2.1 Kompos: Bab Ii Tinjauan Pustaka
2.1 Kompos: Bab Ii Tinjauan Pustaka
2.1 Kompos: Bab Ii Tinjauan Pustaka
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kompos
Kompos merupakan pupuk organik hasil dekomposisi bahan organik yang
dapat menyuburkan tanah dengan cara memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi
tanah. Menurut Isroi (2008) kompos adalah hasil penguraian parsial/tidak lengkap
dari campuran bahan-bahan organik yang dapat dipercepat secara artifisial oleh
mengandung biji tanaman, tidak menarik serangga atau vektor penyakit untuk
memperbaiki tanah yang rusak misalnya dapat memperbaiki sifat fisik tanah yang
(2012), melaporkan bahwa kompos memiliki manfaat antara lain sebagai berikut
meningkatkan daya ikat tanah terhadap air, mampu menyimpan air tanah dalam
13
14
berasal dari bahan organik yang melapuk. Kompos yang baik adalah kompos yang
sudah cukup mengalami pelapukan dan dicirikan oleh warna yang sudah berbeda
dengan warna bahan pembentuknya, tidak berbau, kadar air rendah dan sesuai
tersebut diantaranya bakteri, jamur dan jasad renik lainnya (Rhys, 2015). Bahan
diubah menjadi pupuk kompos yang kaya dengan unsur-unsur hara baik makro
ataupun mikro yang sangat diperlukan oleh tanaman (Yurmiati dan Hidayati,
2008). Prinsip dasar pengomposan yaitu menurunkan C/N rasio hingga mencapai
C/N rasio yang sama dengan tanah (Setyorini dkk., 2006). Bahan yang ideal untuk
dihasilkan memiliki C/N rasio < 20. Bahan organik yang mamiliki C/N rasio sama
(Djuarnani dkk., 2005). Sehingga dapat dikatakan bahwa membuat kompos berarti
15
mengatur dan mengontrol proses dekomposisi alami agar dapat terbentuk lebih
dapat berjalan dengan lebih cepat dan efisien. Teknologi pengomposan saat ini
yang bercampur dengan mineral, air dan mikroba menjadi CO2 dan H2O serta
menghasilkan panas. Kemudian bahan organik, mineral dan air tersebut akan
terurai menjadi senyawa organik sederhana yang dapat diserap tanaman serta
mengandung air, mineral dan mikroba (Prihandini dan Purwanto, 2007; Isroi,
2008).
dalam tiga tahap yaitu pra pematangan (tahap dekomposisi dan sanitasi), tahap
pada suhu 10o - 40o C kemudian berganti dengan mikroorganisme termofilik pada
suhu > 40o C (Sutanto, 2002). Pada fase mesofilik mikroba memperkecil ukuran
suhu akan mencapai 60 o - 70o C terutama pada kompos bagian dalam, kondisi ini
telah mencapai suhu puncak dan kompos mengalami kestabilan. Apabila suhu
lebih dari 70o C semua jenis patogen akan mati karena aktivitasnya terhambat
sehingga proses dekomposisi senyawa organik juga terhambat. Oleh sebab itu,
sirkulasi udara untuk mencegah kenaikan suhu yang berlebihan. Lamanya proses
dekomposisi awal tergantung pada kondisi udara, akhir dari awal pengomposan
bervariasi tergantung ukuran partikel, air bahan, sirkulasi udara dan iklim. Selama
proses dekomposisi awal akan terjadi kehilangan masa kompos sebesar 35 - 45%
17
berat basah. Produk akhir dari proses awal pengomposan ini adalah kompos segar
(Sutanto, 2002).
merombak selulosa dan hemiselulosa yang tersisa dari proses sebelumnya menjadi
gula yang lebih sederhana (Werayoga, 2015). Pada tahap pematangan utama akan
terjadi kenaikan suhu yang singkat kemudian suhu akan turun menjadi 30o – 40o
C. Hal ini terjadi karena bahan yang didekomposisi menurun jumlahnya sehingga
panas yang dilepaskan juga relatif kecil (Djuarnani dkk.,2005). Pada tahap ini
Tahap ini dicirikan dengan suhu yang lebih rendah daripada tahap
dan organik. Pada tahap ini akan terbentuk komplek lempung humus (Sutanto,
mikroorganisme pun mengalami perubahan, biasanya pada fase ini jumlah fungi
akan meningkat sedangkan jumlah bakteri akan menurun (Diaz et al., 2007).
