Proposal Skripsi Agie
Proposal Skripsi Agie
Proposal Skripsi Agie
ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS PARAMADINA
2019
BAB I
PENDAHULUAN
Media sosial semakin populer seiring perkembangan zaman. Semakin banyak orang,
khususnya kaum muda berusia 18-25 tahun yang menggunakan media sosial. Berdasarkan
Katadata (2019) jumlah pengguna media sosial di Indonesia kini mencapai 150 juta orang
atau 56% dari total populasi. Jumlah tersebut naik 20% dari survei pada tahun sebelumnya.
Berdasarkan Websindo (2019) pengguna media sosial di Indonesia terbanyak berasal dari
kelompok umur 18-24 tahun dan 25-34 tahun, kemudian disusul oleh kelompok umur 13-17
tahun. Ariyanti (2018) menambahkan bahwa sebanyak 90,61% anak muda pengguna internet
kalangan kaum muda ini dibarengi dengan peningkatan intensitas penggunaannya. Penulis
mengamati bahwa teman-teman di sekitar penulis banyak yang cukup intens menggunakan
media sosial hingga berjam-jam per hari. Pengamatan penulis ini sesuai dengan data yang
ada, yaitu lama penggunaan media sosial di Indonesia rata-rata adalah 195 menit atau 3 jam
15 menit per hari (Duarte, 2019). Padahal penggunaan media sosial yang optimal adalah
kurang dari 30 menit per hari karena penggunaan yang melebihi angka tersebut meningkatkan
perasaan kesepian dan depresi secara signifikan (Hunt, Young, Marx.& Lipson, 2018).
Penggunaan media sosial yang sangat lama pada masyarakat Indonesia tersebut perlu
mendapatkan perhatian lebih. Hal ini karena media sosial lebih adiktif dibanding rokok dan
alkohol (RSPH, 2017). Layaknya hal-hal lain, media sosial tentunya memiliki dampak positif
dan negatif, tergantung bagaimana kita menggunakannya. Dampak positif dari media sosial
antara lain untuk mengekspresikan diri, memperluas jaringan pertemanan ,dan berkomunikasi
dengan teman dan keluarga dimana saja dan kapan saja. Namun dampak negatif yang
ditimbulkan dari media sosial juga tidak boleh dianggap remeh, antara lain : meningkatkan
berasal dari bahasa latin anxius dan dalam bahasa Jerman angst kemudian menjadi
masa-masa mendatang tanpa sebab khusus untuk ketakutan tersebut (Chaplin, 2000:33).
ketakutan/keprihatinan, tegang, atau rasa gelisah yang berasal dari antisipasi bahaya,
sumber yang sebagian besar tidak dikenali atau yang tak dikenal.
Beberapa penelitian terbaru meneliti tentang dampak sosial media terhadap kesehatan
mental ataupun aspek psikologis lainnya. Misalnya Taqwa (2018) yang menemukan bahwa
Penelitian ini dilakukan terhadap 358 mahasiswa berusia 18-24 tahun di Universitas
penggunaan media sosial pada siswa kelas XI MAN 2 Surakarta menyebabkan siswa
menyimpan konten pornografi dan menghabiskan waktunya untuk media sosial hingga
Handikasari, Jusuf, & Johan (2018) menemukan hal yang serupa yaitu terdapat korelasi
positif dan signifikan antara intensitas penggunaan media sosial dengan derajat gejala
depresi. Penelitian oleh RSPH (2017) di Inggris menemukan bahwa instagram merupakan
media sosial yang dampaknya paling buruk terhadap kesehatan mental. Meskipun media
menemukan bahwa tingkat depresi tertinggi di Indonesia ditemukan pada rentang usia remaja
atau dewasa muda, sesuai dengan tren dunia. Peltzer & Pengpid bahwa terdapat 32% wanita
dan 26% laki-laki berusia 15-19 tahun yang melaporkan gejala depresi sedang atau berat.
