Laporan Kasus IGD - SNAKE BITE
Laporan Kasus IGD - SNAKE BITE
Laporan Kasus IGD - SNAKE BITE
SNAKE BITE
Disusun oleh:
dr. Leny Purnamasari
Pembimbing:
dr. Sumirati
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : An. MI
Umur : 15 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Tapin Tengah
No. CM : 444010
Tanggal masuk : 03-Juni-2021
II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Nyeri pada kaki kiri setelah digigit ular sejak 1 jam SMRS
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien rujukan dari RS Datu Sanggul Rantau datang ke
IGD RS dengan keluhan nyeri pada kaki kiri nyeri
setelah tergigit ular sekitar 1 jam sebelum masuk
Rumah Sakit, Penderita mengatakan digigit ular
berwarna hijau saat sedang membersihkan kebun.
Lokasi gigitan di punggung kiri. Terasa nyeri dan panas
pada lokasi gigitan bengkak (+) di tempat gigitan,
pusing (-), Mual (+) , muntah 1x, perdarahan di tempat
gigitan (+) tidak aktif, jantung berdebar-debar (-),
lemah anggota tubuh (-), kencing berwarna merah atau
hitam (-), gusi berdarah (-), pendarahan konjungtiva (-).
C. Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat tergigit ular sebelumnya : disangkal
- Riwayat merokok : disangkal
- Riwayat diabetes : disangkal
- Riwayat sakit asma : disangkal
2
- Riwayat hipertensi : disangkal
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat sakit serupa : disangkal
Riwayat Diabetes : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
3
E. Riwayat Pekerjaan
Pasien merupakan seorang pelajar SMP dengan aktifitas sehari-hari pergi
ke sekolah dan sesekali bermain di area kebun rumah.
F. Riwayat pengobatan :
Pasien belum berobat kemana mana, di rumah luka hanya dibersihkan
dengan air mengalir.
A. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : sakit ringan
Kesadaran : compos
mentis
Tanda vital
Tekanan darah : 119/ 87 mmHg
Nadi : 93 kali/ menit, regular, kuat angkat
Cor
Inspeksi : ictus cordis tak tampak
4
Palpasi : ictus cordis di SIC V LMC Sinistra
Status lokalis :
Region palmaris dextra
Inspeksi : Pada regio dorsum pedis sinistra, tampak jejas (+), dua
buah bekas gigitan, luka panjang ± 0,5 cm, tampak edema
(+) hiperemi (+), sianosis (-)
Palpasi : nyeri tekan (+), capillary refill time < 2 detik
5
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Laboratorium Darah
IV. RESUME
V. DIAGNOSIS KERJA
Snake bite
VI. PENATALAKSANAAN
Imobilisasi kaki kiri hingga lutut
Drip SABU 1 vial dalam 100 cc NACL 0,9 % dengan kecepatan 20 tts/menit
Inj. Ketorolac 1 ampul
Inj. Ranitidin 1ampul
Inj. Dexamethasone 1 ampul
VII. PLANNING
Konsul dokter spesialis bedah :
Advice: MRS, terapi lanjut
Edukasi :
Diagnosis penyakit, komplikasi yang dapat terjadi, dan efek
samping obat dan prognosis
Motivasi untuk menghindari area yang sekiranya digunakan
sebagai tempat bersarang ular
Motivasi agar segera dibawa ke rumah sakit jika tergigit
ular lagi atau ada keluarga/ tetangga yang tergigit ular
VIII. PROGNOSIS
Ad vitam : bonam
Ad sanam : bonam
Ad fungsional : bonam
7
IX. FOLLOW UP
SUBYEKTIF Kaki kiri digigit ular 1 jam Kaki kiri nyeri (+) edema (+)
Sebelum masuk rumah sakit. mual (-), muntah (-) sesak (-)
Kaki kiri terasa nyeri, dan panas lemas (-)
di tempat gigitan, bengkak (+) di
tempat gigitan, pusing (-), Mual
(-)perdarahan di tempat gigitan
(+) tidak aktif, jantung berdebar-
debar (-), lemah anggota tubuh
(-), kencing berwarna merah
atau hitam (-), gusi berdarah (-),
pendarahan konjungtiva (-).
