Reni Feronica. 1806124831. Laporan Akhir PKP

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 55

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI

PENGAPLIKASIAN Trichoderma sp. TERHADAP PENYAKIT


ANTRAKNOSA (Colletotrichum capsici) PADA TANAMAN
CABAI MERAH (Capsicum annum L.) DI UPT PROTEKSI
TANAMAN PERKEBUNAN, TANAMAN PANGAN DAN
HORTIKULTURA PEKANBARU PROVINSI RIAU

OLEH :
RENI FERONICA
NIM. 1806124831

JURUSAN AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2020
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI

PENGAPLIKASIAN Trichoderma sp. TERHADAP PENYAKIT


ANTRAKNOSA (Colletotrichum capsici) PADA TANAMAN
CABAI MERAH (Capsicum annum L.) DI UPT PROTEKSI
TANAMAN PERKEBUNAN, TANAMAN PANGAN DAN
HORTIKULTURA PEKANBARU PROVINSI RIAU

OLEH :
RENI FERONICA
NIM. 1806124831

Diajukan sebagai salah satu syarat


telah melaksanakan Praktek Kerja Profesi

JURUSAN AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2020

ii
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI

PENGAPLIKASIAN Trichoderma sp. TERHADAP PENYAKIT


ANTRAKNOSA (Colletotrichum capsici) PADA TANAMAN
CABAI MERAH (Capsicum annum L.) DI UPT PROTEKSI
TANAMAN PERKEBUNAN, TANAMAN PANGAN DAN
HORTIKULTURA PEKANBARU PROVINSI RIAU

OLEH :
RENI FERONICA
NIM. 1806124831

Pekanbaru, Desember 2020

Mengetahui

Koordinator Program Studi Dosen Pembimbing


Agroteknologi

Ir. Fifi Puspita, MP. Besri Nasrul, SP, MP.


NIP.196612121991032003 NIP.197304101999031003

iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah

memberikan kesehatan dan keselamatan sehingga penulis dapat menyelesaikan

laporan Praktek Kerja Profesi yang berjudul “ Pengaplikasian Trichoderma sp.

Terhadap Penyakit Antraknosa (Colletotrichum capsici) Pada Tanaman

Cabai Merah (Capsicum annum L.) di UPT Proteksi Tanaman Perkebunan,

Tanaman Pangan dan Hortikultura Pekanbaru Provinsi Riau”.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Besri Nasrul, SP, MP.

sebagai dosen pembimbing Praktek Kerja Profesi yang telah memberikan

bimbingan serta nasihat sampai selesainya laporan Praktek Kerja Profesi ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah

membantu penulis dalam menyelesaikan laporan Praktek Kerja Profesi ini.

Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan

laporan Praktek Kerja Profesi ini. Oleh karena itu penulis mengharapkan masukan

yang bersifat membangun untuk perbaikan laporan Praktek Kerja Profesi ini

sehingga dapat bermanfaat.

Pekanbaru, Desember 2020

Reni Feronica

iv
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. iii


KATA PENGANTAR .................................................................................... iv
DAFTAR ISI .................................................................................................. v
DAFTAR TABEL .......................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... ix

I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2 Tujuan .................................................................................................. 3

II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 4


2.1 Tanaman Hortikultura Cabai ( Capsicum annum L.) ............................ 4
2.2 Penyakit – penyakit yang Menyerang Tanaman Cabai ......................... 6
2.3 Penyakit Antraknosa pada Cabai .......................................................... 10
2.4 Jamur Antagonis Trichoderma sp. ....................................................... 12

III METODOLOGI ........................................................................................ 14


3.1 Tempat dan Waktu .............................................................................. 14
3.2 Metode Pelaksanaan ............................................................................ 14
3.3 Pengamatan dan Pengumpulan Data .................................................... 19
3.4 Analisis Data dan Informasi ................................................................. 19

IV KEADAAN UMUM LOKASI PKP .......................................................... 20


4.1 Letak Geografis atau Letak Wilayah Administrasi ............................... 20
4.2 Sejarah Singkat UPT. Proteksi TPTPH Provinsi Riau .......................... 20

v
4.3 Tugas Pokok dan Fungsi ...................................................................... 22
4.4 Struktur Organisasi .............................................................................. 23

V PELAKSANAAN KEGIATAN PKP ......................................................... 25


5.1 Aspek Manajerial................................................................................. 25
5.2 Aspek Teknis ....................................................................................... 27

VI PEMBAHASAN ....................................................................................... 29
6.1. Kegiatan Umum di UPT Proteksi TPTPH Provinsi Riau ...................... 29
6.2 Kegiatan Khusus di UPT Proteksi TPTPH Provinsi Riau ..................... 36

VII PENUTUP............................................................................................... 43
7.1 Kesimpulan ......................................................................................... 43
7.2 Saran ................................................................................................... 43

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 44


LAMPIRAN ................................................................................................... 46

vi
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

Tabel 1. Tabel Kegiatan Praktek Kerja Profesi ................................................ 14


Tabel 2. Kegiatan Umum di UPT Proteksi TPTPH Provinsi Riau .................... 29
Tabel 3. Kegiatan Khusus di UPT Proteksi TPTPH Provinsi ............................ 36

vii
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

Gambar 1. Letak geografis UPT. Proteksi TPTPH Provinsi Riau..................... 20


Gambar 2. Sejarah terbentuknya UPT. Proteksi ............................................... 20
Gambar 3. Kegiatan perbanyakan Trichoderma sp. pada media jagung ........... 30
Gambar 4. Kegiatan perbanyakan Beauveria sp. pada media beras .................. 32
Gambar 5. Kegiatan Pembuatan media PDA ................................................... 33
Gambar 6. Kegiatan pengenceran dari media tanah ......................................... 34
Gambar 7. Kegiatan pemanenan bunga Marigold ............................................ 34
Gambar 8. Kegiatan diagnosa sampel .............................................................. 35
Gambar 9. Buah cabai yang terserang antraknosa ............................................ 37
Gambar 10. Hasil pengamatan pertumbuhan jamur pada buah cabai. ............... 37
Gambar 11. Hasil pengamatan jamur pada buah cabai dengan mikroskop ....... 38
Gambar 12. Hasil pengamatan jamur Trichoderma sp. dengan mikroskop....... 39
Gambar 13. Kegiatan pengaplikasian uji antagonis ......................................... 40
Gambar 14. Hasil pengamatan uji antagonis .................................................... 40

viii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

Lampiran 1. Perhitungan Uji Daya Antagonis ................................................. 46


Lampiran 2. Dokumentasi Kegiatan Praktek Kerja Profesi .............................. 46
Lampiran 3. Surat Keterangan dari Pihak UPT Proteksi TPTPH ..................... 46

ix
I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Cabai (Capsicum annum) merupakan salah satu komoditas hortikultura

andalan di Indonesia yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan memiliki fungsi

dalam mengendalikan kanker karena mengandung lasparaginase dan capcaicin.

Selain itu kandungan vitamin C yang cukup tinggi pada cabai dapat memenuhi

kebutuhan harian setiap orang, akan tetapi harus dikonsumsi secukupnya untuk

menghindari nyeri lambung. Namun dalam budidaya cabai tidak sedikit tantangan

dan kendala yang dihadapi, khususnya masalah organisme pengganggu tanaman

(OPT) yang dapat menurunkan kuantitas maupun kualitas produksi, bahkan dapat

menggagalkan panen. Dalam upaya menyelamatkan tanaman dari serangan OPT,

tidak jarang petani menerapkan berbagai cara pengendalian OPT yang sebetulnya

tidak sesuai dengan ketentuan yang telah dianjurkan, misalnya penggunaan

fungisida dan bahan kimia lainnya secara berlebihan.

Cabai merupakan tanaman perdu dari famili terong-terongan yang memiliki

nama ilmiah Capsicum sp. Selain memiliki kendala dalam penanaman, cabai juga

memiliki keunggulan bagi petani yaitu dari segi sifatnya yang tidak kenal musim.

Artinya, tanaman cabai dapat ditanam kapanpun tanpa tergantung musim serta

mamapu tumbuh di rendengan maupun labuhan, itulah sebabnya cabai dapat

ditemukan kapanpun di pasar atau di swalayan. Dalam melakukan budidaya cabai

1
perlu memperhatikan kelembaban, karena dengan kelembapan udara yang tinggi

meningkatkan penyebaran dan perkembangan hama serta penyakit tanaman.

Penyakit yang sering menyerang tanaman cabai merah yaitu penyakit

antraknosa yang disebabkan oleh cendawan Colletotrichum acutatum, C.

gloeosporioides, atau C. Capsici. Akan tetapi oleh beberapa negara penyakit ini

dianggap sebagai dua penyakit yang masing-masing disebabkan oleh satu jamur.

Penyakit yang disebabkan oleh jamur Gloeosporium disebut antraknosa,

sedangkan penyakit yang disebabkan oleh jamur Colletotrichum disebut busuk

matang (ripe rot) (Semangun, 1989).

