Bab I
Bab I
Bab I
PENDAHULUAN
1
pemulihan fungsi pendengaran dan meningkatkan kualitas hidup pasien.7
Prevalensi tuli mendadak 5-30 tiap 100.000 orang pertahun. Distribusi laki-laki dan
perempuan hampir sama, dengan puncak usia 50-60 tahun. Kira-kira dari 15.000 laporan kasus
ketulian mendadak diseluruh dunia setiap tahunnya 4000 diantaranya terjadi di AS. Di Amerika
Serikat sendiri insidens terjadinya tuli mendadak adalah kira-kira 5 sampai20 per 100.000
penduduk pertahun. Faktor umur dapat mempengaruhi, dan insiden terbanyak adalah pada umur
30-60 tahun. Onset umur rat-rata dilaporkan sekitar 46-49 tahun dengan insiden yang meningkat
sesuai dengan peningkatan umur. Prevalensi antara laki-laki dan perempuan sama.4,5
Sejak tahun 1960, terapi oksigen hiperbarik digunakan untuk perawatan tuli
mendadak di Perancis dan German. Terapi oksigen hiperbarik untuk pasien tuli mendadak
atau sudden deafness bermanfaat untuk meningkatkan pengiriman oksigen ke dalam
jaringan koklea yang sangat sensitif terhadap iskemia. Terapi oksigen hiperbarik
diperkirakan memiliki efek yang kompleks pada imunitas, transportasi oksigen,
hemodinamik, mengurangi hipoksia dan edema. Persentasi tingkat pemulihan pada anak-
anak 72,4% dan orang dewasa 70,6%. Baik pada anak-anak dan orang dewasa
menunjukkan tingkat pemulihan pendengaran secara signifikan.3
Studi penelitian lain dilakukan pada 17 pasien tuli mendadak dengan jumlah peserta
laki-laki 12 orang dan perempuan 5 orang dengan usia rata-rata adalah 35,3 tahun (rentang:
18-68). Dalam ruang hiperbarik, semua pasien bernapas 100% oksigen selama 60 menit dua
kali sehari, baik sampai sembuh atau maksimal 30 sesi dimana sebelum dilakukan
penelitian peserta diperiksa dengan lima frekuensi. Ditemukan pendengaran pasien di
kisaran 61-93 dB pada 12 pasien, sementara 5 pasien di kisaran 41-60 dB. Setelah terapi
oksigen hiperbarik, tingkat pendengaran dari 14 pasien berada dalam kisaran 0-26 dB,
2
tingkat pendengaran 2 pasien meningkat menjadi 27-40 dB dan 1 pasien dengan tingkat
pendengaran tetap di kisaran 41-60 dB. Tingkat pendengaran rata-rata untuk semua pasien
dan untuk semua lima frekuensi dasar adalah 67,8 dB sebelum terapi, dibandingkan dengan
21,6 dB setelah terapi oksigen. Hal ini menunjukkan bahwa terapi oksigen hiperbarik dapat
meningkatkan kemampuan pendengaran pasien tuli mendadak.7,9
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Telinga luar terdiri dari daun telinga (auricula) dan liang telinga (meatus akusticus
eksternus) sampai membran timpani. Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit.
Liang telinga berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar,
sedangkan dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya kira-kira 2,5-3
cm. Pada sepertiga bagian kulit luar liang telinga terdapat rambut-rambut halus kelenjar
serumen yang merupaka modifikasi dari kelenjar keringat yang menghasilkan serumen, suatu
sekresi lengket yang menangkap partikel-partikel asing yang halus. Serumen dan rambut
halus berfungsi untuk mencegah partikel-partikel dalam udara masuk ke bagian dalam
saluran telinga, yang dapat mengakibatkan penumpukan kotoran yang dapat mencederai
membran timpani dan mengganggu pendengaran.2,8,9
4
2. Telinga Tengah
Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang teling dan
terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut pars flaksid (membran
Shrapnell), sedangkan bagian bawah pars tensa (membran propria). Pars flaksid hanya
berlapis duayaitu, bagian luar lanjutan epitel kulit telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel
kubus bersilia, seperti epitel mukosa saluran nafas. Pars tensa mempunyai satu lapis lagi
ditengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan
secara radier dibagian luar dan sirkuler pada bagian dalam.8,9
Bagian penonjolan bagian bawah maleus pada membrane timpani disebut umbo. Dari
umbo bermula suatu reflex cahaya ke arah bawah yaitu pada pukul 7 pada membran timpani
kiri dan arah pukul 5 pada membran timpani kanan. Refleks cahaya merupakan cahaya luar
yang dipantulkan oleh membran timpani. Di membran timpani terdapat dua macam serabut,
sirkuler dan radier. Serabut inilah yang menyebabkan timbulnya reflex cahaya yng berbentuk
kerucut. Membran timpani dibagi atas 4 kuadran, dengan menarik garis searah prosessus
longus maleus dan garis tengah yang tegak lurus dengan garis itu di umbo, sehingga
didapatkan bagia atas depan, atas belakang, bawah depan, serta bawah belakang, untuk
menyatakan letak perforasi membran timpani.8,9
5
Didalam telinga tengah juga terdapat tulang-tulang perdengaran yang tesusun dari
luar ke dalam yaitu maleus, inkus dan stapes. Tulang pendengaran ini saling berhubungan.
