Askep Gerontik Kardiomegali

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 45

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK PADA NY L DENGAN KASUS


KARDIOMEGALI DI RUANG BOUGENVIL UPTD GRIYA WERDHA
JAMBANGAN SURABAYA
PERIODE PRAKTIK (19 APRIL 2021- 01 MEI 2021)

DISUSUN OLEH:
BELLA DAMA SHINTA
P27820820008

KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SURABAYA
JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS SURABAYA
2020/2021
LAPORAN PENDAHULUAN

1.1 Konsep Sindrom Geriatri


1. Definisi
Sindrom geriatri adalah serangkaian kondisi klinis pada orang
tua yang dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien dan dikaitkan
dengan kecacatan. Tamplan klinis yang tidak khas sering membuat
sindrom geriatri tidak terdiagnosis. (Vina. 2015)
Sindrom geriatri meliputi gangguan kognitif, depresi,
inkontinesia, ketergantungan fungsional, dan jatuh. Sindrom ini dapat
menyebabkan angka morbiditas yang signifikan dan keadaan yang
buruk pada usia tua yang lemah. Sindrom ini biasanya melibatkan
beberapa sistem organ. Sindrom geriatrik mungkin memiliki
kesamaan patofisiologi meskipun presentasi yang berbeda, dan
memerlukan interventasi dan strategi yang berfokus terhadap faktor
etiologi (Panitaetal, 2011)
Dalam menilai kesehatan lansia perlu dibedakan antara
perubahan akibat penuaan dengan perubahan akibat proses patologis.
Beberapa problema klinik dari penyakit pada lanjut usia yang sering
dijumpai.
Sindrom geriatri antara lain:
- “The O Complex” : fall, confusion, incontinence, iatrogenic
disorders, impaired homeostasis
- “The Big Three”: Intelectual failure, instability, incontinence
- “The 14 I” : Immobility, impaction, Instability, iatrogenic,
intelectual Impairment, Insomnia, Incontinence, Isolation,
Impotence, Immunodeffciency, Infection, Inanition, Impairment
of Vision, Smelling, Hearing, Impecunity.
2. Jenis dan Klasifikasi
Jenis dan klasifikasi geriatri sindrome menurut (Vina, 2015) :
a) Imobility (Imobilisasi)
Imobilisasi adalah keadaan tidak bergerak/tirah baring
selama 3 hari atau lebih, diiringi gerak anatomis tubuh yang
menhilang akibat perubahan fungsi fisiologis. Berbagai faktor
fisik, psikologis, dan lingkungan dapat menyebabkan imobilisasi
pada usia lanjut. Penyebab utama imobilisasi adalah adanya rasa
nyeri, lemah, kekuatan otot, ketidaksembangan dan masalah
psikologis.

b) Instability (Instabilitas dan jatuh)


Gangguan keseimbangan (instabilitas) akan memudahkan
pasien geriatri terjatuh dan dapat mengalami patah tulang.
Terdapat banyak faktor yang berperan untuk terjadinya
instabilitas dan jatuh pada orang usia lanjut. Berbagai faktor
tersebut dapat diklasifikasikan sebagai faktor instrinsik (faktor
risiko yang ada pada pasien) dan faktor risiko ekstrinsik (faktor
yang terdapat di lingkungan).

c) Intelektual Impairment (Gangguan Kognitif)


Keadaan yang terutama menyebabkan gangguan intelektual
pada pasien lanjut usia adalah delirium dan demensia. Demensia
adalah gangguan fungsi intelektual dan memori yang dapat
disebabkan oleh penyakit otak, yang tidak berhubungantingkat
kesadaran. Demensia tudak hanya masalah pada memori.
Demensia mencakup berkurangnya kemampuan untuk mengenal,
berpikir, menyimpan atau mengingat pengalaman yang lalu dan
juga kehilangan pola sentuh, psien menjadi perasa dan
terganggunya aktivitas.

d) Incontinence (Inkontinensia Urin dan alvi)


WHO mendefinisikan Faecal Incontinence sebagai
hilangnya tak sadar feses cair atau padat yang merupakan
masalah sosial atau higienis. Definisi lain menyatakan
inkontinensia alvi/fekal sebagai perjalanan spontan atau
keyidakmampuan untuk mengendalikan pembuangan feses
melalui anus. Kejadian inkontinensia alvi/fekal lebih jarang
dibandingkan inkontinensia urin.

1) Inkontinensia urin akut reversibel


Mengeluarkan setiap kondisi yang menghambat mobilitas
pasien dapat memicu timbulnya inkontinensia urin
fungsional atau memburuknya inkontinensia persisten,
seperti fraktur tulang pinggul, stroke, arthritis dan
sebagainya. Resistensi urin karena obat-obatan atau obstruksi
anatomis dapat pula menyebabkan inkontinensia urin.
Keadaan inflamasi pada vagina dan uretra mungkin kan
memicu inkontinensia urin. Konstipasi juga sering
menyebabkan inkontinensia akut.
2) Inkontinensia urin persisen
Dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara meliputi anatomi,
patofisiologi dan klinis. Untuk kepentingan praktek klinis,
klasifikasi klinis lebih bermanfaat karena dapat membantu
evaluasi dan intervensi klinis.
3) Inkontinensia urin stres
Tidak terkendalinnya aliran urin akibat meningkatnya
tekanan intraabdominal seperti pada saat batu, bersin atau
berolehraga. Umumnya disebabkan oleh melemahnya urin
pada lansia dibawah 75 tahun. Lebih sering terjadi pada
wanita tetapi mungkn terjadi pada laki-laki akibat kerusakan
pada sfingter urethra setelah pembedahan transurethral dan
radiasi. Pasien mengeluh mengeluarkan urin pada saat
tertawa, batu atau berdiri. Jumlah urin yang keluar dapat
sedikit atau banyak.
4) Inkontinensia urin urgensi
Keluarnya urin secara tak terkendali dikaitkan dengan
sensasi keinginan berkemih. Inkontinensia urin jenis ini
umumnya dikaitkan dengan kontraksi detrusor tak terkendali.
Masalah-masalah neurologis sering dikaitkan dengan
inkontenansia urin urgensi ini, meliputi stroke, penyakit
parkinson, demensia dan cedera medula spinalis.
5) Inkontinensia urin luapan/overflow
Tidak terkendalinya pengeluaran urin dikaitkan dengan
distensi kandung kemih yang berlebihan. Hal ini disebabkan
oleh obstruksi anatomis, seperti pembesaran prostat, faktor
neurogenik pada diabetes melitus atau sclerosis mulltiple
yang menyebabkan berkurang atau tidak berkontraksinya
kandung kemih dan faktor-faktor obat-obatan. Pasien
mengeluh keluarnya sedikit urin tanpa adanya sensasi bahwa
kandung kemih sudah penuh.
6) Inkontenansia urin fungsional
Merupakan keadaan yang mengalami pengeluaran urin
secara tanpa disadari dan tidak dapat diperkirakan.
Inkontenansia fungsional merupakan intenkonensia dengan
fungsi saluran kemih bagian bawah yang utuh tetapi ada
faktor lain seperti gangguan kognitif berat meyebabkan
pasien sulit untuk mengidentifikasi perlunya urinasi (misal
demensia Alzheimer) atau gangguan fisik yang
menyebabkan pasien sulit atau tidak mungkin menjangkau
toiley untuk melakukan urinasi.
e) Isolation (Depresi)
Gangguan depresi pada usia lanjut kurang dipahami
sehngga banyak kasus tidak dikenali. Gejala depresi pada usia
lanjut sering kali dianggap sebagai bagian dari proses menua.
Faktor yang memeperberat depresi adalah kehilangan orang yang
dicintai, kehilangan rasa aman, taraf kesehatan menurun
f) Impotence (impotensi)
50% pria pada umur 65 tahun dan 75 % pria pada usia 80
tahun mengalami impotensi. 25 % terjadi akibat mengkonsumsi
obat-obatan seperti : anti hipertensi, anti psikosa, anti depressant,
litium (mood stabilizer). Selain karena mengkonsumsi obat-
obatan, impotensi dapat terjadi akibat menurunnya kadar hormon.
g) Immunodeficiency (penurunan imunitas)
Perubahan yang dapat terjadi dari proses menua adalah:
berkurangnya imunitas yang dimediasi oleh sel, rendahnya
afinitas produksi antibodi, meningkatnya autoantibodi,
terganggunya fungsi makrofag, berkurangnya hipersensitivitas
tipe lambat, atrofi timus, hilangnya hormon timus, berkurangnya
produksi sel B oleh sel-sel sumsum tulang
h) Infection (infeksi)
Infeksi sangat erat kaitannya dengan penurunan fungsi
sistem imun pada usia lanjut. Infeksi yang sering dijumpai adlaah
saluran kemih, pneumonia, sepsis dan meningitis. Kondisi lain
seperti kurang gizi, multipatologi, dan faktor lingkungan
memudahkan usia lanjut terkenaa infeks.
i) Inanitation (malnutrisi)
Etiologi malnutrisi yaitu : malnutrisi primer terjadi sebab
dietnya mutlak salah satu kurang, malnutrsi sekunder atau
bersayarat. Kelemahan nutrisi panda hendaya terjadi pada lansia
karena kehilangan berat badan fisiologis dan patologis yang tidak
disengaja. Anoreksia pada lanjut usia merupakan penurunan
fisiologis nafsu makan dan asupan makan yang menyebabkan
kehilangan berat badan yang tidak diinginkan. Faktor
predisposisi malnutrisi adalah: panca indra untuk rasa dan bau
berkurang, kehilangan gigi alamiah, gangguan motilitas usus
akibat tonus otot menurun, penurunan produksi asam lambung.
j) Impaction (konstipasi)
Konstipasi oleh Holson adalah 2 dari keluhan-keluhan
berikut yang berlangsung dalam 3 bulan, konsistensi fese keras,
mengejan dnegna keras saat BAB, rasa tidak tuntas saat BAB
meliputi 25 % dari keseluruhan BAB. Faktor resiko yang
menyebabkan konstipasi adalah: obat-obatan (narkotik golongan
NSAID , antasid aluminium, diuretik, analgeti), kondisi
neurologis, gangguan metabolik, psikologis, penyakit saluran
cerna, lain-lain (diet rendah serat, kurang olahraga, kurnag
cairan)
k) Insomnia (gangguan tidur)
Pada usia lanjut umunya mengalami gangguan tidur
seperti: kesulitan untuk tertidur, kesulitan mempertahankan tidur
nyenyak, bangun terlalu pagi. Faktor yang menyebabkan
insomnia: perubahan irama sirkadian, gangguan tidur primer,
penyakit fiisik (hipertiroid, arteritis), penyakit jiwa, pengobatan
polifarmasi, demensia.
l) Latrogenik disorder (gangguan latrogenik)
Karakteristik yang khas dari pasien geriatri yaitu
multipatologik, sering kali menyebabkan pasien mengkonsumsi
obat yang tidak sedikit jumlahnya. Pemberian oabta pada lansia
haruslah sangat hati-hati dan rasional karena obat akan
dimetabolisme dihati sedangkan pada lansia terjadi penurunan
faal hati juga terjadi penurunan faal ginjal (jumlah glomerulus
berkurang), dimana sebagian besar obat dikeluarkan melalui
ginjal sehingga pada lansia sisa metabolisme obat tidak dapat
dikeluarkan dengan baik dan dapat berefek toksik.
m) Gangguan pendengaran, penglihatan dan penciuman
Gangguan penglihatan dan pendengaran sering dianggap
sebagai hal yang biasa akibat proses menua. Prevalensi gangguan
penglihatan pada pasien geriatri yang diarawat di indonesia
mencapai 24 %. Gangguan penglihatan berhubungan dengan
penurunan kegiatan waktu senggang , status fungsional, fungsi
sosial dan mobilitas. Gangguan pengliahatn dan pendengaran
berhubungan dengan kualitas hidup, meningkatkan disabilitas
fisik, ketidakseimbangan, jatuh, fraktur panggul dan mortalitas.
3. Etiologi
Etiologi menurut (vina, 2015)