Penyakit antraknosa merupakan masalah serius bagi para petani cabai karena

bisa menghancurkan panen hingga 20-90% terutama pada saat musim hujan

(Yusuf, 2010). Berdasarkan data yang diperoleh dari Laporan Tahunan BPTPH

2010 Provinsi Lampung, penyakit antraknosa yang menyerang tanaman cabai di

Provinsi Lampung Tahun 2010 mencapai 511 ha (ringan – berat).

Gejala yang timbul pada tanaman cabai yang terserang penyakit antraknosa

yaitu pada buah terlihat bintik-bintik kecil bewarna kehitaman dan berlekuk dan

pada bagian tepinya bewarna kuning. Sedangkan pada biji yang terserang akan

menimbulkan kegagalan berkecambah atau apabila tetap berkecambah maka akan

terjadi rebah kecambah. Pengendalian yang biasa dilakukan oleh petani yaitu

dengan memberika fungisida sintetik yang tidak sesuai dengan anjuran sehingga

dapat membahayakan bagi kesehatan. Untuk itu diperlukan pengendalian yang

sesuai dan tidak membahayakan bagi lingkungan dan kesehatan (Efri, 2010).

2
Pengendalian penyakit antraknosa pada tanaman cabai dengan memanfaatkan

Trichoderma sp. diharapkan dapat membantu pengendalian penyakit tanpa

mengganggu kondisi lingkungan. Trichoderma sp. bersifat hiperparasit dan

mikroparasit serta mampu menginduksi ketahanan tanaman inang terhadap

potensi serangan patogen serta mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman

(Istikorini, 2017). Dimana pengendaliannya menggunakan konsep yang

mengutamakan peran agroekosistem dalam mempertahankan kelestarian

lingkungan dengan menerapkan teknologi pengendalian secara agensia hayati,

sehingga penggunaan pestisida sintetik hanya digunakan setelah serangan

penyakit antraknosa mencapai ambang kendali (Nurmansyah, 2017).

Pengendalian hayati dengan menggunakan agensia hayati seperti

Trichoderma sp. diharapkan dapat mengurangi ketergantungan terhadap fungisida

sintetik dan dapat mengatasi dampak negatif dari pemakaiannya untuk

pengendalian penyakit tanaman di Indonesia (Purwantisari dan Hastuti, 2009).

1.2 Tujuan

Tujuan dari kegiatan Praktek Kerja Profesi adalah untuk mengetahui

pengaplikasian Trichoderma sp. terhadap penyakit antraknosa pada buah cabai

(Capsicum annum L.).

3
II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Hortikultura Cabai ( Capsicum annum L.)

Tanaman hortikultura merupakan budidaya tanaman sayuran, buah-buahan,

dan berbagai tanaman hias. Hortikultura berasal dari bahasa latin yaitu hortus

yang berarti kebun dan colere yang berarti menumbuhkan dan secara harfiah

hortikultura berarti ilmu yang mempelajari pembudidayaan kebun. Hortikultura

menjadi komoditas menguntungkan, hal ini dikarenakan pertumbuhan ekonomi

yang semakin meningkat maka pendapatan masyarakat juga semakin meningkat

(Zulkarnain, 2009).

Tanaman hortikultura terdapat lima jenis yaitu, pertama tanaman buah atau

frutikultur contohnya stroberi, melon, dan semangka. Kedua, tanaman sayuran

atau olerikultur contohnya bawang merah, cabai. Ketiga, tanaman bunga atau

florikultur contohnya bunga melati, anggrek, dan lavender. Keempat, tanaman

obat atau biofarmaka contohnya lidah buaya. Kelima terdapat tanaman lanskap

hortikultura yaitu rumput gajah, rumput manila, dan rumput jepang.

Cabai merah (Capsicum annum L.) merupakan salah satu jenis tanaman

hortikultura penting yang dibudidayakan secara komersial, hal ini disebabkan

selain cabai memiliki kandungan gizi yang cukup lengkap juga memiliki nilai

ekonomis tinggi yang banyak digunakan baik untuk konsumsi rumah tangga

maupun untuk keperluan industri makanan (Jannah, 2010).

Cabai ( Capsicum annuum L.) termasuk tanaman semusim atau berumur

pendek yang keberhasilan pertumbuhan tanamannya dipengaruhi oleh hama,

4
penyakit tanaman, dan gulma. Tanaman cabai tergolong dalam famili terung-

terungan (Solanaceae) yang tumbuh sebagai perdu atau semak dan termasuk

tanaman semusim atau berumur pendek. Menurut Haryanto (2018)

diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Plantae, Divisio : Spermatophyta,

Sub Divisio : Angiospermae, Kelas : Dicotyledoneae, Ordo : Tubiflorae

(Solanales), Famili : Solanaceae, Genus : Capsicum, dan Spesies : Capsicum

annuum L.

Tanaman cabai berbentuk perdu yang tingginya 1,5-2 m dan lebarnya tajuk

tanaman dapat mencapai 1,2 m. Daun cabai pada umumnya berwarna hijau cerah

pada saat masih muda dan akan berubah menjadi hijau gelap bila daun sudah tua.

Daun cabai ditopang tangkai daun yang mempunyai tulang menyirip. Bentuk daun

umumnya bulat telur, lonjong, dan oval dengan ujung runcing, tergantung pada

jenis dan verietasnya. Bunga cabai berbentuk terompet atau campanulate, sama

dengan bentuk bunga keluarga solanaceae lainnya. Bunga cabai berkelamin dua

(Hermaprodit) dalam satu bunga terdiri dari satu alat kelamin jantan dan betina

dan berwarna putih bersih. Bunga tersusun di atas tangkai bunga terdiri atas dasar

bunga kelopak bunga dan mahkota bunga. Letak buah menggantung panjang

sampai 1-1,5 cm panjang tangkai bunga 1-2 cm. Bentuk buahnya berbeda-beda

menurut jenis dan varietasnya.

Budidaya cabai memerlukan tanah yang memiliki sifat fisik gembur, remah,

dan memiliki derainase yang baik. Jenis tanah yang memiliki karakteristik

tersebut yaitu tanah andosol, regosol, dan latosol. Pertumbuhan cabai pada tanah

yang memiliki pH kurang dari 5,5 kurang optimum. Hal tersebut dikarenakan,

5
tanah masam memiliki kecenderungan menimbulkan keracunan unsur almunium,

zat besi, dan mangan.

Penanaman cabai sebaiknya memilih lahan yang agak miring untuk

menghindari genangan air. Namun, tingkat kemiringan lahan tidak lebih dari 25%.

Lahan yang terlalu miring menyebabkan erosi dan hilangnya pupuk, karena

tercuci oleh air hujan (Setiadi, 2004).

2.2 Penyakit – penyakit yang Menyerang Tanaman Cabai

2.2.1 Penyakit bercak daun

Bercak pada daun cabai merupakan salah satu penyakit penting dalam

perkembangan cabai di daerah tropis yang panas dan lembab. Serangan penyakit

ini disebabkan oleh cendawan Cercospora capsici dan mengakibatkan daun akan

mengalami keadaan yang tidak sehat dan akhirnya gugur (Hidayat,2004).

Gejala bercak daun yang disebabkan oleh jamur Cercospora sp. adalah

berupa bercak-bercak bulat, kecil dan klorosis.Bercak dapat meluas, pusatnya

berwarna pucat sampai putih, dengan tepi yanglebih tua warnanya. Bercak-bercak

yang tua dapat berlubang. Apabila pada daunterdapat banyak bercak, daun cepat

menguning dan gugur atau langsung gugurtanpa menguning lebih dahulu. Bercak

sering terdapat pada batang, tangkai daun,maupun tangkai buah, tetapi bercak

sangat jarang timbul pada buah (Semangun, 2007).

Penyakit bercak pada daun cabai (Capsicum annum) sangat mudah kelihatan

dengan mata telanjang, karena Cercospora capsici hanya menyerang bagian daun

cabai saja (menyerang tanaman inangnya) tidak menyerang pada bagian batang

6
maupun akar. Bercak yang dibuatnya bisa sampai berlubang, dengan ukuran

berlubang bisa mencapai 0,5 cm.

Cendawan Cercorpora capsici menyerang tanaman inangnya pada bagian

daun cabai saja. Cendawan ini sangat berbahaya karena dapat mengganggu proses

pertumbuhan dan perkembangan tanaman cabai (menggangu metabolisme tubuh

tanaman cabai). Apabila curah hujan yang sangat tinggi atau tingkat kelembapan

pada suatu areal pertanaman cabai dan pola jarak tanam tanaman cabai akan

mempercepat proses perkembangbiakan cendawan tersebut (Setiadi, 2004).

Pola jarak tanam juga mempengaruhi proses perkembangbiakan penyakit

bercak daun cabai. Apabila jarak tanam terlalu rapat maka akan menyebabkan

perkembangbiakan penyakit tersebut semakin mudah dan cepat, sebaliknya

apabila jarak tanam terlalu jauh maka akan mengurangi hasil produksi. Maka

sebaiknya pola jarak tanam disesuaikan dengan keadaan topografi daerah

pertanaman (Semangun, 2007).

