LP Neonatal Joundice
LP Neonatal Joundice
LP Neonatal Joundice
“NEONATAl JOUNDICE”
DISUSUN OLEH:
2011102412069
4. Klasifikasi
Menurut Ridha (2014) ikterik neonatus diklarifikasikan menjadi dua yaitu ikterik
fisiologis dan ikterik patologis (H. Nabiel Ridha, 2014):
a. Ikterik fisiologi
Ikterik fisiologis yaitu warna kuning yang timbul pada hari kedua atau ketiga
dan tampak jelas pada hari kelima sampai keenam dan menghilang sampai hari
kesepuluh. Ikterik fisiologis tidak mempunyai dasar patologis potensi kern ikterus.
Bayi tampak biasa, minum baik, berat badan naik biasa, kadar bilirubin serum pada
bayi cukup bulan tidak lebih dari 12 mg/dl dan pada BBLR 10 mg/dl, dan akan
hilang pada hari keempat belas, kecepatan kadar bilirubin tidak melebihi 5% perhari.
b. Ikterik patologis
Ikterik ini mempunyai dasar patologis, ikterik timbul dalam 24 jam pertama
kehidupan: serum total lebih dari 12 mg/dl. Terjadi peningkatan kadar bilirubin 5
mg% atau lebih dalam 24 jam. Konsentrasi bilirubin serum serum melebihi 10 mg%
pada bayi kurang bulan (BBLR) dan 12,5 mg% pada bayi cukup bulan, ikterik yang
10 disertai dengan proses hemolisis (inkompatibilitas darah, defisiensi enzim G-6-
PD dan sepsis). Bilirubin direk lebih dari 1 mg/dl atau kenaikan bilirubin serum 1
mg/dl per-jam atau lebih 5 mg/dl perhari. Ikterik menetap sesudah bayi umur 10 hari
(bayi cukup bulan) dan lebih dari 14 hari pada bayi baru lahir BBLR.
Adapun beberapa keadaan yang menimbulkan ikterik patologis:
1) Penyakit hemolitik, isoantibody karena ketidakcocokan golongan darah ibu dan
anak seperti rhesus antagonis, ABO dan sebagainya.
2) Kelainan dalam sel darah merah pada defisiensi G-PD (Glukosa-6 Phostat
Dehidrokiknase), talesemia dan lain-lain.
3) Hemolisis: Hematoma, polisitemia, perdarahan karena trauma lahir.
4) Infeksi: Septisemia, meningitis, infeksi saluran kemih, penyakit,karena
toksoplasmosis, sifilis, rubella, hepatitis dan sebagainya.
5) Kelainan metabolik: hipoglikemia, galaktosemia.
6) Ikatan bilirubin dengan albumin dapat digantikan dengan obat-obatan seperti
solfonamida, salisilat, sodium benzoate, gentamisin, dan sebagainya.
7) Pirau enterohepatic yang meninggi: obstruksi usus letak tinggi, penyakit
hiscprung, stenosis, pilorik, meconium ileus dan sebagainya.
Adapun beberapa tipe ikterus yaitu (Suzanne C. Smeltzer, 2013):
1) Ikterus Hemolitik
Ikterus hemolitik merupakan suatu kelainan hati normal yang tidak mampu
lagi mengeksresikann bilirubin akibat dari peningkatan destruksi sel darah merah
yang mengakibatkan cepatnya aliran bilirubin dalam darah.
2) Ikterus Hepatoseluler
Ikterus Hepotoseluler merupakan kerusakan hati akibat infeksi yang
mengakibatkan ketidakmampuan sel hati untuk membersihkan bilirubin yang
jumlahnya masih normal didalam darah.
3) Ikterus obstruktif
Ikterus obstruktif terjadi akibat penyumbatan saluran empedu, proses
imflamasi, tumor atau oleh tekanan darah dari sebuah organ yang membesar.
c. Penilaian
Pengamatan hiperbilirubinpaling baik dilakukan dalam cahaya matahari dan
dengan menekan sedikit kulit yang akan diamati untuk menghilangkan warna karena
pengaruh sirkulasi darah.