Prosessus longus maleus melekat pada membran timpani. Maleus melekat pada inkus, inkus
melekat pada stapes. Stapes melekat pada tingkap lonjong yang melekat pada koklea,
hubungan antara tulang-tulang pendengaran merupakan persendian. Pars flaksid terdapat
pada daerah yang disebut atik. Ditempat ini terdapat aditus ad antrum, yaitu lubang yang
menghubungkan telinga tengah dengan antrum mastoid. Tuba eustachius termasuk dalam
telinga tengah yang menghubungkan nasofaring dengan telinga tengah.2,8
3. Telinga Dalam
Telinga dalam (labirin) adalah suatu struktur yang kompleks yang terdiri dari dua
bagian utama : koklea (organ pendengaran) dan kanalis semisirkuler (oragan keseimbangan).
Koklea merupakan saluran berongga yang berbentuk seperti rumah siput, berisi cairan kental
dan organo korti, yang mengandung ribuan sel-sel kecil (sel rambut) yang memiliki rambut
yang mengarah ke dalam cairan tersebut. Kanalis semisirkularis merupakan 3 saluran berisi
cairan, yang berfungsi membantu menjaga keseimbangan.4,8
Koklea melingkar seperti rumah siput dengan dua dan satu setengah putaran. Aksis
dari spiral tersebut dikenal sebagai modiolus, berisi berkas saraf dan suplai arteri dan arteri
vertebralis. Serabut saraf kemudian berjalan menerobos suatu lamina tulang yaitu lamina
spiralis oseus untuk mencapai sel-sel sensorik organo corti. Rongga koklea bertulang dibagi
6
menjadi tiga bagian oleh ductus koklearis yang panjangnya 35 m dan berisi endolimf dan
dipisahkan dari duktus koklearis oleh membran Reisner yang tipis. Bagian bawah adalah
skala timpani juga mengandung perilimfe dan dipisahkan dari duktus koklearis oleh lamina
spiralis osseus dan membran basalis. Perilimfe pada skala berhubungan pada apex koklea
spiralis tepat setelah ujung buntu duktus koklearis melalui celah yang dikenal sebagai
helokotrema.3,4,8
Membrana basilaris sempit pada basisnya (nada tinggi) dan melebar pada apeks (nada
rendah).2,8
7
sinus sigmoideus. Vena-vena kecil melewati akuaduktus vestibularis dan kohlearis ke sinus
petrosus superior dan inferior. 10,11
Terletak di atas membran basilaris dari basis ke apeks adalah organ corti, yang
mengandung organel-organel penting mekanisme saraf perifer pendengaran. Organ corti
terdiri dari satu basis sel rambut dalam (3000) dan tiga basis sel rambut luar (12000). Sel-sel
ini menggantung lewat lubang-lubang lengan horizontal dari suatu jungkat jungkit yang
dibentuk oleh sel-sel penyokong.Ujung saraf aferen dan eferan menempel pada ujung bawah
sel rambut. Pada permukaan sel-sel rambut terdapat stereosilia yang melekat pada suatu
selubung diatasnya yang cenderung datar, bersifat gelatinosa dan aseluler, dikenal sebagai
membrana tektoria. Membrana tektoria disekresi dan disokong oleh suatu panggung yang
terletak di medial disebut sebagai limbus.6,9
8
2.2. FISIOLOGI PENDENGARAN
Telinga merupakan organ yang berperan dalam proses pendengaran dan keseimbangan.
Sebagai organ pendengaran telinga berfungsi menangkap gelombang suara oleh telinga luar dan
teling tengah, kemudian mengubahnya menjadi impuls listrik oleh telinga dalam, untuk
selanjutnya dihantar ke otak melalui sistem saraf untuk diinterpretasikan sebagai suara yang kita
dengar.6
Suara yang kita dengar ditentukan oleh nada (tone, tinggi rendahnya suara),
intensitas(kekuatan, kepekaan suara) dan timbre (kualitas, warna nada).4,12
1. Nada
Nada suatu suara (misalnya, apakah itu not C atau G) ditentukan oleh frekuensi
getaran, semakain frekuensi getaran, semakin tinggi nada. Telinga manusia dapat mendeteksi
gelombang suara dengan frekuensi dari 20-20.000 siklus perdetik, tetapi paling pekah
terhadap frekuensi antara 1000 dan 4000 siklus perdetik. Nada yang tediri dari suatu
frekuensi saja, disebut nada murni (pure tone) yang jarang ditemui di alam, tetapi dapat
dibuat oleh audiometer. Nada yang terdengar sehari-hari umumnya adalah nada kompleks.
