Akne Vulgaris

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 8

Akne Vulgaris

2.1.1 Definisi
Akne vulgaris (AV) merupakan kelainan kulit kronik pada folikel pilosebasea dengan
karakteristik terdapat komedo, papul, pustul, nodul, dan terkadang bisa timbul jaringan parut.
Komedo merupakan lesi primer dari AV.

2.1.2 Epidemiologi
Akne secara primer merupakan penyakit yang diderita pada usia dewasa muda, dengan 85%
remaja dipengaruhi oleh beberapa derajat keparahan. Akne dimulai saat masa pubertas dengan
peningkatan produksi hormon seks. Ketika akne dimulai pada usia 8-12 tahun, komedo sebagai
karakteristik utamanya mengenai bagian dahi dan pipi. Akne timbul dengan frekuensi paling
sering antara usia 15-18 tahun pada pria maupun wanita. Angka kejadian AV di Indonesia
diperkirakan kurang lebih 15 juta penduduk dengan usia antara 13-40 tahun.

2.1.3 Patogenesis
Akne memiliki patogenesis yang multifaktorial, tetapi secara umum dapat diidentifikasikan ke
dalam empat faktor, yaitu (1) hiperproliferasi epidermis folikular, (2) produksi sebum yang
berlebihan, (3) inflamasi, dan (4) aktivitas Propionibacterium acnes.
Hiperproliferasi epidermis folikular menyebabkan pembentukan lesi primer akne, yaitu
mikrokomedo yang membuat penyumbatan folikel.Terjadinya hiperproliferasi epidermis
folikular dipengaruhi oleh penurunan asam linoleat kulit dan adanya peningkatan aktivitas IL-1,
sehingga menyebabkan infundibulum atau folikel rambut bagian atas menjadi hiperkeratotik dan
bertambahnya kohesi keratinosit sehingga menyumbat muara folikel rambut.
Kemudian, folikel rambut berdilatasi akibat adanya akumulasi keratin, sebum, dan bakteri
sehingga membentuk mikrokomedo yang makin membesar dan ruptur dinding folikel.Respon
tubuh terhadap ini adalah inflamasi. Tipe sel predominan yang berperan dalam 24 jam pertama
rupturnya komedo ini adalah limfosit. Limfosit CD4+ ditemukan di unit pilosebaseus, sedangkan
limfosit CD8+ ditemukan di perivaskuler. Satu hingga dua hari setelah komedo ruptur, netrofil
menjadi sel predominan yang mengelilingi mikrokomedo. Hormon androgen juga berperan pada
folikel keratinosit untuk menstimulasi hiperproliferasi melalui dihidrotestosteron (DHT) sebagai
poten androgen serta bekerja pada aktivitas sebosit yang berlebih.
Patogenesis yang kedua ialah kelebihan produksi sebum yang berasal dari kelenjar sebacea.Salah
satu komponen sebum, yaitu trigliserida berperan dalam patogenesis akne. Trigliserida dipecah
menjadi asam lemak bebas oleh P. acnes sebagai flora normal unit pilosebacea. Asam lemak
bebas ini mempengaruhi kolonisasi P. acnes, mendorong terjadinya inflamasi, dan proses
komedogenik.
Aktivitas P. acnes juga dapat menyebabkan proses inflamasi. P. acnes merupakan bakteri gram
positif dan anaerob yang ditemukan di folikel sebasea.Dinding sel P. acnes terdiri dari antigen
karbohidrat yang menstimulasi perkembangan antibodi. Antibodi anti-propionibakterium
menambah respon inflamasi dengan mengaktivasi komplemen yang menginisiasi pro-inflamasi.
Propionibacterium acnes juga menyebabkan respon inflamasi dengan mengeluarkan respon
hipersensitivitas yang lambat dan dengan memproduksi lipase, protease, hialuronidase, dan
faktor kemotaktis.