Untuk penilaian hiperbilirubin, Kremer membagi tubuh bayi baru lahir dalam
5 bagian yang dimulai dari kepala dan leher, dada sampai pusat, pusat bagian bawah
sampai tumit, tumit pergelangan kaki dan bahu pergelangan tangan dan kaki serta
tangan termasuk telapak tangan.
1) Derajat I : kepala sampai leher
2) Derajat II : kepala, badan sampai umbilicus
3) Derajat III : kepala, badan, paha sampai dengan lutut
4) Derajat IV : kepala, badan, paha sampai dengan lutut
5) Derajat V : kepala, badan, semua ekstremitas sampai ujung jari
5. Patofisiologi
Bilirubin diproduksi dalam sistem retikuloendotelial sebagai produk akhir dari
katabolisme heme dan terbentuk melalui reaksi oksidasi reduksi. Bilirubin yang bersifat
hidrofobik tidak mengalami konjugasi akan diangkut dalam darah dan terikat erat pada
albumin. Ketika mencapai hati, bilirubin diangkut ke dalam hepatosit, terikat dengan
ligandin. Bilirubin yang tak larut dalam air akan berubah menjadi larut dalam air dalam
proses konjugasi. Setelah diekskresi- kan kedalam empedu dan masuk ke usus, bilirubin
direduksi dan menjadi tetrapirol yang tak berwarna oleh mikroba di usus besar. Bilirubin
tak terkonjugasi ini dapat diabsorbsi kembali dan masuk ke dalam sirkulasi sehingga
meningkatkan bilirubin plasma total (Mathindas et al., 2013).
Fungsi hati yang belum matang pada bayi dengan BBLR mengakibatkan terjadinya
ikterus neonaturum. Pada bayi dengan BBLR menghalami ikterus neonaturum karena
tingginya kadar eritrosit neonatus dan umur erotrosit yang lebih pendek (30-90 hari) dan
fungsi hepar yang belum matang (Di et al., 2013).
Bilirubin di produksi sebagian besar (70-80%) dari eritrosit yang telah rusak.
Kemudian bilirubin indirek (tak terkonjugasi) dibawa ke hepar dengan cara berikatan
dengan albumin. Bilirubin direk (terkonjugasi) kemudian diekskresikan melalui traktus
gastrointestinal. Bayi memiliki usus yang belum sempurna, karna belum terdapat bakteri
pemecah, sehingga pemecahan bilirubin tidak berhasil dan menjadi bilirubin indirek
yang kemudian ikut masuk dalam aliran darah, sehingga bilirubin terus bersirkulasi
(Manggiasih, 2016).
Ikterus neonatorum pada bayi prematur disebabkan oleh penghancuran sel darah
merah yang berlebihan, hati dan gastrointestinal yang belum matang. Peningkatan
bilirubin yang dialami oleh bayi prematur disebabkan karena belum matangnya fungsi
hati bayi untuk memproses eritrosit. Saat lahir hati bayi belum cukup baik untuk
melakukan tugasnya. Sisa pemecahan eritrosit disebut bilirubin, bilirubin ini yang
menyebabkan kuning pada bayi dan apabila jumlah bilirubin semakin menumpuk
ditubuh. Pada bayi prematur kadar bilirubin meningkat lebih awal, kemudian mencapai
puncak (5-7 hari) dan tetap meningkat lebih lama. Selain itu keterlambatan dalam
memberikan makanan enteral dalam pengelolaan klinis bayi baru lahir prematur yang
sakit dapat membatasi motalitas usus dan kolonisasi bakteri yang mengakibatkan
peningkatan sirkulasi bilirubin enterohepatik lebih lanjut (Ratuain, Wahyuningsih, &
Purnamaningrum, 2015).