Pengendalian dengan menanam jenis-jenis yang tahan (resistant variety)

merupakan cara yang aman karena memiliki selektifitas yang tinggi. Ada 3

macam ketahanan tanaman terhadap penyakit, yaitu ketahanan mekanis,

ketahanan fungisional, dan ketahanan fisiologi. Ketiganya ini telah di uji secara

selektifitas melalui seleksi alam (Djafaruddin, 2008).

Pengendalian dengan cara kultur teknis yaitu dengan cara mulai dari

pemilihan lahan untuk tempat menanamnya, memilih bibi yang baik, mengerjalan

tanah yang ditanamani dengan baik, memilihara areal pertanaman tanaman cabai

dengan baik hingga sampai memanennya (Djafaruddin, 2008).

7
Pengendalian yang sering digunakan para petani adalah dengan menggunakan

fungisida. Bermacam-macam fungisida dapat di pakai dalam pengendalian ini,

antara lain Baycor 300 EC (dosis 1 cc/l air), Velimex 80 WP (dosis 2-2,5 g/l air),

Dithane M-45 (dosis 180-240 g/100 l air) dan benomyl (dosis sesuai label)

(Setiadi, 2004).

2.2.2 Penyakit antraknosa

Penyakit antraknosa pada tanaman cabai besar disebabkan oleh jamur

Colletotrichum sp. memiliki gejala pada buah cabai yang sudah menua tampak

spora terbentuk dan memencar secara cepat pada buah cabai, sehingga

mengakibatkan kehilangan hasil sampai 100%. Penyakit dapat menginfeksi

sampai ke tangkai buah cabai dan menimbulkan bercak seperti bintik yang tidak

beraturan berwarna merah tua.

Gejala penyakit antraknosa pada buah cabai besar dimulai dengan kulit buah

akan tampak mengkilap, diikuti dengan pelunakan jaringan, kemudian permukaan

buah akan menjadi cekung dan berwarna kecoklatan, sehingga terlihat adanya

seperti luka atau lebih dikenal dengan sebutan lesio. Lesio muncul sedikit demi

sedikit kemudian pada akhirnya dapat menutupi sebagian besar permukaan buah.

Permukaan buah cabai yang terserang penyakit antraknosa akan berair dan

aservulus jamur Colletotrichum sp. terlihat seperti bercak kehitaman yang

kemudian meluas dan membusuk. Pada buah cabai dengan gejala penyakit

antraknosa berat buah mengering dan keriput, sehingga buah yang seharusnya

berwarna merah menjadi berwarna seperti jerami.

8
2.2.3 Penyakit Fusarium sp.

Fusarium sp. adalah jamur patogen yang dapat menginfeksi tanaman dengan

kisaran inang sangat luas. Jamur ini menyerang jaringan bagian vaskuler dan

mengakibatkan kelayuan pada tanaman inangnya dengan cara menghambat aliran

air pada jaringan xylem. Salah satu tanaman hortikultura yang diserang oleh

Fusarium sp. adalah tanaman cabai (Capsicum annuum L.) yang mempunyai arti

ekonomi sangat penting dan menjadi salah satu pembatas terjadinya penurunan

produksi cabai merah.

Penyebaran cendawan Fusarium sp. sangat cepat dan dapat menyebar ke

tanaman lain dengan cara menginfeksi akar tanaman menggunakan tabung

kecambah atau miselium. Akar tanaman dapat terinfeksi langsung melalui

jaringan akar, atau melalui akar lateral dan melalui luka-luka, yang kemudian

menetap dan berkembang di berkas pembuluh. Setelah memasuki akar tanaman,

miselium akan berkembang hingga mencapai jaringan korteks akar. Pada saat

miselium cendawan mencapai xylem, maka miselium ini akan berkembang hingga

menginfeksi pembuluh xylem. Miselium yang telah menginfeksi pembuluh xylem

akan terbawa ke bagian lain tanaman sehingga mengganggu peredaran nutrisi dan

air pada tanaman yang menyebabkan tanaman menjadi layu (Semangun, 2007).

Gejala awal dari penyakit layu Fusarium sp. adalah pucat tulang-tulang daun

terutama daun-daun atas kemudian diikuti dengan menggulungnya daun yang

lebih tua (epinasti) karena merunduknya tangkai daun dan akhirnya tanaman

menjadi layu keseluruhan. Pada tanaman yang masih sangat muda penyakit dapat

menyebabkan tanaman mati secara mendadak karena pada pangkal batang terjadi

9
kerusakan. Sedangkan tanaman dewasa yang terinfeksi sering dapat bertahan terus

dan membentuk buah tetapi hasilnya sangat sedikit dan kecil-kecil.

2.2.4 Penyakit Cucumber mosaic virus (CMV) produksi cabai

Cucumber mosaic virus (CMV) merupakan virus utama yang menginduksi

gejala mosaik pada tanaman cabai. Cucumber mosaic virus (CMV) termasuk

dalam kelompok Cucumovirus, bersama-sama dengan Peanut stunt virus dan

Cabaio aspermy virus.

CMV mempunyai tiga RNA genom beruntai tunggal (RNA 1, 2, 3), satu

RNA subgenom (RNA 4). Masing-masing spesies RNA genomik ini mempunyai

fungsi yang berbeda, Virus ini mempunyai kisaran inang terluas diantara virus

tanaman yang diketahui saat ini, dilaporkan dapat menginfeksi lebih dari 800

spesies tumbuhan dan dapat menyebabkan kerugian besar pada tanaman cabai.

2.3 Penyakit Antraknosa pada Cabai

Penyakit antraknosa pada cabai dapat disebabkan oleh tiga spesies cendawan

Colletotrichum yaitu C. acutatum, C. gloeosporioides, dan C. Capsici. Gejala

antraknosa sangat mudah dikenali dengan gejala awal pada buah cabai berupa

bercak kecil dan berair. Ukuran luka tersebut dapat mencapai 3-4 cm pada buah

cabai yang berukuran besar. Pada serangan lanjut yang sudah parah, gejala luka

tersebut lebih jelas tampak seperti luka terbakar matahari dan berwarna antara

merah tua sampai coklat menyala hingga warna hitam. Pada saat sudah parah,

penyakit ini akan sangat merusak, dapat menyebabkan nekrosis dan bercak pada

daun, cabang atau ranting. Penyebab penyakit memencar melalui percikan air dan

jarak pemencaran akan lebih jauh jika disertai adanya hembusan angin. Penyakit

10
antarknosa telah menyebar luas di daerah-daerah pertanaman cabai yang

kondisinya sangat lembab atau daerah dengan curah hujan tinggi (Yusuf, 2010).

Cendawan penyebab penyakit antraknosa berkembang dengan sangat pesat

bila kelembaban udara cukup tinggi yaitu bila lebih dari 80 % RH dengan suhu

320C. Serangan jamur C. capsici pada biji cabai dapat menimbulkan kegagalan

berkecambah atau bila telah menjadi kecambah dapat menimbulkan rebah

kecambah, sedangkan pada tanaman dewasa dapat menimbulkan mati pucuk,

infeksi lanjut ke bagian lebih bawah yaitu daun dan batang yang menimbulkan

busuk kering warna cokelat kehitamanan (Yusuf, 2010).

Penyakit antraknosa pada buah cabai disebabkan oleh jamur Colletotrichum

capsici. Jamur dapat terbawa oleh biji atau benih dan akan menyerang tanaman di

pembibitan. Jamur ini dapat bertahan pada sisa tanaman atau buah sakit dan dapat

menjadi sumber penularan.

Pengendalian penyakit antraknosa pada cabai utamanya masih menggunakan

fungisida dan pestisida sintetik yang dianggap dapat mengendalikan penyakit

tersebut secara cepat dan praktis. Dampak yang ditimbulkan dari penggunaan

fungisida dan pestisida sintetis yaitu dapat meninggalkan sisa residu pada buah

cabai yang pada akhirnya akan dikonsumsi manusia sehingga sangat mungkin

residu tersebut akan masuk ke dalam tubuh manusia, kemudian secara jangka

panjang sangat mungin menimbulkan resistensi terhadap cendawan tersebut. Oleh

karena itu diperlukan alternatif pengendalian lain yang dapat mengendalikan

penyakit antraknosa tersebut seperti dengan menggunakan pestisida nabati.

11
Pertumbuhan awal jamur Colletotrichum sp. membentuk koloni miselium

yang berwarna putih dengan miselium yang timbul di permukaan. Kemudian

perlahan-lahan berubah menjadi hitam dan akhirnya berbentuk aservulus.

Aservulus berwarna merah muda sampai coklat muda merupakan kumpulan

massa konidia. Tahap awal infeksi Colletotrichum umumnya dimulai dari

perkecambahan spora pada permukaan jaringan tanaman, menghasilkan tabung

kecambah. Setelah penetrasi maka akan terbentuk jaringan hifa, hifa intra dan

interseluler menyebar melalui jaringan tanaman (Yudiarti, 2007).

2.4 Jamur Antagonis Trichoderma sp.

Uji antagonis merupakan uji yang digunakan membuktikan bahwa

mikroorganisme yang bersifat antagonis dapat menghambat aktivitas

mikrooganisme lain yang berada ditempat yang berdekatan. Mikroorganisme yang

bersifat antagonis ini memiliki pertumbuhan yang cepat sehingga dapat menutupi

mikroorganisme yang berdekatan dengannya.