Mereka juga menjelaskan lebih lanjut bahwa faktor yang berkaitan dengan prevalensi depresi
yaitu : usia muda, persepsi ketidakcukupan ekonomi, menganggur atau sedang mencari
pekerjaan, mengalami bencana (alam atau konflik sosial), merasa lingkungan tidak aman,
Putri, Nurwati, Budiarti (2016) menjelaskan bahwa kalangan remaja yang menjadi
hiperaktif di media sosial ini sering memposting kegiatan sehari-hari mereka yang seakan
menggambarkan gaya hidup yang mencoba mengikuti perkembangan jaman, agar mereka
dianggap lebih populer di lingkungan sosialnya. Namun apa yang mereka posting di media
sosial tidak selalu menggambarkan kehidupan sosial mereka yang sebenarnya. Ketika para
remaja tersebut memposting sisi hidupnya yang penuh kesenangan, tidak jarang
kenyataannya dalam hidupnya mereka merasa kesepian. Kemudian Soliha (2015) yang
hubungan positif dan signifikan antara kecemasan sosial dan tingkat ketergantungan pada
Dari berbagai penelitian terdahulu yang telah penulis telusuri, belum ada penelitian
yang dilakukan di Jakarta. Padahal penggunaan media sosial di kota besar seperti Jakarta
tentunya lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya. Selain itu kebanyakan penelitian di
Indonesia dilakukan pada anak SMA, ada kemungkinan bahwa pengaruh media sosial
berbeda-beda pada mahasiswa. Penelitian yang berfokus membahas pengaruh media sosial
terhadap kecemasan juga baru Soliha (2015) saja di Semarang. Oleh karena itu penulis
menganggap bahwa perlu diadakan penelitian yang lebih mendalam karena dinamika media
Dilandasi oleh berbagai latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk memverifikasi
apakah penggunaan media sosial secara intens justru memberikan dampak buruk bagi
penggunanya. Fokus yang akan penulis teliti yaitu pengaruh penggunaan media sosial
terhadap tingkat kecemasan. Sampel reponden yang diteliti adalah mahasiswa Universitas
Paramadina karena dekat dengan keseharian penulis sehingga lebih mudah dan lebih terbuka
1. Pengguna media sosial terus meningkat, khususnya kaum muda usia 18-25 tahun
yang merupakan kelompok umur pengguna media sosial terbanyak.
2. Penggunaan media sosial di Indonesia secara rata-rata sangat lama, yaitu 3 jam 15
menit per hari.
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis paparkan, maka rumusan masalah yang
akan dibahas dalam penelitian ini yaitu :
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan media sosial
terhadap tingkat kecemasan Mahasiswa Universitas Paramadina.
a. Manfaat Akademik
b. Manfaat Praktis
Terdapat 3 teori komunikasi yang bisa menjelaskan dinamika komunikasi dalam media
sosial. Tidak ada satu teori yang secara menyeluruh merepresentasikan dinamika komunikasi
media sosial secara utuh. Oleh karena itu penulis mencantumkan 3 teori komunikasi yang
secara bersama-sama bisa menggambarkan proses komunikasi dalam media sosial, yaitu teori
uses and gratification, teori dependency, dan teori participatory media culture.
Teori ini dicetuskan oleh Elihu Katz, Jay G. Blumler dan Michael Gurevitch.
Teori uses and gratifications mempelajari asal mula kebutuhan secara psikologis dan
sosial, yang menimbulkan harapan tertentu dari media atau sumber lain yang membawa
pada terpaan media yang berlainan, dan menimbulkan pemenuhan kebutuhan serta
akibat-akibat lain termasuk yang tidak kita inginkan.
Teori ini memiliki asumsi bahwa khalayak dianggap aktif dalam artian memiliki
tujuan ketika menggunakan media. Katz, Blumler, dan Gurevitch menemukan bahwa
khalayak menggunakan media untuk mengirim pesan, membantu mengembangkan citra
diri, dalam kaitannya dengan sosial dan interaksi atau hiburan.
West & Turner, (2013) menjelaskan bahwa teori uses and gratification
merupakan teori yang secara garis besar membahas mengenai pemahaman media dan
juga dampak media bagi pengguna atau konsumennya. Media dalam teori uses and
gratification memunculkan adanya kebutuhan yang dipuaskan oleh media, dan
terpuaskannya kebutuhan ini merupakan alasan seseorang mengonsumsi suatu media.