6. Pathway
HIPERBILIRUBIN
Peristaltik usus
Saraf Aferen
Resiko Gangguan meningkat
integritas
kulit/jaringan
Diare
Hipotalamus
Hipovolemia
Penguapan menurun
Hipertermi
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium (Pemeriksan Darah)
1) Pemeriksaan billirubin serum. Pada bayi prematur kadar billirubin lebih dari 14
mg/dl dan bayi cukup bulan kadar billirubin 10 mg/dl merupakan keadaan yang
tidak fisiologis.
2) Hb, HCT, Hitung Darah Lengkap.
3) Protein serum total.
b. USG, untuk mengevaluasi anatomi cabang kantong empedu.
c. Radioisotop Scan, dapat digunakan untuk membantu membedakan hapatitis dan
atresia billiari.
8. Penatalaksanaan
a. Pengawasan antenatal dengan baik dan pemberian makanan sejak dini (pemberian
ASI).
b. Menghindari obat yang meningkatakan ikterus pada masa kelahiran, misalnya sulfa
furokolin.
c. Pencegahan dan pengobatan hipoksin pada neonatus dan janin.
d. Fenobarbital
Fenobarbital dapat mengeksresi billirubin dalam hati dan memperbesar
konjugasi. Meningkatkan sintesis hepatik glukoronil transferase yang mana dapat
meningkatkan billirubin konjugasi dan clereance hepatik pigmen dalam empedu.
Fenobarbital tidak begitu sering digunakan.
e. Antibiotik, bila terkait dengan infeksi.
f. Fototerapi
Fototerapi dilakukan apabila telah ditegakkan hiperbillirubin patologis dan
berfungsi untuk menurunkan billirubin dikulit melalui tinja dan urine dengan
oksidasi foto pada billirubin dari billiverdin.
g. Transfusi tukar.
h. Transfusi tukar dilakukan bila sudah tidak dapat ditangani dengan foto terapi.
i. Terapi Obat-obatan
Misalnya obat phenorbarbital/luminal untuk meningkatkan bilirubin di sel hati yang
menyebabkan sifat indirect menjadi direct, selain itu juga berguna untuk mengurangi
timbulnya bilirubin dan mengangkut bilirubin bebas ke organ hari.
9. Komplikasi
Ikterus dapat mengakibatkan keadaan yang fatal jika tidak ditangani dengan baik.
Kerm ikterus merupakan kerusakan otak akibat perlengketan dan penumpukan bilirubin
indirek pada otak terutama pada korpus striatum, talamus, nukleus subtalamus
hipokempus, nukleus merah didasar vertrikel IV.
Kern ikterus ialah esefalopati bilirubin yang biasa ditemukan pada neonatus cukup
bulan dengan ikterus berat (biliribin lebih dari 20mg%) dan disertai penyakit hemolitik
berat dan pada autopsy ditemukan bercak bilirubin pada otak. Kern ikterus secara klinis
berbentuk kelainan syaraf simpatis yang yang terjadi kronik.
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan proses pengumpulan data dari klien (atau
keluarga/kelompok/komunitas) yang akan diolah menjadi informasi, dan kemudian
mengatur informasi yang bermakna dalam kategori pengetahuan, yang dikenal sebagai
diagnosa keperawatan (Nanda, 2018).
a. Identitas
Pada indentitas terdapat indentitas pasien meliputi nama, tanggal lahir, umur,
jenis kelamin, tanggal masuk rumah sakit, dan tanggal pengkajian. Sedangkan pada
identitas orang tua terdapat nama ibu dan ayah, umur, pekerjaan, pendidikan, agama
dan alamat.
b. Genogram
Genogram dibuat apabila ada hubungan dengan kasus diatas atau berhubungan
dengan penyakit keturunan. Pada genogram dibuat minimal tiga generasi.
c. Alasan Dirawat
Pada bagian alasan dirawat terdapat keluhan utama dan riwayat penyakit terdahulu
pasien.
