Kriteria Keshahihan Hadis Menurut Al-Khathib Al-Baghdadi
Kriteria Keshahihan Hadis Menurut Al-Khathib Al-Baghdadi
Kriteria Keshahihan Hadis Menurut Al-Khathib Al-Baghdadi
2
Sekolah Tinggi Agama Islam Pengembangan Ilmu Al-Qur`an Padang
[email protected]
Abstract
The teachings of the al-Qur`an requires a second resource called Hadith after its criteria are
fixed in valid (Sahih) which can be accepted and practiced. Al-Khathib al-Baghdadi was a
Hadith clergy who was born in the early years of book keeping science of Hadith. He was
famous among all Itqan’s, rote, and had a lot of works, especially in the field of science of
hadith. Al-Kifayah fi ‘Ilm al-riwayah was one of his works. As a reference by scholars after
ward his opinion on the criteria for all Hadith Sahih deserved to be studied. Criteria to sanad
of Hadith Sahih according to al-Khathib al-Baghdadi comprised of: 1) Sanad continued,
which is narrated by the narrators of “fair and dhabith” fair and dhabith means “tahammul
wa ada`” processes; 2) the narrators are ‘fair in the sense reliable in diversity; 3) The dhabith
narrator is awake state to receive up to deliver Hadith. Meanwhile, relating with matan: 1)
Avoid syadz form of conflict that tsiqah transmission, both the transmitters of more tsiqah or
the transmitters of tsiqah ; 2) Avoid ‘illat, proven by testing against the al-Qur’an, hadith
mutawatir, ijma’ and qiyas common sense.
Keywords: Ke-shahih-an hadith, sanad, matan, ‘adl and dhabith, syadz and’ illat.
Abstrak
Hadis sebagai sumber ajaran kedua setelah al-Qur’an memerlukan kriteria untuk
menetapkan ke-shahih-annya agar diterima dan diamalkan. Al-Khathib al-Baghdadi
merupakan ahli hadis yang lahir pada masa awal pembukuan ilmu hadis. Terkenal dengan
ke-itqan-an, hafalan, dan banyak karya terutama di bidang ilmu hadis, di antaranya Al-
Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah. Sebagai referensi oleh ulama sesudahnya pendapatnya tentang
kriteria ke-shahih-an hadis patut untuk dikaji. Kriteria ke-shahih-an sanad hadis menurut
al-Khathib al-Baghdadi, yaitu: 1) Sanad bersambung, yaitu diriwayatkan oleh periwayat
yang ‘adil dan dhabith dari periwayat yang ‘adil dan dhabith dengan proses tahammul wa
ada`; 2) Periwayat bersifat ’adil dalam arti terpercaya dalam keberagamaan; 3) Periwayat
dhabith, yaitu kondisi terjaga saat menerima hingga menyampaikan hadis. Sedangkan
yang berkaitan dengan matan; 1)Terhindar dari syadz, yaitu pertentangan periwayatan
yang tsiqah, baik terhadap periwayat yang lebih tsiqah atau para periwayat tsiqah; dan 2)
Terhindar dari ’illat, dibuktikan dengan pengujian terhadap al-Qur’an, hadis mutawatir,
ijma’, qiyas, dan akal sehat.
Kata Kunci: Ke-shahih-an hadis, sanad, matan, ‘adl dan dhabith, syadz dan ‘illat.
