi negara itu sendiri kecuali

bila ditentukan dalam perjanjian lain atau jika ditetapkan bahwa peralihan

perjanjian wilayah tersebut tidak sesuai dengan kondisi dan tujuan awal dari

perjanjian.

2. Teori-Teori Mengenai Peralihan Hak dan Kewajiban dalam

Suksesi Negara

a. Teori Common Doctrine

8
Pasal 15 (a) dan (b) Konvensi Wina 1978
Teori common doctrine biasanya dapat diterapkan di suksesi negara

universal karena berdasarkan teori ini, hak dan kewajiban negara

predecessor akan lenyap dan sepenuhnya beralih kepada negara baru yang

menggantikan. Meski begitu, dalam praktiknya tidak semua hak dan

kewajiban beralih karena biasanya ada perjanjian tertentu antara negara

pengganti atau negara baru dengan negara yang diganti.9

b.Teori Clean State

Berdasarkan teori ini, negara yang baru melakukan suksesi negara

akan dianggap sebagai negara yang baru lahir dengan hak dan kewajiban

yang baru pula. Artinya, tidak ada hak dan kewajiban yang beralih dari

negara lama ke negara baru karena akan secara otomatis hilang atau tidak

berlaku lagi dengan sendirinya. Teori clean state ini mirip dengan teori

awal mengenai suksesi negara yang berkembang di era hukum Roman

yang dikenal dengan teori suksesi universal dimana hak dan kewajiban

negara lama tidak beralih atau hilang ketika muncul negara baru.10

3. Ketentuan Konvensi Wina 1978 Mengenai Peralihan Perjanjian

Internasional dalam Suksesi Negara

a. Ketentuan Mengenai Perjanjian yang Dapat Beralih

(Perjanjian Perbatasan Wilayah & Perjanjian Multilateral)

9
fl.unud.ac.id/block-book/HI/.../SUKSESI%20NEGARA.doc diakses pada tanggal 20 Mei 2017
10
fl.unud.ac.id/block-book/HI/.../SUKSESI%20NEGARA.doc diakses pada tanggal 20 Mei 2017
Ketentuan mengenai perjanjian perbatasan wilayah secara khusus

diatur dalam pasal 11 dan pasal 12 Konvensi Wina 1978. Perjanjian

mengenai batas wilayah suatu negara tentu menjadi hal yang vital dalam

hal terjadinya suksesi negara apalagi bersinggungan dengan pihak ketiga

yakni pihak negara tetangga yang berbatasan. Namun, perjanjian

perbatasan wilayah ternyata secara mutlak beralih ke negara baru. Artinya,

terjadinya suksesi negara pun tidak akan mempengaruhi apapun bagi

perjanjian perbatasan wilayah. Hal itu secara jelas tertulis dalam pasal 11

Konvensi Wina 1978 yang berbunyi:

A succession of states doesn’t such affect:


(a) a boundary established by a treaty; or
(b) obligations and rights established by a treaty and relating to the
regime of boundary11

Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa suksesi negara tidak

mempengaruhi perjanjian perbatasan wilayah bersama dengan hak dan

kewajiban dari perjanjian tersebut. JG Starke juga menjelaskan bahwa

selain suksesi negara tidak memberi pengaruh apapun bagi perjanjian

perbatasan wilayah, namun kecuali bagi perjanjian dalam hal pengadaan

pangkalan basis militer di perbatasan wilayah tersebut. Predecessor state

tidak dapat mengklaim atau membuat perjanjian tersebut berlaku pula bagi

negara baru. Sama halnya dengan perjanjian perbatasan wilayah,

perjanjian multilateral juga tidak berpengaruh oleh terjadinya suatu


11
Pasal 11 Konvensi Wina 1978
suksesi negara. Perjanjian-perjanjian multilateral tersebut dapat meliputi

perjanjian yang berkaitan dengan kesehatan, narkotika maupun hak-hak

asasi manusia.

b. Ketentuan Mengenai Perjanjian Peralihan

a) Devolution Agreement

Devolution agreement diartikan sebagai perjanjian penyerahan

kedaulatan yang memuat kesepakatan antara predecessor state dan negara

baru mengenai perjanjian-perjanjian apa saja yang masih diberlakukan

untuk successo state sehingga pealihan hak dan kewajibannya menjadi

jelas. Meski telah jelas peralihan perjanjiannya namun perjanjian-

perjanjian tesebut tidak dapat mengikat negara pihak ketiga terutama

terkait dengan perjanjian perbatasan. Hal ini sesuai dengan salah satu

prinsip hukum internasional yakni pacta tertiis nec nocent nec prosunt12

dan ditegaskan pula dalam pasal 34 Konvensi Wina 1969 yang berbunyi a

treaty doesn’t create either obligations or rights for a third state without

its consent. 13

Ketentuan mengenai devolution agreement diatur dalam pasal 8

Konvensi Wina 1978 yakni:

1.The obligations or rights of a predecessor state under treaties in


force in respect of a territory at the date of a successor of states do not
become the obligation or rights of the successor stae toward other
states parties to those treaties by reason only of the fact that the

12
Hak dan kewajiban dalam suatu perjanjian tidak mengikat pihak ketiga
13
Pasal 34 Konvensi Wina 1978
successor state have concluded an agreement providing that such
obligations or rights shall devolve upon the successor state.
2. Notwithstanding the conclusion of such an agreement, the effects of
a succession of states on treaties at the date of that succession of
states, were in force in respect of the territory in questions are
governed by the present Convention. 14

Dalam konvensi tersebut secara jelas dinyatakan bahwa hak dan

kewajiban dalam suatu perjanjian internasional tidak secara otomatis

beralih ke negara baru kecuali jika pihak-pihak terkait membuat suatu

perjanjian yang merupakan kesepakatan antara pihak-pihak tersebut

yang tidak lain adalah devolution agreement itu sendiri. Atas hal

tersebut, baik predecessor state maupun negara baru terikat secara

hukum dengan devolution agreement

b) Unilateral Declaration.

