Proposal RPK Jiwa KLP 4
Proposal RPK Jiwa KLP 4
Proposal RPK Jiwa KLP 4
DOSEN PEMBIMBING :
Dr. APRINA,S.Kp.,M.Kes
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 4
A. Latar Belakang
Kesehatan jiwa menurut Undang-Undang Kesehatan Jiwa Tahun 2014
merupakan kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental,
spiritual dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri dapat
mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi
untuk komunitasnya. Menurut Videbeck (2008) menyatakan kesehatan jiwa adalah suatu
kondisi sehat emosional, psikologis, dan sosial yang terlihat dari hubungan interpersonal
yang memuaskan, perilaku koping positif, konsep diri yang positif, dan kestabilan
emosional. Nasir & Muhith (2011) menyatakan Gangguan Jiwa merupakan manifestasi
dari bentuk penyimpangan perilaku akibat adanya distorsi emosi sehingga ditemukan
ketidakwajaran dalam bertingkah laku, hal ini terjadi karena menurunnya semua fungsi
kejiwaan meliputi proses berpikir, emosi, kemauan, dan perilaku psikomotorik termasuk
bicara, perasaan, motivasi, kemauan, keinginan, daya tilik diri dan persepsi sehingga
mengganggu dalam proses hidup di masyarakat. UU nomor 18 tahun 2014 mengatakan
bahwa orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) adalah orang yang mengalami gangguan
dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan
gejala dan atau perubahan perilaku. yang bermakna, serta dapat menimbulkan
penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia.
Berdasarkan hasil Riskesdas 2013 menyatakan bahwa prevalensi gangguan jiwa berat
pada penduduk Indonesia 1,7 per mil. Gangguan jiwa berat terbanyak di DI Yogyakarta,
Aceh, Sulawesi Selatan, Bali, dan Jawa Tengah. Sedangkan menurut Riset Kesehatan
Dasar Dinkes DIY tentang proporsidata penduduk dengan gangguan jiwa berat
(skizofrenia atau psikosis) menurut Kabupaten/ kota menunjukan Kulon Progo
menempati kasus teratas dengan prevalensi 4,67 per mil, kemudian Bantul dengan 4,0
per mil dan Kota Yogyakarta menunjukan prevalensi sebesar 2,14 per mil. Data rutin
Dinas Kesehatan DIY tahun 2015 telah menunjukan angka sebesar 10.993 ODGJ,
sedangkan di tahun 2016 jumlah tersebut menjadi sebesar 10.554 orang belum termasuk
Kabupaten Sleman dan kasus gangguan jiwa yang belum terungkap. Sehingga dapat
disimpulkan dari 10.554 ODGJ, Skizofrenia memiliki andil dalam jumlah tersebut.
Herman dalam Yosep (2009)Skizofrenia merupakan penyakit neurologis yang
mempengaruhi persepsi klien, cara berpikir, bahasa, emosi, dan perilaku sosialnya.
Yosep (2009) mengatakan bahwa gejala skizofrenia dibagi menjadi 2 yaitu gejala positif
seperti halusinasi, delusi, ketidakmampuan mengendalikan emosi ( perilaku agitasi atau
agresif) dan perasaan, sedangkan gejala negatif yang timbul adalah afek datar, apatis,
penurunan perhatian dan aktifitas. Namun gejala-gejala yang terlihat pada pasien
dengan perilaku kekerasan tidak dialami oleh semua orang yang Herman dalam
Yosep (2009)Skizofrenia merupakan penyakit neurologis yang mempengaruhi persepsi
klien, cara berpikir, bahasa, emosi, dan perilaku sosialnya. Yosep (2009) mengatakan
bahwa gejala skizofrenia dibagi menjadi 2 yaitu gejala positif seperti halusinasi, delusi,
ketidakmampuan mengendalikan emosi ( perilaku agitasi atau agresif) dan perasaan,
sedangkan gejala negatif yang timbul adalah afek datar, apatis, penurunan perhatian dan
aktifitas. Namun gejala-gejala yang terlihat pada pasien dengan perilaku kekerasan
tidak dialami oleh semua orang yang didiagnosis skizofrenia. Perilaku kekerasan juga
dapat dialami pada seseorang yang mendapatkan stimulus atau stresor yang tidak
menyenangkan atau mengancam dan memunculkan respon marah sehingga memiliki
dorongan untuk berperilaku destruktif yang dapat melukai diri sendiri, orang lain,
maupun lingkungan (Yosep 2009). Sutejo (2017) mengatakan bahwa tanda dan gejala
pasien dengan risiko perilaku kekerasan yaitu wajah memerah dan tegang, pandangan
tajam, mengatupkan rahang dengan kuat, mengepalkan tangan, bicara kasar, suara
tinggi, menjerit atau berteriak. Nurhalimah (2016) mengatakan penyebab pasien
melakukan perilaku kekerasan tidak lepas dari konsep stres adaptasi Stuart yang meliputi
faktor predisposisi (faktor yang melatarbelakangi) seperti anggota keluarga yang sering
memperlihatkan perilaku kekerasan, keinginan yang tidak tercapai dan faktor presipitasi
(faktor yang memicu adanya masalah) seperti stresor berupa kehilangan orang yang
dicintai, khawatir terhadap penyakit. Keliat (2011) bahaya yang ditimbulkan pada pasien
perilaku kekerasan yaitu melakukan ancaman, mencederai orang lain, dan atau
merusak lingkungan. Penatalaksanaan keperawatan pasien gangguan jiwa untuk
mengatasi perilaku kekerasan adalah dengan terapi psikofarmaka, terapi aktivitas
kelompok dan manajemen perilaku kekerasan yang terdiri dari fisik, verbal, spiritual,
dan obat. Pada manajemen perilaku kekerasan verbal dilakukan penerapan tindakan
asertif (Nurhalimah 2016). Tindakan asertif adalah kemarahan atau rasa tidak setuju
yang dinyatakan atau diungkapkan tanpa menyakiti orang lain (Yosep 2009).