a. Immobility
Lansia yang terus-menerus berada ditempat tidur (disebut berada
pada keadaan (bed rdden). Berakiabt atrofi otot, decubitus,
malnutrisi, serta pnemonia. Faktor resikonya dapat berupa
osteortritis, gangguan penglihatan, fraktur, hipotensi postural,
anemia, stroke, nyeri, demensia, lemah otot, vertigo, keterbatsan
ruang lingkup, PPOK, gerak sendi hipotiroid dan sesak napas,
imobilisasi pada lansia diakibatkan oleh adanya gangguan nyeri,
kekakuan, ketidakseimbangan, serta kelainan psikologis.
b. Instability
Akibat yang ditimbulkan seperti peristiwa jatuh merupakan
masalah yang juga penting pada lansia terutama lansia wanita.
c. Intelektual impaired
Gangguan intelektual berlangsung progresif disebut demensia.
Muncil secara perlahan tetapi progresif (biasanya selang bulanan
hingga tahunan). Gangguan depresi juga merupakan penyebab
kemunduran intelektual yang cukup sering ditemukan namun
seringkali terabaikan.depresi disebabkan oleh adanya suasana hati
atau mood yang bersifat depresif yang berlangsung sekurang-
kurangnya 2 minggu yang disertai keluhan-keluhan vegetatif
(berupa gangguan tidur, penurunan minat, perasaan bersalah,
merasa tidak bertenaga, kurang konsentrasi, hilangnya nafsu
makan.
d. Incontinance
Adalah penegluaran urin/feses tanpa disadari dalam jumlah dan
frekuensi yang cukup sehingga mengakibatkan maslah gangguan
kesehatan atau sosial. Ini bukan kinsekuensi normal dari
pertambahan usia. Penyebanya kelainan urologi (radang, batu,
tumor), kelainan neurologi (stroke, trauma medula spinalis,
demensia)lainya (imobilisasi, lingkungan). Dapat akut disaat
timbul penyakit atau yang kronik.
e. Isolation
Penyebabnya : kehilangan orang/objek yang dicintai, sikap
pasimistik, kecenderungan beradumsi negatif terhadap suatu
pengalaman yang mengecewakan, kehilangan integritas pribadi,
penyakit degeneratif kronik tanpa dukungan sosial yang adekuat.
f. Impotance
1) DE organik akibat gangguan endokrin, neurogenik, vaskuler
(aterosklerosis atau fibrosis)
2) DE psikogenik merupakan penyebab utama pada gangguan
organik, walaupun faktor psikogenik ikut memegang peranan.
DE jenis ini yang berpotensi reversible potensial biasanya yang
disebabkan oleh kecemasan, depresi, rasa bersalah, masalah
perkawinan atau juga akibat dari rasa takut akan gagal dalam
hubungan seksual.
g. Immuno-deficiensi
Daya tahan tubuh yang menurun pasa lansai merupakan fungsi
tubuh yang terganggu dengan bertambahnya umur seseorang.
Walupun tidak selamanya hal ini disebabkan oleh proses menua,
tapi dpaat pula karena berbagai keadaan seperti penyakit menahun
maupun penyakit akut yang dapat menyebabkan penurunan daya
tahan tubuh seseorang, demikian juga penggunaaan berbagai obat,
gizi yang kurang, penurunan fungsi organ tubuh dan lain-lain.
h. Infection
Terjdi akibat beberapa hal antara lain adanya penyakit penyakit
yang cukup banyak, menurunnya daya takan/imunitas terhadap
infeksi, menurunya daya komunikasi sehingga sulit/jarang
mengeluh, sulitnya mengenal tanda infeksi secara dini. Ciri utama
pada semua penyakit infeksi biasanya ditandai dengan peningkatan
temperatur badan, sering dijumpai pada usia lanjut.
i. Inanitation
Penyebab terjadinya gizi buruk adalah depresi berkabung,
imobilisasi, penyakit kronis (PPOK, rematik, gagal jantung,
diabetes, gagal ginjal, dispepsia, gangguan hati, keganasan),
demensia dan demam.
j. Impaction
Konstipasi yang terjadi pada lansia dibabkan karena pergerakan
fisik pada lansia yang kurang mengkonsumsi makan berserat,
kurang minum, juga akibat pemberian obat-obatan tertentu.
k. Insomnia
Pada lansia dapat disebabkan oleh faktor yang trdiri dari nyeri
kronis, sesak napas pada penyakit paru obstruktif kronis, gangguan
psikiatrik (gangguan cemas dan depresi), penyakit neurologi
(parkinson’s disease, alzheimer disease)dan obat-obatan
kortikosteroid dan diuretik)
l. Gangguan pendengaran, penglihatan dan penciuman
Sistem pendengaran: kehilangan mendengar bunyi dengan nada
yang sangat tinggi akibat dari berhentinya pertumbuhan saraf dan
berakhirnya pertumbuhan organ basal yang mengakibatkan
matinya rumah siput didalam telinga. Dapat mendengar pada suara
rendah.
Sitem penglihatan daa penurunan yang konsissten dalam
kemampuan untuk melihat objek pada tingkat penerangan yang
rendah serta menurunnya sensivitas terhadap warna.
Daya penciuman menjadi kurang tajam dengan bertambahnya
usia, sebagian karena pertumbuhan sel didalam hidung berhenti
dan sebagian lagi karena semakin lebatnya bulu rambut dilubang
hidung.
4. Manifestasi Geriatric Syndrom
Manifestasi Geriatric Syndrom menurut : (Vina,2015)
a. Imobilisasi
1) Tidak mampu bergerak atau beraktifitas sesuai kebutuhan
2) Keterbatsan mengerakan sendi
3) Adnya kerusakan aktivitas
4) Penurunan ADL dibantu orang lain
5) Malas untuk bergerak atau latihan mobilitas
b. Inkontinensia
1) Inkontinensia stress: keluarnya urin selama batuk, mengejan
2) Inkotinensia urgensi: ketidakmampuan menahan keluarnya urin
dengan gambaran seringnya terburu-buru berkemih
3) Enuresis nokturnal: keluarnya urin saat tidur malam hari
c. Demensia
1) Rusaknya seluruh jajaran fungsi kognitif
2) Awalnya gangguan daya ingat jangka pendek
3) Gangguan kepribadian dan perilaku
4) Mudah tersinggung, bermusuhan
5) Keterbatasan dalam ADL
6) Kesulitan mengatur dalam penggunaan keuangan
7) Tak bisa pulang kerumah bila berpergian
8) Sulit mandi makan, berpakaian dan toilet
d. Konstipasi
1) Kesulitan memulai dan menyelesaikan BAB
2) Mengejan keras saat BAB
3) Masa feses yang keras dan sulit keluar
4) Perasaan tidak tuntas saat BAB
5) Sakit pada daerah rectum saat BAB
6) Adanya perembesan feses cair pada pakaian dalam
7) Menggunakan bantuan jari-jari untuk mengeluarkan feses