Kebutuhan yang dipuaskan oleh media ini antara lain :
Media sosial secara umum mampu memenuhi lima hal kepuasaan yang bisa
diberikan oleh media. Adanya sebuah aktifitas yang dapat digantikan dengan media
sosial membuat adanya sebuah kepuasaan yang dirasakan oleh khalayak dari kelima hal
tersebut. Pengetahuan digantikan dengan akun-akun yang memuat informasi-informasi
berdasarkan pemberitaan tertentu. Aktifitas untuk mengobrol dan face to face
digantikan dengan aktifitas chatting yang hampir diseluruh media sosial terdapat fitur
chatting. Aktualisasi diri kini dapat dilakukan dengan media sosial yang menyediakan
gambar dan foto atau video yang dapat menghilang dalam durasi 1x24 jam. Media
sosial memberikan kepuasaan yang “modern” dan praktis kepada penggunanya, hal ini
dikarenakan media sosial dapat mencakup segala hal yang dapat dilakukan oleh media
massa lain.
Media sosial saat ini diakui sebagai sebuah alat yang telah mulai sulit untuk
dipisahkan dengan khalayak, pasalnya secara sosial khalayak secara tidak langsung
telah terhubung satu dengan yang lainnya sehingga hal ini menjadikan sebuah koneksi
yang kuat dengan media sosial.
Pendekatan ini terpusat pada konsumen daripada pesan. Tidak seperti tradisi
kekuatan efek, pendekatan ini menggambarkan anggota audien lebih diskriminatif
terhadap penggunaan media. Audien diasumsikan aktif dan bertujuan langsung.
Anggota audiens secara luas bertanggung jawab untuk memilih media untuk
mempertemukan antara kebutuhan dan pengetahuan mereka dan bagaimana
mempertemukan mereka.
Penulis menganggap bahwa teori uses and gratification cukup terbatas. Dengan
kata lain, teori ini seakan-akan menganggap individu secara sepenuhnya mengkontrol
pilihan-pilihan dalam kehidupan mereka. Padahal pada kenyataanya individu tidak
sepenuhnya secara aktif memilih media yang dikonsumsinya. oleh karena itu
dependency theory bisa melengkapi kekurangan dari teori uses and gratifications.
Terdapat dua faktor penentu bagaimana pandangan kita terhadap media. Pertama,
kita akan lebih tergantung pada media yang memberikan apa yang kita butuhkan
daripada yang sedikit memenuhi kebutuhan kita. Yang kedua, sumber dependensi
adalah stabilitas sosial. Model ini menunjukkan bahwa istitusi sosial dan sistem media
berinteraksi dengan audien untuk menciptakan kebutuhan, ketertarikan dan motivasi.
Teori yang dicetuskan oleh Henry Jenkins ini menguraikan cara-cara di mana
budaya media baru menawarkan khalayak untuk secara bersama-sama mengambil
peran sebagai konsumen media dan produsen media sekaligus. Jenkins berpendapat
bahwa dalam Participatory Media Culture, orang mampu secara kreatif menanggapi isi
media dengan menciptakan komoditas budaya mereka sendiri sebagai upaya mereka
untuk menguraikan dan menemukan makna di dalam produk media dan pesan yang
ada. Dalam Participatory Media Culture masyarakat dapat lebih mudah merespon dan
memberikan kontribusi dan pesan kepada media.
Teori ini sangat sesuai dengan keberadaan media sosial. Karena dalam media
sosial, individu tidak hanya berperan sebagai konsumen media seperti dijelaskan dalam
teori uses and gratifications dan teori dependency, namun juga sekaligus sebagai
produsen media yang menciptakan sesuatu yang akan dikonsumsi orang lain – yaitu
followersnya.
1. Media cetak, yang terdiri atas surat kabar, surat kabar mingguan, tabloid,
majalah, buletin/jurnal, dan sebagainya.
2. Media elektronik, yang terdiri atas radio dan televisi.
3. Media online, yaitu media internet, seperti website, blog, dan lain
sebagainya.
Asep Syamsul M. Romli (2014) juga membagi media massa kedalam tiga
kategori yaitu :
Media cetak adalah media yang menggunakan kertas atau printed media
sebagai medium untuk menuliskan dan menyampaikan informasinya.
Contoh media cetak antara lain adalah surat kabar, tabloid, dan majalah.
Berdasarkan kedua ahli diatas, kita dapat menyimpulakn bahwa secara umum
media massa dapat dibagi menjadi 3 jenis yaitu media cetak, media elektronik, dan
media online/siber.
