Kriteria Keshahihan Hadis Menurut Al-Khathib Al-Baghdadi

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 13

KRITERIA KE-SHAHIH-AN HADIS MENURUT AL-KHATHIB

AL-BAGHDADI DALAM KITAB AL-KIFAYAH FI ‘ILM AL-RIWAYAH

Agus Firdaus Chandra1 dan Buchari M2


Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau
1

2
Sekolah Tinggi Agama Islam Pengembangan Ilmu Al-Qur`an Padang
[email protected]

Abstract
The teachings of the al-Qur`an requires a second resource called Hadith after its criteria are
fixed in valid (Sahih) which can be accepted and practiced. Al-Khathib al-Baghdadi was a
Hadith clergy who was born in the early years of book keeping science of Hadith. He was
famous among all Itqan’s, rote, and had a lot of works, especially in the field of science of
hadith. Al-Kifayah fi ‘Ilm al-riwayah was one of his works. As a reference by scholars after
ward his opinion on the criteria for all Hadith Sahih deserved to be studied. Criteria to sanad
of Hadith Sahih according to al-Khathib al-Baghdadi comprised of: 1) Sanad continued,
which is narrated by the narrators of “fair and dhabith” fair and dhabith means “tahammul
wa ada`” processes; 2) the narrators are ‘fair in the sense reliable in diversity; 3) The dhabith
narrator is awake state to receive up to deliver Hadith. Meanwhile, relating with matan: 1)
Avoid syadz form of conflict that tsiqah transmission, both the transmitters of more tsiqah or
the transmitters of tsiqah ; 2) Avoid ‘illat, proven by testing against the al-Qur’an, hadith
mutawatir, ijma’ and qiyas common sense.

Keywords: Ke-shahih-an hadith, sanad, matan, ‘adl and dhabith, syadz and’ illat.

Abstrak
Hadis sebagai sumber ajaran kedua setelah al-Qur’an memerlukan kriteria untuk
menetapkan ke-shahih-annya agar diterima dan diamalkan. Al-Khathib al-Baghdadi
merupakan ahli hadis yang lahir pada masa awal pembukuan ilmu hadis. Terkenal dengan
ke-itqan-an, hafalan, dan banyak karya terutama di bidang ilmu hadis, di antaranya Al-
Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah. Sebagai referensi oleh ulama sesudahnya pendapatnya tentang
kriteria ke-shahih-an hadis patut untuk dikaji. Kriteria ke-shahih-an sanad hadis menurut
al-Khathib al-Baghdadi, yaitu: 1) Sanad bersambung, yaitu diriwayatkan oleh periwayat
yang ‘adil dan dhabith dari periwayat yang ‘adil dan dhabith dengan proses tahammul wa
ada`; 2) Periwayat bersifat ’adil dalam arti terpercaya dalam keberagamaan; 3) Periwayat
dhabith, yaitu kondisi terjaga saat menerima hingga menyampaikan hadis. Sedangkan
yang berkaitan dengan matan; 1)Terhindar dari syadz, yaitu pertentangan periwayatan
yang tsiqah, baik terhadap periwayat yang lebih tsiqah atau para periwayat tsiqah; dan 2)
Terhindar dari ’illat, dibuktikan dengan pengujian terhadap al-Qur’an, hadis mutawatir,
ijma’, qiyas, dan akal sehat.

Kata Kunci: Ke-shahih-an hadis, sanad, matan, ‘adl dan dhabith, syadz dan ‘illat.

162 Agus Firdaus Chandra dan Buchari M: Kriteria Ke-Shahih-an Hadis Menurut al-Khathib al-Baghdadi
Pendahuluan tersebut diriwayatkan oleh para periwayat
Kedudukan hadis sebagai sumber ajaran yang terpercaya dalam agamanya;
Islam telah menjadi sebuah pengkajian yang dikenal sebagai orang yang jujur dalam
sangat urgen. Sebagai penjelas dari al-Qur’an,1 menyampaikan berita; memahami dengan
hadis tidak semuanya diriwayatkan secara baik hadis yang diriwayatkan; mengetahui
tawatur sebagaimana halnya al-Qur’an. Hadis semua cakupan makna hadis dari suatu lafaz;
dituliskan dalam beberapa shahifah sejak masa dan hal tersebut harus diriwayatkan dari orang
Rasulullah Saw, namun secara resmi hadis baru yang mampu menyampaikan riwayat hadis
dibukukan pada abad ke-2 H. Dalam rentang secara lafal sebagaimana ia dengar; tegasnya
waktu yang begitu lama mayoritas hadis tidak meriwayatkan hadis secara makna;
diriwayatkan melalui lisan dan meninggalkan terpelihara hafalannya bila dia meriwayatkan
berbagai polemik seperti hadis palsu dan inkar secara hafalan; dan terpelihara catatannya
sunnah. Oleh karena itu, para ahli merasa perlu bila dia meriwayatkannya melalui kitab;
melakukan penelitian terhadap hadis, baik dari apabila hadis yang diriwayatkannya juga
segi sanad ataupun matan. diriwayatkan oleh orang lain, maka hadisnya
Pemeliharaan terhadap hadis telah dilakukan sejalan dengan mereka, terlepas dari cacat
sejak masa Rasulullah Saw dengan memastikan yang disembunyikan dan rangkaian hadisnya
periwayatan berasal dari Rasulullah Saw. Setelah sampai kepada Nabi atau orang yang berada
wafatnya Rasululullah Saw usaha shahabat lebih di bawahnya”.4
kritis dengan menghadirkan beberapa saksi atau
sumpah dalam periwayatan, bahkan melakukan Pernyataan al-Syafi‘i ini telah menekankan
rihlah ke berbagai negeri untuk memastikan ke-shahih-an hadis, baik dari segi sanad ataupun
hadis tersebut berasal dari Rasulullah Saw.2 matan meskipun belum terformulasi dengan baik.
Abad ke 3 H hingga pertengahan abad ke 4 Pada pertengahan abad ke 4 H,
H, mulai muncul para ahli yang membukukan pembahasan-pembahasan ilmu hadis mulai
pembahasan ilmu hadis walau masih bersifat dikumpulkan dalam satu kitab khusus. Al-
parsial.3 Hal ini bertujuan untuk menentukan Qadhi Abu Muhammad al-Ramaharmuzi (360
hadis-hadis yang bisa dijadikan sebagai hujjah H) adalah ahli yang pertama kali mengumpulkan
dalam syariat agama. Begitu juga sebaliknya pembahasan-pembahasan ilmu hadis dalam
untuk mengetahui hadis-hadis palsu sehingga bukunya al-Muhaddits al-Fashil Bayna al-Rawi
diwaspadai penyebarannya. Oleh karena itu, wa al-Wa’i, setelah itu ada, al-Ilma’ fi Ushul
kriteria ke-shahih-an hadis merupakan sasaran al-Riwayah wa al-Sima’ oleh al-Qadhi ‘Iyadh
utama dalam pembahasan ilmu hadis. ibn Musaal-Yahshabi (544 H), Ma’rifat ‘Ulum
Imam al-Syafi’i adalah ilmuwan yang pertama al-Hadits oleh al-Hakim al-Naisaburi (405 H)
kali memberikan penjelasan yang kongkrit dan lain sebagainya.5 Namun, pada kitab-kitab
tentang khabar yang dapat dijadikan hujjah: mereka juga belum ditemukan formulasi yang
“Al-khabar al-khashshah tidak dapat kongkrit tentang hadis shahih.
dijadikan hujjah, kecuali apabila khabar Ahli hadis yang juga muncul pada masa ini
adalah Abu Bakr Ahmad ibn ‘Ali al-Khathib
1
Muhammad Abu Zahwu, Al-Hadits wa al-Muhadditsun
(Al-Qahirah: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1378 H), 38; lihat juga,
Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits ‘Ulumuhu wa 4
Muhammad ibn Idris al-Syafi’i, (selanjutnya ditulis denga�-
Musthalahuhu (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), 47-48. nal-Syafi’i) Al-Risalah (di-tahqiq dan di-syarah oleh Ahmad
2
Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits (Dimasyq: Muhammad Syakir) (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1939),
Dar al-Fikr, 1979), 55-56. 370-371.
3
Ibid., 62. 5
Nur al-Din ‘Itr, 63-64.