Berdasarkan pernyataan tersebut, tindakan asertif mampu membantu pasien dengan
risiko perilaku kekerasan untuk mengungkapkan rasa marahnya pada orang lain tanpa
membuat orang lain sakit hati dan membantu pasien untuk mengatasi perilaku
kekerasan. Menurut Irvanto (2013) penerapan tindakan asertif dilakukan pada pasien
yang sudah memasuki masa (maintenance)dimana pasien sudah pernah dilakukan
manajemen perilaku kekerasan berupa fisik seperti nafas dalam dan memukul bantal.
Penelitian yang dilakukan oleh Irvanto dkk (2013) menunjukan hasil yaitu dengan
diberikannya latihan tindakan asertif pada pasien risiko perilaku kekerasan, membuat
pasien mampu mengontrol marahnya daripada pasien yang tidak diberikan latihan
tindakan asertif. Hal tersebut juga didukung dengan pengalaman penulis pada saat
melaksanakan praktik klinik keperawatan jiwa, penulis mencoba untuk menerapkan
latihan tindakan asertif kepada pasien dan menemukan hasil bahwa pasien menjadi lebih
terbuka dan sangat antusias dengan latihan tersebut. Sedangkan pada kenyataannya
latihan penerapan tindakan asertif sangat jarang diajarkan oleh perawat kepada pasien di
Rumah Sakit Jiwa provinsi Lampung. Hal tersebut mendasari ketertarikan penulis untuk
lebih mendalami penerapan tindakan asertif dan menggunakannya dalam asuhan
keperawatan pada pasien dengan risiko perilaku kekerasan, dan harapannya dengan
latihan penerapan tindakan asertif pasien dapat mengontrol emosi dan dapat berfungsi
kembali secara wajar di lingkungan masyarakat serta penerapan tindakan asertif dapat
dilakukan diseluruh instansi pelayanan terkait agar dapat membantu pasien dalam
mengatasi respon marah yang lebih konstruktif.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka disimpulkan rumusan masalah yaitu
“bagaimana penerapan tindakan asertif pada pasien dengan risiko perilaku kekerasan”.
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Melaksanakan penerapan tindakan asertif pada pasien dengan risiko perilaku kekerasan.
2. Tujuan Khusus
a. Teridentifikasinya perilaku pasien dengan risiko perilaku kekerasan
b. Teridentifikasinya respon pasien terhadap tindakan asertif
D. Manfaat
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi sebagai
bahan pengembangan keilmuan Keperawatan Jiwa mengenai penerapan tindakan asertif
pada pasien dengan risiko perilaku kekerasan.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Rumah Sakit Jiwa
Hasil penelitian dapat memberikan kontribusi bagi rumah sakit jiwa khususnya di bidang
keperawatan jiwa dalam menerapkan tindakan asertif pada pasien dengan risiko perilaku
kekerasan.
b. Bagi Pasien Risiko Perilaku Kekerasan
Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan gambaran bagi pasien untuk mengontrol
marahnya
c. Bagi Keluarga Pasien
Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan bagi keluarga pasien dalam
mendukung kesembuhan pasien
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Keterangan :
Asertif : Kemarahan yang diungkapkan tanpa menyakiti orang lain
Frustasi : Kegagalan mecapai tujuan karena tidak realistis atau terhambat
Pasif : Respon lanjutan dimana pasien tidak mampu mengungkapkan perasaannya
Agresif : Perilaku destruktif tapi masih terkontrol
Amuk : Perilaku destruktif dan tidak terkontrol
Selain melihat respon perilaku melalui tingkah laku pasien, pada pengkajian
perlu juga untuk melihat penyebab terjadinya perilaku kekerasan yang dilakukan pasien.