8) Menggunakan obat-obatan pencahar untuk bisa BAB
e. Depresi
1) Ganguan tidur
2) Keluhan somatik berupa nyeri kepala, dizzi (puyeng),
pandangan kabur, gangguan saluran cerna, ganguan nafsu
makan, kontipasi, perubahan berat badan
3) Gangguan psikomotor berupa aktivitas tubuh meningkat,
aktivitas mental meningkat atau menurun, tidak mengacuhkan
kejadian disekitarnya, fungsi seksual berubah (libido menurun),
gejala biasanya lebih buruk dipagi hari.
f. Malnutrisi
1) Kelelahan dan kekurangan energi
2) Pusing
3) Sitem kekebalan tubuh yang rendah (mengakibatkan tubuh
kesulitan melawan infeksi
4) Kulit kering dan bersisik
5) Gigi yang membusuk’
6) Gusi bengkak dan berdarah
7) Sulit untuk berkonsentrasi dan mempunyai reaksi yang lambat
8) Badan badan kurang
9) Pertumbuhan yang lambat
10) Kelemahan pada otot
11) Perut kembung
12) Tulang yang mudah patah
13) Terdapat masalah pada fungsi organ tubuh
g. Insomnia
1) Perasaan sulit tidur, bangun terlalu awal
2) Wajah kelihatan kusam
3) Mata merah, hingga timbul bayangan gelap dibawah mata
4) Lemas, mudah cemas
5) Sulit berkonsentrasi, depresi, gangguan memori dan mudah
tersinggung
h. Immune Deficeincy
1) Sering terjadi infeksi virus atau jamur dibandungkan bakteri
2) Diare kronik umum terjadi (sering disebut gastroenteritis)
3) Infeksi respiratorius dan oral thrushumum terjadi
4) Terjadi failure to thrive tanpa adanya infeksi
i. Impoten
1) Tidak mampu ereksi sama sekali atau tidak mampu
mempertahankan ereksi secara berulang (paling tidak selama 3
bulan)
2) Tidak mampu mencapai ereksi yang konsisten
3) Ereksi hanya sesaat
5. Penatalaksanaan Geriatric Syndrome (Vina, 2015)
Pendekatan peripurna pasien geriatri merupakan prosedur
pengkajian multidimensi. Pendekatan multidimensi berusaha untuk
menguraikan berbagai masalah pada pasien geriatri, mengidentifikasi
semua aseit pasien, mengidentifikasi jenis pelayanan yang
dibutuhkan, dan mengembangkan rencanna asuhan yang berorientasi
pada kepentingan pasien. Beberapa penatalaksaan secara umum
sindrom geriatrik diantaranya:
a. Pemberian asupan diet protein , vitamin C,D, E & mineral yang
cukup.
Orang usia lanjut umumnya mengkonsumsi protein kurang dari
angka kecukupan gizi. Proporsi protein yang adekuat merupakan
faktor penting, bukan dalam jumlah besar pada sekali makan.
Protein sebaiknya mengandung asam amino esensial. Leusin
adalah asam amino esensial dengan kemampuan anabolisme
protein tertinggi sehingga dapat mencegah sarkopenia.
b. Pengaturan olahraga secara teratur
Kemampuan dasar seperti: berjalan, keseimbangan, fungsi
kognitif. Aktivitas fisik dapat menghambat penurunan massa dan
fungsi otot dengan memicu peningkatan masa dan kapasitas
metabolik otot sehingga memengaruhi energy expenditure,
metabolis glukosa dan cadangan protein
c. Pencegahan infeksi dengan vaksin
d. Antisipasi kejadian yang dapat menimbulkan stres misalnya
pembedahan elektif dan recon ditioning cepat setelah mengalami
stres dnegna renutrisi dan fisioterapi individual
e. Terapi pengabatan pada lansia berbeda dari pasien pada usia muda,
karena adanya perubahan kondisi tubuh yang disebabkan oleh usia,
dan dampak yang timbul dari penggunaan obat-obatan yang
digunakan sebelumnya.
Penatalaksaanna resiko jatuh:
1) Perhatikan penggunaan alat bantu melihat (kaca mata) dan alat
bantu dengar (earphone)
2) Evaluasi dan ciptakan lingkungan yang aman dan nyaman
3) Evaluasi kemampuan kognitif
4) Beri lansia bantu berjalan seperti hand rail walker
Penatalaksanaan gangguan tidur:
1) Tingkatkan aktivitas rutin setiap hari
2) Ciptakan lingkungan yang nyaman
3) Kurang konsumsi kopi
4) Berikan benzodiazepine seperti temazepam (7,5-15mg)
6. Pencegahan geratric syndrome
1) Promosi
Merupakan tindakan secara langsung dan tidak langsung untuk
meningkatkan derajat kesehatan dan mencegah penyakit.
Merupakan proses advokasi kesehatan untuk meningkatkan
dukungan klien, tenaga profesinal dan masyarakt terhadap praktik
kesehatan yang positif menjadi norma-norma sosial. Untuk
membantu organ-organ mengubah gaya hidup mereka dan
bergerak kearaha kesehatan yang optimal serta mendukung
pemberdayaan seseorang untuk membuat pilihan yang sehat
tentang perilaku hidup mereka. Upaya perlindungan kesehatan
bagi lansia:
a. Mengurangi cedera, dilakukan dnegan tujuan mengurangi
kejadian jatuh, mengurangi bahaya kebakaran dalam rumah
b. Meningkatkan keamanan ditempat kerja bertujuan untuk
mengurangi terpapar dengan bahan-bahan kimia
c. Meningkatkan perlindungan dari kualitas udara yang buruk
bertujuan untuk mengurangi penggunaan semprotan bahan-
bahan kimia, mengurangi radiasi dirumah
d. Meningkatkan perhatian terhadap kebutuhan gigi dan mutu
yang bertujuan untuk mengurangi karies gigi serta memlihahara
kebersihan gigi dan mulut
2) Pencegahan preventif
a. Melakukan pencegahan primer meliputi: pencegahan pada
lansia sehat, terdapat faktor risiko, tidak ada penyakit, dan
promosi kesehatan. Jemisnya: program imunisasi, konseling,
berhenti merokok, dan minum beralkohol, dukungan nutrisi,
keamanan didalan dan sekitar rumah, menejemen stres
b. Melakukan pencegahan sekunder melputi : pemeriksaan
terhadap penderita tanpa gejala dari awal penyakit hingga
terjadi gejala penyakit belum tampak secara klinis dan
mengidap faktor resiko. Jenisnya: kontrol hipertensi, deteksi
dan pengobatan kanker, screening, pemeriksaan rektal,
papsmear, gigi mulut
c. Melakukan pencegahan tersier : dilakukan sebelum terdapat
gejala penyakit dan cacat, mencegah cacat bertambah dan
ketergantungan serta perawatan dengan perawtan dirumah sakit,
rehabilisasi pasien rawat jalan dan perawatan jangka panjang.
1.2 Konsep Teori Hipervolemia
Hipervolemia adalah suatu keadaan atau terjadinya peningkatan volume

