Makalah Ham

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 16

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia yang dalam penerapannya
berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan yang terkait dengan interaksinya
antara individu atau dengan instansi. Hak juga merupakan sesuatu yang harus diperoleh. Masalah
HAM adalah sesuatu hal yang sering kali dibicarakan dan dibahas terutama dalam era reformasi
ini. HAM lebih dijunjung tinggi dan lebih diperhatikan dalam era reformasi dari pada era sebelum
reformasi. Perlu diingat bahwa dalam hal pemenuhan hak, kita hidup tidak sendiri dan kita hidup
bersosialisasi dengan orang lain. Jangan sampai kita melakukan pelanggaran HAM terhadap orang
lain dalam usaha perolehan atau pemenuhan HAM pada diri kita sendiri.
Maka dari itu sangatlah penting bagi kita mengetahui tentang Ham, terutama sejarah atau
perkembangannya.

B. Rumusan Masalah 
1. Apa pengertian HAM…?
2. Bagaimana perkembangan HAM di Indonesia……..?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui Pengertian HAM
2. Untuk Mengerti tentang perkembangan HAM di Indonesia

Manfaat
Mengerti dan  Memahami tentang  HAM serta perkembangannya di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian HAM
Hak asasi manusia adalah hak dasar atau pokok yang dimiliki setiap manusia sejak lahir yang
bersifat universal dan langgeng.

B. Perkembangan HAM di Indonesia


Secara garis besar menurut Prof. Dr. Bagir Manan, dalam bukunya Perkembangan Pemikiran dan
Pengaturan HAM di Indonesia (2001), membagi perkembangan pemikiran HAM dalam dua
periode, yaitu:
1. periode sebelum kemerdekaan (1908-1945)
2. periode setelah kemerdekaan (1945-sekarang)
3. Periode Sebelum Kemerdekaan ( 1908 – 1945 )
4. Perkembangan HAM dalam periode ini berawal dari pemikiran - pemikiran oleh organisasi
pergerakan sebagai berikut:

 Boedi Oetomo
Dalam konteks pemikiran HAM, pemimpin Boedi Oetomo telah memperlihatkan adanya
kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui petisi – petisi yang dilakukan kepada
pemerintah kolonial maupun dalam tulisan yang dalam surat kabar goeroe desa. Bentuk
pemikiran HAM Boedi Oetomo dalam bidang hak kebebasan berserikat dan mengeluarkan
pendapat.
 Perhimpunan Indonesia
Lebih menitik beratkan pada hak untuk menentukan nasib sendiri.
Sarekat Islam
Menekankan pada usaha – usaha unutk memperoleh penghidupan yang layak dan bebas dari
penindasan dan deskriminasi rasial.
 Partai Komunis Indonesia
Sebagai partai yang berlandaskan paham Marxisme lebih condong pada hak – hak yang bersifat
sosial dan menyentuh isu – isu yang berkenan dengan alat produksi.
 Indische Partij
Pemikiran HAM yang paling menonjol adalah hak untuk mendapatkan kemerdekaan serta
mendapatkan perlakuan yang sama dan hak kemerdekaan.
 Partai Nasional Indonesia
Mengedepankan pada hak untuk memperoleh kemerdekaan.
 Organisasi Pendidikan Nasional Indonesia
Menekankan pada hak politik yaitu hak untuk mengeluarkan pendapat, hak untuk menentukan
nasib sendiri, hak berserikat dan berkumpul, hak persamaan di muka hukum serta hak untuk
turut dalam penyelenggaraan Negara.
Pemikiran HAM sebelum kemerdekaan juga terjadi perdebatan dalam sidang BPUPKI antara
Soekarno dan Soepomo di satu pihak dengan Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin pada
pihak lain. Perdebatan pemikiran HAM yang terjadi dalam sidang BPUPKI berkaitan dengan
masalah hak persamaan kedudukan di muka hukum, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak, hak untuk memeluk agama dan kepercayaan, hak berserikat, hak untuk berkumpul, hak
untuk mengeluarkan pikiran dengan tulisan dan lisan.

Periode Setelah Kemerdekaan ( 1945 – sekarang )