Status lokalis :
8
WBC: 8,51 x 103/ µL
HCT : 39 %
MCH: 23.9 pg
MCV: 70.5 Fl
RDW-SD: 41.9 fL
Konsul TS BEDAH
9
10
LAMPIRAN FOTO KLINIS DAN RONTGEN THORAX
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Gigitan ular adalah cedera yang disebabkan oleh gigitan dari ular baik
ular berbisa ataupun tidak berbisa. Akibat dari gigitan ular tersebut dapat
menyebabkan kondisi medis yang bervariasi, yaitu:
a. Kerusakan jaringan secara umum, akibat dari taring ular
b. Perdarahan serius bila melukai pembuluh darah besar
c. Infeksi akibat bakteri sekunder atau patogen lainnya dan peradangan
d. Pada gigitan ular berbisa, gigitan dapat menyebabkan envenomisasi
13
1. Familli Colubridae, kebanyakan ular berbisa masuk dalam famili ini,
misalnya ular pohon, ular sapi (Zaocys carinatus), ular tali (Dendrelaphis
pictus), ular tikus atau ular jali (Ptyas korros), dan ular serasah (Sibynophis
geminatus). Pada umumnya bisa yang dihasilkannya bersifat lemah.
2. Famili Elapidae memiliki taring pendek dan tegak permanen misalnya ular
cabai (Maticora intestinalis), ular weling (Bungarus candidus), ular sendok
(Naja sumatrana), dan ular king kobra (Ophiophagus hannah), ular welang,
ular anang dan ular cabai.
14
3. Familli Crotalidae/ Viperidae memiliki taring panjang yang secara normal
dapat dilipat ke bagian rahang atas, tetapi dapat ditegakkan bila sedang
menyerang mangsanya.Ada dua subfamili pada Viperidae, yaitu Viperinae
dan Crotalinae. Crotalinae memiliki organ untuk mendeteksi mangsa
berdarah panas (pit organ), yang terletak di antara lubang hidung dan
mata.misalnya adalah ular bandotan (Vipera russelli), ular tanah
(Calloselasma rhodostoma), dan ular bangkai laut (Trimeresurus
albolabris), ular hijau dan ular bandotan puspo.
15
4. Familli Hydrophidae, misalnya ular laut.
Ketiga family ular berbisa yang disebutkan terakhir ini memiliki jenis bisa
kuat yang terdapat di Indonesia.
C. Bisa Ular
Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan
mangsa dan sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut
merupakan ludah yang termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar khusus.
Kelenjar yang mengeluarkan bisa merupakan suatu modifikasi kelenjar ludah
parotid yang terletak di setiap bagian bawah sisi kepala di belakang mata. Bisa
17
ular tidak hanya terdiri atas satu substansi tunggal, tetapi merupakan campuran
kompleks, terutama protein, yang memiliki aktivitas enzimatik5.
Bisa ular mengandung lebih dari 20 unsur penyusun, sebagian besar
adalah protein, termasuk enzim dan racun polipeptida. Berikut beberapa unsur
bisa ular yang memiliki efek klinis:
a. Enzim prokoagulan (Viperidae) dapat menstimulasi pembekuan darah namun
dapat pula menyebabkan darah tidak dapat berkoagulasi. Bisa dari ular Russel
mengandung beberapa prokoagulan yang berbeda dan mengaktivasi langkah
berbeda dari kaskade pembekuan darah. Akibatnya adalah terbentuknya fibrin
di aliran darah. Sebagian besar dapat dipecah secara langsung oleh sistem
fibrinolitik tubuh. Segera, dan terkadang antara 30 menit setelah gigitan,
tingkat faktor pembekuan darah menjadi sangat rendah (koagulopati
konsumtif) sehingga darah tidak dapat membeku.
b. Haemorrhagins (zinc metalloproteinase) dapat merusak endotel yang meliputi
pembuluh darah dan menyebabkan perdarahan sistemik spontan (spontaneous
systemic haemorrhage).
c. Racun sitolitik atau nekrotik – mencerna hidrolase (enzim proteolitik dan
fosfolipase A) racun polipentida dan faktor lainnya yang meningkatkan
permeabilitas membran sel dan menyebabkan pembengkakan setempat.