Menurut Nurhalimah (2016) penyebab terjadinya perilaku kekerasan dapat dijelaskan
dengan menggunakan konsep stres adaptasi Struart yang meliputi faktor predisposisi
(faktor yang melatarbelakangi) dan faktor presipitasi (faktor yang memicu adanya
masalah).
a. Faktor Predisposisi
Hal-hal yang dapat mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan, meliputi :
1.) Faktor Biologis
Hal yang dikaji pada faktor biologis meliputi adanya faktor herediter yaitu
adanya anggota keluarga yang sering memperlihatkan atau melakukan perilaku
kekerasan, adanya anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa, adanya riwayat
penyakit atau trauma kepala, dan riwayat penggunaan NAPZA (narkotika, psikotropika,
dan zat adiktif lainnya). Sedangkan menurut Sutejo (2017) dari faktor-faktor tersebut
masih ada teoroi-teori yang menjelaskan tiap faktor.
a.) Teori dorongan naluri (Instinctual drive theory)
Teori ini menyatakan bahwa perilaku kekerasan disebabkan oleh suatu dorongan
kebutuhan dasar yang kuat. Penelitian neurobiologi mendapatkan bahwa adanya
pemberian stimulus elektris ringan pada hipotalamus (yang berada di tengah sistem
limbik) binatang ternyata menimbulkan perilaku agresif.
b.) Teori psikomatik (Psycomatic theory)
Pengalaman marah dapat diakibatkan oleh respon psikologi terhadap stimulus
eskternal maupun internal. Sehingga sistem limbik memiliki peran sebagai pusat untuk
mengekspresikan mauun menghambat rasa marah.
2.) Faktor Psikologi
a.) Frustation aggresion theory
Menerjemahkan bahwa bila usaha seseorang untuk mencapai suatu tujuan
mengalami hambatan maka akan timbul dorongan agresif yang pada gilirannya akan
memotivasi perilaku yang dirancang untuk melukai orang atau objek. Hal ini dapat
terjadi apabila keinginan individu untuk mencapai sesuatu gagal atau terhambat. keadaan
frustasi dapat mendorong individu untuk berperilaku agresif karena perasaan frustasi
akan berkurang melalui perilaku kekerasan.
b. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi perilaku kekerasan pada seiap individu bersifat unik, berbeda
satu orang dengan yang lain. Faktor ini berhubungan dengan pengaruh stresor yang
mencetuskan perilaku kekerasan bagi setiap individu. Stresor tersebut dapat merupakan
penyebab yang berasal dari dalam maupun dari luar individu. Stresor dari dalam berupa
kehilangan relasi atau hubungan dengan orang yang dicintai atau berarti seperti
kehilangan keluarga, sahabat yag dicintai, kehilangan rasa cinta, kekhawatiran terhadap
penyakit, fisik dan lain-lain. Sedangkan stresor dari luar berupa serangan fisik,
kehilangan, kematian, lingkungan yang terlalu ribut, kritikan yang mengarah pada
penghinaan, tindakan kekerasan.
c. Faktor Risiko
Menurut Nanda (dalam Sutejo 2017) menyatakan faktor- faktor risiko dan risiko
perilaku kekerasan terhadap diri sendiri (risk for self-directed violence) dan risiko
perilaku kekerasan terhadap orang lain (risk for other-directed violence).