cairan ekstrasel khususnya intravascular melebih kemampuan tubuh

mengeluarkan air melalui ginjal (Unit Pendidikan Kedokteran-Pengembangan

Keprofesian Berkelanjutan (UPK-PKB), 2008). Hipervolemia adalah peningkatan


volume cairan intravaskular, interstisial, dan intraseluler (Tim Pokja SDKI DPP

PPNI, 2017b). Hipervolemia (kelebihan volume cairan) adalah peningkatan

asupan dan/atau retensi cairan (NANDA, 2018). Hypervolemia pada gagal ginjal

kronis merupakan suatu ketidakseimbangan yang memengaruhi cairan

ekstraseluler sehingga terjadi pertambahan natrium dan air dalam jumlah yang

relative sama yang kemudian terjadi kelebihan volume cairan ekstraseluler

(Muttaqin, 2014).

Kelebihan volume cairan ekstraselular (ECF) dapat terjadi jika natrium dan

air kedua-duanya tertahan dengan proporsi yang lebih kurang sama. Seiring

dengan terkumpulnya cairan isotonic berlebihan di ECF (Extra Celuler Fluid),

maka cairan akan berpindah ke kompartemen cairan interstisial sehingga

menyebabkan terjadinya edema. Kelebihan volume cairan selalu terjadi sekunder

akibat peningkatan kadar natrium tubuh total yang akan menyebabkan terjadinya

retensi air (Mubarak et al., 2015).

1. Etiologi hipervolemia pada gagal ginjal kronis


Penyebab (etiology) merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan

status kesehatan. Etiology dapat mencakup empat kategori yaitu : a) Fisiologis,


Biologis atau Psikologis; b) Efek terapi/ tindakan; c) Situasional (lingkungan atau

personal); d) Maturasional (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017b).

Hypervolemia pada gagal ginjal kronis merupakan suatu ketidakseimbangan

yang memengaruhi cairan ekstraseluler sehingga terjadi pertambahan natrium dan

air dalam jumlah yang relative sama yang kemudian terjadi kelebihan volume

cairan ekstraseluler (Muttaqin, 2014). Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI

(2017) penyebab hipervolemia pada gagal ginjal kronis adalah gangguan

mekanisme regulasi (ekskresi cairan).

a. Gangguan regulasi air

Peningkatan osmolaritas plasma dan cairan interstisium menimbulkan refleks

umpan balik negative cairan ekstrasel yang di sensor oleh osmoreseptor di system

saraf pusat. Sinyal dari osmoreseptor ini akan merangsang kelenjar yang

menghasilkan ADH di hipotalamus. ADH akan dilepas dari ujung-ujung saraf

pada kelenjar hipofisis posterior dan dikeluarkan ke sirkulasi. Peningkatan ADH

plasma akan meningkatkan reabsorpsi air di tubulus ginjal sehingga terjadi retensi

air (Unit Pendidikan Kedokteran-Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan

(UPK-PKB), 2008). Terjadinya retensi air akan menyebabkan volume cairan

ekstraselular meningkat (hypervolemia) yang nantinya cairan tersebut akan

berpindah ke ruang interstisial sehingga menyebabkan peningkatan volume darah

dan edema (Mubarak et al., 2015).

b. Gangguan regulasi natrium

Natrium merupakan kation dominan yang terdapat pada cairan ekstrasel.

Lebih dari 90% tekanan osmotic di cairan ekstrasel di tentukan oleh garam yang

mengandung natrium khususnya dalam bentuk natrium klorida (NaCl) dan

natrium
bikarbonat, sehingga perubahan tekanan osmotic pada cairan ekstrasel

menggambarkan perubahan konsentrasi natrium. Kelebihan natrium dalam darah

akan meningkatkan tekanan osmotic dan menahan air lebih banyak sehingga

tekanan darah akan meningkat. Peningkatan konsentrasi natrium cairan ekstrasel

yang diperoleh dari pemasukan tinggi natrium menyebabkan kandungan natrium

di cairan ekstrasel meningkat. Peningkatan kandungan natrium akan diikuti

peningkatan konsentrasi natrium plasma secara temporer.

Beberapa hormone juga dapat menyebabkan terjadinya retensi natrium dan air

yaitu hormone aldosterone dan hormone glukokortikoid. Sekresi aldosterone

diaktifkan oleh angiotensin II yang dihasilkan di ginjal oleh system renin-

angiotensin (Unit Pendidikan Kedokteran-Pengembangan Keprofesian

Berkelanjutan (UPK-PKB), 2008). Pengeluaran renin dari ginjal akan

mengakibatkan perubahan angiostensinogen (suatu glikoprotein yang di buat

dalam hati) menjadi angiostensin I. Angiostensin I kemudian dirubah menjadi

angiostensin II oleh converting enzyme yang ditemukan di dalam kapiler paru-

paru. Angiostensin II meningkatkan tekanan darah dengan menyebabkan

vasokonstriksi arteriol perifer dan merangsang sekresi aldosterone. Peningkatan

kadar aldosterone akan merangsang reabsorpsi natrium dalam tubulus distal dan

duktus koligen. Peningkatan reabsorpsi natrium akan mengakibatkan peningkatan

reabsorpsi air dan dengan demikian volume plasma meningkat (Price & Wilson,

2015).

Sedangkan hormone glukokortikoid merupakan hormone yang dapat

meningkatkan reabsorpsi natrium sehingga menyebabkan volume darah

meningkat dan terjadi retensi natruim (Tambayong, 2013). Fungsi utama natrium

adalah untuk membantu mempertahankan keseimbangan cairan terutama intrasel


dan ekstrasel.
Ketika terjadi retensi (kelebihan) natrium dan air ini akan menyebabkan volume

cairan ekstraselular meningkat (hypervolemia) yang nantinya cairan tersebut akan

berpindah ke ruang interstisial sehingga menyebabkan peningkatan volume darah

dan edema (Mubarak et al., 2015).

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi hypervolemia pada gagal


ginjal kronis
a. Usia

Bayi dan anak yang sedang tumbuh memiliki perpindahan cairan yang jauh

lebih besar dibandingkan orang dewasa karena laju metabolisme mereka lebih

tinggi meningkatkan kehilangan cairan. Bayi kehilangan banyak cairan melalui

ginjal karena ginjal yang belum matang kurang mampu menyimpan air

dibandingkan ginjal orang dewasa. Pada usia paruh baya (40-65 tahun) perubahan

fisik individu yang terjadi pada system perkemihan yaitu unit nefron berkurang

selama periode ini dan laju filtrasi glomerulus menurun. Pada lansia (lebih dari

65 tahun) perubahan fisik normal akibat penuaan pada perkemihan yaitu

penurunan kemampuan filtrasi ginjal dan gangguan fungsi ginjal, konsentrasi

urine menjadi kurang efektif, urgensi berkemih dan sering berkemih (Kozier et

al, 2011)

b. Suhu lingkungan

Suhu lingkungan juga dapat memengaruhi hypervolemia pada gagal ginjal

kronis. Disaat suhu lingkungan mengalami peningkatan, maka keringat akan

lebih banyak dikeluarkan, ion natrium dan klorida juga dilepaskan bersamaan

dengan keringat. Selain itu, juga terjadi peningkatan curah jantung dan frekuensi

denyut nadi yang nantinya akan memacu peningkatan hormone aldosterone

(Pranata, 2013). Hormone ini bekerja pada tubulus gnjal untuk meningkatkan
absorpsi natrium (Tambayong, 2013). Sehingga terjadi retensi natrium yang pada

akhirnya
menyebabkan retensi air dan terjadi peningkatkan volume cairan ekstrasel

(hypervolemia) (Pranata, 2013).

c. Gaya hidup

Gaya hidup di sini meliputi diet, dan stress yang dapat memengaruhi

keseimbangan cairan dan elekrolit (Pranata, 2013).