Racun ini juga dapat menghancurkan membran sel dan jaringan.
d. Phospholipase A2 haemolitik and myolitik – memerankan perana penting
pada hemolisis sekunder untuk efek eritrolisis pada membrane sel darah
merah dan menyebabkan nekrosis otot
e. Phospolipase A2 Neurotoxin pre-synaptik (Elapidae dan beberapa Viperidae)
– merupakan phospholipases A2 yang merusak ujung syaraf, pada awalnya
melepaskan transmiter asetilkolin lalu meningkatkan pelepasannya.
f. Post-synaptic neurotoxins (Elapidae) –polipeptida ini bersaing dengan
asetilkolin untuk mendapat reseptor di neuromuscular junction dan
menyebabkan paralisis yang mirip seperti paralisis kuraonium2. Bisa ular
terdiri dari beberapa polipeptida yaitu fosfolipase A, hialuronidase, ATP-ase,
5 nukleotidase, kolin esterase, protease, fosfomonoesterase, RNA-ase, DNA-
18
ase. Enzim ini menyebabkan destruksi jaringan lokal, bersifat toksik terhadap
saraf, menyebabkan hemolisis atau pelepasan histamin sehingga timbul reaksi
anafilaksis. Hialuronidase merusak bahan dasar sel sehingga memudahkan
penyebaran racun6.
Berdasarkan patofisiologis yang dapat terjadi pada tubuh korban, efek bisa
ular/ sifat bisa ular dapat dibedakan menjadi:
a. Bisa hemotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi jantung dan sistem
pembuluh darah. Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah, yaitu bisa ular
yang menyerang dan merusak (menghancurkan) sel-sel darah merah dengan
jalan menghancurkan stroma lecethine (dinding sel darah merah), sehinggga
sel darah merah menjadi hancur dan larut (hemolysis) dan keluar menembus
pembuluh-pembuluh darah, mengakibatkan timbulnya perdarahan pada
selaput mukosa (lendir) pada mulut, hidung, tenggorokan, dan lain-lain.
b. Bisa neurotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi sistem saraf dan otak. Yaitu
bisa ular yang merusak dan melumpuhkan jaringan-jaringan sel saraf sekitar
luka gigitan yang menyebabkan jaringan-jaringan sel saraf tersebut mati
dengan tanda-tanda kulit sekitar luka tampak kebiruan dan hitam (nekrotik).
Penyebaran dan peracunan selanjutnya mempengaruhi susunan saraf pusat
dengan jalan melumpuhkan susunan saraf pusat, seperti saraf pernapasan dan
jantung. Penyebaran bisa ular ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe.
c. Bisa sitotoksik, yaitu bisa yang hanya bekerja pada lokasi gigitan.
Bisa ular diproduksi dan disimpan dalam sepasang kelenjar yang berada di
bawah mata. Bisa dikeluarkan dari taring berongga yang terletak di rahang
atasnya. Taring ular dapat tumbuh hingga 20 mm pada rattlesnake besar.
Dosis bisa ular tiap gigitan bergantung pada waktu yang terlewati sejak
gigitan pertama, derajat ancaman yang diterima ular, serta ukuran mangsanya.
Lubang hidung merespon terhadap emisi panas dari mangsa, yang dapat
memungkinkan ular untuk mengubah jumlah bisa yang dikeluarkan.
19
Bisa biasanya berupa cairan. Protein enzimatik pada bisa menyalurkan
bahan-bahan penghancurnya. Protease, kolagenase, dan arginin ester hidrolase
telah diidentifikasi pada bisa pit viper. Efek lokal dari bisa ular merupakan
penanda potensial untuk kerusakan sistemik dari fungsi sistem organ. Salah satu
efeknya adalah perdarahan lokal, koagulopati biasanya tidak terjadi saat
venomasi. Efek lainnya, berupa edema lokal, meningkatkan kebocoran kapiler dan
cairan interstitial di paru-paru.