162 Agus Firdaus Chandra dan Buchari M: Kriteria Ke-Shahih-an Hadis Menurut al-Khathib al-Baghdadi
Pendahuluan tersebut diriwayatkan oleh para periwayat
Kedudukan hadis sebagai sumber ajaran yang terpercaya dalam agamanya;
Islam telah menjadi sebuah pengkajian yang dikenal sebagai orang yang jujur dalam
sangat urgen. Sebagai penjelas dari al-Qur’an,1 menyampaikan berita; memahami dengan
hadis tidak semuanya diriwayatkan secara baik hadis yang diriwayatkan; mengetahui
tawatur sebagaimana halnya al-Qur’an. Hadis semua cakupan makna hadis dari suatu lafaz;
dituliskan dalam beberapa shahifah sejak masa dan hal tersebut harus diriwayatkan dari orang
Rasulullah Saw, namun secara resmi hadis baru yang mampu menyampaikan riwayat hadis
dibukukan pada abad ke-2 H. Dalam rentang secara lafal sebagaimana ia dengar; tegasnya
waktu yang begitu lama mayoritas hadis tidak meriwayatkan hadis secara makna;
diriwayatkan melalui lisan dan meninggalkan terpelihara hafalannya bila dia meriwayatkan
berbagai polemik seperti hadis palsu dan inkar secara hafalan; dan terpelihara catatannya
sunnah. Oleh karena itu, para ahli merasa perlu bila dia meriwayatkannya melalui kitab;
melakukan penelitian terhadap hadis, baik dari apabila hadis yang diriwayatkannya juga
segi sanad ataupun matan. diriwayatkan oleh orang lain, maka hadisnya
Pemeliharaan terhadap hadis telah dilakukan sejalan dengan mereka, terlepas dari cacat
sejak masa Rasulullah Saw dengan memastikan yang disembunyikan dan rangkaian hadisnya
periwayatan berasal dari Rasulullah Saw. Setelah sampai kepada Nabi atau orang yang berada
wafatnya Rasululullah Saw usaha shahabat lebih di bawahnya”.4
kritis dengan menghadirkan beberapa saksi atau
sumpah dalam periwayatan, bahkan melakukan Pernyataan al-Syafi‘i ini telah menekankan
rihlah ke berbagai negeri untuk memastikan ke-shahih-an hadis, baik dari segi sanad ataupun
hadis tersebut berasal dari Rasulullah Saw.2 matan meskipun belum terformulasi dengan baik.
Abad ke 3 H hingga pertengahan abad ke 4 Pada pertengahan abad ke 4 H,
H, mulai muncul para ahli yang membukukan pembahasan-pembahasan ilmu hadis mulai
pembahasan ilmu hadis walau masih bersifat dikumpulkan dalam satu kitab khusus. Al-
parsial.3 Hal ini bertujuan untuk menentukan Qadhi Abu Muhammad al-Ramaharmuzi (360
hadis-hadis yang bisa dijadikan sebagai hujjah H) adalah ahli yang pertama kali mengumpulkan
dalam syariat agama. Begitu juga sebaliknya pembahasan-pembahasan ilmu hadis dalam
untuk mengetahui hadis-hadis palsu sehingga bukunya al-Muhaddits al-Fashil Bayna al-Rawi
diwaspadai penyebarannya. Oleh karena itu, wa al-Wa’i, setelah itu ada, al-Ilma’ fi Ushul
kriteria ke-shahih-an hadis merupakan sasaran al-Riwayah wa al-Sima’ oleh al-Qadhi ‘Iyadh
utama dalam pembahasan ilmu hadis. ibn Musaal-Yahshabi (544 H), Ma’rifat ‘Ulum
Imam al-Syafi’i adalah ilmuwan yang pertama al-Hadits oleh al-Hakim al-Naisaburi (405 H)
kali memberikan penjelasan yang kongkrit dan lain sebagainya.5 Namun, pada kitab-kitab
tentang khabar yang dapat dijadikan hujjah: mereka juga belum ditemukan formulasi yang
“Al-khabar al-khashshah tidak dapat kongkrit tentang hadis shahih.
dijadikan hujjah, kecuali apabila khabar Ahli hadis yang juga muncul pada masa ini
adalah Abu Bakr Ahmad ibn ‘Ali al-Khathib
1
Muhammad Abu Zahwu, Al-Hadits wa al-Muhadditsun
(Al-Qahirah: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1378 H), 38; lihat juga,
Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits ‘Ulumuhu wa 4
Muhammad ibn Idris al-Syafi’i, (selanjutnya ditulis denga�-
Musthalahuhu (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), 47-48. nal-Syafi’i) Al-Risalah (di-tahqiq dan di-syarah oleh Ahmad
2
Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits (Dimasyq: Muhammad Syakir) (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1939),
Dar al-Fikr, 1979), 55-56. 370-371.