Artinya nada utama disertai beberapa nada ikutan (overtones).5,8
2. Intensitas Suara
Intensitas suatu suara bergantung pada amplitude gelombang suara, atau perbedaan
tekanan antara daerah yang pemampatan yang bertekanan tinggi dan daerah penjarangan
yang bertekanan rendah. Dalam rentang pendengaran ,semakin besar amplitude, semakin
keras (pekak) suara. Telinga manusia dapat mendeteksi intensitas suara dalam rentan yang
luas, dari bisikan terhalus sampai suara yang memekakkan telinga. Kepekakan dinyatakan
dalam decibel (dB), yaitu ukuran logaritmik intensitas dibandingkan suara teredam (terhalus)
yang dapat didengar ambang pendengaran. Karena hubungan yang bersifat logaritmik, setiap
sepuluh decibel menandakan peningkatan 10 desibel. Suara yang lebih kuat dari 100 desibel
dapat secara permanen merusakkan perangkat sensorik yang peka di koklea.8,13
3. Kualitas suara atau Warna nada (timbre)
Bergantung pada nada tambahan (overtone), yaitu frekuensi tambahan yang mengenai
nada dasar. Garpu tala merupakan benda yang memiliki nada murni (pure tone), tetapi
9
sebagian besar suara tidak murni. Sebagai contoh, campuran nada-nada tambahan
menyebabkan alat music yang berbeda mengeluarkan suara yang berbeda untuk nada yang
sama (suara nada C terompet berbeda dengan suara pada piano). Nada-nada tambahan
merupakan penyebab perbedaan khas suara manusia. Warna memungkinkan pendengaran
membedakan sumber gelombang suara, karena setiap sumber suara menghasilkan pola nada-
nada tambahan yang berlainan. 3,4,6
Proses mendengar diawali dengan dikumpulkannya gelombang suara oleh daun
telinga dalam bentuk gelombang yang kemudian dialirkan menuju meatus akusticus eksterna,
dan akan menyebabkan bergetarnya tulang-tulang pendengaran (maleus, incus, stapes), Pada
proses ini gelombang suara mengalami perkuatan melalui daya ungkit tulang pendengaran
(sebesar 1,3 X) dan perbandingan luas membran timpani dan luas basis stapedius (sebesar
17) yang akan menghasilkan perkuatan getaran sebesar 17 X pula. Jadi total perkuatan adalah
17 X 1,3 =22 X kekuatan asalnya. Kekuatan ini akan cukup untuk menggeterkan cairan
endolimfe yang ada dalam koklea. Selanjutnya gelombang suara yang telah diperkuat
diteruskan ke stapes yang akan mengerakkan foramenovale, sehingga perilimfe pada skala
vestibule dan skala timpani akan bergetar. 6,9
Getaran diteruskan melalui membran Reissner yang mendorong endolimfe pada skala
media, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektorial.
Karena organ corti berada pada membran basilaris, sel-sel rambut organ corti juga akan ikut
bergetar. Dan karena sel-sel rambut terbenam pada membran tektoria yang kaku dan stasioner, sel-
sel rambut tersebut akan membengkok ke depan dan ke belakang sewaktu membran basilaris
menggeser posisinya terhadap membran tektorial. Proses ini merupakan rangsang mekanis yang
menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut sehingga kanal ion terbuka dan terjadi
pelepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Selanjutnya terjadi proses depolarisasi sel rambut,
yang akan menyebabkan potensial aksi pada saraf yang melekat pada sel-sel rambut. Disinilah
gelombang suara mekanis dirubah menjadi energi elektrokimia, yang merupakan suatu arus impuls
yang selanjutnya ditransmisikan ke ganglion spirale, kemudian dilanjutkan ke nukleus saraf
auditorius sampai ke korteks pendengaran di lobus temporalis otak. 2,8
10
Pada gangguan pendengaran jenis ini, transmisi gelombang tidak dapat mencapai
telinga dalam secara efektif. Ini disebabkan karena beberapa gangguan atau lesi pada kanal
telinga luar, rantai tulang pendengaran, ruang telinga tengah, fenestra ovalis, fenestra rotunda
dan tuba auditiva. Gejala yang dialami pada gangguan pendengaran konduktif biasanya berupa
adanya cairan yang keluar dari telinga.
11
1. Cara pemeriksaan
1. Tes Rinne: tes ini membandingkan antara konduksi melalui tulang dan udara.
Garputala digetarkan kemudian diletakkan pada prosesus mastoideus (dibelakang
telinga), setelah tidak mendengar getaran lagi garputala dipindahkan di depan liang
telinga, tanyakan
penderita apakah masih mendengarnya .
12
Untuk membuat audiogram diperlukan alat audiometer. Bagian dari audiometer
tombol pengatur intensitas bunyi, tombol pengatur frekuensi, headphone untuk memeriksa
AC (hantaran udara), bone conductor untuk memeriksa BC (hantaran tulang).
1. Frekuensi adalah nada murni yang dihasilkan oleh getaran suatu benda
yang sifatnya harmonis sederhana (simple harmonic motion). Jumlah
getaran per detik dinyatakan dalam Hertz.
