Politisasi Birokrasi Di Indonesia

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 14

POLITISASI BIROKRASI DI INDONESIA

A. PENDAHULUAN

Birokrasi yang berkembang di Indonesia saat ini, di satu sisi


digambarkan sebagai organisasi yang tidak efisien, berbelit-belit,
penganut slogan “kalau bisa dipersulit mengapa dipermudah?” Komposisi
pegawai yang semakin membengkak, dan korup. Sebuah gambaran yang
membuat kita tidak respect dan takut untuk berhubungan dengan
birokrasi. Daripada mencari masalah lebih baik berusaha tidak berurusan
dengan yang namanya birokrasi. Di sisi lain, birokrasi digambarkan
sebagai sebuah organisasi dimana bisa meraih segalanya bagi siapa saja
pemenang sebuah pemilihan, mulai dari uang, jabatan, dan kekuasaan.
Dua gambaran yang kontradiktif, karena gambaran yang pertama
disampaikan oleh masyarakat bawah dan gambaran kedua disampaikan
oleh penguasa (elit).

Perjalanan panjang kehidupan birokrasi di negeri ini, selalu saja


ditandai oleh dominannya aspek politis di bawah komando penguasa
negara. Mulai dari Orde Lama hingga Orde Baru sampai saat ini. Orde
Baru adalah cermin dari kuatnya penguasa negara dalam mencengkeram
tubuh birokrasi, sehingga birokrasi tak dapat berbuat banyak bagi
masyarakat.

Kehidupan birokrasi yang ditumpangi, atau bahkan didominasi


muatan-muatan politis oleh penguasa negara, jelas menjadikan tujuan
birokrasi melenceng dari arah yang semula dikehendaki. Akibatnya,
orientasi pelayanan publik yang semestinya dijalankan, menjadi bergeser
ke arah orientasi yang sifatnya politis. Pada masa Soeharto misalnya
birokrasi dijadikan alat bagi pengumpulan dan penumpukan modal dari
rakyat untuk kepentingan negara. Pada saat yang sama oleh karena
birokrasi yang sudah didominasi oleh politik, telah menjadikan birokrasi
tidak berdaya sama sekali ketika berhadapan dengan orang kaya, inilah
awal mulanya gejala praktek yang menyuburkan korupsi, kolusi, dan
nepotisme antara penguasa dan pengusaha. Dalam Kondisi ini, jelas
birokrasi tidak lagi akrab dan ramah dengan kehidupan masyarakat,
namun justru menjaga jarak dengan masyarakat sekelilingnya.

Melihat masalah-masalah yang muncul dalam tubuh birokrasi di


atas, maka penulis melalui tulisan ini akan mencoba menjawab
pertanyaan-pertanyaan, apakah makna politisasi birokrasi? Apakah
penyebab munculnya politisasi birokrasi? Dan bagaimana seharusnya
menyikapi kasus politisasi birokrasi?

B. PEMBAHASAN

1. Makna Politisasi Birokrasi

Politisasi birokrasi adalah membuat agar organisasi birokrasi


bekerja dan berbuat (dalam arti taat dan patuh) sesuai dengan
kepentingan politik yang berkuasa. Politisasi birokrasi berada di dua sisi;
berasal dari sisi partai politik yang mengintervensi birokrasi atau dari
eksekutif itu sendiri yang mempolitisir birokrasi untuk kepentingannya
(kekuasaan) sendiri. Tetapi keduanya memiliki kepentingan yang sama
yaitu melanggengkan atau mempertahankan kekuasaan.

Menurut Harold Crouch, bureucratic-polity di Indonesia


mengandung 3 ciri utama. Pertama, lembaga politik yang dominan adalah
birokrasi. Kedua, lembaga-lembaga politik lainnya seperti parlemen, partai
politik, dan kelompok-kelompok kepentingan berada dalam keadaan
lemah, sehingga tidak mampu mengimbangi atau mengontrol kekuatan
birokrasi. Ketiga, massa di luar birokrasi secara politik dan ekonomis
adalah pasif, yang sebagian adalah merupakan kelemahan partai politik
dan secara timbal balik menguatkan birokrasi. Analisis ini menjelaskan
kepada kita, bahwa kepentingan penguasa negara yang diwakilkan lewat
institusi birokasi mengalami penguatan bukan hanya karena
ketidakberdayaan masyarakat dalam mengontrol birokrasi, tetapi juga
karena ketidakmampuan birokrasi sendiri untuk melepaskan diri dari
cengkeraman penguasa negara.