3
Ibid., 62. 5
Nur al-Din ‘Itr, 63-64.
164 Agus Firdaus Chandra dan Buchari M: Kriteria Ke-Shahih-an Hadis Menurut al-Khathib al-Baghdadi
khabar yang bersambung (sanad-nya) dan definisi yang lebih jelas tentang hadis shahih.
wajib diterima dan diamalkan, al-Khathib Definisi yang mereka berikan tidak terlepas dari
mencantumkan beberapa pernyataan ahli hadis keterangan-keterangan ulama mutaqaddimin.14
tentang hadis shahih: ‘Utsman ibn ‘Abd al-Rahman al-Syahrazuri
Muhammad Ibn Yahya al-Zuhali berkata: yang lebih dikenal dengan Ibn al-Shalah dalam
“Tidak boleh ber-hujjah kecuali dengan hadis bukunya ‘Ulum Hadits merumuskan pengertian
yang bersambung, yang tidak terputus sanad- tentang hadis shahih sebagai berikut:
nya, yang tidak terdapat padanya seorang Hadis shahih yaitu hadis musnad yang
periwayat yang majhul ataupun majruh”.11 bersambung isnad-nya, yang diriwayatkan
“Muhammad ibn Na’im al-Hafizh membaca oleh periwayat yang ‘adl dan dhabith dari
tulisan Abu ‘Amru al-Mustamli, bahwa ia periwayat yang ‘adl dan dhabith sampai
mendengar Yahya ibn Muhammad berkata: akhir sanad, dan tidak terdapat kejanggalan
“Khabar yang datang dari Nabi Muhammad Saw (syadz) dan cacat (‘illat).15
tidak ditulis kecuali diriwayatkan oleh seorang
yang tsiqah dari seorang yang tsiqah sampai Peran dan kontribusi al-Khathib dalam
berakhir kepada Nabi Saw dengan sifat ini, perkembangan ilmu hadis terutama dalam hal
dan tidak terdapat di dalamnya periwayat yang kriteria ke-shahih-an hadis sangat menarik
majhul ataupun majruh. Jika telah ditetapkan untuk dikaji terutama karena termasuk ahli hadis
periwayatan khabar seperti itu dari Nabi, maka yang pertama membahas ilmu hadis. Sebagai
wajib diterima dan diamalkan dan meninggalkan seorang ahli hadis yang memiliki karya yang
yang berlawanan dengannya”.12 berkaitan dengan kriteria ke-shahih-an hadis
Muhammad ibn Yasar memberitakan yang bukunya juga menjadi referensi bagi ulama
bahwasanya Qatadah berkata: “Tidak sesudahnya, terutama al-Kifayah, tentunya
diriwayatkan hadis dari shalih dari thalih, dan harus menjadi perhatian oleh ahli hadis terutama
bukan dari thalih dari shalih akan tetapi shalih tentang bagaimana kriteria yang dirumuskan al-
dari shalih”.13 Khathib dalam menilai ke-shahih-an suatu hadis.
Al-Khathib tidak memberikan penjelasan
yang jelas tentang hadis shahih. Beberapa Biografi Al-Khathib
pernyataan tersebut baru menekankan ke- Al-Khathib memiliki nama lengkap Abu
shahih-an hadis dari segi sanad, yaitu; 1) Bakar Ahmad ibn ‘Ali ibn Tsabit ibn Ahmad
sanad bersambung; 2) periwayat bersifat ‘adil ibn Muhdi. Dilahirkan enam hari sebelum
dan dhabith yang ditunjukkan dengan kata berakhirnya bulan Jumadil Akhir pada tahun
tsiqah, shalih, ghair majhul dan ghair majruh. 392 H16 dan sebagian pendapat lain menyatakan
Sedangkan yang berkaitan dengan matan ia
ungkapkan dalam pembagian khabar secara
14
Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis; Tela’ah Kri-
tis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta: Bu-
umum. Beberapa keterangan menunjukkan lan Bintang, 1995), 119.
bahwa al-Khathib belum memberikan 15
‘Utsman ibn ‘Abd al-Rahman al-Syahrazuri (selanjutnya dise�-
but Ibn al-Shalah), ‘Ulum al-Hadits al-Ma’ruf bi Muqaddamat
formulasi yang jelas tentang kriteria ke- Ibn al-Shalah (selanjutnya disebut ‘Ulum al-Hadits) (Helb:
shahih-an hadis. Mathba’at al-‘Ilmiyyah, T.th), 8.