Media online adalah media baru yang tercipta akibat perkembangan teknologi.
Media terbaru ini menjadi semakin populer di masyarakat karena kemudahan yang
ditawarkannya yaitu bisa diakses di mana saja dan kapan saja. Menurut Wikipedia
dalam Asep Syamsul M. Romli (2014), “Media online merupakan produk jurnalistik
online atau cyber journalism yang didefinisikan sebagai berikut, pelaporan fakta atau
peristiwa yang diproduksi dan didistribusikan melalui internet”.
Menurut Asep Syamsul M Romli (2014), “Dari segi isi (konten) atau sajian
informasi, yang disajikan media online secara umum sama dengan media cetak seperti
koran dan majalah, yakni terdiri dari berita (news), artikel opini (views), feature, foto,
dan iklan yang dikelompokkan kategori tertentu, misalnya kategori berita nasional,
ekonomi, berita olahraga, dan politik”.
Istilah media sosial secara sederhana dapat dimengerti dari kata yang
menyusunnya, yaitu “media” dan “sosial”. Mulawarman & Nurfitri (2017) menjelaskan
bahwa kata “media” artinya adalah alat komunikasi. Sedangkan kata “sosial” artinya
adalah kenyataan sosial bahwa setiap individu melakukan aksi yang memberikan
kontribusi kepada masyarakat. Hal ini menegaskan bahwa media dan semua perangkat
lunak lainnya merupakan “sosial” dalam makna merupakan produk dari proses sosial.
Oleh karena itu dari pengertian kedua kata penyusunnya, kita bisa menyimpulkan
bahwa media sosial adalah alat komunikasi yang digunakan oleh penggunanya dalam
proses sosial.
Menurut Kaplan & Haenlein (2010) media sosial adalah sebuah kelompok
aplikasi berbasis internet yang dibangun di atas dasar ideologi dan teknologi Web 2.0
dan memungkinkan terjadinya penciptaan dan pertukaran dari user-generated content.
Sedangkan menurut Putri, Nurwati, & Budiarti (2016) menjelaskan bahwa media sosial
merupakan situs dimana setiap orang bisa membuat web page pribadi, kemudian
terhubung dengan teman-teman untuk berbagi informasi dan berkomunikasi. Media
sosial terbesar antara lain Facebook, Myspace, dan Twitter. Media tradisional
menggunakan media cetak dan media broadcast, sementara media sosial menggunakan
internet.
Berdasarkan berbagai pengertian ahli diatas, dapat kita simpulkan bahwa media
sosial adalah media berbasis internet yang digunakan untuk melakukan aktivitas sosial,
yaitu berkomunikasi dan berinteraksi dengan komunitas sosial penggunanya dengan
cara menciptakan, berbagi, serta bertukar informasi dan gagasan.
Annisa & Ifdil (2016) menjelaskan bahwa istilah kecemasan, dalam bahasa
inggris anxiety, berasal dari bahasa latin angustus yang memiliki arti kaku, ango/anci
yang berarti mencekik, dan anxius yang berarti penyempitan atau pencekikan.
Kecemasan mirip dengan rasa takut tetapi dengan fokus yang kurang spesifik.
Ketakutan biasanya merupakan respon terhadap ancaman langsung yang jelas dan
spesifik, sedangkan kecemasan ditandai oleh kekhawatiran tentang bahaya tidak
terduga yang terletak di masa depan. Kecemasan merupakan keadaan emosional negatif
yang ditandai dengan adanya firasat dan somatik ketegangan, seperti hati berdetak
kencang, berkeringat, dan kesulitan bernapas.
Yusuf (dalam Annisa & Ifdil, 2016) mengemukakan bahwa anxiety (cemas)
merupakan ketidakberdayaan neurotik, rasa tidak aman, tidak matang, dan
ketidakmampuan dalam menghadapi tantangan, kesulitan, dan tekanan kehidupan
sehari-hari. Sementara Kartono (dalam Annisa & Ifdil, 2016) menjelaskan bahwa
cemas adalah bentuk ketidakberanian ditambah kerisauan terhadap hal-hal yang tidak
jelas. Definisi kecemasan Sarwono (dalam Annisa & Ifdil, 2016) juga serupa yaitu
kecemasan merupakan takut yang tidak jelas objeknya dan tidak jelas pula alasannya.