2. Intesitas bunyi dinyatakan dalan dB (decibell). Dikenal dengan dB
HL (hearing level), dB SL (sensation level), dB SPL (sound
pressure level). dB HL dan dB SL dasarnya adalah subyektif, dan
inilah yang biasanya digunakan pada audiometer, sedang dB SPL
digunakan apabila ingin mngetahui intensitas bunyi yang
sesungguhnya secara fisika.
3. Ambang dengar ialah bunyi nada murni yang terlemah pada
frekuensi tertentu yang masih dapat didengar oleh telinga seseorang.
Terdapat ambang dengar menurut konduksi udara (AC) dan
menurut konduksi tulang (BC). Bila ambang dengar ini dihubungkan
dengan garis baik AC maupun BC, maka akan didapatkan
audiogram. Dari audiogram dapat diketahui jenis dan derajat
ketulian.
Notasi pada audiogram
4. Untuk pemeriksaan audiogram, dipakai grafik AC yang dibuat dengan garis
lurus penuh (intensitas yang diperiksa antara 125-8000 Hz) dan grafik BC yaitu
dibuat dengan garis putus-putus (intensitas yang diperiksa 250-4000 Hz).
Untuk telinga kiri dipakai warna biru sedangkan telinga kanan warna
merah.
Nilai nol audiometrik (audiometric zero) dalam dB HL dan dB SL, yaitu intensitas
nada murni yang terkecil pada suatu frekuensi tertentu yang masih dapat didengar oleh
telinga rata-rata orang dewasa muda yang normal (18-30 tahun). Pada tiap frekuensi
intensitas nol audiometrik tidak sama.15
13
AD =
2.6.2 Etiologi
Menurut Rauch, penyebab pasti tuli mendadak hanya ditemukan pada
10- 15% kasus, sebagian besar kasus tetap tidak diketahui penyebabnya
(idiopatik). Tuli mendadak juga dapat disebabkan oleh berbagai hal antara lain
iskemia koklea, infeksi virus, trauma kepala, trauma bising yang keras,
perubahan tekanan atmosfir, autoimun, obat ototoksik, penyakit Meniere dan
neuromakustik.
2.6.3 Patogenesis
Ada 4 teori postulasi terjadinya tuli mendadak yaitu infeksi viral labirin, gangguan vaskular
labirin, ruptur membran intrakoklear dan penyakit telinga dalam yang berhubungan dengan autoimun.
Namun setiap jalur teori ini belum tentu terjadi pada setiap kasus tuli mendadak atau suden deafness.
14
1. Infeksi viral labirin
Prevalensi menunjukan 7 -13% pasien yang menderita tuli mendadak sebelumnya menderita
infeksi virus (mumps, herpes). Terkadang dapat ditemukannya histopatologi pada telinga bagian
dalam yang menunjukan adanya infeksi oleh virus. Gambaran histopatologi ditemukan adanya
kerusakan di koklea berupa hilangnya sel–sel rambut dan sel penyokongnya, atrofi membrane
tectorial, atrofi stria vascularis, dan hilangnya neuron.
Timbulnya tuli pada iskemia koklea dapat bersifat mendadak atau menahun secara tidak
jelas. Kadang-kadang bersifat sementara atau berulang dalam serangan, tetapi biasanya menetap.
15
Tuli yang bersifat sementara biasanya tidak berat dan berlangsung lama. Tuli dapat unilateral
atau bilateral, dapat disertai dengan tinitus dan vertigo.5
Pada infeksi virus, timbulnya tuli mendadak biasanya pada satu telinga, dapat disertai
tinitus dan vertigo. Kemungkinan ada gejala dan tanda penyakit virus seperti, parotis,
varisela, variola atau pada anamnesis baru sembuh dari penyakit virus tersebut. Pada
pemeriksaan klinis tidak terdapat kelainan.5
2.6.6. Diagnosa
Diagnosis tuli mendadak ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan THT,
audiologi, laboratorium serta pemeriksaan penunjang lain. Anamnesis yang teliti mengenai
proses terjadinya ketulian, gejala yang menvertai serta faktor predisposisi penting untuk
mengarahkan diagnosis. Pemeriksaan fisik termasuk tekanan darah sangat diperlukan. Pada
pemeriksaan otoskopi tidak dijumpai kelainan pada telinga yang sakit.
Pada pemeriksaan pendengaran : Tes penala :Rinne positif, Weber lateralisasi ke telinga yang
sehat, Schwabach memendek. Kesan : tuli sensorineural. Audiometri nada murni : tuli
sensorineural ringan sampai berat. Tes SlSl (short increment sensitivity index) Skor : 100 % atau
kurang dari 70 % Kesan : dapat ditemukan rekrutmen.
- Tes Tone decay atau refleks kelelahan negatif
Kesan : bukan tuli retrokoklea
- Audiometri tutur (speech audiometry) SDS (speech discrimination score) Kurang dari
100%
Kesan : tuli sensorineural
Audiometri impedans : Timpanogram tipe A (normal) reflek stapedius ipsilateral negatif atau
positif sedangkan kontra lateral positif.