16
Al-Hamawi, Juz 1, 514; Abu al-Qasim ‘Ali ibn al-Hasan ibn
Ulama muta`akhkhirin, yakni ahli ilmu Hibat Allah ibn ‘Abd Allah al-Syafi’i (selanjutnya disebut den�-
setelah abad ke III H, telah merumuskan gan nama yang lebih popular yaitu Ibn ‘Asakir), Tarikh Madinat
al-Dimasyq (di-tahqiq oleh ‘Umar ibn Gharramah al-‘Umrawi),
Jilid 5 (Beirut; Dar al-Fikr, 1995), 31; Abu al-‘Abbas Ahmad ibn
11
Ibid., 93. Muhammad ibn Abi Bakar ibn Khalkan, Wafayat al-A’yan wa
12
Ibid. Anba` Abna` al-Zaman (di-tahqiq oleh Hassan ‘Abbas), Jilid 1
13
Ibid. (Beirut: Dar al-Shadir, T.th), 92; Al-Sam’ani, Juz. 2, 384.
166 Agus Firdaus Chandra dan Buchari M: Kriteria Ke-Shahih-an Hadis Menurut al-Khathib al-Baghdadi
yang gharib, yang fard dan yang munkar, nya mendengar hadis dari orang yang
yang cacat dan yang terbuang dari hadis. buruk mazhab-nya, memperlihatkan bacaan
Dan Baghdad tidak memiliki ulama seperti hadis pada periwayat hadis, perbedaan kata
ini setelah al-Daruquthni.31 haddatsana, akhbarana, dan anba`ana,
kebolehan memperbaiki kesalahan pada
Kitab Al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah periwayatan hadis, wajibnya beramal
Al-Khathib merupakan ulama yang aktif dengan khabar ahad dan tanggapan untuk
menulis. Yusuf al-‘Isy menghitung seluruh yang menolaknya, hukum periwayatan
karya al-Khathib dan berjumlah 80 karya dalam orang yang penuh dengan keraguan dan
berbagai ukuran baik besar maupun kecil, di banyak prasangka, perbedaan riwayat
antaranya adalah: Tarikh Baghdad, Al-Kifayah dengan perbedaan lafal periwayatan, kapan
fi ‘Ilm al-Riwayah, Syarf Ashhab al-Hadits, dan dibolehkannya anak kecil meriwayatkan
lain-lain.32 Salah satu kitab yang terkenal dalam hadis, apa saja yang terdapat dalam
bidang ilmu hadis adalah Al-Kifayah fi ‘UIum munawalatal-hadits, dan syarat-syarat ijazah
al-Riwayah. Pada sebagian percetakan kata dan mukatabah, dan apa saja yang diperlukan
‘ulum ditulis dalam bentuk mufrad, yaitu ‘ilm.33 untuk semua itu bagi orang yang mendalami
Adapun pokok-pokok pembahasan dari kitab ilmu hadis dan memperhatikannya. Kepada
ini diringkas oleh al-Khathib pada akhir kata Allah aku memohon pertolongan, dan
pengantar kitab ini. Al-Khathib menuliskan: cukuplah Ia sebaik-baik tempat bertawakkal
”Dengan izin dan taufik dari Allah Swt saya bagiku”.34
akan menyebutkan pada kitab ini tentang
apa saja yang perlu diketahui oleh ahli hadis Melihat kutipan di atas, terlihat motivasi
dan yang dibutuhkan oleh ahli fiqh dalam al-Khathib dalam menuliskan kitab ini, yaitu:
menghafal dan mempelajarinya dari pokok- 1) Minimnya ilmu dirayat al-hadits (ilmu
pokok ilmu hadis dan syarat-syaratnya. Saya periwayatan hadis) dan ilmu fiqh hadits (ilmu
juga akan menjelaskan pendapat ahli hadis pemahaman hadis) pada masa al-Khathib;
terdahulu yang banyak manfaatnya dan 2) kecintaan dan tanggung jawab al-Khathib
dirasakan faedahnya secara umum dengan sebagai seorang ahli ilmu.