1.) Risiko perilaku kekerasan terhadap diri sendiri (risk for self- directed violence)
a.) Usia ≥ 45 tahun
b.) 15-19 tahun
c.) Isyarat tingkah laku (menulis catatan cinta yang sedih, menyatakan pesan bernada
kemarahan kepada orang tertentu yang telah menolak individu tersebut, dan lain-lain)
d.) Konflik mengenai orientasi seksual
e.) Konflik dalam hubungan interpersonal
f.) Pengangguran atau kehilangan pekerjaan (masalah pekerjaan)
g.) Terlibat dalam tindakan seksual autoerotik
h.) Sumber daya personal yang tidak memadai
i.) Status perkawinan (sendiri, menjanda, bercerai)
j.) Isu kesehatan mental (depresi, psikosis, gangguan kepribadian, penyalahgunaan zat
k.) Pekerjaan (profesional, eksekutif, administrator, atau pemilik bisnis, dll)
l.) Pola kesulitan dalam keluarga (riwayat bunuh diri, sesuatu yang bersifat kekerasan
atau konfliktual)
m.) Isu kesehatan fisik
n.) Gangguan psikologis
o.) Isolasi sosial
p.) Ide bunuh diri
q.) Rencana bunuh diri
r.) Riwayat upacara bunuh diri berulang
s.) Isyarat verbal (membicarakan kematian, menanyakan tentang dosis mematikan suatu
obat,dan lain-lain
2.) Risiko perilaku kekerasan terhadap orang lain (risk for other-violence)
a.) Akses atau ketersediaan senjata
b.) Alterasi (gangguan) fungsi kognitif
c.) Perilaku kejam terhadap binatang
d.) Riwayat kekerasan masa kecil, baik secara fisik, psikologis, maupun seksual
e.) Riwayat penyalahgunaan zat
f.) Riwayat menyaksikan kekerasan dalam keluarga
g.) Impulsif
h.) Pelanggaran atau kejahatan kendaraan bermotor (seperti pelanggaran lalu lintas,
pengguanaan kendaraan bermototr untuk melampiaskan amarah)
i.) Bahasa tubuh negatif ( seperti kekauan, mengepalkan tinju/ukulan,
hiperaktivitas,dan lain-lain)
j.) Gangguan neurologis (trauma kepala, gangguan serangan, kejang, dan lain-lain)
k.) Intoksikasi patologis
l.) Riwayat melakukan kekerasan tidak langsung (kencing dilantai, menyobek objek di
dinding, melempar barang, memecahkan kaca, membanting pintu, dan lain-lain)
m.) Pola perilaku kekerasan terhadap orang lain (menendang, memukul, menggigit,
mencakar, upaya perkosaan, memperkosa, pelecehan seksual, mengencingi orang,
dan lain-lain)
n.) Pola ancaman kekerasan (ancaman secara verbal terhadap objek atau orang lain,
menyumpah serapah, gestur atau catatan mengancam, ancaman seksual, dan lain-lain)
o.) Pola perilaku kekerasan antisosial (mencuri, meimnjam dengan memaksa, penolakan
terhadap medikasi, dan lain-lain)
e. Mekanisme Koping
Secara umum mekanisme koping yang sering digunakan antara lain
mekanisme pertahanan ego seperti displacement, sublimasi, proyeksi, depresi, denial,
dan reaksi formasi.
f. Perilaku
Klien dengan gangguan perilaku kekerasan memiliki beberapa perilaku yang
perlu diperhatikan. Perilaku klien dengan gangguan perilaku kekerasan dapat
membahayakan bagi dirinya sendiri, orang lain, maupun lingkungan sekitar. Adapun
perilaku yang harus dikenali dari klien gangguan risiko perilaku kekerasan, antara lain :
1.) Menyerang atau menghindar
Pada keadaan ini respon fisiologis timbul karena kegiatan sistem syaraf otonom
bereaksi terhadap sekresi ephineprin yang menyebabkan tekanan darah meningkat,
takikardi, wajah merah, pupil melebar, mual, sekresi HCL meningkat, peristaltik gaster
menurun, pengeluaran urine dan saliva meningkat, konstipasi, kewaspadaan meningkat,
disertai ketegnagan otot seperti ; rahang terkatup, tangan mengepal, tubuh menjadi kaku
dan disertai reflek yang cepat.
2.) Menyatakan secara asertif
Perilaku yang sering ditampilkan individu dalam mengekspresikan
kemarahannya yaitu perilaku pasif, agresif, dan asertif. Perilaku asertif meru[akan cara
terbaik individu untuk mengekspresikan rasa marahnya tanpa menyakiti orang lain
secara fisik maupun psikologis. Dengan perilaku tersebut juga dapat mengembangkan
diri.
3.) Memberontak
Perilaku yang muncul biasanya disertai kekerasan akibat konflik perilaku untuk
menarik perhatian orang lain.
4.) Perilaku kekerasan
Tindakan kekerasan atau amuk yang ditujukan kepada diri sendiri, orang lain,
maupun lingkungan.
Data : Pasien mengatakan memukul ibunya dengan sapu, menendang pintu, berbicara
dengan nada tinggi dan suara keras, dan mengeluarkan kata-kata kotor. Tangan
mengepal, mata melotot, mata merah, wajah tegang dan memerah, rahang terkatup kuat.
Pasien mengatakan marah karena ibunya tidak membelikan motor.
3. Analisa Data
Setelah mendapatkan data, selanjutnya adalah membuat analisa data. Berikut contoh
analisa data pada perilaku kekerasan :
4. Diagnosa Keperawatan
setelah dilakukan pengkajian dan analisa data selanjutnya adalah penegakan
diagnosa keperawatan dan pembuatan pohon masalah. Diagnosis keperawatan risiko
perilaku kekerasan dirumuskan jika klien saat ini tidak melakukan perilaku kekerasan,
tetapi pernah melakukan perilaku kekerasan dan belum mampu mengendalikan perilaku
kekerasan tersebut. Berikut adalah diagnosa keperawatan dan pohon masalah pada klien
dengan risiko perilaku kekerasan :
gambar 3.2 Pohon Masalah Diagnosis Risiko Perilaku Kekerasan.