Unilateral declaration daartikan sebagai deklarasi atau pernyataan

sepihak dari negara baru tentang sejauh mana negara baru terikat dalam

perjanjian - perjanjian internasional yang sebelumnya dibuat oleh

predecessor state. Dari segi pihak yang terlibat, unilateral declaration ini

memang berbeda dengan devolution agreement . Namun, akibat hukum

yang ditimbulkan sama dengan akibat hukum yang ditimbulkan oleh

devolution agreement.

Unilateral declaration sendiri diatur dalam pasal 9 Konvensi Wina

1978 yakni:
14
Pasal 8 Konvensi Wina 1978
1. Obligations or rights under treaties in force in respect of a territory
at the date of a succession of states do not becme the obligations or
rights of successor state or of other state parties to those treaties by
reason only the fact that successor state has made an unilateral
declaration providing of the continuance in force of the treaties in
respect of its territory.
2. In such a case, the effects of the succession of states on treaties
which, at the date of that succession of states, were in force in respect
of the territory in question are governed by the present Convention.15

Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa hak dan kewajiban dari

sebuah perjanjian internasional yang terkait dengan batas wilayah tidak

akan menjadi wewenang negara baru atau negara pihak ketiga dari

perjanjian tersebut kecuali jika ada deklarasi, yang disebut unilateral

declaration yang menyatakan bahwa perjanjian batas wilayah yang

menyangkut negara baru tersebut masih berlaku atau berlanjut bagi negara

baru.

4. Studi Kasus Akibat Hukum Suksesi Negara Timor Leste

Terhadap Perjanjian Internasional antara Indonesia dengan

Negara Lain

a. Perjanjian Internasional yang tidak mengikat Timor Leste

Jika dikatakan bahwa negara baru tidak terikat dengan perjanjian-

perjanjian yang dibuat oleh predeccessor state maka sebaiknya doktrin

suksesi negara tersebut harus dimufakatkan dengan hukum perjanjian. Selain

itu, perlu juga diteliti sampai sejauh manakah perjanjian-perjanjian yang

15
Pasal 9 Konvensi Wina 1978
beralih kepada negara baru dan perjanjian-perjanjian mana yang tidak beralih

kepada negara baru. Dalam teori yang diungkapkan oleh Wilkinson, terdapat

perbedaan antar perjanjian yang tidak beralih dan perjanjian yang beralih.

Perjanjian yang tidak beralih yaitu meliputi perjanjian-perjanjian yang bersifat

politis, seperti perjanjian persekutuan, perjanjian jaminan dan perjanjian-

perjanjian yang menyatakan suatu kebijaksanaan internasional yang bersifat

pribadi yang diadakan oleh negara guna perlindungan, keamanan dan

eksistensi negara itu sendiri. Pada pendapat tersebut, ketentuan perjanjian

yang tidak beralih dalam bagian “treaties which express a particular personal

international policy” atau lebih dikenal dengan perjanjian-perjanjian personal,

berlaku suatu prinsip bahwa negara baru atau negara baru memulai hidupnya

dengan lembaran bersih. Di dalam masalah kewajiban-kewajiban perjanjian

dalam rangka suksesi negara, prinsip ini dikenal dengan doktrin clean state.

Sehubungan dengan doktrin tersebut, muncullah suatu ketentuan mengenai

non devolution terhadap perjanjian internasional yang artinya

perjanjian0oerjanjian itu tidak beralih ke negara pengganti. Oleh karena itu

sebenarnya terdapat kesamaan arti antara doktrin clean state dengan ketentuan

umum mengenai non devolution terhadap perjanjian-perjanjian

internasional.16

Berdasarkan teori hukum internasional tradisional. perjanjian internasional

dibagi menjadi dua bagian, yang pertama adalah personal treaties dan

16
Budi Lazuarusli SH,Syahmin A.K SH Suksesi Negara; Dalam Hubungannya dengan Perjanjian
Internasional. Remadja Karya: Bandung, 1986
perjanjian dispositive. Klasifikasi perjanjian internasional juga dituangkan di

Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional berdasarkan sifat

pelaksaannya yakni executory treaties yakni perjanjian yang pelaksanaannya

bersifat berlanjut sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan,

contohnya adalah perjanjian dagang. Sedangkan yang kedua adalah

dispositive treaties yakni perjanjian yang sifatnya langsung selesai ketika

perjanjian tersebut dilaksanakan.

Teori hukum internasional juga menjelaskan beberapa hal mengenai

perjanjian internasional yang tidak beralih. Perjanjian yang dijelaskan tidak

beralih adalah perjanjian personal treaties. Perjanjian tersebut dapat

berbentuk bilateral maupun multilateral, contohnya perjanjian-perjanjian

mengenai persekutuan,penyelesaian perselisihan secara damai, netralitas, atau

bisa menyangkut segi ekonomi dari suatu negara, misalnya perjanjian-

perjanjian subsidi internaisonal, perjanjian perdagangan,, tarif dagang; dapat

pula bersifat administratif seperti perjanjian pos dan telegraf, pengawasan

obat bius, navigasi dapat bersifat perjanjian peradilan seperti perjanjian

tentang ekstradisi ataupun pelaksanaan keputusan pengadilan asing. Menurut

teori hukum internasional tradisional, perjanjian-perjanjian tersebut diatas

tidak beralih dari predecessor state ke negara baru meskipun teori ini sudah

tidak banyak berlaku karena sudah tidak sesuai dengan kenyataan dan

praktek-praktek negara baru seteah Perang Dunia II.