merujuk pada keutamaan dan perjuangan Al-Hafizh Abu Bakar ibn Nuqthah al-
para ahli hadis dalam menjaga agama Hanbali seorang ulama yang mengoreksi dan
dari penyimpangan dan kesalahan yang memperbaiki kesalahan dan kekeliruan al-
dilakukan orang-orang yang sesat dan tidak Khathib dalam bukunya al-Multaqahat fi Ma fi
bertanggung jawab, dengan menjelaskan Kutub al-Khathib wa Ghairuhu min al-Wahmi
pokok-pokok ilmu jarh dan ta’dil, pokok- wa al-Ghalth, menyatakan bahwa setiap ahli
pokok kaedah pen-shahih-an dan pencacatan ilmu mengetahui bahwa setiap ahli hadis setelah
hadis, perkataan para hafizh dalam menjaga al-Khathib menjadikan buku-buku al-Khathib
lafaz hadis, hukum tadlis, ber-hujjah dengan sebagai rujukan mereka.35
hadis-hadis mursal, periwayatan hadis dari
orang yang lalai dan tidak dhabith, makruh- Kriteria Ke-shahih-an Sanad Hadis
al-Khathib al-Baghdadi
Mayoritas ahli hadis menggunakan
31
Mahmud al-Thahhan, 109.
32
Ibid., 120-125. pengertian hadis shahih yang dikemukakan oleh
33
Pernyataan Abu Ishaq Ibrahim al-Dimyathi dalam kata
pengantar kitab al-Kifayah. Lihat: Al-Khathib al-Baghdadi, 34
Al-Khathib, Al-Kifayah, 37.
Al-Kifayah, 21. 35
Mahmud al-Thahhan, 14.
168 Agus Firdaus Chandra dan Buchari M: Kriteria Ke-Shahih-an Hadis Menurut al-Khathib al-Baghdadi
menambahkan istilah periwayat yang tsiqah pembicaraannya”.47
dan sanad tersebut berakhir pada Rasulullah Kata tsiqah merupakan bentuk mashdar
Saw, beliau juga menyinggung pembahasan dari kata kerja watsaqa-yastsiqu yang berarti
ada’ wa tahammul al-hadits, yaitu al-kitabah. terpercaya, dan dalam hal ini terpercaya dalam
Pernyataan ketiga menjelaskan tentang thabaqat keberagamaannya.48 Senada dengan itu, al-
al-sanad (tingkatan sanad), dimulai dari al- Ramaharmuzi juga menambahkan: “Sarana
mukharrij yang shalih, dari tabi’ al-tabi’in yang dalam periwayatan hadis itu adalah kejujuran,
shalih, dari tabi’, dari shahabi, dari Rasulullah terkenal dan gigih dalam menuntut hadis,
Saw, dari Jibril As, dan berakhir pada Allah meninggalkan bid’ah dan meninggalkan dosa-
Swt yang dikenal dengan istilah hadis qudsi. dosa besar”.49
Al-Khathib juga menguraikan istilah musnad, Al-Khathib memberikan perhatian besar pada
mursal, mu’dhal, marfu’, mawquf, munqathi’, pembahasan ta’dil yang terdapat pada Bab al-
mudallas, tadlis al-syuyukh.42 Semua istilah ini Kalam fi al-‘Adalah wa Ahkamihi dan beberapa
berkaitan erat dengan unsur bersambung atau bab setelahnya yang menguraikan beberapa
tidaknya sebuah sanad. pembahasan terkait dengan ta’dil.50 Al-Khathib
Al-Khathib tidak mensyaratkan pertemuan menyatakan bahwa ‘adl yang dimaksud adalah
guru-murid dalam sanad bersambung seperti ‘adl yang merujuk pada konsistensi seseorang
halnya al-Bukhari,43 atau menekankan dalam beragama, bermazhab salim, jauh dari
kesezamanan sebagaimana pada syarat Muslim.44 sifat fasiq, dan apa-apa yang akan menjatuhkan
Al-Khathib mencukupkan syarat periwayat yang ke-‘adalah-annya, baik dari perbuatan lima
tsiqah/shalih dari perwiyat yang tsiqah sebagai panca indra ataupun perbuatan hati.51 Beliau
bukti bersambungnya sebuah sanad, karena juga merujuk pada hadis Nabi Saw:
dengan ke-tsiqah-an akan menjamin pertemuan Dari Husein ibn ‘Ali r.a bahwa nabi Saw
guru-murid dan kesezamanannya. Hal ini bersabda: “Orang yang bergaul dengan