Untuk memahami praktek politisasi birokrasi yang terjadi di


Indonesia, akan mudah jika kita menilik masa pemerintahan Soeharto.
Pada masa Orde Baru, proyek politisasi yang paling dominan didasari
oleh ketakutan penguasa negara akan ketidakpercayaan masyarakat
terhadap kinerja pemerintah. Dalam konteks ini, politisasi birokrasi
cenderung diartikan sebagai upaya pemerintah untuk menciptakan
kekuatan birokrasi yang mampu memperkuat basis perekonomian
penguasa negara agar bisa secara efektif mengendalikan warga
masyarakat. Pada masa Soeharto birokrasi dijadikan alat bagi
pengumpulan dan penumpukan modal dari rakyat untuk kepentingan
negara. Kenyataan inilah yang melahirkan terciptanya gejala KKN antara
penguasa dan pengusaha.

Praktek politisasi birokrasi pada masa Orde Baru hingga sekarang


masih terjadi. Sama halnya dengan praktek politisasi birokrasi pada masa
Soeharto, pada masa reformasi praktek tersebut masih hangat dalam
pembicaraan publik. Misalnya pada saat rekrutmen pegawai negeri
baru. Seperti diketahui, meskipun sudah banyak orang tahu bahwa
menjadi pegawai negeri itu gajinya kecil, tetapi adanya rasa aman dan
tenteram karena tiap bulan sudah pasti dapat gaji (kepastian) adalah
salah satu faktor utama kenapa rakyat Indonesia masih sangat banyak
yang bercita-cita menjadi pegawai negeri. Dan pembagian jatah itu jelas
terlihat karena untuk menjadi pegawai negeri harus ada yang ”membawa
(baca: memberi rekomendasi)”. Dan salah satu pihak yang bisa
”membawa” adalah (atas nama) partai-partai politik.

2. Penyebab Terjadinya Politisasi Birokrasi

Jika kita memperhatikan pengalaman berbagai masyarakat, terutama


di Dunia Ketiga, kita akan mendapati bahwa birokrasi tidak hanya
mendominasi kegiatan administrasi pemerintahan, tetapi juga kehidupan
politik masyarakat secara keseluruhan. Artinya, birokrasi tidak pernah
beroperasi dalam “ruang – hampa politik” dan bukan aktor yang netral
dalam politik.

Kemunculan birokrasi dalam kegiatan administratif pemerintahan dan


politik telah membawa pengaruh yang luar biasa dalam perjalanan suatu
negara. Lalu, sesungguhnya bagaimana sejarahnya munculnya birokrasi?
Melihat konsepsi Weber, yaitu Ideal Type birokrasi lahir berdasar atas
pengalaman Eropa Barat, dimana Weber menggambarkan perkembangan
birokrasi yang seiring dengan perkembangan modernisasi masyarakat.
Peningkatan monetisasi ekonomi, munculnya ekonomi kapitalis,
perkembangan rasionalitas dan demistifikasi dalam masyarakat,
demokratisasi, dan modernisasi sosial-ekonomi pada umumnya
menimbulkan masalah administratif yang semakin lama semakin banyak
dan semakin kompleks. Akibatnya muncullah keharusan dilakukannya
pembagian kerja yang jelas dalam masyarakat. Dalam konteks inilah
kemudian muncul birokrasi sebagai tanggapan terhadap kebutuhan
jaman. Jadi, birokrasi negara muncul untuk menanggapai perluasan dan
kompleksitas tugas-tugas administratif pemerintahan.

Dalam buku Budi Setyono (2005) munculnya birokrasi dibagai atas 2


mazhab, yaitu: 1) Mazhab kebutuhan rakyat. Mazhab ini mengatakan
bahwa eksistensi birokrasi ada karena memang rakyat menghendaki
birokrasi untuk membantu masyarakat memenuhi kebutuhan-
kebutuhannya, juga untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang telah
disepakati bersama. 2) Mazhab Kekuasaan. Mazhab ini menyatakan
bahwa seorang penguasa pastilah orang yang kuat, Penguasa yang kuat
harus dilayani oleh pembantu (aparat) yang solid, kuat, loyal, dan dapat
dipercaya. Dengan demikian, birokrasi dibentuk sebagai sarana bagi
penguasa untuk mengimplementasikan kekuasaan dan kepentingan
mereka dalam mengatur kehidupan negara.