Dalam kasus suksesi negara Timor Leste yang berpisah dari Indonesia,

sesuai dengan teori pada umumnya, perjanjian-perjanjian internasional yang

dibuat oleh Indonesia secara otomatis tidak berlaku lagi terhadap Timor Leste

setelah terjadinya suksesi. Bentuk- bentuk perjanjian yang tidak berlaku

tersebut adalah perjanjian-perjanjian bilateral antar predecessor state dengan

suatu negara, termasuk juga perjanjian-perjanjian mengenai perdagangan,

persekutuan, perjanjian-perjanjian jaminan dan perjanjian-perjanjian yang

menyatakan suatu kebijaksanaan internasional yang bersifat pribadi dalam

rangka perlindungan keamanan negara Indonesia seperti yang dijelaskan

dalam teori diatas.

b. Perjanjian internasional yang dapat mengikat Timor Leste

a) Analisa Perjanjian Timor Gap

Secara umum dan teori, perjanjian internasional yang tidak beralih

biasanya menyangkut tentang perjanjian perbatasan wilayah. Dalam teori

hukum internasional tradisional, perjanjian yang menyangkut perbatasan

wilayah atau territorial disebut dengan perjanjian dispositive. Perjanjian

tersebut meliputi perjanjian pangkalan militer, perjanjian perbatasan negara

dan lain-lain. Perjanjian dispositive sehubungan dengan adanya suksesi

negara, secara yuridis dengan adanya ketentuan rebus sic stantibus yakni

perubahan yang fundamental dari keadaan yang menguasai perjanjian, dapat

menjadikan perjanjian dispositive tersebut tidak berlaku. Dalam kasus negara


baru yang terbentuk dari wilayah bekas jajahan, dapat saja dianggap, bahwa

perjanjian mengenai pangkalan militer tidak lagiberlaku karena situasinya

telah berubah secara fundamental.Namun dalam perkembangannya perjanjian

perbatasan sebagai suatu perjanjian dispositive harus tetap beralih dan diakui

oleh negara baru. Bahkan perubahan keadaan secara fundamental tidak

diperkenankan menjadi alasan untuk membatalkan perjanjian. Ketentuan

tersebut diatur dalam Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian

Internasional yang berbunyi:

Suatu perubahan mendasar keadaan-keadaan tidak boleh


dikemukakan sebagai dasar untuk mengakhiri atau menarik diri dari
perjanjian:
(a) Jika perjanjian itu menetapkan perbatasan; atau
(b) Jika perubahan itu sebagai hasil dari pelanggaran oleh pihak
yang mengemukakannya, baik atas suatu kewajiban di bawah
perjanjian itu, atau setiap kewajiban internasional lainnya yang
dimilikinya terhadap pihak lainnya pada perjanjian tersebut.

Dalam hal ini jelas bahwa perjanjian-perjanjian yang menguntungkan

negara seperti perjanjian pangkalan militer, tetap berlaku dan mengikat negara

baru. Namun pada praktiknya, negara baru ternyata menentukan sendiri

sikapnya terhadap perjanjian-perjanjian mengenai wilayah. Sehubungan

dengan hal ini, bahwa negara baru yang menentukan sikapnya terhadap

perjanjian-perjanjian yang diadakan oleh predeccessor state, biasanya dibuat

sendiri suatu deklrasi yang menyatakan sikap tersebut.

Hal yang serupa terjadi dalam kasus Timor Leste dengan Indonesia.

Pemisahan diri yang dilakukan oleh Timor Leste meninggakan permasalahan


batas wilayah antara Indonesia-Timor Leste dan Australia yang dikenal

dengan Timor Gap. Sebelum terjadinya suksesi, Indonesia mempunyai

perjanjian dengan Australia yang disebut dengan Perjanjian Timor Gap.

Perjanjian ini disetujui pada tanggal 11 Desember 1989 dan berisi tentang

aturan terkait pembagian daerah dan hasil di wilayah kerjasama Indonesia-

Australia, aturan mengenai eksplorasi dan ekslpoitasi hasil di wilayah

kerjasama, jangka waktu berlakunya perjanjian dan penyelesaian sengketa..

Ketika Timor Leste melakukan pemisahan diri dengan Indonesia, secara

langsung memberikan akibat hukum terhadap perjanjian ini baik bagi

Indonesia maupun Australia bahkan dengan Timor Leste. Dengan berpisahnya

Timor Leste dengan Indonesia maka berakhir pula perjanjian Timor Gap bagi

Indonesia secara hukum karena kedaulatan dan yurisdiksi Indonesia atas

Timor Leste pun berakhir. Pihak dalam perjanjian itu pun berpindah tangan ke

Timor Leste. Hal tersebut dinyatakan secara tertulis oleh Indonesia dan

Australia dalam Pertukaran Nota Diplomatik yang dilakukan pada tanggal 1

Juni 2000. Selain karena telah kehilangan kedaulatan dan yurisdiksi atas

Timor Leste, perjanjian Timor Gap juga berakhir secara hukum bagi

Indonesia karena adanya alasan geografis dan geologis. Indonesia bisa saja

mengklaim wilayah Timor Gap merupakan wilayah Indonesia seperti yang

sempat dipermasalahkan oleh warga Nusa Tenggara Timur. Namun secara

geografis wilayah Timor Gap lebih condong sejajar dengan Timor Leste dari

arah Utara ke Selatan, daripada kea rah Timor Barat. Sisanya, dari arah

Selatan ke Utara wilayah Timor Gap sejajar dengan pantai Australia Utara.
Melihat kondisi ini, maka jelas secara geografis wilayah Timor Gap

merupakan wilayah kedaulatan bagi Timor Leste dan Australia.

Bagi Australia, berpisahnya Timor Leste dengan Indonesia tetap

membuat perjanjian Timor Gap berlaku bagi mereka hanya saja substansi dan

kesepakatannya berubah sesuai dengan hasil perundingan yang dilakukan

dengan Timor Leste. Perundingan yang dilakukan oleh Australia dengan

Timor Leste ini merupakan bentuk dari prinsip free choice yang disebutkan

dalam Konvensi Wina 1978 sebagai hak keistimewaan dari negara baru.