Jurnal Ushuluddin Vol . 24 No.2, Juli-Desember 2016 163


al-Baghdadi (463 H) (selanjutnya ditulis al- meninggalkan beberapa komentar, setelah
Khathib). Seorang ahli ilmu yang aktif menulis itu datang al-Khathib al-Baghdadi dan
yang hampir memiliki 100 karya dalam menyusun sebuah kitab dalam undang-
berbagai bidang ilmu. Karyanya yang terbesar undang periwayatan yang diberi nama dengan
dan terkenal adalah Tarikh Baghdad dan dalam al-Kifayah dan dalam adab-adab periwayatan
ilmu hadis adalah al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah dengan nama al-Jami’ li Adab al-Syaikh
(selanjutnya ditulis al-Kifayah). Al-Khathib wa al-Sami’ dan menulis teori-teori hadis
juga terkenal dengan hafalan, ke-itqan-an dan lainnya dalam kitab yang terpisah-pisah.
ke-dhabith-annya dalam ilmu hadis, bahkan Dan sebagaimana pernyataan Abu Bakar ibn
tidak diragukan lagi oleh para ahli di masanya.6 Nuqthah bahwa semua pengarang kitab-kitab
Al-Khathib juga mengarang kitab lain dalam ilmu hadis mengetahui bahwa setiap ahli
ilmu hadis, di antaranya: Al-Jami’ li Akhlak al- hadis sesudah al-Khathib mengambil manfaat
Rawiwa Adab al-Sami’, Syarf Ashab al-Hadits, dari kitab-kitabnya.8
dan lain-lain. Keilmuannya dalam bidang ilmu
hadis sangat besar manfaatnya oleh para ahli Ibn Hajar tidak mengkritik kitab al-Kifayah
hadis setelahnya. Terbukti dengan banyaknya dan al-Jami’, akan tetapi memberikan penguatan
kitab-kitab ilmu hadis setelah al-Khathib yang bahwa kitab al-Khathib banyak digunakan oleh
merujuk kepada kitab-kitabnya.7 ahli hadis sesudahnya. Hal tersebut juga diperkuat
Berkaitan dengan kitab al-Kifayah dan al- dengan pernyataan Abu Bakar ibn al-Nuqhthah
Jami’, Ibn Hajar berkomentar: yang menyatakan setiap penulis mengetahui
“Ahli yang pertama kali menyusun ilmu hadis bahwa ahli hadis setelah al-Khathib menjadikan
(semua cabang ilmu hadis dalam satu kitab kitab-kitabnya sebagai rujukan dalam ilmu hadis.
khusus) adalah al-Qadhi Abu Muhammad al- Mahmud al-Thahhan menguatkan bahwa Ibn
Ramahurmuzi dalam kitabnya al-Muhaddits al-Shalah merujuk pada kitab-kitab al-Khathib
al-Fashil, akan tetapi belum komprehensif, setidaknya pada 60 bahasan.9 Hal ini merupakan
dan al-Hakim Abu ‘Abd Allah al-Naisaburi, indikasi bahwa kitab-kitab al-Khathib memiliki
akan tetapi (kitabnya) belum tersistimatisir keunggulan dibandingkan dengan beberapa
dengan rapi, kemudian diikuti oleh Abu kitab sebelumnya.
Na’im al-Isbahani dalam bentuk mustakhrij Al-Khathib menggunakan istilah khabar
terhadap kitab al-Hakim, namun tetap untuk sesuatu yang bisa saja benar atau dusta.
Khabar yang dimaksud adalah dalam bentuk
6
Al-Mu`taman ibn Ahmad ibn ‘Ali al-Hafiz berkata bahwa: umum yang berarti seluruh berita dan termasuk
Baghdad tidak menciptakan ulama hadis yang lebih hafiz setelah di dalamnya hadis. Tidak semua khabar
al-Daruquthni kecuali Abu Bakr al-Khathib, ia juga berkata
bahwa: Aku bertanya kepada Abu ‘Ali Ahmad ibn Muhammad adalah hadis, sedangkan setiap hadis adalah
al-Hanbali di Baghdad, apakah syeikh melihat ulama semisal khabar.10 Pada pembahasan tentang mengetahui
al-Khathib al-Baghdadi dalam hal hafalan? Syekh menjawab:
sungguh aku tidak melihat ulama semisal al-Khathib. Lihat, Abu
Sa’ad ‘Abd al-Karim ibn Muhammad al-Sam’ani, Al-Ansab, Juz
2 (Beirut: Dar al-Jannan, 1988 M), 384; Lihat juga, Yaqut al- 8
Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar al-’Asqalani (selanjutnya disebut
Hamawi al-Rumi, Mu’jam al-Udaba` Isyad al-Arib ila Ma’rifat Ibn Hajar), Syarh Nuzhat al-Nazhr fi Tawdhih Nukhbat al-Fikar
al-Adib, Juz 1 ( Beirut: Dar al-Gharb al-Islami, 1993), 386. (Al-Qahirah: Maktabat al-Sunnah, 2002), 27; lihat juga, Abu al-
7
Lihat Nur al-Din ‘Itr, 371; lihat juga, Muhammad Jamal al-Din Farj ‘Abdurrahman ibn ‘Ali ibn al-Jauzi (selanjutnya disebut Ibn
al-Qasimi, Qawa’id al-Tahdits min Funun Musthalah al-Hadits al-Jauzi), Al-Muntadzham fi Ma’rifat al-Muluk wa al-Umam, Juz
(Beirut: Dar al-Nafa`is, 2001), 83; Jalal al-Din al-Suyuthi, 16 (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1992), 130.
Tadrib al-Rawi (Al-Qahirah: Maktabah Dar al-Turats, 1972), 9
Mahmud al-Thahhan, 14.
52; begitu juga dalam pernyataan Mahmud al-Thahhan dalam 10
Abu Bakr Ahmad ibn ‘Ali al-Khathib al-Baghdadi (selanjutnya
pendahuluan Disertasinya, lihat, Mahmud al-Thahhan, “Al- ditulis al-Khathib), Al-Kifayah fi Ma’rifat Ushul al-Riwayah
Hafiz al-Khathib al-Baghdadiwa Atsaruhu Fi ‹Ulum al-Hadits” (selanjutnya ditulis al-Kifayah) (Mit Ghamr: Dar al-Huda, T.th),
(Disertasi, Universitas al-Azhar, 1981), 6. 88.