 Periode 1945 – 1950
Pemikiran HAM pada periode awal kemerdekaan masih pada hak untuk merdeka, hak
kebebasan untuk berserikat melalui organisasi politik yang didirikan serta hak kebebasan untuk
untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen. Pemikiran HAM telah mendapat
legitimasi secara formal karena telah memperoleh pengaturan dan masuk kedalam hukum dasar
Negara (konstitusi) yaitu, UUD 45. komitmen terhadap HAM pada periode awal sebagaimana
ditunjukkan dalam Maklumat Pemerintah tanggal 1 November 1945.Langkah selanjutnya
memberikan keleluasaan kepada rakyat untuk mendirikan partai politik. Sebagaimana tertera
dalam Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945.
 Periode 1950 – 1959
Periode 1950 – 1959 dalam perjalanan Negara Indonesia dikenal dengan sebutan periode
Demokrasi Parlementer. Pemikiran HAM pada periode ini mendapatkan momentum yang
sangat membanggakan, karena suasana kebebasan yang menjadi semangat demokrasi liberal
atau demokrasi parlementer mendapatkan tempat di kalangan elit politik. Seperti dikemukakan
oleh Prof. Bagir Manan pemikiran dan aktualisasi HAM pada periode ini mengalami “ pasang”
dan menikmati “ bulan madu “ kebebasan. Indikatornya menurut ahli hukum tata Negara ini
ada lima aspek.
Pertama, semakin banyak tumbuh partai – partai politik dengan beragam ideologinya masing–
masing.
Kedua, Kebebasan pers sebagai pilar demokrasi betul – betul menikmati kebebasannya.
Ketiga, pemilihan umum sebagai pilar lain dari demokrasi berlangsung dalam suasana
kebebasan, fair ( adil ) dan demokratis.
Keempat, parlemen atau dewan perwakilan rakyat resprentasi dari kedaulatan rakyat
menunjukkan kinerja dan kelasnya sebagai wakil rakyat dengan melakukan kontrol yang
semakin efektif terhadap eksekutif.
Kelima, wacana dan pemikiran tentang HAM mendapatkan iklim yang kondusif sejalan dengan
tumbuhnya kekuasaan yang memberikan ruang kebebasan.
 Periode 1959 – 1966
Pada periode ini sistem pemerintahan yang berlaku adalah sistem demokrasi terpimpin sebagai
reaksi penolakan Soekarno terhadap sistem demokrasi Parlementer. Pada sistem ini (demokrasi
terpimpin) kekuasan berpusat pada dan berada ditangan presiden. Akibat dari sistem demokrasi
terpimpin Presiden melakukan tindakan inkonstitusional baik pada tataran supratruktur politik
maupun dalam tataran infrastruktur poltik. Dalam kaitan dengan HAM, telah terjadi
pemasungan hak asasi masyarakat yaitu hak sipil dan dan hak politik.
 Periode 1966 – 1998
Setelah terjadi peralihan pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto, ada semangat untuk
menegakkan HAM.Pada masa awal periode ini telah diadakan berbagai seminar tentang HAM.
Salah satu seminar tentang HAM dilaksanakan pada tahun 1967 yang merekomendasikan
gagasan tentang perlunya pembentukan Pengadilan HAM, pembentukan Komisi dan
Pengadilan HAM untuk wilayah Asia. Selanjutnya pada pada tahun 1968 diadakan seminar
Nasional Hukum II yang merekomendasikan perlunya hak uji materil ( judical review ) untuk
dilakukan guna melindungi HAM. Begitu pula dalam rangka pelaksanan TAP MPRS No.
XIV/MPRS 1966 MPRS melalui Panitia Ad Hoc IV telah menyiapkan rumusan yang akan
dituangkan dalam piagam tentang Hak – hak Asasi Manusia dan Hak – hak serta Kewajiban
Warga negara. Sementara itu, pada sekitar awal tahun 1970-an sampai periode akhir 1980-an
persoalan HAM mengalami kemunduran, karena HAM tidak lagi dihormati, dilindungi dan
ditegakkan.
Pemerintah pada periode ini bersifat defensif dan represif yang dicerminkan dari produk hukum
yang umumnya restriktif terhadap HAM. Sikap defensif pemerintah tercermin dalam ungkapan
bahwa HAM adalah produk pemikiran barat yang tidak sesuai dengan nilai –nilai luhur budaya
bangsa yang tercermin dalam Pancasila serta bangsa Indonesia sudah terlebih dahulu mengenal
HAM sebagaimana tertuang dalam rumusan UUD 1945 yang terlebih dahulu dibandingkan
dengan deklarasi Universal HAM. Selain itu sikap defensif pemerintah ini berdasarkan pada
anggapan bahwa isu HAM seringkali digunakan oleh Negara – Negara Barat untuk
memojokkan.
Negara yang sedang berkembang seperti Indonesia.Meskipun dari pihak pemerintah mengalami
kemandegan bahkan kemunduran, pemikiran HAM nampaknya terus ada pada periode ini
terutama dikalangan masyarakat yang dimotori oleh LSM ( Lembaga Swadaya Masyarakat )
dan masyarakat akademisi yang concern terhadap penegakan HAM. Upaya yang dilakukan
oleh masyarakat melalui pembentukan jaringan dan lobi internasional terkait dengan
pelanggaran HAM yang terjadi seperti kasus Tanjung Priok, kasus Keung Ombo, kasus DOM
di Aceh, kasus di Irian Jaya, dan sebagainya.Upaya yang dilakukan oleh masyarakat menjelang
periode 1990-an Nampak memperoleh hasil yang menggembirakan karena terjadi pergeseran
strategi pemerintah dari represif dan defensive menjadi ke strategi akomodatif terhadap
tuntutan yang berkaitan dengan penegakan HAM. Salah satu sikap akomodatif pemerintah
terhadap tuntutan penegakan HAM adalah dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(KOMNAS HAM ) berdasarkan KEPRES No. 50 Tahun 1993 tertanggal 7 Juni 1993. Lembaga
ini bertugas untuk memantau dan menyelidiki pelaksanaan HAM, serta member pendapat,
pertimbangan, dan saran kepada pemerintah perihal pelaksanaan HAM.
 Periode 1998 – sekarang
Pergantian rezim pemerintahan pada tahun 1998 memberikan dampak yang sangat besar pada
pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia. Pada saat ini mulai dilakukan pengkajian
terhadap beberapa kebijakan pemerintah orde baru yang berlawanan dengan pemajuan dan
perlindungan HAM.Selanjutnya Pada saat ini mulai dilakukan pengkajian terhadap beberapa
kebijakan pemerintah orde baru yang berlawanan dengan pemajuan dan perlindungan
HAM.Selanjutnya Hasil dari pengkajian tersebut menunjukkan banyaknya norma dan
ketentuan hukum nasional khususnya yang terkait dengan penegakan HAM diadopsi dari
hokum dan instrument Internasional dalam bidang HAM.
Strategi penegakan HAM pada periode ini dilakukan melalui dua tahap yaitu tahap status
penentuan dan tahap penataan aturan secara konsisten. Pada tahap penentuan telah ditetapkan
beberapa penentuan perundang–undangan tentang HAM seperti amandemen konstitusi Negara
(Undang–undangDasar 1945), ketetapan MPR ( TAP MPR ), Undang – undang (UU),
peraturan pemerintah dan ketentuan perundang–undangan lainnya.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari  pembahasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa HAM adalah hak dasar atau pokok
manusia sejak lahir yang bersifat universal dan langgeng serta harus di hormati.
Perkembangan dan perjuangan dalam mewujudkan tegaknya HAM di Indonesia terutama terjadi
setelah adanya perlawanan terhadap penjajahan bangsa asing, sehingga tidak bisa dilihat sebagai
pertentangan yang hanya mewakili kepentingan suatu golongan tertentu saja, melainkan
menyangkut kepentingan bangsa Indonesia secara utuh.