Mekanisme pulmoner dapat berubah secara signifikan. Efek akhirnya
berupa kematian sel yang dapat meningkatkan konsentrasi asam laktat sekunder
terhadap perubahan status volume dan membutuhkan peningkatan ventilasi. Efek
blokade neuromuskuler dapat menyebabkan perburukan pergerakan diafragma.
Gagal jantung dapat disebabkan oleh asidosis dan hipotensi. Myonekrosis
disebabkan oleh myoglobinuria dan gangguan ginjal7.
20
dingin, muntah, pandangan kabur, parestesia di sekitar mulut.
Kematian dapat terjadi dalam 24 jam.
B. Gigitan Viporidae/Crotalidae
Enzim prokoagulan viperidae dapat menstimulasi pembekuan darah
namun menyebabkan penurunan koagulasi darah. Contohnya racun Russell
viper mengandung beberapa prokoagulan yang mengaktifasi kaskade
pembekuan darah. Hasilnya menyebabkan pembentukan fibrin dalam darah.
Yang kemudian didegradasi oleh system fibrinolitik tubuh, sehingga system
fibrinolitik tubuh jumlahnya berkurang karena konsumsi tersebut atau
consumption coagulopathy. Efek racun viper yang lain menyebabkan efek
lokal yang hebat seperti nyeri, bengkak, bula, bengkak, nekrosis dan
kecenderungan perdarahan sistemik.
1. Gejala lokal timbul dalam 15 menit, setelah beberapa jam berupa bengkak
di dekat gigitan yang menyebar ke seluruh anggota tubuh.
2. Gejala sistemik muncul setelah 5 menit atau setelah beberapa jam
3. Keracunan berat ditandai dengan pembengkakan di atas siku dan lutut
dalam waktu 2 jam atau ditandai dengan perdarahan hebat.
21
C. Gigitan Hydropiridae
1. Segera timbul sakit kepala, lidah terasa tebal, berkeringat, dan muntah.
2. Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri
menyeluruh, dilatasi pupil, spasme otot rahang, paralisis otot,
mioglobinuria yang ditandai dengan urin berwarna coklat gelap (penting
untuk diagnosis), kerusakan ginjal, serta henti jantung.
E. Diagnosa
A. Anamnesis
Anamnesis yang tepat seputar gigitan ular serta progresifitas gejala
dan tanda baik lokal dan sistemik merupakan hal yang sangat penting.
Empat pertanyaan awal yang bermanfaat :
1. Pada bagian tubuh mana anda terkena gigitan ular?
Dokter dapat melihat secara cepat bukti bahwa pasien telah digigit ular
(misalnya, adanya bekas taring) serta asal dan perluasan tanda
envenomasi lokal.
2. Kapan dan pada saat apa anda terkena gigitan ular?
22
Perkiraan tingkat keparahan envenomasi bergantung pada berapa lama
waktu berlalu sejak pasien terkena gigitan ular. Apabila pasien tiba di
rumah sakit segera setelah terkena gigitan ular, bisa didapatkan
sebagian kecil tanda dan gejala walaupun sejumlah besar bisa ular telah
diinjeksikan. Bila pasien digigit ular saat sedang tidur, kemungkinan
ular yang menggigit adalah Kraits (ular berbisa), bila di daerah
persawahan, kemungkinan oleh ular kobra atau russel viper (ular
berbisa), bila terjadi saat memetik buah, pit viper hijau (ular berbisa),
bila terjadi saat berenang atau saat menyebrang sungai, kobra (air
tawar), ular laut (laut atau air payau).
3. Perlakuan terhadap ular yang telah menggigit anda?
Ular yang telah menggigit pasien seringkali langsung dibunuh dan
dijauhkan dari pasien. Apabila ular yang telah menggigit berhasil
ditemukan, sebaiknya ular tersebut dibawa bersama pasien saat datang
ke rumah sakit, untuk memudahkan identifikasi apakah ular tersebut
berbisa atau tidak. Apabila spesies terbukti tidak berbahaya (atau bukan
ular sama sekali) pasien dapat segera ditenangkan dan dipulangkan dari
rumah sakit.