Pengendalian hayati dengan pemanfaatan mikroorganisme antagonis

merupakan alternatif yang saat ini banyak diteliti dan digunakan sebagai

pengendalian penyakit tanaman. Pengendalian hayati merupakan perlindungan

tanaman dari patogen termasuk penyebaran mikroorganisme antagonis pada saat

setelah atau sebelum terjadinya infeksi patogen. Pemanfaatan agen hayati

antagonis berpotensi mengendalikan patogen tular tanah, yaitu menekan

inokulum, mencegah kolonisasi, melindungi perkecambahan biji dan akar

tanaman dari infeksi patogen. Selain itu secara langsung dapat menghambat

12
patogen dengan sekresi antibiotik, berkompetisi terhadap ruang dan atau nutrisi,

menginduksi proses ketahanan tanaman (Sinaga, 2006).

Uji antagonis yang dilakukan yaitu dengan pemanfaatan jamur Trichoderma

sp. Di dalam tanah hidup berbagai spesies kapang yang bersifat antagonis

terhadap kapang patogen, diantaranya : T. harzianum, T. viride, dan T. atroviride.

Kemampuan masing-masing spesies Trichoderma dalam mengendalikan kapang

patogen dapat berbeda satu sama lain, sehingga efektifitasnya sebagai pengendali

hayati C. capsici juga dapat berbeda.

Jamur Trichoderma sp. mempunyai mekanisme tertentu, mekanisme utama

pengendalian patogen tanaman yang bersifat tular tanah dengan menggunakan

kapang Trichoderma sp. dapat terjadi melalui beberapa cara antara lain:

mikoparasit (menjadi parasit pada miselium kapang lain dengan menembus

dinding sel dan masuk kedalam sel untuk mengambil zat makanan dari dalam sel

sehingga kapang akan mati), menghasilkan antibiotik seperti alametichin,

paracelsin, dan trichotoxin yang dapat menghancurkan sel kapang melalui

perusakan terhadap permeabilitas membran sel, sementara enzim chitinase dan

laminarinase dapat menyebabkan lisis dinding sel, mempunyai kemampuan

berkompetisi memperebutkan tempat hidup dan sumber makanan, dan

mempunyai kemampuan melakukan intervensi hifa. Hifa Trichoderma sp. dapat

menempel atau membelit hifa kapang patogen kemudian melakukan penetrasi hifa

patogen, sehingga mengakibatkan kerusakan pada dinding hifa yang

mengakibatkan perubahan permeabilitas dinding hifa.

13
III METODOLOGI

3.1 Tempat dan Waktu

Praktek Kerja Profesi (PKP) dilaksanakan di UPT. Proteksi Tanaman

Perkebunan, Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Riau terletak di Jalan

Hang Tuah Ujung No. 71, Kulim, Kecamatan Tenayan Raya, Kota Pekanbaru.

Waktu pelaksanaan Praktek Kerja Profesi (PKP) berlangsung selama satu bulan

lebih, yang dimulai pada tanggal 06 Juli sampai tanggal 14 Agustus 2020.

3.2 Metode Pelaksanaan

Pelaksanaan praktek kerja profesi (PKP) dapat dilihat pada Tabel 1. dibawah
ini :

Tabel 1. Tabel Kegiatan Praktek Kerja Profesi

NO Tanggal Kegiatan Jenis Kegiatan

1 Senin, 06 Juli 2020 Diskusi bersama Pembimbing di UPT,

Pengenalan Laboratorium, dan gotong royong

2 Selasa, 07 Juli 2020 Pengenalan lingkungan UPT

3 Rabu, 08 Juli 2020 Pembuatan Trichoderma pada media jagung

4 Kamis, 09 Juli 2020 Pembuatan Beauveria pada media beras

5 Jum’at, 10 Juli 2020 Pengenceran tanah

6 Senin, 13 Juli 2020 Pencarian cabai yang terserang penyakit

antraknosa serta pengisolasian pada media

moist chamber (Sampel 1)

14
7 Selasa, 14 Juli 2020 Pencarian cabai yang terserang penyakit

antraknosa serta pengisolasian pada media

moist chamber (Sampel 2)

8 Rabu, 15 Juli 2020 Pengamatan hari ke-3 cabai sampel 1

9 Kamis, 16 Juli 2020 Pengamatan hari ke-3 cabai sampel 2

10 Jum’at, 17 Juli 2020 Pengamatan hari ke-5 cabai sampel 1

11 Senin, 20 Juli 2020 Pengamatan hari ke-5 cabai sampel 2

12 Selasa, 21 Juli 2020 Pengamatan cabai yang telah tumbuh jamur

dengan menggunakan mikroskop

13 Rabu, 22 Juli 2020 Uji antagonis cabai dengan Trichoderma

14 Kamis, 23 Juli 2020 Pemanenan bunga Marigold

15 Jum’at, 24 Juli 2020 Pengamatan hari ke-3

16 Senin, 27 Juli 2020 Menyusun berkas di Kantor UPT

17 Rabu, 29 Juli 2020 Pengamatan hari ke-5

18 Kamis, 30 Juli 2020 Pemanenan bungan Marigold

19 Jum’at, 31 Juli 2020 Pembuatan Trichoderma pada media jagung

20 Senin, 03 Agustus 2020 Membantu merekap data di Kantor

21 Senin, 10 Agustus 2020 Merapikan berkas di Kantor UPT

22 Selasa, 11 Agustus 2020 Pembuatan Trichoderma pada media jagung

23 Kamis, 13 Agustus 2020 Pemanenan bungan Marigold

24 Jum’at, 14 Agustus 2020 Acara penutupan kegiatan PKP

15
3.2.1 Pengambilan sampel

Sampel cabai merah yang terserang penyakit antraknosa disebabkan oleh

cendawan Colletotrichum capsici diambil dari lahan UPT Proteksi TPTPH

Pekanbaru Provinsi Riau. Buah cabai yang terserang penyakit antraknosa terdapat

bercak melingkar cekung bewarna coklat muda pada sekeliling lingkarannya,

setelah didapat sampel cabai yang akan digunakan kemudian dimasukkan

kedalam plastik bening dan diberi label untuk dibawa ke Laboratorium agar dapat

di isolasi dan diamati.

3.2.2 Sterilisasi alat

Sterilisasi alat yaitu alat yang terbebas dari mikroorganisme baik dalam

bentuk vegetatif maupun dalam bentuk spora. Sterilisasi dilakukan dengan

membungkus alat yang akan digunakan dalam penelitian yaitu cawan petri, pinset,

gelas beker, erlenmeyer, pipet tetes, dan spatula menggunakan kertas hvs serta

penutup erlenmeyer yang terbuat dari kapas dibungkus dengan alumunium foil.

Kemudian semua alat di sterilisasi dalam oven selama 2 jam pada suhu 120oC dan

tekanan 2 atm.

3.2.3 Isolasi jamur Colletotrichum capsici

Isolasi jamur dilakukan dengan membersihkan sampel buah cabai yang

terserang penyakit antraknosa dengan air mengalir. Kemudian dibersihkan dengan

aquades, keringkan dan dipotong dengan ukuran 1x1 cm pada bagian buah yang

terinfeksi penyakit antraknosa. Potongan buah disterilisasi menggunakan larutan

Clorox 1% selama 30 detik, potongan buah cabai kemudian direndam ke dalam

16
aquades selama tiga menit dengan 2 kali ulangan, kemudian di kering anginkan

diatas kertas saring. Selanjutnya, potongan buah diletakkan dalam media PDA

sebanyak 5 titik dan diinkubasi selama 3-5 hari. Pengamatan dilakukan pada hari

ke-3 dan hari ke-5 serta di dokumentasikan.

3.2.4 Identifikasi jamur Colletotrichum capsici

Identifikasi jamur Colletotrichum capsici membentuk koloni miselium yang

bewarna putih dengan miselium yang timbul ke permukaan. Kemudian secara

perlahan berubah menjadi hitam dan akhirnya terbentuk aservulus yang ditutupi

oleh warna merah muda sampai coklat muda yang merupakan massa konidia

(Rusli dkk, 1997). Identifikasi dilakukan dengan mengambil isolat jamur biakan

murni menggunakan jarum ose dan diletakkan diatas kaca preparat yang telah

ditetesi aquades, serta ditutup dengan kaca penutup. Kemudian diamati

menggunakan mikroskop.

3.2.5 Isolasi Trichoderma sp.

Isolasi Trichoderma sp. dilakukan dengan perbanyakan jagung pecah. Jagung

pecah yang akan digunakan direndam selama 1 malam, kemudian dicuci hingga

bersih dan dimasukkan kedalam plastik sebanyak 1/3 bagian. Selanjutnya dikukus

selama 2 jam lalu diangkat dan didinginkan. Kemudian induk jamur Trichoderma

dimasukkan ke dalam jagung sebanyak 1 sendok, lalu dibungkus dan diinkubasi

selama 3-5- hari serta dimasukkan ke dalam kulkas untuk mendapatkan biakan

murni.