B. Saran

Diri kita pribadi harus paham dan mngerti tentang HAM itu sendiri
Kita harus menghormati hak-hak orang lain
Pemerintah harus lebih tegas dan adil dalm penegakkan HAM
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Istilah hak-hak asasi manusia dalam beberapa bahasa asing dikenal dengan sebutan sebagai
berikut : droit de l’home (Perancis) yang berarti hak manusia, human right (Inggris) antau mensen
rechten (Belanda), yang dalam bahasa Indonesia disalin menjadi hak-hak kemanusiaan atau hak-
hak asasi manusia.
Hak asasi manusia (HAM) pada hakekatnya merupakan hak kodrati yang secara inheren melekat
dalam setiap diri manusia sejak lahir. Pengertian ini mengandung arti bahwa HAM merupakan
karunia Alloh Yang Maha Pencipta kepada hambanya. Mengingat HAM itu adalah karunia Alloh,
maka tidak ada badan apapun yang dapat mencabut hak itu dari tangan pemiliknya. Demikian pula
tidak ada seorangpun diperkenankan untuk merampasnya, serta tidak ada kekuasaan apapun yang
boleh membelenggunya
Karena HAM itu bersifat kodrati, sebenarnya ia tidak memerlukan legitimasi yuridis untuk
pemberlakuannya dalam suatu sistem hukum nasional maupun internasional. Sekalipun tidak ada
perlindungan dan jaminan konstitusional terhadap HAM, hak itu tetap eksis dalam setiap diri
manusia. Gagasan HAM yang bersifat teistik ini diakui kebenarannya sebagai nilai yang paling
hakiki dalam kehidupan manusia. Namun karena sebagian besar tata kehidupan manusia bersifat
sekuler dan positivistik, maka eksistensi HAM memerlukan landasan yuridis untuk diberlakukan
dalam mengatur kehidupan manusia
Perjuangan dan perkembangan hak-hak asasi manusia di setiap negara  mempunyai latar belakang
sejarah sendiri-sendiri sesuai dengan perjalanan hidup bangsanya, meskipun demikian sifat dan
hakikat HAM di mana-mana pada dasarnya sama juga.
 
B. Identifikasi Masalah
Makalah ini akan mengidentifikasikan beberapa hal yang berkaitan tentang perkembangan HAM di
Indonesia, yaitu :
1. Pembentukan HAM di Indonesia

2. Perkembangan HAM di Indonesia

3. Penegakan HAM di Indonesia

 
C. Batasan Masalah
Agar pembahasan dalam masalah ini tidak terlalu luas dan Lebih terfokus pada masalah dan tujuan
dalam hal ini pembuatan makalah ini, maka dengan ini penyusun membatasi masalah hanya pada
ruang lingkup perkembangan HAM di Indonesia.
 