164 Agus Firdaus Chandra dan Buchari M: Kriteria Ke-Shahih-an Hadis Menurut al-Khathib al-Baghdadi
khabar yang bersambung (sanad-nya) dan definisi yang lebih jelas tentang hadis shahih.
wajib diterima dan diamalkan, al-Khathib Definisi yang mereka berikan tidak terlepas dari
mencantumkan beberapa pernyataan ahli hadis keterangan-keterangan ulama mutaqaddimin.14
tentang hadis shahih: ‘Utsman ibn ‘Abd al-Rahman al-Syahrazuri
Muhammad Ibn Yahya al-Zuhali berkata: yang lebih dikenal dengan Ibn al-Shalah dalam
“Tidak boleh ber-hujjah kecuali dengan hadis bukunya ‘Ulum Hadits merumuskan pengertian
yang bersambung, yang tidak terputus sanad- tentang hadis shahih sebagai berikut:
nya, yang tidak terdapat padanya seorang Hadis shahih yaitu hadis musnad yang
periwayat yang majhul ataupun majruh”.11 bersambung isnad-nya, yang diriwayatkan
“Muhammad ibn Na’im al-Hafizh membaca oleh periwayat yang ‘adl dan dhabith dari
tulisan Abu ‘Amru al-Mustamli, bahwa ia periwayat yang ‘adl dan dhabith sampai
mendengar Yahya ibn Muhammad berkata: akhir sanad, dan tidak terdapat kejanggalan
“Khabar yang datang dari Nabi Muhammad Saw (syadz) dan cacat (‘illat).15
tidak ditulis kecuali diriwayatkan oleh seorang
yang tsiqah dari seorang yang tsiqah sampai Peran dan kontribusi al-Khathib dalam
berakhir kepada Nabi Saw dengan sifat ini, perkembangan ilmu hadis terutama dalam hal
dan tidak terdapat di dalamnya periwayat yang kriteria ke-shahih-an hadis sangat menarik
majhul ataupun majruh. Jika telah ditetapkan untuk dikaji terutama karena termasuk ahli hadis
periwayatan khabar seperti itu dari Nabi, maka yang pertama membahas ilmu hadis. Sebagai
wajib diterima dan diamalkan dan meninggalkan seorang ahli hadis yang memiliki karya yang
yang berlawanan dengannya”.12 berkaitan dengan kriteria ke-shahih-an hadis
Muhammad ibn Yasar memberitakan yang bukunya juga menjadi referensi bagi ulama
bahwasanya Qatadah berkata: “Tidak sesudahnya, terutama al-Kifayah, tentunya
diriwayatkan hadis dari shalih dari thalih, dan harus menjadi perhatian oleh ahli hadis terutama
bukan dari thalih dari shalih akan tetapi shalih tentang bagaimana kriteria yang dirumuskan al-
dari shalih”.13 Khathib dalam menilai ke-shahih-an suatu hadis.
Al-Khathib tidak memberikan penjelasan
yang jelas tentang hadis shahih. Beberapa Biografi Al-Khathib
pernyataan tersebut baru menekankan ke- Al-Khathib memiliki nama lengkap Abu
shahih-an hadis dari segi sanad, yaitu; 1) Bakar Ahmad ibn ‘Ali ibn Tsabit ibn Ahmad
sanad bersambung; 2) periwayat bersifat ‘adil ibn Muhdi. Dilahirkan enam hari sebelum
dan dhabith yang ditunjukkan dengan kata berakhirnya bulan Jumadil Akhir pada tahun
tsiqah, shalih, ghair majhul dan ghair majruh. 392 H16 dan sebagian pendapat lain menyatakan
Sedangkan yang berkaitan dengan matan ia
ungkapkan dalam pembagian khabar secara
14
Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis; Tela’ah Kri-
tis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta: Bu-
umum. Beberapa keterangan menunjukkan lan Bintang, 1995), 119.
bahwa al-Khathib belum memberikan 15
‘Utsman ibn ‘Abd al-Rahman al-Syahrazuri (selanjutnya dise�-
but Ibn al-Shalah), ‘Ulum al-Hadits al-Ma’ruf bi Muqaddamat
formulasi yang jelas tentang kriteria ke- Ibn al-Shalah (selanjutnya disebut ‘Ulum al-Hadits) (Helb:
shahih-an hadis. Mathba’at al-‘Ilmiyyah, T.th), 8.
16
Al-Hamawi, Juz 1, 514; Abu al-Qasim ‘Ali ibn al-Hasan ibn
Ulama muta`akhkhirin, yakni ahli ilmu Hibat Allah ibn ‘Abd Allah al-Syafi’i (selanjutnya disebut den�-
setelah abad ke III H, telah merumuskan gan nama yang lebih popular yaitu Ibn ‘Asakir), Tarikh Madinat
al-Dimasyq (di-tahqiq oleh ‘Umar ibn Gharramah al-‘Umrawi),
Jilid 5 (Beirut; Dar al-Fikr, 1995), 31; Abu al-‘Abbas Ahmad ibn
11
Ibid., 93. Muhammad ibn Abi Bakar ibn Khalkan, Wafayat al-A’yan wa
12
Ibid. Anba` Abna` al-Zaman (di-tahqiq oleh Hassan ‘Abbas), Jilid 1
13
Ibid. (Beirut: Dar al-Shadir, T.th), 92; Al-Sam’ani, Juz. 2, 384.

Jurnal Ushuluddin Vol . 24 No.2, Juli-Desember 2016 165


tahun 391 H.17Ayahnya berasal dari Arab, dari beberapa guru, di antaranya Abu al-Hasan
yaitu dari kabilah yang terkenal dengan Muhammad al-Tamimi.25
kebiasaan menunggang kuda yang bermukim di Setelah itu Al-Khathib mengumpulkan dan
Hashshashah, pinggiran sungai Eufrat. Ayahnya merapikan semua hadis dan berbagai riwayat
bukanlah ilmuwan yang populer, tetapi memiliki yang dikumpulkan dan menuliskannya. Beliau
perhatian yang tinggi terhadap ilmu. Ia sering mulai menyampaikan karya-karyanya terutama
memberikan ceramah di daerah Darzaijan di Masjid al-Manshur.26 Sehingga sampai
(sebuah kota di Iraq) sehingga digelar dengan pada suatu ketika sebuah fitnah27 terjadi yang
al-Khathib yang kemudian diwarisi oleh mengharuskan al-Khathib hijrah dari Baghdad
anaknya18 menuju Damaskus.28 Setelah beberapa saat
Al-Khathib mulai menuntut ilmu pada di Damaskus, al-Khathib memilih kota Shur
ayahnya yang mewajibkan al-Khathib sebagai tempat tinggal selanjutnya.
membaca al-Qur’an dan ilmu pengetahuan serta Saat berumur 70 tahun, al-Khathib
menghadiri majelis ilmu. Selain itu, al-Khathib meninggalkan kota Shur dan kembali ke Baghdad
juga berguru pada beberapa ulama, di antaranya: setelah keadaan normal untuk memenuhi
al-Hilal ibn ‘Abd Allah al-Thayyibi,19 Abu al- keinginannnya dikuburkan di dekat kuburan
Hasan al-Bazzaz Muhammad ibn Ahmad (Ibn Basyr al-Hafi (ulama besar di Baghdad). Ia pun
Rizquwayh),20 Abu Hamid al-Isfarayayni,21 dan mulai mengajar dan kembali menyampaikan
lain-lain. hadis di Masjid al-Manshur, di mana semua
Masa petualangan ilmiah al-Khathib orang rindu berkumpul untuk mendengar
dimulai pada tahun 412 H. Mahmud al-Thahhan pelajaran darinya.29
membaginya menjadi tiga tahapan:22 a) Bashrah Pada bulan Ramadhan tahun 463 H, al-
dan Kufah pada tahun 412 H, di antara ulama Khathib menderita sakit di tempat tinggalnya
yang ia temui adalah: al-Qadhi Abu ‘Umar al- dekat dengan Sekolah Nizhamiyah. Sakitnya
Qasim ibn Ja’far al-Hasyimi;23 b) Naisabur bertambah parah pada awal bulan Zulhijjah,
via Isfahan, Hamdzan, Ray, dan kembali ke dan pada waktu dhuha tanggal 7 Zulhijjah ia
Baghdad via Dainur. Di antara guru-guru yang menghembuskan nafas terakhirnya.30
beliau temui adalah Abu Na’im al-Isfahani;24 c) Mayoritas ulama menyanjung kapabilitas
Haji ke Makkah al-Mukarramah via Damaskus, al-Khathib dalam keilmuannya terutama dalam
dan kembali ke Baghdad via Bait al-Maqdis bidang hadis. Sebagaimana perkataan sahabat
dan Shur. Saat itu beliau mendengarkan hadis sekaligus muridnya Ibn Makula:
“Dia adalah orang terakhir yang kami
saksikan menjadi penolong hadis Nabi Saw,
17
Ibn al-Jauzi, Jilid 16, 129; Abu al-Fida`Isma’il ibn ‘Umar ibn
Katsir (selanjutnya disebut Ibn Katsir), Al-Bidayah wa al-Nihaya baik berupa pengetahuannya, ke-itqan-an,
(di-tahqiq oleh ‘Abd Allah ibn ‘Abd al-Muhsin al-Turki), Juz 16 hafalan, ke-dhabith-an dalam bidang hadis. Ia
(Giza: Dar Hijr, 1998), 28.
18
Abu Nashr ‘Abd al-Wahhab ibn ‘Ali ibn ‘Abd al-Kafi al- juga mendalami bagaimana cara mengetahui
Subki (selanjutnya disingkat menjadi al-Subki), Thabaqat ‘illat dalam suatu hadis dan memiliki
Al-Syafi’iyah Al-Kubra (di-tahqiq oleh Mahmud Muhammad
al-Thanahi dan ‘Abd al-Fattah Muhammad al-Hulw), Juz 4 (Al- pengetahuan tentang para periwayat hadis.
Qahirah: Mathba’ah ‘Isa al-Babi al-Hallabi, 1964), 29. Ia juga mengetahui hadis yang shahih dan
19
Ia merupakan seorang penduduk asli kota Baghdad yang
terkenal sebagai seorang sastrawan, lihat, Al-Khathib al-
Baghdadi, Tarikh Baghdad, jilid 16, 117. 25
Al-Subki, Juz 4, 32; Mahmud al-Thahhan, 41.
20
Ibid., Jilid 1, 211-212. 26
Mahmud al-Thahhan, 44.
21
Ibid., Juz 6, 20. 27
Ibid., 48-50.
22
Mahmud al-Thahhan, 34. 28
Ibn Katsir, Juz 16, 28.
23
Ibid., 35. 29
Mahmud al-Thahhan, 54.
24
Ibid., 38. 30
Ibid,, 55; Ibn Al-Jauzi, Juz 16, 134; Ibn ‘Asakir, Juz 1, 401.