Sumber (Sutejo 2017)
perilaku kekerasan
5. Rencana Keperawatan
Keliat (2011) Tindakan keperawatan dilakukan untuk mengatasi perilaku klien.
tindakan dilakukan pada pasien dan keluarga. Berikut adalah rencana tindakan
keperawatan yang dilakukan pada pasien dengan risiko perilaku kekerasan.
Tujuan :
a. Pasien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
b. Pasien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.
c. Pasien dapat menyebutkan jenis perilaku kekerasan yang pernah dilakukannya.
d. Pasien dapat menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan yang dilakukannya.
e. Pasien dapat menyebutkan cara mencegah/mengontrol perilaku kekerasannya.
f. Pasien dapat mencegah/mengontrol perilaku kekerasannya secara fisik, verbal,
spiritual, dan dengan terapi psikofarmaka.
g. Keluarga dapat berperan serta secara aktif sebagai pendukung klien
(suport system) dalam mengatasi risiko perilaku kekerasan
Tindakan Keperawatan :
a. Bina hubungan saling percaya, dalam membina hubungan saling percaya perlu
dipertimbangkan agar pasien merasa aman dan nyaman saat berinteraksi. Tindakan yang
harus dilakukan dalam rangka membina hubungan saling percaya adalah :
1.) Mengucapkan salam terapeutik.
2.) Berjabat tangan.
3.) Menjelaskan tujuan interaksi.
4.) Membuat kontrak topik, waktu dan tempat setiap kali bertemu pasien.
b. Diskusikan bersama pasien penyebab perilaku kekerasan saat ini dan yang lalu.
d. Diskusikan bersama pasien perilaku kekerasan yang biasa dilakukan pada saat marah,
yaitu secara verbal terhadap :
1.) Orang lain.
2.) Diri sendiri.
3.) Lingkungan.
6. Implementasi
Setelah dibuat rencana tindakan keperawatan yang akan dilakukan kepada pasien
dengan risiko perilaku kekerasan, selanjutnya adalah menerapkan rencana tersebut
kepada pasien dan dilakukan evaluasi setiap selesai pemberian implementasi.
7. Evaluasi keperawatan
Evaluasi kemampuan pasien mengatasi risiko perilaku kekerasan berhasil apabila pasien
dapat :
a. Menyebutkan penyebab, tanda, dan gejala perilaku kekerasan dan akibat dari
perilaku kekerasan
b. Mengontrol perilaku kekerasan :
1.) Fisik : tarik nafas dalam, memukul bantal/kasur
2.) Sosial/verbal : meminta, menolak, mengungkapkan perasaan secara sopan dan
baik
3.) Spiritual : dzikir/berdoa, meditasi berdasarkan agama yang dianut
4.) Psikofarmaka : rutin mengkonsumsi obat, tidak putus obat, mampu mengenal obat
sendiri dari warna, bentuk, nama, dosis, dan lain-lain
c. Evaluasi kemampuan keluarga (pelaku rawat) risiko perilaku kekerasan berhasil
apabila keluarga dapat :
1.) Mengenal masalah yang dirasakan dalam merawat pasien (pengertian, tanda dan
gejala, dan proses terjadinya risiko perilaku kekerasan)
2.) Mencegah terjadinya perilaku kekerasan
3.) Menunjukan sikap yang mendukung dan menghargai pasien
4.) Memotivasi pasien dalam melakukan cara mengontrol perasaan marah
5.) Menciptakan suasana keluarga dan lingkungan yang mendukung pasien mengontrol
perasaan marah
6.) Mengevaluasi manfaat asuhan keperawatan dalam mencegah perilaku kekerasan
pasien
7.) Melakukan follow up ke Puskesmas, mengenal tanda kambuh dan melakukan
rujukan
Pendokumentasian dilakukan bersamaan dengan evaluasi keperawatan. Berikut adalah
contoh dokumentasi pasien dengan risiko perilaku kekerasan beserta keluarga
Hari.....Tgl....Pukul..... S pasien :
Data Pasien : Pasien mengatakan senang
Pasien mengatakan dapat satu lagi cara
kadang-kadang masih mengontrol marah
muncul perasaan jengkel Akan melakukan latihan
Sudah minum obat sesuai asertif yang sudah dibuat
jadwal S keluarga :
Jika waktu minum obat Keluarga mengatakan
pukul 7 pagi harus akan tetap membantu
diingatkan istrinya pasien mengontrol
karena menurut pasien perasaan marahnya dengan
suka jadi ngantuk cara
Latihan nafas dalam lebih
dipilih pasien
Cara verbal sudah Menjelaskan tentang proses
dilakukan pasien yaitu rujukan
meminta dengan baik RTL
Data Keluarga : Pasien :
Keluarga telah evaluasi kemampuan
mengingatkan pasien sesuai pasien
jadwal ketika pasien lupa
Telah memberikan pujian
setelah pasien berlatih
sesuai jadwal Memotivasi dan
Diagnosis Keperawatan : mengingatkan pasien
Risiko perilaku kekerasan berlatih mengontrol
Tindakan keperawatan : perasaan marah sesuai
Pasien : jadwal dan menerapkan
Melatih pasien
cara mengontrol ketika marah, bantu
marah dengan minum obat tgl…..