Menurut Kaplan, Sadock, dan Grebb (dalam Hardiani, 2012) kecemasan adalah
respon terhadap situasi tertentu yang mengancam, dan merupakan hal normal yang
terjadi menyertai perkembangan, perubahan, pengalaman baru, serta dalam menemukan
identitas diri dan arti hidup. Sedangkan Rochman (dalam Hardiani, 2012) menjelaskan
bahwa kecemasan merupakan suatu perasaan subjektif mengenai ketegangan mental
yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dari keakmampuan mengatasi suatu
masalah aau karena tidak adanya rasa aman. Lubis (dalam Hardiani, 2012) menjelaskan
bahwa kecemasan adalah tanggapan dari sebuah ancaman nyata ataupun khayal.
Individu mengalami kecemasan karena adanya ketidakpastian dimasa mendatang.
Dari berbagai pengertian tentang kecemasan (anxiety) yang telah dipaparkan di
atas, dapat disimpulkan kecemasan adalah kondisi emosi yang ditandai dengan
timbulnya rasa tidak nyaman pada diri seseorang, dan merupakan pengalaman yang
samar-samar diserta dengan perasaan tidak berdaya serta tidak menentu karena suatu
hal yang tidak jelas.
Kecemasan adalah rasa takut atau khawatir pada situasi tertentu yang
disebabkan karena adanya ketidakpastian dimasa mendatang serta ketakutan bahwa
sesuatu yang buruk akan terjadi, namun objek ketakutan tersebut samar-samar dan
belum pasti terjadi.
2.3.8 Aspek-Aspek Kecemasan (Anxiety)
Kecemasan / Anxiety
BAB III
METODOLOGI
Pengertian metode, berasal dari kata methodos (Yunani) yang dimaksud adalah cara
atau menuju suatu jalan. Metode merupakan kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan suatu
cara kerja (sistematis) untuk memahami suatu subjek atau objek penelitian, sebagai upaya
untuk menemukan jawaban yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan termasuk
keabsahannya. Menurut Soerjono Soekanto dalam Ruslan (2008), “Penelitian merupakan
kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisis dan konstruksi yang dilakukan secara
metodologis, sistematis dan konsisten.”
Dari definisi di atas peneliti menyimpulkan metodologi penelitian adalah suatu cara
yang mempelajari prosedur dan teknik-teknik tertentu untuk melakukan suatu metode riset.
Menurut Strauss and Corbin dalam Ruslan (2008) “Penelitian kualitatif (qualitative
research) merupakan jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak
dapat dicapai dengan menggunakan prosedur statistik atau cara kuantifikasi lainnya.”
Penelitian kualitatif ini dapat dipergunakan untuk penelitian kehidupan masyarakat, sejarah,
tingkah laku, fungsional organisasi, peristiwa tertentu pergerakan-pergerakan sosial dan
hubungan kekerabatan dalam kekeluargaan.
Dari definisi di atas, peneliti memahami bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian
yang bertujuan untuk memahami suatu fenomena yang dijabarkan kedalam bentuk kata-kata
dan bahasa sesuai pada konteks khusus dan dengan metode ilmiah. Jadi penelitian kualitatif
tidak didasarkan kepada seberapa banyak populasi atau sample yang didapat.
Metode penelitian merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu, yang
mempunyai langkah-langkah yang sistematik (Suriasumantri dalam Kriyantono, 2007,
Sedangkan menurut Kriyantono (2007), “Metode riset adalah cara atau teknik yang digunakan
untuk riset.” Metode mengatur langkah-langkah dalam melakukan riset.
Dari kedua definisi diatas, peneliti menyimpulkan metode penelitian merupakan suatu
prosedur yang memiliki langkah-langkah sistematik yang dilakukan dalam penelitian. Metode
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif.
Penelitian deskriptif kualitatif bertujuan untuk mendeskripsikan apa yang saat ini
berlaku. Di dalamnya terdapat upaya mendeskripsikan, mencatat, analisis dan
menginterpretasikan kondisi yang sekarang ini terjadi atau ada. Dengan kata lain penelitian
deskriptif kualitatif memiliki tujuan untuk memperoleh informasi-informasi mengenai
keadaan yang ada. (Mardalis dalam Ruslan, 2008).