166 Agus Firdaus Chandra dan Buchari M: Kriteria Ke-Shahih-an Hadis Menurut al-Khathib al-Baghdadi
yang gharib, yang fard dan yang munkar, nya mendengar hadis dari orang yang
yang cacat dan yang terbuang dari hadis. buruk mazhab-nya, memperlihatkan bacaan
Dan Baghdad tidak memiliki ulama seperti hadis pada periwayat hadis, perbedaan kata
ini setelah al-Daruquthni.31 haddatsana, akhbarana, dan anba`ana,
kebolehan memperbaiki kesalahan pada
Kitab Al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah periwayatan hadis, wajibnya beramal
Al-Khathib merupakan ulama yang aktif dengan khabar ahad dan tanggapan untuk
menulis. Yusuf al-‘Isy menghitung seluruh yang menolaknya, hukum periwayatan
karya al-Khathib dan berjumlah 80 karya dalam orang yang penuh dengan keraguan dan
berbagai ukuran baik besar maupun kecil, di banyak prasangka, perbedaan riwayat
antaranya adalah: Tarikh Baghdad, Al-Kifayah dengan perbedaan lafal periwayatan, kapan
fi ‘Ilm al-Riwayah, Syarf Ashhab al-Hadits, dan dibolehkannya anak kecil meriwayatkan
lain-lain.32 Salah satu kitab yang terkenal dalam hadis, apa saja yang terdapat dalam
bidang ilmu hadis adalah Al-Kifayah fi ‘UIum munawalatal-hadits, dan syarat-syarat ijazah
al-Riwayah. Pada sebagian percetakan kata dan mukatabah, dan apa saja yang diperlukan
‘ulum ditulis dalam bentuk mufrad, yaitu ‘ilm.33 untuk semua itu bagi orang yang mendalami
Adapun pokok-pokok pembahasan dari kitab ilmu hadis dan memperhatikannya. Kepada
ini diringkas oleh al-Khathib pada akhir kata Allah aku memohon pertolongan, dan
pengantar kitab ini. Al-Khathib menuliskan: cukuplah Ia sebaik-baik tempat bertawakkal
”Dengan izin dan taufik dari Allah Swt saya bagiku”.34
akan menyebutkan pada kitab ini tentang
apa saja yang perlu diketahui oleh ahli hadis Melihat kutipan di atas, terlihat motivasi
dan yang dibutuhkan oleh ahli fiqh dalam al-Khathib dalam menuliskan kitab ini, yaitu:
menghafal dan mempelajarinya dari pokok- 1) Minimnya ilmu dirayat al-hadits (ilmu
pokok ilmu hadis dan syarat-syaratnya. Saya periwayatan hadis) dan ilmu fiqh hadits (ilmu
juga akan menjelaskan pendapat ahli hadis pemahaman hadis) pada masa al-Khathib;
terdahulu yang banyak manfaatnya dan 2) kecintaan dan tanggung jawab al-Khathib
dirasakan faedahnya secara umum dengan sebagai seorang ahli ilmu.
merujuk pada keutamaan dan perjuangan Al-Hafizh Abu Bakar ibn Nuqthah al-
para ahli hadis dalam menjaga agama Hanbali seorang ulama yang mengoreksi dan
dari penyimpangan dan kesalahan yang memperbaiki kesalahan dan kekeliruan al-
dilakukan orang-orang yang sesat dan tidak Khathib dalam bukunya al-Multaqahat fi Ma fi
bertanggung jawab, dengan menjelaskan Kutub al-Khathib wa Ghairuhu min al-Wahmi
pokok-pokok ilmu jarh dan ta’dil, pokok- wa al-Ghalth, menyatakan bahwa setiap ahli
pokok kaedah pen-shahih-an dan pencacatan ilmu mengetahui bahwa setiap ahli hadis setelah
hadis, perkataan para hafizh dalam menjaga al-Khathib menjadikan buku-buku al-Khathib
lafaz hadis, hukum tadlis, ber-hujjah dengan sebagai rujukan mereka.35
hadis-hadis mursal, periwayatan hadis dari
orang yang lalai dan tidak dhabith, makruh- Kriteria Ke-shahih-an Sanad Hadis
al-Khathib al-Baghdadi
Mayoritas ahli hadis menggunakan
31
Mahmud al-Thahhan, 109.
32
Ibid., 120-125. pengertian hadis shahih yang dikemukakan oleh
33
Pernyataan Abu Ishaq Ibrahim al-Dimyathi dalam kata
pengantar kitab al-Kifayah. Lihat: Al-Khathib al-Baghdadi, 34
Al-Khathib, Al-Kifayah, 37.
Al-Kifayah, 21. 35
Mahmud al-Thahhan, 14.