1) Diet

Diet dapat mempengaruhi asupan cairan. Asupan nutrisi yang tidak adekuat

dapat mempengaruhi terhadap kadar albumin serum. Jika albumin serum

menurun, cairan interstitial tidak bisa masuk ke pembuluh darah sehingga terjadi

edema. (Mubarak et al., 2015)

2) Stres

Stress merupakan suatu hal yang tidak boleh diremehkan. Stress akan

meningkatkan beberapa kadar hormone seperti aldosterone, glukokortikoid dan

ADH. Hormone aldosterone dan glukokortikoid yang menyebabkan retensi

natrium, sehngga air juga akan tertahan. Sedangkan dampak dari peningkatan

ADH adalah penurunan jumlah urin sehingga terjadi retensi air (Pranata, 2013).

3. Patofisiologi hipervolemia pada gagal ginjal kronis


Dalam mekanisme homeostasis, ginjal memiliki peran yang sangat penting

yaitu membuang kelebihan garam sehingga input bisa sama dengan output.

(William, 2017). Beberapa faktor yang memengaruhi mekanisme kerja ginjal

yang dalam hal pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit adalah usia, suhu

lingkungan, gaya hidup (diet, stress). Pada bayi dan anak yang sedang tumbuh

memiliki perpindahan cairan yang jauh lebih besar dibandingkan orang dewasa

karena laju metabolisme mereka lebih tinggi meningkatkan kehilangan cairan.


Bayi kehilangan banyak cairan melalui ginjal karena ginjal yang belum matang

kurang mampu menyimpan air dibandingkan ginjal orang dewasa. Pada usia

paruh baya (40-65 tahun) perubahan fisik individu yang terjadi pada system

perkemihan yaitu unit nefron berkurang selama periode ini dan laju filtrasi

glomerulus menurun (Kozier et al, 2011).

Suhu lingkungan dan stress juga dapat memicu terjadinya hypervolemia.

Suhu lingkungan yang panas akan memicu peningkatan hormone aldosterone

yang bekerja pada tubulus ginjal dan tingkat stress juga meningkatkan beberapa

kadar hormone seperti aldosterone, glukokortikoid dan ADH. Hormone

aldosterone dan glukokortikoid yang menyebabkan retensi natrium, sehngga air

juga akan tertahan. Sedangkan dampak dari peningkatan ADH adalah penurunan

jumlah urin sehingga terjadi retensi air (Pranata, 2013)

Pada gagal ginjal kronis sekitar 90% dari massa nefron telah hancur

mengakibatkan laju filtrasi glomelurus (GFR) menurun sehingga ginjal tidak

mampu lagi mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit dalam tubuh.

Menurunnya laju filtrasi glomelurus (GFR) menyebabkan retensi (kelebihan)

natrium dan air. Adanya perbedaan tekanan osmotic karena natrium tertahan

menyebabkan terjadi proses osmosis yaitu air berdifusi menembus membrane sel

hingga tercapai keseimbangan osmotic (Price & Wilson, 2015). Fungsi utama

natrium adalah untuk membantu mempertahankan keseimbangan cairan terutama

intrasel dan ekstrasel. Retensi (kelebihan) natrium dan air ini akan menyebabkan

volume cairan ekstraselular meningkat (hypervolemia) yang nantinya cairan

tersebut akan berpindah ke ruang interstisial sehingga menyebabkan peningkatan

volume darah dan edema (Mubarak et al., 2015).


4. Manifestasi klinis hipervolemia pada gagal ginjal kronis
Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2017) tanda merupakan data objektif

yang diperoleh dari hasil pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratoriun, dan

prosedur diagnostic sedangkan gejala merupakan data subjektif yang diperoleh

dari hasil anamnesis. Tanda dan gejala hypervolemia pada gagal ginjal kronis

adalah:

a. Dyspnea, Ortopnea dan Paroxysmal Nocturnal Dispnea (PND)

Kelebihan cairan vaskuler dapat meningkatkan hidrostatik cairan.

Peningkatan tekanan hidrostatik yang besar dapat menekan sejumlah cairan

hingga ke membrane kapiler paru-paru sehingga menyebabkan edema paru dan

dapat mengakibatkan kematian. Manifestasi edema paru inilah yang dapat

menyebabkan dyspnea, penumpukan sputum, batuk, dan suara ronki (Mubarak et

al., 2015).

Dyspnea atau sesak napas, terjadi akibat penimbunan cairan dalam alveoli

yang mengganggu pertukaran gas. Dyspnea bahkan dapat terjadi saat istirahat

atau dicetuskan oleh gerakan yang minimal atau sedang. Dapat terjadi ortopnea

yaitu kesulitan bernapas saat berbaring. Pasien yang mengalami ortopnea tidak

akan mau berbaring, tetapi akan menggunakan bantal agar bisa tegak di tempat

tidur atau duduk di kursi, bahkan saat tidur. Beberapa pasien hanya mengalami

ortopnea pada malam hari, yaitu suatu kondisi yang dinamakan paroxysmal

nocturnal dyspnea (PND). Hal ini terjadi bila pasien, yang sebelumnya duduk

lama dengan posisi kaki dan tangan di bawah, pergi berbaring ke tempat tidu.

Setelah beberapa jam, cairan yang tertimbun di ekstremitas yang sebelumnya

berada di bawah mulai diabsorbsi, dan ventrikel kiri yang sudah terganggu, tidak

mampu mengosongkan peningkatan volume dengan adekuat. Akibatnya, tekanan


dalam sirkulasi paru meningkat dan lebih lanjut cairan berpindah ke alveoli

(Smeltzer & G.Bare, 2013).


Paroxysmal Nocturnal Dyspnea (PND) disebabkan oleh perpindahan cairan

dari jaringan ke dalam kompartemen intravaskuler sebagai akibat posisi

terlentang. Selama siang hari tekanan pada vena tinggi khususnya pada bagian

dependen tubuh. Hal ini terjadi karena gravitasi, peningkatan volume cairan, dan

peningkatan tonus sismpatetik. Dengan peningkatan tekanan hidrostatik ini,

beberapa cairan keluar masuk ke area jaringan. Dengan posisi terlentang tekanan

pada kepiler– kapiler dependen menurun, dan cairan diserap kembali ke dalam

sirkulasi. Peningkatan volume memberikan jumlah tambahan darah yang

diberikan ke jantung untuk memompa tiap menit dan memberikan beban

tambahan pada dasar vaskuler pulmonal yang telah kongesti. Paroxysmal

Nocturnal Dyspnea (PND) terjadi bukan hanya pada malam hari, tetapi kapan aja

selam perawatan akut di rumah sakit yang memerlukan tirah baring (Muttaqin,

2014).

b. Edema (edema anasarka dan/atau edema perifer)

Edema adalah suatu keadaan dengan akumulasi cairan di jaringan interstisium

secara berlebihan akibat penambahan volume yang melebihi kapasitas

penyerapan pembuluh limfe. Edema juga merupakan refleksi dari kelebihan

natrium dan hypervolemia. Ketika edema, tidak terjadi hypernatremia karena

sebagai akibat meningkatnya sekresi hormone ADH dari hipotalamus dan adanya

rangsangan rasa haus akibat kelebihan natrium (hiperosmolalitas) yang

menyebabkan retensi air sehingga tidak terjadi hypernatremia (Unit Pendidikan

Kedokteran-Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (UPK-PKB), 2008).

Proses terbentuknya edema ansarka terjadi akibat tekanan osmotic di plasma

menurun, menyebabkan cairan berpindah dari vaskuler ke ruang interstitial.

Berpindahnya cairan menyebabkan penurunan sirkulasi volume darah yang


mengaktifkan sistem imun angiotensin, menyebabkan retensi natrium dan edema

lebih lanjut keseluruh tubuh (Price & Wilson, 2015).

Edema anasarka adalah edema yang terdapat di seluruh tubuh. Edema perifer

adalah edema pitting yang muncul di daerah perifer dan akan mencekung bila di

tekan pada daerah yang bengkak (Mubarak et al., 2015). Edema perifer pada

pasien merupakan akibat dari penumpukan cairan karena berkurangnya tekanan

osmotik plasma dan retensi natrium dan air. Akibat peranan dari gravitasi, cairan

yang berlebih tersebut akan lebih mudah menumpuk di tubuh bagian perifer

seperti kaki, sehingga edema perifer akan lebih cepat terjadi dibanding gejala

kelebihan cairan lainnya (Aisara et al., 2018).

c. Berat badan meningkat dalam waktu singkat

Kenaikan dan penurunan berat badan perhari dengan cepat biasanya

berhubungan dengan perubahan volume cairan. Peningkatan berat badan lebih

dari 2, 2 kg/hari (1 lb/hari) diduga ada retensi cairan. Secara umum pedoman

yang dipakai adalah 473 ml (1 pt) cairan menggambarkan 0,5 kg (1,1 lb) dari

peningkatan berat badan (Morton et al, 2012).