d. Riwayat Anak
Pada bagian ini dikhususkan untuk anak dari umur 0-6 tahun yang meliputi
perawatan masa kandungan (pemeriksaan kehamilan, riwayat mengonsumsi obat
pada ibu, imunisasi, penyakit yang pernah diderita oleh ibu dan penyakit dalam
kandungan) dan perawatan pada waktu kelahiran (umur kehamilan, penolong
melahirkan, berlangsungnya kehamilan, lama proses persalinan, jenis persalinan,
berat badan bayi, panjang badan bayi, dan lingkar kepala bayi).
e. Kebutuhan Bio-psiko-sosial-spiritual dalam kehidupan sehari-hari
Pada bagian ini terdapat beberapa hal yang perlu dikaji seperti kebutuhan
bernafas, makan dan minum, eliminasi, aktifitas, rekreasi, kebersihan diri, rekreasi,
pengaturan suhu tubuh, rasa nyaman, rasa aman, belajar, prestasi, hubungan sosial
dan melaksanakan ibadah)
f. Pengawasan Kesehatan
Apakah pada anak yang sakit dibawa ke puskesmas atau tidak, kunjungan posyandu,
dan riwayat imunisasi (1-5 tahun).
g. Penyakit yang Pernah Diderita Anak
Mengidentifikasi penyakit yang pernah diderita anak.
h. Kesehatan Lingkungan
Apakah hal-hal dilingkungan yang menyebabkan anak sakit.
i. Perkembangan Anak (0-6 tahun)
Mengidentifikasi perkembangan anak sesuai usia seperti motorik kasar, motorik
halus, bahasa, dan personal sosial.
j. Pemeriksaan Fisik
Pada pengkajian fisik terdapat identifikasi mengenai keadaan umum, pengkajian
head to toe, dan pengkajian antropometri.
k. Pemeriksaan Penunjang
Pemerikasaan pununjang dilampirkan untuk menegakkan diagnosis.
2. Diagnose Keperawatan
a. Hipovolemia
b. Hipertermia
c. Resiko gangguan integritas kulit/jaringan
3. Intervensi
Beta, P., Toruan, N. L., Tumewu, F., & Rosa, E. (2003). ABSTRAK PATOFISIOLOGI IKTERUS
P. Beta.
Di, N., Prof, R., & Soekarjo, M. (2013). No Title. 06, 17–25.
H. Nabiel Ridha. (2014). Keperawatan Anak pada Hiperbilirubin. In M. K. Sujono Riyadi,S.Kep.
(Ed.), Buku Ajar Keperawatan Anak (Edisi 1, pp. 187–200). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Manggiasih, & J. (2016). No Title. In Buku Ajar : Asuhan Kebidanan pada Neonatus, Bayi, Dan
Anak Pra Sekolah. Jakarta: trans info media.
Mathindas, S., Wilar, R., & Wahani, A. (2013). HIPERBILIRUBINEMIA PADA NEONATUS.
JURNAL BIOMEDIK (JBM). https://doi.org/10.35790/jbm.5.1.2013.2599
Nanda. (2018). Dasar Diagnosis Keperawatan. In F. T. Heather Herdman,PhD,RN (Ed.), Nanda
(pp. 34–43). Jakarta: EGC.
Pramono, M. S., & Paramita, A. (2015). POLA KEJADIAN DAN DETERMINANBAYI
DENGAN BERAT BADAN LAHIR RENDAH (BBLR) DI INDONESIA TAHUN 2013
(Pattern of Occurrence and Determinants of Baby with Low Birth Weight in Indonesia
2013). Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 18(1), 1–10.
https://doi.org/10.22435/hsr.v18i1.4263.1-10
Suzanne C. Smeltzer, B. G. B. (2013). No Title. In Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah (pp.
1155–1157).
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia, Edisi 1.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia, Edisi 1.
Cetakan II. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia, Edisi 1.
Cetakan II Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia