2.1 Kompos: Bab Ii Tinjauan Pustaka

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 19

13

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kompos
Kompos merupakan pupuk organik hasil dekomposisi bahan organik yang

dapat menyuburkan tanah dengan cara memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi

tanah. Menurut Isroi (2008) kompos adalah hasil penguraian parsial/tidak lengkap

dari campuran bahan-bahan organik yang dapat dipercepat secara artifisial oleh

populasi berbagai macam mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat,

lembab, dan aerobik atau anaerobik.

Kompos juga didefinisikan sebagai suatu kondisioner tanah organik yang

telah distabilisasi sehingga menyerupai humus, bebas dari patogen, tidak

mengandung biji tanaman, tidak menarik serangga atau vektor penyakit untuk

hidup pada tanah tersebut sehingga berguna bagi perkembangan tanaman

(Amanah, 2012). Kompos sudah banyak digunakan masyarakat karena memiliki

banyak manfaat bagi kesuburan tanah. Penggunaan kompos juga mampu

memperbaiki tanah yang rusak misalnya dapat memperbaiki sifat fisik tanah yang

rusak akibat penggunaan pupuk anorganik yang berlebihan. Yuniwati dkk.

(2012), melaporkan bahwa kompos memiliki manfaat antara lain sebagai berikut

memperbaiki tekstur dan struktur tanah, menggemburkan tanah, mampu

menyediakan unsur hara makro dan mikro yang dibutuhkan tanaman,

meningkatkan daya ikat tanah terhadap air, mampu menyimpan air tanah dalam

waktu yang lebih lama, memudahkan pertumbuhan akar, meningkatkan efisiensi

penggunaan pupuk sintetis, mampu menekan mikroorganisme tanah yang

13
14

merugikan, dapat digunakan pada berbagai jenis penggunaan lahan, serta

meningkatkan porositas, aerasi dan komposisi mikroorganisme tanah.

Secara sederhana kompos merupakan salah satu pupuk organik yang

berasal dari bahan organik yang melapuk. Kompos yang baik adalah kompos yang

sudah cukup mengalami pelapukan dan dicirikan oleh warna yang sudah berbeda

dengan warna bahan pembentuknya, tidak berbau, kadar air rendah dan sesuai

suhu ruang (Prihandini dan Purwanto, 2007).

2.2 Proses Pengomposan Bahan Organik

Pengomposan pada dasarnya merupakan upaya mengaktifkan kegiatan

mikroba agar mampu mempercepat proses dekomposisi bahan organik, mikroba

tersebut diantaranya bakteri, jamur dan jasad renik lainnya (Rhys, 2015). Bahan

organik yang dimaksud diantaranya limbah pertanian, sampah kota, kotoran

ternak dan sebagainya.

Melalui aktivitas mikroorganisme tersebut, bahan-bahan organik akan

diubah menjadi pupuk kompos yang kaya dengan unsur-unsur hara baik makro

ataupun mikro yang sangat diperlukan oleh tanaman (Yurmiati dan Hidayati,

2008). Prinsip dasar pengomposan yaitu menurunkan C/N rasio hingga mencapai

C/N rasio yang sama dengan tanah (Setyorini dkk., 2006). Bahan yang ideal untuk

dikomposkan memiliki C/N rasio sekitar 30 - 40, sedangkan kompos yang

dihasilkan memiliki C/N rasio < 20. Bahan organik yang mamiliki C/N rasio sama

dengan tanah memungkinkan bahan tersebut dapat diserap oleh tanaman

(Djuarnani dkk., 2005). Sehingga dapat dikatakan bahwa membuat kompos berarti
15

mengatur dan mengontrol proses dekomposisi alami agar dapat terbentuk lebih

cepat. Proses penguraian dioptimalkan sedemikian rupa sehingga pengomposan

dapat berjalan dengan lebih cepat dan efisien. Teknologi pengomposan saat ini

menjadi sangat penting terutama untuk mengatasi permasalahan limbah organik,

seperti untuk mengatasi masalah sampah di kota-kota besar, limbah organik

industri, serta limbah pertanian dan perkebunan.