18
inokulan mikroba pengurai (Tarigan, 2001). Saat ini sudah banyak produk
inokulan mikroba pengurai atau dekomposer yang tersedia secara komersial, salah
Teknologi EM4 ditemukan pertama kali oleh Prof. Dr. Teruo Higa dari
Universitas Ryukyus, Jepang sejak tahun 1980 dan telah diterapkan secara luas di
menjadi asam amino, mengikat nitrogen dari udara, menghasilkan senyawa yang
menggemburkan tanah. Adapun menurut Yuniwati dkk. (2012) fungsi dari lima
sekresi akar tumbuhan, bahan organik dan gas-gas berbahaya dengan sinar
matahari dan panas bumi sebagai sumber energi. Zat-zat bermanfaat yang
19
terbentuk antara lain asam amino, asam nukleat, zat bioaktif dan gula yang
Ragi dapat menghasilkan zat anti bakteri dan bermanfaat bagi pertumbuhan
tanaman dari asam amino dan gula yang dikeluarkan oleh bakteri fotosintetik atau
bahan organik dan akar-akar tanaman melalui proses fermentasi. Selain itu,
jumlah sel aktif dan perkembangan akar. Sekresi ragi adalah substrat yang baik
d. Actinomycetes
e. Jamur Fermentasi
tersebut dapat menguraikan bahan secara cepat untuk menghasilkan alkohol, ester
dan zat-zat anti mikroba. Pertumbuhan jamur ini membantu menghilangkan bau
dan mencegah serangan hama yang merugikan dengan cara menekan ketersediaan
makanannya. Mikroba ini merupakan mikroba paling penting dalam EM4 karena
organik tersebut dapat terurai secara alami dengan bantuan mikroba pengurai.
Menurut Setyorini dkk. (2006), bahan yang dapat dikomposkan diantaranya sisa
tanaman pertanian (jerami, brangkasan, sekam padi, kulit kacang tanah, ampas
tebu dan belotong), pupuk kandang (kotoran sapi, kerbau, ayam, itik dan kuda)
serta pupuk hijau. Selain itu dapat digunakan pula limbah kota, sampah rumah
tangga serta limbah industri. Idealnya bahan baku sebaiknya dipilih dan dicampur
dalam proporsi tepat untuk menghasilkan karakteristik yang sesuai (Djaja dkk.,
2003). Kandungan air dan C/N rasio adalah karakteristik bahan baku yang
sebaiknya diperhatikan, dalam Tabel 1 dapat dilihat karakteristik bahan baku yang
pembenah tanah yang paling baik dibanding bahan pembenah lainnya (Sutanto,
2002). Menurut Hartatik dan Widowati (2006) pupuk kandang dapat didefinisikan
sebagai semua produk buangan dari hewan ternak yang dapat digunakan untuk
menambah hara, memperbaiki sifat fisik, dan biologi tanah. Pupuk kandang dapat
berbentuk padat maupun cair, namun biasanya bentuk padat lebih sering
pertanian. Ketersediaan hara di dalam pupuk kandang umumnya rendah. Hal ini
disebabkan karena bentuk unsur N, P serta unsur lain terdapat dalam bentuk
senyawa kompleks organo protein atau senyawa asam humat atau lignin yang sulit
yang dapat membahayakan hewan atau manusia (Setyorini dkk., 2006). Kotoran
hewan lebih kaya akan berbagai unsur hara dan kaya akan mikroba, dibanding
22
dengan limbah pertanian (Hapsari, 2013). Berikut kandungan unsur hara dari
Salah satu pupuk kandang yang sering digunakan sebagai pupuk organik
salah satunya yaitu kotoran sapi. Kotoran sapi merupakan salah satu jenis pupuk
kandang yang dapat dijadikan sebagai pupuk organik yang mampu menambah
unsur hara serta sebagai energi bagi aktivitas mikroorganisme. Seekor sapi muda
akan memproduksi 15-30 kg kotoran per hari, kotoran yang baru dihasilkan sapi
tidak dapat langsung diberikan sebagai pupuk tanaman, tetapi harus mengalami
dalam pupuk kandang tidak mudah tersedia bagi tanaman, ketersediaan haranya
(Hartatik dan Widowati, 2006). Hapsari (2013), melaporkan bahwa kotoran sapi
sebagai pupuk tidak mudah hilang dalam tanah karena merupakan kotoran dingin,
0,40% N, 0,20% P2O5, 0,10% K2O serta memiliki kadar air 85% (Suyono dkk.,
23
2008). Selain itu menurut Windyasmara dkk. (2012), feses sapi mengandung
hemisellulosa sebesar 18,6%, sellulosa 25,2% serta lignin 20,2%. Unsur hara yang
terkandung pada kotoran sapi cukup kaya, karena jenis pakan yang digunakan
cukup memiliki sumber hara yang memadai, sehingga baik digunakan sebagai
mengandung cukup udara dan air, penguraian bahan organik berlangsung cepat
hanya sedikit sekali memasok humus dan unsur hara ke dalam tanah, 3) struktur
bahan organik segar sangat kasar dan daya ikatnya terhadap air kecil, sehingga
kotoran sapi tidak selalu tersedia pada saat diperlukan, sehingga pembuatan
pupuk.