Perundingan antara Timor Leste dengan Australia saat itu diwakli oleh

UNTAET (United Nations Transitional Adminsitration of East Timor) yang

merupakan Pemerintah Transisi Timor Leste. Perundingan atas substansi dan

kelanjutan Perjanjian Timor Gap antara Australia dengan Timor Leste

dilakukan pada tanggal 25 Oktober 1999 dan menghasilkan dua perjanjian

setelahnya yakni Pertukaran Nota Kesepahaman mengenai Kelanjutan

Perjanjian Timor Gap yang disahkan pada tanggal 20 Februari 2000 dan

Perjanjian Laut Timor yang disahkan pada tanggal 20 Mei 2000. Beberapa

substansi dari Perjanjian Timor Gap juga mengalami perubahan penting

antara lain:

1) Perubahan nama wilayah zona A Celah Timor. Zona A wilayah Celah

Timor dalam Perjanjian Celah Timor, 1989 antara Indonesia den\gan

Australia diberi nama “Daerah Garapan Bersama”. Namun dalam

Perjanjian Laut Timor antara Australia dengan Timor Leste, 20 Mei 2002
dirubah namanya menjadi “Daerah Pengeksplorasian Minyak Bersama

(Joint Petroleum Development Area/JPDA)” .

2) Perluasan wilayah zona A Celah Timor. Zona A Celah Timor atau Daerah

Pengeksplorasian Minyak Bersama (JPDA) diperluas sehingga mencakup

20,5% dari wilayah ladang minyak Sunrise-Troubador (Greater Sunrise)

sedangkan 79,5% dari kedua ladang minyak tersebut tetap berada di

bawah yurisdiksi Australia. Perluasan wilayah zona A Celah Timor ini

dilakukan oleh kedua negara berdasarkan kesepakatan unitisasi yaitu suatu

kesepakatan antara Australia dan Timor Leste yang memandang Zona A

Celah Timor dan 20% dari ladang minyak Greater Sunrise sebagai satu

kesatuan.

3) Pembagian wilayah zona kerja sama dan hasil produksi di Celah Timor.

Perubahan pembagian wilayah zona kerja sama dan hasil produksi minyak

yang disepakati oleh Australia dan Timor Leste, yaitu zona A yang dalam

Perjanjian Celah Timor, 1989 sebagai Daerah Garapan Bersama dengan

pembagian hasil 50%:50% untuk Indonesia dan Australia mengalami

perubahan menjadi Daerah Pengeksplorasian Minyak Bersama (JPDA)

dengan pembagian hasil produksi 90% untuk Timor Leste dan 10% untuk

Australia. Sebaliknya Zona B yang sebelumnya digarap oleh Australia

dengan pembagian hasil 90% untuk Australia dan 10% untuk Indonesia,

dalam Perjanjian Laut Timor dimiliki sepenuhnya oleh Australia,

demikian pula Zona C yang sebelumnya digarap oleh Indonesia dengan


pembagian hasil 90% untuk Indonesia dan 10% untuk Australia, dalam

Perjanjian Laut Timor dimiliki sepenuhnya oleh Timor Leste.

4) Jangka Waktu Berlakunya Perjanjian. Jangka waktu berlakunya Perjanjian

Celah Timor sebelumnya ditetapkan selama 40 tahun, namun dalam

Perjanjian Laut Timor 2002, Australia dan Timor Leste menetapkan

jangka waktu berlakunya Perjanjian Laut Timor adalah selama 30 tahun,

terhitung sejak kedua negara meratifikasinya. Selain itu ditetapkan pula

bahwa perjanjian ini dapat diperbaharui atas dasar kesepakatan kedua

negara dan bahkan dinyatakan tidak berlaku lagi berdasarkan kondisi di

Daerah Pengembangan Minyak Bersama17

b) Analisa Perjanjian Hutang Indonesia-USA untuk Timor Malaria

Project 1980

Sebelum membahas studi kasus perjanjian ini, perlu dijelaskan lebih

dahulu mengenai teori tentang perjanjian hutang ketika terjadi suksesi negara.

Analisa bagi perjanjian hutang ini juga mengakibatkan implikasi hukum bagi

pihak ketiga sebagai kreditor dan termasuk sebagai perjanjian yang menurut

penulis dapat beralih ke negara baru ketika terjadi suksesi negara.. Konvensi

Wina 1978 sendiri tidak mengatur mengenai perjanjian hutang namun hal ini

diatur di Konvensi Wina 1983. Pengertian dari hutang negara dalam lingkup

suksesi negara dijelaskan dalam pasal 33 yakni:

17
Pemisahan Timor Timur dan Akibatnya Terhadap Timor Gap Treaty oleh Yanto M.P Ekon.
S.H.M.Hum http://ekonyanto.blogspot.co.id/2013/11/pemisahan-timor-timur-dari-indonesia.html
diakses 4 April 2017
State debt means any financial obligation of a predecessor state
arising in comformity with international law towards another state, an
international organizationor any other subject in international law18
Artinya, hutang negara adalah kewajiban keuangan dari negara lama

terhadap negara lain atau subjek hukum internasional lainnya seperti

organisasi internasional. Suksesi negara sendiri menciptakan hubungan

hukum pula antara negara lama dengan negara baru dan tidak ada pengauhnya

terhadap negara kreditur yang merupakan pihak ketiga jika tanpa persetujuan.

Hukum internasional sendiri memperbolehkan adanya peralihan hutang

kepada negara baru jika hal tersebut merupakan kehendak dari pihak-pihak

yang bersangkutan dalam perjanjian dan terdapat persetujuan dari pihak-pihak

tersebut.19

Konvensi Wina 1983 mengatur tentang bagaimana akibat hukum

terhadap hutang negara sesuai dengan jenis suksesi negara yang berbeda-beda.

Dalam kasus Timor Leste yang merupakan pemisahan wilayah sebagian bagi

Indonesia, hal ini berlaku baginya pasal 40 Konvensi Wina 1983 yakni

When part or parts of the territory of a State separate from that State
and form a State, unless the predecessor State and the successor State
otherwise agree, the State debt of the predecessor State shall pass to
the successor State in an equitable proportion, taking into account, in
particular, the property, rights and interests which pass to the
successor State in relation to the State debt. 20

18
Pasal 33 Konvensi Wina 1983
19
P. K. Menon,The Succession of States and the Problem of State Debts, 6 B.C. Third World L.J. 111
(1986), http://lawdigitalcommons.bc.edu/twlj/vol6/iss2/2 hal.121
20
Pasal 40 Konvensi Wina 1983
Artinya ketika terjadi pemisahan wilayah suatu negara lalu

membentuk negara baru, hutang dari negara lama beralih ke negara baru

sesuai porsinya masing-masing berdasarkan ketentuan yang dapat

dirundingkan antar predecessor state dengan negara baru. Konvensi Wina

1983 memang tidak mengatur tentang bagaimana bentuk dari ketentuan atau

hasil dari perundingan tersebut. Namun menurut penulis, sama halnya seperti

perjanjian internasional ketentuan tersebut dapat dituangkan dalam sebuah

perjanjian khusus seperti devolution agreeement atau unilateral declaration

yang diatur dalam pasal 8 dan pasal 9 Konvensi Wina 1978 karena pengadaan

hutang biasanya dituangkan dalam suatu perjanjian, maka ketentuan

peralihannya pun akan kurnag lebih sama dengan perjanjian internasional.

Dalam urusan perjanjian hutang juga terdapat negara pihak ketiga sebagai

kreditor. Namun dalam hal perjanjian khusus mengenai peralihan hutang ini,

negara pihak ketiga sebagai kreditor tidak mempunyai wewenang pun jika

hasilnya nanti hutang tersebut harus dibayar secara dibagi, maka negara pihak

ketiga sebagai kreditor harus menerimanya.

Peralihan hutang ini pula yang dilakukan oleh Indonesia terhadap

Timor Leste atas perjanjian hutang antara Indonesia dengan Amerika Serikat

yang dibuat untuk kepentingan wilayah Timor Leste, yang masih menjadi

wilayah Indonesia pada saat itu yakni untuk program Timor Malaria Project.

Timor Malaria Project adalah program yang diselenggarakan oleh Indonesia

dalam rangka menganggulangi penyakit malaria di wilayah Timor Timur dan


NTT. Untuk menyelenggarakan program tersebut, Indonesia membuat

perjanjian dengan Amerika Serikat lewat Persetujuan Pinjaman Proyek antara

Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Amerika Serikat untuk Timor

Malaria Kontrol (Pinjaman Bantuan No.497-U-065, Proyek No.497-0326)

Project Loan Agreement between the Government of the Republic of

Indonesia and the Government of the United States of America for Timor

Malaria Control Project (AID Loan No.497-U-065, Project No.497-0326)

yang disahkan pada tanggal 29 September 1980 di Jakarta dan disahkan tanpa

ratifikasi. Lewat perjanjian tersebut, Indonesia diberikan pinjaman sebesar

3.600.000 US$ oleh Amerika Serikat untuk penyelenggaraan program

tersebut dan harus dilunasi dalam jangka waktu 40 tahun. Setelah terjadinya

suksesi, Timor Timur berubah menjadi Timor Leste dan berdiri sendiri

sebagai negara baru dan saat Timor Leste memutuskan untuk memisahkan

diri, perjanjian hutang tersebut belum lunas sehingga belum berakhir baik

bagi Indonesia maupun Timor Leste. Perjanjian hutang tersebut diselesaikan

oleh Indonesia dengan Timor Leste dengan sistem bagi dua. Hal ini

dikarenakan pinjaman tersebut digunakan untuk dua wilayah yakni NTT dan

Timor Timur. Indonesia masih bertanggung jawab terhadap NTT karena

merupakan wilayahnya sedangkan sisanya merupakan tanggung jawab Timor

Leste.

Seperti yang dikemukakan dalam teori peralihan hutang dalam suksesi

negara, perundingan dan kesepakatan antara kedua negara perlu dituangkan


dalam sebuah perjanjian khusus. Hukum internasional sendiri tidak

mengharuskan bentuk dari kesepakatan tersebut, bisa berupa lisan maupun

tulisan. Namun secara umum dalam praktik, sebuah kesepakatan perlu

dituangkan dalam perjanjian khusus tertulis, seperti yang dilakukan Timor

Leste terhadap perjanjian Timor Gap. Perjanjian khusus tertulis mempunyai

kepastian hukum yang lebih mengikat daripada perjanjian lisan sehingga akan

lebih aman bagi para pihak yang terlibat. Terlebih lagi dalam perjanjian

hutang yang sifatnya lebih sensitif karena selain menyangkut dengan

keuangan negara, hal tersebut juga secara tidak langsung berpengaruh pada

hubungan antara negara-negara yang terlibat.

Sebelum terjadinya suksesi negara, hutang tersebut dibayar oleh

Indonesia kepada Amerika Serikat sesuai dengan ketentuan yang ada di

perjanjian tersebut. Setelah terjadinya pemisahan negara yang berujung pada

pemisahan pihak-pihak dalam pembayaran hutang yakni Indonesia yang

bertanggung jawab atas NTT dan Timor Leste bertanggung jawab atas

daerahnya sendiri, timbul pertanyaan apakah Timor Leste sebagai pihak yang

baru terpecah membayar kewajibannya kepada Indonesia atau Amerika

Serikat. Pada teorinya, pihak ketiga sebagai debitur yakni Amerika Serikat

tidak memiliki kewenangan untuk menentukan secara sepihak bagaimana

teknis pembayaran hutang selanjutnya. Hal ini menjadi kewenangan sekaligus

kewajiban untuk ketiga negara yang terlibat yakni Indonesia, Amerika Serikat
dan Timor Leste untuk menentukan teknis pembayaran hutang yang tersisa

dalam bentuk perjanjian. Setelah terjadinya suksesi ini pun secara otomatis

perjanjian awal antara Indonesia dengan Amerika Serikat yang dilakukan

sebelum Timor Leste memisahkan diri yakni Loan Agreement between the

Republic of Indonesia and The United States for Ameirca for Timor Malaria

Project, secara otomatis tidak berlaku lagi secara hukum bagi Indonesia,

Timor Leste dan Amerika Serikat. Sehingga dalam hal menentukan langkah

selanjutnya diperlukan perjanjian khusus atau perjanjian peralihan. Namun

pada praktiknya, tidak ada kejelasan mengenai peralihan maupun teknisi

pembayaran antara Timor Leste, Amerika Serikat maupun Indonesia.