Proses pengomposan akan segera berlangsung setelah bahan-bahan mentah

tercampur. Selama proses pengomposan, akan terjadi perubahan-perubahan unsur

kimia seperti terlihat pada Gambar 1. Selama pengomposan akan terjadi

perubahan karbohidrat, selulosa, hemiselulosa, lemak dan lilin bahan organik

yang bercampur dengan mineral, air dan mikroba menjadi CO2 dan H2O serta

menghasilkan panas. Kemudian bahan organik, mineral dan air tersebut akan

terurai menjadi senyawa organik sederhana yang dapat diserap tanaman serta

mengandung air, mineral dan mikroba (Prihandini dan Purwanto, 2007; Isroi,

2008).

Gambar 1. Proses Pengomposan Bahan Organik


(Sumber: Isroi, 2008)
16

Menurut Sutanto (2002) proses dekomposisi bahan organik berlangsung

dalam tiga tahap yaitu pra pematangan (tahap dekomposisi dan sanitasi), tahap

pematangan utama dan pasca pematangan.

a. Pra-Pematangan (Tahap Dekomposisi dan Sanitasi)

Proses pengomposan diawali dengan aktifnya mikroorganisme mesofilik

pada suhu 10o - 40o C kemudian berganti dengan mikroorganisme termofilik pada

suhu > 40o C (Sutanto, 2002). Pada fase mesofilik mikroba memperkecil ukuran

partikel bahan organik sehingga luas permukaan bahan bertambah dan

mempercepat proses pengomposan. Selanjutnya fase termofilik akan

menghadirkan mikroorganisme berupa actinomycetes dan jamur termofilik yang

bertugas mengkonsumsi karbohidrat dan protein sehingga bahan kompos dapat

terdegradasi dengan cepat (Werayoga, 2015). Selanjutnya setelah beberapa hari

suhu akan mencapai 60 o - 70o C terutama pada kompos bagian dalam, kondisi ini

telah mencapai suhu puncak dan kompos mengalami kestabilan. Apabila suhu

lebih dari 70o C semua jenis patogen akan mati karena aktivitasnya terhambat

sehingga proses dekomposisi senyawa organik juga terhambat. Oleh sebab itu,

untuk menghindari hal tersebut harus dilakukan pembalikan untuk mengatur

sirkulasi udara untuk mencegah kenaikan suhu yang berlebihan. Lamanya proses

dekomposisi awal tergantung pada kondisi udara, akhir dari awal pengomposan

ini ditandai dengan menurunnya suhu. Lamanya pra-pematangan kompos akan

bervariasi tergantung ukuran partikel, air bahan, sirkulasi udara dan iklim. Selama

proses dekomposisi awal akan terjadi kehilangan masa kompos sebesar 35 - 45%
17

berat basah. Produk akhir dari proses awal pengomposan ini adalah kompos segar

(Sutanto, 2002).

b. Tahap Pematangan Utama (Tahap Konservasi)

Mikroorganisme termofilik pada fase ini berkurang akibat bahan makanan

bagi mikroorganisme tersebut berkurang sehingga menyebabkan mikroorganisme

pada fase mesofilik mulai aktif kembali. Mikroorganisme mesofilik akan

merombak selulosa dan hemiselulosa yang tersisa dari proses sebelumnya menjadi

gula yang lebih sederhana (Werayoga, 2015). Pada tahap pematangan utama akan

terjadi kenaikan suhu yang singkat kemudian suhu akan turun menjadi 30o – 40o

C. Hal ini terjadi karena bahan yang didekomposisi menurun jumlahnya sehingga

panas yang dilepaskan juga relatif kecil (Djuarnani dkk.,2005). Pada tahap ini

hanya sedikit membutuhkan oksigen, komponen yang sulit terdekomposisi pada

tahap sebelumnya akan terdekomposisi pada tahap ini.

c. Pasca Pematangan (Tahap Sintesis)

Tahap ini dicirikan dengan suhu yang lebih rendah daripada tahap

dekomposisi utama sehingga mencapai suhu udara. Selama proses pendinginan

keberadaan organisme dan cacing membantu mencampurkan komponen mineral

dan organik. Pada tahap ini akan terbentuk komplek lempung humus (Sutanto,

2002). Selama fase pematangan kualitas substrat menurun dan komposisi

mikroorganisme pun mengalami perubahan, biasanya pada fase ini jumlah fungi

akan meningkat sedangkan jumlah bakteri akan menurun (Diaz et al., 2007).
18

Proses pengomposan dapat dipercepat dengan dengan perlakuan-perlakuan

khusus misalnya dengan memperkecil ukuran bahan ataupun dengan aplikasi

inokulan mikroba pengurai (Tarigan, 2001). Saat ini sudah banyak produk

inokulan mikroba pengurai atau dekomposer yang tersedia secara komersial, salah

satunya yaitu EM4.

Teknologi EM4 ditemukan pertama kali oleh Prof. Dr. Teruo Higa dari

Universitas Ryukyus, Jepang sejak tahun 1980 dan telah diterapkan secara luas di

Jepang, Amerika, Brazil, Thailand, Korea dan negara-negara lain termasuk

Indonesia (Umniyatie, 2010). EM4 merupakan kultur campuran dari beberapa

mikroorganisme yang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman, yang terdiri

dari lima kelompok mikroorganisme yaitu ragi (Saccharomyces sp.), bakteri

fotosintetik (Rhodopseudomonas), jamur fermentasi, bakteri asam laktat

(Lactobacillus sp.), dan Actinomycetes (Adiprakoso, 2012). Menurut Nita (2013),

EM4 memiliki fungsi untuk mengaktifkan bakteri pelarut, meningkatkan

kandungan humus tanah sehingga mampu memfermentasikan bahan organik

menjadi asam amino, mengikat nitrogen dari udara, menghasilkan senyawa yang

berfungsi antioksidan, dapat menekan bau pada sampah serta dapat

menggemburkan tanah. Adapun menurut Yuniwati dkk. (2012) fungsi dari lima

kelompok mikroorganisme yang terdapat di dalam EM4 adalah sebagai berikut.

a. Bakteri Fotosintetik (Rhodopseudomonas)

Bakteri ini berperan dalam membentuk senyawa-senyawa bermanfaat dari

sekresi akar tumbuhan, bahan organik dan gas-gas berbahaya dengan sinar

matahari dan panas bumi sebagai sumber energi. Zat-zat bermanfaat yang
19

terbentuk antara lain asam amino, asam nukleat, zat bioaktif dan gula yang

semuanya berfungsi mempercepat pertumbuhan. Selain itu, dapat meningkatkan

pertumbuhan mikroorganisme lainnya.

b. Bakteri asam laktat (Lactobacillus sp.)

Bakteri ini dapat menekan mikroorganisme yang merugikan karena

memiliki sifat sterilizer (kemandulan), mampu meningkatkan percepatan

perombakan bahan organik, menghancurkan bahan organik seperti lignin dan

selulosa serta memfermentasikannya tanpa menimbulkan senyawa beracun yang

ditimbulkan dari pembusukan bahan organik.

c. Ragi / Yeast (Saccharomyces sp.)

Ragi dapat menghasilkan zat anti bakteri dan bermanfaat bagi pertumbuhan

tanaman dari asam amino dan gula yang dikeluarkan oleh bakteri fotosintetik atau

bahan organik dan akar-akar tanaman melalui proses fermentasi. Selain itu,

menghasilkan zat-zat bioaktif seperti hormon dan enzim untuk meningkatkan

jumlah sel aktif dan perkembangan akar. Sekresi ragi adalah substrat yang baik

untuk bakteri asam laktat dan Actinomycetes.

d. Actinomycetes

Actinomycetes menghasilkan zat-zat anti mikroba dari asam amino yang

dihasilkan bakteri fotosintetik. Zat-zat anti mikroba ini menekan pertumbuhan

jamur dan bakteri. Actinomycetes hidup berdampingan dengan bakteri fotosintetik

bersama-sama meningkatkan mutu lingkungan tanah dengan cara meningkatkan

aktivitas anti mikroba tanah.


20

e. Jamur Fermentasi

Jamur fermentasi diantaranya Aspergillus sp. dan Penicilium sp., jamur

tersebut dapat menguraikan bahan secara cepat untuk menghasilkan alkohol, ester

dan zat-zat anti mikroba. Pertumbuhan jamur ini membantu menghilangkan bau

dan mencegah serangan hama yang merugikan dengan cara menekan ketersediaan

makanannya. Mikroba ini merupakan mikroba paling penting dalam EM4 karena

selain dapat mendukung aktivitas mikroorganisme lain mikroba ini juga

memanfaatkan zat yang dihasilkan mikroba lain.

2.3 Jenis dan Sumber Bahan Kompos

Semua jenis bahan organik berbentuk padat dapat dikomposkan, bahan

organik tersebut dapat terurai secara alami dengan bantuan mikroba pengurai.