Jurnal Ushuluddin Vol . 24 No.2, Juli-Desember 2016 167


Ibn al-Shalah, yaitu: a. Sanad Bersambung
Hadis shahih yaitu hadis musnad yang Pada bab Ma’rifat al-Khabar al-Muttashil
bersambung isnad-nya, yang diriwayatkan al-Mawjib li al-Qubul wa al-‘Amal, al-Khatib
oleh periwayat yang ‘adl dan dhabith dari menuliskan beberapa pernyataan ulama, yaitu:
periwayat yang ‘adl dan dhabith sampai “Muhammad Ibn Na’im berkata
akhir sanad, dan tidak terdapat kejanggalan bahwasanya ia mendengar Muhammad
(syadz) dan cacat (‘illat).36 Ibn Yahya al-Zuhali berkata: “Tidak boleh
ber-hujjah kecuali dengan hadis yang
Al-Nawawi sependapat dengan pengertian bersambung, yang tidak terputus sanad-
yang dikemukakan oleh Ibn al-Shalah dengan nya, yang tidak terdapat padanya seorang
redaksi berbeda yaitu: periwayat yang majhul ataupun majruh”.39
(Hadis yang shahih adalah) hadis yang sanad- “Muhammad ibn Na’im al-Dhabbi al-
nya bersambung, dengan periwayatan orang- Hafizh berkata bahwasanya ia membaca
orang yang ‘adil dan dhabith, serta tidak tulisan Abu ‘Amru al-Mustamli bahwasanya
terdapat kejanggalan (syadz) dan cacat (‘illat).37 ia mendengar Yahya ibn Muhammad ibn
Yahya berkata bahwa: “Dan tidak ditulis
Ahli hadis muta`akhkhirin, misalnya khabar yang datang dari Nabi Muhammad
Ibn Hajar al-‘Asqalani, Jalal al-Din al- Saw sehingga diriwayatkan oleh seorang
Suyuthi, Jamal al-Din al-Qasimi juga telah yang tsiqah dari seorang yang tsiqah
mengemukakan definisi hadis shahih. Definisi sampai berakhir kepada Nabi Saw dengan
yang mereka kemukakan secara prinsip sama sifat ini, dan tidak terdapat di dalamnya
dengan pendapat Ibn al-Shalah dan al-Nawawi periwayat yang majhul ataupun majruh.
di atas meskipun dengan redaksi berbeda-beda. Jika telah ditetapkan periwayatan khabar
Ulama hadis pada masa berikutnya, misalnya seperti itu dari Nabi maka wajib diterima
Mahmud al-Thahhan, Subhi al-Shalih, dan diamalkan dan meninggalkan yang
Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, dan Nur al-Din berlawanan dengannya.”40
‘Itr juga memberikan pengertian yang memiliki “Ahmad ibn Muhammad ibn Abu al-
substansi yang sama.38 Maut menberitakan kepada kami bahwa
Al-Khathib pada dasarnya telah memuat Ahmad ibn Zaid ibn Harun berkata kepada
kriteria ke-shahih-an hadis dalam kitabnya al- kami: “Bahwasanya (hadis yang diterima
Kifayah. Hanya saja kriteria ke-shahih-an hadis dan diamalkan itu) dari shalih dari shalih,
yang disebutkan al-Khathib tersebut belum dan dari shalih dari tabi’, dan dari tabi’ dari
terformulasi secara jelas dan tegas, serta belum shahabi, dan dari shahabi dari Rasulullah
tersistimatisir dengan baik. Berikut penulis Saw dari Jibril, dari Allah Swt”.41
uraikan kriteria ke-shahih-an hadis menurut
Al-Khathib berdasarkan standar yang telah Pernyataan pertama menekankan bahwa hadis
ditetapkan oleh para ahli: diterima sebagai hujjah apabila hadis tersebut
sanad-nya bersambung dan tidak terputus, yang
diriwayatkan oleh periwayat yang tidak majhul
36
‘Utsman ibn ‘Abd al-Rahman al-Syahrazuri (selanjutnya dise�-
but Ibn al-Shalah), ‘Ulum al-Hadits al-Ma’ruf bi Muqaddamat dan tidak majruh dalam meriwayatkan hadis
Ibn al-Shalah (selanjutnya disebut ‘Ulum al-Hadits) (Helb: tersebut. Pada pernyataan kedua, al-Khathib
Mathba’at al-‘Ilmiyyah, T.th), 8.
37
Al-Nawawi, Al-Taqrib wa al-Taysir li Ma’rifat Sunan al-Basyir
al-Nadzir (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1985), 25. 39
Al-Khathib al-Baghdadi, Al-Kifayah, 56.
38
Syuhudi Ismail, 124-125; Buchari, Kaedah Ke-shahih-an Matn 40
Ibid.
Hadits (Padang: Azka, 2004), 206-209. 41
Ibid.

168 Agus Firdaus Chandra dan Buchari M: Kriteria Ke-Shahih-an Hadis Menurut al-Khathib al-Baghdadi
menambahkan istilah periwayat yang tsiqah pembicaraannya”.47
dan sanad tersebut berakhir pada Rasulullah Kata tsiqah merupakan bentuk mashdar
Saw, beliau juga menyinggung pembahasan dari kata kerja watsaqa-yastsiqu yang berarti
ada’ wa tahammul al-hadits, yaitu al-kitabah. terpercaya, dan dalam hal ini terpercaya dalam
Pernyataan ketiga menjelaskan tentang thabaqat keberagamaannya.48 Senada dengan itu, al-
al-sanad (tingkatan sanad), dimulai dari al- Ramaharmuzi juga menambahkan: “Sarana
mukharrij yang shalih, dari tabi’ al-tabi’in yang dalam periwayatan hadis itu adalah kejujuran,
shalih, dari tabi’, dari shahabi, dari Rasulullah terkenal dan gigih dalam menuntut hadis,
Saw, dari Jibril As, dan berakhir pada Allah meninggalkan bid’ah dan meninggalkan dosa-
Swt yang dikenal dengan istilah hadis qudsi. dosa besar”.49
Al-Khathib juga menguraikan istilah musnad, Al-Khathib memberikan perhatian besar pada
mursal, mu’dhal, marfu’, mawquf, munqathi’, pembahasan ta’dil yang terdapat pada Bab al-
mudallas, tadlis al-syuyukh.42 Semua istilah ini Kalam fi al-‘Adalah wa Ahkamihi dan beberapa
berkaitan erat dengan unsur bersambung atau bab setelahnya yang menguraikan beberapa
tidaknya sebuah sanad. pembahasan terkait dengan ta’dil.50 Al-Khathib
Al-Khathib tidak mensyaratkan pertemuan menyatakan bahwa ‘adl yang dimaksud adalah
guru-murid dalam sanad bersambung seperti ‘adl yang merujuk pada konsistensi seseorang
halnya al-Bukhari,43 atau menekankan dalam beragama, bermazhab salim, jauh dari
kesezamanan sebagaimana pada syarat Muslim.44 sifat fasiq, dan apa-apa yang akan menjatuhkan
Al-Khathib mencukupkan syarat periwayat yang ke-‘adalah-annya, baik dari perbuatan lima
tsiqah/shalih dari perwiyat yang tsiqah sebagai panca indra ataupun perbuatan hati.51 Beliau
bukti bersambungnya sebuah sanad, karena juga merujuk pada hadis Nabi Saw:
dengan ke-tsiqah-an akan menjamin pertemuan Dari Husein ibn ‘Ali r.a bahwa nabi Saw
guru-murid dan kesezamanannya. Hal ini bersabda: “Orang yang bergaul dengan
menguatkan pernyataan al-Syafi’i bahwa suatu manusia dan tidak menzalimi mereka,
hadis sulit dinyatakan tidak shahih jika telah dan berbicara kepada mereka dan ia tidak
memenuhi kriteria ini.45 berdusta, berjanji kepada mereka dan tidak
memungkirinya, maka dia adalah orang yang
b. Periwayat Bersifat ‘Adil sempurna muru`ah-nya, dan jelas ke-’adalah-
Al-Hakim berpendapat bahwa syarat ke- annya, dan wajib bersaudara dengannya serta
’adalah-an periwayat adalah tidak mengajak dilarang untuk menggunjingkannya”.52
kepada sesuatu yang bid’ah dan tidak
membeberkan berbagai macam maksiat yang Pada keterangan selanjutnya dinyatakan lebih
akan menjatuhkan ke-’adalah-annya.46Al- jelas bahwa ‘adl adalah orang yang mengetahui
Syafi’i memberikan gambaran arti kata ‘adl, kewajiban (agama), selalu menjalankan apa-apa
yaitu: “hendaklah seorang periwayat hadis yang diperintahkan padanya, menjauhi segala
tsiqah dalam agamanya, terkenal jujur dalam sesuatu yang dilarang dan segala perbuatan keji
yang akan menjatuhkan (ke-‘adalah-an), selalu
berusaha mencari kebenaran dan hal wajib
42
Ibid., 58.
43
Ibn Hajar, Hady al-Sari Muqaddamat Fath al-Bari bi Syarh
Shahih al-Bukhari (Beirut: Dar al-Ma’rifah, T.th), 8-10. 47
Al-Syafi’i.
44
Abu al-Huseyn Muslim ibn al-Hajjaj al-Naisaburi (selanjutnya 48
Ibn Manzhur, Juz. 6, 4724.
ditulis sebagai Muslim), Shahih Muslim, Juz 1 (Al-Qahirah: Dar 49
Al-Ramaharmuzi, 406.
al-Hadits, 1991), 8. 50
Al-Khathib al-Baghdadi, Al-Kifayah, 78.
45
Syuhudi Ismail, 123; Buchari, 203. 51
Ibid., 136.
46
Al-Hakim, 53. 52
Ibid.