Kesan : tuli sensorineural koklea.
BERA (pada anak) menunjukkan tuli sensorineural ringan sampai berat.
Pemeriksaan ENG (E/ekfronistagmografr) mungkin terdapat paresis kanal, Pemeriksaan
tomografi komputer (CT Scan) dan pencitraan resonansi magnetik (MRI) dengan kontras
diperlukan untuk menyingkirkan diagnosis seperti neuroma akustik dan malformasi tulang
temporal. Bila diduga kemungkinan adanya neuroma akustik, pasien dikonsulkan ke Bagian
Saraf Pemeriksaan arteriografi diperlukan untuk kasus yang diduga akibat trombosis.
16
Pemeriksaan laboratorium dapat digunakan untuk memeriksa kemungkinan infeksi virus, bakteri,
hiperlipidemia, hiperfibrinogen. hipotiroid, penyakit autoimun dan faal hemostasis. Untuk
mengetahui ada tidaknya hiperkoagulasi darah pada pasien tuli mendadak dapat dilakukan
pemeriksaan faal hemostasis dan tes penyaring pembekuan darah Penderita perlu di konsulkan ke
Sub-Bagian Hematologi Penyakit Dalam dan Bagian Kardiologi untuk mengetahui adanya
kelainan darah dan hal-hal yang mengakibatkan penyumbatan pembuluh darah.15
2.6.7 Pengobatan
1. Tirah baring sempurna (total bed rest) istirahat fisik dan mental
selama dua minggu untuk menghilangkan atau mengurangi stress
yang besar pengaruhnya pada keadaan kegagalan neurovaskular.
2.6.9 Prognosis
Prognosis tuli mendadak tergantung pada beberapa faktor yaitu; kecepatan pemberian
obat, respon 2 minggu pengobatan pertama, usia, derajat tuli saraf dan adanya faktor
predisposisi. Pada umumnya makin cepat diberikan pengobatan makin besar kemungkinan untuk
sembuh, bila sudah lebih 2 minggu kemungkinan sembuh menjadi lebih kecil. Penyembuhan
17
dapat sebagian atau lengkap, tetapi dapat juga tidak sembuh, hal ini disebabkan oleh karena
faktor konstitusi pasien seperti pasien yang pernah mendapat pengbatan obat ototoksik yang
cukup lama, pasien diabetes melitus, pasien dengan kadar lemak darah yang tinggi, pasien
dengan viskositas darah yang tinggi dan sebagainya, walaupun pengobatan diberikan pada
stadium yang dini.
Pasien yang cepat mendapat pemberian kortikosteroid atau vasodilator mempunyai angka
kesembuhan yang lebih tinggi, demikian pula dengan kombinasi pemberian steroid dengan
heparinisasi dan karbogen serta steroid dengan obat fibrinolitik. Usia muda mempunyai angka
perbaikan yang lebih besar dibandingkan usia tua.
2.3. Oksigen
2.3.1. Definisi Oksigen
Molekul oksigen adalah salah satu dari komponen utama penyusun udara .
Menurut Thomas, oksigen ditemukan pertama kali pada awal abad ke-18,
tepatnya pada tahun 1773 oleh ilmuwan kimia berkebangsaan Swedia Karl
Scheele dan Joseph Priestley yang berkebangsaan Inggris. Oksigen memiliki
simbol unsur O dan terletak pada golongan VI A pada sistem periodik bersama
dengan belerang (S), selenium (Se), telurium (Te), dan polonium (Po). Atom ini
termasuk ke dalam unsur non logam dan berwujud gas pada temperatur ruangan.