menguatkan pernyataan al-Syafi’i bahwa suatu manusia dan tidak menzalimi mereka,
hadis sulit dinyatakan tidak shahih jika telah dan berbicara kepada mereka dan ia tidak
memenuhi kriteria ini.45 berdusta, berjanji kepada mereka dan tidak
memungkirinya, maka dia adalah orang yang
b. Periwayat Bersifat ‘Adil sempurna muru`ah-nya, dan jelas ke-’adalah-
Al-Hakim berpendapat bahwa syarat ke- annya, dan wajib bersaudara dengannya serta
’adalah-an periwayat adalah tidak mengajak dilarang untuk menggunjingkannya”.52
kepada sesuatu yang bid’ah dan tidak
membeberkan berbagai macam maksiat yang Pada keterangan selanjutnya dinyatakan lebih
akan menjatuhkan ke-’adalah-annya.46Al- jelas bahwa ‘adl adalah orang yang mengetahui
Syafi’i memberikan gambaran arti kata ‘adl, kewajiban (agama), selalu menjalankan apa-apa
yaitu: “hendaklah seorang periwayat hadis yang diperintahkan padanya, menjauhi segala
tsiqah dalam agamanya, terkenal jujur dalam sesuatu yang dilarang dan segala perbuatan keji
yang akan menjatuhkan (ke-‘adalah-an), selalu
berusaha mencari kebenaran dan hal wajib
42
Ibid., 58.
43
Ibn Hajar, Hady al-Sari Muqaddamat Fath al-Bari bi Syarh
Shahih al-Bukhari (Beirut: Dar al-Ma’rifah, T.th), 8-10. 47
Al-Syafi’i.
44
Abu al-Huseyn Muslim ibn al-Hajjaj al-Naisaburi (selanjutnya 48
Ibn Manzhur, Juz. 6, 4724.
ditulis sebagai Muslim), Shahih Muslim, Juz 1 (Al-Qahirah: Dar 49
Al-Ramaharmuzi, 406.
al-Hadits, 1991), 8. 50
Al-Khathib al-Baghdadi, Al-Kifayah, 78.
45
Syuhudi Ismail, 123; Buchari, 203. 51
Ibid., 136.
46
Al-Hakim, 53. 52
Ibid.
170 Agus Firdaus Chandra dan Buchari M: Kriteria Ke-Shahih-an Hadis Menurut al-Khathib al-Baghdadi
kata dalam periwayatan, baik karena kelalaian yaitu:
periwayat atau merupakan tambahan dari guru Yunus ibn ‘Abd al-A’la menyampaikan kepada
yang mendiktekan hadis, atau berupa tambahan kami, ia berkata: aku mendengar al-Syafi’i berkata:
penjelasan dari seorang guru.60 “Al-Syadz bukanlah hadis yang diriwayatkan oleh
Terkait dengan jenis periwayatan, al-Khathib seorang yang tsiqah yang tidak diriwayatkan
membolehkan adanya periwayatan hadis secara oleh para periwayat lainnya, akan tetapi al-syadz
makna selama kualitas intelektual periwayat adalah hadis yang diriwayatkan oleh periwayat
tersebut bisa menjauhkannya menghalalkan tsiqah yang banyak kemudian terdapat salah satu
yang haram dan mengharamkan yang halal. Ia diantara mereka suatu kejanggalan dan kemudian
juga membolehkan pengurangan matan hadis menyalahi hadis yang diriwayatkan oleh para
dan tidak untuk menambahkannya; begitu juga periwayat tsiqah yang banyak”.64
hanlnya dengan pemotongan matan hadis dan Selain itu, al-Khathib juga menambahkan
menjadikannya kepada beberapa bagian matan.61 bahwa syadz juga terjadi ketika seorang
Al-Khathib kembali menegaskan sifat periwayat yang meriwayatkan hadis yang juga
periwayat yang boleh ber-hujjah dengannya, diriwayatkan oleh orang yang lebih hafizh
yaitu periwayat yang dhabith terhadap apa- darinya, sedangkan pada kedua hadis tersebut
apa yang didengarnya waktu periwayatan, dan terdapat perbedaan.65 Yakni di sini terjadi
dalam kondisi terjaga sehingga terhindar dari pertentangan antara periwayat yang tsiqah
tadlis pada sebagian guru yang biasa men- dengan periwayat yang lebih tsiqah darinya.