2.1.4 Gambaran Klinis dan Derajat Keparahan


Lesi AV biasanya polimorf, berlokasi terutama di wajah (99% kasus), dan dengan jumlah yang
lebih jarang pada bagian dada (15%), punggung (60%), leher, dan bahu, dengan jumlah dan
bentuk lesi bervariasi tetapi ada bentuk lesi yang dominan yang dipakai untuk menentukan
derajat keparahan.
Lesi AV dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu lesi non-inflamasi dan lesi inflamasi.
Lesi non-inflamasi merupakan lesi awal dan dapat berkembang menjadi komedo tertutup dan
terbuka.Lesi inflamasi berbentuk komedo, baik itu komedo tertutup (whitehead) yang tampak
sebagai papul kecil, meninggi, bewarna pucat, dan tidak mempunyai lubang; maupun komedo
terbuka (blackhead) yang berupa lesi datar dengan keratin folikular dan lemak kehitaman di
tengahnya. Warna kehitaman pada komedo terbuka dikarenakan deposit melanin.
Selain itu, lesi inflamasi dapat berkembang dari mikrokomedo atau nonlesi dan berkembang
menjadi lesi superfisial atau lesi dalam. Lesi superfisial dapat berupa papul atau pustul dengan
diameter kurang dari 5 mm, sedangkan lesi dalam berupa pustul yang dalam dan nodul.
Untuk menentukan derajat keparahan AV, dapat digunakan metode spot counting yang
didasarkan pada jumlah, bentuk, dan berat ringannya lesi yang meradang, yaitu dengan
klasifikasi Plewig dan Kligman.
a. Akne komedonal
- Grade 1: kurang dari 10 komedo di satu sisi muka
- Grade 2: 10-25 komedo di satu sisi muka
- Grade 3: 25-50 komedo di satu sisi muka
- Grade 4: lebih dari 50 komedo di satu sisi muka
b. Akne papulopustul
- Grade 1: kurang dari 10 lesi meradang di satu sisi muka
- Grade 2: 10-20 lesi yang meradang di satu sisi muka
- Grade 3: 20-30 lesi yang merarang di satu sisi muka
- Grade 4: lebih dari 30 lesi yang meradang di satu sisi muka