Munculnya birokrasi berdasarkan konsepsi Weber adalah atas dasar


kebutuhan yang dianggap semakin mendesak karena perluasan dan
kompleksitas tugas-tugas administratif pemerintahan pada akhirnya tidak
relevan lagi dengan kondisi kehidupan sekarang. Para pengkritik Weber
menunjukkan bahwa munculnya birokrasi bukan hanya untuk menjalankan
fungsi mengkoordinasikan berbagai unsur dalam proses pemerintahan
atau proses produksi. Fenomena yang jauh lebih penting untuk
diperhatikan adalah bahwa birokrasi sebenarnya diciptakan untuk
menjalankan fungsi pendisiplinan dan pengendalian. Kalau menurut
Weber perkembangan birokrasi seiring dengan perkembangan
modernisasi, para pengkritiknya lebih menegaskan lagi bahwa birokrasi itu
terjadi karena kebutuhan untuk mereproduksi dirinya sendiri.

Fungsi pengendalian dan pendisiplinan tersebut diwujudkan sebagai


intervensi atau tindakan birokrasi secara langsung atas masyarakat.
Dalam hal ini negara menggunakan sumberdaya untuk langsung
menangani kegiatan ekonomi maupun militer. Hal ini menjadi mudah
karena birokrasi disini didukung oleh unsur-unsur yang merupakan
sumber-sumber kekuasaannya, yaitu: kerahasiaan, monopoli informasi,
keahlian teknis dan status sosial yang tinggi. Menurut Weber, unsur-unsur
ini diperlukan demi efektivitas fungsi koordinasi itu, sedangkan menurut
pandangan pengkritiknya, unsur-unsur itulah yang justru mendasari fungsi
pengendalian atas masyarakat.

Pada perkembangan selanjutnya, intervensi birokrasi secara


langsung dalam bentuk pengendalian dan pendisiplinan atas masyarakat
menjadi tidak lepas dari politik. Sesuai dengan konsep “bureaucratic
polity” menggambarkan sistem politik dimana: 1) birokrasi menjadi arena
utama permainan politik; 2) yang dipertaruhkan dalam permainan itu
seringkali adalah kepentingan pribadi, bukan kepentingan publik; dan 3)
dalam permainan itu, massa tidak relevan. Dalam politik seperti ini,
birokrasi itu betul-betul “encaplusated” dan tidak tanggap terhadap
kepentingan di luar dirinya. Ini dimungkinkan karena birokrasi
mengendalikan hampir semua sumberdaya yang diperlukan untuk
kelestarian kekuasannya. Inilah yang melahirkan politisasi birokrasi.

Analisis konsep “bureaucratic polity” menjelaskan bagaimana


sepak terjang politik tumbuh subur dalam tubuh birokrasi. Misalnya saja,
terjadinya praktek komersialisasi jabatan, yaitu tindakan memperoleh
jabatan dan mempertahankannya secara politis. Hal ini dapat dijelaskan
sebagai berikut:

Pertama, bahwa seorang birokrat di satu sisi, untuk memperoleh


kesempatan mengikuti pendidikan, pelatihan, dan kenaikan pangkat
membutuhkan biaya yang cukup besar. Di sisi yang lain harus merogoh
koceknya kembali untuk mendapatkan suatu posisi dalam jenjang
karirnya. Oleh karena itu, seorang birokrat harus melakukan
komersialisasi jabatan untuk mengembalikan modal yang telah
dikeluarkan selama mengikuti pendidikan, pelatihan, dan mendapatkan
jabatan baru. Dampak yang muncul adalah seorang birokrat bukannya
berusaha mempraktikkan pengetahuan-pengetahuan yang diperoleh
dalam pendidikan dan pelatihan tetapi melakukan usaha politisasi untuk
memperoleh perlindungan (pengamanan) atas posisi jabatannya agar
tidak tergeser oleh pihak lain.

Kedua, pada umumnya seperti yang diketahui banyak orang bahwa


motivasi para birokrat untuk mengikuti pendidikan dan latihan bukan untuk
menguasai keahlian yang profesional tetapi hanya untuk memenuhi syarat
formal guna memperoleh kenaikan pangkat dan jabatan. Politisasi
dipandang sebagai sebuah alternatif untuk melicinkan jalan menuju
jabatan tersebut. Jadi meskipun sudah diselenggarakan pendidikan dan
pelatihan secara profesional tetapi begitu mulai melaksanakan
pekerjaannya para birokrat tadi kembali menempuh langkah-langkah
politisasi untuk mengamankan posisi jabatannya.