Gas oksigen memiliki sifat tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa pada
kondisi normal. Sumber utama oksigen bebas di udara merupakan hasil
dekomposisi uap air oleh pancaran sinar UV pada lapisan atas atmosfer.12
18
6. Helium (he) 5,20x10-6
7. Metana (CH4) 1,50x10-6
8. Kripton (Kr) 1,10x10-6
9. Hidrogen (H2) 5,00x10-7
10. Dinitrogen oksida (N2O) 3,00x10-7
11. Xenon (Xe) 8,70x10-8
19
Selain itu, indikasi non-darurat yang disetujui untuk digunakan: (1) keracunan karbon
monoksida atau ensefalopati beracun lainnya; (2) tuli mendadak; (3) penyakit iskemik serebrovaskular
(cerebral arterioclerosis, transient ischemic attack, trombosis serebral, infark serebral); (4)
craniocerebral injury (gegar otak, memar otak dari operasi pengangkatan hematoma intrakranial, cedera
batang otak); (5) pemulihan pendarahan otak; (6) fraktur penyembuhan; (7) serosa sentral peradangan
retina; (8) keadaan vegetatif; (9) sindrom insufisiensi adaptasi dataran tinggi; (10) cedera saraf perifer;
(11) intrakranial operasi tumor jinak; (12) penyakit periodontal; (13) ensefalitis virus; (14)
kelumpuhan wajah; (15) osteomyelitis; (16) osteonekrosis aseptik; (17) cerebral palsy; (18)
keterlambatan perkembangan janin; (19) diabetes dan kaki diabetik; (20) penyakit jantung koroner
aterosklerotik (angina dan infark miokard); (21) kecepatan aritmia (fibrilasi atrium, denyut prematur,
takikardia); (22) miokarditis; (23) penyakit pembuluh darah perifer, vaskulitis, misalnya, trombosis vena
dalam, Raynaud; (24) vertigo; (25) ulkus kulit kronis (hambatan suplai darah arteri, kongesti vena,
luka baring); (26) cedera tulang belakang; (27) ulkus peptikum; (28) kolitis ulserativa; (29) hepatitis
menular (Menggunakan ruang khusus penyakit menular); (30) luka bakar; (31) radang dingin; (32)
operasi plastik; (33) pencangkokan kulit; (34) cedera olahraga; (35) kerusakan radioaktif (tulang dan
jaringan lunak, sistitis, dll); (36) tumor ganas (dengan radioterapi atau kemoterapi); (37) cedera saraf
otic; (38) sindrom kelelahan; (39) angioneurotic headache ; (40) pustular; (41) psoriasis; (42)
pityriasisrosea; (43) multiple sclerosis; (44) sindrom Guillain Barre akut; (45) ulkus mulut berulang; (46)
ileus paralitik; (47) asma bronkial; dan (48) sindrom gangguan pernapasan akut.
20
muka, mudah untuk mengobservasi pasien, serta hanya membutuhkan sedikit tenaga
operator.
1. Masker oksigen
2. Respirator dan ventilator
3. Peralatan untuk terapi, yaitu:
a. Peralatan resusitasi jantung dan paru
b. Tabung endotrakeal
c. Suction
d. Peralatan infus
4. Peralatan diagnostik
a. Alat diagnostik kedokteran
b. Alat monitor transkutan oksigen
c. EKG
d. EEG
e. Alat ukur gas darah
f. Alat monitor tekanan intra kranial
5. Alat neurologi, yaitu optalmoskop dan dynamometer untuk mengukur spastisitas
21
2. Untuk kasus emergensi tidak diperhitungkan jumlah minimal pasien dan
pelaksanaanya 24 jam kerja
3. Untuk pasien yang tabel pengobatannya dosis terapi hiperbariknya sama
disatukan dalam satu sesi terapi
4. Kasus lama dan baru: pasien yang baru pertama kali mengikuti terapi
oksigen hiperbarik, dokter harus mengawasi apakah dia tahan terhadap
perubahan tekanan (pressure test) serta apakah tanda-tanda keracunan
oksigen (oxygen tolerance test)
5. Faktor resiko penularan penyakit
1. Pemisahan masker yang dipakai
2. Sterilisasi masker
3. Masuk di RUBT yang lebih intensif
4. Luka yang berbau tidak dicampur dengan kasus penyakit lain
Apabila terapi oksigen hiperbarik dilaksanakan dengan RUBT ruang
tunggal, maka poin a sampai 3 tidak dipertimbangkan.
5. Bagi pasien yang akan terbang sesudah pengobatan hiperbarik, penerbangan
dilakukan dalam jangka waktu 72 jam setelah pengobatan terakhir
6. Bagi pasien dengan pengobatan hiperbarik untuk program kebugaran,
penerbangan bileh dilakukan dalam janga waktu 4-6 jam setelah pengobatan
terakhir
Bagi pasien penyakit dekompresi dan atau arterial gas emboli, diijinkan
terbang setelah pengobatan hiperbarik dalam jangka 1-2 minggu setelah
pengobatan terakhir untuk pasien yang tidk sadar, perlu dilakukan timpanoplasti
oleh dokter spesialis THT atau dokter sepisalis kelautan dan dokter hiperbarik
yang pernah mengikuti pelatihan timpanoplasti.
2.7.8. Cara Kerja Terapi Oksigen Hiperbarik
Efek yang disebabkan oleh oksigen hiperbarik pada tubuh dapat dibagi
menjadi efek utama seperti peningkatan tekanan oksigen dan difusi dalam jaringan. Efek
sekunder seperti vasokonstriksi, angiogenesis, proliferasi fibroblast dan meningkatkan
pembunuhan leukosit oksidatif.
Hukum Henry menyatakan bahwa jumlah gas yang terlarut dalam cairan atau
jaringan sebanding dengan tekanan parsial gas yang bersentuhan dengan cairan atau
22
jaringan. Dalam terapi oksigen hiperbarik, jumlah peningkatan oksigen yang dipasok,
meningkatkan tekanan oksigen dalam jaringan, sehingga menjelaskan efek hiperoksia di
jaringan hipoksia.