terdapat di atas permukaan tanah dan tersusun oleh bahan-bahan yang sudah mati
(Dita, 2007). Serasah dari pepohonan dan tanaman, seperti dedaunan dan ranting,
memiliki komposisi selulosa sebesar 45% dari berat kering bahan. Sedangkan
hemiselulosa menempati 20-30% dan sisanya adalah lignin (Perez et al., 2002).
24
dari daun, ranting, bunga, buah dan serpihan kulit kayu merupakan bagian utama
dari jatuhan serasah pada ekosistem hutan. Sekitar 70 % dari total serasah di
peran mikroorganisme seperti bakteri dan fungi (Hanum dan Kuswytasari, 2014).
Jaringan tumbuhan akan terdekomposisi lebih lama dari jaringan hewan karena
sebagian besar tersusun atas air 60-90%, padatan sekitar 25%, hidrat arang 60%,
protein 10%, lignin 10-30%, lemak 1-8%, karbon 44%, oksigen 40% dan hidogen
dimana jumlah timbunan serasah daun ini bergantung pada laju produksi dan laju
daun sebagai bahan kompos memiliki banyak manfaat, menurut Fitriadi dan
Rahmanto (2007) penggunaan kompos dari serasah daun dapat menghemat air,
dalam tanah terhadap pencucian dan penghanyutan oleh air hujan. Selain itu,
25
pupuk serasah dapat menjaga keseimbangan suhu tanah dengan lapisan udara
dekat tanah, menjaga tekstur tanah agar tetap remah dan tidak cepat padat,
Damayanti, 2010).
bahan organik (Refliaty dkk., 2011). Pada proses pengomposan C/N rasio bahan
organik yang efektif untuk dikomposkan berkisar antara 30: 1 hingga 40:1. Pada
cukup N yang akan digunakan untuk sintesis protein. Apabila rasio C/N terlalu
akan membutuhkan karbon lebih banyak daripada nitrogen. Namun jika terlalu
banyak karbon, dekomposisi melambat saat nitrogen terpakai habis dan beberapa
organisme akan mati (Mundiatun, 2013). Jika C/N rasio bahan yang dikomposkan
terlalu besar atau terlalu kecil akan mengganggu kegiatan biologis proses
26
dekomposisi. Bahan berkadar C/N rasio yang tinggi bisa menyebabkan timbunan
rendah adalah jamur. Hal ini berarti dalam pembuatan kompos dari bahan-bahan
yang keras harus di campur dengan bahan-bahan yang lunak (Setyorini dkk.,
2006).