17
3.2.6 Identifikasi jamur Trichoderma sp.

Isolat jamur Trichoderma sp. dapat tumbuh dengan cepat pada media PDA

dan pada awal pertumbuhannya mula – mula memiliki koloni berwarna putih

kehijauan yang setelah hari ke-5 warna koloni berubah menjadi hijau terang dan

akhirnya menjadi hijau gelap. Konidia berbentuk semi bulat hingga oval pendek

(Samson et al. 1995).

3.2.7 Uji Antagonis

Uji antagonis dilakukan dengan menempatkan kedua koloni jamur saling

berhadapan dengan jarak 3 cm yang diinkubasi selama 3-5 hari. Laju

pertumbuhan diameter koloni diketahui dengan cara mengukur diameter koloni

masing – masing jamur pada hari ke-3 dan hari ke-5. Pengamatan dilakukan

dengan mengukur koloni menggunakan penggaris, persentase penghambatan

pertumbuhan berdasarkan persamaan sebagai berikut :

𝐷1−𝐷2
PA = 𝑋100 %
𝐷1

Keterangan : PA = Persentase antagonis (%)

D1= Rata-rata pertumbuhan diameter koloni patogen sebagai kontrol

D2 = Rata-rata pertumbuhan koloni patogen pada perlakuan

18
3.3 Pengamatan dan Pengumpulan Data

Pengamatan dilakukan dengan melihat secara makromorfologis meliputi

warna koloni dan bentuk koloni, dan secara mikromarfologis meliputi bentuk

konidiofor, fialid, konidia dan presentasi antagonis. Kemudian dari pengamatan

dikumpulkan data yang didapat untuk di analisis.

3.4 Analisis Data dan Informasi

Analisis data dan informasi dilakukan sesuai dengan buku panduan dan data

hasil pengamatan yang telah dilakukan dihitung menggunakan rumus.

19
IV KEADAAN UMUM LOKASI PKP

4.1 Letak Geografis atau Letak Wilayah Administrasi

Gambar 1. Letak geografis UPT. Proteksi TPTPH Provinsi Riau

UPT. Proteksi Tanaman Perkebunan, Tanaman Pangan dan Hortikultura

Provinsi Riau terletak di Jalan Hang Tuah Ujung No. 71, Kulim, Kecamatan

Tenayan Raya, Kota Pekanbaru.

4.2 Sejarah Singkat UPT. Proteksi TPTPH Provinsi Riau

Gambar 2. Sejarah terbentuknya UPT. Proteksi

20
UPT. Proteksi Tanaman Perkebunan, Tanaman Pangan dan Hortikultura yang

sudah berganti nama berkali-kali sesuai dengan perkembangan perlindungan

tanaman. Tahun 1981-1982 mulai terbentuknya institusi perlindungan di tingkat

daerah/wilayah, masih merupakan Satuan Tugas (Satgas) yang merupakan bagian

dari wilayah Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura Wilayah II yang

berkedudukan di Padang (Provinsi Sumatera Barat, Riau dan Jambi). Satgas

BPTPH Riau dipimpin oleh Kepala Satgas yang ditunjuk oleh Kepala BPTPH

Wilayah II yang merupakan pejabat non eselon. BPTPH Wilayah II adalah salah

satu UPT Pusat di bawah Direktorat Bina Perlindungan Tanaman Pangan,

Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Departemen Pertanian.

Pada tahun 2000 sebelum diberlakukan UU Otonomi Daerah, Satgas BPTPH

Riau berubah nama menjadi BPTPH Wilayah XVI melalui SK Dirjen Tanaman

Pangan dan merupakan UPT pusat yang sama kedudukannya dengan BPTPH

Wilayah II Sumatera Barat. BPTPH Wilayah XVI Riau dipimpin oleh seorang

pejabat eselon III yang dilantik oleh Direktur Jenderal Tanaman Pangan di

Jakarta. Tidak berapa lama setelah itu tahun 2001 diberlakukan UU Otonomi

Daerah sehingga UPT Pusat yang ada di daerah dilikuidasi dan semua PNS pusat

yang bertugas di daerah dialihkan status kepegawaiannya dari PNS Pusat menjadi

PNS daerah Provinsi Riau.

Untuk menaungi keberadaan institusi perlindungan di daerah, pada tahun

2001 tersebut, melalui SK Kepala Dinas Tanaman Pangan Provinsi Riau, dibentuk

kembali Satgas BPTPH Riau sampai tahun 2008. Pada tahun 2008 terjadi

perubahan SOTK pada Dinas Tanaman Pangan Provinsi Riau, dimana Satgas

BPTPH Riau didefenitifkan menjadi salah UPT Dinas Tanaman Pangan Provinsi

21
Riau melalui Perda No. 9 tahun 2008 dengan nama UPT Perlindungan Tanaman

Pangan dan Hortikultura. Provinsi UPT Perlindungan TPH dipimpin oleh seorang

pejabat eselon III yang dilantik oleh Gubernur Riau. Sampai dengan tahun 2017,

terjadi lagi perubahan SOTK dimana Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura

bergabung dengan Dinas Perkebunan sehingga melalui Pergub No. 71 tahun 2017

UPT Perlindungan TPH berganti nama menjadi UPT Proteksi Tanaman Pangan

Perkebunan, Tanaman Pangan dan Hortikultura yang merupaka unit kerja di

bawah Dinas Tanaman pangan dan hortikultura Provinsi Riau.

4.3 Tugas Pokok dan Fungsi

Tugas Pokok :

1. Melaksanakan sebagian dari tugas Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan

Perkebunan Provinsi Riau dalam bidang perlindungan tanaman pangan dan

hortikultura.

2. Menyampaikan laporan berkala dan insidentil kepada Kepala Dinas Tanaman

Pangan Hortikultura dan Perkebunan Provinsi Riau, Direktur Perlindungan

Tanaman Pangan dan Direktur Perlindugan Hortikultura serta Direktur

Perlindungan Perkebunan Kementerian Pertanian atas pelaksanaan tugas yang

menjadi tanggung jawabnya serta tembusan kesatuan organisasi lain yang

secara fungsional mempunyai hubungan kerja.

22
Fungsi :

1. Melaksanakan kebijakan di bidang pengelolaan data organisme pengganggu

tumbuhan (OPT), dampak perubahan iklim (DPI), teknologi pengendalian

OPT, dan pengelolaan pengendalian hama terpadu (PHT).

2. Melaksanakan kebijakan di bidang monitoring dan analisis data serta evaluasi

dan pelaporan data OPT, DPI, teknologi pengendalian OPT, dan pengelolaan

PHT.

3. Melaksanakan pengamatan, peramalan, pengendalian Organisme Pengganggu

Tanaman (OPT) dan pemantauan dampak penggunaan pestisida pada

tanaman pangan hortikulturadan perkebunan.

4. Melakukan pengelolaan sampel pestisida, pupuk dan produk tanaman pangan

dan hortikultura.

5. Melaksanakan pemeriksaan dan pengujian mutu pestisida, pupuk dan produk

tanaman pangan dan hortikultura.

6. Melaksanakan pemantauan mutu pestisida dan pupuk yang beredar serta

produk tanaman pangan dan hortikultura.

4.4 Struktur Organisasi

UPT. Proteksi Tanaman Perkebunan, Tanaman Pangan dan Hortikultura

Provinsi Riau memiliki struktur organisasi sebagai berikut:

23
Kepala Dinas

Kelompok Jabatan
Kepala UPT
Fungsional
PTPTPH
Pengendali OPT

Seksi Pengujian
Subbag
Seksi Pengendalian Pupuk, Pestisida
Tata Usaha
dan OPT

Brigade Proteksi - LPHP/LAH


- Lab. Pengujian
Tanaman Pupuk Pestisida

24
V PELAKSANAAN KEGIATAN PKP

Kegiatan Praktek Kerja Profesi (PKP) telah berlangsung pada 06 juli sampai

dengan 14 agustus 2020, selama melaksanakan kegiatan PKP kami dibagi dalam

beberapa kelompok dan ditempat di tiga gedung berbeda yaitu kantor utama UPT

TPTPH, laboratorium pestisida nabati, dan laboratorium pengamatan hama

penyakit tanaman, yang mana setiap gedung memiliki fungsi dan tugas

masingmasing.

5.1 Aspek Manajerial

Fungsi-fungsi manajemen, tugas pokok dan fungsi serta kewenangan dan

tanggung jawab manajemen.

5.1.1 Kepala UPT

Kepala UPT merupakan pemegang jabatan tertinggi di UPT TPTPH yang

mana setiap kegiatan resmi yang dilaksanakan di lingkungan UPT TPTPH harus

mendapatkan izin dari kepala UPT baik secara tertulis maupun tidak dan tentunya

kegiatan tersebut berada di bawah pengawasan kepala UPT. Ketika pratikan

mengajukan surat permohonan PKP ke UPT TPTPH, kepala UPT di jabat oleh

Ibu T. Mega Ayu.