Menurut Setyorini dkk. (2006), bahan yang dapat dikomposkan diantaranya sisa

tanaman pertanian (jerami, brangkasan, sekam padi, kulit kacang tanah, ampas

tebu dan belotong), pupuk kandang (kotoran sapi, kerbau, ayam, itik dan kuda)

serta pupuk hijau. Selain itu dapat digunakan pula limbah kota, sampah rumah

tangga serta limbah industri. Idealnya bahan baku sebaiknya dipilih dan dicampur

dalam proporsi tepat untuk menghasilkan karakteristik yang sesuai (Djaja dkk.,

2003). Kandungan air dan C/N rasio adalah karakteristik bahan baku yang

sebaiknya diperhatikan, dalam Tabel 1 dapat dilihat karakteristik bahan baku yang

sesuai dalam pengomposan.


21

Tabel 1. Karakteristik Bahan Baku Untuk Proses Pengomposan


Rentangan
Karakteristik
Baik Ideal
C/N rasio 20:1 – 40:1 25:1 – 30:1
Kandungan air 40 – 65% 50 – 60%
Konsentrasi oksigen > 5% > 5%
Ukuran partikel (inchi) 1/8 – ½ Bervariasi
pH 5,5 – 9,0 6,5 – 8,5
Densitas (lbs/yard3) <1100b -
Temperatur (oC) 43 – 65,5 54 – 60
Sumber : Djaja dkk., 2003.

2.3.1 Kotoran Hewan

Pupuk organik yang terbuat dari pupuk kandang merupakan bahan

pembenah tanah yang paling baik dibanding bahan pembenah lainnya (Sutanto,

2002). Menurut Hartatik dan Widowati (2006) pupuk kandang dapat didefinisikan

sebagai semua produk buangan dari hewan ternak yang dapat digunakan untuk

menambah hara, memperbaiki sifat fisik, dan biologi tanah. Pupuk kandang dapat

berbentuk padat maupun cair, namun biasanya bentuk padat lebih sering

digunakan untuk dikomposkan dengan campuran bahan lain seperti limbah

pertanian. Ketersediaan hara di dalam pupuk kandang umumnya rendah. Hal ini

disebabkan karena bentuk unsur N, P serta unsur lain terdapat dalam bentuk

senyawa kompleks organo protein atau senyawa asam humat atau lignin yang sulit

terdekomposisi. Selain mengandung hara bermanfaat, pupuk kandang juga

mengandung bakteri saprolitik, pembawa penyakit, dan parasit mikroorganisme

yang dapat membahayakan hewan atau manusia (Setyorini dkk., 2006). Kotoran

hewan lebih kaya akan berbagai unsur hara dan kaya akan mikroba, dibanding
22

dengan limbah pertanian (Hapsari, 2013). Berikut kandungan unsur hara dari

beberapa jenis pupuk kandang.

Tabel 2. Kandungan Unsur Hara Beberapa Pupuk Kandang


Sumber Kandungan Unsur Hara (ppm)
Pukan N P K Ca Mg S Fe
Sapi perah 0,53 0,35 0,41 0,28 0,11 0,05 0,004
Sapi 0,65 0,15 0,30 0,12 0,10 0,09 0,004
pedaging
Kuda 0,70 0,10 0,58 0,79 0,14 0,07 0,010
Unggas 1,50 0,77 0,89 0,30 0,88 0,00 0,100
Domba 1,28 0,19 0,93 0,59 0,19 0,09 0,020
Sumber: Hartatik dan Widowati (2006)