Jurnal Ushuluddin Vol . 24 No.2, Juli-Desember 2016 169


dilakukannya, baik dalam perbuatan ataupun menekankan hafalan periwayat dan tidak
mu’amalah-nya, selalu berusaha menjaga lidah menjadikan ke-dhabith-an sebagai syarat mutlak,
dari sesuatu yang akan merusak agama dan sebagaimana pernyataannya sebagai berikut:
kehormatannya. Bahkan untuk jauh dari sifat “…Jika hal tersebut (ke-‘adalah-an) diiringi
fasiq, seseorang tidak hanya harus jauh dari dengan hafalan periwayat terhadap hadis
dosa besar, tetapi juga harus menjauhi dosa-dosa tersebut, maka ia akan berada pada posisi
kecil, seperti mencuri, menipu dalam berjual sebaik-baik tingkatan ahli hadis”.57
beli, dan lain-lain. Orang yang berada dalam
kondisi yang disebutkan di atas bisa disebut ‘adl Al-Khathib mencela periwayatan yang tidak
dalam agamanya, terkenal dengan jujur dalam kokoh/kuat. Ia juga memberi syarat periwayat
pembicaraannya.53 setelah generasi shahabat harus mumayyiz
Jika dibandingkan dengan pendapat ketika menerima dan menyampaikan hadis dan
mayoritas ahli hadis tentang ke-‘adalah-an, jauh dari su’u al-hifdz (jelek hafalan). Khusus
maka pendapat al-Khathib telah memenuhi untuk anak-anak, diperbolehkan mendengar
kriteria tersebut bahkan menjelaskannya secara hadis sebelum masa baligh.58
gamblang walaupun terpisah. Adapun kriteria ke- Al-Khathib menguraikan beberapa
‘adalah-an yang dirumuskan oleh mayoritas ahli pembahasan yang berkaitan erat dengan unsur
hadis, yaitu Islam, baligh, berakal, selamat dari periwayat bersifat dhabith. Pembahasan tersebut
cacat kefasikan dan sesuatu yang mengurangi adalah; 1) kebodohan akan menghilangkan
kehormatan.54 ke-‘adalah-an seseorang dan hadisnya wajib
ditolak; 2) meninggalkan hadis dari periwayat
c. Periwayat Bersifat Dhabith yang mukhtalith (periwayat yang mengalami
Al-Khathib mengutip pernyataan al-Syafi’i penurunan kualitas hafalan pada masa tuanya);
tentang ke-dhabith-an, yaitu kemampuan 3) tidak ber-hujjah dengan periwayat yang
mengetahui hadis yang telah diriwayatkan; sering meriwayatkan hadis-hadis syadz, munkar
memahami makna di seputar hadis yang dan gharib; meninggalkan hadis periwayat
diriwayatkan; meriwayatkan hadis dengan lafaz yang banyak kesalahannya dan sering sekali
yang diperdengarkan bukan dengan makna. Al- terdapat keraguan dalam periwayatannya; 4)
Syafi’i tidak membolehkan periwayatan secara diterimanya hadis dari periwayat yang tersalah
lafaz sehingga tidak menimbulkan kesalahan dalam meriwayatkan hadis setelah mengoreksi
pada makna hadis.55 kembali kesalahan tersebut; 5) ditolaknya hadis
Al-Ramaharmuzi secara tidak langsung dari ahl al-ghaflah (sering lalai dalam proses
menyinggung ke-dhabith-an pada bab Fadhl al- periwayatan hadis); 6) tidak ber-hujjah dengan
Naqil li Sunnat Rasul Allah. Beliau menuliskan hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang
beberapa riwayat yang mengemukakan betapa menyepelekan periwayatan hadis; 7) makruh-nya
pentingnya periwayatan hadis bi al-lafzhi. mengambil keuntungan dalam periwayatan hadis,
Riwayat-riwayat tersebut juga menyatakan dan perkataan tidak didengarnya hadis dari kedua
bahwa penerima hadis bisa saja lebih paham belah pihak yang melakukan hal tersebut.59
dan mengerti tentang hadis tersebut daripada Al-Khathib juga membahas tentang
periwayatnya.56 Sedangkan al-Hakim, hanya pergantian, penambahan, pengurangan,
didahulukan atau diakhirkannya huruf dan
53
Ibid.
54
Nuruddin, 78. 57
Al-Hakim.
55
Al-Syafi’i. 58
Al-Khathib al-Baghdadi, Al-Kifayah, 72.
56
Al-Ramaharmuzi, 166. 59
Ibid., 137.