4. Apa yang anda rasakan saat ini?
Pertanyaan ini dapat membawa dokter pada analisis sistem tubuh yang
terlibat. Gejala gigitan ular yang biasa terjadi di awal adalah muntah.
Pasien yang mengalami trombositopenia atau mengalami gangguan
pembekuan darah akan mengalami perdarahan dari luka yang telah
terjdi lama. Pasien sebaiknya ditanyakan produksi urin serta warna urin
sejak terkena gigitan ular. Pasien yang mengeluhkan kantuk, kelopak
mata yang serasa terjatuh, pandangan kabur atau ganda, kemungkinan
menandakan telah beredarnya neurotoksin.
B. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan Tanda Vital harus selalu dilakukan. Kemudian dicari
tanda bekas gigitan oleh ular berbisa. Tidak semua ular berbisa pada
23
waktu menggigit menginjeksikan bisa pada korbannya. Orang yang
digigit ular, meskipun tidak ada bisa yang diinjeksikan ke tubuhnya
dapat menjadi panik, nafas menjadi cepat, tangan dan kaki menjadi
kaku, dan kepala menjadi pening. Gejala dan tanda-tanda gigitan ular
akan bervariasi sesuai spesies ular yang menggigit dan banyaknya bisa
yang diinjeksikan pada korban. Gejala dan tanda-tanda tersebut antara
lain adalah tanda gigitan taring (fang marks), nyeri lokal, pendarahan
lokal, memar, pembengkakan kelenjar getah bening, radang, melepuh,
infeksi lokal, dan nekrosis jaringan (terutama akibat gigitan ular dari
famili Viperidae). Tanda dan Gejala Lokal pada daerah gigitan:
a. Tanda gigitan taring (fang marks)
b. Nyeri lokal
c. Perdarahan lokal
d. Kemerahan
e. Limfangitis
f. Pembesaran kelenjar limfe
g. Inflamasi (bengkak, merah, panas)
h. Melepuh
i. Infeksi lokal, terbentuk abses
j. Nekrosis
24
Tanda dan gejala sistemik2 :
a. Umum (general)
Mual, muntah, nyeri perut, lemah, mengantuk, lemas.
b. Kardiovaskuler (viperidae)
Gangguan penglihatan, pusing, pingsan, syok, hipotensi, aritmia jantung, edema
paru, edema konjunctiva (chemosis)
c. Perdarahan dan gangguan pembekuan darah (Viperidae)
Perdarahan yang berasal dari luka yang baru saja terjadi (termasuk perdarahan
yang terus-menerus dari bekas gigitan (fang marks) dan dari luka yang telah
menyembuh sebagian (oldrus-mene partly-healed wounds), perdarahan sistemik
spontan – dari gusi, epistaksis, perdarahan intrakranial (meningism, berasal dari
perdarahan subdura, dengan tanda lateralisasi dan atau koma oleh perdarahan
cerebral), hemoptisis, perdarahan perrektal (melena), hematuria, perdarahan
pervaginam, perdarahan antepartum pada wanita hamil, perdarahan mukosa
25
(misalnya konjunctiva), kulit (petekie, purpura, perdarahan diskoid, ekimosis),
serta perdarahan retina.
26
f. Sistem Perkemihan
Nyeri punggung bawah, hematuria, hemoglobinuria, myoglobinuria,
oligouria/anuria, tanda dan gejala uremia ( pernapasan asidosis, hiccups, mual,
nyeri pleura, dan lain-lain)
g. Gejala endokrin
Insufisiensi hipofisis/kelenjar adrenal yang disebabkan infark hipofisis anterior.
Pada fase akut : syok, hipoglikemia. Fase kronik (beberapa bulan hingga tahun
setelah gigitan) : kelemahan, kehilangan rambut seksual sekunder, kehilangan
libido, amenorea, atrofi testis, hipotiroidism
27
E. Penatatalaksanaan
1. Pertolongan pertama
Tujuan dari pertolongan pertama ini adalah untuk mengurangi penyerapan
racun (bisa ular), bantuan hidup dasar, dan mencegah komplikasi lebih lanjut.