tadlis-kan hadis. Periwayat tersebut benar- Pembahasan tentang pergantian,
benar harus tatsabbut (kokoh dan tetap) pada penambahan, pengurangan, didahulukan atau
waktu periwayatan hadis tersebut sehingga ia diakhirkannya huruf dan kata dalam periwayatan
meriwayatkan apa-apa yang tidak diragukannya sebagaimana telah dibahas pada poin periwayat
dan berhenti jika seandainya terdapat keraguan bersifat dhabith juga berkaitan erat dengan
dalam periwayatan tersebut.62 syadz. Perubahan-perubahan tersebut setidaknya
Pendapat al-Khathib mengenai ke-dhabith- menjadi indikasi awal untuk melacak adanya
an merupakan penjelasan yang detil dari syadz dalam suatu hadis.
rumusan ahli hadis terkait ke-dhabith-an, yaitu Al-Khathib menjadikan unsur terhindar dari
sifat yang dimiliki seorang periwayat dalam syadz sebagai salah satu dari unsur ke-shahih-an
kondisi terjaga tidak lalai, terjaga hafalannya, hadis. Al-syadz menurut al-Khathib adalah seorang
dan terjaga tulisannya jika meriwayatkan dengan periwayat yang tsiqah meriwayatkan hadis
tulisan,63 atau juga bisa disebut dengan kapasitas menyalahi periwayatan para periwayat tsiqah
intelektual seorang periwayat. lainnya atau satu periwayat yang lebih tsiqah
darinya. Ini menunjukkan adanya pertentangan
Kriteria Kesahihan Matan Hadis yang tidak bisa dikompromikan pada matan-
a. Terhindar dari Syadz matan tersebut. Jadi ada dua syarat dalam hadis
Al-Khathib menulis bab khusus tentang syadz, yaitu adanya pertentangan yang tidak bisa
tidak berhujjah pada periwayat yang dominan dikompromikan dalam matan hadis dan para
melakukan syadz, munkar, dan gharib. Pada bab periwayat tersebut adalah orang-orang tsiqah.
tersebut beliau mengutip pernyataan al-Syafi’i,
b. Terhindar dari ‘Illat
60
Ibid., 72-74. Al-Khathib memakai istilah khabar untuk
61
Ibid., 265.
62
Ibid., 251. 64
Ibid., 223.
63
Nuruddin, 80. 65
Ibid., 333.
172 Agus Firdaus Chandra dan Buchari M: Kriteria Ke-Shahih-an Hadis Menurut al-Khathib al-Baghdadi
kitabnya. Pengertian ’illat menurut mayoritas Fikar. Al-Qahirah: Maktabat al-Sunnah,
ahli hadis adalah cacat yang tersembunyi yang 2002.
dapat merusak kualitas suatu hadis.70 Pembahasan Al-Baghdadi, Abu Bakr Ahmad ibn ‘Ali al-
pengujian matan hadis dengan al-Qur’an, hadis Khathib. Al-Kifayah fi Ma’rifat Ushul al-
mutawatir, ijma’, qiyas, dan akal sehat manusia, Riwayah. Mit Ghamr: Dar al-Huda, T.th.
tentunya mengarah pada ada atau tidaknya cacat
yang tersembunyi pada matan hadis yang pada ______. Tarikh Baghdad. Beirut: Dar al-Fikr,
akhirnya bisa merusak kualitas hadis tersebut. T.th.