170 Agus Firdaus Chandra dan Buchari M: Kriteria Ke-Shahih-an Hadis Menurut al-Khathib al-Baghdadi
kata dalam periwayatan, baik karena kelalaian yaitu:
periwayat atau merupakan tambahan dari guru Yunus ibn ‘Abd al-A’la menyampaikan kepada
yang mendiktekan hadis, atau berupa tambahan kami, ia berkata: aku mendengar al-Syafi’i berkata:
penjelasan dari seorang guru.60 “Al-Syadz bukanlah hadis yang diriwayatkan oleh
Terkait dengan jenis periwayatan, al-Khathib seorang yang tsiqah yang tidak diriwayatkan
membolehkan adanya periwayatan hadis secara oleh para periwayat lainnya, akan tetapi al-syadz
makna selama kualitas intelektual periwayat adalah hadis yang diriwayatkan oleh periwayat
tersebut bisa menjauhkannya menghalalkan tsiqah yang banyak kemudian terdapat salah satu
yang haram dan mengharamkan yang halal. Ia diantara mereka suatu kejanggalan dan kemudian
juga membolehkan pengurangan matan hadis menyalahi hadis yang diriwayatkan oleh para
dan tidak untuk menambahkannya; begitu juga periwayat tsiqah yang banyak”.64
hanlnya dengan pemotongan matan hadis dan Selain itu, al-Khathib juga menambahkan
menjadikannya kepada beberapa bagian matan.61 bahwa syadz juga terjadi ketika seorang
Al-Khathib kembali menegaskan sifat periwayat yang meriwayatkan hadis yang juga
periwayat yang boleh ber-hujjah dengannya, diriwayatkan oleh orang yang lebih hafizh
yaitu periwayat yang dhabith terhadap apa- darinya, sedangkan pada kedua hadis tersebut
apa yang didengarnya waktu periwayatan, dan terdapat perbedaan.65 Yakni di sini terjadi
dalam kondisi terjaga sehingga terhindar dari pertentangan antara periwayat yang tsiqah
tadlis pada sebagian guru yang biasa men- dengan periwayat yang lebih tsiqah darinya.
tadlis-kan hadis. Periwayat tersebut benar- Pembahasan tentang pergantian,
benar harus tatsabbut (kokoh dan tetap) pada penambahan, pengurangan, didahulukan atau
waktu periwayatan hadis tersebut sehingga ia diakhirkannya huruf dan kata dalam periwayatan
meriwayatkan apa-apa yang tidak diragukannya sebagaimana telah dibahas pada poin periwayat
dan berhenti jika seandainya terdapat keraguan bersifat dhabith juga berkaitan erat dengan
dalam periwayatan tersebut.62 syadz. Perubahan-perubahan tersebut setidaknya
Pendapat al-Khathib mengenai ke-dhabith- menjadi indikasi awal untuk melacak adanya
an merupakan penjelasan yang detil dari syadz dalam suatu hadis.
rumusan ahli hadis terkait ke-dhabith-an, yaitu Al-Khathib menjadikan unsur terhindar dari
sifat yang dimiliki seorang periwayat dalam syadz sebagai salah satu dari unsur ke-shahih-an
kondisi terjaga tidak lalai, terjaga hafalannya, hadis. Al-syadz menurut al-Khathib adalah seorang
dan terjaga tulisannya jika meriwayatkan dengan periwayat yang tsiqah meriwayatkan hadis
tulisan,63 atau juga bisa disebut dengan kapasitas menyalahi periwayatan para periwayat tsiqah
intelektual seorang periwayat. lainnya atau satu periwayat yang lebih tsiqah
darinya. Ini menunjukkan adanya pertentangan
Kriteria Kesahihan Matan Hadis yang tidak bisa dikompromikan pada matan-
a. Terhindar dari Syadz matan tersebut. Jadi ada dua syarat dalam hadis
Al-Khathib menulis bab khusus tentang syadz, yaitu adanya pertentangan yang tidak bisa
tidak berhujjah pada periwayat yang dominan dikompromikan dalam matan hadis dan para
melakukan syadz, munkar, dan gharib. Pada bab periwayat tersebut adalah orang-orang tsiqah.
tersebut beliau mengutip pernyataan al-Syafi’i,
b. Terhindar dari ‘Illat
60
Ibid., 72-74. Al-Khathib memakai istilah khabar untuk
61
Ibid., 265.
62
Ibid., 251. 64
Ibid., 223.
63
Nuruddin, 80. 65
Ibid., 333.

Jurnal Ushuluddin Vol . 24 No.2, Juli-Desember 2016 171


“sesuatu yang bisa saja benar atau bohong”. Al- untuk mengakui kebenarannya. Dari keterangan
Khathib membagi khabar dari segi muatannya di atas terlihat al-Khathib melakukan pengujian
kepada; khabar yang diketahui ke-shahih- matan hadis dengan akal sehat manusia.
annya, khabar yang diketahui cacatnya dan Al-Khathib menyatakan kewajiban menolak
khabar yang tidak berada pada dua kelompok hadis yang terdapat di dalamnya sesuatu yang
tersebut.66 Hal ini menunjukkan al-Khathib mustahil (tidak masuk akal) dan diingkari oleh
memiliki perhatian lebih terhadap matan hadis. akal manusia dengan berpedoman kepada sebuah
Dan ini menjadi keistimewaan tersendiri dalam hadis yaitu:
hal ini. Al-Khathib berkata: Dari Abu Humaid bahwasanya Rasulullah
“Adapun bagian yang pertama: apa-apa Saw berkata: “Jika kalian mendengar hadis
(khabar) yang diketahui kebenarannya, dariku yang diketahui oleh hati (akal) kalian
dan jalan untuk mengetahuinya, jika tidak dan melunakkan perasaaan (jiwa) kalian
dengan tawatur sehingga menghasilkan serta kalian merasa dekat dengan (kebenaran)
ilmu yang dharuri adalah dengan apa-apa hadis tersebut, maka aku adalah orang yang
yang ditunjukkan oleh akal kebenarannya lebih patut dekat dengan hadis tersebut, dan
seperti berita perihal barunya tubuh manusia, jika kalian mendengar hadis dariku yang
adanya sang pencipta, petunjuk-petunjuk diingkari oleh hati (akal) kalian dan membuat
yang diperlihatkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla perasaan (jiwa) kalian lari dari padanya serta
dan hal-hal yang semisal dengannya yang kalian merasa jauh dari (kebenaran) hadis
mana akal menunjukkan kebenarannya.67 tersebut, maka aku adalah orang yang paling
jauh dari hadis tersebut”.68
Pada pernyataan di atas, al-Khathib secara tak
langsung telah menyatakan bahwa suatu hadis akan Al-Khathib juga menyebutkan bahwa khabar
shahih dan bisa dijadikan hujjah jika matan hadis ahad diterima jika diyakini kandungan isinya
tersebut sesuai dengan apa-apa yang terdapat al- benar-benar dari Rasulullah Saw. Khabar ahad
Qur’an, hadis mutawatir, dan ijma’. Berarti suatu ditolak jika kandungan isinya mengindikasikan
hadis akan diketahui cacatnya jika telah dilakukan sebuah perkataan tersebut bukan berasal dari
pengujian terhadap al-Qur’an, hadis mutawatir, dan Rasulullah Saw, kecuali hadis qudsi.69 Hal ini
ijma’. Al-Khathib juga menyatakan bahwa hadis terkait dengan sesuatu yang pada dasarnya
tidak diterima jika bertentangan dengan al-Qur’an tidak diterima oleh akal, akan tetapi karena ini
dan sunnah dan apa-apa yang sejalan dengan merupakan berita yang bersifat ghaib dari Allah
sunnah. Kalimat ”apa-apa yang sejalan dengan Swt maka wajib untuk diterima.
sunnah” mengindikasikan bahwa al-Khathib juga Pengujian ke-shahih-an menggunakan akal
melakukan pengujian hadis terhadap qiyas. sehat menjadi keistimewaan tersendiri bagi
Menurut al-Khathib, suatu matan hadis al-Khathib yang tidak dibahas oleh ahli hadis
jika tidak diriwayatkan secara tawatur akan sebelumnya secara signifikan. Terlebih lagi al-
dapat dibenarkan bila akal menunjukkan akan Khathib mendahulukan akal sehat dari pada qiyas
kebenarannya, seperti adanya sang pencipta, sebagaimana terdapat pada pernyataan di atas.
perihal barunya wujud manusia, dan juga Al-Khathib tidak menjelaskan kata ’illat atau
dapat dilihat dari tanda-tanda kebenaran yang istilah yang terkait dengan hal tersebut pada
diperlihatkan oleh Allah Swt melalui tangan para
Nabi dan RasulNya dan ini akan menuntut akal 68
Ibid., 603; lihat juga, Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal, Al-
Musnad (di-syarah dan diberi daftar isi oleh Hamzah Ahmad al-
Ibid., 223.
66
Zein) (Al-Qahirah: Dar al-Hadits, 1995), 51.
Ibid., 50-51.
67 69
Al-Khathib al-Baghdadi, Al-Kifayah, 603.