mencukupi. Namun jika kandungan C berkebihan (C/N > 40) jumlah N akan
C/N rasio yang imbang dengan C/N rasio tanah sehingga pada saat tersebut
didapatkan C/N rasio yang rendah (10-20). Apabila C/N rasio sudah mencapai
angka tersebut, artinya proses dekomposisi sudah mencapai tingkat akhir atau
substansi transportasi dan nutrien bahan organik. Sehingga dengan adanya air
air kompos diperoleh dari penguraian bahan organik menjadi karbondioksida, uap
Proses pengomposan berjalan baik pada kadar air awal bahan sekitar 50 -
60% (Setyorini dkk., 2006). Jika campuran bahan kompos memiliki kadar air
yang rendah maka penguraian bahan organik akan berjalan lambat dan kurang
sempurna. Sebaliknya jika terlalu tinggi, kondisi kompos akan berubah menjadi
kadar air meningkat menjadi 80% pada saat 20 - 25 hari pengomposan maka
timbunan kompos, harus makin sering diaduk atau dibalik untuk menjaga dan
mencegah pembiakan bakteri anaerobik (Setyorini dkk., 2006). Hal ini dilakukan
karena apabila kadar air berlebih maka bahan kompos akan memadat sehingga
anaerobik dan mikroorganisme menjadi dorman dan mati (Suyono dkk., 2008).
tersebut larut dalam air, namun jika kadar air > 60% maka hara akan tercuci dan
2012).
2.4.3 Suhu
Suhu sangat penting dalam proses pembuatan kompos agar proses
60oC. Suhu yang lebih tinggi dari 60oC akan mengakibatkan kehilangan N-NH3
28
yang cukup tinggi dan beberapa mikroorganisme dekomposer akan mati sehingga
dkk., 2008). Semakin tinggi suhu akan semakin banyak konsumsi oksigen dan
akan semakin cepat pula proses dekomposisi. Peningkatan suhu dapat terjadi
kondisi panas tidak akan berkembang baik. Panas yang terlalu tinggi juga akan
menyebabkan bau tidak sedap pada tumpukan kompos (Setyorini dkk., 2006).
bahan organik, pada proses pengomposan aerobik dibutuhkan suhu yang tinggi
namun kondisi suhu yang tinggi dalam periode yang panjang harus dihindari agar
selama 2 minggu saat proses dekomposisi berlangsung baik (Sutanto, 2002). Pada
dengan suhu yang kurang dari 55oC. Selain itu, pada suhu tersebut juga dihasilkan
enzim yang paling efektif dalam mendekomposisi bahan organik. Penurunan C/N
rasio juga dapat berjalan dengan sempurna pada kondisi tersebut (Djuarnani dkk.,
dan sejalan dengan populasi mikroorganisme. Jika suhu rendah dan tidak
terjadi karena kurangnya aerasi, karbon atau nitrogen yang kurang memadai
kelembaban rendah atau pH rendah. Selain itu, bisa disebabkan pula akibat
yang rendah (Graves et al., 2010). Menurut Hutabarat (2010) jika terjadi
kegagalan untuk mencapai suhu pada fase termofilik dalam jangka waktu 3-6 hari
maka hal ini disebabkan karena timbunan terlalu tipis untuk mempertahankan
panas, kelembaban yang berlebihan, C/N rasio bahan organik terlalu rendah
mikrooganisme utama yang terlibat dalam pengomposan yaitu bakteri, fungi dan
berkurang sesuai dengan kondisi yang baik bagi suatu spesies mikroba. Pada awal
pengomposan bakteri dan fungi yang paling aktif kemudian actinomycetes akan
lebih dominan pada tahap selanjutnnya. Pada saat suhu 65oC peran bakteri dan
tidak berperan. Fungi berperan dalam perombakan selulosa, 60% dari bahan
harus ditingkatkan, fungi dapat beraktivitas baik pada suhu 50oC (Suyono dkk.,
2008). Selain itu, fungi dapat berkembang pada kondisi lingkungan yang masam
(mikroba temperatur rendah) yang hidup pada suhu < 20oC, Mesophiles (mikroba
temperatur sedang) yang hidup pada suhu antara 25 - 40oC, dan Thermophiles
(mikroba temperatur tinggi) yang hidup pada suhu diatas 65oC (Mundiatun, 2013).
karbohidrat dan protein sehingga bahan kompos dapat terdegradasi dengan cepat
kecoa, laba-laba dan cacing tanah akan membantu dalam fase terakhir yaitu fase
pematangan kompos. Pada fase pematangan akan terjadi penurunan suhu dan
mikroorganisme mesofil akan aktif kembali. Fase ini berlangsung terus menerus
enzim yang dilarutkan ke dalam selaput air yang melapisi bahan organik, enzim
dari lingkungan digunakan sel sebagai konstituen kimia penyusun sel. Secara
umum, nutrien yang diperlukan dalam bentuk karbon, nitrogen, sulfur, fosfor,
2010).