5.1.2 Staf TU dan keuangan UPT TPTPH

Staf TU UPT TPTPH adalah pegawai yang bekerja di kantor utama UPT

TPTPH. Fungsi dan tugas pokok dari kantor utama UPT TPTPH adalah mengurus

surat masuk dan surat keluar yang datang dari dinas atau pihak lain (seperti surat

25
magang), sebagai jembatan penghubung utama antara UPT TPTPH dengan Dinas

Pertanian Provinsi Riau, bertanggung jawab atas datadata pegawai yang bekerja di

UPT TPTPH, dan mengatur keuangan di UPT TPTPH seperti biaya pejalan dinas,

serta fungsi-fungsi lainnya. Penanggung jawab dibidang staf TU dan keuangan

adalah Bapak Usnadi, SH. MM. dan Yusliani, SP.

5.1.3 Staf fungsional

Jabatan fungsional pada hakekatnya adalah jabatan teknis yang tidak

tercantum dalam struktur organisasi, namun sangat diperlukan dalam tugastugas

pokok dalam organisasi disuatu instansi. Jabatan fungsional Pegawai Negeri Sipil

terdiri atas jabatan fungsional keahlian dan jabatan fungsional keterampilan.

Pembimbing lapangan pratikan selama melaksankan PKP di UPT TPTPH

merupakan salah satu dari anggota fungsional yaitu: Bapak Indra Fuadi, SP. MP.

5.1.4 Kepala laboratorium

Kepala laboratorium adalah orang yang bertanggung jawab penuh atas

kegiatan-kegiatan yang terjadi laboratorium. Fungsi kepala laboratorium hampir

serupa dengan kepala UPT hanya saja ruang lingkup kepala laboratorium cuma

sebatas laboratorium berbeda dengan kepala UPT yang mencakup keseluruhan

UPT TPTPH. Ada dua laboratorium di UPT TPTPH yaitu Laboratorium Pestisida

Nabati yang di kepalai oleh Bapak Usnadi, SH. MM. dan Laboratorium

Pengamatan Hama Penyakit Tanaman yang di kepalai oleh Bapak Nasrun, SP.

Selain kepala lab, dikenal juga penanggung jawab laboratorium umumnya kepala

lab otomatis menjadi penanggung jawab laboratorium. Di UPT TPTPH ada dua

orang yang menjadi penanggung jawab di setiap laboratorium nya dan perlu

26
diketahui bahwa Lab. PHPT terbagi lagi atas tiga bagian yaitu Lab. Fitologi, Lab.

Entomologi, dan Agen hayati. Bapak Indra Fuadi, SP. MP. dan Bapak Solehin,

SP. Merupakan penanggung jawab di Lab. Fitologi, Bapak Usnadi, SH. MM. dan

Ibu Rina Maryeti A.Md merupakan penanggung jawab Lab. Pestisida Nabati,

Bapak Nasrun, SP. dan Bapak Sodri, SP. merupakan penanggung jawab di Lab.

Entomologi.

5.2 Aspek Teknis

Kegiatan teknis di lokasi PKP mulai dari persiapan, pelaksanaan, dan

pengolahan hasil.

5.2.1 Kantor utama UPT TPTPH

Kegiatan pratikan selama di kantor utama UPT TPTPH adalah merekap absen

dan menyusun berkas para pewagai kantor sehingga kegiatan teknis mengenai

surat masuk-surat keluar ataupun mengatur keuangan untuk perjalan dan lainnya

tidak diketahui karena berdasarkan keterangan penanggun jawab TU & keuangan

hal tersebut merupakan bagian yang sensitif.

5.2.2 Laboratorium pestisida nabati

Laboratorium Pestisida Nabati yang telah terakreditasi mengakibatkan

pratikan tidak dapat terlibat langsung dalam kegiatan laboratorium dan hanya

terlibat setelah nya. Oleh karena itu kegiatan teknis yang dapat pratikan

cantumkan di laporan hanya sebatas teori dan keterangan dari penanggung jawab

laboratorium Lab. Pesnab, yaitu: 1. Sampel datang ke Laboratorium Pestisida

Nabati baik dari instansi cabang atau petani secara langsung. 2. Sampel diterima

oleh bagian administrasi laboratorium pestisida nabati. 3. Setelah urusan dengan

27
bagian administrasi selesai, selanjutnya sampel diserahkan kepada bagian

pengujian. 4. Setelah pengujian selesai, hasil dicatat dan diserahkan ke bagian

penanggung jawab untuk membuat surat hasil uji residu. 5. Surat yang telah

selesai dibuat dan ditanda tangani oleh kepala laboratorium/penanggung jawab

laboratorium, diserahkan ke bagian administrasi laboratorium pestisida nabati

untuk nantinya di berikan ke pihak pengantar sampel baik melalui pos, e-mail,

atau dijemput oleh pihak pengantar sampel.

5.2.3 Lab. Pengamatan Hama Penyakit Tanaman

Kegiatan teknis yang terdapat di laboratorium pengamatan hama penyakit

tanaman juga tidak jauh berbeda dari laboratorium pestisida, kegiatan teknisnya

antara lain: 1. Sampel datang ke laboratorium pengamatan hama penyakit tanaman

baik dari instansi cabang atau petani secara langsung. 2. Sampel diterima oleh

kepala laboratorium atau penanggung jawab labor. 3. Sampel yang telah diterima,

langsung dibuat moist chamber nya atau keesokkan harinya setelah sebelumnya

dilakukan diagnosa berdasarkan gejala yang terlihat dari sampel. 4. Setelah

dilakukan identifikasi (pengamatan dibawah mikroskop), maka surat hasil

diagnosa sudah bisa buat pada hari itu juga atau keesokkan harinya. 5. Surat yang

telah selesai dibuat dan ditanda tangani oleh kepala laboratorium/penanggung

jawab laboratorium, bisa langsung dikirimkan ke instansi melalui pos , e-mail,

atau di jemput pihak pengantar sampel. Umumnya dikirim sebagai hardcopy

supaya ada bukti fisik.

28
VI PEMBAHASAN

6.1. Kegiatan Umum di UPT Proteksi TPTPH Provinsi Riau

Kegiatan umum yang dilakukan selama kegiatan Praktek Kerja Profesi di

UPT Proteksi Tanaman Perkebunan, Tanaman Pangan, dan Hortikutura Provinsi

Riau dapat dilihat pada tabel sebagai berikut :

Tabel 2. Kegiatan Umum di UPT Proteksi TPTPH Provinsi Riau

NO Kegiatan Tujuan

1 Perbanyakan Trichoderma harzianum pada


Tujuan dari kegiatan ini
media jagung
yaitu untuk melatih
2 Perbanyakan Beauveria sp. pada Media
mahasiswa dalam
Beras
melaksanakan kegiatan
3 Pembuatan media PDA
teknis serta dapat
4 Pengenceran dari media tanah
mempelajari kegiatan di
5 Pemanenan bunga marigold
kantor UPT Proteksi
6 Diagnosa sampel
TPTPH Provinsi Riau.
7 Menyusun berkas kantor

6.1.1 Kegiatan di Laboratorium

Kegiatan yang dilakukan selama Praktek Kerja Profesi terdapat di tiga

Laboratorium yaitu di laboratorium fitopatologi, laboratorium entomologi, dan di

laboratorium pestisida. Dengan kondisi covid-19 saat ini, untuk melakukan

29
kegiatan Praktek Kerja Profesi pelaksana harus menerapkan SOP (standar

operasional prosedur) yaitu dengan menggunakan masker, mencuci tangan,

menjaga jarak, serta menghindari kerumunan agar kegiatan dapat berjalan dengan

baik dan lancar. Pelaksana kegiatan Praktek Kerja Profesi dibagi dalam beberapa

kelompok yang terdiri dari 3 orang disetiap kelompoknya dengan menggunakan

sistem kerja bergulir atau rolling, hal ini dilakukan untuk mendapatkan ilmu,

pengalaman, serta menghindari kerumunan. Berikut kegiatan-kegiatan yang

dilakukan pelaksana di UPT Proteksi TPTPH :

a. Perbanyakan Trichoderma harzianum pada media jagung

Gambar 3. Kegiatan perbanyakan Trichoderma sp. pada media jagung

Perbanyakan Trichoderma harzianum dilakukan di laboratorium fitopatologi

menggunakan media jagung. Perbanyakan dilakukan dengan menggunakan alat-

alat dan ruang penyimpanan yang steril guna menghindari terjadinya kontaminasi.

Jamur Trichoderma merupakan salah satu jenis jamur mikroparasitik atau jamur

30
yang bersifat parasit terhadap jenis jamur lain, karena sifat inilah Trichoderma

bermanfaat sebagai agen biokontrol terhadap jenis jamur fitopatogen.

Trichoderma mudah dikembangbiakan sehingga dapat dilakukan perbanyakan

melalui media jagung.

Alat-alat yang digunakan dalam kegiatan perbanyakan Trichoderma

harzianum pada media jagung sebelum digunakan disemprot menggunakan

alkohol terlebih dahulu serta tangan pelaksana juga disemprot agar steril.