Tindakan asertif pukul…….
Kegiatan asertif
dimasukkan kedalam
jadwal harian pasien
Keluarga
Melatih cara
merawat dengan cara
asertif
Mendiskusikan
dengan keluarga
tentang kondisi
pasien yang perlu
segera dibawa ke
fasilitas layanan
Kesehatan
Menjelaskan proses
rujukan
Mengingatjan pasien
berlatih sesuai
jurusan
O pasien :
Pasien mampu melakukan cara
meminta, menolak, dan
mengungkapkan perasaan dengan
baik
Pasien mampu memasukan kegiatan
latihan asertif ke dalam jadwal
kegiatan hariannya
O keluarga :
Keluarga kooperatif dan turut
mendampingi ketika perawat melatih
pasien cara mengontrol perasaan
marah dengan cara asertif dan
memberi pujian pada pasien
A : pasien dan keluarga mengenal cara
mengontrol perilaku kekerasan dengan cara
asertif
P pasien :
Mengontrol perasaan marah dengan
tindakan asertif
Patuh minum obat
Melakukan cara nafas dalam,
pukul kasur dan bantal, serta bicara
yang baik sesuai dengan apa yang
sudah dilatihkan dan sesuai dengan
jadwal
P keluarga :
Keluarga : evaluasi kemampuan keluarga
membantu pasien mengontrol perilaku
kekerasan
B. Tindakan Asertif
Menurut Sutejo (2017) mengatakan bahwa tindakan asertif adalah tindakan yang
dilakukan untuk mengekspresikan marah, meminta, dan menolak dengan baik dan sopan
tanpa menyakiti orang lain secara fisik maupun psikologis. Sedangkan menurut Yosep
(2009) asertif adalah kemarahan atau rasa tidak setuju yang dinyatakan atau
diungkapkan tanpa menyakiti orang lain akan memberi kelegaan pada individu dan tidak
akan menimbulkan masalah. Menurut Stuart (2016) menyatakan bahwa sikap asertif
adalah sikap yang berada tepat di titik tengah pada rentang antara perilaku pasif dan
perilaku agresif. Perilaku asertif merupakan sikap yang menunjukan rasa yakin tentang
diri sendiri, mampu berkomunikasi dengan secara hormat pada orang lain. Seseorang
dengan perilaku asertif mampu berbicara dengan orang lain dengan cara yang jelas dan
langsung. Mereka juga mampu menunjukan sikap yang memperhatikan norma-norma
ruang pribadi orang lain sesuai dengan situasinya. Seseorang dengan perilaku asertif
merasa bebas untuk menolak permintaan yang tidak masuk akal.
Namun mereka dapat menjelaskan alasannya pada orang lain tanpa membuat
orang tersebut menjadi marah dan umumnya dapat menerima alasannya. Di sisi lain
perilaku asertif juga ditunjukan dengan sikap tidak ragu untuk menyampaikan
permintaan pada orang lain, dengan asumsi bahwa orang lain akan menerima
permintaannya yang masuk akal. Jika orang lain tidak dapat menolak permintaannya,
seseorang dengan perilaku asertif tidak akan merasa bersalah saat melakukan
permintaan pada orang lain.
Perilaku asertif merupakan kemampuan mengkomunikasikan perasaan secara
langsung kepada orang lain. Untuk itu, sikap marah tidak boleh ditunjukan, dan ekspresi
perasaan cenderung diupayakan seimbang dengan situasi yang ada. Seseorang yang
berperilaku asertif dapat mengungkapkan rasa sayang dan perhatian pada orang-orang
yang dirasakan dekat dengannya. Pujian diberikan saat yang tepat. Sikap asertif juga
ditunjukan dengan sikap mampu menerima masukan positif dari orang lain. Menurut
Townsend (2009) menyatakan bahwa perilaku asertif membantu individu merasa lebih
baik terhadap diri sendiri dengan mendorong mereka untuk membela hak asasi mereka.