Salah satu pupuk kandang yang sering digunakan sebagai pupuk organik

salah satunya yaitu kotoran sapi. Kotoran sapi merupakan salah satu jenis pupuk

kandang yang dapat dijadikan sebagai pupuk organik yang mampu menambah

unsur hara serta sebagai energi bagi aktivitas mikroorganisme. Seekor sapi muda

akan memproduksi 15-30 kg kotoran per hari, kotoran yang baru dihasilkan sapi

tidak dapat langsung diberikan sebagai pupuk tanaman, tetapi harus mengalami

proses pengomposan terlebih dahulu (Prihandini dan Purwanto, 2007). Hara

dalam pupuk kandang tidak mudah tersedia bagi tanaman, ketersediaan haranya

sangat dipengaruhi oleh tingkat dekomposisi/mineralisasi dari bahan tersebut

(Hartatik dan Widowati, 2006). Hapsari (2013), melaporkan bahwa kotoran sapi

sebagai pupuk tidak mudah hilang dalam tanah karena merupakan kotoran dingin,

dimana perubahan-perubahan dalam menyediakan unsur hara tersedia bagi

tanaman berlangsung perlahan-lahan (release). Kotoran sapi padat memiliki

0,40% N, 0,20% P2O5, 0,10% K2O serta memiliki kadar air 85% (Suyono dkk.,
23

2008). Selain itu menurut Windyasmara dkk. (2012), feses sapi mengandung

hemisellulosa sebesar 18,6%, sellulosa 25,2% serta lignin 20,2%. Unsur hara yang

terkandung pada kotoran sapi cukup kaya, karena jenis pakan yang digunakan

cukup memiliki sumber hara yang memadai, sehingga baik digunakan sebagai

campuran dalam pembuatan pupuk organik (Hapsari, 2013).

Prihandini dan Purwanto (2007) melaporkan terdapat beberapa alasan

mengapa bahan organik seperti kotoran sapi perlu dikomposkan sebelum

dimanfaatkan sebagai pupuk tanaman antara lain adalah : 1) bila tanah

mengandung cukup udara dan air, penguraian bahan organik berlangsung cepat

sehingga dapat mengganggu pertumbuhan tanaman, 2) penguraian bahan segar

hanya sedikit sekali memasok humus dan unsur hara ke dalam tanah, 3) struktur

bahan organik segar sangat kasar dan daya ikatnya terhadap air kecil, sehingga

bila langsung dibenamkan akan mengakibatkan tanah menjadi sangat remah, 4)

kotoran sapi tidak selalu tersedia pada saat diperlukan, sehingga pembuatan

kompos merupakan cara penyimpanan bahan organik sebelum digunakan sebagai

pupuk.

2.3.2 Serasah Daun

Serasah merupakan bahan organik yang berasal dari tumbuhan yang

terdapat di atas permukaan tanah dan tersusun oleh bahan-bahan yang sudah mati

(Dita, 2007). Serasah dari pepohonan dan tanaman, seperti dedaunan dan ranting,

memiliki komposisi selulosa sebesar 45% dari berat kering bahan. Sedangkan

hemiselulosa menempati 20-30% dan sisanya adalah lignin (Perez et al., 2002).
24

Dita (2007) melaporkan bahwa komponen yang membentuk lapisan serasah

tumbuhan tidak homogen, tetapi tersusun atas campuran organ-organ tumbuhan

seperti daun 72 %, kayu 16 %, serta bunga dan buah 2 %. Kehilangan tahunan

dari daun, ranting, bunga, buah dan serpihan kulit kayu merupakan bagian utama

dari jatuhan serasah pada ekosistem hutan. Sekitar 70 % dari total serasah di

permukaan tanah berupa serasah daun.

Serasah yang jatuh akan mengalami dekomposisi alami yang melibatkan

peran mikroorganisme seperti bakteri dan fungi (Hanum dan Kuswytasari, 2014).

Jaringan tumbuhan akan terdekomposisi lebih lama dari jaringan hewan karena

sebagian besar tersusun atas air 60-90%, padatan sekitar 25%, hidrat arang 60%,

protein 10%, lignin 10-30%, lemak 1-8%, karbon 44%, oksigen 40% dan hidogen

8% (Hariyadi, 2003). Informasi tentang kandungan kimiawi serasah sangat

penting untuk mengetahui kualitas serasah, sehingga dapat dilakukan estimasi

terhadap proses dekomposisinya. Semakin baik kualitas serasah, semakin cepat

proses dekomposisi yang terjadi (Rindyastuti dan Damayanti, 2010).