Perbanyakan Trichoderma harzianum dilakukan dengan merendam jagung pecah

selama satu malam, kemudian di cuci bersih. Jagung yang bagus disaring dengan

menggunakan saringan, sedangkan jagung yang mengapung dibuang. Jagung

pecah dimasukkan ke dalam plastik ¼ sebanyak 2 ons, kemudian plastik dilipat

dengan rapi agar tidak ada celah udara yang masuk. Susun bungkusan jangung

pecah kedalam dandang seperti menyusun batu bata dan direbus menggunakan api

sedang selama 2 jam.

Jagung pecah yang telah direbus, diangkat dan didinginkan diatas meja yang

telah steril. Kemudian siapkan lampu bunsen, sendok, dan indukan F1

Trichoderma, pengerjaan dilakukan didekat api untuk menghindari kontaminasi.

Indukan F1 Trichoderma dimasukkan kedalam bungkusan jagung pecah sebanyak

2-3 sendok dan dihekter berlawanan arah dengan lipatan berbentuk segitiga, lalu

diinkubasi selama 3-4 hari ditempat yang steril. Tanda proses Perbanyakan

Trichoderma harzianum yang berhasil apabila media jagung berubah warna

menjadi warna hijau merata yang kemudian di simpan di dalam kulkas.

31
b. Perbanyakan Beauveria sp. pada Media Beras

Gambar 4. Kegiatan perbanyakan Beauveria sp. pada media beras

Perbanyakan Beauveria sp. pada media beras dilakukan karena Beauveria

mampu bertahan lama di alam dan bermanfaat sebagai agens hayati yang dapat

mengendalikan berbagai tingkat perkembangan serangga hama mulai dari telur,

larva, pupa, imago. Perbanyakan dilakukan dengan menggunakan alat-alat yang

steril untuk menghindari terjadinya kontaminasi dari luar serta tempat

penyimpanan yang steril. Sebelum melakukan kegiatan, pelaksana menyemprot

tangan dan semua alat-alat menggunakan alkohol terlebih dahulu.

Perbanyakan Beauveria sp. dilakukan pada media beras karena media

tersebut mampu menghasilkan konidia yang tinggi, kaya akan kandungan nutrisi

yang dibutuhkan untuk pertumbuhan jamur Beauveria. Media beras yang

digunakan direndam dan dicuci bersih, kemudian disaring dari airnya. Beras

dimasukkan kedalam plastik ¼ sebanyak 2 ons, lalu plastik dilipat dengan rapi

agar tidak ada udara yang masuk dan disusun di dalam dandang seperti susunan

batubata. Direbus beras selama 2 jam menggunakan api sedang, diangkat dan

didinginkan diatas meja yang steril. Pengerjaan dilakukan didekat api bunsen

untuk menghindari kontaminasi dan indukan F1 Beauveria dimasukkan 2-3

32
sendok, lalu plastik dihekter berlawanan arah atau berbentuk segitiga dan

disimpan di tempat yang steril. Media perbanyakan Beauveria yang telah berhasil

akan ditumbuhi oleh jamur dengan benang yang bewarna putih kapas.

c. Pembuatan Media PDA

Gambar 5. Kegiatan Pembuatan media PDA

Media PDA (Potato Dextrosa Agar) merupakan media yang digunakan untuk

membiakkan suatu mikroorganisme. Perbanyakan media PDA dari kentang

dilakukan menggunakan alat-alat yang di sterilkan di oven terlebih dahulu dengan

suhu 120oC dan tekanan 2 atm. Perbanyakan dilakukan dengan menimbang

kentang sebanyak 200 gram, dikupas, dicuci bersih, dan dipotong berbentuk dadu.

Kentang yang telah bersih dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan diberi 500 ml

aquades, kemudian direbus hingga lunak. Jika sudah lunak maka kentang siap

diangkat serta diambil air rebusan kentang untuk dipanaskan kembali diatas

kompor, masukkan agar-agar 2 bungkus dan antibiotic sambil diaduk agar tidak

terdapat gumpalan. Setelah tercampur merata, angkat erlenmeyer dan diberi

penutup, aluminium foil, serta plastic wrap. Erlenmeyer diberi label dan dibiarkan

dingin sebelum disimpan di kulkas.

33
d. Pengenceran dari Media Tanah

Gambar 6. Kegiatan pengenceran dari media tanah

Pengenceran dilakukan untuk mengeksplorasi mikroba pada rhizosfer. Tanah

yang digunakan yaitu tanah yang berada disekitar perakaran pohon bambu karena

tanaman bambu merupakan tanaman yang hampir tidak pernah terserang penyakit.

Pengenceran dilakukan menggunakan alat-alat yang telah di sterilkan. Tanah

yang digunakan sebanyak 20 gram yang telah dihaluskan, kemudian dimasukkan

ke dalam gelas piala dan ditambah aquades 55 ml, diaduk hingga tercampur

merata. Gelas piala ditutup menggunakan aluminium foil serta plastic wrap untuk

di letakkan diatas shaker dan dilakban sekelilingnya. Selanjutnya dihomogenkan

dengan kecepatan 200 Rpm selama 3 menit, dilakukan pengenceran bertingkat

(10-1 sampai 10-8) untuk memperkecil jumlah mikroba yang tersuspensi dalam

cairan dengan perbandingan 1 : 9.

e. Pemanenan Bunga Marigold

Gambar 7. Kegiatan pemanenan bunga Marigold

34
Pemanenan bunga Marigold berguna untuk perbanyakan. Bunga Marigold

memiliki warna bunga dan bau yang mencolok sehingga dapat digunakan untuk

mencegah hama masuk ke tanaman budidaya. Bunga yang siap dipanen yaitu

bunga yang telah bewarna kecoklatan serta berbiji kehitaman. Selanjutnya,

diambil biji bunga dan dijemur selama 15 menit tetapi ditempat yang tidak terkena

oleh cahaya matahari secara langsung. Kemudian biji bunga dimasukkan kedalam

plastik serta diberi label.

f. Diagnosa Sampel

Gambar 8. Kegiatan diagnosa sampel

Diagnosa sampel dilakukan untuk mengetahui penyakit yang menyerang

suatu tanaman budidaya menggunakan media moist chamber. Tanaman diambil

dari lapangan dan di bawa ke Laboratorium untuk di identifikasi.

35
6.1.2 Kegiatan Umum di Kantor

Kegiatan umum yang dilakukan di kantor UPT Proteksi TPTPH Provinsi

Riau yaitu melakukan pengecekan data, pembuatan surat rekap perjalanan, serta

menyusun berkas.

6.2 Kegiatan Khusus di UPT Proteksi TPTPH Provinsi Riau

Kegiatan khusus yang dilakukan yaitu pengaplikasian Trichoderma sp.

dengan buah cabai yang terserang penyakit antraknosa oleh jamur Colletotrichum

capsici secara in-vitro. Kegaiatan pengaplikasiannya dapat dilihat berdasarkan

tabel sebagai berikut :

Tabel 3. Kegiatan Khusus di UPT Proteksi TPTPH Provinsi Riau

NO Kegiatan Tujuan

1 Identifikasi Jamur Penyebab Antraknosa Tujuan kegiatan ini yaitu

2 Identifikasi jamur Trichoderma sp. untuk melakukan pengujian

3 Pengaplikasian Trichoderma sp. terhadap Trichoderma sp. terhadap

Colletotrichum capsici Colletotrichum capsici

6.2.1 Identifikasi jamur penyebab antraknosa

Penyakit antraknosa pada buah cabai mudah dikenali dengan gejala awal

terdapat bercak kecil dan berair seperti luka karena terkena sinar matahari.

Kemudian jika dibiarkan maka gejala tersebut tampak lebih jelas seperti luka

terbakar matahari dan berwarna antara merah tua sampai coklat menyala hingga

warna hitam.

36
Gambar 9. Buah cabai yang terserang antraknosa

Buah cabai yang terserang penyakit antraknosa diambil dari Lahan UPT

Proteksi TPTPH Provinsi Riau, kemudian dibawa ke Laboratorium untuk diisolasi

menggunakan media moist chamber dan dilakukan pengamatan pada hari ke-3

dan ke-5. Hasil pengamatannya sebagai berikut:

a b

Gambar 10. Hasil pengamatan pertumbuhan jamur pada buah cabai yang
terserang penyakit antraknosa (a) pengamatan hari ke-3 (b) pengamatan
hari ke-5.

Gambar 10 secara makroskopis menunjukkan bahwa buah cabai yang telah

diisolasi pada media moist chamber di hari ke-3 dan hari ke-5 mulai menunjukkan

pertumbuhan jamur bewarna putih, kemudian jamur tersebut diamati secara

37
mikroskopis menggunakan mikroskop untuk mengetahui jenis jamur yang

menyerang buah cabai tersebut. Hasil pengamatannya sebagai berikut:

Gambar 11. Hasil pengamatan jamur pada buah cabai dengan mikroskop
Gambar 11 menunjukkan pengamatan jamur menggunakan mikroskop,

setelah diamati dapat diketahui bahwa jamur tersebut yaitu jamur Colletotrichum

capsici yang menjadi penyebab penyakit antraknosa pada buah cabai. Jamur

Colletotrichum capsici mempunyai bentuk spora silindris, miselium yang terdiri

dari beberapa septa , inter dan intraselulerhifa. Kemudian terdapat aservulus dan

stroma pada batang berukuran 70-120 μm, konidiofor tidak bercabang, massa

konidia nampak berwarna kemerah-merahan yang berbentuk hialin, uniseluler,

ukuran 17-18 x 3-4 μm (singh, 1998).