Ketika tekanan oksigen menurun, terjadi pengaktifan neutrofil. Neutrofil yang
diaktifkan mengkonsumsi sejumlah besar oksigen, menyebabkan penurunan kadar
oksigen lebih lanjut dalam jaringan hipoksia. Tingkat oksigen yang sangat rendah dapat
menyebabkan cedera jaringan. Terapi oksigen hiperbarik membalikkan cedera jaringan
hipoksia dengan meningkatkan konsentrasi oksigen, sehingga membantu neutrofil
dengan menyediakan oksigen dan mempercepat proses penyembuhan.
Kadar oksigen yang tinggi menyebabkan vasokonstriksi di jaringan normal. Hal
ini berguna dalam edema jaringan pasca trauma. Efek oksigen hiperbarik ini digunakan
dalam pengobatan sindrom kompartemen, mengobati cedera dan luka bakar. Menurut
sebuah studi yang dilakukan pada telinga kelinci mencatat bahwa pertumbuhan kapiler
juga dipengaruhi oleh konsentrasi oksigen. Pembentukan kapiler meningkat dengan
peningkatan tekanan oksigen.1,7,8,10
Sebelum memulai terapi oksigen hiperbarik , setiap pasien harus:
Melakukan Pemeriksaan :
a. Pemeriksaan swab PCR Sarcov 2 atau swab antigen Sarcov 2
b. Pemeriksaan darah rutin
c. Anamnesis Lengkap
d. Eksplorasi kardiopulmoner lengkap dan pemeriksaan THT
e. APD (alat pelindung diri) level 2
1. 1 seri untuk 10 kali HBOT dan 5 kali seminggu
2. Tekanan ruang biasanya 2,5 ATA dengan perawatan yang berlangsung selama 45
hingga 200 menit tergantung pada indikasinya
23
Gambar. 6
24
6. Klaustrofobia
2.7.10 Komplikasi
1. Barotrauma telinga tengah
2. Sinus barotrauma
3. Barotrauma paru
4. Kejang akibat toksisitas oksigen sistem saraf pusat
5. Penyakit dekompresi
2.7.11 Efek Terapi Oksigen Hiperbarik pada Tuli Mendadak (Sudden Deafness)
Penelitian neurofisiologi terhadap koklea dari binatang percobaan dan observasi
pada manusia membuktikan bahwa kejadian degeneratif secara garis besar bisa
digambarkan karena adanya iskemia jaringan oleh sistem arteri yang mendarahi labirin
yang tidak berkomprensasi secara efektif. Dengan pemakaian terapi oksigen hiperbarik,
koklea mendapat terapi yang tepat karena oksigen dapat mencapai bagian dari labirin,
tidak hanya melalui difusi plasma tetapi juga masuk ke bagian basal koklea dengan
cara difusi gas melalui membran semipermiabel foramen rotundum.
Arteri mengalami difusi dari kapiler ke dalam cairan telinga dalam dan
meningkatkan saturasi parsial oksigen yang mempengaruhi tekanan oksigen telinga
dalam. Selama terapi oksigen hiperbarik, tekanan parsial oksigen yang tinggi
menghidupkan kembali daerah yang mengalami hipoksia pada koklea. Keuntungan
terapi hiperbarik oksigen pada tuli mendadak adalah peningkatan distribusi oksigen
yang terlarut dalam sirkulasi darah. Peningkatan oksigen pada perilimfa dan endolimfa
membantu pemulihan fungsi telinga dalam. Terapi hiperbarik juga meningkatkan suplai
darah dan berkontribusi pada peningkatan mikrosirkulasi.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Alimoglu Y et.al, yaitu membandingkan
efikasi terapi oksigen hiperbarik, steroid oral, terapi steroid intratimpani. Pasien dibagi
menjadi empat kelompok sesuai dengan terapi yang diterima yaitu berupa, steroid oral,
steroid oral dengan terapi oksigen hiperbarik, steroid intratimpani dan oksigen
hiperbarik. 217 pasien dan 219 telinga diperiksa. Persentase tertinggi dari pasien yang
merespon terapi adalah yang tertinggi di steroid oral dengan terapi oksigen hiperbarik
sebesar 86,88% (53/61) dan kelompok steroid oral 63,79% (37/58), kelompok steroid
25
intratimpani dengan 46,51% (20/43) dan kelompok terapi oksigen hiperbarik dengan
43,85% (25/57). maka pengobatan tuli mendadak steroid oral dengan terapi oksigen
hiperbarik memiliki tingkat pemulihan yang lebih tinggi dari pada pengobtan steroid
oral, steroid intratimpani dan terapi oksigen hiperbarik saja.
Penelitian Liu SC et. al, menunjukannya bahawa kombinasi pengobatan terapi
oksigen hiperbarik dengan steroid dan dekstran memiliki tingkat pemulihan yang
siginifikan terhadap pasien tuli mendadak sebesar 24,5 ± 2,7 dB dibandingkan dengan
steroid (12,9 ± 3,7 dB) atau steroid-dekstran (15,6 ± 2,7 dB).
