LP Neonatal Joundice

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN POENDAHULUAN

STASE KEPERAWATAN ANAK

“NEONATAl JOUNDICE”

DISUSUN OLEH:

DINDA AYU FRAMAISELLA

2011102412069

PROGRAM PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KALIMANTAN TIMUR


A. KONSEP TEORI
1. Definisi
Ikterik neonatus adalah kondisi kulit dan mukosa neonatus menguning setelah 24
jam kelahiran akibat bilirubin tidak terkonjugasi masuk ke dalam sirkulasi (Tim Pokja
SDKI DPP PPNI, 2016). Ikterik merupakan suatu gejala perubahan sklera, membran
mukosa dan kulit mejadi kuning sebagai akibat dari kenaikan konsentrasi bilirubin
(Beta, Toruan, Tumewu, & Rosa, 2003). Ikterus neonatus adalah salah satu penyakit
yang menyerupai penyakit hati yang dialami oleh bayi baru lahir yang dapat menganggu
tumbuh kembang (H. Nabiel Ridha, 2014). Jadi, ikterik neonatus merupakan suatu
keadaan yang membuat kulit, mukosa, dan sklera mengalami perubahan menjadi warna
kuning akibat dari bilirubin yang tidak tekonjugasi.
2. Etiologi
Penyebab ikterik neonatus dapat berdiri sendiri ataupun dapat dapat disebabkan
oleh beberapa faktor, secara garis besar etiologi ikterik neonatus (Tim Pokja SDKI DPP
PPNI, 2016):
a. Penurunan berat badan abnormal (7-8% pada bayi baru lahir yang menyusui ASI, >
15% pada bayi cukup bulan)
b. Pola makan tidur ditetapkan dengan baik
c. Kesulitan transisi ke kehidupan ekstra uterin
Penyebab ikterik neonatus dapat berdiri sendiri ataupun dapat dapat disebabkan
oleh beberapa faktor, secara garis besar etiologi ikterik neonatus (Tim Pokja SDKI DPP
PPNI, 2016):
a. Usia kurang dari 7 hari
b. Keterlambatan mengeluarkan fases (mekanium)

Adapun hal-hal yang dapat menyebabkan ikterus diantaranya adalah sebagai


berikut (H. Nabiel Ridha, 2014):

a. Berlebihnya produksi bilirubin


b. Terjadi gangguan dalam proses ambil dan konjugasi hepar
c. Terjadi transportasi dalam metabolisme bilirubin
d. Terjadi gangguan dalam ekresi
3. Manifestasi klinik
Menurut SDKI pada ikterik neonatus terdapat gejala dan tanda mayor minor
dianataranya (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016):
a. Gejala dan tanda mayor
1) Objektif
a) Profil darah abnormal (hemolisis, bilirubin serum total >2 mg/dL, biliribin
serum total pada rentang risiko tinggi menurut usia pada normogram spesifik
waktu)
b) Membran mukosa kering
c) Kulit kuning
d) Sklera kuning