Perjanjian yang seharusnya diadakan tersebut sepantasnya terbagi menjadi

empat, perjanjian antara Indonesia dengan Amerika Serikat yang menyatakan

bahwa perjanjian mereka telah berakhir yang bentuknya dapat berupa

pertukaran nota diplomatik seperti yang dilakukan Indonesia dengan Australia

terhadap berakhirnya Perjanjian Timor Gap. Kedua, perjanjian yang baru

antara Timor Leste dengan Indonesia yang menyatakan bahwa telah terjadi

peralihan hutang secara sebagian sekaligus dapat menjelaskan bagaimana

pembagian hutang tersebut, bagaimana teknis pembayaran, dan apakah Timor

Leste harus membayar kepada Amerika Serikat atau Indonesia serta

konsekuensi-konsekuensinya. Dalam kasus perjanjian Timor Gap, Indonesia

tidak membuat perjanjian peralihan karena obyeknya, yakni daerah Timor

Gap, secara faktual dan geografis telah menjadi kedaulatan Timor Leste

sehingga tidak perlu perjanjian tertulis lagi untuk menyatakan hal tersebut.
Ketiga, perjanjian antara Timor Leste dengan Amerika Serikat yang dibuat

untuk menyatakan bahwa terdapat kewajiban hutang oleh Timor Leste

terhadap Amerika Serikat, sekaligus pula menjelaskan secara detail teknisi

pembayarannya serta konsekuensinya, khususnya jika terdapat keterlambatan

dalam pelunasan hutang. Hutang ini sendiri harus dilunasi dalam waktu 40

tahun terhitung sejak dibuatnya perjanjian tersebut yakni pada tahun 1980.

Timor Leste yang terhitung sebagai negara baru dan masih berkembang, tentu

mempunyai kemungkinan dalam hal kesulitan pembayaran hutang. Adanya

perjanjian antara Timor Leste dengan Amerika Serikat tersebut dapat menjadi

upaya preventif terjadinya keterlambatan ataupun dapat ditentukan

kesepakatan mengenai keringanan yang mungkin didapat oleh Timor Leste.

Serta yang terakhir adalah perjanjian antara Indonesia dengan Amerika

Serikat sendiri yang substansinya kurang lebih sama.

Secara umum, akibat hukum suksesi negara terhadap hutang piutang

negara memang sederhana. Hutang dapat menjadi kewajiban negara lama,

dapat menjadi kewajiban negara baru bahkan terbagi dua jika perjanjian

hutangnya melibatkan daerah yang memisahkan diri sehingga dapat terpecah

menjadi tiga pihak. Hutang sendiri erat kaitannya dengan perjanjian

internasional karena setiap hutang yang dilakukan oleh sebuah negara, bahkan

setiap hal yang berkaitan dengan peralihan suatu hak atau kewajiban, perlu

dituangkan dalam sebuah perjanjian untuk menciptakan kepastian hukum.

Sehingga, pembagian atau pembayaran hutang perlu dijelaskan secara detail


dalam perjanjian dan hal tersebut bukan lagi menjadi hal yang sederhana

seperti teori akibat hukum suksesi negara terhadap hutang piutang pada

dasarnya. Seperti yang dijelaskan dalam kasus perjanjian hutang Indonesia

dengan Amerika Serikat diatas, banyak bentuk perjanjian yang seharusnya

dilakukan dengan segala bentuk urgensinya. Kesepakatan dalam bentuk lisan

atau teori saja tidak cukup karena perjanjian tulis sendiri masih memiliki

kemungkinan dalam hal terjadinya breach of contract meskipun telah

memiliki kepastian hukum, namun dalam perjanjian tersebut pasti telah diatur

bagaimana konsekuensinya jika terjadi hal-hal seperti breach of contract.

Selain itu, perjanjian yang berisi teknis pembayaran secara jelas juga dapat

memudahkan negara-negara yang terlibat. Indonesia dengan Timor Leste

sendiri menganggap bahwa perjanjian hutang ini hanya perlu dilakukan

langsung secara praktik seperti pembayaran atau pelunasan hutang negara

pada umumnya. Padahal hal tersebut berkaitan dengan akibat hukum

pemisahan negara yang terjadi, yang sekaligus melibatkan pihak ketiga

sehingga sebuah perjanjian peralihan perlu dibuat.

5. Konsekuensi Bagi Negara Jika Perjanjian Peralihan Tidak Terlaksana

Pada hakikatnya menentukan konsekuensi jika sebuah perjanjian tidak

terlaksana adalah kewenangan dari pihak-pihak yang terlibat dalam suatu

perjanjian baik dalam perjanjian kewilayahan seperi perjanjian Timor Gap

ataupun perjanjian hutang piutang. Dalam menjawab hal ini, perlu dibahas

kembali mengenai urgensi membentuk perjanjian peralihan terhadap hak dan


kewajiban secara tertulis untuk menjelaskan hal-hal terkait pelaksanaan

peralihan termasuk konsekuensi jika terjadi breach of contract atau bahkan

tidak terlaksananya perjanjian peralihan tersebut. Kesepakatan mengenai hal

tersebut menjadi kewenangan seutuhnya untuk negara-negara yang terlibat

yakni predecessor state dengan negara baru ataupun negara baru dengan

negara lain yang menjadi pihak ketiga seperti Australia dan Amerika Serikat

dalam hal perjanjian yang beralih kepada Timor Leste atas pemisahan diri dari

Indonesia. Hukum internasional tidak membatasi bentuk kesepakatan seperti

halnya hukum internasional tidak membatasi bentuk dan luasnya substansi

perjanjian tersebut.