 
A. Pembentukan HAM di Indonesia
Berbeda dengan di Inggris dan Perancis yang mengawali sejarah perkembangan dan perjuangan
hak asasi manusianya dengan menampilkan sosok pertentangan kepentingan antara kaum
bangsawan dan rajanya yang lebih banyak mewakili kepentingan lapisan atas atau golongan
tertentu saja. Perjuangan hak-hak asasi manusia Indonesia mencerminkan bentuk pertentangan
kepentingan yang lebih besar, dapat dikatakan terjadi sejak masuk dan bercokolnya bangsa asing di
Indonesia dalam jangka waktu yang lama. Sehingga timbul berbagai perlawanan dari rakyat untuk
mengusir penjajah.
Dengan demikian sifat perjuangan dalam mewujudkan tegaknya HAM di Indonesia itu tidak bisa
dilihat sebagai pertentangan yang hanya mewakili kepentingan suatu golongan tertentu saja,
melainkan menyangkut kepentingan bangsa Indonesia secara utuh. Hal ini tidak berarti bahwa
sebelum bangsa Indonesia mengalami masa penjajahan bangsa asing, tidak pernah mengalami
gejolak berupa timbulnya penindasan manusia atas manusia. Pertentangan kepentingan manusia
dengan segala atributnya (sebagai raja, penguasa, bangsawan, pembesar dan seterusnya) akan
selalu ada dan timbul tenggelam sejalan dengan perkembangan peradaban manusia. Hanya saja di
bumi Nusantara warna pertentangan-pertentangan yang ada tidak begitu menonjol dalam panggung
sejarah, bahkan sebaliknya dalam catatan sejarah yang ada berupa kejayaan bangsa Indonesia
ketika berhasil dipersatukan di bawah panji-panji kebesaran Sriwijaya pada abad VII hingga
pertengahan abad IX, dan kerajaan Majapahit sekitar abad XII hingga permulaan abad XVI
Hingga kemudian diskursus tentang HAM memasuki babakan baru, pada saat Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang bertugas menyiapkan rancangan UUD
pada tahun 1945, dalam pembahasan-pembahasan tentang sebuah konstitusi bagi negara yang akan
segera merdeka, silang selisih tentang perumusan HAM sesungguhnya telah muncul. Di sana
terjadi perbedaan antara Soekarno dan Soepomo di satu pihak dan Mohammad Hatta dan
Mohammad Yamin di pihak lain. Pihak yang pertama menolak dimasukkannya HAM terutama
yang individual ke dalam UUD karena menurut mereka Indonesia harus dibangun sebagai negara
kekeluargaan. Sedangkan pihak kedua menghendaki agar UUD itu memuat masalah-masalah HAM
secara eksplisit
Sehari setelah proklamasi kemerdekaan, tanggal 18 Agustus 1945, Panitya Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) mengadakan sidang untuk mengesahkan UUD 1945 sebagai UUD negara
Republik Indonesia. Dengan demikian terwujudlah perangkat hukum yang di dalamnya memuat
hak-hak dasar/asasi manusia Indonesia serta kewajiban-kewajiban yang bersifat dasar/asasi pula.
Seperti yang tertuang dalam Pembukaan, pernyataan mengenai hak-hak asasi manusia tidak
mendahulukan hak-hak asasi individu, melainkan pengakuan atas hak yang bersifat umum, yaitu
hak bangsa. Hal ini seirama dengan latar belakang perjuangan hak-hak asasi manusia Indonesia,
yang bersifat kebangsaan dan bukan bersifat individu.
Sedangkan istilah atau perkataan hak asasi manusia itu sendiri sebenarnya tidak dijumpai dalam
UUD 1945 baik dalam pembukaan, batang tubuh, maupun penjelasannya. Istilah yang dapat
ditemukan adalah pencantuman dengan tegas perkataan hak dan kewajiban warga negara, dan hak-
hak Dewan Perwakilan Rakyat. Baru setelah UUD 1945 mengalami perubahan atau amandemen
kedua, istilah hak asasi manusia dicantumkan secara tegas.
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia pernah mengalami perubahan konstitusi dari UUD 1945
menjadi konstitusi RIS (1949), yang di dalamnya memuat ketentuan hak-hak asasi manusia yang
tercantum dalam Pasal 7 sampai dengan 33. Sedangkan setelah konstitusi RIS berubah menjadi
UUDS (1950), ketentuan mengenai hak-hak asasi manusia dimuat dalam Pasal 7 sampai dengan
34. Kedua konstitusi yang disebut terakhir dirancang oleh Soepomo yang muatan hak asasinya
banyak mencontoh Piagam Hak Asasi yang dihasilkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, yaitu The
Universal Declaration of human Rights tahun 1948 yang berisikan 30 Pasal.
Dengan Dekrit Presiden RI tanggal 5 juli 1959, maka UUD 1945 dinyatakan berlaku lagi dan
UUDS 1950 dinyatakan tidak berlaku. Hal ini berarti ketentuan-ketentuan yang mengatur hak-hak
asasi manusia Indonesia yang berlaku adalah sebagaimana yang tercantum dalam UUD 1945.
Pemahaman atas hak-hak asasi manusia antara tahun 1959 hingga tahun 1965 menjadi amat
terbatas karena pelaksanaan UUD 1945 dikaitkan dengan paham NASAKOM yang membuang
paham yang berbau Barat. Dalam masa Orde Lama ini banyak terjadi penyimpangan-
penyimpangan terhadap Pancasila dan UUD 1945 yang suasananya diliputi penuh pertentangan
antara golongan politik dan puncaknya terjadi pemberontakan G-30-S/PKI tahun 1965. Hal ini
mendorong lahirnya Orde Baru tahun 1966 sebagai koreksi terhadap Orde Lama. Dalam awal masa
Orde baru pernah diusahakan untuk menelaah kembali masalah HAM, yang melahirkan sebuah
rancangan Ketetapan MPRS, yaitu berupa rancangan Pimpinan MPRS RI No. A3/I/Ad Hoc
B/MPRS/1966, yang terdiri dari Mukadimah dan 31 Pasal tentang HAM. Namun rancangan ini
tidak berhasil disepakati menjadi suatu ketetapan.
Kemudian di dalam pidato kenegaraan Presiden RI pada pertengahan bulan Agustus 1990,
dinyatakan bahwa rujukan Indonesia mengenai HAM adalah sila kedua Pancasila “Kemanusiaan
Yang Adil dan Beradab” dalam kesatuan dengan sila-sila Pancasila lainnya. Secara historis
pernyataan Presiden mengenai HAM tersebut amat penting, karena sejak saat itu secara ideologis,
politis dan konseptual HAM dipahami sebagai suatu implementasi dari sila-sila Pancasila yang
merupakan dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Meskipun demikian, secara
Ideologis, politis dan konseptual, sila kedua tersebut agak diabaikan sebagai sila yang mengatur
HAM, karena konsep HAM dianggap berasal dari paham individualisme dan liberalisme yang
secara ideologis tidak diterima.
Perkembangan selanjutnya adalah dengan dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(KOMNAS HAM) berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 50 Tahun 1993 tanggal 7 Juni 1993.
Pembentukan KOMNAS HAM tersebut pada saat bangsa Indonesia sedang giat melaksanakan
pembangunan, menunjukkan keterkaitan yang erat antara penegakkan HAM di satu pihak dan
penegakkan hukum di pihak lainnya. Hal ini senada dengan deklarasi PBB tahun 1986, yang
menyatakan HAM merupakan tujuan sekaligus sarana pembangunan. Keikutsertaan rakyat dalam
pembangunan bukan sekedar aspirasi, melainkan kunci keseluruhan hak asasi atas pembangunan
itu sendiri. Dan menjadi tugas badan-badan pembangunan internasional dan nasional untuk
menempatkan HAM sebagai fokus pembangunan.
Guna lebih memantapkan perhatian atas perkembangan HAM di Indonesia, oleh berbagai kalangan
masyarakat (organisasi maupun lembaga), telah diusulkan agar dapat diterbitkannya suatu
Ketetapan MPR yang memuat piagam hak-hak asasi Manusia atau Ketetapan MPR tentang GBHN
yang didalamnya memuat operasionalisasi daripada hak-hak dan kewajiban-kewajiban asasi
manusia Indonesia yang ada dalam UUD 1945.
Akhirnya ketetapan MPR RI yang diharapkan memuat secara adanya HAM itu dapat diwujudkan
dalam masa Orde Reformasi, yaitu selama Sidang Istimewa MPR yangberlangsung dari tanggal 10
sampai dengan 13 November 1988. Dalam rapat paripurna ke-4 tanggal 13 November 1988, telah
diputuskan lahirnya Ketetapan MPR RI No. XVII/MPR/1988 tentang Hak Asasi Manusia.
Kemudian Ketetapan MPR tersebut menjadi salah satu acuan dasar bagi lahirnya UU No. 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia yang disahkan pada tanggal 23 september 1999. Undang-Undang
ini kemudian diikuti  lahirnya Perpu No. 1 Tahun 1999 yang kemudian  disempurnakan dan
ditetapkan menjadi UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Sebagai bagian dari HAM, sebelumnya telah pula lahir UU No. 9 Tahun 1998  tentang
Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum yang disahkan dan diundangkan di
Jakarta pada tanggal 26 oktober 1998, serta dimuat dalam LNRI Tahun 1999 No. 165. Di samping
itu, Indonesia telah merativikasi pula beberapa konvensi internasional yang mengatur HAM, antara
lain:
1. Deklarasi tentang Perlindungan dan Penyiksaan, melalui UU No. 5 Tahun 1998.