Pasien yang mengikuti dan melaksananakan petunjuk menjaga keseimbangan

cairan dapat membantu mempertahankan berat badan interdialytic (IDWG) 2,5%

sampai 3,5% berat badan kering ataus tidak melebihi 5% berat badan kering.

Nilai IDWG (interdialytic weight gain) dihitung berdasarkan berat badan pasien

sebelum hemodialisa (berat badan basah) dikurangi berat badan setelah

hemodialisa (berat badan kering). Nilai normal IDWG adalah kurang dari 3%

berat badan kering (Price & Wilson, 2015).


d. Central venous pressure (CVP), jugular venous pressure (JVP), distensi vena

leher

Central venous pressure atau tekanan vena sentral merupakan gambaran

pengisian ventrikel kanan dan menunjukkan kemampuan sisi kanan jantung

dalam mengatur beban cairan. CVP berperan sebagai pemandu pemberian cairan

pada pasien yang mengalami sakit serius dan sebagai pengatur volume efektif

darah yang beredar. Peningkatan CVP dapat merupakan tanda akhir dari gagal

ventrikuler. Penurunan CVP menunjukkan bahwa pasien mengalami

hypovolemia dan dibuktikan bila pada pemberian cairan intravena cepat akan

menaikkan CVP. Peningkatan CVP dapat disebabkan baik oleh hopervolemia

atau kontraktilitas jantung yang buruk. CVP diukur berdasrkan tingginya kolom

air pada manometer. Saat mengukur titik nol manometer harus sejajar dengan titik

acuan standar disebut aksis flebostatik (persilangan dua garis acuan). Bila

digunakan aksis flebostatik CVP dapat diukur dengan tepat pada pasien dalam

posisi terlentang dan kepala ditinggikan sampai 45 derajat. CVP normal adalah 4

sampai 10 cm H2O (Smeltzer & G.Bare, 2013) .

Jugular venous pressure atau tekanan vena jugularis merupakan tekanan vena

perifer, saat CVP melebihi nilai normal akan membuat vena menjadi lebar

bahkan titik-titik rawan kolaps akan terbuka bila CVP meningkat (Morton et al.,

2012).

Pemantauan selanjutnya adalah berupa pemantauan adanya distensi vena

jugularis dan mengukur JVP. Hal tersebut dapat dilakukan sehubungan dengan

anatomi pembuluh darah tersebut bermuara pada vena sentral (vena cava

superior). Peningkatan pada vena sentral sehubungan dengan meningkatnya

volume sirkulasi sistemik akan berdampak kepada peningkatan JVP yang


dapat terlihat dengan
adanya distensi vena leher, jadi secara tidak langsung terhadap distensi vena leher

dan peningkatan JVP menunjukkan kemungkinan adanya kondisi overload

cairan. Tekanan vena jugulari diperiksa sebagai berikut:

1) Pasien dalam posisi supine, dengan kepala dinaikkan setinggi 15 sampai

30 derajat pada tempat tidur atau meja pemeriksa.

2) Kepala pasien sedikit dipalingkan menjauhi sisi leher yang akan diperiksa.

3) Carilah vena jugularis eksterna

4) Carilah denyutan vena jugularis interna (bedakan denyutan ini dengan

denyutan dari arteri karotis interna di sebelahnya).

5) Tentukan titik tertinggi dimana denyutan vena jugularis interna masih terlihat.

6) Dengan menggunakan penggaris sentimeter, ukurlah jarak ventrikel Antara

titik ini dengan sudut sternal.

7) Catatlah jarak dalam sentimeter dan tentukan sudut kemiringan pasien

berbaring (mis. denyut vena jugularis 5 cm diatas sudut sternal, dengan

kepala dinaikkan 30 derajat).

8) Pengukuran yang lebih dari 3 sampai 4 cm di atas sudut sternal dianggap

suatu peningkatan.

Kalau vena jugularis interna sulit dicari, dapat dicatat denyut vena jugularis

eksterna. Vena ini lebih superfisial dan terlihat tepat diatas klavikula di sebelah

otot sternocleidomastoid, dan biasanya mengalami distensi jika pasien berbaring

dengan posisi supine pada tempat tidur atau meja pemeriksaan. Ketika kepala

pasien dinaikkan maka distensi vena ini akan hilang. Vena ini normalnya tidak

akan kelihatan jika kepala dinaikkan lebih dari 30 derajat. Distensi yang jelas saat
kepala dinaikkan sebesar 45sampai 90 derajat menunjukkan peningkatan abnormal

volume system vena (Smeltzer & G. Bare, 2013).

e. Refleks hepatojugular positif

Refleks hepatojugular positif merupakan respon vena jugularis yang terjadi

saat jantung menerima beban sehingga peregangan vena jugularis meningkat dan

frekuensi denyut vena di leher juga meningkat (Price & Wilson, 2015)

f. Hepatomegaly

Hepatomegaly dan nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen yang terjadi

akibat pembesaran vena di hepar merupakan manifestasi dari kegagalan jantung.

Bila proses ini berkembang maka tekanan dalam pembuluh portal meningkat,

sehingga cairan terdorong keluar rongga abdomen, yaitu suatu kondisi yang

dinamakan asites. Pengumpulan cairan dalam rongga abdomen ini dapat

menyebabkan tekanan pada diafragma dan distress pernapasan (Muttaqin, 2014).

g. Kadar Hb/Ht turun

Pasien dengan gagal ginjal kronis berat hamper selalu mengalami anemia.

Penyebab paling pening dari hal ini adalah berkurangnya sekresi eritropoietin

ginjal yang merangsang sumsum tulang untuk menghasilkan sel darah merah.

Jika ginjal mengalami kerusakan berat, ginjal tidak mampu membentuk

eritropoietin dalam jumlah yang cukup sehingga menyebabkan terjadinya

penurunan produksi sel darah merah (hemoglobin) dan menimbulkan anemia

(Guyton & Hall, 2011).

Hematocrit adalah fraksi darah yang terdiri ari sel-sel darah merah yang

ditentukan melalui sentrifugasi darah dalam “tabung hematocrit”. Persentase

darah berupa sel disebut hematocrit. Jadi, bila seseorang mempunyai hematocrit

40, artinya 40 persen volume darah adalah sel dan sisanya adalah plasma. Pada
laki-
laki normal, hematocrit terukur rata-rata sekitar 42% dan pada wanita normal

rata- rata sekitar 38%. Pada anemia berat hematocrit dapat turun sampai 10%

yaitu suatu nilai yang hampir tidak cukup untuk mempertahankan hidup.

Sebaliknya, ada beberapa kondisi dimana terjadi produksi sel darah merah yang

berlebihan yaitu pada polisitemia. Pada kondisi ini hematocrit dapat mencapai

65% (Guyton & Hall, 2011).

h. Terjadinya penurunan produksi urine (oliguria)

Pada pasien gagal ginjal kronis terjadi penurunan fungsi ginjal, jumlah nefron

yang sudah tidak berfungsi menjadi meningkat, maka ginjal tidak akan mampu

dalam menyaring urine. Kemudian dalam hal ini, glomerulus akan kaku dan

plasma tidak dapat di filter dengan mudahnya lewat tubulus sehingga terjadi

retensi natrium dan cairan yang mengakibatkan ginjal tidak mampu dalam

mengkonsentrasikan atau mengencerkan urine secara normal sehingga terjadi

oliguria (Muttaqin, 2014).

i. Intake lebih banyak dari output

Asupan yang bebas dapat menyebabkan beban sirkulasi berlebihan. Aturan

yang dipakai untuk menentukan banyaknyan asupan cairan yaitu jumlah urin yang

dikeluarkan selama 24 jam terakhir di tambah 500 ml (IWL) (Suharyanto, 2009).

j. Kongesti paru

Edema pulmonal akut adalah gambaran klinis paling bervariasi dihubungkan

dengan kongesti vaskuler pulmonal. Ini terjadi bila tekanan pulmonal melebihi

tekanan yang cenderung mempertahankan cairan di dalam saluran vaskuler

(kurang lebih 30 mmHg). Pada tekanan ini terdapat transduksi cairan ke dalam

(Smeltzer & G. Bare, 2013).