172 Agus Firdaus Chandra dan Buchari M: Kriteria Ke-Shahih-an Hadis Menurut al-Khathib al-Baghdadi
kitabnya. Pengertian ’illat menurut mayoritas Fikar. Al-Qahirah: Maktabat al-Sunnah,
ahli hadis adalah cacat yang tersembunyi yang 2002.
dapat merusak kualitas suatu hadis.70 Pembahasan Al-Baghdadi, Abu Bakr Ahmad ibn ‘Ali al-
pengujian matan hadis dengan al-Qur’an, hadis Khathib. Al-Kifayah fi Ma’rifat Ushul al-
mutawatir, ijma’, qiyas, dan akal sehat manusia, Riwayah. Mit Ghamr: Dar al-Huda, T.th.
tentunya mengarah pada ada atau tidaknya cacat
yang tersembunyi pada matan hadis yang pada ______. Tarikh Baghdad. Beirut: Dar al-Fikr,
akhirnya bisa merusak kualitas hadis tersebut. T.th.
Buchari. Kaedah Ke-shahih-an Matn Hadits.
Kesimpulan Padang: Azka, 2004.
Abu Bakr Ahmad ibn ‘Ali al-Khathib al-
Al-Hamawi, Abu ‘Abd Allah Yaqut ibn ‘Abd
Baghdadi telah menetapkan kriteria ke-shahih-an
Allah al-Rumi. Mu’jam al-Udaba` aw
hadis dalam kitabnya al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah.
Irsyad al-Arib ila Ma’rifat al-Adib.
Terdapat tiga unsur yang berkaitan dengan sanad: 1)
Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1991.
Sanad bersambung, yang mana diriwayatkan oleh
periwayat yang ’adil dan dhabith dari periwayat Ibn ‘Asakir, Abu al-Qasim ‘Ali ibn al-Hasan ibn
yang ’adil dan dhabith dalam proses tahammul Hibat Allah ibn ‘Abd Allah al-Syafi’i.
wa ada`; 2) Periwayat bersifat ’adil dalam arti Tarikh Madinat al-Dimasyq. Beirut: Dar
terpercaya dalam konsistensi keberagamaan yang al-Fikr, 1995.
dapat diukur dengan Islam, baligh, berakal, selamat Ibn Hanbal, Ahmad ibn Muhammad. Al-Musnad.
dari kefasikan, dan hal-hal yang merusak harga diri; Al-Qahirah: Dar al-Hadits, 1995.
3) Periwayat dhabith, yaitu kondisi sadar, terjaga,
Ibn Katsir, Abu al-Fida. Al-Bidayah wa al-
dan kokoh saat menerima hingga menyampaikan
Nihayah. Di-tahqiq oleh ‘Abd Allah ibn
hadis. Adapun yang berkaitan dengan matan, yaitu:
‘Abd al-Muhsin al-Turki. Giza: Dar Hijr,
1) Matan terhindar dari syadz, yaitu pertentangan
1998.
periwayatan yang tsiqah, baik terhadap periwayat
yang lebih tsiqah atau periwayat tsiqah yang Ibn Khalkan, Abu al-‘Abbas Ahmad ibn
banyak; s) Matan terhindar dari ’illat terlihat dari Muhammad ibn Abi Bakar. Wafayat al-
pengujian hadis dengan al-Qur’an, hadis mutawatir, A’yan wa Anba` Abna` al-Zaman. Beirut:
ijma’ qiyas, dan akal sehat. Dar al-Shadir, T.th.
Kajian kriteria ke-shahih-an hadis menurut ‘Ithr, Nuruddin. Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-
tokoh hadis al-Khathib al-Baghdadi bertujuan Hadits. Dimasyq: Dar al-Fikr, 1979.
untuk memperluas dan memperdalam kajian tentang
Al-Jauzi, Abu al-Farj ‘Abdurrahman ibn ‘Ali
kriteria ke-shahih-an hadis. Penulisan ini tidak
ibn. Al-Muntadzham fi Ma’rifat al-Muluk
mutlak benar dan masih membutuhkan penelitian
wa al-Umam. Beirut: Dar al-Kutub al-
kritis lebih lanjut dari para peminat hadis.
Islamiyah, 1992.
Al-Jawzajani, Abu Ishaq Ibrahim ibn Ya’qub.
Daftar Kepustakaan Ahwal al-Rijal. Beirut: Mu`assasah al-
Risalah, T.th.
Al-’Asqalani, Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar. Syarh Al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj. Ushul al-Hadits
Nuzhat al-Nazhr fi Tawdhih Nukhbat al- ‘Ulumuhu wa Musthalahuhu. Beirut: Dar
al-Fikr, 1989.
Al-Hakim, 112-113.
70

Jurnal Ushuluddin Vol . 24 No.2, Juli-Desember 2016 173


Al-Naisaburi, Abu al-Huseyn Muslim ibn al- ibn ‘Abd al-Kafi. Thabaqat Al-Syafi’iyyah
Hajjaj. Shahih Muslim. Al-Qahirah: Dar Al-Kubra. Al-Qahirah: Mathba’ah ‘Isa
al-Hadits, 1991. al-Babi al-Hallabi, 1964.
Al-Nawawi, Yahya ibn Syaraf. Taqrib wa al- Al-Suyuthi, Jalal al-Din. Tadrib al-Rawi fi
Taysir li Ma’rifat Sunan al-Basyir al- Syarh Taqrib al-Nawawi. Al-Qahirah:
Nadzir. Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, Maktabah Dar al-Turats, 1972.
1985. Al-Syafi’i, Muhammad ibn Idris. Al-Risalah.
Al-Qasimi, Muhammad Jamal al-Din. Qawa’id Beirut; Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1939.
al-Tahdits min Funun Musthalah al- Al-Syahrazuri, Utsman ibn ‘Abd al-
Hadits. Beirut: Dar al-Nafa`is, 2001. Rahman.‘Ulum al-Hadits al-Ma’ruf
Al-Rumi, Yaqut al-Hamawi. Mu’jam al-Udaba` bi Muqaddamat Ibn al-Shalah. Helb:
Isyad al-Arib ila Ma’rifat al-Adib. Beirut: Mathba’at al-‘Ilmiyyah, T.th.
Dar al-Gharb al-Islami, 1993. Syuhudi Ismail. Kaedah Kesahihan Sanad
Al-Sam’ani, Abu Sa’ad ‘Abdul Karim ibn Hadis; Tela’ah Kritis dan Tinjauan
Muhammad. Al-Ansab. Beirut: Dar al- dengan Pendekatan Ilmu Sejarah Jakarta:
Jannan, 1988. Bulan Bintang, 1995.
Al-Shalih, Shubhi. ‘UIum al-Hadits wa Al-Thahhan, Mahmud. Al-Hafiz al-Khatib
Mushthalahuhu. Beirut: Dar al-‘Ilm li al- al-Baghdadi wa Atsaruhu fi ‹Ulum al-
Malayin, 1994. Hadits. Disertasi: Universitas al-Azhar,
Al-Subki, Abu Nashr ‘Abd al-Wahhab ibn ‘Ali 1981.

174 Agus Firdaus Chandra dan Buchari M: Kriteria Ke-Shahih-an Hadis Menurut al-Khathib al-Baghdadi

Anda mungkin juga menyukai