Konsep awal birokrasi ada untuk melayani kepentingan publik.


Pada faktanya birokrasi digunakan untuk kepentingan pribadi atau
kroninya. Misalnya, pada masa Orde Baru fokus dari pembangunan
adalah strategi pertumbuhan ekonomi. Hal ini bukan tanpa alasan karena
didasari oleh terabaikannya sektor ekonomi pada masa Orde Lama yang
lebih memperhatikan persoalan politik. Logikanya, strategi petumbuhan
sangatlah membutuhkan modal yang besar untuk dapat melaksanakan
pembangunan ekonomi, sementara pada saat itu bangsa ini tengah
mengidap krisis ekonomi yang parah. Dalam pandangan Denny B.C.
Hariandja dalam buku yang ditulis oleh Moeljarto (2004), strategi
pembangunan yang menitikberatkan perhatiannya pada ukuran-ukuran
yang kasar juga mendorong birokrasi akhirnya berlaku pilih-kasih terhadap
suatu elemen masyarkat tertentu, dalam hal ini pemilik modal. Ini artinya,
pemerintah sangat membutuhkan modal bagi terealisasinya
pembangunan, dan untuk itu menjadikan birokrasi sebagai alat
memanjakan para pemilik modal adalah tawaran yang sulit
dihindari. Implikasinya adalah kebijakan pemerintah lebih berpihak kepada
pemilik modal atas dasar kepentingan saling menguntungkan.

Konsep “bueraucratic polity” yang ketiga adalah massa bersifat


pasif, atau tidak relevan. Konsep ini dapat dijelaskan dengan
ketidakpercayan publik kepada birokrat. Secara umum, masyarakat
beranggapan bahwa siapa pun yang duduk pada posisi birokrat tidak
memiliki pengaruh langsung pada kehidupannya. Hal ini adalah implikasi
dari kebijakan pemerintah yang tidak pro pada kepentingan rakyat. Hal ini
mengakibatkan rakyat memilih untuk diam atau pasif dan apatis.

Konsep “bueraucratic polity” di atas paling tidak telah


memberikan gambaran implikasi dari praktek politisasi birokrasi di
Indonesia. Dalam buku Moeljarto (halaman 125-129), terdapat 4 dampak
negatif yang muncul sehubungan dengan kebijakan politisasi birokrasi.

Pertama, kebijakan menempatkan atau mendudukkan orang-orang


partai politik yang sesuai dengan selera Menteri yang bersangkutan, jelas
mengakibatkan tidak berfungsinya mekanisme promosi jabatan pada
jabatan karier yang ada dalam struktur pemerintahan. Untuk jabatan
Eselon I (Sekjen, Dirjen, Irjen, Asmen, Deputi dan Staf Ahli) pada sebuah
Departemen atau Kementerian misalnya, seyogianya haruslah diisi oleh
pejabat karier dari Departemen Keuangan atau Kementerian
bersangkutan atau pejabat karier dari Departemen lain. Proses rekruitmen
disini juga mutlak harus memperhatikan Daftar Urut Kepangkatan (DUK)
dan kedudukan eselonisasi dari pejabat karier yang bersangkutan. Hal ini
mengandung makna bahwa sangat tidak tepat jika secara tiba-tiba Menteri
pada sebuah Departemen atau Kementerian justru mengangkat kader dari
partai politiknya untuk duduk pada jabatan karier tersebut.

Kedua, kebijakan politisasi birokrasi dengan sendirinya akan


menciptakan rasa anti-pati atau perasaan tidak bisa bekerja sama dengan
orang-orang yang tidak berasal dari partai politik yang sama. Kondisi ini
sangat mungkin terjadi, terutama jika alasan utama yang melandasi
rekruitmen pada jabatan karier itu adalah “rasa kecocokan” dan “bisa
diajak kerjasama”. Faktor alasan inilah yang pada gilirannya bisa
menimbulkan sikap like and dislike dalam sebuah organisasi
pemerintahan. Akibat dari kondisi ini tak lain adalah terabaikannya fungsi
utama birokrasi sebagai sarana untuk melayani kepentingan masyarakat.
Dalam kondisi ini birokrasi tidak butuh orang-orang yang separtai politik,
tapi memerlukan orang-orang yang konsisten dalam bekerja dan
mengutamakan kepentingan bersama (bukan kepentingan partai politik).