4. Klasifikasi
Menurut Ridha (2014) ikterik neonatus diklarifikasikan menjadi dua yaitu ikterik
fisiologis dan ikterik patologis (H. Nabiel Ridha, 2014):
a. Ikterik fisiologi
Ikterik fisiologis yaitu warna kuning yang timbul pada hari kedua atau ketiga
dan tampak jelas pada hari kelima sampai keenam dan menghilang sampai hari
kesepuluh. Ikterik fisiologis tidak mempunyai dasar patologis potensi kern ikterus.
Bayi tampak biasa, minum baik, berat badan naik biasa, kadar bilirubin serum pada
bayi cukup bulan tidak lebih dari 12 mg/dl dan pada BBLR 10 mg/dl, dan akan
hilang pada hari keempat belas, kecepatan kadar bilirubin tidak melebihi 5% perhari.
b. Ikterik patologis
Ikterik ini mempunyai dasar patologis, ikterik timbul dalam 24 jam pertama
kehidupan: serum total lebih dari 12 mg/dl. Terjadi peningkatan kadar bilirubin 5
mg% atau lebih dalam 24 jam. Konsentrasi bilirubin serum serum melebihi 10 mg%
pada bayi kurang bulan (BBLR) dan 12,5 mg% pada bayi cukup bulan, ikterik yang
10 disertai dengan proses hemolisis (inkompatibilitas darah, defisiensi enzim G-6-
PD dan sepsis). Bilirubin direk lebih dari 1 mg/dl atau kenaikan bilirubin serum 1
mg/dl per-jam atau lebih 5 mg/dl perhari. Ikterik menetap sesudah bayi umur 10 hari
(bayi cukup bulan) dan lebih dari 14 hari pada bayi baru lahir BBLR.
Adapun beberapa keadaan yang menimbulkan ikterik patologis:
1) Penyakit hemolitik, isoantibody karena ketidakcocokan golongan darah ibu dan
anak seperti rhesus antagonis, ABO dan sebagainya.
2) Kelainan dalam sel darah merah pada defisiensi G-PD (Glukosa-6 Phostat
Dehidrokiknase), talesemia dan lain-lain.
3) Hemolisis: Hematoma, polisitemia, perdarahan karena trauma lahir.
4) Infeksi: Septisemia, meningitis, infeksi saluran kemih, penyakit,karena
toksoplasmosis, sifilis, rubella, hepatitis dan sebagainya.
5) Kelainan metabolik: hipoglikemia, galaktosemia.
6) Ikatan bilirubin dengan albumin dapat digantikan dengan obat-obatan seperti
solfonamida, salisilat, sodium benzoate, gentamisin, dan sebagainya.
7) Pirau enterohepatic yang meninggi: obstruksi usus letak tinggi, penyakit
hiscprung, stenosis, pilorik, meconium ileus dan sebagainya.
Adapun beberapa tipe ikterus yaitu (Suzanne C. Smeltzer, 2013):
1) Ikterus Hemolitik
Ikterus hemolitik merupakan suatu kelainan hati normal yang tidak mampu
lagi mengeksresikann bilirubin akibat dari peningkatan destruksi sel darah merah
yang mengakibatkan cepatnya aliran bilirubin dalam darah.
2) Ikterus Hepatoseluler
Ikterus Hepotoseluler merupakan kerusakan hati akibat infeksi yang
mengakibatkan ketidakmampuan sel hati untuk membersihkan bilirubin yang
jumlahnya masih normal didalam darah.
3) Ikterus obstruktif
Ikterus obstruktif terjadi akibat penyumbatan saluran empedu, proses
imflamasi, tumor atau oleh tekanan darah dari sebuah organ yang membesar.
c. Penilaian
Pengamatan hiperbilirubinpaling baik dilakukan dalam cahaya matahari dan
dengan menekan sedikit kulit yang akan diamati untuk menghilangkan warna karena
pengaruh sirkulasi darah.