2. Konvensi mengenai  Hak Politik Wanita 1979, melalui UU No. 68 Tahun 1958.

3.  Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap wanita, melalui UU No. 7


Tahun 1984.

4. Konvensi Perlindungan Hak-Hak Anak, melalui Keppres No. 36 Tahun 1990.

5. Konvensi tentang Ketenagakerjaan, melalui UU No. 25 Tahun 1997, yang pelaksanaannya


ditangguhkan sementara.

6.  Konvensi tentang Penghapusan Bentuk Diskriminasi Ras Tahun 1999, melalui UU No. 29
Tahun 1999.

 
B. Perkembangan HAM di Indonesia
Periode Sebelum Kemerdekaan ( 1908 – 1945 )
 Boedi Oetomo

Dalam konteks pemikiran HAM, pemimpin Boedi Oetomo telah memperlihatkan adanya
kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui petisi – petisi yang dilakukan kepada
pemerintah kolonial maupun dalam tulisan yang dalam surat kabar goeroe desa. Bentuk
pemikiran HAM Boedi Oetomo dalam bidang hak kebebasan berserikat dan mengeluarkan
pendapat.

 Perhimpunan Indonesia
Lebih menitikberatkan pada hak untuk menentukan nasib sendiri.

 Sarekat Islam

Menekankan pada usaha – usaha unutk memperoleh penghidupan yang layak dan bebas dari
penindasan dan deskriminasi rasial.

 Partai Komunis Indonesia

Sebagai partai yang berlandaskan paham Marxisme lebih condong pada hak – hak yang bersifat
sosial dan menyentuh isu – isu yang berkenan dengan alat produksi.

 Indische Partij

Pemikiran HAM yang paling menonjol adalah hak untuk mendapatkan kemerdekaan serta
mendapatkan perlakuan yang sama dan hak kemerdekaan.