Implementasi dari suatu perjanjian harus didasarkan pada asas pacta

sunt servanda, yakni mengikat bagi para pihaknya. Oleh karena itu, selain

menganggap bahwa membentuk perjanjian peralihan atau perjanjian khusus

sebagai urgensi untuk menghindari konsekuensi breach of contract, adanya

non-compliance clause juga penting dalam sebuah perjanjian. Non

compliance clause adalah pasal yang menyebutkan dan mengatur secara jelas

mengenai konsekuensi hukum apa yang mengikat para pihak jika terjadi

breach of contract. Non-compliance clause ini bersifat imperatif atau

memaksa, tidak hanya mengikat sehingga kesepakatan mengenai konsekuensi

bagi negara-negara yang terkait jika perjanjian tidak terlaksana akan menjadi

lebih jelas dan bisa terlaksana dengan baik dan mengakibatkan negara-negara

yang terkait akan menjadi lebih taat dalam pelaksanaan perjanjiannya.


Dalam kasus Perjanjian Timor Gap, segala permasalahan dianggap

selesai sejak ditetapkannya perjanjian antara Australia dengan Timor Leste

dengan segala perubahan substansi dan konsekuensinya. Sehingga jika

perjanjian tersebut tidak dilaksanakan, maka akan menjadi kewajiban bagi

Australia dan Timor Leste untuk penyelesaian secara hukum. Sedangkan bagi

perjanjian hutang yang belum ada perjanjian peralihannya, konsekuensinya

belum ditetapkan sehingga jika terjadi kesalahan, baik Amerika Serikat,

Indonesia maupun Timor Leste tidak mempunyai kesepakatan tertulis

sehingga sulit unuk menentukan pihak mana saja yang mengemban kewajiban

dalam hal menyelesaikan masalah tersebut. Berbeda dengan perjanjian Timor

Gap yang sudah jelas pihak-pihak mana saja yang terlibat serta ketentuan-

ketentuannya. Namun menurut penulis, pihak-pihak yang sebaiknya membuat

kesepakatan tersebut adalah Indonesia dengan Timor Leste. Karena meski

terjadi suksesi, perjanjian antara Indonesia dengan Amerika Serikat tidak

berakhir. Indonesia akan tetap menjadi pihak yang berhutang pada Amerika

Serikat dan harus dilunasi kepada Amerika Serikat dalam jangka waktu yang

ditentukan. Berpisahnya Timor Leste dengan Indoneisa pun tidak berkaitan

dengan Amerika Serikat sehingga dalam hal ini Amerika Serikat menjadi

pihak yang pasif. Kesepakatan menegenai pembagian hutang menjadi

tanggung jawab Indonesia dengan Timor Leste.


BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Suksesi negara dalam hukum internasional umumnya mengenal dua subyek

yakni predecessor state dan successor state. Definisi successor state sendiri

dalam hukum internasional diartikan sebagai negara yang mewarisi hak dan

kewajiban predecessor state secara penuh setelah terjadinya suksesi. Namun

pada praktiknya, jika merujuk pada definisi tersebut, tidak semua negara yang

melakukan suksesi dapat melahirkan successor state. Seperti bentuk suksesi

negara yang dilakukan Timor Leste dan Indonesia. Timor Leste bukan

merupakan successor state dari Indonesia karena tidak ada peralihan hak dan

kewajiban secara penuh dari Indonesia kepada Timor Leste. Oleh karena itu,

Timor Leste cukup disebut sebagai negara baru yang memisahkan diri dari

Indonesia.

2. Akibat hukum terhadap perjanjian internasional setelah terjadinya suksesi

negara tidak diatur secara mengikat oleh hukum internasional. Konvensi Wina

1978 mengatur dasar-dasarnya saja, sisanya menjadi kewenangan negara yang

terlibat dalam suksesi negara. Dalam kasus suksesi negara Timor Leste,

perjanjian yang beralih kepada Timor Leste dari Indonesia adalah perjanjian

Timor Gap dan perjanjian hutang Indonesia-Amerika Serikat yang melibatkan


Timor Leste. Perjanjian Timor Gap antara Indonesia dan Australia berakhir

dan berpindah kepada Timor Leste. Hal tersebut diungkapkan secara jelas

dalam perjanjian peralihan antara ketiga pihak. Sedangkan mengenai

perjanjian hutang, karena perjanjian tersebut menyangkut Timor Leste dan

NTT yang masih menjadi wilayah Indonesia, maka pelunasannya dibagi

menjadi dua. Namun, tidak ada kesepakatan maupun ketentuan yang jelas

baik antara Indonesia dengan Timor Leste maupun dengan pihak ketiga yakni

Amerika Serikat sehingga menimbulkan ketidakjelasan mengenai

implementasi dan konsekuensinya. Oleh karena itu, pihak-pihak yang terkait

seharusnya membuat kesepakatan, yang dapat dituangkan dalam sebuah

perjanjian khusus mengenai peralihan hutang tersebut. Dalam hal ini, penulis

menyimpulkan bahwa pihak yang seharusnya membuat kesepakatan ini

adalah Timor Leste dengan Indonesia karena perjanjian antara Indonesia-

Amerika Serikat tidak berakhir meski Timor Leste memisahkan diri.