Untuk penilaian hiperbilirubin, Kremer membagi tubuh bayi baru lahir dalam
5 bagian yang dimulai dari kepala dan leher, dada sampai pusat, pusat bagian bawah
sampai tumit, tumit pergelangan kaki dan bahu pergelangan tangan dan kaki serta
tangan termasuk telapak tangan.
1) Derajat I : kepala sampai leher
2) Derajat II : kepala, badan sampai umbilicus
3) Derajat III : kepala, badan, paha sampai dengan lutut
4) Derajat IV : kepala, badan, paha sampai dengan lutut
5) Derajat V : kepala, badan, semua ekstremitas sampai ujung jari
5. Patofisiologi
Bilirubin diproduksi dalam sistem retikuloendotelial sebagai produk akhir dari
katabolisme heme dan terbentuk melalui reaksi oksidasi reduksi. Bilirubin yang bersifat
hidrofobik tidak mengalami konjugasi akan diangkut dalam darah dan terikat erat pada
albumin. Ketika mencapai hati, bilirubin diangkut ke dalam hepatosit, terikat dengan
ligandin. Bilirubin yang tak larut dalam air akan berubah menjadi larut dalam air dalam
proses konjugasi. Setelah diekskresi- kan kedalam empedu dan masuk ke usus, bilirubin
direduksi dan menjadi tetrapirol yang tak berwarna oleh mikroba di usus besar. Bilirubin
tak terkonjugasi ini dapat diabsorbsi kembali dan masuk ke dalam sirkulasi sehingga
meningkatkan bilirubin plasma total (Mathindas et al., 2013).
Fungsi hati yang belum matang pada bayi dengan BBLR mengakibatkan terjadinya
ikterus neonaturum. Pada bayi dengan BBLR menghalami ikterus neonaturum karena
tingginya kadar eritrosit neonatus dan umur erotrosit yang lebih pendek (30-90 hari) dan
fungsi hepar yang belum matang (Di et al., 2013).
Bilirubin di produksi sebagian besar (70-80%) dari eritrosit yang telah rusak.
Kemudian bilirubin indirek (tak terkonjugasi) dibawa ke hepar dengan cara berikatan
dengan albumin. Bilirubin direk (terkonjugasi) kemudian diekskresikan melalui traktus
gastrointestinal. Bayi memiliki usus yang belum sempurna, karna belum terdapat bakteri
pemecah, sehingga pemecahan bilirubin tidak berhasil dan menjadi bilirubin indirek
yang kemudian ikut masuk dalam aliran darah, sehingga bilirubin terus bersirkulasi
(Manggiasih, 2016).
Ikterus neonatorum pada bayi prematur disebabkan oleh penghancuran sel darah
merah yang berlebihan, hati dan gastrointestinal yang belum matang. Peningkatan
bilirubin yang dialami oleh bayi prematur disebabkan karena belum matangnya fungsi
hati bayi untuk memproses eritrosit. Saat lahir hati bayi belum cukup baik untuk
melakukan tugasnya. Sisa pemecahan eritrosit disebut bilirubin, bilirubin ini yang
menyebabkan kuning pada bayi dan apabila jumlah bilirubin semakin menumpuk
ditubuh. Pada bayi prematur kadar bilirubin meningkat lebih awal, kemudian mencapai
puncak (5-7 hari) dan tetap meningkat lebih lama. Selain itu keterlambatan dalam
memberikan makanan enteral dalam pengelolaan klinis bayi baru lahir prematur yang
sakit dapat membatasi motalitas usus dan kolonisasi bakteri yang mengakibatkan
peningkatan sirkulasi bilirubin enterohepatik lebih lanjut (Ratuain, Wahyuningsih, &
Purnamaningrum, 2015).
6. Pathway