26
BAB III
KESIMPULAN
Penanganan utama pasien tuli mendadak yaitu tirah baring selama 14 hari, pemberian
vasodilatansia kuat, kortikosteroid, menggunakan antiviral apabila disebabkan oleh infeksi
virus. Terapi hiperbarik oksigen memberikan hasil terbaik bila dimulai dalam 2 minggu sejak
ketulian, dan dikombinasikan dengan steroid. Kombinasi ini direkomendasikan paling lambat
30 hari sejak ketulian. HBOT dan intratympanik steroid memberikan hasil paling baik pada
frekuensi rendah. HBOT 2,5 ATA, 2 x 30 menit per sesi akan meningkatkan tekanan parsial
27
O2 10-20 kali di skala timpani, melindungi sel-sel neurosensoris, dan memulihkan
metabolisme oksidatif di vascular strip. HBOT memperbaiki reologi dan mikrosirkulasi,
mengurangi viskositas darah, dan memperbaiki elastisitas eritrosit. Menurut Guideline of
American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery, HBOT memiliki potensi
manfaat sebagai terapi adjuvan tuli mendadak sensorineural bila diberikan dalam waktu 3
bulan sejak onset ketulian. Dosis yang di gunakan untuk perawatan tidak boleh lebih dari 3
ATA karena tidak aman untuk pasien selain berkaitan dengan lamanya perawatan yang
dibutuhkan,juga dikatakan bahwa tekanan di atas 2,5 ATA mempunyai efek imunosupresif.
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Ali S, Maryam K, Matineh H. (2014). Diseases treated with hyperbarik oxygen therapy.
Med Hyp Discov Innov Interdisciplinary.
2. Alimoglu, Y., Inci, E., Edizer, D.T., Ozdilek, A., & Aslan, M. (2011). Efficacy
comparison of oral steroid, intratympanic steroid, hyperbaric oxygen and oral steroid
+ hyperbaric oxygen treatments in idiopathic sudden sensorineural hearing loss cases.
European Archives of Otorhinolaryngology, 268:1735- 1741.
3. Chin-Saeng, Cho, Young-Jin Choi. (2013). Prognostic factor in sudden
sensorineural hearing loss; a retrospective study using interaction effects. Braz J
Otorhinolaryngol.;79(4):466-70.
4. Imsuwansri, Thanarath. Pipat Poonsap. Kornkiat Snidvongs. 2012. Hyperbaric oxygen
therapy for sudden sensorineural hearing loss after failure from oral and intratumpaic
corticosteroid. Thailand: Department of otolaryngology.
5. Lin, Frank L., Roland Thorpe, Sandra Gordon-Salan, Luigi Ferrucci. (2011).
Hearing loss prevalence and risk factos among older adults in the United States. J
Gerontol A Biol Sci Med Sci; 66A(5):582–590.
6. Liu, S.C., Kang, B.H., Lee, J.C., Lin, Y.S., Huang, K.L., Liu, D.W., Su, W.F & Wang
C.H. (2011). Comparison of therapeutic results in sudden sensorineural hearing loss
with/without additional hyperbaric oxygen therapy: A Retrospective review of 465
audiologically controlled cases. Clinical Otolaryngology, 36:121-128
29
10. Insuwansri T, Poonsap P, Snidvongs K. Hyperbaric Oxygen Therapy for Sudden
Sensorineural Hearing Loss after Failure from Oral and Intrattympanic Corticosteroid.
Clinical and Experimental Otorhinolaryngology 2012 Vol. 5 supll. 1: S99-S102
11. Lamm H, Kortkamp C M, Warnecke A, et al. Concurrent Hyperbaric Oxygen Therapy
and Intratympanic Steroid Application as Salvage Therapy after Severe Sudden
Sensorineural Hearing Loss. Clinical Case Report 2016 4(3): 287-293.
12. Enache R, Sarafoleanu C Prognostic Factors in Sudden Hearing Loss, Journal of
Medicine and Life 2008 Vol. 1 No. 3: 343-347.
13. Novita Stevani, Yuwono Natalia. Diagnosis dan Tata Laksana Tuli Mendadak. RSUD
Landak, Ngabang, Kalimantan Barat, Indonesia. 2013. [ Cited 21 December 2013]
Available from URL : http://www.kalbemed.com/Portals/6/07_210Diagnosis%20dan
%20Tata%20Laksana%20Tuli%20Mendadak.pdf
14. Munilson Jacky, Yurni. Diagnosis Dan Penatalaksanaan Tuli Mendadak. Departemen
Telinga Hidung Tenggorok – Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Unand/ RS. Dr.
M. Djamil Padang.2010. [cited 21 December 2013]. Available from URL :
http://repository.unand.ac.id/18123/1/Tuli%20Mendadak%20perbaikan-%20Yurni.pdf .
15. Soetirto I, Bashiruddin J. Tuli Mendadak. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga-Hidung-
Tenggorok Kepala Leher.Ed:5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.2000. Hal.39-41
16. Hashisaki George. Sudden sensory hearing Loss. In: Bailey Byron, Johnson Jonas,
editors. Head and Neck Surgery – Otolaryngology. 4 th edition. USA: Lippincott
Williams & Wilkins; 2006 p. 2232-5.
30