Ketiga, kebijakan memberikan orang-orang partai politik sebuah


jabatan penting di pemerintahan, secara tidak langsung berarti tidak
mengindahan bekerjanya prinsip meritokrasi dalam pelaksanaan tugas
birokrasi sehari-hari. Prinsip untuk menempatkan seseorang pada sebuah
jabatan yang sesuai dengan keahliannya, jelas mutlak diterapkan di
lingkungan pemerintahan. Dalam perspektif ini, memposisikan atau
merekrut orang-orang partai politik yang notabene lebih menguasai intrik-
intrik politik praktis ketimbang keahliannya di bidang tugas-tugas
khusus pemerintahan, tentu merupakan langkah yang tidak bijaksana.
Birokrasi mesyaratkan pelayanan maksimal, baik dari sisi kualitas maupun
kuantitas kepada masyarakat. Birokrasi juga menghendaki
prinsip meritokrasi dijalankan secara baik dan benar. Hanya orang-orang
yang benar-benar profesional (ahli) di bidangnya, yang dapat
menghidupkan birokrasi. Jika tidak, tentu birokrasi akan mati atau
setidaknya tidak efisien.

Keempat, trauma politik masa lalu harus benar-benar kita jadikan


pelajaran yang sangat berharga untuk masa-masa mendatang.
Penampilan birokrasi Indonesia di masa Orde Baru yang “terlalu
berkuasa”, mau tidak mau harus kita jauhi. Sebab, pada masa itu birokrasi
tidak hanya berperan sebagai pelaksana kebijakan publik, tetapi juga
sebagai pembuat sekaligus pengawas dari kebijakan itu sendiri. Dan
karenanya orang-orang birokrasi jugalah yang paling banyak menikmati
hasilnya.

Tentu dapat dibayangkan, jika seandainya orang-orang partai


politik diberi jabatan penting di pemerintahan, maka kecenderungan untuk
membuat kebijakan yang menguntungkan partai politiknya akan semakin
besar pula. Memang kondisi Orde Baru berbeda dengan Era Reformasi
sekarang. Kalau dulu birokrasi berfungsi sebagai pembuat, pelaksana,
dan pengawas kebijakan, tetapi sekarang dengan kehadiran Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) yang lebih berdaya, faktor pengawasan terasa
lebih ketat. Tetapi sekali lagi, jika orang-orang partai politik di beri jabatan
pada posisi Eselon I atau Dirut BUMN, bukankah mitra kerja mereka di
DPR adalah teman-teman se-partai politik mereka juga?

Kita tentu tidak pernah membayangkan Departemen atau


Kementerian ini milik partai politik “A”, atau BUMN ini milik partai politik
“B”. Sebab, yang kita impikan adalah semua Departemen dan BUMN itu
bekerja demi kemakmran dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

3. Menyikapi politisasi birokrasi

Politisasi birokrasi di negara kita melihat fenomena-fenomena yang


terjadi benar-benar dekat dengan aktivitas kehidupan kita sehari-hari.
Tidak dapat dipungkiri bahwa telah banyak aspek kehidupan kita yang
dikendalikan oleh politik yang tumbuh subur dalam tubuh birokrasi,
bukannya membawa kebaikan malah memperburuk keadaan. Maka
sangat manusiawi jika banyak orang tidak ingin berurusan dengan
birokrasi. Tetapi, pilihan untuk tidak berurusan dengan birokrasi bukanlah
tindakan yang sepenuhnya dapat dibenarkan, meskipun itu merupakan
pilihan yang sulit dan hampir jarang terjadi. Politisasi yang terjadi di dalam
kehidupan kita sehari-hari seharusnya bukan kita hindari melainkan
berusaha untuk membuka arah keterbukaan pada setiap aspek urusan
kita dalam birokrasi.