6.2.2 Identifikasi jamur Trichoderma sp.

Identifikasi jamur Trichoderma sp. dilakukan menggunakan mikroskop

dengan mengambil indukan F1 Trichoderma harzianum yang ada di test tube,

kemudian dilakukan pengamatan.

38
Gambar 12. Hasil pengamatan jamur Trichoderma sp. dengan mikroskop

Gambar 12 pengamatan Trichoderma harzianum secara mikroskopis dengan

menggunakan mikroskop menunjukkan bahwa Trichoderma memiliki miselium

bersepta, konidioforanya bercabang dengan arah yang berlawanan, konidianya

berbentuk bulat atau oval dan satu sel melekat satu sama lain.

6.2.3 Pengaplikasian Trichoderma sp. terhadap Colletotrichum capsici

Pengaplikasian Trichoderma sp. terhadap Colletotrichum capsici penyebab

penyakit antraknosa yang menyerang buah tanaman cabai dilakukan secara in-

vitro. In- vitro yaitu menempatkan kedua koloni jamur saling berhadapan dengan

jarak 3 cm.

39
Gambar 13. Kegiatan pengaplikasian jamur Trichoderma sp. dengan jamur
Colletotrichum capsici

Pengaplikasian yang dilakukan dan sudah dibiarkan selama 7 hari maka

didapat hasil pengamatannya sebagai berikut :

b c

Gambar 14. Hasil pengamatan pengaplikasian Trichoderma sp. terhadap


Colletotrichum capsisi (a) hari ke-3 (b) hari ke-5 (c) hari ke-7.

40
Hasil pengamatan pengaplikasian Trichoderma harzianum dengan jamur

Colletotrichum capsici penyebab penyakit antraknosa pada buah cabai secara in-

vitro seperti pada gambar 7 menunjukkan bahwa jamur Trichoderma mengejar

kearah jamur Colletotrichum capsici. Hal ini karena jamur Trichoderma sangat

efektif dalam mengendalikan atau menghambat pertumbuhan dari patogen

Colletotrichum capsici.

Secara makroskopis terlihat bahwa jamur berbentuk bulat, jamur

Trichoderma harzianum memiliki koloni bewarna hijau tua dan jamur

Colletotrichum capsici memiliki koloni bewarna putih.

Jamur Trichoderma harzianum memiliki kemampuan dalam mengeluarkan

senyawa antibiotik yang berfungsi sebagai antifungal dalam menghambat

pertumbuhan dan bahkan menjadi mikroparasit jamur patogen Colletotrichum

capsici, terlihat pada hari ke-5 ukuran jamur antagonis Trichoderma lebih besar

dibandingkan dengan jamur Colletotrichum capsici sehingga dalam pengamatan

hari ke-7 Trichoderma telah dapat menutupi semua permukaan media.

Pertumbuhan koloni Trichoderma harzianum lebih cepat dibandingkan dengan

koloni Colletotrichum capsici karena jamur Trichoderma harzianum dapat

menghasilkan enzim hidrolitik β-1,3 glukonase, kitinase dan selulase yang dapat

mendegradasi sel-sel jamur lain yang sebagian besar tersusun dari β-1,3 glukon

dan kitin, sehingga jamur Trichoderma sp. mampu melakukan penetrasi kedalam

hifa jamur lain (Sukamto, 1999).

Pengamatan yang telah dilakukan menunjukkan bahwa jamur antagonis

Trichoderma harzianum mampu menghambat pertumbuhan jamur Colletotrichum

41
capsici dengan persentase daya antagonisme sebesar 74 %. Hal ini membuat

Trichoderma harzianum dapat dimanfaatkan untuk menekan keparahan penyakit

antraknosa pada buah cabai. Penghambatan Trichoderma sp. terhadap

Colletotrichum capsici diduga karena komposisi dinding luar hifa Colletotrichum

capsici yang menyebabkan patogen ini mudah di degradasi oleh enzim kitinase.

Hal ini dikarenakan dinding hifa Colletotrichum capsici memiliki tekstur

mikrofibril yang terbuat dari kitin (β-1,4 N asetilglukosamin) sehingga enzim

kitinase yang dihasilkan oleh Trichoderma sp. ini menyebabkan dinding hifa

patogen Colletotrichum capsici terlarut sehingga menyebabkan pertumbuhan

patogen menjadi terhambat lalu kemudian mati (Afrizal dkk, 2013).

42
VII PENUTUP

7.1 Kesimpulan

Hasil pengaplikasian Trichoderma sp. terhadap penyakit antraknosa oleh

jamur Colletotrichum capsici menunjukkan bahwa Trichoderma sp. mampu

menghambat pertumbuhan jamur Colletotrichum capsici dengan persentase uji

antagonis sebesar 74 %. Sehingga Trichoderma sp. dikatakan efektif dijadikan

sebagai agens antagonis patogen Colletotrichum capsici secara hayati.

7.2 Saran

Saran untuk melakukan pengujian yaitu lebih teliti agar mendapatkan hasil

penelitian yang maksimal dan lakukan penelitian mengenai eksplorasi jamur

antagonis dengan menggunakan tanaman yang tahan akan penyakit selain dari

tanaman bambu.

43
DAFTAR PUSTAKA

Djafaruddin. 2008. Pupuk dan Pemupukan. Fakultas Pertanian Universitas

Andalas, Padang.

Efri. 2010. Pengaruh Ekstrak Berbagai Bagian Tanaman Mengkudu (Morinda

citrifolia) terhadap Perkembangan Penyakti Antraknosa Pada Tanaman

Cabe (Capsicum annuum L.). Jurnal HPT Tropika. 10(1): 52-58.

Haryanto. 2018. Pertumbuhan dan Hasil Cabai Merah pada Berbagai Metode

Irigasi dan Pemberian Pupuk Kandang di Wilayah Pesisir Pantai.

Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.

Hidayat. 2004. Bertanam Cabai Hibrida. Agromedia Pustaka, Jakarta.

Nurmansyah. 2017. Pengaruh Penyakit Antraknosa (Colletotrichum capsici

Sydow.) terhadap tanaman cabai. Prosiding kongres XVI dan Seminar

Nasional Fitopatologi Indonesia.

Purwatisari dan Hastuti. 2009. Uji Antagonisme Jamur Patogen Phytopthora

Infestans Penyebab Penyakit Busuk Daun dan Umbi Tanaman Kentang

dengan Menggunakan Trichoderma spp. Isolat Lokal. Bioma 11 (1): 24-32

Rusli, dkk,. 1997. Penyakit Antraknosa pada Buah Cabai di Sumatra Barat.

Prosiding Kongres Nasional XVI dan Seminar Hasil. Perhimpunan

Fitopatologi Indonesia, Palembang.

Samson, et al,. 1995. Introduction to Food Borne Fungi Edisi ke-4. Netherland :

Posen and Looyen.

44
Semangun, H. 1989. Penyakit-penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia.

Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Semangun, Haryono. 2007. Penyakit-penyakit Hortikultura di Indonesia Edisi

Kedua. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Setiadi. 2004. Budidaya Jeruk Asam di Kebun dan di Pot. Penebar Swadaya,

Jakarta.

Sinaga. 2006. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Penebar Swadaya, Jakarta.

Soesanto, L. 2002. Pengantar Pengendalian Hayati Penyakit Tanaman. Rajawali

Press, Jakarta.

Sukamto. 1999. Mikrobiologi dalam Pengolahan dan Keamanan Produk Pangan.

Penerbit Alumni, Bandung.

Tjahjadi. 1989. Hama dan Penyakit Tanaman. Kanisius, Yogyakarta.

Yudiarti. 2007. Ilmu Penyakit Tumbuhan Edisi Pertama. Graha Ilmu, Yogyakarta.

Yusuf. 2010. Antraknosa pada Tanaman Cabai. Penebar Swadaya, Jakarta.

Zulkarnain. 2009. Kultur Jaringan Tanaman. Bumi Aksara, Jakarta.

45
LAMPIRAN

Lampiran 1. Perhitungan Uji Daya Antagonis


Perhitungan daya uji antagonis digunakan untuk mengetahui persentase daya

hambat dari jamur Trichoderma sp. terhadap jamur Colletotrichum capsici.

𝐷1−𝐷2
PA = 𝑋100%
𝐷1
49,77−12,56
= 𝑋100%
49,77

= 0,74 X 100%

= 74%

Lampiran 2. Dokumentasi Kegiatan Praktek Kerja Profesi


Kegiatan Berfoto bersama Pembimbing PKP

Lampiran 3. Surat Keterangan dari Pihak UPT Proteksi TPTPH

46

Anda mungkin juga menyukai