Timbunan serasah daun ini sangat bermanfaat untuk kesuburan tanah,

dimana jumlah timbunan serasah daun ini bergantung pada laju produksi dan laju

penguraiannya. Sedangkan laju penguraian serasah bergantung kepada kondisi

lingkungan dan kualitas serasah tersebut (Nurliah, 2001). Penggunaan serasah

daun sebagai bahan kompos memiliki banyak manfaat, menurut Fitriadi dan

Rahmanto (2007) penggunaan kompos dari serasah daun dapat menghemat air,

mencegah erosi, menghambat pertumbuhan gulma, menjaga sari-sari makanan

dalam tanah terhadap pencucian dan penghanyutan oleh air hujan. Selain itu,
25

pupuk serasah dapat menjaga keseimbangan suhu tanah dengan lapisan udara

dekat tanah, menjaga tekstur tanah agar tetap remah dan tidak cepat padat,

mencegah timbulnya penyakit serta menjadi sumber humus. Pada proses

pengomposan, dekomposisi bagian dari tumbuhan akan mempengaruhi

kandungan kompos yang dihasilkan karena tumbuhan mengembalikan nutrisinya

ke tanah berupa bahan organik melalui proses tersebut (Rindyastuti dan

Damayanti, 2010).

2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengomposan

2.4.1 C/N Rasio


C/N rasio sangat berperan penting dalam proses pengomposan karena

berkaitan dengan mikroorganisme yang akan menguraikan bahan organik. C/N

rasio merupakan salah satu ukuran yang mengindikasikan tingkat dekomposisi

bahan organik (Refliaty dkk., 2011). Pada proses pengomposan C/N rasio bahan

organik yang efektif untuk dikomposkan berkisar antara 30: 1 hingga 40:1. Pada

kondisi tersebut, mikroorganisme akan mendapatkan cukup C kemudian senyawa

C tersebut akan dipecahkan sebagai sumber energi untuk pertumbuhannya dan

cukup N yang akan digunakan untuk sintesis protein. Apabila rasio C/N terlalu

tinggi, mikroorganisme akan kekurangan N untuk sintesis protein sehingga

dekomposisi berjalan lambat (Yenie dan Komalasari, 2011). Mikroorganisme

akan membutuhkan karbon lebih banyak daripada nitrogen. Namun jika terlalu

banyak karbon, dekomposisi melambat saat nitrogen terpakai habis dan beberapa

organisme akan mati (Mundiatun, 2013). Jika C/N rasio bahan yang dikomposkan

terlalu besar atau terlalu kecil akan mengganggu kegiatan biologis proses
26

dekomposisi. Bahan berkadar C/N rasio yang tinggi bisa menyebabkan timbunan

membusuk perlahan-lahan karena mikroorganisme utama yang aktif pada suhu

rendah adalah jamur. Hal ini berarti dalam pembuatan kompos dari bahan-bahan

yang keras harus di campur dengan bahan-bahan yang lunak (Setyorini dkk.,

2006).

Pada saat dekomposisi berlangsung mikroorganisme juga akan

membentuk sel baru dengan menggunakan nitrogen yang tersimpan.

Mikroorganisme akan mengikat nitrogen jika ketersediaan C sebagai energinya

mencukupi. Namun jika kandungan C berkebihan (C/N > 40) jumlah N akan

terbatas sehingga menjadi faktor pembatas pertumbuhan mikroorganisme

sehingga proses dekomposisi terhambat (Sutanto, 2002). Kecepatan kehilangan C

akan lebih cepat daripada N. Proses pengomposan bertujuan untuk memperoleh

C/N rasio yang imbang dengan C/N rasio tanah sehingga pada saat tersebut

didapatkan C/N rasio yang rendah (10-20). Apabila C/N rasio sudah mencapai

angka tersebut, artinya proses dekomposisi sudah mencapai tingkat akhir atau

kompos sudah matang (Mundiatun, 2013). Perubahan C/N rasio selama

pengomposan menunjukkan adanya penurunan seiring bertambahnya waktu

(Suyono dkk., 2008).

2.4.2 Kadar Air


Pada proses pengomposan mikroorganisme membutuhkan air untuk

substansi transportasi dan nutrien bahan organik. Sehingga dengan adanya air

maka bahan-bahan organik tersebut dapat diuraikan oleh mikroorganisme. Kadar


27

air kompos diperoleh dari penguraian bahan organik menjadi karbondioksida, uap

air dan kompos (Arumsari dkk., 2012).