Sifat penelitian ini adalah deskriptif. Fokus penelitian ini adalah memahami dan
memaparkan fenomena atau peristiwa. Penelitian ini tidak mencari hubungan, tidak menguji
hipotesis, atau membuat prediksi. Namun tentunya penelitian kualitatif harus
mempertimbangkan metodologi kualitatif itu sendiri. Meolong (2008) menambahkan bahwa
data yang dikumpulkan dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata, gambar, dan bukan
angka-angka. Data tersebut berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, foto video tape,
dokumen pribadi, catatan, atau memo dan dokumen resmi lainnya.
Dari penjelasan diatas, peneliti menyimpulkan bahwa sifat penelitian deskriptif adalah
untuk mendeskripsikan penelitian secara sistematis, akurat, dan berdasarkan fakta atau data
yang dikumpulkan untuk dapat menggambarkan realitas yang sedang terjadi. Peneliti
berpendapat dengan menggunakan penelitian deskriptif, peneliti akan mampu
mendeskripsikan dengan lebih mendetail dan mendalam bagaimana penggunaan sosial media
memiliki efek terhadap kecemasan mahasiswa Universitas Paramadina.
Dalam metodologi kualitatif dikenal beberapa metode penelitian antara lain focus
group discussion, wawancara mendalam, studi kasus, observasi, analisis isi, framing,
semiotika, dan analisis wacana (Kriyantono, 2007). Teknik pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam dan kuesioner untuk mengukur
kecemasan.
3.4.1 Wawancara
Oleh karena itu key informan yang sesuai dengan topik peneliti ini adalah
dosen psikologi ataupun dosen ilmu komunikasi yang pernah atau tertarik meneliti
dampak dari sosial media.
3.5.2 Informan
3. Berapa lama biasanya penggunaan sosial media tersebut (yang paling sering digunakan)
dalam 1 hari?
5. Apa saja yang biasanya anda rasakan ketika menggunakan sosial media tersebut?
7. Apakah anda pernah mendengar tentang Fear of Missing Out (FOMO)? (Jika tidak
tahu, peneliti menjelaskan). Apakah anda sedang atau pernah mengalaminya?
8. Menurut anda, sampai batas apa orang bisa disebut kecanduan sosial media?
12. Apakah anda merasa tidak percaya diri dengan tubuh atau fisik anda?
13. Menurut anda, apakah sosial media memiliki peran dalam menimbulkan beberapa
permasalahan tersebut?
14. Jika ya, gali sosial media apa yang berperan untuk tiap-tiap kesehatan mental.
15. Apakah anda juga menggunakan sosial media lain secara rutin? Jika ya ulang
pertanyaan 3-6. (ini pertanyaan opsional, jika objek masih terlihat nyaman
diwawancara)
Catatan : Daftar pertanyaan wawancara ini hanya merupakan panduan bagi peneliti, pertanyaan
yang akan diajukan sewaktu wawancara nanti tidak akan persis seperti ini. Pertanyaan yang akan
ditanyakan mengalir seiring dengan penjelasan yang diberikan narasumber.
Kuesioner Lie-Score Minnesota Multiphase Personality Inventory (L-MMPI)
Catatan : Kuesioner ini bisa dijadikan rujukan untuk membuat pertanyaan wawancara
terkait kecemasan. Peneliti mengganggap pertanyaan mengenai kecemasan belum cukup
merepresentasikan kecemasan yang dialamiresponden.
Petunjuk :
Berilah tanda silang (X) pada kolom jawaban (YA), bila anda merasa bahwa pernyataan ini
berlaku bagi anda atau mengenai anda. Sebaliknya berilah tanda (X) pada kolom jawab
(TIDAK), bila anda tidak setuju dengan pernyataan ini tidak berlaku atau tidak mengenai
anda.
Ya Tidak
6. Apa yang dapat saya kerjakan ini kadang saya tunda sampai
besok
10. Saya lebih senang menang daripada kalah dalam suatu permainan
12. Saya tidak selalu menyukai setiap orang yang saya kenal
Ambar. (2017). 7 Teori Komunikasi Media Baru Menurut Para Ahli – Pengertian dan
Karakteristiknya. Diambil dari https://pakarkomunikasi.com/teori-media-baru.
Ambar. (2018). Model Komunikasi Interaksional – Komponen – Konsep – Kritik. Diambil dari
https://pakarkomunikasi.com/model-komunikasi-interaksional.