Peningkatan Gangguan Gangguan Gangguan Peningkatan Sirkulasi


Produksi Bilirubin Fungsi Hati Transportasi Eksresi Enterohepatik

HIPERBILIRUBIN

Bilirubin indirek Fototerapi Peningkatan


meningkat Pemecahan Bilirubin

Perubahan suhu Pengeluaran Cairan


Toksik Bagi Lingkungan Empedu di Usus
Jaringan

Peristaltik usus
Saraf Aferen
Resiko Gangguan meningkat
integritas
kulit/jaringan

Diare
Hipotalamus

Pengeluaran volume Cairan


Vasokonstriksi meningkat dan Intake Menurun

Hipovolemia
Penguapan menurun

Hipertermi
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium (Pemeriksan Darah)
1) Pemeriksaan billirubin serum. Pada bayi prematur kadar billirubin lebih dari 14
mg/dl dan bayi cukup bulan kadar billirubin 10 mg/dl merupakan keadaan yang
tidak fisiologis.
2) Hb, HCT, Hitung Darah Lengkap.
3) Protein serum total.
b. USG, untuk mengevaluasi anatomi cabang kantong empedu.
c. Radioisotop Scan, dapat digunakan untuk membantu membedakan hapatitis dan
atresia billiari.
8. Penatalaksanaan
a. Pengawasan antenatal dengan baik dan pemberian makanan sejak dini (pemberian
ASI).
b. Menghindari obat yang meningkatakan ikterus pada masa kelahiran, misalnya sulfa
furokolin.
c. Pencegahan dan pengobatan hipoksin pada neonatus dan janin.
d. Fenobarbital
Fenobarbital dapat mengeksresi billirubin dalam hati dan memperbesar
konjugasi. Meningkatkan sintesis hepatik glukoronil transferase yang mana dapat
meningkatkan billirubin konjugasi dan clereance hepatik pigmen dalam empedu.
Fenobarbital tidak begitu sering digunakan.
e. Antibiotik, bila terkait dengan infeksi.
f. Fototerapi
Fototerapi dilakukan apabila telah ditegakkan hiperbillirubin patologis dan
berfungsi untuk menurunkan billirubin dikulit melalui tinja dan urine dengan
oksidasi foto pada billirubin dari billiverdin.
g. Transfusi tukar.
h. Transfusi tukar dilakukan bila sudah tidak dapat ditangani dengan foto terapi.
i. Terapi Obat-obatan
Misalnya obat phenorbarbital/luminal untuk meningkatkan bilirubin di sel hati yang
menyebabkan sifat indirect menjadi direct, selain itu juga berguna untuk mengurangi
timbulnya bilirubin dan mengangkut bilirubin bebas ke organ hari.
9. Komplikasi
Ikterus dapat mengakibatkan keadaan yang fatal jika tidak ditangani dengan baik.
Kerm ikterus merupakan kerusakan otak akibat perlengketan dan penumpukan bilirubin
indirek pada otak terutama pada korpus striatum, talamus, nukleus subtalamus
hipokempus, nukleus merah didasar vertrikel IV.
Kern ikterus ialah esefalopati bilirubin yang biasa ditemukan pada neonatus cukup
bulan dengan ikterus berat (biliribin lebih dari 20mg%) dan disertai penyakit hemolitik
berat dan pada autopsy ditemukan bercak bilirubin pada otak. Kern ikterus secara klinis
berbentuk kelainan syaraf simpatis yang yang terjadi kronik.
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan proses pengumpulan data dari klien (atau
keluarga/kelompok/komunitas) yang akan diolah menjadi informasi, dan kemudian
mengatur informasi yang bermakna dalam kategori pengetahuan, yang dikenal sebagai
diagnosa keperawatan (Nanda, 2018).
a. Identitas
Pada indentitas terdapat indentitas pasien meliputi nama, tanggal lahir, umur,
jenis kelamin, tanggal masuk rumah sakit, dan tanggal pengkajian. Sedangkan pada
identitas orang tua terdapat nama ibu dan ayah, umur, pekerjaan, pendidikan, agama
dan alamat.
b. Genogram
Genogram dibuat apabila ada hubungan dengan kasus diatas atau berhubungan
dengan penyakit keturunan. Pada genogram dibuat minimal tiga generasi.
c. Alasan Dirawat
Pada bagian alasan dirawat terdapat keluhan utama dan riwayat penyakit terdahulu
pasien.
d. Riwayat Anak
Pada bagian ini dikhususkan untuk anak dari umur 0-6 tahun yang meliputi
perawatan masa kandungan (pemeriksaan kehamilan, riwayat mengonsumsi obat
pada ibu, imunisasi, penyakit yang pernah diderita oleh ibu dan penyakit dalam
kandungan) dan perawatan pada waktu kelahiran (umur kehamilan, penolong
melahirkan, berlangsungnya kehamilan, lama proses persalinan, jenis persalinan,
berat badan bayi, panjang badan bayi, dan lingkar kepala bayi).
e. Kebutuhan Bio-psiko-sosial-spiritual dalam kehidupan sehari-hari
Pada bagian ini terdapat beberapa hal yang perlu dikaji seperti kebutuhan
bernafas, makan dan minum, eliminasi, aktifitas, rekreasi, kebersihan diri, rekreasi,
pengaturan suhu tubuh, rasa nyaman, rasa aman, belajar, prestasi, hubungan sosial
dan melaksanakan ibadah)
f. Pengawasan Kesehatan
Apakah pada anak yang sakit dibawa ke puskesmas atau tidak, kunjungan posyandu,
dan riwayat imunisasi (1-5 tahun).
g. Penyakit yang Pernah Diderita Anak
Mengidentifikasi penyakit yang pernah diderita anak.
h. Kesehatan Lingkungan
Apakah hal-hal dilingkungan yang menyebabkan anak sakit.
i. Perkembangan Anak (0-6 tahun)
Mengidentifikasi perkembangan anak sesuai usia seperti motorik kasar, motorik
halus, bahasa, dan personal sosial.
j. Pemeriksaan Fisik
Pada pengkajian fisik terdapat identifikasi mengenai keadaan umum, pengkajian
head to toe, dan pengkajian antropometri.
k. Pemeriksaan Penunjang
Pemerikasaan pununjang dilampirkan untuk menegakkan diagnosis.
2. Diagnose Keperawatan
a. Hipovolemia
b. Hipertermia
c. Resiko gangguan integritas kulit/jaringan
3. Intervensi