Hal-hal yang harus dilakukan antara lain :
a. Tenangkan korban, karena panik akan membuat racun lebih cepat terserap
b. Imobilisasi ekstremitas yang terkena gigitan dengan bidai atau ikat dengan
kain (untuk memperlambat penyerapan racun)
c. Gunakan balut yang kuat, hal tersebut akan mengurangi penyerapan racun
yang bersifat neurotoksin, namun jangan gunakan pada gigitan yang
menyebabkan nekrosis
d. Jangan melakukan intervensi apapun pada luka, termasuk menginsisi,
kompres dengan es, ataupun pemberian obat apapun
e. Tidak direkomendasikan untuk mengikat arteri (pembuluh darah di
proksimal lesi)
f. Selalu utamakan keselamatan diri. Jangan mencoba membunuh ular yang
menggigit. Bila sudah mati, bawa ular ke RS untuk identifikasi 3
28
2. Perawatan Di Rumah Sakit
Hal-hal yang harus dilakukan di RS antara lain :
a. Lakukan pemeriksaan klinis secara cepat dan resusitasi termasuk ABC (airway,
breathing, circulation), penilaian kesadaran, dan monitoring tanda vital
b. Buat akses intravena, beri oksigen dan resusitasi lain jika diperlukan
c. Lakukan anamnesa yang meliputi bagian tubuh mana yang tergigit, waktu
terjadinya gigitan dan jenis ular
d. Lakukan pemeriksaan fisik :
- Bagian yang digigit untuk mencari bekas gigitan (fang marks), walaupun
terkadang bekas tersebut tidak tampak, bengkak ataupun nekrosis
- Palpasi arteri di distal lesi (untuk mengetahui ada tidaknya kompartemen
sindrom)
- Cari tanda-tanda perdarahan (gusi berdarah, perdarahan konjungtiva,
perdarahan di tempat gigitan)
- Cari tanda-tanda neurotoksisitas seperti ptosis, oftalmoplegi, paralisis
bulbar, hingga paralisis dari otot-otot pernapasan
- Khusus untuk ular laut terdapat tanda rigiditas pada otot
- Pemeriksaan urin untuk mioglobinuri
e. Lakukan pemeriksaan darah yang meliputi pemeriksaan darah rutin, tes fungsi
ginjal, PPT/PTTK, tes golongan darah dan cross match
f. Anamnesa ulang mengenai riwayat imunisasi, beri anti tetanus toksoid jika
merupakan indikasi
g. Rawat inap paling tidak selama 24 jam (kecuali jika ular yang menggigit
adalah jenis ular yang tidak berbisa)
29
a. Abnormalitas hemostatik, misalnya perdarahan sistemik spontan dan
trombositopeni (<100000)
b. Neurotoksisitas
c. Gangguang kardiovaskuler (hipotensi atau syok)
d. Rhabdomiolisis generalisata (rasa nyeri pada otot)
e. Gagal ginjal akut
f. Efek lokal yang signifikan, seperti misalnya pembengkakan lokal lebih dari
setengah besar ekstremitas yang terkena, nekrosis atau hematom yang luas,
atau bengkak yang membesar dengan cepat
g. Temuan laboratorium seperti anemia, trombositopeni, leukositosis, peningkatan
enzim hepar, hiperkalemia, dan mioglobinuri
30
c) Infus dapat dihentikan bila gejala menghilang walaupun dosis yang
direkomendasikan belum habis
d) Jangan lakukan uji sensitivitas
e) Jangan lakukan injeksi di tempat lesi
f) Persiapkan adrenalin, kortikosteroid, antihistamin, dan peralatan resusitasi
jika terjadi reaksi alergi
g) Dosis pertama sebanyak 2 vial @5 ml dalam NaCl atau Dextrose 5% dapat
diberikan sebagai infus dengan kecepatan 40-80 tetes per menit, lalu
diulang setiap 6 jam. Apabila diperlukan (misalnya gejala-gejala tidak
berkurang atau bertambah) antiserum dapat diberikan setiap 24 jam sampai