Proses pengomposan berjalan baik pada kadar air awal bahan sekitar 50 -

60% (Setyorini dkk., 2006). Jika campuran bahan kompos memiliki kadar air

yang rendah maka penguraian bahan organik akan berjalan lambat dan kurang

sempurna. Sebaliknya jika terlalu tinggi, kondisi kompos akan berubah menjadi

anaerob yang akan mengganggu aktivitas mikroorganisme pengurai. Apabila

kadar air meningkat menjadi 80% pada saat 20 - 25 hari pengomposan maka

proses pengomposan akan menjadi anaerobik (Mundiatun, 2013). Semakin basah

timbunan kompos, harus makin sering diaduk atau dibalik untuk menjaga dan

mencegah pembiakan bakteri anaerobik (Setyorini dkk., 2006). Hal ini dilakukan

karena apabila kadar air berlebih maka bahan kompos akan memadat sehingga

mengurangi aliran oksigen yang masuk sehingga menyebabkan terjadi proses

anaerobik dan mikroorganisme menjadi dorman dan mati (Suyono dkk., 2008).

Mikroorganisme dapat memanfaatkan bahan organik apabila bahan organik

tersebut larut dalam air, namun jika kadar air > 60% maka hara akan tercuci dan

volume udara berkurang sehingga aktivitas mikroorganisme menurun (Alex,

2012).

2.4.3 Suhu
Suhu sangat penting dalam proses pembuatan kompos agar proses

dekomposisi dapat berjalan dengan sempurna. Suhu merupakan indikator dari

aktivitas mikroorganisme. Suhu optimum untuk proses pengomposan yaitu 45-

60oC. Suhu yang lebih tinggi dari 60oC akan mengakibatkan kehilangan N-NH3
28

yang cukup tinggi dan beberapa mikroorganisme dekomposer akan mati sehingga

menyebabkan laju dekomposisi bahan organik berlangsung lebih lambat (Suyono

dkk., 2008). Semakin tinggi suhu akan semakin banyak konsumsi oksigen dan

akan semakin cepat pula proses dekomposisi. Peningkatan suhu dapat terjadi

dengan cepat pada tumpukan kompos (Mundiatun, 2013). Suhu tersebut

dihasilkan dari aktivitas metabolisme mikroorganisme yang menimbulkan energi

panas (Yusra, 2010).

Pada kondisi suhu kurang optimum, mikroorganisme yang hidup pada

kondisi panas tidak akan berkembang baik. Panas yang terlalu tinggi juga akan

mengakibatkan terbunuhnya mikroorganisme yang diinginkan. Sedang

kekurangan udara mengakibatkan tumbuhnya bakteri anaerobik yang

menyebabkan bau tidak sedap pada tumpukan kompos (Setyorini dkk., 2006).

Suhu panas dihasilkan melalui respirasi mikroorganisme saat mendekomposisi

bahan organik, pada proses pengomposan aerobik dibutuhkan suhu yang tinggi

namun kondisi suhu yang tinggi dalam periode yang panjang harus dihindari agar

pengomposan berlangsung cepat (Suyono dkk., 2008).

Apabila memungkinkan sebaiknya dipertahankan suhu 55oC terus menerus

selama 2 minggu saat proses dekomposisi berlangsung baik (Sutanto, 2002). Pada

kondisi tersebut mikroorganisme dapat tumbuh tiga kali lipat dibandingkan

dengan suhu yang kurang dari 55oC. Selain itu, pada suhu tersebut juga dihasilkan

enzim yang paling efektif dalam mendekomposisi bahan organik. Penurunan C/N

rasio juga dapat berjalan dengan sempurna pada kondisi tersebut (Djuarnani dkk.,

2005). Suhu harus mengalami peningkatan saat awal dekomposisi berlangsung


29

dan sejalan dengan populasi mikroorganisme. Jika suhu rendah dan tidak

mengalami peningkatan menunjukkan dekomposisi kurang baik. Hal ini dapat

terjadi karena kurangnya aerasi, karbon atau nitrogen yang kurang memadai

kelembaban rendah atau pH rendah. Selain itu, bisa disebabkan pula akibat

pencampuran bahan kompos yang tidak merata serta populasi mikroorganisme

yang rendah (Graves et al., 2010). Menurut Hutabarat (2010) jika terjadi

kegagalan untuk mencapai suhu pada fase termofilik dalam jangka waktu 3-6 hari

maka hal ini disebabkan karena timbunan terlalu tipis untuk mempertahankan

panas, kelembaban yang berlebihan, C/N rasio bahan organik terlalu rendah

ataupun hara yang dikandung kompos terlalu rendah.