Sebuah sikap yang menurut penulis paling penting adalah


reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi memang sudah dimulai sejak
tahun 1998, namun hingga sekarang belum kita temukan konsep birokrasi
yang matang di negeri ini. Kenapa? Senada dengan pernyataan Kristian
Widya Wicaksono (2006), Penulis juga melihat bahwa tidak adanya
keinginan yang serius dari pihak masyarakat dan pemerintah untuk
mereformasi birokrasi adalah persoalan pokok politisasi birokrasi. Hal ini
kita bisa saksikan dari berbagai kampanye calon presiden maupun kepala
daerah di Indonesia lebih menonjolkan sisi pembenahan ekonomi melalui
peningkatan kesejahteraan masyarakat sedangkan reformasi birokrasi
sama sekali tidak pernah dibicarakan dalam kampanye politik mereka.
Tidak ada satu pun dari para kandidat yang menjanjikan reformasi
administrasi, pembenahan budaya birokrasi, atau simplifikasi prosedural
saat mengurus berbagai perizinan. Oleh karenanya, tidak ada komitmen
yang tegas terhadap pembenahan pemerintahan dari dalam.

Oleh karena itu, menjadi sikap yang bijak jika kita tidak lagi terlalu
menutut para kandidat presiden atau kepala daerah untuk berfokus pada
peningkatan kesejahteraan, tetapi lebih menuntut mereka untuk
memperbaiki sistem pemerintahan dari dalam, mengobati penyakit-
penyakit yang sudah membengkak di dalam tubuh pemerintahan. Karena
dengan sembuhnya tubuh pemerintahan akan secara tidak langsung
memberikan kesejahteraan yang lebih kepada masyarakat daripada
menutut kesejahteraan itu tanpa reformasi dari dalam (birokrasi).
Sehatnya tubuh birokrasi akan mempermudah segala urusan warga
negara. Kematangan sistem birokrasi adalah seharusnya mimpi sebuah
negara berkembang yang harus dengan penuh kepercayaan dapat
tercapai dalam waktu yang tidak lama. Bukannya pergantian sistem setiap
terjadi pergantian pemimpin.

Seperti juga dikemukakan Adig Suwandi dalam bukunya Moeljarto


Tjokrowinoto yang berjudul “Birokrasi Dalam Polemik” yang mengatakan
bahwa menghilangkan kebijakan politisasi birokrasi ditubuh birokrasi
adalah agenda utama yang perlu direalisasikan dalam upaya mereformasi
tubuh birokrasi. Ada tiga hal yang berkenaan dengan upaya
menghilangkan jejak politisasi birokrasi itu.

Pertama, birokrasi harus steril dari orang-orang partai politik,


khususnya untuk posisi jabatan karir mulai dari eselon tertinggi (I.A)
sampai eselon terendah (V.B). Alasannya adalah jabatan-jabatan karir ini
merupakan jabatan strategis yang sangat menentukan dalam mekanisme
pengambilan keputusan internal organisasi. Oleh karena prinsip kerja
birokrasi adalah memaksimalkan efisiensi administratif, maka birokrasi
yang steril dari kepentingan politis sebuah partai politik, diharapkan
mampu memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat.
Kedua, birokrasi harus terus mengedepankan
prinsip meritokrasi dalam hal rekruitmen personilnya. Artinya, mengingat
kebutuhan masyarakat akan pelayanan semakin meningkat, maka
keharusan aparat birokrasi yang capable (ahli) dibidangnya serta memiliki
kemampuan menterjemahkan keinginan masyarakat adalah kebutuhan
mendesak yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Dengan prinsip meritokrasi
pula, kebijakan politisasi birokrasi diharapkan bisa dihapus sedini
mungkin. Sebab, dengan menjadikan birokrasi sebagai lahan empuk
menarik keuntungan bagi para politisi, maka citra birokrasi akan semakin
terpuruk dimata masyarakat.

Ketiga, birokrasi harus semakin terpacu dibandingkan masyarakat


yang dilayaninya. Tidaklah mungkin karakter birokrasi yang cenderung
lamban dan tidak terspesialisasi itu dapat bertahan dizaman yang sedang
bergerak cepat ini. Seperti yang dikemukakan oleh Adig Suwandi,
refomasi birokrasi sudah harus berkomitmen untuk meninggalkan watak
lama dan warisan sebagai birokrasi tukang pungut untuk didorong menjadi
birokrasi yang memberdayakan lingkungan (empowering bureaucratic).
Secara eksplisit, argumen ini bisa mewakili banyaknya pandangan
sekaligus tuntutan masyarakat yang seringkali mengeluh terhadap
layanan birokrasi.