maksimal (80-100 ml). Antiserum yang tidak diencerkan dapat diberikan
langsusng sebagai suntikan intravena dengan sangat perlahan-lahan. Dosis
untuk anak-anak sama atau lebih besar daripada dosis untuk dewasa. Cara
lain adalah dengan menyuntikkan 2,5 ml secara infiltrasi di sekitar luka
dan 2,5 ml diinjeksikan secara intramuskuler atau intravena. Pada kasus
berat dapat diberikan dosis yang lebih tinggi. Penderita harus diamati
selama 24 jam untuk reaksi anafilaktik
Indikasi SABU adalah adanya gejala venerasi sistemik dan edema hebat
pada bagian luka. Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz dan Way
(Depkes, 2001):
Derajat 0 dan I tidak diperlukan SABU, dilakukan evaluasi dalam 12 jam,
jika derajat meningkat maka diberikan SABU
Derajat II: 3-4 vial SABU
Derajat III: 5-15 vial SABU
Derajat IV: berikan penambahan 6-8 vial SABU
31
Pedoman terapi SABU menurut Schwartz dan Way (Depkes, 2001):
33
c. Reaksi tipe lambat
- Terjadi kurang lebih seminggu kemudian
- Gejala serum like illness : demam, atralgia, limfadenopati
- Atasi dengan pemberian antihistamin (klorfeniramin 0,2
mg/kgBB/hari dibagi dalam 5 dosis
- Jika berat, beri prednisolon oral (0,7-1 mg/kgBB/hari) selam 5-7 hari
5. Terapi Suportif
a. Bersihkan luka dengan antiseptik
b. Analgesik
c. Antibiotik bila luka terkontaminasi atau nekrosis
d. Pemberian Anti Tetanus
e. Awasi kejadian kompartemen syndrome—nyeri, bengkak, perabaan distal
dingin, dan paresis
f. Buang jaringan nekrosis
g. Atasi keadaan gagal ginjal akut
34
d. Pemberian dosis yang lebih kecil pada anak-anak
Dosis berdasarkan jumlah racun yang masuk, bukan berdasarkan berat
badan
e. Pemberian terapi pendahuluan dengan kortikosteroid atau antihistamin
Terapi ini diberikan pada meraka yang mendapat terapi anti bisa ular, karena
gigitan ular tidak menyebabkan reaksi alergi.
1. Monitoring
- Keadaan umum dan vital sign, tanda envenomasi (keracunan) bisa
ular, pemeriksaan penunjang. Untuk kasus gigitan kering (bisa tidak
diinjeksikan) dari ular viper, observasi di Instalasi gawat Darurat
selama 8-10 jam, dilanjutkan observasi di ruangan.
- Pasien dengan tanda envenomasi (keracunan) yang berat
membutuhkan perawatan khusus di ICU untuk pemberian produk-
produk darah, menyediakan monitoring yang invasif, dan memastikan
proteksi jalan nafas.
- Observasi untuk gigitan ular koral minimal selama 24 jam.
- Evaluasi serial untuk penderajatan lebih lanjut dan untuk
menyingkirkan sindroma kompartemen.
35
DAFTAR PUSTAKA
1) WHO. 2016. Guidelines for The Clinical Management of Snake Bite in The
South East Asia Region.
2) De Jong W., 1998. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC: Jakarta Depkes. 2001.
Penatalaksanaan gigitan ular berbisa.
5) Daley, Brian James MD. 2010. Snake bite : patophysiology. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/168828-overview#a0104
8) Hafid, Abdul, dkk., 1997. Bab 2 : Luka, Trauma, Syok, Bencana : Gigitan
Ular. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC : Jakarta. Hal. 99-100
10) SMF Bedah RSUD DR. R.M. Djoelham Binjai. 2000. Gigitan Hewan.
Availabke from : www.scribd.com/doc/81272637/Gigitan-Hewan
12) Sudoyo, A.W., 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
37