Buchari. Kaedah Ke-shahih-an Matn Hadits.
Kesimpulan Padang: Azka, 2004.
Abu Bakr Ahmad ibn ‘Ali al-Khathib al-
Al-Hamawi, Abu ‘Abd Allah Yaqut ibn ‘Abd
Baghdadi telah menetapkan kriteria ke-shahih-an
Allah al-Rumi. Mu’jam al-Udaba` aw
hadis dalam kitabnya al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah.
Irsyad al-Arib ila Ma’rifat al-Adib.
Terdapat tiga unsur yang berkaitan dengan sanad: 1)
Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1991.
Sanad bersambung, yang mana diriwayatkan oleh
periwayat yang ’adil dan dhabith dari periwayat Ibn ‘Asakir, Abu al-Qasim ‘Ali ibn al-Hasan ibn
yang ’adil dan dhabith dalam proses tahammul Hibat Allah ibn ‘Abd Allah al-Syafi’i.
wa ada`; 2) Periwayat bersifat ’adil dalam arti Tarikh Madinat al-Dimasyq. Beirut: Dar
terpercaya dalam konsistensi keberagamaan yang al-Fikr, 1995.
dapat diukur dengan Islam, baligh, berakal, selamat Ibn Hanbal, Ahmad ibn Muhammad. Al-Musnad.
dari kefasikan, dan hal-hal yang merusak harga diri; Al-Qahirah: Dar al-Hadits, 1995.
3) Periwayat dhabith, yaitu kondisi sadar, terjaga,
Ibn Katsir, Abu al-Fida. Al-Bidayah wa al-
dan kokoh saat menerima hingga menyampaikan
Nihayah. Di-tahqiq oleh ‘Abd Allah ibn
hadis. Adapun yang berkaitan dengan matan, yaitu:
‘Abd al-Muhsin al-Turki. Giza: Dar Hijr,
1) Matan terhindar dari syadz, yaitu pertentangan
1998.
periwayatan yang tsiqah, baik terhadap periwayat
yang lebih tsiqah atau periwayat tsiqah yang Ibn Khalkan, Abu al-‘Abbas Ahmad ibn
banyak; s) Matan terhindar dari ’illat terlihat dari Muhammad ibn Abi Bakar. Wafayat al-
pengujian hadis dengan al-Qur’an, hadis mutawatir, A’yan wa Anba` Abna` al-Zaman. Beirut:
ijma’ qiyas, dan akal sehat. Dar al-Shadir, T.th.
Kajian kriteria ke-shahih-an hadis menurut ‘Ithr, Nuruddin. Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-
tokoh hadis al-Khathib al-Baghdadi bertujuan Hadits. Dimasyq: Dar al-Fikr, 1979.
untuk memperluas dan memperdalam kajian tentang
Al-Jauzi, Abu al-Farj ‘Abdurrahman ibn ‘Ali
kriteria ke-shahih-an hadis. Penulisan ini tidak
ibn. Al-Muntadzham fi Ma’rifat al-Muluk
mutlak benar dan masih membutuhkan penelitian
wa al-Umam. Beirut: Dar al-Kutub al-
kritis lebih lanjut dari para peminat hadis.
Islamiyah, 1992.
Al-Jawzajani, Abu Ishaq Ibrahim ibn Ya’qub.
Daftar Kepustakaan Ahwal al-Rijal. Beirut: Mu`assasah al-
Risalah, T.th.
Al-’Asqalani, Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar. Syarh Al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj. Ushul al-Hadits
Nuzhat al-Nazhr fi Tawdhih Nukhbat al- ‘Ulumuhu wa Musthalahuhu. Beirut: Dar
al-Fikr, 1989.
Al-Hakim, 112-113.
70
174 Agus Firdaus Chandra dan Buchari M: Kriteria Ke-Shahih-an Hadis Menurut al-Khathib al-Baghdadi