Table 1
Gejala dan Tanda Mayor & Minor pada Pasien Gagal Ginjal Kronis dengan
Hipervolemia di Ruang Dahlia BRSU Tabanan Tahun 2020

Keterangan Mayor Minor


Subjektif 1. Ortopnea Tidak tersedia
2. Dispnea
3. Paroxysmal  Nocturn
al Dyspnea
(PND)

Objektif 1. Edema anasarka 1. Distensi vena 


dan/ atau jugularis
edema perifer 2. Terdengar
2. Berat badan  suara napas 
meningkat dalam wak tambahan
tu singkat 3. Hepatomegaly
3. Jugular Venous  4. Kadar Hb/Ht turun
Pressure (JVP) dan/ a 5. Oliguria
tau Central Venous Pr 6. Intake lebih banyak 
essure dari output (balance 
(CVP) meningkat cairan positif)
4. Refleks hepatojugular 7. Kongesti paru
positif
(Sumber: Tim Pokja SDKI DPP PPNI, Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia, 2017)

1.3 Konsep Teori Kardiomegali


1. Definisi

Kardiomegali adalah sebuah keadaan anatomis (struktur


organ) di mana besarnya jantung lebih besar dari ukuran jantung
normal, yakni lebih besar dari 55% besar rongga dada. pada
Kardiomegali salah satu atau lebih dari 4 ruangan jantung membesar.
Namun umumnya kardiomegali diakibatkan oleh pembesaran bilik
jantung kiri (ventrikel kardia sinistra). (Sudoyo, 2010)
Hal ini dapat dikaitkan dengan banyak penyebab, tapi
sebagian besar karena output jantung yang rendah, jika tidak disebut
sebagai gagal jantung. Sebuah rasio kardiotoraks adalah cara untuk
mengukur ukuran hati seseorang. Dalam hal ini, kardiomegali terjadi
jika jantung lebih dari 55 persen lebih besar dari diameter bagian
dalam tulang rusuk seseorang (Libby p, 2008).
Left ventrikel hipertofi yang terjadi pada hipertensi mula-mula
merupakan proses adaptasi fisiologis, akan tetapi dengan penambahan
beban yang berlangsung terus Left ventrikel hipertofi akan merupakan
proses patologis. Hal ini terjadi bila telah dilampaui suatu masa kritis
ventrikel kiri sehingga menurunkan kemampuan jantung dan
menurunkan cadangan pembuluh darah koroner. Left ventrikel
hipertofi merupakan remodelling struktur jantung untuk
menormalisasikan stress dinding. Hipertrofi miokardium akan
menurunkan stress dinding agar fungsi jantung tetap normal (Libby P,
2018)

2. Etiologi

Penyebabnya ada banyak sekali, hampir semua keadaan yang memaksa


jantung untuk bekerja lebih keras dapat menimbulkan perubahan-
perubahan pada otot jantung sehingga jantung akan membesar. Logikanya
adalah misalnya pada binaragawan, otot- ototnya membesar karena
seringnya mereka melakukan aktivitas beban tinggi. Jantung juga
demikian. Penyebab yang terbanyak : (Sudoyo, 2010)
a. Penyakit Jantung Hipertensi
Pada keadaan ini terdapat tekanan darah yang tinggi
sehingga jantung dipaksa kerja ekstra keras memompa
melawan gradien tekanan darah perifer anda yang tinggi.
b. Penyakit Jantung Koroner
Pada keadaan ini sebagian pembuluh darah jantung
(koroner) yang memberikan pasokan oksigen dan nutrisi ke
jantung terganggu Sehingga otot-otot jantung berusaha bekerja
lebih keras dari biasanya menggantikan sebagian otot jantung
yang lemah atau mati karena kekurangan pasokan darah.
c. Kardiomiopati (diabetes, infeksi)
Yakni penyakit yang mengakibatkan gangguan atau
kerusakan langsung pada otot-otot jantung. Hal ini dapat
bersifat bawaan atau karena penyakit metabolisme seperti
diabetes atau karena infeksi. Akibatnya otot jantung harus kerja
ekstra untuk menjaga pasokan darah tetap lancar.

d. Penyakit Katup Jantung


Di jantung ada 4 katup yang mengatur darah yang keluar
masuk jantung. Apabila salah satu atau lebih dari katup ini
mengalami gangguan seperti misalnya menyempit (stenosis)
atau bocor (regurgitasi), akan mengakibatkan gangguan pada
curah jantung (kemampuan jantung untuk memopa jantung
dengan volume tertentu secara teratur). Akibatnya jantung juga
perlu kerja ekstra keras untuk menutupi kebocoran atau
kekurangan darah yang dipompanya.

e. Penyakit Paru Kronis


Mengapa penyakit paru kronis juga bisa menyebabkan
kardiomegali Karena pada penyakit paru kronis dapat timbul
keadaan di mana terjadi perubahan sedemikian rupa pada
struktur jaringan paru sehingga darah menjadi lebih sulit untuk
melewati paru-paru yang kita kenal dengan nama "Hipertensi
Pulmonal". Karena itu bilik jantung kanan yang memompa
darah ke paru-paru perlu kerja ekstra keras, sehingga tidak
seperti kebanyakan kardiomegali bukan bilik kiri yang
membesar tapi bilik kanan, tapi jika sudah berat bahkan bilik
kiri pun akan ikut membesar.
Kardiomegali itu sering kali disertai dengan keadaan gagal
jantung. Oleh karena itu kardiomegali seringkali menunjukkan
bahwa jantung telah lama mengalami kegagalan fungsi yang
sudah berlangsung cukup lama dan berat. Selain itu
kardiomegali cenderung membuat jantung mudah terkena
penyakit jantung koroner karena jantung yang besar perlu
pasokan darah dan oksigen yang besar sedangkan pasokan
darah belum tentu lancar. Kardiomegali berpotensi berbahaya
tapi yang lebih berbahaya adalah penyakit yang

menyebabkannya, karena seringkali timbul gejala-gejala klinis


lain yang berpotensi fatal seperti gagal jantung dan stroke.
f. Penyakit gangguan tiroid
Masalah pada tiroid baik itu tiroid kurang aktif
(hipotiroidisme) ataupun kelenjar tiroid yang terlalu aktif
(hipertiroidisme) dapat menyebabkan masalah jantung,
termasuk pembengkakan jantung.
g. Anemia
Anemia adalah suatu kondisi di mana tidak ada sel-sel
darah merah yang sehat untuk membawa oksigen yang cukup
dan memadai untuk jaringan. Anemia kronis yang tidak diobati
dapat menyebabkan denyut jantung yang cepat atau tidak
teratur. Hal ini terjadi karena jantung harus memompa lebih
banyak darah untuk menebus kekurangan oksigen dalam darah.

3. Faktor Risiko
Faktor resiko kardiomegali adalah sebagai berikut :
(Libby P, 2008).
1. Tekanan darah tinggi
2. Riwayat cardiomegaly ataupun cardiomyopathy di keluarga
3. Memiliki penyakit jantung koroner
4. Memiliki penyakit jantung turunan
5. Memiliki penyakit atau kelainan pada katup jantung
6. Pernah mengalami serangan jantung

4. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik menurut sudoyo adalah sebagai berikut :
(Sudoyo, 2010)
1. Tergantung dari derajat keparahannya. Tampak gejala yang
berhubungan dengan kegagalan pompa jantung untuk bekerja
dengan baik
2. Dapat disertai pusing, atau sensasi mau jatuh. Orang awam
menyebutnya “vertigo”. Dalam istilah asingnya disebut
“dizziness”.
3. Sesak nafas, seperti orang yang terengah-engah.
4. Terdapat cairan di rongga perut (ascites)
5. Kaki (tungkai, pergelangan kaki) membengkak
6. Berat badan bertambah karena pembengkakan
7. Palpitasi atau jantung berdebar

5. Pemeriksaan Penunjang
Jika memiliki gejala masalah jantung, maka harus melakukan
pemeriksaan dan ketertiban tes fisik untuk menentukan apakah jantung
membesar dan untuk menemukan penyebabnya. Tes-tes ini antara lain :
(Libby P, 2008).
1. Foto Dada X-ray
Gambar X-ray membantu dokter melihat kondisi paru-paru
dan jantung. Jika jantung membesar pada sinar-X, tes lainnya
biasanya akan diperlukan untuk menemukan penyebabnya.