2.1.5. Faktor- Faktor yang Berpengaruh


Berbagai macam faktor dapat mempengaruhi kejadian AV, baik faktor genetik, psikologi,
maupun lingkungan.
1) Genetik
Akne kemungkinan besar merupakan penyakit genetik dalam peningkatan respon unit
pilosebasea terhadap kadar normal androgen dalam darah. Adanya gen tertentu (CYP17-34C)
dalam sel tubuh manusia, juga dapat meningkatkan terjadinya akne.
2) Diet
Faktor makanan, terutama makanan manis, coklat, dan yang mengandung lemak, diangggap
menjadi pemicu kejadian akne. Terutama makanan dengan glikemik indeks yang tinggi
menyebabkan hiperinsulinemia termasuk meningkatkan insulin-like growth factor 1 yang juga
meningkatkan kadar androgen sebagai patogenesis utama kejadian AV. Akne juga
memungkinkan sebagai efek dari tubuh yang kelaparan dan terlihat pada pasien anoreksia
nervosa.
3) Iklim dan lingkungan
Di daerah yang memiliki empat musim, biasanya akne bertambah hebat pada musim dingin,
sebaliknya kebanyakan membaik di musim panas. Sinar ultraviolet mempunyai efek membunuh
bakteri pada permukaan kulit dan dapat mengadakan pengupasan kulit yang dapat membantu
menghilangkan sumbatan saluran pilosebasea.
4) Pekerjaan
Berhubungan dengan hidrasi duktus stratum korneum yang mempengaruhi kejadian akne,
terutama pada pekerjaan yang berhubungan dengan uap dan banyak berkeringat.
5) Merokok
Asap rokok mengandung kadar asam arakidonat dan hidrokarbon aromatik polisiklik yang tinggi
sehingga memicu phospolipipasic A2-dependent inflammatory pathway. Pada perokok juga
ditemukan memiliki asupan lemak saturasi tinggi dan lemak polyunsaturated yang rendah pada
makanannya.
6) Psikis Pada beberapa penderita, stress dan gangguan emosi dapat menyebabkan eksaserbasi
akne. Hal ini dapat meningkatkan produksi sebum, baik secara langsung atau melalui rangsangan
terhadap kelenjar hipofisis.
2.1.6 Terapi Akne Vulgaris
Penatalaksanaan AV bisa bervariasi. Salah satu tujuan primer terapi akne jangka panjang adalah
menjaga duktus pilosebaseus tetap terbuka dan menghindari iritasi kulit.
Terapi nonfamakologis dapat berupa perawatan kulit wajah, memilih kosmetik yang
nonkomedogenik, dan menghindari pemencetan lesi secara non-higienis. Sedangkan terapi
farmakologis AV dilakukan sesuai derajat keparahannya dan dapat dibagi menjadi terapi topikal
dan sistemik
Terapi topikal merupakan standar penanganan akne derajat ringan sampai sedang. Pemilihan
bentuk sediaan topikal yang tepat akan menurunkan efek samping dan meningkatkan kepatuhan
pasien serta memberi hasil yang lebih baik. Secara umum, prinsip terapi topikal pada AV
dikaitkan dengan tiga hal, yaitu: etio-patogenesis, tipe lesi dan derajat keparahan, serta keadaan
kulit penderita. Obat berbentuk gel, sabun, dan solusio menimbulkan kering pada kulit dan baik
digunakan pada kulit berminyak. Bentuk lotion, krim, dan salep baik digunakan pada kulit kering
tetapi mudah mengiritasi kulit. Terapi topikal ini pada umumnya membutuhkan waktu enam
sampai delapan minggu untuk melihat efek kerjanya.
Bahan topikal untuk terapi akne sangat beragam. Bahan aktif yang sering digunakan adalah
retinoid, benzoil peroksida, asam salisilat, sulfur, asam azaleat, Alpha Hydroxy Acid (AHAs),
dan beberapa antibiotik, seperti eritromisin, klindamisin, tetrasiklin, dan metronidazol. Asam
azaleat dengan konsentrasi krim 20% atau gel 15% memiliki efek antimikroba dan komedolitik.
Benzoil peroksida merupakan bakteriostatik poten dan komedolitik ringan yang memiliki efek
samping kekeringan atau iritasi kulit terutama pada konsentrasi tinggi. Retinoid topikal yang
merupakan derivat vitamin A bekerja menormalkan proses proliferasi, mencegah penyumbatan
folikuler, serta menurunkan pelepasan sitokin proinflamasi. Terdapat tiga jenis retinoid topikal,
yaitu tretinoin, adapalen, dan tazaroten. Tretinoin adalah yang sering dipakai sebagai terapi
standar AV dan dapat berupa krim, gel, maupun cairan.Retinoid dapat menyebabkan penipisan
stratum korneum dan lapisan luar epidermis terutama pada kulit yang rentan fototrauma.
Penderita disarankan menggunakan tabir surya jika terpapar sinar matahari lama sehingga efek
penipisan epidermis pada penggunaan retinoid dapat dihindari. Antibiotik topikal selain bekerja
secara langsung menghambat kolonisasi P. acnes, juga diduga berkaitan dengan efek
antiinflamasi pada komedogenesis. Antibiotik topikal yang banyak digunakan adalah eritromisin
dan klindamisin. Eritromisin dan klindamisin memiliki efek yang hampir sama, yaitu bekerja
menghambat sintesis protein bakteri dan sebagai anti-inflamasi.
Banyak hal yang perlu dipertimbangkan dalam memilih obat antibiotik ini dikarenakan
meningkatnya resistensi terhadap antibiotik yang sering digunakan. Maka dari itu, terapi
kombinasi lebih dipilih untuk mengurangi resistensi. Biasanya terapi topikal kombinasi yang
digunakan dan paling efektif pada penderita AV derajat ringan sampai sedang adalah benzoil
peroksida dengan antibiotik topikal.
Terapi sistemik, termasuk antibiotik oral, retinoid oral, dan terapi hormonal menjadi pilihan
terapi AV pada keadaan terapi topikal sudah tidak responsif atau pada derajat keparahan akne
sedang hingga berat. Terapi oral isotretinoin sejauh ini masih menjadi terapi yang paling efektif.
Obat ini langsung bekerja pada keempat patogenesis utama AV. Isotretinoin paling efektif untuk
akne jenis nodulokistik dan dapat mencegah jaringan parut. Namun, obat ini dapat menimbulkan
kekambuhan jika obat dihentikan dengan pemeliharaan kebersihan yang kurang serta bersifat
teratogenik. Tetrasiklin merupakan lini pertama terapi antibiotik oral pada akne, tetapi
penggunaannya harus tetap dibatasi dan tidak boleh diberikan sebagai monoterapi dikarenakan
alasan resistensi.
Respon antibiotik oral biasanya terlihat setelah terapi selama enam minggu.Penggunaan terapi
kombinasi, sekali lagi, lebih disarankan, misalnya pemberian terapi retinoid topikal dengan
antibiotik oral bisa mempercepat respon penyembuhan. Agen hormonal ternyata juga efektif
sebagai terapi lini kedua pada wanita dengan akne tanpa melihat adanya kelainan hormonal.
Terapi hormonal yang dipakai terutama adalah kontrasepsi oral kombinasi yang mengandung
estrogen dan progestin. Komponen estrogen menurunkan produksi testosteron dan hormon
androgen lain. Beberapa kandungan progestin dapat memperparah kejadian akne. Progestin yang
dipilih adalah yang mengandung norgestimat, desogestrel, atau drosiperon untuk mengurangi
efek tersebut.
Penggunaan terapi hormonal ini perlu dilihat dari segi kebutuhan pasien dan indikasinya karena
bisa menimbulkan efek samping, seperti hiperkalemia, menstruasi yang tidak teratur, dll. Akan
lebih efektif jika dikombinasikan dengan terapi topikal atau antibiotik oral.
Selain terapi farmakologis di atas, terapi optikal dengan menggunakan laser atau gelombang
cahaya tertentu juga dapat menjadi pilihan terapi AV. Terapi cahaya seperti photodynamic
therapy (PDT) menjadi alternatif bagi pasien yang meninginkan penyembuhan topikal yang
cepat kerjanya, tanpa efek samping yang serius, dan tidak menyebabkan resistensi antibiotik.
Photodynamic therapy bekerja pada prekusor porfirin topikal yang dihasilkan oleh P. acnes,
seperti 5- aminolaevulinic acid (ALA) atau metil aminolevulinat (MAL). Pada red light ALA-
PDT menyebabkan destruksi kelenjar sebaseus dan remisi akne jangka panjang, sedangkan pada
MAL-PDT efektif sebagai antibiotik dan antiinflamasi.
Demabrasi

Dermabrasi merupakan salah satu treatment medis untuk bekas jerawat yang bekerja dengan
mengangkat jaringan kulit paling luar. Meskipun bisa dibilang operasi, namun ini adalah operasi
kecil yang selesai dalam hitungan menit hingga 1 jam.