2.4.4 Mikroorganisme Pengurai

Mikroorganisme merupakan faktor yang sangat berperan dalam

dekomposisi bahan organik selama pengomposan. Populasi mikroorganisme

sangat menentukan kecepatan pelapukan bahan organik (Etika, 2007). Tabel 3

menunjukkan beberapa organisme yang berperan dalam proses pengomposan

diantaranya mikroflora, mikrofauna, makroflora dan makrofauna. Adapun

mikrooganisme utama yang terlibat dalam pengomposan yaitu bakteri, fungi dan

actinomycetes yang populasinya cukup tinggi. Populasi dapat meningkat ataupun

berkurang sesuai dengan kondisi yang baik bagi suatu spesies mikroba. Pada awal

pengomposan bakteri dan fungi yang paling aktif kemudian actinomycetes akan

lebih dominan pada tahap selanjutnnya. Pada saat suhu 65oC peran bakteri dan

actinomycetes akan lebih besar sedangkan fungi dan mikroorganisme lainnya


30

tidak berperan. Fungi berperan dalam perombakan selulosa, 60% dari bahan

kompos biasanya mengandung selulosa. Sehingga aktivitas dekomposisi fungi

harus ditingkatkan, fungi dapat beraktivitas baik pada suhu 50oC (Suyono dkk.,

2008). Selain itu, fungi dapat berkembang pada kondisi lingkungan yang masam

yang bersifat aerobik, dan perkembangannya akan menurun jika kelembaban

terlalu tinggi (Firmansyah, 2010).

Tabel 3. Organisme yang Berperan dalam Proses Pengomposan


Kelompok Organisme Organisme Jumlah/g Kompos
Mikroflora Bakteri 108-109
Aktinomicetes 105-108
Kapang 104-106
Mikrofauna Protozoa 104-105
Makroflora Jamur tingkat tinggi
Makrofauna Cacing tanah, rayap,
semut, kutu dll
Sumber: Isroi (2008)

Berdasarkan suhu yang sesuai untuk metabolisme dan pertumbuhannya,

mikroorganisme diklasifikasikan dalam tiga kategori, yaitu Psychrophiles

(mikroba temperatur rendah) yang hidup pada suhu < 20oC, Mesophiles (mikroba

temperatur sedang) yang hidup pada suhu antara 25 - 40oC, dan Thermophiles

(mikroba temperatur tinggi) yang hidup pada suhu diatas 65oC (Mundiatun, 2013).

Jika dilihat dari fungsinya, mikroorganisme mesofilik berfungsi untuk

memperkecil ukuran partikel bahan organik sehingga luas permukaan bahan

bertambah sedangkan mikroorganisme termofilik berfungsi untuk mengonsumsi

karbohidrat dan protein sehingga bahan kompos dapat terdegradasi dengan cepat

Djuarnani dkk., 2005). Adapun organisme lainnya seperti actinomycetes, lipan,


31

kecoa, laba-laba dan cacing tanah akan membantu dalam fase terakhir yaitu fase

pematangan kompos. Pada fase pematangan akan terjadi penurunan suhu dan

secara progresif mikroorganisme termofil akan menghilang kemudian

mikroorganisme mesofil akan aktif kembali. Fase ini berlangsung terus menerus

hingga fase penyimpanan yang fase pematangan kompos (maturasi) sehingga

kompos lama kelamaan bersifat humus.

Mikroorganisme kelompok Mesophilic dan Thermophilic melangsungkan

proses pencernaan secara kimiawi, dimana bahan organik dilarutkan dan

kemudian diuraikan. Mekanisme pencernaan tersebut yaitu dengan mengeluarkan

enzim yang dilarutkan ke dalam selaput air yang melapisi bahan organik, enzim

tersebut berfungsi untuk menguraikan bahan organik menjadi unsur-unsur yang

dibutuhkan oleh mikroba tersebut (Mundiatun, 2013).

Selain itu, mikroorganisme juga membutuhkan nutrien untuk mendukung

pertumbuhannya. Nutrien tersebut dapat berupa unsur-unsur atau senyawa kimia

dari lingkungan digunakan sel sebagai konstituen kimia penyusun sel. Secara

umum, nutrien yang diperlukan dalam bentuk karbon, nitrogen, sulfur, fosfor,

kalium, magnesium, natrium, kalsium, nutrien mikro dan vitamin (Hutabarat,

2010).

Anda mungkin juga menyukai