C. KESIMPULAN

Birokrasi adalah institusi pelayanan publik yang tidak pernah


mengenal pilih-kasih dalam melaksanakan kewajibannya. Sebagai
organisasi yang rasional dan mengedepankan efisiensi administratif,
birokrasi perlu dipelihara dan dipertahankan eksistensinya.

Birokrasi yang netral dan tidak memihak pada kepentingan politis


partai politik, merupakan idaman masyarakat dalam sebuah negara yang
mengaku modern, atau tengah menuju modren. Ketika birokrasi sedikit
saja bersentuhan dengan politik atau struktrur birokrasi dimasuki orang-
orang partai politik, maka saat itu juga tujuan birokrasi akan mulai
melenceng dari arah semula sebagai institusi resmi yang melayani urusan
orang banyak. Birokrasi yang telah ditumpangi oleh kepentingan partai
politik, lambat laun cenderung akan dimanfaatkan pula oleh penguasa
negara untuk melanggengkan kekuasaannya. Pada saat itulah, birokrasi
telah berubah wujud menjadi pelayan penguasa negara yang tentu saja
meninggalkan kepentingan masyarakat banyak.

Politisasi birokrasi bukanlah jawaban yang tepat dalam


memperbaiki kinerja birokrasi keseharian kita. Birokrasi yang ditumpangi
oleh kekuatan partai politik tidak hanya menjadikan ia semakin politis dan
bisa jadi dijauhi masyarakat, tapi juga rentan terhadap pengabaian aspek
kualitas dari personilnya.

Politisasi birokrasi di Indonesia masih banyak terjadi. Politisasi ini bisa


datang dari legislatif maupun dari eksekutif. Tetapi mempunyai tujuan
yang sama yaitu melanggengkan kekuasaan. Hal ini bisa dilihat dari
fenomena-fenomena politisasi birokrasi dalam dunia yang dekat dengan
kita, seperti penggunaan fasilitas negara, mobilisasi pegawai negeri sipil,
kompensasi jabatan, komersialisasi jabatan, rekruitmen pegawai baru,
sampai pencopotan sekretaris daerah karena alasan politis.

Politisasi birokrasi ini menjadi mudah untuk bergerak, karena sistemnya


yang masih labil. Mengapa tidak? Tak satu pun calon presiden maupun
kepala daerah yang berkomitmen untuk memperbaiki sistem
pemerintahan dari dalam. Oleh karena itu, tindakan bijaksana yang harus
dilakukan warga negara adalah menutut dan memaksa agar kandidat
presiden atau kepala daerah mengutamakan reformasi birokrasi.

DAFTAR PUSTAKA

Tjokrowinoto, Moeljarto dkk. Birokrasi dalam Polemik. 2004. Pustaka


Pelajar:

Malang
Jurnal Ilmu Politik POLITIKA, Vol. I,No. 1, April 2010, (67-74) ditulis oleh
Rina

Martini. Jurnal ini diterbitkan oleh Program Studi Magister Ilmu


Politik

Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.

Mas’oed, Mohtar. Politik, Birokrasi dan Pembangunan. 2003. Pustaka


Pelajar:

Yogyakarta.

Wicaksono, Krisstian Widya. Administrasi dan Birokrasi Pemerintah. 2006.

Graha Ilmu: Yogyakarta.

Tjokrowinoto, Moeljarto dkk. Birokrasi dalam Polemik. 2004.


Pustaka Pelajar: Malang. Halaman 120

Jurnal Ilmu Politik POLITIKA, Vol. I ,No. 1, April 2010, (67-


74) ditulis oleh Rina Martini. Jurnal ini diterbitkan oleh Program
Studi Magister Ilmu Politik Program Pascasarjana Universitas
Diponegoro.

Mas’oed, Mohtar. Politik, Birokrasi dan


Pembangunan. 2003. Pustaka Pelajar.Yogyakarta Halaman 67.

Ibid. Halaman 69

Ibid. Halaman 70-71

Ibid. Halaman 82, (dalam buku Riggs, 1966)

Op Cit.

Tjokrowinoto, Moeljarto dkk, Birokrasi dalam Polemik. 2004.


Pustaka Pelajar: Malang. Halaman 115
Ibid. Halaman 125-128

Wicaksono, Krisstian Widya. Administrasi dan Birokrasi


Pemerintah. 2006. Graha Ilmu: Yogyakarta. Halaman 23

Op Cit. Menuju Reformasi Birokrasi. Halaman 131-132

Anda mungkin juga menyukai