B. SARAN

1. Bagi akademisi maupun masyarakat sebaiknya tidak menggunakan istilah

successor state untuk merujuk pada semua negara yang melakukan

suksesi karena sebuah successor state adalah negara yang tidak hanya

melakukan suksesi negara tetapi juga negara yang diwarisi hak dan

kewajiban secara penuh dari negara sebelumnya dan hal tersebut tidak

dilakukan oleh semua negara yang melakukan suksesi.


2. Baik bagi Indonesia maupun Timor Leste hendaknya menghormati

ketentuan yang telah disepakati atas konsekuensi hukum yang terjadi

akibat suksesi negara yang terjadi, terutama bagi perjanjian hutang

sebaiknya Indonesia dengan Timor Leste mempunyai perjanjian tertulis

mengenai pembagian pelunasan hutang tersebut karena selain pelunasan

hutang bersifat riskan, peralihan hak dan kewajiban dalam suksesi negara

memang diperlukan sebuah perjanjian peralihan kecuali jika menganut

teori common doctrine atau teori clean state.

3. Bagi negara-negara yang akan melakukan suksesi baik pemisahan diri

maupun perpecahan bagi beberapa negara-negara, perjanjian khusus

mengenai peralihan hak dan kewajiban terutama mengenai perjanjian

internasional sangat penting untuk dilakukan untuk menghindari

permasalahan-permasalahan yang akan lebih rumit


DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Aurelu Cristeseu. The Right to Self Determination. New York : United Nations

1981

Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era

Dinamika Global Edisi ke-2, Bandung : P.T. Alumni, 2008.

Budi Lazuarusli S.H, Syahmin A.K S.H Suksesi Negara dalam Hubungannya

dengan Perjanjian Internasional. Bandung : Remadja Karya , 1986

Damos Dumoli Agusman, Hukum Perjanjian Internasional:Kajian Teori dan

Praktik Indonesia, Bandung : Refika Aditama, 2010.

Fred Isjawara, Pengantar Ilmu Politik, Bandung : Binacipta, 1996.

J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional, Jakarta : Sinar Grafika, 2010.

Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, Jakarta : Rajawali

1991

Jawahir Thontowi SH.PhD, Pranoto Iskandar, SH. Hukum Internasional

Kontemporer. Yogyakarta: Rafika Aditama, 2006

Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Surabaya :

Bayumedia Publishing, 2006.

Martin Dixon. Text Book on International Law Fourth Edition. Oxon UK :

Blakstone Press Limited, 2000

Mochtar Kusumaatmadja. Pengantar Hukum Internasional: Buku-1 Bagian

Umum, Jakarta : Bina Cipta 1982


Michla Pomerance, Self Determination in Law and Practice: The New Doctrine in

the United Nations, London : Martinus Nijhoff Publishers 1982

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. Jakarta : Kencana Prenada Media

Group , 2009

R.Soeroso, SH. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : Bumi Aksara, 2011

Sefriani, SH.MHum, Hukum Internasional: Suatu Pengantar, Yogyakarta : Raja

Grafindo Persada : 2009

Sumaryo Suryokusumo, Organisasi Internasional, Jakarta : Universitas Indonesia,

1987

Suryo Sakti, Perbatasan Negara dalam Dimensi Hukum Internasional,

Yogyakarta : Graha Ilmu, 2011

T. May Rudy, Hukum Internasional 1, Bandung : Refika Aditama, 2010.

JURNAL

Alfred R.Cowger Jr. Rights and Obligations of Successor States: An Alternative

Theory. 1985

P.K Menon. The Succession of States and the Problem of State Debts. 6.B.C Third

World L.J 111. 1986

PERATURAN PERUNDANG-UNDANG

Undang – undang Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional


PERJANJIAN INTERNASIONAL

Vienna Convention On Succession of States in Respect of Treaties (Konvnsi Wina

1961 tentang Suksesi Negara terhadap Perjanjian)

Vienna Convention On Succession of States in Respect of State Property, Archives

and Debts (Konvensi Wina 1983 tentang Suksesi Negara Terhadap Hutang,

Dokumen dan Properti Negara )

Timor Gap Treaty

Project Loan Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and

the Government of the United States of America for Timor Malaria Project

(AID Loan. No.497 –U- 065, Project No.497-0326)

Konvensi Montevideo 1933

Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 1514 (XV)

INTERNET

Bahasa Indonesia. Arti, Definisi dan Pengertian Successor,

http://www.bahasaindonesia.net/successor diakses pada tanggal 09 April

2017 pukul 21.30

Fredi Kurniawan. Sejarah Berdirinya Negara Timor Leste.

http://jokowarino.id/sejarah-berdirinya-negara-timor-leste/ diakses pada 7

Desember 2016 pukul 19.00

Portal Garuda. Pengembangan Konseptual Tentang Keterkaitan Suksesi Pada

Perusahaan Keluarga.

http://download.portalgaruda.org/article.php?article=388986&val=8569&title=PENGEMBANGAN
%20MODEL%20KONSEPTUAL%20TENTANG%20KETERKAITAN%20PARA%20PELAKU%20%2

0DENGAN%20KELUASAN%20%20PERENCANAAN%20SUKSESI%20PADA%20PERUSAHAAN%

20KELUARGA diakses tanggal 9 April 2017 pukul 21.00

Proz. Successors in title-and assigns.

http://www.proz.com/kudoz/english_to_indonesian/law_contracts/4124198-

successors_in_title_and_assigns.html diakses pada tanggal 09 April 2017

pukul 23.00

Rani Nuraeni. 3 Cara Memperoleh Wilayah.

https://raninuraeni379.wordpress.com/s-i-h/hukum-internasional/3-cara-

memperoleh-wilayah/ diakses pada 6 Januari 2017 pukul 19.00

Yanto M.P Ekon S.HM.Hum Pemisahan Timor Timur dan Akibatnya Terhadap

Timor Gap Treaty http://ekonyanto.blogspot.co.id/2013/11/pemisahan-

timor-timur-dari-indonesia.html diakses 4 April 2017 pukul 19.00

Anda mungkin juga menyukai