2. Tes Electrocardiogram
Mencatat aktivitas listrik jantung melalui elektroda
menempel pada kulit. Impuls dicatat sebagai gelombang dan
ditampilkan pada monitor atau dicetak di atas kertas. Tes ini
membantu mendiagnosa masalah irama jantung dan kerusakan
jantung dari serangan jantung.
3. Tes Echocardiogram
Untuk mendiagnosis dan pemantauan pembesaran jantung
menggunakan gelombang suara untuk menghasilkan gambar
video dari jantung. Dengan tes ini, empat bilik jantung dapat
dievaluasi.
4. Tes darah
Untuk memeriksa kadar zat tertentu dalam darah yang
mungkin mengarah ke masalah jantung.
5. Kateterisasi jantung dan biopsy
Dalam prosedur ini, tabung tipis (kateter) dimasukkan di
pangkal paha dan berulir melalui pembuluh darah ke jantung, di
mana contoh kecil (biopsi) dari jantung, jika diindikasikan, dapat
diekstraksi untuk analisis laboratorium.
6. Tekanan dalam ruang jantung
Dapat diukur untuk melihat bagaimana paksa darah
memompa melalui jantung. Gambar arteri jantung dapat diambil
selama prosedur (angiogram koroner) untuk memastikan bahwa
tidak memiliki penyumbatan.
6. Komplikasi
Komplikasi jantung membesar (kardiomegali) dapat mencakup :
1. Gagal jantung
Salah satu jenis yang paling serius dari pembesaran
jantung, ventrikel kiri membesar, meningkatkan risiko gagal
jantung. Pada gagal jantung, otot jantung melemah, dan
peregangan ventrikel (membesar) ke titik bahwa jantung tidak
dapat memompa darah secara efisien ke seluruh tubuh.

2. Pembekuan darah
Memiliki pembesaran jantung dapat membuat lebih
rentan terhadap pembentukan bekuan darah di selaput jantung.
Jika gumpalan memasuki aliran darah, maka dapat memblokir
aliran darah ke organ-organ vital, bahkan menyebabkan
serangan jantung atau stroke. Gumpalan yang berkembang di
sisi kanan jantung dapat melakukan perjalanan ke paru-paru,
kondisi berbahaya yang disebut emboli paru.
3. Jantung murmur
Bagi penderita yang memiliki pembesaran jantung, dua
dari empat katup jantung - mitral dan katup trikuspid - katup
tidak menutup dengan benar karena melebar, yang mengarah
ke aliran balik darah. Aliran ini menciptakan suara yang
disebut murmur jantung.
4. Serangan jantung dan kematian mendadak
Beberapa bentuk pembesaran jantung dapat
menyebabkan gangguan dalam pemukulan irama jantung.
Irama jantung terlalu lambat untuk bergerak atau terlalu cepat
untuk memungkinkan jantung dapat mengakibatkan pingsan
atau, dalam beberapa kasus, serangan jantung atau kematian
mendadak.
1.4 Askep Teori Kardiomegali
1. Pengkajian
1) Identitas
Meliputi : Nama, umur, agama, jenis kelamin, alamat, alamat sebelum
tinggal di panti, suku bangsa, status perkawinan, pekerjaan sebelumnya,
pendidikan terakhir, tanggal masuk panti, kamar dan penanggung
jawab.
2) Riwayat Masuk Panti :
Menjelaskan mengapa memilih tinggal di panti dan bagaimana proses
nya sehingga dapat bertempat tinggal di panti.
3) Riwayat Keluarga
Menggambarkan silsilah (kakek, nenek, orang tua, saudara kandung,
pasangan, dan anak-anak)
4) Riwayat Pekerjaan
Menjelaskan status pekerjaan saat ini, pekerjaan sebelumnya, dan
sumber- sumber pendapatan dan kecukupan terhadap kebutuhan yang
tinggi.
5) Riwayat Lingkup Hidup
Meliputi : tipe tempat tinggal, jumlah kamar, jumlah orang yang tinggal
di rumah, derajat privasi, alamat, dan nomor telpon.
6) Riwayat Rekreasi
Meliputi : hoby/minat, keanggotaan organisasi, dan liburan
7) Sumber/ Sistem Pendukung
Sumber pendukung adalah anggota atau staf pelayanan kesehatan
seperti dokter, perawat atau klinik
8) Deksripsi Harian Khusus Kebiasaan Ritual Tidur
Menjelaskan kegiatan yang dilakukan sebelum tidur. Pada pasien
lansia dengan hipertensi mengalami susah tidur sehingga dilakukan
ritual ataupun aktivitas sebelum tidur.
9) Status Kesehatan Saat Ini
Meliputi : status kesehatan umum selama stahun yang lalu, status
kesehatan umum selama 5 tahun yang lalu, keluhan-keluhan kesehatan
utama, serta pengetahuan tentang penatalaksanaan masalah kesehatan.
10) Obat-Obatan
Menjelaskan obat yang telah dikonsumsi, bagaimana mengonsumsinya,
atas nama dokter siapa yang menginstruksikan dan tanggal resep
11) Status Imunisasi
Mengkaji status imunisasi klien pada waktu dahulu
12) Nutrisi
Menilai apakah ada perubahan nutrisi dalam makan dan minum, pola
konsumsi makanan dan riwayat peningkatan berat badan. Biasanya
pasien dengan hipertensi perlu memenuhi kandungan nutrisi seperti
karbohidrat, protein, mineral, air, lemak, dan serat. Tetapi diet rendah
garam juga berfungsi untuk mengontrol tekanan darah pada klien.
13) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaaan fisik merupakan suatu proses memeriksa tubuh pasien
dari ujung kepala sampai ujung kaki (head to toe) untuk menemukan
tanda klinis dari suatu penyakit dengan teknik inpeksi, aukultasi,
palpasi dan perkusi.
Pada pemeriksaan kepala dan leher meliputi pemeriksaan bentuk
kepala, penyebaran rambut, warna rambut, struktur wajah, warna kulit,
kelengkapan dan kesimetrisan mata, kelopak mata, kornea mata,
konjungtiva dan sclera, pupil dan iris, ketajaman penglihatan, tekanan
bola mata, cuping hidung, lubang hidung, tulang hidung, dan septum
nasi, menilai ukuran telinga, ketegangan telinga, kebersihan lubang
telinga, ketajaman pendengaran, keadaan bibir, gusi dan gigi, keadaan
lidah, palatum dan orofaring, posisi trakea, tiroid, kelenjar limfe, vena
jugularis serta denyut nadi karotis.
Pada pemeriksaan payudara meliputi inpeksi terdapat atau tidak
kelainan berupa (warna kemerahan pada mammae, oedema, papilla
mammae menonjol atau tidak, hiperpigmentasi aerola mammae, apakah
ada pengeluaran cairan pada putting susu), palpasi (menilai apakah ada
benjolan, pembesaran kelenjar getah bening, kemudian disertai dengan
pengkajian nyeri tekan).
Pada pemeriksaan thoraks meliputi inspeksi terdapat atau tidak
kelainan berupa (bentuk dada, penggunaan otot bantu pernafasan, pola
nafas), palpasi (penilaian vocal premitus), perkusi (menilai bunyi
perkusi apakah terdapat kelainan), dan auskultasi (peniaian suara nafas
dan adanya suara nafas tambahan).
Pada pemeriksaan jantung meliputi inspeksi dan palpasi (mengamati
ada tidaknya pulsasi serta ictus kordis), perkusi (menentukan batas-
batas jantung untuk mengetahui ukuran jantung), auskultasi
(mendengar bunyi jantung, bunyi jantung tambahan, ada atau tidak
bising/murmur)
Pada pemeriksaan abdomen meliputi inspeksi terdapat atau tidak
kelainan berupa (bentuk abdomen, benjolan/massa, bayangan pembuluh
darah, warna kulit abdomen, lesi pada abdomen), auskultasi(bising usus
atau peristalik usus dengan nilai normal 5-35 kali/menit), palpasi
(terdapat nyeri tekan, benjolan/masa, benjolan/massa, pembesaran
hepar dan lien) dan perkusi (penilaian suara abdomen serta pemeriksaan
asites).
Pemeriksaan kelamin dan sekitarnya meliputi area pubis, meatus uretra,
anus serta perineum terdapat kelainan atau tidak.
Pada pemeriksaan muskuloskletal meliputi pemeriksaan kekuatan dan
kelemahan eksremitas, kesimetrisan cara berjalan.
Pada pemeriksaan integument meliputi kebersihan, kehangatan, warna,
turgor kulit, tekstur kulit, kelembaban serta kelainan pada kulit serta
terdapat lesi atau tidak.
Pada pemeriksaan neurologis meliputi pemeriksaan tingkatan kesadaran
(GCS), pemeriksaan saraf otak (NI-NXII), fungsi motorik dan sensorik,
serta pemeriksaan reflex

Anda mungkin juga menyukai