NO SDKI SLKI SIKI


Hipovolemia b/d Setelah dilakukan Tindakan keperawatan  Manajemen Hipovolemia
kehilangan cairan selama …x24 jam diharapkan kebutuhan 1.1 Periksa tanda dan gejala hypovolemia
aktif cairan pasien terpenuhi dengan kriteria hasil: 1.2 Monitor intake dan output cairan
 Status cairan 1.3 hitung kebutuhan cairan
- Turgor kulit (5) 1.4 berikan asupan cairan oral
- Output cairan (5) 1.5 kolaborasi pemberian cairan IV
- Frekuensi nadi (5)
1.
- Intake cairan (5)
 Indicator
1. Menurun/memburuk
2. Cukup menurun/cukup memburuk
3. Sedang
4. Cukup meningkat/cukup membaik
5. Meningkat/membaik
Hipertermia b/d Setelah dilakukan Tindakan keperawatan  Manajemen Hipertermia
terpapar selama …x24 jam diharapkan suu tubuh 2.1 Identifikasi penyebab hipertermia
lingkungan panas pasien dalam rentang normal dengan kriteria 2.2 Monitor suhu tubuh
hasil: 2.3 Monitor haluaran urin
 Termoregulasi 2.4 Berikan cairan oral
- Kulit merah (5) 2.5 kolaborasi pemberian cairan dan
2. - Kejang (5) elektrolit intravena
- Suhu tubuh (5)
- Suhu kulit (5)
 Indicator
1. Meningkat/memburuk
2. Cukup meningkat/cukup memburuk
3. Sedang
4. Cukup menurun/cukup membaik
5. Menurun/membaik
Resiko gangguan Setelah dilakukan Tindakan Tindakan  Perawatan Integritas Kulit
integritas keperawatan selama …x24 jam diharapkan 3.1 Identifikasi penyebab gangguan
kulit/jaringan b/d pasien tidak mengalami tanda-tanda integritas kulit
terapi radiasi gangguan integritas kulit/jaringan dengan 3.2 Ubah posisi tiap 2 jam sekali
kriteria hasil: 3.3 bersihkan perineal dengan air hangan,
 Integritas kulit dan jaringan terutama saat periode diare
- Kerusakan lapisan kulit (5)
- Kemerahan (5)
3. - Pigmentasi abnormal (5)
- Tekstur (5)
- Suhu kulit (5)
 Indicator
1. Meningkat/memburuk
2. Cukup meningkat/cukup memburuk
3. Sedang
4. Cukup menurun/cukup membaik
5. Menurun/membaik
DAFTAR PUSTAKA

Beta, P., Toruan, N. L., Tumewu, F., & Rosa, E. (2003). ABSTRAK PATOFISIOLOGI IKTERUS
P. Beta.
Di, N., Prof, R., & Soekarjo, M. (2013). No Title. 06, 17–25.
H. Nabiel Ridha. (2014). Keperawatan Anak pada Hiperbilirubin. In M. K. Sujono Riyadi,S.Kep.
(Ed.), Buku Ajar Keperawatan Anak (Edisi 1, pp. 187–200). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Manggiasih, & J. (2016). No Title. In Buku Ajar : Asuhan Kebidanan pada Neonatus, Bayi, Dan
Anak Pra Sekolah. Jakarta: trans info media.
Mathindas, S., Wilar, R., & Wahani, A. (2013). HIPERBILIRUBINEMIA PADA NEONATUS.
JURNAL BIOMEDIK (JBM). https://doi.org/10.35790/jbm.5.1.2013.2599
Nanda. (2018). Dasar Diagnosis Keperawatan. In F. T. Heather Herdman,PhD,RN (Ed.), Nanda
(pp. 34–43). Jakarta: EGC.
Pramono, M. S., & Paramita, A. (2015). POLA KEJADIAN DAN DETERMINANBAYI
DENGAN BERAT BADAN LAHIR RENDAH (BBLR) DI INDONESIA TAHUN 2013
(Pattern of Occurrence and Determinants of Baby with Low Birth Weight in Indonesia
2013). Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 18(1), 1–10.
https://doi.org/10.22435/hsr.v18i1.4263.1-10
Suzanne C. Smeltzer, B. G. B. (2013). No Title. In Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah (pp.
1155–1157).
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia, Edisi 1.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia, Edisi 1.
Cetakan II. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia, Edisi 1.
Cetakan II Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia

Anda mungkin juga menyukai