Hak ini memiliki representasi yang setara pada semua individu. Akan tetapi seiring hak,
muncul juga tanggung jawab dalam jumlah yang seimbang. Bagian dari menjadi asertif
terdiri dari menjalankan tanggung jawab ini.
Perilaku asertif meningkatkan harga diri dan kemampuan untuk membentuk
hubungan interpersonal yang memuaskan. Ini dicapai melalui kejujuran, keterbukaan,
ketepatan, dan penghargaan hak pribadi serta hak orang lain. Individu membentuk pola
respon dalam beragam cara, seperti melalui model peran, dengan menerima penguatan
positif atau negatif, atau dengan pilihan secara sadar. individu asertif menegakan hak
diri mereka sendiri dan melindungi hak orang lain. beberapa perilaku penting yang
terdapat dalam perilaku asertif terdiri dari kontak mata, postur tubuh, jarak personal,
kontak fisik, sikap tubuh, ekspresi wajah, suara, kefasihan, pemilihan waktu,
mendengarkan, berpikir, dan isi pikir. Berikut adalah standar operasional pelaksanaan
penerapan tindakan asertif pada pasien dengan risiko perilaku kekerasan (cara verbal)
(RSJ Ghrasia, 2015)
1. Pengertian
Manajemen marah : cara sosial/verbal adalah suatu strategi untuk
menghilangkan / mengurangi perasaan jengkel / marah yang dialami oleh pasien
sehingga mencegah pasien tersebut untuk melakukan perilaku yang destruktif dengan
metode menghilangkan rasa marah secara konstruktif dengan cara sosial/verbal.
2. Tujuan :
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk agar pasien mampu mencegah /
mereda marahnya ketika muncul tanda-tanda marah sehingga tidak sampai melakukan
perilaku kekerasan
3. Kebijakan
a. Keputusan Direktur Rumah Sakit Jiwa Ghrasia Daerah Istimewa Yogyakarta
nomor 188/6566 tahun 2014 tentang Kebijakan Pelayanan Rumah Sakit Jiwa
Ghrasia DIY.
b. Dilakukan pada pasien dengan marah / perilaku kekerasan dan dengan riwayat
perilaku kekerasan dilakukan di ruangan yang tenang.
c. Petugas yang menangani manajemen marah : cara sosial/verbal adalah perawat
dengan pendidikan minimal DIII Keperawatan yang memiliki kewenangan klinis
yang terkait.
4. Prosedur
a. Persiapan
1. Tentukan pasien
2. Identifikasi pasien
3. Buat kontrak dengan pasien
b. Orientasi
1. Beri salam terapeutik
2. Tanyakan perasaan pasien saat ini
3. Jelaskan tujuan dan kontrak waktu
c. Tahap Kerja
1. Ajarkan pasien metode menyalurkan marah dengan cara verbal yaitu ketika marah
minta pasien untuk mengatakan :
“aku sedang marah”
“aku jengkel karena tidak diberi makan (misalnya) dsb”.
d. Terminasi
1.) Evaluasi
a.) Tanyakan perasaan pasien setelah kontak
b.) Tanyakan kembali tentang cara sosial/verbal yang dapat dilakukan untuk
menghilangkan marah
5. Unit Terkait
a. Instalasi Rawat Jalan
b. Instalasi Rawat Inap
c. Instalasi Gawat Darurat
d. Instalasi Rawat Intensif
e. Instalasi Penanganan Korban Napza
f. Instalasi Farmasi
g. Instalasi Rekam Medis
h. Bidang Keperawatan
i. Bidang Penunjang dan Sarana
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
2. Data sekunder yang didapatkan melalui studi dokumen dan wawancara pada perawat
di bangsal. Studi dokumen dilakukan untuk mendapatkan data riwayat pasien dahulu dan
sekarang, terapi psikofarmaka yang diberikan, catatan perkembangan pasien, dan data
penunjang yang lain. sedangkan wawancara dengan perawat bangsal untuk mendapatkan
perkembangan pasien selama dirawat dan lain-lain. Selain itu penulis juga melakukan
studi pendahuluan tentang data statistik pasien dengan risiko perilaku kekerasan.
Amelia, D, R., dan Anwar, Z. (2013). Relaps Pada Pasien Skizofrenia. Jurnal
Keperawatan, Vol 1
Dinas Kesehatan DIY. (2015). Profil Kesehatan DIY Tahun 2015 Tentang Kasus
Gangguan Jiwa di Yogyakarta. Yogyakarta : Data Rutin Dinkes DIY
Dinas Kesehatan DIY. (2016). Profil Kesehatan DIY Tahun 2016 Tentang Kasus
Gangguan Jiwa di Yogyakarta. Yogyakarta : Data Rutin Dinkes DIY
Irvanto, D., Surtiningrum, S., dan Nurulita, U. (2013). Pengaruh Terapi Aktivitas
Kelompok Asertif Terhadap Perubahan Perilaku Pada Pasien Perilaku Kekerasan.