 Partai Nasional Indonesia

Mengedepankan pada hak untuk memperoleh kemerdekaan.

 Organisasi Pendidikan Nasional Indonesia

Menekankan pada hak politik yaitu hak untuk mengeluarkan pendapat, hak untuk menentukan
nasib sendiri, hak berserikat dan berkumpul, hak persamaan di muka hukum serta hak untuk
turut dalam penyelenggaraan Negara. Pemikiran HAM sebelum kemerdekaan juga terjadi
perdebatan dalam sidang BPUPKI antara Soekarno dan Soepomo di satu pihak dengan
Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin pada pihak lain. Perdebatan pemikiran HAM yang
terjadi dalam sidang BPUPKI berkaitan dengan masalah hak persamaan kedudukan di muka
hukum, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak untuk memeluk agama dan
kepercayaan, hak berserikat, hak untuk berkumpul, hak untuk mengeluarkan pikiran dengan
tulisan dan lisan.

Periode Setelah Kemerdekaan ( 1945 – sekarang )

 Periode 1945 – 1950

Pemikiran HAM pada periode awal kemerdekaan masih pada hak untuk merdeka, hak
kebebasan untuk berserikat melalui organisasi politik yang didirikan serta hak kebebasan untuk
untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen. Pemikiran HAM telah mendapat
legitimasi secara formal karena telah memperoleh pengaturan dan masuk kedalam hukum dasar
Negara ( konstitusi ) yaitu, UUD 45. komitmen terhadap HAM pada periode awal sebagaimana
ditunjukkan dalam Maklumat Pemerintah tanggal 1 November 1945.Langkah selanjutnya
memberikan keleluasaan kepada rakyat untuk mendirikan partai politik. Sebagaimana tertera
dalam Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945.

 Periode 1950 – 1959

Periode 1950 – 1959 dalam perjalanan Negara Indonesia dikenal dengan sebutan periode
Demokrasi Parlementer. Pemikiran HAM pada periode ini menapatkan momentum yang sangat
membanggakan, karena suasana kebebasan yang menjadi semangat demokrasi liberal atau
demokrasi parlementer mendapatkan tempat di kalangan elit politik. Seperti dikemukakan oleh
Prof. Bagir Manan pemikiran dan aktualisasi HAM pada periode ini mengalami “ pasang” dan
menikmati “ bulan madu “ kebebasan. Indikatornya menurut ahli hukum tata Negara ini ada
lima aspek. Pertama, semakin banyak tumbuh partai – partai politik dengan beragam
ideologinya masing – masing. Kedua, Kebebasan pers sebagai pilar demokrasi betul – betul
menikmati kebebasannya. Ketiga, pemilihan umum sebagai pilar lain dari demokrasi
berlangsung dalam suasana kebebasan, fair ( adil ) dan demokratis. Keempat, parlemen atau
dewan perwakilan rakyat resprentasi dari kedaulatan rakyat menunjukkan kinerja dan kelasnya
sebagai wakil rakyat dengan melakukan kontrol yang semakin efektif terhadap eksekutif.
Kelima, wacana dan pemikiran tentang HAM mendapatkan iklim yang kondusif sejalan dengan
tumbuhnya kekuasaan yang memberikan ruang kebebasan.

 Periode 1959 – 1966

Pada periode ini sistem pemerintahan yang berlaku adalah sistem demokrasi terpimpin sebagai
reaksi penolakan Soekarno terhaap sistem demokrasi Parlementer. Pada sistem ini ( demokrasi
terpimpin ) kekuasan berpusat pada dan berada ditangan presiden. Akibat dari sistem
demokrasi terpimpin Presiden melakukan tindakan inkonstitusional baik pada tataran
supratruktur politik maupun dalam tataran infrastruktur poltik. Dalam kaitan dengan HAM,
telah terjadi pemasungan hak asasi masyarakat yaitu hak sipil dan dan hak politik.

 Periode 1966 – 1998

Setelah terjadi peralihan pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto, ada semangat untuk
menegakkan HAM.Pada masa awal periode ini telah diadakan berbagai seminar tentang HAM.
Salah satu seminar tentang HAM dilaksanakan pada tahun 1967 yang merekomendasikan
gagasan tentang perlunya pembentukan Pengadilan HAM, pembentukan Komisi dan
Pengadilan HAM untuk wilayah Asia. Selanjutnya pada pada tahun 1968 diadakan seminar
Nasional Hukum II yang merekomendasikan perlunya hak uji materil ( judical review ) untuk
dilakukan guna melindungi HAM. Begitu pula dalam rangka pelaksanan TAP MPRS No.
XIV/MPRS 1966 MPRS melalui Panitia Ad Hoc IV telah menyiapkan rumusan yang akan
dituangkan dalam piagam tentang Hak – hakAsasiManusiadanHak – hak serta
KewajibanWarga negara. Sementara itu, pada sekitar awal tahun 1970-an sampai periode akhir
1980-an persoalan HAM mengalami kemunduran, karena HAM tidak lagi dihormati, dilindungi
dan ditegakkan. Pemerintah pada periode ini bersifat defensif dan represif yang dicerminkan
dari produk hukum yang umumnya restriktif terhadap HAM. Sikap defensif pemerintah
tercermin dalam ungkapan bahwa HAM adalah produk pemikiran barat yang tidak sesuai
dengan nilai –nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila serta bangsa Indonesia
sudah terlebih dahulu mengenal HAM sebagaimana tertuang dalam rumusan UUD 1945 yang
terlebih dahulu dibandingkan dengan deklarasi Universal HAM. Selain itu sikap defensif
pemerintah ini berdasarkan pada anggapan bahwa isu HAM seringkali digunakan oleh Negara
– Negara Barat untukmemojokkan.