Proses dermabrasi ini menggunakan dermabrator atau sikat kecepatan tinggi dengan roda atau
sikat abrasif untuk menghilangkan lapisan luar kulit dan memperbaiki permukaan kulit kamu.
Sebelumnya, kulit akan dibersihkan terlebih dahulu dan daerah yang akan
mendapatkan treatment ini diberi bius lokal oleh dokter ahli, sehingga kamu tidak merasakan
sakit.

Tujuan dari dermabrasi ini memang untuk sengaja melukai kulit untuk merangsang pergantian
sel-sel kulit dengan cepat. Setelah menjalani dermabrasi biasanya wajah akan bengkak dan
memerah, namun hal ini wajar dialami. Tenang saja, dalam 1-3 minggu wajahmu akan sembuh
dan kembali normal. Kamu yang memiliki bekas jerawat seperti parut, bopeng maupun
berlubang bisa memilih metode ini sebagai solusinya.

Mikrodermabrasi
Mikrodermabrasi adalah tindakan pengelupasan (exfoliation) menggunakan kristal-kristal mikro
untuk menghilangkan sel-sel kulit mati dan merangsang produksi sel kulit baru. Selain itu,
mikrodermabrasi juga akan mendorong produksi kolagen.

Jika ditinjau dari tujuannya, treatment ini hampir sama dengan dermabrasi, namun


mikrodermabrasi ini lebih ringan daripada dermabrasi. Jika dermabrasi menggunakan alat khusus
berupa dermabrator, maka mikrodermabrasi hanya menggunakan semprotan yang berisi zat
mikro kristal serta vakum. Dalam proses ini kamu juga tidak memerlukan anestesi. Durasi
waktunya juga lebih cepat dari demabrasi, yaitu 10 - 20 menit saja, namun kamu perlu
melakukan treatment ini beberapa kali bahkan bisa sampai 24x tergantung bekas jerawat tersebut
parah atau tidak. Biasanya mikrodermabrasi dilakukan 5 - 7 hari sekali.

Perbedaan Demabrasi dan Mikrodermabrasi


Melalui pengertian dermabrasi dan mikrodermabrasi yang sudah dijelaskan di atas, dapat
disimpulkan perbedaan keduanya. Dermabrasi merupakan metode untuk melepaskan lapisan
epidermis (lapisan terluar kulit) sampai ke lapisan atas dari dermis (lapisan kedua kulit) sehingga
memungkinkan terjadinya perubahan struktural kulit dan merangsang pertumbuhan lapisan kulit
baru yang lebih baik.

Sedangkan mikrodermabrasi hanya melepaskan bagian terluar dari epidermis dan mempercepat
proses pengelupasan secara alami. Selain itu, dalam treatment  mikrodermabrasi kamu tidak
memerlukan anestesi seperti saat melakukan dermabrasi, dan jika dermabrasi menggunakan alat
yang disebut dermabrator dengan roda intan yang bekerja seperti amplas untuk mengurangi
kedalaman bekas jerawat, mikrodermabrasi menggunakan pipa vakum yang mengandung kristal
aluminium oksida yang halus dan dilepaskan pada kulit untuk mengangkat sel-sel kulit mati.

Selain itu, dermabrasi umumnya hanya aman untuk orang berkulit terang sedangkan
mikrodermabrasi bekerja pada semua jenis dan warna kulit karena mikrodermabrasi hanya
membuat perubahan halus sehingga tidak menyebabkan perubahan warna kulit atau jaringan
parut. namun, untuk bekas jerawat yang dalam, kamu tetap dianjurkan memilih dermabrasi untuk
hasil yang lebih efektif
Referensi
Webster, Guy F, et.al. Acne and Its Therapy, Dermatologi Clinical and Basic Science Series/40.
2007. London: Informa Health Care.
http://eprints.undip.ac.id/50736/3/Mejestha_Rouli_Puspitasari_22010112130158_Bab2.PDF

https://www.beautynesia.id/berita-skincare/antara-dermabarasi-mikrodemabrasi-mana-yang-lebih-
efektif-menghilangkan-bekas-jerawat/b-129908

Anda mungkin juga menyukai