Jurnal diakses dari http://download.portalgaruda.org/article.phppada hari Jumat 5
Januari 2018
Keterangan :
Rendah
2. Keras menuntut
melukai
7. Melukai dalam tingkat ringan tanpa
perawatan medis
Tinggi
Tabel 1.2 Perbandingan Perilaku Pasif, Asertif, Agresif.
4.) Sikap atau perilaku atau tindakan apa yang dilakukan saat anda
marah?
5.) Apa akibat dari cara marah yang anda lakukan?
5.) Chlorpromazine
6.) Lithium
Contoh pendokumentasian hasil pengkajian pada Tn. Z :
3. Analisa Data
Suara keras
Tangan mengepal
Pandangan tajam’mengatupkan
Mengepalkan tangan
Bicara kasar
4. Diagnosa Keperawatan
perilaku kekerasan
5. Rencana Keperawatan
Tujuan :
Tindakan Keperawatan :
4.) Membuat kontrak topik, waktu dan tempat setiap kali bertemu
pasien.
b. Diskusikan bersama pasien penyebab perilaku kekerasan saat ini
dan yang lalu.
c. Diskusikan perasaan pasien jika terjadi penyebab perilaku
kekerasan
1.) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara fisik.
3.) Lingkungan.
4.) Obat
g. Latih pasien mengontrol perilaku kekerasan secara fisik :
2016)
Implementasi Evaluasi
Hari.....Tgl....Pukul..... S pasien :
Data Pasien : Pasien mengatakan
Pasien mengatakan senang dapat satu lagi
kadang-kadang masih cara mengontrol marah
muncul perasaan jengkel Akan melakukan latihan
Sudah minum obat sesuai asertif yang sudah dibuat
jadwal S keluarga :
Jika waktu minum obat
pukul 7 pagi harus Keluarga mengatakan
diingatkan istrinya akan tetap membantu
Cara verbal sudah
dilakukan pasien yaitu
Menjelask
meminta dengan baik
an
Data Keluarga :
tentang
proses
Keluarga telah
rujukan
mengingatkan pasien
sesuai jadwal ketika
pasien lupa
Telah memberikan pujian
R
setelah pasien berlatih
T
sesuai jadwal
L
Diagnosis Keperawatan :
Risiko perilaku kekerasan
:
Tindakan keperawatan :
Pasien :
Pasien :
Melatih pasien cara
evaluasi
mengontrol marah
kemampuan
dengan tindakan asertif
pasien
Kegiatan latihan asertif
dimasukan kedalam
jadwal harian pasien
Keluarga :
O pasien :
P pasien :
Tgl... Pukul....
B. Tindakan Asertif
a. Persiapan
5. Unit Terkait
Karya tulis ilmiah ini merupakan laporan studi kasus yang bersifat
deskriptif meliputi pengkajian keperawatan, diagnosa keperawatan,
rencana keperawatan, implementasi keperawatan, dan evaluasi
keperawatan.
B. Subyek Studi Kasus
Subyek studi kasus ini yaitu 2 orang pasien dengan risiko perilaku
kekerasan di Bangsal Maintenance Rumah Sakit Jiwa Grhasia Yogyakarta.
C. Fokus Studi
2. Tindakan Asertif
Karya tulis ilmiah ini berbasis rumah sakit (hospital base) yang
dilaksanakan di Rumah Sakit Jiwa Grhasia Yogyakarta yaitu di bangsal
maintenance. Waktu yang dipergunakan penulis dimulai dari persiapan
sampai seminar hasil laporan yaitu dari bulan Juni 2018 sampai dengan
Juli
2018.
1. Otonomi (autonomi)
Amelia, D, R., dan Anwar, Z. (2013). Relaps Pada Pasien Skizofrenia. Jurnal
Keperawatan, Vol 1
Dinas Kesehatan DIY. (2015). Profil Kesehatan DIY Tahun 2015 Tentang Kasus
Gangguan Jiwa di Yogyakarta. Yogyakarta : Data Rutin Dinkes DIY
Dinas Kesehatan DIY. (2016). Profil Kesehatan DIY Tahun 2016 Tentang Kasus
Gangguan Jiwa di Yogyakarta. Yogyakarta : Data Rutin Dinkes DIY
Irvanto, D., Surtiningrum, S., dan Nurulita, U. (2013). Pengaruh Terapi Aktivitas
Kelompok Asertif Terhadap Perubahan Perilaku Pada Pasien Perilaku
Kekerasan. Jurnal diakses dari
http://download.portalgaruda.org/article.phppada hari Jumat 5 Januari 2018
86
87