Negara yang sedang berkembang seperti Indonesia.Meskipun dari pihak pemerintah mengalami
kemandegan bahkan kemunduran, pemikiran HAM nampaknya terus ada pada periode ini
terutama dikalangan masyarakat yang dimotori oleh LSM ( Lembaga Swadaya Masyarakat )
dan masyarakat akademisi yang concern terhadap penegakan HAM. Upaya yang dilakukan
oleh masyarakat melalui pembentukan jaringan dan lobi internasional terkait dengan
pelanggaran HAM yang terjadi seprtikasus Tanjung Priok, kasus Keung Ombo, kasus DOM di
Aceh, kasus di Irian Jaya, dan sebagainya.Upaya yang dilakukan oleh masyarakat menjelang
periode 1990-an Nampak memperoleh hasil yang menggembirakan karena terjadi pergeseran
strategi pemerintah dari represif dan defensive menjadi ke strategi akomodatif terhadap
tuntutan yang berkaitan dengan penegakan HAM. Salah satu sikap akomodatif pemerintah
terhadap tuntutan penegakan HAM adalah dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(KOMNAS HAM ) berdasarkan KEPRES No. 50 Tahun 1993 tertanggal 7 Juni 1993. Lembaga
ini bertugas untuk memantau dan menyelidiki pelaksanaan HAM, serta member pendapat,
pertimbangan, dan saran kepada pemerintah perihal pelaksanaan HAM.

 Periode 1998 – sekarang

Pergantian rezim pemerintahan pada tahun 1998 memberikan dampak yang sangat besar pada
pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia. Pada saat ini mulai dilakukan pengkajian
terhadap beberapa kebijakan pemerintah orde baru yang berlawanan dengan pemajuan dan
perlindungan HAM.Selanjutnya dilakukan penyusunan peraturan perundang – undangan yang
berkaitan dengan pemberlakuan HAM dalam kehidupan ketatanegaraan dan kemasyarakatan di
Indonesia. Hasil dari pengkajian tersebut menunjukkan banyaknya norma dan ketentuan hukum
nasional khususnya yang terkait dengan penegakan HAM diadopsi dari hokum dan instrument
Internasional dalam bidang HAM.

Strategi penegakan HAM pada periode ini dilakukan melalui dua tahap yaitu tahap status
penentuan dan tahap penataan aturan secara konsisten. Pada tahap penentuan telah ditetapkan
beberapa penentuan perundang–undangan tentang HAM seperti amandemen konstitusi Negara
( Undang–undangDasar 1945 ), ketetapan MPR ( TAP MPR ), Undang – undang (UU),
peraturan pemerintah dan ketentuan perundang–undangan lainnya.

C. Penegakan HAM di Indonesia


Tegaknya HAM selalu mempunyai hubungan korelasional positif dengan tegaknya negara hukum.
Sehingga dengan dibentuknya KOMNAS HAM dan Pengadilan HAM,  regulasi hukum HAM
dengan ditetapkannya UU No. 39 Tahun 1999 dan UU No. 26 Tahun 2000 serta dipilihnya para
hakim ad hoc, akan lebih menyegarkan iklim penegakkan hukum yang sehat. Artinya kebenaran
hukum dan keadilan harus dapat dinikmati oleh setiap warganegara secara egaliter. Disadari atau
tidak, dengan adanya political will dari pemerintah terhadap penegakkan HAM, hal itu akan
berimplikasi terhadap budaya politik yang lebih sehat dan proses demokratisasi yang lebih cerah.
Dan harus disadari pula bahwa kebutuhan terhadap tegaknya HAM dan keadilan itu memang
memerlukan proses dan tuntutan konsistensi politik. Begitu pula keberadaan budaya hukum dari
aparat pemerintah dan tokoh masyarakat merupakan faktor penentu (determinant) yang mendukung
tegaknya HAM.
Kenyataan menunjukkan bahwa masalah HAM di indonesia selalu menjadi sorotan tajam dan
bahan perbincangan terus-menerus, baik karena konsep dasarnya yang bersumber dari UUD 1945
maupun dalam realita praktisnya di lapangan ditengarai penuh dengan pelanggaran-pelanggaran.
Sebab-sebab pelanggaran HAM antara lain adanya arogansi kewenangan dan kekuasaan yang
dimiliki seorang pejabat yang berkuasa, yang mengakibatkan sulit mengendalikan dirinya sendiri
sehingga terjadi pelanggaran terhadap hak-hak orang lain.
Terutama dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini, issue mengenai HAM di Indonesia
bergerak dengan cepat dan dalam jumlah yang sangat mencolok. Gerak yang cepat tersebut
terutama karena memang telah terjadi begitu banyak pelanggaran HAM, mulai dari yang sederhana
sampai pada pelanggaran HAM berat (gross human right violation). Di samping itu juga karena
gigihnya organisasi-organisasi masyarakat dalam memperjuangkan pemajuan dan perlindungan
HAM
Pelanggaran HAM yang berat menurut Pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000 meliputi kejahatan
genocide (the crime of genocide) dan  kejahatan terhadap kemanusiaan(crime against
humanity). Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk
menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis,
kelompok agama, dengan cara :

 Membunuh anggota kelompok.

 Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok.

 Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik
baik seluruh atau sebagiannya.

 Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok.

 Memindahkan secara paksaan anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.

Sedangkan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai
bagian dari serangan yang meluas atau sistematik  yang diketahuinya bahwa serangan tersebut
ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa pembunuhan, pemusnahan, perbudakan,
pengusiran, perampasan kemerdekaan, penyiksaan, perkosaan, penganiayaan, penghilangan orang
secara paksa dan kejahatan apartheid

Munculnya berbagai kasus pelanggaran HAM berat telah melahirkan kesadaran kolektif tentang
perlunya perlindungan HAM melalui instrumen hukum dan kinerja institusi penegak hukumnya.
Banyak kasus-kasus pelanggaran HAM berat atau yang mengandung  unsur adanya pelanggaran
HAM yang selama ini tidak tersentuh oleh hukum, sebagai akibat dari bergulirnya reformasi secara
perlahan tapi pasti mulai diajukan ke lembaga peradilan. Lembaga peradilan, dalam hal ini
Pengadilan HAM, merupakan forum paling tepat  untuk membuktikan kebenaran tuduhan-tuduhan
adanya pelanggaran HAM di Indonesia. Pasal 104 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 secara tegas
menyatakan bahwa untuk mengadili pelanggaran HAM yang berat dibentuk Pengadilan HAM di
lingkungan Peradilan Umum.  Hukum acara yang berlaku atas perkara pelanggaran HAM yang
berat menurut Pasal 10 UU No. 26 Tahun 2000, dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara
pidana, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.

Dibentuknya Pengadilan HAM di Indonesia patut disambut gembira, karena diharapkan dapat
meningkatkan citra baik Indonesia di mata internasional, bahwa Indonesia mempunyai komitmen
dan political will untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat. Seiring dengan itu
upaya penegakkan HAM di Indonesia diharapkan mengalami peningkatan yang cukup signifikan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
HAM adalah persoalan yang bersifat universal, tetapi sekaligus juga kontekstual. Setiap negara
mempunyai sejarah perjuangan dan perkembangan HAM yang berbeda, oleh karena itu konsepsi
dan implementasi HAM dari suatu negara tidak dapat disamaratakan. Adanya HAM menimbulkan
konsekwensi adanya kewajiban asasi, di mana keduanya berjalan secara paralel dan merupakan
satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Pengabaian salah satunya akan menimbulkan pelanggaran
HAM, dan Islam telah memberikan pedoman yang sangat jelas mengenai masalah ini.
Perkembangan dan perjuangan dalam mewujudkan tegaknya HAM di Indonesia terutama terjadi
setelah adanya perlawanan terhadap penjajahan bangsa asing, sehingga tidak bisa dilihat sebagai
pertentangan yang hanya mewakili kepentingan suatu golongan tertentu saja, melainkan
menyangkut kepentingan bangsa Indonesia secara utuh.
Dewasa ini, meskipun ditengarai banyak kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia, tetapi secara
umum Implementasi HAM di Indonesia, baik menyangkut perkembangan dan penegakkannya
mulai menampakkan tanda-tanda kemajuan. Hal ini terlihat dengan adanya regulasi hukum HAM
melalui peraturan perundang-undangan. Di samping itu telah dibentuknya Pengadilan HAM dalam
upaya menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi.
 
B. Saran
Pengawalan penegakkan HAM kian berat. Tak semudah membalik telapak tangan. Buktinya di
bangsa yang berumur 63 tahun ini belum bisa sepenuhnya menancapkannya. Walau masih bangsa
muda dibandingkan dengan Negara-negara barat, namun waktu seperti itu bukanlah sempit bagi
pemerintah kita untuk mewujudkannya. Namun mari kembali lagi pada kenyataannya. Bangsa
Indonesia belum menjamin HAM warganya.
HAM sendiri sebenarnya sudah tertuang dalam UUD 1945, namun pada kenyataannya antara
penerapan dan teori sangat jauh  perbedaannya. Walaupun, HAM itu sudah diatur secara mendetail
dalam UUd, tapi pelanggaran pelanggaran HAM masih seringkali terjadi di Negara kita. Maka dari
itu sebaiknya Pemerintah memperhatikan hal ini, jangan membiarkan UUD hanya sebagai sebuah
pajangan saja. Pemerintah harus mencari jalan agar UUD benar-benar berfungsi sebagai dasar
negara kita dan sebagai acuan dalam menjalankan kehidupam sehari-hari, khususnya dalam
penerapan penegakan HAM itu sendiri.
Untuk itu butuh keseriusan pemerintah untuk mempelopori penegakkan HAM di Indonesia. Tentu
saja itu tidak cukup, hanya pemerintah namun,partisipasi dan kerja sama warga nemasih sangat
dibutuhkan kerjasama warna Negara Indonesia yang semoga baik-baik saja. Kemudian secara
sinergi merongrong Negara Indonesia yang adil.

Anda mungkin juga menyukai