Annisa, Dona Fitri, & Ifdil. (2016). Konsep Kecemasan (Anxiety) pada Lanjut Usia (Lansia).
Konselor Vol. 5 No. 2.
Arimbi, Ari Lestari Dwi. (2012). Hubungan antara tingkat kecemasan dengan tingkat
dispepsia menjelang Ujian Nasional pada siswa kelas IX di SMP Negeri 1 Banyudono
Boyolali tahun 2012. Skripsi Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Budi, Rayudaswati. (2010) Pengantar Ilmu Komunikasi. Makassar : Kretakupa, 21-23 & 43-44.
Caleb T. Carr & Rebecca A. Hayes (2015) Social Media: Defining, Developing, and Divining.
Atlantic Journal of Communication, 23:1, 46-65
Duarte, Fernando. (2019). Berapa banyak waktu yang dihabiskan rakyat Indonesia di media
sosial? Diambil dari https://www.bbc.com/indonesia/majalah-49630216
Gail W. Stuart. (2006). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Terjemahan : Ramona P. Kapoh & Egi
Komara. Jakarta: EGC.
Hardiani, Carina Agita. (2012). Kecemasan Dalam Menghadapi Masa Bebas Pada
Narapidana Anak Di Lembaga Pemasyarakatan Anak Kutoarjo. Skripsi Universitas
Negeri Yogyakarta.
Handikasari, Rirra Hayuning, Innawati Jusuf, & Andrew Johan. (2018). Hubungan Intensitas
Penggunaan Media sosial Dengan Gejala Depresi Mahasiswa Kedokteran : Studi Pada
Mahasiswa Kedokteran Tingkat Akhir Yang Menggunakan Kurikulum Modul
Terintegrasi. Jurnal Kedokteran Diponegoro.
Hunt, Melissa, Jordyn Young, Rachel Marx, & Courtney Lipson. (2018). No More FOMO:
Limiting Social Media Decreases Loneliness and Depression. Journal of Social and
Clinical Psychology.
Kaplan, Andreas M., Michael Haelein. (2010). Users of he world, unite! The challenges and
opportunities of Social Media. Business Horizons 53(1) : 59-68.
Moleong, P. D. (2008). Metodologi Penelitian Kualitatif edisi revisi. Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya.
Mubarok, Muhammad Rois. (2018). Hubungan Antara Intensitas Penggunaan Media sosial
Dengan Akhlak Siswa Kelas XI MAN 2 Surakarta Tahun Pelajaran 2017/2018. Skripsi
IAIN Surakarta.
Mulawarman, & Aldila Dyas Nurfitri. (2017). Perilaku Pengguna Media Sosial beserta
Implikasinya Ditinjau dari Perspektif Psikologi Sosial Terapan. Buletin Psikologi Vol.
25 No. 1, pp. 36-44.
Peltzer, Karl & Supa Pengpid . (2018). High Prevalence Of Depressive Symptoms In a
National Sample of Adults In Indonesia: Childhood Adversity, Sociodemographic
Factors and Health Risk Behaviour. Asian Journal of Psychiatry.
Putri, Wilga S, R. Nunung Nurwati, & Meilanny Budiarti. (2016). Pengaruh Media Sosial
Terhadap Perilaku Remaja. Prosiding Penelitian & Pengabdian Kepada Masyarakat Vol.
3 No.1.
RSPH. (2017). Status of Mind: Social media and young people’s mental health. Royal
Society for Public Health.
Soliha, Silvia Fardila. (2015). Tingkat Ketergantungan Pengguna Media Sosial dan
Kecemasan Sosial. Jurnal Interaksi Vol. 4 No. 1, pp. 1-10.
Taqwa, Mayvita Innani. (2018). Intensitas Penggunaan Media sosial Instagram Stories
Dengan Kesehatan Mental. Skripsi Universitas Muhammadiyah Malang.
Valenza, Joyce Kasman, dkk. (2014). Social Media Curation. Library Technology Reports,
Vol. 50 No. 7.
West R. & Turner L. H. (2013). Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Jakarta :
Salemba Humanika.
Widarmanto, Tjahjono. 2017. Pengantar Jurnalistik : Panduan Awal Penulis dan Jurnalis.
Yogyakarta : Araska.